isi

70
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini (Depkes RI, 2009). Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain Departemen Kesehatan pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minim ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien asma di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2009). Seperti halnya asma, tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency (PDPI, 2006). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB

Upload: max-andrew

Post on 17-Nov-2015

25 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

isi

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran

    napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada

    akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit

    saluran pernapasan kronik. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan

    100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Sumber lain menyebutkan

    bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus

    meningkat selama 20 tahun belakangan ini (Depkes RI, 2009).

    Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah,

    Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan

    oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain Departemen Kesehatan

    pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya

    pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minim

    ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana

    pasien asma di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2009).

    Seperti halnya asma, tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan

    masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

    Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global

    Emergency (PDPI, 2006).

    Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

    oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB

  • 2

    menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia

    merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan

    beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan

    baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/

    MDR) (Permenkes, 2014).

    Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

    tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan

    penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992

    disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,

    sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab

    kematian pertama pada golongan penyakit infeksi (PDPI, 2006).

    Sementara itu, dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL

    Departemen Kesehatan tahun, 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif

    yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif). Tiga

    perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO

    memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis

    paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia

    masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India

    dan China (PDPI, 2006).

    Berdasarkan latar belakang tersubut, dapat dikatakan bahwa penyakit

    asma dan TB memang merupakan masalah kesehatan di Indonesia, bahkan

    dunia. Sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik dan

    benar mengenai penanganan dan pengobatan penyakit tersebut. Hal tersebut

    akan dibahas dalam praktikum kali ini.

  • 3

    B. Tujuan

    1. Tujuan Umum

    Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai macam obat anti asma, anti

    tuberkulosis serta obat pernafasan lain.

    2. Tujuan Khusus

    a. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar patologi asma.

    b. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.

    c. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat

    antiasma.

    d. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.

    e. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.

    f. Mahasiswa mampu memahami mekanisme kerja obat

    antituberkulosis.

    g. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat

    antituberkulosis.

    h. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dan panduan pengobatan

    tuberkulosis.

    i. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.

    j. Mahasiswa mampu menjelaskan farmakologi obat pernapasan

    lainnya.

    C. Manfaat

    1. Mengetahui algoritma terapi dari penyakit asma dan TB

    2. Mengetahui cara penggunaan obat asma dan TB yang tepat

  • 4

    3. Mengetahui mekanisme kerja dan farmakokinetik obat asma dan TB

    4. Mengetahui efek samping obat asma dan TB

    5. Mahasiswa mampu membuat peresepan obat TB

  • 5

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Asma

    1. Definisi Asma

    Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri

    bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma

    merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor

    biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi (Somantri, 2007).

    Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang

    melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut

    berkaitan dengan hiperesponsif saluran napas yang menyebabkan gejala

    episode berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada, dan

    batuk, terutama malam atau pagi hari. Episode berulang tersebut

    berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan

    seringkali reversibel dengan/tanpa pengobatan (Widodo, 2012).

    2. Mekanisme Asma

    Asma ringan sampai sedang dikarakteristikkan dengan kontraksi

    otot polos saluran napas, edema mukosa, infiltrasi selular, dan sumbatan

    mukus dalam lumen saluran napas, yang merupakan faktor yang

    berkontribusi pada bronkokonstriksi dan hiperaktivitas saluran napas. Hal

    ini dihasilkan dari hiperrespons otot polos trakeobronkial terhadap

    rangsangan mekanik, kimia, lingkungan, alergik (asma ekstrinsik),

    farmakologik, atau rangsangan yang tidak diketahui (Rahardjo, 2008).

  • 6

    Hipotesis Mc Fadden (1986) menyatakan bahwa pada

    perangsangan saluran napas penderita asma akan terjadi reaksi pada sel-

    sel sasaran, yaitu sel mastosit dan basofil yang membebaskan mediator

    aktif reaksi alergi yang menyebabkan terjadinya reaksi lambat dan reaksi

    cepat pada saluran napas (Rahardjo, 2008).

    1. Reaksi cepat, timbul beberapa menit sampai 2 jam (maksimum)

    berupa pembebasan mediator reaksi alergi dari sel mast. Reaksi cepat

    terutama menyebabkan bronkospasme (Rahardjo, 2008).

    2. Reaksi lambat, timbul setelah 3-5 jam kemudian. Pada reaksi lambat

    ini juga terjadi spasme bronkus yang disertai dengan edema mukosa

    dan inflamasi saluran napas, mencapai maksimum setelah 4-8 jam

    dan menghilang setelah 8-12 jam atau lebih lama. Reaksi lambat ini

    berupa reaksi inflamasi (peradangan saluran napas karena infiltrasi

    sel radang terutama sel eosinofil), hiperreaktivitas saluran napas dan

    bronkospasme. Peningkatan hiperreaktivitas saluran napas timbul 8

    jam setelah perangsangan dengan alergen atau stimulus lain dan

    menetap atau bertambah berat sampai beberapa hari, bahkan dapat

    sampai beberapa minggu. Bila terjadi peningkatan hiperreaktivitas

    bronkus, akan terjadi peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi

    non-alergik, seperti asap, debu, udara dingin, kerja fisik, emosi,

    histamin, metakolin, dan toluen diisosianat. Inilah yang enyebabkan

    penyakit asma makin memberat (Rahardjo, 2008).

  • 7

    Sekarang terdapat bukti yang meyakinkan bahwa beberapa jenis sel

    inflamasi, seperti sel mastosit, makrofag, eosinofil, limfosit, dan sel-sel

    epitel termasuk dalam patogenesis asma. Banyak mediator inflamasi yag

    telah dilibatkan dalam asma, termasuk histamin, produk siklooksigenase

    (prostaglandin, leukotrin, dan sitokin), produk lipooksigenase, platelet

    activating factors, kinin, adenosin, komplemen, serotonin, faktor

    kemotaktik, dan oksigen radikal, yang mempertarai respon awal asmatik,

    termasuk bronkokonstriksi, edema mukosa, sekresi mukus, dan respon

    asma akhir berupa infiltrasi selular, kerusakan epitel, dan hiperaktivitas

    saluran napas (Rahardjo, 2008).

    Pada asma berat terjadi hipertrofi otot polos saluran napas dan

    kelenjar sekretori, pengelupasan epitelium, dan terlihat pula adanya

    penebalan lamina propria. Mekanisme yang mendasari patogenesis asma

    bersifat multifactorial; tetapi sebagian besar dipicu oleh degranulasi sel

    mastosit dan diikuti dengan pembebasan mediator-mediator inflamasi

    (Rahardjo, 2008).

    Pada asma ekstrinsik, mekanisme yang mendasari bronkokonstriksi

    berawal ketika pemicu pertama menyebabkan pasien mengalami

    sensitisasi terhadap suatu alergen, seperti inhalasi polen yang kemudian

    dicerna oleh lisozim mukosa membebaskan protein yang larut air.

    Absorbsi protein-protein ini menghasilkan pembebasan imunoglobulin

    spesifik (IgE) oleh sel-sel plasma jaringan limfoid dalam saluran napas.

    IgE yang terbebas ini menempel pada permukaan sel-sel mastosit dan sel

  • 8

    basofil. Pada pemaparan berikutnya terhadap polen yang sama pada

    pasien atopik akan menimbulkan reaksi alergik. Pada waktu ini terjadi,

    dengan adanya antigen, sel-sel mastosit yang mengandung IgE yang

    telah disensitisasi membebaskan zat-zat farmakologik aktif (mediator),

    seperti histamin slow reaction substance of anaphylaxis (SRS-A)

    eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis, serotonin, kinin, dan

    prostaglandin (Rahardjo, 2008).

    Zat ini memberikan efek vasodilatasi, sekresi mukus yang kental,

    edema mukosa (vasodilatasi), inflamasi, bronkokonstriksi, dan

    kombinasi dari faktor-faktor ini menimbulkan obstruksi bronkial diikuti

    oleh gejala-gejala khas asma bronkial. Infeksi juga mempunyai potensi

    untuk menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan oleh edema dan

    inflamasi. Senyawa seperti kromolin natrium yag mencegah pembebasan

    mediator merupakan zat profilaksis yang sangat berguna dalam

    pengelolaan asma (Rahardjo, 2008).

    Gambar 1. Hipotesis terjadinya bronkokonstriksi

  • 9

    Sistem saraf otonom juga memiliki peranan penting dalam

    pengaturan otot polos bronkial, pembuluh darah bronkial, dan kelenjar

    bronkial. Stimulasi serabut parasimpatik (vagus) menyebabkan

    vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatkan sekresi kelenjar.

    Hipoksia dan hiperkapnia menyebabkan dispnea yang berat (Rahardjo,

    2008).

    3. Klasifikasi Asma

    a. Berat-ringannya asma ditentukan oleh beberapa factor, antara lain

    gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam

    hari, pemberian obat inhalasi, -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-

    obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi

    obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan

    tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit.

    Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat

    menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat

    penting dalam penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma

    saat serangan dan asma saat serangan (Dinkes, 2008)

    1) Asma saat tanpa serangan.

    Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar

    serangan, terdiri dari : 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3)

    Persisten sedang; 4) Persisten berat.

  • 10

    Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

    Sedangkan pada anak, secara arbiter Pedoman Nasional

    Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma

    menjadi: 1) Asma episodic jarang; 2) Asma episodic sering;

    dan 3) Asma persisten.

  • 11

    Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak

    2) Asma saat serangan

    Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat

    yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan

    berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA)

    membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan

    tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat

    serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi

    tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan

    asma serangan berat.

  • 12

    Tabel 3. Klasifikasi asma berdasarkan serangan

    4. Algortima Terapi Asma

    Berikut akan dijelaskan bagaimana algoritma penatalaksanaan

    serangan asma di rumah, maupun algoritma penatalaksanaan asma di

    rumah sakit. Penjelasannya adalah sebagai berikut (PDPI, 2004).

  • 13

  • 14

    5. Farmakologi tiap golongan

    Pengobatan asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala

    obstruksi jalan nafas, terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol

    (controller) (PDPI, 2004).

    a. Pelega (reliever)

    Pelega (reliever) prinsip pengobatannya adalah dilatasi jalan

    napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau

    menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti

    mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi

    jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat asma

    yang termasuk pelega adalah:

    1) Agonis beta-2 kerja cepat

    Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,

    fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.

    Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol

    mempunyai onset cepat dan durasi yang lama (PDPI, 2004).

    Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu

    relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

    mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

    modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya

    adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan

    hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit

    menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004).

  • 15

    2) Kortikosteroid sistemik

    Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

    penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil

    belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan

    bronkodilator lain (PDPI, 2004).

    3) Antikolinergik

    Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya

    memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada

    jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan

    tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

    refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan (PDPI, 2004).

    Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium

    bromide dan tiotropium bromide. disarankan menggunakan

    kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja cepat

    sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau

    pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2

    saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Efek

    samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI,

    2004).

    4) Aminofillin

    Aminofillin adalah bronkodilator kuat dan sangat

    bermanfaat jika bronkospasme terhadap epinefrin. Dosisnya 250

    sampai 500 mg, diberikan perlahan-lahan secara intravena.

  • 16

    Berdasarkan sifatnya sebagai bronkodilator yang kuat,

    aminofilin kerja cepat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi

    gejala asma akut, walau disadari onsetnya lebih lama daripada

    agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).

    5) Adrenalin

    Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang

    sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak

    respons dengan agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).

    b. Pengontrol (controller)

    Pengontrol (controller) adalah pengobatan asma jangka

    panjang yang diberikan setiap hari untuk mencapai dan

    mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Obat

    pengontrol asma adalah:

    1) Glukokortikosteroid inhalasi

    Glukokortikosteroid inhalasi adalah pengobatan jangka

    panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid

    inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan

    sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman

    pada dosis yang direkomendasikan. Contoh obatnya yaitu

    beklometason propionat, budenosid, flunisolid, flutikason, dan

    triamsolon asetonid (PDPI, 2004).

    Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal

    seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi

  • 17

    saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah

    dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan

    berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi (PDPI,

    2004).

    Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui

    absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik

    bergantung kepada dosis dan potensi obat sistemik. Penelitian

    menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai

    efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason

    dipropionat dan triamsinolon (PDPI, 2004).

    2) Glukokortikosteroid sistemik

    Glukokortikosteroid sistemik diberikan secara oral atau

    parenteral. Untuk jangka panjang penggunaan

    glukokortikosteroid inhalasi lebih baik daripada steroid oral

    karena efek samping sistemik pemberian oral maupun parental

    lebih banyak. Namun, obat ini cocok untuk asma persisten dan

    berat (PDPI, 2004).

    Lebih baik menggunakan steroid oral yang diminum

    selang 1 hari daripada penggunaan melalui jalur parenteral.

    Prednison, prednisolon, dan metilprednisolon pun menjadi

    pilihan yang terbaik karena karena mempunyai efek

    mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae

    pada otot minimal (PDPI, 2004).

  • 18

    Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid

    oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,

    diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,

    glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.

    Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi

    herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,

    maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan (PDPI,

    2004).

    3) Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium

    Jalur pemberian obat ini adalah secara inhalasi.

    Mekanisme kerjanya belum diketahui secara jelas tetapi

    diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat

    penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang

    diperantarai IgE. Efek sampingnya minimal seperti batuk atau

    rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004).

    4) Metilsantin

    Metilsantin mempunyai efek bronkodilator dan

    antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan

    hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi

    tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui

    mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-

    10 mg/dl). Harga obat ini jauh lebih murah dibandingkan agonis

    beta2 kerja lama inhalasi (PDPI, 2004).

  • 19

    Contoh obat yaitu aminofilin dan teofilin. Efek samping

    berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( >10 mg/kgBB/ hari atau

    lebih). Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek

    samping yang paling dulu dan sering terjadi, selain itu takikardi,

    aritmia, dan merangsang pusat nafas (PDPI, 2004).

    5) Long Acting 2 Agonist (LABA)

    Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

    salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>

    12 jam). Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka

    lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang

    bronkokonstriktor (PDPI, 2004).

    a) Mekanisme Kerja

    Obat golongan LABA, yaitu selective 2 receptor

    agonist memiliki durasi waktu kerja yang diperpanjang

    yaitu >12 jam karena memiliki sifat lipofilik tinggi. Selain

    itu ia memiliki efek kerja 50 kali lipat dari albuterol

    (salbutamol).

    Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan fungsi

    paru dan melegakan gejala. Salmeterol dan golongannya

    bekerja lebih efektif dari teofilin oral, sehingga sama

    efektifnya seperti ipratropium (golongan antagonis

    kolinergik). Sifat lipofilik yang dimiliki obat ini

    meningkatkan durasi ikatannya dengan reseptor sehingga

  • 20

    memperpanjang aktivasi reseptor tersebut. (Brunton et al.,

    2006).

    b) Contoh Obat

    Menurut Ducharme, et al (2010), beberapa contoh

    obat yang termasuk Long Acting 2 Agonist (LABA) adalah

    salmeterol, bambuterol, formoterol, dan clenbuterol.

    c) Farmakokinetik

    Obat golongan agonis 2 kerja lama absorbsinya

    lambat, mula kerja lambat, dan juga waktu paruh dalam

    tubuh panjang atau lama. Sifat tersebut lebih efektif jika

    melalui jalur inhalasi dan sering digunakan sebagai

    controller .Obat ini kebanyakan dieliminiasi melalui ginjal

    (Katzung, 2010).

    d) Farmakodinamik

    Reseptor beta-adrenergik ini terkait dengan protein

    G stimulatori. Subunit alfa protein G akan mengaktivasi

    adenilil siklase yang mengkatalisis produksi cAMP. cAMP

    akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Melalui

    aktivasi protein kinase A, cAMP akan menonaktifkan

    myosin light chain kinase dan mengaktivasi myosin light

    chain phosphatase (Ramanujan, 2006).

    Obat ini juga akan meningkatkan konduktansi kanal

    kalium yang diaktivasi kalsium sehingga menyebabkan

  • 21

    hiperpolarisasi otot polos saluran nafas. Kombinasi

    penurunan kalsium intraseluler, peningkatan konduktansi

    kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin light

    chain kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan

    bronkodilatasi. Fermeterol dapat digunakan bersamaan

    dengan agonis O2 dan teofilin (Goldsmith and Keating,

    2004).

    e) Efek Samping Obat

    Menurut Sweetman (2009), beberapa efek samping

    dari obat golongan LABA adalah memberikan efek adiktif

    saat dikombinasikan bersama ipratropium (inhalasi) atau

    teofilin (oral), meningkatkan denyut jantung sehingga

    timbul takikardi dan palpitasi, menimbulkan tremor,

    meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan kadar

    kalium plasma, peningkatan produksi keringat, agitasi,

    insomnia, tirotoksikosis, stenosis subaorta, pusing, dan

    migrain.

    f) Kontra Indikasi

    Kontra indikasi bagi obat golongan LABA menurut

    Brunton et al (2006) antara lain untuk pengobatan reliever,

    kehamilan, dan gangguan fungsi hepar.

    g) Sediaan

  • 22

    Menurut Sweetman (2009) salah satu contoh obat

    golongan LABA adalah clenbuterol. Clenbuterol memiliki

    rentang dosis 20-60 g perhari, dengan dosis maksimal 20

    g untuk wanita dan40 g untuk pria. Contoh lainnya

    adalah formoterol yang memiliki dosis 12 g, dan

    salmeterol yang memiliki dosis 50 g.

    6) Leukotrien modifiers

    a) Mekanisme Kerja dan Contoh Obat

    Terdapat dua tipe leukotrien modifiers yaitu

    menghambat enzim 5-lipoksigenase sehingga dapat

    menghambat produksi leukotriene dari asam arakidonat

    (contohnya zileuton), kemudian tipe yang kedua bekerja

    dengan cara menjadi antagonis kompetitif reseptor

    leukotrien/ leukotriene receptor antagonist/ LTRA

    (contohnya zafirlukast, montelukast, dan pranlukast).

    Namun efek leukotriene modifiers tidak sekuat

    kortikosteroid sehingga jarang menjadi prioritas terapi

    dalam asma (Fanta, 2009).

    b) Farmakokinetik

    Obat leukotrien modifiers diaadministrasikan per

    oral dan diabsorpsi secara cepat di usus halus. Zafirlukast

    memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu diatas 90%.

    Sedangkan montelukast memiliki bioavailabilitas 60%-70%

  • 23

    Pada konsentrasi plasma terapeutik, obat ini > 99% terikat

    pada protein (Bharathi et al., 2008).

    Metabolisme terjadi di hepar oleh enzim CYP3A4

    dan CYP2C9. Perlu diketahui bahwa metabolit hanya

    memiliki efektifitas 10% sehingga yang memiliki efek

    terapeutik adalah obat dasarnya. Waktu paruh zafirlukast

    12-20 jam dengan rata-rata 5,6 jam (Bharathi et al., 2008).

    Waktu paruh montelukast berkisar 3-6 jam.

    Sedangkan zileuton dimetabolisme oleh enzim CYP dan

    UDP-glukorosiltransferase dengan waktu paruh 2,5 jam

    (Brunton et al., 2006).

    c) Farmakodinamik

    Sisteinil leukotrien (cyst-LT) merupakan sebuah

    mediator yang poten untuk menimbulkan efek

    bronkokonstriksi. Beberapa contoh cyst-LT adalah LTC4,

    LTD4, LTE4. Reseptor yang bertanggung jawab adalah

    reseptor cyst-L1 (Montuschi et al., 2010).

    Maka dari itu obat LTRA bekerja ada reseptor

    tersebut untuk menghalangi cyst-LT berikatan padanya.

    Efek dari obat LTRA antara lain mencegah kebocoran

    mikrovaskuler, peningkatan produksi mukus, dan

    peningkatan influks basofil serta eosinofil pada saluran

    nafas. Sedangkan obat inhibitor 5-lipoksigenase seperti

  • 24

    zileuton akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga

    asam arakidonat tidak tersintesis. Dengan demikian,

    leukotrien juga tidak akan bisa diproduksi, terutama LTB4

    (Montuschi et al., 2010).

    d) Efek Samping Obat

    Untuk obat antagonis reseptor leukotrien, beberapa

    efek samping yang dapat ditemukan menurut Brunton, et al

    (2006) adalah eosinofilia sistemik, vaskulitis, churg-strauss

    syndrome, meningkatkan prothrombin time, gangguan

    gastrointestinal, hipersensitivitas, insomnia, peningkatan

    tendensi perdarahan.

    Untuk obat inhibitor enzim 5-lipoksigenase,

    beberapa efek samping yang dapat ditemukan menurut Lu,

    et al (2008) adalah peningkatan enzim hepar pada 4%-5%,

    meningkatkan konsentrasi plasma teofilin, dan gangguan

    neuropsikiatrik.

    e) Kontra Indikasi

    Menurut Lu, et al (2008), kontraindikasi

    penggunaan obat golongan ini adalah kasus darurat

    (reliever) dan gangguan hepar.

    f) Sediaan

    Obat zileuton memiliki sediaan lazim 300 mg/600

    mg, dosis dewasa 2400 mg/hari QID (Kelly et al, 2005).

  • 25

    B. Tuberculosis

    1. Prinsip Pengobatan TB

    Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif

    (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang

    digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama

    (lini 1) yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

    streptomisin, etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) adalah

    kanamisin, amikasin, kuinolon (PDPI, 2006).

    2. Panduan Pengobatan TB

    WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis

    and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu

    (Depkes RI, 2009):

    a. Kategori 1

    1) 2HRZE/4H3R3

    2) 2HRZE/4HR

    3) 2HRZE/6HE

    b. Kategori 2

    1) 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

    2) 2HRZES/HRZE/5HRE

    c. Kategori 3

    1) 2HRZ/4H3R3

    2) 2HRZ/4HR

    3) 2HRZ/6HE

  • 26

    Namun, paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

    Penanggulangan TB di Indonesia adalah (Depkes RI, 2009):

    a. Kategori 1: 2HRZE/4(HR)3

    b. Kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.

    Berikut adalah paduan OAT dan peruntukannya:

    a. Kategori 1

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru (Depkes RI,

    2009):

    1) Pasien baru TB paru BTA positif.

    2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.

    3) Pasien TB ekstra paru.

    Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan OAT

    kombipak Kategori 1 2(HRZE)/4(HR)3 sebagaimana dalam tabel

    berikut.

    Tabel II.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (Depkes RI, 2009).

    Berat Badan

    Tahap Intensif

    tiap hari selama 56 hari

    RHZE (150/75/400/275)

    Tahap Lanjutan

    3 kali seminggu selama

    16 minggu

    RH (150/150)

    30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

    38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

    55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

    71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

  • 27

    Tabel II.4. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1 (Depkes RI, 2009)

    Tahap

    Pengobatan

    Lama

    Pengobatan

    Dosis per hari / kali Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tablt

    H

    @300

    mgr

    Kaplet

    R

    @450

    mgr

    Tablet

    Z

    @500

    mgr

    Tablet

    E

    @250

    mgr

    Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

    Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

    b. Kategori 2

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang

    telah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan

    pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes

    RI, 2009).

    Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan

    kombipak Kategori 2, 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3, sebagaimana

    dalam berikut:

  • 28

    Tabel II.5. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 (Depkes RI, 2009).

    Berat

    Badan

    Tahap Intensif

    tiap hari

    RHZE (150/75/400/275) + S

    Tahap Lanjutan

    3 kali seminggu

    RH (150/150) +

    E(400)

    Selama 56 hari

    Selama 28

    Hari

    Selama 20

    minggu

    30-37 kg 2 tab 4KDT

    + 500 mg

    Streptomisin inj.

    2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

    + 2 tab Etambutol

    38-54 kg 3 tab 4KDT

    + 750 mg

    Streptomisin inj.

    3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

    + 3 tab Etambutol

    55-70 kg 4 tab 4KDT

    + 1000 mg

    Streptomisin

    inj.

    4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

    + 4 tab Etambutol

    71 kg 5 tab 4KDT

    + 1000mg

    Streptomisin inj.

    5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

    + 5 tab Etambutol

  • 29

    Tabel II.6. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2 (Depkes RI, 2009).

    Tahap

    Pengobatan

    Lama

    Pengobatan

    Tab

    H

    @300

    Mgr

    Kap

    R

    450

    mgr

    Tablet

    Z @

    500

    mgr

    E

    S

    injeksi

    Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tab

    @250

    mgr

    Tab

    @400

    mgr

    Tahap

    Intensif

    (dosis

    harian)

    2 bulan

    1 bulan

    1

    1

    1

    1

    3

    3

    3

    3

    -

    -

    0,75

    gr

    -

    56

    28

    Tahap

    Lanjutan

    (dosis

    3x

    semggu)

    4 bulan 2

    1 - 1 2 - 60

    Catatan:

    1) Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin

    adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

    2) Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

    3) Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

    sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

  • 30

    c. OAT Sisipan (HRZE)

    Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang

    pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif (Depkes RI,

    2009).

    Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk

    tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)

    sebagaimana dalam Tabel II.6.

    Tabel II.7. Dosis KDT Sisipan: (HRZE) (Depkes RI, 2009).

    Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28

    hari

    RHZE (150/75/400/275)

    30 37 kg 2 tablet 4KDT

    38 54 kg 3 tablet 4KDT

    55 70 kg 4 tablet 4KDT

    71 kg 5 tablet 4KDT

    Paket sisipan Kombipak adalah sama seperti paduan paket

    untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28

    hari) sebagaimana dalam Tabel II.7.

  • 31

    Tabel II.8. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE (Depkes RI, 2009).

    Tahap

    Pengobatan

    Lamanya

    Pengobatan

    Tablet

    H

    @300

    Mgr

    Kaplet

    R

    @450

    mgr

    Tablet

    Z

    @ 500

    mgr

    Tablet

    E

    @250

    mgr

    Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tahap

    intensif

    (dosis

    harian)

    1 bulan 1 1 3 3 28

    d. OAT Lini 2

    Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan

    aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak

    dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas

    karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis

    pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko

    resistensi pada OAT lapis kedua (Depkes RI, 2009).

  • 32

    3. OAT pada Anak

    Sebagian besar kasus TB pada anak pengobatan 6 bulan cukup

    adekuat setelah itu lakukn evaluasi baik secara klinis maupun

    pemeriksaan penunjang. Evalusi klinis pada TB anak merupakan suatu

    parameter terbaik untuk menilai suatu keberhasilan pengobatan. Apabila

    terdapat perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak

    menunjukkan perubahan yang berarti penggunaan OAT tetap dihentikan

    (Depkes RI, 2006).

    Gambar II.5. Alur Tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan

    kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).

  • 33

    Tabel II.9. Dosis OAT Kombipak pada anak

    Tabel II.10. Dosis OAT KDT pada anak

    Prinsip pengobatan TB yang mendasar pada anak adalah

    pemberian minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan.

    OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun

    tahap lanjutan, dosis obat harus tetap disesuaikan dengan berat badan

    anak (Depkes RI, 2006).

    Keterangan:

    a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke Rumah Sakit

    b. Anak dengan BB 15 19 kg dapat diberikan 3 tablet

    c. Anak dengan BB lebih dari sama dengan 33 kg, dirujuk ke Rumah

    Sakit

    d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

  • 34

    e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau

    digerus sesaat sebelum diminum.

    4. Evaluasi Pengobatan TB

    Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,

    radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat

    (PDPI, 2006).

    a. Evaluasi klinik

    1) Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama

    pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

    2) Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping

    obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

    3) Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

    b. Evaluasi bakteriologik (0 2 6 /9)

    Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.

    1) Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

    a) Sebelum pengobatan dimulai.

    b) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).

    c) Pada akhir pengobatan.

    2) Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0 2 6/9)

    c. Evaluasi radiologik (0 2 6/9)

    Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

    1) Sebelum pengobatan.

  • 35

    2) Setelah 2 bulan pengobatan.

    3) Pada akhir pengobatan

    d. Evaluasi efek samping secara klinik

    Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal

    dan darah lengkap.

    1) Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin.

    2) Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat untuk

    data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.

    3) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.

    4) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan

    etambutol.

    5) Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji

    keseimbangan dan audiometri.

    6) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan

    pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi

    klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi

    klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan

    pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan

    efek samping obat sesuai pedoman.

    e. Evalusi keteraturan berobat

    Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang

    digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum/tidaknya obat

  • 36

    tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau

    pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang

    diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.

    Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah

    resistensi (PDPI, 2006).

    f. Evaluasi penderita yang telah sembuh

    Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi

    minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui

    terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA

    dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan

    setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan

    setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2006).

    5. Farmakologi obat TB

    Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua

    kelompok yaitu kelompok obat lini-pertam dan obat lini-kedua.

    Kelompok obat lini-pertama, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol,

    streptomisin, dan piranizamid, memperlihakan efektivitas yang tinggi

    dengan toksisitas yang dapat diterima.sebagian pasien dapat sembuh

    dengan oabt-obatan ini . walaupun demikian, kadang terpaksa harus

    menggunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan

    resistensi dan kontraindikasi pasien. Antituberkulosis lini-kedua adalah

    adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin,

  • 37

    levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin,

    dan paraaminosalisilat (Zubaidi, 2012).

    a. Isoniazida (h)

    1) Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik

    Isoniazida 100 mg dan 300 mg / tablet Nama lain Isoniazida :

    Asam Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INH

    (Mutschler, 2012).

    2) Dosis. Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak

    anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari.

    Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan

    petunjuk dokter / petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai

    bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam

    kombinasi biasa dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per

    kg berat badan sampai dengan 900 mg, kadang kadang 2 kali

    atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg

    berat badan. Atau 20 40 mg per kg berat badan sampai 900

    mg, 2 atau 3 kali seminggu (Zubaidi, 2012).

    3) Indikasi dan Kontraindikasi. Obat ini diindikasikan untuk

    terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang

    peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan

    infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan

    antituberkulosis lain. Kontra indikasinya adalah riwayat

    hipersensistifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis,

  • 38

    cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :

    kehamilan(kecuali risiko terjamin) (Zubaidi, 2012).

    4) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi

    kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif

    terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman

    yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan

    terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk

    membangun dinding bakteri (Zubaidi, 2012).

    5) Dinamika/Kinetika Obat. Pada saat dipakai Isoniazida akan

    mencapai kadar plasma puncak dalam 1 2 jam sesudah

    pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar

    berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi

    kedalam jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat

    dalam liur, sekresi bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan

    cairan asitik. Metabolisme dihati, terutama oleh karena asetilasi

    dan dehidrazinasi(kecepatan asetilasi umumnya lebih dominan ).

    Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi hati, dan

    pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis

    diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit,

    sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta

    dan masuk kedalam ASI (Mutschler, 2012).

    6) Interaksi. Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-

    450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A.

  • 39

    Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu,

    mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan

    dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin

    dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh

    isoniazid. Isofluran, parasetamol dan Karbamazepin,

    menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben

    menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada

    SSP, menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid,

    diazepam, menaikkan kadar plasma teofilin. Efek Rifampisin

    lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan

    dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya

    konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan

    karbamazepin (Hansten, 2011).

    7) Efek Samping. Efek samping dalam hal neurologi: parestesia,

    neuritis perifer, gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi

    optik, tinitus, vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan,

    insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah

    laku, depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot melintir,

    konvulsi.Hipersensitifitas demam, menggigil, eropsi kulit

    (bentuk morbili,mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis,

    vaskulitis, keratitis. Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat,

    bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal. Metaboliems dan

    endrokrin: defisiensi Vitamin B6, pelagra, kenekomastia,

  • 40

    hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik,

    proteinurea. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau

    hemolisis, anemia, trambositopenia. Eusinofilia,

    methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu

    hati,s embelit. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia,

    mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom

    seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik (Zubaidi, 2012).

    b. Rifampisin

    1) Identitas. Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300

    mg, 450 mg, 600 mg (Mutschler, 2012).

    2) Dosis. Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg

    satu kali sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin

    harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi

    dan anak anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan lain

    berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari

    maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 15 mg per

    kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah

    75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300

    mg untuk 20 -33 kg (Zubaidi, 2012).

    3) Indikasi. Di Indikasikan untuk obat antituberkulosis yang

    dikombinasikan dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal

    maupun ulang (Zubaidi, 2012).

  • 41

    4) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-

    dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme

    kerja, Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri

    Ribose Nukleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis

    RNA terganggu (Zubaidi, 2012).

    5) Dinamika / Kinetika Obat. Obat ini akan mencapai kadar

    plasma puncak (berbeda beda dalam kadar) setelah 2-4 jam

    sesudah dosis 600 mg, masih terdeteksi selama 24 jam. Tersebar

    merata dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan

    serebrosfinal, dengan kadar paling tinggi dalam hati, dinding

    kandung empedu, dan ginjal. Waktu paruh plasma lebih kurang

    1,5- 5 jam( lebih tinggi dan lebih lama pada disfungsi hati, dan

    dapat lebih rendah pada penderita terapi INH). Cepat diasetilkan

    dalam hati menjadi emtablit aktif dan tak aktif; masuk empedu

    melalui sirkulasi enterohepar. Hingga 30 % dosis diekskresikan

    dalam kemih, lebih kurang setengahnya sebagai obat bebas.

    Meransang enzim mikrosom, sehingga dapat menginaktifkan

    obat terentu. Melintasi plasenta dan mendifusikan obat tertentu

    kedalam hati (Mutschler, 2012).

    6) Interaksi. Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme

    metadon, absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat

    metabolisme, menurunkan kadar plasma dari dizopiramid,

    meksiletin, propanon dan kinidin, mempercepat metabolisme

  • 42

    kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin,

    anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat

    klorpropamid, tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin, dapson,

    flokonazol, itrakonazol, ketokonazol, terbinafin, haloperidol,

    indinafir, diazepam, atofakuon,

    betabloker(propanolol),diltiazem, nifedipin, verapamil,

    siklosprosin, mengurangi khasiat glukosida jantung, mengurangi

    efek kostikosteroid, flufastatin Rifampisin adalah suatu enzyme

    inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,

    mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang

    dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut

    mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan

    diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan.

    Obat-obatan yang berinteraksi: diantaranya : protease inhibitor,

    antibiotika makrolid, levotiroksin, noretindron, warfarin,

    siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin, nortriptilin,

    alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan beberapa obat

    lainnya (Hansten, 2011).

    7) Efek Samping. Efek samping pada Saluran cerna ; rasa panas

    pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung,

    kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia,

    bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada

    anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi

  • 43

    rendah sementara ( jarang). Hipersensitifitas: demam, pruritis,

    urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia,

    hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal

    ginjal akut( reversibel). Hematologi: trombositopenia,

    leukopenia transien, anemia, termasuk anemia

    hemolisis.Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai

    rendah, gangguan menstruasi, sindrom hematoreal (Zubaidi,

    2012).

    c. Pirazinamida

    1) Identitas. Sediaan dasar Pirazinamid adalah Tablet 500

    mg/tablet (Mutschler, 2012).

    2) Dosis. Dewasa dan anak sebanyak 15 30 mg per kg berat

    badan, satu kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2

    3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti

    tuberkulosis lainnya (Zubaidi, 2012).

    3) Indikasi dan Kontraindikasi. Digunakan untuk terapi

    tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis lain.

    Obat ini kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah,

    porfiria, hipersensitivitas (Zubaidi, 2012).

    4) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

    berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja,

    berdasarkan pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang

    berasal dari basil tuberkulosa (Zubaidi, 2012).

  • 44

    5) Dinamika / Kinetika Obat. Pirazinamid cepat terserap dari

    saluran cerna. Kadar plasma puncak dalam darah lebih kurang 2

    jam, kemudian menurun. Waktu paro kira-kira 9 jam.

    Dimetabolisme di hati. Diekskresikan lambat dalam kemih, 30%

    dikeluarkan sebagai metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam

    (Mutschler, 2012).

    6) Interaksi. bereaksi dengan reagen Acetes dan Ketostix yang

    akan memberikan warna ungu muda sampai coklat (Hansten,

    2011).

    7) Efek Samping. Efek samping hepatotoksisitas, termasuk

    demam anoreksia, hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual,

    muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria. Keamanan

    penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati

    penggunaan pada: penderita dengan encok atau riwayat encok

    keluarga atau diabetes melitus; dan penderita dengan fungsi

    ginjal tak sempurna; penderita dengan riwayat tukak peptik

    (Zubaidi, 2012).

    8) ETAMBUTOL

    9) Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik

    Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet (Mutschler, 2012).

    10) Dosis. Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25

    mg mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan

    awal diberikan 15 mg / kg berat badan, dan pengobatan lanjutan

  • 45

    25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga

    memberikan 50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram

    dua kali seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan

    obat anti tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak

    dibawah 13 tahun dan bayi (Zubaidi, 2012).

    11) Indikasi dan Kontraindikasi. Etambutol digunakan sebagai

    terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen

    pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi

    rendah, obat ni dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan

    untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan

    visual. Kontraindikasi obat ini terhadap Hipersensitivitas

    terhadap etambutol seperti neuritis optik (Zubaidi, 2012).

    12) Kerja Obat. Bersifat bakteriostatik, dengan menekan

    pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap Isoniazid

    dan streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan

    sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga

    menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel

    (Zubaidi, 2012).

    13) Dinamika/Kinetika Obat. Obat ini diserap dari saluran cerna.

    Kadar plasma puncak 2-4 jam; ketersediaan hayati 77+ 8%.

    Lebih kurang 40% terikat protein plasma. Diekskresikan

    terutama dalam kemih. Hanya 10% berubah menjadi metabolit

    tak aktif. Klearaesi 8,6% + 0,8 % ml/menit/kg BB dan waktu

  • 46

    paro eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak penetrasi meninge secara

    utuh, tetapi dapat dideteksi dalam cairan serebrospina pada

    penderita dengan meningetis tuberkulosa (Mutschler, 2012).

    14) Interaksi. Garam Aluminium seperti dalam obat maag, dapat

    menunda dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika dieprlukan

    garam alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam

    (Hansten, 2011).

    15) Efek Samping. Efek samping yang muncul antara lain

    gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan

    penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan

    bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus

    segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi

    penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala,

    disorientasi, mual, muntah dan sakit perut (zubaidi, 2012).

    d. Streptomisin

    1) Identitas. Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk

    Injeksi 1,5 gram / vial berupa serbuk untuk injeksi yang

    disediakan bersama dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit

    (Mutschler, 2012).

    2) Dosis. Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra

    muskular, setelah dilakukan uji sensitifitas.Dosis yang

    direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat

    badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25 30 mg per kg

  • 47

    berat badan, maksimum 1,5 gram 2 3 kali seminggu. Untuk

    anak 20 40 mg per kg berat badan maksimum 1 gram satu kali

    sehari, atau 25 30 mg per kg berat badan 2 3 kali seminggu.

    Jumlah total pengobatan tidak lebih dari 120 gram (Zubaidi,

    2012).

    3) Indikasi dan Kontraindikasi. Sebagai kombinasi pada

    pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid,

    atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih

    obat kombinasi tersebut. Obat tersebut juga Kontraindikasi

    terhadap hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau

    aminoglikosida lainnya (Zubaidi, 2012).

    4) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

    sedang membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan

    sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA

    ribosomal (Zubaidi, 2012).

    5) Dinamika / Kinetika Obat. Absorpsi dan nasib Streptomisn

    adalah kadar plasma dicapai sesudah suntikan im 1 2 jam,

    sebanyak 5 20 mcg/ml pada dosis tunggal 500 mg, dan 25 50

    mcg/ml pada dosis 1. Didistribusikan kedalam jaringan tubuh

    dan cairan otak, dan akan dieliminasi dengan waktu paruh

    2 3 jam kalau ginjal normal, namun 110 jam jika ada

    gangguan ginjal (Zubaidi, 2012).

  • 48

    6) Interaksi. Interaksi dari Streptomisin adalah dengan kolistin,

    siklosporin, Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas,

    kapreomisin, dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan

    nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia,

    toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,

    diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan

    efek relaksan otot yang non depolarising, melawan efek

    parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin

    (Hansten, 2011).

    7) Efek Samping. Efek samping akan meningkat setelah dosis

    kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan

    yang sangat khusus (Zubaidi, 2012).

    C. Farmakologi Obat Pernapasan Lain

    1. Antihistamin

    Penurunan efek histamin dalam tubuh dapat dilakukan dengan

    beberapa cara. Antagonis fisiologis terutama epinefrin bekerja melawan

    histamin pada otot polos yang dapat digunakan untuk anafilaksis

    sistemik. Selain itu, juga dapat dilakukan pelepasan inhibitor yang

    menurunkan degranulasi sel mast yang dipicu oleh antigen IgE seperti

    kromolin dan nedokromil. Reseptor antagonis histamin merupakan jalan

    lain yang dapat dipakai untuk menurunkan efek histamin. Antihistamin

  • 49

    terdiri atas empat golongan yaitu, AH1, AH2, AH3, dan AH4. AH3, dan

    AH4 masih belum dapat digunakan secara klinis (Katzung, 2010).

    a. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)

    Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan

    terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat

    perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini

    menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam

    penggolongan antihistamin H1. Dulu antihistamin H1 dikenal

    sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini seiring

    perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih

    digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor

    histamin H1.

    Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan

    sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek

    berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi

    negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu

    antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat

    reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis.

    Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak

    berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.

    1) Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)

  • 50

    Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup

    berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin,

    alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan

    antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya

    menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin

    kemudian lebih dikenal denagn penggolongan baru atas dasar

    efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua,

    dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal

    yang segnifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi

    dan menimbulkan efek antikolinergenik yang lebih nyata. Hal

    ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu

    berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP) lebih besar

    dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih

    banyak dan lebih banyak terikat dengan protein plasma,

    sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan

    generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa

    metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer

    (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan

    untuk memproleh profil antihistamin yang lebih baik dengan

    efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.

    2) Farmakologi

    Sebagai ineverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan

    bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum

  • 51

    aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.

    Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi

    permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot

    polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin

    H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala

    rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus,

    dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk

    mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase

    akhir.

    Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga

    memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih

    selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan

    lipofilitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di

    samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi

    tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin

    generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel

    mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast

    atau membran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion

    kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi

    alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau

    dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor

    Antihistamin H1 diduga juaga memiliki efek antiflamasi.

    Hal ini terlihat dari study in vitro desloratadine, suatu

  • 52

    antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,

    desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori,

    seperti menghambat pelepasan intracelluler adhesion molecule-

    1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan

    aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan

    tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa

    desloratadine secara segnifikan bisa memperbaiki nasal

    congestionpada beberapa double-blind, placebo-controlled

    studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya,

    generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi

    lebih lanjut untuk manguak misteri dari efek tambahan ini.

    3) Efek lain antihistamin 1:

    a) Efek Sedasi

    Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek

    sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai

    bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada

    siang hari. Sedangkan Antihistamin H1 generasi kedua

    hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai kerja

    sedatif atau stimulatif. Obat antihistamin H1 generasi

    kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek

    autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin

    H1 generasi pertama.

    b) Efek Anti mual dan Anti muntah

  • 53

    Beberapa antihistamin H1 generasi pertama

    mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah

    terjadinya motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi

    kurang efektif jika sudah terjadi mabuk.

    c) Efek Anti Parkinsonisme

    Diduga karena efek antikolinergik, beberapa

    natihistamin H1, mempunyai efek supresi akut yang

    bermakna pada gejala-gejala parkinsonisme yang

    dikaitkan dengan penggunaan obat parkinsonisme

    tersebut.

    d) Kerja antikolinoseptor

    Banyak agen dari generasi pertama, khususnya di

    dalam subgrup ethanolamine dan ethylendiamine,

    mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna

    pada reseptor muskarinik perifer.

    e) Kerja penyekat adrenoseptor

    Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan

    untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di dalam

    subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja

    tersebut dapat mengakibatkan hipotensi ortotastik pada

    orang-orang yang rentan. Penyekatan pada reseptor beta

    tidak terjadi.

    f) Kerja penyekat serotonin

  • 54

    Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor

    serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi

    pertma H1, terutama cyproheptadine Obat tersebut

    digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut

    mempunyai struktur kimia yang menyerupai antihistamin

    phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat

    H1 yang kuat.

    g) Anestesi lokal

    Antihistamin H1 generasi pertama merupakan

    anastesi lokal yang efektif. Diphenhidramine dan

    promethazine kadang digunakan sebagai anastesi lokal

    pada pasien alergi terhadap obat-obat anastetik lokal

    yang konvensional.

    4) Farmakokinetik

    Setelah pemberian oral atau parenteral, Antihistamin

    H1 diabsorbsi secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara

    oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2

    jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2

    jam. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah

    pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi

    efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin H1 diekskresi

    melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk

    metabolitnya. Waktu paruh antihistamin H1 sangat

  • 55

    bervariasi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi

    lebih pendek pada anak dan lebih panjang pada orang tua,

    pasien disfungsi hati, dan pasien yang menerima ketokonazol,

    eritromosin, atau menghambat microsomal

    oxygenase lainnya.

    5) Indikasi

    Antihistamin H1 berguna untuk pengobatan

    simptomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau

    mengobati mabuk perjalanan. Antihistamin generasi pertama

    digunakan untuk mengatasi hipersitifitas, reaksi tipe I yang

    mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis

    vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga

    bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.

    6) Efek samping

    Pada dosis, terapi, semua antihistamin H1

    menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius

    dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan.

    Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar

    individu, kadang-kadang efek ini sangat menganggu sehingga

    terapi perlu dihentikan. Efek samping antihistamin H1

    Generasi pertama:

    a) Alergi :Fotosentivitas, shock anafilaksis, ruam,

    dermatitis

  • 56

    b) Kardiovaskular :Hipotensi postural, refleks takikardia,

    palpitasi, trombosis vena pada sisi injeks.

    c) S.Syaraf pusat :Sedasi, pusing, gangguan koordinas,

    bingung, rx.extraparamidal(dosis tinggi)

    d) Gastrointestinal :Apigastric distress, anoreksi, rasa

    pahit (nasal spray)

    e) Genitourinari :Urinary frequency, urinary retention,

    dysuria

    f) Respiratori :Dada sesak, mulut kering, epitaksis

    dan nasal burning (nasa spray)

    7) Kontraindiksi

    a) Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait

    secara struktural

    b) Bayi baru lahir atau premature

    c) Ibu menyusui

    d) Narrow-angle glaucoma

    e) Stenosing peptic ulcer

    f) Hipertropi prostat simptomatik

    g) Bladder neck obstruction

    h) Penyumbatan pylorodudenal

    i) Gejala saluran napas atas (termasuk asma)

    j) Pasien tua

  • 57

    k) Pasien yang menggunakan monoamine oxidase

    inhibitor (MAOI)

    b. Anthistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)

    Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap

    sekresi cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan

    otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan

    H2.

    Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran

    potensial H2cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983,

    ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine

    dan ratidine diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit

    kulit

    1) Struktur

    Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan

    histamin. Simetidin mengandung komponen imidazole, dan

    ranitidin mengandung komponen aminomethylfuran moiety.

    2) Farmakodinamik

    Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor

    H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor

    H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada

    pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung

    dihambat.

  • 58

    3) Farmakokinetik

    Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan

    setelah pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat

    oleh makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa

    paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang

    diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien

    penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin

    juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal.

    Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah

    pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat

    protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang

    diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi

    dalam urin.

    4) Mekanisme aksi

    Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu

    menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten.

    Simetidin juga menghambat histamin N-methyl transferase,

    suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak

    seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen,

    suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan

    kemampuan menghambat raseptor H2. Simetidin tampak

    meningkatkan sistem imun dengan menghambat aktivitas sel T

    supresor. Hal ini disebabkan oleh blokade resptor H2 yang dapat

  • 59

    dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat

    dipengaruhi.

    5) Indikasi :

    Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.

    Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan

    antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan

    duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi

    asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.

    Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi

    seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan

    gejala dari mastocytosis sistematik, sperti urtikaria dan pruritus.

    Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.

    6) Efek samping

    Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan

    umumnya berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor

    H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan

    penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :

    a) Nyeri kepala

    b) Pusing

    c) Malaise

    d) Mialgia

    e) Mual

    f) Diare

  • 60

    g) Konstipasi

    h) Ruam kulit

    i) Pruritus

    j) Kehilangan libido

    k) Impoten

    7) Kontraindikasi

    a) Kehamilan

    b) Ibu menyusui

    2. Dekongestan

    Dekongestan adalah stimulan reseptor alpha-1

    adrenergik.Mekanisme kerja dekongestan (nasal decongestant)

    melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung sehingga mengurangi

    sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran

    hidung.Mekanisme ini membantu membuka sumbatan

    hidung.Namun, dekongestan juga dapat menyebabkan vasokonstriksi

    di tempattempat lainnya pada tubuh, sehingga dikontraindikasikan

    bagi penderita hipertensi yang tidak terkontrol, hipertiroid serta

    penderita penyakit jantung.

    Obat golongan ini disebut obat adrenergik atau obat

    simptomimetik, karena obat inimerangsang saraf simpatis. Kerja

    obat ini digolongkan 7 jenis :

  • 61

    a) Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit

    dan mukosa, misal:vasokontriksi mukosa hidung sehingga

    menghilangkan pembengkakan mukosa pada konka.

    b) Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus, misal

    : bronkodilatasi

    c) Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan

    kekuatan kontraksi.

    d) Perangsangan Sistem Saraf Pusat : perangsangan pernapasan

    dan aktivitas psikomotor.

    e) Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis.

    f) Efek endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan hormon

    hipofisis.

    g) Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.

    Pseudoefedrin dan efedrin adalah dekongestan yang umum

    digunakan dalam preparat obat flu. Golongan obat ini rawan untuk

    disalahgunakan, karena itu tidak di pasarkan sebagai obat tunggal.

    Pseudoefedrin dan efedrin dapat menyebabkan insomnia, ansietas

    dan kehilangan nafsu makan.

    Penggunaan dekongestan oral harus berhatihati pada penderita

    dengan gangguan tiroid, penderita diabetes, atau penderita yang

    menggunakan antidepresan tertentu. Pada penderita dengan

    hipertiroid aktif, penggunaan dekongestan oral dapat meningkatkan

    palpitasi dan tekanan darah. Pada penderita diabetes, dekongestan

  • 62

    dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan mencegah sekresi

    insulin melalui mekanisme penurunan uptake glukosa ke dalam

    jaringan perifer dan stimulasi pemecahan glikogen.

    Dosis obat sebagai salah satu komponen zat aktif dalam

    komposisi obat flu, dosis per tablet maksimum 30 mg untuk efedrin,

    dan pseudoefedrin 60 mg.

    3. Antitusif

    Antitusif adalah obat yang digunakan untuk mengurangi

    gejala batuk akibat berbagai sebab termasuk infeksi virus pada

    saluran nafas atas. Obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian

    kronik. Obat antitusif ini terbagi menjadi dua kelas yaitu perifer dan

    sentral. Obat perifer bekerja dengan menurukan sensitifitas reseptor

    batuk diparu. Bentuk yang paling umum pada golongan ini adalah

    antihistamin (Rahardja, 2010 ).

    Difenhidramin paling sering digunakan dan ditemukan dalam

    beberapa sediaan obat batuk yang dijual bebas. Obat yang bekerja

    sentral, bekerja pada pusat batuk yang bertempat di medulla

    sehingga disebut juga centrally acting drugs. Obat ini

    menghilangkan batuk dengan menurunkan stimulus batuk. Dua obat-

    obatan yang sering digunakan yaitu kodein dan dekstrometorfan.

    Keduanya sangat efektif untuk mengurangi batuk (Rahardja, 2010).

  • 63

    Dekstrometorfan sama efektifnya dengan kodein, tetapi

    bukan golongan narkotik dan oleh karena itu tidak membutuhkan

    habituasi atau ketergantungan. Antitusif menekan batuk dengan

    mekanisme sentral contohnya adalah kodein, dekstrometorfan ,

    defenhidramin, hidrokoon, dan hidromorfon. Antitusif yang bekerja

    secara sentral dapat menimbulkan depresi saraf pusat tambahan bila

    digunakan bersama depresan system saraf pusat lainya (Rahardja,

    2010).

    Efek samping obat dari antitusif diantaranya: Konstipasi,

    sedasi , efek samping biasanya ringan dan jarang terjadi mual dan

    pusing. Efek sentral dan depresi pernapasan hanya terjadi pada dosis

    sangat besar (Katzung, 2010).

    4. Mukolitik

    Mukolitik adalah obat yang bekerja dengan mengurangi

    kekentalan dahak sehingga diharapkan dahak tersebut menjadi lebih

    mudah dikeluarkan. Pada beberapa kondisi seperti penyakit

    sumbatan paru kronik dan fibrosis kistik, mukolitik dapat digunakan

    sebagai pengencer dahak. Namun bukti-bukti yang menunjukan

    efektivitasnya sangat terbatas, bahkan tidak ada studi valid yang

    menunjukan kriteria kualitas mukolitik baik pada anak maupun

    dewasa.

    Walaupun bersifat mengurangi kekentalan dahak dan

    menyebabkan perbaikan yang konsisten terhadap fungsi paru. Studi

  • 64

    yang dilakukan terhadap pasien pneumonia anak dan dewasa juga

    menunjukan bahwa tidak ada bukti yang cukup mengenai manfaat

    mukolitik.

    Obat ini memiliki efek samping berupa tukak lambung,

    karena sifat obat yang dapat mengiritasi lapisan lendir lambung.

    Selain itu dijumpai juga bronkospasme dan demam. Mukolitik yang

    dikenal di Indonesia antara lain :

    a. Ambroxol :

    1) Menguraikan mukus.

    2) Meningkatkan hidrolisis lisosoma & stimulasi kelenjar

    mukus.

    3) Merangsang produksi surfaktan.

    4) Menurunkan tegangan permukaan sehingga adesi mukus

    pada bronkus menurun.

    b. N-asetil sistein : Menguraikan mukus: memutus ikatan disulfida

    protein

  • 65

    Gambar 1. Mekanisme Kerja Mukolitik

    5. Ekspektoran

    a. Mekanisme Kerja

    Ekspektoran obat yang dapat merangsang pengeluaran

    dahak dari saluran pernafasan. Ekspektoran bekerja dengan cara

    merangsang selaput lendir lambung dan selanjutnya secara

    refleks memicu pengeluaran lendir saluran nafas sehingga

    menurunkan tingkat kekentalan dan mempermudah pengeluaran

    dahak. Obat ini juga merangsang terjadinya batuk supaya terjadi

    pengeluaran dahak (Gunawan,2007).

    b. Contoh Obat

    Menurut bennet,et al (2004), Ekspektoran Obat obat

    kelompok ini diduga bekerja merangsang sekresi cairan saluran

    nafas dengan demikian mempermudah pengeluaran dahak.

  • 66

    Contoh - Gliserilguaiakolat -Amonium klorida - Bromheksin -

    Succus Liquiritiae

    c. Farmakokinetik

    Ekspektoran meningkatkan pembersihan mukus dari

    saluran bronkus. Satu-satunya preparat yang paling efektif

    adalah air, terutama pada pasien dehidrasi. Karena itu anjurkan

    pasien asma untuk minum sebanyak mungkin karena hal ini

    akan mencegah pengeringan mukus. Pada asma berat, setelah

    terapi inhalasi dengan bronkodilator dapat dilanjutkan dengan

    cairan NaCl 0,9% memakai nebulizer selama 20-30 menit, 3-4

    kali sehari.

    Manfaat obat ekspektoran tergantung dari masukan air yang

    adekuat. Obat yang terdapat di pasaran pada saat ini misalnya

    gliseril guaiakolat, iodida, asetilsistein, bromheksin, dan

    ambrokso (Gunawan,2007).

    d. Efek Samping Obat

    Beberapa efek samping dari ekspektoran adalah iritasi

    lambung, mual, muntah, reaksi kulit, bengkak pada kelopak

    mata, liur berlebih, mengantuk, mata dan hidung berair.

    e. Indikasi

    Meringankan batuk berdahak Meringankan hidung tersumbat

    f. Kontra Indikasi (Deglin,2004):

  • 67

    1) Tidak boleh diberikan pada penderita yang peka terhadap obat

    simpatomimetik lain, penderita tekanan darah tinggi berat, dan

    yang mendapat terapi obat anti depresan tipe penghambat

    monoamin oksidase (MAO)

    2) Tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan

    3) Hati-hati penggunaan pada penderita tekanan darah tinggi atau

    yang mempunyai potensi tekanan darah tinggi atau stroke

    seperti pada penderita dengan berat badan berlebih atau

    penderita usia lanjut.

    4) Bila dalam 3 hari gejala-gejala tidak berkurang segera hubungi

    dokter atau unit pelayanan kesehatan.

    5) Hentikan penggunaan obat ini jika terjadi susah tidur, jantung

    berdebar dan pusing.

  • 68

    BAB III. KESIMPILAN

    1. Asma merupakan sebuah penyakit obstruksi saluran napas yang berhubungan

    dengan peningkatan kepekaan saluran napas, sehingga memicu episode

    wheezing, breathlessness, chest tightness, dispneua, dan batuk terutama pada

    malam atau dini hari.

    2. Pada prinsipnya, ada dua jenis obat asma yaitu: pelega (reliever) dan

    pengontrol (controller). Obat asma yang termasuk pelega adalah agonis beta2

    kerja cepat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofillin, adrenalin.

    Sedangkan golongan obat pengontrol diantaranya glukokortikosteroid

    inhalasi, glukokortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan nedokromil

    sodium, metilsantin, long Acting 2 Agonist (LABA), dan leukotrien

    modifiers.

    3. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)

    dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari

    paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan

    adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Jenis obat

    tambahan lainnya (lini 2) adalah kanamisin, amikasin, kuinolon.

    4. Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan

    efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

    5. Obat pernapasan lainnya diantaranya golongan antihistamin, dekongestan,

    antitusif, mukolitik, dan ekspektoran.

  • 69

    DAFTAR PUSTAKA

    Bennet S, Hoffman N, Monga M. 2004. Ephedrine and guaifenesin induced

    nephrolithiasis. J Altern Complement Med 10 (6) : 967-9.

    Bharathi DV, Naidu A, Jagadeesh B, Laxmi KN, Laxmi PR, Reddy PR, Mullangi

    R. 2008. Development and validation of a sensitive LC-MS/MS method

    with electrospray ionization for quantitation of zafirlukast, a selective

    leukotriene antagonist in human plasma: application to a clinical

    pharmacokinetic study. Biomed. Chromatogr. 22: 645-653, 2008.

    Brunton, L.L; Lazo J.S.; Parker K.L. 2006. Goodman & Gilman's The

    Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th Ed. New York: McGraw

    and Hill.

    Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2004. Pedoman Obat untuk

    Perawat. Jakarta:EGC.

    Departemen Kesehatan Repubklik Indonesia (Depkes RI). 2009. Pedoman

    Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Depkes RI.

    Estuningtyas, Ari, dan Azalea Arif. 2008.Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

    Departemen Farmakologi FKUI.

    Fanta, CH. 2009. Asthma. N Engl J Med 360 (10): 100214.

    Global Initiative for Asthma (GINA). 2011. Global Strategy for Asthma

    Management and Prevention. Tersedia di:

    http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411

    Goldsmith, D.R., and Keating, G.M. 2004. Budesonide/fomoterol: A review of its

    use in asthma. Drugs Pubmed, 2004, 64:1597-1618.

    Gunawan, Sulistia Gan. 2010. Farmakologi dan Terapi edisi 5. FK-UI. Jakarta Hansten PD, Horn JR, Managing Clinically Important Drug Interactions. St.Louis:

    Facts and Comparisons aWolters Kluwer Company; 2011: 2-474

    Katzung, B G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

    Kelly, HW, CA Sorkness. 2005. Asthma. in Dipiro, et al. Pharmacotherapy : A

    Pathopysiological Approach. New York : McGraw Hill.

    Lu P, Schrag ML, Slaughter DE, Raab CE, Shou M, Rodrigues AD. 2008.

    Mechanism-based inhibition of human liver microsomal cytochrome

    P450 1A2 by zileuton, a 5-lipoxygenase inhibitor. Drug Metabolism and

    Disposition 31 (11): 135260.

    Montuschi, P. and M. L. Peters-Golden 2010. Leukotriene modifiers for asthma

    treatment. Clinical & Experimental Allergy, 2010 (40) 17321741.

    Mutschler Ernst, Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,

    edisi kelima, penerbit Institut Teknologi Bandung, hal 664-669. 2012

    Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Asma: Pedoman Diagnosis &

    Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

    Rahrdja, kirana. 2010. Obat-obat penting. Edisi 5. Jakarta : PT. Gramedia.

    Rahardjo, R. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC

    Ramanujan K. 2006. Common beta-agonist inhalers more than double death rate

    in COPD patients, Cornell and Stanford scientists assert. Chronicle. June

    29, 2006.

  • 70

    Somantri, irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada

    Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika

    Sulistia,Gan Gunawan,dkk. 2007. FarmakologidanTerapi. Jakarta: EGC.

    Widodo, R. dan Susanthy D. (2012). Patofisiologi dan Marker Airway

    Remodeling pada Asma Bronkial. J Respir Indo. 32 (2), 110-119.

    Zubaidi Yusuf, Tuberkulostatik dan Leprostatik, dalam Farmakologi dan

    Terapi, edisi 4, Sulistia G. Ganiswarna, bagian Farmakologi, Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal 597-610.