isi

120
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 Faring dan laring adalah sistem organ yang berperan dalam 2 sistem yaitu sistem respirasi dan sistem pencernaan. Keduanya memiliki fungsi fisiologis yang sangat essensial. Secara embriologis mereka terbentuk dari celah faring yang akhirnya terus berkembang hingga menjadi kondisi normal seperti sekarang ini. Jika ada kesalahan dalam proses diferensiasi organ tersebut maka akan muncul kelainan kongenital baik karena genetik maupun terpapar zat-zat berbahaya yang menggangu proses tersebut. Secara anatomis faring dibedakan menjadi tiga, yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang berhubungan dengan nasal, orofaring merupakan bagian yang menghubungkan oral dengan faring, dan yang terakhir adalah laringofaring yang merupakan tempat pertemuan faring dengan laring. Banyaknya tonsil yang berada di faring yang berperan dalam proses pertahanan tubuh, terutama saat masa kanak- kanak. Sedangkan laring merupakan daerah tempat adanya plica vocalis yang berperan dalam proses fonasi atau suara. Ada banyak sekali gangguan dan kelainan yang mengenai faring dan laring. Baik itu kelainan kongenital, trauma, neoplasma, peradangan, dan kelainan-kelainan lainnya yang menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Tonsilitis dan faringitis merupakan peradangan yang lazim terjadi. 1 | Kelompok VI

Upload: zhofarini-ranuh-oviantif

Post on 12-Sep-2015

216 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

TR Indra

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangFaring dan laring adalah sistem organ yang berperan dalam 2 sistem yaitu sistem respirasi dan sistem pencernaan. Keduanya memiliki fungsi fisiologis yang sangat essensial. Secara embriologis mereka terbentuk dari celah faring yang akhirnya terus berkembang hingga menjadi kondisi normal seperti sekarang ini. Jika ada kesalahan dalam proses diferensiasi organ tersebut maka akan muncul kelainan kongenital baik karena genetik maupun terpapar zat-zat berbahaya yang menggangu proses tersebut. Secara anatomis faring dibedakan menjadi tiga, yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang berhubungan dengan nasal, orofaring merupakan bagian yang menghubungkan oral dengan faring, dan yang terakhir adalah laringofaring yang merupakan tempat pertemuan faring dengan laring. Banyaknya tonsil yang berada di faring yang berperan dalam proses pertahanan tubuh, terutama saat masa kanak-kanak. Sedangkan laring merupakan daerah tempat adanya plica vocalis yang berperan dalam proses fonasi atau suara. Ada banyak sekali gangguan dan kelainan yang mengenai faring dan laring. Baik itu kelainan kongenital, trauma, neoplasma, peradangan, dan kelainan-kelainan lainnya yang menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Tonsilitis dan faringitis merupakan peradangan yang lazim terjadi. Neoplasma yang sering ditemukan adalah Ca nasofaring yang merupakan keganasan dari epitel transisional. Ada banyak faktor yang mempengaruhi semua itu terutama perokok dan terpajan zat karsinogenik lainnya. Trauma sendiri dapat dibedakan menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.

1.2 Embriologi FaringRongga mulut, faring, dan esofagus berasal dari foregut embriogenik. Foregut juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Perkembangan lengkung faring terjadi bersamaan dengan perkembangan sistem pencernaan. Secara embriologis, perkembangannya dimulai pada minggu ke-4 pada masa janin sebagai salah satu cikal bakal sistem pencernaan.

Lengkung faring muncul pada minggu ke-4 pada masa embrio. Lengkung faring ini berupa kumpulan jaringan mesenkim yang dipisahkan oleh celah-celah yang kita kenal dengan celah faring. Di saat perkembangan keduanya, di dinding lateral bagian dalam lengkung faring itu muncul lagi yang namanya kantong faring.

Gambar 1.2 Lengkung faringPerkembangan lengkung faring, celah faring dan kantong faring adalah sebagai berikut:

1. Lengkung faringSecara umum, lengkung faring itu ada 3 lapis, lapis terluar berasal dari ektoderm (pembungkus), bagian tengah atau inti berasal dari mesoderm (nanti menjadi inti mesenkim), sedangkan bagian dalam berasal dari endoderm. Lengkung faring pada masa embrio ada 5, yakni lengkung faring 1, 2, 3, 4, dan 6.

a. Lengkung faring 1 membentuk incus dan malleus (asalnya dari tulang rawan Merckel/ prominensia mandibularis, yang hilang pada perkembangan selanjutnya).

b. Lengkung faring 2 membentuk stapes, processus styloideus ossis temporalis, ligamentum stylohyoideus, cornu minus dan bagian atas corpus hyoid. (asal: tulang rawan Reichert).

c. Lengkung faring 3 membentuk bagian bawah corpus dan cornu mayus ostium hyoid.

d. Lengkung faring 4 dan 6 bersatu membentuk tulang rawan thyroid, cricoids, arithenuid, corniculata dan cuneiform dari laring.

2. Celah faringSempurna membentuk 4 celah faring pada minggu ke-5.

a. Celah faring 1 nanti bergabung dengan kantong faring 1 membentuk meatus acusticus externus.

b. Celah faring 2: bagian dari celah faring 2, yakni ujung dari lengkung faring kedua sebelah bawah, yang notabene terdiri dari jaringan mesenkim yang aktif berproliferasi, tumbuh dengan cepat, sehingga bertemu dengan rigi epikardium di bagian bawah leher (dibawah celah faring 4).

c. Celah faring 3 dan 4, nanti akan tertutup oleh pertumbuhan jaringan mesenkim lengkung faring 2 tersebut diatas, sehingga membentuk sinus servikalis, namun nanti bakal hilang pada perkembangan selanjutnya.

3. Kantong faringKantong faring yang terbentuk ada 5:

a. Kantong faring 1: bertemu dengan celah faring 1 membentuk meatus acusticus externus.

b. Kantong faring 2 : menjadi tonsila palatine

c. Kantong faring 3: membentuk glandula parathyroidea inferior dan kelenjar timus

d. Kantong faring 4: membentuk glandula parathyrioidea superior .

e. Kantong faring 5 (biasanya dianggap sebagai bagian dari kantong faring 4): membentuk corpus ultimobrachiale yang kelak bersatu dengan glandula thyroid.1.3 Embriologi LaringFaring, laring, trakea, dan paru-paru merupakan derivat forgut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama kemudian, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dati tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapan dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (korda vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya.

Hanya kartilago epiglotis yang tidak berbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis.

Gangguan perkembangan dan berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung, laring sendiri mungkin kecil atau mungkin terdapat berbagai tingkatan selaput di antara korda vokalis sejati.

Gambar 1.3.1 Embriologi Laring1.4 Anatomi FaringFaring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan bagianatas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang utama traktusresporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak danterus menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Ke atas. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan dengan aditus laring dank e bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Gambar 1.4.1 FaringBerdasarkan letaknya faring dibagi atas :1.Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.

2.Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke depan adalah rongga mulut sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis.Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, Abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.3.Laringofaring

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula.

Gambar 1.4.2 Bagian dari Anatomi Faring1.5 Anatomi LaringLaring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adams apple atau jakun. Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.1. Kartilago

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari : Kartilago Tiroidea, 1 buah

Kartilago Krikoidea, 1 buah Kartilago Aritenoidea, 2 buah

b. Kartilago minor, terdiri dari :

Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah Kartilago Epiglotis, 1 buah

Gambar 2.1.1 Tulang dan kartilago laring tampak lateral2. Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.

a. Nn. Laringeus Superior.Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.

Konstriktor inferior. b. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan :Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea 3. Vaskularisasi

Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior. Arteri Laringeus SuperiorBerjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. Arteri Laringeus InferiorBerjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.

Gambar 2.1.1 Laryngeal Arterial SystemDarah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.

Gambar 2.1.2 Laryngeal Venous System

4. Siatem limfatik

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu : a. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.

b. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.

c. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 2.1.3 Laryngeal Lymphatic System1.6 Fisiologi FaringFungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi.1. Fungsi menelan

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofagal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus menuju lambung.

Gambar 2.2.1 Fisiologi Menelan2. Fungsi faring dalam proses bicara.

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpada dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring. kemudian m.levator veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator vveli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mingkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum1.7 Fisiologi LaringLaring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : 1. Fungsi Fonasi.Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :a. Teori Myoelastik Aerodinamik.Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.b. Teori Neuromuskular.Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya/frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).2. Fungsi Proteksi.Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.3. Fungsi Respirasi.Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi.Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.5. Fungsi Fiksasi.Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.6. Fungsi Menelan.Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu :Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglottis.Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.7. Fungsi Batuk.Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.8. Fungsi Ekspektorasi.Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.9. Fungsi Emosi.Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.BAB IIPEMBAHASAN2.1 KELAINAN FARING2.1.1 Kelainan kongenital1. Atresia Koanaa. Definisi

Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan kegagalan perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari kompleks dentofacial. defenisi lain menyebutkan atresia koana adalah adanya kehilangan atau adanya penghalang dari bagian posterior hidung. Atresia koana lebih sering dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear deformities or deafness),

b. EpidemiologiAtresia koana terjadi hampir jarang terjadi pada setiap kelainan congenital, berdasarkan penelitian dari 5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran yang menderita kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia koana biasanya dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya sindroma down, sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penelitian lain menyebutkan sekitar 0,82 kasus dari 10.000 kasus adalah atresia koana, dengan atresia koana yang unilateral lebih sering dibandingkan bilateral yakni 2:1, namun resiko terjadi keduanya juga cukup besar. Adanya kelainan kromosom ditemukan pada bayi baru lahir sekitar 6% menderita atresia koana. Dengan setiap ras memiliki frekuensi yang sama. Dan 50% anak dengan CHARGE menderita atresia koana hampir seluruhnya.

c. Etiologi

Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital lain seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation, malformations external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan meningocele.

d. Patofisiologi

Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:

Membran buccopharyngeal yang persisten

Kegagalan membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur

Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine

Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana, dan

Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local

e. Gejala Klinis

Pada setiap bayi baru lahir ahrus bernafas melalui hidung, namun pada bayi yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia koana yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.

Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung. Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.

Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi saluran napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan kehidupan yang ditandai dengan adanya kesulitan makan dan keluarnya cairan dari hidung.

f. Diagnosis

Dari anamnesis didapati riawayat kesulitan bernapas dan bernapas dari hidung saat baru lahir dan makin memberat dalam beberapa bulan ini. Biasanya pasien dengan atresia koana bilateral dibawa setelah 1 bulan kelahiran sedangkan pasien atresia koana unilateral dating setelah beberapa bulan kelahiran. Pasien juga kesulitan dalam pemberian makan karena akan mengganggu pernapasan dan semakin memberat apabila pasien menangis. Pada pasien juga didapati riwayat biru saat menangis akibat kurangnya pengambilan oksigen.

Pada inspeksi didapati pasien cenderung mengambil nafas dari mulut akibat adanya obstruksi pada hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cenderung dalam batas normal, namun kadang dijumpai adanya secret yang keluar dan bertahan. Riwayat keluar cairan dari hidung serta aliran udara dari hidung yang kurang atau tidak ada sama sekali. Pada pemeriksaan posterior dengan menggunakan kaca laring didapati adanya aliran udara yang keluar dari mulut, namun belum dapat secara pasti menegakkan suatu atresia ataupun stenosis.

Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi yang keras maupun fleksibel, namun yang paling sering digunakan adalah endoskopi fiberoptik yang fleksibel karena dapat menilai patensi nasal dan anatominya seperti vestibule, septum nasi dan dinding lateral nasal. Biasanya, pada kelainan jalan napas yang disebabkan oleh karena obstruksi kongenital, septum deviasi, kista duktus nasolakrimalis, dan lain-lain bisa tidak terlihat. Pada pasien dengan atresia koana dengan menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya discharge yang bersifat mukoid dan terlihat adanya atresia koana lebih jelas tampak.

Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan CT-scan, hal ini khusus untuk melihat bagian aksial, prosedur radiografi ini merupakan pilihan terhadap kelainan dari tulang dan membrane, untuk menilai posisi dan ketebalan dari segmen yang obstruksi, sehingga dapat dilakukan operasi yang sesuai untuk memperbaiki keadaan ini. CT-scan juga berperan untuk mendeteksi kelainan lain yang menyertai atresia koana, seperti encephalocele, glioma, defek tengkorak anterior. CT scan juga dapat menunjukkan luas dari bagian posterior septum dan densitas tulang padat yang menyangga lateral. Dengan menggunakan vasokonstriktor drop dan nasal toilet, sedasi atau anastesia umum pada bayi baru lahir akan memberikan kualitas gambar CT-scan yang baik, data normative dapat digunakan untuk neonates hingga umur 6 bulan, mengenai ukuran dari lubang hidung.g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bervariasi dam tergantung dari umur, tipe dari atresia dan keadaan umum dari pasien. Karena pada bayi harus bernapas dari hidung, sedangkan pada atresia koana yang bilateral keadaan ini tidak dapat terjadi, sehingga butuh penanganan segea, sebelum jatuh kedalam keadaan asfiksia berat dan kematian segera setelah lahir. Pada bayi dengan atresia koana yang bilateral biasanya langsung menunjukkan keadaan kesulitan bernapas, dan penatalaksanaan selanjutnya diperlukan. Seperti latihan bernapas melalui mulut, McGovern nipple atau dengan oropharyngeal airway. McGovern nipple adalah suatu seperti ujung botol dengan sebuah lubang yang cukup besar dan dapat digunakan untuk pemberian makan. Pasien dapat makan sambil menjaga jalan napas, sebelum dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut.

Intubasi endotrakea biasanya kurang bermanfaat jika dibandingkan pemberian ventilasi mekanik pada bayi. Jika didapati distress pernapasan yang parah dan jalan napas tidak dapat dilakukan dengan intubasi endotrakea, perlu dilakukan trakeotomi pada keadaan emergensi sebelum dilakukan evaluasi dan penatalaksanaan selanjutnya. Pembedahan merupakan satu-satunya cara yang paling tepat dalam keadaan atresia koana bilateral.

Pada atresia koana yang bersifat unilateral jarang terjadi keadaan emergensi. Karena pada atresia koana ini secara umum dapat ditunda melakukan operasi menunggu keadaan umum terlebih dahulu sampai dengan batas 1 tahun. Keadaan ini diperlukan karena perlunya pembesaran dan pengurangan resiko pasca-operasi dari stenosis, jika pasien kesulitan untuk makan.

Beberapa teknik operasi antara lain adalah transnasal dan transpalatal dapat digunakan. Pendekatan transnasal adalah dengan menggunakan teleskop lensa-pancing dan metode ini merupakan pilihan karena biasanya sukses dilakukan pada infant dan cocok pada membrane atau tulang atresia yang masih tipis. Sedangkan metode transpalatal normalnya digunakan pada anak yang lebih tua, tulang yang mulai padat atau pada kasus dengan stenosis berulang. Instrumen pendukung lain adalah endoskopi sinus operasi dan CT scan. Metode transnasal merupakan metode yang paling popular dikerjakan.

h. Komplikasi dan Prognosis

Pada pasien atresia koana memiliki komplikasi yang berbeda pada atresia koana bilateral dan unilateral. Pada atresia koana bilateral cenderung memiliki komplikasi yang terberat yakni distress pernapasan, asfiksia yang terakhir berujung pada kematian. Perlu diagnosis dan penatalaksanaan segera dalam mengantisipasi keadaan ini. Berbeda halnya dengan atresia koana unilateral yang masih dapat ditunda pelaksanaan operasi hingga setahun kedepan. Komplikasi kemungkinan adalah kurangnya asupan makan akibat kesulitan bernapas hanya berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan bayi yang cenderung terhambat. Namun sekitar 50% atresia koana dapat diikuti kelainan kogenital lain sehingga biasanya pasien justru jatuh ke dalam keadaan komplikasi dari penyakit lain.

2.1.2 Peradangan1. Tonsilitisa. Definisi

Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (leteral band dinding faring/ Garlach tonsil.

Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama apda anak.

1. Tonsillitis akuta. Tonsiitis viral

Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.

Terapi

Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika gatal berat.b. Tonsillitis bacterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridian dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.

Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membrane semu (pseudommebrane) yang menutup tonsil.

Gejala dan tanda

Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.glossofaringeus (n.IX). pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submanibula membengkak dan nyeri tekan.

Terapi

Antibiotika spectrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung disinfektan.

Komplikasi

Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis, glomelurosnefritis akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom Lemierre).

Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).

2. Tonsilitis membranosa

Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa ialah (a) Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septic (septic sore throat), (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukimia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna seperti infeksi mono-nukleosis, (e) Proses spesifik lues dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertussis dan skarlatina.

a. Tonsiitis difteri

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termauk Gram positif dan hidung disaluran napas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schik.

Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Gejala dan tanda

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local, dan gejala akibat eksotoksin.

a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.

b) Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membenetuk membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bia infeksinya berjaan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.

c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis samapi deompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis

Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.

Terapi

Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.

Antibiotika penicillin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.

Kortikosteroid 1.2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simptomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.Komplikasi

Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul kompikasi dini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis.

Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.3. Tonsillitis kronis

Fakto predisposisi timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negative.

Patologi

Karena proses sedang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami perubahan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proes berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibular.

Gejala dan tanda

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorokan dan napas berbau.

Terapi

Terapi local ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.

Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitits media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis myositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

Indikasi tonsilektomi

The American Academy Of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan :

1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.

4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.

5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus hemoliticus.7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusa/otitis media supuratif.2. Faringitis

a. Definisi Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain.Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi local. Infeksi bakteri grup A Streptokokus hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah (droplet infection)

b. Etiologi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%)bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyakteridentifikasi dengan Rhinovirus (20%) dan coronaviruses (5%). Selain itu juga ada Influenzavirus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxsackie virus A,cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis. Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-15%penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia