isi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tetanus neonatorum merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan terjadinya penyakit tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28
hari). Tetanus neonatorum merupakan penyakit yang berbahaya dan memiliki
tingkat mortalitas yang tinggi. Data WHO tahun 2005 menunjukan tetanus
neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian neonatus di dunia. Di
Indonesia, penyakit ini menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama
kematian bayi setelah infeksi saluran nafas dan diare yaitu sebesar 9,8%.1,2
Angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia tahun 2005 sebanyak 140
kasus dengan 82 kematian atau Case Fatality Rate (CFR) sebesar 58,57%. Pada
tahun 2008 terjadi 165 kasus tetanus neonatorum dengan kematian sejumlah 91
kasus atau CFR 55%. Dari kasus tetanus neonatorum tersebut sebagian besar
adalah bayi yang persalinannya ditolong oleh dukun bersalin.1,2
Tetanus neonatorum merupakan penyakit yang sulit ditangani namun
dapat dicegah. Pada ibu hamil imunisasi TT ini diberikan selama masa
kehamilannya dengan frekuensi dua kali dan interval waktu minimal empat
minggu sedangkan untuk catin diberikan imunisasi TT 5 dosis. Adapun upaya
untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum adalah melalui pemberian
imunisasi TT (Tetanus Toxoid) kepada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan
calon pengantin (caten). Tujuan imunisasi ini adalah memberikan kekebalan
1
terhadap penyakit tetanus neonatorum kepada bayi yang akan dilahirkan dengan
tingkat perlindungan vaksin sebesar 90-95 %. Oleh karena itu cakupan imunisasi
TT calon pengantin dan ibu hamil perlu ditingkatkan secara sungguh-sungguh dan
menyeluruh.3
Peningkatan cakupan imunisasi TT telah dianjurkan oleh pemerintah
dalam upaya untuk menurunkan angka kematian bayi karena tetanus neonatorum.
Jika dilihat dari hasil pencapaian TT ibu hamil maka dari tahun ke tahun
pencapaiannya masih belum mencapai target yang diharapkan dan keadaan ini
akan memungkinkan terjadinya kasus tetanus neonatorum di mana saja, terutama
pada daerah-daerah yang cakupan TT ibu hamilnya masih rendah. Berdasarkan
data Ditjen Binkesmas dari data profil kesehatan Indonesia tahun 2008 presentasi
cakupan imunisasi TT2 pada ibu hamil di Indonesia masih rendah dimana pada
tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 didapatkan presentasi sebesar 49,4%;
51,8%; 59,2%; 42,9%. Untuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan pada tahun
2006 didapatkan presentasi ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT1 sebesar
78,8% dan imunisasi TT2 72,45% dengan jumlah ibu hamil sebanyak 85.608
jiwa.4,5,6,7
1.2. Tujuan
Dari uraian di atas dapat diambil suatu tujuan yakni, sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengetahui tentang tetanus neonatorum.
2. Untuk dapat mengetahui tentang imunisasi TT (tetanus Toksid).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tetanus Neonatorum
2.1.1 Definisi
Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik
paralisis yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau
tegang. Tetanus berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu
tetanus generalisasi (umum), tetanus local dan tetanus sefalik. Neonatal (berasal
dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti lahir) merupakan suatu istilah
kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayi lahir hingga
usia 28 hari kehidupan. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi
pada neonatus1,2.
2.1.2. Etiologi
Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-
0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora
dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, dan
memberi gambaran penabuh genderang (drum stick). Spora ini mampu bertahan
3
hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh. Spora ini juga
bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun-tahun. Bakteri yang
berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa
terkena luka melalui debu atau tanah yang terkontaminasi. Clostridium tetani
merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat menyebabkan kekejangan
pada otot1,2.
2.1.3. Epidemiologi
Tetanus merupakan suatu masalah kesehatan di berbagai belahan dunia
dengan taraf ekonomi rendah. Jumlah kasus tetanus neonatorum dapat dikatakan
berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara. Semakin baik
taraf sosial ekonomi suatu negara semakin sedikit pula jumlah kasus tetanus
neonatorum di negara tersebut, demikian juga sebaliknya2,7.
Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat
dikatakan langka di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus
yang steril dan pemberian vaksin tetanus secara` umum telah disosialisasikan dan
dilaksanakan sebagai suatu prosedur kesehatan wajib. Tetanus neonatorum terjadi
sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita (1:1), usia ibu yang paling
sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia 20-30 tahun (berbanding
lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus tetanus neonatorum dan
tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan 2,7.
4
Tetanus neonatorum memiliki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana >
50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF,
setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO menyatakan
bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian neonatus di
seluruh dunia2,7.
Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan
dengan dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan
secara tidak langsung juga dieliminasi. Pada tahun 1989, WHO mencanangkan
suatu program dengan target pada tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-
neonatus dapat dieliminasi dan pada tahun 2005 penyakit ini bukan lagi sebuah
masalah kesehatan masyarakat dunia. Eliminasi dianggap tercapai jika jumlah
kasus tetanus neonatorum <1 kasus / 1000 kelahiran. Program ini meliputi
program vaksin toxoid tetanus dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi
standard dan sosialisasi tentang penyakit ini di seluruh dunia. Hingga saat ini,
Maternal-Neonatal Tetanus (MNT) masih belum berhasil dieliminasi secara
menyeluruh, di mana pada tahun 2009, penyakit ini masih merupakan suatu
masalah kesehatan 57 negara di dunia, terutama di Asia dan Afrika, termasuk di
antaranya adalah Indonesia. Sekitar 1 juta kasus tetanus dilaporkan dari seluruh
dunia pada tahun 2010, dan lebih dari 50 % kematian akibat penyakit ini terjadi
pada neonatus2,7.
5
2.1.4. Faktor Risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu 2,8:
a) Cara Perawatan Tali Pusat
Pada sebagian masyarakat dinegara-negara berkembang masih
menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan
abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan
menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual
untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang
tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus
neonatorum.
b) Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Adanya lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan
memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak.
Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat
tinggal di lingkungan yang kotor.
c) Kekebalan Ibu Hamil
Pada ibu hamil yang memiliki faktor kekebalan terhadap tetanus dapat
membantu mencegah terjadinya kejadian tetanus neonatorum pada bayi
baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada
bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium
tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya
lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT.
d) Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
6
Kebersihan tempat pelayanan persalinan sangatlah penting, karena tempat
pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk
menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, tetapi juga pada
ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya
dalam keadaan bersih dan steril.
e) Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini
masih berlaku di negara-negara berkembang dimana tenaga yang
melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan seperti
pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir.
2.1.5. Patofisiologi2
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan
memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan
tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran
prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal
retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak,
seterusnya menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat
gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik
yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls
7
dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari
tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke
sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi, kekakuan
ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Jika toksin mencapai
korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistim saraf
otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan
pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat
secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf
otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala tersebut timbul.
2.1.6. Gambaran Klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku
seperti menangis dan menyusu seperti bayi yang normal pada dua hari yang
pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi
tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-
kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan
permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi.
Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah 2,5:
8
a) Gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-menerus dari otot laring
yang bisa menimbulkan sesak nafas, dapat terjadi pada tetanus yang berat.
Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti
frekuensi denyut jantung menurun (bradikardia), atau frekuensi denyut
jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan
demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos dapat pula menyebabkan
anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
b) Adanya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut.
Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah,
sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut
mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak
dapat menetek.
c) Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut,
mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke
bawah (risus sardonicus).
d) Tubuh melengkung seperti busur (opistotonus), bertumpu pada tumit dan
belakang kepala. Jika dibiarkan berlangsung terus menerus, dapat terjadi
fraktur tulang vertebra.
e) Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba
seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada
(toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk
bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5
hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
9
f) Timbul kejang-kejang umum yang terjadi setelah penderita menerima
rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang
kuat dan sebagainya, terjadi bila kekakuan otot semakin berat. Lambat
laun, “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga menyebabkan
status epileptikus, yaitu bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus
selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselangi oleh masa sadar;
seterusnya bisa menyebabkan kematian.
2.1.7. Diagnosis2
Pada saat hendak mendiagnosis tetanus neonatorum yakni dengan melihat
gambaran dan gejala klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang dilakukan karena
ditemukan tidaknya bakteri Clostridium tetani bukan merupakan suatu tanda
karakterisitik pada infeksi bakteri ini. Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat
digunakan untuk mendeteksi dini penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika
spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi spasme pada otot maseter dan bayi
menggigit spatula lidah.
Gambar 1. Pemeriksaan dengan spatula lidah
10
2.1.8. Diagnosis Banding
Tetanus neonatorum memilki ciri khas, namun demikian, beberapa
kelainan lainnya dapat menyebabkan kejang pada neonatus dan harus dapat
dibedakan dari tetanus neonatorum. Secara umum penyebab kejang pada neonatus
dapat dibagi menjadi 3 kategori: 1. Kongenital (anomaly cerebral) 2. Perinatal
(komplikasi persalinan, trauma perinatal, anoxia, perdarahan intracranial) 3.
Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme) 2,9.
2.1.9. Komplikasi2
a) Hiperadrenergik.
Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem
saaraf otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan
hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti
jantung (cardiac arrest).
b) Laringospasme.
Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot
pernapasan menyebabkan gangguan ventilasi.
c) Pneumonia Aspirasi.
Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadi akibat aspirasi
makanan ataupun minuman yang diberikan secara oral
pada saat kejang berlangsung).
d) Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus.
11
e) Sepsis.
Sepsis akibat infeksi nosokomial (contoh:
Bronkopneumonia)
f) Komplikasi jangka panjang ditemukan deficit neurologis pada sebagian
penderita tetanus neonatorum yang selamat.
2.1.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus
lainnya, yaitu meliputi terapi suportif selama tubuh berusaha memetabolisme
neurotoksin, mencegah bertambahnya toksin yang mencapai CNS(central nervous
system) dan berusaha membunuh kuman yang masih dalam bentuk vegetatif
untuk mencegah produksi tetanospasmin yang berkelanjutan. Perawatan di NICU
mutlak diperlukan2.
Eliminasi kuman dalam bentuk vegetatif dilakukan dengan membersihkan
situs luka; debridement merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan
untuk membersihkan luka, diharapkan dengan tindakan tersebut, suasana
anaerobik yang dibutuhkan kuman untuk germinasi dapat dihilangkan. Pemberian
antibiotik diperlukan untuk membunuh kuman bukan untuk netralisasi toksin.
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan pemberian Tetanus
Immunoglobulin (TIG) 3000-6000 unit dosis tunggal intramuskular. Pada suatu
penelitian ditemukan bahwa dosis sebesar 500 unit memiliki efektifitas yang sama
dengan pemberian dosis yang lebih besar, namun hingga saat ini pemberian dosis
TIG 3000-6000 unit (IM) masih menjadi rekomendasi resmi WHO. Jika sediaan
TIG tidak tersedia, pemberian antitetanus serum (ATS) dapat menjadi pilihan
12
alternatif. ATS dapat diberikan dengan dosis 10.000 unit dan pemberiannya dibagi
menjadi 2 dosis ( ½ IM, ½ IV). Di negara-negara miskin dan berkembang, TIG
masih sulit didapatkan karena harganya yang mahal, sedangkan ATS karena
harganya yang lebih murah lebih banyak digunakan. Penggunaan ATS harus
didahului dengan uji desensitisasi terhadap antigen serum yang terkandung di
dalamnya karena sering menimbulkan reaksi alergi pada penderita. Pemberian
TIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya (maksimal 24 jam setelah
didiagnosis), karena toksin tidak dapat lagi dinetralisir oleh TIG atau ATS apabila
sudah mencapai medula spinalis2.
Terapi suportif mutlak diperlukan dan memegang peranan penting dalam
menentukan tingkat mortalitas yang terjadi. Hal pertama yang harus dilakukan
adalah penanganan jalan napas. Penggunaan ventilator merupakan pilihan utama.
Selain itu pemberian muscle-relaxant atau sedative dengan tujuan mengurangi
spasme otot sekaligus melebarkan jalan napas2.
Obat yang terbukti cukup efektif adalah benzodiazepine (cth: diazepam,
midazolam). Diazepam memiliki efek pelemas otot, anti anxietas dan sedasi. Hal
itu menyebabkan diazepam efektif digunakan dalam penanganan tetanus
neonatorum. Pemberian diazepam bervariasi untuk tiap individu, 0,1-0,8
mg/kg/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis untuk spasme ringan, dan 0,1-0,3 mg/kg IV
dalam 4-8 jam untuk spasme sedang-berat. Diazepam kemudian dititrasi untuk
rumatan dengan dosis yang bervariasi dan belum memiliki suatu standard resmi.
Pada suatu laporan kasus, dosis rumatan diberikan 0,08 mg/kg IV setiap 4 jam dan
midazolam 0,1 mg/kg/jam2.
13
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan
elektrolit. Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan
aspirasi, oleh karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau melalui
nasogastric tube (NGT). Pada kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak
berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat
dilakukan2.
2.1.11. Prognosis
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan tingkat
mortalitas pada tetanus ringan sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat
memiliki tingkat mortalitas 60% 2.
2.1.12. Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah
bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor risiko.
Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang
steril. Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu
dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada
saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Adanya
praktik 3 Bersih yang perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong
14
tali pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang
benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang
bersih dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat
dilakukan dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil dan wanita usia
subur (WUS). Salah satu tujuan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) di
Indonesia adalah Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN), antara lain adalah
dengan cara meningkatkan cakupan TT pada BUMIL/WUS. Menurut Survai
Demografi dan Kesehatan Indonesia 1994 ( SDKI-1994) yang dimaksud dengan
Wanita Usia Subur (WUS) adalah semua wanita kawin atau tidak kawin yang
berusia antara 15-39 tahun3.
2.2. Imunisasi TT (Tetanus Toxoid)
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak
ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan.10
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan
cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia, untuk mencegah
penyakit.11
2. Perkembangan imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin
cacar pada tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi
15
penyakit cacar. Pada tahun 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh
WHO, yang selanjutnya dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun 1972
juga dilakukan studi pencegahan terhadap Tetanus Neonatorum dengan
memberikan suntikan Tetanus Toxoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada tahun 1975 imunisasi TT
ditambahkan dalam pengembangan program imunisasi di indonesia.10,12
Pengembangan Program imunisasi merupakan kelanjutan program
imunisasi yang telah diselenggarakan di Indonesia selama ini, yang
dilaksanakan secara lebih sempurna, terorganisir dan terencana.12
3. Tujuan Program Imunisasi
Tujuan umum program imunisasi :10
untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit-
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Tujuan Khusus :1
a. Tercapainya target Universal Child Immunization yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100%
desa/kelurahan pada tahun 2010.
b. Tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden dibawah 1
per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2005.
c. Tercapainya pemutusan rantai penularan Poliomyelitis pada tahun 2004-
2005, serta sertifikasi bebas polio pada tahun 2008.
d. Tercapainya Reduksi campak (RECAM) pada tahun 2005.
16
Untuk mencapai hal tersebut, maka program imunisasi harus dapat
mencapai tingkat cakupan yang tinggi dan merata di semua wilayah dengan
kualitas pelayanan yang memadai.13
Imunisasi TT Calon Penganten
Menikah merupakan impian setiap manusia baik laki-laki maupun
perempuan yang memasuki usia dewasa. Setelah menemukan pasangan yang
dirasa tepat dan ditetapkan tanggal pernikahan, maka persiapan akan segera
dimulai. Persiapan tersebut berupa persiapan fisik, mental dan adminstrasi.14
Salah satu persiapan adminsitrasi adalah melengkapi berkas di KUA.
Diantara berkas tersebut ada surat keterangan selesai TT(anti tetanus) yang
dikeluarkan oleh Bidan atau Puskesmas tempat domisili calon penganten
wanita. TT ini adalah wajib bagi wanita, dan berlaku sejak sekitar tahun
1986.14
Pemerintah menganjurkan imunisasi dengan tetanus toksoid (imunisasi
TT) bagi calon pengantin. Hal ini memang penting untuk mencegah terjadinya
infeksi pada tali pusat bayi setelah dilahirkan. Infeksi tersebut dapat terjadi
akibatperawatan tali pusat yang tidak bersih atau terkontaminasi kuman.
Imunisasi lainnya yang dapat dilakukan adalah MMR, hepatitis B, influenza
(umumnya untuk daerah endemis). Sebaiknya imunisasi dilakukan minimal
tiga bulan sebelum hamil.14
Pada calon pengantin wanita dilakukam iminisasi TT sebanyak 2 kali
dengan rentang waktu antara TT1 dan TT2 minimal 4 minggu. Bila setelah
pernikahan langsung terjadi kehamilan dengan jarak waktu 2 tahun
17
dilakukan TT ulang pada ibu hamil masing-masing pada kehamilan ke-7 dan
ke-8. Dimasa mendatang diharapkan setiap perempuan telah menghadapi
imunisasi tetanus 5 kali, sehingga daya perlindungan terhadap tetanus seumur
hidup, dengan demikian bayi yang dikandung kelak akan terlindungi dari
penyakit tetanus neonatorum.14
18
Imunisasi TT Ibu Hamil
Pelaksanaan kegiatan imunisasi TT ibu hamil terdiri dari kegiatan
imunisasi rutin dan kegiatan tambahan. Kegiatan imunisasi rutin adalah
kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus-menerus harus dilaksanakan
pada periode waktu yang telah ditetapkan, yang pelaksanaannya dilakukan di
dalam gedung (komponen statis) seperti puskesmas, puskesmas pembantu,
rumah sakit, rumah bersalin dan di luar gedung seperti posyandu atau melalui
kunjungan rumah. Kegiatan imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi
yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau
evaluasi. Jadwal Imunisasi TT Ibu Hamil10
1. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon penganten) sudah mendapat TT
sebanyak 2 kali, maka kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali,
dicatat sebagai TT ulang dan pada kehamilan berikutnya cukup
mendapat TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon penganten) atau hamil
sebelumnya baru mendapat TT 1 kali, maka perlu diberi TT 2 kali
selama kehamilan ini dan kehamilan berikutnya cukup diberikan TT
1 kali sebagai TT ulang.
3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan
sebelumnya, cukup mendapat TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.
19
Tabel 1. Jadwal Imunisasi TT pada Ibu Hamil
Dosis Saat Pemberian%
Perlindungan
Lama
Perlindungan
TT I
TT II
TT III
TT IV
TT V
Pada kunjungan pertama
atau sedini mungkin pada
kehamilan
Minimal 4 minggu
setelah TT I
Minimal 6 minggu
setelah TT II atau selama
kehamilan berikutnya
Minimal setahun setelah
TT III kehamilan
berikutnya
Minimal setahun setelah
TT kehamilan berikutnya
0%
80 %
95%
99 %
99%
1 tahun
3 tahun
5 tahun
10 tahun
Selama seumur
hidup
Tabel 2. Manfaat Imunisasi TT1 hingga TT5TT 1
TT 2
TT 3
TT 4
TT 5
Langkah awl untuk menembangkan kekebalan tubuh terhdap
infeksi
4 minggu setelah TT 1 untuk memyempurnakan kekebalan
6 bulan atau lebih setelah TT 2 untuk menguatkabn kekebalan
1 tahun atau lebih setelah TT 3 untuk meneluarkan kekebalan
1 tahun atau lebih setelah TT 4 untuk mendapatkan kehlebalan
penuh
Cara pemberian dan dosis
Sebelum melaksanakan imunisasi di lapangan petugas kesehatan harus
mempersiapkan vaksin yang akan dibawa. Jumlah vaksin yang dibawa
20
dihitung berdasarkan jumlah sasaran yang akan diimunisasi dibagi dengan
dosis efektif vaksin pervial/ampul. Selain itu juga harus mempersiapkan
peralatan rantai dingin yang akan dipergunakan di lapangan seperti
termos dan kotak dingin cair.
Cara Pemberian imunisasi TT:
1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar
suspensi menjadi homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer
yang disuntikkan secara intramuskular atau subkutan dalam, dengan
dosis pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu. Dilanjutkan
dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk
mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur,
maka dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis ke empat dan ke lima
diberikan dengan interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ke
tiga dan ke empat. Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama
masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh
digunakan selama 4 minggu dengan ketentuan :
• Vaksin belum kadaluarsa
• Vaksin disimpan dalam suhu +2º - +8ºC
• Tidak pernah terendam air.
• Sterilitasnya terjaga
• VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.
21
4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi
untuk hari berikutnya.
Manfaat Imunisasi TT Ibu Hamil
1. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neonatorum. Tetanus
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi
berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani,
yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistim
saraf pusat.13,15,16
2. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka.11
Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari
program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan
tetanus neonatorum.10
Jumlah dan Dosis Pemberian Imunisasi TT pada Ibu Hamil
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali, dengan dosis 0,5 cc di
injeksikan intramuskuler/subkutan dalam.11,13,15
Usia Kehamilan Mendapatkan Imunisasi TT
Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk
mendapatkan imunisasi TT lengkap. TT1 dapat diberikan sejak di ketahui
postif hamil dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu
hamil ke sarana kesehatan.11,15 Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1
dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.11,13
22
Efek samping imunisasi TT
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas
dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-
kadang gejala demam. Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari, ini
akan sembuh sendiri dan tidak perlukan tindakan/pengobatan.10
Tenaga Pelaksana Imunisasi
Standar tenaga pelaksana di tingkat pusksmas adalah petugas imunisasi
dan pelaksana cold chain. Petugas imunisasi adalah tenaga perawat atau
bidan yang telah mengikuti pelatihan, yang tugasnya memberikan
pelayanan imunisasi dan penyuluhan. Pelaksana cold chain adalah tenaga
yang berpendidikan minimal SMA atau SMK yang telah mengikuti
pelatihan cold chain, yang tugasnya mengelola vaksin dan merawat
lemari es, mencatat suhu lemari es, mencatat pemasukan dan pengeluaran
vaksin serta mengambil vaksin di kabupaten/kota sesuai kebutuhan
perbulan. Pengelola program imunisasi adalah petugas imunisasi,
pelaksana cold chain atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan
untuk pengelola program imunisasi, yang tugasnya membuat
perencanaan vaksin dan logistik lain, mengatur jadwal pelayanan
imunisasi, mengecek catatan pelayanan imunisasi, membuat dan
mengirim laporan ke kabupaten/kota, membuat dan menganalisis PWS
bulanan, dan merencanakan tindak lanjut.10
Untuk meningkatkan pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas
imunisasi perlu dilakukan pelatihan sesuai dengan modul latihan petugas
23
imunisasi.Pelatihan teknis diberikan kepada petugas imunisasi di
puskesmas, rumah sakit dan tempat pelayanan lain, petugas cold chain di
semua tingkat. Pelatihan manajerial diberikan kepada para pengelola
imunisasi dan supervisor di semua tingkat.10
Tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT
a. Puskesmas
b. Puskesmas pembantu
c. Rumah sakit
d. Rumah bersalin
e. Polindes
f. Posyandu
g. Rumah sakit swasta
h. Dokter praktik, dan
i. Bidan praktik
24
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT)
Imunisasi tetanus toxoid adalah suatu bentuk vaksinasi yang diberikan
kepada ibu selama kehamilannya sebanyak dua kali dengan selang waktu minimal
empat minggu, dengan tujuan agar dapat memberikan kekebalan kepada bayi yang
akan dilahirkan terhadap penyakit tetanus neonatorum. Dengan pemberian dosis
ganda terebut telah cukup memberikan kekebalan kepada bayi sebesar 80%
terhadap penyakit tetanus neonatorum.
Semenjak dimulai kegiatan imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil,
hingga kini tampak adanya peningkatan hasil cakupannya, namun belum
sepenuhnya mencapai target yang diharapkan. Selain itu terlihat belum merata
cakupan imunisasi tersebut di seluruh puskesmas. Untuk itu pelayanan imunisasi
TT bagi ibu hamil dianjurkan setiap hari diseluruh Puskesmas, guna
meningkatkan cakupan imunisasi TT tersebut.12
Vaksin TT (tetanus toksoid) bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
tetanus. Meskipun vaksin ini sudah pernah diberikan saat masih kecil, namun
tetap dianjurkan untuk dilakukan pengulangan pemberian vaksin TT pada wanita
yang hendak menikah dan wanita yang sedang hamil. Pemberian vaksin TT
sebelum menikah dan saat hamil bertujuan untuk mencegah terjadinya tetanus
akibat luka di daerah vagina dan akibat penggunaan alat-alat bantu persalinan
yang tidak steril saat proses melahirkan. Tidak masalah jika anda sudah melewati
kesempatan untuk melakukan vaksinasi sebelum menikah, namun dianjurkan agar
anda dapat memperoleh vaksinasi TT saat usia kehamilan anda memasuki 5-6
bulan ini. Belum terlambat bagi anda untuk mendapatkan vaksinasi TT saat ini.
25
Vaksin TT yang diberikan kepada wanita yang akan menikah dan akan
melahirkan dapat meningkatkan kekebalan tubuhnya terhadap infeksi tetanus.
Kekebalan tubuh tersebut akan ditularkan kepada bayi dalam kandungan sehingga
bayi akan terlindung dari infeksi tetanus juga saat lahir. Tetanus yang terjadi pada
bayi baru lahir dapat menyebabkan kematian bayi, karena itu pemberian vaksin
TT pada ibu hamil memegang peranan penting untuk menurunkan angka kematian
bayi akibat infeksi tetanus.
Vaksin jerap TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung
toxoid tetanus yang telah dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml
aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis
0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Dipergunakan untuk
mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi Wanita Usia
Subur (WUS) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi.10
1. Kemasan Vaksin TT
Kemasan vaksin dalam vial. 1 vial vaksin TT berisi 10 dosis dan setiap 1 box
vaksin terdiri dari 10 vial. Vaksin TT adalah vaksin yang berbentuk cairan.10
2. Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena
dosis pertama TT.10
26
3. Sifat Vaksin TT
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive =
FS) yaitu golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengan suhu
dingin atau suhu pembekuan.10
4. Kerusakan Vaksin TT
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur
vaksin menjadi berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar
matahari langsung.10
Tabel 2. Keadaan suhu terhadap umur vaksin TT
Gambar 2: Vaksin TT
27
BAB III:
PENUTUP
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada bayi kurang
dari 28 hari yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Umumnya infeksi terjadi
akibat proses partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril .
Penyakit ini khususnya terjadi pada bayi dengan ibu yang belum
mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya.
Program imunisasi yang dilaksanakan dalam upaya pencegahan tetanus
neonatorum adalah pemberian imunisasi TT (Tetanus Toxoid) kepada wanita usia
subur termasuk ibu hamil dan calon pengantin wanita. Tujuan imunisasi ini adalah
memberikan kekebalan terhadap penyakit tetanus neonatorum kepada bayi yang
akan dilahirkan dengan tingkat perlindungan vaksin sebesar 90-95 %. Oleh karena
itu cakupan imunisasi TT perlu ditingkatkan secara sungguh-sungguh dan
menyeluruh.
Faktor yang berhubungan dengan pencapaian cakupan imunisasi TT ibu
hamil dan caten diantaranya adalah waktu pelayanan imunisasi, pelatihan petugas
imunisasi, kerja sama lintas program, kerja sama lintas sektoral, pencatatan dan
pelaporan, pemantauan wilayah setempat (PWS), penyuluhan, dan pengetahuan
masyarakat terutama ibu hamil dan wanita usia subur tentang imunisasi TT.
28