isi trakoma
DESCRIPTION
mataTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trakoma adalah suatu penyakit tertua yang terkenal di dunia sejak
dahulu. Penyakit ini dikenal sebagai penyebab trikiasis sejak abad ke 27 SM dan
mengenai semua ras. Dengan 400 juta penduduk dunia yang terkena, penyakit ini
menjadi salah satu penyakit kronik yang paling banyak dijumpai. Prevalensi dan
berat penyakit yang beragam per regional dapat dijelaskan dengan dasar variasi
hygiene perorangan dan sandart kehidupan masyarakat dunia, kondisi iklim
tempat tinggal, usia saat terkena, serta frekuensi dan jenis infeksi mata bacterial
yang sudah ada. Trakoma yang membutakan terdapat pada banyak daerah di
afrika, beberapa daerah di asia, diantaranya suku aborigin di Australia, dan di
brazil utara. Masyarakat dengan trakoma yang lebih ringan dan tidak dapat
membutakan terdapat di daerah-daerah yang sama, dan beberapa daerah amerika
latin serta kepulauan pasifik (Riordan-Eva, 2013).
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan
sekret penderita trakoma atau melalui alat- alat kebutuhan sehari-hari seperti
handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Periode inkubasi adalah 5-14 hari
dengan rata-rata sekitar 7 hari. Penularan terjadi terutama antara anak-anak dan
wanita yang merawatnya. Beberapa sumber mengkarakteristikkan siklus
penularan ini digambarkan bahwa trakoma sebagai disease of day nursery
(Riordan-Eva, 2013).
Episode berulang dari reinfeksi dalam keluarga meneyebabkan folikular
kronik atau inflamasi konjungtiva berat (trakoma aktif), yang menimbulakan
scarring konjungtiva tarsal. Scarring pada konjungtiva tarsal atas, pada sebagian
individu, berlanjut menjadi entropion dan trichiasis (cicatrical trachoma). Hasil
akhirnya menimbulkan antra lain abrasi kornea, ulkus kornea dan opasifikasi, dan
akhirnya kebutaan. Pencegahan trakoma berkaitan dengan kebutaan dan
membutuhkan banyak intervensi. WHO menerapkan strategi surgery, antibiotics,
facial cleanliness, dan environmental improvement (SAFE) untuk mengontrol
trakoma (Salomon, 2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perjalanan penyakit dan penatalaksanaan trakoma
2. Tujuan Khusus
Untuk menyelesaikan tugas referat dari kepaniteraan klinik di SMF Mata
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Trakoma merupakan salah satu jenis penyakit mata yang menular yang
disebabkan oleh Chlamidia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau C yang
termasuk dari konjungtivitis folikular kronik. Trakoma juga termasuk infeksi
mata yang berlangsung lama yang menyebabkan inflamasi dan jaringan parut
pada konjungtiva dan kelopak mata serta kebutaan (Ilyas, 2014).
B. Anatomi dan Fisiologi
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan, yang
membungkus permukaan anterior dari bola mata dan permukaan posterior dari
palpebra. Lapisan permukaan konjungtiva, yaitu lapisan epitel berhubungan
dengan epidermis dari palpebra dan dengan lapisan permukaan dari kornea,
yaitu epitel kornea. Konjungtiva berperan dalam produksi mukus, yang penting
dalam menjaga stabilitas tear film dan transparansi kornea. Selain itu,
konjungtiva juga mampu melindungi permukaan okular dari patogen, baik
sebagai barrier fisik, maupun sebagai sumber sel-sel inflamasi (Wijaya, 2009).
Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu (Wijaya, 2009):
1. Konjungtiva palpebra
Pada sambungan mukokutaneus, lapisan epidermis dari kulit palpebra
berubah menjadi konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal yang melapisi
permukaan posterior palpebra. Lapisan ini melekat secara erat dengan lempeng
tarsus. Pada batas superior dan inferior dari tarsus, konjungtiva berlanjut ke
posterior dan melapisi jaringan episklera sebagai konjungtiva bulbi.
2. Konjungtiva forniks
Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri
ke arah bola mata membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior.
Forniks superior terletak kira-kira 8 – 10 mm dari limbus, dan forniks inferior
terletak kira-kira 8 mm dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi
karunkula dan plika semilunaris. Di sisi lateral, forniks terletak kira-kira 14
Ket. Gambar :
1. Limbus2. Konjungtiva bulbi3. Konjungtiva forniks4. Konjungtiva palpebra5. Pungtum lakrimalis6. Konjungtiva marginalis
mm dari limbus. Konjungtiva forniks superior dan inferior melekat longgar
dengan pembungkus otot rekti dan levator yang terletak di bawahnya.
Kontraksi otot-otot ini akan menarik konjungtiva sehingga ia akan ikut
bergerak saat palpebra maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar
tersebut juga akan memudahkan terjadinya akumulasi cairan.
3. Konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi meluas dari daerah limbus ke daerah forniks. Lapisan
ini sangat tipis dan transparan sehingga sklera yang terletak di bawahnya dapat
terlihat. Konjungtiva bulbi melekat secara longgar dengan sklera sehingga
memungkinkan bola mata bergerak bebas ke segala arah. Selain memberikan
kebebasan bola mata untuk bergerak, hal ini juga akan memperluas permukaan
sekresi konjungtiva. 3
Gambar 1. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva seperti halnya membran mukosa lainnya, terdiri atas 2
lapisan, yaitu (Wijaya, 2009):
1. Lapisan epitel bertingkat
Ketebalan lapisan epitel konjungtiva bervariasi mulai dari 2-4 lapisan
pada daerah tarsal, 6-8 lapisan pada daerah pertemuan korneoskleral, hingga 8-
10 lapisan pada daerah tepi konjungtiva. Di daerah forniks, epitel konjungtiva
berbentuk kolumnar dan berubah menjadi epitel kuboid di daerah bulbar dan
tarsal. Di limbus, epitel berubah menjadi epitel skuamous bertingkat tak
bertanduk yang akan melanjutkan diri menjadi epitel kornea.
2. Lapisan stroma (substansia propria)
Stroma kunjungtiva dipisahkan dengan lapisan epitel konjungtiva oleh
membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas lapisan adenoid yang terletak di
permukaan dan lapisan fibrosa yang terletak lebih dalam. Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan pada beberapa area juga mengandung
struktur mirip folikel. Lapisan fibrosa tersusun atas jaringan ikat yang
mengandung pembuluh darah dan serabut saraf dan melekat pada lempeng
tarsus. Substansia propria mengandung sel mast (6000/mm3), sel plasma,
limfosit, dan netrofil yang memegang peranan dalam respons imun seluler.
Jenis limfosit yang paling banyak ditemukan adalah sel T, yaitu kira-kira 20
kali lebih banyak dibanding sel B. Selain itu ditemukan pula IgG, IgA, IgM
yang terletak ekstraseluler.
Permukaan epitel konjungtiva ditutupi oleh mikrovili. Mikrovili dibentuk
oleh penonjolan sitoplasma yang menonjol ke permukaan sel epitel. Ukuran
diameter dan tinggil mikrovili kira-kira 0,5 μm dam 1 μm. Fungsi mikrovili
selain untuk memperluas daerah absorpsi juga untuk menjaga stabilitas dan
integritas tear film. Epitel konjungtiva mengandung sejumlah kelenjar yang
penting untuk mempertahankan kelembaban dan menghasilkan lapisan air
mata. Kelenjar lakrimal asesorius ditemukan pada konjungtiva forniks dan
sepanjang tepi superior lempeng tarsus. Kelenjar Krause ditemukan pada
forniks superior sebanyak kira-kira 20-40 buah, sedangkan pada forniks
inferior hanya 6-8 kelenjar. Kelenjar-kelenjar ini ditemukan pada jaringan ikat
subkonjungtiva. Kelenjar Krause memiliki struktur yang sama dengan kelenjar
lakrimal utama yang terletak pada rongga orbita. Kelenjar lakrimal asesorius
lainnya adalah kelenjar Wolfring. Kelenjar ini ditemukan pada sepanjang tepi
superior lempeng tarsus sebanyak 2-5 buah.
Selain bertanggung jawab terhadap produksi musin, konjungtiva juga
memiliki kemampuan yang besar dalam melawan infeksi. Hal ini dapat
dipahami oleh karena (Riordan-Eva, 2013):
1. Epitel konjungtiva yang intak mencegah invasi dari mikroba
2. Konjungtiva mengandung banyak immunoglobulin
3. Adanya flora bakteri normal di konjungtiva
4. Sekresi musin oleh sel goblet konjungtiva dapat mengikat mikroba untuk
kemudian dikeluarkan melalui sistem sekresi lakrimal
5. Aktivitas enzimatik konjungtiva memungkinkan jaringan ini dalam
melokalisir dan menetralisir partikel-partikel asing
6. Conjunctiva-Associated Lymphoid Tissue (CALT)
C. Etiologi
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba dan
C. Masing- masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda
beda. Chlamydia adalah gram negatif, yang berbiak intraseluler. Spesies C
trachomatis menyebabkan trakoma dan infeksi kelamin (serotipe D-K) dan
limfogranuloma venerum (serotipe L1-L3). Serotipe D-K biasanya
menyebabkan konjungtivitis folikular kronis yang secara klinis sulit dibedakan
dengan trakoma, termasuk konjungtivitis folikular dengan pannus, dan
konjungtiva scar. Namun, serotipe genital ini tidak memiliki siklus transmisi
yang stabil dalam komunitas. Karena itu, tidak terlibat dalam penyebab
kebutaan karena trakoma (Salomon, 2012).
D. Patogenesis
Chlamydia trachomatis memiliki kecenderungan untuk menginfeksi
kedua mata. Pada stadium dini, penyakit ini mirip dengan konjungtivitis kronik
pada umumnya, yaitu mata merah dan terdapat folikel maupun hipertropi
papiler pada tarsus superior. Hipertropi papiler dan inflamasi konjungtiva
mengakibatkan timbulnya sikatriks konjungtiva yang dapat mengakibatkan
komplikasi yang ringan maupun berat (Salomon, 2014).
Kelainan di kornea dapat berupa epithelial keratitis, subepithelial
keratitis, infiltrate disertai neovaskularisasi (pannus), ulkus kornea, sikatriks
folikel-folikel di limbus yang disebut Herbert’s Pits. Entropion dan trikiasis,
terjadi akibat sikatrik konjungtiva yang hebat, dimana bulu-bulu mata
menggores kornea dan mengakibatkan ulkus kornea, kadang-kadang perforasi
kornea (Taylor, 2015).
Infeksi menyebabkan inflamasi, yang predominan limfositik dan infiltrat
monosit dengan plasma sel dan makrofag dalam folikel. Gambaran tipe folikel
dengan pusat germinal dangan pulau- pulau proliferasi sel B yang dikelilingi
sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang rekuren menyebabkan inflamasi yang
lama yang menyebabkan konjungtival scarring. Scarring diasosiasikan dengan
atropi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan normal,
longgar dan stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV dan
V (Taylor, 2015).
E. Klasifikasi
1. Pembagian trakoma menurut McCallan
Stadium Nama Gejala
Stadium I Trakoma
Insipien
Folikel imatur, hipertrofi papilar minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran tarsal atas
Stadim
IIA
Dengan
hipertrofi
papilar yang
menonjol
Keratitis, folikel limbus
Stadium
IIB
Dengan
hipertrofi
folikular
yang
menonjol
Aktivitas kuat dengan folikel matur
tertimbun di bawah hipertrofi papilar
yang hebat
Stadium
III
Trakoma
sikatrik
Parut pada konjungtiva tarsal atas,
permulaan trikiasis dan entropion
Stadium
IV
Trakoma
sembuh
Tak aktif, tak ada hipertrofi papillar atau
folikular, parut dalam bermacam
derajat deviasi
(Ilyas, 2014)
2. Pembagaian trakoma menurut WHO (Simplified Trachoma Grading
Scheme) (Taylor, 2015) :
a. Trakoma Folikuler (TF)
Gambar 2. Trakoma Folikuler
1. Trakoma dengan adanya 5 atau lebih folikel dengan diameter 0,5 mm di
daerah sentral konjungtiva tarsal superior
2. Bentuk ini umumnya ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi
puncak pada 3-5 tahun
b. Trakoma Inflamasi Berat (TI)
Gambar 3. Trakoma Inflamasi Berat
1. Ditandai konjungtiva tarsal superior yang menebal dan pertumbuhan
vaskular tarsal.
2. Papil terlihat dengan pemeriksaan slit lamp.
c. Sikatrik Trakoma (TS)
Gambar 4. Sikatrik Trakoma
1. Ditandai dengan adanya sikatrik yang mudah terlihat pada konjungtiva
tarsal.
2. Memiliki resiko trikiasis ke depannya, semakin banyak sikatrik semakin
besar resiko terjadinya trikiasis.
d. Trikiasis (TT)
Gambar 5. Trikiasis
1. Ditandai dengan adanya bulu mata yang mengarah ke bola mata.
2. Potensial untuk menyebabkan opasitas kornea
e. Opasitas Kornea (CO)
Gambar 6. Opasitas Kornea
1. Ditandai dengan kekeruhan kornea yang terlihat di atas pupil.
2. Kekeruhan kornea menandakan prevalensi gangguan visus atau kebutaan
akibat trakoma
F. Gejala Klinis
Secara klinis, trakoma dapat dibagi menjadi fase akut dan fase kronis,
tetapi tanda akut dan kronis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan dalam
satu individu. Derajat keparahan dari infeksi mata oleh Chlamidia trachomatis
dapat ringan sampai dengan berat. Banyak infeksinya bersifat asimptomatis.
Sesuai dengan masa inkubasinya yaitu 5-14 hari, infeksi konjungtiva
menyebabkan iritasi, mata merah, dan discharge mukopurulen. Keterlibatan
kornea pada proses inflamasi akut dapat menimbulkan nyeri dan fotofobia
(Ilyas, 2014).
Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari
pembuluh darah konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu
setelah infeksi, yaitu dengan munculnya folikel-folikel pada konjungtiva
forniks, konjungtiva tarsal dan limbus. Folikel terlihat sebagai massa abu-abu
dengan diameter 0,2-3 mm. Papil juga dapat terlihat pada fase ini, pada kasus
ringan terlihat titik-titik merah kecil dengan mata telanjang. Dengan bantuan
slit lamp, papil terlihat sebagai pembengkakan kecil konjungtiva, dengan
vaskularisasi di tengahnya. Ketika inflamasi bertambah berat, reaksi papilar
pada konjungtiva tarsal diasosiasikan dengan penebalan konjungtiva,
pertambahan vaskularisasi pembuluh tarsal, dan kadang kadang edema
palpebra. Bila kornea terlibat pada proses inflamasi, keratitis pungtata
superfisialis dapat dideteksi dengan test flouresensim (Salomon, 2012).
Infiltrat superfisial atau pannus (infiltrasi subepitel dari jaringan
fibrovaskular ke perifer kornea) mengindikasikan inflamasi kornea. Folikel,
papil dan tanda kornea lain adalah tanda dari fase aktif, namun pannus dapat
bertahan setelah fase aktif. Resolusi dari folikel ditandai dengan terjadinya
scarring pada subepitel konjungtiva. Deposisi dari skar biasanya di
konjungtiva tarsal atas, walaupun konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea
dapat terkena. Di daerah endemis trakoma, sikatrik pada daerah tarsal karena
episode infeksi berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis dengan
mengeversi palpebra atas, nampak seperti plester putih dengan latar
konjungtiva yang eritematous. Di limbus, pergantian folikel menjadi scar
menghasilkan formasi depresi translusen pada corneoscleral junction yang
disebut Herbert’s pits (Wijaya, 2009).
Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup banyak berkumpul maka dapat
menyebabkan kelopak mata atas menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu
mata mengenai bola mata (trikiasis) dan ketika semua bagian kelopak
mengarah ke dalam disebut entropion. Trikiasis sangat mengiritasi. Penderita
kadang mencabut sendiri bulumata atau memplester kelopak mata agar
menghadap ke luar. Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek
abrasi kornea dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena
sikatrik bersifat opak maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah
sentral kornea. Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek
abrasi kornea dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena
sikatrik bersifat opak maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah
sentral kornea (Wijaya, 2009).
G. Pemeriksaan
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik dan
laboratorium (Salomon, 2012):
1. Pemeriksaan klinik
Pada pemeriksaan klinik ditemukan folikel-folikel dan hipertropi papiler
pada tarsus superior, pannus, Herbert’s Pits, entropion-trikiasis, atau sikatriks
pada tarsus superior.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan pengecatan
Giemsa pada kerokan konjungtiva didapatkan sel-sel polimorfonuklear, sel
plasma, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma, sel leber (makrofag yang besar
dan berisi debris), sel folikel (limfoblas), dan juga inklusion bodi pada
sitoplasma sel-sel konjungtiva yang disebut Halberstaedler – Prowasek
Inklusion Bodies yang bersifat basofil berupa granul. Adanya sel limfoblas
merupakan tanda diagnostik trakoma yang didukung oleh adanya sel leber.
Untuk memastikan trakoma endemik di keluarga atau masyarakat,
sejumlah anak harus menunjukkan sekurang-kurangnya dua tanda berikut
(Salomon, 2012):
1. Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsalis superior
2. Parut konjungtiva khas di konjungtiva tarsal superior
3. Folikel limbus atau sekuelenya (Herbert’s Pits)
4. Perluasan pembuluh darah ke atas kornea, paling jelas di limbus
atas
H. Penatalaksanaan
Pengobatan bisa secara lokal maupun sistemik (Salomon, 2012):
1. Lokal
Pengobatan secara lokal dengan pemberian tetrasiklin 1% salep mata 2-4
kali sehari minimal 3 bulan. Sulfonamide 15% tetes mata ataupun salep mata
diberikan bila ada penyulit.
2. Sistemik
Pengobatan secara sistemik dengan tetrasiklin 4 x 250 mg sehari selama
3-4 minggu atau Erithromisin 4 x 250 mg sehari selama 3-4 minggu.
Azithromycin dosis tunggal untuk dewasa 1 gram per kali sedangkan anak-
anak 20 mg/kgbb/kali. Sejak saat mulai terapi, efek maksimum biasanya belum
dicapai selama 10-12 minggu. Karena itu tetap adanya folikel pada tarsus
superior selama beberapa minggu setelah terapi berjalan jangan dipakai sebagai
bukti kegagalan terapi. Koreksi bulu mata yang membalik ke dalam melalui
bedah untuk mencegah parut trakoma lanjut.
Pencegahan trakoma dapat dilakukan dengan vaksinasi. Pemberian
makanan yang bergizi dan higiene yang baik dapat mencegah penyebaran
penyakit ini.
I. Komplikasi
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma,
dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktus kelenjar
lakrimal. Hal ini mengurangi komponen akuos dalam film air mata prakornea
secara drastic. Komponen mukosanya mungkin berkurang karena hilangnya
sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior
berupa membaliknya bulu mata kedalam (trikiasis) atau seluruh tepian palpebra
(entropion) sehingga bulu mata terus menerus mengggesek kornea. Kondisi ini
sering mengakibatkan ulserasi kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut
kornea. Ptosis, obstruksi ductus nasolacrimalis, dan dakriosistitis adalah
komplikasi trakoma lainnya yang sering dijumpai (Riordan-Eva, 2013).
J. Prognosis
Trakoma secara karakteristik merupakan penyakit kronik yang
berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci
muka pada anak-anak), penyakit ini dapat sembuh atau bertambah ringan
sehingga komplikasi berat terhindarkan. Sekitar 6-9 juta orang di dunia telah
kehilangan penglihatannya karena trakoma (Wijana, 2009).
BAB III
KESIMPULAN
1. Trakoma adalah suatu bentuk keratokonjungtivitis kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Chlamydia trachomatis.
2. Grading trakoma menurut WHO adalah: trakoma folikular, trakoma inflamasi
berat, trakoma sikatrik, trikiasis, dan opasitas kornea.
3. Azitromisin dan tetrasiklin adalah antibiotik yang direkomendasikan WHO
untuk trakoma.
4. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci muka pada anak-anak),
penyakit ini dapat sembuh atau bertambah ringan sehingga komplikasi berat
terhindarkan.