intervensi psikososial napza

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (selanjutnya disebut napza) merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan napza merupakan suatu pr panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan banyak profesi dan paraprofesi (onal). Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga memp keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif terbatas (sebagian bekerjadi klinik, rumah sakitatau di tempat praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam bidang adiksi, tidak adanya jejarin yang mapan merupakan beberapa faktor penghambat. Di samping itu, juga banyak faktorfaktor luar yang mengganggu proses pemulihan pasien, misalnya: dukungan keluarga dan/atau kelompok sebaya yang tidak selamanya positif, tawara pengedar, kepatuhan pasien pada program terapi medik, dan lain-lainnya. faktor - faktor tersebut di luar kendali medik. Napza terdiri atas berbagai macam yang mempunyai efek berbeda-beda; berdasarkan pengaruhnya pada tubuh dan perilaku digolongkan atas: Depresan seperti: opioida Sedatif-hipnotik: diazepam Stimulansia: amfetamin, metamfetamin Halusinogenik: LSD, mushroom, kanabinoid.

Upload: dila-yudita-putri

Post on 21-Jul-2015

673 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (selanjutnya disebut napza) merupakan problema kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik). Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan napza merupakan suatu proses panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan banyak profesi dan paraprofesi (onal). Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga mempunyai keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif terbatas (sebagian hanya bekerja di klinik, rumah sakit atau di tempat praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam bidang adiksi, tidak adanya jejaring rujukan yang mapan merupakan beberapa faktor penghambat. Di samping itu, juga cukup banyak faktorfaktor luar yang mengganggu proses pemulihan pasien, misalnya: dukungan keluarga dan/atau kelompok sebaya yang tidak selamanya positif, tawaran pengedar, kepatuhan pasien pada program terapi medik, dan lain-lainnya. Umumnya faktor - faktor tersebut di luar kendali medik. Napza terdiri atas berbagai macam zat yang mempunyai efek berbeda-beda; berdasarkan pengaruhnya pada tubuh dan perilaku digolongkan atas: Depresan seperti: opioida Sedatif-hipnotik: diazepam Stimulansia: amfetamin, metamfetamin Halusinogenik: LSD, mushroom, kanabinoid.

Zat adiktif tersebut mempengaruhi otak dan selanjutnya menimbulkan perubahan yang berbeda-beda atas perilaku manusia, oleh karena itu penatalaksanan medisnya juga berbeda- beda tergantung pada simptomatologinya. Umumnya yang digunakan sebagai pegangan baku, adalah terapi dan penatalaksanaan medik untuk ketergantungan opioida.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan dari Intervensi dan Penatalaksanaan Penggunaan NAPZA Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut : 1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasienpasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis napza yang lain. 2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut slip. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. Terapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku(1). Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat

kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase berikut: Detoksifikasi Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan).

B. Penatalaksanaan Gangguan Penggunaan NAPZA Pada Kondisi Non Gawat Darurat Individu dengan masalah penggunaan NAPZA pada kondisi tidak gawat darurat perlu menerima intervensi singkat ataupun intervensi psikososial, tergantung dari derajat penggunaan yang dilakukan indivdu tersebut. Bila diperlukan, pasien dengan ketergantungan NAPZA tertentu juga dapat menerima farmakoterapi rumatan ataupun simtomatik. 1. Intervensi Singkat Intervensi singkat ditujukan untuk mencoba merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak pasien berpikir ulang mengenai pola penggunaan NAPZAnya. Waktu yang dibutuhkan untuk intervensi biasanya antara 10 menit hingga 1.5 jam. Intervensi singkat khususnya dapat dipergunakan untuk pelayanan dasar di puskesmas dan dapat juga digunakan di ruang emergensi, bangsal rumah sakit, dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain. Intervensi direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang seperti dibawah ini: Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang Ketergantungan nikotin/perokok Ketergantungan ringan sampai sedang kanabis

Intervensi singkat tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah ini: Pasien yang kompleks dengan isu-isu masalah psikologis/psikiatrik Pasien dengan ketergantungan berat

Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi kognitif

Intervensi singkat dapat mengambil berbagai bentuk format tetapi seringkali termasuk: asesmen singkat materi self - help (materi yang membantu pemahaman NAPZA pada pasien, contoh : leaflet tentang penanganan overdosis.cara menyuntik yang benar pada program harm reduction) informasi tingkat penggunaan yang aman anjuran untuk mengurangi konsumsi pengurangan dampak buruk pencegahan kekambuhan asesmen untuk kesiapan berubah termasuk wawancara memotivasi konseling singkat termasuk pemecahan masalah dan tujuan follow up

2. Intervensi Psikososial Intervensi psikologik merupakan komponen penting dalam pengobatan yang komprehensif. Dapat diberikan konseling baik secara individu maupun dalam kelompok. Konseling merupakan pendekatan melalui suatu kolaborasi antara konselor dengan pasien dalam perencanaan pengobatan yang didiskusikan dan disetujui bersama. Tidak ada satu pendekatan psikososial yang superior, program pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara individu dengan mempertimbangkan Ludaya, jender dan komorbiditas yang ada. Konseling secara umum harus meliputi: menghubungkan kebutuhan mengantisipasi dan mengembangkan strategi bersama pasien untuk menghadapi berbagai kesulitan memberikan intervensi yang spesifik berdasarkan fakta pasien dengen layanan yang sesuai dengan

fokus pada sumberdaya yang positif baik secara internal maupun eksternal dan berhasil mengatasi masalah maupun ketidakmampuan pasien

mempertimbangkan secara lebih luas untuk membantu pasien dalam hal lain seperti makanan, tempat tinggal, keuangan bila sesuai, libatkan dukungan lain untuk mengembangkan kemungkinan perubahan perilaku melalui lingkungan dalam layanan pengobatan maupun lingkungan luar pengobatan

3. Kelompok mutual lainnya seperti Alcoholic Anonymous, Narcotic Anonymous,, AIAnon (keluarga pengguna NAPZA) dengan menerapkan terapi 12 Langkah akan sangat membantu pasien dalam melakukan perubahan perilaku. C. Intervensi Psikososial yang Digunakan Pasien dengan NAPZA 1. Terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien ketergantungan napza. CBT terhadap pasien ketergantungan napza pasca detoksifikasi dilakukan sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali selama 2 jam didasarkan kepada social learning theories dengan analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok atau terapi perorangan. Activating Event (A) adalah suatu kejadian yang mengaktivasi, stressor yang sangat mempengaruhi individu. Baik langsung maupun tidak langsung mengenai individu. Hal tersebut sangat diyakini oleh individu (Belief, B). Karena sangat mempengaruhi pikiran individu dan keyakinan tersebut sehingga menimbulkan konsekuensi (Consequences, C), jika mempengaruhi emosionalnya maka akan timbul keluhan somatik yang selanjutnya mempengaruhi perilakunya. Keadaan tersebut akan bersifat feedback terhadap belief, atau menjadikan penguatan terhadap belief nya. Individu semakin yakin bahwa keluhan tersebut akibat dari stressor. Konsekuensi juga bisa langsung mempengaruhi perilakunya yang juga akan berakibat terjadi penguatan terhadap keyakinannya (belief). Keadaan tersebut

di atas terus menerus dirasakan oleh individu yang akhirnya mempengaruhi kinerjanya, peran sosialnya, maupun peran kesehariannya. CBT adalah melakukan pemutusan dari belief dan atau feedback yang menimbulkan konsekuinsi somatik dan perilaku atau agar supaya tidak menimbulkan penguatan terhadap keyakinannya. Juga bisa pada konsekuensi yang mempengaruhi emosionalnya, sehingga tidak menimbulkan keluhan somatik lagi. Penggunaan CBT untuk korban NAPZA adalah : Penyalahgunaan zat diperantarai proses kognitif dan tingkah laku komplek Penyalahgunaan zat dan hubungannya dengan proses kognitif perilaku adalah proses yang dipelajari Penyalahgunaan zat dan hubungannya dengan proses kognitif perilaku dapat dimofikasi, terutama dengan CBT 2. Relapse Prevention Training (RPT) RPT adalah program kendali diri yang didisain untuk meng-edukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya, bagaimana mengantisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu program psiko-edukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social leaming theory. Sebagian ahli dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah penelitian yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai suatu lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak sehat. Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat meningkatkan risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high risk ; yaitu status emosional yang negatif (35% dari sampel relaps), konflik interpersonal (16% dari sampel relaps) dan tekanan sosial (20% dari sampel).

3. Harm Reduction Program Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan akibat penggunaan zat adiktif tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan zat. Di Indonesia, pendekatan konsep harm reduction masih kontroversial karena belum dapat diterima masyarakat luas. Namun transmisi HIV/AIDS, hepatitis dan TB pulmonum di kalangan IDUs cukup memprihatinkan akhir-akhir ini. Karakteristik utama prinsip-prinsip harm reduction adalah: pragmatis (memandang sesuatu berdasarkan azas manfaatnya saja), nilai-nilai humanistik, hanya berfokus pada masalah harms, penyeimbangan pengeluaran dan keuntungan, serta memprioritaskan sasaran antara. 4. Terapi Rehabilitasi Rehabilitasi narkoba adalah prosedur yang mana seorang pecandu obat diberikan perawatan medis atau psikologis untuk menjauhkan mereka dari narkoba. Pemerintah, untuk mencegah orang dari mengkonsumsi obat sendiri telah membuat peraturan bahwa diperlukan resep dari seorang praktisi medis saja bagi orang yang akan mengambil obat, dan yang mengambil secara ilegal atau memberikannya kepada orang lain dapat dikenakan hukuman. Obat hanya perlu diberikan kepada yang memerlukan. Dalam kebanyakan kasus ketika orang mulai mengkonsumi obat karena status mentalnya, mereka akan mendapatkan perawatan psikologis Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat : Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ; Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA; Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya; Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik; Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di lingkungannya.

Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada, antara lain : a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon) Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid (heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat kuat (craving, kangen,sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat (Naltrexon HCI,) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan rindu itu. Apabila pasien menggunakan opieat lagi,ia tidak merasakan efek euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiate diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala. b. Program Metadon Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji coba di RSKO c. Program yang berorientasi psikososial Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik (kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi. Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.

Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan. Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti : Cognitivi Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training Supportive Expressive Psychotherapy Psychodrama,art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara individual

d. Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam sutu tempat. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Disini penderita dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri. e. Program yang berorientasi Sosial Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.

f. Program yang berorientasi kedisiplinan Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan. g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA Komponen pada rehabilitasi antara lain sebagai berikut: Menggunakan tenaga peer counselor (mantan pemakai yang pulih, terpilih dan terlatih) dengan 1-2 orang konselor professional. Program dapat bersifat primer atau sekunder, program berlangsung 3 bulan hingga 2 tahun dengan penekanan pada proses sosialisasi. Beberapa TC mensyaratkan pecandu terpisah sama sekali dari dunia sekitarnya. Tetapi ada juga yang tidak, terapi yang biasanya dilakukan bersifat konfrontatif. TC hampir mirip seperti asrama, dimana terdapat jadwal harian tetap dan anggotanya memelihara dan mengelola fasilitas tersebut. D. Penatalaksanaan Umum Kondisi Kegawatdaruratan Penggunaan NAPZA a. Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital b. Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akan ada interaksi dengan zat yang digunakan pasien. Apabila zat yang digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat diberikandengan dosis yang adekuat. c. Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan zat sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa (terutama dengan pasangannya). Bila pasien tidak sadar perhatikan alat alat atau barang yang ada pada pasien.

d. Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik e. Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besaran masalah penggunaan zat pasien berdasar kategori dibawah ini: Pasien dengan penggunaan zat dalam jumlah banyak dan tanda-tanda vital yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala halusinasi, waham dan kebingungan akan tetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala intoksikasi mereda. Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putus zat yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala-gejala kebingungan atau psikotik hal itu merupakan bagian dari gejala putus zat. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlihatkan gejala putus zat yang jelas tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejala kebingungan seperti pada kondisi delirium atau demensia. Dalam perjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah diterapi dengan adekuat. Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejalagejala kebingungan atau putus zat secara bermakna, tetapi menunjukkan adanya halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien menderita psikosis. E. Program Pasca Rawat (After Care) Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (After care) untuk memperkecil kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang baik mempunyai program pasca rawat ini. Program After Care juga berperan ebagai sarana transisi dari proses terapi dan rehabilitasi ke lingkungan sosial, dimana mantan pecandu tinggal bersama dibantu oleh pengawas yang berasal dari tenaga profesional, biasanya terdiri dari 20 orang pecandu dan mereka bertanggung jawab memelihara tempat tinggal

seperti belanja, memasak, membersihkan rumah, dan lain - lain. Tujuannya agar timbul rasa tanggung jawab pada mantan pecandu, disiplin dan mampu bersosialisasi dengan dunia luar. Program ini belum banyak diterapkan di Indonesia. Jenis perawatan ini cocok bagi pecandu yang tidak memperoleh banyak kemajuan selama terapi primer, bagi mereka yang tidak mendapatkan akses ke rumah sakit/pusat rehabilitasi dan bagi mereka yang belum dapat dipulangkan ke lingkungan tempat tinggalnya.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Masalah gangguan penggunaan NAPZA adalah penyakit otak yang menimbulkan dampak fisik, psikologis dan sosial. Gangguan penggunaan NAPZA tergolong sebagai penyakit kronis kambuhan, dimana untuk proses pemulihannya memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan latar belakang profesi. Tiap jenis NAPZA memberikan efek yang khas pada tubuh manusia, sehingga penatalaksanaan mediknya pun bervariasi. Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga mempunyai keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif terbatas (sebagian hanya bekerja di klinik, rumah sakit atau di tempat praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam bidang adiksi, tidak adanya jejaring rujukan yang mapan merupakan beberapa faktor penghambat. Adapun berbagai Intervensi Psikososial yang Digunakan Pasien dengan NAPZA 1. Terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) 2. Relapse Prevention Training (RPT) 3. Harm Reduction Program 4. Terapi Rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Maria T, SH. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak usia Dini. Jakarta : Badan Narkotika Nasional

Sedyaningsih, Endang Rahayu. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 422/MENKES/SK/III/2010. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA PENGGUNA NAPZA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH NURSING CARE PATIENT WITH NAPZA / HIV AIDS OLEH : Kelompok 8 RIA DESTISA PIPIT FADHILLA MONICA DWISEPTY DILA YUDITA PUTRI FILMAFARA ZANDI IBHAR SORAYA INDAH SARI 0910321008 0910322038 0910322044 0910323052 0910323076 0910323098

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2012