imunologi
TRANSCRIPT
Imunologi Vaksin
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak
akan terjadi penyakit.
Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif
adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri.
Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang
diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung
lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan
waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya
berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang
terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang transmisinya bergantung
kepada manusia, seperti misalnya penyakit difteria. Agar dapat lebih mudah memahami
mengenai proses imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu
diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh (lihat juga bab tentang
respons imun).
RESPONS IMUNDilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada
pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun
primer kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons
imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk sampai
dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila dibanding dengan respons imun
sekunder
Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi yang dibentuk
kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi, serta fase lag lebih
pendek dibanding respons imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada
respons imun primer akan cepat mengalamitransformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas selular,
sel limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel
T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori. Pada imunisasi,
respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan
pada antigen yang serupa kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan
mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan dengan memberikan
vaksinasi berulang beberapa kali.
KEBERHASILAN IMUNISASI
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun host, faktor
genetik host, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi maternal
spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian
pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa
bulan. Pada penelitian di subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta
ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio secara oral
diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan
dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.\
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi
makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA
masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons
kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih
rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih
menonjol dibanding pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa
intrauterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Vaksinasi pada
neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi
sebaiknya ditunda sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, atau menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang
menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi
kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut.
Vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan
limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun
kadar globulin-γ normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat
mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan
untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag
berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. Faktor genetik host
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap
antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen
lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor
genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC
dengan non MHC. Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal antigen
yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II.
Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat
potensi variasi respons imun. Secara klinis terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat
lebih sering pada HLA tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan
HLA-B27. Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu,
misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang terangkai dengan kromosom X yang hanya
terdapat pada anak laki-laki.
Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan respons imun
terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini
menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang
sebenarnya belum diketahui. Kualitas dan kuantitas vaksin Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung antigenesitasnya. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin
polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio
parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang
terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan,
sedangkan dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat
dapat diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan. Frekuensi pemberian
Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah
kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan
mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar
antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi
spesifik tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat
terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan
antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan
lokal. Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan
sesuai dengan hasil uji coba. Ajuvan
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap
antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan cara mempertahankan antigen
pada tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC untuk memproses antigen secara efektif
dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Jenis vaksin
Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibandingkan vaksin lainnya
seperti vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated), atau komponen dari
mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi
sehingga dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang
pengeluarannya melalui budding.Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan cara memodifikasi kondisi tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin TBC yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.
PERSYARATAN VAKSINTerdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu1) mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin,2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori,3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Provided by