implementasi nilai-nilai konsep “tritangtu sunda” …

16
Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 84 PENDAHULUAN Teater dihadapan masyarakat praktisi, apresiator atau pun penonton, tidak saja sebatas seni pertunjukan untuk hiburan. Fungsi teater memiliki makna yang lebih jauh, yakni perangkat model pendidikan dan medium upacara antara tontonan dan penonton. Di sini terjadi peristiwa yang saling terkait sebagai suatu transaksi antara penonton dan tontonan, antara aktor dan apresiator, serta antara pengamat seni dan pertunjukan itu sendiriyang disampaikan melalui komunikasi via panggung dan aktor sebagai shamanism.Mengingat fungsinya yang komplek, teater masa kiniperlu melakukan penyesuaian dan penataan- penataan lain sehingga dapat diterima pada berbagai lapis masyarakat Indonesia. Sesuai dengan perangkatnya, teater adalah sebuah bentuk pertunjukan yang multi lapis. Ia memiliki gabungan seluruh unsur seni, yang terkomposisi oleh seniman (sutradara, aktor, dan desainer-desainer lainnya) dalam satu penyatuan (unity) yang harmonis yang tidak dimiliki seni lain. Seperti disampaikan Putu Wijaya via Murgiyanto, tentang pengalaman dan pandangan “tradisi baru” dalam teater ; Interaksi antara berbagai genre seni pertunjukan dan antara seni pertunjukan IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” SEBAGAI METODELOGI PENCIPTAAN TEATERKONTEMPORER Tatang Rusmana Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang Email: [email protected] [email protected] ABSTRACT Tritangtu Sunda is a living philosophy of traditional Sundanese people including in Bandung regency. Having three important meanings of the division of the world, the three worlds are Buana Nyungcung (Upper world), Buana Larang (Underworld), and Buana Pancatengah (Middle world). The Sundanese Tritangtu is the perspec- tive of the unification of the three worlds in peasant life. The union is the marriage of Buana Nyungcung with Buana Larang, and Buana Pancatengah is the one that unites it. The concept of the Sundanese Tritangtu influences the art of Wawacan speech that is commonly displayed into the art of Beluk. Wawacan is what helped shape the collective minds of the Sundanese people. Wawacan which is the source of dissertation research is “Wawacan Nata Sukma” written anonymously by Banjaran society, Regency of Bandung in 1833 AD (19th century) during “Cultuurstelsel” to grow coffee in Pangalengan. Sunda Tritangtu will function as a method of theater- based theater of contemporary theater. This research uses Isser’s reception theory, to actualize the work in different ways. There is no single correct interpretation (Culler, 2003). George Land’s approach of transformation theory, defined as a new creation or a change to a new form both function and structure. “To transform”, creating a new, unprecedented creation, transformation can mean a change of “mindset”. The research method used Schechner (2002) and mise en scene method formulated by Patrice Pavis. Keywords: Tritangtu Sunda, Beluk, Wawacan Nata Sukma, Contemporary Theater. dengan seni rupa, film, dan sastra telah melahirkan apa yang oleh Putu disebut “tradisi baru”. Tradisi baru memungkinkan seorang seniman menciptakan karya baru dengan menggunakan tradisi sebagai sumber inspirasi. Sementara pertunjukan yang dihasilkan berbicara tentang permasalahan masyarakat Indonesia masa kini….Bagi Putu, teater modern Indonesia masa kini tak lagi hanya bertolak pada naskah dan memprioritaskan ‘dialog’, sebagaimana kita pelajari masa lalu dengan mengacu ke konvensi drama Barat. Melalui eksperimentasi dan eksplorasi yang bersungguh-sungguh terhadap idiom-idiom teater tradisi,..teater kontemporer Indonesia telah menjadi sebuah ritus yang mampu memberikan pengalaman batin dan spiritual. (via Murgiyanto, 2015: 304-305). Pandangan putu di atas mengarahkan untuk berpikir ulang dan melihat kembali bentuk dan nilai- nilai tradisi sangat dibutuhkan, agar praktisi dan akademisi teater tidak terus terjebak dalam kungkungan Barat yang selama ini masih menjadi selubung praktek teater Indonesia. Putu menjelaskan

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201784

PENDAHULUAN

Teater dihadapan masyarakat praktisi,apresiator atau pun penonton, tidak saja sebatas senipertunjukan untuk hiburan. Fungsi teater memilikimakna yang lebih jauh, yakni perangkat modelpendidikan dan medium upacara antara tontonan danpenonton. Di sini terjadi peristiwa yang saling terkaitsebagai suatu transaksi antara penonton dan tontonan,antara aktor dan apresiator, serta antara pengamatseni dan pertunjukan itu sendiriyang disampaikanmelalui komunikasi via panggung dan aktor sebagaishamanism.Mengingat fungsinya yang komplek, teatermasa kiniperlu melakukan penyesuaian dan penataan-penataan lain sehingga dapat diterima pada berbagailapis m asyarakat Indonesia. Sesuai denganperangkatnya, teater adalah sebuah bentukpertunjukan yang multi lapis. Ia memiliki gabunganseluruh unsur seni, yang terkomposisi oleh seniman(sutradara, aktor, dan desainer-desainer lainnya) dalamsatu penyatuan (unity) yang harmonis yang tidakdimiliki seni lain. Seperti disampaikan Putu Wijayavia Murgiyanto, tentang pengalaman dan pandangan“tradisi baru” dalam teater ;

Interaksi antara berbagai genre senipertunjukan dan antara seni pertunjukan

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA”SEBAGAI METODELOGI PENCIPTAAN TEATERKONTEMPORER

Tatang RusmanaFakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Email: [email protected]@gmail.com

ABSTRACT

Tritangtu Sunda is a living philosophy of traditional Sundanese people including in Bandung regency. Havingthree important meanings of the division of the world, the three worlds are Buana Nyungcung (Upper world),Buana Larang (Underworld), and Buana Pancatengah (Middle world). The Sundanese Tritangtu is the perspec-tive of the unification of the three worlds in peasant life. The union is the marriage of Buana Nyungcung withBuana Larang, and Buana Pancatengah is the one that unites it. The concept of the Sundanese Tritangtuinfluences the art of Wawacan speech that is commonly displayed into the art of Beluk. Wawacan is whathelped shape the collective minds of the Sundanese people. Wawacan which is the source of dissertationresearch is “Wawacan Nata Sukma” written anonymously by Banjaran society, Regency of Bandung in 1833AD (19th century) during “Cultuurstelsel” to grow coffee in Pangalengan. Sunda Tritangtu will function as amethod of theater- based theater of contemporary theater. This research uses Isser’s reception theory, toactualize the work in different ways. There is no single correct interpretation (Culler, 2003). George Land’sapproach of transformation theory, defined as a new creation or a change to a new form both function andstructure. “To transform”, creating a new, unprecedented creation, transformation can mean a change of“mindset”. The research method used Schechner (2002) and mise en scene method formulated by PatricePavis.

Keywords: Tritangtu Sunda, Beluk, Wawacan Nata Sukma, Contemporary Theater.

dengan seni rupa, film, dan sastra telahmelahirkan apa yang oleh Putu disebut “tradisibaru”. Tradisi baru memungkinkan seorangseniman menciptakan karya baru denganmenggunakan tradisi sebagai sumberinspirasi. Sementara pertunjukan yangdihasilkan berbicara tentang permasalahanmasyarakat Indonesia masa kini….Bagi Putu,teater modern Indonesia masa kini tak lagihanya bertolak pada naskah danmemprioritaskan ‘dialog’, sebagaimana kitapelajari masa lalu dengan mengacu ke konvensidrama Barat. Melalui eksperimentasi daneksplorasi yang bersungguh-sungguh terhadapidiom-idiom teater tradisi,..teater kontemporerIndonesia telah menjadi sebuah ritus yangmampu memberikan pengalaman batin danspiritual. (via Murgiyanto, 2015: 304-305).

Pandangan putu di atas mengarahkan untukberpikir ulang dan melihat kembali bentuk dan nilai-nilai tradisi sangat dibutuhkan, agar praktisi danakademisi teater t idak terus terjebak dalamkungkungan Barat yang selama ini masih menjadiselubung praktek teater Indonesia. Putu menjelaskan

Page 2: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 85

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

pula (via Murgiyanto, 2015: 307) bahwa teater Baratbisa menjadi salah satu referensi teater. Teater Barattelah mengajari kemampuan berbeda khususnya dalamteknologi panggung dan pengetahuan yang sesuaidengan pemahaman teater. Tetapi tidak denganpersoalan yang melatar belakangi mereka dengan in-ternal teaternya. Masyarakat kita memiliki ragambentuk teater tradisi yang tersebar di Nusantara, teatertradisi banyak memberi peluang untuk dijadikan polapanggungnya yang berkontribusi pada pembentukandan subtansi teater Indonesia baru. Sehingga untukkepentingan penciptaan teater masa kini, spirit tradisidari budaya suku-suku masyarakat nusantara yanghiterogen masih memiliki kekuatan untuk dijadikansumber gagasan,sumber ide yang akan relevan dengankondisi budaya pasca Indonesia.

Seperti halnya yang dilakukanRichardSchechner, ia tidak lagi mengikuti pandangan teaterkonvensional Barat, ia keluar dari praktek teaterkonvensional Barat. Metode Schechner memusatkanpada usaha membuat manusia saling membuka diri,dalam rangka memproduksi pementasan secaraintelektual. Schechner menemukan sebuah konsepproduksi yang terkait dengan pemahaman antar budayayaitu performing arts, dan seni rupa pertunjukan. Senirupa pertunjukan menggabungkan teater dan ritus.Perpindahan sudut pandang dari tradisional menjadiintelektual, memungkinkan untuk membentuk jalanbaru bagi terbentuknya dunia pertunjukan.

Schechner yang menentang konsep ruangdalam teater Barat. Menurutnya teater Barat miskindalam eksplorasi ruang. Struktur antara pertunjukandan penonton selalu dalam perspektif satu arah.Konsep auditorium selalu menempatkan penontondalam posisi statis. Ia melihat ruang dalam teater Baratcenderung “fixed space dan single-fokus”. Schechnermenginginkan sebuah pertunjukan eksperimentalteater kontemporer yang multi fokus dan multi media.Adegan tidak ditampilkan dari sisi muka saja, tapi jugadi belakang, samping kiri, kanan, atas bahkan bawahpenonton. Penonton dikeli lingi oleh berbagaikemungkinan.( via Suyono, 2015: 302).

Schechner mem buka banyak adeganpentasnya bagi partisipasi dan interaksi denganpenonton. Schechner sendir i mematangkangagasannya tentang environmental theater. Basisnyabisa dicari dengan mempelajari teater tradisi Asia. Iatertarik pada bagaimana tradisi-tradisi seni pertunjukandi Asia selalu melibatkan partisipasi dan interaksidengan seluruh warga desa. Bagaimana seni dan sha-manism bisa menjadi bagian integral dari masyarakat.

Ia menginginkan bagaimana teater kontemporer bisamenjadi tempat di mana aktor dan penonton bisasaling interaksi menciptakan peristiwa sosial bersama.

Dalam rangka menemukan model penciptaanteater masa kini dengan pendekatan metodepenciptaan teater yang berakar pada spirit nilai-nilaitradisi budaya masyarakat suku di Indonesia. Tulisanini berhasrat mengarahkan pandangan pembacaterhadap nilai-nilai yang terfokus pada konsep filosofitritangtu Sunda milik masyarakat petani ladang/gunung dan sawah di masa lalu di kawasan tanahSunda (Pasundan).Pada perkembangan kayakinanhidup budaya masyarakat Sunda yang sangat tua,ada tiga macam alam, menurut mitologi Kanekesseperti diungkapkan dalam cerita pantun. Ketigamacam alam dimaksud adalah; Buana Nyungcung,tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yangletaknya paling atas; Buana Panca Tengah, tempatmanusia dan mahluk lainnya berdiam; Buana Larang,yang paling bawah yaitu neraka. Antara BuanaNyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah. Dalamkepercayaan orang Kanekes, tanah atau daerah didunia ini (Buana Panca Tengah) dibedakanberdasarkan tingkatan kesuciannya. Demikian jugadalam budaya kemasyarakatan dan pemerintahan,konsep Telu Tangtu ternyata telah ada sejak zamanKerajaan Sunda. Dalam koprak 630 disebut adanyatritangtu yang dipandang sebagai peneguh dunia dandilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa,rama sebagai sumber ucap (yang benar), dan resisebagai sumber tekad (yang baik). Disampaikan olehAtja dan Saleh Danasasmita. (via Ekadjati, 2014: 67).

Selanjutnya dalam khasanah kebudayanSunda dikenal berbagai ungkapan yang menyiratkanadanya suatu pola. Ungkapan-ungkapan berulang itumisalnya ungkapan tekad, ucap, lampah; silih asih,silih asah silih asuh; resi, ratu, rama; guru, ratu, wongatuwa karo; buana nyung-cung, buana panca tengah,buana larang. Ungkapan tersebut merupakan kesatuantiga atau dikenal dengan istilah tritangtu. (Sumardjo,2014: 198). Tritangtu adalah cara berpikir masyarakattradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda,di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtuyang artinya pasti atau tentu. Masyarakat tradisionalSunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yangberpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; BataraTunggal yang terdiri dari Batara Keresa, BataraKawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalampola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakatIndonesia, karena orang Indonesia hidup dalam

Page 3: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201786

pertanian ladang. Dalam pandangan hidup orangSunda, ditegaskan bahwa orang Sunda t idakmengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatandiri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebihbesar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan darisegalanya, yang disebut dengan berbagai nama,antara lain Gusti Nu Murbeng Alam.

Gb. 1. Tabel Tritangtu Sunda.

Pembacaan tritangtu Sunda sebagai falsafahhidup masyarakat petani di tanah Sunda, berpengaruhterhadap lahirnya bentuk-bentuk seni pertunjukan yangkhas milik petani. Bentuk seni pertunjukan tersebutitu adalah Beluk1 dan Wawacan. Di tanah Sunda,beluk telah menjadi alat komunikasi masyarakatpetani ladang ataupun sawah. Biasa dilakukan ketikamusim bersawah atau berladang, kadang dilakukanuntuk memanggil di antara petani karena jarak merekaberjauhan satu dengan lainnya. Beluk ini berasal daritradisi berladang dan bersawah sebagai suatu mediakomunikasi antar petani. Teriakan yang biasa dilakukansebagai pengusir sepi atau juga memberitahukankeberadaannya di dalam hutan. Bentuk nyanyianbeluk dengan nada-nada tinggi, mengalun dan meliuk-liuk adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladangsaat berkomunikasi dengan sesama komunitasnyayang mempunyai pola tinggal menetap namun salingberjauhan. Beluk menjadi wilayah komunikasi lantunanintonasi, dengan irama yang bebas, spontan, sertalengkingan-lengkingan. Permainan tembang beluktidak beranjak dari melodi tapi intonasi lantunannya.Kegiatan bersawah mampu menciptakan dayaharmoni, dan gotong-royong dengan tembang TukangMunding2 saat ngawuluku dan ngagaru3via beluksebagai mediasi.

Gb. 2. Tukang Munding Ngagaru dan NgawulukuDi olah dari berbagai sumber, 2015.

Selanjutnya seni Wawacan, Wawacan artiharafiahnya adalah “bacaan”, keberadaan wawacan dimasyarakat Sunda bukan untuk dibaca seorang diri,tetapi dibaca untuk didengarkan oleh publiknya. Belukmerupakan seni membaca wawacan di depan publik.Di mana ada beluk, di situ tentu ada naskah wawacan,begitu disampaikan Viviane Sukanda-Tessier. Dengandemikian wawacan semacam repertoar pertunjukanbeluk (Sumardjo, 2015: 124). Wawacan yakni ceritayang ditulis dan dibacakan dalam bentuk puisi pupuh.Penyalinan wawacan bukan saja untuk kepentinganbacaan, tetapi lebih untuk “pertunjukan” yang adakaitannya dengan sistim kepercayaan lama pra-Islam(zaman Hindu) di Sunda, yakni untuk keselamatanatau kesejahteraan manusia. Wawacan adalah produkbudaya Sunda zaman Islam. Wawacan adalah hikayatyang ditulis dalam bentuk puisi tertentu yangdinamakan dangding. Dangding adalah ikatan puisiyang sudah tertentu untuk melukiskan hal-hal yangsudah tertentu pula. Dangding terdiri dari padabeberapa buah bentuk puisi yang disebut pupuh(Rosidi, 1966: 11).

Salah satu bentuk wawacan yang menjadifokus penelitian ini, yakni “Wawacan Nata Sukma”dengan alurnya yang liar, menggelitik dan metaforis.Suasananya memelas, menggemaskan, sakit,gembira dan kadangkala bergelora penuh nafsu sertapatriotik. Wawacan ini ditulis anonim oleh masyarakatsekitar Banjaran, lereng Gunung Cupu Pangalengan,di Kabupaten Bandung.”Wawacan Nata Sukma”ditulis dengan menggunakan huruf Pegon (Arab) dalambahasa Sunda, sekitar tahun 1833 M (abad ke-19)dalam masa “tanam paksa” untuk menanam kopi disekitar Pangalengan. “Wawacan Nata Sukma”kemudian ditranskripsi dari huruf Arab ke dalam hurufLatin tahun 1983 oleh Drs. Pepen MEZ. Wawacan iniberupa cerita f iksi tentang kehidupan orangpegunungan yang miskin bernama Nata Sukma.Penulisan wawacan dan penyajiannya ke dalam senibeluk pada masyarakat petani di Kabupaten Bandung,menunjukan bahwa budaya ladang dan sawah kuat

Page 4: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 87

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

berpengaruh, dan tertanam ke dalam masyarakatnyaterhadap berbagai gejala kegiatan hidup. KonsepTritangtu Sunda yang berpengaruh ke dalam Belukdan Wawacan, penulis rekonstruksi kembali untukdigunakan sebagai perangkat metode penciptaanteater. Material penciptaan teater berpijak daritransformasi Wawacan Nata Sukma, berupa teatertutur tradisional ke dalam bentuk teater masa kiniberbasis teater kontemporer dengan judul NataSukma.

KAJIAN LITERATUR DANPEGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Teori Resepsi

Teori resepsi yang digunakan berpijak padateori yang mempelajari tanggapan pembaca secaraumum terhadap teks itu pada kekiniannya (sinkronik).Teori resepsi ini menekankan pada penelitian terhadapsuatu karya kini. Teori ini dikembangkan oleh Isser.Teori resepsi Isser menekankan pada efek, kesan,dari sebuah teks yang dirasakan oleh pembaca secaralangsung. Pembaca dengan kemampuan imajinasinyaakan langsung melakukan resepsi tehadap sebuahteks dan menghubungkannya dengan realitas yangada. Rumusan Isser m emberikan kebebasansepenuhnya pada pembaca atas sebuah teks. Iamengijinkan setiap pembaca melakukan hubungansecara personal dengan teks; pembaca yang berlainanbebas untuk mengaktualisasikan karya dengan carayang berbeda. Tidak ada tafsir tunggal yang benar (viaCuller, 2003: 2-3).

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana“pembaca” memberikan makna terhadap karya sastrayang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksiatau tanggapan terhadapnya. Tanggapan sebagaipembaca terhadap sumber materi Wawacan NataSukma, yang merupakan bentuk cerita tutur milikmasyarakat pertanian di masa ‘tanam paksa’ untukmenanam kopi di Pangalengan sekitar tahun 1833 M(abad ke-19). Dari uraian alur cerita dan penokohannya,saya melihat hakikat ‘estetika perlawanan’ terhadapkaum penjajah (Belanda) ketika cerita ini ditulis. Halini sangat jelas dari tema yang terkandung di dalampenulisan naskahnya. Tergambarkan dari pergerakantokoh yang bernama Nata Sukma sebagai anak petanimiskin di kawasan pegunungan, yang selaludihadapkan dalam kondisi perang fisik hinggamelepaskan diri dari cengkraman perang. Berpijak daripembacaan itu, saya melakukan interpretasi yangbersifat aktif, yaitu bagaimana membuat rekreasihingga “merealisasikan” mata rantai kreasinya ke

dalam naskah teater yang baru. Efek dan kesanWawacan Nata Sukma dengan kandungan moralperlawanan, kaum petani pinggiran Bandung masa laluitu, saya imajinasikan langsung danmenghubungkannya dengan realitas yang ada dalamkondisi kini secara universal.

Kerja resepsi yang dilakukan telahmenghasilkan mata rantai kreasi naskah baru untukkepentingan penciptaan teater dengan judul NataSukma. Kandungan visi perlawanan yang diangkatdalam penciptaan naskah teater Nata Sukma, bukanlagi pada pendekatan penjajahan fisik atau perangfisikal secara langsung. Tetapi menekankan padaperang yang bersifat imajinatif, simbultan terhadaprealitas kondisi masa kini, yang dilatar belakangi olehrusaknya ekologi akibat pertumbuhan modernisasi danindustri kota modern, mengkritisi kebijakan sosial-politik rezim Orde baru hinga Reformasi yang tidakberpihak pada hayat hidup rakyat. Sementara untukpengkarakteran tokoh utama, masih menggunakantokoh-tokoh dari latar belakang petani. Dengandemikian, suatu karya akan punya nilai lampau danmakna kini (past significance and present meaning).Adanya fenomena ini memungkinkan kita untukmenciptakan suatu suasana penerimaan tertentuberdasarkan ideologi tertentu (Yunus, 1985: 122-123).

2.2. Transformasi Bentuk

Merujuk pada pendapat George Land tentangtransformasi. Teori transformasi adalah deskripsitentang perubahan struktur dari sebuah sistem yangasli atau natural. Selain itu tranformasi juga bisadiartikan sebagai sebuah kreasi baru atau perubahanke bentuk yang baru baik secara fungsi maupunstrukturnya. “To transform” atau mengubah, berartimengkreasikan yang baru yang belum pernah adasebelumnya dan tidak diperkirakan sebelumnya,namun transformasi juga bisa berarti perubahan “polapikir” (mindset) (Land, 1973: 25). Transformasi terdiridari beberapa tipe, antara lain transformasi geometridan transformasi morfologi, dan sebagainya.Transformasi morfologi merupakan proses perubahanbentuk yang berlangsung secara berangsur-angsursehingga dicapainya tahap paling akhir. Perubahanbentuk ini dilakukan dengan cara memberikan responterhadap unsur-unsur eksternal dan internal dari bentuktersebut, melalui teknik penggandaan yang berulang-ulang atau berlipat ganda (multiplicity). Transformasimorfologi terbagi atas tiga klasifikasi; 1). Transformasidimensional: merubah satu atau lebih dimensinyanamun masih mempertahankan bentuk dasarnya, 2).

Page 5: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201788

Transformasi substraktif (pengurangan): pengurangansebagian volume, tetap terlihat bentukan dasar masatersebut, 3). Transformasi aditif (penambahan):penambahan bentuk dasar masa tertentu denganbentuk lain, sejenis mau pun yang berlainan. Bisa jugamenjadi kombinasi tertentu (Ching, 2007:5).

Pada tahap transformasi ini, penulis mulai darikerja pemindahan teks Beluk dan Wawacan NataSukma sebagai produk tradisi tutur dari masyarakatpetani ladang. Proses transformasi telah melahirkanpenulisan baru naskah lakon teater, dari bahasa Sundadengan menggunakan bahasa Indonesia berjudul NataSukma. Secara artistik, penulis tidak menghilangkanciri beluk. Unsur tembang seperti beluk ini, adapembagiannya yang tetap dipertahankan untukmenghadirkan spirit budaya perladangan atau sawahdi tanah Sunda dalam bagian-bagian adegan. Dalamkerja proses penulisan naskah lakon, ter jadidekonstruksi penulisan dari tutur wawacan yang syaratdengan aturan-aturan Pupuh (puisi tertentu berbahasaSunda) ke dalam naskah lakon teater modern untukkepentingan penciptaan teater.

Bangunan struktur cerita, dan latar peristiwaterjadi perubahan, sebagian besar tokoh-tokoh yangdihadirkan terjadi perubahan dengan “tokoh gagasan”,kecuali tokoh utamanya tetap dipertahankan, demikianjuga untuk perkembangan latar suasana dan tempat,perubahan plot dan unsusr-unsur plot. Terjadi jugaperubahan unsur diksi yang berkembang hingga kearah diksi secara visual. Penciptaan teks baru dilaluidari sistim resepsi yang dikembangkan oleh Isser,sementara proses perubahan bentuk teks diolah daritransformasi yang di tawarkan George Land.

2.3. Teori Adaptasi

Adaptasi bisa diterjemahkan sebagai upayauntuk menyesuaikan, mengubah, dan mencocokkansebuah karya ke bentuk karya selanjutnya. Ini adalahsebuah upaya untuk menuliskan cerita yang samadari sudut pandang yang berbeda (Hutcheon,2006:7).Fenomena adaptasi secara lebih mendalamdidefinisikan ke dalam tiga pandangan yang berbeda,akan tetapi saling terkait. Ketiga pandangan tersebut,yaitu: process of transposition, process of creation,dan process of reception. Tindakan adaptasimelibatkan kerja re-interpretasi dan kemudian re-kreasi. Karya yang muncul kemudian bisa merupakanpenolakan ataupun penyelamatan tergantung dari carapandang pencipta (Hutcheon, 2006: 8).

Kerja adaptasi yang dilakukan terhadappenulisan plot dalam naskah lakon Nata Sukma, ditulis

dengan penyesuaian alur cerita terhadap kondisi kekinian. Tema “kepahlawanan” tetap dipertahankansebagai pedoman penciptaan. Karena tema“kepahlawanan” menjadi nilai intrinsik proyeksipenciptaan teater ini. Pemindahan dan penyesuaianbentuk teks baru ini dipersiapkan untuk warnapenciptaan ‘teater provokasi’. Dalam penciptaan terjadipenyesesuaian teks lampau dengan kondisi ke kinian,sebagai varian re-kreasi penciptaan naskah lakonteater Nata Sukma dengan pendekatan adaptasiHutcheon sampai kreasi perwujudan.

2.4. Teori mise en scene Patrice Pavis, Theatre atThe Crossroads of Culture (1992).

Dan Pertemuan Budaya Sumber dan BudayaTarget, terjemahan Yudiaryani (2015).

Gb.3. Skema Pertemuan Budaya Sumber danBudaya Target.

Pendekatan lain yang digunakan sebagaijembatan untuk mewujudkan konsep penciptaan,ditempuh dalam beberapa tahapan yang dirumuskanseperti yang dikemukakan oleh Patrice Pavis viaYudiaryani dalam teor i mise en scene(Yudiaryani,2015:31-35). Wilayah pertemuan konteksT sebagai mise en scene atau wilayah pertemuanantara situasi yang dikehendaki pengirim dengansituasi yang dikehendaki penerima. Teks kebudayaanmasyarakat peladang dan sawah, di tanah SundaKabupaten Bandung sub kultur Sunda. Teks berupaperspektif f ilosofi kosmik Tritangtu Sunda (tigapembagian dunia dalam penyatuan), beluk dan teatertutur wawacan Nata Sukma sebagai budaya sumber,dilakukan tranformasi ke dalam suasana sekarangsebagai budaya target (T). Rantai pertemuan budayasumber dan budaya target (T) dalam proses penciptaandigarap melalui pembentukan mise en scenepertunjukan. Tahapannya berlangsung dalam tahapansebagai berikut:

Page 6: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 89

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

1. Tahap pertama (TO), yaitu menuliskan rancangancerita lisan atau dongeng-dongeng untuk skesa-sketsa yang akan ditampilkan dan treatment dariwilayah budaya sumber seniman. ‘Teaterprovokasi’ yang akan dipentaskan berdasarkanstudi pustaka dan perumusan konsepsi masihabstrak. Bahan yang didapat pada proses iniberupa naskah tutur ‘wawacan Nata Sukma’sebagai tahapan pertama (TO), yaitu menuliskanrancangan cerita lisan atau dongeng-dongengcerita fiksi, permasalahan sosial dan lingkungansaat cerita f iksi itu hadir dan pada masaperkembangannya. Materi lainnya adalah perspektifkosmik Tritangtu Sunda, yaitu Buana Nyungcung(Dunia atas/langit), Buana Larang (Dunia bawah/bumi), dan Buana Pancatengah (Dunia tengah/manusia). Namun demikian, tahapan ini merupakansumber garapan penciptaan dan sumber budayayang akan menjadi pesan kepada penerimanya.

2. Tahap ke dua (T1) yaitu observasi artistik budayasumber. Tahap ini merupakan langkah pengamatandan pelacakan data, penulis melakukan wawancaradi wilayah budaya Sunda (Kab. Bandung) padabeberapa tokoh Sunda mengenai;a. Segala hal yang berkaian dengan beluk, teater

tutur wawacanNata Sukma dan pandangankosmologi Tritangtu Sunda yang berpengaruhdi tanah Sunda.

b. Kemudian budaya dan karakteristik manusiaSunda, sampai mendapatkan gambaran yangjelas mengenai sosok dan karakterist ikpermasalahan budaya yang sedang dihadapioleh lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

3. Tahap ke tiga (T2) merupakan perspektif seniman.Kongkretisasi dramaturgi, berpijak dari beluk dantutur wawacan Nata Sukma yang telah dilakukantransformasi, menjadi lakon Nata Sukma diolahdengan permasalahan kondisi masa kini .Diwujudkan ke dalam elemen artistik penciptaanteater kontemporer, dengan mengkolaborasikan

unsur teater tradisi dan modern serta memasukkankonsep teater lingkungan Richard Schechner.

4. Tahapan keempat (T3), merupakan stage concreti-zation, Tahapan ini penulis berusaha mendekatkanperspekti f dengan penerimanya melaluipertunjukan. Cerita atau kondisi sosial masa kini,diwujudkan dalam bentuk pertunjukan ‘teaterprovokasi’ melalui pendekatan teater tradisi denganperkembangan teater modern yang ada.Pemanggungannya akan menggunakan naskahlakon sebagai pedoman uraian verbal, ornamentasibentuk dalam lapis luar pertunjukan akan disetilirmelalui unsur-unsur permainan vokal seperti dalamBeluk, pengembangan gerak-gerak, bunyi-bunyianataupun segala hal keunikan yang terdapat dalampertemuan tradisi-modern. Panggung atau ruangpertunjukan dapat ditampilkan di teater prosceniumataupun arena.

5. Tahapan kelima (T4), merupakan receptive concreti-zation, dimana penulis melakukan uji cobapendekatan konkretisasi penciptaan elemen-elemen pertunjukan dengan penerimanya.Terjadinya pertemuan antara kreativitas modelartistik penulis dengan penonton diharapkanmampu meningkatkan kualitas estetis senipertunjukan teater.

Tahapan kerja model Pavis tersebut, dapatdigunakan untuk melakukan proses kerjapembentukan teks baru dari teks sebelumnya.Tahapan ini dapat juga digunakan dalam penciptaanteater untuk membangun kreativitas artitstiknyamelalui tahapan teknis T1, T2, dan T3. (via Yudiaryani,2015: 31-38 dan Pavis, 1992: 137-142).

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini lebih dominan pada penelitianlapangan dengan menggunakan metode kualitatif.Penelitian difokuskan pada asfek performativitas dannaratifitas (filosofi konsep tritangtu Sunda dan Beluk-Wawacan di Kabupaten Bandung). Pada dua aspekini penggalian data dilakukan untuk melakukan prosespelacakan sumber dan implementasi gagasan yangdiajukan. Pendekatan penelitian yang digunakanadalah pendekatan etnogafi dan fenomenologi. Penulisberupaya melakukan pelacakan langsung padabeberapa sumber tokoh masyarakat Sunda di Bandungdan akademisi seni, yang dipandang memahamikedudukan filosofi Tritangtu Sunda dalam fungsinyabagi kehidupan. Upaya yang dilakukan, juga dengan

Page 7: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201790

cara membaur secara lebih dekat dengan para pelakuBeluk-Wawacan , untuk menggali berbagaipengalaman, pandangan, dan bagaimana merekamemosisikan serta memaknai Beluk-Wawacan dalampemaknaan kehidupan pada masa lalu dan sekarang.Penelitian berjalan secara alami dan bersifat dialogisdengan tidak melakukan pengkondisian tempat secarakhusus. Instrumen utama penelitian yakni penulissendiri.

Fokus penelitian yang dilakukan penelitidengan menggunakan cara-cara pendekatan yang diterapkan Richard Schechner, dalam buku PerformaceStudies (2002). Menurut Schechner ada empat carayang harus di lakukan dalam penelit ian studipertunjukan, yaitu: 1). Prilaku adalah “objek studi”,2). Praktik artistik, 3). Kerja lapangan sebagaipartisipan observasi, 4). Terlibat secara aktif dalampraktik-praktik sosial dan advokasi (Schechner, 2002:1-2). Pendekatan yang dilakukan Schechner,terutama terkait pada wilayah seni pertunjukan yangberkaitan dengan upacara ritual. Ritual menurutSchechner adalah suatu cara agar orang bisamengingat sesuatu, merupakan memori-memori dalamtindakan yang disandikan ke dalam tindakan atau aksiuntuk membantu manusia dalam menghadapi transisiyang sulit, relasi yang bertentangan (ambivalen),berbagai hierarki, dan keinginan-keinginan yangmenyulitkan, melampaui atau melewati sesuatu, ataumengganggu norma-norma dalam kehidupan sehari-hari (Schechner, 2002: 45).

Ritual oleh Schechner dibagi menjadi dua jenisyaitu sakral dan sekuler. Ritual sakral yakni ritual yangberkaitan dengan cara mengekspresikan ataumelakukan kepercayaan-kepercayaan religius. Denganasumsi bahwa sistem-sistem kepercayaan religiusmelibatkan komunikasi melalui doa atau memohonbantuan kepada kekuatan-kekuatan gaib. Sedangkanritual sekuler adalah ritual-ritual yang berkaitan denganupacara kebesaran, hidup sehari-hari, dan aktivitaslain yang karakter religiusnya tidak terlalu rinci. Namun,menurut Schechner pembagian ini hanyalah palsu,karena banyak upacara kebesaran yang berkualitassama dengan suatu ritual religius, dengan memainkanperan seperti transenden dan kekhusukan (Schechner,2002: 47).

Pengembangan untuk implementasi temuanpenelitian, masih menggunakan pendekatan modelSchechner dalam buku Performace theory (2004). Iamenjelaskan struktur dasar pertunjukan terdiri atastiga tahap, yaitu: persiapan, pertunjukan, dan after-math . Tahap persiapan, yang utam a adalah

menyiapkan latihan, workshop, dan persiapan pentas.Tahap pertunjukan, adalah peristiwa melakukanpertunjukan, tahap pertunjukan terkait juga denganpenonton. Tahap aftermath, adalah kegiatan yangdilakukan setelah pertunjukan selesai. Schechnermenjelaskan juga bahwa ada lima aktivitas yangberkaitan dengan pertunjukan yaitu: play (bermain),permainan, olah raga, teater, dan ritual. Kelima aktivitasitu, oleh Schechner dikelompokan menjadi tiga, yaitu:pertama, play atau bermain, adalah aktivitas bebas,para pelaku atau orang yang terlibat dalam bermaindapat membuat aturan permainan sendiri; kedua, ritualadalah kegiatan yang diprogram secara ketat, aturandibuat untuk ditaati oleh para pelaku sesuai denganfungsinya; ketiga, permainan, olah raga, danpertunjukan kesenian yang aturannya berada di antarabermain dan ritual. ( Schechner, 2004: xviii).

Bagian terpenting dari pertunjukan (magni-tudes performance) yang mencakup narativitas,teatrikalitas, performativitas. Narativitas berkaitandengan narasi yang diungkapkan dalam pertunjukan,teatrikalitas berkaitan dengan unsur-unsur pertunjukandan teknik-teknik yang dilakukan oleh para pemaindalam pertunjukan, dan performativitas berkaitandengan penampilan atau keterampilan dari pertunjukanitu.( Schechner, 2004: 326).

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang digunakan adalah data primerdan data sekunder. Data primer adalah data yangdiperoleh dari pelacakan sumber budaya masyarakat,tentang konsep f ilosof i Tritangtu Sunda danpertunjukan Beluk-Wawacan dengan mengamatipertunjukan secara langsung. Wawancara langsungdengan masyarakat pemilik budaya, para pelaku rituspertanian, dan narasumber yang berkaitan dengansumber yang memahami filosofi Tritangtu Sunda danBeluk-Wawacan sebagai seni milik petani yangmemiliki pengaruh kuat dari konsep Tritangtu Sunda.Sementara data sekunder diperoeh dari berbagaitulisan, hasil penelitian, photo, dan rekaman audio vi-sual (vcd dan dvd) dari pertunjukan Beluk-Wawacan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. “Tritangtu Sunda” Adopsi Spirit SundaTradisi Pada Masyarakat Petani Ladang danSawah di Tanah Sunda,

Filosfi tritangtu Sunda merupakan pewarisanmasyarakat suku Sunda di masa lalu, yang tinggal didaerah pegunungan dengan kehidupan primordial

Page 8: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 91

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

kaum peladang. Sistim berladang seiring perubahanzaman kemudian bergeser masuk pada masapertanian sawah. Kegiatan bersawah dipahami sebagaihasil pewarisan produk lokal, dari tata cara kegiatanmasyarakat kaum peladang yang hidup di pegunungandalam tatanan pola tiga.

Kehidupan pola tiga semula merupakanperspektif tiga dunia kaum peladang yang antagonistiksaling bertentangan. Secara kosmologi merekamengenal t iga pembagian dunia yaitu; BuanaNyungcung (atas, langit), Buana Larang (bawah,tanah), dan Buana Pancatengah (tengah, manusia).Sehingga untuk terjalinnya daya kehidupan yangharmonis perlu adanya penyatuan antara dua duniayang paradoks (bertentangan) itu. Penyatuan tersebutyaitu perkawinan Buana Nyungcung dengan BuanaLarang, dan Buana Pancatengah- lah yangmenyatukannya. Dengan tindakan seperti ini akanterbentuk proses kesuburan, pertumbuhan dankehidupan di muka bumi.

Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada“perkawinan” antara Langit dan Bumi. Langitmencurahkan hujannya kepada tanah yang kering.Dengan demikian langit itu “basah” dan bumi “kering”.Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki.(Sumardjo, 2014: 198). Langit disebut basahmengandung makna realitas “air”, dan Bumi disebutkering mengandung makna realitas “tanah”.Selanjutnya perspektif tiga dunia dalam penyatuanmasyarakat peladang ketika bergeser ke sistimbersawah tetap terpelihara dan jadi pedoman arah hidupyang disebut Tritangtu Sunda. Tritangtu adalah caraberpikir masyarakat tradisional Sunda. Tritangtuberasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tiluartinya tiga dan tangtu artinya pasti atau tentu.Tritangtu itu artinya tiga ketentuan yang pasti.Masyarakat tradisional Sunda memaknai tritangtusebagai falsafah hidup.

Budaya sawah di tanah Sunda termasuk diKabupaten Bandung, memiliki makna yang makro tidaksaja terbatas pada kegiatan pola bercocok tanam.Budaya sawah mencakup kegiatan kesenian kaumpetani, serta kegiatan relijius mereka yang tumbuhuntuk mengagungkan dewi kehidupan. Sawahdimaknai sebagai lahan untuk mengelola danmemelihara pertanian sebagai sumber kehidupan.Sawah tatanannya terdiri dari beberapa unsur alami,yakni unsur tanah, unsur air, unsur angin dan unsurapi. Unsur-unsur tersebut seperti halnya unsur-unsurjasmaniah yang menyelubungi hidup manusia, disamping unsur rohani. Empat unsur tersebutmenyimbolkan badan manusia yang terdiri dari empat

zat dalam bahasa Arab yakni adanya narun (unsurapi ), hawa’aun (unsur angin), turobun (unsur tanah),dan ma’un (unsur air).

Mengelola sawah analog denganpendayagunaan ke empat unsur hidup tersebut, yangdilanjutkan pada proses pembibitan, penanaman benihpadi serta pemotongan padi besar ketika datangmusim panen. Pengelolaan sawah hakikatnya sebagaipelaksanaan proses perkawinan atau penyatuan antaraLangit dan Bumi yang paradoks (bertentangan).Perkawinan itu menyatu dengan ruang gerak manusiadi muka bumi menjadi daya kehidupan. Di tanahSunda, masyarakat melihat langit itu simbol dari air,basah (simbol perempuan, kesuburan), dan bumi itukering (simbol laki-laki, tanah). Sehingga untukterjadinya kesuburan di mana tanaman padi bisatumbuh, keberadaan langit dan bumi itu harusdikawinkan guna mencapai harmonisasi. Tritangtunyaitu yakni kesatuan antara langit dan bumi, yangmembentuk kehidupan, itulah harmonis hurip dalamDunia Panca Tengah (realitas manusia). Dengandemikian, keadaan dan realitas alam lingkungandisekitarnya masrakat ladang itu kemudianmembentuk cara pandang pikirannya.

Cara berpikir dalam kepercayaan masyarakatladang, bahwa suatu keberadaan hidup itu awalnyabersifat dualistik. Semua hal yang dualistik tersebutsaling bertentangan satu sama lain, saling beroposisi.Oleh karena saling bertentangan, kemungkinan konflikyang berujung kemusnahan bisa terjadi. Sehinggauntuk i tu, diperlukan medium yangmengharmonisasikan keduanya. Harmoni itumerupakan integrasi antara dua alamat dualistik,sehingga memunculkan “alamat yang ketiga”. Dengandemikian, pemikiran dualistik menjelma menjadipemikiran tritunggal.

Tritangtu yang masih konteks dalammasyarakat Sunda saat ini, lazim kita mendengarungkapan silih asih, silih asah, silih asuh. MenurutSumardjo, umumnya pemahaman tritangtu modern iniberlaku untuk aspek kesatuannya, dan bukanpembedaannya. Semua manusia Sunda harussalingasih, saling asah, dan saling asuh. Setiap or-ang harus memiliki sikap tritangtu ini, supaya hidupdi tanah Sunda ini menjadi aman, damai, dansejahtera.Silih asih, silih asah, dan silih asuh ini samahalnya dengan tekad, ucap, lampah yang ada dalamdiri manusia. Tekad, ucap, lampah sendiri ada dalamUpanishad yang diucapkan oleh guru bijaksanaYajnavalkya; seseorang memutuskan sesuatuberdasarkan keinginannya, bertindak berdasarkankeputusannya itu, dan berubah menjadi sesuatu

Page 9: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201792

berdasarkan tindakannya itu. Pada awalnya yangmuncul adalah kehendak, keresa. Kehendak ininantinya akan menuntut suatu tindakan. Untuk sampaipada tahap tindakan, diperlukan suatu tahap lagi, yaitupikiran. Dalam hal ini, pikiran merupakan jembatanpenghubung antara kehendak dan tindakan. Dalamtahapan ini, suatu kehendak akan diproses untukmencari jalan bagaimana bentuk perwujudannya dalamperbuatan.

Kehendak, pikiran, tindakan sama dengantekad, ucap, lampah. Pemaknaan tekad sebagaikeinginan, niat, hati nurani, atau cita-cita yang munculdari kedalaman hati nurani manusia. Kontradiksi tekadadalah lampah, perbuatan, kekuatan, tenaga. Antarakeinginan dan pelaksanaan keinginan itu dihubungkanoleh pikiran yang menghasilkan keputusan. MenurutSumardjo, tritangtu i tu ada apabila manusiamemutuskan sesuatu berdasarkan keinginannya danmelaksanakan keputusan itu dalam perbuatan ataulampah. Perbuatan atau lampah itulah yang mengubahmanusia. Dengan demikian, perubahan dalam asastritangtu adalah bersatu padunya antara tekad, ucap,dan lampah.

Konsep tritangtu ini diungkapan juga olehEkadjati (2009:138) sistem pemerintahan kerajaanSunda pada masa lalu juga didasarkan pada konseptiga ini yang disebut Tri Tangtu di Bwana atau TriTangtu di Bumi (Tiga Unsur Penentu Kehidupan diDunia). Menurut konsep ini, ada tiga unsur yangmenjadi penentu kehidupan manusia di dunia, adalahprebu, rama, dan resi. Tiap-tiap unsur memiliki fungsidan tugas masing-masing, tetapi secara keseluruhanmerupakan kesatuan yang bulat yang mencakupseluruh aspek kehidupan negara danmanusia.Pandangan tritangtu sebagai jati diri manusiSunda ini disampaikan juga, Hendayana (2003)menyebutkan adanya tiga aspek yang dapat dijadikantolok ukur terhadap jati diri orang Sunda. Ketiga aspektersebut adalah pola pikir, pola sikap, dan pola tindak.Hendayana (2005) menyebutkan bahwa indikasiapakah orang (Sunda) masih berjati diri Sunda atautidak bisa dilihat dari penerapan ketiga aspek tersebutdalam kehidupan kesehariannya.

PenerapanTritangtu Sunda

Dalam masyarakat Sunda, tritangtu diterapkandalam sejumlah hal, antara lain:1. Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi

sekaligus yakni; pukul, potong, dan tusuk2. Kampung Sunda, yakni; pemilik, pelaksana, dan

penjaga.

3. Rumah adat Sunda yang terdiri dari; ruang tengah,ruang belakang, dan ruang depan.

4. Boboko atau wadah nasi yang dibuat dari jalinanbambu yang memilki tiga bentuk yakni bundar, segidelapan, dan bujur sangkar.

PemikiranTritangtu Sunda

Tritangtu juga diterapkan dalam pemikiranmasyarakat tradisional Sunda, antara lain:1. Silih asah, silih asuh, silih asih2. Tekad, ucap, lampah3. Naluri, nurani, nalar4. Leuweung larangan, leuweung tutupan, dan

leuweung garapan.5. Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah6. Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan

tanaman dan manusia yang memungkinkan itu,dengan mengawinkan langit dan bumi.

Kembali pada pemahaman budaya petaniandi tanah Sunda, termasuk di Kabupaten Bandung yangbanyak melahirkan proses seni pertunjukan. Salahsatu bentuk kesenian yang lahir dari tata cara pertanianmasyarakatSunda seperti telah disampaikan di awaladalah seni Beluk dan pembacaan seni tuturWawacan. Prosesi seni ini terhubung dengan tata carakeyakinan masyarakat petani, dengan pandanganf i losof i kosmik tr itangtu orang Sunda untukmenghormati dewi padi (pada masa Hindu hingga abadke-16) ketika mereka masih berladang (berhuma).Proses seni ini dilanjutkan pada periode bersawahketika Islam masuk (abad ke-17), dan menjadi agamaanutan yang imanen pada masyarakat petani. SeniBeluk yang merupakan bentuk permainan lengkingan-lengkingan vokal masyarakat petani tetap terpelihara,menyesuaikan dengan ke Islaman para petani diBandung. SeniBeluk tetap ditembangkan selama adalahan pertanian sawah, dan ada Tukang Munding yangmelakukan kerja ngawuluku dan ngagaru di antarapetakan sawah. Beluk sebagai kesenian rakyat, tetaptertanam ketika masyarakat masih guyub melakukankegiatan tani.

Sejak pemerintahan Orba (Orde baru) hinggaReformasi sekarang, yang terlalu terbuka terhadapinvestor, bahkan investor asing pengembangindustrialisasi di area pertanian produktif. Pengaruhindustrialisasi makin jelas terlihat pada perubahan danpengembangan tata ruang permukiman, ruangpertanian produktif, dan ruang hutan lindung areaserapan air. Bandung dewasa ini berubah menjadi tataruang kota modern, diikuti hadirnya pusat-pusatperbelanjaan modern (mall, swalayan, dan super mar-

Page 10: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 93

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

ket berbagai nama). pasar induk dan pasar tradisionalyang tetap hidup, show room-show room besarkendaraan bermotor merk negara luar, dan hadirnyapabrik-pabrik dalam skala besar, yang secara sadartelah mengubah sebagian pola pikir masyarakat darimasyarakat agraris ke masyarakat industri.

Perubahan tata ruang memicu rusaknyaekologi, pencemaran lingkungan-hidup, denganlimbah-libah industri, limbah pusat perbelanjaan danlimbah yang lainnya. Terjadi pula deforestasi hutanlindung yang tidak terkontrol di Bandung wilayah Utaradan Selatan. Masalah pencemaran lingkungan hidupdi Bandung, tidak pernah tuntas diatasi dan kurangdiperdulikan oleh pemerintahan dan masyarakat.Perubahan tata ruang telah membuat sebagianmasyarakat kurang produktif, pelaku produksi(pertanian) termasuk buruh tani, berpindah profesimenjadi buruh-buruh (pabrik) yang tidak diikuti denganketerampilan teknis.

Namun demikian, tidak semua masyarakatBandung meninggalkan sepenuhnya tatakramabudaya sawah yang kolektif dan guyub. Meskipundihadapkan dengan kondisi ekologi yang tercemar, dipinggiran Bandung yakni di Kabupaten Bandungwilayah Selatan, sampai sekarang budaya sawahmasih terpelihara dalam bentuk pembacaan seni tuturwawacan yang disajikan dalam bentuk beluk.Pembacaan wawacan ini biasanya dikaitkan dengantujuan hajatan untuk mendapat keberkahan dankeselamatan.

Pewarisan Tritangtu sepiritnya berpengaruhpada seni wawacan sebagai seni sastra yangdibacakan dan ditembangkan. Wawacan banyakberkembang pada masyarakat petani di KabupatenBandung. Wawacan merupakan gambaran masyarakatseluruh Kabupaten Bandung di lingkungankaum petani(rakyat) yang relijius. Masyarakat Sunda termasuk diKabupaten Bandung sejak abad ke-17, setelahmemeluk agama Islam dapat disimak dari wawacan-nya. Wawacan inilah yang ikut membentuk pikirankolektif masyarakat Sunda dalam hubungannyadengan agama Islam.

Kebudayaan Sunda dalam arti sistim nilai,merupakan cerminan dunia batin orang Sunda yangmengakar di masa lampau dan diwariskan dalam tradisiyang hidup sampai hari ini. Tradisi naskah yang terushidup di masyarakat Sunda adalah tradisi huruf danbahasa Sunda (baru), yang mulai muncul dalam abadke 17-18 yang berhuruf Pegon (Arab). Periode inimuncul bersama dengan aktivitas pengislaman Sunda,ditandai dengan sebagian besar naskah rakyat yang

berhuruf Pegon dan bahasa Sunda (baru) sepertidisampaikan Ajip Rosidi dalam bukunya NgalanglangKasusastran Sunda menjelaskan;

dalam feodalisme kaum bangsawan dan kaumulama itu saling mempengaruhi, salingsokong, dan saling bantu hidup bersama.Kalau kaum feodal priayi/menak memegangkekuasaan pemerintahan, kaum ulamamemegang superioritas spiritual. Keduanyasecara intensif mengamalkan sistim yangdidasarkan pada falsafah “guru, ratu, keduaorang tua” (via Sumardjo, 2015: 123).

Inilah sebabnya, dalam banyak wawacan yangmuncul pada masa abad ke-17 dan 18 itu, banyakanak-anak rakyat dikirim orang tua mereka untukberguru di pesantren. Azas tritangtu tetap hidup dalammasyarakat dengan filsafat guru, ratu, dan keduaorang tua, atau dalam bahasa modern, ulama, bupati,dan kedua orang tua. Tidak heran apabila naskahrakyat ini banyak ditulis dalam huruf Pegon dalamtradisi “ulama” di pesantren. Filsafat guru, ratu, dankedua orang tua, ini cocok dan menghunjam dalamunsur sinkronik budaya Sunda sendiri. Azas tripartittentang pembagian tiga dunia sebagai satu kesatuanyang sudah tua usianya itu dalam masyarakat huma4.Azas tangtu tilu atau tritangtu Sunda di buana yangterdiri dari keresian, karatuan, dan keramaan (resi,ratu, rama) adalah akar dari guru, ratu, dan kedua or-ang tua.

Wawacan lazim disajikan ke dalam beluk.Seni beluk ini telah menjadi ornamentasi dan mediasiyang tak bisa dipisahkan dari pertunjukan wawacanitu sendiri. Seorang pemain beluk harus kuat dalammemainkan suara keras panjang. Pertunjukan Beluk

Gb.4. Beluk Wawacan selamatan 40 hari lahiranbayi Banjaran Kab. Bandung, di olah dari berbagai

sumber 2013.

Page 11: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201794

dilakukan oleh 4 orang atau lebih, satu orang bertugassebagai pembaca kalimat-kalimat dari wawacan,kemudian juru Ilo5 yang menyanyikan dari bacaantersebut dengan lagu pupuh satu persatu (kinanti,sinom, asmarandana, dan dangdanggula).

Wawacan merupakan teater tutur denganmenggunakan unsur cerita yang dibaca danditembangkan. Pemain menggunakan kostumsederhana, memakai baju kampret atau takwa, sarungatau celana panjang, kopeah atau iket, karena ceritawawacanpanjang biasa pemain membawa naskahwawacan. Pertunjukan yang menarik adalah daripermainan beluk, ketika bacaannya yang selalu diulangjuru ilo dengan ditembangkan ke dalam suara yangkeras dan panjang.

Gb. 5. Pentas Wawacan disajikan denganornamentasi Beluk

Diolah dari berbagai sumber, 2013.

Pembaca wawacan bukanlah penyanyi,melainkan seorang juru baca yang biasa disebuttukang atau juru-ilo yang membacakan baris-perbaris(padalisan) tanpa melagukannya. Baris-baris itulahyang “disambar” (disebut dibeli) oleh penyanyi beluk,dengan lantunan melodi yang sesuai denganpupuhnya. Juru ilo dan juru beluk bergantian membacadan menyanyi tiap baris. Akan tetapi, si penyanyisering tidak menunggu bait selesai dibacakan, iamenyambarnya pada tengah bait, mungkin karena iamerasa telah hafal, atau karena ia akan bisamendengar setengahnya lagi sambil menyanyi. Olehkarena itu, biasa terjadi kesalahan interpretasi. Ketikakesalahan itu terjadi, tidaklah menjadi penilaianpendengar bahwa ia penyanyi beluk yang jelek.Bahkan, hal itu bisa menciptakan keceriaan tersendiriyang membuat pendengar tertawa-tawa.

4.2. Penerapan Konsep Tritangtu Sunda (sebagaimetode) dalam Penciptaan Teater(penyutradaraan dan desain artistik)

Penerapan konsep Tritangtu Sunda sebagaihasil yang dicapai dapat diuraikan dalam beberapatahapan temuan, hasilnya berupa; pedekatan modelpenyutradaraan, konsep desain artistik, konsepstruktur penulisan naskah teater, dan perwujudan aktingvisual keaktoran. Konsep filosofi Tritangtu Sunda,diposisikan dan difungsikan sebagai perangkatpendekatan metode penyutradaraan, untuk penciptaanseni teater masa kini berbasis teater kontemporer.Arsipatoris budaya sumber sebagai materi literatureuntuk penunjang gagasan penciptaan, yang dimulaidari kerja pemindahan teks lisan Beluk dan tuturwawacan Nata Sukama menjadi naskah teater denganjudul Nata Sukma yang peniliti tulis secara langsung.

Gb.6. Tabel Penulisan Teks Naskah TeaterNata Sukma

Hasil penelitian yang berkembang dari konseptritangtu Sunda terhadap pembentukkan rancanganke aktoran, dan rancangan teknik penataan modelartistik yang melingkupi desain-desain pemanggungandapat diurai sebagai berikut;1. Dunia Atas atau yang disebut Buana Nyungcung

(atas), ruang ini cenderung menunjukan duniametafisik, tempatnya: Tuhan, Roh, Dewa. Padaruang ini dalam pandangan kosmologi Sunda dimaknai sebagai tempat: Penciptaan, Asal-usul,Kasih, Kejahatan, dan Godaan. Sementarapendekatan laku peran atau akting/visual dapatmeliputi: Tubuh Kosmik, Trance, dan Sakral.

2. Dunia Tengah atau yang disebut BuanaPancatengah (tengah), ruang ini cenderungmenempatkan dunia halus, posisi keberadaan:

Page 12: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 95

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Raja, Pemimpin, Ksatria. Pada bagian ruang ini,persoalan yang dibangun cenderung pada soal-soalnormatif: Kekuasaan, Ambisi, dan Sikap pemimpin.Tata pemeranan yang harus dibangun aktormengesankan akting/visual: Stilisasi, TerukurIndah, dan Matang.

3. Dunia Bawah atau yang disebut Buana Larang(bawah), pada bagian ruang ini menempatkantatanan dunia kasar, bagian posisi: Orang-orangBiasa, Rakyat, Siluman, Demon . Masalah yangdibangun cenderung pada soal-soal keseharianmenunjukkan: Rasa Senang, Susah, Sakit, Hu-mor, percobaan. Ruang akting dan visual yangharus dibangun aktor menunjukan: Fisikal, Distorsi,Stilisasi, Mentah, dan Bebas.

Desain yang tertuang dalam gambar di bawahini melingkupi pembagian ruang pada pola lantai atauploorplan pemanggungan penciptaan teater yangpeneliti sebut sebagai ‘teater provokasi’. Pembagianruang panggung diurai sebagai berikut : BuanaNyungcung (Dunia Atas) berada pada Up Stage, BuanaLarang (Dunia Bawah) berada pada Down Stage, danBuana Pancatengah (Dunia Tengah) berada pada Cen-ter Stage. Pembagian ploorplan untuk panggungproscenium dapat dilihat seperti gambar tabel dibawah.

Gb.7. Tabel Ploorplan Desain PanggungProscenium.

Selanjutnya denah pembagian ruang dari hasilpenelitian konsep filosofi tritangtu Sunda, dapat jugadipetakan untuk desain ploorplan panggung arena tapalkuda. Pada pembagian ruang panggung Arena TapalKuda, ruang mulai menunjukan kearah persepektifmuti fokus. Di mana pandangan audience dapat terbagidari tiga arah sudut pandang, dengan perspektif

panggung memungkinkan untuk terjadi transaksisaling terkait antar tontonan dengan penonton, antaraaktor dan apresiator, antara pertunjukan danmasyarakat. Sangat memungkinkan untuk terjaditransaksi saling terkait antara aktor, penonton danmasyarakat ataupun sebaliknya. Pembagian ruangnyaseperti tergambar pada uraian di bawah ini;

Gb.8. Tabel Ploorplan Desain Panggung Arena TapalKuda.

4.3. Penerapan Konsep Tritangtu Sunda (sebagaimetode) dalam Pengembangan Aktor

Teater adalah seni tampilan, sehinggakehadiran manusia menjadi media langsung yangmenghidupkan keberadaannya. Ini yang membedakanteater dengan seni lainnya. Manusia dalam seni teaterhadir sebagai medium, memiliki fungsi yang komplekuntuk terbentuknya penciptaan teater. Itulah sebabnyateater cenderung dipandang sebagai salah satucabang seni yang bersifat kolektif . Brockettmenyebutkan “no approach has greater potential thantheatre, since humanity is its subject and human be-ings is its primary medium” (Brockett,1988: 16). Tidakada pendekatan yang memiliki potensi lebih besar dariteater, karena manusia merupakan pokok bahasannyadan manusia adalah media utamanya. Ungkapantersebut lazim terjadi pada perkembangan teater mod-ern, baik yang terjadi di Barat ataupun pada teaterIndonesia masa kini. Teater pada intinya terletak padapertemuan antara manusia dan manusia. Mediumteater sebenarnya ada pada aktor yang dalam hal inimanusianya, “...media dalam seni peran adalah diri sipemeran itu sendiri. Pada tubuh pemeran seperti jugamanusia lainnya adalah tubuh dan sukmanya” (Anirun,2002: 61).

Page 13: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201796

Persiapan tubuh dan sukma para pemaindalam penciptaan teater ini, dilalui dengan serangkaianlatihan yang berkaitan dengan penciptaan naskahlakon teater Nata Sukma. Latihan-latihan yangdimaksud berupa observasi dan eksplorasi lingkungan,yang diterapkan kepada para pemain dalam halMengenal tubuh lingkungan. Para pemain penuliskenalkan pada pengenalan ‘tubuh desa’ yang masihalami, belum terkontaminasi dengan pengaruhmodernisme. Proses pengenalan ini sekaligusdihadapkan dengan kondisi ‘kontaminasi lingkungan’,sebagai dampak dari pengaruh budaya industrialisasi.

Observasi dan ekplorasi sistim latihan, dilaluidengan serangkaian pengamatan pada prilakukehidupan budaya tani, melatih ingatan emosi pemainterhadap ingatan masa lalu tempat kelahirannya,melalui pemahaman literasi lewat arsip-arsip audio-visual seni pertunjukan masyarakat pertanian Sunda.Bahkan dilakukan juga serangkaian pendekatan gejala-gejala prilaku psikologi tubuh dari kecenderunganmasyarakat urban perkotaaan akibat modernisme danindustrialisasi.

Pengamatan para pemain terhadap ‘tubuhdesa’ dan ‘kontaminasi l ingkungan’, termasukpengamatan kondisi prilaku masyarakat pertanianketika berhadapan dengan cara mereka mengolahladang ataupun sawah. Cara mereka melakukaninteraksi sosial ketika berlangsungnya prosesberladang dan sawah, serta prilaku relijius ketikamereka melakukan upacara-upacara pertanian.Sementara ‘kontam inasi l ingkungan’, lebihmenekankan pada kecenderungan sosial-psikologisprilaku manusia-manusia yang hidup dalam tatananmodernism. Dari pengamatan tersebut, kemudiandiserap dan ditransformasi pada sistim latihankeaktoran untuk mempertajam kepekaan tubuh aktor.Sehingga aktor ketika membawakan peranannyadalam penciptaan teater Nata Sukma, akan lebihmampu menggunakan talenta tubuh dan sukmanya,yang telah terisi dengan upaya pendekatan emosisosial baik secara fisik maupun psikologis masyarakatpetani dan kontaminasi.

Implementasi Tritangtu Sunda yang tertanampada seni Beluk, ini mampu diterapkan ke dalamsistim latihan olah vocal untuk keaktoran. Pelatihanaktor secara teknis bisa menggunakan carapelantunan hurup-hurup hidup yang terungkap dariwarna vokal yang digunakan dalam teriakan-teriakanatau lengkingan Beluk. Hurup hidup dalam Beluk,cenderung dominasi pada tiga hurup hidup yakni; “(a-A)”, “(e-E)”, “(i-I)” dan “(e’-E’)”. Lantunan permainan

vokal dengan irama bebas dalam Beluk, sangatmemungkinkan untuk eksplorasi pelatihan vocal aktor.Beluk menggunakan juga sistem pernafasanDiafrahma, dengan beberapa penekanan pada vocaltenggorokan dan Head Voice untuk suara-suara yangmembutuhkan lengkingan yang tinggi.

Sebagai sebuah gagasan, penciptaanmerupakan hibriditas unsur seni yang dimiliki teaterrakyat Jawa Barat, dengan perkembangan teater mod-ern ke kinian di Indonesia. Hibriditas unsur-unsur senitersebut, penulis mengolahnya ke dalam komposisiantara varian seni Beluk, Tarawangsa, Angklung, danWayang Golek, yang diolah ke dalam pembaurandengan seni visual multimedia masa kini. Dari unsuryang dimilikinya, dilakukan kolaborasi untuk melihatsisi persamaan dan keunikan. Pada tahapan inidilakukan seleksi material dan non material, yangmemiliki kemungkinan untuk dilakukan rekayasa,distorsi, dan stilisasi guna menemukan kekuatanteatrikalitas yang mampu memberi peluang penciptaanbentuk ‘teater baru’.

Dalam pemilahan material terutama difokuskanpada usaha menemukan model artistik, denganberpijak pada filosofi tritangtu Sunda guna penciptaanteater yang penulis ciptakan. Perwujudan penciptaan,berhasrat melakukan gabungan antara performing arts,seni rupa pertunjukan, sastra, dan ritual. HasratPenciptaan terfokus pada mimpi-mimpi manusia kelasbawah yang mengalami tingkat pemiskinan dantermaginalisasi dari kehidupan. Mereka mendapatbenturan dengan sosio budayanya, lingkungan,dengan dirinya sendiri, untuk merebut hidup, untuk‘menemukan hakikat hidup, dan jati diri dalamkehidupan’.

Konsep kerja penciptaan terfokus pada prosespenyutradaraan, dilalui dengan tahapan peristiwa yangdialami tokoh, perjalanan tokoh berhadapan dengandilema moral pada situasi Buana Pancatengah (Duniatengah/manusia). Pada tahap ini tokoh dihadapkandengan goncangan pikiran dan goncangan bathin,perasaan nasibnya yang marginal dan tersingkir,kehancuran diri dari konteks sosialnya. Tokohkemudian melakukan pergerakan horizontal untukmenemukan Buana Nyungcung (Dunia atas/langit).Pada tahap ini tokoh dihadapkan dengan rongrongandan gangguan dari kekuatan Buana Nyungcung (Duniaatas), sebagai suatu godaan, serta kejahatan yangmenggocang bathin dan pikiran. Gangguan atau chaostokoh (Dunia tengah/manusia) yang berhadapandengan serangan Dunia bawah, termasuk kegelapannafsu manusia, memaksa situasi peristiwa si tokoh

Page 14: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 97

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

untuk menemukan realitas Buana Nyungcung (Duniaatas) yang sebenarnya. Realitas tokoh menemukansublime dirinya setelah menemukan BuanaNyungcung. Pada tahap perjalanan vertikal tokohmeminta dan mengundang bantuan Langit, agar‘Cahaya Langit’ mengiringinya di Buana Pancatengah(tengah/manusia) melawan kejahatan pikiran yangditimbulkan ‘nafsu manusia kekuasaan’ sebagairealitas Buana Larang (Dunia bawah). Inilah yangpenulis maksudkan dengan penciptaan ‘teaterprovokasi’ sekarang.

SIMPULAN

Konsep fi losofi Tritangtu Sunda, adalahfalsafah hidup milik masyarakat pola tiga yang hidupberladang di jajaran barisan pegunungan di tanahSunda/Pasundan. Falsafah inidiyakini sebagaipedoman hidup pada masyarakat Pasundan termasukdi Kabupaten Bandung dan Bandung secara umum.Meskipun dalam perkembangan manusianyamengenal cara bersawah hingga hari ini, namunmereka tidak serta merta meninggalkan pedomanhidup Tritangtu tersebut. Pewarisan konsep filosofitritangtu Sunda, baik yang diyakini dan dilakukanmasyarakat gunung ataupun sawah, banyakmelahirkan prosesi-prosesi seni pertunjukan ritual yangkhas milik petani yang relijius pada masyarakatPasundan/Sunda secara umum. Demikian hal-nyadengan yang terjadi pada masyarakat Bandung sub-cultur Sunda, mereka juga memiliki seni pertunjukanyang khas seperti Beluk-Wawacan yang berpedomanpada konsep Tritangtu Sunda. Keberadaan Beluk-Wawacan hingga kini, merupakan identitas seniprtunjukan milik petani baik yang hidup di ladangataupun sawah di tanah Sunda.

Konsep fi losofi tritangtu Sunda dalampenelitian ini, penulis fungsikan sebagai perangkatmodel pendekatan untuk penciptaan teater, terutamadalam merancang desain-desain penyutradaraan,keaktoran, desain-desain artistik, dan sekaliguspembuatan konsep naskah teaternya. Penciptaannaskah teater dilakukan dengan adopsi seni tuturWawacan Nata Sukma, yang kemudian penulispindahkan wujud teks-nya menjadi naskah teaterdengan judul Nata Sukma. Proses pemindahan teks,berpijak pada pendekatan resepsi, transformasi, danadaptasi. Di mana teks di tafsir kearah bentukpenulisan yang lebih merdeka, disesuaikan dengankondisi kontaminasi lingkungan akibat hadirnyaindustri dalam skala besar dilingkungan masyarakatKabupaten Bandung dan Bandung secara luas.

Pokok masalah penelitian ini sebenarnyadalam rangka mengangakat kembali nilai-nilai filosofiTritangtu Sunda, untuk dijadikan dan difungsikansebagai perangkat model metode penciptaan teaterkontemporer. Sehingga kerja penelitian disertasi yangsekarang dilaksanakan, lebih terfokus pada pelacakan,pengamatan, dan arsipatoris material data-data senimilik petani terutama Beluk dan wawacan dalamrangka pembentukan metode penciptaan teater.Proses kerja ini di imbangi dengan beberapapendekatan teoritis sumber pustaka penunjang, baikyang bersifat literature ataupun visual dari karya-karyaseniman terdahulu yang pernah melakukanpenciptaan dengan pendekatan spirit budaya tani dankontaminasi lingkungan.

Catatan Akhir:1 Beluk merupakan salah satu jenis (genre)

nyanyian yang terdapat dalam budaya Sunda.Karakteristik teknik nyanyiannya, elak-eluk (berkelok-kelok) atau yang guak-gaok, gagaokan (berteriakmelengking-lengking). Kata beluk berasal dari kata “ba” dan “ aluk”. “Ba” artinya besar dan “aluk” artinya‘gorowok’ atau dalam bahasa Indonesia ‘berteriak’.Berbeda dengan “nembang” atau seni suara yanglainnya, kesenian Beluk tidak ‘menembangkan’ ataumenyanyikan syair yang digunakan, tetapi hanyamembaca dengan memainkan tinggi-rendahnyafrekuensi suara. Seni Beluk merupakan sajian sekarberirama bebas dengan ornamen surupan(nada dasar)tinggi melengking.

2 Sunda; orang yang biasa bekerja di sawah dibelakang bajak yang ditarik kerbau.

3 Sunda; orang yang bekerja di sawah dibelakang bajak dengan menggunakan wuluku untukmembalikkan tanah dan ngagaru untuk meratakantanah dengan garu yang ditarik kerbau

4 Sunda; masyarakat petani ladang di daerahpegunungan.

5 Pertunjukan beluk wawacan di bawakan oleh1.Tukang Ngilo, berperan membaca syair wawacan,syair demi syair dalam tempo sedang dengan artikulasiyang jelas, 2.Tukang Ngajual, berperan untukmengulang syair wawacan yang dibacakan olehTukang Ngilo, 3.Tukang Meuli, berperan untukmelanjutkan syair wawacan yang dibacakan olehTukang Ngajual dengan tambahan ornamen-ornamen,4.Tukang Naekeun, berperan untuk melanjutkan syairwawacan yang dibacakan oleh Tukang Meuli, denganimprovisasi suara melengking dan meliuk-liuk disertaidengan ornamentasi yang lengkap, sehingga artikulasi

Page 15: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 201798

syair yang disajikan Tukang meuli agar terdengarsayup-sayup.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2001), StrukturalismeLévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra,Galang Press, Yogyakarta.

Anirun, Suyatna. (2002), Menjadi Sutradara, STSIPress Bandung. Studiklub Teater Bandungbekejasama dengan PUSLITMAS STSIBandung

Brockett, Oscar. (1999). History of the Theatre.London,Allyn and Bacon Comp.

Brockett, Oscar G. (1988), The Essential Theatre,Fourth Edition, Holt, Rinehart and Win-ston, Inc, USA.

Ching, Francis D. K. (2007), Architecture; Form,Space, and Order, New Jersey: John Wiley& Sons, Inc.

Culler, Jonathan, (2003), Barthes, terj. Ruslani,Yogyakarta: Penerbit Jendela

Damono, Sapardi Djoko. (2012), Alih Wahana, EdisiRevisi Pertama 2012, Editum

Djelantik, A.A.M. (2002), Estetika Sebuah Pengantar,MSPI. Bekerjasama dengan kuBuku,Bandung.

Ekadjati, Edi S, (2014), Kebudayaan Sunda, SuatuPendekatan Sejarah, PT Dunia PustakaJaya, Bandung.

Hays, K. Michael. (1998), Architecture Theory-Since1968, Massachusetts, USA: Colombia Bookof Architecture.

Holt, Claire. (2000), Melacak Jejak PerkembanganSeni Di Indonesia. Bandung: arti.line.

Husein, Fathul A. (2017), Teater Payung Hitam DanTransgresi Kuasa Tubuh, dalam KumpulanMakalah Diskusi “Tubuh TeaterTubuh” Peringatan 34 Tahun Teater PayungHitam, Bandung.

Hutcheon, Linda. (2006), A Theory of Adaptation, Lon-don and New York: Routledge Taylor&Francis Group.

Isser, Wolfgang, (1978), The Act of Reading; A Theoryof Aesthetic Response, London: The JohnsHopkins University Press.

Kernoddle George.R. (1967). Invitation of the Theatre,Harcourt, Brace & World, Inc, USA.

K.M, Saini. (2002), Kaleidoskop Teater Indonesia.STSI Press Bandung, Lembaga PenerbitanPUSLITMAS STSI Bandung.

____________. (2000), “Teater Indonesia, SebuahPerjalanan dalam Multikulturalisme”.Dalam Nur Sahid (ed.). Interkulturalismedalam Teater. Yogyakata: Yayasan UntukIndonesia (YUI).

____________ . (1988), Teater Indonesia danBeberapa Masalahnya. Bandung: BinaCipta.

Land, George, (1973), Grow or Die; The Unifying Prin-ciple of Transformation, New York, USA:Random House.

Mitter, Shomi t. (2002), Stanislavsky, Brecht,Grotowski, Brooks. Sistim Pelatihan Lakon,Terjemahan; Yudiaryani, Diterbitkan atasKerjasama MSPI dan arti, Yogyakarta.

Murgiyanto, Sal. (2016), Pertunjukan Budaya dan AkalSehat, Fakultas Seni Pertunjukan-InstitutKesenian Jakarta (IKJ), Kerjasama denganSENREPITA, Yogyakarta.

Nalan, Arthur S. (1998), Mencipta Teater, SebuahPengantar Memahami Teater dan AntalogiNaskah Lakon , CV. Geger Sunten,Bandung.

Nalan, Arthur S. (2006), Teater Egaliter. Bandung.Sunan Ambu Press.

Pavis, Patrice. (1992), Theatre at the Crossroads ofCulture, London: Routledge.

Rosidi, Ajip. (1966), Kesusastraan Sunda Dewasa Ini,Jatiwangi: Cupumanik.

Rusmana, Tatang. (2011), Makrokosmos Parahiangandalam Drama Kidung Jakabandung dalamNarasi Metaforik, Strategi, dan Elanvital,Jurnal Ilmiah Seni & Budaya, Panggung,Vol.21 No.3, STSI Bandung.

Sabur, Rachman. (2017), Reportase Tubuh, dalamKumpulan Makalah Diskusi

“Tubuh Teater Tubuh” Peringatan 34 TahunTeater Payung Hitam, Bandung.

Schechner, Richard. (2004), Performace Theory, Lon-don dan New York: Routledge.

_________________. (2002), Performace Studies: anIntroduction, London: Routledge.

_________________. (1994), Environmental TheatreAn Expanded New Edition including “Six Axi-oms For Environmental Theatre”, Applause,New York, London.

Sumardjo, Jakob. (2015), Sunda Pola RasionalitasBudaya, Kelir, Bandung.

______________. (2014), Estetika Paradoks, Kelir,Bandung.

Page 16: IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KONSEP “TRITANGTU SUNDA” …

 

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2017 99

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat II

______________. (2013), Simbol-Simbol Mitos PantunSunda, Kelir, Bandung.

______________. (2003), Simbol-Simbol ArtefakBudaya Sunda , STSI Press, Bandung.

Suyono, Seno Joko, (2015), Tradisi dan Mitologi Kita:Dari Schechner sampai Julie Taymor, dalamPendidikan, Birokrasi Seni dan PergulatanTeater Timur & Barat, 80 Tahun A KasimAchmad, Pentas Grafika: Jakarta.

Wijaya, Putu. (2004), “Teater Tanpa Lakon”, dalamTeater Payung Hitam, Persepektif TeaterModern Indonesia, Kelir, Bandung.

Yohanes, Benny. (2013), Teater Piktografik, MigrasiEstetik Putu Wijaya dan Metabahasa Layar,Cipta, Dewan Kesenian Jakarta.

Yudiaryani. (2015), WS Rendra dan Teater Mini Kata,Galang Pustaka, bekerja sama dengan IstitutSeni Indonesia (ISI) Yogyakarta.Yogyakarta.

_________. (2012), Membaca Pendidikan Seni danBudaya Melalui Pergeseran Paradigma SeniPertunjukan Teater. Pidato Ilmiah dalamrangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke XXVIII.30 Mei 2012.

_________. (2002), Panggung Teater Dunia.Yogyakarta. Pustaka Gondho Suli.

Yunus, Umar, (1985), Resepsi Sastra: SebuahPengantar, Jakarta: PT Gramedia.