i. pendahuluan latar belakang - repository.ipb.ac.id · studi persebaran serbuk sari dapat...

119
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak yang paling penting di daerah tropis. Peranan kelapa sebagai komoditi perkebunan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Produksi kelapa selama bertahun-tahun menunjukkan penurunan bertahap karena berbagai alasan, tetapi masih bernilai ekonomi penting dengan adanya permintaan industri yang tinggi untuk minyak laurat. Agar produksi kelapa tidak menurun, maka pelaksanaan peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan pada sekitar 20-30% pertanaman kelapa (Prastowo 2007). Perbaikannya dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan bioteknologi. Jenis kelapa di Indonesia sangat variatif diantaranya adalah kelapa kopyor yang merupakan kelapa mutan asli Indonesia dan berbeda fenotipenya dengan kelapa Makapuno yang berasal dari Filipina. Keberadaan kelapa kopyor yang unik dan asli Indonesia perlu terus dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut agar sumberdaya genetik asli Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Berbeda dengan kelapa kopyor Indonesia, abnormalitas endosperma pada kelapa Makapuno menyebabkan jaringan ini menjadi lunak seperti jeli dan jika terlalu tua sebagian dari endospermanya akan terlarut dalam air kelapa, sehingga air kelapanya menjadi kental seperti minyak pelumas (Gambar 1.1). Perbedaan utama antara abnormalitas endosperma kelapa kopyor dan kelapa makapuno adalah pada kelapa kopyor endospermanya tetap mempunyai penampakan seperti endosperma kelapa tetapi terlepas dari cangkangnya (Gambar 1.1), rasa air kelapa dan endospermanya lebih manis dari kelapa normal dan tekstur endospermanya lembut seperti tekstur gabus (Maskromo 2005). Semakin tua buah kelapanya umumnya air kelapanya semakin berkurang dan volume endosperma yang terlepas serta mengumpul dalam rongga dalam cangkang biji kelapanya semakin banyak (Maskromo et al. 2007). Gambar 1.1 Variasi endosperma pada kelapa. Perbandingan endosperma abnormal pada (a) kelapa kopyor asal Indonesia, (b) kelapa Makapuno asal Filipina dan (c) endosperma normal pada kelapa normal (Sudarsono et al. 2014a) a b c

Upload: vuongquynh

Post on 11-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman penghasil

minyak yang paling penting di daerah tropis. Peranan kelapa sebagai komoditi

perkebunan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Produksi kelapa

selama bertahun-tahun menunjukkan penurunan bertahap karena berbagai alasan,

tetapi masih bernilai ekonomi penting dengan adanya permintaan industri yang

tinggi untuk minyak laurat. Agar produksi kelapa tidak menurun, maka

pelaksanaan peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan pada sekitar 20-30%

pertanaman kelapa (Prastowo 2007). Perbaikannya dilakukan melalui pemuliaan

konvensional dan bioteknologi. Jenis kelapa di Indonesia sangat variatif

diantaranya adalah kelapa kopyor yang merupakan kelapa mutan asli Indonesia

dan berbeda fenotipenya dengan kelapa Makapuno yang berasal dari Filipina.

Keberadaan kelapa kopyor yang unik dan asli Indonesia perlu terus

dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut agar sumberdaya genetik asli

Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat

Indonesia. Berbeda dengan kelapa kopyor Indonesia, abnormalitas endosperma

pada kelapa Makapuno menyebabkan jaringan ini menjadi lunak seperti jeli dan

jika terlalu tua sebagian dari endospermanya akan terlarut dalam air kelapa,

sehingga air kelapanya menjadi kental seperti minyak pelumas (Gambar 1.1).

Perbedaan utama antara abnormalitas endosperma kelapa kopyor dan kelapa

makapuno adalah pada kelapa kopyor endospermanya tetap mempunyai

penampakan seperti endosperma kelapa tetapi terlepas dari cangkangnya (Gambar

1.1), rasa air kelapa dan endospermanya lebih manis dari kelapa normal dan

tekstur endospermanya lembut seperti tekstur gabus (Maskromo 2005). Semakin

tua buah kelapanya umumnya air kelapanya semakin berkurang dan volume

endosperma yang terlepas serta mengumpul dalam rongga dalam cangkang biji

kelapanya semakin banyak (Maskromo et al. 2007).

Gambar 1.1 Variasi endosperma pada kelapa. Perbandingan endosperma abnormal

pada (a) kelapa kopyor asal Indonesia, (b) kelapa Makapuno asal

Filipina dan (c) endosperma normal pada kelapa normal (Sudarsono

et al. 2014a)

a b c

2

Makapuno tidak memiliki aktivitas galaktosidase yang memungkinkan

mengubah struktur dinding sel dan adhesi sehingga menghasilkan endosperm

yang sangat kental (Luengwilai 2014). Besar kemungkinan bahwa abnormalitas

fenotipe endosperma kelapa kopyor juga diduga juga sebagai akibat dari defisiensi

enzim penting tertentu selama dalam proses perkembangan endospermanya.

Namun demikian, identitas enzim yang defisien dari endosperma kelapa kopyor

sampai saat ini masih belum diketahui. Karakteristik mutan pada kelapa kopyor

juga dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke progeninya (Sukendah 2009).

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani kopyor adalah

rendahnya kuantitas hasil buah kopyor yang dipanen. Akibatnya produksi buah

kelapa kopyor masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Adanya

kelapa normal di antara pertanaman kelapa kopyor diduga mempengaruhi

produktivitas buah kopyor yang didapat (Sudarsono et al. 2012). Keberadaan

pohon dewasa kelapa Dalam berbuah normal cenderung menyerbuk silang

(Pandin 2009a) diduga berpengaruh negatif terhadap produksi buah kopyor.

Pohon tersebut dapat menyebarkan serbuk sari pembawa sifat normal pada bunga

betina pohon kelapa kopyor, akibatnya buah yang terbentuk dari penyerbukan

akan menjadi buah normal (Sudarsono et al. 2012). Keberhasilan penyerbukan

pada tanaman juga memerlukan bantuan polinator untuk persebaran serbuk sari

tanaman kelapa maupun pada tanaman lainnya.

Studi evaluasi persebaran serbuk sari pada pertanaman kelapa kopyor

dianggap penting untuk dilakukan untuk membuktikan dan memberikan informasi

kepada petani mengenai jarak dan arah persebaran serbuk sari serta faktor yang

berpengaruh pada penyerbukan kelapa kopyor. Studi persebaran serbuk sari dapat

dipelajari dengan metode pewarnaan serbuk sari (Blair dan Williamson 2010) atau

menggunakan marka molekular (Austerlitz et al. 2004). Marka yang biasa

digunakan dalam analisis persebaran serbuk sari adalah marka RAPD pada Ilex

paraguariensis (Cansian et al. 2010) dan marka SSR pada tanaman Hymenaea

courbaril (Carneiro et al. 2011), tanaman pinus (Feng et al. 2010). Marka yang

sering digunakan adalah marka SSR (Single Sequence Repeat) yang mempunyai

keunggulan yaitu bersifat kodominan, polimorfismenya tinggi, lokus tersebar di

dalam genom dalam jumlah banyak (Lowe et al. 2004) dan sampel DNA yang

dibutuhkan sedikit karena dalam melakukan deteksi menggunakan PCR

(Polymerase chain reaction) yang dapat menggandakan DNA (Semagn et al.

2006). Penanda DNA berbasis SNAP adalah satu-satunya penanda DNA yang

memiliki sifat bi–alel dan kodominan, sehingga penanda SNAP mampu

membedakan alel homozigot dari heterozigot yang efisien (Morin et al. 2004).

Beberapa marker SSR dan marker SNAP sedang dikembangkan oleh PMB

Laboratorium dari kegiatan penelitian awal namun demikian penelitian lebih

lanjut masih sangat diperlukan.

Penelitian persebaran serbuk sari pada kelapa sampai saat ini belum ada

dilaporkan sehingga dianggap penting untuk mempelajari persebaran serbuk

sari pada kelapa kopyor. Hasil yang diharapkan adalah memberikan informasi

mengenai tipe persebaran serbuk sari dan besarnya persentase penyerbukan

silang ataupun penyerbukan sendiri pada pertanaman kelapa, efek keberadaan

pohon kelapa berbuah normal di dalam pertanaman kelapa berbuah kopyor,

efek polinator terhadap produksi buah kopyor sehingga diharapkan

produktivitas buah kelapa kopyor dapat ditingkatkan, selain itu juga

3

memberikan informasi dasar genomik dan molekuler yang akan sangat berguna

dalam mendukung program pemuliaan kelapa kopyor di masa yang akan

datang.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri

yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Genjah 2. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri

yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam 3. Mengetahui peranan pendonor serbuk sari kelapa normal dalam pembentukan

progeni kelapa kopyor (efek xenia pada tanaman)

4. Mengetahui kemampuan dan efektifitas polinator lebah madu sebagai agen

penyerbuk dominan

Manfaat Penelitian

Dengan diperolehnya informasi mengenai pola persebaran dan agen

pernyerbuk yang dominan diharapkan akan memberikan informasi kepada petani

mengenai efek keberadaan pohon kelapa berbuah normal di dalam pertanaman

kelapa berbuah kopyor, efek polinator terhadap produksi buah kopyor sehingga

diharapkan produktivitas buah kelapa kopyor dapat ditingkatkan, selain itu juga

memberikan informasi dasar genomik dan molekuler yang akan sangat berguna

dalam mendukung program pemuliaan kelapa kopyor di masa yang akan datang.

Kerangka Penelitian

Pemanfaatan marka molekuler dalam mendeteksi dan membantu analisis

persebaran serbuk sari dalam populasi kelapa kopyor diharapkan mampu memberi

efek positif dalam peningkatan produktifitas hasil bagi petani. Dengan

pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian untuk melihat berbagai

pengaruh persebaran serbuk sari terhadap berbagai studi penelitian.

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup

yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang diharapkan yang terlihat pada

Gambar 1.3. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: Percobaan 1) Persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Genjah Pati

mengindikasikan pentingnya peranan polinator serangga dalam penyerbukan

Percobaan 2) Persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam Kalianda membuktikan

adanya penyerbukan silang pada kelapa Dalam Percobaan 3) Persebaran serbuk

sari pada kelapa Dalam Dukuh Seti membuktikan pengaruh negatif kelapa normal

terhadap hasil buah kopyor Percobaan 4) Lebah sebagai polinator merubah pola

persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Pati. Informasi dari persebaran serbuk

sari pada pertanaman kelapa secara umum dapat dimanfaatkan untuk tujuan

pemuliaan tanaman kelapa di masa mendatang dan rekomendasi kebun bibit

kelapa yang efektif.

4

Bagan Alir Penelitian

Gambar 1.2. Bagan alir penelitian disertasi Analisis Persebaran Serbuk Sari Kelapa Kopyor (Cocos nucifera L.) Asal Pati dan

Kalianda Menggunakan Marka SSR dan SNAP Sebagai Penunjang Program Pemuliaan Tanaman

Plasma nutfah kelapa

kopyor Indonesia

( Pati dan Lampung)

Karakteristik

produktifitas kelapa

kopyor

Analisis persebaran

serbuk sari kelapa

kopyor

Percobaan 1

Persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor

Genjah Pati mengindikasikan pentingnya

peranan polinator serangga dalam

penyerbukan

Percobaan 2

Persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam

Kalianda membuktikan adanya

penyerbukan silang pada kelapa dalam

Percobaan 4

Lebah sebagai polinator merubah pola

persebaran serbuk sari pada kelapa

kopyor Pati

Data skoring tetua dan

progeni setiap populasi

Analisis parental

menggunakan CERVUS

Percobaan 3

Persebaran serbuk sari membuktikan

potensi pengaruh negatif kelapa normal

terhadap hasil buah kopyor

1. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan

silang dan penyerbukan sendiri yang terjadi pada

populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Genjah 2. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan

sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi pada

populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam 3. Mengetahui peranan pendonor serbuk sari

kelapa normal dalam pembentukan progeni

kelapa kopyor (efek xenia pada tanaman)

4. Mengetahui kemampuan dan efektifitas

polinator lebah madu sebagai agen penyerbuk

dominan

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa

Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) adalah satu satunya spesies dari cocos

yang merupakan anggota dari subfamili Cocoideae dan famili Aracaceae

(Palmaceae). Kelapa merupakan tanaman diploid yang memiliki jumlah

kromosom 32 (2n=2×=32). Tanaman ini merupakan tanaman tahunan (perenial)

yang bersifat monoecious yaitu memiliki bunga jantan dan betina pada tandan atau

infloresensia yang sama (Chan dan Elevitch 2006).

Ciri-ciri pohon kelapa menurut Chan dan Elevitch (2006) adalah memiliki

batang tunggal dan beruas dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter kanopi 8-9

m. Akar berbentuk serabut, tebal, berkayu dan adaptif pada lahan berpasir pantai.

Daun tersusun secara majemuk dan menyirip sejajar tunggal, pelepah terletak pada

ibu tangkai daun, duduk pada batang (roset batang). Warna pada tangkai daun

(petiole) mengindikasikan warna buah pada kelapa. Bunga kelapa merupakan bunga

majemuk yang dilindungi oleh spatha. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu

tangkai utama yang disebut spadix, setiap spadix terdiri atas 40-60 cabang (spikelet)

dengan ribuan bunga jantan. Letak bunga bunga betina terletak di pangkal,

sedangkan bunga jantan di bagian atas bunga betina hingga ujung spikelet. Buah

kelapa memiliki tiga lapisan yaitu eksokarp (kulit tipis terluar yang memiliki

lapisan lilin) berwarna kuning, hijau, jingga atau coklat, mesokarp berupa lapisan

serat yang lebih tebal atau sering disebut sabut dan endokarp yang keras disebut

batok yang melindungi biji. Endokarp dan biji hanya dipisahkan oleh membran

yang melekat pada sisi dalam dari endokarp. Biji kelapa memiliki tiga mikrofil

(micropyle) dan hanya satu yang mengindikasikan keberadaan embrio. Embrio

kelapa berukuran kecil dan akan membesar ketika buah siap untuk berkecambah.

Endosperma biji kelapa terdiri atas endosperma cair yang mengandung banyak

enzim dan endosperma padat yang mengendap pada dinding endokarp ketika buah

menua (kernel).

Secara umum tanaman kelapa dibedakan atas dua tipe yaitu tipe Dalam

(typica) dan tipe Genjah (nana) (Kumar et al. 2011). Penggolongan kedua tipe ini

terutama didasarkan atas sifat munculnya pembungaan pertama, tinggi tanaman,

komponen buah dan tipe penyerbukan. Kelapa Dalam mempunyai tinggi sekitar

15-18 m, batang kekar dengan dasar membengkak atau disebut bole. Bunga

pertama muncul pada umur 6-10 tahun setelah tanam tetapi umur produktif dapat

mencapai 90 tahun. Mahkota pohon memiliki 25-40 daun yang terbuka penuh,

dengan panjang daun sekitar 5-7 m. Umumnya kelapa Dalam menyerbuk silang

dan dari penyerbukan sampai buah masak memerlukan waktu sekitar 12 bulan

dengan jumlah buah pertandan 6-12 butir. Ukuran buah besar sehingga produksi

kopra, minyak dan sabut umumnya berkualitas baik.

Pohon kelapa tipe Genjah berpenampilan pendek sekitar 8-10 m saat

berumur 20 tahun dengan batang agak kecil dan tanpa bole. Daunnya terbuka

penuh dengan panjang ≤ 4 m. Mulai berbunga umur 3-4 tahun setelah tanam tetapi

pembungaannya tidak teratur. Umumnya kelapa genjah menyerbuk sendiri,

dengan waktu yang diperlukan dari penyerbukan sampai buah masak 11-12 bulan.

Produksi buah sekitar 10-30 butir pertandan dengan ukuran buah kecil sehingga

6

kualitas buah dan kopranya kurang baik. Produksi akan mulai menurun setelah

tanaman berumur 25 tahun (Chan dan Elevitch 2006).

Penyerbukan atau polinasi adalah jatuhnya serbuk sari dari kotak sari

(antera) ke kepala putik (stigma) dalam satu bunga atau bunga yang berbeda.

Penyerbukan tumbuhan dapat terjadi secara biotik dan abiotik. Penyerbukan biotik

terjadi dengan bantuan hewan, sedangkan penyerbukan abiotik terjadi dengan

bantuan angin, air dan gravitasi (Liferdi 2008). Jarak persebaran serbuk sari pada

tanaman yang menyerbuk sendiri (autogamy) lebih rendah dibandingkan dengan

tanaman menyerbuk silang (Boer 2007).

Kelapa Dalam pada umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang

sehingga tampilannya sangat beragam (Pandin 2009b). Kelapa Dalam memiliki

bunga jantan yang matang lebih dulu dibanding bunga betina. Bunga betina siap

diserbuki ketika bunga jantan umumnya sudah rontok sehinga terjadi penyerbukan

silang. Kelapa Genjah pada umumnya memiliki pola penyerbukan sendiri

meskipun memungkinkan terjadinya penyerbukan silang sehingga menyebabkan

tingginya tingkat kemiripan genetik pada kelapa Genjah. Bunga betina dan bunga

jantan pada kelapa Genjah masak secara bersamaan sehingga peluang untuk

menyerbuk sendiri sangat besar (Hannum et al. 2003).

Penelitian Ramirez et al. (2004) menyatakan sebanyak 59% penyerbukan

kelapa dibantu oleh serangga lebah madu. Lebah membantu proses penyerbukan

silang, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman budidaya. Potensi ini

dimanfaatkan dengan cara meletakkan koloni lebah pada areal tanaman budidaya

yang daya serbuknya rendah. Perpindahan lebah dari satu bunga ke bunga yang

lain mempercepat proses polinasi karena serbuk sari banyak menempel pada kaki

dan perut dari lebah (Liferdi 2008).

Kelapa Kopyor

Kelapa berbuah kopyor dari segi morfologi sama dengan tanaman kelapa

lainnya. Maskromo et al. (2007) mengatakan buah kelapa kopyor hanya bisa

dipastikan setelah buah dipanen dengan cara mengguncang buah kelapanya. Pada

saat diguncang kelapa kopyor akan menghasilkan bunyi yang kurang nyaring

dibanding kelapa normal, karena sebagian atau seluruh endosperma fase padatnya

sudah lepas dari tempurungnya. Buah kopyor juga dapat diidentifikasi dengan

ketukan, tetapi memerlukan keterampilan khusus untuk dapat melakukannya.

Tukang ketuk kelapa yang sudah ahli dalam identifikasi buah kopyor disebut

“tukang totok”. Tingkat akurasi penentuan buah kopyornya dapat mencapai 99%

(Sudarsono et al. 2014a). Buah dengan sifat kopyor dihasilkan dari pohon kelapa

tertentu yang sebagian besar buahnya mempunyai endosperma normal dan

sebagian kecil abnormal (kopyor). Pohon kelapa kopyor hanya mempunyai buah

kelapa kopyor dengan frekuensi antara 3-4 buah kopyor per tandan.

Abnormalitas fenotipe endosperma kelapa Kopyor diduga juga sebagai

akibat dari defisiensi enzim penting tertentu selama dalam proses perkembangan

endospermanya. Namun demikian, identitas enzim yang mengalami defisien dari

endosperma kelapa Kopyor sampai saat ini masih belum diketahui. Karakteristik

mutan pada kelapa Kopyor juga dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke

progeninya (Sukendah 2009). Berdasarkan hasil penelitian Maskromo (2005)

yang membedakan adalah bagian endospermanya seperti pada Gambar 2.1.

7

Gambar 2.1 Perbedaan fenotipe kelapa normal (kiri) dan kelapa kopyor (kanan)

Melalui serangkaian penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005, pada tahun

2010 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado telah berhasil

melepas tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah kopyor asal Pati, Jawa Tengah

dengan potensi persentase rata-rata buah kopyor sekitar 40% pertandannya.

Potensi produksi buah kopyor tersebut masih berpeluang untuk ditingkatkan

dengan pemuliaan tanaman melalui penyerbukan silang buatan dengan tetua yang

memiliki persentase buah kopyor tinggi yaitu dengan serbuk sari dari tanaman

hasil kultur embryo yang menghasilkan buah kopyor mencapai 100% (Novarianto

dan Miftahorrachman 2000).

Kelapa kopyor ditemukan baik pada kelapa tipe Dalam maupun tipe Genjah,

dengan perbanyakan melalui kultur embrio dan menggunakan bibit alami. Pada

pengembangan menggunakan bibit alami, kelapa kopyor tipe Dalam hanya

menghasilkan buah kopyor antara 10 – 20 %, sedangkan tipe Genjah berpotensi

mencapai di atas 50 % pertandannya, dengan tingkat produksi yang beragam. Ini

terkait dengan pola pembungaan masing-masing tipe kelapa tersebut. Kelapa tipe

Dalam memiliki pola penyerbukan silang, sedangkan tipe Genjah menyerbuk

sendiri. Hal tersebut menyebabkan masih rendahnya jumlah buah kopyor yang

diperoleh petani, dan berdampak pada rendahnya produksi buah kopyor.

Penanda Genetik

Konservasi dan penggunaan sumber genetik tanaman sangat penting dalam

rangka produksi tanaman pertanian dan perkebunan serta pemeliharaan tanaman

secara berkesinambungan. Oleh karena itu plasma nutfah merupakan sumber

genetik tanaman yang perlu mendapat perhatian, tidak hanya pada tahap

pengumpulan dan pemeliharaan tetapi juga bagaimana mengkarakterisasi

keanekaragaman genetiknya, mengevaluasi sifat sifat yang dikehendaki dan

memanfaatkan untuk pemuliaan tanaman.

Penggunaan penanda sebagai alat karakterisasi sangat diperlukan untuk

pengkarakteran tanaman secara genetik. Penanda dapat dikategorikan sebagai

penanda morfologi, sitologi dan perkembangan terakhir adalah penenda

molekuler. Penanda yang banyak dilakukan adalah penanda morfologi, yaitu

dengan mengamati secara langsung karakter morfologi tanaman, namun penanda

8

tersebut mempunyai kelemahan karena karakter yang diamati kemungkinan

dipengaruhi oleh lingkungan. Suatu metode karakterisasi yang dikenal dengan

nama penanda molekuler telah dikembangkan untuk pengulangan keterbatasan

penanda morfologi.

Pemecahan kendala dalam pemuliaan konvensional mulai mendapat titik

terang dengan ditemukannya marka molekuler. Marka molekuler yang pertama

kali dikenal adalah marka protein yang secara genetik dikenal sebagai isozim

(Amar et al. 2011). Meskipun marka telah banyak digunakan dalam analisis

genetik tanaman namun dalam perkembangannya marka isozim masih sangat

terbatas jumlahnya. Beberapa sistem enzim tertentu dipengaruhi oleh regulasi

perkembangan jaringan, yaitu hanya mengekspresikan suatu sifat pada jaringan

tertentu dan pada stadia pertumbuhan tanaman. Kedua faktor tersebut merupakan

kendala utama pengunaan marka isozim dalam mengeksploitasi potensi genetik

tanaman (Mondini et al. 2009).

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka pada awal tahun 1980-an

ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Marka molekuler

tersebut dapat menutpi kekurangan dari marka isozim, karena jumlah yang tidak

terbatas dan dapat melingkupi seluruh genom tanaman, tidak dipengaruhi oleh

regulasi perkembangan jaringan, sehingga dapat dideteksi pada seluruh jaringan,

dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam menganalisis keragaman

karakter antar individu. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi yang

berbasis marka DNA, maka saat ini telah ditemukan tiga tipe marka DNA dengan

segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semagn et al (2006)

menyatakan bahwa penanda molekuler secara garis besar dibagi menjadi tiga

kelompok berdasarkan metode deteksinya, yaitu (i) marka berbasis hibridisasi

seperti RFLP, (ii) marka berbasis PCR seperti RAPD, AFLP, ISSR, SSR, dan (iii)

marka berbasis sekuens DNA seperti SNP.

Teknologi marka DNA berdasarkan teknik PCR dapat bersifat spesifik atau

acak sesuai dengan tipe primer yang digunakan (Gupta et al. 2002). Marka DNA

hasil amplifikasi primer spesifik adalah marka yang bersifat kodominan.

Pengembangan marka-marka kodominan membutuhkan informasi sekuen dari

DNA target yang digunakan untuk merancang primer spesifik, umumnya

memiliki ukuran panjang 18-24 basa. Marka DNA hasil amplifikasi primer acak

(random primer) adalah marka DNA yang bersifat dominan, yaitu tidak dapat

membedakan antara genotipe tanaman homozigot dan heterozigot. RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA) adalah generasi pertama dari teknologi

marka DNA yang bersifat dominan. Generasi kedua dari marka-marka

berdasarkan teknik PCR adalah Amplified Fragment Length Polymorphisms

(AFLP) yang bersifat dominan dan Simple Sequence Repeats (SSR) yang bersifat

kodominan (Panaud et al. 1996).

Simple sequence repeats juga dikenal dengan mikrosatelit terdiri atas

pengulangan beberapa basa nukleotida, berupa dinukleotida, trinukleotida, atau

tetranukleotida, yang tersebar disepanjang genom kebanyakan spesies eukariotik

(Powell et al. 1996). Jumlah pengulangan nukleotida berkisar antara 5-40 kali

(Selkoe dan Toonen 2006) atau kurang dari 100 kali (Karp et al. 1997). Panjang

pengulangan ini bervariasi tergantung individu/varietas dan diwariskan kepada

generasi berikutnya. Motif pengulangan nukleotida yang paling banyak ditemukan

pada tanaman adalah AT, AG dan TC (Powell et al. 1996).

9

Primer spesifik dirancang pada runutan basa yang terkonservasi dan

selanjutnya digunakan untuk mengamplifikasi dan mengidentifikasi lokus yang

polimorfik dengan menggunakan metode standar elektroforesis pada gel

poliakrilamida (Jannati et al. 2009). Keunggulan analisis SSR adalah : 1)

mengidentifikasi polimorfisme secara akurat, 2) bersifat kodominan, dan 3) sangat

reproducible. Kemampuan teknik SSR membedakan individu-individu

berdasarkan kombinasi alel, menjadikan teknik ini sering digunakan untuk

mengidentifikasi dan menganalisis tetua (Zane et al. 2002) pada berbagai populasi

spesies tanaman (Holton et al. 2002). Kelemahan teknologi SSR adalah

memerlukan biaya dan curahan waktu yang tinggi untuk mengembangkannya,

sehingga penggunaan marka SSR terbatas pada tanaman-tanaman yang memiliki

nilai ekonomi tinggi (Ruan 2010).

Teknologi marka SSR telah mendominasi analisis genotyping tanaman

sebelum teknologi SNPs dikembangkan. Sejak sepuluh tahun terakhir, teknologi

marka SNPs mulai menggantikan teknologi marka SSR pada penelitian-penelitian

genetika. Marka SNPs adalah marka berdasarkan variasi perubahan satu basa (A,

T, G, atau C) pada situs-situs tertentu dari runutan basa DNA dalam genom

organisme (Ganal et al. 2009). Polimorfisme SNP tersedia paling melimpah dan

terdistribusi secara merata pada genom organism hidup (Aitken et al. 2009)

sehingga metode analisis marka DNA berdasarkan SNP mampu mengidentifikasi

variasi keragaman yang lebih tinggi dari metode analisis marka DNA berdasarkan

SSR (Li et al. 2009).

SNP (Single nucleotide polymorphism) adalah kelas mutasi yang disebabkan

oleh subsitusi atau insersi-delesi (indel) yang umum terjadi di genom organisme

hidup dan merupakan unit terkecil dari variasi genetik yang ditransmisikan dari

generasi ke generasi. Marka berdasarkan SNPs banyak digunakan pada studi-studi

tentang proses evolusi dari suatu genom atau gen, karena umumnya evolusi pada

sifat-sifat penting di tanaman adalah atribut dari keberadaan SNPs dan variasinya

(Shamay et al. 2004). SNP adalah perubahan posisi spesifik satu atau dua basa

nukleotida yang sifatnya melimpah dalam genom eukariot. Perbedaan basa

nukleotida diduga berpengaruh terhadap sifat fenotipik pada tiap-tiap individu

(McCouch et al. 2010). Jumlah SNP yang melimpah membuat marka SNAP lebih

menarik dibanding marka lainnya, termasuk dalam mengembangkan penanda bagi

gen target tertentu (Lestari dan Koh 2013). Deteksi marka SNAP yang bersifat ko-

dominan, berdasarkan pada amplifikasi PCR dengan primer yang berbasis pada

informasi sekuen untuk gen spesifik Marka SNAP saat ini telah digunakan

sebagai penanda genetik untuk berbagai fungsi pemuliaan tanaman, misalnya

analisis keragaman genetik, pembuatan linkage map dan Marker Assisted

Selection (Chen et al. 2011). Kelemahan dari teknik SNAP adalah memerlukan

informasi keragaman sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis

(Mammadov et al. 2012).

Persebaran Serbuk Sari

Aliran gen atau gene flow adalah proses perpindahan informasi genetik

melalui persebaran serbuk sari (persebaran gamet jantan) dan melalui persebaran

benih (migrasi) (Mallet 2001). Aliran gen merupakan proses yang alami yang

terjadi pada tanaman yang menyebabkan gen-gen dalam tanaman berpindah.

10

Proses aliran gen dapat terjadi pada tanaman yang memiliki keserasian secara

seksual antara tanaman domestik maupun kerabat liarnya (Pandin 2009a). Analisis

aliran gen melalui serbuk sari dalam suatu populasi dapat digunakan untuk

menduga apakah terjadi perkawinan antara tanaman yang berbeda (outcrossing)

atau dengan tanaman yang sama (selfing) (Boer 2007). Hamrick dan Trapnell

(2011) mengatakan bahwa pola persebaran biji dapat dianalisis menggunakan dua

metode, yaitu :

a. Metode tak langsung meliputi analisis struktur genetik populasi menggunakan

marka genetik yang diwariskan secara maternal misalnya menggunakan

cpDNA (DNA kloroplas) dan mtDNA (DNA mitokondria) dalam satu

populasi.

b. Metode langsung menggambarkan pola persebaran biji menggunakan marka

molekuler untuk mengidentifikasi induk dari biji atau analisis parental.

Analisis metode langsung dibagi menjadi dua yaitu analisis induk jantan dan

betina dari biji dan analisis kecocokan antara induk jantan dengan induk

betina terhadap keturunannya.

Sistem perkawinan pada tanaman dapat diketahui melalui analisis pola

persebaran serbuk sari. Penelitian Carneiro et al. (2011) menyatakan bahwa

tanaman Hymenaea coubaril melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut

bertentangan dengan penelitian sebelumnya oleh Dunphy et al. (2004) yang

menyatakan bahwa H. coubaril memiliki ketidaksesuaian secara seksual (self

incompability). Penebangan pohon H. coubaril secara bebas dalam areal

perhutanan dapat mengakibatkan berkurangnya pohon yang reproduktif. Kondisi

tersebut mengakibatkan tanaman terisolasi, sehingga persentase penyerbukan

sendiri dapat meningkat (Carneiro et al. 2011).

Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan

sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu

organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme

mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke

keturunannya melalui pertukaran gamet dan hal ini akan menghasilkan

rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat

diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana

setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet (Pandin 2009).

11

III. PERSEBARAN SERBUK SARI PADA KELAPA KOPYOR

GENJAH PATI MENGINDIKASIKAN PERANAN POLINATOR

SERANGGA DALAM PENYERBUKAN

Abstrak

Analisis parental dapat digunakan untuk mengevaluasi persebaran serbuk

sari pada kelapa kopyor. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi (i) persebaran

serbuk sari, (ii) kisaran penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi,

dan (iii) jarak serbuk sari ke tetua betina dalam populasi kelapa kopyor Pati. Hal

ini sangat penting dilakukan untuk petani dalam peningkatan panen buah kopyor

dan juga untuk mendukung pemuliaan kelapa mutan. Sebanyak 84 progeni

dipanen dari 15 tetua betina. Kandidat tetua sebanyak 95 pohon dianalisis untuk

melihat tetua jantan yang berptoensi untuk seluruh progeni. Provenan kelapa

dewasa dipetakan sesuai posisi GPS. Seluruh sampel di identifikasi menggunakan

6 lokus SSR dan 4 lokus SNAP. Analisis parental dilakukan menggunakan

CERVUS version 2.0 software. Hasil analisis mengindikasikan marka yang

digunakan efektif untuk mengidentifikasi kandidat tetua di seluruh progeni. Tidak

ada arah tertentu dari serbuk sari yang didonorkan tetua jantan ke tetua betina.

Serbuk sari yang didonorkan berasal tetua jantan dari arah relatif terhadap posisi

induk betina. Penyerbukan silang terjadi sebesar 82.1 % dari seluruh progeni

yang dianalisis. Penyerbukan silang antara kelapa dalam dengan kelapa dalam (D

x D), kelapa genjah dengan kelapa genjah (G x G), kelapa hibrida dengan kelapa

hibrida (H x H), D x G, G x D, D x H, G x H dan H x G seluruhnya diobservasi.

Penyerbukan sendiri (D x D dan G x G) terjadi sebesar 17,9% dari keseluruhan

progeni. Kelapa genjah tidak selamanya mengalami penyerbukan sendiri.

Keberadaan penyerbukan silang antara kelapa genjah dengan kelapa genjah,

kelapa dalam dengan kelapa genjah dan kelapa hibrida dengan kelapa genjah juga

diobservasi. Serbuk sari yang didonasikan dapat berasal dari serbuk sari donor

yang berada dalam kisaran jarak tempuh 0-58 meter dari tetua betina resipien

yang dievaluasi. Oleh karena itu, selain dengan adanya keberadaan angin,

polinator serangga juga dapat berperan penting dalam polinasi kelapa Kopyor.

Kata kunci : kelapa mutan, endosperma abnormal, analisis parental, persebaran

polen, penyerbukan silang, penyerbukan sendiri, marka SSR,

marka SNAP

12

III. Pollen Dispersal of Pati Kopyor Coconut Indicating Importance Roles Of

Insect Pollinator In Its Pollination *)

Abstract

Parentage analysis has been used to evaluate pollen dispersal in Kopyor

coconut (Cocos nucifera L.). The objectives of this research were to evaluate (i)

the dispersal of pollen, (ii) the rate of self and out-crossing pollination, and (iii)

the distance of pollen travel in Pati kopyor coconut population. The finding of this

activities should be beneficial to kopyor coconut farmers to increase their kopyor

fruit harvest and to support breeding of this unique coconut mutant. As many as

84 progeny arrays were harvested from 15 female parents. As many as 95 adults

coconut provenances surrounding the female parents were analyses as the

potential male parents for the progenies. The adult coconut provenances were

mapped according to their GPS position. All samples were genotyped using six

SSR and four SNAP marker loci. Parentage analysis was done using CERVUS

version 2.0 software. Results of the analysis indicated the evaluated markers were

effective for assigning candidate male parents to all evaluated seedlings. There is

no specific direction of donated pollen movement from assigned donor parents to

the female ones. The donated pollens could come from assigned male parents in

any directions relative to the female parent positions. Cross pollination occured in

as many as 82.1% of the progenies analyzed. Outcrossing among tall by tall

(TxT), dwarf by dwarf (DxD), hybrid by hybrid (HxH), TxD, DxT, TxH, DxH,

and HxD were observed. Self-pollination (TxT and DxD) occurred in as many as

17.9% of the progenies. The dwarf coconut is not always self pollinated. The

presence of DxD, TxD, and HxD outcrossing were also observed. The donated

pollens could come from pollen donor in a range of at least 0-58 m apart from the

evaluated female recipients. Therefore, in addition to the wind, insect pollinators

may play an important role in Kopyor coconut pollination.

KEY WORDS : Coconut mutant, abnormal endosperm, parentage analysis,

pollen movement, outcrossing rate, self pollination, SSR

marker, SNAP marker

--------------------

*) Sebagian dari penelitian Bab III. ini telah di-submit ke International Journal on

Coconut Research and Development (CORD)

13

Introduction

Kopyor coconuts are natural coconut mutants having abnormal endosperm

and only exist in Indonesia. The endosperm is soft, crumbly and detached from the

shell, forming flakes filling up the shell (Maskromo et al. 2007; Novarianto et al.

2014). The Makapuno coconut grown in the Philipines and other Asian countries is

another example of coconut mutant exhibiting endosperm abnormality (Samonthe

et al. 1989; Wattanayothin 2010). This mutant has been used as parent for

hybridizations in coconut breeding (Wattanayothin 2005). The Macapuno coconut

exhibits a soft and jelly-like endosperm (Santos 1999) that is phenotypically

different to Indonesian Kopyor coconut.

The kopyor coconut mutant phenotype is genetically inherited from parents to

their progenies (Sukendah 2009) and most probably is controlled by a single locus

(K locus) regulating the endosperm development of coconut (Sudarsono et al.

2014a). However, the identity of the regulatory locus has not yet been resolved.

The abnormal endosperm phenotype in kopyor coconut is controlled by the

recessive k allele; therefore, the genotype of kopyor fruit of coconut would be

homozygous kk for the zygotic embryos and homozygous kkk for the endosperm.

On the other hand, the genotype of the normal fruit of coconut would either be a

homozygous KK or a heterozygous Kk for the zygotic embryo and either a

homozygous KKK, heterozygous KKk, or heterozygous Kkk, respectively.

The origin of Kopyor coconut mutant is not well documented; however,

currently the kopyor provenances are found in a number of areas in Java and

southern part of Sumatera (Novarianto and Miftahorrachman 2000). The district

of Pati, Central Java Province is recognized as one of the Kopyor coconut

production centers. Kopyor coconuts have existed in this region for generations,

especially the dwarf type of Kopyor coconuts. Although only in a limited

numbers, Kopyor Tall and Kopyor Hybrid coconut types also exist along side of

the dwarf one.

The tall and dwarf coconut have different morphological characters and

pollination strategy. Tall coconuts are generally outcrossing since male flower

mature earlier than the female counterpart in the same inflorescence. Dwarf

coconut tends to self-pollinate because of an overlapping maturation period

between male and female flowers (Deb Mandal and Shyamapada 2011).

Pollination in coconut most probably is assisted by insect pollinators or by

the wind (Ramirez et. al. 2004). The family of Diptera, Coleoptera and

Hymenoptera are reported as effective pollinators of coconut (Ramirez et al.

2004). Distances of pollen transfer between male and female parents may be used

to predict the type of pollinator assisting pollination in coconut. Such question

may be answerred by studying pollen dispersal.

Evaluating pollen dispersal in various plant species usually use an approach

based on the parent – progeny genotype genotype (Austerlitz et al. 2004).

Evaluations have been done in pines (Schuster and Mitoon 2000), Dinizia excels -

Fabaceae (Dick et al. 2003), Quercus garryana - Fagaceae (Marsico et al. 2009)

and teak (Prabha et al. 2011). Availability of molecular markers capable of

identifying genotype of parents and their progenies should assist the pollen

dispersal studies. Using such markers, it should also be possible to estimate the

14

self-pollination and outcrossing rates in a certain population (Milleron et al.

2012).

To our understanding, pollen dispersal analysis has not been evaluated in

coconuts. With the development of kopyor coconut in Indonesia, availability of

information associated with pollen dispersal should be beneficial considering the

recessive nature of the kopyor character. Such coconut pollen dispersal evaluation

requires availability of some coconut progeny arrays and polymorphic loci for

molecular markers of coconut genome.

Co-dominant markers, such as SSR and SNAP markers for coconut have

been developed and routinely evaluated at PMB Lab, Department of Agronomy

and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB),

Bogor, Indonesia for a number of plant species. These include coconut (Sudarsono

et al. 2014), cacao (Kurniasih 2012), and nut meg – Myristica sp. (Soenarsih

2012). Moreover, the gene specific SNAP markers have also been developed and

used successfully in coconut (Sudarsono et al. 2014).

The SSR markers have successfully been used in gene flow analysis of

pines (Lian et al. 2001; Burczyk and Koralewski. 2005). SNAP marker have also

been reported as an effective co-dominant marker for plant analysis (Morin et al.

2004, Sutanto et al. 2013) and proven to generate better data quality for the

majority of samples on plant genetic studies (Brumfield et al. 2003) and

population structure analysis (Herrera et al. 2007).

The objectives of this research were is to evaluate (i) the dispersal of pollen,

(ii) the rate of self and out-crossing pollination, and (iii) the distance of pollen

travel in Pati kopyor coconut population. The finding of these activities should be

beneficial to kopyor coconut farmers to increase their kopyor fruit yield and to

support breeding and cultivar development of this unique mutant.

Materials and Methods

Time and Location of Research

This research was conducted during the period of July 2012 up to January

2014. The field activities were at the Kopyor coconut plantation belonging to local

farmer‟s at Sambiroto, Pati District, Central Java, Indonesia. The research site was

at the following GPS location: S 6 32.182 E 11 03.354. The soil in the evaluated

Kopyor coconut plantation is sandy soil. The laboratory activities were done at

Plant Molecular Biology Laboratory (PMB Lab), Department of Agronomy and

Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Bogor,

Indonesia.

Selection of Parents and Progeny Arrays

There were 164 adult coconut trees in the field research site, consisted of a

mixture of both kopyor heterozygous Kk and normal homozygous KK coconut

trees. Only 95 out of 164 adult coconut trees in one block of 100x100 m2

were

sampled in this evaluation. Based on the coconut type, the sampled population

consisted of 68 dwarf, 14 tall and 13 hybrid coconuts. Moreover, based on their

phenotype, they were recognized as 22 normal homozygous KK and 73 kopyor

heterozygous Kk coconuts. Map of the existing coconuts in the research site was

generated using the GPS position of all individuals.

15

Six dwarf, seven tall, and two hybrid coconuts among the kopyor

heterozygous Kk trees were selected as female parents. They were selected using

purposive random sampling to represent different sites in the sampled population.

A single fruit bunch from each female parent containing 2-10 fruits/bunch was

harvested 10-11 months after pollination. The total harvested fruits were collected

and identified as either kopyor or normal fruits. The identified normal fruits were

germinated and DNA was isolated from leaf tissue of the germinated seedlings

(63 seedlings of normal fruits). The kopyor fruits are not able to naturally

germinate since this character is lethal. Zygotic embryos were isolated from the

identified kopyor fruits and DNA was isolated directly from the whole zygotic

embryo tissues (21 zygotic embryos). Among the 84 DNA samples, 26 samples

were from tall, 45 from dwarf, and 13 from hybrid female parents.

Genotyping of Parents and Progenies

DNA isolation was conducted using the CTAB method (Rohde et al. 1995).

Either young coconut leaf or zygotic embryo (0.3-0.4 g) was homogenized in 2 ml

of lysis buffer, containing 0.007 g PVP and 10 μl2-mercaptoetanol. The

homogenized tissues were then incubated in 65°C waterbath for 60 minutes and

the mixtures were centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes using using the

Eppendorf 5416 centrifuge. Supernatant was then transferred to an Eppendorf tube

and an equal volume of chloroform:isoamyl-alcohol (24:1) was added. The

mixtures were mixed well; centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes and the

supernatant was transferred into new microtube.

Cold isopropanol (0.8 volume of supernatant) and sodium acetate (0.1

volume of supernatant) were added into the supernatant. After overnight

incubation, the mixture was centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes and DNA

pellet was retained. The DNA pellet was washed using 500 μl of cold 70%

ethanol, centrifuged and air dried before it was diluted into100 μl aquabidest.

RNA contaminants were remove using RNase treatment following standard

procedures (Sambrook and Russel 2001).

SSR marker at 37 loci (Lebrun et al. 2001) were evaluated for their

polymorphism 6 polimorphic loci were selected. In addition, four SNAP marker

loci developed based on nucleotide sequence variabilities of both SUS and

WRKY genes were also used to genotype all of the parents and progeny arrays.

To generate markers, PCR amplifications were conducted using the following

reaction mixtures: 2µl of DNA; 0.625 µl of primers, 6.25 µl PCR mix (KAPA

Biosystem), and 3 µl ddH20. Amplifications were conducted using the following

steps: one cycle of pre-amplification at 95°C for 3 minutes, 35 cycles of

amplification steps at 95 °C for 15 seconds (template denaturation), annealing

temperature for 15 seconds (primer annealing), and 72 °C for 5 seconds (primer

extension), and one cycle of final extention at 72 °C for 10 minutes as suggested

by KAPA Biosystem kit.

The generated SSR markers were separated using vertical 6%

polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE) using SB 1x buffer (Brody and Kern

2004) and stained using silver staining. The silver staining was done following

methods developed by Creste et al. (2001). Electrophoregrams were visualized

over the light table and used to determine the genotype of the evaluated samples.

16

The generated SNAP markers were separated using 1% agarose gel

electrophoresis using TBE 1x buffer and stained using standard DNA staining

procedures (Sambrook and Russel 2001). The electrophoregrams were visualized

over the UV transluminescence table and recorded using digital camera. The

recorded pictures were used to determine the genotype of the evaluated samples.

Identification of the Candidate Male Parents

Each sample of the progeny arrays has a known female parent but unknown

pollen donor (the male parent). The candidate male parents could be any one of

the sampled adult population including the female parents. This steps were

conducted to determine the assigned male parent donating pollen to generate any

fruit in the progeny arrays.

Identification of the assigned male parent was done by analyzing genotype

of progeny and the respective female parent versus the genotype of all adult trees

in the selected samples. The ID of the potential male parent for any progeny was

determine based on the results of parentage analysis. Simulation was conducted to

determine the threshold level for confidence interval of 80% (relax) and 95%

(strict) levels before the final parentage analysis steps. Parentage analysis using

the genotype of progenies, female parents, and potential male parents was done

using CERVUS version 2.0 software (Marshall et al. 1998). Most likely approach

(potential male parent with the highest LOD score) based on the matching

genotype of progeny, female parent and potential male parent were used as the

basis for assigning certain adult individual as the potential male parent or pollen

donor of a progeny. The progeny and female parent genotype were compared with

those of other adult trees and the assigned male parent was selected based on the

output of CERVUS version 2.0 analysis results (Marshall et al. 1998).

Pattern of Pollen Dispersal

The location of the female and the asignmed male parents were plotted in

the map of adult individuals generated by Garmin MapSource GPS mapping

software version 76C5x. The distance between the known female parent and the

assigned male parent was calculated using the same software. The distances and

positions of both female and male parents in the generated map was then used to

ilustrate pattern of pollen dispersal in the location. Self pollination was defined if

the assigned male parent was the same as the female parent. Otherwise, they were

assigned as outcrossing. The outcrossing were further grouped as outcrossing

between either dwarf (dwarf parent pollinated other dwarf), tall (tall parent

pollinated other tall), or hybrid (hybrid parent pollinated other hybrid);

outcrossing between dwarf and either tall or hybrid (either tall or hybrid parent

pollinated by dwarf); outcrossing between tall by hybrid coconuts (tall parent

pollinated hybrid) or vice versa. The numbers of both self pollination and the

respective cross pollination were calculated.

Results and Discussions

The Parents and Progeny Arrays

Map of the existing coconut provenances in the research site are presented

in Figure 3.1. As indicated, the sample coconut population consists of a mixture of

17

normal homozygous KK and kopyor heterozygous Kk individuals and a mixture

of dwarf, tall and hybrid coconuts. All of these adult trees were used as potential

male parents capable of donating pollens to and pollinating the selected female

parents and generating the evaluated progeny arrays. The position of the selected

female parents (6 dwarf, 7 tall, and 2 hybrid kopyor heterozygous Kk coconuts)

are indicated in Figure 3.1. The harvested progenies from selected female parents

ranged from 2-10 progenies per female parent. Out of 84 selected progenies, 21

were kopyor nuts and 63 were normal ones. They were harvested from tall (26

progenies), dwarf (45 progenies), and hybrid (13 progenies) female parents,

respectively.

Genotyping of Parents and Progeny Arrays

The selected SSR and SNAP marker loci generated polymorphic markers in

the evaluated coconut population. An example of the polymorphic marker

generated by either the selected SSR (CnCir_56 locus) and SNAP (SUS 1_3

locus) primer pairs producing polimorphic markers is presented in Figure 2. and 3.

In Figure 2, the evaluated individuals are either homozygous cc (sample # 1), bb

(sample # 7-10), heterozygous bc (sample # 2-6, and 11), or heterozygous ab

(sample # 12) for the CnCir_56 SSR locus. On the other hand, the evaluated

individuals (sample # 1, 3, 4, 6) are heterozygous for reference and alternate

SNAP alleles and the other two (sample # 2 and 5) are homozygous for the

reference allele (Figure 3.3). All individuals were genotyped using the same

approaches. The summary of genotping results for a total of 179 individuals using

six SSR and four SNAP marker loci are presented in Table 3.1. The marker loci

generated a range of 2-4 alleles per locus (Table 3.1).

Mean number of alleles per locus is 3.4 and mean PIC for all marker loci

was 0.47. The polymorphic information content (PIC) for SSR marker loci ranges

from 0.31-0.68 while that of SNAP markers ranges from 0.28-0.37 (Table 3.1).

The PIC values represents measures of polimorphism between genotypes in a

locus using information of the allele numbers (Sajib et al. 2012). Total

exclusionary power using the ten marker loci is either 0.85 (first parent) or 0.97

(second parent), indicating the SSR and SNAP markers should be informative

enough for analyzing the evaluated coconut population.

Identification of the Candidate Male Parents

Results of simulation analysis using 10.000 iterations, 95 candidate male

parents, and the known female parent for each progeny, predicted the rate of

success in identifying male parents at 95% (strict) was 32% and at 80% (relax)

confidence interval was 62%. Parentage analysis was able to resolve the identity

of the male parent for every individual in the 84 progeny arrays using the most

likely parent approach. Moreover, the results of analysis also indicated that

assignment of the predicted male parents for the 20% (17 individuals) progenies

are at least in the minimum of 95% confidence and 43% (36 individuals) were at

least in the minimum of 80% confidence. The assignment for the male parents of

other 57% (48 individuals) progenies were at the level of less than 80 %

confidence. Although the confidence level was below 80 %, the male parent

assignment for these progenies shows LOD (likelihood of odds) value higher than

0. A positive LOD value indicates the suspected male parent might be the true

18

parents. According to Marshall et al. (1998), the higher the LOD value the the

higher the possibility the assigned male parent is the actual parent (Marshal et al.

1998).

Figure 3.1.Map of study site with the existed coconut provenances at Pati, Central

Java, Indonesia. The marks in this map indicated the positions of the

coconut provenances. The sampled provenances in an approximately

one hectare area are in the square box. The flags indicate the positions

of the selected female parents.

Note: The marks indicate the position of ( ) normal tall,( ) kopyor tall,

( ) normal dwarf, ( ) kopyor dwarf, ( ) normal hybrid, and ( ) kopyor

hybrid coconuts, respectively.

Figure 3.2. Polymorphism of SSR markers generated by PCR of the genomic

DNA sample # 1-12 with a pair of CnCir_56 SSR primers. M: 100 bp

DNA ladder markers. The a, b, and c are the three specific alleles of

the CnCir_56 locus.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 M

19

Figure3.3. Polymorphism of SNAP markers generated by PCR of the genomic

DNA samples 1-6 with two pairs (the R: reference and the A: alternate

primer pairs) of the SUS 1_3 SNAP locus. M: 100 bp DNA ladder

markers. The R – PCR product of the R primer pairs and the A – PCR

product of the A primer pairs. The occurrences of both R and A PCR

products indicating the evaluated individuals are heterozygous, while

if either only A or B indicating they were homozygous.

Table 3.1. Numbers of alleles and individuals, numbers of heterozygous and

homozygous, observed (O) and expected (E) heterozygosity, and

polymorphic information content (PIC) at 10 molecular marker loci of

Kopyor coconut.

Locus Name No. of

alleles

No. of

individual

No. Of Heterozygosity

PIC Hetero-

zygous

Homozy-

gous O E

CnCir_87 2 179 27 152 0.15 0.39 0.31

CnCir_86 4 179 100 79 0.56 0.72 0.67

CnZ-18 4 179 74 105 0.41 0.61 0.57

CnZ_51 5 179 72 107 0.40 0.58 0.54

CnCir_B12 6 176 64 112 0.37 0.72 0.68

CnCir_56 5 179 78 101 0.44 0.64 0.57

CnSus1#14 2 179 143 36 0.80 0.49 0.37

CnSus1#3 2 174 147 27 0.85 0.50 0.37

WRKY19#1 2 176 111 65 0.63 0.47 0.36

WRKY 6#3 2 179 76 103 0.43 0.34 0.28

Cross pollination is pollination of female flower by male pollen from

different parents. Cross pollination produces half-sib progenies. The tall, dwarf

and hybrid coconuts could reciprocally donate their pollens. Based on the

assigned male parent of the 84 progeny arrays, cross pollination occured in as

many as 69 events (82.1 %). Among those identified as outcrossing, 4 events are

cross pollination between tall x tall (TxT), 16 tall by dwarf (TxD), and 4 tall by

hybrid (TxH) parents. Moreover, outcrossing among DxD (15 events), DxT (6

1 2 3 4 5 6 M R A R A R A R A R A R A

20

events), DxH (11 events), HxH (2 event) and HxD coconuts (11 events) were also

observed. Complete scheme and pollination types identified based on results of

pollen dispersal analysis are presented in Table 3.2.

The general understanding stated that because of the open flower

morphology and the differences in flower maturation, tall coconut is probably

always cross pollinated (Ramirez et al. 2004; Maskromo et al. 2011). However,

our data indicated there are at least 2.38% of self pollination among the tall

coconut (Table 3.2).

Self pollination is characterized by the pollination of female flower by male

pollen of the same parent. Self pollination produces full-sib progenies. Total

numbers of self pollination are observed in as many as 15 events (17.9 %) in the

evaluated progeny arrays (Table 3.2). They consist of two self pollination events

in the tall kopyor coconut (2.38 %) and 13 self pollination events in the dwarf

kopyor one (15.48%). Based on 13 progeny arrays harvested from the hybrid

parents, no self pollination in the hybrid coconut is recorded (Table 3.2).

The general understanding stated that because of the overlapping period

between male and female flower maturation, dwarf coconut is always self

pollinated (Maskromo et al. 2011). However, our data indicated the dwarf coconut

is not always self pollinated. Contrary to the basic understanding, our data

indicated the presence of more dwarf to dwarf (15 events, 17.86%), dwarf to tall

(6 events, 7.14%) and dwarf to hybrid (11 events, 13.1%) outcrossing (Table 3.2).

Finding by Rajesh et al. (2008) has previously indicated cross pollination

did occur in dwarf coconuts. Availability of new tools, such as molecular markers,

for analyzing outcrossing rate may change the previous understanding. Such

changes have been shown in Hymenaea coubaril which was previously reported

as more cross pollinated because of self incompatibility (Dunphy et al. 2004).

Table 3.2. Crossing schemes and pollination types identified based on results of

pollen dispersal analysis of the progeny arrays

Crossing

Scheme Pollination types Event numbers Percentage

TxT Self 2 2.4%

DxD Self 13 15.7%

HxH Self 0 0

Sub-total Self 15 17.9

TxT Outcross 4 4.8%

TxD Outcross 16 19.3%

TxH Outcross 4 4.8%

DxD Outcross 15 18.1%

DxT Outcross 6 7.2%

DxH Outcross 11 13.3%

HxH Outcross 2 2.4%

HxT Outcross 0 0

HxD Outcross 11 13.1%

Sub-total Outcross 69 82.1%

Total progenies 84 100.0%

Note: T – tall coconut, D – dwarf coconut, and H - hybrid coconut

21

However, more recent pollen dispersal studies indicated that H. coubaril is more

self pollinated (Carneiro et al. 2011).

Other alternative explanation for this findings is it is just a special case in

the evaluated site. In the study site, coconut provenances were planted in high

density planting. Moreover, population of honey bees exist in the coconut

plantation. Honey bees are known to roam around the male and female flowers

and function as effective pollinators for coconuts. The high density planting and

the availability of pollinators may have caused the unexpected outcrossing rate.

However, those are subjects of further investigations.

One assigned male parent may donate one or more pollens to the evaluated

female coconut parent, with a range of 1-5 pollens per assigned male one. Number

of assigned male parents donating certain numbers of pollen to the evaluated

female parents is presented in Figure 3.4. The data indicate that most of the

assigned male parents contribute only one pollen to the evaluated female parents.

Only three assigned male parents (two dwarf, and one hybrid coconuts) donated 4

or 5 pollens to the surrounding female parents.

The same female parents may receive donated pollens from different

numbers of assigned male parents, with a ranged of 1-7 assigned male parents

donated pollen to the same female one. The numbers female parents receiving

donated pollens from different number of assigned male parent iss presented in

Figure 3.5. The data indicated a single female parent most frequently received

pollens from 2, 4 or 5 different assigned male parents. Only three female parents

evaluated in this experiment (two dwarf and one hybrid coconuts) are found

receiving pollens from at least 6 assigned male parents (Figure 3.5).

Figure 3.4. Numbers of assigned male parent donating different numbers of

pollen to evaluated female parents.

Nu

mb

er

of m

ale

pare

nt

Number of donated pollen

27

11 7

2 1 0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7

22

Figure 3.5. Numbers of female parent receiving donated pollens from different

number of assigned male parents.

Pattern of Pollen Dispersal

The distances between female to the assigned male parents have been

determined based on their GPS positions. The distance of pollen travel between

assigned male to female parents as measured in this evaluation ranged from 0 - 58

m. Numbers of pollination events of each distance class from the assigned male to

the female coconut parents are presented in Figure 3.6. The assigned male parents

are distributed almost evenly in the different class distances from the female

parents. The 0 m distance between parents indicates self pollination events.

Figure 3.6. Numbers of pollination events for each distance class from the

assigned male to the female coconut parents.

Number of assigned male parents

Nu

mb

er

of fe

ma

le p

are

nt

1

3

1

4

3

1

2

0

2

4

6

1 2 3 4 5 6 7

Nu

mb

er

of eve

nts

Class distance between male to female (m)

15

6

13

18

12 12

7

0

10

20

0 < 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60

23

To evaluate pattern of pollen dispersal among the assigned male parent to

the female, the positions of assigned male parents as pollen donors to one female

parent are plotted to a map using their GPS positions. Representative samples of

the assigned male parent positions to a single female recipient parent are

presented in Figures 3.7-3.11.

As the female parent, Hybrid kopyor # 059 (Figure 3.7) received 6 donated

pollens from six different assigned pollen donors. The pollen contributors to the

progeny array harvested from Hybrid kopyor # 059 female parent were all kopyor

heterozygous Kk coconuts. However, the seven progenies harvested from this

female parent were all phenotypically normal, i.e. genetically either a normal

heterozygous Kk or homozygous KK. The positions of the assigned male parents

relative to the female parent # 059 in the study site were presented in Figure 3.7.

The Dwarf kopyor # 067 (Figure 3.8) received 10 donated pollens from

eight different assigned male parents. The assigned pollen contributors to the

Dwarf kopyor # 067 female parent were all kopyor heterozygous Kk coconuts.

Only one out of the 10 progenies harvested from this female parent was

phenotypically kopyor. The assigned male parent for the harvested kopyor fruit

was the tall kopyor # 089. The positions of the assigned male parents relative to

the female parent # 067 were presented in Figure 3.8.

Figure 3.7. Pattern of pollen movement to female parent # 059 inferred from

parentage analysis. The mark indicates position of ( ) Dwaf kopyor,

( ) Hybrid kopyor as the assigned male (pollen donor) parents, and

( ) hybrid kopyor # 59 as the female recipient, respectively.

24

Figure 3.8. Pattern of pollen movement to female parent # 067 inferred from

parentage analysis. The marks indicate position of ( ) Dwaf kopyor,

( ) Hybrid kopyor, ( ) Tall kopyor as the assigned male (pollen

donor), and ( ) Dwarf kopyor # 067 as the donor pollens and female

recipient, respectively.

Dwarf kopyor # 068 (Figure 3.9) received 9 donated pollens from four

assigned male parents. The four progenies were the result of outcross with either

hybrid (# 59) or dwarf (#87 or # 90) and from self pollination. The assigned

pollen contributors to the Dwarf kopyor # 068 were all kopyor heterozygous Kk

coconuts. Three out of the 9 progenies harvested from Dwarf kopyor # 069 were

phenotypically kopyor. These kopyor fruits received one donated pollen from

either the tall kopyor # 059, dwarf kopyor # 68 or # 87. The positions of the

assigned male parents relative to the female parent # 68 were presented in Figure

3.9.

Dwarf kopyor # 084 (Figure 3.10) received 8 donated pollens from

surrounding pollen donors. The pollen contributors to the Dwarf kopyor # 084

female parent were all kopyor coconuts. Only two out of the 8 progenies

harvested from Dwarf kopyor # 084 were phenotypically kopyor. These two

kopyor fruits received donated pollens from either The two assigned male parents,

either dwarf kopyor # 056 (one pollen) and hybrid kopyor # 057 (one pollen),

each contributed a one pollen to the evaluated progenies. Moreover, assigned male

parent # 32 is the most distance pollen contributor among the evaluated trees. The

positions of the assigned male parents (pollen contributors) relative to the female

parent # 084 were presented in Figure 3.10.

25

Figure 3.9. Pattern of pollen movement to female parent # 068 inferred from

parentage analysis. The marks indicate position of ( ) Dwaf kopyor

and ( ) Hybrid kopyor as the assigned male parents (pollen donors),

and ( ) Dwarf kopyor # 068 as the donor pollens and female

recipient, respectively.

Figure 3.10. Patterns of pollen movement to female parent # 084 inferred from

parentage analysis. The marks indicate positions of ( ) Dwaf

kopyor, ( ) Hybrid kopyor, ( ) the Tall kopyor as the assigned

male - pollen donors, and ( ) Dwarf kopyor # 84 as the female

recipient, respectively.

26

Dwarf kopyor # 089 (Figure 3.11) received 7 donated pollens from

surrounding pollen donors. The pollen contributors to the Dwarf kopyor # 089

female parent were all kopyor coconuts. None of the 7 progenies harvested from

Dwarf kopyor # 089 was phenotypically kopyor. The positions of the assigned

male parents relative to the female parent # 089 were presented in Figure 3.11.

Figures 3.7-3.11 indicated there is no specific direction of donated pollen

movement from assigned male parents to the female parents. The donated pollen

could come from assigned male parents in any directions relative to the female

parent positions. The other positions of the assigned male parents were presented

in Figure attachment 5-14.

In the reseach location, wind blows from left to right during the night and

from right to left during the day. If the wind is the major pollinators, there should

be a specific pattern of pollen movement. Moreover, the distance of pollen

dispersals should be close to the pollen donors. Our data did not support the wind

as the only major pollinator in Kopyor coconut since pollens disperse in random

directions and the assigned male parents are as far as 58 m apart from the

evaluated female recipients. Our data also indicated that insect pollinators may

play an important role in Kopyor coconut pollination. Numbers of insects are

associated with inflorescence of kopyor coconuts. Such insects may aid

pollination and promote cross pollination in kopyor coconuts, as it happens to

other plant species (Bown 1988). These findings, however, do not rule out the role

of wind in the Kopyor coconut pollination, especially from closely spacing male

pollen donors.

Figure 3.11. Pattern of pollen dispersal plotted based on the assigned male parent

as pollen donor to female parent # 089. The marks indicate position

of ( ) Dwaf kopyor, ( ) the Tall kopyor as the assigned pollen

donor, and ( ) Tall kopyor # 89 as the donor pollens and female

recipient, respectively.

27

This might have been the first report of using molecular marker to study

pollen dispersal in coconut. Results of this study point to new finding about pollen

dispersal and pollination, selfing and out-crossing rates among dwarf, hybrid, and

tall coconuts, respectively. However, to generalize the finding will require more

further research and evaluation since these findings may be only specific for the

current study site.

Conclusion

The evaluated markers were effective for assigning candidate male parents

to all evaluated seedlings. There is no specific direction of donated pollen

movement from assigned donor parents to the female ones. The donated pollens

could come from assigned male parents in any directions relative to the female

parent positions. Based on the assigned male parent of the 84 progeny arrays,

cross pollination occured in as many as 69 events (82.1 %) including one among

tall by tall (TxT), dwarf by dwarf (DxD) and hybrid by hybrid (HxH) cross

pollination events. Moreover, outcrossing among TxD, TxH, DxH and vice-versa

were also observed. This finding also indicated the dwarf coconut is not always

self pollinated. The presence of 17.86 DxD, 19.05% TxD and 13.10% HxD were

also observed. In Kopyor coconut, the pollens could travel from pollen donors as

far as 58 m apart from the evaluated female recipients. Therefore, insect

pollinators may play an important role in these distances of Kopyor coconut

pollination.

28

29

IV. PERSEBARAN SERBUK SARI PADA KELAPA DALAM KALIANDA

MEMBUKTIKAN ADANYA PENYERBUKAN SILANG PADA KELAPA

DALAM

Abstrak

Analisis paternitas digunakan untuk mengetahui pola persebaran serbuk

sari pada kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) Dalam Kalianda. Tujuan spesifik

penelitian ini untuk mengevaluasi (i) persebaran serbuk sari serta (ii) kisaran

besarnya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang pada Kelapa Dalam

Kopyor Kalianda, asal Kalianda, Lampung. Populasi yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri atas 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa

Dalam. Dari 60 pohon kelapa dewasa tersebut dipilih 14 pohon dewasa yang

dijadikan sebagai induk betina. Sebanyak 49 progeni dipanen dari 14 induk betina

terpilih dan dikecambahkan untuk sumber DNA dalam analisis paternitas. Calon

tetua jantan terdiri atas 47 pohon kelapa berbuah normal (homozigot KK) dan 13

pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon. Enam lokus

marker SSR polimorfik yaitu CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56,

CnZ_51, CnZ_18 dan empat lokus marker SNAP polimorfik yaitu CNSUS1#14,

CNSUS1#3, WRKY6#3 dan WRKY19#1 digunakan untuk menentukan genotipe

seluruh progeni, seluruh kandidat tetua jantan, dan semua tetua betina yang

digunakan. Hasil percobaan menunjukkan serbuk sari kelapa kopyor Dalam

Kalianda menyebar dengan jarak sejauh 63 m. Jarak penyebaran serbuk sari

terbanyak yang teramati adalah pada jarak 40-50 m, dengan frekuensi sebesar 13

kejadian polinasi. Diantara 47 progeni yang dievaluasi, hanya satu (2%) progeni

yang berasal dari penyerbukan sendiri (self pollination) dan 48 (98%) berasal dari

penyerbukan silang. Hasil penelitian juga menunjukkan 13 progeni (27%) berasal

dari penyerbukan silang antar tetua yang sama-sama kopyor heterosigot Kk dan

35 (71%) progeni berasal dari penyerbukan silang antara tetua kopyor heterosigot

Kk dengan donor serbuk sari yang berasal dari kelapa normal homosigot KK.

Kata kunci : Kelapa Dalam Kopyor, penyerbukan sendiri, penyerbukan silang

30

IV. POLLEN DISPERSAL IN KALIANDA TALL COCONUT PROVED

OUTCROSSING NATURE OF TALL COCONUT POLLINATION

Abstract

Paternity analysis is used to determine the pattern of pollen spread among

kopyor coconut (Cocos nucifera L.) in Kalianda, Lampung. The specific objective

of this study are to evaluate (i) the spread of pollen (ii) the magnitude of the range

of self-pollination and cross-pollination in Kalianda Tall Kopyor coconut at

Kalianda, Lampung. The population used in this study consisted of 60 adult palm

trees, mixtures of heterozygous kopyor (Kk) and homozygous normal (KK)

coconut trees. Progeny arrays (47 nuts) were harvested from 14 kopyor

heterozygous Kk female parents and the progeny were germinated. As many as 60

adult trees surrounding the identified female parents were selected as potential

male parents, consisted of 47 normal homozygous KK palm and 13 kopyor

heterozygous Kk parents. Six polymorphic SSR marker loci used were

CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ_51, CnZ_18 and the four

polymorphic SNAP markers used were CNSUS1 # 14, CNSUS1 # 3, WRKY6#1

and WRKY19 # 3. The markers were used to genotype all the progeny, the

potential male and the female parents. Results of the experiment indicated pollen

of Kalianda Tall Kopyor coconut disperse as far as 63 m. The most frequent

pollen dispersal distance are between 40-50 m with the frequency of 13

pollination events. Among the evaluated progenies, only one (2%) comes from

self pollination event and 48 (98%) comes from cross pollination ones. Results of

the progeny evaluation also indicated that 13 progenies (27%) are the results of

outcrossing among kopyor heterozygous Kk parents and 35 events (71%) are from

outcrossing among kopyor heterozygous Kk parents and the normal homozygous

KK assigned male parents.

Key words : Tall coconut kopyor, self polination, outcrossing pollination, pollen

dispersal

31

Pendahuluan

Kelapa kopyor merupakan komoditas andalan yang bernilai ekonomi tinggi

dan dicirikan oleh daging buah yang bertekstur gembur dan sebagian besar tidak

melekat di tempurungnya serta rasa yang gurih pada buah yang muda. Di Filipina,

jenis kelapa ini disebut makapuno,di Sri Lanka dan Thailand disebut dikiri. Buah

kopyor ini diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik

secara alamiah. Kelapa berbuah kopyor adalah mutan kelapa yang ditemukan di

antara populasi kelapa normal. Buah kelapa kopyor dapat dipasarkan dalam

bentuk segar dan siap saji maupun melalui pengolahan lebih dahulu. Di Indonesia,

pemanfaatan kelapa kopyor lebih ditujukan untuk kebutuhan konsumsi bahan

pangan berupa es kopyor, es krim kopyor, koktil, selei kopyor dan bahan

campuran kue (Sudarsono et al. 2012) .

Hasil survei yang dilaksanakan Balitka pada tahun 2006 menunjukkan

bahwa kelapa kopyor terdiri atas dua tipe, yaitu tipe Dalam dan tipe Genjah. Tipe

Dalam terdapat di Kalianda (Lampung Selatan), Ciomas (Bogor), Sumenep dan

Jombang (Jawa Timur) dan Pati (Jawa Tengah). Pertanaman kelapa kopyor yang

ditanam secara populasi dijumpai di Dukuhseti, Kabupaten Pati (Jawa Tengah),

Sumenep (Jawa Timur), Ciomas (Bogor, Jawa Barat), Kalianda (Lampung

Selatan), Riau dan Kalimantan Timur. Kelapa kopyor yang ditanam secara

individu terdapat di Kabupaten Pati, Jombang dan Sumenep (Sudarsono et al.

2014a). Secara alami, tanaman kelapa kopyor tipe Dalam hanya menghasilkan

buah kopyor 1-2 butir per tandan. Hal ini disebabkan kelapa tipe Dalam termasuk

tanaman menyerbuk silang sehingga peluang bertemunya gen resisif pada bunga

betina dan serbuk sari relatif kecil. Kelapa kopyor tipe Genjah menghasilkan buah

kopyor per tandan lebih banyak dari tipe Dalam, kadang-kadang dapat mencapai

50%.

Kabupaten Lampung merupakan salah satu sentra kelapa di provinsi

Lampung, dengan total areal pertanaman pada tahun 2010 seluas 34.730 ha dan

produksi 30 435.60 ton. Luas areal pertanaman kelapa tersebut terus menurun

seiring dengan alih fungsi lahan untuk pengembangan komoditi lainnya dan untuk

perluasan areal pemukiman. Pada pertanaman kelapa untuk produksi kopra

maupun pemanfaatan lainnya ternyata terdapat kelapa Dalam kopyor dengan

luasan dan jumlah tegakan yang bervariasi. Kondisi pertanamannya dalam bentuk

populasi dan individu tanaman yang menyebar di area kebun kelapa beberapa

petani setempat. Hingga saat ini asal usul tanamannya belum diketahui. Umumnya

tanaman kelapa Dalam kopyor di Lampung berasal dari warisan orang tua atau

pengembangan dari tanaman kelapa Dalam kopyor yang diperoleh dari relasi

petani setempat (Sudarsono et al. 2014b).

Berdasarkan pola penyerbukan, karakter morfologi seperti tinggi pohon,

warna buah dan perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam komponen buah, dan

kecepatan berbunga pertama kelapa dikelompokkan menjadi dua tipe. Tipe kelapa

Dalam (Typica) cenderung menyerbuk silang disebabkan oleh bunga jantan yang

lebih duluan matang dibandingkan bunga betina. Setelah penyerbukan, periode

untuk menjadi buah sadalah 12 bulan. Tipe kelapa Genjah (Nana) cenderung

menyerbuk sendiri karena adanya overlapping antara fase bunga jantan dan

betinanya (DebMandal dan Shyamapada 2011). Kelapa memiliki tipe bunga

berumah satu (monoecious), secara fisik bunga jantan dan betina terpisah dalam

32

individu pohon yang sama. Walaupun bunga jantan dan betina ada pada individu

pohon yang sama, tetapi bunga jantan dan betina tersebut biasanya mekar pada

waktu yang berbeda. Persebaran serbuk sari pada berbagai spesies tanaman kini telah banyak

diteliti contohnya pada tanaman pinus (Schuster dan Mitoon 2000) dan Quercus

garryana famili Fagaceae (Marsico et al. 2009). Dengan mengidentifikasi semua

sumber serbuk sari yang potensial dalam suatu wilayah studi, penanda dari tetua

secara langsung dapat digunakan untuk mengidentifikasi tetua jantan dari progeni

yang dianalisis, dan dengan demikian memberikan wawasan tentang bagaimana

sifat-sifat individu yang diberikan oleh tetua jantan dan menduga kisaran peluang

tanaman menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang dalam suatu populasi

(Milleron et al. 2012). Untuk tanaman kelapa belum pernah dilaporkan mengenai

pola persebaran serbuk sarinya secara spesifik.

Untuk mengembangkan pertanaman kelapa Dalam kopyor di Kabupaten

Lampung Selatan, maka dianggap perlu untuk melakukan analisis persebaran

serbuk sari pada kelapa Dalam Kalianda sebagai sumber informasi berbagai tipe

penyerbukan tanaman kelapa Dalam. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk

mengevaluasi (i) persebaran serbuk sari (ii) kisaran besarnya penyerbukan sendiri

dan penyerbukan silang pada Kelapa Dalam Kalianda Lampung.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 hingga Agustus 2014.

Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Agom Jaya, Kalianda

Kabupaten Lampung Selatan, Lampung dengan lokasi GPS S5 39.462 E105

34.962. Tipe tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan

tipe tanah berpasir. Kegiatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi

Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni

Populasi terdiri atas 282 pohon. Populasi yang dipilih berdasarkan jumlah

tanaman yang lebih dari 10 pohon kopyor. Populasi tersebut merupakan campuran

dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK)

atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Berdasarkan tipe

kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60

pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut

dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat induk betina. Lebih lanjut

berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal (homozigot KK) sebanyak

47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon.

Keberadaan setiap pohon kelapa di perkebunan ditunjukkan dengan menggunakan

pemetaan GPS.

Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina

dijadikan sebagai calon tetua jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu

tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih.

33

Genotyping tetua dan progeni

Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995)

dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus

dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol

sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada

suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi

Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan

kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi

dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube

baru.

Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan

isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume

supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh

pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl.

lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan

aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan

menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001).

Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1)

diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP

berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2)

juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR

dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25

pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi

dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit

sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus

pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing

pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama

5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA

Biosystem.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis

gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan

pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste

et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV

transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap

genotipe dilakukan juga di atas light table.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel

agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk

melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001).

Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto

menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk

setiap sampel.

Identifikasi Kandidat Tetua Jantan

Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak

diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Kandidat tetua jantan bisa

menjadi salah satu induk betina dalam populasi pohon dewasa tersebut. Tahapan

34

ini dilakukan untuk memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua

jantan yang dievaluasi di setiap progeni.

Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe

progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau

induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis

molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program

komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi,

PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data

analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang

(*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-):

tingkat kepercayaan < 80% .

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Lokasi induk betina dan tetua jantan terpilih hasil analisis Cervus

diplotkan menggunakan perangkat lunak pemetaan Garmin MapSource GPS versi

76C5x. Jarak antara induk betina dan tetua jantan dihitung menggunakan software

yang sama. Jarak dan posisi dari kedua induk betina dan tetua jantan yang

dihasilkan kemudian digunakan untuk mengilustrasikan pola persebaran serbuk

sari di lokasi penelitian. Penyerbukan sendiri didefinisikan jika induk jantan yang

teridentifikasi sama dengan tetua betinanya. Selain itu semuanya didefinisikan

sebagai penyerbukan silang. Penyerbukan silang bisa dikelompokkan dengan

kategori penyerbukan silang genjah (induk betina genjah diserbuki oleh tetua

jantan genjah lainnya), penyerbukan silang dalam (induk betina dalam diserbuki

oleh tetua jantan dalam lainnya), penyerbukan silang hibrida ((induk betina

hibrida diserbuki oleh tetua jantan hibrida lainnya), penyerbukan silang antara

induk betina genjah dengan Dalam atau hibrida, atau sebaliknya. Kedua tipe

persilangan dan kuantitasnya semuanya dihitung.

Hasil dan Pembahasan

Pemetaan Populasi Tanaman

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Populasi tersebut

menggambarkan populasi yang digunakan dalam analisis pola persebaran serbuk

sari sebanyak 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60

pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat tetua betina.

Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah

normal sebanyak 68 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 13 pohon.

Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan

sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah

kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran

jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah. Progeni dari setiap

pohon induk betina dipanen masing-masing satu tandan dengan jumlah total

progeni 51 buah.

Berdasarkan tipe kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa

Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat

induk betina. Lebih lanjut berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal

35

(homozigot KK) sebanyak 47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor

(heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon.

Genotyping tetua dan progeni

Berdasarkan analisis molekuler menunjukkan bahwa seluruh primer yang

digunakan menunjukkan pita polimorfik baik mikrosatelit dan SNAP. Salah satu

contoh primer SSR (CnCir_56) dan SNAP ( WRKY 6_3 ) yang menghasilkan alel

polimorfik pada populasi kelapa kopyor yang dianalisis dapat dilihat pada Gambar

4.2. dan 4.3. Pada Gambar 4.2. individu yang dievaluasi untuk lokus SSR

CnCir_56 menunjukkan alel homozigot cc (sampel nomor 1), homozigot bb

(sampel nomor 7-10), heterozigot bc (sampel 2-6 dan sampel 11) atau heterozigot

ab (sampel nomor 12). Sedangkan individu sampel nomor 1,2,3,4 dan 6

heterozigot untuk referens dan alternate untuk alel SNAP (WRKY 6_3) dan

sampel 5 homozigot untuk alel referens (Gambar 4.3). Setiap individu di genotipe

dengan pendekatan yang sama.

Gambar 4.1. Lokasi studi penelitian tegakan kelapa kopyor di Agom Jaya

Kalianda Lampung Selatan. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( )

induk betina Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.

36

2 3 4 5 6

Gambar 4.2. Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SSR CnCir_56 dengan

sampel DNA # 1-12. M: penanda 100 bp DNA . Posisi a, b, and c

menunjukkan posisi alel spesifik pada primer CnCir_56.

Gambar 4.3. Polimorfisme marker SNAP dua pasang dengan sampel DNA

genom 1-6 ( R: reference dan A: alternate pasang primer) pada

marka SNAP WRKY 6_3 SNAP. M: penanda 100 bp DNA . R -

produk PCR dari pasangan primer R dan A - produk PCR dari A

pasangan primer. Jika produk PCR menunjukkan R dan A

keduanya muncul maka individu yang dievaluasi heterozigot,

sedangkan jika hanya salah satunya A atau B menunjukkan

homozigot.

1 2 3 4 5 6

R A R A R A R A R A R A

37

Tabel 4.1. Jumlah alel, heterozigositas observasi (O) dan ekspektasi (E) serta

kandungan informasi polimorfis (PIC) pada 10 lokus marka molekuler

populasi kelapa dalam Kalianda

Nama lokus Jumlah

alel

Jumlah Heterozigositas PIC

Het Hom O E

CnCir_87 2 57 53 0.518 0.487 0.367

CnCir_86 4 41 69 0.373 0.494 0.456

CnZ-18 4 80 30 0.727 0.651 0.599

CnZ_51 5 74 35 0.679 0.775 0.734

CnCir_B12 5 60 50 0.545 0.627 0.551

CnCir_56 5 68 42 0.618 0.71 0.656

CnSus1#14 2 71 38 0.651 0.478 0.363

CnSus1#3 2 75 35 0.682 0.476 0.362

WRKY19#1 2 108 2 0.982 0.502 0.375

WRKY 6#3 2 104 5 0.954 0.501 0.374 Keterangan: PIC = Polymorphic Information Content, Ho = Observed heterozigosity, He =

Expected heterozygosity

Nilai PIC pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan

nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP

(Tabel 4.1). Nilai rata-rata Ho pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR

tergolong lebih rendah dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Tingginya

nilai Ho menunjukkan bahwa pada lokus-lokus tersebut genotipe yang diamati

mayoritas memiliki alel-alel homozigot. Demikian juga nilai He pada lokus

dengan marka SSR lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP.

Alel-alel heterozigot banyak dijumpai pada marka SSR menyebabkan nilai He

lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP.

Marka SNP menggunakan gen spesifik yang apabila dalam melakukan

analisis keragaman dibutuhkan jumlah lokus dan genotipe yang cukup banyak

untuk dianalisis sehingga diperoleh keragaman pada gen spesifik yang sedang

dipelajari. Nilai He yang tinggi mengindikasikan bahwa pada lokus tersebut

menunjukkan keragaman yang tinggi (Boer 2007). Rendahnya lokus yang

digunakan merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai He dan PIC, karena

lokus yang dipelajari masih sedikit dan alelnya cenderung homozigot. Hasil

penelitian Esteras et al. (2012) menggunakan 384 posisi SNP untuk pemetaan

genetik dan analisis QTL pertama di Cucurbitaceae. Platform menggunakan SNP

ini berguna untuk pemetaan dan studi keanekaragaman dan menjadi penting untuk

mempercepat proses pemuliaan.

Identifikasi Kandidat Tetua Jantan

Hasil analisis tetua menunjukkan 24 (48,97%) dengan simbol (+), 10

(20,42%) simbol (*) dan 15 (30,61%) dengan simbol (-), yang menunjukkan

bahwa success rate untuk level confidence diatas 95%, simbol (+) terdapat tiga

progeni level confidence 80% sebesar 39 % dan level confidence dibawah 80%

sebesar 61%. Seluruh nilai LOD menunjukkan tidak terdapat nilai negatif,

sehingga simbol (-) diyakini sebagai jantan walaupun tingkat kepercayaan

38

dibawah 80%. Nilai peluang kemungkinan atau LOD (Likelihood of odds)

menunjukkan nilai lebih besar dari 0 dan positif, nilai LOD positif lebih

mengindikasikan bahwa tetua jantan yang diduga adalah benar. Semakin besar

nilai LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang

sebenarnya (Marshal et al. 1998).

Dari hasil uji progeni dapat dibuat rangkuman skema persilangan dan tipe

penyerbukan pada populasi Kalianda yang menunjukkan bahwa terjadi selfing

genotipe kopyor sebanyak 1 kali (2%), persilangan antara genotipe kopyor

sebanyak 13 kali (27%) dan persilangan genotipe kopyor dan normal sebanyak 35

kali (71%) (Tabel 4.2). Jumlah progeni yang dihasilkan dari tetua jantan yang

teridentifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.4. Penyerbukan polen dari tetua jantan

adalah sebanyak 1-3 serbuk sari, dengan frekuensi tertinggi yaitu 1 serbuk sari

sebanyak 15 kali penyerbukan oleh 1 tetua jantan (Gambar 4.5). Jarak persebaran

polen yang terdekat adalah 0 m dan terjauh > 60 m yaitu 63 m dengan frekuensi

penyerbukan tertinggi terjadi pada jarak >50 m yaitu sebanyak 13 kali (Gambar

4.6).

Tabel 4.2. Skema persilangan dan tipe penyerbukan yang diidentifikasi

berdasarkan hasil analisis persebaran dari uji progeni populasi

Kalianda.

Skema

Penyerbukan Tipe Penyerbukan

Jumlah peristiwa

penyerbukan Persentase

Kopyor x Kopyor Self 1 2%

Kopyor x Kopyor Outcross 13 27%

Kopyor x Normal Outcross 35 71%

Total progeni 49 100.00%

Gambar 4.4. Jumlah progeni yang dipanen per induk betina dan jumlah tetua

jantan yang mendonasikan serbuk sari untuk tetua betina tertentu

pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung

Selatan

9

2 3

2

4 3

4

1

3

1

4

1

6 5

1

7

3 3

2 2

5 4

0

2

4

6

8

10

129

148

149

150

151

156

158

160

163

185

193

194

209

210

217

39

Gambar 4.5. Jumlah tetua jantan yang mendonasikan sejumlah serbuk sari pada

induk betina di sekitarnya pada pertanaman kelapa kopyor populasi

Agom Jaya, Lampung Selatan

Gambar 4.6. Jumlah polinasi setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih

terhadap induk betina pada pertanaman kelapa kopyor populasi

Agom Jaya, Lampung Selatan

1 3

10

5 7

13

3

7

0

5

10

15

20

0 < 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60

Jumlah serbuk sari

15

11

4

0

10

20

1 2 3

Kelas jarak antara tetua jantan terhadap betina (m)

Jum

lah p

eristiw

a

pe

nye

rbu

kan

40

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Evaluasi pola persebaran polen dari tetua jantan yang sudah ditentukan

terhadap induk betina, posisi tetua jantan sebagai donor polen ke salah satu induk

betina di plotkan di peta menggunakan posisi GPS. Contoh gambaran dari posisi

tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina resipien dipresentasikan

pada gambar 4.7-4.18. Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk betina

kelapa Dalam kopyor yang memperlihatkan seluruh donor serbuk sari berasal dari

pohon Dalam kopyor terjadi pada induk betina nomor 148, 150, 163, 193, dan 194

(Gambar 4.7 - 4.11).

Gambar 4.7. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda

induk betina nomor #148. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.

41

Gambar 4.8. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda

induk betina nomor 150. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.

Gambar 4.9. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda

induk betina nomor 194. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam Dalam

kopyor.

42

Gambar 4.10. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 163. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam

kopyor.

Gambar 4.11. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 193. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam

kopyor.

Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk betina kelapa Dalam

kopyor yang memperlihatkan sebagian donor serbuk sari berasal dari pohon

Dalam normal terjadi pada induk betina nomor 149, 151, dan 156, (Gambar 4.12 -

4.14).

43

Gambar 4.12. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam normal Kalianda

induk betina nomor 149. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam normal dan ( )

tetua jantan Dalam kopyor.

Gambar 4.13. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam normal Kalianda

induk betina no. 151. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

induk betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, dan (

) tetua jantan Dalam normal.

44

Gambar 4.14. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 156. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam

normal.

Gambar 4.15. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor #129. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam Normal, ( ) tetua jantan Dalam

kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam normal

Pohon induk betina kelapa Dalam normal yang ada di sekitar pohon kelapa

Dalam kopyor juga dapat menerima sumbangan serbuk sari yang berasal dari

kelapa Dalam kopyor. Gambar 4.15-4.17 menunjukkan pohon induk betina Dalam

normal nomor 129, 158, dan 209 menerima serbuk sari yang berasal dari donor

kelapa Dalam kopyor dan Dalam Normal. Sebaliknya, pohon induk betina Dalam

45

normal nomor 210 hanya menerima serbuk sari yang berasal hanya dari donor

kelapa Dalam kopyor (Gambar 4.18).

Gambar 4.16. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 158. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam

kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam normal.

Gambar 4.17. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 209. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam, ( ) tetua jantan Dalam normal dan

( ) tetua jantan Dalam kopyor.

46

Gambar 4.18. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor

Kalianda induk betina nomor 210. Simbol mengidentifikasikan

posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam

kopyor.

Salah satu populasi kelapa berbuah kopyor dilaporkan di Kecamatan

Kalianda Lampung Selatan (Mahmud 2000). Daerah sentra kopyor seperti

Lampung dan Sumenep, petani memperbanyak dari pohon-pohon penghasil buah

kopyor tipe Dalam. Perkembangan tanaman kelapa berbuah kopyor ini mungkin

terjadi karena tumbuhnya buah kelapa normal yang memiliki gen kopyor dari

tanaman penghasil buah kopyor tersebut. Selain buah kopyor bergenotipe kk

(homozigot) yang letal, pada tanaman atau tandan yang sama juga dihasilkan buah

dengan endosperma normal yang memiliki embrio mengandung gen kopyor

dengan genotipe Kk (heterozigot) (Santos 1999).

Pola pertanaman kelapa Dalam berbuah kopyor di Kalianda yang bercampur

dengan kelapa Dalam normal. Pola tersebut memungkinkan terjadinya persilangan

alami antar tanaman kelapa Dalam berbuah kopyor dengan kelapa dalam berbuah

normal yang ada di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan karena tipe kelapa Dalam

umumnya memiliki pola penyerbukan secara silang, karena periode kematangan

bunga betina (masa reseptif) tidak bersamaan dengan periode matangnya bunga

jantan (antesis) pada satu tandan yang sama (Maskromo et al. 2011).

Terbentuknya buah kopyor disebabkan oleh bertemunya gen kopyor pada bunga

betina kelapa yang membawa sifat kopyor dengan gen kopyor pada serbuk

sariyang menyerbuki bunga betina tersebut (Santos 1999).

Bunga betina kelapa Dalam kopyor heterozigot atau tanaman kopyor

homozigot yang dibuahi serbuk sari dari pohon kelapa normal akan membentuk

buah normal atau tidak kopyor. Pola pembungaan dan pembuahan pada tanaman

kelapa kopyor tipe Dalam tersebut menyebabkan rendahnya peluang terbentuknya

buah kopyor pada tanaman kelapa berbuah kopyor yang dikelilingi tanaman

47

kelapa normal. Produksi buah kopyor pada tanaman yang tumbuh berdekatan

dengan beberapa pohon kopyor lainnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman

kopyor yang dikelilingi oleh banyak tanaman kelapa normal di sekitarnya.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka disarankan untuk menebang dan

mengganti tanaman kelapa normal secara bertahap dengan tanaman berbuah

kopyor (Sudarsono et.al. 2014a).

Simpulan

Pola persebaran polen pada tanaman kelapa kopyor tipe Dalam Kalianda

menunjukkan penyerbukan kelapa kopyor oleh kelapa normal dengan jarak

persebaran serbuk sari paling sering terjadi pada jarak <50 m dengan frekuensi 13

kali penyerbukan, dengan persebaran terjauh pada jarak 63 m dan persebaran

terdekat pada jarak 0 m. Hasil uji progeni menunjukkan persentase terjadinya

selfing sebanyak 1 kali (2%) dan persentase outcrossing terjadi sebanyak 48 kali

(98%) sehingga membuktikan besarnya penyerbukan silang pada tipe kelapa

Dalam.

48

49

V. PERSEBARAN SERBUK SARI MEMBUKTIKAN POTENSI

PENGARUH NEGATIF KELAPA NORMAL TERHADAP

HASIL BUAH KOPYOR

Abstrak

Salah satu tipe kelapa unik yang terdapat di Indonesia yaitu kelapa berbuah

kopyor. Buah kopyor ini diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami

mutasi genetik secara alamiah. Upaya untuk mengatasi masalah produktifitas

buah kopyor yang rendah salah satunya adalah dengan mempelajari efek xenia

pada populasi kopyor. Xenia merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung

serbuk sari pada fenotipe biji dan buah yang dihasilkan tetua betina. Populasi yang

dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah penduduk. Populasi tersebut

merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon

kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor.

Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah

normal sebanyak 33 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 9 pohon.

Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan

sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Hasil analisis

menunjukkan adanya pengaruh negatif xenia terhadap hasil panen buah kopyor

ketika pohon betina kopyor heterosigot Kk dikelilingi oleh kelapa normal

homosigot KK sebagai donor serbuk sari. Sebanyak 99 buah progeni yang

dipanen dari pohon induk betina kelapa kopyor heterosigot Kk, semuanya

mempunyai fenotipe normal. Hasil penelitian juga menunjukkan persebaran

serbuk sari dapat terjadi dengan kisaran jarak 0 m (self pollination) hingga 54 m

(outcrossing). Frekuensi persebaran serbuk sari terbesar terjadi pada jarak antar

tetua yang berkisar 20 m. Pada jarak tersebut, terjadi penyerbukan sebanyak 30

kali. Frekuensi terjadinya penyerbukan silang sebesar 95% dan penyerbukan

sendiri sebesar 5%.

Kata kunci : kelapa Dalam kopyor, xenia, persebaran serbuk sari

50

V. POLLEN DISPERSAL IN PATI TALL COCONUT INDICATED

NEGATIVE XENIA EFFECT FOR KOPYOR FRUIT YIELD*

Abstract

Kopyor coconut is one of the many unique coconut type existed in

Indonesia. Kopyor coconut is a naturally occuring coconut mutant. Efforts to

address the problem of low kopyor fruit yield is conducted by studying effect of

xenia on kopyor fruit yield. Xenia is a genetic phenomenon in the form of a direct

effect of pollen to the phenotype of fruits yielded by the female parents. The

mixture of kopyor and normal coconut population was selected in the farmers

coconut plantations. All adults trees surrounding the 9 kopyor heterozygous Kk

palms were evaluated as potential male candidate parents (pollen donors). Results

of the analysis indicated xenia reduce kopyor fruit yields. Kopyor heterozygous

Kk female parents produced low number of kopyor fruits when they are

surrounded by many normal homozygous KK pollen donors. Out of 99 harvested

progeny arrays from the kopyor heterozygous Kk female parents, none exhibited

kopyor phenotype. The results also indicated the pollen dispersal from normal

homozygous KK donor palms range from 0 m (self pollination) to 54 m

(outcrossing). The highest frequency of pollens are dispersed from a distance of

less than 20 m (30 pollination events). The occurence of outcrossing frequency is

at least 95% and the selfing frequency is 5%.

Key Words : Tall kopyor coconut, xenia, pollen dispersal

---------------------- *)

This chapter has been submitted to Buletin Palma : entitled ; Persebaran serbuk

sari pada kelapa dalam dukuh seti membuktikan potensi pengaruh negatif kelapa

normal terhadap hasil buah kopyor

51

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa terbesar kedua di

dunia setelah Filipina. Selain memiliki areal pertanaman terluas, Indonesia juga

mempunyai keanekaragaman genetika kelapa yang besar. Hasil eksplorasi Balai

Penelitian Palma Manado diperoleh kurang lebih 105 aksesi kelapa Dalam dan

kelapa Genjah. Saat ini hasil eksplorasi tersebut dikoleksi secara ex situ di sam

beberapa kebun koleksi plasma nutfah kelapa (Novarianto et al. 2000). Diantara

berbagai jenis kelapa yang ada di Indonesia terdapat salah satu tipe kelapa yang

unik yaitu kelapa berbuah kopyor. Buah kopyor ini diduga berasal dari tanaman

kelapa yang mengalami mutasi genetik secara alamiah. Sebagai hasil mutasi

alamiah, jumlah tanaman kelapa berbuah kopyor sangat sedikit dibandingkan

dengan tanaman kelapa berbuah normal. Menurut Falconer (1985) peluang

terjadinya mutasi alamiah secara umum sangat rendah yaitu sebesar 10-5

sampai

10-6

untuk setiap generasi. Hal ini berarti bahwa hanya 1 diantara 100.000 sampai

1.000.000 peluang terjadinya mutasi alamiah di alam. Selain itu organisme hasil

mutasi cenderung letal, sehingga perkembangbiakannya terhambat dan akhirnya

punah.

Berdasarkan hal tersebut, kelapa mutan ini seharusnya tidak berkembang,

tetapi ternyata kelapa ini banyak ditemukan di beberapa sentra produksi kelapa di

Indonesia. Sifat kopyor dikendalikan oleh gen mutan pada lokus K. Buah kopyor

mempunyai embrio zigotik denga genotipe homozigot kk dan endosperma kkk.

Buah kelapa normal mempunyai embrio zigotik dengan genotipe homozigot KK

atau heterozigot Kk dan alternatif endosperma KKK, KKk atau Kkk. Buah kopyor

secara alami tidak dapat berkecambah sedangkan buah normal homozigot KK

atau heterozigot Kk dapat berkecambah dan menghasilkan bibit kelapa.

Keberadaan tanaman kelapa kopyor di Kab. Pati, Jawa Tengah sudah

diketahui oleh masyarakat luas terutama di daerah Jawa sejak tahun 1960an dan

pengembangannya terus dilakukan hingga saat ini (Dishutbun Pati 2004).

Tanaman ini tersebar di tujuh kecamatan yaitu Dukuhseti, Margoyoso, Tayu,

Wedarijaksa, Trangkil, Gunung Wungkal dan Cluwak. Luas pertanaman kelapa

kopyor di Kabupaten Pati 378.09 Ha dan areal terluas terdapat di tiga kecamatan,

yaitu Dukuhseti, Margoyoso dan Tayu, berturut-turut seluas 132.60 Ha, 131.55

Ha dan 69.50 Ha (Anonim 2004). Menteri Pertanian Republik Indonesia pada

tahun 2010 telah melepas secara resmi tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah

Kopyor asal Pati. Tiga varietas yang dimaksud adalah Genjah Hijau Kopyor,

Genjah Coklat Kopyor dan Genjah Kuning Kopyor. Selain di tempat asalnya,

ketiga varietas kelapa kopyor tersebut telah ditanam sebagai koleksi di Kebun

Percobaan Kima Atas, Balitka Manado pada tahun 2006.

Salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah produksi buah kopyor

yang dipanen belum optimal. Tanaman kelapa kopyor di Pati dapat menghasilkan

jumlah buah kopyor sebanyak 1-4 butir per tandan dari jumlah total buah 7-15

butir. Secara teori, berdasarkan pola segregasi Hukum Mendel, maka peluang

terbentuk buah kopyor seharusnya mencapai 25% dari jumlah buah toal yang

dipanen (Maskromo 2005).

Upaya untuk mengatasi masalah produktifitas buah kopyor yang rendah

salah satunya adalah dengan mempelajari efek xenia pada populasi kopyor. Xenia

merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung serbuk sari pada fenotipe biji

52

dan buah yang dihasilkan tetua betina. Pada kajian pewarisan sifat, ekspresi dari

gen yang dibawa tetua jantan dan tetua betina diekspresikan pada generasi

berikutnya. Dengan adanya xenia, ekspresi gen yang dibawa tetua jantan dapat

diekspresikan pada tetua betina (buah) (Bulant et al. 2000). Fenomena xenia pada

tanaman kelapa telah diketahui berpengaruh terhadap ukuran buah, berat kopra

dan ketegaran hibrida (Satyabalan 1995).

Xenia berhubungan dengan fenotipe yang dikendalikan oleh gen resesif.

Terbentuknya buah kopyor pada kelapa tergantung pada genotipe serbuk sari yang

menyerbuki bunga betina tanaman kelapa kopyor, sehingga merupakan contoh

xenia. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk mengevaluasi efek negatif

xenia pada pertanaman kelapa kopyor Dalam Pati dan mengetahui kisaran

besarnya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi pada populasi

Kelapa Dalam Pati.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2013 hingga Desember 2013.

Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Desa Dukuh Seti

Kabupaten Pati, Jawa Tengah dengan lokasi GPS S6 27.649 E111 02.747. Tipe

tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah

berpasir. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler

Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni

Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah

penduduk. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor

heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah

menghasilkan buah kopyor dengan total pohon dewasa 42 pohon. Pohon kelapa

yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak

33 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 9 pohon. Semua pohon-

pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon

induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Pemilihan pohon yang dijadikan

sebagai induk betina dilakukan dengan metode purpossive random sampling.

Induk betina yang digunakan sejumlah 7 pohon kelapa Dalam kopyor.

Masing-masing pohon induk betina dipanen tiga tandan buah kelapa (progeni)

dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 12 buah. Progeni

buah kelapa normal langsung diisolasi DNA dari embrio zigotiknya. Semua

pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai

calon tetua jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa

(progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah

progeni per induk betina antara 1 sampai 10 buah. Progeni dari setiap pohon induk

betina dipanen masing-masing satu tandan dengan jumlah total progeni 102 buah.

Progeni buah kelapa tadi langsung diisolasi dari embrio zigotiknya untuk

diperoleh DNA-nya.

53

Genotyping tetua dan progeni

Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995)

dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus

dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol

sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada

suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi

Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan

kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi

dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube

baru.

Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan

isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume

supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh

pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl.

lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan

aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan

menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001).

Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1)

diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP

berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2)

juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR

dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25

pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi

dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit

sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus

pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing

pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama

5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA

Biosystem.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis

gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan

pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste

et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV

transluminesen, di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap

genotype dilakukan juga di atas light table.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel

agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk

melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001).

Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto

menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk

setiap sampel.

54

Identifikasi Kandidat Tetua Jantan

Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak

diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Kandidat tetua jantan bisa

menjadi salah satu induk betina dalam populasi pohon dewasa tersebut. Tahapan

ini dilakukan untuk memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua

jantan yang dievaluasi di setiap progeni.

Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe

progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau

induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis

molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program

komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi,

PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data

analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang

(*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-):

tingkat kepercayaan < 80% .

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Lokasi induk betina dan tetua jantan terpilih hasil analisis Cervus

diplotkan menggunakan perangkat lunak pemetaan Garmin MapSource GPS versi

76C5x. Jarak antara induk betina dan tetua jantan dihitung menggunakan software

yang sama. Jarak dan posisi dari kedua induk betina dan tetua jantan yang

dihasilkan kemudian digunakan untuk mengilustrasikan pola persebaran serbuk

sari di lokasi penelitian.

Penyerbukan sendiri didefinisikan jika induk jantan yang teridentifikasi

sama dengan tetua betinanya. Selain itu semuanya didefinisikan sebagai

penyerbukan silang. Penyerbukan silang bisa dikelompokkan dengan kategori

penyerbukan silang genjah (induk betina genjah diserbuki oleh tetua jantan genjah

lainnya), penyerbukan silang dalam (induk betina dalam diserbuki oleh tetua

jantan dalam lainnya), penyerbukan silang hibrida ((induk betina hibrida diserbuki

oleh tetua jantan hibrida lainnya), penyerbukan silang antara induk betina genjah

dengan Dalam atau hibrida, atau sebaliknya. Kedua tipe persilangan dan

kuantitasnya semuanya dihitung.

Hasil dan Pembahasan

Pemetaan Populasi Tanaman

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.1. Pohon kelapa

berbuah normal diberi warna merah, sedangkan untuk pohon kelapa berbuah

kopyor diberi warna hijau. jumlah total pohon Kopyor sebanyak 9 pohon (Dalam

kopyor 8 pohon dan Genjah kopyor 1 pohon) dan pohon normal sebanyak 33

pohon (Dalam normal 33 pohon dan Genjah normal 3). Yang dijadikan sebagai

pohon induk betina adalah semua pohon berbuah kopyor dengan pertimbangan

ingin melihat pengaruh pohon normal disekitar pohon berbuah kopyor tadi.

55

Gambar 5.1. Peta lokasi penelitian dengan tegakan kelapa kopyor pada desa

Dukuh Seti Kabupaten Pati Jawa Tengah. Simbol

mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor, (….)

induk betina genjah kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( )

tetua jantan Dalam kopyor, ( ) tetua jantan genjah normal, dan ( )

tetua jantan genjah kopyor

Tabel 5.1. Jumlah alel, heterozigositas observasi (O) dan ekspektasi (E) serta

kandungan informasi polimorfis (PIC) pada 10 lokus marka molekuler

hasil analisis Cervus pada populasi kelapa Dalam Pati

Nama lokus Jumlah Alel Jumlah Heterozigositas

PIC Het Hom O E

CnCir_87 2 64 80 0.444 0.496 0.372

CnCir_86 4 89 54 0.622 0.687 0.635

CnZ-18 4 116 28 0.806 0.741 0.691

CnZ_51 5 89 55 0.618 0.707 0.66

CnCir_B12 5 107 37 0.743 0.745 0.699

CnCir_56 5 81 63 0.563 0.695 0.647

CnSus1#14 2 39 100 0.281 0.252 0.22

CnSus1#3 2 96 43 0.691 0.483 0.365

WRKY19#1 2 116 24 0.829 0.5 0.374

WRKY 6#3 2 123 21 0.854 0.495 0.371 Keterangan: PIC= Polymorphic Information Content. Ho= Observed heterozigosity. He= Expected

56

Genotyping tetua dan progeni

Nilai PIC pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan

nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP

(Tabel 5.1). Semakin rendah tingkat polimorfisme, maka tingkat keragaman juga

semakin rendah. Hal ini disebabkan karena jumlah lokus pada marka SSR yang

digunakan lebih banyak dari pada jumlah lokus pada marka SNP. Nilai PIC

merupakan ukuran polimorfisme antar genotipe dalam suatu lokus yang

menggunakan informasi jumlah alel (Sajib et al. 2012).

Jumlah populasi homozigot dengan menggunakan lokus-lokus marka SSR

tergolong lebih rendah dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Demikian

juga nilai He pada lokus dengan marka SSR lebih tinggi dibandingkan dengan

lokus pada marka SNP. Alel-alel heterozigot banyak dijumpai pada marka SSR

menyebabkan nilai He lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP.Dari hasil

analisis cervus juga bisa diperoleh persentasi donor normal dan donor kopyor

yang menyerbuki pohon betina Dalam Kopyor yang ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Pada penelitian ini juga memperlihatkan tidak adanya buah kopyor yang

bisa dipanen oleh petani. Hal ini mengindikasikan adanya dugaan bahwa kelapa

kopyor yang heterozigot Kk diserbuki oleh pohon normal KK. maka nilai harapan

produksi buah kopyornya menjadi nol dan semua buah yang dihasilkan

merupakan buah normal dengan genotipe embrio zigotik homozigot KK (50%)

atau heterozigot Kk (50%). Keberadaan pohon normal KK di sekitar pohon

kopyor heterozigot Kk dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe buah yang

dipanen sehingga dikategorikan sebagai efek xenia. Efek xenia ini bisa juga

dipelajari melalui analisis serbuk sari dengan mengidentifikasi tetua pendonor

polen yang terbaik untuk meningkatkan produksi buah. Hal ini juga dilakukan

oleh Olfati et al. (2010) dengan melihat efek xenia pada buah dan biji cucumber.

Sifat kopyor dikendalikan oleh satu lokus dengan alel resesif k. sedangkan

sifat normal dikendalikan oleh alel K. Pohon kelapa kopyor di lokasi penelitian

mempunyai genotipe heterozigot Kk. yang jika diserbuki oleh pohon kopyor

heterozigot Kk lainnya. menghasilkan nilai harapan 25% hasil buah kopyor

(genotipe embrio zigotik kk) dan 75% hasil buah normal (Sudarsono et al. 2014a)

Tabel 5.2. Skema persilangan dan tipe polinasi yang diidentifikasi berdasarkan

hasil analisis persebaran polen dari uji progeni pada populasi kelapa

Dalam Dukuh Seti, Pati

Skema polinasi Tipe polinasi Jumlah kejadian Persentase

Kopyor x Kopyor Self 3 3%

Kopyor x Kopyor Outcross 25 25%

Kopyor x Normal Outcross 74 73%

Total progeni 102 100.00%

57

Gambar 5.2. Jumlah progeni dipanen dan jumlah tetua jantan untuk tetua betina

tertentu populasi kelapa Dalam Dukuh Seti, Pati

Gambar 5.3. Jumlah serbuk sari yang didonasikan oleh tetua jantan terhadap

tetua betina tertentu populasi kelapa Dalam Dukuh Seti, Pati

Gambar 5.4. Jumlah polinasi setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih

terhadap tetua betina pada pertanaman kelapa kopyor populasi

Desa Dukuh Seti Kabupaten Pati Jawa Tengah

26

5

27

1

10

15 18 18

2

13

1

8 9 13

0

10

20

30

R1 R3 R6 R7 R10 R21 R32

4

11

4 3

1

4

1 2

0

5

10

15

1 2 3 4 5 6 7 8

5

21 30

15

22

5 1 0

0

10

20

30

0 < 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60

Kelas Jarak antara tetua jantan terhadap betina (m)

Jum

lah p

eristiw

a

penyerb

ukan

58

Dari gambar 5.2. di atas terlihat bahwa jumlah progeni yang didapatkan

dari 7 tetua betina adalah sebanyak 102 progeni (batang hitam) dengan 64 pohon

tetua jantan (batang putih). Pada Gambar 5.3 menunjukkan terdapat 1-8 serbuk

sari yang dapat di donorkan oleh satu tetua jantan dengan frekuensi tertinggi

sebanyak 11 kali dengan 2 serbuk sari. Gambar 5.4 menunjukkan kelas jarak

polen dengan jarak terdekat 0 m (selfing) dan terjauh <60 m yaitu 54 m. Frekuensi

tertinggi terdapat pada jarak <20 m dengan 30 kali penyerbukan terjadi.

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Evaluasi pola persebaran polen dari tetua jantan yang sudah ditentukan

terhadap induk betina, posisi tetua jantan sebagai donor polen ke salah satu induk

betina di plotkan di peta menggunakan posisi GPS. Contoh gambaran dari posisi

tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina resipien dipresentasikan

pada gambar 5.5 - 5.11.

Gambar 5.5. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R1. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua

jantan Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan genjah kopyor

59

Gambar 5.6. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R10. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi

dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal dan ( )

tetua jantan Dalam kopyor.

Gambar 5.7. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R21. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua

jantan Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan genjah normal.

60

Gambar 5.8. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R32. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi

dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua

jantan Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan genjah normal

Gambar 5.9. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R6. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi

dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua

jantan Dalam kopyor, ( ) tetua jantan genjah normal, dan ( ) tetua

jantan genjah kopyor

61

Gambar 5.10. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R7. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina genjah kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam normal

Gambar 5.11. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua

betina nomor R3. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk

betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi

dirinya sendiri (selfing) dan ( ) tetua jantan Dalam normal.

62

Gambar 5.5-5.11 menunjukkan pola persebaran serbuk sari induk betina

kelapa Dalam kopyor memperlihatkan kecenderungan pohon pendonor serbuk sari

sebagian besar dari kelapa normal. Pengaruh negatif xenia ini terlihat pada

produktifitas buah kopyor dimana persentase buah yang dipanen semuanya

menjadi buah normal disebabkan populasi pohon kelapa normal (KK) lebih besar

di populasi tersebut. Sesuai dengan hasil penelitian Novarianto dan Lolong

(2012) bahwa dalam kondisi pertanaman campuran dengan sejumlah tanaman

kelapa normal rasio hanya menghasilkan rataan buah kopyor 15.8%.

Sehingga dalam rekomendasi penelitian Sudarsono et al (2014b) dalam

proyek Hi Link bahwa penebangan sebagian kelapa normal KK di antara

pertanaman kelapa Genjah Kopyor Pati Kk menyebabkan terjadinya peningkatan

persentase buah kopyor yang dipanen hingga 10%. Peningkatan persentase buah

kopyor yang dipanen diduga terkait dengan menurunnya pengaruh xenia pada

pertanaman akibat jumlah pohon normal KK yang semakin sedikit di lokasi

penelitian.

Populasi pertanaman yang cenderung kelapa Dalam juga terlihat 7 kali

terjadi persilangan sendiri (self pollination) berdasarkan hasil analisis cervus.

Kemungkinan ini juga bisa terjadi karena adanya tipe bunga kelapa dengan

morfologi terbuka. Xenia merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung

pollen pada fenotipe biji dan buah yang dihasilkan tetua betina.

Pada kajian pewarisan sifat. ekspresi dari gen yang dibawa tetua jantan dan

tetua betina diasumsikan baru diekspresikan pada generasi berikutnya. Dengan

adanya xenia, ekspresi gen yang dibawa tetua jantan secara dini sudah

diekspresikan pada organ tetua betina (buah) embrio dan/atau endosperm. Gejala

xenia tidak hanya mempengaruhi warna tetapi juga bentuk kadar gula, kadar

minyak, bentuk buah dan waktu pemasakan.

Xenia bukanlah penyimpangan dari Hukum Pewarisan Mendel melainkan

konsekuensi langsung dari pembuahan berganda (double fertilisation) yang terjadi

pada tumbuhan berbunga dan proses perkembangan embrio tumbuhan hingga biji

masak. Pada tahap perkembangan embrio sejumlah gen pada embrio dan

endosperm berekspresi dan mempengaruhi penampilan biji, bulir atau buah

(Denney 1992). Metaxenia tidak seperti xenia, tidak dapat dijelaskan dengan

elemen-elemen hereditas (kromosom) yang terbawa di dalam polen karena tidak

seperti kromosom yang terdapat pada jaringan yang menunjukkan pengaruh

langsung dari polen tetua (Bodor et al. 2008). Metaxenia menguraikan tentang pengaruh polen pada jaringan buah

maternal asal seperti pericarp dan komponen buah yang lain tidak dipengaruhi

oleh polen. Sedangkan xenia menguraikan tentang pengaruh polen pada jaringan

yang berisi sedikitnya satu satuan gen dari tetua jantan yakni embrio dan

endosperm (Ehlenfeldt 2003).

Simpulan

Pertanaman kelapa Dalam kopyor Pati di desa Dukuh Seti cenderung

mengalami pengaruh negatif xenia dengan keberadaan pohon-pohon kelapa

normal yang dalam jumlah lebih banyak di sekitar pohon kopyor. Selain itu,

pengaruh negatif xenia menyebabkan hasil buah kopyor yang dipanen hanya

sebesar 1% dan buah normal yang dipanen sebesar 99 % dari total buah yang

63

dipanen. Jarak penyebaran serbuk sari yang terdekat sejauh 0 m (self pollination)

dan terjauh sejauh 54 m. Frekuensi jarak penyebaran serbuk sari tertinggi terdapat

pada jarak < 20 m dengan sebanyak 30 kali penyerbukan. Persentase terjadinya

penyerbukan silang (outcrossing) sebesar 95% dan penyerbukan sendiri (selfing)

sebesar 5%.

64

65

VI. LEBAH MADU SEBAGAI POLINATOR MERUBAH POLA

PERSEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR GENJAH PATI

Abstrak

Jarak dan arah persebaran serbuk sari dapat memberikan informasi tentang faktor

apa yang membantu penyerbukan kelapa kopyor di Pati. Analisis tetua jantan berdasarkan

enam lokus SSR dan empat lokus SNAP digunakan untuk melihat pola persebaran

serbuk sari kelapa kopyor (Cocos nucifera L.). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui (i) pola persebaran serbuk sari kelapa sebelum dan sesudah introduksi

lebah madu (ii) jarak distribusi serbuk sari kelapa sebelum dan sesudah introduksi lebah.

Enam lokus polimorfik marker SSR yang digunakan adalah CnCir_B12, CnCir_86,

CnCir_87, CnCir_56, CnZ 51, CnZ 18 dan empat lokus marker polimorfik SNAP yang

digunakan adalah CNSUS1Pos14. CNSUS1Pos3. WRKY6-Pos3 dan WRKY19-Pos1.

Sepuluh lokus marker tersebut digunakan untuk mengidentifikasi genotipe semua calon

tetua jantan, tetua betina dan semua progeninya. Hasil penelitian menunjukkan nilai PIC

dari marker yang dievaluasi setelah introduksi koloni lebah madu lebih tinggi

dibandingkan dengan sebelum introduksi. Jarak penyebaran serbuk sari terjauh setelah

introduksi koloni lebah madu sejauh 63 m dan sebelum introduksi sejauh 58 m.

Persentase terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) sebelum introduksi lebah madu

sebesar 18% sedangkan setelah introduksi lebah madu sebesar 9.45%. Dengan demikian,

penyerbukan silang antar tanaman kelapa kopyor sesudah introduksi koloni lebah madu

lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum introduksi.

Kata kunci : Lebah madu, polinator, persebaran polen, marka SSR, marka SNAP

66

VI. INTRODUCTION OF HONEY BEE POLLINATORS CHANGE THE

PATTERN OF POLLEN DISPERSAL AMONG PATI DWARF KOPYOR

COCONUTS

Abstract

Distance and direction of pollen spread can give information about the

factors assisting pollination in Pati kopyor coconut. Paternity analysis based on

six SSR markers and four SNAP marker loci were used to determine pattern of the

kopyor coconut (Cocos nucifera L.) pollen dispersal. The specific objectives of

this research are to evaluate: (i) the pattern of kopyor coconut pollen dispersals

before and after intoduction of honey bees colony in the coconut plantation and

(ii) the distribution of class distance among the female and the assigned male

coconut parents before and after the introduction of honey bee pollinators. The

evaluated SSR marker loci are CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ

51,CnZ 18 and the four SNAP marker loci are CNSUS1Pos14, CNSUS1Pos3,

WRKY6-Pos3 and WRKY19-Pos1. The markers were used to genotype all

candidate male parent, the female parent, and all the progeny arrays. Results of

the evaluation indicated PIC of the evaluated marker after honey bee colony

introduction is higher than before introduction. The longest pollen distance after

honey bee colony introduction is 63 m and before introduction is 58 m.

Percentage of self pollination before introduction of honey bee colony is 18%

while that after introduction is only 9.45%. Therefore, more outcrossing occurs

after introduction of honey bee colony into the kopyor coconut plantation.

.

Key Words: Honey bee, polinators, pollen dispersal, SSR marker, SNAP marker

67

Pendahuluan

Kelapa kopyor memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai

komoditas spesifik daerah karena mempunyai keunggulan kompetitif dibanding

kelapa normal. Selain itu. buah kopyor juga berpotensi sebagai komoditas ekspor.

Permintaan konsumen terhadap buah kopyor selalu tidak terpenuhi. karena

terbatasnya produksi buahnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, agribisnis kelapa

kopyor saat ini menjadi sangat menjanjikan bagi petani. Pengembangan agribisnis

buah kelapa kopyor masih menghadapi beberapa kendala, di antaranya adalah

masih rendahnya produksi buah kopyor yang dihasilkan petani dari pohon kelapa

kopyornya. Hal ini terkait dengan jumlah buah kopyor yang dihasilkan setiap

pohon (Maskromo et al. 2007).

Data pertanaman kelapa kopyor di Kabupaten Pati diidentifikasi sebanyak

47 261 pohon yang dimiliki oleh 1 583 petani dengan produksi buah kopyor

296 279 butir pertahun (Anonim. 2004). Berarti produksi buah kopyor rata-rata

hanya 6 butir/pohon pertahun. Produksi buah kopyor tesebut masih sangat rendah

dibanding dengan potensi yang dimiliki oleh kelapa Genjah yang mampu

menghasilkan total buah perpohon80-120 butir pertahun. Jika produksi buah

kelapa Genjah rata-rata 50 butir/pohon/tahun. artinya produksi buah kopyor rata-

rata di Kabupaten Pati hanya 6/50×100%=12%. Walaupun pada beberapa pohon

terpilih ditemukan produksi buah kopyor antara 30-40%.Hal ini bisa terjadi karena

pohon kelapa kopyor alami (Genotipe heterozygot=Kk) tumbuh di antara pohon

kelapa bukan kopyor (Genotipe homozigot dominan=KK). Walaupun sifat kelapa

Genjah lebih dominan menyerbuk sendiri, tetapi peluang terjadi penyerbukan

silang masih cukup besar.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas pertanaman

kelapa kopyor adalah tingkat keberhasilan penyerbukan dan persentase bunga

betina yang berkembang menjadi buah dalam setiap tandan bunga. Vektor

persebaran serbuk sari dan biji terdiri atas vektor abiotik seperti olehangin

(anemochory), air (hydrochory), berat (barochory), dan vektor biotik yaitu

dibantu oleh hewan (zoochory) yang meliputi endozoochorous(setelah melalui

pencernaan) atau exozoochorous (tanpa melalui pencernaan). Keberhasilan

penyerbukan di kelapa sangat ditentukan oleh keberadaan serangga penyerbuk

(polinator) yang berkeliaran di tandan bunga tanaman kelapaterutama pada kelapa

tipe dalam. Dengan mengetahui faktor polinator juga dapat membantu dalam

mempelajari pola persebaran serbuk sari pada tanaman.

Produksi kelapa sawit di beberapa daerah di Indonesia masih belum

optimal meskipun kumbang penyerbuk untuk kelapa sawitElaeidobius

kamerunicusdidatangkan ke Indonesia sejak tahun 1982 (Sianturi 2001). Hal ini

disebabkan antara lain karena masih banyak bunga yang gagal diserbuki sehingga

buah kelapa sawit tidak berkembang. Agar jumlah buah kelapa sawit yang

berkembang semakin banyak, frekuensi penyerbukan perlu ditingkatkan dengan

cara meningkatkan jenis dan populasi serangga penyerbuknya.

Hasil eksplorasi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado

(Balitka) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah diperoleh adanya kelapa kopyor tipe

Genjah. Kelapa kopyor tipe Genjah memiliki beberapa keunggulan dibanding tipe

Dalam,yaitu berbuah lebih cepat pada usia 3-4 tahun setelah tanam,sedangkan

kelapa kopyor tipe Dalam berbuah pada umur 5-7 tahun setelah tanam. Kelapa

68

kopyor tipe Genjah mampu menghasilkan jumlah buah kopyor pertandan lebih

banyakbisa mencapai 50%, sedangkan tipe Dalam hanya 10% - 20% (Maskromo

dan Novarianto 2007). Peluang terjadinya sifat makapuno (kopyor) ini disebabkan

oleh penyerbukan antara bunga betina dan jantan yang membawa gen kopyor

(Santos 1999).

Penelitian persebaran serbuk sari pada kelapa sampai saat ini belum ada

dilaporkan sehingga dianggap penting untuk mempelajari persebaran serbuk sari

pada kelapa kopyor. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk mengetahui (i)

pola persebaran serbuk sari pada kelapa sebelum dan sesudah introduksi pollinator

lebah madu (ii) jarak persebaran serbuk sari pada kelapa sebelum dan sesudah

introduksi polinator.

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2011 hingga Desember 2014.

Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Desa Sambiroto

Kabupaten Pati, Jawa Tengah dengan lokasi GPS S6 27.649 E111 02.747. Tipe

tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah

berpasir. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler

Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Introduksi Lebah Madu

Pertanaman lokasi penelitian seluas maksimum 0.5 ha diletakkan satu

kotak sarang lebah madu (Apis melifera) pada tahun 2012. Populasi sebelum

introduksi lebah dipanen pada tahun 2011 sementara untuk populasi setelah

introduksi lebah dipanen pada tahun 2014 .

Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni

Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah

penduduk dan merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk)

dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan

buah kopyor. Populasi yang digunakan dalam analisis pola persebaran serbuk sari

sebanyak 95 pohon kelapa dewasa yang terdiri 68 pohon kelapa Genjah, 14 pohon

kelapa Dalam, dan 13 pohon kelapa Hibrida. Pohon kelapa yang ada di areal

pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 22 pohon dan

pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 73 pohon. Semua pohon-pohon dewasa

yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan

untuk dijadikan donor serbuk sari. Pemilihan pohon yang dijadikan sebagai induk

betina dilakukan dengan metode purpossive random sampling yang mewakili

masing-masing tipe kelapa Genjah, Dalam, Hibrida dan juga mewakili lokasi

didalam petak sampel (Gambar 2). Total progeni dari seluruh induk betina

sebanyak 127 buah. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk

betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2

sampai 10 buah.

69

Genotyping tetua dan progeni

Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995)

dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus

dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol

sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada

suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi

Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan

kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi

dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube

baru.

Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan

isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume

supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh

pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl.

lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan

aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan

menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001).

Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1)

diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP

berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2)

juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR

dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25

pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi

dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit

sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus

pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing

pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama

5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA

Biosystem.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis

gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan

pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste

et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi di atas meja UV

transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap

genotype dilakukan juga di atas light table.

Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel

agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk

melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001).

Elektroforegram di visualisasi di atas meja UV transluminesen di foto

menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk

setiap sampel.

Identifikasi Kandidat Tetua Jantan

Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak

diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Tahapan ini dilakukan untuk

70

memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua jantan yang

dievaluasi dalam percobaan.

Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe

progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau

induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis

molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program

komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi,

PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data

analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang

(*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-):

tingkat kepercayaan < 80% .

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Data genotipe progeni yang telah diketahui induk betinanya dibandingkan

dengan data pohon dewasa yang berpotensi menjadi tetua jantan (kandidat tetua

jantan). Identitas induk jantan diketahui berdasarkan metode all parent with plus

LOD. Hasil analisis selanjutnya digunakan untuk menentukan identitas induk

jantan berdasarkan nilai LOD tertinggi. Jarak antara induk betina dengan induk

jantan yang teridentifikasi dihitung menggunakan perangkat lunak GPS. Jarak

tersebut dihitung dengan memanfaatkan data koordinat tiap pohon. Induk betina

dan induk jantan kemudian digambarkan ke dalam peta sesuai dengan lokasi

penelitian sehingga membentuk pola persebaran serbuk sari. Induk jantan yang

teridentifikasi sama dengan induk betinanya, maka diasumsikan terjadi

penyerbukan sendiri, sedangkan jika induk jantan yang teridentifikasi berbeda

dengan induk jantan maka diasumsikan terjadi penyerbukan silang.

Gambar 6.1. Posisi pengambilan sampel di pertanaman kelapa kopyor Desa

Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah. Garis merupakan batasan

populasi yang dianalisis. Gambar bendera menunjukkan sebaran

induk betina yang disampling. Simbol menunjukkan posisi ( ) :

Dalam normal, ( ) : Dalam kopyor, ( ) : Genjah normal, ( ) :

Genjah kopyor, ( ) : hibrida normal, ( ) : hibrida kopyor dan

( ) sarang koloni lebah madu.

71

Hasil dan Pembahasan

Pemetaan Populasi Tanaman

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.1. Populasi tersebut

menggambarkan bahwa pohon kelapa berbuah normal masih banyak tersebar di

dalam populasi yang dipilih. Jumlah total pohon normal sebanyak 22 pohon

dimana Genjah Normal 14 pohon. Dalam Normal 3 pohon dan Hibrida Normal 5

pohon. Jumlah total pohon Kopyor sebanyak 73 pohon dimana Genjah Kopyor

54 pohon. Dalam Kopyor 11 pohon dan Hibrida Kopyor 8 pohon. Induk betina

yang digunakan sejumlah 15 pohon yang terdiri dari 2 pohon kelapa Hibrida, 6

pohon kelapa Genjah dan 7 pohon kelapa Dalam. Satu tandan buah kelapa

(progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah

progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah.

Genotyping tetua dan progeni

Berdasarkan analisis molekuler nilai rata-rata PIC dengan marka

SSRmenunjukkan bahwa pada populasi sebelum introduksi lebahmemiliki nilai

rata-rata PIC lebih tinggi dibandingkan dengan populasi sesudah introduksi lebah

(Tabel 6.1). Begitu pula dengan nilai rata-rata PIC dengan marka SNP baik pada

populasi sebelum dan sesudah introduksi lebah memiliki nilai yang hampir sama.

Nilai PIC merupakan ukuran polimorfisme antar genotipe dalam suatu lokus yang

menggunakan informasi jumlah alel (Sajib et al. 2012). Nilai PIC pada lokus-

lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan nilai yang lebih tinggi

dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP.

Tabel 6.1. Jumlah individu heterozigot dan homozigot, heterozigositas observasi

dan harapan, dan Polymorphic Information content (PIC) di 10 lokus

marka molekuler kelapa Kopyor sebelum (BF) dan setelah (AF)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa kopyor

populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah

Nama lokus

Jumlah

heterozigot Jumlah homozigot

Heterozigositas

teramati PIC

BF AF BF AF BF AF BF AF

CnCir_87 27 54 152 174 0.151 0.237 0.311 0.327

CnCir_86 100 102 79 126 0.559 0.447 0.666 0.663

CnZ-18 74 92 105 136 0.413 0.404 0.565 0.544

CnZ_51 72 92 107 136 0.402 0.404 0.541 0.375

CnCir_B12 64 101 112 126 0.364 0.445 0.677 0.682

CnCir_56 78 111 101 117 0.436 0.487 0.565 0.627

CnSus1#14 143 146 36 80 0.799 0.646 0.369 0.36

CnSus1#3 147 184 27 41 0.845 0.818 0.374 0.372

WRKY19#1 111 183 65 44 0.631 0.806 0.357 0.369

WRKY 6#3 76 185 103 43 0.425 0.811 0.283 0.368

72

Jumlah individu heterosigot yang teranalisis oleh kedua marka SSR dan

SNP menunjukkan kecenderungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

individu homozigot. Hal ini bisa dilihat dari nilai He observasi yang rata-rata

nilainya dibawah 0.5. Nilai He yang rendah menunjukkan bahwa kelapa-kelapa

yang dianalisis banyak terbentuk oleh hasil penyerbukan sendiri, karena gen-gen

terfiksasi/terkumpul dalam satu populasi hasil penyerbukan selfing atau dari polen

tanaman dengan sifat yang sama. Nilai PIC kedua marka juga menunjukkan nilai

yang rendah dengan rata-rata nilai dibawah 0.5 yang berarti bahwa tingkat

keragaman populasi kelapa-kelapa yang diamati rendah.

Jumlah individu yang homozigot pada lokus-lokus marka SSR tergolong

lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP yang terlihat pada

rendahnya nilai heterosigositas (He). Rendahnya nilai He menunjukkan bahwa

pada lokus-lokus tersebut genotipe yang diamati mayoritas memiliki alel-alel

homozigot. Alel-alel heterozigot lebih banyak dijumpai pada marka SSR

menyebabkan nilai He SSR lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP,

sehingga menyebabkan rata-rata nilai PIC pada marka SSR lebih tinggi di

bandingkan dengan marka SNP yang membuktikan bahwa marka SSR lebih

efektif dalam menujukkan keragaman dalam suatu populasi.

Jumlah individu Heterozigot dan Homozigot pada populasi sebelum

introduksi lebah (BF) cenderung lebih rendah dari pada populasi setelah

introduksi lebah (AF). Dengan nilai heterosigositas obeservasi yang rata-rata

cenderung lebih tinggi pada setelah introduksi lebah. Hal ini menunjukkan bahwa

setelah introduksi lebah, populasi buah yang dihasilkan lebih banyak walaupun

buah yang dihasilkan tidak benyak berbuah kopyor seperti yang dikehendaki.

Nilai PIC pada kedua populasi menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada

sebelum introduksi lebah. Hal ini bisa dijelaskan karena pola hidup lebah yang

cenderung mencari makanan hanya disekitar pohon-pohon induk betina kelapa.

Perubahan parameter yang terjadi pada kedua populasi sebelum dan sesudah

introduksi lebah terjadi hanya pada jumlah rata-rata alel/lokus yang meningkat

2,85%, sedangkan pada parameter yang lain semuanya tetap (Tabel 6.2).

Identifikasi Kandidat Tetua Jantan

Hasil analisis tetua menunjukkan bahwapada populasi sebelum dan sesudah

introduksi lebah berturut turut terdapat 18dan 47simbol (+) yang menunjukkan

bahwa 80% yakin bahwa kandidat tetua tersebut yang menjadi tetua jantan.

Simbol (*) ditemukan sebanyak 3dan 13 pada kedua populasi yang menunjukkan

bahwa 95% yakin bahwa sebagai tetua jantan. dan simbol (-) sebanyak 84dan 123

pada kedua populasi yang menunjukkan dibawah 80% diduga sebagai tetua

jantan.

Seluruh nilai LOD menunjukkan tidak terdapat nilai negatif. sehingga

simbol (-) diyakini sebagai jantan walaupun tingkat kepercayaan dibawah 80%.

Nilai peluang kemungkinan atau LOD (Likelihood of odds) menunjukkan nilai

lebih besar dari 0 dan positif. nilai LOD positif lebih mengindikasikan bahwa

tetua jantan yang diduga adalah benar. Semakin besar nilai LOD maka semakin

besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang sebenarnya (Marshal et al.

1998). Pada populasi tanpa introduksi lebah menunjukkan kemampuan menduga

kandidat tetua jantan lebih rendah dibandingkan dengan populasi introduksi lebah.

Pada populasi setelah introduksi hampir 50% menunjukkan tingkat kepercayaan

73

lebih dari 80% untuk menduga kandidat tetua jantan dengan benar. dibandingkan

dengan populasi sebelum introduksi lebah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan

introduksi lebah persebaran polen lebih terkontrol sehingga saat dilakukan analisis

dalam pendugaan kandidat tetua jantan lebih akurat dibandingkan tanpa adanya

introduksi lebah. Populasi sebelum introduksi memiliki tingkat kepercayaan lebih

rendah dalam menduga kandidat tetua jatan.Hal ini diduga karena penyerbukan

yang tidak terkontrol dan banyak kontaminasi dari polen pohon lain yang tidak

digunakan dalam kandidat tetua jantan.

Tabel 6.2. Perubahan parameter populasi sebelum dan setelah introduksi koloni

lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor di populasi Desa Tayu

Kabupaten Pati Jawa Tengah

Parameter Rata-rata

Perubahan parameter yang berhubungan dengan

introduksi lebah madu

Sebelum Sesudah

Jumlah rata-rata alel/lokus 3.4 3.6

Heterozigositas ekspektasi 0.55 0.55

PIC 0.47 0.47

Total exclusionary power:

- Tetua Pertama 0.85 0.85

- Tetua Kedua 0.97 0.97

Diagram batang jumlah tetua jantan yang berkontribusi terhadap betina

terpilih pada populasi kelapa yang diuji menunjukkan bahwa introduksi lebah

mampu meningkatkan jumlah polen tetua jantan yang menyerbuk yaitu dari 83

menjadi 127 peristiwa penyerbukan (Gambar 6.2). Hal ini dapat dijelaskan karena

sifat lebah yang lebih senang mengumpul pada populasi tanaman betina dan

membentuk koloninya disekitar tanaman tersebut, sehingga menyebabkan

tingginya peristiwa penyerbukan pada tanaman kelapa betina.

Jumlah serbuk sari yang didonorkan dari tetua jantan juga mengalami

peningkatan setelah dilakukan introduksi lebah. Frekuensi penyerbukan oleh tetua

jantan sebelum introduksi lebah maksimal hanya mampu mendonorkan 5 serbuk

sari, dengan adanya introduksi lebah dapat meningkatkan frekuensi penyerbukan

pollen dari tetua jantan yang sama sampai 7 serbuk sari. Terdapat 1 donor yang

berkontribusi 7 serbuk sari dan 4 donor yang berkontribusi 6 serbuk sari (Gambar

6.2).

Diagram batang jumlah tetua betina penerima donor dari tetua jantan

terpilih pada populasi kelapa yang diuji menunjukkan bahwa introduksi lebah

dapat meningkatkan jumlah polen yang menyerbuki betina. Dari diagram terlihat

bahwa pada sebelum introduksi lebah jumlah serbuk sari yang bisa di donorkan

oleh satu tetua jantan maksimal 7 serbuk sari, namun setelah dilakukan introduksi

lebah terdapat satu tetua jantan yang dapat menyerbuki 9 sampai 10 serbuk sari ke

satu betina(Gambar 6.3).

74

Gambar 6.2. Frekuensi tetua jantan yang mengkontribusikan serbuk sari terhadap

tetua betina yang diuji sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor

populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah

Jum

lah t

etua

janta

n y

ang

ber

kontr

ibusi

Jumlah polen donor ke tetua betina

27

11

7

2 1 0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7

Jum

lah t

etua

janta

n y

ang b

erkontr

ibusi

Jumlah polen donor ke tetua betina

20

14

7 3 3 4

1 0

10

20

30

40

1 2 3 4 5 6 7

75

Gambar 6.3. Jumlah tetua betina penerima donor serbuk sari dari tetua jantan

terpilih sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi lebah madu

pada pertanaman kelapa Kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten

Pati Jawa Tengah

Berdasarkan diagram kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap

tetua betina sebelum dan sesudah introduksi lebah menunjukkan bahwa introduksi

lebah dapat meningkatkan jarak dan frekuensi persebaran polen. Jarak persebaran

polen yang mampu disebarkan oleh lebah hingga >60 m dengan 2 serbuk sari.

Sedangkan frekuensi penyerbukan pada introduksi lebah cenderung mengalami

peningkatan, dimana jarak dengan frekuensi tinggi yaitu berkisar 0-50 m, dengan

frekuensi tertinggi 36 serbuk sari pada jarak <20 m (Gambar 6.4).

1

3

1

4

3

1

2

0

2

4

6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jum

lah

tet

ua

bet

ina

Jumlah tetua jantan donor

1

3 3

4

3

1 1 1

0

2

4

6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jum

lah

tet

ua

bet

ina

Jumlah tetua jantan donor

76

Gambar 6.4. Jumlah penyerbukan setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan

terpilih terhadap tetua kelapa betina sebelum (atas) dan setelah

(bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa

kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah

Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari

Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk kelapa Genjah kopyor

sebelum dan sesudah introduksi lebah ditunjukkan pada gambar 6.5 – 6.10 dan

Gambar lampiran 17-27. Penyerbukan dengan jarak yang dekat diduga dibantu

oleh angin sedangkan jarak yang jauh dibantu oleh serangga (Boer 2007). Jarak

antar pohon memberikan pengaruh terhadap frekuensi penyerbukan. jarak yang

paling dekat (0-10 m) memiliki persentase kontribusi serbuk sari yang paling

tinggi. Hal tersebut disebabkan karena apabila penyerbukan dibantu oleh angin

maka perbedaan tinggi pohon pendonor serbuk sari yang lebih tinggi dibanding

pohon penerima serbuk sari mengakibatkan jarak edar serbuk sari bisa lebih jauh.

Selain itu. dengan data tersebut dapat diketahui bahwa yang berperan lebih

banyak dalam penyerbukan kelapa kopyor di Pati adalah faktor polinator biologis

yaitu lebah. Perlakuan setelah introduksi lebah memperlihatkan tipe penyerbukan

selfing yang terjadi sebanyak 15% dan jarak edar serbuk sari paling jauh adalah

83 km, kemungkinan disebabkan karena lebah mampu lebih jauh membawa

serbuk sari dibandingkan angin.

Jum

lah p

eristiw

a

penyerb

ukan

Kelas Jarak antara tetua jantan terhadap betina (m)

15

6 13

18 12 12

7 0

0

10

20

30

40

50

0 < 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60

Kelas jarak antara tetua jantan terhadap betina (m)

Ju

mla

h p

eri

stiw

a

pe

nye

rbu

kan

12 14

36

25 20

16

2 2 0

10

20

30

40

50

0 < 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60

77

Gambar 6.5. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #059 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor

Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai

tetua jantan pendonor serbuk sari, dan ( ) Hibrida Kopyor #059

sebagai tetua jantan terpilih (donor serbuk sari) dan resipien betina

(penyerbukan sendiri). Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang

koloni lebah madu.

78

Gambar 6.6. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #067 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor

Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai

tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor

#067 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi

sarang koloni lebah madu

79

Gambar 6.7. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #069 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor

Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai

tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor

#069 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi

sarang koloni lebah madu

80

Gambar 6.8. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #084 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor

Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( )

Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai

tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor

#084 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi

sarang koloni lebah madu

81

Gambar 6.9. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #089 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah)

introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu

Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah

Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk

sari terpilih, dan ( ) Dalam Kopyor #089 sebagai resipien betina.

Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu

Kondisi pertanaman di lapang juga memiliki jarak tanam yang berdekatan

sehingga memungkinkan bagi tanaman kelapa genjah untuk melakukan

outcrossing dengan tanaman genjah lainnya. Penelitian Perera et.al (2010)

menyatakan bahwa meskipun bunga jantan dan betina berada pada posisi

berdekatan pada satu bunga akan tetapi tetap berpeluang untuk outcrossing.

82

Gambar 6.10. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #092 diduga

berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah

(bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa

Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi

( ) Genjah Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari, dan

( ) Genjah Kopyor #092 sebagai resipien betina. Simbol ( )

menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu

Varietas kelapa dalam Srilangka adalah menyerbuk silang (penyerbukan terbuka)

dimana serbuk sari matang dan terlepas dari bunga jantan sebelum bunga betina

siap untuk dikawini (reseptif).

Untuk populasi sebelum introduksi lebah jarak persebaran serbuk sari

terjauh adalah 58 m sedangkan populasi setelah introduksi lebah jarak persebaran

serbuk sari terjauh adalah 63 m. Untuk jarak yang terdekat adalah 0 m atau

83

penyerbukan sendiri pada kedua populasi. Penyerbukan paling banyak terjadi

dalam rentang jarak <30 m untuk populasi sebelum introduksi lebah yaitu 18 even

penyerbukan, untuk populasi setelah introduksi lebah penyerbukan paling sering

terjadi pada rentang jarak <20 m yaitu 36 even (Gambar 6.4)

Dalam mencari pakan, lebah mengunjungi berbagai kuntum bunga untuk

mencari nektar atau serbuk sari bunga. Ketika mengambil serbuk sari bunga,

secara tidak sengaja butir-butir serbuk sari bunga tersebut menempel pada bulu-

bulu yang ada di seluruh tubuh lebah dan terbawa pergi oleh lebah. Apabila lebah

madu tersebut hinggap pada bunga yang lain maka butir-butir serbuk sari bunga

yang menempel pada tubuh lebah itu dapat menempel pada kepala putik bunga

yang siap mengalami penyerbukan. Kepala putik yang siap mengalami

penyerbukan mempunyai substansi tertentu untuk mengikat serbuk sari bunga

yang jatuh diatasnya. Sehingga terjadilah penyerbukan yang akan dilanjutkan

dengan proses pembuahan. Apabila lebah madu tersebut terbang pada jenis bunga

yang berbeda maka akan terjadi penyerbukan silang. Kemampuan untuk

melakukan penyerbukan silang ini sangat tinggi dibandingkan dengan jenis

serangga lain (Suryanarayana et al. 1992). Lebah merupakan polinator terbaik

yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Misalnya pada tanaman jarak

pagar, lebah dapat meningkatkan produksi sebesar 40% (Kasno et al. 2010).

Simpulan

Nilai PIC rata-rata yang terbentuk pada populasi setelah introduksi lebah

sedikit lebih tinggi dibandingkan sebelum introduksi lebah. Jarak persebaran

polen lebih jauh setelah introduksi lebah (63 m) dibandingkan sebelum introduksi

lebah (58 m). Persentase selfing lebih tinggi terjadi sebelum introduksi lebah

(18%) dibandingkan setelah introduksi lebah (9,45%). Persentase outcrossing

pada populasi sebelum introduksi lebah sebesar 82% dan setelah introduksi lebah

menjadi 90,55%.

84

85

VII. PEMBAHASAN UMUM

Penggunaan analisis penyebaran polen pada sistem perkawinan baik pada

hewan maupun tumbuhan sangat efektif untuk melihat tipe persilangan,

inbreeding depression dan mempelajari evolusi biologi dalam suatu populasi

(Auld dan Rafael 2013). Populasi kelapa kopyor merupakan salah satu tanaman

dari family Arecaceae yang sangat menarik untuk dipelajari system

perkawinannya. Kelapa terdiri atas dua tipe pohon yaitu tipe Genjah dan tipe

Dalam yang berbeda pada performa (tinggi tanaman) dan umur berbuah tanaman.

Tanaman kelapa memiliki bunga jantan dan betina yang terpisah dan matang pada

waktu yang berbeda yang menyebabkan tanaman kelapa umumnya menyerbuk

silang.

Kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida saling melakukan

penyerbukan silang satu sama lain dan tidak semua kelapa Dalam melakukan

penyerbukan silang. Begitupun dengan kelapa Genjah tidak semuanya melakukan

penyerbukan sendiri. Pada penelitian yang dilakukan pada percobaan 1 pada

populasi tanaman kelapa tipe Genjah terlihat terjadi selfing sebanyak 15 kali

(17,9%) dan jumlah outcrossing yang terjadi sebanyak 69 kali (82.1%). Pada

percobaan 2 yang dilakukan pada kelapa tipe Dalam terlihat terjadi selfing

sebanyak 1 kali (2%) dan jumlah outcrossing yang terjadi sebanyak 48 kali (98%).

Hal tersebut diduga disebabkan karena morfologi bunga kelapa yang terbuka,

sehingga kelapa Genjah juga memiliki peluang untuk menyerbuk silang

(Maskromo et al. 2011). Selain itu kondisi pertanaman di lapang juga memiliki

jarak tanam yang berdekatan sehingga memungkinkan bagi tanaman kelapa

Genjah untuk melakukan outcrossing dengan tanaman Genjah lainnya. Waktu

mekar bunga jantan (18-20 hari) dan betina (4-7 hari) yang berbeda juga dapat

meningkatkan besarnya penyerbukan silang (outcrossing) pada kedua tipe kelapa.

Adanya tanaman kelapa berbuah normal diantara tanaman kelapa berbuah

kopyor disebabkan oleh proses seleksi bibit yang belum dapat dipisahkan antara

bibit yang dapat berbuah kopyor dengan bibit kelapa normal pada saat penanaman

di lapang. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya tanaman kelapa Dalam

normal yang ditemukan di lokasi pertanaman untuk tanaman berbuah kopyor.

Bibit kopyor alami yang ditanam petani berasal dari tanaman kelapa Dalam

kopyor heterozigot (Kk) yang secara teori membawa gen kopyor (k) namun juga

memiliki gen normal (K). Pada saat pembungaan, tanaman kopyor heterozigot

tersebut akan bersegregasi sehingga pada saat pembuahan berpeluang terbentuk

buah dengan genotipe (kk) dengan fenotipe endosperm kopyor yang embrionya

tidak dapat tumbuh seperti embrio pada buah kelapa normal. Pada tandan buah

yang sama berpeluang terbentuk buah normal dengan genotipe (Kk) dengan

fenotipe endosperm normal namun membawa gen kopyor (k). Dengan prinsip

memiliki peluang bergabung secara bebas saat proses meosis seperti pada Hukum

Mendel II, maka pada tandan buah yang sama akan terbentuk juga buah genotipe

(KK) dengan fenotipe endosperm dan embrionya tidak membawa gen kopyor (k).

Buah dengan genotipe KK akan menghasilkan tanaman yang tidak akan

menghasilkan tanaman berbuah kopyor atau disebut kelapa berbuah sayur

(Sudarsono et al. 2014b).

86

Fenomena pembentukan buah kelapa kopyor dan kelapa normal pada

pertanaman kelapa campuran disebabkan adanya efek xenia. Xenia merupakan

pengaruh langsung serbuk sari (pollen) pada fenotipe biji dan buah yang

dihasilkan tetua betina. Peristiwa xenia pada kelapa kopyor memberikan efek

negatif untuk pembentukan endosperma pertanaman kelapa kopyor pada

umumnya di populasi Dukuh Seti. Hal ini terlihat dari banyaknya donor serbuk

sari yang disumbangkan oleh tetua jantan kelapa normal terhadap induk betina

kopyor. Sehingga endosperma yang terbentuk semuanya menghasilkan

endosperma yang normal. Seperti yang dijelaskan pada laporan Hi Link 2014

(Sudarsono et al. 2014) bahwa buah kelapa dengan daging buah (endosperma)

yang keras dapat dihasilkan dari pohon kelapa normal KK (homosigot KK) atau

dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk). Buah kelapa ini mempunyai

embrio sigotik dengan konstitusi genetik KK dan Kk, daging buah (endosperma)

yang dihasilkan dengan konstitusi genetik KKK, Kkk atau KKk, jika diserbuki

oleh serbuk sari dari pohon kopyor Kk atau kk; atau dari pohon kelapa kopyor

Kk (heterosigot Kk). Buah kelapa dengan daging buah (endosperma) yang lembut

dan terlepas dari batok (cangkang)-nya, yang dalam kondisi tertentu dapat

dihasilkan dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) – jika diserbuki oleh

serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) atau kelapa kopyor kk

(homosigot kk); atau dari pohon kelapa kopyor kk (homosigot kk) - jika

diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk; atau kelapa kopyor kk.

Buah kelapa kopyor kk (homosigot Kk) mempunyai embrio sigotik dengan

konstitusi genetik kk dan daging buah (endosperma) dengan konstitusi genetik

kkk.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas pohon kelapa

kopyor secara umum ditentukan tingkat keberhasilan penyerbukan dan persentase

bunga betina yang berkembang menjadi buah per tandan. Tingkat keberhasilan

penyerbukan pada kelapa salah satunya ditentukan oleh keberadaan serangga

polinator terutama pada kelapa tipe dalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan,

tandan kelapa yang banyak dikunjungi oleh serangga penyerbuk umumnya

mempunyai tingkat keberhasilan penyerbukan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan

dari jumlah buah total yang dipanen lebih banyak. Sebaliknya, tandan dengan

jumlah buah total yang dipanen rendah tetapi mempunyai jumlah betina yang

banyak, mengindikasikan rendahnya tingkat keberhasilan penyerbukan pada

tandan tersebut. Di lapangan, juga teramati banyaknya populasi lebah madu lokal

(Apis serana) yang terbang mengerumuni tandan yang sedang mekar.

Bantuan serangga sebagai polinator penyerbuk memanfaatkan infloresens

bunga untuk melengkapi aktivitas hidupnya seperti melakukan perkawinan,

meletakkan telur, dan mencari makanan sehingga aktivitas tersebut secara tidak

langsung menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Bown 1988). Lebih lanjut

Bown (1988) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang merangsang

serangga untuk hinggap pada infloresens bunga antara lain bau atau aroma yang

dihasilkan oleh infloresens bunga yang terbuka seperti pada bunga tanaman

kelapa. Pada kebanyakan tanaman araceae, dihasilkan kombinasi senyawa berupa

amonia, protein, dan asam amino yang membuat serangga untuk mendatangi

organ reproduksi bunga. Berdasarkan hal tersebut, usaha untuk menjamin tingkat

keberhasilan penyerbukan yang tinggi diduga dapat dilakukan dengan

mengintroduksikan koloni lebah di pertanaman kelapa kopyor. Dengan

87

menerapkan budidaya lebah madu lokal di sekitar pertanaman kelapa kopyor,

diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan rendahnya keberhasilan

penyerbukan sehingga meningkatkan jumlah buah kelapa total yang dipanen per

tandan dan meningkatkan produktifitas kelapa kopyor di lapangan.

88

89

VIII. SIMPULAN

1. Serbuk sari yang didonasikan pada populasi pertanaman kelapa kopyor

tipe Genjah Pati berasal dari serbuk sari donor yang berada dalam kisaran

jarak tempuh 0-58 meter dari tetua betina yang dievaluasi. Oleh karena itu,

selain dengan adanya keberadaan angin, polinator serangga juga dapat

berperan penting dalam polinasi kelapa Kopyor.

2. Populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam Kalianda hasil analisis

penyebaran serbuk sari menunjukkan persentase terjadinya outcrossing

sebesar 98% dan persentase selfing sebesar 2%. Hal ini mengindikasikan

bahwa kelapa kopyor tipe Dalam memiliki tipe penyerbukan yang

menyerbuk silang.

3. Kelapa Dalam tidak dianjurkan untuk dijadikan sebagai pendonor serbuk

sari dalam populasi pertanaman kelapa kopyor karena akan menyebabkan

menurunnya produksi buah kelapa kopyor yang disebabkan adanya efek

xenia.

4. Lebah madu efektif dijadikan sebagai polinator dalam pertanaman kelapa

kopyor karena dapat meningkatkan produksi buah dengan meningkatkan

jarak persebaran polen yang lebih jauh dibandingkan dengan populasi

sebelum introduksi lebah.

90

91

DAFTAR PUSTAKA

Amar Mohamed Hamdy, Manosh Kumar Biswas, Zongwen Zhang, Wen-Wu

Guo. 2011. Exploitation of SSR, SRAP and CAPS-SNP markers for

genetic diversity of Citrus germplasm collection. Scientia Horticulturae.

128 : 220-227.

Aitken N, Smith S, Schwarz C, Morin PA. 2009. Single nucleotide polymorphism

(SNP) discovery in mammals: a targeted-gene approach. Mol Ecol.

13:1423-1431.

Auld., Josh R, Rafael Rubio de Casas. 2013. The correlated evolution of dispersal

and mating-system traits. Evol Biol (2013) 40:185–193.

Austerlitz F, Dick CW, Klein EK, Muratorio SO, Smouse PE, Sork VL. 2004.

Using a genetic markers to estimate the pollen dispersal curve. Molecular

ecology. 13:937-954.

Blair AW, Williamson PS. 2009. Pollen dispersal in a star cactus (Astrophytum

asterias). Journal of Arid Environments. 74:525-527.

Boer D. 2007. Keragaman dan struktur genetik populasi jati sulawesi tenggara

berdasarkan marka mikrosatelit [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Brody Jonathan R, Scott E Kern. 2004. History and principles of conductive

media for standard DNA electrophoresis. Analytical Biochemistry 333 (1):

1–13.

Brumfield RT, Beerli P, Nickerson DA, Edwards SV. 2003. The utility of single

nucleotide polymorphisms in inferences of population history. Trends Ecol

Evol. 18:249-256.

Bown D. 1988. Aroid: Plants of the arum family. Oregon (US): Timber Press

Portland.

Bulant C, Gallais A., Matthys-Rochon E. Prioul J.L. 2000. Xenia effects in maize

with normal endosperm. Crop Science. Vol. 40 No. 1 : 182-189.

Burczyk J, Koralewski T. 2005. Parentage versus two-generation analyses for

estimating pollen-mediated gene flow in plant population. Mol.Ecol.

14:2525-2537.

Bodor P, Gaal M, Toth M. 2008. Metaxenia in apples cv. Rewena, Relinda,

Baujade as influenced by scab resistant pollinizers. Int J Hort Sci.14(3):11-

14.

Cansian RL, Mossi AJ, Luccio MD, Cechet ML, Mazutti M, Echeverrigaray S.

2010. Molecular identification of pollen donor plants on a progeny of

Cambona-4 female matrix of maté (Ilex paraguariensis St. Hil.

Aquifoliaceae). Acta Scientiarum Biological Sciences. 32(1):39-42.

Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO,

Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system and

pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the Eastern

Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest Ecology

and Management. 262:1758-1765.

Chan E, Elevitch CR. 2006. Cocos nucifera (coconut). Species profile for pasific

island agroforestry. www.traditionaltree.org. Diakses 19 April 2013.

92

Chen H, He H, Zou Y, Chen W, Yu R, Liu X, Yang Y, Gao YM, Xu JL, Fan LM.

2011. Development and application of a set of breeder-friendly SNP

markers for genetic analyses and molecular breeding of rice (Oryza sativa

L.). Theor Appl Genet. 123:869-879.

Creste S, Tulmann AN, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat

polymorphism in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver

staining. Plant Mol Biol Reporter 19:299-306.

DebMandal M, Shyamapada M. 2011. Coconut (Cocos nucifera L.:

Arecaceae): In health promotion and disease prevention. Asian Pacific

Journal of Tropical Medicine. 4(3):241-247.

Denney JO. 1992. Xenia includes metaxenia. HortScience 27:722–728.

Dick CW, Etchelecu G, Austerlitz F. 2003. Pollen dispersal of tropical tree

(Dinizia excels: Fabaceae) by native insects and African honeybees in

pristine and fragmented Amazonian rainforest. Mol Ecol. 12:753-764.

Dunphy BK, Hamrick JL, Schwagerl, J. 2004. A comparison of direct and indirect

measures of gene flow in the bat-pollinated tree Hymenaea courbaril in

the dry forest life zone of south-western Puerto Rico. Int J Plant Sci.

165:427-436.

Dishutbun. 2004. Selayang pandang komoditi kelapa kopyor di Kabupaten Pati.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati.

Ehlenfeldt M.K. 2003. Investigations of metaxenia in northern highbush blueberry

(Vaccinium corymbosum L.) cultivars. Journal of the American

Pomological Society. 57(1):156:162.

Esteras Cristina, Pedro Gómez, Antonio JM, José B, Nelly V D, Cristina R,

Fernando N and Belén P. 2012. High-throughput SNP genotyping in

Cucurbita pepo for map construction and quantitative trait loci mapping.

BioMedCentral. (13- 80) :1471-2164

Falconer DS, Mackay TFC. 1985. Introduction to quantitative genetic. New York

(US): Longman.

Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode pollen spread in

clonal seed orchard of Pinus koraiensis. Journal of Biophysical Chemistry.

1(1):33-39.

Ganal MW, Altmann T, Roder MS. 2009. SNP identification in crop plants. [curr

opin]. Plant Biol. 12:211-217.

Gary NE. 1992. Activities and Behavior of Honey Bee. Di dalam: The Hive and

the honey bee. Illinois: Dadant & Hamilton, Ltd.

Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2002. Single nucleotide polymorphisms: a new

paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism

detection with emphasis on their use in plants. Curr Sci. 80:524-535.

Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand

seed dispersal patterns. Acta oecologica. 37:641-649.

Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan genetika empat populasi

kelapa genjah berdasarkan pada Random Amplified Polymorphic DNA.

Hayati 4:125-129.

Herrera MM, Alan WM, James WB, David NK, Raymond JS. 2007. Usefulness

of WRKY gene-derived markers for assessing genetic population

structure: An example with Florida coconut cultivars. Scientia

Horticulturae 115:19–26.

93

Holton TA, Christopher JT, McClure L, Harker N, Henri HJ. 2002. Identification

and mapping of polymorphic SSR markers from expressed gene sequences

of barley and wheat. Mol Breed. 9:63-71.

Jannati M, Fotouhi R, Pourjan A, Salehi A Z. 2009. Genetic diversity analysis of

Iranian citrus varieties using microsatellite (SSR) based markers. J Hortic

For. 1:120-125.

Karp AS, Kresnovich, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular Tools in

Plant Genetic Resources Conservation: A Guide to The Technologies.

IPGRI Technical Bulletin No.2. Italia (IT): International Plant Genetic

Resources Institute.

Kasno, Hasan HES, Efendi DS, Syaefuddin. 2010. Efektifitas 3 spesies lebah

madu sebagai agen penyerbukan untuk meningkatkan produktifitas

(>40%) biji jarak pagar (Jatropa curcas) pada ekosistem iklim basah.

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 15(1):25-33.

Kurniasih Surti. 2012. Pemanfaatan marka molekuler untuk mendukung perakitan

kultivar unggul kakao (Theobroma cacao L.) [disertasi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Kumar Pradeep, Manimekalai R, Ranjitha Kumari. 2011. Microsatellite Marker

based Characterization of South Pacific Coconut (Cocos nucifera L.)

Accessions. International Journal of Plant Breeding and Genetics. 5(1)

:34-43.

Lebrun P, Baudouin L, Bopurdeix T, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A,

Ritter E. 2001. Construction of linkage map of the Rennell Island Tall

coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield characters.

Genome. 44:962-970.

Lestari P, Koh HJ. 2013. Development of new CAPS/Dcaps and SNAP markers

for rice eating quality. Hayati Journal Biosciences. 20(1): 15-23.

Li S, Wan H, Ji H, Zou K, Yang G. 2009. SNP discovery based on CATS and

genotyping in the finless porpoise (Neophocaena phocaenoides). Conserv

Genet 10:2013-2019.

Liferdi L. 2008. Lebah polinator utama pada tanaman hortikultura. Iptek

Hortikultura. 4:1-5.

Lian C, Miwa M, Hogetsu T. 2001. Outcrossing and paternity analysis of Pinus

densiflora (Japanese red pine) by micro- satellite polymorphism. Heredity

87:88–98.

Luengwilai K, Diane M. B., Orrawan P., Jingtair S. 2014. Postharvest quality and

storage life of „Makapuno‟ coconut (Cocos nucifera L.). Scientia

Horticulturae. 175: 105–110 .

Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics. London (UK): Blackwell

Publishing.

Mahmud Z. 2000. Petunjuk teknis budidaya kelapa kopyor. Departemen

Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta (ID): Dirjen Perkebunan.

Mallet J. 2001. Gene flow. Di dalam Woiwod IP, Reynolds DR, Thomas CD,

editor. Insect Movement: Mechanisms and Consequences. Wallingford

(GB): CAB International.

Mammadov JA, Aggarwal R, Buyyarapu R, Kumpatla SP. 2012. SNP Markers

and their impact on plant breeding. Int J Plant Genom. 2012:1-11.

94

Marsico TD, Jessica JH, Romero-Saverson J. 2009. Patterns of seed dispersal and

pollen flow Quercus garryana (Fagaceae) following post-glacial climatic

changes. J Biogeogr. 36(5):929-941.

Maskromo I dan H. Novarianto. 2007. Potensi genetik kelapa kopyor Genjah.

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 29 No. 1.

Maskromo I, Novarianto H, Mashud N. 2007. Potensi pengembangan kelapa

kopyor di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Industri Vol 13 No. 1.

Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011. Fenologi pembungaan tiga varietas

kelapa genjah kopyor pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S, Anas D, Nurul

K, Dewi S, Sintho WA, editor. Prosiding Seminar PERHORTI

Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi Pasar Domestik dan

Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan

Hortikultura . Indonesia. Hlm 1002-1010.

Maskromo I. 2005. Kelapa Kopyor, dari normal jadi abnormal. Trubus No. 429.

XXXVI.

Marshal TC, Slate J, Krilek LEB, Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for

likehood based paternity inference in nature populations. Mol Ecol. 7:639-

655.

McCouch SR, Zhao K, Wright M, Tung CW, Ebana K, Thomson M, Reynolds A,

Wang D, DeClerck G, Ali ML. 2010. Development of genome wide SNP

assays for rice. Breed Sci. 60:524-535.

Milleron Matias, Unai Lopez de Heredia, Zaida Lorenzo, Ramon Perea, Aikaterini

Dounavi, Jesus Alonso, Luis Gil, Nikos Nanos. 2012. Effect of canopy

closure on pollen dispersal in a wind-pollinated species (Fagus sylvatica

L.). Plant.Ecology. 213:1715-1728.

Mondini L, Arshiya Noorani, Mario A. Pagnotta. 2009. Assesing plant genetic

diversity by molecular tools. Diversity. 1:19-35.

Moran., Emily and James SC. 2011. Estimating seed and pollen movement in a

monoecious plant: a hierarchical Bayesian approach integrating genetic

and ecological data. Molecular Ecology 20 : 1248–1262.

Morin PA, Luikart G, Wayne RK, The SNP working group. 2004. SNPs in

ecology, evolution and conservation. Trends Ecol Evol. 19:208-216.

Muntamah L. 2009. Aktivitas Apis Cerana mencari polen dan indentifikasi polen

di perlebahan tradisional bali [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Novarianto H, Miftahorrachman. 2000. Koleksi dan konservasi jenis-jenis kelapa

unik. Makalah poster dalam Simposium Pengelolalan Plasma nutfah dan

pemuliaan Bandung 22-23 September. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan

Indonesia.

Novarianto H, Kangiden DI, Tampake H, Rompas T. 2000. Penyerbukan buatan

pada kelapa. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 8(50):13-16.

Novarianto H, Lolong AA. 2012. Peningkatan persentase buah kopyor melalui

penyerbukan sendiri. Bul Palma. 13 (1): 7-16.

Novarianto H, Maskromo I, Dinarti D, and Sudarsono. 2014. Production

technology for Kopyor coconut seednuts and seedlings in Indonesia.

International Journal on Coconut R & D. 30(2):31-40.

95

Olfati JA, Sheykhtaher Z, Qamgosar R, Sabet AK, Peyvast GH, Samizadeh H,

Rabiee B. 2010. Xenia dan metaxenia on cucumber fruit and seed

characteristics. Int J Veg Sci. 16:243-252.

Panaud O, Chen X, McCouch SR. 1996. Development of microsatellite markers

and characterization of simple sequence length polymorphism (SSLP) in

rice (Oryza sativa). Mol.Gen.Genet. 252, 597-607.

Pandin DS. 2009a. Inbreeding depression analysis based on morphological

characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no 32

(Cocos nucifera L.). Indonesian Journal of Agriculture 2(2):110-114.

Pandin DS. 2009b. Depresi penangkaran dalam empat generasi penyerbukan

tertutup tanaman kelapa dalam mapanget No.32 berdasarkan sifat

morfologi dan penanda mikrosatelit. [disertasi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Piotto., FA, Katherine DBP, Marcílio de A, Giancarlo CXO. 2013. Interspecific

xenia and metaxenia in seeds and fruits of tomato. Sci. Agric. (70.2) :

p.102-107

Perera PIP, Hocher V, Weerakoon LK, Yakandawala DMD, Fernando SC,

Verdeil JL. 2010. Early inflorescence and floral development in Cocos

nucifera L. (Arecaceae: Arecoideae). South African Journal Botany

76 ; 482-492.

Powel W, Gordon CM, Jim P. 1996. Polimorphism revealed by simple sequence

repeat. Trend Plant Sci. 1:215-221

Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and matting

system analysis in natural teak forest using microsatellite markers.

Current Science 101 (9):1213-1219.

Prastowo B. 2007. Potensi sektor pertanian sebagai penghasil dan pengguna

energi terbarukan. Perspektif Vol. 6 No. 2/ Desember . Hal 84-92.

Rajesh MK, Arunachalam V, Nagarajan P, Lebrun P, Samsudeen K, Thamban C.

2008. Genetic survey of 10 Indian coconut landraces by Simple Sequence

Repeats (SSRs). Scientia Horticulturae 118:282–287.

Ramirez VM, Tablat VP, Kevan PG, Morillo IR, Harries H, Barrera MF, Villareal

DZ. 2004. Mixed mating strategies and pollination by insects and wind in

coconut palm (Cocos nucifera L. (Arecaceae)): importance in production

and selection. Agricultural and Forest Entomology. 6:155-163.

Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos

nucifera L by PCR amplification of spacer sequences separating a subset

of copis-like EcoR1 repetitive elements. J Genet and Breed. 49:170 -186.

Ruan C. 2010. Germplasm regression combined marker trait association

identification on plants. Afr J Biotechnol. 9:573-580.

Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali,

SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and

genetic diversity analysis of aromatic landreces of rice (Oryza sativa L.). J.

BioSci. Biotech 1(2): 107-116.

Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA.1989.

Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and

germinating normal coconut endosperm. Phytochemistry. 28(9):2269-

2273.

96

Sambrook J. and Russel DW. 2001. Molecular cloning: a Laboratory Manual.

Third Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor,

New York.

Santos GA. 1999. Potensial use of clonal propagation in coconut improvement

program. Di dalam Oropeza C, Verdiel JL, Ashburner GR, Cardena R,

Samantha JM, editors. Current advances in coconut biotechnology.

Current Plant Science and biotechnology in Agriculture. London (GB):

Kluwer Academic Publisher. hlm 419-430.

Santoso U, Kubo K, Ota T, Tadokoro T, Maekawa A. 1996. Nutrient composition

of kopyor coconuts (Cocos nucifera L.). Food Chem. 57:299-304.

Satyabalan K. 1995. Xenia effect and hybrid vigor in coconuts. Int J Coconut

R&D. 11(1):41-47.

Schuster WSF, Mitoon JB. 2000. Paternity and gene dispersal in limberpine

(Pinus flexilis James). Heredity. 84:348-361.

Selkoe KA, Toonen RJ. 2006. Microsatellites for ecologists: a practical guide to

using and evaluating microsatellite markers. Ecol Lett. 9:615-629.

Semagn K, Bjornstad A, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular

marker methods for plants. African J Biotech. 5:2540-2568.

Shamay A, Fang J, Pollak N, Yonash N (2006). Discovery of c-SNPs in Anemone

coronaria and assessment of genetic variation. Genet. Resour. Crop Evol.

53: 821-829.

Sianturi, H.S.D., 2001. Budidaya Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Soenarsih Sri. 2012. Pala (Myristica spp.) maluku utara berdasarkan keragaman

morfologi, kandungan atsiri, pendugaan seks tanaman dan analisis marka

SSR [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,

Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyor true to type dengan persilangan

terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah

madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,

Maskromo I. 2014a. Pendekatan genomik dan molekuler untuk

pengembangan kultivar unggul kelapa eksotik asal Indonesia, penyediaan

bibit dan pengendalian hamanya. Laporan Akhir KKP3N. IPB

bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR,

Maskromo I. 2014b. Produksi bibit kopyor true to type dengan persilangan

terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah

madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Suryanarayana MC, Rao GM, Singh TSMS. 1992. Studies on pollen sources for

Apis cerana Fabr and Apis mellifera L bees at Muzaffarpur, Bihar, India.

Apidologie. 23: 33-46.

Sukendah 2009. Teknologi pembiakan kultur in vitro dan analisis molekuler pada

tanaman kelapa kopyor [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

97

Sutanto A, D. Sukma, C. Hermanto, and Sudarsono. 2014. Isolation and

characterization of Resistance Gene Analogue (RGA) from Fusarium

resistant banana cultivars. Emirates Journal of Food and Agriculture.

26(6):508-518.

Wattanayothin, S. 2005. The study on curd coconut hybrids. J. TNCEL 1(3):6-7.

Wattanayothin, S. 2010. Variety improvement of Makapuno. Proceedings of the

XLIV COCOTECH Meeting, 5-9 July 2010, Samui Island, Thailand. pp.

96-108.

Zane L, Bargelloni L, Patarnello T. 2002. Strategies for microsatellite isolation

[review]. Mol Ecol. 11:1-16.

98

99

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok

1. Buffer ekstraksi

Buffer ini merupakan campuran dari beberapa larutan, yaitu Tris, EDTA,

NaCl, CTAB, dan aquadest ,

Tris 1 M dibuat dengan cara Tris base 121,1 gr dilarutkan ke dalam 800

ml aquadest , kemudian pH diatur menjadi 7,5 menggunakan HCL pekat

(± 42 ml) untuk menurunkan pH, kemudian volume larutan dicukupkan

hingga 1000 ml,

EDTA 0,5 M dibuat dengan cara disodium ethylenediaminetetraacetate

dengan 186,1 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur

menjadi 8,0 menggunakan NaOH, setelah itu mencukupkan volume

hingga 1 liter,

NaCl 2,5 M dibuat dengan cara 292,2 gr NaCl dilarutkan dalam 1 liter

aquadest,

Buffer ekstraksi sebanyak 200 ml, dibuat dari Tris 20 ml, EDTA 8 ml,

NaCl 112 ml, CTAB (cetyltrimethylamoniumbromide) 4 gr kemudian

bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquadest 50 ml kemudian

dicukupkan hingga volume mencapai 200 ml,

2. Chloroform-isoamylalkohol

Chloroform-isoamylalkohol merupakan campuran chloroform dengan

isoamyl alkohol dengan perbandingan 24:1, yaitu 480 ml chloroform dan 20

ml isoamyl alkohol,

3. SB Bufer 20X

Boric acid sebanyak 22,5 gr dan NaOH 4 gr dilarutkan dalam 300 ml

aquadest, kemudian volume dicukupkan hingga 500 ml, Stok 1 liter SB buffer

1x dibuat dengan melarutkan 50 ml stok SB buffer dengan 950 ml aquadest,

4. TBE Buffer 5 M

Tris base 54 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , lalu ditambahkan 27,5 gr

boric acid dan 20 ml EDTA, kemudian volume dicukupkan hingga 1 liter,

Buffer TBE 0,5 M dibuat melalui pengenceran TBE buffer 5 M dengan

menggunakan rumus :

V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 5 M = 1000 x 0,5 M

V1 = 10 ml TBE buffer 5 M + 990 ml aquadest

5. Etanol 70%

Etanol absolute sebanyak 350 ml dicampurkan dengan 150 ml aquadest ,

6. Ethidium bromide

Ethidium bromide sebanyak 1 gr dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest, dan

penyimpanannya menggunakan botol gelap atau botol yang dibungkus

dengan aluminium foil,

7. Acrylamide Bis-acrilamide (19:1) 40%

Acrylamide 190 gr dan Bis-acrylamide 10 gr dimasukkan ke dalam beacker

glass 500 ml, kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 400 ml, Setelah

larut sempurna, cukupkan volume menjadi 500 ml, Larutan disaring

100

menggunakan kertas saring dan menyimpannya ke dalam botol gelap di

lemari es,

8. Acrylamide solution 6%

Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest, Setelah larut,

kemudian ditambahkan 100 ml TBE buffer 5 M dan 75 ml stock akrilamid

40%, Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas

saring, Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es,

9. Ammonium persulfate (APS)

Ammonium persulfate sebanyak 1 gr dilarutkan dalam 10 ml aquadest,

kemudian larutan disimpan pada suhu 4ºC,

10. Sodium thiosulfate

Sodium thiosulfate 100 mg dilarutkan ke dalam 10 ml aquadest, larutan

disimpan pada suhu ruang,

11. Larutan dalam pewarnaan silver

Pewarnaan silver menggunakan lima larutan, yaitu larutan fiksasi, larutan

nitrit acid, larutan staining, larutan developer, larutan stop,

Larutan fiksasi dibuat dengan melarutkan 10 ml asam asetat glacial dan

100 ml ethanol 95% ke dalam 890 ml aquadest,

Larutan nitrit acid dibuat dengan melarutkan 15 ml nitrit acid ke dalam

985 ml aquadest,

Larutan staining dibuat dengan melarutkan 1,5 gr silver nitrat ke dalam

1 liter aquadest,

Larutan developer dibuat dengan melarutkan 30 gr sodium carbonat di

dalam 1000 ml aquadest, Larutan ini disimpan dalam freezer -20ºC

sampai pada saat akan digunakan, Pada saat akan digunakan, larutan

ditambahkan 1,5 ml formaldehid 37% dan 200 µl sodium thiosulfate,

Larutan stop dibuat dengan melarutkan 50 ml asam asetat glacial ke

dalam 950 ml aquadest

101

Lampiran 2 . Daftar 36 primer SSR

No Lokus Urutan basa (5’ – 3’)

Suhu

annealing

(°C)

Linkage

group

1 CnCir_74 F =GAG ATC CTC ACC TCC AC

R =CGG CAA CAA AGA GAA C 54 16

2 CnCir_J2 F =CCA TTG TCA TTG TTA TTT TG

R =GTC ACC ATC TTC TCA GTT TC 52 15

3 CnCir_87 F =ATA ACA TCC TCC AAC CTG

R =GAC TGA ATC CAA CCC TT 54 13

4 CnCir_G4 F =AGT ATA GTC ACG CCA GAA AA

R =AAA CCC ATA ACC AGC AAG 55 13

5 CnCir_K8 F=CCA GAC ATG AAA CAA ACA A

R =CAT GGC ACA TAG GAA GAA 53 13

6 CnCir_K1 F =TTA CCAGGC CAC AAA GAA

R =AGA GTG AAC AAAGAG GAA GAT T 55 12

7 CnCir_241 F =CCA CTC CAA CAA CAC C

R =AAT CAC CAA ACA CAT CTT C 53 11

8 CnCir_123 F =AAA GTG AAG TGG ATA ATG TG

R =AGA GAG GAT CTA GGG TTG T 54 11

9 CnCir_J10 F =GAG GGT ATG GTG CTG CTT G

R =ATC CTT CAT GTG GCT CTG C 60 10

10 CnCir_B11 F =TCT GCA TCC CTT CTT TAT TA

R =TTGTCT TTC TTT ATT CTA TTG G 53 10

11 CnCir_109 F =CCT ACC ACA CCT TCC A

R =ATC ATC TCA GTC CTT CTC A 55 10

12 CnCir_2 F =AGTCCT AAA AGT GTT GGC

R =GTA ATC CTA TGG CTG CTT 55 10

13 CnCir_86 F =ACT CAC GCA AAT ATA CTC A

R =ACT CACGCA AAT ATA CTC A 53 9

14 CnCir_89 F =GAG TTG GAG AAG AAG AGG

R =ACG ACA ATA GAT GGA ACA 53 9

15 CnCir_192 F =TTA GTT AGT GCT GTG GAT TG

R =TTG CTA TGA GTC CCT TGT 55 9

16 CnCir_D8 F =GCT CTT GAT GTG GCT GCT

R =AGG CGTGTT GAG ATT GTG 58 8

17 CnCir_121 F =GGA CAC TGG GTT CTG TT

R =CTC TGT AAT CTG CGG G 56 8

18 CnCir_56 F =AAC CAG AACTTA AAT GTC G

R =TTTGAA CTC TTC TAT TGG G 53 8

19 CnCir_H11 F =TCA TTC AGA GGA CAA AAG TT

R =TAA AAA TTC ATA AAG GTA AAA 46 5

20 CnCir_167 F =GGT GGG TAA GTG AAC ATC

R =GTG ATA CAA CGA ACC CTC 57 5

21 CnCir_C9 F = CAG AAA GGA GAA AGG AAA T

R =CTA CGA TAG AGG AAT GAG C 57 4

22 CnCir_C5 F =ACC AAC AAA GCC AGA GC

R =GCA GCC ACT ACC TAA AAA 57 4

23 CnCir_48 F =GTG AGG CTG CAA AGA AC

R =TCG TCA AAC CTG ACC A 51 4

24 CnCir_B12 F =GCT CTT CAG TCT TTC TCA A

R =CTG TAT GCC AAT TTT TCT A 51 3

25 CnCir_H4 F =TTA GAT CTC CTC CCA AAG

R =ATC GAAAGA ACA GTC ACG 55 3

26 CnCir_1 F =TTG GTC TAT TGC ATG TTC

R =TGG CAT TGA GAG GGT 53 3

102

27 CnCir_206 F =AAA GAG AAC GCA ACC A

R =CAA GTT CCA AAG AAC CA 51 2

28 CnCir_151 F =ACC ATG ATG TGC CTG T

R =GTT CAC AGT AGG TGG CTT 54 2

29 CnCir_147 F =TTT CTC ACC AAC AAA TAA AC

R =CTT GTG TGT TAG GGT CAT C 52 2

30 CnCir_51 F =TCT CGT GGA TCT CGT C

R =GCT CTT CCA GTT ACG TTT 55 2

31 CnCir_E4 F =GCA TGG TAT TCG GAT TTG

R =ATG GTT CAG ATT TGG ACA GT 55 1

32 CnCir_226 F =CTG AAG ATA TGT GTT TAT GC

R =TGT TCC AGA TTG AGG TT 52 1

33 CnCir_202 F =TTT AGA GGA AGA AGG ATG AG

R =GTG GTT GCT TGG TAT TGT 55 1

34 CNZ_21 F =ATGTTTTAGCTTCACCATGAA

R =TCAAGTTCAAGAAGACCTTTG 52 -

35 CNZ_51 F =CTTTAGGGAAAAAGGACTGAG

R =ATCCATGAGCTGAGCTTGAAC 52 -

36 CNZ_18 F =ATGGTTCAGCCCTTAATAAAC

R =GAACTTTGAAGCTCCCATCAT 52 -

Lampiran 3. Daftar primer SNAP

No Primer Id Urutan sekuens primer Panjang

Primer

(basa)

Suhu

Annealing

(°C)

1 CN_SUS1_P#3 Ref GAATGAGATGCTACAAAGAATAAATAAG 28 51,0

CN_SUS1_P#3 _REV TCTGTTCTAAATGGAACGCG 20 52,9

CN_SUS1_P#3 ALT GAATGAGATGCTACAAAGAATAAATAAA 28 50,7

2 CN_SUS1_P#14 REF GCTGAAAGTCACTGAAAAGGTAG 23 53,8

CN_SUS1_P#14 REV AAATTATTAAGAATGTCATGGTTTC 25 48,3

CN_SUS1_P#14 ALT GCTGAAAGTCACTGAAAAGGTAC 23 54,0

3 WRKY19-P#1Ref CGTCTTCTGCAAACTAAGCTCA 22 56,3

WRKY19-P#1Rev ATGATATATATACAAGACTACGCCGAT 27 55,0

WRKY19-P#1Alt GTCTTCTGCAAACTAAGCTCG 21 53,5

4 WRKY6-P#3Ref ATAAATATCACATATCCCTGAGCAA 25 55,0

WRKY6-P#3Rev CTACAGGTATTGTTAAATGTGCCA 24 55,0

WRKY6-P#3Alt TATAAATATCACATATCCCTGAGCAG 26 54,9

103

Lampiran 4. Glosari

1. Kelapa kopyor : kelapa mutan asli Indonesia dengan daging buah

(endosperma) yang terlepas dari cangkang (batok)-nya dan daging buahnya

lembut sehingga enak untuk campuran es atau es krim, Kelapa kopyor

umumnya dikonsumsi segar seperti kelapa muda,

2. Kelapa normal : kelapa dengan daging buah yang keras dan biasa digunakan

untuk menghasilkan kopra, santan, VCO atau minyak goreng, Di kalangan

masyarakat juga dikenal sebagai kelapa sayur,

3. Kelapa tipe Dalam : kelapa yang umur berbuah pertamanya antara 6-7 tahun

setelah tanam, Dicirikan dengan ukuran buah yang besar, jumlah buah per

tandan yang relatif sedikit, dan batang yang besar/kokoh,

4. Kelapa tipe Genjah : kelapa yang umur berbuah pertamanya antara 3-4

tahun setelah tanam, Dicirikan dengan ukuran buah yang relatif kecil, jumlah

buah per tandan yang relatif banyak, dan batang yang kecil,

5. Kelapa tipe Hibrida : kelapa hasil persilangan antara tipe Genjah (G) dengan

tipe Dalam (D), Karakteristiknya berbuah lebih cepat dari kelapa tipe Dalam ,

berbuah besar dan jumlah buah/tandan banyak, dengan batang yang lebih

besar/kokoh dibadingkan kelapa tipe Genjah,

6. Kelapa Makapuno : kelapa mutan asal Filipina dengan daging buah

(endosperma) yang lembek,

7. Gen K : gen yang menyebabkan daging buah (endosperma) kelapa menjadi

keras seperti kelapa normal,

8. Gen k : gen mutan yang menyebabkan daging buah(endosperma) kelapa

menjadi terlepas dari batoknya seperti pada kelapa kopyor,

9. Pohon kelapa normal KK (homosigot KK) : pohon kelapa dengan simbol

genetik (genotipe) KK merupakan pohon kelapa berbuah normal, Secara

teknis pohon kelapa ini juga disebut sebagai pohon kelapa normal homosigot

(KK) dan secara umum dikenal dengan istilah pohon kelapa sayur, Pohon

kelapa ini hanya akan menghasilkan buah kelapa normal (kelapa sayur) dan

tidak akan pernah menghasilkan buah kelapa kopyor,

10. Pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) : pohon kelapa dengan simbol

genetik (genotipe) Kk merupakan pohon kelapa yang berbuah campuran

antara buah kelapa normal dan buah kelapa kopyor, Pohon kelapa ini di

daerah Pati, Jawa Tengah juga disebut kelapa kopyoran, Pohon kelapa kopyor

Kk, dalam setiap tandan buahnya berpotensi menghasilkan buah kelapa

campuran,yaitu: (a) buah kelapa normal KK, (b) buah kelapa normal Kk, dan

(c) buah kelapa kopyor kk,Dengan demikian, petani yang memanen buah dari

pohon kelapa kopyor Kk ini akan: (a) menjual buah kelapa kopyor kk yang

dipanen langsung ke konsumen dan(b) menjadikan buah kelapa normalyang

dipanen (campuran dari buah kelapa normal KK dan buah kelapa normal Kk)

sebagai bibit,

11. Pohon kelapa kopyor kk (homosigot kk) : pohon kelapa dengan simbol

genetik (genotipe) kk merupakan pohon kelapa yang berpotensi berbuah

100% buah kelapa kopyor dalam setiap tandan buahnya, Pohon kelapa kopyor

ini merupakan kelapa kopyor hasil kultur jaringan (embryo rescue), Pohon

kelapa kopyor kk, meskipun dalam setiap tandan buahnya berpotensi

menghasilkan buah kelapa 100%,tetapi: (a) jika terjadi penyerbukan dengan

104

serbuk sari dari kelapa normal KK,maka hasil buahnya menjadi 100% buah

kelapa normal, (b) jika terjadi penyerbukan dengan serbuk sari dari kelapa

kopyor Kk,maka hasil buahnya menjadi 50% buah kelapa normal Kk dan

50% buah kelapa kopyor kk, dan (c) jika terjadi penyerbukan dengan serbuk

sari dari kelapa kopyorkk,maka hasil buahnya menjadi 100% buah kelapa

kopyorkk,Dengan demikian, petani yang menanam pohon kelapa kopyor kk

inidisarankan : (a) mengisolasi pohon kelapa kopyor kk-nya daripohon kelapa

normal KK atau pohon kelapa kopyor Kk yang ada di sekitarnya, agar tidak

menurunkan produksi buah kopyor, dan(b) melakukan emaskulasi

(penghilangan bunga jantan penghasil serbuk sari) dari tanaman kelapa

normal KK atau kelapa kopyor Kk agar tidak menjadi sumber kontaminan

serbuk sari yang akan menurunkan produksi buah kopyor,

12. Buah kelapa normal KK (homosigot KK) : buah kelapa dengan daging

buah(endosperma) yang keras, yang dapat dihasilkan dari pohon kelapa

normal KK (homosigot KK) atau dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot

Kk), Buah kelapa ini mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik

KK dan daging buah(endosperma) dengan konstitusi genetik KKK, Buah

kelapa normal KK (homosigot KK) ini jika dijadikan bibit akan menjadi bibit

kelapa normal, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa normal KK

(homosigot KK) dan yang akan menghasilkan 100% buah kelapa normal,

13. Buah kelapa normal Kk (heterosigot Kk) : buah kelapa dengan daging

buah(endosperma) yang keras, yang dalam kondisi tertentu dapat dihasilkan

dari pohon kelapa normal KK (homosigot KK) – jika diserbuki oleh serbuk

sari dari pohon kopyor Kk atau kk; atau dari pohon kelapa kopyor Kk

(heterosigot Kk)– jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa normal

KK, kelapa kopyor Kk atau kelapa kopyor kk; atau dari kelapa kopyor kk

(homosigot kk) jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa normal KK

atau kelapa kopyor Kk, Buah kelapa normal Kk (heterosigot Kk) mempunyai

embrio sigotik dengan konstitusi genetik Kk dan daging buah(endosperma)

dengan konstitusi genetik Kkk atau KKk, Buah kelapa normal Kk

(heterosigot Kk) ini jika dijadikan bibit akan menjadi bibit kelapa kopyor

alami, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa kopyorKk

(heterosigot Kk) dan yang akan menghasilkan 25-50% buah kelapa kopyor

per tandan,

14. Buah kelapa Kopyor homosigot kk : buah kelapa dengan daging

buah(endosperma) yang lembut dan terlepas dari batok (cangkang)-nya, yang

dalam kondisi tertentu dapat dihasilkan dari pohon kelapa kopyor Kk

(heterosigot Kk)– jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor

Kk (heterosigot Kk)atau kelapa kopyor kk (homosigot kk); atau dari pohon

kelapa kopyor kk (homosigot kk) - jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon

kelapa kopyor Kk; atau kelapa kopyor kk, Buah kelapa kopyor kk

(homosigot Kk) mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik kk dan

daging buah(endosperma) dengan konstitusi genetik kkk, Buah kelapa

kopyor kk (homosigot kk) ini tidak bisa dijadikan sebagai bibit, tetapi

langsung dijual kepada konsumen, Jika ingin dijadikan sebagai bibit maka

perlu dilakukan embryo rescue (penyelamatan embrio) dengan teknik kultur

jaringan, Hasil embrio rescue akan menjadi bibit kelapa kopyor homosigot

kk, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa kopyor kk (homosigot

105

kk) dan yang akan berpotesi menghasilkan 100% buah kelapa kopyor per

tandan,

15. Bibit kelapa normal KK (homosigot KK): bibit kelapa yang ditumbuhkan

dari buah kelapa normal KK (homosigot KK), Bibit ini jika ditanam hanya

akan menghasilkan buah kelapa normal dan tidak akan menghasilkan buah

kelapa kopyor,

16. Bibit kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk): bibit kelapa yang ditumbuhkan

dari buah kelapa normal heterosigot Kk, Bibit ini jika ditanam akan menjadi

pohon kelapa kopyor Kk dan berpotensi menghasilkan buah kelapa Kopyor

dengan persentase tertentu per tandannya,

17. Bibit kelapa kopyor alami: Bibit kelapa kopyor yang diperjualbelikan secara

komersial oleh petani penangkar kelapa kopyor, Pada umumnya, bibit kelapa

kopyor alami merupakan bibit campuran yang terdiri atas bibit kelapa kopyor

Kk (heterosigot Kk) dan bibit kelapa normal KK (homosigot KK), Secara

teoritis, proporsi campurannya berkisar antara 2:1 untuk bibit kelapa kopyor

Kk dan bibit kelapa normal KK,Bibit kelapa kopyor alamitelah dapat secara

rutin diproduksi dengan teknologi sederhana oleh petani,Karena merupakan

bibit campuran, konsumen pembeli bibit tidak mempunyai garansi akan

mendapatkan pohon kelapa yang menghasilkan kelapa kopyor atau yang

hanya menghasilkan kelapa normal, Jika bibityang dibeli adalah bibit kelapa

Kk (heterosigot Kk) maka akan menjadi pohon kelapa yang berbuah kopyor,

tetapi jika bibit yang dibeli adalah bibit kelapa KK (homosigot KK) maka

akan menjadi pohon yang tidak akan pernah berbuah kopyor, Adanya

ketidakpastian ini yang menjadi masalah bagi petani penangkar dan

konsumen yang membeli,

18. Bibit kelapa kopyor kk (homosigot kk): Bibit kelapa yang dihasilkan dari

kultur in vitro embrio sigotik kelapa kopyor, Karena kelapa kopyor kk tidak

bisa berkecambah secara alami, maka embrionya harus diisolasi dan ditanam

dalam media steril di laboratorium kultur jaringan, Hasilnya adalah bibit

kelapa kopyor kk (homosigot kk), yang hargaper bibitnyarelatif masih sangat

mahal, Produksi bibit kelapa ini memerlukan peralatan laboratorium yang

relatif canggih dan tidak efektif untuk dilakukanoleh petani,

19. Persilangan terbuka (open polination) : persilangan yang dilakukan secara

alami dengan bantuan serangga sehingga hanya dapat diidentifikasi induk

betinanya dan tidak dapat teridentifikasi (tidak jelas) identitas induk

jantannya, Dengan persilangan terbuka, identitas progeni hasil persilangan

hanya akan dapat dirunut ke satu tetua tertentu saja yang digunakan sebagai

induk betinanya, Bibit kelapa kopyor alami merupakan bibit kelapa yang

ditumbuhkan dari buah kelapa hasil persilangan terbuka,

20. Embryo sigotik : mata tunas yang ada di dalam buah kelapa, Ketika

berkecambah (secara alami atau dengan bantuan kultur jaringan),embryo

sigotik kelapanyaakan tumbuh dan berkembang menjadi bibit kelapa,

21. Daging buah (endosperma) : bagian dalam buah kelapa yang dapat dimakan

atau diperas untuk membuat santan dan minyak kelapa, Pada kelapa normal,

daging buahnya keras dan menempel pada batoknya, sebaliknya pada kelapa

kopyor, daging buahnya lembut dan terlepas dari batoknya,

22. Polinator: serangga yang membantu proses penyerbukan kelapa sehingga

bisa menghasilkan buah, Penyerbukan kelapa tipe Dalam memerlukan

106

bantuan serangga sedangkan tipe Genjah tidak harus dibantu serangga,

Tetapi, keberadaan serangga juga berpengaruh positif terhadap penyerbukan

kelapa tipe Genjah,

23. Polinator lebah madu : lebah madu juga dapat berfungsi sebagai serangga

yang membantu penyerbukan kelapa, Keuntungannya adalah serangga ini

menghasilkan produk tambahan berupa madu, selain sebagai polinator,

Serbuk sari dan nektar kelapa dapat dijadikan sebagai makanan bagi lebah

madu, sehingga budidaya lebah madu di bawah tegakan pohon kelapa dapat

berdampak positif karena menghasilkan madu dan membantu penyerbukan,

24. Produksi buah kelapa kopyor : budidaya kelapa kopyor untuk dipanen buah

kelapa kopyornya, Petani atau pekebun dapat menanam pohon kelapa kopyor

Kk (heterosigot Kk) yang akan menghasilkan buah kelapa kopyor 25-50%

atau pohon kelapa kelapa kopyor kk (homosigot kk) yang akan menghasilkan

buah kelapa kopyor 100%,

25. Produksi bibit kelapa kopyor : budidaya budidaya kelapa kopyor untuk

dipanen buah kelapa normalnya dan dijadikan sebagai benih untuk

menghasilkan bibit kelapa kopyor, Petani atau pekebun dapat menanam

pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) yang akan menghasilkan buah

kelapa kopyor 25-50% dan buah normal yang akan dipanen umur 11 bulan

untuk dijadikan sebagai benih, Buah kelapa normal yang dipanen selanjutnya

dapat dikecambahkan menjadi bibit dan dijual sebagai bibit kelapa kopyor

alami (jika hasil persilangan terbuka) atau sebagai bibit kelapa kopyor T3

(jika hasil persilangan terkontrol dengan tetua jantan kelapa kopyor

homosigot kk)

107

Lampiran 5. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 37

Lampiran 6. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 39

108

Lampiran 7. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 44

Lampiran 8. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 51

109

Lampiran 9. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 53

Lampiran 10. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 58

110

Lampiran 11. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 69

Lampiran 12. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 85

111

Lampiran 13. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 88

Lampiran 14. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu

dengan tetua betina # 92

112

Lampiran 15. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Kelapa Dalam Kalianda,

Agom Jaya dengan pohon induk betina nomor 160

Lampiran 16. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Kelapa Dalam Kalianda,

Agom Jaya dengan pohon induk betina nomor 185

113

Lampiran 17. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 31

Lampiran 18. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 38

114

Lampiran 19. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 46

Lampiran 20. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 48

115

Lampiran 21. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 51

Lampiran 22. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 57

116

Lampiran 23. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 58

Lampiran 24. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 68

117

Lampiran 25. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 85

Lampiran 26. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 88

118

Lampiran 27. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi

lebah dengan pohon induk betina nomor 167

119

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parepare pada tanggal 9 Februari 1982 sebagai anak

ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Drs.Muh.Warkah Larekeng dan

Nadjmah Aminuddin,SPd. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya

Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2000 hingga 2004. Pada

tahun 2006 penulis menempuh studi Pascasarjana Sistem-Sistem Pertanian Unhas

dan lulus pada tahun 2008. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor

pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi

dan Hortikultura tahun 2009 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan

Tinggi Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen yayasan di Universitas Muhammadiyah

Parepare, Kopertis IX dari tahun 2005 sampai 2014. Tahun 2015 hingga sekarang

menjadi dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama

mengikuti kuliah S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Pemulia Indonesia

(PERIPI) dan Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI). Penulis

mengikuti seminar Pakar Bioteknologi tahun 2012 sebagai penyaji dengan judul

artikel “Penggunaan 2,4 D dan Picloram untuk Induksi Kalus Embriogenik

Tanaman Kelapa Kopyor secara In Vitro”, dan pada acara Seminar Nasional

Hortikultura 2011 sebagai penyaji dengan judul artikel “Keefektifan Bahan

Pemadat Dan Pemotongan Haustorium Pada Kultur Embrio Zigotik Kelapa

Kopyor”. Karya ilmiah berjudul “Pollen Dispersal of Pati Kopyor Dwarf Coconut

Indicating Importance of Insect Pollinators role in its pollination” dikirimkan ke

Cord, International Journal on Coconut R & D, Asian and Pacific Coconut

Community dan akan diterbitkan pada Volume 31 Nomor 1 Tahun 2015. Artikel

yang lain dikirim ke Buletin Palma dengan judul “Penyebaran Serbuk Sari

Membuktikan Potensi Pengaruh Negatif Kelapa Normal Terhadap Hasil Buah

Kopyor”. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Program S-3

penulis.