sari pustaka

Upload: adi-sawe

Post on 07-Jul-2015

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Hubungan antara iron overload dan resiko kanker masih merupakan isu kontroversial. Meskipun telah dihipotesiskan bahwa besi mempunyai efek yang secara potensial berbahaya melalui kapasitas prooksidannya, studi-studi

epidemiologik masih menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak konsisten. Dalam suatu studi epidemiologi gizi yang dilakukan oleh Serge Hercberg dkk (2005) yang melakukan studi kohort tentang hubungan status besi dengan resiko kanker di Perancis, didapatkan bahwa status besi tidak menjadi prediktor resiko kanker pada laki-laki, tapi pada wanita dengan kadar feritin serum >160 g/L didapatkan hubungan bermakna terjadinya resiko kanker.1 Banyak studi prospektif yang luas awal dekade ini menggunakan marker status besi untuk menggambarkan resiko yang lebih besar dari penyakit keganasan (kolon, rektum, dan paru-paru) pada subyek dengan saturasi transferin yang lebih tinggi, tetapi beberapa penelitian tidak menemukan hubungan tersebut, bahkan untuk kasus-kasus kanker lambung didapatkan hubungan sebaliknya. Studi-studi saat ini lebih menggunakan feritin serum sebagai indikator yang nyata dari status besi, karena telah dapat diterima secara luas bahwa kadar feritin serum lebih menggambarkan cadangan besi tubuh.1 Feritin merupakan protein yang memainkan peranan sangat penting dalam penyimpanan besi dalam tubuh. Saat ini feritin muncul sebagai suatu faktor yang sangat penting dari penyakit, misalnya atherosklerosis, kanker, dan gangguangangguan neuropsikiatrik. Sejumlah mekanisme misalnya jalur pro-oksidan dan pro-inflamasi berperan dalam hal ini. Feritin melakukan fungsi yang berbeda-beda di dalam tubuh selain sebagai penyimpanan besi. Perubahan dalam struktur dan konsentrasi dari feritin telah diobservasi dalam berbagai penyakit, jadi dapat ditetapkan sebagai suatu marker yang penting.2 Feritin mewakili sekitar 20% dari besi total dalam tubuh dan feritin serum memiliki koefisien keandalan yang tinggi di antara wanita-wanita pre dan post

menopause yang diuji. Karena konsentrasi feritin serum berhubungan dengan berbagai parameter: ini dapat menjadi biomarker yang baik untuk status besi tubuh.2

Hubungan peningkatan kadar feritin dengan peningkatan risiko terjadinya keganasan telah banyak diteliti. Iron-induced malignant tumour pertama kali dilaporkan pada tahun 1959 dengan injeksi intramuskuler berulang iron dextran complex pada tikus. Pada awal 1980an, beberapa laporan epidemiologik telah menghubungkan peningkatan besi dengan peningkatan resiko kanker baik pada studi prospektif maupun studi ratio-prospektif.2 Hubungan antara hepcidin dan metabolisme besi pertama kali dilakukan oleh Pigeon dkk pada studi respon hepar terhadap iron overload. Mereka menemukan bahwa mRNA hepcidin murine dengan hibridisasi subtraktif dari hati dengan akumulasi besi dibandingkan hati normal membuktikan bahwa mRNA diekspresikan lebih dominan oleh hepatosit. mRNA hepcidin diinduksi tidak hanya oleh diet besi atau pemberian parenteral besi yang berlebihan tetapi juga oleh terapi lipopolisakarida pada tikus. Begitu pula, 2 tikus dengan hemokromatosis menunjukkan peningkatan kadar mRNA hepcidin pada diet normal tapi tidak dengan diet rendah besi. Hasil-hasil ini mengindikasikan dengan jelas bahwa hepcidin diregulasi oleh besi.3 Oleh karena itu sari pustaka ini bertujuan untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam sitotoksisitas besi dan menjelaskan beberapa gangguan penting dimana feritin muncul sebagai suatu biomarker yang penting.

BAB II FERITIN II.1. Struktur Feritin Feritin adalah protein penyimpan besi intraseluler utama pada semua organisme. Feritin adalah protein berat molekul besar yang mengandung besi dan berfungsi sebagai cadangan tubuh yang sifatnya larut dalam air. Feritin ini

berbentuk sferis (diameter luar 12-13 nm, di dalam 7-8 nm, Mr sekitar 500KDa) yang mampu menampung sampai 4500 atom Fe3+ yang disebut disebut apoferitin. Setiap apoferitin dirakit dari 24 rantai polipeptida dari 2 spesies, yaitu sub unit yang berat (sub unit-H) dan sub unit yang ringan (sub unit-L). Rasio antara sub unit H dan L sangat bervariasi di setiap jaringan yang berbeda. Dan ini dapat dengan mudah berubah-ubah akibat kondisi inflamasi, infeksi, dan respon terhadap xenobiotic stress, differentiation dan developmental transitions. Pemeriksaan feritin dilakukan antara lain dengan metode ELISA seperti electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) atau analyzer immunoassay lain.2,4 Linearitas pengukuran adalah 0,500-2000 g/L. Nilai rujukan pada wanita dengan usia 17-60 tahun adalah 13-150 ng/mL dan pada lelaki dengan usia 20-60 tahun adalah 30-400 g/L. Cadangan besi habis pada orang dewasa jika kadar feritin < 15 g/L dan pada anak < 12 g/L. Peningkatan kadar feritin disebabkan oleh kerusakan jaringan seperti penyakit hati, infeksi, inflamasi atau penyakit keganasan.4 II.2. Regulasi Kadar Feritin II.2.1. Peran zat besi Normalnya hanya sekitar 0,05% (2-2,5 mg) besi tubuh hilang setiap hari. Kehilangan besi ini harus diganti melalui diet. Net negative balance terjadi ketika absorpsi besi kurang dari yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan besi harian, dan jika berlangsung dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan

deplesi dari zat besi. Tetapi ketika absorpsi berlebihan, balans positif terjadi yang jika berlangsung lama akan menyebebkan akumulasi besi.5 Absorpsi besi tergantung dari kandungan besi dari diet, bioavaibilitas dari besi dalam diet, dan kemampuan sel-sel mukosa usus untuk menyerap besi. Besi dalam diet (utamanya diet orang Barat) rata-rata mengandung 6 mg besi/ 1000 kcal dengan bioavaibilitas 14-17%. Oleh karena itu diet 2000 kkal dapat menyediakan sekitar 1,8 mg besi yang diabsorpsi setiap hari.5 Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 12 mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja.6 Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 2545% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin.Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh. Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 8090% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan kembali ke dalam

sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin.6 Dalam keadaan normal 3050% prekursor eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma menunjukkan variasi diurnal.6 Kandungan feritin sitoplasma diatur oleh translasi dari mRNA H dan L feritin untuk pool intraseluler besi chelat atau besi labil. Ketika kadar besi rendah, sintesis feritin menurun, sebaliknya ketika kadar besi tinggi, sintesis feritin meningkat. Proses ini dimediasi oleh interaksi antara RNA binding protein dengan suatu region dalam 5 untranslated region dari mRNA feritin H dan L yang

dinamakan iron responsive element (IRE). Ada 2 RNA binding protein, iron regulatory protein 1 dan 2 (IRP 1 dan IRP 2), yang mengikat IRE ini dan menghambat translasi mRNA.2 II.2.2. Peran sitokin dan inflamasi TNF- dan IL-1 secara transkripsi menginduksi rantai H dari ferritin, sehingga diduga bahwa jalur yang berhubungan dengan inflamasi dan stres dapat mempengaruhi regulasi feritin. Feritin H diregulasi oleh TNFpada bagian

transkripsi yang mengikat faktor transkripsi NF- B. Sitokin juga meregulasi feritin secara post-transkripsi. Pada sel-sel hepar, induksi sintesis feritin terlihat dengan sejumlah sitokin, misalnya IL-1 , IL-6 dan TNF- . Sekresi feritin dan IL-6

distimulasi oleh sitokin. Pada kultur hepatosit manusia, IL-1

menyebabkan sekresi sementara dari feritin selama 24 jam diikuti oleh penurunan seperti semula, sedangkan TNF menyebabkan peningkatan terus menerus sekresi feritin sampai mencapai 10 kali lipat. Sitokin memainkan peran yang penting dalam respon seluler terhadap infeksi dan feritin memainkan peranan yang menonjol dalam respon sitokin. Lipopolisakarida, suatu komponen dari membran luar dari bakteri gram negatif, memunculkan berbagai reaksi yang melibatkan LPS feritin yang diberikan secara endotrakeal ke tikus menyebabkan ekspresi protein feritin.2 II.2.3. Peran nitric oxide dan stres oksidatif Ada bukti kuat yang mendukung feritin sebagai protektan melawan stres oksidatif. Pada sel tumor, sensitivitas terhadap oksidan berbanding terbalik

dengan kadar feritin. Peningkatan kadar feritin mengurangi pool iron yang berberat molekul rendah. Penemuan ini sejalan dengan hasil observasi bahwa penurunan feritin mensentisisasi sel-sel terhadap sitotoksisitas pro oksidan, dan over-expression dari feritin mengurangi ROS dan toksisitas oksidan. Oksidan menginduksi transkripsi feritin dengan langsung menargetkan ke gen ferritin. Stres oksidatif dapat juga berkontribusi terhadap induksi ferritin dengan me-nonaktifkan IRPI.2

Oksidan mungkin juga merubah transkripsi dan translasi feritin melalui pelepasan besi dari protein sel. Oksidan, termasuk ROS dan nitric oxide, dapat melepaskan besi dari feritin, IRPI atau hemoglobin, baik secara langsung maupun melalui oksigenasi heme. Hal ini dapat mencetuskan induksi feritin melalui inhibisi IRP, dan mungkin melalui regulasi langsung iron-mediated

transcriptional dari feritin. Sitokin juga dapat mempengaruhi translasi feritin secara tidak langsung melalui kemampuan untuk menginduksi iNOS dan meningkatkan NO. NO kemudian menyebabkan aktivasi IRP 1 dan IRP 2. 2 II.2.4. Dasar-dasar biokimia dari sitotoksisitas besi Hipotesis besi Besi memberikan reactive oxygen species, seperti hydroxyl radical (OH) dari H2O2 melalui reaksi Fenton. Besi yang berlebihan dalam jaringan dapat mengkatalisis pembentukan bentuk-bentuk reaktif tinggi dari radikal bebas. Lipid, protein dan DNA merupakan biomolekul yang menjadi target oleh iron-mediated ROS. Radikal-radikal ini dapat menyebabkan oksidasi dari LDL. LDL yang

teroksidasi dapat mengaktifkan sel endotel untuk menghasilkan berbagai cell adhesion molecule dan faktor-faktor kemotaktik yang melakukan migrasi dan ikatan monosit dan limfosit ke dinding arteri. Makrofag kemudian terbentuk dan lebih lanjut inflamasi menyebabkan pembentukan foam cell dan perkembangan atherosclerosis.2 ROS yang dihasilkan oleh besi dapat secara spesifik menargetkan beberapa tumour suppressor genes, menyebabkan konsep baru dari genomic sites vulnerable to Fenton reaction. Untuk mendukung konsep ini, telah dibuktikan bahwa peroksidasi lipid yang berasal aldehida seperti 4-hydroxynonenal (4-HNE) dapat berinteraksi dengan DNA untuk membentuk adisi exocyclic guanine dan adisi 4-HNE-DNA yang terbentuk pada basa ketiga dari kodon 249 pada gen p53. Pemberian Fe-NTA, suatu karsinogen ginjal, dapat secara khusus menyebabkan allelic loss dari tumour suppressor gene p16 dalam sel-sel tubular ginjal.2 Besi-menginduksi oxidative-responsive transcription factors

Selain serangan langsung dari iron-mediated ROS pada DNA, baru-baru ini telah diusulkan bahwa besi dapat menginduksi jalur signal dini yang dapat mengatur aktivitas dari beberapa oxidative-responsive transcription factor, seperti activator protein-1 (Ap-1) dan NF- B.2 Karena tempat ikatan AP-1 dan NF- B ditemukan dalam promoter dari banyak gen, seperti IL-6 dan IL-8, aktivasi dari faktor-faktor transkripsi ini dapat berkontribusi kepada regulasi dari gen-gen sitokin tersebut.2 Besi menginduksi respon terhadap hipoksia Pembentukan pembuluh-pembuluh darah baru dan angiogenesis diketahui sebagai langkah yang penting dalam pertumbuhan dan progresifitas tumor. Angiogenesis dapat diinduksi oleh kondisi hipoksia dan diatur oleh hypoxiainducible factor (HIF-1).2 HIF merupakan suatu heterodimer yang dibentuk dari subunit dan .

HIF-1 hidroksilase yang menghidroksilasi HIF-1 pada proline 564 merupakan iron dependent. Proses ini memediasi ubiquitinasi dari HIF-1 untuk degradasi proteosomal. Deplesi besi atau hipoksia menghambat proline 564 yang menyebabkan peningkatan kadar p53.2 Mekanisme lain Ada paling tidak 2 mekanisme yang dapat diterima untuk karsinogenesis besi, yaitu: 1. Besi berfungsi sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel. 2. Besi dapat mempengaruhi sistem imun.2 Besi dibutuhkan secara absolut untuk proliferasi sel, karena protein yang mengandung besi mengkatalisis reaksi-reaksi penting yang terlibat dalam pengangkutan oksigen, metabolisme energi, resapirasi dan sintesis DNA. Tanpa besi, sel tidak dapat melakukan proses dari G1 ke fase S dari siklus sel.2

Besi juga mengatur mekanisme efektor imun, seperti aktivitas sitokin (jalur efektor INF- terhadap makrofag), pembentukan nitric oxide atau proliferasi sel imun. Pengaturan keseimbangan imun yang diinduksi oleh besi dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan sel-sel kanker dan organisme infeksius yang menyebabkan perkembangan kanker.2

BAB III ANEMIA PENYAKIT KRONIS

Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat: infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung 12 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama: ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.6 Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, transferin saturasi transferin, dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normal. Berbeda dengan defisiensi besi yang kadar total protein pengikat besi meningkat, sedangkan feritin menurun, dan kadar reseptor transferin meningkat.6 Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses infamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)- , Interleukin (IL)-1, IL6 dan IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pelepasan besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL- 1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka

kebutuhan besi akan berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan makrofag menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF- juga berasal dari makrofag berefek sama yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah. 6 Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF- dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan di sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin. Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 23 kali normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.6 Peran Hepcidin dalam Metabolisme Besi dalam Kaitannya dengan Penyakit Kronis Hepcidin meruapakan suatu 25amino acid peptide yang dibentuk oleh hepatosit, mungkin menjadi suatu mediator dari innate immunity dan the longsought iron-regulatory hormone. Sintesis hepcidin utamanya distimulasi oleh inflamasi atau oleh besi yang berlebihan. Bukti dari tikus transgenik mengindikasikan bahwa hepcidin merupakan regulator negatif predominan dari absorpsi besi pada usus kecil, transpor besi melalui plasenta, dan pelepasan besi dan makrofag. Pada anemia karena inflamasi, produksi hepcidin meningkat sampai 100 kali lipat dan ini dapat diperhitungkan untuk menentukan kondisi penimbunan besi dalam makrofag. Penemuan hepcidin dan peranannya dalam

metabolisme besi dapat menuntun kita memperoleh terapi baru untuk hemochromatosis dan anemia pada penyakit inflamasi.3 Perubahan hemostasis besi pada penyakit kronis dengan akumulasi besi: akumulasi besi pada penyakit kronis dihubungkan dengan peningkatan secara signifikan baik lokal maupun sistemik dari mediator-mediator inflamasi, misalnya tumor necrosis factor- atau TNF- , yang tampaknya lebih banyak berasal dari perluasan jaringan lemak. Besi secara progresif tertahan karena kerusakan iron export dari sel-sel hati melalui cytokinemediated down-regulation of ferroportin. Akumulasi besi hepatik menstimulasi pembentukan hepcidin, yang menghasilkan blokade dari pengambilan besi duodenal sebagai kompensasi kelebihan besi pada hati.7 Peranan Infeksi dan Inflamasi dalam Menginduksi H epcidin Saat ini hubungan antara hepcidin dan infeksi/inflamasi menjadi semakin jelas. Shike dkk membuktikan bahwa pada white bass liver yang terinfeksi

dengan pathogen Streptococcus iniae meningkatkan ekspresi mRNA hepcidin 4500 kali lipat. Pada studi lainnya, Nicolas dkk, injeksi turpentine, suatu stimulus infalamasi standar pada tikus menginduksi mRNA hepcidin 4 kali lipat dan menyebabkan penurunan 2 x lipat dari besi serum. Respon hipoferremia terhadap inflamasi yang diinduksi oleh turpentine tidak ada pada tikus yang mengalami defisiensi USF2/hepcidin, membuktikan bahwa respon ini sepenuhnya tergantung pada hepcidin. Nemeth dkk mengukur peptida hepcidin urin pada pasien-pasien dengan anemia karena inflamasi dan infeksi kronis atau penyakit inflamasi berat, dan didapatkan peningkatan 100 kali lipat ekskresi hepcidin, dengan sedikit peningkatan pada pasien-pasien dengan penyakit inflamasi yang lebih ringan. Hepcidin urine juga meningkat sekitar 100 kali lipat pada pasien-pasien dengan iron overload dari transfusi pada pasien-pasien dengan anemia sel sabit atau myelodysplasia. Ekskresi hepcidin berkorelasi baik dengan feritin serum, yang juga meningkat baik pada iron loading maupun pada inflamasi. Penelitian tentang efek besi atau sitokin terhadap hepatosit manusia yang diisolasi membuktikan

bahwa mRNA hepcidin diinduksi oleh lipopolisakarida dan diinduksi kuat oleh monokin dari monosit yang terekspos pada lipopolisakarida. Di antara sitokin, IL6 dan TNF menginduksi paling kuat mRNA hepcidin. Menariknya, paparan hepatosit terhadap iron-saturated transferrin dan ferric ammonium citrate tidak hanya gagal menginduksi mRNA hepcidin tapi juga mensupresinya. Penemuanpenemuan ini membuktikan bahwa produksi hepcidin oleh hepatosit tidak secara langsung diregulasi oleh infeksi dan besi. Infeksi, dan khususnya pathogenspecific macromolecules seperti lipopolisakarida, mungkin bekerja pada makrofag, termasuk sel-sel Kupffer hepatik, untuk menginduksi produksi IL-6, dan sitokin ini kemudian menginduksi produksi mRNA hepcidin pada hepatosit. Dari kumpulan data ini, peningkatan produksi hepcidin oleh inflamasi dan kemampuan dari transgenik atau tumor-derived hepcidin untuk mensupresi eritropoiesis oleh iron starvation membuktikan bahwa hepcidin merupakan mediator kunci terjadinya anemia pada inflamasi.3

Supresi Hepcidin oleh Anemia atau Hipoksia Anemia dan hipoksia juga mempengaruhi metabolisme besi. Kedua stimulus ini diperkirakan menurunkan produksi hepcidin dan menghilangkan efek inhibisi terhadap absorpsi besi dan pelepasan besi dari makrofag jadi bahwa lebih banyak besi yang tersedia untuk kompensasi erythropoiesis. Weinstein dkk dan Nicolas dkk mengkonfirmasikan bahwa efek-efek ini sungguh berlangsung. Anemia yang diinduksi pada tikus yang dikurangi uptake besi pada usus halus menunjukkan penurunan mRNA hepcidin hepar. Anemia yang diinduksi oleh flebotomi, atau oleh hemolisis dari phenylhydrazine, juga menekan mRNA hepcidin hepar. Yang penting, efek supresi dari anemia hemolitik terlihat bahkan pada tikus yang kelebihan besi, membuktikan bahwa supresi hepcidin oleh anemia merupakan efek yang lebih kuat daripada stimulasi hepcidin oleh kelebihan besi. Efek ini dapat menjelaskan mengapa kelebihan besi umumnya berkembang dengan gangguan hemolitik tertentu. Tetapi observasi ini tidak menjelaskan mengapa kelebihan besi terjadi lebih banyak umunya pada hemolisis intrameduler daripada anemia hemolisis perifer atau anemia non-hemolitik.3

Sintesis Hepcidin pada Hati dan Efeknya terhadap Metabolisme Besi Sinusoid-sinusoid terdapat pada sel-sel endotel dan sel-sel Kupfer. Paparan sel-sel ini terhadap mikroba atau highly iron-saturated transferrin menyebabkan pelepasan IL-6 dan mungkin signal-signal lain yang bekerja pada hepatosit untuk menginduksi sintesis dan sekresi hepcidin. Hepcidin plasma ini menghambat uptake besi di duodenum dan pelepasan besi dari makrofag pad a limpa dan tempat lainnya.3

Peranan Hepcidin dalam Hemokromatosis Karena defisiensi hepcidin menyebabkan kelebihan besi yang berat pada tikus, pencarian kemudian dilakukan terhadap mutasi pada manusia yang akan kemudian menyebabkan atau berkontribusi menyebabkan hemokromatosis. Suatu polimorfisme menyebabkan subtitusi dari methionin untuk threonin dalam proregion dari precursor hepcidin ternyata tidak mempunyai efek yang dapat dideteksi terhadap metabolisme besi, bahkan pada keadaan homozigot. Pada akhirnya. 2 keluarga dengan hemokromatosis juvenile yang berat diidentifikasi oleh Roetto dkk: satu keluarga mempunyai rangka homozigot, dan yang satunya lagi mempunyai premature stop mutation, yang keduanya terkode pada region hepcidin. Ini merupakan bentuk yang sangat berat dari hemokromatosis yang mana kerusakan organ dan bahkan kematian dapat terjadi sebelum usia 30 tahun. Fenotipe berat dari defisiensi hepcidin ini menjelaskan peranan sentral dari hepcidin dalam hemostasis besi. Tetapi, banyak hemokromatosis juvenile tidak disebabkan oleh defisiensi hepcidin tapi telah dihubungkan dengan gene pada kromosom 1q yang belum diketahui. Gen ini mungkin mengkode komponen esensial dari reseptor hepcidin atau pada jalur signalnya. Karena purifikasi langsung dari reseptor hepcidin sulit, kerja dari gen ini dengan pemeriksaan teknik genetik akan sangat informatif. Saat ini tampaknya hepcidin juga terlibat dalam patogenesis dari hemokromatosis yang disebabkan oleh mutasi gen HFE, suatu protein transmembran dari major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Meskipun upaya yang intensif dari sejumlah peneliti handal, fungsi seluler dari HFE dan mekanisme dimana defek HFE menyebabkan hemokromatosis masih

menyisakan suatu misteri. Penelitian baru-baru ini oleh Ahmad dkk dan Bridle dkk juga menyimpulkan bahwa pada tikus yang terkena HFE, kadar mRNA hepcidin hepar tidak meningkat setelah loading besi. Lagipula, pasien-pasien dengan hemokromatosis yang disebabkan mutasi HFE mempunyai mRNA hepcidin yang lebih rendah pada biopsy hati meskipun terjadi iron overload pada hati. Penelitian terakhir dari ekskresi hepcidin pada sejumlah kecil pasien dengan hemokromatosis kompensata juga membuktikan bahwa produksi hepcidin mereka relatif rendah terhahap kadar ferritin plasma. Tetapi, tampaknya kontradiksi data muncul dari penelitian respon mRNA hepcidin terhadap iron-loading pada tikus yang terkena mikroglubulin. Karena mikroglobulin dibutuhkan untuk molekul HFE subseluler ke membran plasma, tikus-tikus ini diperkirakan mempunyai defek HFE. Pada diet besi normal, tikus yang terkena mikroglubulin mempunyai kadar mRNA hepcidin hepar 2 kali lebih tinggi daripada tikus normal. Tetapi, karena tikus yang normal dan yang terkena mikroglubulin tidak sepadan untuk kandungan besi hepatic, saturasi transferin, atau kadar ferritin, studi ini masih buntu. Karena ekspresi HFE pada hati predominan berada dalam makrofag dan sel-sel sinusoid, besi mungkin mengambil tempat pada sel-sel ini sebagai pengindera dan dapat berhubungan dengan hepatosit untuk mengatur produksi hepcidin. Pada keadaan tidak adanya HFE yang berfungsi, baik mekanisme penginderaan atau komunikasi dengan hepatosit dapat terganggu, menyebabkan respon hepcidin yang tidak adekuat terhadap besi. Tanpa stimulus ini dari sel-sel Kupfer atau sel-sel lain yang terlibat dalam iron sensing, efek langsung dari besi pada hepatosit mungkin menekan produksi hepcidin.3

Bagaimana Hepcidin Mengatur Transpor Besi? Molekul yang memediasi transpor besi non-heme dalam enterosit telah dijelaskan melalui studi dari mutasi yang menyebabkan anemia mikrositik hipokrom pada tikus, mencit dan zebrafish atau dengan kloning ekspresi dalam oosit Xenopus. Ferri (Fe 3+) dari saluran cerna diambil pada permukaan apikal enterosit setelah reduksi oleh ferric oxidoreductase duodenal cytochrome (DcytB) yang mengkonversinya menjadi Fe 2+, yang kemudian masuk ke dalam sel

melalui DMT1 transporter (Nramp2). Suatu jalur absorpsi alternatif dan penting mengambil besi heme, tetapi ini belum dapat dikarakteristikkan. Dalam enterosit, besi dapat disimpan dalam bentuk ferritin atau berpindah ke permukaan basolateral dari sel dimana ini ditranspor keluar oleh ferroportin (Ireg1), direoksidasi oleh hephaestin, lalu dikumpulkan oleh transferring untuk didistribusikan ke jaringan. Transporter yang sama juga mungkin yang memediasi pergerakan besi melalui transplasental. Keadaan ini pada makrofag mungkin lebih kompleks. Makrofag mengandung transporter besi yang banyak, termasuk Nramp1 dan 2 (DMT1) dan ferroportin (Ireg1). Selama siklus besi dari se l-sel darah merah, makrofag memfagositosis eritrosit dan memecahnya dalam fagosom. Meskipun belum diketahui dengan jelas bagaimana besi sel darah merah masuk ke dalam sitoplasma makrofag, ada bukti bahwa besi ini keluar dari makrofag melalui ferroportin, yang dinilai dengan ferroxidase ceruloplasmin. Khususnya, pada pasien-pasien yang heterozigot untuk mutasi ferroportin tertentu, berkembang suatu bentuk dari hemokromatosis yang ditandai dengan iron overload yang lebih dini pada sel-sel Kupfer dan makrofag splenik daripada di hepatosit. Gambaran yang sama juga terlihat pada pasien-pasien dan tikus yang kekurangan seruloplasmin, suatu feroksidase plasma yang memfasilitasi pelepasan besi dari hepatosit dan makrofag. Makrofag juga berbagi dengan tipe-tipe sel lain kemampuan untuk mengambil besi dari transferin, mentranspornya melalui membran endosomal via Nramp2 (DMT1), dan inkorporasi dalam ferroprotein, termasuk ferritin. Yang mana molekul-molekul ini dapat memediasi efek-efek hepcidin? Frazer dkk meneliti respon hepcidin dan berbagai komponen dari jalur absorpsi untuk mengganti dari diet iron-replete ke iron-defecient diet pada tikus. Selama 2-6 hari, setelah mengganti diet tersebut, fraksi absorpsi, DcytB, DMT1 (Nramp2) dan ferroportin (Ireg1) terinduksi, tapi haphaestin tidak berubah. Peningkatan berhubungan dengan menurunnya mRNA hepcidin hepar: dimana ketika kadar mRNA hepcidin tinggi, mRNA transporter selalu rendah, begitu pula sebaliknya.Setelah Freund adjuvant, mRNA hepcidin terinduksi maksimal dalam 8 jam, serta DcytB dan Nramp2 (DMT1) tersupresi dalam 16 jam, tapi ferroportin (Ireg1) dan haphaestin tidak berubah. Sayangnya, eksperimen ini meskipun

penting, tidak membedakan antara respon primer terhadap hepcidin dan respon sekunder akibat perubahan dalam konsentrasi besi seluler. Sintesis dari banyak protein yang terlibat dalam metabolisme besi diatur secara langsung oleh iron regulatory protein dan satu dari mRNA Nramp2 (DMT1) dan ferroportin (Ireg1) keduanya mengandung bentuk-bentuk iron-response yang cukup. Lagipula, regulasi dari kebutuhan transpor tidak terjadi oleh perubahan jumlah molekul transport karena modulasi dari lokasi subselulernya atau kecepatan transport dari transporternya sendiri akan menyebabkan hasil yang sama. Oleh karena itu, transporter bukan satu-satunya regulator yang penting dari pelepasan besi, karena pelepasan besi dari sel-sel duodenum atau makrofag dapat juga diatur oleh intensitas dan mungkin jumlah ferritin. Frazer dkk menyatakan bahwa waktu supresi mRNA hepcidin adalah simultan (dalam 1 hari) dengan peningkatan ekspresi mRNA transporter duodenum. Observasi ini menimbulkan perdebatan tentang satu model saat ini dari transpor duodenum, yang mempostulasikan bahwa kecepatan transpor duodenum diatur selama diferensiasi dari sel-sel crypt ke selsel epitel. Pada bentuk ini, iron sensing dilakukan oleh sel-sel crypt yang diekspose ke transferin plasma tapi tidak ke besi luminal. Tergantung pada derajat saturasi besi dari transferin, kecepatan absorpsi besi diprogram (yang dapat diperkirakan dari suatu sintesis molekul transpor yang tinggi atau rendah), dan kecepatan absorpsi ini bertahan selama 2 hari dari masa hidup sel epitel, yaitu pada saat sel bergerak naik pada vili hingga ujung vilus menutupi sel. Bentuk ini berkembang sebelum peran hepcidin terapresiasi dan mungkin butuh

pertimbangan ulang mengingat sensor besi yang penting tidak berlokasi dalam intestinal saja tapi dapat di hati atau sumsum tulang atau mungkin juga dalam jaringan-jaringan yang lain.3

Bagaimana Produksi Hepcidin Diatur oleh Besi. Kita belum sepenuhnya mengerti mekanisme dimana iron overload pada tikus dapat menginduksi peningkatan mRNA hepcidin dalam hati, dan iron overload pada manusia. Pada bentuk paling sederhana untuk regulasi yang dimediasi oleh besi dari produksi hepcidin, hepatosit akan bekerja sebagai sel

sensor besi, begitu pula sebagai penghasil hepcidin. Tetapi, paparan langsung dari hepatosit murine atau manusia terhadap ion ferri, dengan atau tanpa serum atau hepatosit manusia untuk iron-saturated transferring tidak menginduksi mRNA hepcidin, dan pada kadar besi yang lebih tinggi akan mensupresinya. Hal ini member dugaan bahwa sel sensor besi mungkin mengambil tempat dalam tipetipe sel lain. Berdasarkan keterlibatan dari IL-6 yang berasal dari makrofag dalam induksi hepcidin selama infeksi, sel-sel Kupfer atau mungkin sel-sel sinusoid dapat mengindera besi dan berkomunikasi dengan hepatosit untuk mengatur produksi hepcidin. Mekanisme signal ini masih menyisakan hal untuk diteliti. Kadar ferritin seluler, transferrin receptor-1, dan mungkin protein-protein yang meregulasi besi lain secara post-transkripsi dikontrol oleh iron-regulatory proteins yang mengikat iron regulatory element dalam mRNA. Courselaud dkk membuktikan bahwa kadar mRNA hepcidin diatur sebagian oleh faktor

transkripsi C/EBP dan iron loading menginduksi protein C/EBP pada hati tikus sekitar 2,1 kali lipat. Lagipula, defisiensi C/EBP pada tikus menunjukkan penurunan mRNA hepcidin dan periportal hepatic iron overload. Meskipun C/EBP jelas mempengaruhi ekspresi hepcidin dan diatur oleh simpanan besi, belum jelas apakah faktor transkripsi ini merupakan bagian dari jalur utama yang mengatur secara fisiologis produksi hepcidin.3 Penelitian oleh Elmar Aigner dkk pada tahun 2008 yang meneliti jalur yang mendasari pada akumulasi besi pada NAFLD. Regulasi mRNA FP-1 (ironexport protein ferroportin-1) dalam enterosit dan hepatosit berkorelasi dengan IMT dan kadar TNF- , member dugaan bahwa hal ini terjadi melalui mekanisme yang sama dalam hati dan duodenum yang terkait dengan jaringan lemak dan dihubungkan dengan inflamasi. Penurunan ekspresi mRNA FP-1 hepatik pada NAFLD didukung dengan penurunan pembentukan FP-1 dalam sel HepG2 terhadap stimulasi dengan TN FPeningkatan kadar secara in vitro.3 pada penderita NAFLD tampaknya

hepcidin

menggambarkan respon fisiologis terhadap akumulasi besi hati yang kemudian meregulasi FP-1 membatasi absorpsi besi. Iron-sensing molecule hemojuvelin (HJV) telah diidentifikasi sebagai regulator penting dari hepcidin dalam respon

terhadap akumulasi besi, terlepas dari inflamasi. Tetapi pada studi ini didapatkan penurunan HJV dan peningkatan pembentukan hepcidin. Pada tikus, TNFmenurunkan HJV dan ekpresi FP-1. Demikian halnya juga didadapatkan pada penelitian ini. Peningkatan fungsi hati setelah flebotomi memberi dugaan adanya hubungan antara deplesi besi dengan penurunan pembentukan TNFreaksi Fenton.7 Akumulasi dari besi pada NAFLD mungkin disebabkan oleh penurunan ekspresi oleh FP-1 dan HJV yang kemudian menginduksi pembentukan hepcidin. Sitokin-sitokin inflamasi misalnya TNFdari jaringan lemak yang berlebihan disebabkan

dan steatotic liver tampaknya menjadi mediator penting pada gangguan besi pada penyakit kronis termasuk NAFLD. Flebotomi merupakan pilihan terapi yang aman dan efektif untuk gangguan yang disebabkan akumulasi besi.7 Sebagai kesimpulan bahwa akumulasi besi pada pasien-pasien NAFLD dihasilkan dari kerusakan pengeluaran besi yang disebabkan regulasi dari FP-1 dan hepatic iron sensing yang tidak efektif, yang diindikasikan oleh ekspresi HJV yang rendah. TNFtampaknya memainkan peran dalam mempengaruhi

perubahan-perubahan regulasi ini. Peningkatan pembetukan hepcidin pada pasienpasien NAFLD dengan akumulasi besi yang berlebihan, disebabkan penurunan ekspresi FP-1 duodenal, sedangkan penurunan FP-1 hepatik dapat menyebabkan perlangsungan retensi besi.7

Peran Iron Chelation dalam Terapi Penyakit-Penyakit dengan Akumulasi Besi. Peningkatan ketahanan sel-sel tumor akibat besi yang berlebihan memberi dugaan bahwa deplesi besi dapat mewakili strategi untuk mengurangi atau membatasi pertumbuhan tumor. Chelator saat ini yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit dengan akumulasi besi telah menunjukkan antiaktivitas proliferatif melawan leukemia dan neuroblastoma secara in vitro dan in vivo. Begitu juga antisense CDNA untuk transferrin receptor menunjukkan penurunan ekspresi mRNA TFR, yang menyebabkan inhibisi dari pertumbuhan sel-sel karsinoma. Monoclonal antibody melawan TFR yang berat juga mengurangi pertumbuhan tumor limfoma pada tikus. Sehingga hasil-hasil ini member dugaan bahwa pengurangan besi mungkin berguna sebagai strategi anti kanker.2

BAB IV HUBUNGAN KADAR FERITIN DENGAN BERBAGAI JENIS KEGANASAN

III.1. Kanker Kolorektal Sebuah studi oleh Stevens dkk dan studi follow up oleh Wurzelman dkk pada National Health and Nutrition Examination Survey I menunjukkan hubungan positif antara diet dan simpanan besi tubuh dengan risiko kanker kolorektal. Neison dkk dan Bired dkk menunjukkan bahwa simpanan besi tubuh berhubungan positif dengan perkembangan lesi prakanker pada kolon, adenoma kolon atau polip.2 Peningkatan konsentrasi besi pada sel-sel intestinal pada manusia menyebabkan peningkatan kerusakan protein dan oksidasi DNA.2 III.2. Kanker Hati Banyak data penelitian mendukung hipotesis bahwa kelebihan besi merupakan faktor risiko untuk kanker hati. Akumulasi yang berlebihan dari besi dalam hepatosit lah yang menyebabkan cedera hepatoseluler, yang mencetuskan perkembangan fibrosis, sirosis dan hepatoma.2 Besi juga menunjukkan sensitivitas yang besar pada tikus untuk menginduksi porfiria hepatic dengan pemberian hexachlorbenzene. Kadar dari lipid peroksidase, 8-hydrox-2 deoxyguanosine dan kerusakan oksidasi DNA secara signifikan meningkat2

pada

tikus

yang

diberi

kombinasi

besi/hexachlorobenzene.

Pada studi yang menilai efek inisiasi, promosi, dan progresifitas kanker dari besi hepar yang berlebihan, diet berlebihan yang mengandung besi dalam kombinasinya dengan fusonisin B1 atau polychlorinated biphenyl atau diethylnitrosamine diujikan pada hewan coba. Secara umum, besi dapat

mendeplesi antioksidan intraseluler misalnya ubiquinone dan bekerja setidaknya sebagai promoter dari hepatosit pada perkembangan hepatocelullar carsinoma (HCC).2 Penelitian oleh Kew MC dkk tahun 1978 juga menemukan kadar feritin serum meningkat pada pasien-pasien kulit hitam dengan kanker hati primer.

Alasan untuk ini tidak diketahui tapi ada 4 mekanisme yang mungkin untuk dipertimbangkan. Pertama, nekrosis dari sel-sel hati yang disebabkan oleh pertumbuhan tumor dapat menyebabkan kebocoran gudang feritin ke dalam serum. Kedua, kadar feritin serum diketahui meningkat oleh sirosis kriptogenik yang sering ditemukan dalam hubungannya dengan kanker hati primer. Peningkatan kadar feritin serum pada kanker hati primer oleh karena itu lebih dianggap sebagai akibat sirosis daripada tumor itu sendiri. Alasan kemungkinan ketiga mungkin kerusakan uptake hepar dari feritin serum oleh hati yang terserang penyakit, karena ada bukti eksperimental bahwa sesungguhnya semua feritin dalam sirkulasi dibersihkan oleh hati (Lipschitz dkk, 1971). Keempat, bahwa tumor mensekresi feritin atau varian dari feritin yaitu isoferitin ke dalam sirkulasi.8 III.3. Kanker Ginjal Ferric nitrilotriacetate (Fe-NTA) merupakan suatu karsoinogen pada ginjal di tikus. Baik H,K,N-Rasencogenes maupun p53 tumour suppressor genes ditemukan bermutasi pada jaringan renal cell carcinoma (RCC) yang diinduksi oleh NTA yang mengindikasikan bahwa besi bertanggung jawab terhadap perkembangan RCC. Ion ferum kompleks dengan NTA diperkirakan menjadi inisiator tumor begitu pula promoter tumor melalui produksi ROS dan radikal bebas.2 Peranan besi dalam estrogen yang menginduksi karsinogenesis ginjal telah diteliti dengan menilai efek kandungan besi dari diet hamster terhadap induksi tumor oleh estradiol. Insiden tumor ginjal meningkat secara signifikan pada hamster yang diberikan estradiol plus diet kaya besi.2

III.3. Kanker payudara Peningkatan feritin serum pada karsinoma mamma telah lama diketahui, dan kadarnya dapat memprediksi beratnya penyakit. Weinstein dkk menemukan bahwa jaringan maligna mempunyai 6 kali kadar feritin dibandingkan jaringan mamma yang jinak. Malignansi dengan kadar feritin tertinggi lebih anaplastik sehingga diduga daerah utama dari peningkatan ferritin adalah epitel ganas. Sehingga dipostulatkan bahwa feritin mungkin merupakan marker neoplasia.

Penelitian kadar ferritin pada karsinoma mamma dapat memberikan informasi tentang anaplasia dan indeks proliferasi.2 Besi yang berlebihan telah diketahui berbahaya karena dapat menyebabkan pertumbuhan sel. Metal ini bersifat karsinogenik karena: 1. Besi merupakan oksidan dan mutagen yang kuat. 2. Inhibitor dari pertahanan sel darah putih. 3. Nutrien untuk pertumbuhan sel-sel kanker yang cepat.9 Studi pada binatang percobaan, tikus yang diberi diet besi yang berlebihan secara signifikan meningkatkan jumlah karsinoma mamma dibandingkan yang diberi diet yang sekedar adekuat untuk pertumbuhan. Sebagai tambahan juga, paparan sel-sel karsinoma mamma terhadap besi yang berlebihan pada tikus juga menunjukkan peningkatan secara invasif dan metastasis.9 Pada studi dari 229 wanita dengan karsinoma mamma dini dibandingkan dengan 250 wanita sehat dari umur yang sama, feritin serum rata-rata dari pasien tersebut adalah 97 ng/mL berbanding 57 ng/mL pada kelompok yang sehat. Terlebih lagi, pasien-pasien dengan kadar feritin serum lebih besar dari 200 ng/mL memiliki angka rekurensi yang lebih besar secara signifikan dibandingkan yang mempunyai kadar feritin serum yang rendah9 Ada banyak kemungkinan dari peningkatan kadar feritin serum pada keganasan, termasuk peningkatan penyimpanan besi, pelepasan feritin dari jaringan yang terinflamasi dan produksi feritin oleh sel-sel tumor yang

berproliferasi. Abnormalitas yang terjadi diperkirakan merefleksikan gangguan metabolik sekunder pada sel-sel yang terakumulasi feritin dan melepaskan besi tidak efektif ke plasma transferin pool. Asal feritin dalam serum pada pasienpasien kanker belum jelas. Bukti langsung dari peningkatan sintesis ferrtin oleh sel-sel ganas hanya dapat diberikan oleh White.10,11,12 Drysdale dan Singer serta Marcus dan Zinberg pernah mengemukakan lewat penelitiannya bahwa sel-sel tumor mungkin memproduksi acidic carcinofoetal isoferritin yang karakteristik pada keadaan keganasan, tapi konsep ini tampaknya terlalu sederhana. Ada heterogenitas dari pola isoferitin yang ditemukan pada tumor. Ini telah ditunjukkan baik pada hepatoma pada tikus dan leukemia myeloblastik pada manusia. Marcus dan Zinberg sendiri melaporkan pada karsinoma mamma dan pankreas bahwa proporsi relatif dari feritin normal/ acidic ferritin bervariasi. Juga sangat jelas bahwa acidic isoferritin tidak terbatas pada jaringan maligna saja, ada terdapat juga pada myocardium dan eritrosit manusia.11 Penelitian oleh Ulbrich dkk tahun 2003 juga mendapatkan kesimpulan bahwa peningkatan feritin serum dapat mengindikasikan adanya keganasan dan dapat digunakan sebagai prediktor dari keterlibatan nodus limfe pada pasien-pasien dengan karsinoma mamma.13 Dugaan bahwa asupan besi khususnya heme dapat meningkatkan resiko kanker payudara karena sifat pro oksidan dari besi. Tetapi hanya sedikit penelitian yang menilai hubungan antara asupan besi dengan risiko kanker payudara. Penelitian terakhir oleh Geoffrey C Kabat dkk tahun 2010 terhadap 116.674 wanita menopause yang melakukan studi kohort tidak mendukung adanya hubungan ini.14 III.4. Kanker Paru Kadar feritin yang tinggi pertama kali dideteksi oleh Claus Gropp dkk, yang menemukan 58 dari 81 pasien (72%) dikonfirmasi menderita kanker paru. Kadar ferritin juga signifikan lebih tinggi pada pasien-pasien dengan metastasis.

Bila feritin dan CEA dibandingkan pada pasien dengan dan tanpa metastasis, negatif palsu terjadi atau kadar yang sangat rendah didapatkan pada kedua pemeriksaan tersebut pada pasien tanpa metastasis. Dari 4 pasien tanpa metastasis yang mempunyai kadar > 10 ng/ml, tiga pasien mempunyai kadar ferritin < 5 ng/ml dan 1 pasien tidak terdeteksi kadar feritin. Pasien-pasien dengan metastasis seluruhnya terdeteksi kadar feritinnya sedangkan kadar CEA normal pada 15% pasien dengan metastasis. Dari data-data ini disimpulkan bahwa kedua pemeriksaan ini dapat digunakan secara bersama-sama untuk memverifikasi adanya metastasis.12 Stevens dkk melaporkan dalam sebuah studi prospektif dari lebih 8000 subyek yang memiliki kadar feritin yang tinggi, terjadi peningkatan resiko kanker pada laki-laki khususnya kanker paru. Selby dan Friedman juga menemukan hubungan positif dengan kanker paru, tapi lebih banyak pada wanita daripada pria.15 Tetapi beberapa penelitian, misalnya oleh Akiba dkk, tidak ada hubungan positif antara feritin dan resiko kanker paru. Kadar ferritin diketahui meningkat pada beberapa pasien kanker paru, tapi penelitian ini gagal untuk untuk menemukan kadar feritin serum yang tinggi pada pasien-pasien kanker paru secara bermakna.16 III.5. Kanker Lambung Berbeda dari keganasan lainnya, Akiba dkk dan Abraham Nomura dkk melaporkan bahwa kadar feritin rendah pada pasien-pasien dengan kanker lambung. Penemuan ini konsisten dengan observasi pada pasien-pasien dengan Plummer-Vinson syndrome yang memiliki defisiensi besi, mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk kanker saluran cerna bagian atas, khususnya esophagus dan lambung.15 Adanya hubungan terbalik antara kadar feritin serum dan kanker lambung dihubungkan dengan hasil observasi bahwa hypochlorhydria atau achlorhydria yang sering terdapat bersama-sama dengan gastritis kronik menurunkan absorpsi

diet besi non-heme yang merupakan bentuk utama dari diet besi pada mukosa lambung, dan keadaan achlorhydria ini meningkatkan resiko kanker lambung. Mekanisme ini dapat diperhitungkan untuk terjadinya penurunan kadar feritin serum sebelum diagnosis kanker lambung ditegakkan. Proses achlorhydria ini ditandai dengan metaplasia intestinal dan penurunan pepsinogen. Dan jika terdapat kehilangan darah kronik dari lesi kanker lambung yang belum terdeteksi disertai telah adanya perburukan absorpsi besi akan lebih jauh menurunkan kadar feritin serum. Jadi pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa penurunan kadar feritin serum mendahului diagnosis kanker lambung. Jadi mungkin hubungan terbalik antara kadar feritin serum dan kanker lambung mungkin tidak langsung, dengan achlorhydria menjadi faktor yang penting yang mendahului baik penurunan kadar feritin serum maupun diagnosis kanker lambung.15,16 III.6. Kanker Prostat Penelitian oleh Solo RK dkk menilai hubungan antara kanker prostat dengan ferritin serum, besi serum, TIBC dan saturasi transferin pada 34 laki-laki yang terdiagnosis kanker postat yang belum diterapi dengan 84 laki-laki sehat yang berusia 49-78 tahun. Kebalikan dengan jenis keganasan lainnya, laki-laki dengan kanker prostat mempunyai kadar ferritin serum dan saturasi transferrin secara signifikan lebih rendah dibandingkan yang tanpa kanker prostat.17 III.7. Karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher Peter E dkk (1986) melakukan penelitian tentang hubungan feritin serum sebagai penanda tumor pada pasien-pasien dengan karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kadar ferrtin menunjukkan tendensi penurunan prognosis, sehingga memberikan dukungan bahwa feritin dapat terbukti sebagai marker tumor yang andal untuk kanker kepala dan leher.18

III.8. Limfoma maligna Penelitian yang dilakukan oleh A. Khalafallah (2011) meneliti tentang kadar feritin dengan respon anemia pada penderita limfoma maligna. Penelitian

ini dilakukan secara prospektif terhadap 55 pasien yang terdiagnosis limfoma maligna. Hasilnya didapatkan kadar feritin yang lebih tinggi dapat memprediksi level eritropoeisis dan derajat anemia yang terjadi pada pasien-pasien dengan limfoma maligna.19

III.9. Penelitian-penelitian pada penyakit lain Feritin pada penyakit bawaan Mutasi genetik dari region IRE feritin menyebabkan penyakit bawaan. Mutasi IRE L feritin menyebabkan sindrom katarak hiperferitinemia, suatu sindrom katarak, autosomal dominan yang ditandai peningkatan kadar feritin serum dan onset awal katarak bilateral.2 Neuroferritinpathy, suatu gangguan pergerakan yang diturunkan secara dominan yang ditandai dengan penurunan feritin serum dan deposit abnormal dari feritin dan besi dalam otak yang disebabkan mutasi pada terminal C dari gen feritin.2 Ferritin pada Atherosklerosis Hasil dari penelitian hewan percobaan mendukung pendapat bahwa besi memainkan peranan yang signifikan dalam progresifitas atherosklerosis. Beberapa studi mendukung hubungan besi bebas dengan lipid yang menginduksi pembentukan lesi atherosklerosis. Fatty streak resistant mice berbanding terbalik dengan fatty streak-susceptide menunjukkan besi bebas intraseluler yang lebih rendah secara signifikan dan kadar yang tinggi dari apoferitin hati sebagai respon terhadap diet atherogenik. Sejumlah studi telah dilakukan untuk menilai peranan feritin dalam patogenesis CAD pada manusia.2 Solonen dkk pertama kali melaporkan hubungan signifikan antara kadar feritin serum dan resiko infark myokard (IM) dalam Finnish Kuopio Ischaemic Heart Disease Risk factor study (KIHD) tahun 1931 pada kelompok laki-laki usia pertengahan selama follow up 3 tahun. Mereka menemukan bahwa laki-laki

Findlandia dengan feritin serum > 200 g/L mempunyai resiko 2,2 kali lebih tinggi terkena IM. Pada suatu studi yang menganalisis hubungan antara atherosklerosis karotis dengan pemyimpanan besi tubuh, Klechl dkk melaporkan peningkatan odds ratio 1.54 per 100g/L dari kadar feritin (p