induksi kalus haploid melalui kultur antera pada beberapa ... · kultur antera merupakan salah satu...
TRANSCRIPT
INDUKSI KALUS HAPLOID MELALUI KULTUR ANTERA
PADA BEBERAPA SPESIES JERUK (Citrus sp)
KAMSIA DORLIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Kalus
Haploid Melalui Kultur Antera pada Beberapa Spesies Jeruk (Citrus sp) adalah
karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Kamsia Dorliana
NRP A253080141
ABSTRACT
KAMSIA DORLIANA. Induction of Haploid Callus through Anther Cultured on
Citrus sp. Supervised by AGUS PURWITO & ALI HUSNI.
Anther culture is one method to produce haploid callus and plants. By the
doubling of their chromosome, double haploid plants can be generated and used to
produce F1 hybrids. Haploid callus can also be used as tissues for somatic
hybriditation to produce triploid Citrus and other non-conventional breeding
program. The objective of this research were to study microspore development of
four Citrus spesies (Tangerine Garut, Tangerine Batu 55, Siam and Pamelo),
effect of cold pretreatment, media type, and plant growth regulator on of callus
induction from citrus anther.
The development of microspores can be seen by measuring the ratio of the
size of the sepals and petals flower. Microspores that have high percentage of
uninukleat given different levels cold pretreatment to improve the ability to form
callus. After treated with cold pretreatment, callus was induced with various
formulations of media, resulting haploid callus then carried out chromosome
counting.
The results shown that the microspore uninucleat was highest (78,2% to
91,4%) in medium-size flowers with a ratio of the sepal: petal (1:4 - 2:6) mm in
flower Tangerine Garut, Tangerine Batu 55, Siam Citrus, and (6:14 - 6:17) mm in
flower Pamelo. Microspores uninucleat in Garut citrus flowers ranged from 78.2
to 91.4%, at tangerine Batu 55 flowers ranged from 78.2 to 85.6%, the citrus
flower Siam from 79.4 to 90.5%, and citrus flower Pamelo ranged from 78.2 to
85.4% of the take total microspores. Cold pretreatment of anther for 5 days was
able to inducted callus citrus keprok Garut up to 2%.
MT medium + 3 mg / l BAP + 500 mg / l extract malt on solid media were
able to induce callus 14.5% in tangerine Batu 55, while the treatment of liquid
media is only able to induce callus up to 4.5%, and solid + liquid media
treatments able to induce callus 3.6%. The data is observed when the culture aged
6 weeks after planting. The best medium to induce callus Siam Citrus are MT
medium + 3 mg / l 2,4-D + 500 mg / l extract malt, is able to induce callus up to
1,6%. MT medium with 3 mg/l BAP and with 1 mg/l NAA was able to induce
callus Pamelo up to 2,6%. Chromosome counting is performed to determine
ploidy level of callus produced. The result showed that all chromosome of the
anther derived callus was 9 as half of diploid chromosome.
Keywords: microspore development, cold pretreatment,chromosome
RINGKASAN
KAMSIA DORLIANA, Induksi Kalus Haploid Melalui Kultur Antera pada
Beberapa Spesies Jeruk (Citrus sp). Dibawah bimbingan Dr. Ir. AGUS
PURWITO sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. ALI HUSNI sebagai
anggota Komisi Pembimbing.
Kultur antera merupakan salah satu metode kultur jaringan untuk
menghasilkan kalus atau tanaman haploid. Penggandaan kromosom akan
menghasilkan tanaman double haploid yang dapat digunakan sebagai tetua dalam
pemuliaan konvensional untuk menghasilkan hibrida F1 atau untuk bahan dalam
program pemuliaan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kalus
haploid pada beberapa spesies jeruk. Penelitian ini diawali dengan studi
perkembangan inti mikrospora pada keempat spesies jeruk (Keprok Garut, Keprok
Batu 55, Siam, dan Pamelo). Perkembangan mikrospora dapat dilihat dengan
mengukur perbandingan ukuran sepal dan petal masing - masing bunga untuk
mendapatkan ukuran bunga yang mempunyai mikrospora inti tunggal yang
banyak. Mikrospora yang mempunyai banyak inti tunggal diberi berbagai tingkat
praperlakuan suhu dingin untuk meningkatkan kemampuan antera jeruk
membentuk kalus. Setelah mendapatkan praperlakuan dingin terbaik kemudian
dilakukan induksi kalus pada antera dengan berbagai formulasi media, dan untuk
mengetahui kalus yang dihasilkan antera merupakan kalus haploid maka
dilakukan analisis kromosom.
Perkembangan inti mikrospora ditandai dengan perubahan morfologi
bunga melalui bertambah panjangnya ukuran sepal dan petal bunga. Hasil
penelitian pada percobaan pengamatan inti mikrospora menunjukkan bahwa
mikrospora yang mempunyai inti tunggal (uninukleat) tertinggi berada pada
bunga ukuran sedang dengan perbandingan ukuran sepal : petal (1:4 – 2:6) mm
pada bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam, (6:14 - 6:17) mm
pada bunga jeruk Pamelo. Mikrospora inti tunggal yang terdapat pada bunga jeruk
keprok Garut berkisar 78,2 - 91,4%, pada bunga jeruk keprok Batu 55 berkisar
78,2 - 85,6%, pada bunga jeruk Siam 79,4 – 90,5%, dan pada bunga jeruk Pamelo
78,2 – 85,4% dari total mikrospora yang diamati. Pada percobaan pemberian
praperlakuan suhu dingin pada antera selama selang waktu tertentu menunjukkan
bahwa praperlakuan dingin selama 5 hari merupakan praperlakuan terbaik agar
antera jeruk keprok Garut dapat diinduksi menjadi kalus sebanyak 2% pada
pengamatan 6 minggu setelah tanam.
Kuncup bunga jeruk keprok Batu 55, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo diberi
praperlakuan dingin (10oC) selama 5 hari, kemudian antera dikulturkan dalam
berbagai formulasi media dengan tujuan untuk mendapatkan kalus yang berasal
dari mikrospora. Data yang didapat menunjukkan media MT + 3 mg/l BAP + 500
mg/l ekstrak malt dengan perlakuan media padat mampu menginduksi kalus
14,5% pada antera jeruk keprok Batu 55, sedangkan perlakuan media cair hanya
mampu menginduksi kalus 4,5 %, dan perlakuan media padat + cair hanya mampu
menginduksi kalus 3,6%. Data tersebut diamati pada saat kultur berumur 6
minggu setelah tanam.
Data yang didapat pada percobaan induksi kalus terhadap antera jeruk
Siam menunjukkan media terbaik untuk menginduksi kalus pada antera jeruk
Siam berada pada media MT + 3 mg/l 2,4-D + 500 mg/l ekstrak malt, karena
mampu menginduksi kalus sebanyak 1,6% sedangkan perlakuan media MT + 5
mg/l 2,4-D + 500 mg/l ekstrak malt hanya mampu menginduksi kalus 0,8%, dan
MT + 7 mg/l 2,4-D + 500 mg/l ekstrak malt hanya mampu menginduksi kalus
0,8%. Data tersebut diamati pada saat kultur berumur 4 minggu setelah tanam.
Berdasarkan percobaan induksi kalus pada antera jeruk Pamelo diperoleh
data yang menunjukkan persentase kalus tertinggi berada pada media MT + 3
mg/l BAP + 1 mg/l NAA + 500 mg/l ekstrak malt sebanyak 2,6%, sedangkan
perlakuan media lain tidak mampu menghasilkan terbentuknya kalus, hanya
memberikan respon membengkak. Analisis kromosom dilakukan untuk
mengetahui tingkat ploidi kalus yang dihasilkan. Kalus yang dihasilkan
merupakan kalus haploid yang berasal dari mikrospora karena mempunyai jumlah
kromosom berkisar 9.
Kata kunci: Kromosom, perkembangan mikrospora, praperlakuan dingin
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan.yang.wajar.IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
INDUKSI KALUS HAPLOID MELALUI KULTUR ANTERA
PADA BEBERAPA SPESIES JERUK (Citrus sp)
KAMSIA DORLIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan
dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis: Induksi Kalus Haploid Melalui Kultur Antera Pada Beberapa Spesies
Jeruk (Citrus sp)
Nama : Kamsia Dorliana
NRP : A253080141
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc, Agr Dr. Ir. Ali Husni, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 8 September 2011 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya dalam penyelesaian tesis ini yang merupakan syarat untuk mendapat
gelar Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan judul “Induksi Kalus
Haploid Melalui Kultur Antera pada Beberapa Spesies Jeruk (Citrus sp)”.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Purwito,
Msc. Agr dan Dr. Ali Husni, Msi atas bimbingan, saran, ilmu, waktu serta
perhatiannya dalam pelaksanaan penelitian sampai penulisan tesis ini dapat selesai
dengan baik. Terima kasih juga disampaikan kepada dekan sekolah Pascasarjana
IPB, Dr. Ir. Trikoesomaningtyas selaku ketua Program studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman IPB, seluruh staf pengajar, dan semua teknisi yang telah
memberikan bantuan selama penulis belajar di IPB.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang mendalam penulis sampaikan
kepada ayah Domu Sitanggang dan ibu Hotnauli Siagian yang setia mendoakan,
membimbing, dan mengarahkan saya menjadi anak lebih baik.
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Bogor. Untuk itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian atas izin yang
diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di BB-Biogen.
Terimakasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Ika Mariska, APU sebagai ketua
Kelompok Peneliti dan kepada semua peneliti serta teknisi BB-BIOGEN Bogor.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Ujang Hapid dan bapak
Joko yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan preparat dalam
analisis jumlah kromosom.
Bogor, September 2011
Kamsia Dorliana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aek Nabara, Sumatera Utara pada tanggal 8 Agustus
1985 dari pasangan Ayah Domu Sitanggang dan ibu Hotnauli Siagian. Pendidikan
sekolah dasar diselesaikan di SD Negeri 1 Aek Nabara pada tahun 1996, Sekolah
lanjutan tingkat pertama lulus di SMP Katolik Santo Yosep Aek Kanopan pada
tahun 1999, dan sekolah menengah atas lulus dari SMA Katolik Bintang Timur
Pematang Siantar tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi jurusan
Biologi di Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan mendapat gelar sarjana pada
tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S-2)
di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Institut Pertanian Bogor
(IPB).
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULAN
Latar Belakang..........................................................................
Tujuan Penelitian......................................................................
Hipotesis...................................................................................
Kerangka Pemikiran.................................................................
1
1
3
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Jeruk........................................................................
Morfologi Bunga jeruk………………………………………..
Kultur Antera.............................................................................
Faktor yang Mempengaruhi Kultur Antera...............................
Perkembangan Mikrospora........................................................
Media yang digunakan pada Kultur Antera...............................
Kultur Antera pada Tanaman Jeruk...........................................
6
6
10
10
13
16
18
19
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian....................................................
Bahan dan Alat..........................................................................
Metode Penelitian……………………………………………..
1. Studi Tahapan Perkembangan Inti Mikrospora
Antera Jeruk...........................................................
2. Studi Praperlakuan Lama Penyimpanan
Antera Terhadap Kemampuan Induksi Kalus.......
21
21
21
21
21
22
ii
3. Induksi Kalus Antera Jeruk Keprok Batu 55,
Jeruk Siam dan Jeruk Pamelo..............................
4. Analisis Kromosom.............................................
22
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Percobaan...................................................................
Studi Tahapan Perkembangan Inti Mikrospora Antera Jeruk Keprok
Garut, Keprok Batu 55, Jeruk Siam, dan Pamelo................................
Studi Lama Praperlakuan Penyimpanan Antera Terhadap
Kemampuan Induksi Kalus Keprok Garut…………………………..
Induksi Kalus pada Antera Keprok Batu 55, jeruk Siam dan jeruk
Pamelo...................................................................................................
Analisis Kromosom...............................................................................
PEMBAHASAN UMUM
25
25
26
31
33
40
41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan..............................................................................................
Saran....................................................................................................
44
44
44
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 45
LAMPIRAN...................................................................................... ..
51
iii
DAFTAR TABEL Halaman
1. Perkembangan Inti mikrospora jeruk keprok Garut, keprok Batu
55, jeruk Siam................................................................................
2. Perkembangan Inti Mikrospora Jeruk Pomelo ............................
27
30
3. Pengaruh Praperlakuan dingin terhadap kemampuan induksi
kalus jeruk keprok Garut...............................................................
31
4. Pengaruh Jenis Media Terhadap Respon Antera Jeruk keprok
Batu 55…………………………………………………………..
5. Pengaruh 2.4-D Terhdap Respon Antera Jeruk Siam…………...
34
36
6. Induksi Kalus Pada Antera Jeruk Pamelo....................................
38
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan alir untuk mendapatkan galur murni melalui kultur
antera.........................................................................................
5
2. Perbandingan morfologi daun jeruk keprok Garut,
keprok Batu 55, jeruk Siam dan jeruk Pamelo.........................
7
3. Morfologi bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo........................
8
4. Morfologi buah jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo........................
9
5. Morfologi umum Bunga Jeruk……………………………….
6. Tahapan perkembangan mikrospora........................................
10
17
7. Kondisi umum di laboratorium Biologi Sel dan Jaringan BB-Biogen.................................................................
26
8. Perkembangan inti mikrospora jeruk........................................ 28
9. Perbandingan ukuran sepal dan petal bunga jeruk Pamelo dan bunga Jeruk siam.........................................
29
10. Respon antera jeruk keprok Garut............................................. 32
11. Respon antera jeruk keprok Batu 55..........................................
12. Respon antera jeruk Siam..........................................................
35
37
13. Respon antera jerukPomelo....................................................... 39
14. Perbandingan kromosom jeruk haploid dan diploid.................. 40
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Komposisi Pembuatan Media MT……………………………….
51
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jeruk (Citrus sp) merupakan salah satu genus dari famili Rutaceae yang
mempunyai nilai ekonomi paling tinggi (Karsinah et al. 2002). Pada umumnya
buah jeruk banyak disukai masyarakat karena rasanya yang manis menyegarkan
dan kulitnya yang mudah dikupas serta mengandung vitamin C yang tinggi
(Helmiyesi 2009). Indonesia merupakan salah satu produsen jeruk yang
mempunyai potensi cukup besar untuk memenuhi kebutuhan konsumen di dalam
dan di luar negeri. Meskipun demikian produksi jeruk nasional belum mencukupi
kebutuhan konsumen karena produksi jeruk mengalami penurunan dari 2. 625.
884 ton pada tahun 2007 menjadi 2.467.632 ton pada tahun 2008 (Badan Pusat
Statistik 2010). Oleh sebab itu Indonesia masih termasuk negara pengimpor jeruk
terbesar kedua di ASEAN setelah Malaysia.
Upaya untuk meningkatkan produksi dan kualitas jeruk selain perluasan
areal pertanaman, juga dapat dilakukan melalui program pemuliaan tanaman
dengan menggunakan benih hibrida yang berdaya hasil tinggi dan berkualitas baik
secara genetik maupun daya tumbuhnya. Benih hibrida dapat diperoleh dari
persilangan galur murni yang digunakan sebagai tetua. Untuk memperoleh galur
murni dapat dilakukan melalui pemuliaan secara konvensional, yaitu dengan cara
selfing yang dilanjutkan dengan proses seleksi. Namun penerapan teknik ini
membutuhkan waktu yang lama (Somantri dan Ambarwati 2001). Oleh sebab itu,
dibutuhkan suatu metode yang dapat mempersingkat waktu untuk memperoleh
galur murni.
Salah satu alternatif untuk dapat memperoleh galur murni dalam waktu
yang relatif singkat adalah melalui kultur antera. Kultur antera merupakan salah
satu teknik kultur jaringan yang mengkulturkan atau menanam antera sehingga
diperoleh tanaman haploid. Kultur antera dapat menghasilkan embrio maupun
menghasilkan kalus yang dapat diregenerasikan menjadi tanaman haploid, dan
jika dilakukan penggandaan kromosom akan dihasilkan tanaman double haploid
yang homozigot. Tanaman double haploid dapat digunakan sebagai tetua dalam
pemuliaan konvensional untuk menghasilkan hibrida F1. Selain untuk
kepentingan pemuliaan konvensional, kalus atau tanaman haploid juga dapat
2
digunakan sebagai sumber jaringan haploid untuk fusi protoplas dan pemuliaan
non konvensional lainnya dalam upaya menghasilkan tanaman unggul.
Kultur antera sudah banyak berhasil diterapkan pada banyak tanaman,
diantaranya pada tanaman padi (Zhang dan Oifeng 1993; Dewi dan Purwoko
2001) dan tomat (Zagorska et al. 1998). Faktor - faktor yang mempengaruhi
keberhasilan induksi kalus dari kultur antera diantaranya: (1) penentuan fase
perkembangan mikrospora yang responsif, (2) perlakuan cekaman suhu atau
sumber karbon, (3) komposisi media yang sesuai, dan (4) kondisi inkubasi kultur
yang mendukung (Thomas dan Davey 1975).
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi produksi tanaman haploid
melalui kultur antera adalah tahap perkembangan mikrospora. Pada sebagian
besar jenis tanaman, antera hanya responsif selama fase uninukleat dari
perkembangan polen. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon optimum
ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis pertama
dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari polen).
Faktor lain yang menentukan keberhasilan kultur antera ialah pra-
perlakuan terhadap antera sebelum kultur antera. Sebelum diintroduksikan pada
lingkungan in vitro, antera dapat diberi praperlakuan cekaman seperti pemberian
manitol, pemberian temperatur (rendah dan tinggi), pemberian osmotik,
pemberian nitrogen dan pemberian karbohidrat (Kyo dan Harada 1986; Immonen
dan Antilla 1999). Dengan praperlakuan cekaman, proses metabolisme pada
jaringan akan terhenti untuk sementara. Setelah periode waktu tertentu jaringan
tersebut mulai berkembang lagi dengan lintasan metabolisme yang baru apabila
berada pada kondisi lingkungan yang mendukung (Immonen dan Antilla 1999).
Praperlakuan cekaman juga berperan dalam pembelokan jalur perkembangan
gametofitik ke arah sporofitik untuk menghasilkan embrio atau tunas. Tanpa
cekaman mikrospora akan berkembang menjadi polen masak yang normal.
Cekaman dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh, kuncup bunga, antera atau
langsung pada mikrospora (Touraev et al. 1997).
Komposisi media dasar, dan teknik isolasi merupakan faktor penting lain
yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Optimasi media terseleksi
umumnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan medium dalam
3
menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang
dikulturkan. Media dalam kultur jaringan tanaman umumnya terdiri dari
komponen hara makro, mikro, vitamin, asam amino, gula, bahan organik, bahan
pemadat (agar), dan zat pengatur tumbuh.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mempelajari perkembangan inti
mikrospora pada beberapa spesies jeruk, (2) mempelajari pengaruh lama
praperlakuan dingin (10oC) terhadap kemampuan induksi kalus jeruk, (3) untuk
mempelajari respon berbagai spesies jeruk terhadap formulasi media induksi
kalus.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah: (1) terdapat perkembangan inti mikrospora
yang berbeda pada berbagai ukuran bunga tanaman jeruk, (2) terdapat lama
praperlakuan dingin yang dapat menginduksi kalus antera jeruk dalam jumlah
terbanyak, (3) terdapat respon antera jeruk yang mengkalus terhadap formulasi
media kultur yang digunakan.
Kerangka Pemikiran
Salah satu upaya untuk mendapatkan galur murni yaitu melalui kultur
antera. Melalui kultur antera akan dihasilkan kalus yang dapat diregenerasikan
menjadi tanaman haploid. Kalus haploid dapat digunakan sebagai bahan dalam
pemuliaan non konvensional. Penggandaan kromosom pada tanaman haploid akan
menghasilkan tanaman double haploid. Kultur antera dapat dilakukan secara
langsung dimana mikrospora yang terdapat pada antera langsung beregenerasi
menjadi embrio, dan secara tidak langsung dimana antera terlebih dahulu dinduksi
untuk menghasilkan kalus, kemudian kalus diregenerasikan menjadi planlet. Pada
penelitian ini antera di arahkan untuk menghasilkan kalus sebagai sumber jaringan
haploid untuk program pemuliaan tanaman.
Antera yang responsif untuk membentuk kalus atau embrio adalah antera
yang mengandung mikrospora dengan inti tunggal (uninukleat) yang tinggi.
4
Mikrospora yang berada pada fase uninukleat ditandai dengan keberadaan inti
yang berada di tengah. Oleh sebab itu, sebelum antera diinduksi pada lingkungan
in vitro, terlebih dahulu dilakukan pengamatan perkembangan inti mikrospora
berdasarkan ukuran sepal dan petal bunga dengan tujuan untuk mendapatkan
mikrospora dengan persentase inti tunggal yang banyak.
Bunga yang mengandung mikrospora dengan inti tunggal yang banyak
diberi praperlakuan dingin (10oC) untuk membelokkan jalur perkembangan
gametofitik ke arah sporofitik. Induksi kalus dapat ditingkatkan melalui perlakuan
optimasi media, kemudian kalus yang diperoleh dianalisis berdasarkan metode
praperlakuan lengkap untuk mengetahui jumlah kromosom. Bagan alir penelitian
untuk mendapatkan kalus haploid dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Bagan alir penelitian yang dilakukan
Kultur Antera
Studi perkembangan inti mikrospora
jeruk keprok Garut, keprok Batu 55,
Siam, dan Pamelo
Mikrospora dengan
inti satu
(uninukleat) >70%
Praperlakuan dingin (10oC) selama 1,
3,5 dan 7 hari pada bunga jeruk
keprok Garut
Lama praperlakuan
terbaik untuk
menginduksi kalus
Kalus Optimasi media untuk mendapatkan
kalus jeruk keprok Batu 55, Siam dan
Pamelo.
uji
Analisis kromosom
6
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Jeruk
Jeruk merupakan tanaman asli buah tropika yang berasal dari Asia
terutama India dan Indo-Cina (Webber 1967; Chapot 1975). Sejak ratusan tahun
yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami maupun yang
dibudidayakan. Jeruk yang ada di Indonesia didatangkan dari Amerika dan Italia
oleh orang Belanda (Khan 2007). Daerah - daerah yang terkenal sebagai daerah
pusat jeruk di Indonesia diantaranya Garut (Jawa Barat), Tawamangu (Jawa
Tengah), Batu (Jawa Timur), Tejakula (Bali), Selayar (Sulawesi Selatan),
Pontianak (Kalimantan Barat), Brastagi (Sumatera Utara) dan Soe (Nusa
Tenggara Timur) (Martosupono et al. 2007).
Jeruk keprok merupakan salah satu jenis jeruk yang sudah lama dikenal
dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia serta diperdagangkan di pasar
internasional. Jenis jeruk lain yang banyak dibudidayakan di Indonesia antara lain
jeruk Siam, dan jeruk Pamelo. Van Steenis (1975) mengklasifikasikan jeruk
sebagai berikut: (1) Divisi: Spermatophyta, (2) Sub divisi: Angiospermae, (3)
Kelas: Dicotyledonae, (4) Ordo: Rutales, (6) Keluarga: Rutaceae, (7) Genus:
Citrus, (8) Spesies: Citrus sp. Aspek - aspek penting yang membedakan antara
spesies jeruk keprok, jeruk Siam, dan jeruk Pamelo adalah terletak pada habitus
tanaman, morfologi daun, bentuk dan ada tidaknya sayap daun, morfologi bunga,
morfologi buah, dan morfologi biji (Martasari dan Hardiyanto 2003).
Jeruk Keprok merupakan jenis pohon dengan tinggi 2 - 8 meter. Tangkai
daun bersayap sangat sempit sampai tidak bersayap dengan panjang 0,5 - 1,5 cm.
Helaian daun berbentuk bulat telur memanjang atau berbentuk lanset dengan
ujung tumpul, tepinya bergerigi beringgit sangat lemah dengan panjang 3,5 - 8 cm
(Gambar 2). Bunganya mempunyai diameter 1,5 - 2,5 cm, berkelamin dua, daun
mahkotanya putih (Gambar 3). Buahnya berbentuk bola tertekan dengan panjang
5 - 8 cm, tebal kulitnya 0,2 - 0,3 cm dan daging buahnya berwarna oranye
(Gambar 4). Rantingnya tidak berduri, habitus tegak, kulitnya mudah dikupas,
bersifat poliembriogenik, kotiledon berwarna hijau, dan tangkai daunnya selebar 1
- 1,5 mm (Badan Litbang Departemen Pertanian 2005). Jeruk keprok mengandung
7
berbagai macam senyawa kimia diantaranya tangeraxanthin, tangeritin,
tryptophan, tyrosine, nobiletin, cis-3-hexenol, cis-carveol, dan citric-acid.
Tangeritin dan nobiletin merupakan senyawa methoxyflavone dan
polymethoxyflavon yang mempunyai potensi sebagai antikanker (Tang et al.
2009).
Gambar 2. Morfologi daun: A. Jeruk Keprok Garut; B. Jeruk keprok Batu 55;
C. Jeruk Siam; D. Jeruk Pamelo.
Jeruk keprok merupakan tanaman asli Melayu tetapi sekarang
penyebarannya hampir terdapat pada semua daerah tropis dan subtropis di dunia.
Temperatur optimal pertumbuhan tanaman antara 25 - 30 oC namun ada yang
masih dapat tumbuh normal pada 38 oC. Semua jenis jeruk tidak menyukai tempat
yang terlindung dari sinar matahari. Kelembaban optimum untuk pertumbuhan
jeruk keprok sekitar 70 – 80% (Khan 2007).
Salah satu varietas atau jenis jeruk lain yang banyak disukai oleh
masyarakat adalah jeruk Siam. Jenis jeruk ini banyak disukai masyarakat karena
rasanya yang lebih manis dibanding jeruk keprok. Secara garis besar, jeruk Siam
dan jeruk keprok sulit dibedakan karena mempunyai aroma daun yang sama,
ukuran bunga dan buah yang hampir sama (Gambar 3 dan 4), akan tetapi buah
jeruk Siam lebih sulit dikupas kulitnya dibandingkan dengan buah jeruk Keprok.
Jeruk Siam juga berbeda dengan jeruk Keprok karena mempunyai ranting yang
berduri, habitus tegak menyebar, daunnya bersayap dengan ukuran lebih kecil
dibanding daun jeruk keprok (Gambar 2), monoembrionik, dan kotiledon
berwarna putih. Jeruk Siam mempunyai bentuk bunga seperti lonceng, jumlah
bunga terdiri dari 8-10 buah / tandan (Badan Litbang Pertanian 2005).
D B A C
8
Gambar 3. Morfologi bunga: A. Jeruk keprok Garut; B. Keprok Batu 55; C. Jeruk
Siam; D. Jeruk Pamelo.
Jeruk Pamelo merupakan salah satu jenis buah jeruk besar yang sudah
lama dikenal di Indonesia dan diduga merupakan salah satu jenis tanaman asli
Indonesia (Purwanto et al. 2003). Jeruk Pamelo mempunyai bentuk daun ovale
atau elliptic ovale yang berukuran besar dan bersayap (Gambar 2). Jeruk Pamelo
mempunyai ukuran bunga yang lebih besar jika dibandingkan dengan bunga jeruk
Keprok dan jeruk Siam. Bentuk buah jeruk Pamelo berukuran besar dan
mempunyai kulit buah yang tebal (Gambar 3), habitus tegak menyebar dan
cenderung bersifat monoembrioni.
Tanaman jeruk tumbuh baik pada pH tanah antara 5 - 6, pada pH yang
lebih tinggi sering terjadi defisiensi hara terutama unsur mikro Zn, Cu, Mn, dan
Fe. Tanah yang mengandung kadar boron serta memiliki kadar garam tinggi
merupakan jenis tanah yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman jeruk.
Perbanyakan tanaman jeruk secara konvensional dapat dilakukan secara generatif
maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif dapat dilakukan dengan
menggunakan biji, namun akan menghasilkan buah yang beragam dan sering
tidak bersifat unggul walaupun berasal dari pohon induk yang unggul, sedangkan
perbanyakan tanaman jeruk secara vegetatif dapat dilakukan dengan
A B
C D
9
menggunakan cabang, batang, akar dan daun melalui setek, cangkok dan okulasi.
Namun tingkat keberhasilannya dipengaruhi oleh cara perbanyakan, waktu
melakukan perbanyakan, dan keterampilan pelaksana (Sukarmin 2008).
Gambar 4. Morfologi buah: A. Jeruk keprok Garut; B. keprok Batu 55; C. Jeruk
Siam; D. Jeruk Pamelo.
Upaya untuk menghasilkan buah jeruk yang bersifat unggul dan seragam
dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman haploid melalui kultur antera.
Melalui kultur antera dapat diperoleh tanaman haploid atau embrio haploid, dan
jika dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid ganda
yang homozigot (Morrison dan Evans 1988). Pembentukan tanaman haploid
melalui kultur antera dapat dilakukan melalui jalur tidak langsung yaitu melalui
pembentukan kalus terlebih dahulu. Kalus merupakan kumpulan sel amorphous
yang terjadi pada sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus-menerus.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari penanaman eksplan pada
B A
D C
10
lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak massa selnya
secara terus-menerus (Gunawan 1992).
Morfologi Bunga Jeruk
Bunga jeruk merupakan bunga lengkap yang terdiri atas tangkai bunga
(pedicel), sepal (caliyx), petal (corolla), kepala putik (stigma), style, bakal buah
(ovary), kepala sari (antera), filamen (Gambar 5). Bagian – bagian bunga dapat
digunakan sebagai eksplan dalam pemuliaan secara kultur jaringan. Salah satu
tujuan yang mengggunakan bagian bunga sebagai eksplan yaitu untuk
mendapatkan tanaman haploid karena tanaman haploid merupakan tanaman yang
mempunyai kromosom sama dengan gamet. Bagian – bagian bunga yang dapat
digunakan untuk menghasilkan tanaman haploid yaitu bagian bunga yang
merupakan alat reproduksi yaitu mikrospora, antera, atau bakal buah.
Kultur Antera
Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in vitro yang dapat
menghasilkan tanaman haploid. Tanaman haploid adalah tanaman yang
mempunyai jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom gametnya, yakni
mempunyai jumlah kromosom sembilan untuk tanaman jeruk (Bajaj 1983). Jika
petal sepal
bakal buah
filamen
antera
tangkai
bunga
Gambar 5. Morfologi umum bunga jeruk
11
dilakukan penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman double haploid
homozigos (galur murni).
Tujuan dari kultur antera adalah untuk mendapatkan tanaman haploid
unggul yang akan dipergunakan untuk merakit kultivar-kultivar baru (Wattimena
1992). Kultur antera akan menghasilkan tanaman homozigot dalam waktu yang
singkat sehingga proses selfing (6-8 generasi) dalam pemuliaan konvensional
dapat dihilangkan dan program pemuliaan dapat dilakukan lebih singkat (Taji et
al. 2002).
Kultur antera memiliki beberapa keuntungan diantaranya: (1) tanaman
homozigot diperoleh dalam waktu relatif singkat (2) efisiensi seleksi, (3)
memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (4) gen
resesif dapat terekspresi (Zapta 1990). Keberhasilan kultur antera untuk
mendapatkan tanaman haploid pertama kali dilaporkan oleh Guha dan Maheswari
(1966) pada tanaman Datura innoxia, dimana kepala sari Datura innoxia yang
ditanam pada media yang mengandung kasein hidrolisat, IAA, kinetin, suplemen
air kepala, dan ekstrak anggur dapat menghasilkan embrio pada umur 6 minggu
setelah tanam. Keberhasilan kultur antera selanjutnya dilaporkan oleh Bourgin
dan Nitsch (1967) pada tanaman Nicotiana tabacum.
Ayed et al (2010) melaporkan pengaruh praperlakuan terhadap
keberhasilan kultur mikrospora pada tanaman Triticum turgidum. Praperlakuan
tediri dari delapan perlakuan: (1) Praperlakuan suhu dingin selama 5 hari, (2)
pemberian 0,3M manitol pada suhu 40C selama 12 hari, (3) pemberian 0,3M
manitol pada suhu 40C selama 7 hari, (4) pemberian 0,7M manitol pada suhu 4
0C
selama 5 hari, (5) pemberian PEG 1,5% pada suhu 40C selama 5 hari, (6)
pemberian PEG 1% pada suhu 40C selama 15 hari, (7) pemberian PEG 1% pada
suhu 40C selama 10 hari, dan (8) kontrol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
diperoleh bahwa praperlakuan dingin (40C) selama 5 hari merupakan praperlakuan
yang paling efektif untuk menginduksi terbentuknya embrio pada mikrospora
Triticum turgidum. Sebaliknya pada mikrospora cabai merah besar peningkatan
induksi embriogenesis dapat dilakukan dengan memberikan praperlakuan pada
suhu panas (33oC) selama empat hari dapat menghasilkan proembrio cabai merah
besar sebanyak 30% (Indrianto et al. 2004).
12
Teknik kultur antera relatif sederhana, cepat dan efisien dalam
menghasilkan jaringan atau tanaman haploid pada kebanyakan spesies (Bajaj
1983; Bhojwani dan Radzan 1993). Faktor terpenting dan kritis pada kultur antera
adalah penentuan tingkat perkembangan polen yang tepat untuk dijadikan eksplan
sehingga androgenesis dapat terjadi (Bajaj 1983). Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Dus et al. (2002) pada kultur antera jagung, diketahui
mikrospora yang berada pada tahapan perkembangan inti mid-uninucleat
merupakan tahapan perkembangan mikrospora yang paling responsif untuk
menginduksi terbentuknya embrio sebanyak 8,54%
Shirdelmoghanloo et al. (2009) menyatakan bahwa keberhasilan kultur
antera dalam pembentukan embrio pada kultur mikrospora juga dipengaruhi oleh
faktor praperlakuan dan faktor media. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shirdelmoghanloo et al. (2009) pada kultur mikrospora Triticum
aestivum, dapat diketahui bahwa dengan memberikan kombinasi praperlakuan
dingin (4oC) dan manitol (0,3M) selama 3 minggu dapat menghasilkan jumlah
embrio tertinggi yaitu berkisar 112 embrio per malai dibandingkan tanpa
praperlakuan (kontrol) yang hanya mampu menghasilkan embrio berkisar 43 per
malai. Media perlakuan terbaik untuk menginduksi embrio Triticum aestivum
tersebut adalah media MT dengan penambahan ZPT 0,2 mg/l 2,4-D + 0,2 mg/l
kinetin + 1 mg/l IAA dengan jumlah embrio yang dihasilkan yaitu 190 per malai.
Antera mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur antera berarti
mengikutsertakan polen didalamnya. Polen akan beregenerasi menjadi tanaman
haploid yang tidak memiliki pasangan kromosom yang homolog sehingga pada
saat meiosis berlangsung, kromosom - kromosomnya tidak berpasang pasangan,
seperti halnya pada tanaman diploid, sehingga individu – individu haploid untuk
tanaman diploid bersifat steril. Oleh sebab itu perlu dilakukan penggandaan
kromosom untuk mendapatkan tanaman yang fertil dengan menggunakan bahan
kimia seperti penggunaan kolkisin yang sifatnya dapat menginduksi poliploidi
(Bhojwani dan Razdan 1993; Croughan 1995; Ferrie dan Keller 1995).
Selain secrara sitologi, tanaman haploid dapat dibedakan dengan tanaman
diploid dengan cara morfologi terutama pada saat tanaman tersebut sudah
dipelihara dalam rumah kaca. Perbedaannya terdapat pada tinggi tanaman, warna,
13
ukuran daun, perkembangan akar, dan vigor tanaman. Muswita (2003)
menyatakan pada tanaman cabai haploid, ukuran daun lebih kecil dibandingkan
dengan tanaman diploid dan bersifat steril.
Penggunaan tanaman haploid ganda (double haploid) dalam pemuliaan
akan lebih efisien dalam mengidentifikasi genotipe - genotipe superior karena
tanaman tersebut akan mengekspresikan semua sifat-sifatnya. Manfaat dari
tanaman haploid ganda: (1) sebagai tetua untuk mendapatkan hibrida F1, (2)
pemuliaan mutasi karena dapat dilakukan untuk skrening mutan dominan dan
resesif pada generasi pertama setelah perlakuan mutagen, (3) bahan tanaman
dalam penembakan gen, dan (4) seleksi transgen (Lentini et al. 1995).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera
1. Genotipe tanaman donor
Genotipe dari antera memegang peranan penting dalam menentukan
berhasil atau tidaknya kultur antera. Hasil penelitian Hoque et al. (2007) pada
tanaman Trapa sp melaporkan dari 18 genotipe tanaman yang diuji, hanya 15
genotipe tanaman yang memiliki kemampuan untuk diinduksi membentuk kalus.
Hal tersebut menjelaskan bahwa tiap-tiap genotipe tanaman memiliki respon yang
berbeda dalam hal kemampuannya dalam menginduksi kalus.
Munarso et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, setiap
genotipe (kombinasi persilangan) mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
menghasilkan kalus. Pada penelitiannya yang menggunakan eksplan antera padi
dapat diketahui jumlah kalus terbanyak dihasilkan oleh IR58025A/BP51-1, rata-
rata tiga butir kalus/cawan petri, IR68897A/RHS412 menghasilkan 2-3 butir
kalus/cawan petri, IR62829A/MTU 9992 menghasilkan tiga butir kalus/cawan
petri, sedangkan IR68886A/Bio-9 menghasilkan satu butir kalus/cawan petri.
Kemampuan antera dalam menghasilkan kalus sangat beragam diantara keempat
genotipe yang dipergunakan. Persentase induksi kalus tertinggi diperoleh dari
IR58025A/BP51-1 sebesar 2,70%, lebih tinggi dari IR68897A/RHS412 (2,04%),
IR62829A/MTU 9992 (1,56%),dan IR68886A/Bio-9 (0,91%).
14
2. Komposisi media kultur
Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan
morfogenesis dari jaringan tanaman adalah komposisi dari media kultur. Media
dalam kultur jaringan tanaman umumnya terdiri dari komponen hara makro, hara
mikro, vitamin, asam amino atau suplemen nitrogen lainnya, gula, bahan organik,
bahan pemadat (agar) dan zat pengatur tumbuh. Optimasi media terseleksi
umumnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan medium dalam
menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang
dikultur (Hu dan Zeng 1984).
Menurut Sugiri dan Anton (2006), media kultur jaringan dibedakan
menjadi media dasar dan media tambahan. Komposisi media dasar mengandung
hara baik makro maupun mikro, sumber energi dan vitamin yang jumlah dan
jenisnya tergantung dari penemunya. Komposisi media tambahan dapat berupa
vitamin, senyawa organik komplek atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur
tumbuh khususnya auksin dan sitokinin adalah suatu zat organik utama yang
mengendalikan proses morfogenesis di dalam teknik kultur jaringan.
Media dasar yang sering digunakan untuk kultur antera pada jeruk adalah
media Murashige and Tucker (Geraci dan Starrantino 1990; Deng et al. 1992;
Froelicher dan Ollitrault 2000). Berdasarkan hasil penelitian Gioi et al. (2002)
untuk induksi kalus antera padi, antera ditanam pada tiga media dasar yaitu MS,
LS dan N6, diperoleh hasil bahwa persentase rata-rata tertinggi antera yang dapat
terinduksi menjadi kalus (35,3%) terdapat pada antera yang ditumbuhkan pada
media dasar N6. Media kultur jaringan tanaman disamping menyediakan unsur
hara makro dan hara mikro juga diberi karbohidrat yang pada umumnya berupa
gula untuk menggantikan karbon. Hasil yang lebih baik pada kultur antera akan
diperoleh apabila kedalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam
amino, atau zat pengatur tumbuh.
3. Kondisi tanaman (eksplan)
Umur dan kondisi fisiologis eksplan sering mempengaruhi keberhasilan
kultur antera. Secara umum, respon yang paling baik berasal dari bunga pertama
yang dihasilkan oleh tanaman, dan antera yang dikulturkan harus berasal dari
bunga yang masih kuncup. Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi
15
pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman dihaploid yang
dihasilkan. Intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi
jumlah tanaman dihaploid yang dihasilkan pada beberapa spesies. Kondisi
pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan
yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang
pertumbuhannya sehat dan vigor (Nasir (2002).
4. Pra perlakuan antera
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis
mikrospora ialah praperlakuan terhadap antera sebelum inisiasi kultur. Sebelum
diintroduksikan pada lingkungan in vitro, antera dapat diberi praperlakuan
cekaman seperti pemberian manitol pada suhu rendah selama periode waktu
tertentu (Kyo dan Harada 1986; Immonen dan Antilla 1999). Perlakuan cekaman
menyebabkan proses metabolisme pada jaringan akan terhenti untuk sementara
dan setelah periode waktu tertentu jaringan tersebut akan mulai berkembang lagi
dengan lintasan metabolisme yang baru apabila berada pada kondisi lingkungan
yang mendukung (Immonen dan Antilla 1999).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada
antera Mamordica charantia diperoleh hasil bahwa antera dari varietas Bixiu,
Dabai, Changhai dan Pangniu yang dipergunakan sebagai eksplan yang disimpan
pada suhu 40 C selama 24 jam menghasilkan persentase kalus paling tinggi
masing-masing sebesar 73,16 %; 69,89 %; 60,32 % dan 62,01 % apabila
dibandingkan dengan antera yang disimpan pada suhu yang sama (40C) selama 0,
48, 72, 96, dan 120 jam. Berdasarkan penelitian tersebut, antera yang disimpan
selama lebih dari 120 jam tidak menghasilkan kalus dan berakibat pada kondisi
antera yang menjadi kecoklatan dalam 1 minggu.
Praperlakuan cekaman juga berperan dalam pembelokan jalur
perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk menghasilkan embrio.
Keberhasilan pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik telah
berhasil dilakukan Dus et al. (2002) dengan memberikan praperlakuan dingin
10oC selama 14 hari pada antera tanaman jagung dapat meningkatkan jumlah
embrio jagung. Tsay (1982) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa dengan
16
memberikan praperlakuan nitrogen 15 mM dapat meningkatkan embrio dari
mikrospora tanaman tembakau. Tanpa cekaman mikrospora akan berkembang
menjadi polen masak yang normal.
Produktivitas kultur antera pada beberapa spesies tanaman dipengaruhi
oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan
isolasi antera. Produktivitas tanaman dihaploid tembakau yang dihasilkan sering
meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bunga pada suhu 7 - 8 oC
selama 12 hari (Sunderland dan Robert 1979).
5. Tingkat perkembangan mikrospora
Antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen
pada sebagian besar jenis tanaman. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon
optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis
pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora)
(Hidaka et al. 1984). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara
membelokkan perkembangan gametofitik kearah sporofitik untuk menghasilkan
embrio dan tanaman melalui embriogenesis (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan
stres berperan dalam pembelokan jalur perkembangan tersebut, tanpa stres
mikrospora akan berkembang menjadi pollen masak yang normal (Heberle 1999).
Stres dapat berupa temperatur (rendah dan tinggi), osmotik, pemberian
nitrogen dan karbohidrat. Stres dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh,
kuncup bunga, antera atau langsung pada mikrospora. Palmer dan Keller (1997)
menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis
mikrospora tembakau, datura, brasika dan cabai, sedangkan Touraev et al. (1997)
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian karbohidrat dan nitrogen
dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau.
Perkembangan Mikrospora
Proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera
disebut dengan mikrosporosis. Terbentuknya mikrospora ditandai dengan
perubahan – perubahan yang terjadi pada antera. Antera mempunyai bentuk sel-
sel yang hampir sama pada waktu masih muda, kecuali sel-sel epidermis. Pada
keempat sudut antera kemudian mulai terbentuk ruangsari (inculamentum) yang
17
mempunyai banyak sekali sel yang disebut dengan mikrospora atau pollen mother
cell (Raven et al. 1992).
Polen mengalami pembelahan meiosis yang terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama adalah pembelahan meiosis I, merupakan pembelahan reduksi karena dari
satu sel dengan 2n kromosom membentuk dua sel dengan (n) kromosom.
Pembelahan tahap kedua adalah pembelahan mitosis, yaitu dari satu sel dengan
(n) kromosom menjadi dua sel dengan (n) kromosom, sehingga pembelahan
reduksi dari 1 sel 2n kromosom menjadi 4 sel dengan (n) kromosom. Keempat sel
yang terjadi sampai dewasa masih berlekatan terus dinamakan pollentetrad.
Kemudian pollentetrad yang berlekatan melepaskan diri sehingga terbentuk
pollen dengan inti satu. Polen inti satu yang masih muda dinamakan fase
uninukleat, dimana polen sudah mempunyai satu inti vegetatif dan satu vacuola,
kemudian inti sel membelah menjadi dua gamet jantan, yang besar dinamakan inti
vegetatif dan yang kecil disebut inti generatif yang dikenal dengan fase binukleat
seperti terlihat pada Gambar 6 (Suryowinoto 1996).
Gambar 6. Tahapan perkembangan inti mikrospora (Suryowinoto 1996)
Polen yang masih muda atau mikrospora yang terkandung dalam antera
dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio atau membentuk kalus
yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dengan
pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Dengan
aplikasi teknik tersebut, tanaman dihaploid dapat diregenerasikan secara langsung
18
dari gamet jantan maupun betina tanpa melalui proses pembuahan (Bhojwani dan
Radzan 1993).
Media yang digunakan pada Kultur Antera
Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang
dikembangkan oleh Nitsch untuk polen tanaman tembakau dan beberapa spesies
lainnya. Media yang umum digunakan untuk sebagian besar spesies adalah
Murashige dan Skoog dan N6 (Chu 1978) atau variasi kedua media tersebut.
Media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang,
air kelapa dan kasein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies tanaman, sukrosa
yang digunakan dalam media antara 2 - 3% sementara untuk beberapa spesies lain
khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya
lebih tinggi (hingga 15%). Pada kultur antera jeruk, sumber karbohidrat yang
banyak digunakan adalah sukrosa 5% (Hidaka 1987; Froelicher dan Ollitrault
2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada
antera Balsam pear, diperoleh hasil bahwa pembentukan kalus tertinggi diperoleh
apabila pada media ditambahkan 2.4 D 0,5 mg/l dan BA 2 mg /l yaitu sebesar
79,42 %. Penggunaan konsentrasi 2,4-D 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan
kinetin 0,1 mg/l sampai 0,3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimal
untuk menginduksi kalus. Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang rendah (0,1 mg/l
dan 0,5 mg/l) menyebabkan sel - sel tanaman belum mampu meningkatkan
kemampuan jaringan untuk melakukan diferensiasi (Syahid et al. 2007).
Prahardini dan Sudaryono (1992) membuktikan bahwa penambahan 3
mg/l NAA dan 2 mg/l BA efektif untuk menginduksi kalus antera pepaya dimana
jumlah kultur per kalus meningkat seiring dengan peningkatan NAA dari 1 mg/l
sampai 3 mg/l. Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan
kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi
kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman.
Inisiasi akar pada planlet, embriogenesis, dan inisiasi kalus umumnya terjadi
apabila perbandingan konsentrasi auksin terhadap sitokinin lebih tinggi,
19
sementara proliferasi tunas adventif dan aksilar terjadi apabila perbandingannya
lebih rendah (George et al. 2008)
Pikloram merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk ke dalam
kelompok auksin sintetik yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan
kalus. Peranan pikloram telah diketahui dalam proliferasi kalus pada kultur
jaringan tanaman kina. Sumaryono dan Riyadi (2005) menyatakan proliferasi
kalus terbaik pada medium WP diperoleh dengan pemberian pikloram 15 atau 30
μM yang dikombinasikan dengan BAP 0,5 μM. Kalus pada medium WP ini
tumbuh dengan sangat cepat, bobot basah kalus meningkat 12 - 14 kali dari bobot
awal dalam waktu 6 minggu. Kalus yang diperoleh bertekstur remah, berwarna
putih dan tidak mudah mengalami pencokelatan walaupun disubkultur
berulangkali. Marlina (2009) juga menyatakan media MS + 2 mg/l pikloram + 2
mg/l tidiazuron + 2 mg/l zeatin memberikan pengaruh positif untuk induksi kalus
tanaman.
Kultur Antera pada Tanaman Jeruk
Penelitian pada tanaman jeruk secara kultur jaringan (in vitro) sudah
banyak dilakukan, dan pada umumnya menggunakan eksplan jaringan tanaman
yang masih muda karena sel – selnya masih aktif membelah. Salah satu penelitian
tanaman jeruk yang masih mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah adalah
penelitian kultur antera. Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh genotipe,
kondisi tumbuh tanaman donor, tingkat perkembangan mikrospora, pra perlakuan,
media, dan lingkungan yang mendukung (Wehr dan Wenzel 1993). Germana
(2000) dalam Maluszynski et al. 2003 menyatakan persentase kalus tertinggi
Citrus clementiana dihasilkan pada media MS + 5% sukrosa + 0,02 mg/l NAA.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah
praperlakuan sebelum kultur antera. Chen (1985) memberikan praperlakuan
dingin 3oC selama 0 - 25 hari pada bunga Citrus madurensis, dan praperlakuan
dingin (3oC) selama 5-10 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk menginduksi
kalus dan embrio C. madurensis. Germana dan Chiancone (2003)
membandingkian efek pemberian temperatur tinggi (40 o
C) selama 24 jam dan
temperatur rendah (4 o
C) selama 10 hari Citrus clementina. Hasil penelitian
20
menyatakan pemberian temperatur rendah (4 o
C) selama 10 hari merupakan
praperlakuan yang terbaik untuk menginduksi kalus antera Citrus clementina.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah sumber
karbon. Hidaka (1987) melakukan penelitian kultur antera pada Citrus sinensis
dan Citrus aurentum dengan memberikan sukrosa (1, 3, 5, 7, dan 9)%. Hasil
penelitian menyatakan pemberian sukrosa 1% dapat menginduksi kalus dan
embrio Citrus sinensis sebanyak 30%, dan pemberian sukrosa 7% merupakan
konsentrasi yang paling baik untuk menginduksi kalus dan embrio Citrus
aurentum. Ling et al (1988) menyatakan bahwa persentase embrio tertinggi
(0,92%) diperoleh dengan pemberian 2mg/l IAA pada Citrus madurensis.
Berbeda dengan pernyataan Geraci and Starrantino (1990) yang menyatakan
pemberian 1 mg/l BAP dan 0,5 mg/l 2,4-D merupakan media terbaik untuk
menginduksi kalus dengan persentase tertinggi (25%) pada Citrus reticulata,
Citrus deliciosa, dan Citrus paradisi, sedangkan pada Citrus sinensis pemberian 1
mg/l NAA dan 1 mg/l BAP merupakan media terbaik untuk meninduksi kalus
sebanyak 44,2% (Drira dan Benbadis 1975).
21
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2009 sampai dengan
Januari 2011 di laboratorium kultur in vitro kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor (BB-BIOGEN) dan di laboratorium kultur
jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuncup bunga
jeruk keprok Batu 55 (Citrus reticulata L), jeruk keprok Garut (Citrus reticulata
L), Jeruk Siam (Citrus sinensis L) dan jeruk Pamelo (Citrus maxima L). Peralatan
yang digunakan adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), autoklaf, mikropipet,
alat-alat diseksi (pinset, gunting, dan skalpel), pH meter, botol kultur, peralatan
gelas, bunsen dan sprayer.
Metode Penelitian:
1. Studi tahapan perkembangan inti mikrospora antera jeruk
Bahan yang digunakan adalah kuncup bunga jeruk keprok Garut, keprok
Batu 55, dan jeruk Siam dengan perbandingan ukuran sepal : petal = kecil (1:2;
1:2,5; 1:3) mm; Sedang (1:4; 2:5; 2:6) mm; dan Besar (2:7; 2:8; 2:9) mm. Pada
kuncup bunga jeruk Pamelo mempunyai perbandingan ukuran sepal : petal = kecil
(6:10; 6:11; 6:12) mm; Sedang (6:14; 6:15; 6:17) mm; dan Besar (7:19; 7:20;
7:21) mm. Pengamatan mikrospora dilakukan dengan memecah kantung antera,
kemudian mikrospora diisolasi dan diletakkan di atas preparat lalu diberi aquadest
dua tetes. Penghitungan dilakukan secara mikroskopik dengan perbesaran 400x.
Tahap perkembangan mikrospora yang diamati adalah (1) persentase tahap inti
tunggal (uninucleate), (2) persentase tahap inti dua (binucleate), dan (3) tidak
teramati. Pengamatan mikrospora dilakukan empat kali bidang pandang
mikroskop, dan diulang minimal tiga kali untuk setiap ulangan.
22
2. Studi praperlakuan lama penyimpanan antera terhadap kemampuan
induksi kalus jeruk Keprok Garut
Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktor tunggal yaitu praperlakuan penyimpanan pada suhu dingin (10oC)
dengan 4 taraf yaitu (1; 3; 5; dan 7) hari. Setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan,
dan setiap botol merupakan satu ulangan, dimana dalam satu botol berisi 10
antera. Pengamatan dilakukan sampai minggu ke-8.
Kuncup bunga jeruk Keprok Garut yang mempunyai tahapan
perkembangan inti mikrospora uninukleat yang tinggi, dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditutup dengan aluminium foil, lalu tabung reaksi dimasukkan
ke dalam botol yang telah berisi air dan dimasukkan dalam lemari pendingin
(10oC) sesuai dengan perlakuan. Antera kemudian diisolasi dari kuncup bunga
dan ditanam pada media dasar Murashige dan Tucker (MT) yang ditambahkan 10
mg/l pikloram. Peubah yang diamati dalam percobaan ini adalah: jumlah antera
yang membesar / membengkak dan jumlah antera yang menghasilkan kalus.
3. Induksi kalus pada antera jeruk Keprok Batu 55, jeruk Siam dan jeruk
Pamelo
Antera jeruk Keprok Batu 55, jeruk Siam dan jeruk Pamelo yang telah
mendapatkan praperlakuan dingin (10oC) terbaik (5 hari) ditanam pada berbagai
komposisi media induksi kalus.
3.1 Jeruk keprok Batu 55
Rancangan yang digunakan adalah RAL faktor tunggal yaitu perlakuan
jenis media dengan 3 taraf yaitu; (1) Padat; (2) Padat + Cair; (3) Cair. Setiap
perlakuan terdiri atas 14 ulangan dimana setiap botol merupakan satu ulangan dan
dalam satu botol berisi 8 antera. Komposisi media yang digunakan adalah media
dasar MT + 3 mg/l BAP + 500 mg/l ekstrak malt. Media dipadatkan dengan
phytagel 2 g/l kecuali media cair, pH media diatur pada 5,8. Kultur diinkubasi
pada ruang gelap. Sub kultur dilakukan dua kali dalam sebulan sampai 4 kali sub
kultur pada media yang sama. Peubah yang diamati dalam percobaan ini adalah:
jumlah antera yang membengkak, dan jumlah antera yang menghasilkan kalus.
23
3.2 Jeruk Siam
Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL faktor tunggal yaitu
perlakuan 2,4-D dengan 3 taraf yaitu: 3mg/l, 5 mg/l, dan 7 mg/l. Setiap perlakuan
terdiri dari 15 ulangan dimana setiap botol merupakan satu ulangan dan dalam
satu botol berisi 7 antera. Antera jeruk Siam ditanam pada media dasar MT + 500
mg/l ekstrak malt. Media dipadatkan dengan phytagel 2 g/l, pH media diatur pada
5,8 dan diinkubasi pada ruang gelap. Sub kultur dilakukan dua kali dalam sebulan
sampai 4 kali sub kultur pada media yang sama. Peubah yang diamati dalam
percobaan ini adalah: jumlah antera yang membengkak, dan jumlah antera yang
menghasilkan kalus.
3.3 Jeruk Pamelo
Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RAL faktor tunggal yaitu
perlakuan media (3 mg/l BAP dan NAA) dengan 3 taraf yaitu: (1) 1 mg/l NAA;
(2) 2 mg/l NAA; (3) 3mg/l NAA. Setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan dimana
setiap botol merupakan satu ulangan dan dalam botol berisi 5 antera. Antera yang
ditanam adalah antera yang mengandung mikrospora dengan inti tunggal tinggi
dan telah mendapatkan praperlakuan dingin (10oC) diinduksi pada media dasar
MT + kombinasi (3 mg/l BAP dan NAA) + 500 mg/l ekstrak malt. Semua
perlakuan media dipadatkan dengan phytagel 2 g/l kecuali media cair, pH media
diatur pada 5,8 dan diinkubasi pada ruang gelap. Sub kultur dilakukan dua kali
dalam sebulan sampai 4 kali sub kultur pada media yang sama.
Semua hasil penelitian (studi praperlakuan lama penyimpanan pada antera
jeruk keprok Garut, induksi kalus pada jeruk keprok Batu 55 dan jeruk Siam serta
jeruk Pamelo) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf
nyata (α) 5% dengan bantuan program SAS 9.1. Apabila hasil uji nyata,
dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-
DMRT).
24
Analisis Kromosom
Jumlah kromosom kalus jeruk dianalisis dengan menggunakan Metode
Pra-perlakuan Lengkap (Sastrosumarjo 2006). Kalus dimasukkan kedalam botol
yang berisi larutan 8-Hydroxyquinolin 0,002 M. Botol dimasukkan ke dalam
lemari pendingin (4oC) selama 90 menit, lalu kalus dikeluarkan dan dicuci dengan
air. Kalus yang telah dicuci dengan air, direndam dalam asam asetat 45% selama
10 menit kemudian dimasukkan dalam botol berisi campuran HCl dengan asam
asetat 45% perbandingan 3:1 selama 2 menit, lalu dipanaskan dalam waterbath
dengan suhu 60oC selama 2 menit.
Kalus dipindahkan ke gelas arloji, kemudian diteteskan aceto orcein 2%
dan biarkan selama 10 menit. Kalus diletakkan pada gelas objek, kemudian
diberikan 2 tetes aceto orcein 2% lalu ditutup dengan gelas penutup. Preparat
dilewatkan di atas api bunsen 2-3 kali kemudian preparat diketuk dengan pensil
berkaret (squash), lalu ditekan dengan ibu jari. Preparat siap diamati dibawah
mikroskop.
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Umum Percobaan
Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan
kelembaban (Zulkarnain 2009). Read (1990) menyatakan bahwa faktor suhu
berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan sel dan jaringan,
pembentukan organ tanaman, dan berkaitan erat dengan siklus perkembangan
tanaman. Suhu penyebab terjadinya morfogenesis tidak selalu sama pada setiap
spesies tanaman. Pada tanaman tomat, perlakuan suhu 19oC pada beberapa saat
dapat meningkatkan potensi regenerasinya. Sementara itu, pada eksplan tangkai
bunga Brassica napus pembentukan pucuk adventif terbaik diperoleh pada suhu
24oC. Laboratorium tempat dilakukannya penelitian sangat menjaga kestabilan
suhu ruang kultur supaya tetap terjaga pada kisaran 25 - 28oC (Gambar 7A).
Kestabilan suhu ruang kultur tersebut dibantu dengan kondisi Air Conditioner
(AC) yang tetap dihidupkan selama 24 jam.
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan eksplan ialah intensitas
cahaya. Intensitas cahaya selalu dijaga dengan baik agar tanaman dapat
melakukan morfogenesis. Penelitian yang tidak membutuhkan cahaya seperti
induksi kalus dilakukan di ruangan gelap. Laju fotosintesis pada kebanyakan
tanaman yang dikulturkan secara in vitro pada umumnya relatif rendah karena
kebutuhan karbohidrat sudah dipenuhi melalui suplai sukrosa dari medium.
Menurut George dan Sherrington (1984), pertumbuhan jaringan tanaman secara in
vitro membutuhkan cahaya untuk mendapatkan pertumbuhan dan morfogenesis
yang optimal. Sebaliknya untuk inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan
pertumbuhan kalus tidak diperlukan adanya cahaya.
Faktor lingkungan lain yang menentukan keberhasilan kultur jaringan
adalah kelembaban. Kelembaban relatif di dalam ruangan sekitar 70%, namun
kebutuhan kelembaban di dalam wadah kultur mendekati 90%. George dan
Sherrington (1984) menyatakan bahwa embrioid Daucus carota tumbuh sangat
baik pada kelembaban 80 – 90% dan akan mati apabila kelembaban di bawah
60%. Kadar kelembaban yang terlalu tinggi di dalam wadah kultur dapat
26
menyebabkan terbentuknya daun – daun pucuk yang mengalami vitrifikasi (Read
1990).
Keberhasilan kultur jaringan dapat tercapai apabila media yang digunakan
tidak mengalami kontaminasi. Kontaminasi berasal dari eksplan atau media yang
digunakan. Kecilnya kontaminasi disebabkan oleh tersedianya autoklaf
bertekanan tinggi, sehingga dapat menyebabkan denaturasi pada mikroba. Selain
itu, ruang pembuatan media juga harus disterilkan secara periodik dengan
menggunakan formalin (Gambar 7B). Faktor lain yang menyebabkan kecilnya
angka kontaminasi adalah laminar air flow, karena sebelum digunakan laminar
selalu disterilkan dengan sinar UV (Gambar 7C). Jenis kontaminan yang
ditemukan berupa cendawan dengan hifa yang berwarna putih sedikit merah
muda, cendawan berwarna kehitaman, bakteri berwarna putih susu, dan bakteri
berwarna kuning susu. Jenis kontaminan tersebut dapat dikenali dari penampilan
fisiknya. Dari keempat jenis kotaminan yang ditemukan, cendawan yang
berwarna hitam yang paling cepat pertumbuhan dan perkembangbiakannya, dan
cendawan tersebut mampu menutupi seluruh permukaan media kultur. Akibatnya
eksplan tidak mampu tumbuh yang akhirnya akan mati.
Gambar 7. Kondisi umum laboratorium :A. Ruang kultur, B. Ruang pembuatan
media, C. Laminar air flow
2. Studi Tahapan Perkembangan Inti Mikrospora Antera Jeruk
Stadium perkembangan mikrospora merupakan faktor yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan induksi kalus pada kultur antera. Stadium
mikrospora yang paling responsif untuk membentuk embrio adalah stadium
uninukleat akhir (Dunwell 1996). Stadium uninukleat akhir ditandai dengan posisi
inti mikrospora berada di tepi karena terdesak oleh vakuola yang besar (Indrianto
C A B
27
et al. 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Wahidah (2010) yang menyatakan bahwa fase uninukleat akhir mempunyai
peluang yang lebih besar dalam mengiduksi terjadinya kalus pada kultur
mikrospora tanaman tembakau.
Tabel 1. Persentase perkembangan inti mikrospora pada jeruk keprok Garut,
keprok Batu 55, dan jeruk Siam pada ukuran rasio sepal dan petal yang
berbeda
Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan
perubahan morfologi bagian bunga melalui bertambah panjangnya ukuran sepal
dan petal bunga. Secara umum hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara ukuran sepal dan petal bunga terhadap fase perkembangan inti
mikrospora. Bunga yang mempunyai ukuran sedang mengandung mikrospora inti
satu paling banyak baik pada bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan
jeruk Siam (Tabel 1). Pada bunga jeruk keprok Garut, persentase inti satu berkisar
antara 78,2 – 91,4%, bunga jeruk keprok Batu 55 mencapai 78,2 – 85,6% dan
bunga jeruk Siam berkisar 79,4 – 90,5% dari total mikrospora yang diamati.
Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan inti mikrospora jeruk keprok
Garut, dapat diketahui bahwa bunga dengan ukuran kecil berdasarkan ukuran
sepal dan petal bunga mempunyai mikrospora terbanyak berada pada fase tetrad
(40,5 – 73,6)% dan tidak teramati (5,1 – 45,1) %. Inti mikrospora tidak dapat
Rasio bunga (mm) Sepal: Petal
Keprok Garut Keprok Batu 55 Siam Perkembangan inti mikrospora (%)
Tetrad
Inti satu
Inti dua
Tidak terama
ti
Tetrad Inti satu
Inti dua
Tidak terama
ti
Tetrad Inti satu
Inti dua
Tidak terama
ti KECIL
1 : 2 40,5 14,4 - 45,1 35,3 8,6 - 56,1 33,6 11,6 - 54,8
1 : 2,5 66,0 18,1 4,5 11,4 54,2 11,6 - 34,2 51,1 13,1 - 35,8
1 : 3 73,6 21,3 - 5,1 75,8 15,8 - 8,4 68,5 18,4 - 13,1
SEDANG
1 : 4 7,8 91,4 0,8 - 8,8 81,1 10,1 - 20,6 79,4 - -
2 : 5 10,1 85,5 4,4 - 5,4 85,6 9,0 - 3,5 90,5 6,0 -
2 : 6 19,4 78,2 2,4 - 13,4 78,2 8,4 - 17,6 82,4 - -
BESAR
2 : 7 - 9,3 78,4 12,3 1,4 21,3 77,3 - - 15,4 70,6 4,0 2 : 8 - 15,5 45,2 39,4 1,2 8,2 65,2 25,4 - - 10,3 89,7
2 : 9 2,4 8,2 76,4 3,0 1,2 7,1 75,3 15,4 3,9 8,2 76,4 1,5
28
diamati keberadaannya karena masih berupa mother cell kemudian kromosom
mengalami kondensasi di bagian tengah sel pada tahap sel induk polen (mother
cell) dan sel induk polen mengalami pembelahan meiosis membentuk tetrad
(Septiani 2008).
Bunga dengan ukuran sedang mempunyai mikrospora uninukleat banyak
berkisar 78,2 – 91,4%. Wahidah (2010) menyatakan bahwa stadium uninukleat
awal - tengah memiliki ciri-ciri mikrospora berbentuk bulat dengan vakuola yang
kecil dan pada stadium uninukleat akhir kedudukan inti makin ke pinggir dan
ukuran vakuola semakin besar bahkan menempati sebagian besar volume sel. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian Kosmiatin et al. (2009) pada bunga jeruk
keprok Garut, dimana bunga jeruk keprok dengan ukuran mahkota kuncup bunga
antara 5-6 mm, memiliki persentase mikrospora dengan inti tunggal terbanyak
yaitu berkisar antara 84,05 – 100%. Bunga dengan ukuran besar didominasi oleh
mikrospora binukleat berkisar 45,2 – 78,4%. Stadium binukleat dicirikan dengan
adanya 2 inti dalam mikrospora tersebut. Perkembangan inti mikrospora mulai
dari tetrad sampai tidak teramati dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Perkembangan inti mikrospora jeruk keprok Batu 55: A. Mikrospora
berada pada fase tetrad; B. Mikrospora dengan inti satu; C.
Mikrospora inti dua; D. Tidak teramati.
A B
D C
29
Ukuran sepal dan petal bunga dari ketiga jenis jeruk (Keprok Garut,
keprok Batu 55, dan jeruk Siam) mempunyai ukuran sepal dan petal bunga yang
tidak begitu berbeda sehingga mempunyai perkembangan inti mikrospora yang
hampir sama. Bunga dengan ukuran kecil didominasi oleh mikrospora yang
berada pada fase tetrad (35,3 – 75,8)% dan mother cell (8,4 – 56,1)%, bunga
ukuran sedang didominasi oleh mikrospora uninukleat (78,2 – 85,6)%, dan bunga
dengan ukuran besar didominasi oleh mikrospora inti dua (65,2 – 77,3)%.
Semakin panjang ukuran kuncup bunga maka stadium perkembangan
mikrospora semakin dewasa. Fase perkembangan inti mikrospora pada bunga
jeruk Siam dengan ukuran kecil paling banyak terdapat fase tetrad berkisar 33,6 –
68,5% dan fase yang tak teramati (mother cell) berkisar 13,1 – 54,8% dan yang
paling sedikit berada pada fase uninukleat berkisar 11,6 – 18,4% dan tidak
terdapat mikrospora yang berada pada fase binukleat. Bunga dengan ukuran
sedang mempunyai mikrospora paling banyak berada pada fase inti satu (79,4 –
90,5)% dan bunga dengan ukuran besar mempunyai mikrospora paling banyak
terdapat pada fase inti dua (10,3 -76,4)% dan tidak teramati atau sudah termasuk
kategori polen yang sudah matang berkisar 1,5 – 85,7%.
Bunga jeruk Pamelo mempunyai ukuran sepal dan petal yang lebih
panjang dan tebal dibandingkan dengan ketiga jenis jeruk (keprok Garut, keprok
Batu 55, dan jeruk Siam) seperti terlihat pada Gambar 9. Oleh sebab itu
perbandingan ukuran sepal dan petal untuk mengelompokkan bunga besar, sedang
dan kecil juga berbeda, akan tetapi persentase perkembangan inti mikrospora pada
bunga yang sudah dikelompokkan hampir sama (Gambar 9).
Gambar 9. Perbandingan ukuran sepal dan petal bunga: A. Jeruk Pamelo; B. Jeruk
Siam
sepal
petal
A
sepal
petal
B
30
Tabel 2. Persentase perkembangan inti mikrospora jeruk Pamelo pada fase tetrad,
inti satu, inti dua, dan tidak teramati
Berdasarkan pengamatan inti mikrospora pada tanaman jeruk pamelo
(Tabel 2), bunga yang dikelompokkan menjadi bunga kecil berdasarkan ukuran
sepal dan petal didominasi oleh mikrospora yang berada pada fase tetrad berkisar
(79,4 – 87,1)%, dan bunga dengan ukuran sedang didominasi mikrospora inti satu
berkisar (78,2 – 85,4)% serta bunga dengan ukuran bunga besar didominasi oleh
mikrospora inti dua (24,4 – 64,4)% dan tidak dapat diamati (1,2 – 75,6)%. Pada
bunga ukuran kecil dan bunga ukuran sedang tidak terdapat mikrospora yang
tidak dapat diamati posisi intinya, sedangkan pada bunga ukuran besar banyak inti
mikrospora yang tidak dapat diamati keberadaannya. Keberadaan inti mikrospora
tidak diamati karena terdapat banyak vakuola didalam mikrospora. Sangwan dan
Norreel (1996) menyatakan pada stadium binukleat akhir (inti dua) sudah dimulai
peristiwa amilogenesis. Setelah terjadi akumulasi amilum biasanya mikrospora
sudah tidak responsip lagi untuk diinduksi menjadi embrio. Tingginya persentase
mikrospora inti satu (uninukleat) pada bunga ukuran sedang dengan perbandingan
ukuran sepal : petal (6:14 - 6:17) menjadikan bunga dengan ukuran sedang yang
akan dijadikan eksplan untuk induksi kalus pada jeruk Pamelo.
Rasio bumga
(mm)
Sepal:Petal
Pomelo
Perkembangan inti mikrospora (%)
Tetrad Inti satu Inti dua Tidak
teramati
KECIL
6 : 10 79,4 15,3 5,3 -
6 : 11 87,1 12,3 0,6 -
6 : 12 82,4 13,4 4,2 -
SEDANG
6 : 14 18,6 78,2 3,2 -
6 : 15 15,8 81,2 3,0 -
6 : 17 12,6 85,4 2,0 -
BESAR
7 : 19 - 24,4 64,4 1,2
7 : 20 - - 24,4 75,6
7 : 21 - 13,6 61,2 25,2
31
3. Studi Lama Praperlakuan Penyimpanan Antera Terhadap Kemampuan
Induksi Kalus pada Jeruk Keprok Garut
Persentase keberhasilan induksi kalus haploid dari antera selain
dipengaruhi oleh fase perkembangan inti mikrospora, juga dipengaruhi oleh
praperlakuan terhadap antera sebelum kultur antera. Secara normal, mikrospora
akan berkembang menjadi alat reproduksi jantan pada tumbuhan. Praperlakuan
suhu dingin akan menghentikan proses tersebut sehingga mikrospora akan
berkembang menjadi embrio atau kalus.
Untuk menginduksi terbentuknya kalus haploid atau embrio yang berasal
dari mikrospora jeruk keprok Garut, kuncup bunga diberikan praperlakuan suhu
dingin (10oC) selama 1, 3, 5, dan 7 hari dan ditanam pada media MT dengan
penambahan 10 mg/l pikloram dan 500 mg/l ekstrak malt. Kuncup bunga diberi
perlakuan lama penyimpanan pada suhu dingin dengan tujuan untuk mendapatkan
lama praperlakuan terbaik dilihat dari respon antera yang membengkak dan
mengkalus.
Tabel 3. Pengaruh praperlakuan lama penyimpanan pada suhu dingin (10oC) pada
antera jeruk keprok Garut terhadap kemampuan induksi kalus
Umur
Kultur
(MST)
Lama Praperlakuan
(hari)
Respon Antera
membengkak berkalus
∑ % %
2
1 2,2b (22,0) (0,0)
3 3,8b (36,0) (0,0)
5 7,2a (72,0) (0,0)
7 3,0b (26,0) (0,0)
4
1 2,2b (22,0) (0,0) 3 3,8b (36,0) (0,0)
5 7,2a (72,0) (0,0)
7 3,0b (30,0) (0,0)
6
1 2,6b (26,0) (0,0)
3 4,0b (40,0) (0,0)
5 8,0a (80,0) (2,0)
7 3,4b (34,0) (0,0)
8
1 2,6b (28,0) (0,0)
3 4,0b (40,0) (0,0)
5 8,0a (84,0) (2,0) 7 3,4b (36,0) (0,0)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamat
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. Media= Murashige and
Tucker (MT) + 10mg/l Pic + 500mg/l ekstrak malt, (1), (3), (5), dan (7) hari
32
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 3, diketahui bahwa antera jeruk
keprok Garut yang diberi praperlakuan suhu dingin (10oC) selama 5 hari
memberikan respon yang paling baik dilihat dari respon antera yang membengkak
dan yang mengkalus. Secara umum respon diawali dengan pembengkakan
kemudian diikuti dengan pembentukan kalus (Gambar 10).
Praperlakuan dingin (10oC) memberikan pengaruh terhadap peubah antera
yang membengkak. Hasil tertinggi pada peubah antera membengkak diperoleh
pada praperlakuan 5 hari pada semua umur kultur. Antera membengkak karena
terjadi pembelahan sel - sel pada mikrospora yang terdapat di dalam antera,
kemudian sel sel mikrospora tersebut akan berkembang menjadi kalus. Kalus
yang berada didalam antera akan memaksa dinding antera untuk pecah. Persentase
terbentuknya kalus tertinggi (2%) terjadi pada praperlakuan dingin selama lima
hari pada umur 6 minggu setelah tanam.
Gambar 10. Respon antera Keprok Garut: A. Membengkak, B. Mengkalus
Praperlakuan penyimpanan suhu dingin (10oC) selama 5 hari pada antera
jeruk keprok Garut merupakan praperlakuan terbaik karena mampu membentuk
kalus sebesar 2% pada umur 6 minggu setelah tanam, sedangkan praperlakuan
penyimpanan 1, 3, dan 7 hari tidak terdapat antera yang mampu terbentuk menjadi
kalus. Setelah 8 minggu antera cenderung menjadi coklat dan tidak mengalami
perkembangan bahkan sebagian besar antera menjadi mati. Penelitian yang
dilakukan oleh Savaskan et al. (1999) pada tanaman Hordeum vulgare L.
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara antera yang diberi
praperlakuan dingin selama 21 hari dengan antera yang tidak diberi praperlakuan
A B
33
dingin. Antera yang diberi praperlakuan dingin selama 21 hari mampu
membentuk kalus berkisar 97,4%. Sedangkan antera yang tidak diberikan
praperlakuan dingin hanya mampu membentuk kalus 40,2%.
Perlakuan cekaman suhu dingin (4-9oC) pada mikrospora tanaman kedelai
varietas Wilis juga dilakukan oleh Budiana (2010) dengan memperoleh hasil
bahwa mikrospora yang diberi perlakuan suhu dingin (4-9oC) selama satu minggu
menunjukkan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan pemberian cekaman suhu
ruangan (25-28oC) dan pemberian suhu panas (30 – 33
oC).
Rendahnya persentase terbentuknya kalus pada jeruk keprok Garut
kemungkinan disebabkan lamanya waktu simpan (7 hari) dalam lemari pendingin
sehingga menyebabkan kondisi bunga menjadi rusak (coklat), dan karena
komposisi media yang kurang tepat untuk menginduksi kalus jeruk keprok Garut.
Pemberian pikloram yang berlebihan pada media dapat menyebabkan kerusakan
sistem pertumbuhan jaringan karena pikloram merupakan herbisida yang bersifat
toksik (Karjadi & Buchory 2007). Marlina (2009) menyatakan Pemberian
pikloram 2 mg/l mampu menginduksi kalus dengan struktur remah pada eksplan
umbi.
4. Induksi Kalus pada Antera Keprok Batu 55, Jeruk Siam dan Jeruk
Pamelo
4.1 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Keprok Batu 55
Antera jeruk keprok Batu 55 yang telah diberi praperlakuan suhu dingin
(10oC) selama lima hari dikulturkan pada media padat, media cair, dan media
padat + cair dengan komposisi media MT + 3 mg/l BAP + 500 mg/l ekstrak malt
memberikan respon yang berbeda - beda untuk setiap perlakuan. Zat pengatur
tumbuh ditambahkan untuk mendapatkan respon yang diinginkan berkaitan
dengan interaksi zat pengatur tumbuh yang digunakan dengan zat-zat endogen
yang terdapat dalam jaringan tumbuhan (Novak et al. 1986). Antera yang
dikulturkan pada media padat menunjukkan respon yang paling baik dilihat dari
respon antera yang membengkak dan mengkalus (Tabel 4).
B
34
Tabel 4. Pengaruh jenis media terhadap respon antera jeruk Keprok Batu 55
Umur kultur
(MST)
Jenis media Respon Antera
membengkak berkalus
∑ % %
2
Padat 5,1a (68,75) 9,9
Padat + Cair 5,2a (50,89) 3,4
Cair 3,9b (38,39) 2,7
4
Padat 5,9a (79,46) 13,8
Padat + Cair 5,3b (57,14) 4,5
Cair 5,1b (52,67) 3,6
6
Padat 6,2a (82,14) 14,5
Padat + Cair 5,9b (58,92) 4,5
Cair 4,9c (60,71) 3,6
8
Padat 6,2a (82,14) 14,5
Padat + Cair 5,9b (58,92) 4,5
Cair 4,9b (60,71) 3,6
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. Media: MT + 3 mg/l BAP
+ 500mg/l em.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui, media padat mampu memberikan respon
berkalus yang paling baik dibanding perlakuan media dua lapis (padat+cair) dan
perlakuan media cair. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase jumlah antera
yang membengkak dan persentase antera yang mengkalus. Sebelum antera
terinduksi menjadi kalus, maka terlebih dahulu diikuti oleh pertambahan volume
sel yang dapat dilihat dari kondisi antera yang membengkak (Gambar 11).
Pemberian 3 mg/l BAP pada media padat mampu menginduksi kalus
sebesar 14,5% pada pengamatan 6 minggu setelah tanam, sedangkan pemberian
3mg/l BAP pada media dua lapis (padat+cair) dan media cair hanya mampu
membentuk kalus 4,5% dan 3,6%. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
komposisi hara dan ZPT pada media yang terlalu banyak (terdapat pada media
padat, juga media cair). Budiana (2010) menyatakan bahwa antera tanaman
kedelai yang ditanam pada media padat memberikan respon yang lebih baik
dibandingkan antera yang ditanam pada media sistem dua lapis.
Kalus yang dihasilkan oleh media padat berwarna putih dan remah,
sedangkan perlakuan media padat + cair dan perlakuan media cair cenderung
35
menghasilkan kalus berwarna coklat dan kurang memberikan respon yang baik
terhadap perkembangan antera jeruk keprok Batu 55. Hal tersebut juga didukung
Septiani (2008) yang menyatakan bahwa mikrospora kelapa sawit yang
dikulturkan pada media dua lapis dapat berkembang melalui proses gametofitik
hanya sampai pada tahap biselular, karena sel mikrospora pada tahap selanjutnya
mengalami kematian.
Gambar11. Respon antera jeruk Keprok Batu 55: A. Membengkak, B. Mengkalus
4.2 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Siam
Pembelahan sporofitik pada mikrospora juga dipengaruhi oleh media
yang diberikan pada antera. Pembelahan sporofitik terjadi apabila sel – sel
mikrospora mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif atau lebih.
Pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang berbeda memberikan respon yang
berbeda pada antera jeruk Siam. Antera yang dikulturkan pada media MT dengan
perlakuan 3 mg/l 2,4-D memberikan respon yang paling baik untuk menginduksi
terbentuknya kalus (Tabel 5).
B A
36
Tabel 5. Pengaruh 2,4-D terhadap respon Antera Jeruk Siam
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%.. Media: MT + 2,4-D + 500
mg/l em
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 5, terlihat bahwa konsentrasi
media 2,4-D memberikan pengaruh terhadap peubah antera membengkak. Hasil
tertinggi pada semua umur kultur pada peubah antera membengkak dihasilkan
oleh media 3 mg/l 2,4-D. Setelah antera membengkak, kemudian dinding antera
pecah dan kalus akan berproliferasi (Gambar 12).
Respon antera jeruk Siam sudah terlihat pada minggu ke-2 setelah tanam,
hal tersebut ditandai dengan terdapatnya antera yang membengkak berkisar 45,7%
pada media 3 mg/l 2,4-D, akan tetapi kalus mulai terbentuk setelah empat minggu
setelah tanam. Persentase kalus tertinggi berada pada media pemberian 3 mg/l
2,4-D dengan persentase kalus sebesar 1,6% sedangkan pemberian 2,4-D
sebanyak 5 mg/l dan 7 mg/l hanya mampu menginduksi kalus sebesar 0,8%.
Perlakuan 2,4-D sebanyak 3 mg/l memperlihatkan respon antera yang paling baik
kemungkinan konsentrasi 2,4-D sebanyak 3 mg/l merupakan konsentrasi paling
tepat untuk menginduksi kalus jeruk Siam, sedangkan pemberian 2,4-D pada
konsentrasi 5 mg/l dan 7 mg/l kurang efektif untuk menginduksi kalus Siam.
Umur Kultur Media 2,4-D
(mg/l) (MST)
Respon Antera
membengkak Berkalus
∑ (%) (%)
2 MST
3 3,2a (45,7) 0
5 1,5b (14,3) 0
7 1,3b ( 9,5) 0
4 MST
3 3,2a (49,5) 1,6
5 1,5b (21,9) 0,8
7 1,3b (21,9) 0,8
6 MST
3 3,2a (62,8) 1,6
5 1,5b (30,5) 0,8
7 1,3b (25,7) 0,8
8 MST
3 4,8a (69,5) 1,6
5 2,6b (35,2) 0,8
7 2,0b (26,7) 0,8
37
Percobaan induksi kalus pada antera jeruk Siam dengan menggunakan
zat pengatur tumbuh 2,4-D memperlihatkan respon yang lebih lambat dibanding
dengan antera jeruk Keprok Batu 55. Pada antera jeruk Siam kalus terbentuk
mulai minggu ke empat setelah tanam berkisar 1,6% pada media 3 mg/l 2,4-D,
sedangkan pada antera jeruk Keprok Batu 55 kalus sudah terbentuk pada minggu
kedua setelah tanam berkisar 9,9% dengan formulasi media MT + 3mg/l BAP +
500 mg/l ekstrak malt (padat).
Gambar 12. Respon antera jeruk Siam: A. Membengkak, B. Mengkalus
4.3 Induksi Kalus pada Antera Jeruk Pamelo
Antera jeruk Pamelo mempunyai ukuran yang lebih panjang dibandingkan
dengan ukuran antera jeruk keprok Batu 55 dan jeruk Siam. Antera jeruk Pamelo
yang telah diberikan zat pengatur tumbuh berupa kombinasi BAP dan NAA akan
memberikan respon yang berbeda dengan antera jeruk keprok Batu 55 dan jeruk
Siam yang telah diberikan BAP dan 2.4-D. Benzyl Adenine (BA) merupakan zat
pengatur tumbuh jenis sitokinin yang sudah banyak digunakan dalam kultur
jaringan. Mariska et al. (1987) menyatakan BAP merupakan zat pengatur tumbuh
sintetik yang mempunyai daya rangsang yang lebih lama dan tidak mudah
dirombak oleh sistem enzim dalam tanaman.
B A
38
Tabel 6. Induksi Kalus pada Antera Jeruk Pamelo
Umur Kultur Media 3mg/l BAP
(MST) dan NAA (mg/l)
Respon Antera
membengkak berkalus
∑ (%) (%)
2 MST
1 1.7 (30,6) 0
2 1,3 (17,3) 0
3 1,5 (21,3) 0
4 MST
1 2,4a (44,0) 0
2 1,4b (26,7) 0
3 1,7b (32,0) 0
6 MST
1 3,0a (53,3) 0
2 1,7b (34,7) 0
3 1,6b (32,0) 0
8 MST
1 3,4a (58,7) 2,6
2 2,2b (42,7) 0
3 2,1b (40,0) 0
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap umur yang diamati
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uju DMRT 5%. MST: Minggu Setelah Tanam
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 6) terlihat bahwa pemberian
kombinasi 3 mg/l BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh pada peubah respon
antera membengkak pada pengamatan minggu ke 2 setelah tanam. Pengaruh baru
terlihat pada pengamatan 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Tingginya respon
antera yang membengkak pada penambahan 1 mg/l NAA disebabkan karena
pemberian 1mg/l NAA dan 3 mg/l BAP merupakan kombinasi zat pengatur
tumbuh yang diinginkan oleh antera jeruk pamelo dalam perkembangannya. Hal
tersebut dapat dilihat dari tingginya respon antera jeruk Pamelo yang
membengkak sebanyak 57,7%, kemudian antera berkembang menjadi kalus 2,6%
(Gambar 13). Berbeda dengan perlakuan kombinasi 3 mg/l BAP dengan (2 dan 3)
mg/l NAA yang dianggap bukan merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh
yang diinginkan oleh antera pamelo dalam perkembangannya.
Asam naftalena asetat (NAA) merupakan senyawa dari golongan auksin
yang mampu menginduksi terjadinya pembengkakan sel dan elongasi pada
jaringan. Kalus mulai terbentuk pada minggu ke 8 pada media kombinasi 3 mg/l
BAP dengan 1 mg/l NAA. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk
kalus diduga karena jeruk pamelo mempunyai dinding antera yang lebih tebal
39
mengakibatkan susahnya mikrospora untuk menyebabkan pecahnya dinding
antera.
Penambahan BAP dan NAA secara kombinasi pada dasarnya telah
berhasil dilakukan terhadap induksi kalus pada beberapa spesies tanaman.
Wulandari et al. (2004) menyatakan bahwa kombinasi 10 mg/l NAA dan 10 mg/l
BAP mampu menginduksi kalus dengan bobot basah tertinggi 0,25 gram pada
tanaman jeruk manis sedangkan perlakuan kontrol tidak mampu menginduksi
kalus. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian pada antera jeruk Pamelo.
Antera jeruk Pamelo yang telah diberikan kombinasi 3 mg/l BAP dan 1 mg/l
NAA memberikan respon paling baik dilihat dari jumlah antera yang
membengkak dan mengkalus. Namun kombinasi media tersebut tidak mampu
menginduksi terbentuknya embrio secara langsung pada antera jeruk Pamelo.
Savaskan (1999) mengatakan bahwa media terbaik untuk menginduksi
terbentuknya embrio tanaman Barley pada kultur antera terdiri dari kombinasi 2
mg/l NAA dan 1 mg/l BAP. Pemberian 1 mg/l NAA merupakan media terbaik
untuk menginduksi kalus embriogeni pada kultur antera jeruk Trovita (Hidaka
1984).
Gambar 13. Respon antera pamelo: A. Mengkalus, B. Perbesaran dengan
mikroskop
B A
40
5. Analisis kromosom
Tingkat ploidi kalus jeruk keprok Batu 55 diketahui melalui analisis
kromosom. Berdasarkan hasil pengamatan kromosom menurut metode
praperlakuan lengkap (Sastrosumarjo 2006), diketahui bahwa kalus yang
dihasilkan merupakan kalus haploid yang berasal dari mikrospora jeruk keprok
Batu 55. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kromosom kalus yang dihasilkan
adalah sebanyak 9. Jumlah kromosom tersebut merupakan setengah dari jumlah
kromosom tanaman normal pada jeruk Keprok Batu 55 (2n=2x=18).
Jumlah kromosom kalus yang berasal dari jeruk Keprok Batu 55 dapat
diamati dengan jelas, sedangkan jumlah kromosom kalus jeruk keprok Garut,
jeruk Siam dan Pamelo tidak dapat diamati. Jumlah kromosom tidak dapat diamati
kemungkinan karena sampel yang digunakan (kalus dan antera membengkak)
sudah tidak bersifat meristem, ditandai dengan warna kalus dan antera yang
berwarna kecoklatan. Hal tersebut sesuai dengan analisis kromosom dengan
menggunakan akar. Akar yang digunakan untuk analisis kromosom adalah akar
yang bersifat meristem atau akar yang masih aktif melakukan pembelahan
mitosis, letaknya berada pada ujung akar. Apabila sampel yang digunakan berasal
dari jaringan yang sudah tua, maka kromosom sudah tidak dapat diamati.
Perbedaan jumlah kromosom pada tanaman jeruk diploid dengan jumlah
kromosom jeruk haploid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan kromosom jeruk diploid dan haploid (A. Kromosom
diploid, B. Kromosom haploid).
B A
41
PEMBAHASAN UMUM
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera
adalah perkembangan inti mikrospora. Mikrospora yang responsif untuk
membentuk kalus atau embrio haploid adalah mikrospora yang berada pada fase
uninukleat akhir (Datta 2005). Fase uninukleat akhir ditandai dengan keberadaan
inti berada di tepi. Mikrospora yang berada pada fase uninukleat akhir merupakan
fase transisi dalam siklus sel, sehingga peka terhadap cekaman. Perkembangan
inti mikrospora ditandai dengan perubahan morfologi bunga melalui
bertambahnya ukuran sepal dan petal bunga.
Bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam mempunyai
perkembangan inti mikrospora yang hampir sama. Persentase uninukleat tertinggi
pada ketiga jenis jeruk tersebut berada pada bunga ukuran sedang dengan
perbandingan ukuran sepal : petal (1:4 – 2:6)mm berkisar 78,2 – 91,4% pada
bunga jeruk keprok Garut, 78,2 – 91,4% pada bunga jeruk keprok Batu 55, dan
79,4 – 90,5 % pada bunga jeruk Siam. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Kosmiatin et al. (2009) pada bunga jeruk keprok Garut, dimana bunga jeruk
keprok dengan ukuran mahkota kuncup bunga antara 5-6 mm, memiliki
persentase mikrospora dengan inti tunggal terbanyak yaitu berkisar antara 84,05 –
100%.
Jeruk Pamelo mempunyai ukuran kuncup bunga yang lebih panjang
dibanding ketiga jenis jeruk (keprok Garut, keprok Batu 55, dan jeruk Siam),
sehingga mempunyai perkembangan mikrospora yang berbeda. Persentase
mikrospora uninukleat tertinggi (78,2 – 85,4)% pada bunga jeruk Pamelo berada
pada bunga ukuran sedang dengan perbandingan ukuran sepal : petal (6:14 – 6:17)
mm. Dengan diketahuinya perkembangan inti mikrospora tersebut dapat
memudahkan teknis pelaksanaan kultur antera jeruk, karena ketepatan fase
perkembangan mikrospora merupakan salah satu parameter yang penting untuk
keberhasilan kultur antera jeruk (Chuong et al. 1988).
Kuncup bunga yang mempunyai mikrospora pada tahapan uninukleat
tertinggi diberi praperlakuan suhu dingin (10oC) dengan tujuan untuk pembelokan
jalur perkembangan gametofitik menuju jalur perkembangan sporofitik.
42
Berdasarkan hasil pengamatan pada antera jeruk keprok Garut yang telah diberi
praperlakuan suhu dingin (10oC) selama (1, 3, 5, dan 7) dan ditanam pada media
MT + 10 mg/l Pikloram + 500 mg/l ekstrak malt, diketahui tidak terdapat antera
yang mampu membentuk embrio, dan persentase terbentuknya kalus jeruk juga
masih rendah. Ketidak mampuan mikrospora membentuk embrio kemungkinan
karena kombinasi praperlakuan suhu dingin dan komposisi media yang kurang
tepat untuk perkembangan antera jeruk keprok Garut. Kemungkinan lain karena
tanaman jeruk mempunyai dinding antera yang tebal, sehingga dinding antera
tidak mudah untuk pecah.
Disamping fase perkembangan mikrospora dan praperlakuan sebelum
kultur antera, media juga merupakan faktor yang memperngaruhi tingkat
keberhasilan kultur antera. Optimasi media dilakukan untuk mendapatkan kalus
dengan jumlah yang banyak. Auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur
tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi
pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan (Wulandari 2004). Antera
yang responsif terhadap media mengalami perubahan secara morfologi yang dapat
diamati melalui membesarnya ukuran antera. Media yang digunakan untuk
menginduksi kalus jeruk keprok Batu 55 adalah media MT + 3 mg/l BAP + 500
mg/l ekstrak malt dengan perlakuan jenis media (padat, cair, padat + cair). Media
yang paling berpengaruh terhadap respon antera adalah jenis media padat. Hal
tersebut kemungkinan karena komposisi media padat mempunyai konsentrasi hara
makro dan mikro yang tidak berlebihan untuk perkembangan antera, sedangkan
pada media dua lapis terdapat komposisi media hara makro dan mikro yang
berasal dari media padat dan media cair sehingga konsentrasinya berlebihan.
Budiana 2010 menyatakan pada media dua lapis dibutuhkan komposisi media
hara makro dan mikro yang lebih sederhana, tetapi mempunyai kandungan
vitamin yang lengkap. Pada induksi kalus antera jeruk jeruk Siam dengan
komposisi media MT + 3,5,dan 7 mg/l 2,4-D + 500 mg/l ekstrak malt diperoleh
bahwa pemberian 3 mg/l 2,4-D merupakan media yang paling diinginkan oleh
antera jeruk Siam untuk membentuk kalus (1,6%). Sementara pada antera jeruk
Pamelo diberi kombinasi media 3 mg/l BAP dan 1, 2, 3 mg/l NAA. Persentase
kalus tertinggi diperoleh pada media MT + 3 mg/l BAP + 1 mg/l NAA sebanyak
43
2,6%. Rendahnya persentase kalus kemungkinan karena komposisi media yang
kurang tepat dan sumber karbon atau konsentrasi glukosa (3%) yang tidak sesuai
untuk perkembangan antera. Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya produksi
kalus pada kultur antera jeruk adalah karena dinding antera pomelo mempunyai
ukuran yang lebih tebal dan susah untuk pecah, sehingga mikrospora tidak mampu
keluar dan berinteraksi langsung dengan media.
44
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Ukuran bunga sedang dengan perbandingan ukuran sepal:petal (1:4 – 2:6) mm
pada bunga jeruk keprok Garut, keprok Batu 55, jeruk Siam dan (6:14 –
6:17)mm pada bunga jeruk Pamelo mempunyai mikrospora uninukleat paling
tinggi.
2. Prapelakuan lama penyimpanan 5 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk
menginduksi kalus antera jeruk keprok Garut.
3. Persentase kalus jeruk keprok Batu 55 tertinggi dihasilkan pada media padat
(MT + 3mg/l BAP + 500mg/l ekstrak malt), jeruk Siam pada media MT + 3
mg/l 2,4-D + 500 mg/l ekstrak malt dan untuk jeruk Pamelo pada media MT +
3 mg/l BAP + 1 mg/l NAA + 500 mg/l ekstrak malt.
4. Kalus yang dihasilkan dari antera jeruk keprok Batu 55 merupakan kalus yang
berasal dari mikrospora karena mempunyai jumlah kromosom sebanyak 9,
sedangkan kromosom yang berasal dari kalus jeruk Keprok Garut, jeruk Siam
dan jeruk Pamelo tidak dapat diamati.
SARAN
Regenerasi kalus antera jeruk keprok Garut, keprok Batu55, jeruk Siam,
dan jeruk Pamelo perlu dilakukan untuk mendapatkan tanaman haploid
45
DAFTAR PUSTAKA
Ayed OS, Buyser JD, Picard E, Trifa Y, Amara S. 2010. Effect of pre-treatment
on isolated microspores culture ability in durum wheat (Triticum
turgidum subs. durum). Journal of Plant Breeding 2: 030 – 038
Badan Pusat Statistik. 2010
Bajaj YP. 1983. In Vitro Production of Haploids. London: Kluwer Academic
Publishers.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan
Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Balitbangtan Deptan. Jakarta
Bhojwani SS, Razdan MK. 1993. Plant Cell Tissue Culture. Amsterdam: Elsevier
Bourgin JP, Nitsch JP. 1967. Obtention de nicotiana haploides a partir d‟etamine
cultivees in vitro. Physiol 114: 75 -78
Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik mikrospora kedelai melalui kultur
antera pada sistem media dua lapis [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Chapot H. 1975. Citrus Technical Monograph. Ciba-Geigy: Agrochemical
Chen Z. 1985. A study on induction of plants from Citrus pollen. Fruit Varieties
39: 44–50
Chu CC. 1978. The N6 medium and its applications to anther culture of cereal
crops. Science Press 54: 43 - 50
Chuong PV, Deslauriers C, Kott LS, Beversdorf WD. 1988. Effect of donor
genotype and bud sumpling on microspore culture of Brassica napus.
CJ Bot 66: 1653 – 1657
Croughan TP. 1995. Anther Culture for Double Haploid Production. New York:
Cambridge University Press
Datta KS. 2005. Factors controlling development and its application in crop
improvement for androgenic haploids. Current Science 89: 1870 – 1878
Deng ZA, Xiao SY, Zhang WC. 1992. Pollen derived plantlets from anther culture
of Ichang papeda hybrids and trifoliate orange. Hort. Sci: 190–192.
Dewi I, Purwoko B. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan
tanaman padi. Bul. Agron. 29: 59 – 63
Drira N, Benbadis A. 1975. Anther culture of Citrus sinensis. Biotechnology 28:
132–140.
46
Dunwell JM. 1996. In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Netherlands:
Kluwer Academic Publishers.
Dus UR, Hadiuzzaman S, Sakker H. 2002. Effects of microspore stage, pre- and
post temperature and donor‟s environtment on maize (Zea mays L.)
anther culture response. Plant Tissue Cult. 12: 37-47.
Ferrie AMR, Keller WA. 1995. Microspore culture for haploid plant production.
Biotechnology. 155-164
Froelicher Y, Ollitrault P. 2000. Effects of the hormonal balance on Clausena
excavate androgenesis. Acta Horticulturae 535: 139–146
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue culture. England:
Exegetics Limited
Geraci G, Starrantino A, Recupero, Ruso F. 1982. Spontaneous triploidy in
progenies of monoembryonic hybrids of Clementine „Commune x King
of Siam‟. Genet Agri 36: 113–8
Geraci G, Starrantino A. 1990. Attempts to regenerate haploid plants from in vitro
cultures of Citrus anthers. Acta Horticulturae 280: 315–320
Germana MA, Chiancone B. 2003. Gynogenetic haploids of Citrus after in vitro
pollination with triploid pollen grains. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 66: 59–66
George EF, Hall M, Klerk G. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture.
Netherlands: Springer
Gioi, Tanh D, Vuong D. 2002. Effect of different media and genotypes on anther
cultre efficiency of F1 plants drived from crosses between IR64 and
new plant type rice cultivars. Omorice 10: 107-109
Guha S, Maheswari SC. 1966. Cell Division and Differentiation of Embryos in
the Pollen Grains of Datura In Vitro. London: Nature
Gunawan L. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Institut Pertanian Bogor
Heberle BE. 1999. Isolated pollen culture in Tobacco. Plant Reprod 2 : 1-10.
Helmiyesi H, Rini P, Erma S. 2009. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar
gula dan vitamin C pada buah jeruk Siam (Citrus nobilis
var.microcarpa). Anatomi dan fisiologi 16: 33-37.
Hidaka T. 1984. Induction of plantlents from anthers of Trovita orange (Citrus
sinensis Osbeck). Hort. Sci 53:1-5
47
HidakaT. 1987. Effects of sucrose concentration, pH of media, and culture
temperature on anther cultureof Citrus sp. Japan Journal of Breeding
34: 416–422
Hoque A, Kumar Biswas M, Alam S. 2007. Variation of callus through anther
culture in water chesnut (Trapa sp.). Turkey Jounal Biology 31: 41-45.
Hu H, Zeng J. 1984. Development of New Varietas via Anther Culture. New
York: Worth Publisher
Immonen S, Antilla H. 1999. Cold pretreatment to enhance green plant
regeneration from rye anther culture. Biotechnology 57: 121-127
Indrianto A, Endang S, Surifah F. 2004. Produksi galur murni melalui induksi
embriogenik mikrospora cabai merah dengan stres. Zuriat 15: 133-139
Karjadi AK, Buchory A. 2007. Pengaruh komposisi media dasar, penambahan
BAP dan pikloram terhadap induksi tunas bawang merah. J.Hort. 18 :
1-9
Karsinah, Sudarsono, Setyobudi L, Aswidinnoor H. 2002. Keragaman genetik
plasma nutfah jeruk berdasarkan analisis penanda RAPD. Jurnal
Bioteknologi Pertanian 7: 8-16
Khan I. 2007. Citrus Genetics, Breeding, and Biotechnology. London:
Oxfordshire
Kosmiatin M, Purwito A, Husni A. 2009. Induksi kalus pada antera jeruk Keprok.
Prosiding Simposium dan Kongres PERIPI V1: 475-484.
Kyo M, Harada H. 1986. Control of the development pathway of tobacco in vitro.
Planta 168: 427–432.
Lentini ZP, Reyes CP, Roca WM. 1995. Androgenesis of highly recalcitrant rice
genotypes with maltose and silver nitrate. Plant Science 110: 127-138.
Ling J, Iwamasa M, Nito N. 1988. Plantlet regeneration by anther culture of
Calamondin (C. madurensis Lour). Japan Journal of Breeding 38: 312–
320.
Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I. 2003. Doubled Haploid
Production in Crop Plants. London: Kluwer Academic Publishers
Mariska I, Gati E, Sukmadjaya D. 1987. Kultur masa tunas dan tangkai daun pada
tanaman Geranium secara in vitro. Teknologi Pertanian 13: 41-45.
Marlina M. 2009. Teknik perbanyakan Lili dengan kultur jaringan. Teknologi
Pertanian 14: 6-8.
48
Martasari C, Hardiyanto H. 2003. Teknik identifikasi varietas jeruk. Balai
Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika. 10: 6 – 12.
Martosupono M, Semangun H, Sunbanu BY. 2007. Budidaya Jeruk Keprok Soe
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. AGRIC 18: 87 – 102
Morrison RA, Evans DA. 1988. Haploid plants from tissue culture. Biotechnology
6: 684 - 690.
Munarso K, Yuniati P, Dewi I, dan Suwarno. 2008. Regenerasi tanaman dengan
kultur antera beberapa persilangan padi hibrida. Penelitian pertanian
tanaman pangan 27: 15 - 17.
Muswita. 2003. Kultur anter dan analisis tanaman cabai (Capsicum annum L.)
haploid dan dihaploid [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Nasir M. 2002. Bioteknologi dan Molekuler. Yogyakarta: Kanisius
Novak FJ, Havel L, Dolezel J. 1986. Handbook Plant Cell Culture. New York:
Chapman & Hall.
Palmer CE, Keller WA. 1997. Pollen Embryos. Dalam: Sowhney VK, Shivanna
KR. Pollen Biotechnology For Crop Production and Improvement.
USA: Cambridge Univ
Prahardini I, Sudaryono T. 1992. Induksi kalus pada antera pepaya. Teknologi
Pertanian 13: 10 - 15.
Purwanto E, Endang Y, Djati W. 2003. Keragaman plasma nutfah jeruk besar
(Citrus maxima Merr) berdasarkan karakter morfologi. Bioteknologi
Pertanian 7 : 13 – 17
Raven PH, Evert RF, Eichhorn SE. 1992. Biology of Plants. New York: Worth
Publisher
Read PE. 1990. Environtment Effects in Micropropagation dalam: Zulkarnain.
2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara
Sangwan RS, Norreel BS. 1996. Cytological and Biochemical Aspects of In Vitro
Androgenesis in Higher Plants. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers.
Sastrosumarjo S. 2006. Sitogenetika Tanaman. Institut Pertanian Bogor
Savaskan C, Sjarejko I, Toker M. 1999. Callus production and plant regeneration
from anther culture of some turkish Barley cultivars. Journal of Botany
23: 359 – 365
49
Septiani P. 2008. Perkembangan mikrospora dan induksi pembelahan sporofitik
pada kultur antera kelapa sawit [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Shirdelmoghanloo H, Moieni A, Mousavi A. 2009. Effect of embryo induction
media and pretreatments in isolated microspore culture of hexaploid
wheat (Triticum aestivem L. Cv. Falat). African Journal of
Biotechnology 8: 6134 - 6140
Somantri IH, Ambarwati DA. 2001. Kultur antera, teknik penyelamatan embrio
dan rekayasa genetik untuk menunjang pemuliaan tanaman padi. Bul.
Agron. 29: 94 - 99
Sugiri, Anton M. 2006. Pembentukan kalus embrioid kultur ovary pisang melalui
beberapa komposisi media kultur. Makalah individu, semester genap
2005 pengantar falsafah Sains (PPS702) program S3 : 1-8.
Sukarmin. 2008. Teknik perbanyakan berbagai macam setek daun jeruk varietas
JC (Japanche citroen). Teknik Pertanian 13: 59 - 61.
Sumaryono, Riyadi I. 2005. Pertumbuhan biak kalus dan suspensi sel tanaman
kina (Cinchona ledgeriana Moens). Menara Perkebunan. 73: 1 - 11.
Sunderland N, Roberts M. 1979. Cold pretreatment of excised flower buds in float
culture of tobacco anthers. Oxford Journals 43: 405 - 414
Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Yogyakarta :Kanisius
Syahid, Fatimah S dan Kristina N. 2007. Induksi dan regenerasi kalus keladi tikus
(Typonium flagell). Jurnal litri. 13: 142-146.
Taji A, Kumar P, Lakshmanan A. 2002. In vitro Plant Breeding. New York.
Haworth Press
Tang Y, Huanxiu L, Bin L, Hong L. 2007. Callus formation from anther culture in
balsam pear (Momordica charantia L.). Agric. Sci 6: 308-312.
Thomas E, Davey MR. 1975. From Single Cell to Plants. London: Wykehem
publication.
Touraev A, Vicente O, Bors H. 1997. Initiation of microspore embryogenesis by
stress. Plant Sci. 2: 298–300.
Tsay H. 1982. The microspore development and haploid embriogenesis of anther
culture with five nitrogen doses to the donor tobacco plants. Agris
China 31: 001 – 013
50
Van Steenis CG. 1975. Flora Voor de Scholen. New York: Haworth Press
Wahidah B. 2010. Pengaruh cekaman pelaparan dan suhu tinggi terhadap induksi
embriogenesis mikrospora tembakau. Jurnal Biologi 14: 1 - 6
Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor
Webber HJ. 1967. History and Development of the Citrus Industri. New York:
Oxfordshire UK.
Wehr B, Wenzel G. 1993. Andro and Parthenogenesis. London: Chapman & Hall
Wulandari S, Syafii W, Yossilia. 2004. Respon eksplan daun tanaman jeruk manis
(Citrus sinensis L.) secara in vitro akibat pemberian NAA dan BA.
Jurnal Biogenesis 1: 21 - 21
Zagorska NA, Shtereva A, Dimitov BD, Kruleva MM. 1998. Induced
androgenesis in tomato (Lycopersicon esculentum Mill). Plant cell 17:
968 - 975.
Zapta FJ. 1990. Tissue Culture Tehniques. Philippines
Zhang C, Qifeng C. 1993. Genetic studies of rice (Oryza sativa L) anther culture
response. Plant cell 34: 177-182.
Zulkarnain H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara
51
LAMPIRAN
1. Komposisi media Murashige and Tucker (satuan dalam mg/L)
Senyawa
Konsentrasi
dalam media
MT(mg/L)
Konsentrasi
dalam larutan
stok (mg/L)
Volume yang
dipakai per liter
media (ml)
Makro 50
KNO3 1900 38000
NH4Cl - -
NH4NO3 1650 33000
(NH4 )2.SO4 - -
MgSO4.7H2O 180.54 3610
CaCl2.2H2O 332.02 6640
NaH2PO4.2H2O - -
K2HPO4 170.00 3400
KH2PO4 - -
KCl - -
Mikro 10
MnSO4.4H2O 16.90 1690
ZnSO4.7H20 8.600 860
CuSO4.5H2O 0.025 2,5
CoCl2.6H2O 0.025 2,5
KI 0.830 83
H3BO3 6.200 620
Na2MoO4.2HO 0.250 25
FeNaEDTA 36.70 3670 10
Myo inositol 100.00 10000 10
Vitamin
Nicotinic acid
-
-
1
Pyridoxine HCl 10.00 10000
Thiamine HCl 10.00 10000
Biotin - -
Folic acid - -
Nicotinamide 5.00 5000
pH
Gula
Phytagel
5.8 5,8
30.000mg
2.000mg