penanaman antera pepaya secara in vitro dalam usaha menghasilkan tanaman haploid

26
TOPIK 8 PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID Disusun Oleh : Galvan Yudistira (A24070040)

Upload: ivan-ara

Post on 15-Jun-2015

1.469 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

TOPIK 8

PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA

MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

Disusun Oleh :

Galvan Yudistira (A24070040)

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Page 2: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pepaya merupakan tanman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang

berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Meksiko

dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanamn orang , baik di sekitar daerah

tropis maupun subtropis. Didaerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah

dataran dan pegunungan (sampai 1000 mdpl). Buah pepaya merupakan buah meja

bermutu dan bergizi yang tinggi (Prihatman, 2000).

Dalam bidang bioteknologi, teknologi kultur antera sudah lama

dikembangkan sebagai bagian dari teknik kultur jaringan. Melalui cara ini,

tanaman diperoleh dari antera tanaman sehingga mengalami sebagian dari siklus

generatif tetapi tidak melalui persilangan antara tetua jantan dan betina. Tanaman

yang dapat dihasilkan melalui cara ini antara lain adalah tanaman haploid ganda,

yaitu tanaman homozigot dengan sifat bawaan dari induk asal antera. Dengan kata

lain, hanya dengan satu kali siklus perkawinan diikuti dengan teknik kultur antera

dapat langsung diperoleh galur yang stabil (Anonim, 2006).

Teknik untuk menginduksi haploidi mulai dikembangkan sejak Bergener

pada tahun 1921 menemukan tanaman-tanaman haploid pada Datura stramonium.

Teknik tersebut dapat dikelaskan menjadi in-vivo dan in vitro. Metode in-vitro

meliputi kultur antera, kultur pollen, kultur ovul/ovari yang belum dibuahi, dan

eliminasi kromosom pada metode bulbosum (Poehlman dan Sleeper, 2005 dalam

Dewi I.S, 2003)

Untuk memperoleh galur tanaman haploid ganda dengan keragaman

genetik dan sifat-sifat agronomis yang diinginkan, maka tanaman dengan

heterozigositas tinggi (F1 atau F2 yang sudah diseleksi) dapat digunakan sebagai

sumber antera (Fehr, 1987 dalam Dewi, I.S., 2003). Dengan menggunakan kultur

antera, karakter kedua tetua dapat berkombinasi di dalam tanaman haploid ganda

yag berasal dari butir tepung sari tanaman F1 tersebut, sehingga galur murni

dengan homozigositas tinggi dapat diperoleh hanya dari satu generasi saja

(generasi awal/DHO). Karakteristik agronomis utama seperti hasil dan kualitas

biji dan sifat lain seperti toleransi terhadap cekaman biotik atau abiotik yang

Page 3: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

dikendalikan oleh gen minor dapat segera diefaluasi pada generasi DH1 dan DH2

(Chung, 1992; Li, 1992; Fehr, 1987 dalam Dewi, I.S., 2003). Karakter tanaman

haploid ganda tetap stabil dari generasi ke generasi, sehingga seleksi dapat

dilakukan langsung pada generasi awal (Zhang, 1989 dalam Dewi, I.S, 2003).

Proses seleksi yang dilakukan diantara tanaman haploid ganda yang

homogen dapat lebih efisien dibandingkan bila proses seleksi dilakukan diantara

turunan turunan yang heterogen, misalnya populasi F2 – F8 seperti pada

pemuliaan koonvensional, karena seleksi diantara tanaman haploid ganda untuk

karakter-karakter yang dikendalikan oleh alel domonan tidak disulitkan oleh

masalah membedakan individu diploid homozigos-domonan dengan heterozigos

(Fehr, 1987 dalam Dewi,I.S., 2003).

Karakter morfologi dan agronomi yang diamati pada populasi tanaman

haploid ganda generasi pertama (DH1) menunjukkan variasi. Ada yang serupa

dengan salah satu tetuanya , ada yang intermediete, ada yang melebihi kedua

tetuanya bahkan ada karakter baru yang tidak ditemukan pada kedua tetuanya

(Dewi, 2002 dalam Dewi,I.S., 2003). Kultur Antera sudah diakui sebagai

teknologi yang cepat dan sangat efisien dalam perbaikan tanaman (Li, 1992;

Chung, 1992 dalam Dewi,.I.S., 2003).

Wattimena (1992) dalam Sasmita (2001) mengemukakan bahwa antera

adalah kultur yang menghasilkantanaman haploid yaitu tanamn yang mempunyai

jumlah kromosom sama dengan kromosom gamet. Tanaman haploid diperoleh

melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang-ulang spora monoploid

baik dari mikrospora atau butir tepung sari yang masih muda.

Jaringan dinding antera memainkan peranan sangat penting dalam induksi

awal pembelahan bakal spora dalam perkembangan polen (Sasmita, 2001)

Tanaman regeneran yang dihasilkan dari induksi kalus polen memiliki

ploidi yang berbeda (Sasmita, 2001). Chu (1982) dalam Sasmita (2001)

mengemukakan bahwa ploidi tanaman hasil induksi kalus polen terdiri atas x, 2x,

3x, 4x, dan 5x. Dikemukakan pula hasil analisis genetik menunjukkan bahwa 90%

progeni haploid ganda (dihaploid) dari hibrida hasil kultur antera adalah

homosigos. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman haploid ganda disebabkan

pengggandaan kromosom selama kultur, bukan berasal dari sel-sel somatik.

Page 4: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

Banyak faktor yang mempengaruhi ploidi tanaman hasil regenerasi dari kultur,

yaitu pertumbuhan mikrospora pada saat kultur, perlakuan awal secara alami,

genotipa tanaman donor, komposisi media kultur, dan umur tanaman.

Tanaman haploid dan dihaploid dapat memperlihatkan perbedaan

morfologis yang nyata. Tanaman haploid ditandai dengan tidak adanya ligule dan

auricle, jumlah tiller yang hampir dua kali lebih banyak, serta ukuran tinggi

tanaman , panjang panicle dan panjang daun sekitar 60-70% dari tanaman diploid,

Tanaman haploid yang dihasilkan dari kultur antera tidak dapat mgnhasilkan biji.

Untuk keperluar pemuliaan tanaman, tanaman haploid harus dibuat di

haploiduntuk memperbaiki fertilitasnya. Penggandaan kromosom dapat dilakukan

dengan cara merendam akar dan buku-buku dari anakan di dalam larutan colchicin

0,2% atau dengan cara diratun, yaitu dengan memangkas tanaman haploid setelah

berbunga 1-4 kali (Rush, 1981 dalam Sasmita, 2001).

Media kultur antera

Media kultur merupakan faktor kritis untuk keberhasilan pembentukan

tanaman haploid dari kultur antera. Media berperan untuk menyediakan hara yang

lengkap berupa unsur makro, undur mikro, karbohidrat, asam amino, vitamin dan

zat pengatur tumbuh yang diperlukan dalam proses pembelahan sel mikrospora

menjadi kalus.

Kebutuhan hara mungkin berbeda untuk induksi androgenesis dan untuk

pertumbuhan embrio (Wang dan Sun, 1974 dalam Sasmita, 2001). Level nitrogen

amonium di dalam media adalah faktor yang penting.

Sukrosa essensial untuk perkembangan tanaman androgenik, berfungsi

baik sebagai sumber energi maupun sebagai faktor osmotik, sehingga dapat

mempengaruhi keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman. Chen (1978)

dalam Sasmita (2001) melaporkan bahwa tingkat formulasi kalus dan

organogenesis selanjutnya emningkat dengan meningkatnya konsentrasi sukrosa

sari 3 hingga 9%, tetapi ini siasi kalus pada media dengan 9% sukrosa

meregenerasi lebih banyak plantlet albino. Suatu kombinasi 6% sukrosa dalam

Page 5: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

media induksi kalus dan 3% dalam media regenerasi tanaman memberikan

frekuensi tanaman hijau yang diregenerasikan paling tinggi.

Media regenerasi tanaman yang biasanya digunakan adalah media MS

(Murashige dan Skoog, 1962 dalam Sasmita, 2001). Niizeki (1997) dalam Sasmita

(2001) mengemukakan bahwa untuk meregenerasikan tanaman dari kalus yang

terbentuk sebaiknya digunakan media MS. Penambahan media yang lebih lengkap

seperti keseimbangan auksin-sitokinin perlu dilakukan untuk induksi tunas.

Masyhudi (1994) dalam Sasmita (2001) mengemukakan bahwa untuk

induksi kalus diperlukan ruang gelap total dengan tujuan menghindari proses

fotosintesis sehingga polen androgenik membelah dan membentuk kalus,

sedangkan untuk regenerasi diperlukan ruang terang dengan cahaya kuat (100-300

lux), agar kalus dapat tumbuh, dan berfotosintesis menjadi tanaman seutuhnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Antera

Dengan kemajuan teknik kultur jaringan, telah dilakukan berbagai usaha

untuk memperoleh tanaman hijau yang banyak melalui kultur antera, meskipun

demikian, tanaman hijau yang dihasilkan masih rendah, terutama pada kultur

antera indica (Chu et al)., 2000; Masyhudi, 1997; Dewi et al., 1994; Chung, 1992;

Li, 1992; Sun dan Zhao, 1992; Zhang, 1992;Zeigler, et al., 1992; Zapata et al.,

1983; Rush, 1981 dalam Dewi,.I.S. 2003). Selain faktor genotipa, beberapa faktor

lain baik fisiologi, fisik atau kimia juga mempengaruhi keberhasilan dalam

mendapatkan tanaman hijau melalui kultur antera.

Induksi kalus dan regenerasi tanaman dipengaruhi terutama oleh kultur

teknik, walaupun keduanya ada dibawah kontrol genetik. Frekuensi induksi kalus

dan pembentukan tanaman hijau dikendalikan oelh banyak gen (gen

minor/poligenik). Oleh karena itu, genotipa tanaman mempunyai peran penting

dalam menentukan frekuensi pembentukan tanaman melalui kultur antera

(Masyhudi et al., 1997; Mashudi dan Rianawati, 1995; Razdan, 1993;Cheung,

1992 dalam Dewi,.I.S. 2003).

Tanaman donor antera harus ditanamn dalam lingkungan yang optimum

untuk pertumbuhan. Terjadinya tanggap antera yang berbeda dapat diidentifikasi

Page 6: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

diantara musim tanaman yang berbeda. Perbedaan tersebut nungkin disebabkan

oleh perbedaan kondisi fisiologis yang diakibatkan oleh variabel suhu, panjang

hari, dan intensitas cahaya (Chung, 1992 dalam Dewi,.I.S. 2003). Menurut Zhang

(1992) dalam Dewi,.I.S. (2003) penanaman sebaiknya dilakukan di rumah kaca,

walaupun peampakannya kurang vigor dibandingkan dengan yang ditanam

dilapang. Untukmenghindari cekaman selama perkembangan pollen dapat

diberikan tambahan hara.

Tahap perkembangan butir tepung sari pada saat pengambilan antera dan

saat dikulturkan merupakan saat paling kritis di dalam menentukan keberhasilan

kultur antera. Tahap perkembangan butir tepung sari yang optimum untuk kultur

antera adalah pada tahap pertengahan sampai akhir uninukleat (Chung, 1992;

Zhang, 1992; Li, 1992;Sun and Zhao, 1992; Zapata et al., 1983). Kemampuan

untuk meregenerasikan tanaman berkurang pada kultur antera yag mengandung

butir serbuk sari pada tahap yang lebih lanjut akibat akumulasi butiran pati yang

menghambat pembelahan sel (Zapata et al., 1983 dalam Dewi,.I.E., 2003).

Praperlakuan pada malai antera dikulturkan terbukti dapat meningkatkan

perubahan mikrospora yang semula pada lintasan gametofitik menjadi sporofitik

atau androgenesis (Zapata et al., 1983 dalam Dewi,.I.E., 2003).

Sumber dan jumlah nitrogen, jenis asam amino, jenis dan konsentrasi

hormon dan perbedaan sumber karbon sangat penting dalam kultur in-vitro.

Berbagai macam media, seperti N6, Miller’S potato medium, He 5, B5, LS, dan

MS, sudah pernah dicoba untuk meregenerasikan tanman pada kultur antera

(Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E. 2003).

Suplai karbon sangat diperlukan dalam kultur in-vitro, karena eksplan atau

plantlet belum dapat memenuhi keperluan hidupnya melalui fotosintesis. Sukrosa

merupakan sumber utama karbohidrat pada medium (Dewi,.I.E., 2003)

Rasio auksin/sitokinin yang lebih tinggi diperlukan saat menginduksi kalus

dan sebaliknya saat meregenerasikan kalus menjadi tanaman. (Dewi,.I.E., 2003)

Untuk menginduksi kalus, kultur diinkubasi di runga gelap pada suhu 25 ±

2°C. Demikian pula untuk meregenerasikan kalus diperlukan suhu yang sama

dengan saat induksi, tetapi kultur ditempatkan di ruang gelap (Chung, 1992;

Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E., 2003). Pada antera yang tanggap, walaupun

Page 7: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

dinding sel jaringan akan berubah warna menjadi kecoklatan tetapi setelah 3-8

minggu antera akan membuka karena adanya tekanan dari kalus atau embrioid

yang sedang tumbuh dari polen (Rezdan, 1993 dalam Dewi,.I.E., 2003)

Umur kalus, yaitu lamanya waktu (hari) sejak kalus diinduksi sampai

kalus dipindahkan ke mediu regenerasi, menentukan frekuensi regenerasi. Kalus

yang berada lebih dari 30 hari dalam media induksi akan menghasilkan tanaman

albino (Chung, 1992; Zheng, 1992). Hal ini diakibatkan oleh aksi auksin

penginduksi kalus yang berlangsung lebih lama.

Banyak peneliti melaporkan ukuran kalus yang dipindahkan ke media

regenerasi juga menentukan keberhasilan regenerasi tanaman hijau (Yoshida,

1995; Chung, 1992; Li, 1992; Zhang, 1992 dalam Dewi,.I.E., 2003). Kalus yang

berukuran 1-2 mm merupakan kalus yang terbaik untuk segera dipindahkan ke

mesium regenerasi. Tanaman haploid ganda lebih banyak didapati ketika ukuran

kalus sekitar 1-1,2 mm (Yoshida, 1995), sedangkan kalus berukuran 2 mm lebih

banyak menghasilkan tanaman haploid (Yoshida, 1995; Li, 1992 dalam

Dewi,.I.E., 2003). Kalus yang berukuran lebih kecil dari 1mm akan sukar

beregenerasi atau mati (Li, 1992).

Tanaman yang dihasilkan melalui kultur antera dapat berupa tanaman

haploid, haploid ganda spontan, poliploid, mixopoid, dan aneuploid. Perbedaan

morfologi tanaman haploid, haploid ganda (spontaneous doubled haploid),

poliploid, mixopoid dan aneuploid menurut Zhang (1992) adalah sebagai berikut:

1. Tanaman haploid. Dibandingkan dengan tanaman diploid, pada umumnya

tanaman haploid lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta

tidakmempunyai ligula dan aurikel. Panjang dan lebar daun, demikian juga

malai dan glumennya lebih kecil. Tanaman berbunga, tetapi tidak berbiji

(steril).

2. Tanaman haploid ganda (dihaploid atau diploid). Tanaman ini mempunyai

morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Populasi regeneran

selanjutnya akan tetap homozigous dan homogen, tidak bersegregasi.

3. Tanaman mixopoid adalah suatu tanaman yang mempunyai bagian haploid

dan diploid sekaligus. Bagian tanaman yang diploid dapat juga terjadi

Page 8: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

diantara anakan, cabang malai dan bahkan pada spikelet secara individual

dari tanaman yang haploid.

4. Tanaman yang poliploid ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang

terlalu tergar (vigorous), daun yang lebih tebal, stomata yang lebih besar,

dan biji yang lebih besar serta berbulu (pubescent) dengan duri (awn) yang

pendek. Laju pembentukan biji rendah dan regeneran mempunyai sifat-

sifat yang serupa dengan generasi tanaman pertamanya.

5. Tanamn yang aneuploid serupa denagn tanaman diploid. Pertumbuhannya

tegar dengan daun yang tegak serta anakan yang lebih banyak. Ukuran

glumennya sama dengan tanamn diploid atau bahkan sedikit lebih besar.

Tanaman ini semi atau steril penuh. Biji cenderung mudah rontok. Laju

pembentukan biji lebih rendah dari progeninya.

Beberapa keuntungan menggunakan kultur anter menurut Snape (1989)

dalam Suhartini (2004) antara lain mengurangi biaya penelitian , meningkatkan

efisiensi produksi, menambah variasi genetik yang aditif sehingga menambah

sifat-sifat unggul. Menurut Shape (1989), Suhartini dan Hanarida (2000) dalam

Suhartini, (2004) metode kultur anter juga dapat memperpendek siklus

pemuliaan. Sedangkan keuntungan lain adalah dapat mempercepat perolehan

galur murni melalui tanman haploid ganda langsung pada generasi pertama,

sehingga biaya untuk tenaga kerja, sewa lahan, dan waktu pemuliaan lebih hemat

dibandingkan pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996; Sanint et al. 1996 dalam

Dewi et al. 2004). Keuntungan tersebut akan tercapai apabila dapat mengatasi

beberapa masalah yang sering ditemui, antara lain daya induksi dan regenerasi

kalus yang renadah, media kultura yang tepat serta faktor nonteknis yang sulit

dihindari. Dari penelitian yang dilakukan di Balitbio pada MT 1996 hingga MT

1998 diketahui bahwa siklus pemuliaan dengan metode kultur anter menjadi lebih

pendek. Untuk memperoleh galur yang diploid homozygote melalui kultur anter

diperlukan waktu tiga musim, sedangkan melalui metode konfensional mencapai

delapan musim (Suhartini 1997c dalam Suhartini 2004). Untuk memperoleh

tanaman hijau atau plantlet (generasi H0) melalui kultur anter pada empat

kombinasi hibrida F1 dibutuhkan waktu 1 tahun sejak pertanaman F1. Bila

Page 9: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

dihitung dari mulai persilangan, waktu yang diperlukan untuk memperoleh

tanaman yang homozygote adalah tiga musim.

Sedangkan kelemahan penggunaan kultur antera dalam pemuliaan

tanaman padi diantaranya adalah genotip tetua memiliki daya kultur yang berbeda,

diperoleh regenerasi tanaman albino. (Bakhtiar, 2007).

B. Tujuan

Tujuan percobaan ini adalah melatih mahasiswa untuk mengisolasi antera

dari bunga dan menanam antera secara in vitro untuk mendapatkan tanaman

haploid.

Page 10: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada 7 November 2009 s.d. 8 Desember 2009

di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan berupa kuncup bunga pepaya jantan pada

berbagai umur fisiologi. Media yang digunakan adalah media N6 (dari komposisi

Nitsch) + 0,5 mg/L NAA + 2 mg/L Kinetin + 30 g/L gula pada pH 6,5 dan alkohol

70%. Sedangkan alat yang digunakan adalah pinset, gunting, scalpel, Bunsen,

cawan petri, dan botol kultur.

C. Metode

Kuncup bunga jantan dipisahkan dari tanaman pepaya sesuai ukurannya

karena ukuran kuncup bunga berkorelasi dengan umur bunga. Kemudian kuncup

bunga disterilisasi dengan dicelupkan ke dalam alkohol 70% dan dilewatkan di

atas api Bunsen. Perlakuan ini dilakukan sebanyak dua kali. Kuncup bunga dibuka

dengan pinset dan korolanya dibuang secara hati-hati. Antera dilepaskan dari

tangkai bunga dan ditanam pada media kultur N6. Selanjutnya kultur antera

disimpan dalam gelap selama dua bulan untuk induksi pertumbuhan kalus antera

yang berasal dari kuncup bunga. Antera yang berasal dari kuncup bunga yang

berukuran sama dikulturkan dalam botol yang sama.

Pengamatan dilakukan terhadap ukuran bunga (panjang korola), jumlah

antera per bunga, dan warna antera, jumlah antera yang tetap kuning dan jumlah

yang coklat, jumlah kultur yang mengalami kontaminasi dan saat terbentuk kalus

dan jumlah antera yang membentuk kalus.

Page 11: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah hasil dari pengamatan terhadap kultur anter pepaya secara

in vitro tanggal 17 November 2009,

Tabel1. Jumlah Antera per Bunga dan Warna Antera

Kelompok Jumlah antera / bunga Warna antera

  Bk Bs Bb Bk Bs Bb

1 10 10 9 kuning kuning kuning

2 10 10 10 kuning kuning kuning

3 9 9 10 kuning kuning kuning

4 46 33 33 kuning kuning kuning

5 9 9 9 kuning kuning kuning

6 10 9 8 kuning kuning kuning

7 47 52 48 kuning kuning kuning

8 10 10 10 kuning kuning kuning

9 10 10 10 kuning kuning kuning

10 8,4 8 10 kuning kuning kuning

11 49 48 47 kuning kuning kuning

12 6 7 8 kuning kuning kuning

µ ± sd

18.7 ±

17.316

17.917 ±

16.517

17.667 ±

15.511 kuning kuning kuning

Keterangan : Bk = bunga kecil Bs = bunga sedang Bb = bunga besar

Tabel2. Saat Terbentuk Kalus

Kelompok Waktu terbentuk kalus

1 tidak terbentuk kalus

2 tidak terbentuk kalus

3 1 MST

4 tidak terbentuk kalus

5 tidak terbentuk kalus

6 tidak terbentuk kalus

7 tidak terbentuk kalus

Page 12: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

8 tidak terbentuk kalus

9 tidak terbentuk kalus

10 3 MST

11 Tidak terbentuk

12 tidak terbentuk kalus

µ ± sd 2 ± 1.4 MST

Tabel3. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Tetap Kuning

Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang tetap kuning

Simpan Bk Bs Bb

1 MST 32.083 ± 18.84 32.926 ± 19.081 31.583 ± 18.613

2 MST 26.583 ± 20.825 24.916 ± 21.513 24 ± 22.275

3 MST 13.75 ± 16.410 13.25 ± 18.926 15.25 ± 19.287

4 MST 8.667 ± 10.183 10.25 ± 14.046 9.75 ± 16.254

Tabel4. Rata- ratada Standar Deviasi Jumlah Antera yang Coklat

Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang coklat

Simpan Bk Bs Bb

1 MST 6.583 ± 13.310 5.75 ± 14.839 5.25 ± 13.811

2 MST 9 ± 14.097 6.333 ± 14.859 6.167 ± 14.057

3 MST 11.58 ± 15.228 9.167 ± 16.519 11.5 ± 16.390

4 MST 14 ± 16.370 11.333 ± 16.177 12.833 ± 18.004

Tabel5. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Terkontaminasi

Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang terkontaminasi

Simpan Bk Bs Bb

1 MST 4.333 ± 11.539 5.167 ± 14.364 1.416 ± 3.029

2 MST 5.167 ± 11.487 5.25 ± 14.334 4.416 ± 8.826

3 MST 6 ± 12.1355 7 ± 14.905 10.333 ± 16.587

4 MST 7.416 ± 14.323 7.167 ± 14.953 11.25 ± 17.965

Page 13: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

Tabel6. Rata- rata dan Standar Deviasi Jumlah Antera yang Membentuk Kalus

Umur Rata- rata dan standar deviasi jumlah antera yang membentuk kalus

Simpan Bk Bs Bb

1 MST 0 ± 0 0 ± 0 0.833 ± 2.886

2 MST 0 ± 0 0 ± 0 0.833 ± 2.886

3 MST 0.583 ± 2.021 0.833 ± 2.886 1.58 ± 3.70

4 MST 0.75 ± 2.598 0.916 ± 3.175 1.83 ± 4.303

Keterangan :

Bk : Bunga kecil

Bs : Bunga sedang

Bb : Bunga besar

Gambar1. Anter pepaya yang steril

Gambar2. Anter pepaya yang terkontaminasi cendawan

Pada percobaan ini rata- rata antera yang teramati berwana kuning sampai

pada 3 MST dan sisanya berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa anter yang

ditanam berasal dari bunga yang telah tua. Namun, pada 4 MST, rata- rata jumlah

antera yang berwarna coklat lebih banyak daripada rata- rata jumlah antera yang

berwarna kuning.

Page 14: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

Kebanyakan anter belum berkalus sampai akhir pengamatan. Namun, jika

dilihat dari rata- ratanya, ada antera mampu membentuk kalus pada 1 MST, yaitu

pada bunga besar. Dalam percobaan ini tidak didapatkan tunas yang tumbuh dari

kalus. Rata- rata hasil kalus yang dapat tumbuh dari eksplan termasuk sangat

kecil, yaitu kurang dari 2 kalus. Hal ini terjadi karena banyaknya eksplan yang

mati atau tidak tumbuh karena terkontaminasi cendawan dan adanya sel-sel yang

rusak. Tingginya tingkat kontaminasi ini terjadi karena kurang terampilnya

praktikan saat melakukan sterilisasi dan banyaknya eksplan yang tidak mampu

tumbuh akibat kerusakan sel saat sterilisasi berlangsung. Faktor lain yang

berperan pada rendahnya tingkat pertumbuhan kalus pada eksplan adalah media

yang digunakan. Media yang digunakan kemungkinan memiliki efek inhibitor dan

kekurangan ZPT. Efek inhibitor diakibatkan oleh agar-agar yang digunakan

sebagai bahan pemadat media. Dewasa ini diketahui bahwa agar-agar berpotensi

mengandung senyawa inhibitor androgenesis, sehingga eksplan tidak akan mampu

berkembang baik menjadi kalus maupun tunas. Pada pembentukan kalus zat

pengatur tumbuh yang diperlukan adalah dari golongan sitokinin. Kemampuan

anter untuk membentuk kalus juga dipengaruhi oleh jenis eksplan dari anter yang

masih muda atau telah matang. Anter yang telah matang lebih cepat membentuk

kalus.

Keberhasilan kultur anter ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satunya

adalah umur pada saat anter dikulturkan. Warna anter dapat digunakan sebagai

penanda umur fisiologi bunga.

Page 15: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kultur anther merupakan salah satu teknik kultur In Vitro yang dapat

mempercepat perolehan galur murni melaui tanaman haploid. Salah satu faktor

yang mempengaruhi keberhasilan kultur anter adalah umur anter, oleh karena itu,

munculnya kalus tercepat terjadi pada bunga papaya berukuran besar. Pada

praktikum ini tidak diperoleh tunas. Anter yang tua mempunyai tingkat

keberhasilan yang lebih tinggi

B. Saran

Praktikan hendaknya lebih memerhatikan kebersihan dalam melaksanakan

praktikum di laboratorium karena kemampuan praktikan dalam sterilisasi dalam

kultur anther masih rendah.

Page 16: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Bersama Memicu Perbaikan Padi Hibrida. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Vol. 28 No. 5 2006. Balai besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor

http://www.pustaka-deptan.go.id/ [10 Januari 2010]

Bakhtiar. 2007. Penapisan Galur Padi Gogo (Oryza sativa L.) Hasil KulturAntera

Untuk Ketengganan Aluminium dan Ketahanan Terhadap Penyakit Blas.

Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dewi,I.S., 2003. Peranan Fisiologis Poliamiin dalam Regenerasi Tanaan pada

Kultur Antera Padi (Oryza sativa L.). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor

Dewi, I.S., Purwoko, B.S., Aswidinnoor H., dkk. 2004. Kultur Antera Padi pada

Beberapa Formulasi Media yang Mengandung Poliamin.. Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor

dalam Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 9, No. 1, 2004, pp. 14-19

http://www.pustaka-deptan.go.id [10 Januari 2010]

Prihatman, Kemal. 2000. Pepaya (Carica papaya, L). Jakarta. Sistem Informasi

Manajemen Pembangunan di Pedesaan, BAPPENAS.

Sasmita, P. 2001. Klutur Antera Padi Gogo dan F1 Terpilih (Hasil Persilangan

Kultivar Dengan Aksesi Toleran Naungan). Tesis. Program Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Suhartini, Tintin. 2004. Perbaikan Varietas Padi untuk Lahan Keracunan Fe.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik

Pertanian, Bogor. dalam Buletin Plasma Nutfah Vol. 10 No. 1 Th. 2004

http://indoplasma.or.id [10 Januari 2010]

Page 17: PENANAMAN ANTERA PEPAYA SECARA IN VITRO DALAM USAHA MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID