hukum dan kebijakan land swap

34
K egelisahan dan berbagai pertanyaan pemegang izin HTI terkait permasalahan areal kerjanya yang terkena Fungsi Lindung Ekosistem Gambut terjawab sudah. Melalui PermenLHK No. P.40/Menlhk/ setjen/Kum.1/6/2017 tanggal 14 Juni 2017, diatur tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Terbitnya beleid ini tidak terlepas dari paket kebijakan Menlhk sebelumnya, yang mewajibkan pemegang izin HTI merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) ketika areal kerjanya ditetapkan sebagai Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) Kewajiban revisi RKU – yang berdampak pada pengurangan luas areal efektif tanaman -- tak pelak menimbulkan tanda tanya besar terhadap keberlangsungan pasokan bahan baku ke industri. Beleid ini tampaknya hendak menjawab masalah kontinuitas ketersediaaan bahan baku industri dan kesinambangunan usaha, sekaligus optimalisasi pengelolaan areal dan perlindungan areal kerjanya. Ada 3 (tiga) mekanisme yang difasilitasi Pemerintah terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Pertama, dukungan penanganan dan penyelesaian konflik dalam areal HTI. Kedua, dukungan pengembangan perhutanan sosial melalui kerjasama antara pemegang HTI dengan kelompok masyarakat/Koperasi. Dan ketiga, dukungan penyediaan areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagai bentuk penggantian areal kerja HTI yang berubah menjadi FL EG. Ketiga skenario di atas tampaknya bermuara pada satu tujuan : bagaimana dampak penetapan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut terhadap areal kerja HTI dapat diminimalisir dan tetap menjaga keberlanjutan usaha. Skenario yang masuk akal, karena ketiga bentuk mekanisme tersebut akan saling melengkapi, ketika satu skenario terkendala dalam penerapannya. Gagasan yang relatif baru dan banyak diperbincangkan pemegang HTI adalah skenario land swap. Dalam Permen P.40/2017, pemberian areal land swap ditujukan kepada pemegang HTI yang areal kerjanya ditetapkan menjadi FLEG, seluas di atas atau sama dengan 40 % . Luas areal land swap didasarkan atas penyesuaian tata ruang HTI dalam revisi RKU, dan dipersyaratkan berada di kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral. Pemerintah cukup berhati – hati dalam menjalankan kebijakan land swap, yang bisa jadi karena mempertimbangkan kompleksnya permasalahan di lapangan. Hal ini setidaknya terlihat dari proses pemberian areal land swap yang dilakukan secara bertahap. Untuk pengajuan areal land swap seluas sampai dengan 10.000 Ha diselesaikan dalam 1 (satu) tahap, sedangkan di atas 10.000 Ha sampai dengan 45.000 Ha, diselesaikan dalam 3 (tiga) tahap masing-masing tahapan paling banyak seluas 15.000 Ha. Untuk pengajuan areal land swap di atas luas 45.000 Ha, diberikan bertahap dengan luas masing-masing tahap maksimal 15.000 Ha. Menimbang pengurangan areal kerja karena keberadaaan FLEG adalah dampak dari kebijakan Pemerintah, dan bukan merupakan izin baru, maka Permen P.40/2017 mengatur prosedur pemberian landswap dengan mekanisme yang sederhana, dibandingkan prosedur untuk memperoleh areal izin baru. Tidak ada persyaratan memperoleh rekomendasi Gubernur dan melaksanakan AMDAL seperti mekanisme pengajuan areal izin baru. Penerbitan Keputusan Menteri tentang Pemberian Areal Lahan Usaha Pengganti (land swap), sejak diajukan oleh pemegang HTI , hanya perlu waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Ketentuan pembatasan areal izin HTI juga dikecualikan dalam pemberian areal land swap ini. Meski sifatnya pemberian Hukum dan Kebijakan Land swap : Menjawab Kegelisahan FORUM KOMUNIKASI HUTAN DAN KEHUTANAN INDONESIA | JULI 2017 27 Majalah Hutan Indonesia

Upload: others

Post on 23-Nov-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kegelisahan dan berbagai pertanyaan pemegang izin HTI terkait permasalahan areal kerjanya yang terkena

Fungsi Lindung Ekosistem Gambut terjawab sudah. Melalui PermenLHK No. P.40/Menlhk/setjen/Kum.1/6/2017 tanggal 14 Juni 2017, diatur tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Terbitnya beleid ini tidak terlepas dari paket kebijakan Menlhk sebelumnya, yang mewajibkan pemegang izin HTI merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) ketika areal kerjanya ditetapkan sebagai Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG)

Kewajiban revisi RKU – yang berdampak pada pengurangan luas areal efektif tanaman -- tak pelak menimbulkan tanda tanya besar terhadap keberlangsungan pasokan bahan baku ke industri. Beleid ini tampaknya hendak menjawab masalah kontinuitas ketersediaaan bahan baku industri dan kesinambangunan usaha, sekaligus optimalisasi pengelolaan areal dan perlindungan areal kerjanya.

Ada 3 (tiga) mekanisme yang difasilitasi Pemerintah terkait

perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Pertama, dukungan penanganan dan penyelesaian konflik dalam areal HTI. Kedua, dukungan pengembangan perhutanan sosial melalui kerjasama antara pemegang HTI dengan kelompok masyarakat/Koperasi. Dan ketiga, dukungan penyediaan areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagai bentuk penggantian areal kerja HTI yang berubah menjadi FLEG.

Ketiga skenario di atas tampaknya bermuara pada satu tujuan : bagaimana dampak penetapan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut terhadap areal kerja HTI dapat diminimalisir dan tetap menjaga keberlanjutan usaha. Skenario yang masuk akal, karena ketiga bentuk mekanisme tersebut akan saling melengkapi, ketika satu skenario terkendala dalam penerapannya.

Gagasan yang relatif baru dan banyak diperbincangkan pemegang HTI adalah skenario land swap. Dalam Permen P.40/2017, pemberian areal land swap ditujukan kepada pemegang HTI yang areal kerjanya ditetapkan menjadi FLEG, seluas di atas atau sama dengan 40 % . Luas areal land swap didasarkan atas

penyesuaian tata ruang HTI dalam revisi RKU, dan dipersyaratkan berada di kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral.

Pemerintah cukup berhati – hati dalam menjalankan kebijakan land swap, yang bisa jadi karena mempertimbangkan kompleksnya permasalahan di lapangan. Hal ini setidaknya terlihat dari proses pemberian areal land swap yang dilakukan secara bertahap. Untuk pengajuan areal land swap seluas sampai dengan 10.000 Ha diselesaikan dalam 1 (satu) tahap, sedangkan di atas 10.000 Ha sampai dengan 45.000 Ha, diselesaikan dalam 3 (tiga) tahap masing-masing tahapan paling banyak seluas 15.000 Ha. Untuk pengajuan areal land swap di atas luas 45.000 Ha, diberikan bertahap dengan luas masing-masing tahap maksimal 15.000 Ha.

Menimbang pengurangan areal kerja karena keberadaaan FLEG adalah dampak dari kebijakan Pemerintah, dan bukan merupakan izin baru, maka Permen P.40/2017 mengatur prosedur pemberian landswap dengan mekanisme yang sederhana, dibandingkan prosedur untuk memperoleh areal izin baru. Tidak ada persyaratan memperoleh rekomendasi Gubernur dan melaksanakan AMDAL seperti mekanisme pengajuan areal izin baru. Penerbitan Keputusan Menteri tentang Pemberian Areal Lahan Usaha Pengganti (land swap), sejak diajukan oleh pemegang HTI , hanya perlu waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Ketentuan pembatasan areal izin HTI juga dikecualikan dalam pemberian areal land swap ini.

Meski sifatnya pemberian

Hukum dan Kebijakan

Land swap :Menjawab Kegelisahan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

27

Majalah H

utan Indonesia

Hukum dan Kebijakan

oleh Pemerintah, areal land swap tetap diajukan oleh pemegang HTI paling lama 6 (enam) bulan sejak revisi RKU disahkan. Dokumen yang dipersyaratkan hanya berupa Akte Pendirian Perusahaan, NPWP, peta usulan lahan pengganti dan surat pernyataan kesanggupan mempertahankan FLEG. Lebih lanjut, pemegang HTI diminta mengisi formulir UKL/UPL yang telah disiapkan Kementerian LHK , sebagai bagian dari kelola sosial dan lingkungan yang akan dilakukan pemegang HTI. Setelah formulir UKL/UPL memenuhi persyaratan, Menteri menerbitkan Izin Lingkungan.

Pada tahap akhir, Menteri menerbitkan Keputusan Pemberian Areal Lahan Usaha Pengganti (land swap) setelah pemegang HTI memberikan pernyataan berupa (1) kesanggupan melakukan Pemulihan Ekosistem Gambut pada areal kerjanya yang berubah menjadi FLEG, (2) kesanggupan merealisasikan penanaman di lahan pengganti paling lambat 1 (satu) tahun, dan (3) kesanggupan membayar Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) atas areal land swap pada saat melakukan penanaman , paling lambat 1( satu) tahun sejak diterbitkannya Keputusan Menteri.

Sebagaimana sebuah peraturan, Permen P.40 /2017 mengatur pemberian sanksi dan insentif. Melalui proses asistensi, penilaian dan monitoring oleh Tim, apabila dalam waktu 1 (satu) tahun tidak dilakukan penanaman dan tidak ada kemajuan pemanfaatan pada areal land swap, pemegang HTI akan dikenakan sanksi pencabutan areal land swap.

Sebaliknya, jika pemegang HTI mampu mengelola ekosistem gambut dengan baik yang dibuktikan dengan kinerja yang baik dalam tata kelola gambut serta bebas dari kebakaran hutan dan lahan, akan menjadi pertimbangan dalam penyesuaian perencanaan perlindungan dan pengelolaan gambut.

Mencermati beleid Permen P.40/2017 dengan paket Permen yang mengatur pengelolaan ekosistem gambut yang telah terbit sebelumnya (Permen P.14/2017, Permen P.15/2017, Permen P.16/2017 dan Permen P.17/2017), maka pemegang HTI harus bergegas dan mengambil langkah-langkah cepat.

Pertama, mengajukan revisi RKU dan pengesahannya. Setelahnya, pemegang izin dapat mengajukan permohonan verifikasi terhadap areal kerjanya yang masuk dalam FLEG, yang saat ini sebagian besar masih menggunakan peta skala 1 : 250.000. Permohonan verfikasi diajukan dilengkapi dengan data-data termutakhir yang lebih detail yang dimiliki oleh pemegang izin serta fakta-fakta di lapangan. Hasil verifikasi ini akan menjadi pertimbangan untuk review Peta Fungsi Ekosistem Gambut, yang sesuai ketentuan dapat direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali. Apabila perubahan fungsi dapat disetujui, RKU perusahaan memungkinkan diajukan revisinya kembali.

Kedua, secara paralel, pemegang izin mengajukan areal land swap sesuai dengan luasan areal yang terkena FLEG. Jika proses penerbitan areal land swap sesuai waktu yang ditetapkan,

maka gap pasokan bahan baku karena areal eks panen tidak boleh lagi di tanam kembali di areal FLEG dapat diminimalisir. Mempertimbangkan perusahaan yang terkena FLEG cukup banyak, perusahaan harus pro-aktif mengidentifkasi areal-areal yang potensial. Untuk menghindari gesekan antar pemegang izin, Asosiasi seperti APHI dapat berperan menjembatani dan memediasi.

Ketiga, setelah proses RKU disahkan, pemegang izin segera mengajukan rencana pemulihan ekosistem gambut dan menerapkan tata kelola lahan gambut yang baik secara konsisten dan berkelanjutan. Dalam 1 – 2 tahun ke depan jika terbukti tidak terjadi kebakaran di areal kerjanya dan pemulihan gambut berjalan dengan baik, tampaknya sangat dimungkinkan untuk memperoleh insentif berupa revisi dokumen perencanaan (seperti diatur dalam P.40/2017 , yang secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai revisi RKU).

Setelah tahun 2016 dapat dilalui dengan baik dengan menurunnya kejadian kebakaran hutan dan lahan, maka tahun 2017 adalah fase kedua untuk membuktikan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian kerbakaran hutan dan lahan terus dilakukan secara konsisten. Sekaligus membuktikan komitmen pemegang izin terhadap ketentuan-ketentuan dalam paket kebijakan perlindungan dan pengelolaan lahan gambut. Jika tahun 2017 dapat dilalui dengan baik, rasanya bukan hal yang tidak mungkin untuk memperluas insentif kepada pemegang izin HTI dalam pengelolaan lahan gambut. (pwd)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

28M

ajalah Hutan Indonesia

Gusti Hardiansyah Dekan Fakultas Kehutanan Universitas sekaligus sebagai

Staf Khusus Gubernur Kalimantan Barat meminta Kementerian LHK untuk mempertimbangkan kepastian hukum dan keberlanjutan usaha bagi perusahaan, yang terkena dampak pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016 dan Peraturan Menteri Kementerian LHK No. 17/MENLHK/-SETJEN/KUM.1/2/2017. Saat ini, dari total lahan seluas 14 juta hektare, Kalimantan Barat memiliki 1,7 juta hektare lahan gambut. Hampir 30% di antaranya sudah dibebani izin

Peraturan Pemerintah No. 57/2016 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendapat komentar yang beragam. Aturan yang menurunkan lima Peraturan Menteri itu mendapat komentar dari banyak pihak, baik itu dari pelaku usaha dan juga kalangan akademisi.

Perlu Riset & Kajian Teknis Batas Kedalaman Muka Air Gambut Setinggi 0,4 Meter

PP No. 57/2016

Dr. Gusti Hardiansyah M.Sc, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tajungpura & Staf Khusus Gubernur Kalbar

Opini

Salah seorang Karyawan RAPP unit Riaufiber ketika melakukan pengukuran tingkat kedalaman air di salah satu kanal, sebagai upaya menjaga tingkat kelembapan tanah gambut agar tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

29

Majalah H

utan Indonesia

Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit.

Dia mengatakan, dalam aturan itu, poin penting yang menjadi catatan adalah mengenai kewajiban perusahaan untuk memantau batas kedalaman muka air gambut setinggi 0,4 meter dan larangan membuka lahan baru dan replanting untuk kegiatan budidaya gambut di areal kubah gambut. Gusti menghimbau, agar ada riset dan kajian teknis terkait batas kedalaman muka air gambut setinggi 0,4 meter.

Dalam penelitian Erianto Indra Putra. Tropics, 2011, vol 19 (4) di Mega Rice Project (MRP), Kalimantan Tengah, memang disebutkan bahwa puncak

musim kebakaran bertepatan dengan GWL (Ground Water Level) rendah kurang dari -40 cm dan menunjukkan -40 cm sebagai tingkat kritis untuk kejadian kebakaran gambut. Jadi, -40 cm GWL harus digunakan sebagai salah satu indikator kemungkinan terjadinya kebakaran parah di daerah MRP . Untuk pencegahan kebakaran di lahan gambut, maka kesimpulan ini yang tampaknya diimplementasikan pada PP No. 71/2014.

Namun, Gusti menjelaskan bahwa ‘angka tunggal’ sedalam 0,4 meter tersebut seharusnya menggunakan range. Sebenarnya, angka tunggal hanya dapat diterapkan pada budidaya

tanaman pangan. Tanaman yang memiliki karakteristik akar serabut pada tanaman pangan, berbeda dengan tanaman tunjang pada HTI yang memiliki usia panjang.

Saat ini, beberapa perusahaan HTI dalam negeri menggunakan teknologi water mangement dengan kedalam batas muka air 0,6 meter hingga 0,7 meter. Bahkan, lanjutnya, di Serawak, Malaysia batas kedalaman muka air gambut memiliki range 0,6 meter hingga 0,8 meter.

Tukar GulingPemerintah tengah

menyiapkan skema tukar guling lahan/landswap bagi pemegang konsesi kehutanan dan perkebunan yang 40% luas areal kerjanya berupa kawasan gambut fungsi lindung. Akan tetapi, realisasi tersebut tampaknya akan berhadapan dengan permasalahan tumpang tindih lahan yang terjadi di beberapa areal konsesi.

Peta dari setiap insitusi memiliki perbedaan sehingga menyebabkan kebingungan hingga tingkat tapak. Terlebih, kebijakan satu peta ( one map policy ) sampai saat ini masih belum terselesaikan..

Lahan mineral yang tersisa di Kalbar misalnya, kata Gusti, sebagian besar berada di perbatasan dan sudah tumpang tindah dengan peruntukan lain. . “Kalau petanya saja masih menjadi persoalan, tukar guling akan menambah persoalan baru. Jadi, tolong database-nya dulu. Baru kita bicara kebijakan,” tuturnya. (raa)

Pemerintah tengah menyiapkan skema tukar guling lahan/land swap bagi pemegang konsesi kehutanan dan perkebunan yang 40% luas areal kerjanya berupa kawasan gambut fungsi lindung.

Opini

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

30M

ajalah Hutan Indonesia

Profil

Teknologi Penginderaan Jauh Jadi Alat Monitoring Periodik

Terpilihnya Indroyono Soesilo sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) membawa angin segar di industri kehutanan. Pengalaman pria lulusan Sarjana Teknik Geologi Institute Teknologi Bandung pada 1978 ini, di antaranya adalah sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman RI periode 2014-2015. Pengalamannya bidang kehutanan sudah tak diragukan lagi, seperti tentang operasi pemadam kebakaran hutan dan program inventarisasi kehutanan, serta penginderaan jauh. Berikut petikan wawancara.

Indroyono Soesilo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

31

Majalah H

utan Indonesia

Profil

Dalam perjalanan karir, anda tercatat mendalami teknologi penginderaan jauh.

Bagaimana perkembangan teknologi ini?

Remote sensing atau penginderaan jauh itu ialah [alat] mengamati suatu benda tanpa kontak langsung dengan benda tersebut dengan menggunakan gelombang elektromagnetik.

Ada Light Detection and Ranging/LIDAR yang menggunakan gelombang cahaya. Gelombang itu ditangkap oleh sensor yang dipasang di platform. Platform bisa dipasang di menara, drone,

helikopter, pesawat dan satelit. Dengan teknologi sensor dan platform inilah penginderaan jarak jauh ini bekerja.

Selain itu kita juga mengenal yang namanya teknologi Radio Detection and Ranging/RADAR. Sensor RADAR paling banyak digunakan di wilayah tropis karena gelombangnya dapat menembus awan. Masalahnya, pesawat yang membawa sensor tersebut juga membawa power sendiri sehingga pesawatnya nggak kuat lama.

Teknologi lain yang juga banyak digunakan di antaranya gelombang visible dengan panjang gelombang 0,4 sampai 0,7 mikrometer,

gelombang infrared dengan panjang gelombang 0,9 sampai 11 mikrometer, dan gelombang thermal infrared dengan panjang gelombang berkisar antara 12 sampai 14 mikrometer. Teknologi ini bisa menangkap suhu panas hingga radius 7 kilometer.

Bagaimana teknologi penginderaan jauh menjadi solusi masalah pengelolaan lahan gambut, khususnya dalam penetapan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut?

Peraturan selalu kalah cepat dengan perkembangan teknologi. Saat ini anda sudah bisa membuat peta berskala 1:1000, 1:5000, atau 1:10.000 dengan LIDAR. Tapi, ukuran peta yang legal sekarang ini masih 1:250.000. Jika kita membuat rencana kerja usaha/RKU dengan 1:250.000 tentu hasilnya akan kasar karena 1 sentimeter hitungannya 2,5 kilometer.

LIDAR dapat digunakan untuk mengukur/menghitung tegakan dan luasan serapan karbon. Untuk menghitung suatu wilayah menyerap berapa ton karbon yang paling cepat dengan penginderaan jauh.

Terlebih dalam dunia carbon credit, kita harus memiliki baseline menghitung berapa luasan, tegakan, berapa yang sudah terserap, sejak tahun berapa dan sebagainya.

LIDAR dapat digunakan untuk memantau profil topografi suatu lahan. Jadi, kalau misalnya ada lahan atau kubah gambut maka akan terdeteksi. Selain itu, bagi pengusaha HTI, LIDAR dapat digunakan untuk menghitung berapa kubik kayu hasil panen dari bentangan lahan yang dimilikinya.

LIDAR dapat digunakan untuk memantau profil topografi suatu lahan. Jadi, kalau misalnya ada lahan atau kubah gambut maka akan terdeteksi. Selain itu, bagi pengusaha HTI, LIDAR dapat digunakan untuk menghitung berapa kubik kayu hasil panen dari bentangan lahan yang dimilikinya.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

32M

ajalah Hutan Indonesia

Profil

Bagaimana tanggapan tentang efektivitas teknologi ini, tapi masih dianggap terlalu mahal?

Mahal murah tergantung jumlah konsumen. Dengan berjalannya waktu dan penggunaan semakin banyak pasti harganya jatuh. Saya kasih contoh, remote sensing di Indonesia awalnya ditujukan untuk inventarisasi mulai dari sumber daya alam, perencanaan kota, pengembangan wilayah, luasan hutan atau sawah, dan sebagainya. Inventarisasi itu digunakan tidak terlalu sering, dua tahun sekali atau lima tahun sekali. Sekarang, teknologi itu dijadikan sebagai alat monitoring secara periodik.

Selain teknologi diatas, sensor apa lagi yang digunakan di sektor kehutanan?

Salah satunya satelit National Oceanic and Atmosphric Administration/ NOAA- 18 yang mampu menemukan titik panas, NOAA melewati wilayah Indonesia dua kali sehari. Satelit ini digunakan untuk memantau hotspot titik panas.

Dua satelit kepunyaan NOAA, yakni Terra dan Aqua membawa

sensor infrared. Data hotspot dari NOAA ini tidak berbayar, tetapi kita harus memasang stasiun bumi sendiri untuk menerima datanya.

Resolusinya masih kecil dengan tangkapan satu titik panas per 1 Km x1 Km. Oleh karena itu, kita harus menggunakan multi tingkat. Begitu dapat hotspot langsung kirim drone ke lokasi itu. Drone fotogrametris itu awalnya mahal, tetapi saat ini harganya sudah dibawah Rp 200 juta. Alat ini dapat meng-cover 50.000 hektare dalam sehari.

Bagaimana mengharmonisasikan hasil teknologi LIDAR dari anggota APHI dengan peta ekosistem gambut yang ditetapkan oleh pemerintah?

HTI yang telah menggunakan LIDAR tetap harus melakukan verifikasi ke lapangan setelah dilakukan delineasi terhadap lahan gambut kendati gambar yang ditampilkan sudah rinci. Jadi bisa dilihat dan dibuktikan bersama. Anda punya peta skala 1:250.000 dengan LIDAR lebih rinci berskala 1:1000 pasti nanti ada yang overlap,

di sana kita bisa tahu seperti apa delineasi.

Bagaimana mendorong percepatan penetapan peta fungsi ekosistem gambut skala 1: 50.000 secara nasional?

Legalitas dari peta dasar ada pada Badan Informasi Geospasial (BIG). Oleh karena itu, legalitas penggunaannya berada di tangan pemerintah. Saya mengusulkan pengusaha HTI dan BIG perlu membuat peta topografi yang memiliki skala sama dengan peta tematik yang dimiliki oleh sektor kehutanan. Begitu juga dengan peta yang dimiliki oleh institusi ESDM, Kementerian LHK yang memiliki peta dasar berskala 1:50.000.

Membuat peta juga bagian dari pembangunan infrastruktur. Jika non pemerintah bisa membantu [membuat peta] itu ya datanya dibuat legal. Dimanapun membuat peta itu harus perlu investasi.

Misalnya peta bencana alam, karena kita tidak tahu kapan terjadinya bencana alam, tapi terkadang tidak diprioritaskan untuk membuat itu. (raa)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

33

Majalah H

utan Indonesia

Profil

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH

1 Sumber TenagaPenginderaan jauh harus memiliki tenaga

untuk memantulkan atau memancarkan objek di permukaan bumi. Tenaga yang biasanya digunakan adalah tenaga elektromagnetik dari matahari serta tenaga buatan. Perbedaan sumber tenaga inilah yang menghasilkan istilah penginderaan jauh sistem pasif (tenaga pantulan matahari) dan pengindraan jauh sistem aktif (tenaga pancaran buatan).

2 AtmosferEnergi dari matahari tidak seluruhnya sampai

ke permukaan bumi. Atmosfer mempunyai fungsi untuk menghambat dan mengganggu tenaga atau sinar matahari yang datang (selektif terhadap panjang gelombang). Bagian spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat mencapai bumi disebut dengan "jendela atmosfer". Kondisi demikian ini dapat menghalangi pancaran sumber tenaga ke muka bumi, sehingga akan menghalangi interaksi antara tenaga dan objek dalam sebuah sistem penginderaan jauh.

3 Interaksi antara Tenaga dan ObjekKondisi ini dapat terlihat pada rona yang

diperoleh, dimana tiap-tiap objek memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Objek yang pantulan ataupun pancaran tenaganya

besar akan memiliki rona lebih cerah, sedangkan objek yang pantulan atau pancaran tenaganya sedikit akan memiliki rona lebih gelap.

4 SensorKomponen ini berfungsi untuk menerima dan

merekam tenaga yang datang dari suatu objek. Kemampuan sensor dalam merekam objek terkecil disebut dengan istilah resolusi spasial. Atas dasar proses perekamannya, sensor dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Sensor Fotografik dan Sensor Elektronik.

5 Data InputKomponen ini dalam bentuk perolehan data

yang dapat dilakukan secara manual visual, dan secara numerik atau digital. Contoh cara manual yaitu dengan melakukan interpretasi foto udara secara visual, sedangkan cara numerik atau digital yaitu dengan mengambil data digital melalui komputer.

6 Pengguna Data (User)Tingkat keberhasilan sistem penginderaan jauh

ditentukan oleh pengguna data (user). Kemampuan pengguna data dalam menerapkan hasil indera menjadikannya sebagai komponen yang sangat penting untuk mendapatkan manfaat langsung dari sistem ini. Para user akan sangat membutuhkan sebuah data penginderaan jauh yang terperinci dan handal.

Penginderaan jauh merupakan suatu sistem terkoordinasi yang terdiri atas berbagai komponen yang bekerja saling berkaitan. Komponen-komponen penginderaan jauh harus meliputi hal-hal sebagai berikut:

Sumber: http://www.geologinesia.com/2016/06/pengertian-komponen-dan-manfaat-penginderaan-jauh.html

Profil

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

34M

ajalah Hutan Indonesia

Bersama Warga Desa Wujudkan Kesejahteraan & Perlindungan Sumber Daya Hutan

Desa Makmur Peduli Api (DMPA)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | M A R E T 2 0 1 7

Teknologi

Bertahun tahun, masalah kebakaran hutan dan lahan, khususnya di Sumatera dan Kalimantan telah berdampak

serius bagi manusia dan lingkungan hidup bahkan bisnis (ekonomi). Kebakaran lahan dan hutan yang sudah terjadi tak dapat dilepaskan dari masalah-masalah kemiskinan, tata kelola lahan yang belum baik --masih banyak konflik lahan--, pembakaran untuk penyiapan lahan pertanian dan kebun, illegal logging, dan lain-lain.

Seakan ingin menjauh dari wacana saling menyalahkan, dan belajar dari berbagai upaya yang dilakukan sebelumnya, APP melihat bahwa persoalan

kebakaran hutan dan lahan akan efektif jika penanganannya dilakukan secara terpadu dan berkolaborasi dengan berbagai pihak khususnya pemerintah desa dan masyarakat desa yang hidup dan berinteraksi dengan lahan di sekitar dan dalam konsesi dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Berdasarkan hal tersebut di akhir 2015, APP meluncurkan program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dengan pendekatan agroforestry --sebuah program yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus mencegah kebakaran hutan dan hubungan sinergis antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan--.

Menurut Agung Wiyono, MA., Corporate Social Security Head, DMPA merupakan bagian tak terpisahkan dari perwujudan kebijakan konservasi APP yang melihat bahwa partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam konservasi dan perlindungan sumber daya penting dalam kawasan hutan adalah sangat penting. “Program DMPA adalah salah satu perwujudan pentingnya kolaborasi dan partisipasi dari perusahaan, pemerintah desa dan masyarakat dalam perlindungan sumber daya hutan, dan sekaligus upaya memampukan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

36M

ajalah Hutan Indonesia

sumber daya alam penopang penghidupannya. Bagi APP, program ini menjadi bagian dari ikhtiar untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan dalam Sistem Penanganan Kebakarannya APP (Integrated Fire Management).”

Secara rinci Agung Wiyono menjelaskan bahwa program DMPA berisi 6 pilar kegiatan utama, yakni (1) pemberdayaan ekonomi berbasis hutan dan non hutan, (2) konsolidasi sumber daya penting masyarakat melalui pemetaan partisipatif, (3) transfer teknologi yang digunakan dalam usaha-

usaha pertanian dalam arti luas, (4) kerjasama dalam perlindungan dan pengamanan hutan, (5) mencegah dan menyelesaikan sengketa lahan, dan (6) membangun kemitraan pemasaran atas produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat. Sampai 2020, APP telah mengalokasikan US$10 juta untuk DMPA dan ditargetkan akan terlaksana di 500 desa di sekitar dan di dalam konsesi perusahaan pemasok APP.

Tercatat 500 desa tersebut dipilih dengan kriteria utama sebagai berikut (a) secara administratif berada di dalam dan atau

berbatasan/bersisian batasnya dengan konsesi hutan, dan (b) pernah terjadi kebakaran lahan dan hutan yang disebabkan oleh aktivitas warga desa, dan (c) ada sengketa lahan. Berikut adalah target tahunan pelaksanaan DMPA, yakni pada 2016 (80 desa), 2017 (120 desa), 2018 (100 desa), 2019 (100 desa) dan 2020 (100 desa).

Dengan menjalankan 6 pilar tersebut, DMPA diharapkan menghasilkan hal-hal sebagai berikut, yaitu: 1. Meningkatkan ketercukupan

pangan masyarakat desa, 2. Menurunkan sampai dengan

menghilangkan kejadian kebakaran hutan yang disebabkan kegiatan pertanian dan lainnya,

3. Meningkatkan partisipasi warga dalam perlindungan sumber daya hutan, serta

4. Memperkuat sinergi dan hubungan harmonis antara warga desa dengan perusahaan pemasok APP.Lebih lanjut Agung

menjelaskan bahwa sampai dengan akhir 2016, DMPA telah dilaksanakan di 76 desa yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Berbagai kegiatan dirancang secara partisipatif oleh pemerintah desa dan warganya.

Pada 2016, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa pengembangan tanaman hortikultura berupa cabe, sayur mayur, buah-buahan (papaya, melon, buah naga dan lainnya), peternakan sapi, kambing dan unggas, pertanian padi sawah, padi ladang, jagung dan kedelai, pengembangan tanaman nilam, budidaya ikan air tawar (lele,

Teknologi

Sampai dengan akhir 2016, DMPA telah dilaksanakan di 76 desa yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Berbagai kegiatan dirancang secara partisipatif oleh pemerintah desa dan warganya.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

37

Majalah H

utan Indonesia

nila, patin), pengembangan kebun buah, pembuatan pupuk kompos dan lain sebagainya.

Dalam pelaksanaannya, DMPA bermitra dengan lembaga-lembaga sosial ekonomi di desa sasaran. Adapun lembaga-lembaga tersebut adalah koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan asosiasi/Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).

Pada 2016, DMPA telah bermitra dengan 12 unit koperasi, 18 BUMDes dan 43 Gapoktan. Lembaga-lembaga ini berperan mengelola program dan bantuan yang diberikan, yang secara bersama sama menyusun aturan main dengan warga desa yang menjadi penerima program. Selain bermitra dengan lembaga-lembaga yang ada di desa, APP juga mengembangkan kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus pada pemberdayaan (Community Development).

Setiap desa DMPA telah dialokasikan satu orang tenaga pendamping program DMPA. Tenaga pendamping ini berasal dari wilayah/daerah program

Hortikultura

Peternakan

Ternak unggas

Persawahan

Perikanan

Kebun buah

433 hektare

1.241 ekor

7.500 ekor

308 hektare

309.500 benih

190 hektare

Hasil Program DMPA (Tahun 2016)

Teknologi

dan direkrut secara khusus untuk program DMPA. Sebelum diterjunkan ke desa-desa DMPA, tenaga pendambing ini diberikan pelatihan terlebih dahulu agar dapat manjalankan tugasnya dengan baik.

Sebagai penutup, Agung menjelaskan bahwa pelaksanaan DMPA 2016 telah dilakukan monitoring dan untuk perbaikan

di DMPA 2017 yang saat ini terus berjalan. Sampai dengan Mei 2017, telah dilakukan kajian dan perencanaan partisipatif oleh warga desa di 99 desa.

Saat ini berbagai program usulan yang dirmumuskan tersebut sedang di-review oleh Tim Corporate Social and Security APP. APP juga terus mengembangan komunikasi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi, serta LSM-LSM di daerah untuk dapat menjadi mitra dalam pelaksanaan DMPA. APP meyakini bahwa hasil program DMPA 2016 yang mulai terlihat akan menjadi contoh dan pendorong bagi kelancaran, serta kesuksesan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan hutan dari bahaya kebakaran serta lebih jauh menopang keberlanjutan penghidupan masyarakat DMPA. (wu)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

38M

ajalah Hutan Indonesia

Karena masifnya kebakaran dan dampak dari bencana tersebut, tidak heran jika kabut asap dua tahun silam itu disebut sebagai bencana kabut asap terbesar dalam sejarah Indonesia. Tidak hanya masyarakat di sekitar kebakaran yang terdampak, sejumlah negara tetangga juga menyatakan keluhannya akibat kabut asap tersebut. Sebut saja Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Teknologi

Desa Bebas Api untuk

Riau Bebas Asap

Peluncuran Desa Bebas Api 2017

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

39

Majalah H

utan Indonesia

Teknologi

Di Riau misalnya, saat terjadi kebakaran besar pada 2015, Negeri Lancang Kuning tersebut dikepung

asap selama berbulan-bulan. Tidak hanya aktivitas fisik yang terganggu, tetapi juga kesehatan warga. Tidak terhitung juga kerugian material dan non-material. Belajar dari pengalaman tersebut, berbagai pihak berupaya sekuat tenaga agar bencana yang sama tidak kembali terulang. Diantaranya melalui kolaborasi dalam mencegah kebakaran lahan dan hutan (karhutla). Kerjasama pencegahan sangat penting karena pencegahan karhutla tidak dapat dilakukan satu pihak saja.

Selain itu, perlu juga digen-carkan untuk terus mengedukasi masyarakat agar mengubah pola pikir dari membakar menjadi tidak membakar kala membuka lahan saat musim kering. Hal itulah yang melatarbelakangi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) meluncurkan Program Desa Bebas Api (Fire Free Village Programme/FFVP).

Tidak hanya mencegah karhutla, Program Desa Bebas Api bertujuan

untuk mencegah kebakaran dengan mengajak masyarakat agar tidak membakar. Tidak mudah memang memberi pengertian kepada masyarakat agar mengubah pola pikirnya untuk tidak membakar. Namun lambat laun mereka mulai sadar dan melihat berbagai manfaat jika lingkungan terjaga. Kegiatan Desa Bebas Api dilakukan melalui lima kegiatan, yaitu reward

(hadiah) dan insentif, crew leader (ketua kelompok), pendampingan pertanian, monitoring kabut asap, dan sosialisasi. Sejak diluncurkan pada 2014, program ini terbukti efektif menekan luas kebakaran lebih 1.000 hektare (ha) sebelum program itu diluncurkan menjadi kurang dari 50 ha pada 2015.

Mengulang cerita sukses sebelumnya, RAPP kembali meluncurkan Program Desa Bebas Api 2017. Kunci keberhasilannya adalah dengan merangkul banyak pihak, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan dunia usaha.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei yang menghadiri peluncuran Program Desa Bebas Api 2017 (16/5) mengatakan, upaya pencegahan kebakaran tahun lalu tidak hanya banyak dibantu pengaruh alam tetapi juga karena upaya masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha yang begitu baiknya.

Anak di Riau menggelar buku komik Free Fire Programme tentang pencegahan kebakaran.

Tim Desa Bebas Kebakaran menganjurkan pencegahan kebakaran di sekolah-sekolah di Riau.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

40M

ajalah Hutan Indonesia

Delima, Dedap, Kudap, Lukit, Bumi Asri, Pelantai, Teluk Belitung, Mayang Sari, Bagan Melibur dan Mekar Sari (Kabupaten Kepulauan Meranti).

Pada kesempatan tersebut, Willem atas nama pemerintah mengucapkan penghargaan kepada para kepala desa yang berhasil menjaga desanya dan RAPP yang telah  melakukan program-program pencegahan kebakaran, yang selama tiga tahun mampu menurunkan kebakaran secara signifikan. Dia berharap, program yang saat ini dilaksanakan secara lokal itu dapat diperluas, atau diadopsi daerah-daerah lain di Indonesia dalam upaya pencegahan kebakaran. Willem menyebut, kunci keberhasilan lainnya adalah early warning system (sistem deteksi dini) yaitu bagaimana memantau hotspot (titik panas), memberikan kesadaran,

Kepala Desa menandatangani MoU untuk Program Bebas Kebakaran 2017 (FFVP).

Teknologi

Kepala BNPB Willem Rampangilei dan Direktur RAPP Rudi Fajar seberta para kepala desa yang menandatangani MoU Program Desa Bebas Api 2017 besama-sama memukul kentungan menandai peluncuran program tersebut.

Hal itu menjadi faktor utama dalam pencegahan karlahut. “Kesiapsiagaan begitu baiknya. Sesuai arahan presiden mengenai pentingnya pencegahan kebakaran hutan secara dini. Hasilnya 2016 seperti itu,” kata Willem dalam sambutannya.

Tahun ini ada 18 desa yang berkomitmen bergabung dalam Program Desa Bebas Api, yaitu Langgam, Penarikan dan Pangkalan Gondai (Kabupaten Pelalawan), Dayun, Olak, Lubuk Jering (Kabupaten Siak), dan Tanjung Padang, Tasik Putri Puyu, Mekar

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

41

Majalah H

utan Indonesia

maklumat, dan  sosialisasi. Langkah tersebut diakui telah meningkatkan kemampuan dalam pemadaman kebakaran secara dini. Tahun lalu BNPB mengerahkan 26 helikopter untuk water bombing (pemboman dengan air) dan tiga pesawat untuk patroli.

Direktur RAPP Rudi Fajar mengatakan, perkembangan Desa Bebas Api yang signifikan menunjukkan kesadaran masyarakat dalam pencegahan kebakaran, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat agar membuka lahan dengan tidak menggunakan api. Pencegahan perlu komitmen dan kesadaran yang kuat dari berbagai pihak, termasuk agar selalu saling mengingatkan untuk menjaga lahan dari lebakaran. “Saya selalu ingat pesan Pak Willem agar dalam melakukan sesuatu jangan sendiri-sendiri. Kalau sendiri-sendiri tidak berhasil,” ujar Rudi. (tri)

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangiley mengucapkan selamat kepada desa-desa yang berhasil mencegah kebakaran lahan dan hutan.

Pada 2017, FFVP bekerja secara langsung dengan 27 desa di Riau, yang mencakup wilayah seluas lebih dari 700.000 hektare lahan masyarakat, hampir 10 kali luas wilayah Singapura dan naik dari 592.080 hektare yang dilakukan oleh program ini pada 2016.

Teknologi

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

42M

ajalah Hutan Indonesia

Kaitannya dengan pemetaan, DP Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Anggota Bidang Sosial & Lingkungan, Iwan Setiawan mengungkapkan bahwa industri

kehutanan semakin dimudahkan dengan adanya teknologi LiDAR atau teknologi pemotretan udara dengan menggunakan sensor laser untuk mendeteksi dan memetakan obyek di permukaan bumi.

Hasil pemotretan LiDAR adalah data Digital Surface Model (DSM) yang berupa bentuk tiga dimensi dari struktur obyek-obyek yang ada di permukaan bumi, bisa berupa pohon, gedung dan lainnya. “Hasil pengolahan ini akan menghasilkan data Digital Terrain Model (DTM) berupa data tiga dimensi bentuk dan tinggi permukaan tanah, tanpa ada obyek di atasnya. Pengolahan LiDAR akan menghasilkan data kontur,” katanya.

Aplikasi LiDAR dapat digunakan diantaranya untuk membuat peta topografi dengan akurasi tinggi dengan, membuat peta hidrotopografi

dengan akurasi tinggi seperti sungai, kanal, Daerah Aliran Sungai (DAS), melakukan inventarisasi hutan yang diperkuat dengan ground sampel dan aplikasi lain di bidang engineering berupa jalan, cut & fill, dan lainnya.

“Dengan kemampuannya, teknologi LiDAR jelas memberi manfaat besar bagi pengembangan sektor kehutanan,” kata Iwan Setiawan.

Untuk sektor kehutanan LiDAR mampu yakni membantu mendapatkan peta topografi akurat untuk pengelolaan lahan gambut atau lahan basah, khususnya untuk pemodelan hidrologi. Manfaatnya lainnya membantu pengelolaan lahan kering misalnya untuk membuat terasering berdasarkan kelerengan, dan menentukan area konservasi dengan kelerengan curam, inventarisasi hutan baik di hutan alam dan hutan tanaman, membantu proses Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) dan membantu dalam penentuan tata ruang dan jaringan infrastruktur jalan, kanal dan lainnya.

LiDAR Permudah Bisnis Kehutanan

Era digital sekarang ini memudahkan dunia usaha untuk semakin ekspansif dalam pengembangan bisnis. Khusus industri kehutanan, penggunaan teknologi menjadi mutlak dan sangat penting dalam upaya menunjang proses survei dan pemetaan.

Teknologi

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

43

Majalah H

utan Indonesia

Hanya saja, kata Iwan Setiawan, yang namanya teknologi pasti punya kekurangan di luar kelebihannya. Dari sisi kelebihan data LiDAR sangat akurat dan teliti, menggambarkan bentuk 3D suatu areal yang dipotret secara jelas dan rinci termasuk koordinat X,Y,Z baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk kekurangannya, biaya pemotretan LiDAR cukup mahal, terutama jika areal yang dipotret tidak cukup signifikan luasnya.

Kawasan Gambut Lantas bagaimana teknologi

LiDAR dikaitkan dengan pengelolaan gambut di sektor kehutanan? Iwan Setiawan berpendapat bahwa data LiDAR dapat digunakan untuk membuat peta hidro topografi yang digunakan untuk memetakan kawasan gambut. Adapun kegunaan lainnya dapat digunakan untuk membuat model hidrologi, dan bisa dipakai sebagai salah satu data untuk memonitor water level dan dengan tambahan algoritma tertentu dapat juga untuk

menduga ketinggian water table.

Hingga kini Iwan Setiawan belum dapat memastikan perusahaan di sektor kehutanan yang sudah menggunakan teknologi LiDAR. Namun, katanya, Sinar Mas Forestry, Badan Restorasi Gambut (BRG), KFCP (Kalimantan Forest Carbon Partnership) dan Program PBB untuk Pembangunan (UNDP) sudah menggunakannya.

Iwan Setiawan menyarankan, agar perusahaan memilih teknologi LiDAR sebagai upaya dalam pengembangan usaha kehutanan. Pasalnya, meski mahal, namun biayanya tetap lebih murah dibandingkan dengan menggunakan cara konvensional seperti lewat survei terrestrial dan survei topografi darat. Apalagi, ketelitian dan akurasi LiDAR lebih tinggi. Waktu pengerjaan pun lebih singkat.

Teknologi

Iwan Setiawan, DP Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Anggota Bidang Sosial & Lingkungan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

44M

ajalah Hutan Indonesia

Soal biaya, Iwan Setiawan mengungkapkan, semakin luas areal yang disurvei, makin murah biaya yang mesti dikeluarkan. Sebagai gambaran. Untuk areal kurang dari 50.000 hektare, biaya yang mesti dikeluarkan berkisar US$ 8 hingga US$9 per hektare. Untuk areal dengan luas 50.000 hektare–100.000 hektare rentang biaya yang mesti dikeluarkan berkisar US$ 6 hingga US$8 per hektare. Nah, jika areal yang mesti disurvei lebih luas dari 100.000 hektare, maka kocek yang mesti dirogoh antara US$4 hingga US$6 per hektare.

Meski memiliki banyak keunggulan, namun bukan berarti teknologi LiDAR bebas kendala. Salah satu rintangan adalah LiDAR belum akrab dengan segala cuaca. Untuk itu, sebelum pemetaan dengan teknologi LiDAR dilaksanakan harus dilakukan perencanaan survei dengan pertimbangan iklim dan cuaca. Trik lain untuk menghadapi

kendala tersebut adalah dengan melakukan teknik transect sampling secara parsial, yang berarti tidak full coverage. Ini juga bisa untuk mengurangi biaya yang mesti dikeluarkan.

Sayangnya, dukungan sumber daya perusahaan masih kurang untuk aplikasi teknologi LiDAR. Oleh karena itu perusahaan perlu memiliki SDM di bidang Photogrametri, Remote Sensing, dan Geodesi dan perlu memiliki peralatan pendukung yang sesuai termasuk komputer dan perangkat GPS.

Iwan Setiawan menambahkan, secara lebih luas LiDAR dapat digunakan sebagai data pendukung bencana seperti banjir, longsor, gempa bumi dan lainnya. LiDAR juga dapat digunakan untuk urban planning dalam tatakota, digunakan untuk perencanaan jaringan transportasi, dan digunakan juga untuk pertambangan, minyak dan gas untuk pembangunan jaringan pipa. (wu)

Jasa pemetaan fotografi lahan tambang kebun lidar topografi

Hasil pengolahan ini akan menghasilkan data Digital Terrain Model (DTM) berupa data tiga dimensi bentuk dan tinggi permukaan tanah, tanpa ada obyek di atasnya. Pengolahan LiDAR akan menghasilkan data kontur.

Teknologi

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

45

Majalah H

utan Indonesia

Lahan gambut, memang bukan lahan subur yang dapat ditanami semua jenis tanaman komoditas,

mengingat lahan gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Meski demikian, keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup lokal, regional maupun global. Lahan gambut disamping memiliki fungsi ekologis juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial budaya.

Fungsi ekologis yang diperankan lahan gambut diantaranya menjaga keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, penghasil oksigen dan pengelolaan air. Fungsi ekonomi dan sosial budaya dari lahan gambut antara lain sebagai penghasil kayu dan sumber penghidupan masyarakat, ekowisata, serta tempat pendidikan dan penelitian.

Beberapa jenis tanaman dapat tumbuh dan berkembang di lahan gambut dan memiliki nilai ekonomis tinggi relatif banyak. Selain sawit dan akasia yang mempunyai kemampuan menyerap karbon (CO₂), ada juga tanaman karet.

Selain kemampuan beradaptasi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan sulfat masam tersebut, sawit, aksia dan karet mempunyai nilai ekonomis. Jenis tanaman unggul lain yang dapat ditanam di lahan gambut adalah balangeran (shorea balangeran), jelutung rawa, punak, resak, dan kapur naga.

Kemiri sunan (Reutealis trisperma) layak dilirik untuk dikembangkan di lahan gambut. Bijinya bisa diolah sebagai bahan baku pembuatan biodisel. Beberapa penelitian bahkan mengungkap rendemannya lebih tinggi dari kelapa sawit.

Kemiri Sunan di Lahan Gambut

Pengganti CPO di Masa Depan

Sosial

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

46M

ajalah Hutan Indonesia

Beberapa jenis tanaman semusim juga bisa dibudidayakan di lahan gambut. Namun, harus dipertimbangkan juga bagaimana tipe gambutnya. Apakah termasuk gambut dangkal atau gambut dalam.

Kedalaman gambut menentukan jenis tanaman yang bisa dibudidayakan. Biasanya Dinas Pertanian Provinsi atau Kabupaten sudah mempunyai sejumlah hasil riset tanaman yang paling bernilai

ekonomis di lahan gambut di daerahnya.

Salah satu tanaman yang bisa dikembangkan untuk lahan gambut adalah kemiri sunan, dimana bijinya sebagai bahan pembuatan biodisel. Pengembangan kemiri sunan secara perhitungan cukup ekonomis. Apalagi, dari beberapa penelitian rendemennya juga lebih tinggi dari kelapa sawit.

Tanaman kemiri sunan ini dapat tumbuh 75 tahun hingga 100

tahun dan mampu menghasilkan saat tanaman berumur lima tahun seperti kelapa sawit. Pohon tanaman ini juga dapat mencapai ukuran maksimal seperti pohon beringin dengan jarak tanam enam meter hingga 10 meter.

Bahkan disela tanaman kemiri sunan dapat juga ditanami kakao dan kopi. Salah satu tanaman kopi yang cocok dikembangkan di lahan gambut adalah kopi jenis liberika.

Pembibitan dan PengolahanKemiri sunan dengan nama latin

Reutealis trisperma, merupakan tumbuhan asli dari Asia Tenggara, menyebar di Filipina, Indonesia, dan Thailand. Budi daya secara luas di Indonesia sejatinya pernah dimulai sekitar abad ke 18 oleh pedangang dari Tiongkok di daerah Cilongok dan Karawaci (Tangerang). Namun pamornya kemudian meredup.

Belakangan, kemiri sunan kembali dilirik. Saat ini, tanaman tersebut relatif banyak dilakukan uji coba tanam. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melakukan pembibitan dan pengolahan tanaman kemiri sunan di Kabupaten Garut dan Kota Cimahi.

Tanaman kemiri sunan di lahan gambut memang masih perlu dikaji lebih lanjut, tapi salah satu hasil kajian dari PT Darma Prema Bioenergy bekerjasama dengan Belantara Foundation --yang melakukan kemitraan dalam pengembangan bibit kemiri sunan bersama Kementerian LHK--, mengklaim tanaman kemiri sunan dapat bertahap di lahan bekas tambang yang ada di Kalimantan Timur.

Kemitraan Kementerian LHK tersebut menghasilkan poin-poin penting antara lain tanaman kemiri

Pengolahan kemiri sunan pasca panen. (ist)

Pembibitan tanaman kemiri sunan di Kabupaten Garut dan Kota Cimahi. (ist)

Sosial

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

47

Majalah H

utan Indonesia

sunan memiliki dua fungsi yakni fungsi konservasi dan fungsi bio energi. Fungsi konservasi, kemiri sunan memiliki akar dalam dan tajuk besar dapat mengurangi erodibilitas tanah sehingga dapat menjadi solusi untuk masalah erosi. Untuk fungsi lainnya menghasilkan biodiesel sebagai sumber energi alternatif.

Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK Hadi Daryanto, melihat potensi dari kemiri sunan yang besar dan dapat menjadi solusi untuk isu lingkungan hidup, tenaga kerja, dan juga krisis energi. “Saya akan terus berusaha mengkawal kegiatan seperti ini untuk berjalan secara berkelanjutan,” ujar Hadi saat meninjau lapangan pembibitan dan pengolahan kemiri sunan di Kabupaten Garut (5/2/2017).

Hasil kajian dari Kementerian Pertanian dari satu hektare lahan dengan 100-150 pohon kemiri sunan, dapat menghasilkan 6-8 ton biodiesel per tahun. Di tingkat pengusaha pengolahan minyak, dengan asumsi satu liter biodiesel diperoleh dari 2,5 kg biji kering. Harga biji kemiri sunan Rp 1.000 per kg dan biaya proses Rp 2.500 per liter, maka biaya produksi biodiesel diperkirkan sekitar Rp4.500. Dengan perhitungan harga harga biosolar Rp7.000 per liter diperoleh keuntungan Rp 2.500 per liter (bruto) tergantung infrastruktur.

Pengganti CPOMelihat potensi tersebut,

tanaman kemiri sunan dalam jangka panjang dapat dikembangkan sebagai salah satu pengganti Crude Palm Oil (CPO) untuk pemanfaatan biodisel.

Produksi CPO yang saat ini mencapai sekitar 21 juta ton masih dipergunakan untuk makanan dan bahan bakar nabati. Namun untuk depan, meskipun produksi CPO ditargetkan mencapai 40 juta ton, dikhawatirkan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan.

Jadi, nantinya tidak dapat juga untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati. Untuk itu perlu juga upaya pengembangan juga tanaman kemiri sunan yang penggunaanya 100% untuk bahan

bakar nabati dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan.

Tanaman kemiri sunan tidak membutuhkan banyak persyaratan teknis untuk tumbuh optimal, di lahan-lahan marginal juga dapat tumbuh dengan baik. Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah melakukan pemetaan daerah-daerah bekas tambang yang perlu direklamasi. Wilayah itu akan berubah menjadi sentra tanaman kemiri sunan. (wu/tri)

Tanaman kemiri sunan dalam jangka panjang dapat dikembangkan sebagai salah satu pengganti Crude Palm Oil (CPO) untuk pemanfaatan biodisel.

Sosial

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

48M

ajalah Hutan Indonesia

Indonesia pernah menjadi guru tentang banyak hal bagi Malaysia, terutama di awal-awal masa kemerdekaan negeri jiran itu.

Kini, seiring perkembangan zaman, situasi berbalik. Malaysia justru menawarkan banyak hal untuk dipelajari. Salah satunya adalah pengelolaan lahan gambut.

Ya, Negara yang merdeka pada 31 Agustus 1957 itu memang sukses mengelola gambut. Tak cuma dijadikan tempat budi daya komoditas unggulan, Malaysia juga berhasil mencegah munculnya kebakaran hutan dan lahan gambut.

Apa rahasianya? Ternyata kuncinya adalah adalah dengan proses pengeringan yang baik, proses pemadatan yang baik, dan manajemen air yang juga baik.

Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association Abdul Hamed Sepawi menyatakan

sebenarnya lahan gambut sama dengan lahan biasa. Gambut merupakan medium penamaman yang sangat baik, selama dikelola dengan sebaik mungkin. Dalam acara “15th International Peat Congress”di Kuching, Sarawak Malaysia, Selasa (16/08/2016), dia menjelaskan, tiga kunci pengelolaan itu sudah membantu Sarawak mencegah kebakaran di lahan gambut.

Menurut dia, perlu ada pembedaan antara lahan gambut yang terkelola dengan baik (managed) dengan lahan yang tidak terkelola dengan baik (unmanaged) untuk mencegah adanya kebakaran. Kebakaran biasanya terjadi di lahan gambut yang tidak terkelola. “Gambut itu medium penanaman yang sangat baik dan terus berkembang, akar tanaman yang ditanam di atas lahan gambut akan

mengisi ruang-ruang kosong di dalam tanah,” tutur Hamed.

Selain ketiga hal tersebut, juga perlu ada penataan agar tanaman di lahan gambut diatur sedemikian rupa sehingga sinar matahari tidak langsung menyentuh tanah. “Selama lahannya tertutup tanaman dengan baik, sinar matahari hanya akan membantu proses fotosintesis dan tidak akan memicu kebakaran (sunheat fire),” ujarnya.

Tanaman SawitPengelolaan lahan gambut

yang kedua adalah dengan pemanfaatan lahan tersebut sebagai medium penanaman aneka jenis semakin populer di banyak negara. Di Indonesia, lahan gambut dimanfaatkan tidak hanya untuk tanaman kelapa sawit, tapi juga kopi, nanas, karet, tanaman pangan, bahkan untuk budi daya madu.

BELAJAR DARI KESUKSESAN MALAYSIA KELOLA LAHAN GAMBUTAbdul Hamed Sepawi,

Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association

Manca

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

49

Majalah H

utan Indonesia

Dalam forum itu, Hamed menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi negara lain takut menanam kelapa sawit di lahan gambut. Pengembangan perkebunan kelapa sawit punya potensi menyerap gas karbondioksida dalam bentuk karbon padat yang dapat dimanfaatkan sebagai biomassa.

Proses penanaman juga sudah dibatasi oleh standar-standar berkelanjutan seperti Malaysia

Sustainable Palm Oil (MSPO) untuk di Malaysia dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk di Indonesia. Namun, menurut Hamed, perlu teknik dan inovasi ilmiah untuk mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi areal pengembangan budi daya tanaman apapun.

Tahap awal akan penuh tantangan, tapi dengan inovasi berkelanjutan, produktivitas kelapa sawit di lahan gambut Sarawak

Manca

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

50M

ajalah Hutan Indonesia

dapat meningkat dari 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar per tahun menjadi 30 ton per hektar per tahun. Pengalaman negara bagian Serawak Malaysia itu membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dapat dikelola secara berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi yang sangat besar.

Kini, semua kerja keras yang dilakukan membuahkan hasil yang sangat baik dan Serawak menjadi contoh sukses pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Namun, ketika secara teknis ilmiah pengembangan sawit di lahan gambut sukses, tantangan lain datang. 

Perkebunan kelapa sawit selama ini mendapat dukungan Pemerintah Malaysia karena memberikan kontribusi bagi perekonomian serta menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Di sisi lain, kegiatan tersebut juga mendorong perbaikan kawasan gambut karena dikelola secara benar oleh korporasi.

Tata kelola air yang baik dan pemadatan mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air, sehingga gambut tetap basah. Bahkan Negara Malaysia terselamatkan krisis ekonomi sebanyak tiga kali berkat kontribusi yang diberikan industri kelapa sawit.

Secara ekologis gambut yang dikelola baik akan memberikan produktivitas secara berkelanjutan dan tetap mempertahankan fungsi ekologis kawasan. Artinya fungsi-fungsi gambut sebagai penyimpan air, penyimpan karbon, penyimpan biodiversitas flora dan fauna tetap dapat dijalankan, sementara fungsi lain sebagai faktor produksi dapat berjalan secara paralel. (tri/wu)

Perkebunan kelapa sawit selama ini mendapat dukungan Pemerintah Malaysia karena memberikan kontribusi bagi perekonomian serta menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Di sisi lain, kegiatan tersebut juga mendorong perbaikan kawasan gambut karena dikelola secara benar oleh korporasi.

Manca

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

51

Majalah H

utan Indonesia

Riset

Isu lingkungan kembali mengemuka seiring dengan penerapan aturan tentang pengelolaan lahan gambut

yang lestari. Isu tersebut akan menjadi tantangan bagi tumbuh kembangnya industri kehutanan..

Dalam workshop nasional bertajuk Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut di Indonesia belum lama ini, Supiandi Sabiham dari Departemen Ilmu Tanah & Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyoroti tentang pengelolaan lahan

gambut di Indonesia. Menurutnya, kondisi lahan gambut di Indonesia terkini berupa hutan primer dan atau hutan sekunder yang belum dialokasikan untuk pemanfaatan lain, berupa hutan yang ada izin Hak Guna Usaha (HGU) akan tetapi belum dibuka untuk penggunaan lain.

Kemudian, katanya, sudah ada izin HGU dan sudah dibuka tetapi sebagian dari lahan belum diusahakan (masih hutan), dan sudah ada izin HGU dan sudah dibuka, dan seluruh dari lahan

gambut sudah diusahakan. Namun, isu lingkungan yang berkembang telah menjadi topik bahasan yang serius dalam pengembangan lahan gambut.

Isu lingkungan tersebut adalah Pertama, deforestasi atau degradasi hutan rawa gambut. Lalu Kedua, subsiden dan kebakaran gambut, sedangkan Ketiga adalah mengenai emisi karbon. “Pertanyaan yang mucul, sejauh mana isu tersebut terjadi? Mengingat perubahan penggunaan lahan atau

Lingkungan Pengaruhi Pengelolaan GambutTata kelola lahan gambut yang ideal sudah dimulai sejak era orde baru. Kini pengelolaan bergeser menjadi tuntutan pengelolaan gambut lestari.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

52M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

Pengelolaan lahan gambut: Land Based Agro Ecological Develop

pemanfaatan lahan gambut sudah melalui proses panjang,” katanya dalam workshop tersebut.

Sebut saja, proyek transmigrasi (kurun waktu 1969-2000) dimana sekitar 8,94 juta hektare lahan tanah mineral dan gambut telah dibuka untuk proyek, yang umumnya berasal dari hutan primer. Kemudian systematic logging (dimulai 1970 puncaknya pada kurun waktu 1985-1997) dimana kecepatan deforestasi sekitar 1,26 juta hektare per tahun, yang kemudian diikuti dengan perkembangan penduduk secara spontan.

Selanjutnya, perkembangan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri atau HTI (dimulai pertengahan 1980-an puncaknya pada 1990-an) merupakan program pemerintah terkait dengan diversifikasi hasil dengan fokus pengembangan pada hutan berdegradasi.

Ekosistem Supiandi sebagai pakar ilmu

tanah menjelaskan bahwa ada tiga ekosistem gambut yang menjadi perhatian, yakni tawar, payau, dan marin. Secara fungsi

ekosostem gambut dibedakan dengan fungsi lindung (≥30% dari Kesatuan Hidrologis Gambut/KHG), termasuk gambut diluar fungsi lindung dengan ketebalan >3 m, dan fungsi budi daya. “Dasar penetapan ≥30 % dan KHG, kenapa? Ketebalan >3m tidak mensyaratkan ketebalan gambut secara kuantitatif untuk budi daya,” ujarnya.

Menurut dia, dalam pengembangan budi daya tanaman, perubahan tinggi muka air tanah dimaksudkan agar gambut berubah dari basah (rawa) ke lembab, gambut tidak mudah terbakar, gambut tidak mengalami sifat atau irreversible drying dan Emisi-C dalam batas alamiah. Untuk drainase, klasifikasi drainase di lahan gambut berdasarkan rata-rata tahunan kedalaman muka air di saluran (dari beberapa tahun pengukuran), <30 cm = klas drainase dangkal (shallow drained class) dan >30 cm = klas drainase dalam (deep drained class).

Supiandi menjelaskan, ketahanan gambut terhadap kebakaran ditentukan oleh kondisi hidrofobisitas gambut bahwa

semakin kering bahan gambut, ketahanan terhadap kebakaran semakin rendah. Hidrofobisitas gambut, lanjutnya, berhubungan erat dengan Kadar Air (KA) dimana semakin rendah KA di bagian permukaan gambut, sebagian bahan gambut dapat menjadi bersifat hidrofobik.

KA dalam bahan gambut mempunyai keterkaitan erat dengan tinggi Muka Air Tanah (MAT) dan kandungan gugus fungsional bahan gambut, serta porositas gambut. Kesimpulanya, Supiandi menambahkan bahwa batas kedalaman yang ideal tergantung sifat gambut, jenis dan umur tanaman, dan musim. MAT di lahan gambut ‘tidak stabil, dipengaruhi oleh curah hujan dan sifat-sifat gambutnya. “Batas kritis tinggi MAT terhadap kebakaran tergantung tingkat hidrofobisitas bahan gambut, dan batas kritis air tanah,” ungkapnya.

Namun demikian, kendati produktivitas lahan gambut tergolong rendah tetapi dengan asupan atau input yang cukup dan sesuai, produktivitas lahan gambut tersebut dapat ditingkatkan. (wu)

Sumber: Workshop Nasional, Kebijakan & Tata Kelola Lahan Gambut di Indonesia (27/05/2015).

Produksi Tanaman

Pengelolaan Air

Pengelolaan Tanah

MPA B

C

Metode Pengembangan:A. Mempertahankan kedalaman air muka tanah (Ground

Water Level/GWL)) yang sesuai dan Kadar Air (KA) pada kondisi gambut hidrofilik.

B. Pemupukan dan ameliorasi, untuk memperbaiki kesuburan dan stabilitas gambut.

C. Memperbaiki kapiler mikro tanah dan menurunkan emisi C, pemadatan gambut jadi penting.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

53

Majalah H

utan Indonesia

Riset

Selain itu, dalam buku laporan hasil studi yang diterbitkan oleh PT Penerbit IPB Press di

edisi pertama, November 2014 ini menyebutkan, lahan gambut juga memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan ekonomi nasional. Jika berbicara tingkat kegentingannya, mereka sangat mudah terancam oleh perubahan lingkungan yang drastis, terutama aktivitas manusia yang bersifat merusak.

Studi tersebut dilakukan oleh tim peneliti dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB,

dengan dukungan dari para kolega dari Fakultas lain, dan bantuan pendamping ahli dari Universitas Riau, Universitas Jambi, Universitas Satya Wacana (Jawa Tengah), juga Universitas Hokkaido, Jepang.

Tujuan awal dari studi ini adalah untuk memeriksa lebih dekat dinamika karbon di hutan rawa gambut Sumatera, Indonesia yang mana telah dimanfaatkan ke dalam penggunaan prioritas lahan yang berbeda dibawah rencana pengembangan strategis nasional, perlindungan dan konservasi cadangan hutan alam, pembangunan ekonomi berkelanjutan (ilmu kehutanan

dan pertanian), serta lahan untuk penggunaan masyarakat umum.

Buku ini memberikan hasil dari studi satu tahun pertama atas dinamika karbon di lahan gambut tropis di tiga lokasi HTI di Provinsi Riau, Sumatera, Indonesia. Di antara parameter yang telah diamati termasuk penyusutan lahan gambut, keseimbangan karbon, dan gas rumah kaca atau Green House Gas (GHG) mengalami perubahan secara terus-menerus dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologi di bentang darat serta ekosistem hutan rawa gambut dimana, pada gilirannya, mungkin telah diubah oleh pengembangan tanaman

Ekosistem Lahan Gambut Miliki Keragaman Habitat Alam

Hasil Penelitian Lahan Gambut di Sumatera

Basuki Sumawinata, Gunawan Djajakirana, Suwardi, dan Darmawan dalam bukunya “Carbon Dynamics in Tropical Peatland Planted Forest” mengungkapkan bahwa lahan gambut tropis mewakili ekosistem yang sangat unik, rentan dan vital. Ekosistem itu sangat berperan dalam memegang kuantitas besar atas air tanah, menyimpan gas-gas rumah kaca (GHG), memiliki keberagaman dan habitat alam, serta mendukung mata pencaharian dan budaya masyarakat lokal.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

54M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

industri dan praktisi pertanian masyarakat.

Data dalam hutan alam (pertumbuhan awal, dan kedua hutan rawa gambut), hutan tanaman (Acacia crassicarpa di tanah gambut dangkal, sedang dan dalam, juga Acacia Mangium dan Eucaliptus pellita dalam mineral tanah) telah menghasilkan pengetahuan baru, beberapa dari mereka telah membenarkan penemuan sebelumnya, dan di saat yang sama, yang lain muncul dengan perbedaan tajam dari yang sudah dilaporkan sebelumnya.

Lahan gambut tropis mewakili ekosistem yang sangat unik, rentan dan vital. Mereka sangat berperan dalam memegang kuantitas besar atas air tanah, menyimpan gas-gas rumah kaca, memiliki keberagaman dan habitat alam, serta mendukung mata pencaharian dan budaya masyarakat lokal. Lahan gambut juga memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan ekonomi nasional. Jika berbicara tingkat kegentingannya, mereka sangat mudah terancam oleh perubahan lingkungan yang drastis, terutama aktivitas manusia yang bersifat merusak.

Para ahli lahan gambut menyebutkan bahwa penyusutan permukaan lahan gambut terjadi karena adanya perubahan hutan rawa gambut menjadi hutan tanaman, hutan perkebunan, sawah masyarakat, dan penggunahan lahan lainnya. Oleh karena itu, reklamasi atau pengembangan gambut membawa air drainase, dan juga paparan, oksidasi dan penguraian bahan organik yang membentuk lapisan gambut di antara tanah mineral yang mendasari diatasnya, dan, dalam prosesnya, pelepasan GHG menuju

atmosfer. Maka dari itu, hilangkan bagian

terbesar dari tanah gambut menyebabkan tingkat tanah menjadi surut, tapi banyak ahli mengatakan bahwa tergantung pada seberapa banyak tingkat air tanah yang turun, menguraikan gambut yang terbuka. Hubungan-hubungan yang nampak tersebut juga sudah dipergunakan pada prediksi empiris, sebagai contohnya, tingkat skema air, dekomposisi gambut, emisi gas rumah kaca, atau resesi permukaan mengingat nilai parameter atau parameter yang diketahui atau yang diamati.

Lebih jauhnya lagi, beberapa ahli mengklaim bahwa penyusutan gambut membuat lahan gambut yang sudah berubah menjadi lebih mudah terkena banjir (ketika ada air hujan dalm kadar yang lebih dan terus-menerus), dan juga kekeringan (selama masa kemarau panjang), serta terjadinya kebakaran lahan dan hutan .

Penyusutan GambutSeperti yang sudah disebutkan

diatas, studi satu tahun ini telah menghasilkan beberapa hasil yang baru dan mengejutkan, meskipun sifatnya masih sementara. Sebagai contoh, pada laporan dari penemuan dalam studi saat ini,

istilah dan peristiwa penyusutan lahan gambut mungkin harus diteliti ulang, dan secara langsung dihubungkan dengan kedalaman gambut, penurunan air tanah dan dekomposisi gambut.

Penyusutan gambut selalu dilihat sebagai penurunan permukaan gambut. Bagaimanapun, pada studi ini, istilah ini menjadi salah. Permukaan gambut memang bergerak, tidak hanya turun tapi juga benar-benar dalam tahapan pergerakan ‘naik-dan-turun’ yang tidak teratur, baik dibawah maupun diatas bidang datum, dari perubahan kecil sampai perubahan yang kuat, baik temporal maupun spasial.

Meskipun begitu, umumnya, terdapat penurunan gambut (pergerakan dibawah bidang datum) di akhir satu-tahun-observasi. Hal ini juga didemostrasikan pada studi ini, bahkan dalam keadaan biasa tanpa gangguan, hutan rawa gambut dapat mengalami pergerakan gambut yang mungkin atau mungkin tidak berbeda secara signifikan dengan hutan tanaman.

Satu teori yang mampu menjelaskan terjadinya ‘pergerakan terbalik’ adalah bahwa pengadaan vegetasi dapat membawa fenomena ini (diistilahkan sebagai

Lahan gambut tropis mewakili ekosistem yang sangat unik, rentan dan vital. Mereka sangat berperan dalam memegang kuantitas besar atas air tanah, menyimpan gas-gas rumah kaca, memiliki keberagaman dan habitat alam, serta mendukung mata pencaharian dan budaya masyarakat lokal.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

55

Majalah H

utan Indonesia

dorongan atau gelombang), ketika pohon-pohon sudah roboh atau mati.

Pengeringan tanah berdasar musim disebabkan karena penanaman pohon dilakukan secara terbalik, permukaan gambut disekitar pohon akan naik dan meluas secara menyamping (Lindsay, 2010). Teori lain yang memunginkan adalah ‘pantulan isostatik’ yang di antara penyebab kemungkinan yang lain, harus diteliti lebih jauh.

Sudah menjadi praktik yang khas untuk mendapatkan rata-rata tingkat penurunan gambut per bulan atau per tahun, atau berdasarkan data perhitungan penyusutan terakhir, dan mengaplikasikan nilai untuk mengkalkulasikan penyusutan gambut di unit lahan gambut. Hasil studi menunjukkan bahwa gambut tropis, seperti yang ditemukan di Sumatera, Indonesia, sangat dinamis dan beragam dalam jarak dekat dan waktu yang singkat, menjadi lebih realistik dikarakteristikkan oleh cakupan tingkat – di bawah dan di atas bidang datum masing-masing – dibandingkan rata-rata yang lebih sederhana.

Mungkin juga jumlah generalisasi kasar untuk menggunakan rata-rata data pengukuran periodik terakhir, sejak tingkat penyusutan gambut berada pada titik tertentu antara awak dan akhir periode bisa jadi lebih besar dari pengukuran sebelumnya. Apa yang sudah jelas didemonstrasikan dalam studi ini adalah permukaan gambut bergerak naik dan turun di bawah bidang datum yang diasumsikan (penyusutan positif dan negatif ), atau naik dan turun diatas bidang datum (‘penyusutan

terbalik’ positif dan negatif ), atau bertahan di tingkatan yang sama. Dalam kata lain, jika tidak dalam kedaan yang berubah-ubah, gambut yang bergerak naik-turun secara tak teratur mendemonstrasikan pemantulan dan penyusutan.

Lebih jauh lagi, menjadi penting untuk dicatat bahwa saat terbaik untuk mengukur pergerakan gambut di area hutan tanaman adalah sebelum, saat kejadian, dan sesudah perubahan hutan alam tersebut. Akan tetapi dalam studi ini, bidang observasi ini diambil ketika lahan gambut telah diubah menjadi hutan tanaman untuk

selang waktu yang cukup, maka lahan gambut dan tanah gambut sudah dikhususkan pada pengaruh yang beragam.

Penemuan menarik lainnya yang muncul dari studi ini ialah pemeriksaan kondisi lahan gambut yang lebih dekat menguak bahwa lahan gambut tidak benar-benar rata, tapi muncul dalam bentuk bantuan mikro, yang memiliki puncak yang terlihat pada lembah dan membentuk topografi lokal. Frekuensi bukit kecil dan cekungan, serta perbedaan elevasi nampaknya dipengaruhi oleh kedalaman gambut (jumlah bukit kecil yang lebih tinggi terjadi pada tanah

Riset

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

56M

ajalah Hutan Indonesia

gambut yang lebih dalam), dan rekam jejak penggunaan situs lahan (tunggul sisa dan sistem akar pohon yang ditebang membentuk gundukan).

Kehadiran atribut bantuan mikro semacam itu di lahan gambut sangat krusial dan ini menyiratkan bahwa ada perbedaan mikro dalam tingkat air dalam kisaran jarak horisontal yang sempit. Jika demikian, temuan ini kemudian dapat, memerlukan tinjauan konsekuensial atas peraturan pemerintah yang ada yang mengatur tentang peraturan pengembangan dan pengelolaan lahan gambut yang berbasis pada tingkat air tanah saja.

Singkatnya, penurunan gambut, atau lebih tepatnya, pergerakan gambut, sebenarnya bukan merupakan fungsi langsung dari kedalaman gambut, atau kenaikan dan penurunan tabel tanah, atau hilangnya gambut dari dekomposisi.

Penurunan dan kenaikan permukaan gambut tampaknya memiliki hubungan yang lebih banyak dengan kadar air tanah, yang mungkin telah dipengaruhi oleh banjir musiman dan genangan air.

Kenaikan berulang dan banjir bandang dari waktu ke waktu mungkin telah menyebabkan pemadatan pada partikel gambut terutama di dekat permukaan. Namun, ini masih merupakan hipotesis mentah, namun berdasarkan data satu tahun yang dipaparkan di sini, yang pasti adalah bahwa penurunan gambut tidak dapat dikaitkan secara langsung semata-mata atau terutama karena hilangnya gambut dari dekomposisi.

Tabel air tanah tidak secara

langsung dipengaruhi oleh kelembaban tanah atau bahkan curah hujan. Ini menyiratkan bahwa dibutuhkan beberapa saat sebelum hujan atau air drainase yang masuk dan merembes ke cakrawala tanah untuk menaikkan permukaan air, tergantung pada jumlah, intensitas, frekuensi dan durasi curah hujan di satu sisi, dan karakteristik fisik gambut (fraksinasi, bahan induk gambut, besar kerapatan, dan porositas) di sisi lain.

Hasil awal penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya korelasi kuat antara penurunan, atau lebih

spesifik lagi, penurunan permukaan lahan gambut, dan penurunan pada tabel air tanah. Sebagai contoh, rentang kadar permukaan air tanah yang cukup luas dalam penelitian ini tidak menunjukkan tingkat penurunan gambut yang proporsional.

Pengamatan menarik ini harus diverifikasi lebih lanjut dengan menindaklanjuti penelitian. Pengambilan sampel lapangan untuk menentukan emisi karbon dari lahan gambut juga harus mempertimbangkan bantuan mikro semacam itu.

Organisme TanahObservasi lebih lanjut dalam

penelitian ini adalah bahwa

pergeseran dari rawa gambut alami ke hutan tanaman belum secara signifikan mengubah kerapatan tanah gambut. Hal itu dikarenakan tidak ada pemadatan buatan di hutan alam, jumlah kerapatan yang lebih tinggi di lapisan atas tanah gambut di hutan yang ditanam tidak dapat dianggap sebagai pemadatan.

Penguraian bahan organik di dalam tanah umumnya dilakukan oleh bakteri dan jamur, dan difasilitasi oleh fauna mikro (cacing tanah dan rayap) dan fauna meso (collembola) yang

memecah sampah, sehingga meningkatkan luas permukaannya, dan memodifikasi substrat bakteri dan kolonisasi jamur. Mereka juga menyebarkan spora dan miselium jamur, juga spora bakteri.

Populasi organisme tanah yang lebih tinggi berkontribusi secara substansial tidak hanya terhadap respirasi tanah yang lebih tinggi, emisi gas rumah kaca, namun juga penyerapan karbon yang lebih tinggi.

Bertentangan dengan temuan penelitian sebelumnya (yang umumnya menurun dengan kedalaman tanah), organisme tanah tampaknya tidak terpengaruh secara konsisten oleh kedalaman gambut, sampai batas tertentu

Riset

Penurunan gambut, atau lebih tepatnya, pergerakan gambut, sebenarnya bukan merupakan fungsi langsung dari kedalaman gambut, atau kenaikan dan penurunan tabel tanah, atau hilangnya gambut dari dekomposisi.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

57

Majalah H

utan Indonesia

jumlah kelembaban tanah dan pH tanah cenderung membatasi populasi fauna tanah. Secara umum, semakin tinggi kadar air tanah, maka semakin rendah respirasi tanah.

Hal ini dapat dijelaskan oleh penurunan populasi organisme tanah, mungkin karena kebanyakan organisme tidak dapat hidup, atau tidak dapat bertahan dengan tanah yang dilapisi air secara berlebihan pada suatu waktu tertentu, dan penurunan ketersediaan oksigen yang mereka butuhkan untuk proses metabolisme. Ini berarti bahwa organisme tanah kemungkinan akan berpindah secara massal melampaui ambang batas normal kebutuhan air tanah mereka. Namun, di dalam kisaran

air tanah normal mereka, semakin tinggi ketersediaan air, akan semakin baik dalam hal aktivitas fisik dan reproduksi mereka.

Respirasi juga terjadi pada daun dan sampah di lantai hutan. Seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian ini, sampah yang terdekomposisi menunjukkan tingkat respirasi terendah dibandingkan dengan sampah segar dan daun segar, karena pada daun segar, dan pada tingkat yang lebih rendah pada sampah segar, masih ada nutrisi yang dimanfaatkan oleh mikroba tanah sebagai sumber energi, sehingga kegiatan mikroba juga pada tingkat yang relatif lebih tinggi.

Fluks CO2 tidak menunjukkan korelasi positif dengan kedalaman

muka air tanah. Nilai fluks CO2 meningkat dengan umur yang lebih tinggi dari hutan tanaman, sehingga respirasi tanaman dapat dikatakan berkontribusi lebih terhadap fluks CO2 daripada dekomposisi gambut. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya fluks CO2 dalam kandungan air tanah: fluks CO2 menjadi paling tinggi bila kadar air tanah berada di antara kapasitas lapangan (250% v/v) dan titik leleh permanen (180% v/v).

Kontribusi karbon dioksida yang berasal dari dekomposisi sampah dan respirasi akar sangat signifikan. Namun, pengukuran fluks CO2 di lahan gambut tidak dapat sepenuhnya terbebas dari respirasi akar dan efek eksudat akar. Hal ini karena akar yang lebih dalam (pohon) masih bisa tumbuh secara lateral di bawah tanah dan mencapai sampling plot dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pendekatan alernatif dirancang dalam penelitian ini.

Populasi yang lebih tinggi dari pohon yang ditanam akan menghasilkan penyerapan karbon yang lebih tinggi terutama karena dekomposisi lebih tinggi dari pohon yang lebih banyak dari waktu ke waktu. Tapi ini harus dianalisis lebih lanjut, seperti saat menentukan penawaran yang layak mengingat tujuan utama hutan tanaman adalah produksi kayu pulp yang berkelanjutan.

KesimpulanPada hasil dari studi ini, secara

faktual menunjukkan bahwa CO2 dilepaskan dari permukaan lahan gambut, dengan perubahan yang lebih besar daripada CH4 dan N2O. Besarnya perubahan CO2 yang terukur sebanding dengan data yang telah dikeluarkan

Riset

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

58M

ajalah Hutan Indonesia

Riset

sebelumnya. Biarpun begitu, dalam studi ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar gas yang dilepaskan sebenarnya berasal dari respirasi akar dan sampah, juga dari eksudat akar.

Kontribusi CO2 yang diproduksi dari dekomposisi gambut, faktanya, belum dikonfirmasi, karena hasil dari pengukuran perubahan dalam hutan tanaman (tanpa akar dan sampah yang bagus), masih menunjukkan angka yang lebih tinggi (sekitar 20-26 ton C/hektare/tahun) dikarenakan efek respirasi dan eksudat akar yang tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan.

Penyusutan gambut, yang juga sudah diukur selama lebih dari satu tahun, menunjukkan hasil yang kecil, hanya sekitar 3 cm. Disamping itu, data menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara kedalaman air tanah dengan tingkat penyusutan.

Dalam banyak kasus, ada penemuan yang menyatakan permukaan tanah menunjukkan kenaikan dan penurunan permukaan lahan gambut, menyebabkan lebih banyak kesulitan dalam menghubungkan mereka dengan pelepasan karbn

yang disebabkan dekomposisi gambut. Berdasarkan ini, alasan untuk menghitung emisi karbon atas dasar penyusutan gambut dan/atau menghubungkannya dengan kedalaman air tanah, tidak memberikan hasil yang cukup kuat.

Penghitungan keseimbangan karbon yang didasarkan pada total emisi dari dekomposisi gambut menghasilkan angka sebanyak 11 ton C-CO2/hektare/tahun. Total untuk satu siklus penanaman mengindikasikan bahwa hutan tanaman di lahan gambut memproduksi keseimbangan karbon pada nilai yang positif.

Bagaimanapun, hal ini harus dicatat bahwa beberapa nilai yang dikalkulasi masih diasumsikan atau diestimasikan, juga nilai emisi dari dekomposisi gambut yang masih belum diketahui secara akurat, atau perbedaan yang terdapat pada penemuan di studi sebelumnya. (tri)

Populasi yang lebih tinggi dari pohon yang ditanam akan menghasilkan penyerapan karbon yang lebih tinggi terutama karena dekomposisi lebih tinggi dari pohon yang lebih banyak dari waktu ke waktu.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

59

Majalah H

utan Indonesia