hipersensitifitas : proses imun yang menyebabkan …

27
HIPERSEN MENYE PROGRAM PATOLOGI NSITIFITAS : PROSES IMUN YA EBABKAN CEDERA JARINGAN Oleh: I Made Wirya Sastra Pembimbing: dr. I Made Gotra, Sp.PA M PENDIDIKAN DOKTER SPESIALI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTER UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2017 1 ANG N IS-1 RAN

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HIPERSENSITIFITAS : PROSES IMUN YANG

MENYEBABKAN CEDERA JARINGAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PATOLOGI ANATOMI F

HIPERSENSITIFITAS : PROSES IMUN YANG

MENYEBABKAN CEDERA JARINGAN

Oleh:

I Made Wirya Sastra

Pembimbing:

dr. I Made Gotra, Sp.PA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR

2017

1

HIPERSENSITIFITAS : PROSES IMUN YANG

MENYEBABKAN CEDERA JARINGAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1

EDOKTERAN

2

HIPERSENSITIFITAS : PROSES IMUN YANG MENYEBABKAN CEDERA

JARINGAN

Reaksi imun tubuh yang dapat menimbulkan cedera disebut hipersensitivitas

merupakan dasar dari patologi yang terkait dengan penyakit imunologi. Istilah ini

muncul dari individu yang sebelumnya pernah terpapar antigen memanifestasikan

reaksi yang dapat dideteksi terhadap antigen tersebut dan karena itu disebut

tersensitisasi atau menjadi peka atau menjadi sensitif. Hipersensitivitas berdampak

pada sesuatu yang berlebihan atau reaksi berbahaya terhadap antigen. Ada beberapa

hal penyebab gangguan hipersensitivitas secara umum yaitu :

• Reaksi hipersensitivitas dapat ditimbulkan secara eksogen oleh antigen

lingkungan (mikroba dan non mikroba) atau secara endogen oleh antigen diri

(self). Manusia hidup di lingkungan yang penuh dengan zat-zat yang mampu

menimbulkan respons imun. Antigen eksogen meliputi yang ada di debu,

serbuk sari, makanan, obat-obatan, mikroba, dan berbagai bahan kimia.

Respon imun akibat antigen eksogen dapat terjadi pada berbagai bentuk,

mulai dari gangguan ringan, seperti gatal-gatal kulit, hingga penyakit yang

berpotensi fatal, seperti asma bronkial dan anafilaksis. Beberapa reaksi yang

umum pada antigen lingkungan menyebabkan kelompok penyakit dikenal

sebagai alergi. Respon imun terhadap diri sendiri atau autologous, antigen,

mengakibatkan penyakit autoimun.

• Hipersensitivitas biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara

mekanisme efektor respon imun dan mekanisme kontrol yang berfungsi

membatasi respon-respon secara normal. Faktanya banyak hipersensitivitas

diduga penyebab utamanya adalah kegagalan regulasi normal. Kita akan

kembali ke konsep ini saat kita mempertimbangkan autoimmunitas.

• Perkembangan penyakit hipersensitivitas (alergi dan autoimun) sering

dikaitkan dengan pewarisan gen kepekaan tertentu. Gen HLA dan banyak gen

non-HLA telah terlibat dalam berbagai penyakit, contoh spesifik akan

dijelaskan dalam konteks penyakitnya.

• Mekanisme cedera jaringan pada reaksi hipersensitivitas sama dengan

mekanisme efektor pertahanan terhadap infeksi patogen. Masalah pada

3

hipersensitivitas adalah karena reaksi-reaksi ini kurang terkontrol, berlebihan,

atau tidak tepat (misalnya secara normal berlawanan terhadap antigen

lingkungan dan antigen diri).

KLASIFIKASI REAKSI HIPERSENSITIFITAS

Penyakit hipersensitivitas dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologi

yang memperantarai penyakit (Tabel 6-1). Klasifikasi ini berguna dalam

membedakan mekanisme respon imun menyebabkan cedera jaringan dan penyakit,

dan manifestasi patologis dan klinis yang menyertainya. Namun, sekarang semakin

disadari bahwa beberapa mekanisme mungkin terjadi pada setiap penyakit

hipersensitivitas. Beberapa tipe reaksi hipersensitivitas adalah sebagai berikut:

• Pada hipersensitivitas segera (hipersensitivitas tipe I), cedera disebabkan

oleh sel TH2, antibodi IgE dan sel-sel mast dan leukosit lainnya. Sel mast

akan dipicu untuk melepas mediator yang bekerja pada pembuluh darah dan

otot polos dan sitokin proinflamasi yang merekrut sel inflamasi.

• Pada gangguan yang diperantarai antibodi (hipersensitivitas tipe II), antibodi

IgG dan IgM yang disekresikan menyebabkan cedera sel dengan melalui

fagositosis atau lisis dan cedera jaringan dengan merangsang inflamasi.

Antibodi juga bisa mengganggu fungsi seluler dan menyebabkan penyakit

tanpa adanya cedera jaringan

Tabel 6-1 Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas

Tipe Mekanisme Imun Lesi

Histopathology

Gangguan

Prototipe

Hipersensitifitas

tipe I

(Immediate)

Produksi antibodi IgE

→ pelepasan segera

amina vasoaktif dan

mediator lainnya dari

sel mast, kemudian

sel-sel inflamasi

Dilatasi vaskuler,

edema, kontraksi

otot polos,

produksi mukus,

jejas jaringan,

inflamasi

Anafilaksis,

Alergi,Asthma

Bronkial

(Atopik)

Hipersensitifitas

Tipe I(Antibody-

mediated)

Produksi IgG, IgM →

mengikat antigen pada

sel target atau jaringan

→ fagositosis atau

lisis sel target dengan

Fagositosis dan

lisis sel;inflamsi ;

pada beberapa

penyakit,

Kelainan

Anemia

Hemolitik

Autoimun;

Sindroma

Goodpasture

4

mengaktivasi

komplemen atuu

reseptor Fc,

pemanggilan leukosit

fungsional tanpa

cedera sel atau

jaringan

Hipersensitifitas

Tipe III

(Immune omplex

Mediated)

Pengendapan

kompleks antigen-

antibodi → Aktivasi

komplemen;pemanggil

an leukosit oleh

produk komplemen

dan reseptor Fc

→pelepasan enzim

dan molekul toksik

lainnya

Peradangan,

vaskulitis nekrosis

(nekrosis fibrinoid)

Lupus

eritematosus

sistemik;

beberapa bentuk

glomerulonefritis

; penyakit serum

; reaksi Arthus

Hipersensitifitas

Tipe IV(Cell-

Mediated)

Limfosit T yang

diaktivasi → (1)

pelepasan sitokin,

peradangan dan

aktivasi makrofag ; (2)

sitotoksisitas yang

diperantari sel T

Infiltrat seluler

perivaskular ;

edema;

bentukan

granuloma ;

penghancuran sel

Dermatitis

kontak; Multiple

sklerosis;

diabetes tipe 1;

tuberculosis

Ig.Immunoglobulin

• Pada kelainan yang diperantarai kompleks imun (hipersensitivitas tipe

III), antibodi IgG dan IgM biasanya mengikat antigen di sirkulasi dan

penyimpanan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan dan merangsang

inflamasi. Leukosit yang dipanggil (neutrofil dan monosit) menghasilkan

kerusakan jaringan dengan melepaskan enzim lysosomal dan generasi

radikal-radikal bebas yang toksik.

• Pada kelainan imun yang diperantari oleh sel (hipersensitivitas tipe IV),

sensitisasi oleh limfosit T (sel TH1 dan sel TH17 sel dan CTLs),

menyebabkan cedera jaringan. Sel TH2 menginduksi lesi yang merupakan

bagian dari reaksi hipersensitivitas segera dan bukan bentuk

hipersensitivitas tipe IV.

5

Hipersensitifitas tipe I (Immediate)

Hipersensitivitas Segera atau tipe I, adalah reaksi imunologi yang terjadi secara cepat

terjadi pada individu yang telah peka sebelumnya, dipicu oleh pengikatan antigen

terhadap antibodi IgE pada permukaan sel mast. Reaksi ini sering disebut alergi dan

antigen-antigen yang ada tersebut adalah alergen. Hipersensitivitas segera dapat

terjadi sebagai gangguan sistemik atau sebagai reaksi lokal. Reaksi sistemik paling

sering melalui injeksi dengan antigen masuk ke individu yang peka (misalnya dengan

sengatan lebah), namun antigen bisa masuk melalui konsumsi makanan (misalnya

alergen kacang tanah). Terkadang, dalam beberapa menit pasien mengalami syok,

yang bisa berakibat fatal. Reaksi lokal beragam dan bervariasi tergantung tempat

masuknya alergen. Hal ini dapat menimbulkan ruam kulit lokal atau gelembung

(alergi kulit , gatal-gatal), cairan hidung dan konjungtiva (alergi rinitis dan

konjungtivitis), demam, asma bronkial, atau alergi gastroenteritis (alergi makanan).

Kebanyakan reaksi hipersensitivitas tipe I local, memiliki dua fase yang mudah

dipahami (Gambar 6-13). Reaksi segera ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran

vaskular dan tergantung lokasi, kejang otot polos atau sekresi kelenjar. Perubahan ini

biasanya menjadi jelas dalam beberapa menit setelah terpapar alergen dan cenderung

Gambar 6-13 Tahapan reaksi hipersensitivitas langsung. A, Kinetika reaksi langsung dan fase akhir. Reaksi

segera vaskular dan otot polos terhadap alergen berkembang dalam beberapa menit setelah tantangan (paparan

alergen pada individu yang peka sebelumnya), dan reaksi fase akhir berkembang 2 sampai 24 jam kemudian.

Reaksi langsung (B) ditandai dengan vasodilatasi, kongesti dan edema dan reaksi fase akhir (C) ditandai oleh

suatu infiltrasi inflamasi kaya akan eosinofil, neutrofil dan sel T. (Courtesy Dr. Daniel Friend, Departemen

Patologi, Brigham dan Women's Hospital,Boston, Mass.)

mereda dalam beberapa jam. Dalam banyak kasus (misalnya : Rinitis Alergi dan

Asma bronkial), terjadi dalam hitungan detik menghilang dalam 2 sampai 24 jam

kemudian tanpa paparan tambahan antigen dan bisa berlangsung selama beberapa

hari. Reaksi fase akhir ini ditandai dengan infiltrasi jaringan dengan eosinofil,

6

neutrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4+, serta kerusakan jaringan, biasanya dalam

bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Sebagian besar gangguan hipersensitivitas segera disebabkan respon TH2

yang berlebihan dan sel-sel ini berperan sentral dengan merangsang produksi IgE dan

menimbulkan inflamasi. Kelainan yang diperantarai TH2 ini menunjukkan urutan

karakteristik kejadian (Gambar 6-14), dijelaskan selanjutnya.

Aktivasi selTH2 dan Produksi Antibodi IgE

Langkah pertama dalam timbulnya sel TH2 adalah adanya paparan antigen ke sel T

helper CD4+ yang naif, kemungkinan oleh sel-sel dendritik yang menangkap antigen

dari tempat masuknya. Untuk alasan yang masih belum dipahami, hanya beberapa

antigen lingkungan menghasilkan respon TH2 yang kuat dan kemudian berfungsi

sebagai alergen. Respon pada antigen dan stimulus lainnya, termasuk sitokin seperti

IL-4 yang diproduksi di tempat lokal, sel T berdiferensiasi menjadi sel TH2. Sel TH2

yang baru dicetak menghasilkan sejumlah sitokin setelah itu secara berurutan

bertemu dengan antigen. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sitokin dari subset ini

adalah IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 bekerja pada sel B untuk merangsang pengalihan

ke IgE dan menimbulkan tambahan perkembangan sel TH2. IL-5 terlibat dalam

perkembangan dan aktivasi eosinofil, yang merupakan efektor penting dari

hipersensitivitas tipe I (dibahas kemudian). IL-13 meningkatkan produksi IgE dan

bertindak pada sel epitel untuk merangsang sekresi mukus. Selain itu, sel Th2

(termasuk sel mast dan sel epitel) menghasilkan kemokin yang menarik lebih

banyak sel Th2 dan juga leukosit lainnya ke tempat reaksi.

Sensitisasi dan Aktivasi Sel Mast

Karena sel mast sangat penting bagi perkembangan reaksi hipersensitivitas segera,

pertama kami tinjau beberapa karakteristik yang menonjol. Sel-sel mast adalah sel-

sel yang dihasilkan dari sumsum tulang yang tersebar luas di jaringan. Sel-sel

tersebut banyak terdapat didekat pembuluh darah dan saraf dan pada jaringan

subepitel , yang menjelaskan mengapa reaksi hipersensitivitas lokal segera sering

terjadi pada tempat-tempat ini. Sel mast memiliki granula-granula(butiran) yang

berikatan dengan membran sitoplasma, mengandung berbagai mediator aktif secara

biologis, akan dijelaskan kemudian. Granula juga mengandung asam proteoglikan

yang mengikat pewarna dasar seperti toluidine blue. (kata Mast di Jerman merujuk

untuk menggemukkan hewan dan nama sel-sel ini berasal dari pemahaman yang

salah bahwa butiran-butiran tersebut memberi makan jaringan dimana sel itu berada).

7

Seperti yang terinci selanjutnya, sel-sel mast (termasuk basofil) diaktifkan oleh

ikatan silang reseptor-reseptor IgE Fc afinitas tinggi, Selain itu, sel mast juga bisa

dipicu oleh beberapa rangsangan lainnya, seperti komponen pelengkap C5a dan C3a

(disebut anafilatoksin karena menghasilkan reaksi seperti anafilaksis), keduanya

bertindak dengan berikatan dengan reseptor pada membran sel mast. Sel mast

lainnya menghasilkan beberapa kemokin (misalnya IL-8), obat-obatan seperti kodein

dan morfin, adenosin, melittin (ada dalam racun lebah) dan rangsangan fisik

(misalnya panas, dingin, sinar matahari). Basofil mirip dengan sel mast dalam

banyak hal termasuk adanya reseptor IgE fc permukaan sel serta butiran sitoplasma.

Berbeda dengan sel mast, bagaimanapun, basofil biasanya tidak normal ada di

jaringan melainkan beredar dalam darah dalam jumlah sangat kecil. Sama halnya

untuk granulosit lainnya, basofil dapat dihasilkan pada tempat inflamasi.

Gambar 6-14 Urutan kejadian dalam hipersensitivitas segera (tipe I). Reaksi hipersensitivitas segera diawali oleh

pengenalan alergen, yang merangsang respons TH2 dan produksi IgE pada individu yang rentan secara genetik.

IgE berikatan dengan reseptor Fc (FcεRI) pada sel mast, dan selanjutnya paparan alergen mengaktifkan sel mast

untuk mensekresikan mediator yang bertanggung jawab atas manifestasi patologis pada hipersensitivitas

segera.Lihat teks untuk singkatan.

Sel mast dan basofil mengekspresikan reseptor afinitas tinggi, disebut FcεRI,

yang spesifik untuk bagian Fc IgE dan karena itu dengan kuat mengikat antibodi IgE.

8

Ikatan IgE dengan sel mast berlapis dikatakan menjadi sensitif, karena keduanya

sensitif terhadap paparan antigen spesifik selanjutnya. Ketika sel mast, dipersenjatai

dengan antibodi IgE yang diproduksi sebelumnya pada respons terhadap suatu

antigen, terpapar pada antigen yang sama maka sel teraktivasi, akhirnya mengarah ke

pelepasan dari respon mediator-mediator yang kuat menunjukkan gambaran klinis

reaksi hipersensitivitas segera. Pada langkah pertama dalam urutan aktivasi sel mast,

antigen berikatan dengan antibodi IgE sebelumnya menempel pada sel mast. Antigen

multivalen berikatan dengan ikatan silang antibodi IgE yang berdekatan. Reseptor-

reseptor Fcε yang mendasari dibawa bersama-sama, dan ini mengaktifkan sinyal

jalur transduksi dari reseptor-reseptor bagian sitoplasma. Sinyal ini mengarah pada

produksi mediator-mediator yang respon diawal , terkadang eksplosif, gejala-gejala

hipersensitivitas segera dan mereka juga menggerakkan sesuatu yang mengarah pada

reaksi fase akhir.

Mediator-mediator Hipersensitivitas Segera

Aktivasi sel mast menyebabkan degranulasi dengan pelepasan mediator-mediator

primer (preformed) tersimpan dalam granula-granula, sintesis de novo dan pelepasan

mediator sekunder termasuk produk lipid dan sitokin (Gambar 6-15).

Preformed Mediator. Mediator yang ada di dalam granul sel mast adalah yang

pertama dilepaskan dan bisa dibagi menjadi tiga kategori:

• Amina vasoaktif. Bagian sel mast yang paling penting menghasilkan amina

adalah histamin (Bab 3). Histamin menyebabkan kontraksi otot polos yang

intens, peningkatan permeabilitas vaskular dan peningkatan sekresi mukus

oleh nasal, bronkus dan kelenjar lambung.

• Enzim-enzim. Ini mengandung matriks butiran dan termasuk protease netral

(chymase, tryptase) dan beberapa asam hidrolase. Enzim-enzim ini

menyebabkan kerusakan jaringan dan menyebabkan adanya kinin dan

aktivasi komponen-komponen dari komplemen (misalnya:C3a) dengan

bertindak pada protein-protein prekursor.

• Proteoglikan. Ini termasuk heparin, dikenal sebagai antikoagulan dan

kondroitin sulfat. Proteoglikan berfungsi untuk mengemas dan menyimpan

amina dalam butiran butiran.

Mediator-mediator lipid. Mediator lipid utama produk turunan asam arakidonat

(Bab 3). Reaksi pada membran sel mast menyebabkan aktivasi fosfolipase A2,

sebuah enzim yang mengubah membran fosfolipid menjadi asam arakidonat. Ini

9

adalah senyawa induk dari leukotrien dan prostaglandin diproduksi oleh jalur 5-

lipoksigenase dan siklooksigenase secara berturut-turut.

• Leukotrien. Leukotrien C4 dan D4 sebagian besar diketahui sebagai agen

vasoaktif dan spasmogenik yang potensial. Dalam kadar molar mereka

beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan

permeabilitas vaskular dan menyebabkan kontraksi otot polos bronkial.

Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.

• Prostaglandin D2. Ini adalah mediator yang paling banyak diproduksi di sel

mast oleh jalur siklooksigenase. Ini menyebabkan bronkospasme intens dan

meningkatkan sekresi mukus.

• Faktor pengaktifan trombosit/Platelete-activating faktor (PAF). PAF (Bab 3)

adalah lipid mediator yang diproduksi oleh beberapa populasi sel mast tetapi

tidak berasal dari asam arakidonat. PAF menyebabkan agregasi trombosit,

pelepasan histamin, bronkospasme, peningkatan permeabilitas vaskular dan

vasodilatasi.

Perannya dalam reaksi hipersensitivitas segera, belum diketahui secara pasti.

Gambar 6-15 mediator sel mast. Setelah aktivasi, sel mast melepaskan berbagai kelompok mediator yang

bertanggung jawab untuk reaksi segera dan fase akhir. PAF(Platelet Activating Factor)

Sitokin. Sel mast adalah sumber yang menghasilkan banyak sitokin, yang mungkin

memainkan peran penting pada beberapa tahap reaksi hipersensitifitas segera. Sitokin

10

meliputi: TNF, IL-1 dan kemokin yang meningkatkan pengumpulan leukosit (tipe

reaksi fase akhir ) ; IL-4, yang memperkuat respons TH2 dan banyak lainnya. Sel-sel

inflamasi yang dipanggil oleh sel mast menurunkan TNF dan kemokin sebagai

sumber tambahan sitokin dan faktor-faktor pelepasan histamin yang

menyebabkannya degranulasi sel mast lebih lanjut.

Mediator ini bertanggung jawab atas manifestasi reaksi hipersensitivitas

segera. Beberapa seperti histamin dan leukotrien dilepaskan dengan cepat dari sel

mast tersensitisasi dan bertanggung jawab untuk reaksi segera yang ditandai dengan

edema, sekresi mukus dan kejang otot polos, lainnya dicontohkan oleh sitokin,

termasuk kemokin, menentukan stadium untuk respon fase akhir dengan

mengumpulkan tambahan leukosit. Sel-sel inflamasi ini tidak hanya melepaskan

gelombang mediator tambahan (termasuk sitokin), tetapi juga menyebabkan

kerusakan sel epitel. Sel-sel epitel sendiri tidak diam dalam reaksi ini, tapi juga bisa

menghasilkan mediator-mediator yang larut, seperti kemokin.

Reaksi Fase Akhir

Pada reaksi fase akhir, leukosit dikumpulkan lalu memperkuat dan mempertahankan

respon inflamasi tanpa paparan tambahan terhadap antigen pemicu. Eosinofil sering

menumpuk dalam populasi leukosit pada reaksi ini (Gambar 6-13C). Mereka

dikumpulkan ke tempat-tempat terjadinya hipersensitifitas segera oleh kemokin,

seperti eotaxin dan lainnya yang mungkin diproduksi oleh sel-sel epitel, sel TH2 dan

sel mast. Sebuah sitokin TH2 yaitu IL-5 diketahui sebagai sitokin pengaktif eosinofil

paling ampuh. Setelah mengaktivasi, eosinofil membebaskan enzim proteolitik juga

dua Protein unik disebut protein dasar utama dan protein kationik eosinofil yang bisa

merusak jaringan. Sekarang diyakini bahwa reaksi fase akhir merupakan penyebab

utama gejala-gejala pada beberapa jenis gangguan hipersensitivitas tipe I seperti

alergi, asma. Oleh karena itu, pengobatan penyakit ini membutuhkan penggunaan

obat antiinflamasi spektrum luas, seperti steroid, bukan obat anti histamine yang

bermanfaat dalam reaksi langsung seperti yang terjadi pada rhinitis alergi (hay

fever).

Perkembangan Alergi

Kerentanan terhadap reaksi hipersensitifitas segera secara genetis dapat

ditentukan.

Kecenderungan yang meningkat dalam perkembangan reaksi hipersensitifitas segera

disebut atopi. Individu yang atopik cenderung memiliki IgE serum yang lebih tinggi

11

dan IL-4 menghasilkan sel TH2 lebih banyak daripada biasanya. Riwayat keluarga

positif alergi ditemukan pada 50% individu atopik. Dasar predisposisi keluarga tidak

jelas, namun penelitian pada pasien dengan asma mengungkapkan keterkaitan

dengan polimorfisme pada beberapa gen. Beberapa gen ini berada di wilayah

kromosom 5q31; Ini termasuk gen yang mengkodekan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,

IL-13 dan GM-CSF. Lokus ini telah mendapat perhatian besar karena diketahui

peran dari sitokin dalam reaksi alergi, tapi bagaimana hubungan penyakit dengan

polimorfisme dalam mempengaruhi perkembangan alergi, tidak diketahui.

Keterkaitan juga telah dicatat pada 6p, dekat dengan kompleks HLA, menunjukkan

pewarisan alel HLA, memungkinkan reaktivitas ke alergen-alergen tertentu.

Faktor-faktor Lingkungan juga penting dalam perkembangan penyakit alergi.

Paparan polusi lingkungan , umumnya terjadi di masyarakat industri adalah faktor

predisposisi penting terjadinya alergi. Faktanya diketahui bahwa anjing dan kucing

berbeda dari manusia sekitar 95 juta tahun yang lalu dan simpanse hanya sekitar 4-5

juta tahun yang lalu, menunjukkan bahwa simpanse berbagi lebih banyak gen dengan

kita daripada anjing dan kucing. Meski begitu, anjing dan kucing yang hidup di

lingkungan yang sama seperti manusia dapat menimbulkan alergi dan simpanse

tidak. Pengamatan sederhana ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan mungkin

lebih penting dalam perkembangan penyakit alergi dibanding genetika. Infeksi virus

saluran nafas merupakan pemicu penting bagi asma bronkial, penyakit alergi yang

mempengaruhi paru-paru (Bab 15). Infeksi bakteri kulit sangat terkait dengan

dermatitis atopik

Diperkirakan 20% sampai 30% reaksi hipersensitivitas segera dipicu oleh

stimuli non-antigenik seperti suhu ekstrem dan olahraga dan tidak melibatkan sel

TH2 atau IgE, reaksi semacam ini terkadang disebut alergi nonatopik. Dalam kasus

ini diyakini bahwa sel mast sangat sensitif terhadap aktivasi oleh berbagai jenis

stimuli nonimun.

Angka kejadian penyakit alergi semakin meningkat di negara-negara

berkembang dan kelihatannya terkait dengan penurunan infeksi selama awal

kehidupan. Pengamatan ini telah menghasilkan sebuah gagasan, terkadang disebut

hipotesis higiene, pada anak usia dini dan paparan prenatal terhadap antigen mikroba

membuat sistem kekebalan tubuh sedemikian rupa sehingga respon patologis

terhadap alergen lingkungan dapat dicegah. Maka tingkat kebersihan (hygiene) di

12

masa kanak-kanak dapat meningkatkan alergi di kemudian hari. Bagaimanapun,

hipotesis ini sulit untuk dibuktikan dan mekanisme yang mendasari tidak terdefinisi.

Dengan pertimbangan ini mekanisme dasar hipersensitivitas tipe I, kita

beralih ke beberapa hal penting secara klinis contoh penyakit yang diperantarai IgE.

Reaksi ini bisa menyebabkan cedera dengan spektrum lebih luas dan manifestasi

klinis (Tabel 6-2).

Anafilaksis Sistemik

Anafilaksis sistemik ditandai dengan syok vaskular, edema yang meluas dan sulit

bernafas. Kemungkinan terjadi pada orang-orang yang tersensitisasi di rumah sakit

setelah pemberian protein asing (misalnya : antisera), hormon, enzim, polisakarida

dan obat-obatan (antibiotik penisilin) atau di kelompok yang terpapar alergen

makanan (misalnya,kacang tanah, kerang) atau serangga toksin (misalnya, racun

dalam lebah). Kenyataannya dosis kecil Antigen bisa memicu anafilaksis, misalnya

yang dosis kecil yang digunakan dalam pengujian kulit untuk berbagai bentuk alergi.

Karena adanya risiko reaksi alergi akibat kacang tanah terjadi dalam hitungan menit,

agensi A.S. sedang mempertimbangkan larangan pada makanan ringan kacang yang

disajikan di dalam pesawat terbang komersial. Dalam beberapa menit setelah

terpapar timbul gatal, gatal-gatal dan eritema kulit, diikuti segera sesudahnya dengan

kontraksi bronkiolus saluran pernafasan dan gangguan pernapasan. Edema laring

menyebabkan suara serak dan berlanjut kesulitan bernafas. Muntah, kejang perut,

diare dan diikuti obstruksi laring dan pasien bisa mengalami syok bahkan kematian

dalam beberapa jam. Risiko anafilaksis harus diingat saat agen terapeutik tertentu

diberikan. Meskipun pasien alergi yang berisiko umumnya dapat dikenali dengan

riwayat sebelumnya dalam hal ini kemungkinan reaksi anafilaksis tidak dapat

dihindari.

Tabel 6-2 Contoh Gangguan Disebabkan oleh Hipersensitivitas Segera

Sindrom klinik Manifestasi Klinik dan Patologi

Anafilaksis, mungkin

disebabkan oleh obat-

obatan,

sengatan lebah, makanan)

Tekanan darah menurun (shock) akibat dilatasi

pembuluh darah ; Obstruksi jalan nafas akibat edema

laring

Asthma Bronkial Obstruksi jalan napas disebabkan oleh hiperaktivitas

otot polos pada bronkus; inflamasi dan cedera jaringan

akibat reaksi fase akhir

Rinitis Alergi,Sinusitis,

(HayFever)

Peningkatan sekresi lendir; inflamasi saluran nafas

bagian atas, sinus

13

Alergi Makanan Peningkatan peristaltik akibat kontraksi otot-otot

intestinal

Reaksi Lokal Tipe Hipersensitivitas Segera

Sekitar 10% sampai 20% populasi menderita alergi melibatkan reaksi lokal terhadap

lingkungan umum alergen, seperti serbuk sari, bulu binatang, debu rumah, makanan,

dan sejenisnya. Penyakit spesifik termasuk urtikaria, alergi rhinitis (hay fever), asma

bronkial dan alergi makanan;hal ini dibahas di bagian lain dalam teks ini.

RINGKASAN

Hipersensitifitas Tipe I Segera

• Ini juga disebut reaksi alergi, atau alergi

• Mereka diinduksi oleh antigen lingkungan (allergen), yang merangsang kuat

respon TH2 dan produksi IgE pada individu yang rentan secara genetis

• IgE melapisi sel mast dengan ikatan terhadap reseptor Fcε; terpapar kembali

oleh allergen menyebabkan ikatan silang IgE dan FcεRI, aktivasi sel mast dan

pelepasan mediator.

• Mediator-mediator utama adalah histamin, protease dan isi granula lainnya,

prostaglandin dan leukotrien dan sitokin.

• Mediator-mediator yang respon terhadap reaksi segera vaskuler dan otot polos

juga reaksi fase akhir (inflamasi).

• Manifestasi klinis mungkin bersifat lokal atau sistemik dan berkisar dari rinitis

ringan yang mengganggu sampai anafilaksis fatal.

Hipersensitivitas Tipe II yang dimediasi Antibodi

Antibodi yang bereaksi dengan antigen timbul pada permukaan sel atau di dalam

matriks ekstraselular menyebabkan penyakit dengan merusak sel-sel tersebut,

memicu inflamasi atau mengganggu fungsi normal. Antibodi mungkin spesifik untuk

sel normal atau antigen-antigen jaringan (autoantibodies) atau untuk antigen-antigen

eksogen, seperti protein kimia atau mikroba, yang mengikat ke permukaan sel atau

matrik jaringan. Mekanisme yang bergantung pada antibodi dapat menyebabkan

cedera jaringan yaitu diilustrasikan pada (Gambar 6-16) dan dijelaskan

berikutnya. Reaksi-reaksi ini adalah penyebab penting beberapa penyakit (Tabel 6-3)

Opsonisasi dan Fagositosis

Fagositosis sebagian besar bertanggung jawab atas deplesi sel-sel yang dilapisi

antibodi. Sel-sel dilapisi oleh antibodi IgG dikenali oleh reseptor-reseptor Fc fagosit ,

yang spesifik untuk bagian Fc dari beberapa subkelas IgG. Sebagai tambahan, ketika

antibodi IgM atau IgG dideposit pada permukaan sel, mereka dapat mengaktifkan

sistem komplemen dengan jalur klasik. Aktivasi komplemen menghasilkan produk-

produk, terutama C3b dan C4b, yang dideposit pada permukaan sel dan dikenali oleh

14

fagosit kemudian mengekspresikan reseptor untuk protein ini. Hasilnya adalah

fagositosis dari sel-sel yang dilapisi dan kerusakan sel-sel tersebut. (Gambar 6-16A).

Aktivasi komplemen pada sel juga mengarah ke pembentukan serangan kompleks

terhadap membran, yang mengganggu integritas membran dengan membuat "lubang

pengeboran" melalui lipid bilayer, sehingga menyebabkan lisis osmotik sel-sel.

Mekanisme ini membunuh mungkin hanya efektif membunuh sel yang memiliki

dinding yang tipis, seperti bakteri Neisseria.

Perusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi oleh proses lain disebut

antibody-dependent celluler citotoxicity (ADCC). Sel-sel yang dilapisi dengan

antibodi IgG tersebut dibunuh oleh berbagai sel efektor, terutama sel NK dan

makrofag, yang mengikat target reseptornya untuk fragmen Fc dari IgG dan proses

lisis sel berlangsung tanpa fagositosis. Kontribusi ADCC untuk hipersensitivitas pada

umumnya tidak pasti.

Secara klinis, penghancuran sel yang dimediasi antibodi dan fagositosis

terjadi pada situasi berikut: (1) reaksi transfusi, yang mana reaksi sel-sel dari donor

yang tidak kompatibel bereaksi dengan dan hilangnya antibodi tubuh (Bab14); (2)

penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (erithroblastosis fetalis), dimana ada antigen

yang membedakan antara ibu dan janin dan IgG antierythrocyte antibody dari ibu

melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merah janin (Bab 10); (3)

anemia hemolitik autoimun, agranulositosis dan trombositopenia, di mana individu

menghasilkan antibodi-antibodi ke sel darah mereka sendiri, yang kemudian

dihancurkan (Bab 14); dan (4) reaksi obat tertentu, dimana obat bertindak sebagai

"hapten" dengan menempelkan protein membran plasma terhadap sel darah merah

dan antibodi yang menghasilkan kompleks protein-obat.

Inflamasi

Pada saat antibodi disimpan pada jaringan tetap, seperti dasar membran dan matriks

ekstraselular, hasilnya adalah cedera yang diakibatkan inflamasi. Antibodi yang

disimpan mengaktifkan komplemen, menghasilkan produk-produk, termasuk agen

kemotaksis (terutama C5a), yang langsung migrasi pada leukosit-leukosit

polimorfonuklear dan monosit dan anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan

permeabilitas vaskular (Gambar 6-16B). Leukosit diaktifkan oleh keterlibatan

reseptor C3b dan Fc. Hal ini menghasilkan produksi zat lain yang merusak jaringan,

seperti enzim lisosom, termasuk protease yang mampu mencerna membran basal,

kolagen, elastin, dan tulang rawan, dan reactive oksigen species (ROS).

15

Inflamasi yang diperantarai antibodi adalah mekanismenya bertanggung

jawab atas cedera jaringan, dalam beberapa bentuk seperti glomerulonefritis,

penolakan vaskular pada cangkok organ dan kelainan lainnya. (Tabel 6-3).

Disfungsi seluler

Dalam beberapa kasus, antibodi diarahkan ke reseptor permukaan sel yang

mengganggu atau disregulasi fungsi tanpa menyebabkan cedera sel atau inflamasi

(Gambar 6-16C). Misalnya pada myasthenia gravis, reaksi antibodi dengan reseptor

asetilkolin pada motor end plates otot rangka yang memblok transmisi

neuromuskular dan karena itu menyebabkan kelemahan otot. Sebaliknya (stimulasi

fungsi sel yang dimediasi antibodi) adalah dasar penyakit Graves. Pada gangguan ini,

antibodi terhadap reseptor thyroid- stimulating hormon pada sel epitel tiroid

merangsang sel-sel sehingga mengakibatkan hipertiroidisme.

Gambar 6-16 Mekanisme cedera yang dimediasi antibodi. A, Opsonisasi sel oleh antibodi dan

komponen komplemen dan konsumsi oleh fagosit. B, Inflamasi yang diinduksi oleh antibodi yang

mengikat reseptor Fc pada leukosit-leukosit dan produk-produk pemecah komplemen. C. antibodi

antireseptor mengganggu fungsi normal reseptor. Dalam contoh ini, antibodi terhadap reseptor

acetylcholine (ACh) mengganggu transmisi neuromuskular pada myasthenia gravis, dan antibodi

terhadap reseptor hormon tiroid-stimulating hormone (TSH) mengaktifkan sel tiroid pada penyakit

Graves.

16

Tabel 6-3 Contoh Penyakit yang dimediasi oleh Antibodi ( Hipersensitivitas

Tipe II )

Penyakit Antigen Sasaran Mekanisme

Penyakit

Manifestasi

Klinikopatologis

Anemia hemolitik

autoimun

Protein membran sel

darah darah (antigen

gol.darah Rh,

AntigenI)

Opsonisasi dan

fagositosis eritrosit

Hemolisis, Anemia

Purpura

trombositopenik

autoimun

Protein membran

trombosit (GpIIb :

Integrin IIIa)

Opsonisasi dan

fagositosis

trombosit

Perdarahan

Phempigus vulgaris Protein pada

jembatan antar sel

dari epidermis

(epidermal chaderin)

Aktivasi protease

yang diperantarai

antibodi, kerusakan

fungsi adhesi antar

sel

Vesikel kulit (bula)

Vaskulitis akibat

ANCA

Protein Granula

neutrofil, mungkin

dilepaskan oleh

neutrofil yang

terktifkan

Degranulasi

neutrofil dan

inflamasi

Vaskulitis

Sindrom Goodpasture Protein non kolagen

(NCI) pada membran

basal glomerolus

ginjal dan alveolus

paru

Inflamasi yang

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis, perdarahan

paru

Demam Reumatik

Akut

Antigen dinding sel

streptokokus ; antigen

miokardium yg

bereaksi silang

dengan antibody

Inflamasi, aktivasi

makrofag

Miokarditis

Myasthenia Gravis Reseptor asetilkolin Antibodi

menghambat

ikatan asetilkolin,

menurunkan

afinitas reseptor

Kelemahan otot,

Paralisis

17

Penyakit Graves

(hipertiroidisme)

Reseptor TSH Stimulasi reseptor Hipertiroidisme

Diabetes yang

resisten terhadap

Insulin

Reseptor Insulin Antibodi yang

menghambat

ikatan dengan

Insulin

Hiperglikemia,

ketoasidosis

Anemia pernisiosa Faktor Intrinsik sel

parietal lambung

Netralisasi faktor

intrinsik,

penurunan absorbs

vitamin B12

Eritropoesis

Abnormal

Hipersensitifitas Tipe III ( Immune Complex-Mediated)

Kompleks antigen-antibodi menghasilkan kerusakan jaringan terutama dengan

menimbulkan area deposit pada inflamasi. Reaksi patologis biasanya diawali ketika

antigen bergabung dengan antibodi dalam sirkulasi darah, menghasilkan kompleks

imun yang biasanya tersimpan di dinding pembuluh. Seringkali, kompleks dapat

terbentuk di lokasi dimana antigen telah tertanam (planted) sebelumnya (disebut

kompleks imun insitu). Antigen yang membentuk kompleks imun, bisa jadi eksogen,

seperti protein asing yang ada disuntikkan atau diproduksi oleh mikroba yang

infeksius, atau berasal dari endogen, jika individu menghasilkan antibodi terhadap

antigen diri sendiri (autoimmunity). Contoh-contoh gangguan kompleks imun dan

antigen yang terlibat tercantum dalam Tabel 6-4. Penyakit yang dimediasi imun

kompleks cenderung bersifat sistemik, namun seringkali melibatkan ginjal

(glomerulonefritis), sendi (arthritis) dan pembuluh darah kecil (vaskulitis), semua

yang umumnya area deposit kompleks imun.

Penyakit Sistemik Kompleks Immun

Penyakit serum akut adalah prototipe penyakit sistemik kompleks imun ; pernah

suatu ketika berhubungan dengan penggunaan sejumlah besar serum asing ( misalnya

serum dari kuda yang diimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap

difteri ). Di zaman modern penyakit ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada

individu yang menerima antibodi dari individu atau spesies lain. Meski begitu, ini

adalah bentuk informasi yang sudah banyak mengajarkan kita tentang penyakit

sistemik gangguan kompleks imun.

18

Gambar 6-17 Penyakit Kompleks Immun. Urutan fase pada induksi yang dimediasi kompleks immune

(Hipersentifitas Tipe III)

Patogenesis penyakit sistemik kompleks imun dapat dibagi menjadi tiga fase

(Gambar 6-17).

1. Pembentukan kompleks imun. Pengenalan antigen protein memicu suatu respon

imun yang menghasilkan pembentukan antibodi, biasanya seminggu setelah

suntikan protein. Antibodi ini disekresikan ke dalam pembuluh darah, di mana

mereka bereaksi dengan antigen yang ada dalam sirkulasi dan membentuk

kompleks antigen-antibodi.

2. Deposisi kompleks imun. Pada fase berikutnya sirkulasi kompleks antigen-

antibodi diendapkan di berbagai jaringan. Faktor yang menentukan apakah

pembentukan kompleks imun akan menyebabkan deposisi jaringan dan penyakit,

tidak sepenuhnya dapat dipahami, tapi pengaruh besar nampaknya merupakan

karakteristik dari kompleks dan perubahan vaskular sekitarnya. Secara umum,

kompleks yang berukuran sedang, terbentuk sedikit pada antigen yang

berlebihan, yang sebagian besar patogen. Organ-organ di mana

19

darah disaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain, seperti urin dan

cairan sinovial, adalah tempat dimana komplek immun terkonsentrasi dan

cenderung menjadi deposit; Oleh karena itu, penyakit kompleks imun seringkali

mempengaruhi glomeruli dan sendi.

3. Peradangan dan cedera jaringan. Begitu kompleks imun diendapkan di jaringan,

mereka memulai dengan reaksi inflamasi akut. Selama fase ini (kira-kira 10 hari

setelah pemberian antigen), gambaran klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi

(arthralgias), pembesaran kelenjar getah bening dan proteinuria. Dimanapun

endapan kompleks dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Mekanisme

peradangan dan luka telah dibahas di atas, dalam pembahasan cedera yang

dimediasi antibodi. Lesi inflamasi yang dihasilkan disebut vaskulitis jika itu

terjadi di pembuluh darah, glomerulonephritis jika terjadi pada glomeruli ginjal,

radang sendi jika itu terjadi terjadi di persendian dan seterusnya.

Tabel 6-4 Examples of Immune Complex-Mediated Diseases

Penyakit Antigen yang Terlibat Manifestasi

Klinikopatologi

Lupus Eritematosus

Sistemik

Antigen Nukleus (sirkulasi

atau tertanam di Ginjal)

Nefritis, Lesi kulit,

Artritis, Lain-lain

Glomerolunefritis

pasca infeksi

streptokokus

Antigen dinding sel

streptokokus, mungkin

tertanam di membrane basal

gromerulus

Nefritis

Polyarteritis nodosa Antigen virus Hepatitis B

pada beberapa kasus

Vaskulitis sistemik

Artritis reaktif Antigen bacterial (contoh

Yersinia)

Arthritis Akut

Penyakit serum Berbagai protein (contoh

protein serum asing (horse

antithymocyte globulin)

Arthtritis, Vaskulitis,

Nefritis

Reaksi Arthus Berbagai protein asing Vaskulitis Kutaneus

Jelas bahwa antibodi fiksasi-komplemen (seperti, IgG dan IgM) dan antibodi

yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi

20

patologis gangguan kompleks imun. Peran penting komplemen dalam patogenesis

cedera jaringan adalah didukung oleh pengamatan pada protein komplemen bisa

terdeteksi di lokasi cedera dan selama fase aktif suatu penyakit, konsumsi

komplemen menunjukkan penurunan kadar serum C3. Faktanya, kadar serum C3

bisa terjadi dalam beberapa kasus, dapat digunakan untuk memantau aktivitas

penyakit.

MORFOLOGI

Gambaran morfologis utama cedera kompleks imun adalah vaskulitis akut,

berhubungan dengan nekrosis dinding pembuluh darah dan infiltrasi neutrofil yang

kuat. Jaringan nekrotik dan endapan kompleks imun, komplemen dan protein

plasma menggambarkan sebagai area eosinofilik yang suram oleh kerusakan

jaringan, yang disebut nekrosis fibrinoid (lihat Gambar 2-15). Saat mengendap di

ginjal, komplek tersebut bisa dilihat dengan mikroskop imunofluoresensi sebagai

deposit granular yang kasar dari imunoglobulin dan komplemen dan pada

mikroskop elektron sebagai endapan padat elektron di sepanjang membaran basal

glomerulus.(gambar 6-31 dan 6-32)

Jika penyakit ini diakibatkan oleh paparan tunggal yang luas, seperti penyakit

serum akut, lesi ini cenderung berubah sebagai hasil katabolisme kompleks imun.

Suatu bentuk hasil penyakit serum kronis akibat berulangnya atau paparan antigen

yang berkepanjangan. Hal ini terjadi pada beberapa penyakit, seperti systemic lupus

eritematosus (SLE), yang dikaitkan dengan respon antibodi persisten terhadap

autoantigen. Pada berbagai penyakit, perubahan morfologi dan temuan lainnya

menunjukkan deposisi kompleks imun, tapi antigen penyebab tidak diketahui.

Termasuk dalam hal ini kategori adalah membranous glomerulonephritis dan

beberapa vaskulitides.

Penyakit Komplek Imun Lokal (Reaksi Arthus)

Reaksi Arthus adalah area lokal dari nekrosis jaringan akibat vaskulitis kompleks

imun akut, biasanya timbul pada kulit. Reaksi ini bisa dihasilkan secara

eksperimental dengan suntikan antigen secara intrakutan dan sebelumnya hewan

yang diimunisasi yang mengandung sirkulasi antibodi terhadap antigen. Saat antigen

berdifusi masuk ke dinding vaskular, ia mengikat preformed antibody dan kompleks

imun luas yang terbentuk disekitarnya. Kompleks ini dengan cepat berada di dinding

21

pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid dan menimbulkan trombosis

yang memperburuk cedera iskemik.

RINGKASAN

Patogenesis Penyakit yang disebabkan oleh Antibodi dan Kompleks Imun

• Antibodi dapat melapisi (opsonisasi) sel, dengan atau tanpa protein komplemen,

dan menargetkan sel-sel ini untuk fagositosis oleh fagosit (makrofag), yang

mengekspresikan reseptor untuk ekor Fc dari lgG dan untuk protein komplemen.

Hasilnya adalah menurunnya sel-sel yang teropsonisasi.

• Antibodi dan kompleks imun dapat disimpan di jaringan atau pembuluh darah,

dan menimbulkan reaksi inflamasi akut dengan mengaktifkan komplemen,

dengan pelepasan hasil pemecahan atau dengan melibatkan reseptor Fc dari

leukosit. Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan cedera jaringan.

• Antibodi dapat mengikat reseptor permukaan sel atau molekul esensial lainnya

dan menyebabkan gangguan fungsional (baik inhibisi atau aktivasi yang tidak

teratur) tanpa cedera sel

Hipersensitifitas Tipe IV( T Cell-Mediated)

Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel tipe ini disebabkan oleh sitokin yang

menyebabkan inflamasi dihasilkan oleh Sel T CD4+ dan pembunuhan sel oleh sel sel

T CD8 (Gambar 6-18). Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel T CD4+ diinduksi

oleh lingkungan dan antigen sendiri adalah penyebab terbanyak penyakit inflamasi

kronis, termasuk penyakit autoimun (Tabel 6-5). Sel CD8+ bisa juga terlibat dalam

beberapa kasus penyakit autoimun dan mungkin sel efektor dominan dalam reaksi

tertentu, Hal tersebut terutama terjadi pada infeksi virus.

Inflamasi yang dimediasi oleh sel T CD4+

Pada reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T CD4+, Sitokin yang

diproduksi oleh sel T menginduksi inflamasi yang mungkin kronis dan destruktif.

Inflamasi yang dimediasi oleh prototipe sel T l adalah hipersensitivitas tipe delayed

(DTH), reaksi jaringan akibat antigen memberikan kekebalan tubuh terhadap

individu. Dalam reaksi ini, sebuah antigen diberikan ke dalam kulit pada individu

yang diimunisasi sebelumnya menghasilkan reaksi kutaneus yang terdeteksi dalam

waktu 24 sampai 48 jam (dengan demikian istilahnya delayed, berbeda dengan

hipersensitivitas segera). Sel TH1 dan TH17 keduanya berkontribusi pada penyakit

22

organ spesifik dimana inflamasi merupakan aspek yang menonjol pada patologi.

Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1didominasi oleh makrofag yang

teraktivasi dan yang dipicu oleh sel TH17 memiliki komponen neutrofil yang lebih

besar.

Reaksi inflamasi distimulasi oleh sel T CD4+ dapat dibagi menjadi tahapan-

tahapan yang berurutan.

Sel T CD4+ yang teraktivasi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Sel T CD4+ asal (naif) mengenali peptida yang

ditampilkan oleh sel-sel dendritik dan mensekresi IL-2, yang berfungsi sebagai faktor

pertumbuhan autokrin untuk merangsang proliferasi sel T yang responsif terhadap

antigen. Diferensiasi selanjutnya (subsequent) dari sel T yang distimulasi antigen

pada sel TH1 atau TH17 diatur oleh sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh APCs pada

saat aktivasi sel T. Dalam beberapa situasi APCs (sel dendritik dan makrofag),

menghasilkan IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset TH1. IFN-

γ diproduksi oleh sel-sel efektor ini mempromosikan pengembangan TH1 lebih

lanjut, sehingga memperkuat reaksinya. Jika APCs menghasilkan sitokin yang

menyebabkan inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan kerabat dekat IL-12 disebut IL-23, ini

menstimulasi diferensiasi sel T ke subset TH17. Beberapa yang membedakan sel-sel

efektor masuk ke sirkulasi dan tetap tinggal di genangan sel T memori dalam waktu

lama, terkadang bertahun-tahun.

Tabel 6-5 Penyakit yang dimediasi sel T

Penyakit Spesifitas sel T

Patogenik

Mekanisme Pokok

Cedera Jaringan

Manifestasi

Klinikopatologis

Artritis

Rematoid

Kolagen?

Citrullinated self

Proteins?

Inflamasi yang

dimediasi oleh

sitokin TH17 (dan

TH1?) peranan

antibodi dan

komplek imun?

Atritis kronik

dengan inflamasi,

destruksi tulang

rawan sendi

Sklerosis

Multipel

Antigen Protein

pada myelin

(contoh : protein

dasar myelin)

Inflamasi yang

dimediasi oleh

sitokoin TH1 dan

TH17, destruksi

Demielinisasi

pada SSP

inflamasi

perivaskuler,

23

myelin oleh aktivasi

makrofag

paralisis

Diabetes

Melitus Tipe 1

Antigen sel β

pankreas

(insulin,asam

glutamate

dekarboksilase,

lainnya

Inflamasi yang

dimediasi sel T,

destruksi sel-sel

pulau kecil sel oleh

CTLs

Insulin (inflamasi

kronis di pulau

kecil)

destruksi sel β;

diabetes

Inflammatory

Bowel disease

Bakteri enterik;

antigen sendiri?

Infkamasi dimediasi

oleh sitokin TH1 dan

TH17

Peradangan usus

kronis, Obstruksi

Psoriasis Tidak diketahui Inflamasi dimediasi

terutama oleh sitokin

TH1 dan TH17

Destruksi plak

pada kulit

Sensitifitas

kontak

Berbagai bahan

kimia lingkungan

(misalnya,

urushiol dari poison

ivy atau poison oak)

Inflamasi dimediasi

oleh sitokin

TH1 (dan TH17?)

Nekrosis

Epidermal,

inflamasi dermal,

menyebabkan

ruam pada kulit

dan melepuh

Contoh penyakit manusia yang diperantarai sel T dalam daftar. Banyak kasus, spesifitas sel T dan

mekanisme cedera jaringan dicantumkan berdasarkan kesamaan terhadap penyakit pada model

binatang coba.

Respon sel T Efektor yang telah berdiferensiasi

Setelah diulang paparan terhadap suatu antigen, sel-sel TH1 mengeluarkan sitokin-

sitokin, terutama IFN-γ, yang bertanggung jawab pada banyak manifestasi

hipersensitivitas tipe delayed. IFN-γ-diaktifkan ("aktivasi secara klasik") makrofag

diubah dalam beberapa cara : kemampuan mereka untuk fagositosis dan membunuh

mikroorganisme ditandai dengan jelas; mereka mengekspresikan lebih banyak

molekul kelas II MHC pada permukaan, sehingga memudahkan adanya antigen lebih

lanjut ; mereka mensekresikan TNF, IL-1, dan kemokin, yang mempromosikan

inflamasi (Bab 3); dan mereka menghasilkan lebih IL-12, sehingga memperkuat

respons TH1. Kemudian,makrofag teraktivasi berfungsi untuk menghilangkan

antigen yang bersalah; jika aktivasi terus berlanjut, selanjutnya inflamasi dan

hasilnya cedera jaringan.

24

Gambar 6-18 Mekanisme reaksi hipersensitifitas sel T yang dimediasi (tipe IV). Sel CD4 + TH1 (dan

kadang-kadang sel CD8 + T, tidak ditunjukkan) merespons jaringanantigen dengan mensekresi sitokin

yang merangsang peradangan dan mengaktifkan fagosit, menyebabkan cedera jaringan. Sel CD4 +

TH17 berkontribusi terhadap peradangan oleh merekrut neutrofil (dan, pada tingkat yang lebih rendah,

monosit). B, Pada beberapa penyakit, CD8 + sitotoksik T lymphocytes (CTLs) membunuh sel jaringan

secara langsung. APC, Antigen

Sel TH17 yang diaktivasi, mensekresikan IL-17, IL-22, kemokin dan

beberapa sitokin lainnya. Secara kolektif, sitokin-sitokin ini merekrut neutrofil dan

monosit untuk bereaksi, dengan demikian mempromosikan peradangan. Sel TH17

juga menghasilkan IL-21 yang memperkuat respons TH17.

Contoh-contoh Klinis Sel T CD4+yang dimediasi Reaksi Inflamasi.

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin, yang dihasilkan oleh injeksi intrakutan

dari derivatif protein yang dimurnikan (PPD, juga disebut tuberkulin), antigen yang

mengandung protein dari basil tuberkel. Pada individu yang tersensitisasi

sebelumnya , tampak memerah dan indurasi pada lokasi timbulnya terjadi dalam 8

sampai 12 jam, mencapai puncaknya dalam 24 sampai 72 jam dan perlahan mereda.

Secara morfologis, hipersensitivitas tipe delayed ditandai dengan akumulasi sel

mononuklear, hipersensitifitas tipe delayed ditandai dengan akumulasi sel

mononuklear, terutama sel T CD4+ dan makrofag, mengelilingi venula,

menghasilkan perivaskular “Cuffing” (Gambar 6-19). Pada lesi-lesi yang

berkembang secara utuh, venula menunjukkan tanda hipertrofi endotelial yang

mencerminkan aktivasi endotelial yang dimediasi sitokin.

25

Dengan antigen tertentu yang persistent atau tidak dapat didegradasi, seperti

basil tuberkel yang berkolonisasi di paru-paru atau jaringan lainnya, infiltrasi

didominasi oleh makrofag selama periode 2 atau 3 minggu. Dengan aktivasi yang

berkelanjutan, makrofag sering mengalami transformasi morfologis menjadi sel-sel

epitelioid, sel besar mirip epitelium dengan sitoplasma yang luas. Gambaran

mikroskopis agregasi sel epiteliod, biasanya dikelilingi oleh kerah limfosit, disebut

sebagai granuloma (Gambar 6-20A). Pola inflamasi ini disebut inflamasi

granulomatosa (Bab 3), biasanya terkait dengan aktivasi sel TH1 yang kuat dan

produksi tingkat tinggi oleh sitokin seperti IFN-γ (Gambar 6-20B). Bisa juga

disebabkan oleh benda asing yang tidak dapat dicerna, yang mengaktifkan makrofag

tanpa menimbulkan respons imun adaptif.

Dermatitis kontak adalah contoh umum dari cedera jaringan akibat

reaksi DTH. Hal itu bisa ditimbulkan oleh kontak dengan urushiol, komponen

antigenik poison ivy atau racun oak dan timbul sebagai dermatitis vesikular. Hal yang

dipikirkan dalam reaksi ini, kimia lingkungan mengikat dan memodifikasi secara

struktural beberapa protein diri dan derivat peptida yang berasal dari protein yang

yang dikenali oleh sel T dan menimbulkan reaksi. Bahan kimia juga bisa

memodifikasi molekul HLA, membuat mereka tampak asing untuk sel T. Mekanisme

yang sama bertanggung jawab atas sebagian besar reaksi-reaksi obat, di antara reaksi

imunologi yang paling umum pada manusia. Dalam reaksi ini, obat (seringkali

Gambar 6-19 Reaksi hipersensitifitas tertunda pada kulit. A, Perivaskular akumulasi ("cuffing") sel

inflamasi mononuklear (limfosit dan makrofag), disertai edema dermal terkait dan deposisi fibrin. B,

Pewarnaan imunoperoksidase menunjukkan sel yang dominan perivaskular menyusup yang menandai

positif dengan antibodi anti-CD4. (Courtesy Dr. Louis Picker, Department of Pathology, University of

Texas Southwestern Medical

26

Gambar 6-20 Radang granulomatosa. A, Bagian dari kelenjar getah bening menunjukkan beberapa

granuloma, masing-masing terdiri dari agregat sel epithelioid dan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma

di pusat menunjukkan beberapa Multinucleated Giant Cell, B. kejadian yang menimbulkan

pembentukan granuloma pada reaksi hipersensitivitas tipe IV, yang menggambarkan peran sitokin

TH1. Pada beberapa granuloma (misalnya: dalam schistosomiasis), sel TH2 berkontribusi ke lesi.

Peran sel TH17 dalam pembentukan granuloma tidak diketahui. (A, Courtesy Dr. Trace Worrell,

Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)

bersifat kimia reaktif) mengubah protein sendiri, termasuk molekul MHC dan

"neoantigens" dikenali sebagai benda asing oleh sel T, menyebabkan produksi

sitokin dan peradangan. Ini sering bermanifestasi sebagai ruam kulit.

Inflamasi yang dimediasi sel T CD4+ adalah dasar dari cedera jaringan pada

banyak penyakit organ spesifik dan sistem autoimun, seperti rheumatoid arthritis

dan multiple sclerosis, serta penyakit mungkin disebabkan oleh reaksi terhadap

bakteri komensal yang tidak terkendali, seperti inflamasi penyakit usus (Tabel 6-5)

Sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel T CD8+

Dalam jenis reaksi yang dimediasi sel T, CD8 + CTLs membunuh sel target yang

mengekspresikan antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs mungkin merupakan

komponen penting dari beberapa penyakit yang dimediasi sel T, seperti diabetes tipe

I. CTLs diarahkan pada permukaan sel antigen histokompatibilitas yang memainkan

peran penting dalam penolakan pemindahan, dibahas nanti. Mereka juga berperan

dalam reaksi melawan virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus ditunjukkan

oleh molekul MHC kelas I dan komplek ini dikenali oleh TCR pada limfosit T

CD8+. Pembunuhan sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi, tetapi

dalam beberapa kasus dia bertanggung jawab untuk sel kerusakan yang menyertai

infeksi (contoh; pada virus hepatitis). Antigen terkait tumor juga disajikan pada

permukaan sel dan CTLs terlibat dalam respon host untuk mengubah sel-sel (Bab 7).

27

Mekanisme utama pembunuhan yang dimediasi sel T pada target melibatkan

perforins dan granzymes, mediator-mediator preformed berisi butiran seperti lisosom

CTLs. CTLs yang mengenali sel-sel target mensekresi komplek yang terdiri dari

perforin, granzymes dan protein lainnya yang masuk ke sel target oleh endositosis.

Pada sitoplasma sel target, perforin memfasilitasi pelepasan granzyme dari komplek.

Granzym adalah protease yang membelah dan mengaktifkan kaspase, yang

menginduksi apoptosis dari sel target (Bab 2). CTLs yang diaktivasi juga

mengekspresikan Fas ligan, sebuah molekul dengan homologi ke TNF, yang bisa

mengikat Fas yang diekspresikan pada sel target dan memicu apoptosis.

Sel T CD8 + juga memproduksi sitokin, terutama IFN-γ dan terlibat dalam

reaksi inflamasi yang menyerupai DTH, terutama setelah infeksi virus dan paparan

beberapa agen sensitisasi terhadap kontak.

RINGKASAN

Mekanisme Reaksi Hipersensitifitas yang dimediasi Sel T

• Inflamasi yang dimediasi sitokin : sel T CD4 + diaktifkan paparan terhadap

antigen protein dan berdiferensiasi menjadi sel efektor TH1 dan TH17.

Paparan selanjutnya terhadap antigen menghasilkan sekresi sitokin-sitokin.

IFN-γ mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan zat yang menyebabkan

kerusakan jaringan dan menghasilkan fibrosis, IL-17 dan sitokin lainnya

memanggil leukosit, sehingga meningkatkan inflamasi.

• Reaksi inflamasi klasik yang dimediasi sel T adalah hipersensitivitas tipe

delayed.

• Sitotoksisitas yang dimediasi sel T: CD8 + cytotoxic T lymphocytes (CTLs)

spesifik untuk antigen mengenali sel, mengekspresikan antigen target dan

membunuh sel-sel ini. Sel-sel T CD8+ juga mengekspresikan IFN-γ.

Sekarang kita telah menggambarkan bagaimana sistem imun tubuh dapat

menyebabkan kerusakan jaringan, kita beralih ke penyakit di mana mekanisme

kontrol normal mengalami kegagalan. Prototipe-prototipe penyakit tersebut adalah

gangguan autoimun, yang merupakan akibat dari kegagalan toleransi terhadap

antigen diri.