referat- reaksi hipersensitifitas

95
Referat Reaksi Hipersensitifitas Disusun oleh : Liana Herdita 11.2013.099 Indrinata Suna Lia 11.2013.152 Imrul Qays bin Amran 11.2013.175 Irene 11.2013.197 Dokter Pembimbing: dr. Maria Dwikarya, SpKK KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: irene-inkai-kozaly

Post on 14-Sep-2015

52 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

refrat

TRANSCRIPT

ReferatReaksi Hipersensitifitas

Disusun oleh :Liana Herdita 11.2013.099Indrinata Suna Lia 11.2013.152Imrul Qays bin Amran 11.2013.175Irene 11.2013.197

Dokter Pembimbing:dr. Maria Dwikarya, SpKK

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANARUMAH SAKIT HUSADAPERIODE 11 MEI 2015 13 JUNI 2015DAFTAR ISIBAB I. ALERGI DAN HIPERSENSITIF..............................................................................1Produksi IgE...............................................................................................................................4Pembentukan IgE pada sel B dierantarai signal spesifik............................................................6Faktor genetik dan lingkungan berkontribusi pada reaksi alergi...............................................9Sel T Regulator dapat mengontrol reaksi alergi.......................................................................15Mekanisme efektor pada reaksi alergi......................................................................................15Kebanyakan IgE terikat pada seldan terlibat pada mekanisme efektor.......................................................................................17Sel mast tinggal pada jaringan dan menyebabkan alergi.........................................................18Dalam keadaan normal eosinofil dikontrol dengan ketat untukmenghindari reaksi toksit.........................................................................................................22Eosinofil dan basofil dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakanjaringan pada reaksi alergi........................................................................................................23Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua: reaksi fase cepat dan reaksifase lambat................................................................................................................................24Dampak alergi bermacam-macam tergantung letak sel mast yangteraktivasi.................................................................................................................................24Inhalasi alergen berasosiasi dengan rinitis dan asma...............................................................26Alergi pada kulit dapat berupa urtikaria dan eksim kronik......................................................30Alergi makanan dapat menyebabkan reaksi sistemik yang terbataspada usus..................................................................................................................................31Penyakit celiac merupakan model imunopatologi yang disebabkanantigen spesifik.........................................................................................................................33Alergi dapat ditreatmen dengan mencegah produksi IgE atau dengancara mencegah terjadinya efektor............................................................................................36

BAB II. PENYAKIT HIPERSENSITIF.............................................................................40Paparan antigen........................................................................................................................40Pemberian antigen yang sulit dicerna.......................................................................................41Reaksi hipersensitif tipe lambat diperantarai olehTH1 dan sel T CD8..................................................................................................................44Mutasi pada molekul regulator.................................................................................................46Penyakit Crohns......................................................................................................................49Kesimpulan...............................................................................................................................54Referensi...................................................................................................................................56

BAB IALERGI DAN HIPERSENSITIFReaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan. IgE merupakan antibodi yang sering terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama untuk melawan cacing parasit yang umumnya mewabah pada negara yang masih terbelakang. Namun demikian, pada negara maju, respon IgE terhadap antigen sangat menonjol dan alergi menjadi sebab timbulnya penyakit. Hampir separuh masyarakat Amerika bagian utara dan juga masyarakat Eropa mempunyai alergi terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari lingkungan, misalnya serbuk bunga. Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan kematian namun sangat mengganggu produktivitas karena menyebabkan penderitanya tidak dapat bekerja maupun sekolah. Oleh karena alergi menjadi masalah kesehatan yang cukup penting sehingga patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih diketahui daripada peran IgE pada fisiologi yang normal. Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit yaitu penyakit yang terjadi akibat responsistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas. Alergi sering disamakan dengan hipersensitif tipe I.

Gambar 1. Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I-III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju pada antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe III tertuju pada antigen terlarut, dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya komplek imun. Pada hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan dengan reseptor pada permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut. Gangguan pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu. Hipersensitif tipe IV dimediasi oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi makrofagakibat rangsangan sel Th1. Pada mekanisme ini akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil mempunyai peranan besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup ketiga, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8.

Produksi IgE1IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian besar menempati jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcRI. Ikatan antigen dengan IgEmenyebabkan terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang berakibat tersekresinya mediator kimia dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil dan eosinofil yang teraktivasi juga mengekspresikan FcR sehingga dua macam sel tersebut juga dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya reaksi hipersensitif tipe I. Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute presentasi tertentu. TH2 yang merupakan subsetCD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari bentuk IgM menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi TH2 untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen. Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada beberapa kriteria sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi karena dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. Pertama protein tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T. Kedua, protein tersebut harus bersifat sebagai enzim aktif, dan kebanyakan alergen bersifat proteasis. Ketiga, protein itu pada kadar yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T populasi CD4membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat molekul yang rendah sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus. Kelima, protein alergen harus mudah larut. Keenam protein tersebut harus tetap stabil dan tidak rusak pada kondisi kering. Ketujuh, alergen tersebut harus mempunyai peptida yang dapat berikatan dengan MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel T. Hampir semua alergen berupa partikel kecil, dan berupa protein mudah terlarut contohnya berupa butir serbuk sari dan kotoran tungau. Apabila terjadi kontak antara partikel alergen dengan mukosa pada saluran pernafasan partikel tersebut segera larut dan berdifusi masuk mukosa. Alergen umumnya dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang sangat rendah. Artemisia artemisiifolia merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai potensi menimbulkan alergi dari serbuk sarinya. Diperkirakan setiap tahun seseorang menerima paparan melalui inhalasi tidak melebihi 1g. Namun demikian, paparan tersebut dapat menimbulkan iritasi dan bahkan mengancam hidup seseorang yang peka. Reaksi itu diperantarai oleh antibodi IgE yang sekresinya dipacu oleh TH2. Sangat penting untuk diketahui bahwa hanya orang-orang tertentu yang merespon substansi tersebut dan membuat antibodi IgE melawan substansi itu, namun tidak bagi yang lain.Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang sangat rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi respon IgE yang dipacu oleh TH2. Produksi antibodi IgEmemerlukan bantuan TH2 yang mensekresi IL-4 dan IL-13. Peran TH2 dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon- (IFN- ). Presentasi antigen pada dosis yang sangat rendah akan memungkinkan terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan aktivasi TH1, dan banyak alergen yang masuk sistem respirasi dengan dosis yang sangat rendah. APC yang dominan pada sistem respirasi adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen yang berupa protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi. Selanjutnya sel dendritik akan melakukan migrasi menuju lymph node dan berdiferensiasi menjadi APC yang mengekspresikan molekulkostimulator dan membantu deferensiasi TH2.Banyak bukti yang memperkuat bahwa IgE mempunyai peran sebagai pertahanan terhadap parasit. Banyak parasit yang menginvasi host dengan mensekresi enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan konektif yang memungkinkan parasit menerobos jaringan pada host. Enzim ini diduga mempunyai peranan mengaktivasi TH2. Alergen utama pada feses Dermatophagoides pteronyssimus yang menimbulkan alergi pada 20% populasi di Amerika Utara berupa sistein protease yang mirip dengan enzim papain yang disebut Der p1. Der p1 merupakan suatu enzim yang dapat memecah okludin. Okludin adalah protein intraseluler komponen tight junction.Dengan rusaknya intergrasi tight junction di antara sel-sel epitel memungkinkan Der p1 menjangkau beberapa sel yang terletak pada subepitel misalnya APC, sel mast, dan eosinofil. Molekul alergen semakin kuat pengaruhnya karena daya proteolitik yang dimilikinya terhadap reseptor tertentu yang terletak pada sel B dan sel T. Der p1 mempunyai kemampuan memecah komponen IL-2R, CD25, dari sel T. Hilangnya reseptor IL-2 dapat mengganggu survival dan aktivitas sel TH1 dan menyebabkan terjadinya aktivitas sel TH2. Protease papain dari buah pepaya yang digunakan untuk melunakkan daging dapat menyebabkan alergi bagi seseorang kontak dengan enzim tersebut. Alergi yang samaterdapat pada kasus asma yang disebabkan oleh inhalasi enzim subtilisin dari bakteri. Injeksi enzim papain aktif pada mencit menstimuli sintesis IgE. Kimopapain merupakan enzim yang mirip papain, digunakan pada medis untuk merusak intervertebrata discs pada pasien yang menderita linu punggung. Penggunaan kimopapain ini dapat menyebabkan anafilaksis, merupakan respon sistemik terhadap suatu alergen. Tidak semua alergen berupa enzim, bahkan ada alergen yang merupakan penghambat enzim, contohnya alergen yang berasal dari cacing filaria. Pasien penderita penyakit Netherton mempunyai kecenderungan peningkatan IgE oleh pengaruh enzim protease. Pasien ini mempunyai karakteristik dengan keadaan IgE tinggi dan menderita berbagai macam alergi. Penderita penyakit Netherton awalnya diakibatkan oleh terhambatnya sintesis enzim SPINK5.SPINK5 merupakan enzim yang mempunyai peranan menghambat sintesis protease yang diproduksi oleh bakteri. Di antara bakteri yang memproduksi protease adalah Staphylococcus aureus. SPINK5 diperkirakan mempunyai arti penting sebagai agen terapi pada beberapa alergi. Pengetahuan mengenai protein yang terlibat pada reaksi alergi ini sangat penting pada masalah kesehatan, bahkan mempunyai arti yang penting pula pada masalah ekonomi. Pernah dilakukan suatu penelitian terhadap gen yang mengode protein pada kacang Brazil. Gen tersebut diketahui menyandi protein yang banyak mengandung metionin dan sistein. Gen tersebut selanjutnyaditransfer ke tanaman kedelai dengan rekayasa genetika untuk tujuan makanan ternak. Rekayasa ini dilakukan untuk memperkaya kandungan nutrisi kedelai yang sebelumnya kekurangan asam amino yang kaya sulfur. Selanjutnya diketahui ternyata protein albumin 2S merupakan alergen utama yang terdapat pada kacang Brazil. Injeksi ekstrak kedelai hasil rekayasa genetika pada epidermis akan menimbulkan respon alergi pada seseorang yang alergi terhadap kacang Brazil. Oleh karena tidak ada jaminan kedelai hasil rekayasa ini aman bagi kesehatan manusia sehingga saat ini dilarang penggunaannya.

Gambar 2. Reaksi pada antigen ekstrinsik yang dimediasi oleh IgE. Semua respon yang dimediasi oleh IgE selalu melibatkan degranulasi sel mast, namun gejala yang dialami oleh pasien berbeda-beda tergantung dari rute antigen masuk pada pasien tersebut. Antigen dapat masuk melalui injeksi, terhirup ata termakan, dan pengaruhnya juga tergantung pada dosisnya.

Pemnbentukan IgE pada sel B diperantarai signal spesifikRespon imun yang menyebabkan terbentuknya IgE disebabkan oleh dua signal utama. Pertama adalah signal yang memacu terjadinya diferensiasi sel T naive menjadi sel TH2. Kedua merupakan signal yang datang dari TH2 baik berupa produksi sitokin maupun signal ko-stimulator yang menstimuli sel B membentuk antibodi IgE. Sel T CD4 naive yang merespon peptida yang dipresentasikan oleh sel dendritik akan berdiferensiasi menjadi TH1 atau TH2 tergantung lingkungannya baik sebelum maupun selama terjadinya respon. Sifat antigen, dosis antigen, dan tempat dimana terjadinya respon juga menentukan diferensiasi akhir dari sel CD4 naive. Sel T CD4 naive yang terpapar oleh IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 akan cenderung berkembang menjadi TH2, sedangkan paparan terhadap IL-12, IL-23, IL-27, dan IFN akan mengarahkan sel T CD4 naive berkembang menjadi TH1. Sistem pertahanan dalam melawan parasit multiseluler umumnya ditemukan pada daerah tempat parasit itu masuk misalnya di bawah kulit atau pada jaringan limfoid yang berasosiasi dengan mukosa yang umumnya terdapatpada usus dan sepanjang saluran pernafasan. Sel-sel sitem imun yang terlibat pada imunitas innate dan adaptif pada daerah tersebut terspesifikasi untuk melepaskan sitokin yang memacu kerja sel TH2.Sel dendritik yang berhasil menangkap antigen pada daerah ini akan bermigrasi menuju limph node dan akan mengarahkan sel T CD4 yang spesifik untuk antigen tersebut menjadi sel efektor TH2. TH2 itu sendiri merupakan sel yang punya kemampuan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13, sehingga menjaga lingkungan untuk tetap memberi kondisi bagi eksistensi TH2.Ada bukti bahwa percampuran sitokin dan kemokin pada suatu lingkungan akan mempengaruhi baik sel dendritik maupun sel T untuk mendukung perkembangan sel T menjadi sel TH2. Kemokin CCL2, CCL7, dan CCL13 bekerja pada sel monosit untuk menghentikan produksi IL-12, sehingga sel T CD4 naive pada daerah tersebut akan berkembang menjadi TH2. Secara umum interaksi APC khususnya sel dendritik dengan sel T naive tanpa adanya inflamasi akibat infeksi bakteri maupun virus akan menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi TH2. Sebaliknya jika sel dendritik mempresentasikan antigen asing dan terdapat inflamsi pada suatu individu maka sel dendritik cenderung mensekresikan sitokin IL-12, IL-23, dan IL-27 yang akan mengarahkan diferensiasi sel T CD4 menjadi TH1. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan sel TH2 dapat menyebabkan TH2 semakin responsif disamping mempengaruhi sel B untuk membentuk IgE. IL-4 dan IL-13 menghasilkan signal pertama yang mempengaruhi sel B membentuk IgE. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang dapat mengaktifkan Janus-family tyrosine kinase Jak1 dan Jak3. Jak1 dan Jak3 pada akhirnya dapat memfosforilasi STAT6 pada sel B dan sel T. STAT6 sendiri merupakan protein regulator yang bekerja pada transkripsi. Mencit yang kehilangan IL-4, IL-13, atau STAT6 menyebabkan sel TH2 tidak dapat meresponling kungannya dan sel B tidak dapat memproduksi IgE. Model mencit knockout pada gen-gen tersebut memberikan gambaran pentingnya sitokin dan protein tersebut dalam memberikan signal untuk menjaga homeostasis yang normal. Signal kedua yang mempengaruhi sel B membentuk IgE adalah interaksi antara ligan CD40 pada permukaan sel T dengan CD40 pada permukaan sel B. Interaksi kedua molekul tersebut merupakan signal ko-stimulator yang penting untuk perubahan struktur antibodi dari suatu kelas ke kelas lain (class switching). Pasien penderita sindrom hiper IgM yang disebabkan oleh cacat genetik terpaut kromosom (X-linked) menunjukkan defisiensi ligand CD40 dan tidak mampu memproduksi IgG, IgA, maupun IgE.

Gambar 3. Ikatan antigen dengan IgE yang berada pada sel mast menyebabkan sel plasma memproduksi IgE lebih besar. IgE yang diproduksi sel plasma akan berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel mast dan basofil. Ketika IgE yang ada pada permukaan sel mast mengadakan ikatan silang yang dihubungkan oleh antigen, sel mast teraktivasi dan mengekspresikan ligan CD40 dan mensekresi IL-4. IL-4 pada akhirnya berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel B yang teraktivasi. Ikatan IL-4 dengan reseptor yang ada pada sel B menimbulkan class switching yang mengarah pada pembentukan antibodi IgE lebih banyak. Mekanisme ini terjadi in vivo pada daerah yang mengalami inflamasi akibat adanya alergen.

Jika IgE telah diproduksi, imunoglobulin tersebut akan mengadakan ikatan dengan sel mast maupun basofil. Ikatan tersebut pada akhirnya akan membantu produksi IgE. Sel-sel yang mengadakan ikatan dengan IgE mengekspresikan FcRI. Sel mast dan basofil yang telah mengikat IgE akan teraktivasi dengan adanya ikatan silang terhadap antigen pada IgE. Sel mast dan basofil yang teraktivasi akan mengekspresikan ligand CD40 dan mensekresi IL-4. Dalam hal ini, sel mast dan basofil mempunyai peranan yang mirip TH2 yaitu menstimulasi class switching terhadap sel B sehingga memproduksi IgE. Interaksi sel mast dengan sel B dapat terjadi pada daerah yang mengalami alergi. Salah satu tujuan terapi pada alergi adalah mengeblok amplifikasi reaksi yang berkelanjutan antara sel mast maupun basofil dengan sel B.

Faktor genetik dan lingkungan berkontribusi pada reaksi alergiDalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah diketahui bahwa masyarakat pada negara-negara maju mempunyai kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah besar terhadap paparan bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus gen. Individu atopi mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian juga level eosinofilnya jika dibandingkan orang normal. Individu atopi mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan alergi serbuk bunga. Faktor genetik dan lingkungan masing-masing berkontribusi 50% pada kejadian penyakit alergi seperti asma.Pada penelitian genom manusia telah ditemukan sejumlah gen kerentanan yang berbeda pada penyakit alergi dermatitis atopi dan asma meskipun terdapat tumpang tindih gen yang menyandi penyakit tersebut. Umumnya setiap etnik mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap suatu penyakit. Beberapa bagian kromosom yang berasosiasi dengan alergi atau asma juga berasosiasi dengan penyakit inflamsi psoriasis dan penyakit autoimun.Gen yang mengkode kerentanan terhadap asma dan atopi dermatitis berada pada kromosom 11q12-13. Gen tersebut mengkode pembentukan reseptor subunit IgE (FcRI). Gen lain yang terlibat pada asma dan dermatitis atopi terletak pada kromosom 5q31-33. Kromosom 5q31-33 paling tidak membawa empat gen yang menyebabkan terjadinya kerentanan pada penyakit dermatitis dan asma atopi. Pertama, terdapat bagian cluster genberpautan kuat yang mengkode sitokin yang diperlukan untuk meningkatkan respon TH2, yaitu gen yang diperlukan untuk melakukan class switching pada pembentukan IgE, pertahanan hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Kelompok gen ini meliputi gen yang mengode pembentukan IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,IL-13, dan GM-CSF (granulocyte-macrophage colony stimulating factor). Dalam hal tertentu, variasi genetik pada bagian promotor gen pengkode IL-4 berasosiasi dengan peningkatan IgE pada suatu individu. Variant promoter menyebabkan peningkatan ekspresi gen reporter pada model eksperimen dan telah dibuktikan pada sistem in vivo pada peningkatan level IL-4.Gen set kedua pada kromosom 5 adalah famili TIM (pada sel T, domain imunoglobulin dan domain mucin) yang mengode protein permukaan pada sel T. Pada mencit protein Tim-3 secara spesifik diekspresikan pada sel TH1 dan mengurangi respon TH1, sedangkan Tim-2 dan juga Tim-1 lebih cenderung diekspresikan TH2 dan berfungsi mengurangi respon TH2. Mencit yang mempunyai perbedaan varian gen TIM mempunyai perbedaan dalam hal kepekaan terhadap reaksi alergen maupun produksi IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Pada manusia variasi gen TIM berhubungan dengan kepekaan respon saluran pernafasan terhadap bahan-bahan irritant. Dalam hal ini otot polos bronkus dari individu tertentu akan mengalami kontraksi sebagaimana yang terlihat pada asma.Gen ketiga yang ditengarai terkait dengan kerentanan terhadap reaksi alergi adalah gen penyandi p40. Protein p40 merupakan salah satu subunit dari dua subunit IL-12. IL-12 mempunyai peran meningkatkan respon TH1. Variasi gen penyandi p40 terkadang dapat menurunkan produksi IL-12, kondisi tersebut terjadi pada penderita asma yang parah. Gen keempat yang diduga menyebabkan kerentanan terhadap asma dan dermatitis adalah gen penyandi reseptor -adrenergic. Variasi reseptor -adrenergic dengan perubahan respon otot polos terhadap ligan endogen maupun ligan dari obat-obatan.Kekomplekan di atas menggambarkan tantangan secara umum dalam mengidentifikasi sifat penyakit berdasarkan gen. Bagian kecil genom yang diketahui dapat mengubah kepekaan terhadap suatu penyakit akan mempunyai arti yang sangat penting jika telah diketahui efek fisiologinya. Untuk mengidentifiaksi gen penyebab penyakit memerlukan pelaksanaan studi pada pasien dengan popolasi dan kontrol yang besar. Sebagai contoh adalah pengetahuan pada kromosom 5q31-33. Sejauh perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, terlalu awal untuk menarik kesimpulan terhadap pentingnya perbedaan polimorfisme pada kompleksitas gen pada atopi. Perbedaan kepekaan seseorang pada IgE terkait dengan region HLA kelas II (MHC kelas II manusia) dan mempengaruhi respon individu tersebut terhadap alergen yang spesifik dan tidak terhadap kepekaan pada semua atopi. ProduksiIgE ketika terjadi respon terhadap alergen tertentu terkait dengan allela HLA kelas II, hal ini menjadi bukti bahwa komplek peptida:MHC dapat meningkatkan dengan kuat respon TH2.Sebagai contoh IgE dapat merespon bahan alergen dari serbuk sari ragweed, dalam hal ini ada kaitannya dengan allela HLA kelas II yang berupa DRB1*1501 haplotipe. Oleh karena itu tidak sedikit orang yang merespon alergen dengan TH2 dan secara khusus cenderung untuk merespon beberapa alergen lebih dari yang lain.Namun demikian alergi terhadap obat misalnya penisilin tidak adakaitannya dengan HLA kelas II maupun ada tidaknya atopi. Para ilmuwan menduga ada gen-gen yang secara khusus hanya berhubungan dengan masalah alergi. Sebagai contoh adalah penyakit asma. Pada penyakit ini telah ditemukan bukti ada beberapa gen bekerja minimal pada tiga aspek yakni, produksi IgE, respon inflmasi, dan respon terhadap perlakuan klinik tertentu. Polimorfisme gen pada kromosom 20 yang menyandi ADAM33, suatu metalloproteinase, yang diekspresikan oleh sel-sel otot polos dari bronkus dan juga diekspresikan oleh fibroblas paru mempunyai kaitan erat dengan asma dan hiperreaktif bronkus. Hal ini merupakan contoh variasi gen pada kasus inflamasi paru dan perubahan anatomi-patologi pada saluran pernafasan, sehingga menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap asma.Prevalensi alergi terutama asma umumnya meningkat padanegara-negara yang telah mapan secara ekonomi. Lingkungan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya prevalensi itu. Ada empat faktor yang terkait dengan hal tersebut yaitu: berubahnya paparan agen-agen penyakit infeksi pada saat usia anak-anak, polusi lingkungan, banyaknya bahan alergen, dan pola makan yang tidak sehat. Polusi juga ditengarai sebagaipenyebab bronkitis kronik yang merupakan penyakit kardiopulmonari non-alergi. Namun demikian semakin banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara alergen danpolusi, terutama pada individu yang sensitif. Sisa pembakaran mesin diesel merupakan contoh mudah yang dapat dipelajari. Polutan dari mesin diesel ini dapat meningkatkan level IgE pada suatu individu 20-50 kali jika dikombinasi dengan bahan alergen. Individu yang terpapar alergen dan berada di wilayah polusi akan menunjukkan peningkatan produksi sitokin yang berasal dari TH2. Tubuh pada dasarnya menghasilkan bahan kimia oksidan reaktif dan umumnya individu tidak mampu menghadapi serangan oksidan reaktif tersebut. Kondisi di atas diduga akan meningkatkan resiko terjadinya alergi. Gen yang diduga menyebabkan kerentanan alergi akibat bahan-bahan oksidan adalah GSTPI dan GSTM. GSTPI dan GSTM merupakan anggota superfamili glutathionine- S-transferase. Manusia yang mempunyai varian gen GSTPI dan GSTM mempunyai saluran pernafasan yang hiperreaktif terhadap alergen. Faktor genetik dapat menjelaskan hubungan antara polusidan alergi secara moderat, karena hanya berlaku bagi individu dengan genotip yang sensitif.Sedikitnya paparan mikrobia patogen telah dianggap menjadi faktor meningkatnya kejadian alergi. Sampai saat ini hal tersebut menjadi perhatian khusus sejak ide itu diperdebatkanmulai tahun 1989. Dalam kaitan ini ada bukti bahwa anak-anak yang hidup pada lingkungan kurang higien mempunyai proteksi yang lebih baik terhadap atopi dan asma. Hal ini menjadi petunjuk bahwa respon dan perkembangan TH2 lebih besar daripada respon dan perkembangan TH1 pada awal perkembangan anak jika mereka tidak banyak mengalami infeksi. Sebaliknya, sistem imun diprogram menjadi TH1 lebih dominan pada awal infeksi. Banyak bukti yang mendukung hipotesis di atas, namun beberapa hasil penelitian tidak mendukung kebenaran hipotesis itu. Telah ditemukan bukti adanya kecenderungan dominasi respon TH2 pada bayi, dimana sel dendritik menghasilkan sedikit IL-2 dan sel T memproduksi sedikit IFN dibandingkan anak yang lebih besar dan orang dewasa. Ada bukti bahwa anak-anak yang terpapar agen penginfeksi terutama infeksi saluran pernafasan umumnya terhindar dari penyakit alergi atopi. Anak-anak yang mempunyai kakak kandung tiga atau lebih dan juga anak-anak umur kurang enam bulan yang ditipkan pada penitipan anak mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi. Anak-anak tersebut umumnya terhindar dari atopi dan asma. Sekarang telah diketahui bahwa anak-anak yang pada awal perkembangannya telah terpapar oleh bakteri komensal seperti lactobacilli dan bifidobacteria atau terinfeksi patogen seperti Toxoplasma gondii atau Helicobacter pylory umumnya mempunyai prevalensi penyakit alergi yang lebih rendah. Secara khusus Toxoplasma gondii memicu perkembangan TH1. Seseorang dengan riwayat pernah menderita campak atauhepatitis A, atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis mempunyai daya tahan yang baik terhadap penyakit atopi. Protein Tim-1 yang terdapat baik pada manusia maupun mencit merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya hiperreaktif pada saluran pernafasan. Protein tersebut memegang kunci penting untuk sintesis IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Selanjutnya diketahui bahwa protein Tim-1 merupakan reseptor pada sel bagi virus hepatitis A. Sel T yang terinfeksi virus hepatitis A akan melakukan diferensiasi dan memproduksi sitokin yang akhirnya menurunkan respon TH2. Berlawanan dengan beberapa infeksi sebelumnya yang diterangkan dapat melindungi individu dari atopi dan asma, ada bukti bahwa anak-anak yang pernah menderita penyakit bronchiolitis akibat serangan RSV (respiratory syncytial virus) akan cenderung menderita asma pada kehidupan berikutnya. Efek dari RSV sangat tergantung dengan umur kapan individu tersebut terinfeksi. Infeksi pada mencit neonatal oleh RSV akan menyebabkan rendahnya respon IFN dibandingkan dengan mencit yang dipapar virus tersebut pada umur 4 atau 8 minggu. Jika mencit yang telah terinfeksi ini selanjutnya dipapar kembali dengan RSV pada umur 12 minggu, binatang yang sebelumnya telah diinfeksi, misalnya diinfeksi saat neonatal, binatang tersebut akan mengalami inflamasi paru yang jauh lebih parah daripada yang pernah diinfeksi pada umur 4 atau 8 minggu. Hal yang sama terjadi pada anak-anak yang pernah dinyatakan terinfeksi RSV punya kecenderungan produksi sitokin IFN semakin rendah dan IL-4 makin meningkat. IL-4 merupakan sitokin yang berperan untuk perkembangan TH2. Penemuan ini menjadi semacamhipotesis bahwa infeksi yang membangkitkan perkembangan TH1 pada awal perkembangan mahluk hidup dapat mengurangi perkembangan TH2 pada tahap kehidupan berikutnya, dansebaliknya.Fi aktivitas enzimatis beberapa alergen memungkinkan substansi tersebut melakukan penetrasi menembus epitel yang berlaku sebagai penghalang. Saluran pernafasan dilindungi oleh sel epitel yang berfungsi sebagai penghalang masuknya substansi yang tidak diinginkan. Sel epitel tersebut berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sangat kuat (tight junction). Kotoran dari tungau, Dermatophagoides pteronyssimus mengandung enzim proteolitik, Der p1, yang dapat bersifat sebagai alergen. Der p1 dapat memotong protein occludin yang fungsi normalnya untuk memperkuat dan menjaga tight junction. Dengan rusaknya protein occludin maka rusak pula fungsi sel epitelium sebagai barrier.Feses yang berasal dari Dermatophagoides pteronyssimus dapat berperan sebagai antigen yang dapat menembus sel epitelium dan selanjutnya ditangkap oleh sel dendritik pada jaringan subepitelium. Der p1 ditangkap oleh sel dendritik dan sel dendritik tersebut teraktivasi yang selanjutnya bermigrasi menuju lymph node. Sel dendritik berperan sebagai APC yang menginduksi TH2 untuk memproduksi sitokin. Pada kasus ini hanya TH2 spesifik untuk Der p1 yang dapat melakukan aktivasi dan membantu sel B memproduksi IgE yang spesifik untuk Der p1. Der p1 dapat secara langsung berikatan dengan IgE yang berada pada sel mast dan sel mast mengalami aktivasi dengan melakukan degranulasi.Sindrom Netherton menggambarkan adanya hubungan antara enzim protease dengan alergi dan tingginya konsentrasi IgE. Penyakit ini disebabkan oleh defisiensi inhibitor protease, SPINK5. Penderita penyakit ini mengalami eritroderma yang berkepanjangan, infeksi kulit yang sering kambuh, dan alergi pada berbagai macam makanan dengan serum yang mempunyai kadar IgE tinggi. Identifikasi lokus gen yang membawa kerentanan asma,dermatitis atopi, dan penyakit imun yang lain. Pengelompokan gen yang menimbulkan kerentanan penyakit ditemukan pada pengkode MHC pada kromosom 6p21, dan juga pada beberapa bagian lain. Ada sedikit tumpang tindih antara gen penyandi asma danpenyandi dermatitis atopi, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik yang spesifik berperan pada dua penyakit tersebut. Terdapat pula overlap antara gen pembawa asma dan penyakitautoimun., dan juga antara penyakit psoriasis yang derupa inflamasi kulit dan dermatitis atopi.

Gambar 4. Gen yang berpotensi sebagai penyebab kerentanan terhadap asma. Gen ini juga berpengaruh pada terapi bronkodilator dengan menggunakan agonist 2-adrenergic. Pasien yang mempunyai kelemahan dalam memproduksi enzim tidak dapat menunjukkan adanya respon yang membantu penyembuhan saat treatment dengan menggunakan obat yang dapat melakukan inhibisi terhadap produksi 5-lipoksigenase. Contoh ini merupakan contoh efek parmakogenetik dimana varian genetik mempunyai dampak terhadap respon pengobatan.

Gen, lingkungan, dan penyakit alergi atopi. Faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan dua faktor yang sama pentingnya sebagai sebagai penentu perkembangan penyakit alergi atopi. Postulat hygiene hypothesis menyatakan bahwa paparan agen penginfeksi pada anak-anak akan menyebabkan sistem imun akan cenderung mengarah pada respon TH1 dan non-atopi. Sebaliknya, anak-anak yang mempunyai kerentanan genetik padaatopi dan anak-anak yang hidup pada lingkungan yang agen penginfeksinya minimum, sistem imun akan cenderung mengembangkan respon TH2, yang secara alami TH2 dominan saat neonatal. Anak-anak yang disebut terakhir ini dianggap paling rentan terhadap penyakit alergi atopi.Respon mencit pada paparan RSV (respiratory syncytial virus) tergantung pada umur mencit. Respon mencit terhadap RSV sangat tergantung pada umur mencit pada pelaksanaan infeksi pertama. Produksi IFN- yang dihasilkan oleh mencit neonatal dan mencit yang telah mencapai umur 4-8 minggu sangat berbeda ketika dua kelompok tersebut dipapar dengan RSV. Pada mencit neonatal tidak menunjukkan adanya peningkatan produksi IFN- dengan pemaparan RSV. Setelah mencit-mencit tersebut mencapai umur tertentu dan dipapar ulang dengan RSV akan terjadi respon yang berbeda pula. Mencit yang awalnya diinfeksi pada neonatal pada infeksi yang kedua menunjukkan penurunan berat badan dan inflamasi yang berat. Pada mencit ini eosinofil dan neutrofil melakukan infiltrasi pada paru dan diikuti oleh produksi IL-4 dari sel TH2. Sebaliknya pada mencit yang memperoleh paparan pertama pada umur 4-8 minggu, paparan kedua RSV tidak menunjukkan pengurangan berat badan, hanya sedikit neutrofil yang melakukan infiltrasi pada paru, dan respon imun mengarah pada produksi sitokin IFN- oleh TH1. Aktivasi sel mast mempunyai efek yang berbeda pada jaringan yang berbeda.

Gambar 5. Sel mast memproduksi bermacam-macam molekul selama aktivasi. Sel mast memproduksi berbagai macam protein yang secara langsung mempunyai aktivitas biologi dan juga memproduksi substansi kimia yang berperan sebagai mediator. Enzim dan mediator toksik dilepaskan oleh granula yang telah terbentuk sebelum aktivasi sedangkan sitokin, kemokin, dan mediator lipid disintesis setelah aktivasi.

Reaksi alergi dibagi menjadi dua fase yaitu fase cepat dan fase lambat. Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua step yaitu respon fase cepat dan lambat. Respon asma pada paru dengan ciri penyempitan saluran pernafasan akibat kontriksi otot polos bronkus dapat diukur dengan melihat turunnya PEFR (peak expiratory flow rate). Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat. Respon fase cepat disebabkan oleh efek langsung histamin dan lipid yang terjadi pada pembuluh darah dan otot polos. Kedua mediator tersebut dilepaskan oleh sel mast dalam waktu yang relatif cepat setelah paparan alergen. Respon fase lambat disebabkan oleh adanya pemasukan leukosit secara besarbesaran yang dirangsang oleh kemokin dan mediator lain dari sel mast selama dan sesudah respon fase cepat. Reaksi wheal and flare, yaitu pembengkaan dan warna merah terjadi satu hingga dua menit setelah injeksi antigen pada epidermis dan berakhir setelah 30 menit.Dosis dan rute alergen yang diberikan menentukan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Sek mast menempati dua penyebaran utama. Pertama, sel mast yang bertempat pada jaringan ikat yang bervaskular. Sel-sel ini disebut sel mast jaringan ikat. Kedua, sel mast yang menempati lapisan submukosa usus dan saluran pernafasan, sel-sel ini disebut sel mast mukosa. Pada seseorang yang mempunyai alergi semua sel mast yang ada akan memproduksi IgE dalam jumlah yang besar untuk melawan alergen yang masuk. Tanggapan keseluruhan terhadap alergen tergantung pada sel mast mana yang teraktivasi. Alergen yang ikut aliran darah akan mengaktifkan sel mast jaringan ikat pada seluruh tubuh, sehingga terjadi pelepasan histamin dan mediator lain secara sistemik. Pemberian alergen secara subkutan hanya mengaktifkan sel mast jaringan ikat secara lokal sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Alergen yang terhirup akan melakukan penetrasi dan menembus epitel sehingga mengaktivasi sel mast mukosa dan menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran pernafasan bawah.Peristiwa ini menyebabkan kontriksi bronkus sehingga udara yang terhirup sulit untuk dihembuskan keluar. Aktivasi sel mast mukosa juga meningkatkan sekresi mukus oleh selepitel secara lokal yang menyebabkan terjadinya iritasi. Dengan cara yang sama alergenyang masuk ke dalam pencernakan akan melakukan penetrasi dan menyeberang epitel usus yang menyebabkan terjadinya muntah akibat kontraksi otot polos pada intestin dan juga terjadi diare karena terlalu banyak cairan yang keluar melalui epitelium usus.Alergen dari makanan juga dapat menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan biduran ketika alergen mencapai kulit. Respon akut pada alergi asma menyebabkan inflamasikronik saluran pernafasan yang dimediasi oleh TH2. Pada individu yang peka, ikatan silang pada permukaan sel mast antara IgE spesifik dengan alergen yang terhirup akan memicu sel mast untuk mensekresi mediator inflamasi yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos bronkus, dan meningkatkan sekresi mukus. Dalam kaitan ini juga terjadi penetrasi sel-sel penyumbang terjadinya inflamasi termasuk eosinofil dan TH2 dari darah. Sel mast dan TH2 yang teraktivasi mensekresi sitokin yang meningkatkan aktivasi dan degranulasi eosinofil yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah dan semakin banyak pula sel-sel penyumbang inflamasi yang masuk ke daerah tersebut. Akibat serangkaian peristiwa di atas adalah terjadinya inflamasi kronik, yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saluran pernafasan.Preparat histologi yang diambil dari inflamasi kronik pada saluran pernafasan pasien asma. Gambar di atas berasal dari bronkus pasien asma yang telah mati akibat asma. Pada gambar menunjukkan adanya kemacetan total saluran pernafasan akibat tumpukan mukus dan juga kerusakan epitel pada bronkus yang diikuti oleh infiltrasi eosinofil, neutrofil, dan limfosit. Mencit yang tidak memiliki faktor transkripsi T-bet menderita asma dan sel T cenderung berkembang menjadi TH2. T-bet mengikat promoter gen yang menyandi IL-2 yang berada pada TH1 bukan pada TH2. Mencit yang mengalami knockout gene pada T-bet (T-bet -/-) akan berkembang menjadi mencit penderita asma. Pada penderita asma mempunyai karakteristik terjadinya inflamasi dan infiltrasi limfosit dan eosinofil pada daerah di sekitar pembuluh darah dan saluran pernafasan. Disampin itu akan terjadi remodeling/ perubahanstruktur histologi dengan penumpukan kolagen pada daerah disekitar saluran pernafasan.

Gambar 6. Eosinofil mensekresi protein yang bersifat toksit dari granula dan mediator inflamasi

Defisiensi IL-18 mencegah terjadinya dermatitis atopi pada mencit yang rentan. Mencit transgenik KCASP1 (KCASP1Tg) mengekspresikan enzim caspase-1 yang berlebihan pada keratinositnya dan berkembang mirip dengan manusia yang menderita dermatitis atopi. Daerah yang mengalami luka mempunyai karakteristik hiperkeratinosis dan terjadi infiltrasi leukosit dan limfosit. Pada pewarnaan dengan toluidine blue menunjukkan adanya akumulasi sel mast. Mencit transgenik KCASP1 yang mengalami defisiensi STAT6 mempunyai level IgE yang sangat rendah dan tidak cukup untuk dideteksi, namun tetap saja menderita dermatitis atopi, sedangkan mencit transgenik KCASP1 yang mengalami defisiensi IL-18 bebas dari dermatitis. Kejadian ini menjadi semacam kesimpulan bahwa sitokin dari TH2 tidak penting pada model ini. KIL-18 Tg merupakan mencit transgenik yang mengekspresikan IL-18 secara berlebihan pada keratinosit menunjukkan gejala yang sama dengan mencit KCASP1Tg. Hanya saja datangnya penyakit dermatitis sedikittertunda. Gambaran histologi-patologi pada penyakit celiac. Dalam keadaan normal tekstur permukaan usus halus menunjukkan lipatan-lipatan membentuk jari-jari yang berfungsi sebagai perluasan permukaan yang penting untuk absorsi makanan. Pada penyakit celiac terjadi remodeling. Penyakit celiac ini dapat terjadi ketika sistem imun pada daerah usus halus ini ini mengenali protein -gliadin yang terdapat pada makanan dan menyebabkanpengrusakan villi. Pada kasus ini juga terjadi peningkatan aktivitas mitosis pada dasar crypts tempat dimana terjadi pembentukan sel epitel. Pada penyakit ini juga terdapat tanda-tanda inflamasi seperti infiltrasi limfosit pada lapisan epitel dan akumulasi sel T CD4, sel plasma, dan makrofag pada lapisan yang lebih dalam pada lamina propria. Karena villi berisi sel-sel epitel yang berfungsi sebagai digesti dan absorbsi sari makanan, maka hilangnya komponen itu akan membahayakan kehidupan.Mekanisme molekuler yang mendasari pengenalan gluten oleh sistem imun pada penyakit celiac. Setelah terjadi digesti gluten oleh enzim yang ada pada usus, maka akan terjadi deamidasi epitop oleh transglutaminase. Mekanisme itu menyebabkan gluten menjadi termodifikasi lebih sederhana dan dapat berikatan dengan nmolekul HLA-DQ dan menginisiasi aktivasi sistem imun. Hipotesis untuk menerangkan produksi antibodi yang muncul akibat adanya tTG (tissue transglutaminase) ketika tidak terdapat sel T yang spesifik untuk tTG pada pasien celiac. Sel B spesifik melakukan endositosis gluten:tTG dan mempresentasikan peptida dari gluten pada sel T spesifik. Sel T yang terstimuli dapat dapat membantu aktibasi sel B yang memproduksi autoantibodi yang melawan tTG. Aktivasi sel T sitotoksik oleh sistem imunitas innate pada penyakit celiac. Peptida gluten dapat menginduksi terekspresinya MHC kelas 1b yaitu MIC-A dan MIC-B pada sel-sel epitel usus. IELs (intraepithelial lymphocytes) yang kebanyakan berupa sel T sitotoksik CD8 mengenali protein itu melalui reseptor NKG2D, yang mengaktivasi IELs agar membunuh sel yang membawa molekul MIC, sehingg terjadi kerusakan epitelium pada usus. Strategi pada penanganan alergi. Hal-hal yang mungkin dilakukan untuk mencegah reaksi alergi ditunjukkan pada gambar ini. Pertama, denga menggunakan inhibitor spesifik yang dapat mengeblok sintesis molekul yang memediasi inflamasi pada sel mast. Kedua, menginjeksikan antigen spesifik in desensitization regimes, yang diyakini menyebabkan toleran pada alergen. Agen ini diduga dapatmemacu produksi sel T regulator.

Gambar 7. Strategi pada penanganan alergi. Hal-hal yang mungkin dilakukan untuk mencegah reaksi nalergi ditunjukkan pada gambar ini. Pertama, dengan menggunakan inhibitor spesifik yang dapat mengeblok sintesis molekul yang memediasi inflamasi pada sel mast. Kedua, menginjeksikan antigen spesifik in desensitization regimes, yang diyakini menyebabkan toleran pada alergen. Agen ini diduga dapat memacu produksi sel T regulator.

Gambar 8. Sifat-sifat alergen yang terhirup. Sifat khas alergen inhalasi digambarkan pada tabel ini. Teori Higien menyandarkan konsep pada hipotesis bahwa infeksi pada awal perkembangan anak-anak menjadi proteksi terhadap atopi dan asma. Salah satu kelemahan pada teori higien ini adalah tidak adanya hubungan antara infeksi yang disebabkan oleh golongan cacing, misalnya cacing tambang dan schistosomes dengan perkembangan alergi. Sebuah studi yang dilakukan di Venezuela menunjukkan bahwa anak yang diberi obat anti cacing dalam jangka yang panjang mempunyai prevalensi terjadinya atopi lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak diberi obat cacing. Cacing nampaknya menjadi pemicu respon dan perkembangan TH2, dan tidak mungkin menyatakan bahwa terjadinya polarisasi respon sel T menjadi TH1 merupakan mekanisme umum bahwa infeksi melindungi individu dari atopi.Kejadian di atas memunculkan pendapat baru. Pendapat baru ini menduga bahwa semua kejadian infeksi dapat melindungi diri dari atopi dengan cara memacu produksi sitokin misalnya IL-10 dan TGF- yang menekan kerja baik TH1 maupun TH2. Pada lingkungan yang higien anak memperoleh paparan bahan infektan yang sangat rendah, sehingga sitokin supresor IL-10 dan TGF- diproduksi dalam level yang rendah. Belum ada mekanisme molekuler yang dapat menjelaskan terjadinya toleransi baik oleh paparan bakteri maupun nonbakteri. Namun sekarang telah ada petunjuk bahwa bakteri memproduksi semacam substan yang mempunyai potensi sebagai imunoregulator. Sebagai contoh, sel dendritik yang dipapar dengan ligan TLR, misalnya LPS dan CpG DNA yang berturut-turut merupakan ligan TLR-4 dan TLR-9 maupun paparan oleh IFN- yang merupakan mediator proinflamasi dapat menstimuli sel dendritik memproduksi indoleamine 2,3-dioxygenase (IDO). IDO merupakan enzim yang dapat mendegradasi triptofan yang merupakan salah satu asam amino esensial. Sel dendritik yang menghasilkan IDO dapat menekan terjadinya inflamasi yang diperantarai oleh TH2 dan dapat memacu perkembangan sel T regulator CD4+CD25+Foxp3+.Dengan demikian sel dendritik yang menghasilkan IDO diandalkan untuk melakukan proteksi terhadap reaksi alergi secara cepat maupun untuk perlindungan jangka panjang. Faktor genetik juga terlibat pada mekanisme ini, sebab bayi yang cenderung terkenaalergi umumnya disebabkan fungsi sel T regulator tidak berjalan dengan baik.

Sel T regulator dapat mengontrol reaksi alergiPeripheral blood mononuclear cell (PBMC) merupakan semua darah yang mempunyai nukleus berbentuk bulat. Contoh PBMC adalah limfosit, monosit, dan makrofag. PBMC sangat penting pada sistem imun untuk memerangi mikroorganisme penginfeksi. Di samping PBMN darah juga mengandung komponen polymorphonuclear leukocyte (PMN atau PML). PMN mempunyai inti dalam bentuk yang bervariasi terkadang dengan lobus yang sangat jelas. PMN yang dikenal adalah basofil, eosinofil, dan neutrofil. PBMC yang berasal dari individu atopi mempunyai kecenderungan mensekresi sitokin yang sama dengan yang diproduksi TH2 setelah adanya stimulasi melalui jalur TCR, hal ini berbeda dengan individu non atopi. Diduga bahwa peranan sistemregulasi sangat penting untuk mencegah respon IgE pada alergi.Sel T regulator saat ini (2010) memperoleh perhatian para ilmuwan di bidang imunologi sehubungan dengan peran sel tersebut pada penyakit autoimun. Berbagai tipe sel T regulator telah dikaji dan hampir semuanya terlibat pada reaksi alergi. Namun demikian sel T regualator yang dianggap paling besar pengaruhnya pada sistem imun adalah sel T CD4+CD25+. Sel ini dikenal dengan istilah sel T regulator natural. Sel T regulator dari individu atopi tidak dapat melakukan kerja sebagai supresor. Sel T regulator yang berasal dari individu normal mempunyai kemampuan menekan produksi sitokin oleh TH2, namun sebaliknya dari individu atopi tidak dapat melakukan kerja itu. Sel T regulator yang tidak dapat bekerja sebagai supresor dapat dikatakan sebagai sel T regulator cacat dan efek kecacatan itu sangat jelas pada musim serbuk sari. Bukti lain yang sangat jelas tentang peranan sel T regulator berasal dari mencit FOXp3-/-. Mencit dengan genotip FOXp3-/- akan menderita berbagai penyakit termasuk kerentanan terhadap alergi termasuk eosinophilia, hiper IgE, dan sangat jelas menderita alergi dan inflamasi pada saluran pernafasan. Semua kejadian tersebut diyakini karena hilangnya sel T regulator, sebab FOXp3 merupakan gen yang mengendalikan terbentuknya sel T regulator CD4+CD25+. Tingkat keparahan penyakit pada mencit FOXp- Akan berkurang jika mencit tersebut juga mengalami knockout gen pada STAT6. STAT6 berfungsi untuk perkembangan dan fungsi efektor sel TH2 sedangkan FOXp3 berfungsi melakukan supresi pada TH2. Dengan tidak berkembangnya TH2 maka logika sederhananya tidak diperlukan lagi sel supresor. Namun demikian fakta in vivo tidak semudah yang dibayangkan, karena hilangnya sel T regulator tidak hanya berpengaruh pada sel TH2 namun juga homeostasis secara menyeluruh termasuk terjadi autoreaktif olehsel-sel imunokompeten.Sel T regulator dapat diinduksi oleh IDO yang disekresi berbagai tipe sel. Sel dendritik yang teraktivasi melaui TLR-9 oleh ligannya yang berupa CpG DNA akan menghasilkan IDO. Sekresi IDO oleh sel-sel penghuni paru akibat stimulasi kompleks TLR-9:CpG DNA menunjukkan adanya perbaikan pada mencit penderita asma.

Mekamisme efektor pada reaksi alergiReaksi alergi terpicu jika alergen berikatan silang dengan IgE yang telah terikat sel mast. Sel mast mempunyai reseptor FcRI yang dapat mengikat IgE. Sel mast mempunyai fungsi sebagai pemberi peringatan adanya infeksi pada daerah dimana sel tersebut berada. Sel mast yang teraktivasi akan mensekresikan sitokin proinflamasi yang tersimpan pada granula dan juga mensintesis prostagladins, leukotrin, dan sitokin lain. Pada alergi, sel mast menimbulkan reaksi terhadap antigen yang sebenarnya tidak berbahaya. Reaksi-reaksi yang berkembang itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan invader yang seharusnya dieliminasi.Seberapa berat akibat aktivasi sel mast oleh IgE sangat tergatung dengan banyaknya antigen yang masuk dan juga rutenya. Pada kasus alergi serbuk sari, simtom dapat ringan berupa pilek, namun di pihak lain dapat menyebabkan kematian jika terjadi kolap padasistem sirkulasi, misalnya terjadi anafilaksis sistemik. Alergi fase cepat yang ditimbulkan oleh degranulasi sel mast diikuti oleh inflamasi yang berkelanjutan, yang dikenal dengan istilah respon fase lambat. Respon fase lambat ini melibatkan perekrutan sel-sel efektor, terutama limfosit TH2, basofil, dan eosinofil yang berkontribusi pada imunopatologi pada reaksi alergi.

Kebanyakan IgE terikat pada sel dan terlibat pada mekanisme efektorAntibodi berikatan dengan sel-sel efektor misalnya dengan sel mast. Antibodi tersebut berikatan menggunakan Fc yang terletak pada bagian konstan dengan reseptor Fc yang terletak pada sel mast. Kebanyakan antibodi melakukan ikatan dengan reseptor Fc apabila sisi variabel antibodi berikatan dengan antigen spesifik membentuk kompleks antigen:antibodi. IgE merupakan suatu perkecualian dari semua antibodi sehubungan dengan ikatannya dengan reseptor Fc. IgE mempunyai daya ikat dengan reseptor Fc dengan afinitas yang sangat tinggi walupun IgE tidak berikatan dengan antigen. IgE berbeda dengan antibodi lain yang umumnya terdapat pada cairan tubuh, IgE banyak terdapat pada jaringan yaitu pada sel mast yang mempunyai reseptor Fc dan juga pada basofil yang bersirkulasi serta pada eosinofil yang teraktivasi.Ikatan antigen pada antibodi yang telah melekat pada sel akan memicu sel tersebut untuk melakukan aktivasi yaitu pada tempat dimana antigen itu masuk pada jaringan. Tersekresinya faktorfaktor proinflamasi baik berupa lipid, sitokin, dan kemokin olehsel-sel efektor yang mengikat IgE:antigen, akan memacu terjadinya perekrutan eosinofil dan basofil untuk meningkatkan reaksi hipersensitif tipe I. Kejadian di atas juga menyebabkan terekrutnya sel efektor lain seperti limfosit T yang dapat memediasi terjadinyareaksi hipersensitif tipe IV.Ada dua macam reseptor yang dapat mengikat IgE. Pertama, FcRI. FcRI merupakan reseptor yang mempunyai afinitas pengikatan yang tinggi terhadap IgE. FcRI terdapat pada permukaan sel mast, basofil, dan eosinofil yang teraktivasi. Ketika terjadi ikatan silang (cross-link) antar IgE dipermukaan sel oleh antigen, maka akan terjadi signal transduksi melalui FcRI untuk mengaktivasi sel tersebut. Banyaknya sekeresi IgE pada suat individu seperti yang terjadi pada penderita penyakit alergi maupun infeksi parasit akan memicu peningkatan ekspresi FcRI pada sel mast, peningkatan kepekaan sel mast pada antigen walaupun konsentrasinya sangat rendah, dan peningkatan sitokin dan mediator lainnya yang sekresinya terkait dengan keberadaan IgE. Reseptor lain yang mempunyai kompetensi terhadap IgE adalah FcRII. FcRII sering dikenal dengan nama CD23, suatu lektin yang strukturnya tidak ada hubungan dengan FcRI. FcRII mengikat IgE dengan afinitas yang sangat rendah. FcRII menyebar pada berbagai sel termasuk sel B, monosit, eosinofil, platelet, sel dendritik, sel epitel timus, dan sel T yang teraktivasi. FcRII diduga berperan penting pada pengaturan konsentrasi IgE, namun mencit CD23-/- menunjukkan respon IgE normal. Dari model mencit CD23-/- akhirnya diketahui bahwa CD23 berperan pada peningkatan jumlah produksi IgE. Respon terhadap suatu antigen spesifik akan meningkat jika antigen tersebut mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan IgE. Namun peningkatan respon tersebut tidak terjadi pada mencit CD23-/-. Kejadian di atas dijadikan suatu alasan bahwa CD23 pada APC mempunyai peranan untuk menangkap antigen yang melakukan ikatan denganIgG.

Sel mast tinggal pada jaringan dan menyebabkan terjadinya alergiSel mast pada awalnya ditemukan oleh Ehrlich. Sel tersebut ditemukan pada mesenterium kelinci dan diberi nama Mastzellen, yang artinya sel gemuk. Sel mast sebagaimana basofil mempunyai granula yang menyimpan proteoglikan dengan pH yang sangat rendah. Keberadaan granula yang sangat asam ini dapat diperiksa dengan mudah dengan bukti adanya ikatan dengan pewarna basa. Sel mast berasal dari sumsum tulang namun pemasakannya di luar sumsum tulang. Sel mast sering menempati daerah yang sering terekspos oleh patogen dan alergen. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel mast adalah IL-3 dan semua sitokin yang berhubungan dengan TH2 sepertimisalnya IL-4 dan IL-9. Sel mast yang mempunyai cacat pada gen Kit tidak dapat berdiferensiasi secara sempurna. Meskipun sel tersebut mempunyai kemampuan memproduksi IgE, namun tidak dapat memediasi inflamasi yang umumnya diperantarai IgE.Aktivasi sel mast sangat ditentukan oleh aktivasi phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3-kinase) oleh Kit. In-aktivasi p110 yang merupakan isoform PI 3-kinase menyebabkan mencit tidak mempunyai kepekaan terhadap agen alergen. Kenyaataan tersebut menjadikan p110 sebagai target penting untuk terapi penyakit alergi ataupun penyakit lain yang munculnya terkait dengan kerja sel mast.Sel mast dapat melakukan proses degranulasi dalam hitungan detik dan dapat melepaskan sitokin proinflamasi baik yang telah lama terbentuk maupun yang baru saja terbentuk. Di antara mediator inflamasi yang dilepas oleh sel mast adalah histamin. Histamin menyebabkan peningkatan aliran darah secara lokal dimana histamin tersebut dilepaskan dan juga meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Histamin juga menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis beberapa enzim seperti mast cell chymase, tryptase, dan serine esterase. Enzim-enzim tersebut pada gilirannya akan mengaktifkan enzim metalloproteinase yangberada pada matrik ekstraselluler. Aktivitas enzim metalloproteinase itu pada akhirnya menyebabkan hancurnya matrik jaringan sehingga terjadi kerusakan pada jaringan. Sel mast yang teraktivasi juga dapat melepaskan sitokin tumor necrosis factor- (TNF-) dalam jumlah yang besar. TNF- berasal dari dalam granula yang telah ada sebelumnya maupun yang terbentuk selama aktivasi. TNF- dapat mempengaruhi sel endotel untuk meningkatkan ekspresi molekul adhesi sehingga mamacu sel-sel leukosit dan limfosit menerobos keluar pembuluh darah dan memasuki jaringan. Histamin adalah amine yang mempunyai umurrelatif pendek. Sel mast yang teraktivasi dapat mensintesis dan melepaskan kemokin, protaglandin, leukotrin, platelete activating factor (PAF), dan sitokin yang berperan untuk melangsungkan respon TH2 seperti IL-4 dan IL-13. Protein-protein tersebut berkontribusi pada terjadinya inflamasi akut dan kronik. Mediator inflamasi terutama yang berupa lipid misalnya prostaglandin dapat dengan cepat menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan sekresi mucus, dan menginduksi penetrasi leukosit yang berkontribusi pada terjadinya alergi fase lambat.Mediator lipid seperti prostaglandin dapat berasal dari fosfolipid penyusun membran sel. Prostaglandin dipecah untuk membebaskan molekul asam arakidonat. Asam arakidonat dapat dimodifikasi menjadi prostaglandin, tromboxan, dan leukotrin. Prostaglandin D2 merupakan prostaglandin paling penting yang diproduksi sel mast. Prostaglandin D2 mempunyai kemampuan merekrut TH2, eosinofil, dan basofil. TH2, eosinofil, dan basofil masing-masing mempunyai reseptor PTGDR yang akan mengikat prostaglandin. Prostaglandin D2 sangat penting kontribusinya sebagai penyebab penyakit alergi seperti asma, dan polimorfisme PTGDR berhubungan dengan peningkatan resiko asma. Leukotrin terutama B4 dan C4, sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan inflamasi pada jaringan. Kebanyakan obat antiinflamasi bekerja dengan cara menghambat metabolisme asam arakidonat. Sebagai contoh adalah aspirin, yang menghambat kerja enzim siklooksigenase dan menghambat produksi prostaglandin.Aktivasi sel mast yang dimediasi oleh IgE mengatur serangkaian mekanisme inflamasi yang selanjutnya didukung oleh sel lain yang telah terekrut seperti eosinofil, basofil, sel B, sel dendritik, dan limfosit TH2. Reaksi fisiologi yang melibatkan sel mast dan sel lain yang terekrut di atas, umumnya sangat diperlukan terutama untuk melawan infeksi parasit. Pada alergi, reaksi inflamasi akut dan kronik yang dipicu oleh aktivasi sel mast mempunyai dampak penting pada patofisiologi, seperti yang diamati pada penyakit yang berhubungan dengan alergi akibat antigen pada lingkungan. Sel mast diketahui mempunyai peran pada imunoregulasi dan juga menjadi inisiator reaksi pro-inflamasi. Sel mast juga mempunyai kontribusi pada kejadian reaksi autoimun.

Dalam keadaan normal eosinofil dikontrol dengan ketat untukmenghindari reaksi toksit.Eosinofil merupakan leukosit bergranula yang berasal dari sumsum tulang. Sel tersebut dinamakan eosinofil karena granulanya berisi basa protein arginin dalam jumlah besar, dan pada pewarnaan eosin yang bersifat asam akan berwarna orange yang terang. Hanya sedikit eosinofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Sebagian besar eosinofil ditemukan pada jaringan, terutama pada jaringan ikat saluran pernafasan, usus, dan epitelium urogenital, menunjukkan bahwa sel ini berkaitan dengan fungsinya untuk melawan organisme invader. Eosinofil memiliki dua macam fungsi efektor. Pertama, pada keadaan teraktivasi eosinofil melepaskan radikal bebas dan protein granula yang sangat toksit yang dapat membunuh mikroorganisme dan parasit. Namun, pada reaksi alergi substansi tersebut juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang signifikan. Kedua, aktivasi eosinofil juga menginduksi sintesis mediator kimia seperti prostaglandin, leukotrin, dan sitokin. Mediator kimia ini dapat meningkatkan respon inflamasi dengan cara mengaktifkan sel epitel serta merekrut dan mengaktifkan leukosit dan eosinofil dalam jumlah yang besar. Eosinofil juga mensekresi berbagai macam protein yang berkontribusi pada remodeling jaringan pernafasan.Aktivasi dan degranulasi eosinofil diatur dengan sangat ketat, karena kesalahan aktivasi dapat membahayakan host. Control pertama yang dilakukan pada eosinofil ini adalahproduksinya dari sumsum tulang. Jika individu tidak mengalami infeksi maupun stimulasi sistem imun, maka normalnya tubuh memproduksi eosinofil dalam jumlah yang sedikit.Namun, apabila terjadi aktivasi TH2, sitokin IL-5 akan dilepas sehingga meningkatkan produksi eosinofil pada sumsum tulang dan eosinofil segera masuk pada sirkulasi darah. Pada mencit transgenik yang mengekspresikan IL-5 berlebihan terjadi peningkatan jumlah eosinofil pada sirkulasi darah tapi tidak masuk ke dalam jaringan. Hal ini menjadi indikasi bahwa migrasi eosinofil dari sirkulasi menuju jaringan dikontrol oleh sistem yang berbeda yang tidak melibatkan IL-5. Molekul penting yang diketahui berperan sebagai faktor migrasi dari sirkulasi ke jaringan adalah kemokin CC. Kemokin CC pada umumnya menyebabkan terjadinya kemotaksis pada leukosit. Ada tiga macam kemokin yang sangat penting sebagai pemacu migrasi dan aktivasi eosinofil yakni: CCL11 (eotaksin 1), CCL24 (eotaksin 2), dan CCL26 (eotaksin 3). Ketiga macam kemokin ini secara umum disebuteotaksin.CCR3 yang merupakan reseptor eotaksin pada eosinofil sangat tidak spesifik dan dapat mengikat kemokin CC yang lain, termasuk CCL7, CCL13, dan CCL5. Ikatan-ikatan ini juga mempengaruhi reaksi kemotaksis dan aktivasi eosinofil. Basofil dan sel mast dapat distimuli oleh kemokin yang identik maupun sama. Sebagai contoh, eotaksin memacu migrasi basofil dan menyebabkan sel itu melakukan degranulasi, dan CCL2 yang mengikat CCR2, dengan cara yang sama mengaktifkan sel mast baik ada antigen maupun tidak. CCL2 dapat juga mendorong diferensiasi sel T naive menjadi sel TH2. Sel TH2 juga mempunyai reseptor CCR3 dan bermigrasi menuju eotaxin. Nampaknya sangat ganjil jika interaksi kemokin yang berbeda dengan reseptornya memperlihatkan overlap yang sangat tinggi. Hingga saat ini hal tersebut belum dapat diterangkan, namun penemuan inimenunjukkan bahwa famili kemokin dan juga sitokin dapatmengkoordinasi respon imun teretentu. Kontrol ketiga mempunyai peran meregulasi aktivasi eosinofil. Dalam keadaan tidak teraktivasi eosinofil tidak mengekspresikan reseptor IgE dengan afinitas tinggi dan juga mempunyai mekanisme membatasi degranulasi. Setelah teraktivasi oleh kemokin dan sitokin fisiologi sel mast berubah yaitu, FcRI terekspresi, mudah terjadi degranulasi, jumlah reseptor Fc dan reseptor komplemen pada pemukaan sel juga meningkat. Pada tahap ini eosinofil telah siap melaksanakan fungsi sebagai sel efektor dan mampu melakukan degranulasi ketika merespon antigen yang melakukan ikatan silang pada IgE yang ada padamembran eosinofil. Eosinofil mengikat IgE dengan menggunakan FcRI.

Eosinofil dan basofil dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan pada reaksi alergi.Pengamatan tentang pentingnya peran eosinofil pada alergi telah dibicarakan pada abat 19, yaitu ketika dikaitkan dengan penyakit asma. Namun demikian peran eosinofil pada alergi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Pada reaksi alergi lokal, degranulasi sel mast dan aktivasi TH2 menyebabkan eosinofil terakumulasi pada tempat tersebut dalam jumlah yang besar dan mengalami aktivasi. Eosinofil memacu apoptosis TH1, dan mendorong ekspansi TH2. Peningkatan jumlah TH2 ditengarahi akibat reduksi jumlah TH1 dan merupakan kompensasi pada mekanisme homeostasis. Jumlah eosinofil yang dipertahankan di atas batasnormal merupakan ciri inflamasi alergi kronik dan eosinofil ini dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kerusakan jaringan. Sebagaimana eosinofil, basofil juga terdapat pada daerah yang mengalami reaksi inflamasi dan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan basofil sangat mirip dengan yang dibutuhkan eosinofil.Faktor pertumbuhan tersebut meliputi IL-3, IL-5, dan GM-CSF. Telah diperoleh bukti adanya mekanisme yang mengontrol pemasakan stem cells menjadi basofil maupun eosinofil. Sebagai contoh TGF- dengan kehadiran IL-3 akan menekan diferensiasi eosinofil dan sebaliknya memacu diferensiasi basofil. Normalnya, basofil dalam sirkulasi darah jumlahnya sangat sedikit dan mempunyai peran yang sama dalam melawan patogen. Sebagaimana eosinofil, basofil terekrut pada daerah yang mengalami reaksi alergi. Basofil mengekspresikan FcRI pada permukaan sel, dan ketika basofil teraktivasi oleh sitokin maupun antigen, basofil membebaskan histamin dari granula di samping juga memproduksi IL-4 dan IL-13.Basofil, eosinofil, dan sel mast dapat melakukan interaksi satu sama lain. Degranulasi eosinofil dapat melepaskan major basic protein, yang pada gilirannya menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil. Degranulasi sel mast dan basofil ini meningkat dengan adanya sitokin yang berpengaruh pada perkembangan, diferensiasi, dan aktivasi sel tersebut seperti misalnya IL-3, IL-5, dan GM-CSF.

Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua: reaksi fase cepat dan reaksi fase lambatRespon inflamasi yang terjadi setelah IgE mengaktivasi sel mast dapat terjadi dalam hitungan detik yang disebut reaksi fase cepat dan reaksi fase lambat yang makan waktu 8-12 jam. Reaksi fase cepat disebabkan oleh aktivitas histamin, prostaglandin, dan mediator lain yang telah terbentuk sebelumnya ataupun disintesis dengan sangat cepat yang meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Reaksi fase lambat yang terjadi pada sekitar 50% pasien yang sebelumnya telah mengalami reaksi fase cepat, disebabkan oleh induksi sintesis dan pelepasan mediator seperti leukotrin, kemokin, prostaglandin, dan sitokin seperti IL-5 dan IL-13 yang berasal dari aktivasi basofil dan sel mast. Semua rangkaian reaksi di atas akan menyebabkan perekrutan sel-sel leukosit termasuk limfosit TH2 dan eosinofil menuju daerah yang mengalami inflamasi. Reaksi fase lambat berhubungan dengan fase kedua kontraksi otot polos yang dimediasi oleh sel T. Pada reaksi tersebut terjadi adema yang berlangsung lama dan juga terjadi remodeling jaringan seperti hipertropi dan hiperplasia otot polos.Hipertropi merupakan peningkatan ukuran yaitu menjadi lebih besar karena ada pertumbuhan sel, sedangkan hiperplasia merupakan penambahan jumlah sel. Reaksi fase lambat dan kelanjutannya, merupakan inflamasi alergi kronik, yang disamakan dengan reaksi hipersensitif tipe IV. Inflamasi alergi kronik ini berkontribusi pada terjadinya penyakit yang sangat parah dalam waktu yang panjang, seperti asma kronik. Asma fase kronik ditandai dengan munculnya sitokin yang dilepas TH1 contohnya IFN dan juga sitokin yang dilepas oleh TH2 secara bersama-sama. Dan telah diketahui bahwa pada asma pengaruh sitokin dari TH2 lebih dominan daripada sitokin dari TH1.

Dampak reaksi alergi sangat bervariasi tergantung letak sel mast yang teraktivasi2Pemaparan ulang alergen memicu reaksi alergi dan efeknya terfokus pada tempat dimana sel mast melakukan degranulasi. Pada alergi fase cepat, mediator yang telah terbuat sebelumnya dilepaskan dan mempunyai fungsi sangat pendek. Oleh karenanya pengaruh mediator itu terhadap pembuluh darah dan otot polos hanya terbatas pada sekitar sel mast yang teraktivasi. Pada alergi fase lambat reaksi juga terpusat pada titik dimana alergen itumenimbulkan aktivasi, dan induksi alergen pada daerah tertentu juga menentukan mudah tidaknya inflamasi dapat diatasi. Oleh karena itu reaksi alergi sangat ditentukan oleh tiga variable utama: banyaknya IgE yang kompeten, rute alergen diintroduksikan, dankonsentrasi alergen. Apabila alergen diintroduksikan secara langsung pada aliran darah atau diserap dengan cepat lewat usus, sel mast pada jaringan ikat yang berasosiasi dengan pembuluh darah akan teraktivasi. Aktivasi ini menimbulkan gejala yang sangat berbahaya yang disebut sistemik anafilaksis. Aktivasi sel mast yang meluas diberbagai tempat menyebabkan efek yang fatal. Contohnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dimana-mana sehingga timbul bencana fatal seperti hilangnya tekanan darah, terjadi kontriksi saluran pernafasan sehingga terjadi kesulitan bernafas, dan pembesaran epiglotis yang dapat menyebabkan terjadinya sufokasi (mati lemas). Kondisi dengan ciri-ciri tersebut di atas dapat disebut shock anafilaksis. Hal tersebut dapat terjadi apabila obat diberikan pada seseorang yang mempunyai IgE spesifik untuk obat tersebut, atau setelah seseorang tergigit serangga dan orang tersebut alergi terhadap racun yang berasal dari serangga itu. Suatu makanan misalnya kacang tanah atau kacang Brazil dapat menimbulkan anafilaksis sistemik untuk seseorang yang peka.Gejala itu dapat berjalan dengan cepat dan fatal namun umumnya segera diatasi dengan injeksi epinefrin dengan segera. Epinefrin dapat menyebabkan relaksasi otot polos dan mencegah efek anafilaksis pada kardiovaskuler. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi alergi adalah penisilin dan turunannya. Seseorang yang mempunyai IgE yang merespon penisilin, jika orang tersebut diinjeksi dengan penisilin akan mengalami shock anafilaksis bahkan dapat menimbulkan kematian. Harus dihindari dengan sangat pemakaian penisilin terhadap pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap obat-obatan terutama yang mempunyai setruktur mirip. Penisilin bertindak sebagai hapten, yang merupakan molekul kecil berupa cincin -lactam yang sangat reaktif yang sangat penting perannya sebagai zat antibakteri. Cincin tersebut bereaksi dengan gugus asam amino pada protein host dan membentuk ikatan kovalen. Ketika penisilin diinjeksikan maupun diperlakukan secara oral,penisilin akan segera melakukan konjugasi dengan protein host.Protein atau peptida yang telah mengalami modifikasi oleh penisilin pada orang-orang tertentu akan memicu respon TH2. Sel TH2 selanjutnya akan mengaktivasi sel B yang mengikat penisilin. Sel B yang teraktivasi akan memproduksi antibodi IgE yang akanmengikat hapten penisilin. Jadi penisilin bertindak sebagai antigen terhadap sel B, dan sebagai antigen sel T sehubungan dengan sifatnya yang mampu memodifikasi protein maupun peptida host. Ketika seseorang yang alergi penisilin mendapat injeksi obat tersebut secara intravena, protein yang telah termodifikasi oleh penisilin akan menyebabkan molekul IgE melakukan ikatan silang pada permukaan sel mast yang terletak pada jaringan. Ikatan silang IgE tidak saja terbatas pada permukaan sel mast namun juga terjadi pada permukaan sel basofil yang sedang bersirkulasi, sehingga menimbulkan reaksi anafilaksis.

Inhalasi alergen berasosiasi dengan rinitis dan asma.Pernafasan merupakan jalan utama sebagai masuknya bahanbahan alergen. Kebanyakan orang hanya terpengaruh sedikit oleh adanya alergen yang masuk, misalnya menimbulkan bersin maupun keluarnya ingus. Kondisi demikian ini disebut alergi rinitisyang disebabkan oleh aktivasi sel mast mukosa yang berada di bawah sel epitelium mukosa. Bahan alergen misalnya serbuk sari mempunyai protein yang dapat dilepaskan dan protein tersebut dapat berdifusi menembus membran mukosa pada hidung. Alergi rinitis mempunyai ciri-ciri rasa gatal dan bersin-bersin berkepanjangan, terjadi pembengkakan lokal pada hidung yang menyebabkan tersumbatnya pernafasan. Dalam kondisi ini terjadi peningkatan eosinofil dan juga terjadi iritasi hidung akibat pelepasan histamin. Reaksi yang serupa dengan alergen udara dapat terjadi pada konjungtiva ketika alergen tersebut terdeposit pada konjungtiva mata, yang disebut alergi konjungtivitis. Alergi rinitis dan konjungtivitis umumnya ditimbulkan oleh alergen lingkungan yang kejadiannya pada musim tertentu. Sebagai contoh, alergi serbuk sari disebabkan berbagai macam alergen, termasuk serbuk sari dari rumput maupun serbuk sari dari pohon.Alergi yang dipengaruhi musim ini dalam istilah medis disebut rhinokonjungtivitis musiman. Pada musim panas dan musim gugur gejala alergi dapat ditimbulkan oleh serbuk sari golongan rerumputan atau dari spora jamur sperti Alternaria. Alergen tahunan seperti bulu kucing dan debu rumah dapat menjadi penyebab penderitaan sepanjang tahun. Asma merupakan salah satu penyakit alergi yang cukup berat. Kejadian asma dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel mast submukosal pada saluran pernafasan bagian bawah. Kejadiantersebut dapat berlangsung cepat dalam hitungan detik ketika alergen telah memapar. Alergen tersebut dapat menyebabkan kontraksi bronkus dan juga dapat meningkatkan sekresi cairan dan mukus, menyebabkan bernafas makin sulit oleh karena udara yang masuk tertambat pada paru. Pasien penderita alergi umumnya perlu treatmen dan serangan asma dapat menyebabkan kematian. Alergen yang menimbulkan alergi rinitis dan konjungtivitis umumnya dapat menimbulkan serangan asma. Spora Alternaria pada musim panas dan gugur dapat menimbulkan asma. Akibat penting asma adalah terjadinya inflamasi kronik saluran pernafasan, yang ditandai dengan meningkatnya limfosit TH2, eosinofil, neutrofil, dan leukosit yang lain. Keberadaan dan peningkatan sel-sel darah putih tersebut pada penyakit asma berlangsung dalam waktu yang panjang. Keberadaan sel-sel darah putih akan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi sistem pernafasan. Perubahan itu di antaranya adalah terjadinya penebalan dinding saluran pernafasan oleh akibat hiperplasia dan hipertropi pada lapisan otot polos dan kelenjar mukosa, yang akhirnya terjadi fibrosis. Perubahan anatomi itu (remodeling) dapat menyebabkan terjadinya penyempitan secara permanen saluran pernafasan yang disertai peningkatan sekresi mukus, dan hal tersebut yang dianggab bertanggung jawab pada kejadian asma. Pada asma kronik, respon sel-sel imunokompeten yang berlebihan dan juga hiperreaktif saluran pernafasan terhadap zat-zat non-alergenmeningkat.Kerja sitokin yang dihasilkan TH2 misalnya IL-9 dan IL-13 pada sel epitel pernafasan mempunyai arti yang sangat penting pada penyakit tertentu. Di antara pengaruh kerja sitokin tersebut adalah terjadinya induksi metaplasia dari sel goblet, dimana terjadi peningkatan diferensiasi sel epitel menjadi sel goblet sehingga terjadi peningkatan sekresi mukus. Sel epitel paru juga dapat memproduksi reseptor kemokin CCR3 dan paling tidak ada dua ligan untuk reseptor ini yaitu CCL5 dan CCL11. CCL5 dan CCL11 merupakan kemokin yang dapat meningkatkan respon TH2 dengan cara menarik lebih banyak TH2 dan eosinofil pada paru yang mengalami kerusakan. Efek langsung dari sitokin yang dihasilkan oleh TH2 dan kemokin pada sel-sel otot polos penyusun alat pernafasan dan fibroblas paru adalah terjadinya apoptosis sel epitel dan perubahan anatomi-histologi saluran pernafasan (remodeling). TGF beta diduga berperan pada mekanisme ini karena mempunyai pengaruh kuat pada sel-sel epitel dari kemampuannya menginduksi terjadinya apoptosis sampai menstimulasi proliferasi sel epitel tersebut.Mencit mutan yang kehilangan gen penyandi faktor transkripsi T-bet mempunyai gejala yang sama dengan manusiapenderita asma. Faktor transkripsi T-bet diperlukan untukdiferensiasi TH1, dan pada mencit tersebut sel T cenderung berkembang menjadi TH2. Produksi sitokin yang berasal dari TH2 misalnya IL-4, IL-5, dan IL-13 pada mencit model asma ini mengalami peningkatan. Pada mencit ini juga terjadi inflamasi saluran pernafasan yang melibatkan limfosit dan eosinofil. Mencit ini juga mengalami hiperreaktivitas saluran pernafasan oleh bahanbahan yang pada individu normal bukan alergen, sehingga kondisinya mirip dengen penderita asma pada manusia. Kondisi ini dapat terjadi dalam keadaan dimana alergen eksogen yang menstimuli terjadinya inflamsi sama sekali tidak ada, dan terdapatbukti bahwa dalam kondisi ubnormal dimana individu lebih didominasi oleh respon TH2 dapat menyebabkan terjadinya penyakit alergi. Keterlibatan eosinofil pada penyakit asma pada manusia dan mencit sangat berbeda. Jumlah eosinofil pada manusia penderita asma berhubungan dengan tingkat keparahan asma itu. Pada mencit mutan yang tidak dapat menghasilkan eosinofil, ciri asma yang dapat dilihat hanya berkurangnya remodeling dan gangguan saluran pernafasan namun hipersensitif saluran pernafasan tidak berkurang.Meskipun asma alergi awalnya dipicu oleh alergen spesifik, namun inflamasi kronik yang terjadi terus berlangsung meskipun alergennya telah hilang. Saluran pernafasan menjadi hiperreaktif, dan faktor lain di luar antigen dapat memicu serangan asma. Asma mempunyai karakter hipersensitif pada lingkungan yang menggandung bahan kimia iritan seperti misalnya asap rokok dan sulfur oksida. Virus dan sebagian beberapa bakteri penginfeksi saluran pernafasan dapat memperparah penyakit asma dengan cara mengaktivasi TH2 dan membuat TH2 mendominasi respon imun.

Alergi pada kulit dapat berupa urtikaria dan eksim kronik3Respon fase cepat dan fase lambat dapat dilihat pada respon alergi kulit. Kulit merupakan penghalang yang sangat efektif terhadap masuknya bermacam-macam alergen, namun kulit dapat diterobos dengan injeksi sejumlah kecil alergen misalnya ketikatersengat serangga. Masuknya alergen pada epidermis atau dermis dapat menimbulkan reaksi alergi lokal. Aktivasi sel mast secara lokal pada kulit dapat menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskuler secara lokal. Kejadian tersebut dapat berlangsung sangat cepat yang dapat menyebabkan ekstravasasi cairan tubuh dan menimbulkan pembengkakan. Aktivasi sel mast dapat menstimuli tersekresinya bahan-bahan kimia dari ujung saraf lokal dengan cara reflek ekson saraf sehingga terjadi vasodilasi pembuluh darah yang ada di sekitar kulit, dan tampak warna kemerahan pada daerah kulit tersebut. Dalam keadaan tersebut sering terjadi luka pada kulit yang disitilahkan wheal and flare reaction. Pengertian wheal and flare reaction ini mengacu pada keadaan dimana kulit mengalami penonjolan dan pengembangan.Sekitar 8 jam berikutnya pada beberapa orang akan terjadi adema yang lebih luas sebagai reaksi yang disebut fase lambat. Penyebaran reaksi wheal and flare yang sering dikenal dengan istilah urtikaria atau gatal-gatal, terkadang muncul ketika alergen masuk dalam aliran darah dan mencapai kulit. Urtikaria dalam istilah umum pada masyarakat disebut biduran. Histamin yang dilepaskan oleh sel mast yang teraktivasi oleh alergen pada kulit menyebabkan rasa gatal dan bengkak berwarna merah pada kulit.Ahli alergi umumnya melakukan tes alergi dengan menginjeksikan bahan alergen pada lapisan epidermis. Hal ini dimungkinkan karena adanya reaksi fase cepat sebelum fase lambat yang munculnya pada rentang waktu yang relatif panjang. Meskipun reaksi setelah injeksi intraepidermis biasanya sangat terlokalisasi namun masih ada resiko terjadinya anafilaksis sistemik walaupun kemungkinannya sangat kecil. Cara lain untuk mengetes alergi adalah dengan cara mengukul level IgE yang spesifik dengan suatu alergen dengan metode ELISA, sandwich. Telah banyak diketahui bahwa urtikaria akut umumnya disebabkan oleh alergen, namun urtikaria kronik dimana ruam urtikaria dapat kambuh berulang kali dalam waktu yang lama, belum banyak diketahui mekanismenya. Lebih dari sepertiga kejadian urtikaria kronik disebabkan oleh autoantibodi yang spesifik terhadap FcRI sehingga dikreteriakan sebagai penyakit autoimun. Urtikaria kronik ini dapat digolongkan sebagai reaksi hipersensitif tipe II dimama autoantibodi bereaksi terhadap reseptornya yang terdapat pada sel, khususnya sel mast. Pada kasus ini ikatan autoantibodi pada reseptor yang berada pada sel mast mengakibatkan degranulasi sel mast dan menimbulkan urtikaria atau dikenal dengan istilah biduran.Pada anak-anak atopi respon inflamasi alergi dapat berlangsung lama yang dapat dilihat dari permukaan kulit. Anakanak atopi itu akan mengalami ruam kulit yang disebut eksim atau dermatitis atopi. Pada level histologi penderita eksim ataupun dermatitis atopi akan terjadi tissue remodeling dan fibrosis sama dengan yang terlihat pada dinding bronkus pada penderita asma. Alergi pada model hewan percobaan selalu memperlihatkan dominasi TH2, namun pada manusia ternyata sitokin yang berasal dari TH1 dan TH2 mempunyai kontribusi pada kejadian alergi ini. Dengan demikian kejadian alergi pada manusia jauh lebih komplek dibandingkan hewan model percobaan karena pada manusia TH1 dan TH2 semuanya menyumbangkan imunopatogenesis. Contoh yang dapat mudah diamati adalah dermatitis atopi, dimana satu dari tiga penderita menunjukkan peningkatan sangat sedikit level IgE atau bahkan sama sekali tidak terjadi peningkatan IgE, dan terjadi kecenderungan sel T berkembang menjadi TH1 pada daerah luka yang dialami oleh penderita dermatitis atopi ini, khususnya yang telah menderita penyakit tersebut dalam rentang waktu yanglama.Respon imunitas innate yang disebabkan oleh aktivasi TLR oleh pengaruh mikrobia dapat memperparah dermatitis atopi. Aktivasi TLR biasanya menyebabkan terjadinya respon dan aktivasi TH1 sehingga terproduksi IL-12 dan IL-18 oleh TH1. Pada mencit transgenik (KCASPI Tg), dimana mencit tersebut mengekspresikan enzim caspase-1 berlebihan pada keratinosit, mencit tersebut memproduksi IL-12 dan IL-18 yang berlebihan pula. Mencit mutan jenis ini lahir dalam keadaan sehat namun kulit berkembang menjadi keadaan yang sama dengan penderita dermatitis atopi pada manusia. Umumnya luka kulit dimulai padaumur berkisar 8-10 minggu setelah kelahiran dan peningkatan IgE dan IgG juga terjadi pada waktu tersebut. Ekspresi caspase-1 yang berlebihan dapat memacu apoptosis pada keratinosit namun juga meningkatkan level IL-12 dan IL-18 sebab cacpase-1 diperlukan untuk mengaktifkan kedua sitokin tersebut. Sejalan dengan bertambahnya umur mencit, luka-luka pada kulit semakin bertambah dan dermatitis atopi itu semakin parah. Mencit mutan IL-18-/- kebal terhadap penyakit dermatitis atopi walaupun mencit itu merupakan mencit KCASPI Tg. Pada mencit yang mengalami defisiensi IL-18, respon TH1 sangat lemah. Mutasi gen STAT6 tidak membuat mencit kebal terhadap penyakit dermatitis atopi. Mencit dengan genotip STAT6-/- mempunyai karakteristik kehilangan respon TH2, namun tidak terlindung dari dermatitis atopi. Dengan demikian dominasi TH2 yang ditengarahi penyebab munculnya alergi dipertanyakan pada level ini, sebab tanpa aktivasi TH2 mencit jenis ini menderita penyakit alergi yang dimanifestasikan dengan munculnya dermatitis atopi. Secara khusus alergi yang terkait dengan imunitas innate ini disebut alergi tipe innate, yang mekanisme kejadiannya berlawanan dengan dominasi TH2.Respon dan dominasi TH2 tetap suatu hal yang sangat penting untuk terjadinya dermatitis atopi. Dominasi TH2 dianggap penyebab tidak langsung memburuknya kondisi dermatitis atopi karena individu penderita semakin rentan terhadap infeksi. Sebagai contoh, individu penderita dermatitis atopi rentan terhadap inflamasi kulit setelah dilakukan vaksinasi virus vaccinia. Meningkatnya kerentanan itu merupakan hasil penyebaran virus vaccinia akibat kerja sitokin dari TH2 yaitu IL-4 dan IL-13. Respon TH2 juga menghambat pembentukan peptida antimikrobia cathelicidin. Normalnya cathelicidin terinduksi jika TLR-3 terstimulasi. Dengan demikian orang dapat meramalkan tahaptahap infeksi yang memicu dermatitis atopi penyebab meningkatnya kerentanan dan infeksi yang lebih parah.

Alergi makanan dapat menyebabkan reaksi sistemik yang terbatas pada ususAlergi makanan menimpa 1-4% orang-orang Amerika dan Eropa. Sekirat seperempat yang benar-benar alergi makanan di Amerika dan Eropa diketahui alergi terhadap kacang dan diketahui meningkat tiga kali pada lima tahun terakhir ini. Buku ini ditulis tahun 2011. Alergi makanan menyebabkan sekitar 30000 penderita mengalami reaksi anafilaksis setiap tahun di Amerika, dan 200 diantaranya mengalami kematian. Fakta ini merupakan masalah serius dalam bidang kesehatan, utamanya menyangkut masalah sekolah. Anak-anak terkadang tidak sadar terpapar bahan makanan yang mengandung kacang, karena kacang terdapat pada berbagai macam makanan.Salah satu ciri makanan yang bersifat alergen adalah sulitnya dicerna di lambung walupun enzim pepsin telah bekerja maksimum. Sehingga makanan tersebut dapat mencapai permukaan mukosa pada usus halus sebagai alergen yang masih utuh. Jika suatu bahan alergen termakan akan terjadi dua macam reaksi alergi. Aktivasi sel mast mukosa yang terletak pada saluran pencernakan menyebabkan cairan tubuh keluar dengan cara menembus sel-sel epitel dan terjadi kontraksi otot polos, sehingga menyebabkan diare dan terjadi muntah. Dalam hal ini belum bisa dijelaskan mengapa sel mast jaringan ikat yang terletak pada dermis dan jaringan subkutan dapat teraktivasi setelah alergen tercerna, misalnya oleh alergen yang terabsorbsi dalam sirkulasi darah dan menimbulkan urtikaria. Urtikaria merupakan reaksi yang umum terjadi jika penisilin diberikan secara oral kepada pasienyang telah memiliki antibodi IgE yang spesifik untuk penisilin. Ingesti makanan yang bersifat alergen dapat memicu terjadinya asma, atau secara umum dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yang diikuti oleh kegagalan sistem kardiovaskuler. Makanan tertentu terutama golongan kacang dan golongan kerang umumnya terkait dengan respon alergi di atas. Alergi makanan dapat dimediasi oleh IgE seperti yang terjadi pada asma atau anafilaksis sistemik, ataupun dimediasi oleh selain IgE. Contoh alergi yang dimediasi oleh selain IgE adalah penyakit celiac.

Penyakit celiac merupakan model imunopatologi yang disebabkan antigen spesifik.4Penyakit celiac merupakan kondisi kronik dari usus halus bagian atas yang disebabkan oleh respon imun terhadap gluten. Gluten merupakan protein komplek yang terdapat pada wheat, oats, dan barley. Menghindari semua makanan yang mengandung gluten akan mengembalikan fungsi normal usus, namun penghindaran terhadap gluten tersebut harus dilakukan selama hidup. Ciri patologi penyakit celiac ini adalah hilangnya slender yaitu bentukan seperti jari-jari yang disusun oleh sel-sel epitelium usus. Kondisi ini lebih dikenal dengan istilah atropi vilus. Bersamaan dengan hal tersebut terjadi crypt hiperplasia.Crypt hiperplasia ini merupakan keadaan dimana terjadi pembesaran ukuran pada daerah khusus tempat pembaharuan sel-sel epitel. Perubahan anatomi-patologi ini menyebabkan hilangnya sel epitel yang telah masak yang menutupi villi yang fungsi normalnya untuk mengabsorbsi dan mencerna makanan, dan diikuti oleh inflamasi dinding usus dan terjadi peningkatan sel T, makrofag, dan sel plasma pada lamina propria, dan juga terjadi peningkatan jumlah limfosit pada lapisan epitel. Gluten merupakan satu-satunya protein dari makanan yang dapat menimbulkan inflamasi intestin pada mekanisme di atas. Gluten ini dapat memicu imunitas spesifik maupun innate pada orang-orang tertentu yang terkait dengan masalah genetika dan kerentanan.Penyakit celiac menunjukkan adanya keterkaitan dan kecenderungan yang sangat kuat dengan genetika. Lebih dari 95% penderita penyakit ini mengekspresikan HLA-DQ2 dan terdapat 80% terjadi bersama pada kembar identik (jika salah satu saudaranya menderita penyakit ini maka kembarannya 80% akan menderita penyakit ini pula), namun hanya 10 % kejadian yang sama menimpa kembar nonidentik. Akan tetapi, hampir semua individu yang mengekspresikan HLA-DQ2 tidak menderita penyakit celiac meskipun hampir semua makanan masyarakat barat mengandung gluten. Banyak bukti yang menunjukkan bahwapenyakit celiac ini awalnya diperantarai oleh terstimulinya sel T CD4 yang memproduksi IFN- oleh peptida yang ada pada -gliadin, bagian utama protein penyusun gluten. Telah diketahui bahwa hanya sebagian peptida yang dapat membangkitkan respon imun yang menyebabkan terjadinya penyakit celiac. Nampaknya penyakit celiac ini dikarenakan adanya struktur celah MHC yang tidak umum. Dalam hal ini molekul celah HLA-DQ2 yang padaumumnya tidak mengikat peptida dari gluten, namun pada individu tertentu terjadi ikatan komplek peptida:HLA-DQ2. Kejadian penyakit celiac diawali oleh pengenalan sistem imun terhadap -gliadin setelah terjadi deamidasi peptidanya oleh enzim transglutaminase yang terletak pada jaringan (tTG). Enzim transglutaminase mengubah residu glutamin menjadi asam glutamat yang bermuatan negatif. Hanya peptida yang bermutan negatif pada posisi tertentu yang dapat berikatan kuat dengan HLA-DQ2, sehingga reaksi pembentukan transamina meningkatkan terbentuknya ikatan kompleks peptida: HLA-DQ2.Kompleks peptida:HLA-DQ2 dapat mengaktivasi sel T CD4 yang kompeten untuk kompleks tersebut. Epitop peptida yang terbentuk dari gliadin dapat bervariasi sehingga memungkinkan sel T CD4 dari berbagai klon terlibat pada aktivasi ini. Sel T CD4 yang teraktivasi itu selanjutnya terakumulasi pada lamina propria dan memproduksi IFN- yang menyebabkan terjadinya inflamasi intestin.Penyakit celiac sepenuhnya tergantung pada keberadaan antigen asing yang berupa gluten dan tidak berhubungan dengan imunitas spesifik yang menyerang antigen pada jaringan. Jadi kerusakan epitelium intestin pada penyakit celiac ini bukan mekanisme autoreaktif yang mengenali self antigen, sehingga tidak digolongkan sebagai penyakit autoimun. Pada penyakit celiac ini autoantobodi terhadap transglutaminase ditemukan pada semua pasien, dan IgA yang kompeten terhadap enzim ini merupakan antibodi yang digunakan untuk test penyakit ini. Suatu hal yang sangat menarik ternyata tidak ditemukan sel T yang spesifik terhadap tTG. Diduga sel T yang merespon atau reaktif terhadap