hasil surveilans, monitoring dan pengembangan...
TRANSCRIPT
-
KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKANDAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASARJalan Raya Sesetan No. 266Denpasar 80223 Bali2017
LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2016
-
i
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang
telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah
Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2016 dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan
Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT
selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31
Desember 2016.
Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar mengacu pada
Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24
Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar,
yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan
penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di
laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.
Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah
kerja dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar tahun
anggaran 2016 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2016, tanggal Desember
2015.
Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.
Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya
bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan
semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan
banyak terima kasih.
Denpasar, Pebruari 2017Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,
Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001
HPStamp
-
ii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii
I. BAKTERIOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKS DI WILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2016…............................... 1-7
2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI WILAYAHKERJA BBVET DENPASAR, TAHUN 2016……………………………. 8-15
3. SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYAPEMBERANTASAN SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI,TAHUN 2016……………………………………………………….………. 16-24
4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI PROVINSI NTB DANNTT, TAHUN 2016………………………………………………………… 25-35
5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE): EVALUASIPROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA……………… 36-47
II. PARASITOLOGI
6. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT,TAHUN 2016……………………………………….............................. 48-66
7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKBABI DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………………….......................... 67-86
7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKUNGGAS DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), TAHUN 2016....................... 87-95
8. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASIS DAN PARASIT DARAH LAINNYA PADATERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARATIMUR, TAHUN 2016........................................... 96-110
9. SURVEILANS PARASIT DARAH PADA UNGGAS DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016……………………………………………………………….. 111-125
-
iii
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. PATOLOGI
10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARAVIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………. 126-152
11. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDIWILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR), TAHUN 2016........... 153-171
12. ANALISA RISIKO DAN SURVEILANS BOVINESPONGIFORM ENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016………………………………………………………… 172-190
IV. KESMAVET
13. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS(Salmonellosis) PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI,NTB DAN NTT, TAHUN 2016…………………………..………... 191-202
14. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2016……………….. 203-231
V. BIOTEKNOLOGI
15. SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2016....................................................................................... 232-248
16. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016...................................................................................... 249-262
VI. VIROLOGI
17. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015………………………………………………………… 217-237
18. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015....................................................... 238-250
-
iv
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
19. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015..........................................……….. 251-261
20. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2015................................................................. 262-278
VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN
21. PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PENGEMBANGANMETODA IDENTIFIKASI BAKTERI Campylobacter jejuni DANIDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PANGAN ASALHEWAN MENGGUNAKAN TEKNIK POLYMERASE CHAINREACTION (PCR)(Increasing Competence and Development MethodIdentification of Bacteria Campylobacter jejuni andIdentification of Rat meat in Food of Animal Origin usingPolymerase Chain Reaction)………… 279-297
VIII. PELAYANAN VETERINER
20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2016……………………….. …..-……
21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR……….. 307-325
-
1
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR
TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia. Untuk mengetahuisituasi atau deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis pada ternak, maka tahun 2016 BB-VetDenpasar telah melakukan surveilans di beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT. Sampelpreparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methylene blue kemudian diperiksasecara mikroskopis. PUD yang dicurigai mengandung Bacillus anthraxis dilanjutkan dengan ujiPCR untuk memastikan bahwa bakteri tersebut adalah Bacillus anthraxis. Hasil uji terhadap 692sampel dari NTB dan 538 sampel dari NTT tahun 2016, ditemukan satu sampel yang dicurigaiBacillus anthraxis, namun karena kit untuk PCR belum disediakan sampai akhir tahun 2016maka sampel tersebut belum bisa dilanjutkan dengan uji PCR.
Kata Kunci: Antraks, PCR, NTB, NTT.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;
Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang
tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang
cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup
-
2
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman
ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang disembelih.
Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang telah tercemar
spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat endemis apabila
tidak ditangani secara baik.
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar, Provinsi Bali
merupakan daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau
Sumbawa merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus
Antraks terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah,
setelah itu sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi
Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi
wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba
diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan
Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi
NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai
Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka
2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,
2015).
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BB-Vet Denpasar, khususnya di
Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi
umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat
kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan
kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2016 bermaksud
melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BB-Vet
Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta
serum kontrol negatif, maka pada tahun 2016 surveilans antraks dialihkan untuk
deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan sampel
preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.
-
3
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah
kerja BB-Vet Denpasar tahun 2016 antara lain zat warna polychromatic
methyline blue, Kit PCR antraks, glass slide, mikroskop dan sebagainya.
MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang
diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2016.
III. HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2016 menunjukan bahwa semua sampel PUD dari
Provinsi NTB negative Bacillus anthraxis (Tabel 1). Satu sampel PUD dari
Provinsi NTT dicurigai mengandung Bacillus anthraxis secara mikroskopis
(Tabel 2, Gambar1).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTB
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis
Bima 101 0
Kota Bima 0 0
Dompu 249 0Sumbawa 90 0Sumbawa Barat 52 0Pulau Sumbawa 492 0Lombok Barat 25 0Lombok Tengah 50 0Lombok Timur 25 0Lombok Utara 100 0Mataram 0 0Pulau Lombok 200 0Jumlah 692 0
-
4
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTT Tahun 2016
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis
Alor 20 0Ende 0 0Kota Kupang 20 0Kupang 33 0Lembata 25 0Malaka 20 0Manggarai 25 0Manggarai Barat 0 0Manggarai Timur 25 0Nagekeo 0 0Ngada 25 0Rote Ndao 0 0SBD 50 0Sikka 25 0Sumba Barat 65 0Sumba Tengah 50 Suspect 1Sumba Timur 100 0Belu 28 0TTU 0 0TTS 27 0Jumlah 538 Suspect 1
Gambar 1. Suspect B.anthracis pewarnaan polychromatic methylin blue pembesaran 1000X.
-
5
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di
Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2016 tidak ada lagi
laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas
dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan
vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok tahun
2015, kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah
lainnya yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan
informasi dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas
Peternakan Kabupaten Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari
daerah luar Kabupaten Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang
positif mengandung antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut,
apakah ternak tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah
terinfeksi.
Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa tahun 2015
menunjukkan sebanyak 51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin
disebabkan karena cakupan vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi
dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi
Antraks pada tahun 2015 hanya 35,322 ekor (47,74%) dari populasi target
73.987 ekor. Pulau Sumbawa diketahui sebagai daerah endemis Antraks,
dengan kekebalan kelompok yang belum optimal ini, dikhawatirkan
kemungkinan akan munculnya kasus dilapangan. Untuk itu disarankan kepada
dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa
untuk meningkatkan cakupan vaksinasi Antraks. Tahun 2016 dilaporkan terjadi
satu kasus antraks di Kabupaten Sumbawa, namun hasil pengujian sampel PUD
dari Provinsi NTB tahun 2016 semuanya negative B.anthraxis.
-
6
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi
NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di
Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara
(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BB-Vet Denpasar
dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2015, sedangkan tahun 2016
semua sampel PUD dari Daratan Timor semuanya negative B.anthraxis.
Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang
menjadi wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau
Sumba diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor
dan Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di
Provinsi NTT, kasus Antraks di Kabuapten Sumba Barat dilaporkan terjadi tahun
2007 (Dartini dkk, 2007), di Kecamatan Kodi Mangendo, sekarang menjadi
wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kasus terakhir dilaporkan terjadi di
Sumba Barat Daya tahun 2011, di Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai
tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka
tahun 2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany
Suhadi, 2015). Hasil uji sampel PUD tahun 2016 menunjukkan bahwa satu
sampel dari Kabuapten Sumba Tengah dicurigai positif B.anthraxis secara
mikroskopis, namun disebabkan tidak tersdianya KIT PCR untuk pengujian lebih
lanjut, maka sampai laporan ini dibuat belum bisa dipastikan sampel tersebut
betul-betul positif atau terkontaminasi bakteri berbentuk batang lainnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampel PUD dari
Kabupaten Sumba Tengah dicurigai mengandung bakteri Bacillus anthraxis.
Untuk mencegah terjadinya penularan antraks ke daerah yang belum pernah
ada kasus (Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau) maka disarankan untuk
tidak memasukkan ternak berasal dari daerah endemis antraks.
-
7
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf
Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan
hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas
Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya
sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.
DAFTAR PUSTAKA
OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.
Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
-
8
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasi diantaraprovinsi yang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus diProvinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis diProvinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular beratbrucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahuidengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Ende padatahun 2006. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upayatetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensiBrucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yang diterima laboratoriumbakteriologi selama tahun 2016 diuji RBPT sebagai uji skrining, jika positif dilanjutkan dengan ujiCFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap 4.602sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari Provinsi NTB semuanya negatifantibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTT sebanyak 1.533 sampel, 3sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu dua (2) sampel positif dari 175 sampel serumberasal dari Kabupaten Malaka dan satu (1) sampel positif dari 73 sampel serum berasal dariKabupaten Timor Tengah Utara (TTU). SEdangkan sampel dari Kabupaten Alor, Ende, Lembata,Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, RotenDao, Sumba BaratDaya, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kota Kupang, semuanyanegative. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTB masihbebas Brucellosis.
Kata Kunci: Brucellosis, BPT, CFT, Bali, NTB. NTT.
-
9
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan
salah satu penyakit penting secara ekonomi karena bersifat zoonosis (menular
ke manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris
(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan
menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan
merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau
Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri
Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002
untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok
di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa
di Prop NTB.
Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas
Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015
tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara
pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah
tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau
lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis
pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten
Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.
Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam
upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor
kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk
mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.
Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah
kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
-
10
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
Materi
Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun 2016 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan
CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang
dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary
agglutinator, dan sebagainya.
Metode
Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet
Denpasar selama tahun 2016. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji
Rose Bengal Plate Test (RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji
Complemen Fixation Test (CFT) (OIE, 2016).
Prosedur uji RBPT sebagai berikut :
1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT
dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.
2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada
WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk
serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,
setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua
lubang.
3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator
dan lakukan pembacaan hasil.
Prosedur Uji CFT sebagai berikut :
1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A
serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,
lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di
waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol
positif dan negatif)
2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –
H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)
-
11
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12
sampai ke lubang H1-12
4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang
C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control
antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)
5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl
kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit.
6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.
7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.
III. HASIL
Hasil Uji 4.602 sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari
Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 1.533 sampel
dari Provinsi NTT, 3 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari
Kabupaten Malaka, dan 1 sampel dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Hasil
lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBadung 522 0Bangli 385 0Buleleng 616 0Denpasar 193 0Gianyar 641 0Jembrana 1045 0Karangasem 400 0Klungkung 350 0Tabanan 450 0Jumlah 4602 0
-
12
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBima 287 0Kota Bima 0 0Dompu 651 0Sumbawa 377 0Sumbawa Barat 50 0Pulau Sumbawa 1365 0Lombok Barat 166 0Lombok Tengah 156 0Lombok Timur 417 0Lombok Utara 277 0Mataram 123 0Pulau Lombok 1139 0Jumlah NTB 2504 0
Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT
Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisAlor 100 0Ende 25 0Kota Kupang 178 0Kupang 108 0Lembata 50 0Malaka 175 2 (1,14%)Manggarai 50 0Manggarai Barat 50 0Manggarai Timur 50 0Nagekeo 93 0Ngada 65 0Rote Ndao 28 0SBD 80 0Sumba Barat 155 0Sumba Timur 140 0TTU 73 1 (1,37%)TTS 113 0Jumlah 1533
-
13
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan
bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari
Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor
444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.
Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006
(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola
pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua
reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan
atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas
brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor
52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.
Hasil pengujian 4.602 sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2016 di Provinsi
Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa
Tenggara Barat, dari 2.504 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau
Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas
Brucellosis.
Tahun 2016 Brucellosis di daratan timor, ditemukan di Kabupaten Malaka
(1,14%) dan TTU (1,37%). Seperti diketahui bahwa daratan timor merupakan
wilayah terinfeksi Brucellosis dengan prevalensi 2% di Kabupaten TTU dan Belu
(termasuk Kabupaten Malaka yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Belu). Di Kabupaten Belu dan TTU pernah dilakukan program vaksinasi
Brucellosis dengan menggunakan vaksin Brucella abortus strain S19, sehingga
tidak diketahui dengan pasti apakah antibody tersebut berasal dari hasil
vaksinasi atau infeksi alam. Prevalensi brucellosis di Kota Kupang dan
Kabupaten Kupang belum bisa dipastikan walaupun hasil pengujian sampel
tahun 2016 semuanya negative.
-
14
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Hal ini perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang
sebenarnya dapat diketahui dengan jelas, karena hasil surveilans tahun 2015
menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan prevalensi reaktor di Kota
Kupang.
Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,
Ngada, Nagekeo semuanya negatif,demikian juga halnya pada tahun 2016
semua sampel dari Kabupaten Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai
Timur, Nagekeo, dan Kabupaten Ngada negative brucellosis. Seperti diketahui
bahwa prevalensi Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis
di Pulau Flores pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada
tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat.
Berdasarkan data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka
kemungkinan untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk
dilakukan, sebelum berkembang menjadi lebih besar.
Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,
Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa
dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans
secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan
dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas
ternak antar pulau.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas
Brucellosis
2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk
mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.
-
15
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan
Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan
SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan
Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan
atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di
Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang
telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
OIE (2009). Bovine Brucellosis. OIE Terrestrial Manual . Halaman 1 – 35
OIE (2016). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
-
16
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYA PEMBERANTASANSEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI
TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAKS
Septikemia Epizootika (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamapada ternak sapi dan kerbau, bersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umumdibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis danterkadang mewabah. Proninsi Bali diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiaptahun ada laporan kasus SE. Untuk mengetahui situasi SE dan dalam upaya pemberatasan SEdi wilayah kerja BBVet Denpasar, maka telah dilakukan survei pendahuluan di Provinsi Bali padatahun 2016. Sampel serum untuk deteksi antibodi terhadap SE diuji dengan metode ELISA,sedangkan swab/organ untuk identifikasi Pasteurella multocida dilakukan dengan metode isolasidan identifikasi, isolate Pasteurella multocida yang diperoleh dityping dengan metode uji PCR.Hasil pengujian spesimen menunjukkan bahwa dari 10.202 spesimen serum yang diuji 9,55%positif antibodi SE. Dari 610 swab semuanya negative Pasteurella multocida dan dari 269sampel tonsil diperoleh 5 isolat Pasteurella multocida.
I. PENDAHULUAN
Latar BelakangSeptikemia Epizootika (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia
dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.
Septikemia Epizootika merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia
terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal (OIE, 2010;
Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa Negara Asia
dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang
mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis sangat
merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena turunnya
produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk
penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,
operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
-
17
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.
Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum
masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal
hanya di kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Kegiatan ini masih belum
efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan
untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat
diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,
melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan
dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun
1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).
Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara
ekonomi, akibat dari kematian ternak, penurunan berat badan, kehilangan
tenaga kerja (pembajak), dan biaya untuk pencegahan maupun pengobatannya.
Di Provinsi Bali, kasus SE secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap tahun
hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil berkisar
antara 13 – 124 pertahun (Nata Kusuma, 2015), bila di bandingkan dengan
populasi sapi dan kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2),
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data
vaksinasi SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).
Melihat trend kasus SE di Bali tersebut dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di
Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi
Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan. Untuk itu maka pada tahun 2016
BBVet Denpasar telah melakukan surveilans SE di Provinsi Bali. Dari hasil yang
diperoleh, diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk penentuan langkah-
langkah selanjutnya, dan pada akhirnya Provinsi Bali bisa dinyatakan sebagai
wilayah bebas SE.
-
18
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR untuk
deteksi Pasteurella multocida penyebab SE dan Pasteurella multocida Type A.
Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin
PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang
digunakan adalah
1. Primer sequences untuk HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe A spesifik PCRRGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
Metode
Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel
yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella
multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.
Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk
menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau
bukan (OIE, 2012).
Penentuan Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji dengan metode Enzyme-linked
immunosorbent assay ( ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida
type B2 strain 0332 (ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit
(EU) atau lebih dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur
Elisa sebagai berikut :
-
19
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
- Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan
12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
Isolasi Pasteurella multocidaUntuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil
di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,
sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab
dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam
keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet
Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media
agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
-
20
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi
dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s
negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
III. HASIL
Laporan kasus SEBerdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
diketahui bahwa, kasus SE di Bali secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap
tahun hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil
berkisar antara 13 – 124 pertahun, bila di bandingkan dengan populasi sapi dan
kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2), (Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data vaksinasi SE sejak
tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).
Tabel 1. Data Kasus SE secara klinis di Provinsi Bali Tahun 2009-2014
No Tahun Jumlah Kasus Keterangan
1 2009 262 2010 353 2011 134 2012 585 2013 486 2014 124
Tidak ada konfirmasi
laboratorium
-
21
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Data SE Tahun 2012 – 2014 di Kabupaten/Kota se Provinsi Bali
TahunNo Kabupaten/Kota 2012 2013 20141 Denpasar 0 5 02 Badung 0 7 03 Gianyar 1 5 324 Klungkung 0 2 05 Karangasem 0 7 06 Bangli 8 4 87 Buleleng 17 9 408 Jembrana 20 5 259 Tabanan 12 4 27
Jumlah 58 48 124
Tabel 3. Data Populasi Sapi dan Kerbau Di Provinsi Bali Tahun 2014
No. Kabupaten / Kota Sapi Kerbau Jumlah1 Jembrana 52.306 1.101 53.4072 Tabanan 52.916 275 53.1913 Badung 37.862 0 37.8624 Gianyar 46.861 0 46.8615 Klungkung 37.250 16 37.2666 Bangli 75.261 0 75.2617 Karangasem 122.299 37 122.3368 Buleleng 121.613 134 121.7479 Denpasar 7.241 3 7.244
Jumlah 553.609 1.566 555.175Sumber : Informasi data peternakan Provinsi Bali tahun 2014 (sementara), DinasPeternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2014.
Hasil surveilans tahun 2016Jumlah sampel yang diterima tahun 2016 adalah 10.202 sampel serum, 610
sampel swab dan 269 sampel tonsil. Dari 10.202 serum yang diuji, 974 (9,55%)
positif antibody SE, semua swab yang diuji negative Pasteurella multocida,
sedangkan dari 269 sampel tonsil yang diuji, sebanyak 5 (1,86%) positif
Pasteurella multocida. Sampel positif berasal dari Kabupaten Gianyar dan
Kabupaten Tabanan (Tabel 4). Isolat Pasteurella multocida yang diperoleh
belum bisa dilakukan uji typing (Tipe B2 atau type A) dengan uji PCR karena
kehabisan reagen.
-
22
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 4. Jenis dan Jumlah sampel dari Provinsi Bali untuk pengujian SEtahun 2016
Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten
Jumlah PositifAb SE % JumlahPos
P.multocida JumlahPos
P.multocida
Badung 1561 87 5.57 85 0 67 0Bangli 835 62 7.43 45 0 0 0Buleleng 1673 70 4.18 100 0 0 0Denpasar 485 36 7.42 25 0 118 0Gianyar 1191 78 6.55 70 0 23 2Jembrana 1559 467 29.96 130 0 0 0Karangasem 1150 55 4.78 55 0 31 0Klungkung 600 60 10.00 45 0 0 0Tabanan 1148 59 5.14 55 0 30 4Jumlah 10202 974 9.55 610 0 269 6 (2,23%)
IV. PEMBAHASAN
Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya dilakukan melalui
vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kekebalan ternak
peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan memperlihatkan
apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi kuman Pasteurella
multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh hewan, baik yang
diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan mampu
melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data hasil
surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat
kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata sangat rendah yaitu
9,55%. Untuk dapat menghindari terjadinya wabah,diperlukan minimal 70%
ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996). Secara umum
keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya
persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap penyakit SE
mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya
laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali.
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi, yang
-
23
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit,
hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh bahwa tidak ada data vaksinasi
SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015). 2. Waktu
pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau vaksinasinya
sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi karena
kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses penurunan titer. 3.
Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak mendapatkan vaksinasi SE.
Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun ke tahun dan data laporan
kasus yang masih terjadi setiap tahun, mengindikasikan bahwa, program
pengendalian SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak
tercapainya target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi
yang berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga
keberhasilan program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang
pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012). Pada
tahun 2016 dapat diisolasi 5 Pasteurella multocida dari sampel tonsil yang
diambil dari RPH Tabanan dan Gianyar. Karena keterbatasan bahan yang
tersedia maka ke lima isolate Pasteurella multocida yang didapat belum dapat
dilanjutkan uji typing dengan PCR. Penelitian Dartini, et al., 1996, menemukan
bahwa Pasteurella multocida dapat diisolasi dari beberapa RPH yang ada di
Provinsi Bali, namun setelah dilakukan uji typing dengan metode indirect
haemagglutinasi dan HS antigen ELISA semua isolate yang diperoleh adalah
Pasteurella multocida tipe A bukan penyebab SE. Berdasarkan data kasus SE
beberapa tahun terakhir di Provinsi Bali dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di
Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi
Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan dengan pola atau program
pemberantasan seperti yang dilakukan di Pulau Lombok dan Kepulauan Nusa
Penida.
-
24
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. and Ekaputra A 1996. Abatoar Survei. Kumpulan Abstrak. International Workshop onDiagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar, Bali 28-30 Mei1996.
Dartini N.L., Kertayadnya I.G., Suendra I.N., dan Suka I.N. (2004). Laporan Surveilans PenyakitSE di Pulau Lombok Tahun 2004. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.
Dartini N.L.; Narcana I.K. (2015). Surveilans Septikemia Epizootika (SE) : Evaluasi programpemberantasan SE di Nusa Penida. Bulletin Veteriner.BBVet Denpasar..XXVII (87): 57-66.
De Alwis M.C.L., (1980). Haemorragic septicaemia in Sri Langka. Tropical Agricultural ReseachSeries No.13, pp.45-54 Tropical Agriculture Reseach Center. Ministry of Agryculture,Forestry and Fisheries, Japan.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapi dan Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.
OIE, (2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.4.12. hal. 1- 4.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Sawada T., Rimler R.B. and Rhoades K.R. (1985). Haemorrhagic septicaemia : Naturallyacquired antibodies against Pasteurella multocida types B and E in calves in the UnitedState. American Journal of Veterinary Reseach 46: 1247-1250.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.
-
25
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
MONITORING DAN SURVEILANS SEDI PROVINSI NTB DAN NTT TAHUN 2016
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Haemorrhagic septicaemia (HS) atau sering disebut Septicaemia Epizootica (SE) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahuisituasi SE terkini di Provinsi NTB dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilansmelalui pengambilan sampel darah dan organ tonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dankerbau. Sampel serum diuji dengan metode ELISA untuk deteksi antibody terhadap SE. Sampelswab dan organ diuji dengan isolasi dan identifikasi, sampel positif Pasteurella multocidadilanjutkan dengan uji PCR untuk penentuan type B2 atau type A. Hasil surveilans tahun 2016menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yang positif antibody SE sangat rendah (kurangdari 70%), yaitu di Provinsi NTB (Pulau Sumbawa) 18,59%, dan Provinsi NTT 26,74%.Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi yang dipotong di RPHMataram. Secara umum rendahnya persentase ternak yang positif antibody SE sangatmengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan ataudinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SEdengan cakupan yang memadai.
Kata-kata kunci: SE, Antibodi, Pasteurella multocida, NTB, NTT
-
26
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia
dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.
Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada
ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal
(OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa
Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan
terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis
sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena
turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk
penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,
operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.
Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum
masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal
hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum
efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan
untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat
diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,
melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan
dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun
1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).
Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau
Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak
tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan
program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program
tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai
hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi
-
27
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
tidak jelas, data hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian
sejak tahun 2002 program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai
tahun 2014 laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida,
Bali, program vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah
dilakukan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992
sampai sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida,
berdasarkan hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat
Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa
Kepulauan Nusa Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau
Nusa Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah
bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE,
maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun
2016 di Provinsi NTB dan NTT.
II. MATERI DAN METODA
MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR. Peralatan
yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin PCR, serta
alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang dipakai
adalah :
1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’
2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’
Metode
Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel
yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.
Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA
dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella
multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.
Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk
-
28
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau
bukan (OIE, 2012).
3.2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE
Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (
ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332
(ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih
dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa sebagai
berikut :
- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11
dan 12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
-
29
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Isolasi Pasteurella multocida
Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil
di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,
sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab
dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam
keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet
Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media
agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan
pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,
ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard.
- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.
-
30
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. HASIL
Hasil pengujian sampel tahun 2016 dari Provinsi NTB dikelompokkan menjadi 2
kelompok yaitu hasil uji dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau
Lombok jumlah ternak yang positif mengandung antibodi SE sebanyak 6,5%
(Tabel 1), sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 18,59% ternak yang
disampling tahun 2016 positif antibodi SE (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Sapi dan Kerbau di bebrapa Kabupaten di PulauLombok dan Sumbawa Provinsi NTB tahun 2016
Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten
Jumlah PositifAb SE % JumlahPos
P.multocida JumlahPos
P.multocida
Bima 287 23 8.01 41 0 10 0Kota Bima 0 0 0.00 0 0 10 0Dompu 801 196 24.47 111 0 0 0Sumbawa 427 52 12.18 40 0 19 0SumbawaBarat 50 20 40.00 14 0 0 0PulauSumbawa 1565 291 18.59 206 0 39 0Lombok Barat 216 50 23.15 10 0 0 0LombokTengah 156 0 0.00 10 0 0 0Lombok Timur 279 16 5.73 30 0 0 0Lombok Utara 277 1 0.36 40 0 0 0Mataram 102 0 0.00 0 0 10 1Pulau Lombok 1030 67 6.50 90 0 88 1 (1.14%)
2595 296 0 127 1
Pada tabel 2 disajikan hasil uji sampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun
2016 di Provinsi NTT hanya 26,74% ternak yang disampling positif antibodi SE,
semua sampel swab dan tonsil yang diuji negative Pasteurella multocida.
-
31
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 2. Hasil Uji Sampel Swab, Tonsil dan Serum Sapi dan Kerbau dibeberapa Kabupaten Provinsi NTT tahun 2016
Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten
Jumlah PositifAb SE % JumlahPos
P.multocida JumlahPos
P.multocida
Alor 100 3 3.00 10 0 0 0Lembata 50 4 8.00 10 0 0 0Rote Ndao 32 17 53.13 10 0 0 0
Kota Kupang 178 102 57.30 23 0 11 0Kupang 186 86 46.24 38 0 0 0Malaka 175 29 16.57 30 0 0 0Belu 0 0 0.00 0 0 10 0TTS 129 43 33.33 21 0 0 0Jumlah PulauTimor 668 260 38.92 112 0 21 0Ende 105 2 1.90 10 0 20 0Manggarai 50 14 28.00 10 0 10 0ManggaraiBarat 50 9 18.00 0 0 0 0ManggaraiTimur 50 1 2.00 10 0 0 0Nagekeo 93 68 73.12 10 0 10 0Ngada 65 4 6.15 0 0 0 0Sikka 57 3 5.26 10 0 10 0Jumlah PulauFlores 470 101 21.49 50 0 50 0SBD 80 9 11.25 10 0 0 0Sumba Barat 155 18 11.61 20 0 0 0Sumba Tengah 25 3 12.00 10 0 0 0Sumba Timur 140 45 32.14 20 0 4 0Jumlah PulauSumba 400 75 18.75 60 0 4 0Jumlah NTT 1720 460 26.74 414 0 146 0
-
32
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
IV. PEMBAHASAN
Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan
atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran
penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk
tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya
dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan
memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi
kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh
hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan
mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data
hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa
tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,
yaitu di Provinsi NTB khususnya Pulau Sumbawa 18,59% dan NTT 26,74%.
Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE.
Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap SE
mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya
laporan kasus SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.
Untuk dapat menghindari terjadinya wabah diperlukan minimal 70% ternak
memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996).
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang
mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.
2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi
atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak
terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses
penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak
mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun
ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,
mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan SE tidak
direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target
-
33
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang
berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan
program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).
Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan
tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai
spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga
sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh
hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,
ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)
hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah
adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida
lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada
et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat
mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi
pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum
pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain
yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada
uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri
Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype
11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,
1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang
tidak ganas dan mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan
Pasteurella multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau
reaksi silang ini telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype /
strain dari Pasteurella multocida (Cameron and Bester, 1984; Gupta, 1980;
Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).
-
34
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
V. KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di
Provinsi NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2016 masih
relatif rendah.
2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak ada
beberapa tahun terakhir.
3. Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi
yang dipotong di RPH Mataram.
VI. SARAN
Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan
kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani fungsi
peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari ternak sakit /
mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada
instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dan meningkatkan cakupan
vaksinasi.
VII. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas
Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan
kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan
informasi yang diberikan.
-
35
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
DAFTAR PUSTAKA
Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.
Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.
Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.
Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.
OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.
Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.
Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.
Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.
-
36
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE):EVALUASI PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Septicaemia Epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamasapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Program pengendalian dan pemberantasan SE diIndonesia secara umum masih dilakukan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasihanya di kantung-kantung penyakit. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah bebas SEdapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana disertai programmonitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilanpemberantasan SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pemberantasan SE di Pulau Lombok,program yang sama telah dilakukan di Nusa Penida sejak tahun 1991/1992 sampai dengan1993/1994. Evaluasi terhadap program pemberantasan SE di Nusa Penida dilakukan melaluipengumpulan data vaksinasi, surveilans terhadap profil antibodi, isolasi dan identifikasiPasteurella multocida, dan pendataan kasus SE di lapangan telah dilakukan pada tahun 2015.Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat KesehatanHewan untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetapmempertahankan Nusa Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukansecara berkesinambungan. Hasil surveilans tahun 2016 menunjukkan bahwa, semua sampelswab hidung/tenggorokan sapi asal Nusa Penida negatif Pasteurella multocida. Tidak adapemasukan sapi ke Nusa Penida. Profil antibodi SE menunjukkan penurunan setelah programvaksinasi massal selesai, yaitu 77% tahun 1991, 87,3% tahun 1992, 89,9% tahun 1994, 56,25%tahun 1995, 1,3% tahun 1996, 13,9% tahun 2002, 5,8% tahun 2003, dan 0% pada survei tahun2012, 2014 dan 2015. Pada tahun 2016 ditemukan 4 (0,19%) sampel positif antibody SE secaraELISA. Hasil pengamatan dilapangan selama surveilans dan pengamatan petugas dinasdilaporkan bahwa selama tahun 2016 tidak ditemukan adanya sapi yang menunjukkan gejalaklinis yang kemungkinan disebabkan oleh SE. Nusa Penida mempunyai batas wilayah yang jelasberupa laut. Berdasarkan hasil surveilans, data dari Dinas Peternakan Perikanan dan KelautanKabupaten Klungkung, dan pesyaratan suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai wilayah bebasSE dari OIE, maka dapat disimpulkan bahwa Kepulauan Nusa Penida masih merupakan wilayahbebas SE.
-
37
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
I. PENDAHULUAN
Septicaemia epizootica (SE) disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida,
merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama sapi dan kerbau yang
bersifat akut dan fatal, ternak muda biasanya lebih peka dibandingkan dengan
yang dewasa (Benkirane A. dan M.C.L.De Alwis,2002). Penyakit ini dikenal lama
di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara ekonomi. Program
pengendalian dan pemberantasan SE di Indonseia secara umum masih
difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal hanya di
kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Keberhasilan untuk menciptakan
suatu wilayah bebas dari SE, dapat diwujudkan dengan melakukan program
pemberantasan yang terencana, monitoring dan surveilans yang intensif, system
pelaporan yang cepat dan tepat, metode diagnose yang akurat, dan
penggunaan vaksin dengan kualitas yang baik (Benkirane A. dan De Alwis
M.C.L. (2002), serta komitmen dari semua pihak terkait. Hal ini telah dibuktikan
dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok dengan melakukan
vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 1977 – 1980, dan
setelah dilanjutkan dengan monitoring dan surveilans penyakit selama 3 tahun,
tidak ditemukan lagi adanya kasus SE (Sudana dkk,1982). Pulau Lombok
dinyatakan bebas SE pada tahun 1985, dengan surat keputusan Direktorat
Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.
213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85.
Program yang sama telah dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung, Provinsi Bali. Vaksinasi massal 3 tahun berturut-turut pada tahun
1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage sekitar 91,3%. Tahun 1995 - 2002
vaksinasi dilakukan hanya pada sapi dengan coverage sekitar 8,9%. Vaksinasi
terakhir dilakukan pada tahun 2002. Kasus SE terakhir dilaporkan terjadi pada
tahun 1991, pada seekor sapi. Tidak pernah ada pemasukan sapi ke Nusa
Penida. Mengacu pada persyaratan OIE tentang pembebasan SE disuatu
wilayah, maka Nusa Penida sangat memungkinkan untuk diusulkan sebagai
wilayah bebas SE. Namun demikian monitoring dan surveilans SE di Nusa
Penida tidak dilakukan secara berkelanjutan. Untuk itu tahun 2015 BB-Vet
-
38
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Denpasar telah melakukan surveilans terstruktur dalam rangka mewujudkan
Nusa Penida bebas SE. Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli
Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan untuk diusulkan sebagai
wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetap mempertahankan Nusa
Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukan secara
berkesinambungan.
II. MATERI DAN METODE
MateriBahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam surveilans SE di Nusa Penida
tahun 2016 adalah Media agar darah, reagen dan antigen untuk ELISA antibodi
SE, Vitamin, antibiotika, tansport media, Swab steril, tabung venoject plain dan
EDTA, jarum venoject, handle, mikrotiter plate untuk ELISA.
Metode
Pengambilan sampel tahun 2015 dilakukan diseluruh desa yang ada di
Kecamatan Nusa Penida (16 desa). Jumlah sampel diambil berdasarkan
populasi dan estimasi prevalensi positif menggunakan tabel sample size
(Thrusfield W.,1995). Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida
dengan asumsi prevalensi carrier Pasteurella multocida 2%, (berdasarkan data
hasil penelitian Dartini dan Alit, 1996, dimana ditemukan 2,49% sampel dari
RPH yang diuji positif Pasteurella multocida), maka jumlah sampel organ/swab
yang harus diambil minimal 2.158 sampel. Sampel untuk deteksi antibosi SE
dengan asumsi prevalensi 1% (data BBVet Denpasar tahun 1996, 1,3% protektif
setelah 2 tahun vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan 95% maka minimal
sampel yang harus diambil 4.012 sampel serum. Sampel untuk monitoring
tahun 2016 adalah semua sampel dari Nusa Penida yang diterima laboratorium
bakteriologi.
-
39
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Penentuan Zat Kebal/Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada
masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (
ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332
(ACIAR PN9202, VIAS Australia.; Afzal.M.dkk., 1992). Titer ELISA 200 elisa unit
(EU) atau lebih dianggap protektif, (Widder et al., 1996).
Isolasi dan identifikasi P. multocidaSampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari sapi mati yang di
duga SE adalah organ paru-paru, jantung, hati, limpa, limpoglandula
retropharyngeal, darah, sumsum tulang, dan sebagainya. Untuk mengetahui
status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida diambil sampel
limphoglandula retropharyngeal/tonsil/tonsilar crypt atau swab nasopharyng di
rumah potong hewan ( RPH). Di Pulau Nusa Penida tidak tersedia RPH,
sehingga sangat sulit untuk mendapatkan sampel organ untuk mengetahui
status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida, untuk itu sampel yang diambil
berupa swab trachea/nasopharyng/hidung dari sapi hidup. Sampel disimpan
dalam keadaan beku atau dingin, sampai di laboratorium dilakukan pengujian
isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dengan metode pemupukan dan uji
biokimia (OIE, 2012).
Pasteurella multocida yang berhasil diisolasi dan identifikasi di lanjutkan dengan
uji Polimerase Chain Reaction (PCR) spesifik untuk Pasteurella multocida
penyebab SE, untuk mengetahui serotipenya menggunakan primer dan
prosedur OIE tahun 2012.
-
40
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
III. HASIL
Profil Antibodi SE di Nusa PenidaTingkat kekebalan kelompok ternak/sapi di Nusa Penida selama program
vaksinasi massal cukup bagus (diatas 70%) yaitu pada tahun 1991 sampai
dengan 1994, mengalami penurunan setelah program vaksinasi massal
dihentikan (1996 – 203), bahkan sampai nol persen pada tahun 2012, 2014, dan
2015 (Tabel 4 dan Gambar 1). Hasil uji spesimen tahun 2015 terhadap 4.017
spesimen serum semuanya negatif antibodi terhadap SE. Tahun 2016
ditemukan 4 sampel (0,19%) dari 2104 sampel yang diuji positif antibody SE
(Tabel 5).
Tabel 4. Hasil monitoring antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015
Tahun Persentase AntibodiProtektif Jumlah sampel
1991 77.0 1161992 87.3 1061994 88.58 4641996 1.3 1562002 13.9 1082003 5.8 6402012 0.0 1032014 0.0 1482015 0.0 4017
Gambar 1. Grafik antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015
-
41
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 5. Hasil ELISA antibody SE sampel asal Nusa Penida tahun 2016.
NoDESA JENIS
SAMPELJML POS. Ab. SE
1 Batukandik Serum 100 -2 Batumadeg Serum 175 -3 Batununggul Serum 100 -4 Bunga Mekar Serum 225 -5 Klumpu Serum 100 -6 Kutampi Serum 100 -7 Kutampi Kaler Serum 100 -8 Lembongan Serum 200 49 Ped Serum 414 -
10 Pejukutan Serum 175 -11 Sakti Serum 102 -12 Sekartaji Serum 100 -13 Suana Serum 99 -14 Tanglad Serum 100 -15 Toya Pakeh Serum 14 -
2104 4 (0.19%)
Hasil Isolasi dan Identifikasi Pasteurella multocidaDi Nusa Penida tidak tersedia rumah potong hewan (RPH), sehingga sangat
sulit untuk menelusuri adanya pemotongan sapi disana. Sampel berupa swab
tenggorokan dari 150 ekor sapi telah diuji untuk isolasi dan identifikasi
Pasteurella multocida pada tahun 2003 di BBVet Denpasar, ternyata hasilnya
negatif. Pada tahun yang sama penelusuran ternak carrier Pasteurella
multocida juga diupayakan dengan pengambilan sampel jaringan kelenjar
retropharyngeal/tonsilar cryp dari 16 ekor sapi asal Nusa Penida yang dipotong
dalam percobaan/penelitian penyakit Jembrana di BB-Vet Denpasar, dan
hasilnya negatif Pasteurella multocida. Sampel swab tenggorokan kembali
diambil pada tahun 2012 sebanyak 103 sampel dan tahun 2014 sebanyak 148
sampel, ternyata hasilnya juga negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2015
sampel swab hidung/tenggorokan diambil sebanyak 4017 yang diambil dari
semua desa yang ada di Nusa Penida dari bulan April sampai dengan Oktober,
semuanya negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2016 sebanyak 223
sampel swab hidung/tenggorokan semuanya negatif Pasteurella multocida
(Tabel 6).
-
42
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Tabel 6. Hasil sampel swab hidung/tenggorokan asal Nusa Penidatahun 2016.
No DESA JENISSAMPEL JML Pasteurella multocida
1 Batukandik Swab 10 -2 Batumadeg Swab 20 -3 Batununggul Swab 10 -4 Bung Mekar Swab 20 -5 Kutampi Swab 10 -6 Kutampi Kaler Swab 10 -7 Lembongan Swab 15 -8 Ped Swab 66 -9 Pejukutan Swab 20 -
10 Sakti Swab 10 -11 Sekartaji Swab 10 -12 Suana Swab 12 -13 Tanglad Swab 10 -
223 0
Lalu lintas TernakBerdasarkan informasi dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan
Kabupaten Klungkung, diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak
sapi, kerbau, maupun babi ke Nusa Penida. Di Nusa Penida tidak ada ternak
kerbau. Nusa Penida sebagai produsen ternak sapi untuk daerah disekitarnya di
Provinsi Bali atau hanya mengeluarkan.
Surveilans Klinis Terduga SESurveilans klinis terduga SE, dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel
di lapangan. Setiap ternak sapi yang berhasil dikumpulkan diamati secara klinis,
sesuai dengan gejala klinis yang sering ditimbulkan apabila sapi terserang SE.
Selama surveilans tidak ditemukan adanya ternak sapi yang menunjukkan gejala
klinis sakit yang diduga SE. Hal ini didukung dengan hasil isolasi dan identifikasi
Pasteurella multocida dari semua ternak yang dikumpulkan hasilnya negatif.
-
43
LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016
Laporan Kasus SE di Nusa PenidaKasus SE secara klinis di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991,
pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2016) tidak
pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE baik secara klinis maupun laboratoris.
IV. PEMBAHASAN
Septicaemia epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit bakterial yang
disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Di Indonesia,
penyakit ini bersifat endemik dan acapkali menimbulkan wabah di beberapa
wilayah. Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, wabah terakhir
dilaporkan di Kabupaten Lembata tahun 2014, dan merupakan salah satu
penyakit hewan menular yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
besar. Kerugian ekonomi dapat timbul akibat dari kehilangan tenaga kerja,
kematian ternak, operasional, pengobatan, pengadaan obat-obatan dan vaksin.
Untuk menghindari kerugian tersebut maka program pemberantasan di suatu
wilayah harus benar benar ditindak lanjuti.
Program vaksinasi massal dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan
interval 6 bulan sekali, dengan coverage rata-rata diatas 90%. Program
pembebasan SE sangat dipengaruhi oleh seberapa besar coverage vaksinasi
yang dicapai setiap kalinya hingga program tersebut selesai dilaksanakan.
Dengan coverage vaksinasi diatas 90% selama tiga tahun