hasil surveilans, monitoring dan pengembangan...

312
KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266 Denpasar 80223 Bali 2017 LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN METODE UJI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2016

Upload: others

Post on 28-Oct-2020

36 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKANDAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASARJalan Raya Sesetan No. 266Denpasar 80223 Bali2017

LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2016

Page 2: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

i

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang

telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah

Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2016 dapat

diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan

Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT

selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31

Desember 2016.

Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar mengacu pada

Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24

Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar,

yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan

penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di

laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.

Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah

kerja dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar tahun

anggaran 2016 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2016, tanggal Desember

2015.

Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan

Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.

Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya

bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan

masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan

semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan

banyak terima kasih.

Denpasar, Pebruari 2017Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,

Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001

Page 3: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

ii

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR ISI

Halaman

1 KATA PENGANTAR ………………………………………………… i

2 DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii

I. BAKTERIOLOGI

1. SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKS DI WILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2016…............................... 1-7

2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DI WILAYAHKERJA BBVET DENPASAR, TAHUN 2016……………………………. 8-15

3. SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYAPEMBERANTASAN SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI,TAHUN 2016……………………………………………………….………. 16-24

4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI PROVINSI NTB DANNTT, TAHUN 2016………………………………………………………… 25-35

5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE): EVALUASIPROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA……………… 36-47

II. PARASITOLOGI

6. SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAKSAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT,TAHUN 2016……………………………………….............................. 48-66

7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKBABI DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………………….......................... 67-86

7. SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAKUNGGAS DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), TAHUN 2016....................... 87-95

8. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASIS DAN PARASIT DARAH LAINNYA PADATERNAK DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DANNUSA TENGGARATIMUR, TAHUN 2016........................................... 96-110

9. SURVEILANS PARASIT DARAH PADA UNGGAS DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016……………………………………………………………….. 111-125

Page 4: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

iii

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. PATOLOGI

10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARAVIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016………. 126-152

11. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDIWILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR), TAHUN 2016........... 153-171

12. ANALISA RISIKO DAN SURVEILANS BOVINESPONGIFORM ENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016………………………………………………………… 172-190

IV. KESMAVET

13. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS(Salmonellosis) PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI,NTB DAN NTT, TAHUN 2016…………………………..………... 191-202

14. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARANMIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROVINSI BALI, NTB dan NTT, TAHUN 2016……………….. 203-231

V. BIOTEKNOLOGI

15. SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2016....................................................................................... 232-248

16. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2016...................................................................................... 249-262

VI. VIROLOGI

17. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015………………………………………………………… 217-237

18. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015....................................................... 238-250

Page 5: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

iv

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

19. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015..........................................……….. 251-261

20. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2015................................................................. 262-278

VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN

21. PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PENGEMBANGANMETODA IDENTIFIKASI BAKTERI Campylobacter jejuni DANIDENTIFIKASI DAGING TIKUS PADA PANGAN ASALHEWAN MENGGUNAKAN TEKNIK POLYMERASE CHAINREACTION (PCR)(Increasing Competence and Development MethodIdentification of Bacteria Campylobacter jejuni andIdentification of Rat meat in Food of Animal Origin usingPolymerase Chain Reaction)………… 279-297

VIII. PELAYANAN VETERINER

20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAIPEMBIBITAN TERNAK UNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK(BPTU-HPT), TAHUN 2016……………………….. …..-……

21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR……….. 307-325

Page 6: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

1

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BB-Vet DENPASAR

TAHUN 2016

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia. Untuk mengetahuisituasi atau deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis pada ternak, maka tahun 2016 BB-VetDenpasar telah melakukan surveilans di beberapa kabupaten di Provinsi NTB dan NTT. Sampelpreparat ulas darah (PUD) diwarnai dengan polychromatic methylene blue kemudian diperiksasecara mikroskopis. PUD yang dicurigai mengandung Bacillus anthraxis dilanjutkan dengan ujiPCR untuk memastikan bahwa bakteri tersebut adalah Bacillus anthraxis. Hasil uji terhadap 692sampel dari NTB dan 538 sampel dari NTT tahun 2016, ditemukan satu sampel yang dicurigaiBacillus anthraxis, namun karena kit untuk PCR belum disediakan sampai akhir tahun 2016maka sampel tersebut belum bisa dilanjutkan dengan uji PCR.

Kata Kunci: Antraks, PCR, NTB, NTT.

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis

hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.

Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;

Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk

septisemik (Ezzel, 1986). Bila Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang

tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh jumlah oksigen yang

cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan bertahan hidup

Page 7: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

2

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan mendorong kuman

ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks dilarang disembelih.

Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang telah tercemar

spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi bersifat endemis apabila

tidak ditangani secara baik.

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar, Provinsi Bali

merupakan daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau

Sumbawa merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus

Antraks terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah,

setelah itu sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi

Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi

wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba

diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan

Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi

NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai

Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka

2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,

2015).

Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BB-Vet Denpasar, khususnya di

Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi

umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat

kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahui tingkat kekebalan

kelompok ternak, maka Laboratorium Bakteriologi tahun 2016 bermaksud

melakukan surveilans serologis dengan uji ELISA, namun karena BB-Vet

Denpasar kesulitan untuk mendapat antigen dan serum kontrol positif serta

serum kontrol negatif, maka pada tahun 2016 surveilans antraks dialihkan untuk

deteksi dini adanya bakteri Bacillus anthraxis, dengan pengambilan sampel

preparat ulas darah (PUD) kemudian diperiksa secara mikroskopis.

Page 8: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

3

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODE

MateriBahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah

kerja BB-Vet Denpasar tahun 2016 antara lain zat warna polychromatic

methyline blue, Kit PCR antraks, glass slide, mikroskop dan sebagainya.

MetodeSampel yang diuji adalah semua sampel preparat ulas darah (PUD) yang

diterima Laboratorium Bakteriologi selama tahun 2016.

III. HASIL

Hasil pengujian sampel tahun 2016 menunjukan bahwa semua sampel PUD dari

Provinsi NTB negative Bacillus anthraxis (Tabel 1). Satu sampel PUD dari

Provinsi NTT dicurigai mengandung Bacillus anthraxis secara mikroskopis

(Tabel 2, Gambar1).

Tabel 1. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTB

Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis

Bima 101 0

Kota Bima 0 0

Dompu 249 0Sumbawa 90 0Sumbawa Barat 52 0Pulau Sumbawa 492 0Lombok Barat 25 0Lombok Tengah 50 0Lombok Timur 25 0Lombok Utara 100 0Mataram 0 0Pulau Lombok 200 0Jumlah 692 0

Page 9: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

4

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Hasil Uji Sampel Antraks di Provinsi NTT Tahun 2016

Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif B.anthracis

Alor 20 0Ende 0 0Kota Kupang 20 0Kupang 33 0Lembata 25 0Malaka 20 0Manggarai 25 0Manggarai Barat 0 0Manggarai Timur 25 0Nagekeo 0 0Ngada 25 0Rote Ndao 0 0SBD 50 0Sikka 25 0Sumba Barat 65 0Sumba Tengah 50 Suspect 1Sumba Timur 100 0Belu 28 0TTU 0 0TTS 27 0Jumlah 538 Suspect 1

Gambar 1. Suspect B.anthracis pewarnaan polychromatic methylin blue pembesaran 1000X.

Page 10: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

5

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di

Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2016 tidak ada lagi

laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas

dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan

vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok tahun

2015, kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah

lainnya yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan

informasi dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas

Peternakan Kabupaten Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari

daerah luar Kabupaten Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang

positif mengandung antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut,

apakah ternak tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah

terinfeksi.

Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa tahun 2015

menunjukkan sebanyak 51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin

disebabkan karena cakupan vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi

dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi

Antraks pada tahun 2015 hanya 35,322 ekor (47,74%) dari populasi target

73.987 ekor. Pulau Sumbawa diketahui sebagai daerah endemis Antraks,

dengan kekebalan kelompok yang belum optimal ini, dikhawatirkan

kemungkinan akan munculnya kasus dilapangan. Untuk itu disarankan kepada

dinas peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa

untuk meningkatkan cakupan vaksinasi Antraks. Tahun 2016 dilaporkan terjadi

satu kasus antraks di Kabupaten Sumbawa, namun hasil pengujian sampel PUD

dari Provinsi NTB tahun 2016 semuanya negative B.anthraxis.

Page 11: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

6

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi

NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di

Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara

(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BB-Vet Denpasar

dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang

dan Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2015, sedangkan tahun 2016

semua sampel PUD dari Daratan Timor semuanya negative B.anthraxis.

Situasi Antraks di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang

menjadi wilayah NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau

Sumba diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor

dan Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di

Provinsi NTT, kasus Antraks di Kabuapten Sumba Barat dilaporkan terjadi tahun

2007 (Dartini dkk, 2007), di Kecamatan Kodi Mangendo, sekarang menjadi

wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Kasus terakhir dilaporkan terjadi di

Sumba Barat Daya tahun 2011, di Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai

tahun 2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka

tahun 2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany

Suhadi, 2015). Hasil uji sampel PUD tahun 2016 menunjukkan bahwa satu

sampel dari Kabuapten Sumba Tengah dicurigai positif B.anthraxis secara

mikroskopis, namun disebabkan tidak tersdianya KIT PCR untuk pengujian lebih

lanjut, maka sampai laporan ini dibuat belum bisa dipastikan sampel tersebut

betul-betul positif atau terkontaminasi bakteri berbentuk batang lainnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampel PUD dari

Kabupaten Sumba Tengah dicurigai mengandung bakteri Bacillus anthraxis.

Untuk mencegah terjadinya penularan antraks ke daerah yang belum pernah

ada kasus (Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau) maka disarankan untuk

tidak memasukkan ternak berasal dari daerah endemis antraks.

Page 12: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

7

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf

Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan

hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas

Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi

dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya

sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.

DAFTAR PUSTAKA

OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.

Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.

Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25

Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.

Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.

Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.

Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

Page 13: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

8

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2016

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A.An. Gde Semara Putra,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Situasi Brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) bervariasi diantaraprovinsi yang ada. Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus diProvinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas Brucellosis. Situasi Brucellosis diProvinsi NTT, di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular beratbrucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahuidengan pasti prevalensinya. Satu reaktor Brucellosis pernah ditemukan di Kabupaten Ende padatahun 2006. Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upayatetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensiBrucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis. Sampel serum yang diterima laboratoriumbakteriologi selama tahun 2016 diuji RBPT sebagai uji skrining, jika positif dilanjutkan dengan ujiCFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagai reaktor Brucellosis. Hasil pengujian terhadap 4.602sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari Provinsi NTB semuanya negatifantibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTT sebanyak 1.533 sampel, 3sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu dua (2) sampel positif dari 175 sampel serumberasal dari Kabupaten Malaka dan satu (1) sampel positif dari 73 sampel serum berasal dariKabupaten Timor Tengah Utara (TTU). SEdangkan sampel dari Kabupaten Alor, Ende, Lembata,Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, RotenDao, Sumba BaratDaya, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kota Kupang, semuanyanegative. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTB masihbebas Brucellosis.

Kata Kunci: Brucellosis, BPT, CFT, Bali, NTB. NTT.

Page 14: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

9

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

Brucellosis pada sapi biasanya disebabkan oleh Brucella abortus, merupakan

salah satu penyakit penting secara ekonomi karena bersifat zoonosis (menular

ke manusia). Selain itu, B. abortus dapat digunakan dalam serangan bioteroris

(IOWA Univ. 2009). Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan

menular strategis di Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan

merupakan penyakit yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau

Sumbawa telah dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri

Pertanian Repubik Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002

untuk Pulau Bali, SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok

di Prop NTB, dan SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa

di Prop NTB.

Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas

Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015

tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara

pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah

tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau

lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis

pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten

Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.

Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam

upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor

kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk

mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.

Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah

kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Page 15: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

10

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODE

Materi

Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

tahun 2016 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan

CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang

dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary

agglutinator, dan sebagainya.

Metode

Sampel yang diuji adalah sampel yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet

Denpasar selama tahun 2016. Sampel diuji dengan menggunakan metode uji

Rose Bengal Plate Test (RBPT), apabila positif dilanjutkan dengan uji

Complemen Fixation Test (CFT) (OIE, 2016).

Prosedur uji RBPT sebagai berikut :

1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT

dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.

2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada

WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk

serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,

setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua

lubang.

3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator

dan lakukan pembacaan hasil.

Prosedur Uji CFT sebagai berikut :

1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A

serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,

lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di

waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol

positif dan negatif)

2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –

H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)

Page 16: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

11

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12

sampai ke lubang H1-12

4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang

C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control

antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)

5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl

kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30

menit.

6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.

7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.

III. HASIL

Hasil Uji 4.602 sampel serum dari Provinsi Bali dan 2.504 sampel serum dari

Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 1.533 sampel

dari Provinsi NTT, 3 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari

Kabupaten Malaka, dan 1 sampel dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Hasil

lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali

Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBadung 522 0Bangli 385 0Buleleng 616 0Denpasar 193 0Gianyar 641 0Jembrana 1045 0Karangasem 400 0Klungkung 350 0Tabanan 450 0Jumlah 4602 0

Page 17: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

12

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB

Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisBima 287 0Kota Bima 0 0Dompu 651 0Sumbawa 377 0Sumbawa Barat 50 0Pulau Sumbawa 1365 0Lombok Barat 166 0Lombok Tengah 156 0Lombok Timur 417 0Lombok Utara 277 0Mataram 123 0Pulau Lombok 1139 0Jumlah NTB 2504 0

Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT

Kabupaten Jumlah Sampel Jumlah Positif BrucellosisAlor 100 0Ende 25 0Kota Kupang 178 0Kupang 108 0Lembata 50 0Malaka 175 2 (1,14%)Manggarai 50 0Manggarai Barat 50 0Manggarai Timur 50 0Nagekeo 93 0Ngada 65 0Rote Ndao 28 0SBD 80 0Sumba Barat 155 0Sumba Timur 140 0TTU 73 1 (1,37%)TTS 113 0Jumlah 1533

Page 18: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

13

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Pulau Bali sudah dinyatakan

bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok, berhasil dibebaskan dari

Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor

444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal selama tiga tahun.

Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa pada tahun 2006

(Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola

pembebasan yang sama dengan Pulau Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua

reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah dimusnahkan

atau di potong paksa. Kemudian menyusul Pulau Sumba dinyatakan bebas

brucellosis berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor

52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.

Hasil pengujian 4.602 sampel serum terhadap Brucellosis tahun 2016 di Provinsi

Bali, semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa

Tenggara Barat, dari 2.504 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau

Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif antibodi brucella. Hal ini

mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas

Brucellosis.

Tahun 2016 Brucellosis di daratan timor, ditemukan di Kabupaten Malaka

(1,14%) dan TTU (1,37%). Seperti diketahui bahwa daratan timor merupakan

wilayah terinfeksi Brucellosis dengan prevalensi <2% di Kabupaten TTS,

Kupang dan Kota Kupang, dan prevalensi >2% di Kabupaten TTU dan Belu

(termasuk Kabupaten Malaka yang merupakan pemekaran dari Kabupaten

Belu). Di Kabupaten Belu dan TTU pernah dilakukan program vaksinasi

Brucellosis dengan menggunakan vaksin Brucella abortus strain S19, sehingga

tidak diketahui dengan pasti apakah antibody tersebut berasal dari hasil

vaksinasi atau infeksi alam. Prevalensi brucellosis di Kota Kupang dan

Kabupaten Kupang belum bisa dipastikan walaupun hasil pengujian sampel

tahun 2016 semuanya negative.

Page 19: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

14

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hal ini perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang

memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi sehingga prevalensi yang

sebenarnya dapat diketahui dengan jelas, karena hasil surveilans tahun 2015

menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan prevalensi reaktor di Kota

Kupang.

Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,

Ngada, Nagekeo semuanya negatif,demikian juga halnya pada tahun 2016

semua sampel dari Kabupaten Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai

Timur, Nagekeo, dan Kabupaten Ngada negative brucellosis. Seperti diketahui

bahwa prevalensi Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis

di Pulau Flores pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada

tahun 2006 (Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat.

Berdasarkan data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka

kemungkinan untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk

dilakukan, sebelum berkembang menjadi lebih besar.

Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,

Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa

dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans

secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan

dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas

ternak antar pulau.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa

1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas

Brucellosis

2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk

mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.

Page 20: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

15

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan

Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan

SaranUntuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan

Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang

lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan

atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di

Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang

telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.

OIE (2009). Bovine Brucellosis. OIE Terrestrial Manual . Halaman 1 – 35

OIE (2016). Brucellosis ( Brucella abortus, B.melitensis and B.suis) (Infection with B.abortus,B.melitensis, and B.suis). OIE Terrestrial Manual . Chapter 2.1.4.

Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.

Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.

Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

Page 21: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

16

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEI PENDAHULUAN DALAM RANGKA UPAYA PEMBERANTASANSEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DI BALI

TAHUN 2016

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAKS

Septikemia Epizootika (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamapada ternak sapi dan kerbau, bersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umumdibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis danterkadang mewabah. Proninsi Bali diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiaptahun ada laporan kasus SE. Untuk mengetahui situasi SE dan dalam upaya pemberatasan SEdi wilayah kerja BBVet Denpasar, maka telah dilakukan survei pendahuluan di Provinsi Bali padatahun 2016. Sampel serum untuk deteksi antibodi terhadap SE diuji dengan metode ELISA,sedangkan swab/organ untuk identifikasi Pasteurella multocida dilakukan dengan metode isolasidan identifikasi, isolate Pasteurella multocida yang diperoleh dityping dengan metode uji PCR.Hasil pengujian spesimen menunjukkan bahwa dari 10.202 spesimen serum yang diuji 9,55%positif antibodi SE. Dari 610 swab semuanya negative Pasteurella multocida dan dari 269sampel tonsil diperoleh 5 isolat Pasteurella multocida.

I. PENDAHULUAN

Latar BelakangSeptikemia Epizootika (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia

dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.

Septikemia Epizootika merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia

terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal (OIE, 2010;

Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa Negara Asia

dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang

mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis sangat

merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena turunnya

produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk

penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,

operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

Page 22: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

17

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.

Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum

masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal

hanya di kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Kegiatan ini masih belum

efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan

untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat

diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,

melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan

dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini

dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun

1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri

Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).

Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara

ekonomi, akibat dari kematian ternak, penurunan berat badan, kehilangan

tenaga kerja (pembajak), dan biaya untuk pencegahan maupun pengobatannya.

Di Provinsi Bali, kasus SE secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap tahun

hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil berkisar

antara 13 – 124 pertahun (Nata Kusuma, 2015), bila di bandingkan dengan

populasi sapi dan kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2),

(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data

vaksinasi SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).

Melihat trend kasus SE di Bali tersebut dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di

Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi

Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan. Untuk itu maka pada tahun 2016

BBVet Denpasar telah melakukan surveilans SE di Provinsi Bali. Dari hasil yang

diperoleh, diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk penentuan langkah-

langkah selanjutnya, dan pada akhirnya Provinsi Bali bisa dinyatakan sebagai

wilayah bebas SE.

Page 23: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

18

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODE

MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR untuk

deteksi Pasteurella multocida penyebab SE dan Pasteurella multocida Type A.

Peralatan yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin

PCR, serta alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang

digunakan adalah

1. Primer sequences untuk HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’

2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe A spesifik PCRRGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’

Metode

Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel

yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.

Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA

dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella

multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.

Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk

menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau

bukan (OIE, 2012).

Penentuan Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada

masing-masing sampel serum dipakai uji dengan metode Enzyme-linked

immunosorbent assay ( ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida

type B2 strain 0332 (ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit

(EU) atau lebih dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur

Elisa sebagai berikut :

Page 24: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

19

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

- Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)

- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam

pada suhu 40C.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

PBS tween pada row 1 sampai 10.

- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan

12.

- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

Isolasi Pasteurella multocidaUntuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau

limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil

di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,

sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab

dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam

keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet

Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media

agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :

- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

0,3 µm.

Page 25: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

20

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi

dan pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s

negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.

- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu

370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan

dengan standard.

- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk

mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.

III. HASIL

Laporan kasus SEBerdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

diketahui bahwa, kasus SE di Bali secara klinis masih dilaporkan terjadi setiap

tahun hampir disemua kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif kecil

berkisar antara 13 – 124 pertahun, bila di bandingkan dengan populasi sapi dan

kerbau di Provinsi Bali sekitar 500.000 ekor (Tabel1 dan 2), (Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2014). Tidak ada data vaksinasi SE sejak

tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015).

Tabel 1. Data Kasus SE secara klinis di Provinsi Bali Tahun 2009-2014

No Tahun Jumlah Kasus Keterangan

1 2009 262 2010 353 2011 134 2012 585 2013 486 2014 124

Tidak ada konfirmasi

laboratorium

Page 26: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

21

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Data SE Tahun 2012 – 2014 di Kabupaten/Kota se Provinsi Bali

TahunNo Kabupaten/Kota 2012 2013 20141 Denpasar 0 5 02 Badung 0 7 03 Gianyar 1 5 324 Klungkung 0 2 05 Karangasem 0 7 06 Bangli 8 4 87 Buleleng 17 9 408 Jembrana 20 5 259 Tabanan 12 4 27

Jumlah 58 48 124

Tabel 3. Data Populasi Sapi dan Kerbau Di Provinsi Bali Tahun 2014

No. Kabupaten / Kota Sapi Kerbau Jumlah1 Jembrana 52.306 1.101 53.4072 Tabanan 52.916 275 53.1913 Badung 37.862 0 37.8624 Gianyar 46.861 0 46.8615 Klungkung 37.250 16 37.2666 Bangli 75.261 0 75.2617 Karangasem 122.299 37 122.3368 Buleleng 121.613 134 121.7479 Denpasar 7.241 3 7.244

Jumlah 553.609 1.566 555.175Sumber : Informasi data peternakan Provinsi Bali tahun 2014 (sementara), DinasPeternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali 2014.

Hasil surveilans tahun 2016Jumlah sampel yang diterima tahun 2016 adalah 10.202 sampel serum, 610

sampel swab dan 269 sampel tonsil. Dari 10.202 serum yang diuji, 974 (9,55%)

positif antibody SE, semua swab yang diuji negative Pasteurella multocida,

sedangkan dari 269 sampel tonsil yang diuji, sebanyak 5 (1,86%) positif

Pasteurella multocida. Sampel positif berasal dari Kabupaten Gianyar dan

Kabupaten Tabanan (Tabel 4). Isolat Pasteurella multocida yang diperoleh

belum bisa dilakukan uji typing (Tipe B2 atau type A) dengan uji PCR karena

kehabisan reagen.

Page 27: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

22

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Jenis dan Jumlah sampel dari Provinsi Bali untuk pengujian SEtahun 2016

Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten

Jumlah PositifAb SE % Jumlah Pos

P.multocida Jumlah PosP.multocida

Badung 1561 87 5.57 85 0 67 0Bangli 835 62 7.43 45 0 0 0Buleleng 1673 70 4.18 100 0 0 0Denpasar 485 36 7.42 25 0 118 0Gianyar 1191 78 6.55 70 0 23 2Jembrana 1559 467 29.96 130 0 0 0Karangasem 1150 55 4.78 55 0 31 0Klungkung 600 60 10.00 45 0 0 0Tabanan 1148 59 5.14 55 0 30 4Jumlah 10202 974 9.55 610 0 269 6 (2,23%)

IV. PEMBAHASAN

Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya dilakukan melalui

vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kekebalan ternak

peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan memperlihatkan

apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi kuman Pasteurella

multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh hewan, baik yang

diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan mampu

melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data hasil

surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat

kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata sangat rendah yaitu

9,55%. Untuk dapat menghindari terjadinya wabah,diperlukan minimal 70%

ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996). Secara umum

keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. Rendahnya

persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap penyakit SE

mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya

laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali.

Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan

oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi, yang

Page 28: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

23

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit,

hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh bahwa tidak ada data vaksinasi

SE sejak tahun 2010 – 2014 di Provinsi Bali (Nata Kusuma, 2015). 2. Waktu

pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi atau vaksinasinya

sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak terdeteksi karena

kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses penurunan titer. 3.

Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak mendapatkan vaksinasi SE.

Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun ke tahun dan data laporan

kasus yang masih terjadi setiap tahun, mengindikasikan bahwa, program

pengendalian SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak

tercapainya target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi

yang berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga

keberhasilan program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang

pernah dilakukan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012). Pada

tahun 2016 dapat diisolasi 5 Pasteurella multocida dari sampel tonsil yang

diambil dari RPH Tabanan dan Gianyar. Karena keterbatasan bahan yang

tersedia maka ke lima isolate Pasteurella multocida yang didapat belum dapat

dilanjutkan uji typing dengan PCR. Penelitian Dartini, et al., 1996, menemukan

bahwa Pasteurella multocida dapat diisolasi dari beberapa RPH yang ada di

Provinsi Bali, namun setelah dilakukan uji typing dengan metode indirect

haemagglutinasi dan HS antigen ELISA semua isolate yang diperoleh adalah

Pasteurella multocida tipe A bukan penyebab SE. Berdasarkan data kasus SE

beberapa tahun terakhir di Provinsi Bali dan sistem pemeliharaan sapi/kerbau di

Bali yang kebanyakan diikat/dikandangkan, maka pemberantasan SE di Provinsi

Bali sangat memungkinkan untuk dilakukan dengan pola atau program

pemberantasan seperti yang dilakukan di Pulau Lombok dan Kepulauan Nusa

Penida.

Page 29: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

24

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.

Dartini N.L. and Ekaputra A 1996. Abatoar Survei. Kumpulan Abstrak. International Workshop onDiagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar, Bali 28-30 Mei1996.

Dartini N.L., Kertayadnya I.G., Suendra I.N., dan Suka I.N. (2004). Laporan Surveilans PenyakitSE di Pulau Lombok Tahun 2004. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.

Dartini N.L.; Narcana I.K. (2015). Surveilans Septikemia Epizootika (SE) : Evaluasi programpemberantasan SE di Nusa Penida. Bulletin Veteriner.BBVet Denpasar..XXVII (87): 57-66.

De Alwis M.C.L., (1980). Haemorragic septicaemia in Sri Langka. Tropical Agricultural ReseachSeries No.13, pp.45-54 Tropical Agriculture Reseach Center. Ministry of Agryculture,Forestry and Fisheries, Japan.

Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapi dan Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.

OIE, (2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.4.12. hal. 1- 4.

Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.

Sawada T., Rimler R.B. and Rhoades K.R. (1985). Haemorrhagic septicaemia : Naturallyacquired antibodies against Pasteurella multocida types B and E in calves in the UnitedState. American Journal of Veterinary Reseach 46: 1247-1250.

Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.

Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.

Page 30: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

25

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

MONITORING DAN SURVEILANS SEDI PROVINSI NTB DAN NTT TAHUN 2016

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Haemorrhagic septicaemia (HS) atau sering disebut Septicaemia Epizootica (SE) merupakansalah satu penyakit menular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yangbersifat akut dan fatal. Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika,termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, NusaTenggra Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar,diketahui merupakan wilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE,kecuali di Pulau Lombok yang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahuisituasi SE terkini di Provinsi NTB dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilansmelalui pengambilan sampel darah dan organ tonsil/swab dari hewan peka terutama sapi dankerbau. Sampel serum diuji dengan metode ELISA untuk deteksi antibody terhadap SE. Sampelswab dan organ diuji dengan isolasi dan identifikasi, sampel positif Pasteurella multocidadilanjutkan dengan uji PCR untuk penentuan type B2 atau type A. Hasil surveilans tahun 2016menunjukkan bahwa rata-rata persentase ternak yang positif antibody SE sangat rendah (kurangdari 70%), yaitu di Provinsi NTB (Pulau Sumbawa) 18,59%, dan Provinsi NTT 26,74%.Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi yang dipotong di RPHMataram. Secara umum rendahnya persentase ternak yang positif antibody SE sangatmengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan ataudinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SEdengan cakupan yang memadai.

Kata-kata kunci: SE, Antibodi, Pasteurella multocida, NTB, NTT

Page 31: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

26

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia

dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.

Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada

ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal

(OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa

Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan

terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis

sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena

turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk

penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,

operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.

Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum

masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal

hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum

efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan

untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat

diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,

melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan

dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini

dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun

1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan Surat Keputusan Menteri

Pertanian Tahun 1997 Nomor 889/Kpts/TN.560/9/97 (Budi Septiani, 2015).

Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau

Sumba, Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT) dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak

tahun 1984/1985 sampai dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan

program pemberantasan penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program

tersebut dilakukan dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai

hingga 100% (Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi

Page 32: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

27

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

tidak jelas, data hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian

sejak tahun 2002 program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai

tahun 2014 laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida,

Bali, program vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah

dilakukan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992

sampai sekarang tidak ada laporan kejadian SE di Pulau Nusa Penida,

berdasarkan hasil pembahasan Tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat

Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Desember 2016 diputuskan bahwa

Kepulauan Nusa Penida (Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau

Nusa Lembongan) sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayah

bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan ternak terhadap SE,

maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans pada tahun

2016 di Provinsi NTB dan NTT.

II. MATERI DAN METODA

MateriBahan yang digunakan adalah Kit ELISA untuk antibody SE, Kit PCR. Peralatan

yang dipakai antara lain Elisa Reader dan washer, incubator, mesin PCR, serta

alat dan bahan untuk pengambilan sampel dilapangan. Primer yang dipakai

adalah :

1. Primer sequences HS-causing type-B-specific PCRKTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’

2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe ARGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’

Metode

Sampel yang diuji dalam survei pendahuluan SE di Provinsi Bali adalah sampel

yang diterima laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar selama tahun 2016.

Selanjutnya sampel serum untuk deteksi antibody diuji dengan metode ELISA

dan sampel swab/tonsil/organ lainnya untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella

multocida diuji dengan cara pemupukan pada media agar dan uji biokimia.

Apabila ada yang positif Pasteurella multocida dilanjutkan dengan PCR untuk

Page 33: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

28

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

menentukan bahwa isolate Pasteurella multocida tersebut penyebab SE atau

bukan (OIE, 2012).

3.2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE

Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada

masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (

ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332

(ACIAR PN9202, VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih

dikategorikan positif/protektif (Widder et al., 1996). Prosedur Elisa sebagai

berikut :

- Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)

- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam

pada suhu 40C.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

PBS tween pada row 1 sampai 10.

- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11

dan 12.

- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

Page 34: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

29

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Isolasi Pasteurella multocida

Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau

limfoglandula retropharengea atau tonsil baik dari sapi, kerbau atau babi diambil

di rumah potong hewan (RPH). Di wilayah kerja yang tidak mempunyai RPH,

sampel swab diambil dari trachea/nasopharynk/hidung. Sampel organ atau swab

dimasukkan kedalam media transport / disimpan dingin atau organ dalam

keadsaan segar dan dibekukan sampai dibawa ke laboratorium BBVet

Denpasar. Di Laboratorium, dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pada media

agar dan uji biokimia (Carter and Cole., 1990). Prosedur Isolasi sebagai berikut :

- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

0,3 µm.

- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan

pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,

ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.

- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu

370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan

dengan standard.

- Isolat Pasteurella multocida yang didapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk

mengetahui bakteri tersebut penyebab SE atau bukan.

Page 35: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

30

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. HASIL

Hasil pengujian sampel tahun 2016 dari Provinsi NTB dikelompokkan menjadi 2

kelompok yaitu hasil uji dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau

Lombok jumlah ternak yang positif mengandung antibodi SE sebanyak 6,5%

(Tabel 1), sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 18,59% ternak yang

disampling tahun 2016 positif antibodi SE (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Sampel Sapi dan Kerbau di bebrapa Kabupaten di PulauLombok dan Sumbawa Provinsi NTB tahun 2016

Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten

Jumlah PositifAb SE % Jumlah Pos

P.multocida Jumlah PosP.multocida

Bima 287 23 8.01 41 0 10 0Kota Bima 0 0 0.00 0 0 10 0Dompu 801 196 24.47 111 0 0 0Sumbawa 427 52 12.18 40 0 19 0SumbawaBarat 50 20 40.00 14 0 0 0PulauSumbawa 1565 291 18.59 206 0 39 0Lombok Barat 216 50 23.15 10 0 0 0LombokTengah 156 0 0.00 10 0 0 0Lombok Timur 279 16 5.73 30 0 0 0Lombok Utara 277 1 0.36 40 0 0 0Mataram 102 0 0.00 0 0 10 1Pulau Lombok 1030 67 6.50 90 0 88 1 (1.14%)

2595 296 0 127 1

Pada tabel 2 disajikan hasil uji sampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun

2016 di Provinsi NTT hanya 26,74% ternak yang disampling positif antibodi SE,

semua sampel swab dan tonsil yang diuji negative Pasteurella multocida.

Page 36: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

31

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Hasil Uji Sampel Swab, Tonsil dan Serum Sapi dan Kerbau dibeberapa Kabupaten Provinsi NTT tahun 2016

Jumlah sampel dan hasil UjiSerum Swab TonsilKabupaten

Jumlah PositifAb SE % Jumlah Pos

P.multocida Jumlah PosP.multocida

Alor 100 3 3.00 10 0 0 0Lembata 50 4 8.00 10 0 0 0Rote Ndao 32 17 53.13 10 0 0 0

Kota Kupang 178 102 57.30 23 0 11 0Kupang 186 86 46.24 38 0 0 0Malaka 175 29 16.57 30 0 0 0Belu 0 0 0.00 0 0 10 0TTS 129 43 33.33 21 0 0 0Jumlah PulauTimor 668 260 38.92 112 0 21 0Ende 105 2 1.90 10 0 20 0Manggarai 50 14 28.00 10 0 10 0ManggaraiBarat 50 9 18.00 0 0 0 0ManggaraiTimur 50 1 2.00 10 0 0 0Nagekeo 93 68 73.12 10 0 10 0Ngada 65 4 6.15 0 0 0 0Sikka 57 3 5.26 10 0 10 0Jumlah PulauFlores 470 101 21.49 50 0 50 0SBD 80 9 11.25 10 0 0 0Sumba Barat 155 18 11.61 20 0 0 0Sumba Tengah 25 3 12.00 10 0 0 0Sumba Timur 140 45 32.14 20 0 4 0Jumlah PulauSumba 400 75 18.75 60 0 4 0Jumlah NTT 1720 460 26.74 414 0 146 0

Page 37: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

32

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan

atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran

penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk

tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya

dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan

memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi

kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh

hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan

mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data

hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2016 menunjukkan bahwa

tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,

yaitu di Provinsi NTB khususnya Pulau Sumbawa 18,59% dan NTT 26,74%.

Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya kasus SE.

Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap SE

mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun. Hal ini didukung oleh adanya

laporan kasus SE secara klinis setiap tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

Untuk dapat menghindari terjadinya wabah diperlukan minimal 70% ternak

memiliki antibodi yang protektif (Widder, et al., 1996).

Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan

oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang

mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.

2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi

atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak

terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses

penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak

mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun

ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,

mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan SE tidak

direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya target

Page 38: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

33

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang

berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan

program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di

Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).

Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan

tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai

spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga

sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh

hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,

ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)

hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah

adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida

lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada

et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat

mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi

pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum

pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain

yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada

uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri

Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype

11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,

1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang

tidak ganas dan mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan

Pasteurella multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau

reaksi silang ini telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype /

strain dari Pasteurella multocida (Cameron and Bester, 1984; Gupta, 1980;

Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).

Page 39: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

34

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di

Provinsi NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2016 masih

relatif rendah.

2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak ada

beberapa tahun terakhir.

3. Ditemukan satu isolate Pasteurella multocida tipe A dari organ tonsil sapi

yang dipotong di RPH Mataram.

VI. SARAN

Dalam rangka peneguhan diagnose SE secara laboratories, maka disarankan

kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang menangani fungsi

peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan sampel dari ternak sakit /

mati ke laboratorium veteriner dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada

instansi terkait serta tetap melakukan vaksinasi dan meningkatkan cakupan

vaksinasi.

VII. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas

Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan

kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan

informasi yang diberikan.

Page 40: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

35

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Budi Septiani (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTBdalam mendukung monitoring dan Surveilans untuk Mempertahankan Status BebasRabies, SE dan Brucellosis. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan danKesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Bali, NTB, dan NTT Tahun 2015 di Denpasartanggal 2-4 Maret 2015.

Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.

Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.

Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.

Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.

Page 41: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

36

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE):EVALUASI PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, A. An. Gde Semara Putra;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Septicaemia Epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit menular pada ruminansia terutamasapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Program pengendalian dan pemberantasan SE diIndonesia secara umum masih dilakukan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasihanya di kantung-kantung penyakit. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah bebas SEdapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana disertai programmonitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilanpemberantasan SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pemberantasan SE di Pulau Lombok,program yang sama telah dilakukan di Nusa Penida sejak tahun 1991/1992 sampai dengan1993/1994. Evaluasi terhadap program pemberantasan SE di Nusa Penida dilakukan melaluipengumpulan data vaksinasi, surveilans terhadap profil antibodi, isolasi dan identifikasiPasteurella multocida, dan pendataan kasus SE di lapangan telah dilakukan pada tahun 2015.Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli Kesehatan Hewan Direktorat KesehatanHewan untuk diusulkan sebagai wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetapmempertahankan Nusa Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukansecara berkesinambungan. Hasil surveilans tahun 2016 menunjukkan bahwa, semua sampelswab hidung/tenggorokan sapi asal Nusa Penida negatif Pasteurella multocida. Tidak adapemasukan sapi ke Nusa Penida. Profil antibodi SE menunjukkan penurunan setelah programvaksinasi massal selesai, yaitu 77% tahun 1991, 87,3% tahun 1992, 89,9% tahun 1994, 56,25%tahun 1995, 1,3% tahun 1996, 13,9% tahun 2002, 5,8% tahun 2003, dan 0% pada survei tahun2012, 2014 dan 2015. Pada tahun 2016 ditemukan 4 (0,19%) sampel positif antibody SE secaraELISA. Hasil pengamatan dilapangan selama surveilans dan pengamatan petugas dinasdilaporkan bahwa selama tahun 2016 tidak ditemukan adanya sapi yang menunjukkan gejalaklinis yang kemungkinan disebabkan oleh SE. Nusa Penida mempunyai batas wilayah yang jelasberupa laut. Berdasarkan hasil surveilans, data dari Dinas Peternakan Perikanan dan KelautanKabupaten Klungkung, dan pesyaratan suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai wilayah bebasSE dari OIE, maka dapat disimpulkan bahwa Kepulauan Nusa Penida masih merupakan wilayahbebas SE.

Page 42: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

37

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

Septicaemia epizootica (SE) disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida,

merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama sapi dan kerbau yang

bersifat akut dan fatal, ternak muda biasanya lebih peka dibandingkan dengan

yang dewasa (Benkirane A. dan M.C.L.De Alwis,2002). Penyakit ini dikenal lama

di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara ekonomi. Program

pengendalian dan pemberantasan SE di Indonseia secara umum masih

difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal hanya di

kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Keberhasilan untuk menciptakan

suatu wilayah bebas dari SE, dapat diwujudkan dengan melakukan program

pemberantasan yang terencana, monitoring dan surveilans yang intensif, system

pelaporan yang cepat dan tepat, metode diagnose yang akurat, dan

penggunaan vaksin dengan kualitas yang baik (Benkirane A. dan De Alwis

M.C.L. (2002), serta komitmen dari semua pihak terkait. Hal ini telah dibuktikan

dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok dengan melakukan

vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 1977 – 1980, dan

setelah dilanjutkan dengan monitoring dan surveilans penyakit selama 3 tahun,

tidak ditemukan lagi adanya kasus SE (Sudana dkk,1982). Pulau Lombok

dinyatakan bebas SE pada tahun 1985, dengan surat keputusan Direktorat

Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.

213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85.

Program yang sama telah dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten

Klungkung, Provinsi Bali. Vaksinasi massal 3 tahun berturut-turut pada tahun

1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage sekitar 91,3%. Tahun 1995 - 2002

vaksinasi dilakukan hanya pada sapi dengan coverage sekitar 8,9%. Vaksinasi

terakhir dilakukan pada tahun 2002. Kasus SE terakhir dilaporkan terjadi pada

tahun 1991, pada seekor sapi. Tidak pernah ada pemasukan sapi ke Nusa

Penida. Mengacu pada persyaratan OIE tentang pembebasan SE disuatu

wilayah, maka Nusa Penida sangat memungkinkan untuk diusulkan sebagai

wilayah bebas SE. Namun demikian monitoring dan surveilans SE di Nusa

Penida tidak dilakukan secara berkelanjutan. Untuk itu tahun 2015 BB-Vet

Page 43: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

38

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Denpasar telah melakukan surveilans terstruktur dalam rangka mewujudkan

Nusa Penida bebas SE. Tahun 2016 sudah mendapat persetujuan Komisi Ahli

Kesehatan Hewan Direktorat Kesehatan Hewan untuk diusulkan sebagai

wilayah bebas SE ke Menteri Pertanian. Untuk tetap mempertahankan Nusa

Penida bebas SE maka monitoring dan surveilans tetap dilakukan secara

berkesinambungan.

II. MATERI DAN METODE

MateriBahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam surveilans SE di Nusa Penida

tahun 2016 adalah Media agar darah, reagen dan antigen untuk ELISA antibodi

SE, Vitamin, antibiotika, tansport media, Swab steril, tabung venoject plain dan

EDTA, jarum venoject, handle, mikrotiter plate untuk ELISA.

Metode

Pengambilan sampel tahun 2015 dilakukan diseluruh desa yang ada di

Kecamatan Nusa Penida (16 desa). Jumlah sampel diambil berdasarkan

populasi dan estimasi prevalensi positif menggunakan tabel sample size

(Thrusfield W.,1995). Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida

dengan asumsi prevalensi carrier Pasteurella multocida 2%, (berdasarkan data

hasil penelitian Dartini dan Alit, 1996, dimana ditemukan 2,49% sampel dari

RPH yang diuji positif Pasteurella multocida), maka jumlah sampel organ/swab

yang harus diambil minimal 2.158 sampel. Sampel untuk deteksi antibosi SE

dengan asumsi prevalensi 1% (data BBVet Denpasar tahun 1996, 1,3% protektif

setelah 2 tahun vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan 95% maka minimal

sampel yang harus diambil 4.012 sampel serum. Sampel untuk monitoring

tahun 2016 adalah semua sampel dari Nusa Penida yang diterima laboratorium

bakteriologi.

Page 44: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

39

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Penentuan Zat Kebal/Antibodi SEMetode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada

masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (

ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332

(ACIAR PN9202, VIAS Australia.; Afzal.M.dkk., 1992). Titer ELISA 200 elisa unit

(EU) atau lebih dianggap protektif, (Widder et al., 1996).

Isolasi dan identifikasi P. multocidaSampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari sapi mati yang di

duga SE adalah organ paru-paru, jantung, hati, limpa, limpoglandula

retropharyngeal, darah, sumsum tulang, dan sebagainya. Untuk mengetahui

status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida diambil sampel

limphoglandula retropharyngeal/tonsil/tonsilar crypt atau swab nasopharyng di

rumah potong hewan ( RPH). Di Pulau Nusa Penida tidak tersedia RPH,

sehingga sangat sulit untuk mendapatkan sampel organ untuk mengetahui

status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida, untuk itu sampel yang diambil

berupa swab trachea/nasopharyng/hidung dari sapi hidup. Sampel disimpan

dalam keadaan beku atau dingin, sampai di laboratorium dilakukan pengujian

isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dengan metode pemupukan dan uji

biokimia (OIE, 2012).

Pasteurella multocida yang berhasil diisolasi dan identifikasi di lanjutkan dengan

uji Polimerase Chain Reaction (PCR) spesifik untuk Pasteurella multocida

penyebab SE, untuk mengetahui serotipenya menggunakan primer dan

prosedur OIE tahun 2012.

Page 45: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

40

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. HASIL

Profil Antibodi SE di Nusa PenidaTingkat kekebalan kelompok ternak/sapi di Nusa Penida selama program

vaksinasi massal cukup bagus (diatas 70%) yaitu pada tahun 1991 sampai

dengan 1994, mengalami penurunan setelah program vaksinasi massal

dihentikan (1996 – 203), bahkan sampai nol persen pada tahun 2012, 2014, dan

2015 (Tabel 4 dan Gambar 1). Hasil uji spesimen tahun 2015 terhadap 4.017

spesimen serum semuanya negatif antibodi terhadap SE. Tahun 2016

ditemukan 4 sampel (0,19%) dari 2104 sampel yang diuji positif antibody SE

(Tabel 5).

Tabel 4. Hasil monitoring antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015

Tahun Persentase AntibodiProtektif Jumlah sampel

1991 77.0 1161992 87.3 1061994 88.58 4641996 1.3 1562002 13.9 1082003 5.8 6402012 0.0 1032014 0.0 1482015 0.0 4017

Gambar 1. Grafik antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015

Page 46: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

41

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Hasil ELISA antibody SE sampel asal Nusa Penida tahun 2016.

NoDESA JENIS

SAMPELJML POS. Ab. SE

1 Batukandik Serum 100 -2 Batumadeg Serum 175 -3 Batununggul Serum 100 -4 Bunga Mekar Serum 225 -5 Klumpu Serum 100 -6 Kutampi Serum 100 -7 Kutampi Kaler Serum 100 -8 Lembongan Serum 200 49 Ped Serum 414 -

10 Pejukutan Serum 175 -11 Sakti Serum 102 -12 Sekartaji Serum 100 -13 Suana Serum 99 -14 Tanglad Serum 100 -15 Toya Pakeh Serum 14 -

2104 4 (0.19%)

Hasil Isolasi dan Identifikasi Pasteurella multocidaDi Nusa Penida tidak tersedia rumah potong hewan (RPH), sehingga sangat

sulit untuk menelusuri adanya pemotongan sapi disana. Sampel berupa swab

tenggorokan dari 150 ekor sapi telah diuji untuk isolasi dan identifikasi

Pasteurella multocida pada tahun 2003 di BBVet Denpasar, ternyata hasilnya

negatif. Pada tahun yang sama penelusuran ternak carrier Pasteurella

multocida juga diupayakan dengan pengambilan sampel jaringan kelenjar

retropharyngeal/tonsilar cryp dari 16 ekor sapi asal Nusa Penida yang dipotong

dalam percobaan/penelitian penyakit Jembrana di BB-Vet Denpasar, dan

hasilnya negatif Pasteurella multocida. Sampel swab tenggorokan kembali

diambil pada tahun 2012 sebanyak 103 sampel dan tahun 2014 sebanyak 148

sampel, ternyata hasilnya juga negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2015

sampel swab hidung/tenggorokan diambil sebanyak 4017 yang diambil dari

semua desa yang ada di Nusa Penida dari bulan April sampai dengan Oktober,

semuanya negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2016 sebanyak 223

sampel swab hidung/tenggorokan semuanya negatif Pasteurella multocida

(Tabel 6).

Page 47: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

42

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 6. Hasil sampel swab hidung/tenggorokan asal Nusa Penidatahun 2016.

No DESA JENISSAMPEL JML Pasteurella multocida

1 Batukandik Swab 10 -2 Batumadeg Swab 20 -3 Batununggul Swab 10 -4 Bung Mekar Swab 20 -5 Kutampi Swab 10 -6 Kutampi Kaler Swab 10 -7 Lembongan Swab 15 -8 Ped Swab 66 -9 Pejukutan Swab 20 -

10 Sakti Swab 10 -11 Sekartaji Swab 10 -12 Suana Swab 12 -13 Tanglad Swab 10 -

223 0

Lalu lintas TernakBerdasarkan informasi dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan

Kabupaten Klungkung, diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak

sapi, kerbau, maupun babi ke Nusa Penida. Di Nusa Penida tidak ada ternak

kerbau. Nusa Penida sebagai produsen ternak sapi untuk daerah disekitarnya di

Provinsi Bali atau hanya mengeluarkan.

Surveilans Klinis Terduga SESurveilans klinis terduga SE, dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel

di lapangan. Setiap ternak sapi yang berhasil dikumpulkan diamati secara klinis,

sesuai dengan gejala klinis yang sering ditimbulkan apabila sapi terserang SE.

Selama surveilans tidak ditemukan adanya ternak sapi yang menunjukkan gejala

klinis sakit yang diduga SE. Hal ini didukung dengan hasil isolasi dan identifikasi

Pasteurella multocida dari semua ternak yang dikumpulkan hasilnya negatif.

Page 48: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

43

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Laporan Kasus SE di Nusa PenidaKasus SE secara klinis di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991,

pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2016) tidak

pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE baik secara klinis maupun laboratoris.

IV. PEMBAHASAN

Septicaemia epizootica (SE) merupakan salah satu penyakit bakterial yang

disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Di Indonesia,

penyakit ini bersifat endemik dan acapkali menimbulkan wabah di beberapa

wilayah. Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, wabah terakhir

dilaporkan di Kabupaten Lembata tahun 2014, dan merupakan salah satu

penyakit hewan menular yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup

besar. Kerugian ekonomi dapat timbul akibat dari kehilangan tenaga kerja,

kematian ternak, operasional, pengobatan, pengadaan obat-obatan dan vaksin.

Untuk menghindari kerugian tersebut maka program pemberantasan di suatu

wilayah harus benar benar ditindak lanjuti.

Program vaksinasi massal dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan

interval 6 bulan sekali, dengan coverage rata-rata diatas 90%. Program

pembebasan SE sangat dipengaruhi oleh seberapa besar coverage vaksinasi

yang dicapai setiap kalinya hingga program tersebut selesai dilaksanakan.

Dengan coverage vaksinasi diatas 90% selama tiga tahun, diharapkan herd

immunity dapat mencapai >95%, artinya hampir semua ternak peka mempunyai

antibodi yang dapat melindunginya dari infeksi, dan tidak memberikan

kesempatan bagi bakteri Pasteurella multocida untuk berkembang sehingga

akhirnya musnah (Putra, 2004).

Page 49: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

44

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Coverage vaksinasi massal di Nusa Penida rata-rata pertahun mencapai 91,3%,

dengan kekebalan kelompok mencapai 96,2%. Dua tahun setelah program,

kekebalan kelompok ternak menjadi sangat rendah yaitu 1,3%. Tanpa alasan

yang jelas vaksinasi kemudian dilanjutkan dari tahun 1996 – 2001 dengan rata-

rata coverage 14,4% pertahun, yang menyebabkan terjadinya kenaikan

kekebalan kelompok menjadi 13,9%. Sejak tahun 2002 vaksinasi dihentikan.

Pada tahun 2003 prevalensi menurun menjadi 5,8%, bahkan tahun 2012, 2014,

dan 2015 menunjukkan bahwa semua sampel serum yang diuji negatif antibodi

terhadap SE. Adanya antibodi SE di Pulau Nusa Penida tahun 2016 yang

merupakan daerah bebas SE dan tidak melakukan vaksinasi, mungkin

disebabkan karena uji ELISA yang dipakai spesifisitasnya yang belum memadai

(79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga sampel yang seharusnya negatif

terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh hasil uji sampel positif antibodi

SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015, ternyata setelah di

konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT) hasilnya negatif

(Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah adanya reaksi silang dari

antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida lainya (selain B2), bisa

Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada et al (1985) menemukan

81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat mengandung antibodi

protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi pasteurella multocida

serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum pernah divaksin SE (Putra,

2004). Hal yang sama juga ditemukan di Pulau Lombok pada tahun 2015, yaitu

ditemukan 44 (2,95%) spesimen positif antibodi SE padahal tidak pernah

dilakukan vaksinasi SE (Dartini, 2016). Adanya Pasteurella multocida serotype

lain yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang

pada uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri

Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype

11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980). Disamping itu,

mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang tidak ganas dan

mampu bereaksi atau menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella

multocida penyebab SE. Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini

telah banyak dilaporkan baik yang terjadi diantara serotype / strain dari

Pasteurella multocida maupun yang terjadi antar spesies (Sawada et al., 1985).

Page 50: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

45

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Surveilans untuk mengetahui status karier Pasteurella multocida tahun 2015

dilakukan dengan pengambilan sampel swab tenggorokan / hidung. Sampel

swab diambil dengan cara mengumpulkan ternak dilokasi tertentu, dengan cara

ini diasumsikan ternak yang disampling ada yang mengalami stress akibat

perjalanan dari kandang ke lokasi pengumpulan. Pengambilan sampel dilakukan

dari bulan April sampai November 2015, seperti diketahui bahwa pada periode

waktu tersebut merupakan musim kering, dimana persediaan pakan ternak juga

berkurang sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh ternak itu sendiri, apabila

ternak tersebut membawa Pasteurella multocida diharapkan sudah menuju ke

tenggorokan dan berhasil diisolasi. Hasil peneliti lain menyebutkan bahwa

Pasteurella multocida berhasil diisolasi dari swab hidung kuda di Aceh

(Ilham.D.F. dkk., 2013) dan dari swab kerongkongan di rumah potong hewan

Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat (Wulandari E., dkk., 2013). Hasil uji

laboratorium terhadap semua sampel swab dan organ sapi asal Nusa Penida

semuanya negative Pasteurella multocida. Hal ini membuktikan bahwa vaksinasi

massal yang dilakukan pada hampir semua populasi secara berkelanjutan selain

memberikan kekebalan kelompok juga dapat menghilangkan bakteri penyebab

SE yang beredar di kelompok tersebut (Putra, 2004).

Hasil surveilans dan monitoring kasus SE di Nusa Penida, sejak kasus terakhir

tahun 1991 hingga saat ini (kurang lebih 24 tahun) tidak pernah ditemukan atau

dilaporkan lagi adanya kejadian kasus SE di Nusa Penida. Pengamatan klinis

terhadap sapi-sapi yang dikumpulkan selama surveilans, tidak ditemukan

adanya gejala klinis yang mengarah ke SE.

Page 51: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

46

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil surveilans, data dari Dinas Peternakan Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Klungkung, dan pesyaratan suatu wilayah dapat dinyatakan

sebagai wilayah bebas SE dari OIE, maka dapat disimpulkan bahwa Kepulauan

Nusa Penida masih dinyatakan sebagai wilayah bebas SE.

SaranUntuk tetap dapat mempertahankan status bebas SE bagi Nusa Penida, maka

pengawasan lalu lintas ternak ke Nusa Penida harus diperketat serta monitoring

dan surveilans SE secara periodik masih tetap harus dilakukan.

VI. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Dinas dan staf Dinas

Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung, Kepala Balai dan

staf Balai Besar Veteriner Denpasar, atas kerja sama, bantuan, fasiltas yang

diberikan dan dukungannya selama surveilans ini berlangsung.

Page 52: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

47

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Afzal.M., Muneer.R.; and Akhtar.S. (1992). Serological evaluation of Pasteurella multocidaantigen associated with protection in buffalo calves. Rev.sci.tech.Off.int.Epiz.11.917-923.

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Dartini.N.L. dan Ekaputra.I.G.M.A. (1996). Abatoir Survey For Isolation of Pasteurella multocidain The Eastern Region of Indonesia. International workshop on diagnosis and control ofHaemorrhgic Septicaemia. Hal. 23.

Ilham Deskarifal Fitrah; Darmawi; dan Rasmaidar. (2013). Isolasi Pasteurella multocida PadaKuda dan Sensitifitasnya Terhadap Antibiotika. Jurnal Medika Veterinaria. 7.2.121-125.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.

OIE, (2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.4.12. hal. 1- 4.

Putra A.A.Gde. (2004). Surveilans penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba :Strategi vaksinasi dan prospektif pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.

Sotoodehnia.A., Moazeni.G., Ataei.S., Omodi.B. (2005). Study on Immunity of an ExperimentalOil Adjuvant Haemarrhagic Septicaemia Vaccine in Cattle. Arch.Razi.Ins.59. 95-101.

Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982) Evaluasi II pilotproyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia) di pulau lombok.Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewan wilayah VI Denpasar.

Thrusfield W. (1995). Veterinary Epidemiology. second Edition. Hal.187-189.

Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.

Wulandari E., Jamin F., dan Abrar M. (2013). Kepekaan Pasteurella multocida yang diisolasi sapiyang berasal dari kabupaten Aceh Barat terhadap beberapa antibiotika. Jurnal MedikaVeterinaria.7(2). 95-97.

Page 53: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

48

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS PARASIT GASTROINTESTINAL PADA TERNAK SAPI DANKERBAU DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2016

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, I.G.M. Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans parasit gastrointestinal (PGI ) pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali, NTB danNTT bertujuan untuk mengetahui prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sebanyak 2.291sampel feses telah diambil dan diuji, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 579sampel, dari Provinsi NTB 1.055 sampel dan dari Provinsi NTT 657 sampel. Seluruh sampeldiuji dengan menggunakan uji apung dan uji sedimentasi metode whitlock. Dari seluruh sampelyang diuji, 778 (33,96%) diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal(PGI). Prevalensi PGI tertinggi terjadi di Provinsi NTB yaitu sebesar 37,82 %, diikuti oleh ProvinsiBali yaitu sebesar 33, 68 %, dan Provinsi NTT yaitu 28,01 %, dan secara statistik hasil tersebutberbeda secara signifikan (Chi-square: 17.41; Df:2; P-value:<0.01). Prevalensi PGI lebih tinggi dimusim hujan (39,89 %) dibandingkan dengan musim kemarau ( 28,25%) dan secara statisticberbeda nyata (Chi-square: 34,07; Df:1; P-value<0,01). Prevalensi PGI pada ternak jantan lebihbesar daripada ternak betina, namun secara statistic tidak berbeda nyata (Chi-square: 0.43; Df:1;P-value 0.51). Jenis parasit yang ditemukan yaitu cacing Bunostomum sp, Chabertia sp,Fasciola sp, Mecistocirrus sp, Moniezia sp, Oesophagostomum sp, Ostertagia sp,Paramphistomum sp, Strongyloides sp, Toxocara sp, Trichostrongylus sp, Trichuris sp danKoksidia Eimeria sp.

Kata kunci: parasit gastrointetstinal (PGI), uji apung, uji sedimentasi, Bali, NTB, NTT

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Bali, NTB dan NTT merupakan wilayah kerja Balai Besar Veteriner

(BBVet) Denpasar. Pulau Bali memiliki panjang 153 km dan lebar 112 km,

sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″

Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis

seperti bagian Indonesia yang lain. Luas wilayah Provinsi Bali adalah

5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya, 55

kecamatan, dan 701 desa/kelurahan. Sifat vulkanik Bali telah memberikan

kontribusi untuk kesuburan tanahnya dan rentang tinggi gunungnya memberikan

curah hujan yang tinggi yang mendukung sektor pertanian yang sangat

produktif.

Page 54: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

49

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Bagian selatan Bali merupakan daerah luas dimana tanaman padi dapat tumbuh

dengan subur. (Anonimous, 2016 b). Populasi ternak sapi di Provinsi Bali

diperkirakan sebanyak 559 517 ekor dan kerbau hanya 1.686 ekor (Anonimous,

2016)

Provinsi NTB memiliki 10 kabupaten/kota yang tersebar di dua pulau besar yaitu

Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai

rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48 - 95 % (Anonimous,

2014). Luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 20.153,20 km2 .

Terletak antara 1150 46’-1190 5’ Bujur Timur dan 80 10’-90 5’ Lintang Selatan.

Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, yaitu

antara 65-87 persen. Jumlah hari hujan terendah yaitu 0 hari pada bulan

Agustus dan September dan yang terbanyak adalah pada bulan Januari dengan

jumlah 24 hari (Anonimous, 2015). Populasi ternak sapi di Provinsi NTB

diperkirakan sebanyak 1.100.743 ekor dan kerbau 128.335 ekor (Anonimousa,

2016).

Provinsi NTT merupakan wilayah kerja BBvet Denpasar yang letaknya paling

timur, terdiri atas 22 kabupaten yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Pulau

Timor, P. Sumba dan P. Flores. Secara geografis, sebagian besar wilayah

Provinsi NTT berada pada rentang ketinggian 100 s.d. 500 meter di atas

permukaan laut, dengan topografi yang berbukit-bukit dengan lahan pertanian

sangat terbatas, baik pertanian basah maupun kering (Anonimous, 2016).

Provinsi NTT merupakan wilayah yang tergolong kering dimana hanya 4 bulan

(Januari, Februari, Maret dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8

bulan sisanya relatif kering, dengan curah hujan rata-rata adalah 1.164

mm/tahun (Anonimous, 2016). Provinsi NTT diperkirakan memiliki populasi

ternak sapi sebanyak 930.997 ekor dan kerbau sebanyak 145.303 ekor (BPS,

2016).

Dalam upaya penyediaan protein hewani nasional keberadaa ternak sapi dan

kerbau menjadi sangat penting. Populasi sapi dan kerbau di Indonesia

diperkirakan sebanyak 16 juta ekor (BPS, 2016).

Page 55: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

50

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

merupakan salah satu daerah penghasil ternak sapi yang potensial di Wilayah

Indonesia Timur. Pertumbuhan populasi sapi di Indonesia banyak menemui

kendala, salah satunya adalah tingginya kematian pedet dan rendahnya

produktivitas sapi/kerbau muda dan dewasa, yang salah satu penyebabnya

adalah karena adanya infestasi parasit gastrointestinal, khususnya parasit

cacing (helminthiasis) yang masih cukup tinggi. Hasil surveilans dan monitoring

infestasi parasit gastrointetastinal oleh BBVet Denpasar pada tahun 2014

menunjukkan prevalensi rata-rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) pada

sapi/kerbau di Provinsi Bali, NTB dan NTT, sedangkan helminthiasis

prevalensinya sebesar 31,92 %. Pada Tahun 2015, prevalensi PGI di Provinsi

Bali, NTB dan NTT sebesar 37,56 % (Mastra, et al, 2015)

Kegiatan surveilans/monitoring untuk mengetahui situasi dan penyebaran parasit

gastrointestinal/helmintiasis tetap diperlukan untuk mengetahui penyebaran

parasit tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan

pengendalian yang lebih efektif. Untuk memenuhi target pengambilan sampel

sesuai dengan kontrak kinerja dan untuk memberdayakan Puskeswan, maka

pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan

Puskeswan di masing-masing wilayah kerja. Seluruh kegiatan ini dilakukan

secara sinergis sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, yang muaranya adalah pencegahan dan pengendalian dini

penyakit hewan menular strategis, dan peningkatan sumberdaya bahan

makanan asal hewan.

1.2 Rumusan Masalah

1) Penularan penyakit gastrointestinal khususnya helminthiasis diduga masih

cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan peternak karena

dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan bahkan dapat

menimbulkkan kematian.

2) Ketersediaan data situasi dan distribusi infestasi parasit

gastrointestinal/helminthiasis pada sapi /kerbau, di Provinsi Bali, NTB dan

NTT masih terbatas.

Page 56: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

51

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.3 Tujuan

1) Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal

di Provinsi Bali, NTB dan NTT

2) Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan

penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil

langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga tingkat

kematian ternak dapat ditekan dan produktrivitas ternak dapat ditingkatkan.

1.4 Output

1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit

gastrointestinal/helminthiasis terkini berdasarkan lokasi, karakteristik hewan

dan lingkungan sehingga upaya pencegahan dan pengendalian yang

dilakukan dapat lebih terarah.

2) Dengan terbebasnya ternak dari parasit gastrointestinal diharapkan terjadi

penurunan kematian khususnya pada pedet dan peningkatan produktivitas

dan reproduktivitas pada ternak dewasa sehingga dengan demikian dapat

meningkatkan populasi ternak guna mendukung program swasembada

daging.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Parasit gastrointestinal (PGI) adalah parasit yang dapat menginfeksi saluran

gastro-intestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di

seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di usus. Dua

jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah cacing (penyebab helminthiasis)

dan protozoa (penyebab koksidiosis) pada ternask sapi dan kerbau. Helminthiais

mempunyai arti penting dan tergolong penyakit hewan menular strategis yang

mesti mendapatkan penanganan yang lebih intensif apabila dibadingkan

dengan penyakit non strategis.

Page 57: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

52

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Pada umumnya ternak sapi/kerbau rentan terhadap berbagai penyakit infeksi

parasit gastrointestinal seperti helminthiasis, kokdidiosis dan ektoparasit

(Soulsby 1982). Penelitian tentang penyakit parasit gastrointestinal pada sapi

telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Estuningsih, 2004 melaporkan

bahwa prevalensi cacing trematoda Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia

mencapai 10 - 80%. Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi

F.gigantica (Fasciolosis) pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5%. Kasus

Fasciolosis lebih banyak ditemukan pada sapi muda dan dewasa, dengan

gejala klinis mulai dari anoreksia, konstipasi, diare, anemia, ikterus dan pada

kasus yang berat terjadi kematian (Purwanta dkk, 2006), sedangkan pada pedet

umur dibawah 6 bulan lebih sering terinfeksi oleh Toxocara vitulorum dengan

prevalensi mencapai 75% (Gunawan dan Putra, 1981). Demikian juga

menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda sangat rentan

terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis diare berdarah,

dihidrasi, kurus, lemah dan terjadi kematian apabila tidak mendapat

penanganan yang baik.

III. MATERI DAN METODA

3.1 Materi

a) Sampel

Sampel feses/tinja sapi/kerbau yang diambil langsung dari rectum atau yang

baru saja dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin

10%.

b) Bahan

Di samping sampel tinja dalam penelitian ini juga diperlukan bahan yaitu

garam jenuh dan methyline blue 1%.

Page 58: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

53

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

c) Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal

Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk tinja,

tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung

pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedimentasi),

pipet Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing, ookista koksidia , cawan

(conical flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja (plug), serta

mikroskop binokuler electric.

3.2 Metode

3.2.1 Metode surveilans

Kegiatan surveilans dilakukan pada Bulan Februari sampai dengan

Desember 2016 untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal,

menggunakan survey representative yaitu suatu teknik mengambil sampel

dari sebagian populasi yang mewakili populasi sasaran yang lebih luas untuk

mengumpulkan informasi khusus mengenai keseluruhan informasi tersebut

(Anonimous., 2014)

1. Penentuan sampel size

Karena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit,

maka jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)

Keterangan:

n = jumlah sampel

p = asumsi prevalensi

q = 1 – p

L = galat

Page 59: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

54

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka

jumlah sampel yang diambil :

N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364

Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random

sampling, maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali

(Martin et al., 1987). Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali sehingga

jumlah sampel yang diambil di seluruh provinsi adalah 1.092.

2. Populasi target

Populasi target dalam surveilans ini adalah ternak sapi dan kerbau di

Provinsi Bali, NTB dan NTT.

3. Penentuan lokasi sampling

Lokasi sampling di Provinsi Bali adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali,

sedangkan di NTB dan NTT dipilih kabupaten/kota yang sebelumnya belum

pernah disampling atau yang jumlah sampelnya kurang mencukupi pada saat

sampling tahun lalu. Dalam metode multistage random sampling, idealnya,

penentuan lokasi kabupaten, kecamatan, desa dipilih secara proporsional

berdasarkan jumlah populasi agar diperoleh sampel yang representative,

namun keterbatasan dana, waktu dan sumberdaya manusia, sementara

BBVet Denpasar harus melakukan surveilans berbagai jenis penyakit

sehingga menyebabkan surveilans parasit gastrointestinal dilaksanakan

secara terpadu dengan penyakit lainnya. Karena kegiatan ini merupakan

kegiatan yang terpadu dengan surveilans penyakit lain, kondisi ideal yang

diharapkan kadang –kadang tidak tercapai. Disamping keterbatasan waktu,

SDM dan dana, kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau menyebabkan

sulit untuk melaksanakan sampling sesuai perhitungan atau design yang

telah dibuat.

Page 60: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

55

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin diusahakan

sampel yang diambil agar dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan.

Lokasi sampling di Provinsi Bali pada tahun ini dilakukan pada

kecamatan/desa yang berbeda dengan tahun lalu agar diperoleh data yang

lebih merata di berbagai lokasi sehingga pemetaan PGI yang kita miliki

dalam 2-3 tahun dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan. Demikian

juga lokasi sampling di Provinsi NTB dan NTT, pada tahun ini lebih

diprioritaskan di kabupaten/kecamatan/desa yang tahun sebelumnya belum

disampling. Pada tingkat peternak, semua sapi dan kerbau memiliki peluang

yang sama untuk dipilih sebagai sampel karena tidak ada pemilihan sampel

berdasarkan umur, jenis kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.

3.2.2 Metode pengambilan sampel feses

Sampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam rectum

ternak. Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil segera

setelah feses dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun harus dipastikan

jangan sampai tertukar antara feses ternak yang satu dengan yang lainnya.

Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak 10-20 gram. Sampel feses

segera dimasukkan ke dalam container/kantong plastic yang sudah berisi

pengawet formalin 10%. Disamping pengambilan feses juga dilakukan

wawancara untuk mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya.

3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Apung/Floatasi(Whitlock)

Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:

1) Ke dalam syringe yang berukuran 10 ml diisi air 7 ml, kemudian

ditambahkan 3 gram tinja.

2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur

yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh.

Page 61: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

56

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur

merata dengan cara menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan

naik turun.

4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke

dalam silinder pencampur.

5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan

menggunakan pipet Pasteur.

6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar

penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian

kamar penghitung telur cacing. Morfologi telur cacing/ookista koksidia

yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya per gram (epg)

(Thienpont, et al., 1979, Soulsby, 1982).

7) Cara penghitungan telur cacing

Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi

4 kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar

berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki volume 0.1 ml.

Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip

tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).

Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga

jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et

al.1980). Cara penghitungan telur cacing secara rinci dapat dilihat pada

table di bawah ini.

Page 62: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

57

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi

0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova) Equines x 100 x50 Strongyles Sheep & goats x200 x100 x50 x40 Nematodes Cattle x20 x10 Nematodes Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,

Nematodes,Cestodes

Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)

3.2.4. Pemeriksaan telur cacing trematoda dilakukan dengan metoda Sedimentasi (Whitlock)

Prosedur pemeriksaan telur cacing trematoda secara ringkas sebagai berikut:

1) Ke dalam syringe pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,

ditambahkan 1 gram tinja.

2) Seluruh isi syringe kemudian dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang

berisi 50 ml. air.

3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur

merata dengan menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik

turun. Setelah tinja tercampur merata lalu tabung penyaring khusus

dimasukan ke dalan silinder pencampur sampai batas leher silinder.

4) Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalam posisi terbalik diatas tabung

penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask) sedimentasi dipegang/ditekan

dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke atas.

5) Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.

Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam cawan (flask)

sedimentasi yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit.

6) Selanjutnya, dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask)

sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi

sehingga cairan supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke

endapan dalam cawan (flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian

endapkan kembali selama 6 menit.

Page 63: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

58

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

7) Alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam

cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask)

sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

larutan tinja sebanyak 5 ml.

8) Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam endapan, diaduk dengan

baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6 menit.

9) Selanjutnya plug larutan tinja dimasukkan secara pelan pelan ke dalam

cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan

flasksedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

sebanyak 5 ml.

10) Endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan methylene blue 1% dan

diaduk hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut segera diisap

dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung telur .

Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung di bawah mikroskop

dengan pembesaran lemah (40x). Telur cacing Fasciola sp. akan terlihat

coklat keemasan dan telur Parampistomum sp.terlihat bening /terang.

Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur

cacing.

Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip

tergantung pada derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).

Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah telur

yang ditemukan dikalikan dengan faktor 10 ( Whitlock et al.1980).

3.2.5 Analisis hasil dan statistik

Hasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu

sampel yang diuji baik menggunakan uji apung maupun uji sedimentasi. Data

hasil pengujian dianalisis menggunakan excel untuk menghitung prevalensi PGI,

dan menggunakan chi-square untuk menghitung signifikansi perbedaan hasil uji

pada berbagai faktor yang diduga berpengaruh. Jika nilai P > 0.05, artinya tidak

berbeda nyata sementara jika P < 0.05 menunjukkan perbedaaan yang nyata.

Page 64: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

59

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. HASIL

Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,

NTB dan NTT Tahun 2016, sebanyak 2.291 sampel feses telah diambil dan diuji,

778 (33,96%) diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit

gastrointestinal (PGI). Jumlah sampel dari Provinsi Bali sebanyak 579, 195

(33,68%) diantaranya positif PGI, dari Provinsi NTB 1.055 sampel diuji, 399

(37,82%) diantaranya positif dan dari Provinsi NTT 657 sampel diuji, 184 (28,01

%) diantaranya positif PGI. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Prevalensi PGI tertinggi ditemukan di Provinsi NTB, sedangkan terendah di

Provinsi NTT, dan secara statistic berbeda nyata (Chi-sq: 17.41; df:2; P-

value:<0.01). Dari 2.291 sampel feses yang diuji, hanya 7 ekor berasal dari

ternak kerbau, sedangkan selebihnya berasal dari ternak sapi. Data hasil uji

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan data hasil uji dan prevalensi untuk

masing-masing kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut dapat

dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.

Tabel2. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2016

Provinsi Negatif Positif Total Prev (%)BALI 384 195 579 33.68NTB 656 399 1055 37.82NTT 473 184 657 28.01Total 1513 778 2291 33.96

(Chi-sq: 17.41; df:2; P-value:<0.01)

Page 65: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

60

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 3. Prevalensi PGI di Provinsi Bali Tahun 2016

PGIProvinsi Kabupaten/Kota Negatif Positif Total Prevalensi (%)BALI Badung 15 15 30 50.00

Bangli 23 7 30 23.33Buleleng 22 9 31 29.03Denpasar 2 8 10 80.00Gianyar 20 10 30 33.33Jembrana 215 65 280 23.21Karang Asem 14 15 29 51.72Klungkung 22 18 40 45.00Tabanan 51 48 99 48.48

BALI Total 384 195 579 33.68

Tabel 4. Prevalensi PGI di Provinsi NTB Tahun 2016

PGIProvinsi Kabupaten/Kota Negatif Positif Total Prevalensi (%)NTB Bima 20 5 25 20.00

Dompu 178 96 274 35.04Kota Bima 18 7 25 28.00Lombok Barat 35 25 60 41.67Lombok Tengah 15 35 50 70.00Lombok Timur 231 65 296 21.96Lombok Utara 27 48 75 64.00Mataram 9 41 50 82.00Sumbawa 69 31 100 31.00Sumbawa Barat 54 46 100 46.00

NTB Total 656 399 1055 37.82

Page 66: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

61

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Prevalensi PGI di Provinsi NTT Tahun 2016

PGIProvinsi Kabupaten/Kota Negatif Positif Total Prevalensi (%)NTT Alor 15 5 20 25.00

Ende 43 9 52 17.31Kota Kupang 44 6 50 12.00Kupang 33 20 53 37.74Lembata 25 2 27 7.41Malaka 47 3 50 6.00Manggarai 34 11 45 24.44Manggarai Barat 24 25 49 51.02Manggarai Timur 38 12 50 24.00Nagekeo 40 10 50 20.00Ngada 13 12 25 48.00Rote Ndao 40 20 60 33.33Sumba Barat 13 14 27 51.85Sumba Tengah 19 6 25 24.00Sumba Timur 9 16 25 64.00Timor TengahSelatan 36 13 49 26.53

NTT Total 473 184 657 28.01

Seperti terlihat pada Tabel 6, Prevalensi PGI pada hewan jantan nampak lebih

besar dibandingkan dengan hewan betina, namun secara statistik tidak berbeda

nyata (Chi-square: 0.43; df:1; P-value 0.51).

Tabel 6. Prevalensi PGI berdasarkan jenis kelamin

Sex Negatif Positif Total Prevalensi(%)

betina 1154 583 1737 33.56jantan 359 195 554 35.20Total 1513 778 2291 33.96

Prevalensi PGI lebih tinggi terjadi pada musim hujan dibandingkan dengan

musim kemarau (Tabel 7), dan secara statistik nilai ini berbeda nyata (Chi-sq:

34,07; df:1; P-value<0,01), artinya terjadinya infestasi PGI di musim hujan

secara signifikan/nyata lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau.

Page 67: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

62

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 7. Prevalensi PGI berdasarkan musim

Musim Negatif Positif Total Prevalensi(%)

hujan 675 448 1123 39.89kemarau 838 330 1168 28.25

Total 1513 778 2291 33.96Chi-square 34.07; Degrees of freedom1; P-value<0.01

Jenis-jenis parasit yang ditemukan di masing-masing provinsi hampir sama

yaitu Paramphistomum sp, Fasciola sp, Ostertagia sp, Cooperia sp, Chabertia

sp, Strongyloides sp, Oesophagostomum sp, Bunostomum sp, Toxocara sp,

Mecistocirrus sp, dan Moniezia sp., demikian juga protozoa dari genus Eimeria

juga ditemukan di ketiga provinsi. Jenis-jenis cacing yang ditemukan secara

lengkap datanya dapat dilihat pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10. Seperti

terlihat pada Tabel tersebut, prevalensi cacing Paramphistomum sp nampak

paling tinggi di Provinsi Bali dan NTB, namun tidak demikian halnya di Provinsi

NTT, prevalensi cacing tersebut jauh lebih rendah.

Tabel 8. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi Bali

Provinsi Parasit Jumlah Prevalensi(%) epg/opg

Bali (n= 579) Bunostomum sp 2 0.35 80

Chabertia sp 14 2.42 40-280

Cooperia sp 14 2.42 40-720

Eimeria sp 26 4.49 40-7000Fasciola sp 20 3.45 ‘10-50

Mecistocirrus sp 11 1.90 40-200

Oesophagostomum sp 8 1.38 40-120

Ostertagia sp 30 5.18 40-280

Paramphistomum sp 100 17.27 10-420

Strongyloides sp 3 0.52 40-80

Toxocara sp 6 1.04 40-800

Trichostrongylus sp 6 1.04 40-200

Page 68: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

63

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 9. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi NTB

Provinsi Parasit Jumlah Prevalensi(%) epg/opg

NTB(n=1055) Bunostomum sp 2 0.19 40-80

Chabertia sp 29 2.75 40-200Cooperia sp 22 2.09 40-320Eimeria sp 31 2.94 40-1400Fasciola sp 62 5.88 10-130Mecistocirrus sp 30 2.84 40-280Moniezia sp 4 0.38 40-1080

Oesophagostomum sp 7 0.66 40-1360Ostertagia sp 40 3.79 40-320Paramphistomum sp 256 24.27 10-630Strongyloides sp 12 1.14 40-120Toxocara sp 7 0.66 40-1160Trichostrongylus sp 6 0.57 40-120Trichuris sp 1 0.09 40

Tabel 10. Jenis cacing yang ditemukan di Provinsi NTT

Provinsi Parasit JumlahPrevalensi

(%) epg/opgNTT (n=657) Bunostomum sp 3 0.46 40 - 400

Chabertia sp 13 1.98 40-120Cooperia sp 36 5.48 40-560Eimeria sp 26 3.96 40-560Fasciola sp 10 1.52 10-80Mecistocirrus sp 7 1.07 40-200Moniezia sp 1 0.15 40

Oesophagostomum sp 36 5.48 40-240Ostertagia sp 42 6.39 40-1160Paramphistomum sp 36 5.48 10-150Strongyloides sp 13 1.98 40-240Toxocara sp 4 0.61 40Trichostrongylus sp 14 2.13 40-120

Page 69: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

64

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. PEMBAHASAN

Seperti terlihat pada Tabel 2, prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) masih

cukup tinggi di Provinsi Bali, yaitu sebesar 33,68 %, akan tetapi sudah menurun

apabila dibandingkan dengan Tahun 2015 lalu yaitu sebesar 49,91 % (Mastra et

al., 2015). Prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT, masing-masing 37,82% dan

28,01 %. Apabila dibandingkan dengan tahun lalu, prevalensi PGI di Provinsi

NTB terjadi peningkatan, sedangkan di Provinsi NTT terjadi sedikit penurunan.

Tahun lalu prevalensi PGI di Provinsi NTB dan NTT berturut-turut yaitu 26,18 %

dan 28,83 %. Prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT secara keseluruhan

terjadi sedikit penurunan yaitu dari Tahun 2015 lalu sebesar 37, 56 % menjadi

33, 96 % pada Tahun 2016 ini. Terjadinya penurunan prevalensi di Provinsi Bali

kemungkinan karena adanya kesadaran masyarakat atau adanya program dari

pemerintah dalam hal kegiatan pencegahan dengan memberikan obat cacing

pada ternak yang dipelihara. Sebaliknya dengan di Provinsi NTB mungkin

program pengobatan PGI belum sepenuhnya dilaksanakan sehingga di masa

masa yang akan datang perlu lebih ditingkatkan lagi program pemeriksaan PGI

dan pengobatan PGI pada hewan dan kelompok hewan yang tertular.

Tingginya prevalensi PGI di Bali dan NTB dibandingkan dengan NTT diduga

berkaitan juga dengan keadaan alam yang cukup berbeda dimana Bali dan NTB

relative lebih basah dibandingkan dengan NTT dan kondisi yang basah dan

lembab seperti diketahui merupakan tempat yang ideal bagi perkembangbiakan

parasit. Pengaruh musim terhadap prevalensi PGI, dimana prevalensi PGI

secara signifikan lebih besar pada saat musim hujan dapat menjadi petunjuk

bahwa program pemberian obat cacing pada kelompok ternak yang rentan

sebaiknya diberikan sebelum musim hujan sehingga pencegahan dan

pengendalian PGI akan lebih efektif.

Page 70: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

65

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Prevalensi Parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Provinsi

Bali, NTB dan NTT pada Tahun 2016, masing-masing adalah: 33,68 %,

37,82 %, dan 28,01 %.

2. Parasit gastrointestinal (PGI) secara signifikan lebih sering terjadi saat

musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau.

6.2 Saran-saran

1. Untuk mencegah parasit gastrointestinal (PGI) dapat dilakukan dengan cara

menerapkan tata cara beternak yang baik termasuk menjaga kebersihan

kandang, memutus siklus hidup vektor yang berperan sebagai penular

parasit dan memberikan obat cacing atau anti parasit lainnya pada kelompok

ternak yang diduga tertular.

2. Karena musim hujan merupakan faktor risiko meningkatnya prevalensi PGI,

maka disarankan pemberian obat cacing sebagai pencegahan minimal

dilakukan sekali setahun sebelum musim hujan tiba.

3. Agar tetap dilakukan surveilans parasit gastrointestinal secara

berkesinambungan untuk mengetahui kondisi terkini sehingga dapat diambil

langkah-langkah yang efektif untuk pencegahan dan pengendaliannya.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BBVet Denpasar atas dukungan dana

dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang

telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami

sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi

peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas

kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan

lancar.

Page 71: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

66

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Daftar Pustaka

Anonimous, 2013. Data Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia.www.bpps.go.id

Anonimous, 2014. Kondisi geografis Nusa Tenggara Barat. http://www.ntbprov.go.id/hal-kondisi-geografis-nusa-tenggara-barat.html#ixzz4VWhBMpaZ

Anonimous, 2015. Nusa Tenggara Barat dalm Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi NusaTenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/webs/pdf_publikasi/Nusa-Tenggara-Barat-Dalam-Angka-2015.pdf

Anonimous, 2016. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.ditjenpdt.kemendesa.go.id

Anonimous b. 2016. Bali. https://id.wikipedia.org/wiki/Bali.

Anonimus, 2008b.The epidemiology of helmintparasites.http:// www.ilri.org/Info Serv/ Webpub/Fulldocs /X5492e /x5492e04.htl 07 Juni 2008]

BPS, 2016. Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbau menurutProvinsi, 2009-2016. http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3

Estuningsih,SE. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner,Volume 9 Nomor1hal.55-60

Gunawan M., 1984 Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5

Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA

Mastra.K. 2006 Prevalensi Antibodi Terhadap Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner.Denpasar. Ed.Desember , Vol. XVIII, No.69.

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan, 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.ed P.51,52

Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation

Page 72: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

67

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA TERNAK BABIDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2016

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans parasit gastrointestinal (PGI) pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTdilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi PGI pada ternak babi di ketiga provinsitersebut. Sebanyak 573 sampel feses babi diambil antara bulan Februari sampai denganOktober 2016. Sampel kemudian diuji dengan metode uji apung (Whitlock) untuk menghitungdan mengidentifikasi jenis telur cacing dan koksidia. Hasil uji dinyatakan positif PGI apabiladitemukan 1 jenis atau lebih telur cacing atau ookista koksidia pada sampel feses yang diuji.Hasil studi menunjukkan bahwa prevalensi PGI secara keseluruhan sebesar 55,32%, sedangkanprevalensi untuk masing-masing Provinsi Bali, NTB dan NTT berturut-turut adalah 38,66 %;54,04% dan 64,04 %. Jenis telur cacing dan ookista koksidia yang ditemukan adalah Ascarissuum, Eimeria sp, Globocephalus sp, Hyostrongylus sp, Metastrongylus sp, Oesophagostomumsp, Physocephalus sp, Strongyloides sp, Trichostrogylus sp dan Trichuris sp. Prevalensi PGIsecara signifikan lebih tinggi ditemukan pada babi betina dibandingkan dengan babi jantan (Chi-sq=6.71; Df=2; P=0.03). Kelompok umur 5-9 bulan memiliki prevalensi PGI tertinggi (60.99 %)dibandingkan dengan umur > 9 bulan (53.98%) dan umur 1-4 bulan (51.40 %), namun secarastatistik tidak berbeda nyata (Chi-sq =3.82; Df=2; P=0.15). Prevalensi PGI pada musim hujannyata lebih tinggi daripada musim kemarau (Chi-sq=29.58; Df=1; P<0.01; OR:2,6) dan prevalensiPGI babi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan ras lain (Landrace dan Duroc) dan secarastatistik hasil ini berbeda secara signifikan (Chi-sq=26.55; Df=3; P<0.01)

Kata kunci: PGI, prevalensi, uji apung, Bali, NTB, NTT

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki

potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat – sifat

menguntungkan diantaranya : laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak

perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi

daging dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan

lingkungan. Populasi Babi di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 803.920 ekor,

di NTB 52.288 ekor dan di NTT 1.871.717 ekor (Anonimous, 2016).

Page 73: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

68

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak

babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit.

Ternak babi sangat peka terhadap penyakit, salah satunya adalah penyakit yang

disebabkan oleh parasit. Parasit merupakan makhluk hidup yang dalam

kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain sehingga sifatnya

merugikan. Cacing dan koksidia merupakan parasit yang sering menginfestasi

babi.

Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran

gastro-intestinal baik manusia maupun hewan termasuk unggas. Parasit

tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus

hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah

cacing (helmint) dan protozoa (koksidia). Helminthiasis/cacingan merupakan

salah satu penyakit hewan menular strategis yang seringkali kurang mendapat

perhatian dibandingkan dengan penyakit strategis lainnya, sehingga

penanganan penyakit ini juga kurang maksimal. Helminthiasis (cacingan) dan

koksidiosis (penyakit akibat infestasi koksidia) pada babi dapat mempengaruhi

efisiensi feed konversi, tingkat pertumbuhan yang buruk, penurunan berat

badan, dan berpengaruh pada status kesehatan secara umum, dan bahkan

dapat menimbulkan kematian pada ternak apabila menderita cukup parah dan

tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. Gangguan pada

pertumbuhan yang berlangsung cukup lama menyebabkan produktivitas akan

turun.

Penyakit ini dapat diobati dan dapat dicegah dengan manajemen peternakan

yang lebih baik. Penanganan yang baik, baik dari segi pencegahan maupun

pengobatan yang semestinya akan dapat menghindarkan terjadinya kerugian

bagi peternak dan dalam skala yang lebih besar akan dapat mengurangi

kerugian ekonomi bagi daerah, bahkan mengurangi kerugian ekonomi secara

nasional.

Page 74: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

69

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Selama ini, belum pernah dilakukan surveilans parasit gastrointestinal pada

ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT sehingga gambaran parasit ini pada

babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum diketahui secara pasti

Untuk mengetahui tingkat prevalensi dan gambaran parasit gastrointestinal pada

ternak babi, BBVet Denpasar merancang kegiatan cross sectional study untuk

menentukan prevalensi dan penyebaran penyakit tersebut di Provinsi Bali, NTB

dan NTT.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan jenis jenis parasit cacing

nematoda dan koksidia yang menginfestasi ternak babi di Bali, NTB dan NTT,

dan hasil studi ini diharapkan dapat memberikan gambaran pemetaan penyakit

tersebut kepada pengambil kebijakan agar dapat diambil langkah langkah

pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga produktivitas ternak babi

dapat ditingkatkan.

1.2. Rumusan Masalah

1.1.1. Penularan penyakit gastrointestinal khususnya pada babi diduga masih

cukup tinggi. Secara ekonomi penyakit ini sangat merugikan peternak

karena dapat menurunkan produktivitas, reproduktivitas dan bahkan

dapat menimbulkkan kematian.

1.1.2. Belum pernah ada publikasi mengenai situasi dan distribusi infestasi

parasit gastrointestinal pada babi, di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

1.3 Tujuan

Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi parasit gastrointestinal

pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Page 75: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

70

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.4. Manfaat

Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan penyakit

tersebut kepada pengambil kebijakan sehingga dapat diambil langkah langkah

pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga tingkat kematian ternak

dapat ditekan dan produktrivitas ternak dapat ditingkatkan.

1.5. Output

1) Tersedianya informasi tentang prevalensi dan distribusi parasit

gastrointestinal terkini berdasarkan lokasi, karakteristik hewan dan

lingkungan sehingga upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan

dapat lebih terarah.

2) Dengan terkendalinya parasit gastrointestinal diharapkan terjadi peningkatan

produktivitas dan reproduktivitas pada ternak babi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran

gastro-intestinal baik manusia maupun hewan termasuk unggas. Parasit

tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus

hidupnya berada di usus. Dua jenis utama dari parasit gastrointestinal adalah

cacing (helmint) dan protozoa (koksidia).

Helminthiasis merupakan penyakit pada hewan yang disebabkan oleh berbagai

jenis cacing, baik dari klas trematoda, nematoda maupun cestoda yang sangat

merugikan karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan,

penurunan berat badan, mengganggu status kesehatan secara umum

sehingga mudah terinfeksi penyakit lain, dan bahkan dapat menimbulkan

kematian. Gangguan pada pertumbuhan yang berlangsung cukup lama akan

menyebabkan penurunan produktivitas.

Page 76: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

71

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Helminthiasis (cacingan) dan koksidiosis (penyakit akibat infestasi koksidia)

pada babi seringkali kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan penyakit

lain pada ternak padahal parasit pada babi ini dapat mempengaruhi efisiensi

feed konversi, tingkat pertumbuhan yang buruk, penurunan berat badan, dan

berpengaruh pada status kesehatan secara umum, dan bahkan dapat

menimbulkan kematian pada ternak apabila menderita cukup parah dan tidak

mendapatkan penanganan yang semestinya. Gangguan pada pertumbuhan

yang berlangsung cukup lama menyebabkan produktivitas akan turun. Gejala-

gejala dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain, badan lemah dan bulu

rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya

menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini dapat

diobati dan dapat dicegah dengan manajemen peternakan yang lebih baik.

Penanganan yang baik, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan yang

semestinya akan dapat menghindarkan terjadinya kerugian bagi peternak dan

dalam skala yang lebih besar akan dapat mengurangi kerugian ekonomi bagi

daerah, bahkan mengurangi kerugian ekonomi secara nasional.

Spesies yang berbeda memiliki berbeda efek patogen. Beberapa spesies sangat

penting pada hewan muda, namun tidak terlalu bermasalah pada hewan

dewasa. Selain itu, beberapa spesies relatif mudah untuk dikontrol, sementara

yang lain sangat susah dihilangkan dari lingkungan dan sulit untuk

membasminya, kecuali dengan tindakan yang ekstra (Nansen and Roepstor,

1999).

Spesies cacing pada babi diketahui lebih dari 20 spesies, namun hanya 5-10

spesies yang umum menginfeksi babi domestik yang dipelihara dengan cara

dilepasliarkan di padang rumput atau di tanah di luar ruangan. Pada

pemeliharaan dengan pemeliharaan di dalam ruangan dengan manajemen yang

intensif akan dapat mengurangi spesies cacing yang menginfeksi ternak babi

(Nansen and Roepstor, 1999).

Page 77: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

72

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Beberapa cacing nematode yang sering menginfeksi babi yaitu : Hyostrongylus

(redstomach worm) Gnathostoma Ascaris (large roundworm) Strongyloides

(threadworm) Globocephalus (hookworm) Trichostrongylus Oesophagostomum

(nodular worm) Trichuris (whipworm) Metastrongylus (lungworm) Stephanurus

(kidney worm) Trichinella (Nansen and Roepstor, 1998).

Adanya parasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang

sifatnya klinis. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan

feses, dimana ditemukan telur cacing atau kista koksidia atau menemukan

cacing dewasa pada hewan setelah disembelih atau dibedah. Perubahan

populasi cacing dalam perut babi dapat diketahui dengan menghitung telur tiap

gram feses secara rutin.

Koksidiosis merupakan infestasi parasit koksidia pada saluran pencernaan

ternak baik itu unggas, sapi, kambing, domba, babi serta kelinci yang diikuti

dengan rusaknya mukosa saluran pencernaan. Penyebab utama koksidiosis

adalah kelompok protozoa dari genus Eimeria dan Isospora. Infestasi Eimeria

terjadi bila ookista infektif dari Eimeria tertelan oleh inang utama. Ookista pada

awalnya berada dalam feses ternak namun tidak infektif karena tidak

tersporulasi. Kondisi lingkungan yang sesuai seperti kadar oksigen, kelembaban

dan suhu yang sesuai membuat ookista menjadi infektif.

Koksidiosis lebih sering terjadi pada anak babi. Koksidiosis harus dicurigai jika

ada masalah diare pada anak babi umur 7-21 hari yang tidak merespon dengan

baik terhadap antibiotik. Namun, babi juga dapat terinfeksi koksidia tanpa

menimbulkan gejala klinis. Koksidia pada babi umumnya adalah genus Eimeria

atau Isospora. Diare adalah tanda klinis utama dalam tahap awal. Pada stadium

lanjut tinja bervariasi dalam konsistensi dan warna dari kuning ke abu-abu hijau,

atau berdarah tergantung pada tingkat keparahan. Diagnosa dilakukan dengan

memeriksa feses di laboratorium.

Page 78: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

73

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. MATERI DAN METODA

3.1. Materi:

a) Sampel

Sampel feses/tinja babi yang diambil langsung dari rectum atau yang baru saja

dikeluarkan saat defekasi. Sampel diawetkan dengan formalin 10%. Di samping

sampel tinja, juga diperlukan bahan uji yaitu garam jenuh.

b) Alat:

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal

Whitlock yaitu; silinder pencampur 100 ml, alat pengaduk tinja, tabung

penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung), pipet Pasteur, slide

kamar penghitung telur cacing, ookista koksidia, serta mikroskop.

3.2. Metode

3.2.1. Metode surveilans

Surevilans dilakukan sejak Bulan Februari sampai dengan November 2016.

Kegiatan surveilans dilakukan untuk mengetahui prevalensi parasit

gastrointestinal/helminthiasis, menggunakan survey representative yaitu suatu

teknik mengambil sampel dari sebagian populasi yang mewakili populasi

sasaran yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi khusus mengenai

keseluruhan informasi tersebut (Anonimous., 2014).

Page 79: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

74

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1) Penentuan sampel size

Karena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit, maka

jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

n = 4 pq/L2 (Martin et al, 1987)

Keterangan:

n = jumlah sampel

p = asumsi prevalensi

q = 1 – p

L = galat

Apabila asumsi prevalensi = 35 %, dan galat yang dinginkan 0,05, maka

jumlah sampel yang diambil :

N = (4x0,35 x0,65)/0,052 = 364

Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling,

maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al.,

1987). Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 3 kali sehingga jumlah sampel

yang diambil di seluruh provinsi adalah 1.092. Namun karena keterbatasan

dana, surveilans PGI pada ternak babi dilakukan terintegrasi dengan surveilans

penyakit lain, sehingga kondisi ideal yang diharapkan sesuai dengan rancangan

sebagian tidak tercapai.

2) Populasi target

Populasi target dalam surveilans ini adalah ternak babi di Provinsi Bali, NTB

dan NTT.

Page 80: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

75

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3) Penentuan lokasi sampling

Lokasi sampling di Provinsi Bali adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali,

sedangkan di NTB dan NTT dipilih beberapa kabupaten/kota yang belum

pernah disampling tahun sebelumnya atau pada lokasi dengan

kegiatansurveilans penyakit lainnya sehingga dapat dilakukan secara

terintegrasi.

Karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang terpadu dengan surveilans

penyakit lain, kondisi ideal yang diharapkan kadang–kadang tidak tercapai.

Disamping keterbatasan waktu, SDM dan dana, kondisi geografis yang

sangat sulit dijangkau menyebabkan sulit untuk melaksanakan sampling

sesuai perhitungan atau design yang tepat.

Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, sedapat mungkin diusahakan

sampel yang diambil agar dapat mewakili keadaan sebenarnya di lapangan.

Pada tingkat peternak, semua babi memiliki peluang yang sama untuk dipilih

sebagai sampel karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan umur, jenis

kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.

3.2.2 Metode pengambilan sampel feses

Sampel feses diambil dengan cara mengambil langsung dari dalam rectum

ternak. Apabila tidak memungkinkan, sampel feses dapat diambil segera

setelah feses dikeluarkan pada saat ternak defekasi, namun harus dipastikan

tidak sampai tertukar antara feses ternak yang satu dengan yang lainnya.

Volume sampel yang diambil kira-kira sebanyak 10-20 gram. Sampel feses

segera dimasukkan ke dalam kontainer yang sudah berisi pengawet formalin

10%. Disamping pengambilan feses juga dilakukan wawancara untuk

mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya guna menjaring

faktor risiko yang berasosiasi dengan PGI.

Page 81: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

76

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3.2.3. Pemeriksaan telur nematoda dengan metoda Floatasi (Whitlock)

Prosedur pemeriksaan telur nematode secara ringkas sebagai berikut:

1) 3 gram tinja dicampur dengan air 7 ml. air

2) Campuran No 1 tersebut dimasukkan ke dalam silinder pencampur yang

berisi 50 ml. larutan garam jenuh.

3) Tinja yang berada dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur

merata dengan cara menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik

turun.

4) Setelah tinja tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalam

silinder pencampur.

5) Larutan tinja yang telah tersaring kemudian diambil dengan menggunakan

pipet Pasteur.

6) Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke dalam kamar

penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap pengisian

kamar penghitung telur cacing. Morfologi telur cacing atau ookista koksidia

yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlah telur/ookistanya

(Thienpont, et al, 1979; Soulsby, 1982).

7) Cara penghitungan telur cacing

Alat penghitung telur Universal (Universal slide counting chamber) berisi 4

kamar dan setiap kamar menampung 0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5

garis/strip vertical yang masing-masing memiliki volume 0.1 ml. Dalam

penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada

derajat infeksi parasitnya (berat, sedang, atau ringan).

Pada pemeriksaan rutin di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar,

digunakan penghitungan telur cacing dengan menggunakan 1 kamar pada

chamber untuk setiap sampel.

Page 82: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

77

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tinja yang digunakan (3 gram), dilarutkan dalam 7 ml air dan 50 ml garam jenuh

sehingga terjadi pengenceran 1 : 20 (0.05). Volume 1 kamar hitung chamber

adalah 0.5 ml. Jadi, jumlah telur per gram tinja adalah 1 : 0.05 : 0.5 = 40.

Jadi, penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja ( 1 kamar chamber),

adalah jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan faktor 40 ( Whitlock et

al.1980).

Cara penghitungan telur cacing secara rinci dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 1. Cara penghitungan telur cacing dengan Teknik Floatasi

0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova) Equines x 100 x50 Strongyles Sheep & goats x200 x100 x50 x40 Nematodes Cattle x20 x10 Nematodes Dog, pig, man x200 x100 x50 x40 Oocysts,

Nematodes,Cestodes

Counting strip 1 2 4 5 2 c’bers 4 c’bers(Faecalmester Kit. Universal Slide. Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co)

Analisis hasil dan statistikHasil uji dinyatakan positif apabila ditemukan satu atau lebih PGI pada satu

sampel yang diuji. Data hasil pengujian dianalisis menggunakan excel untuk

menghitung prevalensi PGI, dan menggunakan chi-square untuk menghitung

signifikansi perbedaan hasil uji pada berbagai faktor yang diduga berpengaruh.

Jika nilai P > 0.05, artinya tidak berbeda nyata/signifikan sementara jika P < 0.05

menunjukkan perbedaaan yang nyata/signifikan

Page 83: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

78

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. HASIL

Dalam kegiatan surveilans PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTT

Tahun 2016, sebanyak 573 sampel feses telah diambil dan diuji, 317 (55,32 %)

diantaranya terinfestasi oleh satu atau lebih parasit gastrointestinal (PGI).

Jumlah sampel dari Provinsi Bali sebanyak 119, 46 (38,66%) diantaranya positif

PGI; dari Provinsi NTB 198 sampel diuji, 107 (54,04) diantaranya positif dan dari

Provinsi NTT, dari 256 sampel yang diuji, 164 (64,04 %) diantaranya positif PGI.

Prevalensi PGI tertinggi ditemukan di Provinsi NTT, sedangkan terendah di

Provinsi Bali, dan hasil tersebut secara statistik berbeda nyata (Chi-sq: 21,42;

Df:2; P<0.01). Hasil uji selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan hasil uji dan

prevalensi untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT

berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5.

Tabel 2. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016

Provinsi Negatif Positif TotalPrevalensi

(%)CI 95 %

BALI 73 46 119 38.66 0.30-0.48NTB 91 107 198 54.04 0.47-0.61NTT 92 164 256 64.04 0.58-0.70Total 256 317 573 55.32 0.51-0.59

Chi-sq=21,42; df=2; P<0,01

Tabel 3. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali Tahun 2016

Kabupaten Negatif Positif TotalPrevalensi

(%)Bangli 17 14 31 45.16Buleleng 7 3 10 30.00Gianyar 23 15 38 39.47Jembrana 10 0 10 0.00Karang Asem 1 9 10 90.00Klungkung 6 4 10 40.00Tabanan 9 1 10 10.00

Total 73 46 119 38.66

Page 84: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

79

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi NTB Tahun 2016

Kabupaten Negatif Positif TotalPrevalensi

(%)Lombok Barat 25 25 50 50.00Lombok Tengah 20 27 47 57.45Lombok Utara 23 53 76 69.74Sumbawa Barat 23 2 25 8.00

Total 91 107 198 54.04

Tabel 5. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi NTT Tahun 2016

Kabupaten Negatif Positif TotalPrevalensi

(%)Alor 14 39 53 73.58Ende 17 8 25 32.00Flores Timur 21 29 50 58.00Lembata 24 27 51 52.94Ngada 2 24 26 92.31Sabu Raijua 14 37 51 72.55

Total 92 164 256 64.06

Seperti terlihat pada Tabel 6, umur 5-9 bulan memiliki prevalensi PGI

tertinggi (60.99 %) dibandingkan dengan umur > 9 bulan (53.98%) dan umur

1-4 bulan (51.40 %), namun secara statistik tidak berbeda nyata (Chi-sq

=3.82; Df=2; P=0.15).

Tabel 6. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016 berdasarkan umur.

(Chi-sq =3.82; Df=2; P=0.15)

Umur Positif Negatif TotalPrevalensi

(%)1-4 bl 110 104 214 51.405-9 bl 111 71 182 60.99>9 bl 95 81 176 53.98Total 316 256 572 55.24

Page 85: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

80

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Prevalensi PGI pada musim hujan lebih tinggi secara signifikan daripada

musim kemarau (Chi-sq=29.58; Df=1; P<0.01; OR:2,6), dengan OR 2,6 yang

artinya pada musim hujan ternak babi mempunyai risiko 2,6 kali tertular PGI

dibandingkan dengan musim kemarau (Tabel 7)

Tabel 7. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016 berdasarkan musim

Musim Positif Negatif TotalPrevalensi

(%)hujan 176 83 259 67,95kemarau 141 173 314 44,90 Total 317 256 573 55,32

(Chi-sq=29.58; Df=1; P<0.01; OR:2,6)

Apabila dianalisis berdasarkan ras, seperti yang nampak pada Tabel 8, prevalensi

PGI babi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan ras lain (Landrace dan Duroc) dan

secara statistik hasil ini berbeda secara signifikan.

Tabel 8. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016 berdasarkan Ras.

Ras Negatif Positif Total Prev (%)Duroc 5 1 6 16,67Landrace 125 127 252 50,40Lokal 76 155 231 67,10tdk ada data 50 34 84 40,48Total 256 317 573 55,32(Chi-sq=26.55; DF=3; P<0.01)

Berdasarkan jenis kelamin, ada perbedaan yang nyata antara prevalensi PGI pada

babi betina dibandingkan dengan babi jantan, dimana babi betina lebih tinggi

prevalensinya (Chi-sq=6.71; DF=2; P=0.03), seperti terlihat pada Tabel 9.

Page 86: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

81

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 9. Prevalensi PGI pada ternak babi di Provinsi Bali, NTB dan NTTTahun 2016 berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Negatif Positif Total Prevbetina 136 201 337 59,64jantan 109 102 211 48,34tdk ada data 11 14 25 56,00Total 256 317 573 55,32

(Chi-sq=6.71; DF=2; P=0.03)

Tabel 10. Jenis parasit pada ternak Babi di Provinsi Bali Tahun 2016

Prov Jenis Parasit Jumlah Prevalensi (%) epg/opgBali Ascaris suum 13 10,92 40-3000n= 119 Eimeria sp 11 9,24 200-16000

Globocephalus sp 4 3,36 40-120Hyostrongylus sp 24 20,17 40-1640Metastrongylus sp 2 1,68 40-240Oesophagostomum Sp 5 4,20 40-160Physocephalus sp 3 2,52 40-120Strongyloides sp 11 9,24 40-440Trichuris sp 6 5,04 40-640

Ket: epg=egg per gram; opg=ookista pergram

Pada Tabel 10, 11 dan 12 dapat dilihat jenis PGI yang menginfestasi babi di

masing-masing provinsi. Di Provinsi Bali, jenis cacing Hyostrongylus sp paling

banyak ditemukan (20,17%), sedangkan di NTB, jenis PGI terbanyak adalah

cacing Strongyloides sp (18,18 %) dan NTT yang terbanyak adalah koksidia

Eimeria sp (30,08 %).

Page 87: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

82

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 11. Jenis parasit pada ternak Babi di Provinsi NTB Tahun 2016

Prov Jenis Parasit Jumlah Prevalensi (%) epg/opgNTB n= 198 Ascaris suum 28 14,14 40-5200

Eimeria sp 10 5,05 40-400Globocephalus sp 3 1,52 40Hyostrongylus sp 30 15,15 40-1280Metastrongylus sp 5 2,53 40-2080Oesophagostomumsp 12 6,06 40-240Strongyloides sp 36 18,18 40-400Trichostrongylus sp 2 1,01 80Trichuris sp 1 0,51 80

Ket: epg=egg per gram; opg=ookista pergram

Tabel 12. Jenis parasit pada ternak Babi di Provinsi NTT Tahun 2016

Prov Jenis Parasit Jumlah Prevalensi (%) epg/opgNTT Ascaris suum 18 7,03 40-2200n = 256 Eimeria sp 77 30,08 80-80000

Hyostrongylus sp 32 12,50 40-720Oesophagostomumsp 12 4,69 40-1400Physocephalus sp 2 0,78 40Strongyloides sp 57 22,27 40-25000Trichuris sp 3 1,17 80-320

Ket: epg=egg per gram; opg=ookista pergram

V. PEMBAHASAN

Pengelolaan dan pengendalian cacing dan koksidia tergantung pada sistem

produksi, manajemen peternakan yang baik dan termasuk pengetahuan akan

keberadaan parasit. Dengan pemeliharaan babi pada lantai semen/ beton

seperti pada peternakan intensif akan dapat mengendalikan parasit karena

parasit tersebut membutuhkan kondisi padang rumput untuk siklus hidup dan

penularan mereka.

Page 88: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

83

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Untuk babi yang dipelihara di luar ruangan atau pada tempat atau kandang yang

beralaskan tanah, perlu dilakukan hal hal yang ditujukan untuk menghindari

penumpukan telur dan larva. Sanitasi yang baik sangat penting karena transmisi

fekal oral melalui kontaminasi makanan, tanah atau alas tidur merupakan rute

utama penularan pada babi. Sinar matahari langsung atau kondisi kering

memperpendek kelangsungan hidup beberapa telur dan larva cacing karena

mereka membutuhkan kelembaban dan kehangatan untuk pengembangan dan

kelangsungan hidup mereka.

Tingginya prevalensi parasit gastrointestinal di Provinsi Bali, NTB dan terutama

di NTT diduga karena sistem pemeliharaan yang masih tradisional dengan

tingkat sanitasi yang rendah dan nutrisi yang kurang memadai. Di NTT,

sebagain besar babi dipelihara dengan cara mengikat pada pohon atau

dikandangkan dengan lantai tanah sebagai alas tempat babi makan dan tidur

sepanjang hidupnya. Dengan keadaan lantai tanah yang basah dan lembab

maka penularan fekal oral telur cacing maupun ookista coccidia tidak pernah

terputus.

Adanya perbedaan prevalensi PGI di Provinsi Bali, NTB dan NTT dimana di

provinsi NTT lebih tinggi dari Provinsi lain terutama apabila dibandingkan

dengan di Provinsi Bali, diduga karena sistem pemeliharaan babi di Provinsi

NTT sebagian besar masih dilakukan secara tradisional dimana babi

dikandangkan atau diikat di atas tanah diluar ruangan, berbeda dengan sistem

pemeliharaan di Bali pada umumnya babi dipelihara dalam kandang dengan

alas semen.

Pada musim hujan prevalensi PGI menjadi lebih tinggi karena lingkungan

menjadi basah dan lembab serta kurang sinar matahari yang mana kondisi ini

menyebabkan penularan fekal oral telur cacing maupun ookista koksidia tidak

pernah terputus.

Page 89: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

84

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Pada studi ini ditemukan 30,08 % babi di Provinsi NTT terinfestasi koksidia (

Eimeria sp). Hasil ini lebih tinggi dari yang ditemukan di Provinsi Bali dan NTB.

Demikian juga pada babi yang dipelihara pada farm intensif di Provinsi

Guangdong China dimana infestasi koksidia sebesar 24,9% (Weng, et al, 2005),

namun lebih rendah dari babi yang diternakkan secara konvensional di

Netherland, dimana infestasi koksidia ditemukan sebesar 66,7% (Eijck , and

Borgsteede , 2005). Trichuris sp di Provinsi Bali ditemukan sebesar 5,04 %

mirip dengan di Guangdong China sebesar 5,7% (Weng, et al, 2005). Parasit

pada babi di China ini ditemukan pada peternakan yang tidak menerapkan

pemberian antiparasit. Cacing Trichuris sp yang ditemukan pada studi ini juga

jauh lebih rendah dari yang ditemukan pada babi muda di Kota Denpasar

dimana prevalensinya mencapai 32,67 % (Suratma, 2009), juga lebih rendah

dari babi yang dipelihara secara konvensional di Netherland, Distrik Homabay

Kenya dan Zimbabwe, yang mana prevalensi Tricuris suis di wilayah tersebut

berturut-turut adalah 11,1 % (Eijck , and Borgsteede , 2005), 7,8% (Obonyo et

al, 2012), 32,2 % (Nganga et al., 2008) dan 4,2 % (Marufu, 2008).

Hasil studi ini menunjukkan bahwa babi betina memiliki prevalensi yang lebih

tinggi daripada babi jantan. Hasil ini sama dengan yang ditemukan pada babi liar

di Burkina Faso, dimana babi betina secara signifikan memiliki prevalensi parasit

nematoda yang lebih tinggi pada babi betina (Tamboura, et al., 2006).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan1. Prevalensi parasit cacing nematoda dan koksidia pada ternak babi di Provinsi

Bali, NTB dan NTT cukup tinggi yaitu 55,32 %.

2. Parasit yang ditemukan yaitu Eimeria sp, Strongyloides sp, Ascaris suum,

Hyostrongylus sp, Oesophagostomum sp, Pysocephalus sp, Metastrongylus

sp, Trichostrongylus sp dan Trichuris sp.

3. Terdapat perbedaan prevalensi PGI secara signifikan antar provinsi, ras,

musim dan jenis kelamin, namun antar kelompok umur menunjukkan hasil

yang tidak berbeda secara statistik.

Page 90: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

85

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

6.2 Saran1. Untuk mencegah parasit cacing dan koksidia pada babi perlu dilakukan

perbaikan manajemen pemeliharaan babi termasuk meningkatkan sanitasi

kandang dan pemberian nutrisi yang baik dan penggunaan obat anti parasit

yang sesuai pada saat yang tepat dan dosis yang tepat.

2. Perlunya penyuluhan dari dinas peternakan atau puskeswan mengenai cara

beternak babi yang baik termasuk dalam hal pencegahan dan penanganan

penyakit parasiter.

3. Perlunya pemeriksaan PGI pada ternak babi secara teratur oleh

Puskeswan atau laboratorium Tipe C, sehingga pengobatan dapat dilakukan

secara rasional.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami ucapkan kepada Ka BBVet Denpasar atas dukungan dana

dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak yang

telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami

sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi

peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas

kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan

lancar.

Page 91: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

86

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, (2016) Populasi Sapi Potong menurut Provinsi, 2009-2016 dan Populasi Kerbaumenurut Provinsi, 2009-2016. http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/24#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek3

Anonimous (2014). Babi Dominasi Peternakan di NTT. http://kupang.tribunnews.com/2014/02/25/babi-dominasi-peternakan-di-ntt

Eijck IA and Borgsteede FH (2005). A survey of gastrointestinal pig parasites on free-range,

organic and conventional pig farms in The Netherlands. Vet Res Commun. 2005

Jul;29(5):407-14.

Marufu, M.C., P. Chanayiwa , M. Chimonyo and E. Bhebhe (2008). Prevalence ofgastrointestinal nematodes in Mukota pigs in a communal area of Zimbabwe. AfricanJournal of Agricultural Research Vol. 3 (2), pp. 091-095 February, 2008.

Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods Veterinary Epidemiology,IOWA State University Press/ames.USA

Nganga CJ, Karanja DN, Mutune MN, (2008). The prevalence of gastrointestinal helminthinfections in pigs in Kenya. Trop Anim Health Prod. 2008 Jun;40(5):331-4.

Nansen, P. and Roepstor, A. (1999). Parasitic helminths of the pig: factors infuencingtransmission and infection levels. International Journal for Parasitology 29 (1999)877±891

Nansen, P. and Roepstor, A.(1998). Epidemiology, diagnosis and control of helminth parasitesof swine. Food and agriculture organization of the united nations.

Obonyo,F.O., N Maingi, S M Githigia and C J Ng’ang’a (2012). Prevalence, intensity andspectrum of helminths of free range pigs in Homabay District, Kenya. LivestockResearch for Rural Development 24 (3) 2012.

Suratma, N.A. (2009). Prevalensi Infeksi Cacing Trichuris suis pada babi muda di KotaDenpasar. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 1 No. 2 Agustus 2009

Soulsby,E.J.C.(1982) Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52

Thienpont, D., Rochette,O.F.J. and Vanparijs, (1979). Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation

Tamboura HH1, Banga-Mboko H, Maes D, Youssao I, Traore A, Bayala B, Dembele MA, (2006).Prevalence of common gastrointestinal nematode parasites in scavenging pigs ofdifferent ages and sexes in eastern centre province, Burkina Faso. Onderstepoort J VetRes. 2006 Mar;73(1):53-60.

Page 92: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

87

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS PARASIT DARAH PADA UNGGAS DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2016

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan cross sectional study untuk mengetahui infestasi parasit darah pada unggas diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur NTT) pada Tahun 2016.Sebanyak 165 sampel ulas darah unggas diperiksa dengan metode pewarnaan giemsa danmikroskopik, 6 sampel (3,64 %) diantaranya positif parasit darah Leucocytozoon sp. Parasit iniditemukan pada unggas di Provinsi Bali (1,05%) dan di NTB (16,67 %), sedangkan di ProvinsiNTT tidak ditemukan parasit darah pada seluruh sampel yang diuji. Hasil studi ini membuktikanbahwa infestasi parasit darah terjadi pada unggas di Provinsi Bali dan NTB walaupun denganproporsi yang relatif kecil namun tetap perlu diwaspadai dan dicegah penularannya.

Kata kunci: parasit darah, Leucocytozoon sp, pewarnaan giemsa, Bali, NTB, NTT

I. PENDAHULUAN

Darah unggas dapat mengandung berbagai agen penyakit, termasuk virus, bakteri,

riketsia, protozoa, dan microfilaria. Organisme ini dapat diidentifikasi dengan

pemeriksaan secara mikroskopis dari sampel ulas darah. Beberapa agen berada dalam

sel darah (Plasmodium, Haemoproteus, Leucocytozoon, Isospora, Hepatozoon,

Babesia, Aegyptianella), sementara yang lain bebas di plasma (Trypanosoma,

mikrofilaria, bakteri, spirochetes). Tak satu pun mikroba tersebut hidup secara eksklusif

di dalam darah; kebanyakan ditemukan dalam jaringan. Mikroba tersebut yang

ditemukan dalam darah hanya pada waktu tertentu dari siklus hidup mereka.

Kebanyakan organisme yang ditularkan melalui darah jarang menimbulkan gejala klinis

yang jelas. Namun, unggas yang terpapar parasit darah akan mengalami kelemahan

sehingga mudah terinefksi penyakit yang lain, memiliki angka kematian yang lebih tinggi

bila terserang suatu penyakit, dan juga masa pemulihan dari suatu penyakit akan

relative lebih lambat (Wettere, 2016).

Page 93: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

88

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Industri unggas menempati posisi penting dalam penyediaan protein hewani (daging

dan telur) untuk masyarakat dan umumnya memainkan peranan penting dalam

perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan. Ayam adalah salah satu spesies

unggas peliharaan yang paling intensif dipelihara dan merupakan komoditas yang

relative paling murah dan mudah didapat dibandingkan produksi bahan asal hewan

lainnya.

Namun ada beberapa kendala yang sering dihadapi terutama di bidang kesehatan

hewan yaitu ayam mudah terserang beberapa jenis penyakit baik yang disebabkan

oleh bakteri, virus, jamur maupun parasit. Di antara berbagai penyakit parasit,

haemoparasites / parasit darah merupakan salah satu infeksi parasit yang masih sering

terjadi. Infeksi haemoparasites/parasit darah terutama ditemukan pada unggas di

daerah tropis dari genus Plasmodium., Leucytozoon., Haemoproteus., Aegytinella, dan

Trypanosoma. Telah dilaporkan bahwa infeksi parasit mengakibatkan imunosupresi,

terutama dalam respon kekebalan terhadap vaksin beberapa penyakit unggas.

Meskipun demikian disayangkan bahwa saat ini, informasi mengenai prevalensi parasit

darah unggas masih sangat kurang. Perlu untuk terus memvalidasi ulang data

kesehatan unggas secara berkala. Selain itu, sebagai co-faktor dalam penyakit unggas

lainnya, pengetahuan prevalensi penyakit parasit adalah penting dalam memahami

epidemiologi penyakit . Laporan komprehensif tentang parasit darah harus didasarkan

survei lapangan dan konfirmasi laboratorium.

Leucocytozoonosis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa,

Leucocytozoon sp. Protozoa ini merupakan parasit darah yang hidupnya di dalam sel

darah merah. Leucocytozoon sp. yang menyerang ayam ada 2, yaitu L.caulleryi dan

L.sabrezi. Penyakit ini seringkali muncul pada saat perubahan musim dari penghujan ke

kemarau. Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai

vektor atau pembawa penyakit ini.

Infeksi dengan Leucocytozoon sp sering terjadi secara subklinis tapi kadang-kadang

dapat menyebabkan klinis dan bahkan dapat berakibat fatal. Keparahan penyakit

sangat bervariasi tergantung pada strain parasit, spesies, tingkat paparan, usia, status

kekebalan, dan faktor lainnya. Wabah Leucocytozoonosis telah dilaporkan pada ayam

(Asia, Afrika), kalkun (Amerika Utara), unggas air (Amerika Utara, Eropa, Asia), dan

sejumlah spesies burung yang hidup bebas di seluruh dunia. L caulleryi dapat sangat

patogen, menyebabkan penyakit hemoragik mematikan pada ayam di Asia tenggara. L

Simondi menyebabkan kematian pada itik dan angsa. Banyak Leucocytozoon sp

Page 94: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

89

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

menginfeksi burung liar. Gejala klinis dan dan kematian disebabkan oleh anemia yang

disebabkan oleh faktor-faktor antierythrocytic yang diproduksi oleh parasit, tingginya

jumlah gametosit besar yang menghalangi kapiler paru, atau parasit menyerang

endotelium pembuluh dalam jaringan (otak, jantung, dll) di mana mereka membentuk

megaloschizonts yang menutup pembuluh darah dan mengakibatkan nekrosis

multifokal. Penyakit akut terlihat lebih sering pada unggas muda dengan parasitemia

tinggi dan populasi vektor sangat tinggi pada peralihan musim. Penyakit subakut atau

kronis terlihat pada unggas yang lebih tua di setiap musim; parasitemia biasanya

rendah. burung dapat sembuh akan tetapi berfungsi sebagai reservoir untuk unggas

muda dan unggas yang rentan (Wettere, 2016).

Serangan Leucocytozoon sp. dapat terjadi tanpa disertai gejala klinis maupun disertai

gejala klinis. Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah feses berwarna hijau, depresi,

hilang nafsu makan, muntah darah dan kelumpuhan yang diikuti dengan kematian.

Sedangkan serangan penyakit ini yang tidak menunjukkan gejala klinis ditandai dengan

adanya penurunan produksi telur dan penurunan berat badan. Merupakan suatu

kontradiksi dimana produksi unggas berkembang pesat, namun di sisi lain informasi

yang akurat tentang prevalensi parasit ini masih jarang dilaporkan. Oleh karena itu,

informasi yang memadai tentang prevalensi parasit ini, program pengendalian dan

praktek manajemen sangat penting, karena informasi tersebut dapat berguna bagi

peternak unggas komersial dan lokal, juga bagi pemegang kebijakan dalam

pengendalian penyakit khususnya penyakit unggas.

II. MATERI DAN METODE

MateriSampel ulas darah tipis, glass slide, methanol, giemsa

a) SampelSampel yang diperlukan untuk uji parasit darah pada ayam adalah darah/ulas

darah.

b) Bahan Uji dan bahan pengambilan sampel:Methanol, Giemza, glass slide, jarum/spuite

Page 95: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

90

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

c) Alat Uji dan pengambilan sampel:Spuite, glass slide, minyak emersi, mikroskop

MetodeLokasi sampling di Provinsi Bali adalah di seluruh kabupaten/kota se-Bali. Untuk

Provinsi NTB, dan NTT sampling dilakukan di beberapa kabupaten karena

keterbatasan anggaran. Pada tingkat peternak, semua unggas memiliki peluang yang

sama untuk dipilih sebagai sampel karena tidak ada pemilihan sampel berdasarkan

umur, jenis kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.

Metode pengambilan sampel darah dan pembuatan ulas darah.Darah diambil melalui vena brachialis menggunakan spuite. Ulas darah dibuat dengan

cara meneteskan setetes darah diujung glass slide. Dengan menggunakan ujung glass

slide lainnya, sentuh tetes darah tersebut kemudian dorong kedepan dengan sudut

kemiringan kira kira 30-40 derajat. Ulas darah yang dibuat diberi kode dengan pensil,

selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 3-5 menit dan dikeringkan. Apabila tidak

dimungkinkan dilakukan di lapangan, fiksasi masih dapat dilakukan di laboratorium.

Disamping pengambilan darah dan ulas darah juga dilakukan wawancara untuk

mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya

Metode Pengujian/pemeriksaan laboratorisIdentifikasi agen parasit darah dilakukan secara mikroskopik dengan teknik pewarnaan

Giemsa. Sampel ulas darah yang sudah difiksasi, kemudian dikeringkan dan diwarnai

dengan larutan giemsa 10 % selama 30-45 menit. Ulas darah diperiksa di bawah

mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Dengan pembesaran tersebut sudah dapat

dilihat morfologi parasit darah.

III. HASIL

Sebanyak 165 sampel ulas darah berhasil diambil dan diuji, 6 (3.64 %)

diantaranya positif parasit darah (Tabel 1). Hanya satu jenis parasit darah yang

ditemukan dalam studi ini yaitu Leucocytozoonon sp. Dari 165 unggas yang

disampling, hanya 3 ekor (1.8 %) merupakan ternak itik, sedangkan sisanya

merupakan ternak ayam. Leucocytozoon sp ditemukan di Provinsi NTB (16.67

%) dan di Provinsi Bali (1.05%) semuanya pada ayam, sedangkan di Provinsi

Page 96: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

91

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

NTT dari 40 sampel ulas darah yang diuji, semuanya negative parasit darah.

Jumlah sampel yang diambil dan hasil ujinya per kabupaten di masing-masing

provinsi dapat dilihat pada Tabel 2, 3 dan 4.

Tabel 1. Proporsi Leucocytozoonosis pada unggas di Provinsi Bali, NTBdan NTT Tahun 2016

LeucocytozoonosisProvinsi Negatif Positif Total Proporsi (%)Bali 94 1 95 1.05NTB 25 5 30 16.67NTT 30 0 40 0.00

Total 149 6 165 3.64

Tabel 2. Proporsi Leucocytozoonosis pada unggas di Provinsi BaliTahun 2016

LeucocytozoonosisProvinsi Kabupaten Negatif Positif Total Proporsi (%)

Bali Badung 10 0 10 0.00Bangli 5 0 5 0.00Buleleng 5 0 5 0.00Denpasar 15 0 15 0.00Gianyar 4 1 5 20.00Jembrana 15 0 15 0.00Karang Asem 15 0 15 0.00Klungkung 10 0 10 0.00Tabanan 15 0 15 0.00Bali total 94 1 95 1.05

Tabel 3. Proporsi Leucocytozoonosis pada unggas di Provinsi NTBTahun 2016

LeucocytozoonosisProvinsi Kabupaten Negatif Positif Total Proporsi (%)

NTB Bima 10 0 10 0.00Kota Bima 10 0 10 0.00Mataram 5 5 10 50.00NTB Total 25 5 30 16.67

Page 97: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

92

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Proporsi Leucocytozoonosis pada unggas di Provinsi NTTTahun 2016

LeucocytozoonosisProvinsi Kabupaten Negatif Positif Total Proporsi (%)

NTT Belu 10 0 10 0.00Kota

Kupang 10 0 10 0.00Manggarai

Barat 20 0 20 0.00NTT Total 30 0 40 0.00

Seperti terlihat pada Tabel 2 dan 3, Leucocytozoonosis ditemukan di KabupatenGianyar, Provinsi Bali pada 1 sampel (20 %) dari 5 sampel ulas darah yang diujidan di Kota Mataram, Provinsi NTB ditemukan pada 5 sampel (50 %) dari 10sampel yang diuji. Leucocytozoonosis ditemukan baik pada ayam jantanmaupun betina pada ayam umur 2 bulan dan 6 bulan. Data secara rinci dapatdilihat pada Tabel 5, sedangkan pada Gambar 1 dapat dilihat bentuk gametositLeucocytozoon sabrazesi pada salah satu sampel ulas darah ayam yangdiperiksa.

Tabel. 5 Data Unggas yang positif Leucocytozoonosis

No Provinsi Kab./Kota Kec Desa Hewan Sex Umur1 Bali Gianyar Gianyar Gianyar Ayam jantan 6 bulan

2 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan

3 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan

4 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas betina 2 bulan

5 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas jantan 2 bulan

6 NTB Mataram Cakranegara Cakra BaratAyamburas jantan 2 bulan

Page 98: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

93

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Gambar 1. Gametosit dari Leucocytozoon sabrazesi pada sampel ulasdarah unggas yang diwarnai giemsa (koleksi Lab.Parasitologi, BBVet Denpasar)

IV. PEMBAHASAN

Seperti terlihat pada Tabel 1, parasit darah yang ditemukan pada studi ini hanya

Leucocutozoon yang ditemukan pad unggas di Provinsi Bali dan NTB.

Leucocytozoonosis ditularkan oleh lalat hitam (Simulium sp.) dan Culicoides sp.

Kedua serangga tersebut bertindak sebagai vektor dan menginfeksi unggas

sehat melalui gigitan. Serangga lalat hitam tersebut biasanya hidup pada air

yang mengalir dan menggigit pada siang hari, sedangkan Culicoides sp. hidup

pada air yang menggenang, pada kotoran ayam yang becek dan cenderung

menggigit pada malam hari. Leucocytozoonosis umumnya terjadi pada musim

pancaroba, yaitu pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau atau

sebaliknya karena populasi nyamuk atau serangga cenderung meningkat pada

kondisi tersebut. Di Indonesia, kejadian leucocytozoonosis dilaporkan terjadi

pada Tahun 2007 yaitu di beberapa area peternakan di Jawa Timur, Jawa

Tengah dan Kalimantan Selatan. Pada Tahun 2009-2010

kasus Leucocytozoonosis masih sering ditemukan di beberapa wilayah Jawa

Tengah dan Jawa Timur (Anonimous, 2010).

Page 99: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

94

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hasil studi ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan hasil studi yang

dilakukan pada ayam di Uganda dan Cameroon yaitu 18,3 % (Ravinder, 2006).

Hasil studi ini juga berbeda dengan studi yang dilakukan pada ayam lokal yang

dipotong di pasar Maiduguri Nigeria dimana prevalensinya sebesar 17,0 % dan

jenis parasit yang ditemukan adalah Haemoproteus sp dan Plasmodium sp.

(Lawal et al, 2016). Swai, et al (2010) menemukan hanya Aegyptiella pullorum

pada ayam di Northern Tanzania dengan prevalensi 15,3 %. Pada ayam di

Bangladesh, Nath et al. (2014) melaporkan infestasi Leucocytozoon sp pada

ayam yang ditelitinya sebesar 12 %.

Hasil studi ini membuktikan bahwa infestasi parasit darah terjadi pada unggas di

Bali dan NTB yang walaupun dengan proporsi yang relatif kecil namun tetap

perlu diwaspadai dan dicegah penularannya. Mengendalikan populasi serangga

Simulium sp. dan Culicoides sp dengan cara menjaga kebersihan kandang dan

lingkungan merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit ini.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan1. Parasit darah yang menginfestasi unggas di Provinsi Bali, NTB dan NTT

Tahun 2016 adalah Leucocytozoonon dengan proporsi sebesar 3,64 %.

2. Leucocytozoon hanya ditemukan pada unggas di Provinsi Bali (1,05%) dan di

Provinsi NTB (16,67 %).

5. 2 SaranPencegahan dan pengendalian parasit darah /Leucocytozoonosis dapat

dilakukan dengan pengendalian populasi serangga yang bertindak sebagai

vektor dengan cara menjaga kebersihan kandang dan lingkungan.

Page 100: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

95

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, (2010). Waspada Outbreak Leucocytozoonosis. http://medion.id/index.php/artikel/layer/penyakit/waspada-outbreak-leucocytozoonosis

Wettere, A.V.(2016). Overview of Bloodborne Organisms in Poultry. Merck Veterinary Manual.Merck Sharp & Dohme Corp., a subsidiary of Merck & Co., Inc., Kenilworth, NJ, USA.

Lawal, J. R. ; A. M. Bello1 , S. Y. Balami2 , J. Dauda3 , K. D. Malgwi2 , K. U. Ezema2 , M.Kasim1 and A. A. Biu (2016). Prevalence of Haemoparasites in village chickens (Gallusgallus domesticus) slaughtered at poultry markets in Maiduguri, Northeastern Nigeria.Journal of Animal Science and Veterinary Medicine Volume 1. Page 39-45. Published27th August, 2016.

M. N. Opara1*, D. K. Osowa2, J. A. Maxwell3 (2014). Blood and Gastrointestinal Parasites ofChickens and Turkeys Reared in the Tropical Rainforest Zone of Southeastern Nigeria.Open Journal of Veterinary Medicine, 2014, 4, 308-313.http://www.scirp.org/journal/ojvm.

Nath, T.C , M.J.U. Bhuiyan and M.S. Alam (2014). A study on the presence of leucocytozoonosisin pigeon and chicken of hilly districts of Bangladesh. Issues in Biological Sciences andPharmaceutical Research Vol.2 (2), pp. 013-018, February 2014.

Ravinder N. M. Sehgal, Gediminas Valkiu¯ nas*, Tatjana A. Iezhova*, and Thomas B. Smith(2006). Blood Parasites Of Chickens In Uganda And Cameroon With MolecularDescriptions Of Leucocytozoon Schoutedeni And Trypanosoma Gallinarum. The JournalOf Parasitology, Vol. 92, No. 6, December 2006.

Swai, E.S, M Kessy, P Sanka, S Bwanga and J E Kaaya (2010). A survey on ectoparasites andheamoparasites of free-range indigenous chickens of Northern Tanzania.Livestock Research for Rural Development 22 (9) 2010

Page 101: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

96

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA/TRYPANOSOMIASISDAN PARASIT DARAH LAINNYA PADA TERNAK DI PROVINSI BALI,

NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARATIMUR TAHUN 2016

Ni Made Arsani, Ni Ketut Harmini Saraswati, IGM Sutawijaya, Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans dan monitoring penyakit Surra/Trypanosomiasis dan parasit darah lainnya telahdilakukan di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur ( NTT) dalambulan Februari sampai dengan Desember 2016. Sebanyak 2.373 sampel ulas darah berhasildiambil, masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 568 sampel, dari NTB 1.055 sampeldan dari NTT sebanyak 750 sampel. Seluruh sampel diuji dengan teknik pewarnaan giemsa danmikroskopik. Dari seluruh sampel yang diuji, 12 sampel (0,51%) diantaranya positif Trypanosomasp. dan 10 sampel (0,42%) positif Theileria sp. Prevalensi Trypanosomiasis tertinggi di ProvinsiNTB yaitu 0,85%, diikuti oleh Provinsi Bali 0,53 % dan NTT 0,00 %, sedangkan Theileria sp.tertinggi di Provinsi NTT yaitu 0,80 %, diikuti Bali 0,70 % dan NTB 0,00 %. Trypanosoma spmasing-masing ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali (0,87 %), Kabupate Dompu(0,52 %), Bima (1,32 %) dan Sumbawa, NTB (5,81 %), sedangkan Theileria sp ditemukan diKabupaten Jembrana, Provinsi Bali (1,16 %), Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU),NTT (masing-masing 25,00 % dan 3,57 %).

Kata kunci: Surra, Trypanosomiasis, parasit darah, pewarnaan giemsa, Bali, NTB, NTT

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit hewan menular strategis yang masih menjadi masalah di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar adalah penyakit

Surra/Trypanosomiasis. Trypanosoma merupakan salah satu dari beberapa

parasit darah yang umum menyerang ternak besar. Parasit darah lainnya

antara lain adalah Theileria, Babesia dan Anaplasma. Di Provinsi Bali dan NTB,

parasit Trypanosoma ini ditemukan di beberapa lokasi peternakan namun

belum pernah dilaporkan terjadi wabah. Di Provinsi Bali, pada Tahun 2014, 4

sampel (0,55%) dinyatakan positif trypanosomiasis dari 728 sampel yang diuji.

Page 102: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

97

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Berbeda dengan di Provinsi NTT, penyakit surra ini pernah menimbulkan wabah

kematian ternak kuda, sapi dan kerbau pada Tahun 2010 dengan case fatality

rate pada saat wabah mencapai 50,6% pada kerbau dan 41,2 % pada kuda di

Kabupaten Sumba Barat Daya. Sementara itu, di Kabupaten Sumba Barat case

fatality rate-nya mencapai 39,3% pada kerbau dan 49,2% pada kuda. Kasus

terus berlanjut sampai tahun 2012, dan menyebar ke seluruh kabupaten di

pulau Sumba. Setelah dilakukan tindakan pengendalian melalui pengobatan

pada ternak sakit dan pengendalian lalat sebagai vector mekanik serta

pembatasan lalu lintas ternak, jumlah kematian cenderung menurun. Pada

Tahun 2013, hasil surveilans BBVet Denpasar menunjukkan pevalensi Surra di

Pulau Sumba rata-rata 0,42 %. Bahkan pada Tahun 2014, surveilans BBVet

Denpasar menunjukkan hasil yang negative pada seluruh sampel (369 sampel)

yang diuji yang berasal dari Pulau Sumba. Hasil positif trypanosomiasis

ditemukan pada sampel yang berasal dari Kabupaten Belu. Hal ini menunjukkan

bahwa surra/trypanosomiasis masih terjadi secara sporadik di beberapa wilayah

kerja BBVet Denpasar. Pada Tahun 2015, 1 sampel positif (0.6%) dari 170

sampel yang diuji ditemukan di Kabupaten Sumba Barat Daya (Mastra et al.,

2015)

Sehubungan dengan hal tersebut maka kegiatan surveilans tetap perlu

dilakukan untuk mengetahui situasi dan distribusi surra/trypanosomiasis terkini

agar dapat segera diambil tindakan apabila ditemukan hasil positif.

1.2. Rumusan Masalah1.2.1. Penyakit Surra/Trypanosomiasis diduga masih terjadi di beberapa wilayah

di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Secara ekonomi penyakit ini sangat

merugikan peternak karena dapat menurunkan produktivitas, dan bahkan

dapat menimbulkkan kematian. Disamping itu juga menjadi penghambat

dalam perdagangan ternak bibit.

1.2.2. Ketersediaan data situasi dan distribusi penyakit Surra /trypanosomiasis

di Provinsi Bali, NTB dan NTT perlu terus diupdate sehingga penanganan

penyakit dapat dilakukan secara dini.

Page 103: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

98

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.3 Tujuan1.3.1. Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit Surra

/Trypanosomiasis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2016

1.3.2. Hasil surveilans dimaksudkan untuk memberikan gambaran pemetaan

penyakit tersebut kepada pengambil kebijakan agar dapat diambil

langkah langkah pencegahan dan pengendalian yang efektif sehingga

tingkat kematian ternak dapat ditekan dan produktrivitas ternak dapat

ditingkatkan.

1.4. Output1.4.1. Tersedianya informasi tentang situasi dan distribusi penyakit Surra

/Trypanosomiasis berdasarkan lokasi, karakteristik hewan dan lingkungan

sehingga upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan dapat

lebih dini dan lebih terarah.

1.4.2. Dengan penanganan yang cepat maka peluang terbebasnya ternak dari

penyakit Surra /Trypanosomiasis akan lebih besar. Dengan demikian

diharapkan terjadi penurunan kematian dan peningkatan produktivitas

dan reproduktivitas pada ternak serta tidak adanya hambatan dalam

perdagangan ternak bibit karena bebas dari penyakit Surra. Hal ini akan

berdampak positif pada pendapatan peternak sehingga diharapkan

peternak akan menjadi bertambah bergairah untuk beternak. Pada

akhirnya hal ini diharapkan akan menjadi faktor pendukung dalam

program swasembada daging.

II. MATERI DAN METODE 2.1 Materi:a) Sampel

Sampel yang diperlukan untuk uji surra/trypanosomiasis adalah darah/ulas

darah.

Page 104: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

99

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

b) Bahan Uji dan bahan pengambilan sampel:- Methanol 2.5 Ltr,

- Giemza 500ml,

- Alkohol 70% dan kapas

- Vitamin komplek

c) Alat Uji dan pengambilan sampel:

- Tube venojek dengan EDTA 10 ml,

- glass slide

- cover glass

- jarum

- handle venojek

- kapas

- alat pelindung diri (PPE)

- mikroskop

2.2 Metode2.2.1. Metode surveilansKegiatan surveilans dilakukan untuk mengetahui prevalensi penyakit

surra/trypanosomiasis, menggunakan survey representative yaitu suatu teknik

mengambil sampel dari sebagian populasi yang mewakili populasi sasaran yang

lebih luas untuk mengumpulkan informasi khusus mengenai keseluruhan

informasi tersebut (Anon., 2014)

1) Penentuan sampel sizeKarena surveilans bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi penyakit,

maka sampel size dihitung dengan menggunakan rumus:

n = 4 pq/L2Keterangan:

n = jumlah sampel

p = asumsi prevalensi

q = 1 – p

L = galat

Page 105: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

100

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Apabila asumsi prevalensi yang digunakan = 1 %, dan galat yang dinginkan

0,05, maka sampel yang diambil :

n = (4x0,01 x0,99)/0,052 = 15,84 dibulatkan menjadi 16

Karena metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling,

maka untuk meningkatkan precisi nilai n dapat dikalikan 3 – 5 kali (Martin et al,

1987). Pada kegiatan surveilans ini, n dikalikan 5 kali sehingga jumlah sampel

yang diambil di adalah 80. Penghitungan dengan rumus tersebut dilakukan

untuk di masing-masing provinsi. Untuk penyakit Surra, asumsi prevalensi yang

digunakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT sama, yaitu 1 %. Dengan demikian

maka jumlah sampel yang diambil di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masing

adalah 80 sampel. Semakin meningkat jumlah sampel, presisinya akan

bertambah baik.

2) Populasi TargetKegiatan surveilans dilaksanakan Bulan Februari sampai dengan Desember

2016 dengan populasi target yaitu ternak sapi, kerbau dan kuda di Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

3) Penentuan lokasi samplingLokasi sampling di Provinsi Bali, NTB dan NTT adalah di seluruh

kabupaten/kota se-Bali, NTB dan NTT. Dalam pelaksanaan surveilans,

pengambilan sampel untuk pengujian Surra/Trypanosomiasis dilakukan

secara terpadu dengan kegiatan surveilans parasit gastrointestinal atau

penyakit lainnya.

Pada tingkat peternak, semua sapi, kerbau dan kuda memiliki peluang yang

sama untuk dipilih sebagai sampel karena tidak ada pemilihan sampel

berdasarkan umur, jenis kelamin maupun cara pemeliharaan ternak.

Page 106: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

101

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2.2.2 Metode pengambilan sampel darah dan pembuatan ulas darahDarah diambil melalui vena jugularis menggunakan tabung dengan antikoagulan

(EDTA). Sampel ulas darah dibuat dengan membuat smear darah pada glass

slide darah dari masing-masing hewan.

Cara pembuatan ulas darah: teteskan setetes darah diujung glass slide. Dengan

menggunakan ujung glass slide lainnya, sentuh tetes darah tersebut kemudian

dorong kedepan dengan sudut kemiringan kira kira 30-40 derajat. Ulas darah

yang dibuat diberi kode dengan pensil, selanjutnya difiksasi dengan methanol

selama 3-5 menit dan dikeringkan. Apabila tidak dimungkinkan dilakukan di

lapangan, fiksasi masih dapat dilakukan di laboratorium.

Disamping pengambilan darah dan ulas darah juga dilakukan wawancara untuk

mengetahui identitas hewan dan data pendukung lainnya.

2.2.3. Pemeriksaan LaboratorisIdentifikasi agen penyakit dilakukan secara mikroskopik dengan teknik

pewarnaan Giemsa. Sampel ulas darah yang sudah difiksasi, kemudian

dikeringkan dan diwarnai dengan larutan giemsa 10 % selama 30-45 menit. Ulas

darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Dengan

pembesaran tersebut sudah dapat dilihat morfologi Trypanosoma evansi

dengan ciri yang dimiliki yaitu membrans undulans dan flagellum.

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Agen PenyebabPenyakit Surra / Trypanosomosis merupakan penyakit hewan menular (PHM)

strategis yang telah lama dikenal dan tersebar luas di Indonesia. Penyakit ini

disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Parasit darah ini dapat menyerang

berbagai jenis hewan dengan manifestasi klinis yang bervariasi tergantung

tingkat kepekaan masing – masing jenis hewan. Kuda sangat peka terhadap

infeksi T. evansi, dan penyakit biasanya berlangsung akut, sedangkan kerbau

dan sapi relatif lebih tahan dari serangan penyakit dan umumnya bersifat kronis.

Page 107: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

102

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Namun dalam kondisi tertentu, surra pada ternak sapi dan kerbau dapat pula

bersifat perakut dan mewabah apabila terjadi pada hewan yang mengalami

stress karena dipekerjakan terlampau berat, kondisi iklim dan cuaca yang

buruk, kekurangan pakan dan gizi ( Levine 1973; Soulsby,1982) dan hewan

sebelumnya tidak pernah terpapar atau berada di lingkungan yang sebelumnya

bebas dari agen parasit darah.

3.2. Penularan PenyakitPenularan penyakit Surra terjadi dari hewan sakit ke hewan sehat, baik dari

hewan ternak maupun dari satwa liar. Penularan penyakit secara tidak

langsung yaitu melalui gigitan lalat pengisap darah yang bertindak sebagai

vektor mekanik yang sangat potensial. Kejadian penyakit Surra pada suatu

pulau/wilayah suatu peternakan biasanya terjadi akibat masuknya hewan

penderita stadium awal yang tidak terdeteksi secara klinis dari daerah tertular

ke daerah bebas (Soulsby,1982).

3.3. Sejarah Penyakit di IndonesiaSecara historis, penyakit Surra pernah mewabah dibeberapa daerah di

Indonesia Sejak pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 terjadi

pada seekor kuda di Semarang, kemudian pada tahun 1898 penyakit sura

mewabah di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah menyebabkan kematian

kerbau sebanyak 500 ekor dari 7000 populasi. Dalam tahun 1900-1901 terjadi

wabah sura pada sapi di Karesidenan Pasuruan Jawa Timur. Kemudian

kejadian wabah Surra terulang berturut-turut di Jawa Tengah pada tahun

1968/69, di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Tahun 1971, di Nusa

Tenggara Barat tahun 1974 dan di Madura, Provinsi Jawa Timur Tahun 1988.

Setelah itu, penyakit Surra dilaporkan hanya terjadi berupa letupan kasus secara

sporadis di beberapa daerah di Indonesia.

3.4 Gejala KlinisGejala umum meliputi demam, keluar getah radang dari hidung dan mata,

selaput lendir terlihat menguning, lesu, lemah, nafsu makan berkurang,

anemia, kurus, bulu rontok, busung daerah dagu dan anggota gerak, jalan

Page 108: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

103

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) dan bahkan dapat terjadi

kematian. Di beberapa daerah ternak mungkin terkena infeksi tetapi tidak

terlihat adanya gejala.

3.5. Diagnosis di LaboratoriumDiagnosis surra yang cepat pada hewan sangat diperlukan dalam upaya

penanganan hewan tersangka . Di negara-negara maju metode diagnosis telah

dikembangkan dengan baik sehingga sangat membantu upaya penanggulangan

dan pencegahan surra di negara tersebut. Namun, di negara-negara

berkembang, pengembangan metode diagnosis masih dihadapkan pada

berbagai kendala seperti terbatasnya fasilitas dan sumber daya yang ada. Uji

cepat Surra biasanya dilakukan dengan membuat sediaan ulas darah dari

hewan tersangka di atas gelas obyek dan pewarnaan Giemza untuk

menemukan Trypanosoma evansi secara mikroskopis. Untuk melacak antibodi T

evansi dalam darah ternak terinfeksi dapat dilakukan uji serologis (ELISA) pada

sampel serum darah hewan yang tersangka surra. Berdasarkan petunjuk dari

OIE (2010), untuk lebih memastikan diagnosis dapat dilakukan isolasi, dengan

melakukan pemeriksaan darah menggunakan teknik mikrohematocrit

(Microhaematocrite Centrifugation Technique).

IV. HASIL

Pada Tahun 2016, telah berhasil diambil dan diuji 2. 373 sampel ulas darah

yang masing-masing berasal dari Provinsi Bali sebanyak 568 sampel, dari NTB

1.055 sampel dan dari NTT sebanyak 750 sampel. Dari seluruh sampel yang

diuji, 12 (0.51%) diantaranya positif Trypanosoma sp. Disamping Trypanosoma,

ditemukan juga parasit darah lainnya yaitu Theileria sp sebanyak 6 (0.42%).

Prevalensi Trypanosomiasis tertinggi di Provinsi NTB yaitu 0,85%, diikuti oleh

Provinsi Bali 0,53 % dan NTT 0,00 %, sedangkan Theileria sp. tertinggi di

Provinsi NTT yaitu 0,80 %, diikuti Bali 0,70 % dan NTB 0,00 %.

Page 109: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

104

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 1. Hasil Uji Trypanosomiasis dan Theileriosis pada Hewandi Provinsi Bali, NTB dan NTT

Trypanosoma sp Theileria spProvinsi

Positif Total Prevalensi Positif TotalPrevalensi

(%) Bali 3 568 0.53 4 568 0.70NTB 9 1055 0.85 0 1055 0.00 NTT 0 750 0 6 750 0.8Total 12 2373 0.51 10 2373 0.42

Sampel berasal dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali, sedangkan dari

Provinsi NTB sampel berasal dari sembilan kabupaten/kota, dan dari NTT

berasal dari 19 kabupaten/kota.

Tabel 2. Hasil Uji Trypanosomiasis dan Theileriosis pada Hewandi Provinsi Bali

Trypanosoma sp Theileria spProv Kabupten

Positif Total Prevalensi Positif Total PrevalensiBali Badung 0 10 0 0 10 0.00

Bangli 0 10 0 0 10 0.00Buleleng 0 20 0 0 20 0.00Denpasar 0 115 0 0 115 0.00Gianyar 0 10 0 0 10 0.00Jembrana 3 344 0.87 4 344 1.16Karang Asem 0 10 0 0 10 0.00Klungkung 0 10 0 0 10 0.00Tabanan 0 39 0 0 39 0.00

Total Bali 3 568 0.53 4 568 0.70

Page 110: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

105

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 3. Hasil Uji Trypanosomiasis dan Theileriosis pada Hewandi Provinsi NTB

Trypanosoma sp masing-masing ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi

Bali (0,87 %), Kabupate Dompu (0,52 %), Bima (1,32 %) dan Sumbawa (5,81

%), sedangkan Theileria sp ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali

(1,16 %), Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi NTT

(masing-masing 25,00 % dan 3,57 %). Data sampel dan hasil uji selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3, dan 4, dan identitas hewan yang positif

Trypanosomiasis dapat dilihat pada Tabel 5.

Trypanosoma sp Theileria spProv Kabupten

Positif Total Prevalensi Positif Total PrevalensiNTB Bima 2 151 1.32 0 151 0.00

Dompu 2 388 0.52 0 388 0.00Lombok Barat 0 128 0 0 128 0.00LombokTengah 0 25 0 0 25 0.00Lombok Timur 0 75 0 0 75 0.00Lombok Utara 0 100 0 0 100 0.00Mataram 0 50 0 0 50 0.00Sumbawa 5 86 5.81 0 86 0.00SumbawaBarat 0 52 0 0 52 0.00

Total NTB 9 1055 0.85 0 1055 0.00

Page 111: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

106

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Hasil Uji Trypanosomiasis dan Theileriosis pada Hewandi Provinsi NTT

Trypanosoma sp Theileria spProv Kabupten Positi

fTota

lPrevalen

siPositi

fTota

lPrevalen

siNTT Belu 0 28 0.00 1 28 3.57

Kota Kupang 0 45 0.00 0 45 0.00Kupang 0 58 0.00 0 58 0.00Lembata 0 25 0.00 0 25 0.00Malaka 0 75 0.00 0 75 0.00Manggarai 0 25 0.00 0 25 0.00Manggarai Barat 0 25 0.00 0 25 0.00Manggarai Timur 0 25 0.00 0 25 0.00Nagekeo 0 25 0.00 0 25 0.00Ngada 0 26 0.00 0 26 0.00Rote Ndao 0 25 0.00 0 25 0.00Sikka 0 28 0.00 0 28 0.00Sumba Barat 0 75 0.00 0 75 0.00Sumba BaratDaya 0 50 0.00 0 50 0.00

Sumba Tengah 0 48 0.00 0 48 0.00Sumba Timur 0 100 0.00 0 100 0.00Timor TengahSelatan 0 27 0.00 0 27 0.00

Timor TengahUtara 0 20 0.00 5 20 25.00

Alor 0 20 0.00 0 20 0.00Total NTT 0 750 0.00 6 750 0.80

Page 112: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

107

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Identitas ternak sapi yang positif Trypanosoma sp

No Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa Hewan Sex Umur

1 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina

14tahun

2 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina 8 tahun

3 Bali Jembrana Pekutatan PangyanganSapiBali betina 1 tahun

4 NTB Bima MontaTanggaBaru

SapiBali jantan 4 tahun

5 NTB Bima MontaTanggaBaru

SapiBali jantan 4 tahun

6 NTB Dompu Woja MadaSapiBali betina

1,5tahun

7 NTB Dompu DompuKarijawaUtara

SapiBali betina 2 tahun

8 NTB SumbawaLabuanBadas

KarangDima

SapiBali betina 2 tahun

9 NTB SumbawaLabuanBadas

KarangDima

SapiBali betina 2 tahun

10 NTB SumbawaLabuanBadas

KarangDima

SapiBali betina 3 tahun

11 NTB SumbawaLabuanBadas

KarangDima

SapiBali betina 3 tahun

12 NTB SumbawaLabuanBadas

KarangDima

SapiBali betina 3 tahun

V. PEMBAHASAN

Seperti terlihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4, Trypanosomiasis terjadi secara

sporadis di beberapa wilayah kabupaten di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk

Provinsi Bali, kejadian Trypanosomiasis terjadi di Kabupaten Jembrana

khususnya di wilayah peternakan pembibitan sapi Bali milik BPTUHPT. Tahun

lalu 5 ekor sapi (1,6%) dari 306 sapi terinfestasi Trypanosmiasis, sedangkan

tahun ini sedikit menurun menjadi 0.87%. Ternak yang positif Trypanosomiasis

pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas.

Page 113: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

108

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Di Provinsi NTB, Trypanosomiasis terjadi di Kabupaten Bima, Dompu dan

Sumbawa dengan prevalensi berturut-turut 1.32 %, 0.52 % dan 5.81 %,

sedangkan di Provinsi NTT tidak ditemukan adanya Trypanosomiasi pada

Tahun 2016 ini. Trypanosomiasis yang ditemukan pada umumnya tidak

menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kasus yang terjadi di Kabupaten

Sumbawa menurut laporan kasus ini sudah menyerang beberapa hewan dan

menimbulkan gejala klinis dan kematian. Kasus Trypanosomiasis di Kabupaten

Dompu nampaknya merupakan kejadian pertama kalinya karena sebelumnya

belum pernah ada laporan.

Tidak terjadinya kasus Trypanosomiasis di Provinsi NTT khususnya di Pulau

Sumba pada Tahun 2016 ini menunjukkan adanya keberhasilan pemerintah

dan masyarakat setempat dalam mengendalikan penyakit ini. Seperti diketahui

bahwa pada Tahun 2010 sampai dengan 2012 wabah Trypanosomiasis/Surra

sempat terjadi di Pulau Sumba, dan pada tahun berikutnya kasus masih sering

terjadi secara sporadis.

Kejadian Trypanosmoiasis dan parasit darah lainnya seperti Theileriosis tidak

terlepas dari keberadaan vektor lalat sebagai vektor mekanik. Oleh sebab itu,

untuk mencegah terjangkitnya penyakit ini, menjaga kebersihan kandang dan

mengendalikan vektor merupakan langkah yang perlu dilakukan oleh peternak.

Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk

meminimalisasi penyebaran penyakit.

VI. KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan1. Pada kegiatan surveilans Trypanosoma/Surra dan parasit darah lainnya di

Provinsi Bali, NTB dan NTT ditemukan adanya Trypanosoma sp dengan

prevalensi sebesar 0.51%.

2. Selain Trypanosoma, juga ditemukan parasit darah Theileria sp dengan

prevalensi 0.42 %.

Page 114: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

109

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

6.2 Saran1. Pencegahan dan pengendalian penyakit Surra/Trypanosomiasis perlu terus

2. dilakukan salah satunya dengan cara pengendalian lalat sebagai vektor

mekanik yang berperan dalam penyebaran penyakit.

3. Pengawasan lalu-lintas ternak juga perlu mendapat perhatian untuk

mengurangi risiko penularan penyakit dari suatu wilayah tertular ke wilayah

lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami ucapkan kepada Kepala BBVet Denpasar atas dukungan

dana dan kebijakannya dalam pelaksanaan surveilans dan kepada semua pihak

yang telah membantu dalam proses surveilans. Ucapan terima-kasih juga kami

sampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan/yang menangani fungsi

peternakan beserta jajarannya di seluruh Provinsi Bali, NTB dan NTT atas

kerjasamanya yang baik sehingga kegiatan surveilans dapat berjalan dengan

lancar.

Page 115: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

110

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Davidson,H.C, M.V. Thrusfield, S. Muharsini, A. Husein, S. Partoutomo, P.F Rae R.\Masake and A.G. Luckins, 1999. Evaluation of antigen detection and antibodydetection tests for Trypanosome evansi of buffaloes in Indonesia, EpidemiolInfect. 149-155, Cambridge, UK

Luckins, AG, 1983. Development Serological Assay for Studies of Trypanosomiasis ofLivestock in Indonesia. Bakitwan Project report, RIVS,Bogor.

Martin, W., Meck, A.H., Willeberg, P., 1987. Principles and Methods VeterinaryEpidemiology, IOWA State University Press/ames.USA.

Mastra, I.K., Arsani, N.M., Nurlatifah, I., Yunanto, Sutawijaya, IGM, 2015. Surveilansdan Monitoring Penyakit Surra (Trypanosomiasis) di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2015. Balai Besar VeterinerDenpasar.

OIE (2010). Chapter 2.1.17. Trypanosoma Evansi Infection (Surra). OIE TerrestrialManual 2010

Soulsby,E,J,l ,.1982. Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated Animals,Bailliere Tindal,London

Page 116: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

126

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016

I. K. E. Supartika, dan I. G. A. J. Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Rabies masih endemis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Untuk itu kegiatansurveilans Rabies secara berkelanjutan masih perlu dilakukan yang bertujuan: untuk mendeteksikeberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait dengan upayapembebasan rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabies padaanjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies pada anjing-anjing di wilayah Pulau Flores dan sekitarnya terkait kegiatan pengendalian rabies di ProvinsiNTT.

Surveilans penyakit rabies pada anjing khususnya dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang berisiko menularkan penyakit rabies. Sampel diperiksadengan metode uji Flourescent Antibody Test (FAT).

Pada tahun 2016 jumlah sampel otak hewan yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 2.066 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak hewan yang diperiksa sebanyak1.480 sampel, 206/1.480(13,92%) sampel diantaranya positif rabies. Kasus positif rabies berasaldari anjing 205/206 (99,51%) sampel dan kucing 1/206(0,49%) sampel. Rata-rata jumlah kasuspositif rabies perbulan ada sebanyak 17 kasus. Jumlah ini menurun tajam dibandingkan dengantahun 2015 ada sebanyak 44 kasus, per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan diKabupaten Buleleng sebanyak 41 kasus, disebabkan oleh anjing yang belum divaksin.

Jumlah sampel otak anjing yang berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NTB sebanyak 417sampel, tidak ada positif rabies. Sedangkan sampel otak hewan dari kabupaten/kota di PulauFlores dan Lembata, Provinsi NTT diperiksa sebanyak 169 sampel, 45/169 (26,63%) sampelpositif rabies. Kasus positif rabies berasal dari anjing 44/45(97,78%) sampel dan kambing1/45(2,22%) sampel.

Hasil surveilens ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali danpulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT. Program vaksinasi masal, kerjasama antar instansipemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakat masih perluditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol terhadap lalu lintashewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di Provinsi NTT masih sangatdiperlukan.

Kata kunci: anjing, hewan, otak, rabies, surveilans

Page 117: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

127

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja

BBV Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara

Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak

tahun 1997, sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir

tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies

masih sering ditemukan dan ada kecendrungan terjadi peningkatan kasus.

Di Provinsi Bali sejak dilakukannya vaksinasi massal secara serentak , kasus

Rabies menurun secara drastis. Tahun 2008 jumlah kasus positif sebanyak

17,31%, tahun 2009 (25,17%), tahun 2010 (10,87%) tahun 2011 (13,29%),

tahun 2012(14,83%). Pada tahun 2013 dari 992 sampel yang diperiksa, 41/992

(4,13%) positif Rabies dengan jumlah kasus rabies per bulan sebanyak 3,42

kasus. Kasus rabies paling banyak di temukan di Kabupaten Bangli (12) kasus.

Namun, tahun 2014 jumlah kasus meningkat secara drastis. Dari 1.258 sampel

otak anjing yang diperiksa ditemukan sebanyak 126/1.258(10,02%) positif

rabies. Rata-rata jumlah kasus perbulan sebanyak 10,5 kasus. Kasus rabies

lebih banyak terjadi di Kabupaten Karangasem (25) kasus dan kebanyakan

terjadi pada anjing-anjing yang belum pernah divaksin rabies (Supartika dkk,

2014).

Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies) namun

berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies yaitu

Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT. Hasil surveilans Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun 2014, dari 452 sampel otak anjing dari NTB yang diperiksa

semuanya negatif rabies. Di NTT, khususnya Pulau Flores dan Lembata,

penyakit rabies cenderung bersifat endemis. Pada tahun 2013 dari 20 sampel

otak anjing yang diperiksa, 7/20(35,00%) positif rabies, sedangkan tahun 2014

Page 118: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

128

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

terjadi penurunan jumlah kasus, dari 77 sampel otak anjing yang diperiksa,

24/77(31,17%) positif rabies

Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari

Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah

merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah

daerah dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan mempertahankan

wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies. Untuk itu pada tahun

2016, BBVet Denpasar akan melakukan surveilans virologis rabies di Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

1.2. Rumusan Masalah.a. Ada kecendrungan peningkatan kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2016.

b. NTB merupakan daerah berisiko tinggi tertular rabies, terutama di wilayah

yang berbatasan dengan Pulau Flores dan Bali seperti: Sape, Lembar dan

pelabuhan tidak resmi yang ada di pantai wilayah NTB.

c. Rabies di Pulau Flores dan Lembata, Provinsi NTT masih bersifat endemis.

1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan

tujuan sebagai berikut :

a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,

terkait dengan upaya pembebasan Rabies di Provinsi Bali

b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada

anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap

bebas Rabies

c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan

penanggulangan rabies (early detection, early report, early response) di

wilayah Provinsi NTT.

Page 119: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

129

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.4. Manfaat Kegiatana. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing di Provinsi Bali

b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies pada

anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap

bebas Rabies

c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di Pulau Flores.

1.5. Keluaran/Output.Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit Rabies adalah

tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing di

Provinsi Bali, NTB dan NTT.

1.6. Analisa Risiko Penyakit.Analisa risiko penularan penyakit rabies di Provinsi Bali, NTB dan NTT meliputi

:

1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification),

2. Penilaian Risiko (Risk Assessment),

3. Penilaian Konsekuensi (Consequence Assessment) maka kegiatan

surveilans dan monitoring penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar tahun anggaran 2016 dapat dirumuskan seperti pada

Tabel 1, 2, 3 dan 4.

Page 120: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

130

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 1. Analisa Risiko Rabies di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2016.

Lokasi IdentifikasiBahaya

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

Seluruh Kab/ Kotadi Provinsi Bali

1. Data kasus 20152. Lalulintas HPR3. Populasi4. Sistem pemeliharaan5. Status vaksinasi/

kekebalan kelompok(berdasarkan hasilsurveilans serologi th2014)

1. Sebanyak 516 dari 3.061(16,86%) sampel di diagnosapositif rabies FAT

2. Lalulintas HPR dari satu kedaerah lain sangat sulitdikendalikan.

3. Estimasi populasi anjingmencapai 500.000 ekor

4. Secara umum proporsikepemilikan anjing di Bali adalah95% anjing berpemilik (61%dilepasliarkan dan 34%dikandangkan atau diikat) dan 5%adalah anjing tidak berpemilik

5. Sebanyak 320 dari 677 (47,30%)sampel positif serologi rabies (<70%)

1. Kasus rabies masihcukup tinggi, danpenyakit sedangbersirkulasi dilapangan.

2. Penyebaran penyakitsulit terkendali.

3. Tingginya populasiHPR tingginyacontact rate.

4. Sistem pemeliharaanyang diliarkanmenyulitkanpengawasan danpemberian vaksinasipada HPR.

5. Setengah daripopulasi adalahhewan peka.

Berdasarkanrumusperhitunganjumlah sampel,di wilayah Balitarget sampelminimal 665.

Tabel 2. Analisa Risiko Rabies di Mataram dan Lombok Barat, NTB

Lokasi IdentifikasiRisiko

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

LombokBarat danMataram

1.LalulintasHPR melaluipelabuhanrakyat(nelayantradisional)

2.Budayaberburu

3.Statusvaksinasihewan

4.Sistempemeliharaan

1.Masih banyak nelayan dariluar Pulau Lombokterutama dari daerahendemis rabies yangmembawa anjing dalampelayaran.

2.Budaya berburumeningkatkan risikopenularan rabies melaluigigitan hewan liar (buruan)dan perpindahan hewanke daerah lain.

3.Daerah bebas seperti NTBtidak melakukan vaksinasirabies.

4.Sebagian besarpemeliharaan HPR di wil.Lombok Barat adalahdilepasliarkan

1.HPR dari daerah endemissangat berpotensimenularkan penyakitrabies.

2.Hewan liar (buruan) sangatberpotensi menularkanrabies melalui gigitan, danwilayah perburuan sampaike luar daerah semakinmeningkatkan potensipenyebaran penyakitrabies.

Jumlahsampelsesuaidenganpenghitungan sampelsize makatargetsampel diNTB adalahminimal 420sampel.

Page 121: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

131

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 3. Analisa Risiko Rabies di Pulau Flores, NTT Tahun Anggaran 2016.

Lokasi IdentifikasiBahaya

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

SeluruhKabupaten didaratanFlores

1.Data kasus2015

2.LalulintasHPR

3.Populasi4.Sistem

pemeliharaan5.Status

vaksinasi/kekebalankelompok(berdasarkanhasilsurveilansserologi th2015)

1.Sebanyak 14 dari 99(14,14%) sampel di diagnosapositif rabies FAT

2.Lalulintas HPR dari suatu kedaerah lain sangat sulitdikendalikan.

3.Estimasi populasi anjingmencapai 300.000 ekor

4.Secara umum proporsikepemilikan anjing di Florescukup tinggi dengan sistempemeliharaan dilepasliarkansebagai penjaga rumah/kebun dan berburu.

5. Sebanyak 137 dari 500(27,40%) sampel yang positifserologi rabies (< 70%)

1.Kasus rabies masih cukuptinggi, dan penyakitsedang bersirkulasi dilapangan.

2.Penyebaran penyakit sulitterkendali.

3.Tingginya populasi HPR tingginya contact rate.

4.Sistem pemeliharaan yangdiliarkan menyulitkanpengawasan danpemberian vaksinasi padaHPR.

5.Hampir 70% dari populasiadalah hewan peka.

Sesuaidenganpenghitungan jumlahsampel danestimasipencapaiantargetsampel,makajumlahsampelyangdiambil diFloresadalahsebanyak

350sampel.

Untuk wilayah Provinsi NTT yang masih masuk kategori daerah bebas rabies,

seperti PulauTimor dan Pulau Sumba, juga perlu dilakukan surveilans dan

deteksi penyakit rabies mengingat kedua pulau tersebut berdekatan dengan

daerah tertular dan endemis seperti Flores. Di samping itu, budaya masyarakat

nelayan yang membawa serta anjingnya dalam pelayaran dan disinyalir sering

singgah di wilayah Pulau Sumba dan Pulau Timor, juga menjadi alasan untuk

dilakukannya kegiatan surveilans dan deteksi penyakit di kedua wilayah

tersebut. Kegiatan surveilans deteksi penyakit rabies di Pulau Timor dan Sumba

mempertimbangkan anggaran yang ada.

1.7. Analisa Risiko Kegiatan.

Analisa risiko kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis

di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2016

disajikan pada Tabel 5.

Page 122: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

132

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.8. Analisa Risiko Pengujian.Analisa risiko pengujian sampel kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit

rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016 disajikan pada

Tabel 6.

Tabel 4. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penularan Rabies

Kejadian Status Sistem Kegiatan KriteriaPenyakit Vaksinasi Pemeliharaan Surveilans Lokasi

di lapangan Hewan HPRObservasi dan atau pemeriksaaan pada HPRyang menggigit/klinis, vaksinasi semua HPRdan monitoring hasil vaksinasi

Vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, surveilans serologi/(cakupan ? 70%) deteksi penyakit di wil. yg melalulintaskan HPR,

observasi/pemeriksaan kasus gigitan/klinisTidak vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, observasi/pemerik- Wilayah Bali,(vaksinasi, caku- saan sampel kasus gigitan/klinis, vaksinasi dan terutama

pan < 70%) surveilans dan monitoring penyakit rabies urban area.Pengawasan lalulintas HPR, pemetaan pe- Bali dan Floresnyakit, observasi/pemeriksaan sampel kasus urban, sub- gigitan/klinis, vaksinasi dan monitoring. urban & rural.Pengawasan lalin HPR, vaksinasi dan Bali dan Floresmonitoring post vaksinasi, pengandangan HPR, urban, sub-surveilans deteksi penyakit rabies. urban & rural.

Tidak ada Pemetaan wilayah positif serologi berdasarkan NTB, terutama(Bebas) hasil surveilans, tracing dan deteksi agen berbatasan dg

penyakit dilapangan. Bali & FloresSurveilans serologi dan deteksi penyakit di wil. NTB, terutamabebas terancam (perbatasan langsung dengan berbatasan dgdaerah tertular, potensi pemasukan HPR ilegal) Bali & Flores

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak terkendali

Ada

Kandang/ikat

Lepas/liar

Manajemen ResikoResiko Lalulintas HPR

Rabies Terkendali

Ada

Page 123: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

133

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Analisa Risiko Kegiatan Penyidikan Dan Pengujian Rabies SecaraVirologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan NusaTenggara Timur Tahun 2016

No Risiko Solusi

1Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenai

lokasi di mana jumlah sampel diperkirakan tersediasecara memadai

2Masyarakat belum paham tentangrisiko Rabies

Menyarankn kepada dinas/instansi terkait untuklebih proaktif mensosialisasikan tentang bahayapenyakit rabies bagi kesehatan masyarakat

3Lokasi pengambilan sampel tidaksesuai dengan yang dijadwalkan

Koordinasikan dengan dinas/instansi terkait tentanglokasi kegiatan yang pasti jauh-jauh hari sebelumkeberangkatan

4

Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdialokasikan oleh petugas setempat

Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel jauh-jauh harisebelum keberangkatan, sehingga pengambilansampel dapat disesuaikan dengan jadwal kegiatandari dinas/instasni terkait

5

Jadwal transportasi tidak sesuaidengan waktu kegiatan dikarenakantidak ada jadwal penerbangan kelokasi terdekat dengan lokasikegiatan

Koordinasikan dengan dinas/instansi terkaitmengenai perubahan jadwal kegiatan pengambilansampel akibat kendala transportasi

6

Surat pemberitahuan jadwal kegiatansurveilans tidak sampai/lambatditerima oleh dinas/instansi dimanalokasi kegiatan surveilans akanberlangsung

Koordinasi dengan dinas/instasi terkait melaluitelepon atau sms ke petugas berwenang terkaitdengan pengiriman surat pemberitahuan jadwalkegiatan surveilans.

7

Sampel rusak akibat tidaktersedianya sarana penyimpanansampel yang layak (pendingin)

Sampel dapat kita titip pada kantor dinas/instansiatau tempat penginapan di dalam ruang pendingin(kulkas/freezer) selanjutnya dalam perjalananditambahkan es batu atau ice pack untuk menjagasampel tetap dalam keadaan baik sampai dilaboratorium

Page 124: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

134

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 6. Analisa risiko pengujian sampel kegiatan penyidikan danpengujian rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTTtahun 2016.

No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar bahankimia tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman padalaboratorium lainnya di BBVet Denpasar

2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan ensefalitis fatal

pada mammalia, disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga Rabdoviridae

(Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai Besar Veteriner

(BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies, namun sejak

tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya kasus rabies

pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Windiyaningsih

et al., 2004). Selanjutnya rabies dilpaorkan pertama kali di Provinsi Bali pada

akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan,

serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan hewan dalam

masa inkubasi, selanjutnya berperan dalam penyebaran penyakit zoonosis

seperti rabies di daerah baru (Lankau et al., 2013). Kejadian wabah rabies di

Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh masuknya tiga ekor anjing dari

daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung, pulau Buton, Sulawesi Selatan

pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Di Provinsi Bali,

sumber penularan rabies diduga berasal dari masuknya anjing dalam masa

inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra et al., 2009).

Page 125: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

135

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Anjing masih merupakan hewan penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672

kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan

oleh anjing rabies (Supartika et al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari

wilayah tertentu sangat tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans

telah dilaksanakan. Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat

populasi hewan dari dekat untuk menentukan apakah penyakit spesifik

merupakan ancaman sehingga tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya

(Salman, 2013). Surveilans memegang peranan penting dalam memacu

memberikan respon cepat, memonitor dampaknya, sehingga wabah secara

cepat dapat ditindaklanjuti (Townsend et al., 2013).

III. MATERI DAN METODE.

3.1. MateriMateri kegiatan surveilans dan monitoring rabies dilaksanakan dengan

melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut:

Anjing yang mempunyai risiko menularkan rabies (anjing yang tiba-tiba

menggigit orang dan atau hewan lainnya).

Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan

perilaku.

Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh

petugas dinas setempat.

Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan

hidangan dari daging anjing (rumah makan RW).

Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini

menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies

akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk

menghindari lalulintas kendaraan.

Anjing yang berasal dari daerah tertular.

Bahan kimia dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyidikan dan

pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2016 disajikan pada

Tabel 7.

Page 126: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

136

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 7. Bahan dan peralatan habis pakai untuk kegiatan kegiatanpenyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahunanggaran 2016

No Bahan Kimia/Alat Jml SatuanHargaSatuan

Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand 20 box 94.000 1.880.0003 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Sabun antiseptic 12 bh 18.700 224.4005 Alkohol 70% 13 botol 76.000 988.0006 Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak 11 bh 50.000 550.0007 Glove tangan, ukuran L, Sensi 10 box 87.000 870.0008 Aceton p.a, @2,5 lt, Merck 1 botol 890.000 890.6009 Surgical mask 10 box 33.000 330.00010 Konjugit Rabies, antinukleokapsid 5 box 8.250.000 41.250.00011 Paraffin, @1 kg, Leica 1 bks 413.000 413.00012 Straw sampel otak 2000 biji 1.850 3.700.00013 Kreolin 20 botol 55.000 1.100.00014 PBS tablet, Dulbecco Oxoid 12 botol 550.000 6.600.00015 Lampu merkuri FAT 2 buah 4.000.000 8.000.00016 Microtube 2 ml 2 bungkus 792.000 1.584.000

Jumlah 69.849.000

3.2. MetodeSampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi pengawet

gliserin 50% selanjutnya di uji Flourescent Antibody Test . Sampel dibuat

preparat ulas tipis pada objek gelas, diangin-anginkan pada suhu kamar,

selanjutnya di fiksasi dengan aceton dingin selama 30 menit. Preparat ditetesi

dengan konjugit fluorescein isothiocyanate (FITC) (Bio-Rad) diinkubasi dalam

inkubator suhu 37oC selama 30 menit, dibilas dengan PBS, di tutup dengan

cover glass yang berisi gliserin 10%, selanjutnya diperiksa dibawah mikroskup

flourescent.

IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel.Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian

rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar

Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas

Puskeswan yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah dan lokasi

Page 127: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

137

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

pengambilan target sampel otak anjing sebanyak 1.435 sampel berasal dari

kabupaten/kota di wilayah kerja BBVet Denpasar disajikan pada Tabel 8. Untuk

pengambilan sampel otak anjing di provinsi Bali, NTB dan NTT selain dilakukan

oleh Tim BBVet Denpasar, juga melibatkan petugas/dokter hewan Puskeswan

setempat.

4.2. Sumber Pembiayaan.Pembiayaan kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seluruhnya

dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2016 Nomor:

018.06.2.239022/2016 tanggal 14 Nopember 2016 sebesar Rp. 119.100.000,-

(seratus sembilan belas juta seratus ribu rupiah) .

4.3. Waktu dan Lokasi KegiatanKegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB

dan NTT dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2016. Lokasi

pengambilan sampel yaitu:

a. Di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi Bali

b. Provinsi NTB : Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat, Lombok Timur,

Lombok Utara dan Kota Mataram.

c. Provinsi NTT : Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai,

Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, dan Sikka.

Page 128: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

138

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan diBali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan danpengujian rabies secara virologis tahun anggaran 2016.

No Provinsi Kabupaten Jumlah Sampel TotalSampel Keterangan

A Bali BBVet PKH Jml. Kunjungan Sumber Dana

1 Badung 75 0 75 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

2 Bangli75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

3 Buleleng75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

4 Denpasar75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

5 Gianyar75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

6 Jembrana75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

7 Karangasem75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

8 Klungkung75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

9 Tabanan75 0 75

2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

SerologiJumlah 665 0 665

B NTB1 Kab. Bima 50 0 50 1X Terintegrasi dana AI2 Kota Bima 50 0 50 1X Dana PKH3 Lombok Barat 50 0 50 1X Terintegrasi dana PGI4 Lombok Tengah 50 0 50 1X Dana PKH5 Lombok Timur 50 0 50 1X Terintegrasi, dana Rabies Viro6 Lombok Utara 25 0 25 1X

7 Mataram 70 0 70 1X

Jumlah 420 0 420

C NTT1 Alor 25 0 25 1X Terintegrasi, dana rabies Sero2 Ende 30 0 30 1X Terintegrasi, dana rabies Sero

3 Flores Timur 30 0 30 2XTerintegrasi, dana rabies Sero,

Hog Cholera4 Lembata 25 0 25 1X Dana PKH5 Manggarai Timur 45 0 45 2X Terintegrasi, dana rabies Sero, AI6 Manggarai 25 0 25 1X Terintegrasi dana Hog Cholera7 Manggarai barat 25 0 25 1X Dana PKH8 Nagekeo 25 0 25 1X Terintegrasi, dana rabies Viro9 Ngada 45 0 45 1X Terintegrasi dana AI

10 Sikka 75 0 75 1XJumlah 350 0 350Jumlah Sampel Keseluruhan 1.435 0 1.435

Page 129: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

139

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis dilakukan diseluruh

daratan Flores sebagai daerah endemis Rabies. Namun demikian Tim

Surveilans hanya mengunjungi beberapa Kabupaten saja, hal ini dikarenakan

keterbatasan anggaran kegiatan. Sampel-sampel yang merupakan kasus gigitan

dari wilayah yang tidak dikunjungi, akan dikoordinasikan dengan dinas setempat

untuk mengiirimkan sampelnya ke Laboratorium BBVet Denpasar atau

dikirimkan ke kabupaten yang dikunjungi oleh Tim Surveilans, sehingga

meringankan biaya pengiriman dan penanganan sampel bisa lebih terjamin.

Kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara virologis di Bali dilakukan

dengan serveilans tunggal dan terintegrasi. Surveilans tunggal hanya melakukan

pengambilan sampel otak saja, namun karena pelaksanaan kegiatan eliminasi.

terhadap anjing liar (yang tidak divaksinasi) terkadang dilakukan tanpa

dijadwalkan terlebih dulu (tergantung permintaan masyarakat/ terkait kasus

gigitan), maka dilakukan juga pengambilan sampel terintegrasi. Pengambilan

sampel terintegrasi dilakukan pada saat Tim BBVet melakukan surveilans

penyakit lainnya namun tetap melakukan pengambilan sampel otak anjing

apabila di wilayah tersebut ada kegiatan eliminasi maupun terjadi kasus gigtan.

Pelaksanaan kegiatan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Matrik pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian rabiessecara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran2016, Balai Besar Veteriner Denpasar

Bulan keTahapan Kegiatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat

Penentuan lokasipengambilan sampelPenyusunan RencanaAnggaran Biaya KegiatanPelaksanaan pengambilan sampeldan pengujian laboratoriumPengolahan data hasil surveilansdan Pelaporan

Page 130: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

140

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

4.4. RINCIAN ANGGARAN BIAYA (RAB)Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujian rabies secara

virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur TA.

2016 dengan rincian sebagai tercantum dalam Tabel 10.

Tabel 10. Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujianrabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur, Tahun 2016.

No Jenis kegiatan Jml Satuan Harga Satuan(Rp) Total (Rp)

1 Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai 1 Paket 69..850.000,- 69..850.000,-2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Operasional pengambilan sampel oleh PKH Bali 1 Thn 7.300.000,- 6.300.000,-4 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTB 1 Thn 6.300.000,- 5.600.000,-5 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTT 1 Thn 5.600.000,- 6.300.000,-6 Biaya kirim alat/bahan operasional 1 Thn 400.000,- 400.000,-7 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi Bali 24 OH 300.000,- 7.200.000,-8 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTB 2 OP 4.600.000,- 9.200.000,-9 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTT 2 OP 5.300.000,- 10.600000,-10 Pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-11 Blokir 1 Paket 2.000.000,- 2.000.000,-

Jumlah 119.100.000,-

V. HASIL.

Tahun 2016 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk pengujian

penyakit rabies sebanyak 2.066 sampel yang berasal dari berbagai hewan,

masing-masing 1.480 sampel berasal dari Provinsi Bali, 417 sampel dari

Provinsi NTB dan 169 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus rabies

pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2016 menurun tajam dibandingkan

pada tahun 2015 seiring dengan menurunya jumlah kasus positif rabies pada

anjing (Grafik 2). Kasus positif rabies selain menyerang anjing juga telah

menyerang kucing di Kabupaten Karangasem (Grafik 3). Rata-rata jumlah kasus

positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 17 kasus sebagaimana disajikan

pada Grafik 2. Kasus rabies paling banyak ditemukan di kabupaten Buleleng

sebanyak 41 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada

anjing yang belum divaksin 177/205(86,34%) (Grafik 5), pada anjing berpemilik

149/205(72,68%) (Grafik 6), dan kebanyakan terjadi pada anjing berumur antara

1-3 bulan 49/205 (23,90%) (Grafik 7).

Page 131: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

141

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 1.Jumlah sampel yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2016. (N = 2.066 sampel)

Grafik 2. Jumlah kasus rabies per bulan di Provinsi Bali tahun 2016.

Page 132: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

142

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 3. Jumlah kasus positif rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun2016.

Grafik 4.Jumlah kasus rabies di masing-masing Kabupaten/Kota diProvinsi Bali tahun 2016

Page 133: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

143

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 5. Riwayat vaksinasi dari anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun2016

Grafik 6. Setatus kepemilikan anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun2016

Page 134: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

144

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 7. Umur anjing positif rabies di Provinsi Bali tahun 2016

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 417

sampel, kebanyakan berasal dari hasil eliminasi yang dilakukan dinas-dinas

yang menjalankan fungsi peternakan di kabupaten/kota di Provinsi NTB dalam

rangka deteksi dini rabies, agar NTB tetap bebas dari penyakit rabies. Semua

sampel yang diuji negatif rabies (Grafik 8)

Grafik 8. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari kabupaten/kota di NTB tahun 2016. (N= 417sampel)

Page 135: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

145

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Di Provinsi NTT kasus rabies masih ditemukan di berbagai kabupaten/kota di

Pulau Flores dan Lembata . Dari 169 sampel otak anjing yang diperiksa di

BBVet Denpasar 45 sampel positif Rabies (Grafik 9). Selain pada anjing, kasus

positif rabies juga terjadi pada seekor kambing di Larantukan, Kabupaten Folres

Timur (Grafik 10). Anjing yang positif rabies kebanyakan belum divaksin

41/44(93,18%) kasus (Grafik 11) dan berasal dari anjing berpemilik

33/44(75,00%) kasus (Grafik 12). Kasus positif rabies lebih banyak ditemukan

pada anjing berumur antara 1-2 tahun 13/44(29,55%) kasus (Grafik 13).

Grafik 9. Jumlah sampel otak hewan yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, ProvinsiNTT.

Page 136: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

146

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 10. Jenis hewan positif rabies dari kabupaten di Pulau FloresProvinsi NTT, tahun 2016

Grafik 11. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2016

Page 137: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

147

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 12. Status kepemilikan anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, dan Lembata, Provinsi NTT, tahun 2016

Grafik 13. Status umur anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, Provinsi NTT, tahun 2016

Page 138: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

148

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

VI. PEMBAHASAN

Hasil surveilans tahun 2016 menunjukan adanya penurunan jumlah kasus

rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2015. Tahun 2015 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 529 kasus sedangkan di tahun 2016 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 206 kasus. Pada tahun 2015 kasus rabies

tidak hanya ditemukan pada anjing namun juga terjadi pada kucing (6 kasus),

babi (2 kasus) dan sapi (5 kasus). Pada tahun 2016 selain pada anjing, kasus

rabies juga ditemukan pada kucing (1 kasus). Penurunan jumlah kasus rabies

terjadi secara serentak disemua kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hal ini

disebabkan oleh adanya kegiatan vaksinasi masal serentak dan masif tahun ke

tujuh di seluruh kabupaten/kota di Bali yang kegiatannya dimulai pada bulan

April 2016. Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten Buleleng yaitu sebanyak

41 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies lebih banyak terjadi pada anjing yang

belum divaksin 177/205(86,34%) kasus, pada anjing berpemilik

149/205(72,68%) kasus dan kebanyakan terjadi pada anjing berumur antara 1-3

bulan 49/205 (23,90%) kasus. Tingginya populasi anjing di Provinsi Bali yang

diperkirakan 500.000 ekor merupakan tantangan tersendiri dalam rangka

pembebasan Provinsi Bali dari rabies. Sebanyak 61% dari populasi anjing

tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan Siklus beranak dari anjing

sangat cepat mengakibatkan anak-anak anjing yang baru lahir belum mendapat

vaksin rabies pada saat vaksinasi masal sehingga banyak kasus rabies

menginfeksi anjing-anjing umur 1-3 bulan. Kepedulian dan kesadaran

masyarakat yang kurang tentang bahaya rabies mengakibatkan mereka

melepas liarkan anjingnya begitu saja yang sangat berpontesni dalam penularan

virus rabies.. Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan tidaklah

mudah. Elimasi tertarget pada anjing liar dan yang diliarkan oleh pemerintah

juga mendapat penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya

masyarakat melalui media sosial.

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari

sampai dengan Desember 2016 sebanyak 417 sampel, berasal dari 8

kabupaten/kota semua hasilnya negatif rabies (Grafik 6). Provinsi NTB

merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi

Page 139: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

149

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di

sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi

wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya

untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan

tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan

penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu

surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan

pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi

NTB perlu terus ditingkatkan.

Di Provinsi NTT, pada tahun 2016 jumlah kasus rabies meningkat jumlahnya

yaitu sebanyak 45 kasus dibandingkan dengan di tahun 2015 ada sebanyak 14

kasus Kasus tertinggi ditemukan di Kabupaten Ende (20 kasus) (Grafik 9).

Selain anjing, kasus positif rabies juga ditemukan pada satu ekor kambing di

Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Di Pulau Flores penyakit rabies cendrung

bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu juta per ekor. Namun,

pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan dilepasliarkan. Di Bali dan

NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan difungsikan sebagai penjaga

rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Di Bali, anjing biasanya dipakai

sebagai sarana pelengkap upacara keagamaan (mecaru), sedangkan di NTT

anjing biasanya dipotong untuk upacara pesta pernikahan. Umumnya perhatian

mereka terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing dibiarkan berkeliaran mencari

makan sendiri pergi ke tempat-tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat

upacara keagamaan, serta berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat

sulit ditangkap apa lagi divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011)

menyebutkan bahwa anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular

rabies. Jual beli anjing untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara

keagamaan di Bali juga berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan

Flores.

Page 140: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

150

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah

satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya

anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya.

Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga

cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat

tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam

perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat

sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,

peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.

Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup

ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi

sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin

yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa

inkubasi. Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena

cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga

siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum

lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena

anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang

kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana

sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.

Analisa resiko kegiatan.Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di

provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016 sebanyak 1.435 sampel, terdiri dari 665

sampel dari Provinsi Bali, 420 sampel dari NTB dan 350 sampel dari NTT. Dari

jumlah sampel, Provinsi Bali jumlah sampel otak yang terkumpul telah

melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTB dan NTT jumlah sampel otak

anjing yang terkumpul masing-masing 417 dan 169. Di NTB jumlah target

sampel belum terpenuhi karena memang populasi anjing di Kabupaten/Kota di

NTB tidak banyak. Di NTT, anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup tinggi,

sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh pemerintah menemui kesulitan,

Page 141: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

151

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

disamping itu untuk menangkap anjing yang diliarkan sangat sulit apalagi tanpa

ada dukungan dari pemilik/masyarakat.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.

1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa

kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.

3. Tahun 2016 terjadi penurunan kasus rabies yang cukup tinggi di Provinsi

Bali.

4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak

disebabkan oleh anjing yang belum pernah divaksin rabies dan berasal dari

anjing yang berpemilik..

Saran:

1. Penurunan kasus rabies di Provinsi Bali di tahun 2016 ini menjadi

momentum yang baik dalam upaya pengendalian dan pemberantasan

rabies di Bali dan menjadi contoh bagi NTT, diantaranya melakukan

vaksinasi masal secara masif dan berkelanjutan

2. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan

tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies secara

terus menerus perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan bahaya

rabies.

2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan

penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.

Page 142: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

152

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F., Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M.,Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A.,Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of Lyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue 3. E5

Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. and Marano,N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: A Review ofTravel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses PublicHealth. 22: 12071

Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In:Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.

Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra, A.A.G.S.,Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam Bulan Pasca ProgramPemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26

Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393

Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4

Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar

Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G., Haydon,D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination: A CaseStudy of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology and InfectiousDiseases. 36. 249-261.

Page 143: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

153

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR) TAHUN 2016

I Ketut Eli Supartika, dan I Gede Agus Joni Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Kelainan patologi organ genital pada ternak sapi potong dapat mengakibatkan infertilitas dansterilitas serta sebagai salah satu faktor penyebab menurunnya populasi ternak sapi potong.Dalam rangka mendukung program peningkatan produksi dan reproduksi ternak sapi potong,telah dilakukan surveilans penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayahkerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun anggaran 2016.

Surveilans bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan patologi pada organ reproduksiternak sapi potong yang dapat mengakibatkan infertilitas yang pada akhirnya berkontribusi padapenurunan populasi ternak sapi potong.

Pengamatan perubahan patologi organ reproduksi sapi dilakukan di rumah potong hewan atautempat pemotongan hewan yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Baratdan Nusa Tenggara Timur. Perubahan patologi organ reproduksi sapi diamati. Umur, jeniskelamin juga dicatat. Sampel organ reroduksi diambil dan dimasukkan ke dalam formalin buffer10% untuk pemeriksaan histopatologi

Hasil pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa dari 468 sampelorgan reproduksi yang diperoleh dari rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur semuanya nampak normal dantidak ada perubahan patologi yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi yangmengakibatkan infertilitas.

Hasil surveilans di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkanbahwa prosentase pemotongan sapi betina produktif masih cukup tinggi, yaitu masing-masingsebesar 69/83 (83,13%), 77/262 (29,39%) dan 98/123(79,67%).

Dapat disimpulkan bahwa dugaan penurunan jumlah populasi ternak sapi potong di ProvinsiBali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur bukan disebabkan oleh adanya gangguanreproduksi akibat penyakit namun ada kecendrungan faktor lain seperti pemotongan sapi betinaproduktif yang cukup tinggi.

Kata kunci: gangguan reproduksi, rumah potong hewan, surveilans, sapi potong

Page 144: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

154

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPopulasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari

tahun ke tahun, mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari

luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap

tahun. Hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila

kondisi ini tidak diwaspadai, maka dapat menyebabkan kemandirian dan

kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan,

yang pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.

Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional

masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun

terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat

tinggi mencapai 20-40%, kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di

beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada

saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh

penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010). Hasil surveilans yang

dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar (Dharma dkk, 1993) menemukan

kista ovari (1,3%), phimosis (1,5%), paraphimosis (0,5%) dimana kelainan

patologis pada saluran reproduksi ternak sapi tersebut nampaknya tidak

berpengaruh banyak terhadap penurunan populasi ternak. Justru ditemukan

adanya pemotongan sapi betina bunting/produktif yang cukup banyak sebesar

9,4%. Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar

(Uliantara, 2014) menemukan data prosentase jumlah sapi betina produktif yang

dipotong di Provinsi Bali yaitu sebesar 59,17%, di NTB sebesar 58,64% dan di

NTT sebesar 90,82%, tentunya ini sebagai salah faktor pemicu penurunan

populasi ternak sapi, disamping faktor lain seperti adanya mekanisasi dibidang

pertanian, minat petani memelihara sapi menurun akibat biaya pemeliharaan

sapi tidak sebanding dengan nilai jual.

Page 145: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

155

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.2. Rumusan Masalah.a. Telah terjadi penurunan populasi ternak sapi potong di beberapa wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

b. Apakah penurunan populasi ternak sapi potong tersebut akibat faktor

penyakit gangguan reproduksi atau akibat faktor lain.

1.3. Tujuan Kegiatan.Kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi

Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2016,

dilaksanakan dengan tujuan:

a. Untuk mendapatkan informasi tentang dugaan penyebab penurunan

populasi ternak sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

b. Mengidentifikasi kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi ternak

sapi potong dikaitkan dengan kemajiran.

c. Mengidentifikasi kemungkinan berbagai faktor selain faktor penyakit

gangguan reproduksi pada ternak sapi potong sebagai pemicu penurunan

populasi ternak sapi.

1.4. Manfaat Kegiatan.Manfaat dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja

(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2016,

antara lain:

a. Tersedianya data/informasi tentang dugaan yang menjadi penyebab

penurunan populasi ternak sapi potong di Provinsi Bali, NTB dan NTT selain

akibat adanya gangguan reproduksi.

b. Teridentifikasinya kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi

ternak sapi potong dikaitkan dengan kemajiran yang berdampak pada

penurunan populasi ternak sapi potong.

Page 146: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

156

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.5. Keluaran/outputOutput yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi

di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur)

tahun 2016adalah: dugaan penyebab penurunan populasi ternak sapi potong di

Provinsi Bali, NTB dan NTT dapat diidentifikasi sehingga kegiatan strategis

untuk meningkatkan populasi sapi potong segera bisa diprogramkan dan

dilaksanakan.

1.6. Analisa Risiko Penyakit.Setiap penyakit hewan ada analisa risikonya. Analisa risiko penyakit gangguan

reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur) dijabarkan pada Tabel 1 dan 2.

1.7. Analisa Risiko Kegiatan.Kajian risiko kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja

(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2016,

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi di Wilayah Kerja(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

No Risiko Manajemen Risiko1 Service per conception rate (S/C) dan calving interval

(CI)yang cukup tinggi, mengindikasikan adanya gangguanpada sistem reproduksi ternak sapi

Adanya pengumpulan datamengenai S/C dan CI melaluisurvilans

2 Wilayah Nusa Tenggara Timur masih endemis Brucellosis.Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) belummaksimal. Hal ini berpotensi menyebarkan penyakit yangditularkan melalui kawin alam.

Surveilans gangguan reproduksipada ternak sapi potong

3 Sistem pemeliharaan ternak yang digembalakan padapadang penggembalaan, menyebabkan kurangnyapengawasan terhadap ternak. Penyakit gangguanreproduksi seperti Brucellosis ditularkan melaui pakan danair minum yang terkontaminasi kuman melalui abortusan.Pada sistem penggembalaan, kemungkinan hal ini terjadisangat tinggi.

Menyarankan kepada Dinas/Instansiterkait untuk meningkatkanpenyuluhan mengenai intensifikasipeternakan rakyat.

Page 147: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

157

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi

Tabel 3. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi padaTernak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun2016

No Risiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi

dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai

kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuaidengan yang diharapkan

3 Jadwal pengambilan sampel tidak sesuaidengan waktu yang dialokasikan oleh petugassetempat

Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel,sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang adapada Dinas/Instansi terkait

4 Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktukegiatan dikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwalkegiatan

5 Tidak ada rute penerbangan menuju wilayahlokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.

6 Surat pemberitahuan jadwal survailans tidaksampai/terlambat diterima oleh instansitempatdilakukan surveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkaitmengenai jadwal pengambilan sampel

1.8. Analisa Risiko Pengujian.

Analisa risiko pengujian sampel surveilans gangguan reproduksi pada ternak

sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 disajikan pada

Tabel 4.

SC dan/ Sistem Sistem Kegiatan Kriteriaatau CI Reproduksi Produksi Suveilans Lokasi

Peningkatan produksi dengan menekan kematian pedet Wil. BaliGangguan Rendah akibat parasit gastrointestinal dan penyakit infeksi lainnya terutamaReproduksi pet. Intensif

Peningkatan manajemen peternakan spt: pencegahan Bali, NTB &Tinggi Inseminasi dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui NTT (klpk2-

Buatan terapi hormonal dan peningkatan nutrisi pakan. ternak).Peningkatan manajemen peternakan spt: pencegahan Bali,NTB,NTT

Intensifikasi Semi intensif dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui (klpk&ternakKawin Alam terapi hormonal dan nutrisi, serta penerapan teknologi IB masyrkt).

Peningkatan sistem produksi ternak, pengobatan Bali,NTB,NTTTradisional Ada penyakit gangguan reproduksi serta penerapan (ternak ma-

teknologi reproduksi : IB, sinkronisasi birahi dan lain-lain. syarakat).Surveilans, pemetaan penyakit, peningkatan sistem Bali,NTB,NTT

Tidak ada produksi ternak, pengobatan penyakit gangguan (ternak ma-reproduksi serta penerapan teknologi reproduksi syarakat).

Manajemen ResikoResiko

Page 148: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

158

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Analisa Risiko Pengujian Sampel Kegiatan Surveilans GangguanReproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali,NTB Dan NTT Tahun 2016

No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar bahankimia tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman padalaboratorium lainnya di BBVet Denpasar

2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama

II. TINJAUAN PUSTAKA.

Konsumsi daging di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun pengikatan

tersebut tidak diimbangi dengan produksi daging yang memadai. Untuk

mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah

mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi

(PSDS) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:

60/Permentan/HK.060/8/2007. Kementerian Pertanian melalui Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama

terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak

berbasis sumberdaya domestik yang salah satunya adalah Program

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang tertuang dalam blue print

Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan daging, pemerintah berupaya meningkatkan

populasi sapi potong salah satunya dengan jalan mengatasi kasus gangguan

reproduksi pada ternak sapi potong. Gangguan reproduksi yang bersifat

patologis sering kali berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Gangguan

reproduksi bisa terjadi karena ketidakseimbangan hormonal yang diakibatkan

oleh terganggunya organ-organ reproduksi, penyakit pada saluran reproduksi

Page 149: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

159

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

atau kelainan patologis pada alat reproduksi. Gangguan reproduksi pada sapi

potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: cacat anatomi saluran

reproduksi (defek kongenital ), gangguan fungsional, kesalahaan manajemen

dan infeksi organ reproduksi.

Hasil penelitian Winarso dkk di Jawa Timur pada tahun 2005 menyebutkan

bahwa menurunnya populasi ternak sapi potong juga dapat disebabkan karena

semakin berkurangnya lahan pertanian karena berubah fungsi dan

kegunaannya, beralihnya profesi peternak ke profesi lainnya, tingginya

permintaan ternak sapi potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal,

regional maupun nasional, serta belum maksimalnya keberhasilan intensifikasi

ternak melalui proses Inseminasi Buatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Hastuti tahun 2008 menyebutkan bahwa ketidaktahuan peternak akan tanda-

tanda birahi yang berdampak pada kegagalan inseminasi buatan atau kawin

alami tentu berakibat juga pada penurunan populasi ternak sapi.

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi.Materi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada

ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 adalah

berupa spesimen organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH-RPH

pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas setempat. Spesimen

organ terdiri dari bagian ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya

yang secara patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di

simpan dalam pengawet formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses

dilaboratorium. Bahan kimia dan peralatan yang diperlukan dalam surveilans ini

disajikan pada Tabel 5.

Page 150: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

160

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Bahan kimia dan peralatan habis pakai yang diperlukan dalamrangka surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potongdi wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016

.

No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan

HargaSatuan Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm,Deckglaser

20 box 36.000 720.000

2 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, SailBrand

20 box 94.000 1.880.000

3 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt 3 botol 3.800.000 11.400.0005 Ethanol, @2,5 lt, Merck 3 botol 3.300.000 9.900.0006 Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker 3 botol 1.254.000 3.801.0007 Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker 3 botol 4.125.000 12.375.0008 Sabun antiseptic 24 bh 18.700 448.8009 Alkohol 70% 10 botol 76.000 760.00010 Aluminium foil, 8 m X 45 cm 12 bh 50.000 600.00011 Glove tangan, ukuran L 10 box 87.000 870.00012 Surgical mask 10 box 33.000 300.00013 Paraffin, @1 kg, Leica 5 bks 413.000 2.065.00014 Pisau scalpel ukuran 22 6 box 425.000 2.550.00015 Kreolin 20 botol 55.000 1.100.00016 Handuk Kecil 20 buah 20.000 400.000

Jumlah 49.999.800

3.2. Metode.Metode pemeriksaan sampel; spesimen yang diambil selanjutnya diproses

dalam alat tissue prosesor, di embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi

dengan mempergunakan pewarnaan rutin Hematoxilin-Eosin (H&E).

Pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop sinar dengan perbesaran 40 – 400

kali.

Page 151: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

161

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel

Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah

Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2016 dilaksanakan oleh Balai Besar

Veteriner Denpasar yang pengambilan sampelnya dilakukan oleh petugas

pengambil sampel dengan melibatkan petugas Dinas Peternakan, Dokter Hewan

PUSKESWAN dan petugas RPH yang ada di wilayah setempat. Jumlah sampel

organ reproduksi yang diambil sebanyak 510 sampel; semua sampel diambil

oleh petugas BBVet Denpasar, (Tabel 6).

Tabel 6. Jumlah sampel organ reproduksi ternak sapi potong serta jumlahbiaya yang diperlukan dalam rangka surveilans gangguanreproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTBDan NTT Tahun 2016

Jumlah Sampel KeteranganNo Lokasi kegiatan

BBVet PKH

TotalSampel Jml.

Kunjungan Sumber Dana

A Bali1 Badung 15 0 15 3X Terintegrasi BSE2 Buleleng 30 0 30 3X Terintegrasi BSE3 Denpasar 45 0 45 3X Terintegrasi BSE4 Jembrana 30 0 30 3X Terintegrasi BSE5 Karangasem 30 0 30 3X Terintegrasi BSE

Jumlah 150 0 150B NTB

1 Dompu 5 0 5 1XTerintegrasiPMSR

2 Kota Bima 55 0 55 1XTerintegrasiPMSR

3 Lombok Barat 50 0 50 1X

4 Lombok Tengah 5 0 5 1XTerintegrasiPMSR

5 Mataram 10 0 10 1XTerintegrasiPMSR,

6 Sumbawa 55 0 55 1XTerintegrasiPMSR

Jumlah 180 180

Page 152: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

162

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

C NTT1 Belu 50 0 50 1X2 Ende 50 0 50 1X3 Kota Kupang 10 0 10 1X

4 Manggarai 5 0 5 1X TerintegrasiPMSR

5 Manggarai Barat 50 0 50 1XTerintegrasiPMSR

6 Nagekeo 5 0 5 1X TerintegrasiPMSR

7 Sikka 5 0 5 1XTerintegrasiPGR

8 Sumba Timur 5 0 5 1XJumlah 180 0 180Jumlah Keseluruhan 510 0 510

4.2. Sumber PembiayaanKegiatan surveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong dalam rangka

mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun Anggaran

2016 di wilayah kerja BBVet Denpasar seluruhnya dibebankan pada DIPA

BBVet Denpasar tahun anggaran 2016 Nomor: 018.06.2.239022/2016 tanggal

14 Nopember 2015. Dana yang dialokasikan sebesar Rp. 91.980.000 (Sembilan

puluh satu juta Sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).

4.3. Waktu Pelaksanaan KegiatanKegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah

Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun 2016 dilaksanakan di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar dilaksanakan pada bulan Maret sampai Desember

2016. Untuk wilayah Provinsi Bali pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH

yang berada dibawah pengawasan dinas kabupaten/kota seperti di Kabupaten

Badung, Kota Denpasar, Jembrana dan Karangasem. Untuk wilayah NTB

pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH Kabupaten Dompu, Sumbawa,

Kota Bima, Lombok Barat, Bima, dan Kota Mataram. Di wilayah NTT

pengambilan spesimen dilakukan di RPH Kabupaten Nagekeo, Belu, Sikka,

Ende, Kota Kupang. Matrik pelaksanaan surveilans disajikan pada Tabel 7.

Page 153: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

163

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

4.4. Rincian Anggaran Biaya (RAB)Kegiatan surveilans gangguan reproduksi tahun anggaran 2016 membutuhkan

biaya sebesar Rp.91.980.000,- (Sembilan puluh satu juta Sembilan ratus

delapan puluh ribu rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Tabel

8.

Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2016

Bulan keTahapan Kegiatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat yang untukkegiatan surveilansPenentuan lokasi surveilans, jenis danjumlah sampelPenyusunan Rencana Anggaran BiayaKegiatanPelaksanaan kegiatan surveilans

Pengujian spesimen hasil surveilans danPelaporan

Tabel 8. Rincian Anggaran Biaya (RAB) Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2016

No Jenis kegiatan Jumlah Satuan Harga Satuan

(Rp)Harga

Seluruhnya(Rp)

1 Pengadaan bahan kimia dan peralatanhabis pakai

1 Paket 50.000.000,- 50.000.000,-

2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Biaya pembuatan laporan,KAK 1 Lap. 500.000,- 500.000,-4 Operasional pengambilan sampel oleh

PKH di Bali1 Thn 4.200.000- 4.200.000,-

Operasional pengambilan sampel olehPKH di NTB

1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-

Operasional pengambilan sampel olehPKH di NTT

1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-

Biaya kirim alat/bahan operasional 1 Thn 2.680.000,- 2.680.000,-Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. Bali

8 OH 300.000,- 2.400.000,-

Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. NTB

2 OP 6.100.000,- 12.200.000,-

Perjalanan surveilans penyakit gangguanreproduksi di Prov. NTT

2 OP 7.200.000 14.400.000

Jumlah 91.980.000,-

Page 154: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

164

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. HASIL

Selama kegiatan surveilans yang dilakukan di RPH/TPH yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah diperiksa sebanyak 468

organ reproduksi sapi potong yang terdiri dari: 83 sampel berasal Provinsi Bali,

262 sampel berasal dari NTB dan 123 sampel berasal dari NTT. Data yang

diperoleh selama surveilans menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi

betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Ini terjadi di Provinsi Bali

dan NTT. Sedangkan Provinsi NTB, jumlah pemotongan sapi betina produktif

lebih sedikit dibandingkan dengan permotongan sapi jantan. Di Provinsi Bali

pemotongan sapi betina produktif sebanyak 83,13%, di NTB 29,39% dan di NTT

79,67%. Berdasarkan umurnya, sapi-sapi yang dipotong tersebut masih

tergolong produktif. Keadaan ini hampir terjadi di RPH/TPH yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3).

Pada pengamatan patologi anatomi dilanjutkan dengan pemeriksaan

histopatologi semua sampel organ reproduksi nampak normal, tidak ada

perubahan patologis yang mengarah adanya gangguan reproduksi yang

mengakibatkan infertilitas pada ternak sapi potong (Gambar 4A dan 4B).

Page 155: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

165

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 7. Data Jumlah Sampel Organ Reproduksi, Jenis Kelamin dan UmurSapi yang Dipotong di RPH/TPH Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,NTB dan NTT tahun 2015

Provinsi Kabupaten Jantan (%) Betina (%) Umur ≤5 Umur > 5 Jumlah

Bali Badung 1/15 (6,67) 14/15(93,33) 15 0 15Denpasar 4/40(10,00) 36/40(90,00) 40 0 40Jembrana 0/5(0,00) 5/5(100,00) 5 0 5Karangasem 9/23(39,13) 14/23(60,87) 18 5 23Jumlah 14/83(16,87) 69/83(83,13) 78 5 83

NTB Dompu 0/10(0,00) 10/10(100,00) 6 4 10Sumbawa 8/28(28,57) 20/28(71,43) 2 26 28Kota Bima 10/50(20,00) 40/50(80,00) 50 0 50LombokBarat 44/44(100,00) 0/44(0,00) 44 0 44Bima 1/5(20,00) 4/5(80,00) 4 1 5Mataram 122/125(97,60) 3/125(2,40) 63 62 125Jumlah 185/262(70,61) 77/262(29,39) 169 93 262

NTT Nagekeo 1/5(20,00) 4/5(80,00) 5 0 5Belu 1/50(2,00) 49/50(98,00) 6 44 50Sikka 4/5(80,00) 1/5(20,00) 4 1 5Ende 19/58(32,76) 39/58(67,24) 48 10 58Kota Kupang 0/5(0,00) 5/5(100,00) 5 0 5Jumlah 25/123(20,33) 98(79,67) 68 55 123Total 224/468(47,86) 244/468(52,14) 315 153 468

Gambar 1. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi Bali Berdasarkan Jenis KelaminTahun 2016.

Page 156: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

166

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Gambar 2. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten di Provinsi NTB Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun2016.

Gambar 3. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi NTT Berdasarkan Jenis Kelamin,Tahun 2016.

Page 157: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

167

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Gambar 4. Organ reproduksi ternak sapi potong. A. Uterus; nampak normal, tidak ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang, nekrosis (H & E; 40X). B.Testis: nampak normal, tubulus seminiferus dilapisi multilapis sel-selepitel, tidak ditemukan adanya sel-sel radang maupun nekrosis. (H & E;40X).

VI. PEMBAHASAN

Data dasar sebelum ternak dipotong dan pemeriksaan antemortem dan

postmortem di rumah potong hewan sangatlah penting sebagai bahan

pertimbangan bagi petugas/pengawas RPH, peternak dalam mengelola

manajemen peternakannya serta pemerintah dalam kebijakanya pengendalian

penyakit menular strategis dalam rangka peningkatan kesehatan hewan

(Tulayakul et al., 2008). Data hasil surveilans menunjukan bahwa jumlah ternak

sapi betina yang dipotong jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan

terutama di RPH Provinsi Bali dan NTT masing-masing sebesar 83,13% dan

79,67%. Sedangkan di NTB pemotongan sapi betina produktif cukup rendah

yakni sebesar 29,39%. Kalau dilihat dari segi umur sapi betina yang dipotong

tersebut masih dalam katagori produktif (Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3).

Rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH/TPH di Provinsi Bali 16,87% dan

NTT 20,33% mungkin karena provinsi ini sebagai daerah sentra produksi sapi

potong dan sebagai wilayah pemasok nasional ternak sapi potong. Ternak sapi

jantan lebih banyak diantarpulaukan untuk konsumen daging sapi di daerah

A B

Page 158: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

168

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di sisi lain untuk keperluan konsumsi

lokal ternak sapi jantan sudah sulit dicari, sedangkan kegiatan usaha para

pedagang daging sapi harus tetap berjalan untuk menopang biaya hidup

keluarga mereka sehingga bisnis jual beli sapi betina produktif terpaksa

dilakukan. Faktor lain yang mendukung pemotongan sapi betina produktif,

antara lain; harga sapi betina hidup lebih murah dibandingkan sapi jantan tetapi

harga dagingnya sama mahalnya. Petani ternak memerlukan dana segera untuk

membiayai kebutuhan hidupnya (Purba dan Hadi, 2012). Selain itu, penegakan

hukum untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif sesuai dengan yang

diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41Tahun 2014 masih sangat

lemah. Sanksi yang tegas terhadap mereka yang memotong sapi betina

produktif belum dijalankan sepenuhnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh

pedagang daging sapi untuk memotong sapi betina produktif yang tentunya akan

berdampak pada penurunan populasi ternak sapi. Prosentase pemotongan sapi

betina produktif di NTB cukup rendah dikarenakan pemerintah daerah

kabupaten/kota melarang secara tegas pemotongan sapi betina yang masih

produktif.

Hasil pengamatan patologi organ reproduksi pada ternak sapi potong, baik pada

sapi jantan maupun betina di RPH /TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi

Bali, NTB dan NTT semuanya nampak normal (Gambar 4A dan 4B). Tidak

ditemukan adanya lesi-lesi patologi seperti: eksudat, infiltrasi sel-sel radang,

nekrosis, bentukan tumor pada organ reproduksi sapi jantan maupun betina

yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Perubahan patologi pada

saluran reproduksi ternak sapi potong baik yang disebabkan oleh agen infeksi

maupun non infeksi dapat mengakibatkan infertilitas bahkan sterilitas yang pada

akhirnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi peternak bibit sapi

potong. Perubahan patologis organ reproduksi akibat penyakit yang umumnya

bisa diamati antara lain: kista ovarium, endometritis, pyometra, retensi plasenta,

atrofi testis.

Page 159: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

169

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Barangkali yang perlu dicermati adalah adanya birahi tenang (silent heat) yang

sering dilaporkan pada sapi potong. Sapi dengan birahi tenang mempunyai

siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak nampak (Nitis

dkk, 2000; Mastika, 2012). Birahi tenang mengakibatkan peternak tidak dapat

mengetahui kapan sapinya birahi sehingga dikira mandul dan akhirnya dijual.

Hasil pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi pada ternak sapi dan

kerbau di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2015 menyebutkan bahwa

kasus gangguan reproduksi yang paling banyak ditemukan dilapangan adalah

hipofungsi ovari sebesar 33,60% (Dibia dan Dartini, 2015). Secara patologi,

organ reproduksi sapi dengan birahi tenang atau yang mengalami hipofungsi

ovari kalau diperiksa akan nampak normal. Sifat birahi tenang dan hipofungsi

pada sapi potong lebih banyak disebabkan oleh faktor manajemen peternakan

tradisional dan akibat defisiensi nutrisi.

Analisa resiko kegiatan.Di Provinsi Bali dan NTT jumlah target sampel organ reproduksi ternak sapi

untuk surveilans gangguan reproduksi masing-masing sebanyak 150 sampel

dan 180 sampel, namun realisasinya tidak memenuhi target yaitu hanya 83

sampel dan 123 sampel. Hal ini disebabkan karena jumlah sapi yang dipotong di

RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu, tergantung pada permintaan pasar. Para

jagal tidak berani memmotong sapi lebih banyak, takut daging tidak terjual habis.

Sedangkan di provinsi NTB sampel yang diperoleh sebanyak 262 melebihi target

dari yang telah ditetapkan yakni sebesar 180 sampel. Untuk mempermudah

pengambilan sampel reproduksi sapi potong, koordinasi yang baik antara

petugas pengambil sampel, jagal serta petugas di RPH sangat diperlukan.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Pada pengamatan patologi saluran reproduksi ternak sapi potong di RPH di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTb dan NTT tidak ditemukan adanya kelainan-

kelainan yang bersifat patologis yang mengarah ke penyakit infeksi. Justru yang

terjadi adalah adanya pemotongan sapi betina produktif yang cukup tinggi di

Page 160: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

170

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Provinsi Bali dan NTT. Penurunan populasi ternak sapi potong di wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar mungkin bukan disebabkan oleh penyakit infeksi

namun barangkali lebih banyak disebabkan oleh faktor lain seperti adanya

pemotongan sapi betina produktif.

2. Saran.

a. Dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif, pelaksanaan kegiatan

pemberian insentif kepada peternak dan kelompok peternak melalui pola

bantuan sosial (Bansos) oleh pemerintah/Kementerian Pertanian tetap

dilanjutkan

b. Pembinaan dan sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama pasal 18 ayat 2 dan pasal 86

yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014,

yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif terus dilaksanakan

secara berkelanjutan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap mereka

yang melanggar ketentuan ini.

c. Data dasar dan hasil pemeriksaan ante dan post mortem di RPH-RPH di

Provinsi Bali, NTB dan NTT perlu didokumentasikan dengan baik. Data ini

sangat bermanfaat untuk melihat kecendrungan adanya penyakit ternak di

lapangan sehingga antisipasi penyakit dapat segera dilakukan.

Page 161: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

171

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat JenderalPeternakan, Kementerian Pertanian.

Dharma, D.M.N., Merthanadi, K., Sudiarka, I.W. dan Sudira, I.W., 1993. Kelainan AlatReproduksi Sapi Bali. Survei Rumah Potong. Bull. Vet. BPPH VI. Vol. VI No. 37. pp. 1-7.

Dibia, I.N dan Dartini, N.L (2015). Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapidan Kerbau di provinsi Bali, Nusa Tenggara barat dan Nusa Tenggara Timur. LaporanTeknis Balai Besar Veteriner Denpasar, Tahun 2015. 307-325.

Hastuti, D. (2008). Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong di Tinjau Dari AngkaKonsepsi dan Service Per Conception. MEDIAGRO 12 Vol.4. No.1:12- 20

Mastika, I.M., 2012 Strategi Peningkatan Produktifitas Sapi Bali Betina. Newsletter: Sapi Bali(Bali Cattle). Vol.1. Issue 1. pp.2

Nitis, I.M., Lana, K., Sukanten, W., Pemayun, T.G.O., dan Pugeh, A.W., (2000). Reproduksi SapiBali Pada Sistem Tiga Strata di Daerah Tingkat II Badung. Penampilan Reproduksi ke-4.Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. pp.18

Purba, H.J dan Hadi, P.U., (2012). Dinamika dan Kebijakan Pemasaran Produk Ternak SapiPotong di Indonesia Timur. Analisa Kebijakan Pertanian. Vol. 10 No. 4. pp. 361-373.

Tulayakul, P., Sithisarn, P., Sanguankiat, A., Kuntamoon, T., Poolkhet, C., Kosorndorkbua, C.,Kasemsuwan, S (2008). Development of Disease Monitoring and Follow-up System inCattle Slaughter House. Proceeding the 5th Congres of FAVA, 27-30 October 2008.P111-P112.

Uliantara, G.A.J., Supartika, I.K.E dan Wirata, I.K (2014). Surveilans Patologi Reproduksi PadaTernak Sapi Potong Dalam Rangka Mendukung Program Swasembada Daging Sapiddan Kerbau (PSDK-2016) di Provinsi Bali, Nusa tenggara Barat dan Nusa TenggaraTimur Tahun 2014. Laporan Tahunan 2014. Balai Besar Veteriner Denpasar.

Winarso.B., Sajuti, R., Muslim, C(2005). Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Timur.Forum Penelitian Agro Ekonomi.. Vol. 23 No. 1: 61 - 71

Page 162: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

172

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

ANALISA RISIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2016

I. K. E. Supartika, dan I. G. A. J. Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Bovine spongiform encephalopathy (BSE) merupakan penyakit zoonosis serta menimbulkankerugian ekonomi yang cukup besar bagi perokonomian negara tertular. Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan surveilans BSE yang bertujuan untuk mendeteksi berdasarkanpemeriksaan histopatologi dan menganalisa kemungkinan masuknya penyakit BSE pada sapiBali sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap keberadaan BSE di wilayah kerja BB-VetDenpasar.

Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB danNTT mengindikasikan bahwa tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan yang didugamengandung meat bone meal (MBM) untuk diberikan kepada ternak sapi.

Secara histopatologis, 440 sampel medula oblongata dari sapi yang dipotong di RPH semuanyanegatif BSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrositataupun plak amiloid.

Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebasdari BSE.

Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah tujuan wisata

banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan

hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan

sumber potensial penularan penyakit sapi gila/BSE. Disamping itu, intensifikasi

pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan

penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum

bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan

Page 163: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

173

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa

pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.

Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan

surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah

kerja (Supartika dkk, 2010, Hartawan dkk, 2013; Supartika dkk, 2014), namun

demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor. 367/Kpts/T

N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Dari Bovine

Spongiform Encephalopathy (BSE) dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

4026/Kpts/OT.140/3/2013 dimana BSE belum ada di Indonesia namun

berpotensi muncul dan menimbulkan kerugian ekonomi, kemanusiaan,

lingkungan dan kesehatan masyarakat maka dipandang perlu untuk melakukan

kegiatan monitoring patologi BSE di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar secara terstruktur dan berkesinambungan sebagai pembuktian bahwa

Indonesia masih bebas dari BSE.

1.2. Rumusan Masalah.

a. BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah kerja BB-Vet

Denpasar perlu dimonitoring agar penyakit ini tidak masuk ke Indonesia

pada umumnya dan wilayah kerja BB-Vet Denpasar pada khususnya.

b. Indikasi penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan

ternak juga perlu dipantau karena diduga merupakan sumber potensial

penularan BSE.

1.3. Tujuan Kegiatan

Kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 dilaksanakan dengan tujuan

untuk :

a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi

yang dipotong di RPH.

Page 164: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

174

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan limbah hotel dan pakan

jadi/konsentrat yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

1.4. Manfaat Kegiatan.

Manfaat dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 adalah :

a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak

sapi yang dipotong di RPH yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan limbah hotel dan pakan

jadi/kosentrat yang diberikan ke ternak sapi potong.

c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah

dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.

1.5. Keluaran/ Output

Output yang diharapkan dari kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016

adalah:

a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara

histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

b. Tersedianya data untuk pemetaan BSE diwilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaanlimbah hotel dan

pakan jadi/konsentrat diberikan ke ternak sapi potong.

1.6. Analisa Risiko Penyakit.Analisa risiko BSE di wilayah kerja BB-Vet Denpasar disajikan pada Tabel 1

dan 2.

Page 165: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

175

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.7. Analisa Risiko KegiatanKajian risiko kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 disajikan pada

Tabel 3.

1.8. Analisa Risiko Pengujian.

Analisa risiko pengujian sampel kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 1. Analisa Risiko BSE di Wilayah Kerja Balai Besar VeterinerDenpasar.

No Risiko Manajemen Risiko1 Kebocoran importasi MBM dari negara

yang pernah dilaporkan terjadi kasusBSE, dimana MBM yang semula untukcampuran konsentrat pakan ayamkarena jumlahnya berlebihandipergunakan juga untuk konsentratpada hewan ruminansia

Adanya pengawasan mengenai penggunaanpakan asal hewan untuk pakan ternak danmembatasi pengiriman MBM dari daerah yangpernah terjadi kasus BSE, adanya surveilanspenyakit BSE untuk memantau perkembanganpenyakit tersebut di daerah bebas atau daerahyang berdekatan dengan daerah tertular

2 Tingginya daging impor untuk kebutuhanhotel dan restoran,dimana dikhawatirkanadanya impor daging dari daerahdengan kasus BSE yang mana dapatmenyebarkan BSE pada daerah yangbebas kasus BSE

Mengawasi dan membatasi daging impor daridaerah kasus, serta mengupayakanswasembada daging dengan melakukanmonitoring penyakit BSE secara berkaladidaerah bebas atau daerah yang berisikosehingga dapat mengurangi risiko penyebaranBSE melalui peredaran daging dari Negaraterjangkit BSE

3 Pemanfaatan limbah hotel dan restoranuntuk pakan ternak di kawatirkan akanmenimbulkan penularan penyakit BSEpada ternak ruminansia denganmemakan limbah hotel/restoran yangbanyak menggunakan daging import danbahan makanan lain dari luar negeri

Melakukan pengawasan terhadaphotel/restoran serta para peternak untuk tidakmenggunakan limbah hotel/restoran sebagaipakan ternak agar dapat mengurangi risikotertular penyakit BSE melalui limbahhotel/restoran

4 Pemeliharaan ternak ditempatpembuangan akhir/penampungan limbahmerupakan pemeliharaan yang salahkarena di tempat pembuanganakhir/limbah adalah sarana penularanpenyakit melalui sampah yang dimakanoleh ternak

Melalukan pengawasan serta penyuluhankepada para peternak bagaimana carabeternak dengan baik dan risiko penyakit yangakan timbul terhadap ternak yangdigembalakan di tempat pembuanganakhir/penampungan limbah

Page 166: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

176

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penularan Penyakit BSE

Resiko KomoditiImport

PeruntukanKomoditi danPenanganan

Limbah

KegiatanSurveilans

ManajemenResiko

KriteriaLokasi

BSE Bahan bakupakan /MBMyangberpotensiterpapar

Bahan bakupakan unggas

- PengawasanpemanfaatanMBM

Bahan bakupakanruminansia

Ada SurveilansBSE terutamadi wilayahyangmemanfaatkanMBM sebagaibahan pakanternakruminansia

Dagingdan/atauprodukruminansiayangberpotensiterkontaminasi

Penangananlimbah yangbaik

- Pengawasanpenangananlimbah

Limbah/sisahasil olahandimanfaatkansebagai pakanternakruminansia

Ada Surveilan BSEdi wilayahyangmemanfaatkanlimbah/sisahasil olahandaging/produkasalruminansiasebagai pakanternak

Seluruhwilayah kerjaBB-VetDenpasardimanamasyarakatmasihmemanfaatkanlimbah hoteldan/ataurestoransebagai pakanternakruminansia.

Page 167: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

177

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 3. Kajian risiko kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,tahun 2016 .

No Risiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi

dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai

kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuaidengan yang diharapkan

3 Jadwal pengambilan sampel tidak sesuaidengan waktu yang dialokasikan oleh petugassetempat

Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel,sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang adapada Dinas/Instansi terkait

4 Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktukegiatan dikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwalkegiatan

5 Tidak ada rute penerbangan menuju wilayahlokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.

6 Surat pemberitahuan jadwal survailans tidaksampai/terlambat diterima oleh instansitempatdilakukan surveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkaitmengenai jadwal pengambilan sampel

Tabel 4. Analisa risiko pengujian sampel kegiatan analisa risiko dansurveilans BSE di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tahun 2016 .

No Risiko Manajemen Risiko1 Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BB-Vet Denpasar agarbahan kimia tersebut segera diadakan.Untuk sementara lakukan peminjamanpada laboratorium lainnya di BB-VetDenpasar

2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BB-Vet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BB-VetDenpasar yang menggunakan alat yangsama

Page 168: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

178

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA.

BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan oleh prion

yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun 1982 oleh

ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan gejala klinis

ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan kematian. Muncul

pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke manusia menibulkan

penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD). Masa inkubasi BSE

cukup panjang, menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan pada system saraf

pusat. Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis berupa

hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan histopatologi

berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan mikrogliosis.

Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar, disamping bersifat zoonosis juga

berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara tertular BSE

dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi.Kegiatan analisa risiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016

dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (Medulla oblongata) di Rumah

Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/ Dinas

Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari medulla

oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari sapi yang

berumur 2 tahun keatas. Bahan kimia dan peralatan yang digunakan kegiatan

analisa risiko dan surveilans BSE di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur, tahun 2016 disajikan pada Tabel 5.

Page 169: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

179

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

3.2. Metode.Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pemeriksaan histopatologik. Pada

kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal

sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,

gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002), reaksi

astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid. Surveilans berbasis

risiko akan diterapkan dalam kegiatan surveilans BSE ini. Data penggunaan

limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat oleh peternak diperoleh melalui teknik

wawancara dengan peternak dan staf petugas dinas peternakan yang

membidangi fungsi peternakan di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi

Bali, NTB dan NTT

Tabel 5. Bahan dan peralatan untuk kegiatan kegiatan analisa risiko dansurveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016.

No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan

HargaSatuan Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail

Brand20 box 94.000 1.880.000

3 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt 2 botol 3.800.000 7.600.0005 Ethanol, @2,5 lt, Merck 3 botol 3.300.000 9.900.0006 Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker 3 botol 1.254.000 3.762.0007 Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker 3 botol 4.026.000 12.078.0008 Sabun antiseptic 24 bh 18.700 448.8009 Alkohol 70% 8 botol 76.000 608.00010 Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak 10 bh 50.000 500.00011 Glove tangan, ukuran L, Sensi 8 box 87.000 696.00012 Methanol p.a, @2,5 lt, Merck 1 botol 882.200 882.00013 Spuit 10 ml, BD 2 box 215.000 430.00014 Spuil 3 ml, BD 2 box 215.000 430.00015 Kapas 1 bks 90.000 90.00016 Surgical mask 11 box 33.000 363.00017 Paraffin, @1 kg, Leica 2 bks 413.000 826.00018 Pisau scalpel ukuran 22 5 box 425.000 2.125.00019 Sepatu boot ukuran L 6 psg 169.000 1.014.00020 Kreolin 20

botol55.000 1.100.000

21 Konjugit Rabies, antinukleokapsid 5 box 8.250.000 41.250.00022 PBS tablet, Dulbecco Oxoid 4 botol 550.000 2.200000

Jumlah 89.703.000

Page 170: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

180

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Pelaksanaan Pengambilan SampelKegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2016 dilaksanakan oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas

pengambil sampel dengan melibatkan Dokter Hewan Puskeswan dan petugas di

Rumah Potong Hewan Dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata yang

diambil sebanyak 360 sampel (Tabel 6.).

4.2. Sumber Pembiayaan.Kegiatan analisa risiko dan surveilans BSE di wilayah kerja BB-Vet Denpasar

seluruhnya dibebankan pada DIPA BB-Vet Denpasar tahun anggaran 2016

Nomor: 018.06.2.239022/2016 tanggal 14 Nopember 2016. Dana yang

dialokasikan sebesar : Rp 119.110.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus

ribu rupiah)

Page 171: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

181

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 6 Distribusi lokasi dan jumlah sampel dalam rangka pelaksanaankegiatan kegiatan analisa risiko dan surveilans bovinespongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2016.

Lokasi Kegiatan Jumlah SampelNo

Provinsi Kabupaten/Kota BB-Vet PKH

TotalSampel Jumlah

Kunjungan Keterangan

A Bali

1 Badung 20 0 20 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

2 Buleleng 15 0 15 2X Terintegrasi, dana PMSR3 Denpasar 35 0 35 1X Terintegrasi, dana PMSR

4 Jembrana 15 0 15 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

5 Karangasem 15 0 15 2X Terintegrasi, dana PMSRJumlah 100 0 100

B NTB1 Dompu 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR2 Kota Bima 20 0 20 1X Terintegrasi, dana PMSR3 Lombok Barat 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

4 Lombok Tengah 10 0 10 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

5 Mataram 60 0 60 1X Terintegrasi, dana PMSR6 Sumbawa 20 0 20 1X

Jumlah 130 0 130

C NTT1 Belu 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

2 Ende 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

3 Kota Kupang 60 0 60 1X Terintegrasi, danaBrucellosis

4 Manggarai 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

5 Manggarai Barat 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

6 Nagekeo 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

7 Sikka 10 0 10 1X

8 Sumba Timur 10 0 10 1X

Jumlah 130 0 130

Jumlah Keseluruhan 360 0 360

Page 172: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

182

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

4.3. Waktu Pelaksanaan KegiatanMonitoring patologi BSE dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober

2016. Lokasi pengambilan sample yaitu di RPH Badung, Buleleng, Denpasar,

Jembrana dan Karangasem di Provinsi Bali; RPH Dompu, Kota Bima, Lombok

Tengah, Mataram dan RPH Kabupaten Sumbawa di NTB ; RPH Kabupaten

Belu, Ende, Kota Kupang, Manggarai Barat, Nagekeo, Sikka, dan Sumba Timur

di NTT. Pelaksanaan kegiatan secara lebih rinci bisa dilihat dari jadwal palang

seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Analisa Risiko dan Surveilans BSEdi Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran 2016.

Bulan keTahapan Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat

Penentuan lokasi pengambilan sampel

Penyusunan RAB Kegiatan

Pengambilan sampel dan pengujian lab

Pengolahan data

4.4. Rincian Anggaran BiayaMengingat anggaran kegiatan tahun 2016 untuk kegiatan surveilans penyakit

BSE hanya dianggarkan untuk kegiatan analisa risiko penyakit, maka

pengambilan sampel otak untuk pemeriksaan BSE di wilayah Provinsi NTB dan

NTT akan dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan pengambilan sampel

surveilans gangguan reproduksi T.A. 2016. Anggaran yang tercantum dalam

DIPA 2016 yang dianggarkan untuk surveilans analisa risiko BSE, akan

dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengambilan sampel di wilayah Bali

dan pembelian alat dan bahan. Kegiatan surveilans BSE oleh Balai Besar

Veteriner Denpasar tahun anggaran 2016 membutuhkan biaya sebesar Rp

119.110.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus ribu rupiah) dengan

sumber dana seluruhnya DIPA Tahun Anggaran 2016, dengan rincian sebagai

berikut:

Page 173: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

183

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

No Jenis kegiatan Jumlah Satuan HargaSatuan (Rp)

HargaSeluruhnya

(Rp)1 Pengadaan bahan kimia dan

peralatan habis pakai1 Paket 89.705.000,- 90.000.000,-

2 Biaya pembuatan KAK, TOR 1 Lap. 250.000,- 250.000,-3 Biaya perjalanan dinas di Prov. Bai 5 OH 300.000- 1.500.000,-

Biaya perjalanan dinas di Prov. NTB 2 OP 6.145.000,- 12.290.000,-Biaya perjalanan dinas di Prov. NTT 2 OP 7.410.000,- 14.820.000,-Biaya pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-Jumlah 119.110.000,-

V. HASIL

Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau TPH

yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi

fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel didampingi oleh

petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah Provinsi Bali, sampel

otak diambil di RPH Kabupaten Badung, Denpasar, Jembrana dan Karangasem.

Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH Kabupaten Dompu, Sumbawa,

Kota Bima, Lombok Barat, Bima dan Kota Mataram, sedangkan di Provinsi NTT

diambil di RPH di kabupaten Nagekeo, Belu, Manggarai, Sikka, Ende, Kota

Kupang dan Sumba Timur (Tabel 1). Selama tahun 2016, jumlah sampel

medulla oblongata sapi yang di periksa BB-Vet Denpasar sebanyak 440 sampel.

Jumlah sampel otak yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di

masing-masing RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan

pada Tabel 8, Grafik 1, 2, 3.

Page 174: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

184

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016.

Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah SampelJantan Betina BSE (+) BSE (-)

Bali Badung 20 2 18 0 20Denpasar 30 4 26 0 30Jembrana 5 0 5 0 5Karangasem 15 6 9 0 15Jumlah 70 12 58 0 70

NTB Dompu 5 0 5 0 5Sumbawa 31 8 23 0 31Kota Bima 10 2 8 0 10Lombok Barat 24 22 2 0 24Bima 10 2 8 0 10Mataram 170 167 3 0 170Jumlah 250 201 49 0 250

NTT Nagekeo 10 3 7 0 10Belu 10 0 10 0 10Manggarai 19 3 16 0 19Sikka 10 9 1 0 10Ende 11 5 6 0 11Kota Kupang 50 0 50 0 50Sumba Timur 10 0 10 0 10Jumlah 120 20 100 0 120Jumlah Keseluruhan 440 233 207 0 440

Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di RPH

tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis kelamin

betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-sapi yang

dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di NTT sapi-

sapi kebanyakan dilepas pada padang gembalaan. Informasi dari peternak dan

staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi fungsi peternakan di

Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke lapangan bahwa peternak

tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak sapinya apa lagi pemberian

pakan unggas komersiil yang diduga mengandung MBM atau pemberian limbah

hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak kebanyakan makan rumput, kadang-

kadang diberi pakan tambahan berupa dedak dan juga rumput gajah.

Page 175: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

185

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Pada pemeriksaan sampel medulla oblongata (Tabel 1) semua sampel yang

berasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE.

Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang mengarah ke

BSE seperti: degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti

reaksi radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid

(Gambar 1B).

Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2016.

Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2016.

Page 176: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

186

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2016.

Gambar 1. A. Mesencefalon sapi positif BSE, terlihat adanya vakuolisasipada neuron, tanpa ada sel radang (H&E, 400X; Sumber: Gubler et al.,2007) B. Histopatologi medula oblongata negatif BSE, tidak ditemukandegenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plak amyloid(H&E; 200X)

1

3

A B

Page 177: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

187

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

VI. PEMBAHASAN

Bovine spongiform encehalopathy merupakan penyakit neurogedegeneratif fatal

dan bersifat zoonosis. Negara-negara yang terjangkit BSE mengalami kerugian

ekonomi yang sangat besar serta berusaha keras untuk membebaskan kembali

negaranya dari penyakit infeksius ini. Indonesia sampai saat ini merupakan

negara bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari BSE,

pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara lain: penghentian importasi

hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari negara tertular BSE,

pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT) dan MBM asal

ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan deteksi dini

melalui surveilans dan kajian resiko setiap tahun secara berkelanjutan.

Hasil surveilan melalui pemeriksaan histopatologi. yang dilakukan oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar tahun 2016 di RPH yang ada di kabupaten/kota yang

ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif

BSE. Pemeriksaan histopatologi merupakan pengujian gold standar untuk

peneguhan penyakit BSE (Cooley et al., 2001). Di Provinsi Bali, NTB dan NTT

tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan sapi

merupakan peternakan rakyat, sebagai usaha sambilan bukan merupakan

usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali

sebanyak 2 ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada

diberikan dedak atau sedikit mineral blok. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi

ada yang dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak

ada pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT. Sistem

peternakan sapi yang dianut oleh sebagian besar peternak sapi di wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar sejak dari jaman dahulu telah menerapkan

prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami diberikan rumput

sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang berasal dari hewan.

Page 178: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

188

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui

pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia

yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung antar

ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak telah

menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di dalam

saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke organ

limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk selanjutkan

diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004). PrPsc selanjutnya

melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem saraf tepi dan sistem

saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi spesifik yaitu:

degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik tanpa diikuti

adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan hiperplasia

(Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994). Pada sapi

menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak, spinal cord ,

retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.

Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan data

bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan dengan sapi

jantan. Para ahli menyebutkan bahwa jenis kelamin sapi bukan merupakan

faktor resiko penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina

mempunyai peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama

mendapatkan perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.

Analisa resiko kegiatan.

Target sampel BSE untuk Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016 ada sebanyak

360, namun dari surveilans ini melebih target yaitu sebesar 440. Sampel BSE

yang berlebih berasal dari Provinsi NTB yaitu dari target 130 menjadi 250

sampel. Lebih sebanyak 120 sampel. Disisi lain, target sampel di Provinsi Bali

dan NTT tidak memenuhi target masing-masing sebesar 100 dan 120. Di

Provinsi Bali hanya mendapatkan 70 sampel dan di NTT 120 sampel. Adanya

ketimpangan dalam jumlah pengambilan sampel ini perlu kiranya dari Bidang

Pelayanan Veteriner, BB-Vet Denpasar sebelum melakukan surveilans

Page 179: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

189

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

hendaknya mengkonfirmasi dulu jumlah sampel yang telah dikumpulkan di

bagian Epidemiologi.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan.

a. Berdasarkan hasil surveilans BSE yang diadakan di RPH yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disimpulkan bahwa

Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari penyakit BSE.

b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat/pakan komersiil untuk dijadikan

pakan ternak sapi.

2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya

kasus BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan

MBM yang berasal ruminansia sebagai pakan ternak tetap dilanjutkan.

Page 180: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

190

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmissiondynamics and epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.

Cooley, W.A., Clark, J.K., Ryder, S.J., Davis, L.A., Farrelly, S.S., and Stack, M.J (2001).Evaluation of a Rapid Western Immunoblotting Procedure for the Diagnosis of BovineSpongiform Encephalopathy (BSE) in the UK. J Comp Pathol. 125(1):64-70.

Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.

Gubler, E., Hilbe, M and Ehrensperger, F (2007). Lesion profiles and gliosis in the brainstem of135 Swiss cows with bovine spongiform encephalopathy (BSE). Schweiz ArchTierheilkd.149(3):111-22.

Hartawan, D.H., Wirata, I.K dan Saputra, I.G.N.A.W. (2013). Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2013.

Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Nurlatifah, I., Saraswati, N.K.H, Dharma, D.M.N dan Djusa, E(2010) Surveilans Penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Rumah PtongHewan Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. BulletinVeteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXII. 76. 33-37

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., dan Uliantara, I.G.A.J (2014)0) Analisa Risiko dan SurveilansPenyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2014. Laporan Tahunan. Balai Besar VeterinerDenpasar Tahun 2014.

Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolationin brain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.

Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distribution ofPrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.

Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp.36-45.

Page 181: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

191

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT

TAHUN 2016

Dewi, A.A.S., Ardiana, P.B. Frimananda ,G.Yudi Suryawan, N.Riti,D. Purnawati, R.Cahyo Saputro.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Office International of Epizootic (OIE) mendefinisikan bahwa zoonosis merupakan penyakit yangsecara alamiah dapat menular diantara hewan vertebrata dan manusia. Beberapa penyakitzoonosis dapat bersifat foodborne zoonosis, merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapanmakanan yang mengandung mikroba ditubuh manusia, salah satunya adalah Salmonellosisyang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Untuk menciptakan perlindungan kesehatanmasyarakat dan pencegahan serta pengendalian zoonosis, telah dilakukan monitoring dansurveilans zoonosis dengan melakukan pengambilan sampel telur ayam di peternakan ayam(farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Total jumlah sampel yang diambil adalah 200sampel. Hasil uji terhadap 200 sampel telur ayam menunjukkan bahwa semua sampel (100%)negatif bakteri Salmonella sp. Hal ini sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam StandarNasional Indonesia (SNI) 7388:2009, yaitu Salmonella sp. adalah negatif/ 25g. Hasil pengujianini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur pada situasi saat ini bebas dariSalmonellosis dan telur ayam tersebut aman untuk dikonsumsi.Oleh karena itu perlu dilakukanpemantauan secara regular untuk memastikan status peternakan ayam tersebut melalui programmonitoring dan surveilans yang berkelanjutan.

Kata kunci : Monitoring, Surveilans, Zoonosis, Telur

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Office International of Epizootic (OIE) mendefinisikan bahwa zoonosis

merupakan penyakit yang secara alamiah dapat menular diantara hewan

vertebrata dan manusia. Penyakit yang tergolong zoonosis dengan penyebaran

penyakit yang tersebar keseluruih dunia sering ditemukan di Indonesia seperti

Anthrax, Rabies, Leptospira, Brucelosis, Toxoplasmosis, dan Salmonellosis.

Diketahui dari 1.415 mikroorganisme pathogen pada manusia, 868 (61,3%)

diantaranya bersumber pada hewan atau bersifat zoonosis. Beberapa penyakit

zoonosis dapat ditularkan melalui makanan (food-borne disease).

Page 182: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

192

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari

pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba ditubuh

manusia. Oleh karena itu, untuk menciptakan perlindungan kesehatan

masyarakat dan pencegahan serta pengandalian zoonosis diperlukan upaya -

upaya yang dapat memberikan peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya

zoonosis, salah satunya dapat dilakukan melalui pelaksanaan Surveilans

Zoonosis sesuai dengan kaidah – kaidah ilmiah. Salmonellosis di Indonesia

adalah penyakit endemis dengan angka kejadian yang cukup tinggi yaitu,

358.810/100.000 penduduk/ tahun dengan angka kematian demam tifoid

dibeberapa daerah adalah 2 – 5 %.

Salmonellosis merupakan penyakit yang termasuk dalam penyakit zoonosis

prioritas sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012, tentang

Zoonosis Prioritas. Salmonellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

yang berasal dari genus Salmonella sp. Salmonella adalah bakteri gram negatif,

berbentuk batang, non spora yang memfermentasi glukosa dengan membentuk

gas, tumbuh pada temperatur 6,7°C – 45,6°C, pH 4,1 – 9,0. Salmonellosis

merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus penyakit pada manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan surveilans zoonosis khususnya

Salmonella sp.sebagai peringatan dini, juga merupakan bagian dalam sistem

pengendalian dan penanggulangan penyakit zoonosis. Hasil monitoring dan

surveilans zoonosis tahun 2015 terhadap 200 sampel telur yang disampling di

beberapa peternakan (farm) ayam petelur di Provinsi Bali, NTB dan NTT

menunjukkan bahwa, semua sampel (100%) tidak tercemar bakteri Salmonella

sp. Namun demikian, monitoring dan surveilans zoonosis dilakukan secara

berkesinambungan setiap tahun untuk memastikan bahwa peternakan (layer

farm) tersebut bebas dari Salmonellosis. Oleh karena itu, tahun 2016 monitoring

dan surveilans zoonosis dilanjutkan dan dilakukan pada farm layer di Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

Page 183: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

193

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan yaitu belum diketahuinya situasi terkini (prevalensi) Salmonellosis

pada telur ayam konsumsi di peternakan ayam petelur (layer farm) di wilayah

Provinsi Bali, NTB dan NTT serta faktor – faktor yang berkaitan dengan kegiatan

Salmonellosis tersebut.

3. Tujuan Kegiatan

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Salmonellosis pada wilayah

kerja BBVet Denpasar dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian

tersebut.

4. Manfaat Kegiatan

Sebagai bahan pengambilan kebijakan untuk pengendalian zoonosis

khususnya Salmonellosis di wilayah kerja BBVet Denpasar.

5. Output1. Tersedianya data prevalensi bakteri Salmonella sp. pada telur ayam

konsumsi.

2. Pemetaan daerah resiko Salmonella sp. peternakan ayam petelur (layer

farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.

II. MATERI DAN METODE1. Materi

1.1. Bahan

Jenis sampel yang diambil berupa telur ayam konsumsi sebanyak 200

sampel yang berasal dari Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel diambil dari

peternakan ayam petelur (layer farm) di Provinsi Bali, NTB dan NTT. yaitu di

Kabupaten Tabanan dan Karangasem masing-masing sebanyak 50 sampel,

Kota Mataram 50 sampel dan Kabupaten Kupang 50 sampel.

Page 184: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

194

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2. Metode2.1. Pemilihan Lokasi

Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji Salmonellosis adalah

kabupaten yang dikategorikan memiliki resiko cukup tinggi, karena terdapat

peternakan ayam petelur (layer farm).

2.2. Metode Sampling

Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu

lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya.Alokasi tempat pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan adanya peternakan ayam petelur (layer

farm).

Sample Size

Mengingat keterbatasan sumber daya, maka proses sampling diperlukan.

Untuk itu sampel size (jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili)

dihitung berdasarkan rumus :

n =[Zα/2]2 x P x Q L2

Keterangan : n = Jumlah sampel

Z = Nilai standar normal (baku)

P = Proporsi = Prevalensi

Q = Peluang tidak terjadi cemaran

L = Tingkat Ketelitian

α = Tingkat Kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (Prevalensi) yang diambil adalah asumsi 1 %, α yang

dipilih adalah 5 %, L yang dipilih adalah 5 %.

Perhitungan :

n =[2]2 x 0,01 x (1-0,01)=15,84 dibulatkan menjadi 16 0,05

Page 185: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

195

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2.2.1. Penanganan dan Transportasi Sampel

Sampel yang diperoleh diletakkan dalam wadah telur (egg tray) untuk

menghindari adanya telur yang pecah atau busuk dan dikirim ke BBVet

Denpasar.

2.2.2. Pengujian Sampela. Pra-pengayaan

Sebanyak 25 ml sampel dimasukkan ke dalam kantong steril kemudian

ditambahkan dengan 225 ml Lactose Broth (LB), homogenkan dengan

stomacher selama 1 menit selanjutnya pindahkan suspensi ke dalam

erlenmeyer steril dan diinkubasikan pada suhu 35° C, selama 24 jam ± 2

jam.

b. Pengayaan

Aduk perlahan biakan pra-pengayaan, kemudian diambil 1 ml tambahkan

dalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB), diinkubasikan kembali pada suhu

35° C, selama 24 jam ± 2 jam.

c. Isolasi dan Identifikasi

Dari media TTB diambil 1 loop digoreskan pada 3 media plate yaitu

Hektoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar(XLDA)

dan Bismuth Sulfite Agar (BSA), diinkubasikan pada suhu 35° C, selama

24 jam ± 2 jam.

Pada media HEA kuman Salmonella sp terlihat berwarna hijau kebiruan

dengan atau tanpa titik hitam (H2S).Pada media XLD koloni terlihat

berwana merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat

hampir seluruh koloni berwarna hitam. Pada media BSA koloni terlihat

berwarna keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar

koloni akan berubah warna menjadi coklat dan semakin lama masa

inkubasi akan berubah menjadi hitam.

Page 186: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

196

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi dengan mengambil koloni yang

diduga dari ketiga media tersebut, diinokulasikan pada media Triple

Sugar Iron Agar (TSIA) dan Lysine Iron Agar (LIA).

Tabel 1. Hasil Uji Salmonella sp. pada TSIA dan LIA

Media AgarMiring(Slant)

Dasar Agar(Buttom)

H2S Gas

TSIA Alkalin / K(merah)

Asam / A(kuning)

Positif(hitam)

Negatif/Positif

LIA Alkalin / K(ungu)

Alkalin / K(ungu)

Positif(hitam)

Negatif/Positif

d. Uji Biokimia

Koloni positif dari media biakan TSIA diinokulasikan pada media uji

biokimia, dengan interpretasi hasil sebagai berikut :

Page 187: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

197

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2.Reaksi Biokimia Salmonella sp.

HasilUji Substrat

Positif Negatif Salmonellasp.

Urease Pink sampai merah Tetap kuning -

Indole Permukaan warnamerah

Permukaan warnakuning

-

Voges-Proskauer

(VP)Pink sampai merah Tidak berubah

warna-

Methyl Red (MR) Merah Kuning +

Citrate Biru Tidak berubahwarna

+

LysineDecarboxylase Broth(LDB)

Ungu Kuning +

Kalium CyanidaBroth (KCNB)

Ada pertumbuhan(kekeruhan)

Tidak adapertumbuhan

-

Phenol Red DulcitolBroth

Warna kuning danatau dengan gas

Tidak berubahwarna dan tanpagas

+

Malonate Broth Biru Tidak berubahwarna

-

Phenol Red LactoseBroth

Warna kuning danatau dengan gas

Tidak berubahwarna dan tanpagas

-

Phenol Red SucroseBroth

Warna kuning danatau dengan gas

Tidak berubahwarna dan tanpagas

-

Polyvalent Somatic

(O)Agglutinasi Tidak terjadi

agglutinasi+

Polyvalent flagelar

(H)Agglutinasi Tidak terjadi

agglutinasi+

Page 188: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

198

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. HASIL

Hasil uji Salmonella sp. terhadap 200 sampel telur ayam, menunjukkan bahwa

semua sampel (100%) tidak tercemar bakteri Salmonella sp. Hasil uji ini sesuai

dengan persyaratan yang ditetapkan dalam batas maksimum cemaran mikroba

dalam Standard Nasional Indonesia (SNI) No.7388:2009. Hasil selengkapnya

tersaji pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Hasil uji Salmonella sp. sampel telur ayam yang berasal daribeberapa peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2016.

Provinsi Kabupaten/Kota Lokasi Jenis

sampelJumlahsampel

Hasil ujiSalmonella sp

((∑ smpl negatif)Tabanan Peternakan

(layer farm)Telurayam

50 50 (100%)Bali

Karangasem Peternakan(layer farm)

Telurayam

50 50 (100%)

NTB Mataram Peternakan(layer farm)

Telurayam

50 50 (100%)

NTT Kupang Peternakan(layer farm)

Telurayam

50 50 (100%)

Jumlah 200 200 (100%)Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) berdasarkan SNI7388 : 2009, Salmonella sp. pada sampel telur segar : negatif / 25 gr.

Tabel 4. Diagram Prosentase Jumlah Sampel Telur AyamNegatifSalmonella sp.

Page 189: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

199

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Salmonella sp.merupakan agen zoonosis yang menyebabkan terjadinya

penyakit Salmonellosis serta dapat menyerang unggas, mamalia dan manusia.

Salmonellosis merupakan peringkat kelima dalam zoonosis prioritas, sesuai

Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012 tentang zoonosis

prioritas.Penyakit ini terjadi akibat mengkonsumsi makanan atau minuman yang

tercemar oleh bakteri Salmonella sp., dengan gejala – gejala seperti : diare,

mual, muntah, sakit perut, sakit kepala , kedinginan dan demam. (Doyle and

Cliver, 1990; Jawet, 1996).Menurut Cox (2000), genus Salmonella sp., termasuk

dalam famili Enterobacteriacceae, adalah bakteri gram negatif, berbentuk batang

(0,7 – 1,5 x 2,5 µm), fakultatif anaerobic, oxidase negatif dan katalase positif.

Sebagian besar strain motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk

gas dan asam.

Salmonellosis di Indonesia adalah penyakit endemis dengan angka kejadian

yang cukup tinggi yaitu, 358.810/100.000 penduduk/ tahun dengan angka

kematian demam tifoid dibeberapa daerah adalah 2 – 5 %. Penyebaran mikroba

ini biasanya melalui daging dan telur yang tidak dimasak. Daging ayam, telur

ayam dan produk unggas adalah tempat perkembangbiakan yang paling utama.

Jika pangan yang tercemar Salmonella sp. tertelan, dapat menyebabkan infeksi

usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan dan sakit kepala. Konsekuensi

kronisnya ialah gejala arthritis terjadi 3-4 minggu setelah serangan gejala akut.

Kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia

menelan pangan yang mengandung bakteri Salmonella sp., dalam jumlah besar.

Jumlah bakteri Salmonella sp., yang dapat menyebabkan sakit yaitu 107 sel/gr –

109 sel/gr (Anonimus, 2009). Sesuai amanat Undang – Undang No.18 Tahun

2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan Tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner untuk melakukan pengadilan dan penanggulangan zoonosis,

menjamin keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan, maka

perlu dilakukan pengujian Salmonella sp. Dalam Standar Nasional Indonesia

(SNI 7388 : 2009), disebutkan bahwa Batas Maksimum Cemaran Mikroba

(BMCM) Salmonella sp. pada telur segar adalah negatif/ 25 gram. Sementara itu

Page 190: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

200

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

hasil uji terhadap 200 sampel telur ayam yang berasal dari tiga Provinsi Bali,

NTB dan NTT menunjukkan semua sampel (100%) negatif Salmonella sp.

Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa peternakan ayam petelur (farm) yang

diambil sampelnya dalam situasi saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur –

telur tersebut dikategorikan aman untuk dikonsumsi.Hal ini sesuai dengan Quin

et.al (2002), yang menyatakan bahwa jika pada telur ayam ditemukan bakteri

Salmonella sp., maka sumber penularan bisa berasal dari induk yang menderita

Salmonellosis. Ada beberapa cara untuk menghindari terjadinya Salmonellosis

dari telur diantaranya : buang telur yang cangkangnya retak atau kotor, simpan

telur dalam kulkas pada suhu 4°C, cuci tangan serta peralatan masak yang

bersentuhan dengan telur mentah menggunakan air dan sabun, tidak

mengkonsumsi telur yang mentah maupun tidak matang secara sempurna.

(Anonimus1, 2016). Menurut Nesheim et.al., (1979), telur yang masih segar

memiliki pori – pori kecil dan dalam penyimpanan pori – pori tersebut dapat

meningkat dan bertambah banyak hal ini memungkinkan kontaminasi bakteri ke

dalam telur yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas telur. Sedangkan

kutikula pada telur sebagai salah satu pelindung alami yang dimiliki oleh telur

selain lizosim yang bersifat bakteriosid hanya dapat bertahan selama 4 hari

(Idris, 1984)

Cemaran pada telur dari dalam maupun luar. Infeksi dari dalam biasanya terjadi

akibat infeksi kronik saluran genital ayam, sedangkan infeksi dari luar terjadi

akibat makanan yang terkontaminasi. Telur yang kotor dapat dicuci, tetapi harus

hati – hati karena dapat terjadi kontaminasi selama mencuci jasad renik seperti

Salmonella sp., yang menempel di bagian luar kulit telur dapat dengan mudah

berpindah ke makanan. Suherman (2005) menyebutkan, bahwa pencemaran

bakteri ke dalam telur juga dapat terjadi akibat keretakan atau kepecahan yang

disebabkan oleh kemiringan kandang, pengumpulan dan pengepakan yang

salah karena tenaga kerja yang kurang terampil serta pengangkutan dan alat

transportasi yang kasar.

Anonimus2(2016) juga menyatakan bakteri Salmonella sp. bisa terdapat di luar

cangkang telur, hal ini dikarenakan telur dikeluarkan melalui saluran yang sama

dengan feses, oleh karena itu kulit cangkang telur perlu dibersihkan. Disamping

Page 191: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

201

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

itu, Salmonella sp. Bisa terdapat pada bagian dalam cangkang telur atau pada

telur yang utuh, kontaminasi ini kemungkinan terjadi akibat infeksi dalam saluran

reproduksi ayam sebelum cangkang telur terbentuk.

Pakan yang terkontaminasi Salmonella sp. merupakan sumber penyakit yang

dapat masuk ke peternakan unggas. Kontaminasi Salmonella sp. merupakan

masalah yang serius karena kontaminasinya dapat mencapai telur dan

menghasilkan anak ayam carrier terhadap bakteri Salmonella sp. Peternakan

unggas yang terkontaminasi Salmonella sp. merupakan sumber terjadinya Food-

borne disease (Jones dan Richardson, 2004).Salmonella sp. sebagai penyebab

terjadinya Salmonellosis pada ternak yang ditandai dengan diare.Hal ini lebih

rentan dijumpai pada ternak yang masih muda bila dibandingkan dengan ternak

dewasa (Davies, 2001).

V. SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur di Provinsi

Bali, NTB, NTT saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman

untuk dikonsumsi.

2. Saran

Perlu dilakukan pemantauan secara regular untuk memastikan status

peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang

berkelanjutan.

Page 192: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

202

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2009.Kajian Keamanan Salmonella sp. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalamPangan. Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009. Badan Standarisasi Nasional ICS67.220.20.

Anonimus, 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu sertaHasil Olahannya SNI 2897: 2008, Standar Nasional Indonesia. Badan StandarisasiNasional.

Anonimus1. 2016. Salmonella and Eggs. www.cdc.gov/features/salmonellaeggs/index.html.

Anonimus2. 2016. Shell Eggs From Farm To Table.https://www.fsis.usda.gov/wps/portal/fsis/topics/food-safety-education/get-answers/food-safety-fact-sheets/egg-products-preparation/shell-eggs-from-farm-to-table/CT_Index/.

Cox, J., 2000.Salmonella (introduction).Encyclopedia of Food Microbiology, vol.3. Robinson,R.K., C.A. Batt and P.D. Patel (editors) Academic Press, San Diego.

Davies, R. 2001. Salmonella typhimurium DT 104: has it had its day? In Practice. June. Pp:342-349.

Idris, S. 1984. Telur dan Cara Pengawetannya. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.Malang. 5-55.

Jones, F.T., and K.E, Richardson. 2004. Salmonella in Commercially Manufactured Feeds.Poult.Sci, 83:384-391.

Nesheim, M.C.R.E, Austic and L.E, Card. 1979. Poultry Production, 12th. Ed.Lea and Febriger,Philadelpia, 282-306.

Quin, P.J., K.Markey., M.E.Carter., W.J.Donneldy and F.C.Leonard. 2002. VeterinaryMicrobiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. 115.

Suherman, D. 2005. Pengaruh Faktor Manajeman Terhadap Kepecahan Telur. PoultryIndonesia, Edisi 302. Jakarta. 62-65.

Page 193: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

203

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

MONITORING DAN SURVEILANS RESIDUDAN CEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) PADA PANGAN ASAL HEWAN

DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT TAHUN 2016

Dewi, A.A.S, Ardiana, P.B. Frimananda, G.Y.Suryawan, N.Riti., D.Purnawati,R.C.Saputro

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Daging, telur dan susu merupakan pangan asal hewan yang bersifat perishable food (mudahrusak) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan karena mudah tercemarsecara fisik, kimiawi (residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakankeselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu ketentramanbathin masyarakat termasuk kehalalan. Program Monitoring dan surveilans residu dan cemaranmikroba (PMSR-CM) pada pangan asal hewan tahun 2016 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telahdilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanyamelakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan) berbasiskepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.Pengambilan sampel dilakukan di rumah potong hewan (RPH), pasar tradisional, kios pengecer(retail) dan perusahaan pemasok daging (importir) dengan total jumlah sampel adalah 1688sampel. Hasil uji terhadap cemaran mikroba terutama Total Plate Count (TPC) menunjukkanbahwa sebanyak 47,1-65,9% sampel mengandung total jumlah kuman melebihi batasmaksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 7388:2009 yaitu 1x106

koloni/gram, sedangkan hasil uji terhadap E.coli menunjukkan sebanyak 10,7% sampelmengandung bakteri E.coli melebihi BMCM yaitu 1 x 101 koloni/gram. Hasil uji terhadap bakteriS.aureus menunjukkan hasil negatif dan hasil uji terhadap bakteri Salmonella sp sebanyak 0,3-1,4% sampel daging dan telur positif mengandung bakteri Salmonella sp. Hasil uji cemaranmikroba ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantaiproduksi pangan relatif rendah sehingga tingkat higiene khususnya daging segar tersebut jugarelatif rendah. Sementara itu hasil uji terhadap residu antibiotika menunjukkan bahwa masihditemukan adanya residu antibiotika (1,4-5,26,9%) pada sampel telur ayam dan hati sapi. Hal inimengindikasikan bahwa kurangnya perhatian terhadap masa henti obat (withdrawal time)sebelum ternak dipotong. Sedangkan hasil uji terhadap residu logam berat timbal (Pb), AflatoksinM1, Hormon Trenbolon Acetat (TBA) dan Identifikasi spesies babi menunjukkan negatif dan hasiluji Anti Mikrobial Resistant (AMR) menunjukkan bahwa obata-obatan antimikroba sepertichlroramphenicol merupakan pilihan yang lebih baik untuk infeksi E.coli.

Kata kunci : Monitoring, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba, Pangan Asal Hewan

Page 194: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

204

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPangan asal hewan berupa daging telur dan susu merupakan protein hewani

yang mengandung asam amino essensial yang tidak dapat diganti dengan

protein nabati atau protein sintetis lainnya, sehingga dapat bermanfaat bagi

pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Anon, 2013).

Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah

rusak (perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan

lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi

(residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakan keselamatan

hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu

ketentraman bathin masyarakat termasuk kehalalan.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat

membahyakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan,

serta mengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan, dan guna

mendorong pelaku usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang

memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi,

dimasukkan dari dan/atau dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di

dalam negeri, perlu dilakukan pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu

produk hewan

Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba

(PMSR-CM) tahun 2016 di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tingkat kontaminasi

mikroba pada pangan asal hewan masih relatif tinggi yaitu sebanyak 66,7%

pangan asal hewan khususnya daging segar mengandung total jumlah kuman

(TPC) melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang dipersyaratkan dalam

Standar Nasional Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya

tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan asal hewan

ditingkat unit usaha atau unit proses Sementara itu, pangan asal hewan

terutama telur belum terbebas dari residu antibibiotika karena masih ditemukan

residu antibiotika pada sampel tersebut.

Page 195: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

205

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Oleh karena itu pelaksanaan PMSR-CM tahun 2016 dilakukan dengan

pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya

melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan)

berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang

beredar di suatu daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat keamanan pangan asal hewan

yang beredar di wilayah kerja BB-Vet Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan NTT)

tahun 2016 ditinjau dari kandungan residu dan cemaran mikroba dan faktor-

faktor yang berasosiasi terhadap tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.

1.3. Tujuan Kegiatan

Untuk mendapatkan prevalensi kejadian residu dan cemaran mikroba pada

produk asal hewan tahun 2016, dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan

tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.

1.4. Manfaat Kegiatan

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui prevalensi residu dan

Cemaran mikroba pada pangan asal hewan yang beredar di wilayah kerja BB-

Vet Denpasar yaitu Provinsi (Bali, NTB dan NTT) sehingga hasil pelaksanaan

PMSR-CM yang dilakukan dapat ditindaklanjuti sebagai bahan kebijakan dalam

penjaminan keamanan produk hewan

Page 196: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

206

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.5. Output

1. Informasi ilmiah untuk tindak lanjut rekomendasi perbaikan di tingkat unit

usaha

atau unit proses (peningkatan/ perbaikan praktek hyginie dan sanitasi di unit

usaha)

2. Informasi ilmiah sebagai data dasar yang perlu dikaji lebih lanjut dalam rangka

penilaian risiko terhadap ancaman potensial hazard bagi konsumen produk

hewan.

II. MATERI DAN METODE

2.1 Materi2.1.1. BahanProgram Monitoring dan Surveilans Residu-Cemaran Mikroba tahun 2016

dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian food safety key

indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator

keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan

dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.

Oleh karena itu jenis sampel yang diambil adalah daging segar (ayam, sapi dan

babi), daging sapi beku impor, hati sapi, telur (ayam, itik), telur asin, kepala-leher

ayam dan daging olahan dengan parameter uji yang berbeda-beda untuk

masing-masing jenis sampel. Pengambilan sampel dilakukan di rumah potong

hewan (RPH), pasar tradisional, retail (pengecer) dan importir di wilayah Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

Total jumlah sampel yang diambil sebanyak 1688 yang terdiri dari 308 sampel

daging sapi, 66 sampel daging babi, 272 sampel daging ayam , 112 sampel

kepala-leher ayam, 132 sampel hati sapi, 21 sampel hati babi, 158 sampel

daging olahan, 35 sampel susu, 40 sampel daging sapi beku import, 505 sampel

telur ayam, 13 sampel telur asin, 14 sampel telur bebek, 4 sampel daging

kerbau, 2 sampel hati kerbau, 2 daging kuda dan 2 sampel hati kuda.

Page 197: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

207

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba

(TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,

tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,

hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar. Bahan yang

dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate tryptose broth,

brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s eosin methylene

blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’ citrate broth, tryptone

broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen metyl red indikator,

reagen voges proskauer.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara

lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,

koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter

enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon

trenbolon acetat, logam berat dan identifikasi spesies mencakup bakteri (Bacillus

cereus ATCC 11778, Bacillus cereus ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus

ATCC 7953 dan Kocuria rizophilla ATCC 9341) bacto pepton, bacto agar, beef

extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert butylmetylether, enzim β-

glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1, HNO3, primer babi (Forward

5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT TAC C 3’, Reverse 5’ CTA

CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran amplicon (bp) 149 bp, master

mix.

2.1.2. AlatPeralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan

petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic

jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,

tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety

cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter,

Page 198: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

208

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

mikroskop, evaporator, homogenizer, elisa reader, AAS, termocycler,

elektroforesis, microwave digestion system, fume hood,

2.2 Metode2.2.1 Pemilihan lokasiLokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu

(antibiotika, logam berat), aflatoksin M1 dan identifikasi spesies daging babi

adalah lokasi yang berdasarkan analisis risiko memiliki risiko yang cukup tinggi,

yaitu pada kabupaten/kota yang memiliki RPH/TPH , pasar/kios (daging, susu,

telur).

Untuk sampel pengujian residu hormon, lokasi pengambilan sampel dipilih

berdasarkan pertimbangan bahwa ditempat tersebut dijual daging sapi yang

berpeluang berasal dari sapi yang diberi perlakuan growth promotor hormonal

(daging impor diambil dari perusahaan importir daging, untuk sapi lokal diambil

organ hati di RPH)

Pengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota

(Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli, Buleleng,

Jembrana, dan Denpasar). Di Provinsi NTB dilakukan di 8 (delapan)

Kabupaten/Kota (Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Timur, Kota Mataram,

Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Dompu)

sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di 9 Kabupaten/Kota (Kabupaten Ende,

Kabupaten Manggarai, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sikka, Kabupaten

Sumba Timur, Kabupaten Belu, Kabupaten Ngada, Kota Kupang dan Kabupaten

Sumba Barat).

Sampel daging segar diambil di rumah potong hewan (RPH)/tempat

pemotongan hewan (TPH), dan pasar tradisional sedangkan sampel telur, susu

dan daging olahan diambil di pasar tradisional dan retail (pengecer).

Pengambilan sampel khususnya daging sapi beku import juga dilakukan di

beberapa perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon.

Page 199: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

209

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2.2.2. Metode samplingPemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu

lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, pasar dan pengecer

(daging, daging olahan, susu,telur), dan perusahaan importir daging. Pemilihan

sampel daging, daging olahan, susu, telur pada pasar dan kios (pengecer)

dilakukan secara random sederhana.

2.2.3. Sampel sizeMengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk

itu sampel size( jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung

berdasarkan rumus n = [ Zα/2 ]2 x P x Q]

L2

Keterangan : n = Jumlah sampel

Z = Nilai standar normal (baku)

P = proporsi = prevalensi

Q = Peluang tidak terjadi cemaran

L = Tingkat ketelitian

α = tingkat kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah 34% (prevalensi TPC

tahun 2014), α yang dipilih adalah 5%, L yang dipilih 5%.

Perhitungan :

n = [2]2 x 0,34 x (1-0,34) = 35,9 dibulatkan 36

(0,05)2

Untuk meningkatkan ketelitian (untuk menekan bias) maka sample size

terhitung 36 x 3 = 108 (Martin,T.,1987). Namun mengingat keterbatasan sumber

daya dan untuk meningkatkan efisiensi maka sample size yang diambil adalah

diatas jumlah sampel minimal (diatas 36).

Page 200: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

210

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2.2.4 Penanganan dan transportasi sampel

Semua sampel (daging segar) yang diambil ditangani secara aseptis. Sampel

yang diperoleh disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan

sampel telur diletakkan dalam wadah telur. Selain sampel primer (daging), akan

diambil juga sampel sekunder antara lain : sampel air di RPH, swab pisau, meja

(alas daging) dan timbangan di pasar tradisional

2.2.5 Pengujian sampela. Cemaran mikroba (TPC, E.coli, S.aureus, Salmonella sp. ,Campylobacter

sp.)

Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian dimasukkan

dalam mwadah steril, ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan dihomogenkan

selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran seri berkelipatan 10.

Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran tersebut dan dituangkan ke

dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan 12-15 ml plate count agar dan

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-48 jam Koloni yang tumbuh dihitung

sebagai Total Plate Count (TPC).

Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap tabung

LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham dan

diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-tabung

yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri E.coli. Uji

peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC broth yang

positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan diinkubasikan pada

suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari masing-masing L-EMB

dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi dan biokimia. Bakteri E.coli

dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung dalam pengenceran EC

broth yang positif.

Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran diambil

masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3 ml) dipupuk

pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk., diinkubasikan pada suhu

Page 201: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

211

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan ditemukan koloni yang khas

S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI

broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 350C selama 18-24 jam. Sebanyak

0,5 ml koagualse plasma kelinci ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk,

selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk

melihat terbentuknya gumpalan.

Pengujian bakteri Salmonella sp, sebanyak 25 gram sampel ditambahkan 225

ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2 jam. Dari

larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml tetrathionate broth

(TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Dari media tersebut

diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD dan BSA, diinkubasikan pada

suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang khas untuk bakteri Salmonella sp

diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni yang dicurigai diuji dengan reaksi

biokimia dan serologi.

Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan ditambah

100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16000 rpm selama 15 menit kemudian

supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml endapan ke dalam botol

sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment broth. Suspensi tersebut

diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam dalam kondisi anaerobik.

Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C selama 24 jam. Dari suspensi

tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton

0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari suspensi ke media agar mCCDA,

diinkubasikan pada suhu 420C selama 24-48 jam dalam kondisi anaerobic

(Anon, 2008)

b. Residu antibiotika (bioassay)Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan pelarut

dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus diambil

supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah ditambahkan

bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji, kemudian ditetesi

dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika sebanyak 75 ul, diinkubasikan

Page 202: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

212

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

selama 16-18 jam untuk golongan makrolida dan aminoglikosida pada

temperatur 360C ± 10C, golongan tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan

golongan penisillin pada temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang

terbentuk pada sampel sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila

diameter hambatan yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus

diencerkan (Anon, 2008)

c. Uji Residu logam beratSampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung microwave.

Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam microwave.

Selanjutnya pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu takar 50 ml. Bilas

labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air deionisasi. Tepatkan

dengan asam nitrat 0,1M. Selanjutnya sampel dianalisa dengan AAS (Atomic

Absorption Spectrophotometer) (Anon, 2013)

d. Uji Hormon Trenbolon Acetat (TBA)Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya dilakukan uji

Elisa : ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standard atau sampel dan

ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-masing lubang plate

(well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-trenbolon antibody pada

masing-masing well, plate dikocok secara manual dan diinkubasi selama 2 jam

pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan aquadest sebanyak 2 kali.

Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen, dikocok

pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit dalam

ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop solution pada masing-

masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada filter 450 nm.

e. Uji Aflatoksin M1Pengujian Aflatoksin M1 dalam sampel susu dilakukan dengan metode ELISA

kompetitif. Sampel susu dikondisikan pada suhu 10 °C, kemudian disentrifuse

pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan atas dihilangkan

menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 μl susu yang telah dihilangkan

lemaknya digunakan untuk pengujian. Larutan antibodi anti-aflatoxin M1

Page 203: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

213

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dari microwell, dihomogenkan

dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C) selama 15 menit. Larutan antibodi

dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap,

kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μL larutan washing

buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan sampel masing-masing sebanyak

100 μl ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu

ruang dalam keadaan gelap selama 30 menit.

Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell

pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan

250 μl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 μl) ditambahkan ke setiap

sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap

selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell

pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan

250 μl larutan washing buffer. Substrat/chromogen sebanyak 100 μl

ditambahkan ke setiap sumur dan dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada

suhu ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan

menambahkan 100 μl stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan

ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam

jangka waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai

optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan

ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software.

f. Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi)Ekstraksi sampel : Waterbath/blok pemanas disisapkan pada suhu 55 0 dan 700

kemudian sebanyak 25 mg daging dimasukkan ke dalam mikrotube. kemudian

ditambahkan 180 µl lysis buffer (L6) dan 20 µl proteinase K kedalam tube, dan

diinkubasikan pada suhu 550C selama 30 menit. Sebanyak 20 µl RNase A

ditambahkan dan diinkubasikan pada suhu ruangan selama 2 menit. Kemudian

sentrifuse dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatan

dipindahkan ke tube baru dan ditambahkan 10 % SDS sebanyak 10 µl dan

divorteks. Kemudian sebanyak 200 µl Binding Buffer (L3) ditambahkan ke dalam

tube dan di vortex dan diinkubasikan pada suhu 700C selama 10 menit.

Page 204: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

214

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sebanyak 200 µl etanol 90-100% kemudian ditambahkan ke dalam tube.

Selanjutnya cairan yang ada dalam tube di pindahkan ke spincolumn dan

disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang dan

ditambahkan kembali W4 kemudian disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm

selama 30 detik. Cairan dibuang, sebanyak 500 µl wash buffer (W5)

ditambahkan ke dalam tube kemudian dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30

detik dan diulangi sekali lagi. Cairan dibuang dan disentrifus dengan kecepatan

12.000 rpm selama 30 detik. Masukkan ke dalam collection tube dan sebanyak

100 µl elution buffer (E1) ditambahkan kemudian diinkubasikan pada

temperature ruangan selama 1 menit. Kemudian disentrifuse pada kecepatan

13.000 rpm selama 2 menit. Dilanjutkan dengan uji PCR .

g. Uji Anti Mikrobial Resistant (AMR)Satu loop penuh dari biakan isolat bakteria pada media NA diambil dan dibuat

suspensi ke dalam 1 ml NaCl fisiologis steril. Kekeruhan yang terbentuk

disetarakan dengan kekeruhan 0,5 McFarland secara visual.

Dengan menggunakan swab steril, inokulasikan suspense bakteria dalam NaCl

fisiologis tersebut ke seluruh permukaan media agar secara merata.

Mediadibiarkan sesaat agar mongering. Setelah suspense mongering pada

permukaan agar, tempelkan disk antimicrobial yang akan diujikan pada

permukaannya. Kemudian media diinkubasikan pada suhu 350C selama 16-18

jam. Bakteria reference E.coli ATCC 25922 digunakan untuk kontrol kualitas

pengujian susceptibilitas.

Isolat bakteria ditentukan susceptibilitasnya terhadap antimikrobial dengan

mengukur diameter halo yang terbentuk. Penentuan susceptible (S),

intermediate (I), dan resistant (R) melalui ukuran diameter halo yang terbentuk

berdasarkan rekomendasi standar NCCLS.

Page 205: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

215

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. HASIL

Pangan asal hewan yang diuji berdasarkan parameter uji Total Plate Count

(TPC), menunjukkan sebanyak 64 sampel (47,1%) dari 136 sampel daging

segar yang diambil di RPH dan sebanyak 201 sampel (65,9%) dari 305 sampel

yang diambil di pasar tradisional mengandung TPC melebihi persyaratan batas

maksimum cemaran mikroba (BMCM) daging segar yang dipersyaratan dalam

SNI 01-7388-2009. Demikian juga dengan daging olahan, sebanyak 19 sampel

(17,1%) dari 111 sampel daging olahan yang berasal dari pengecer (retail)

mengandung TPC melebihi BMCM daging olahan yang dipersyaratkan dalam

SNI 7388-2009. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Uji Total Plate Count (TPC) pada sampel daging segar dandaging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016

Hasil Uji Total Plate Count (TPC)RPH Pasar Tradisional Pengecer (Retail)

AsalSampel

Jenissampel

∑sampel

> BMCM ∑sampel

> BMCM ∑sampel

>BMCM

Dg. Sapi 25 16(64,0%)

34 19 (55,9%)

Dg. Babi 10 8(80,0%)

40 30 (75,0%)

Kepalaayam

34 29 (85,3%)

Bali

Dg. Olahan 34 5(14,7%)

Dg. Sapi 43 21(48,8%)

64 40 (62,5%)

Kepalaayam

2 1(50,0%)

39 34 (87,2%)

Dg. Olahan 32 4(12,5%)

Dg. Kuda 2 0 2 0

NTB

Dg. Kerbau 4 1 (25,0%)Dg. Sapi 50 17

(34,0%)46 21 (45,7%)

Dg. Babi 4 1(25,0%)

12 3 (25,0%)

Kepalaayam

30 24 (80,0%)

NTT

Dg. Olahan 45 10(22,2%)

Total 136 64(47,1%)

305 201(65,9%)

111 19(17,1%)

Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam StandardNasional Indonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram untuk TPC;daging segar : 1x106 ; daging olahan : 1x105

Page 206: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

216

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hasil uji terhadap Eschericia coli (E.coli) menunjukkan bahwa, sebanyak 13

sampel (10,7%) dari 122 sampel yang diambil di RPH dan sebanyak 9 sampel

(10,6%) dari 85 sampel yang diambil di pasar tradisional dan 3 sampel (8,1%)

mengandung E.coli melebihi BMCM. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di

bawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji E.coli pada sampel daging segar asal Bali, NTB dan NTTtahun 2016

Hasil Uji E.coliRPH Pasar Tradisional

AsalSampel

Jenissampel

∑ sampel > BMCM ∑ sampel > BMCMDg. Sapi 24 0 10 0BaliDg. Babi 10 0 39 6

(15,4%)Dg. Sapi 43 10

(23,3%)4 0

Dg. Kerbau 3 1(33,3%)

NTB

Dg. Kuda 2 0Dg. Sapi 41 3 (7,3%) 15 0NTTDg. Babi 4 0 12 2

(16,7%)

Total 122 13(10,7%) 85 9 (10,6%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram untuk E.coli; daging segar: 1x101

Sedangkan hasil uji terhadap cemaran bakteri Staphylococcus aureus

(S.aureus) disajikan dalam tabel 3 di bawah ini. Hasil uji menunjukkan bahwa

semua sampel (7 sampel telur bebek dan 108 sampel daging olahan ) tidak

tercemar bakteri S.aureus.

Page 207: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

217

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 3. Hasil Uji S.aureus pada sampel daging olahan dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2016

Hasil Uji S.aureus

Pasar Tradisional RetailAsal

SampelJenis

sampel∑ sampel > BMCM ∑ sampel > BMCM

Bali Dg. olahan - - 34 0

Dg. olahan - - 29 0NTB

Telur bebek 7 0

NTT Dg. olahan 45 0

Total 7 0 (0,0%) 108 0 (0,0%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram , S.aureus : 1x102 .

Hasil uji terhadap Salmonella sp, menunjukkan bahwa sebanyak 2 sampel

(1,4%) dari 148 sampel daging segar yang berasal dari RPH positif Salmonella

sp dan sebanyak 2 sampel (0,3%) dari 739 sampel daging dan telur yang

berasal dari pasar tradisional positif Salmonella sp. Hasil selengkapnya tersaji

dalam table 4 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil uji Salmonella sp pada sampel daging segar, daging olahandan telur asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016

Hasil Uji Salmonella spRPH Pasar Tradisional

AsalSampel

Jenissampel

∑ sampel ∑ positif ∑ sampel ∑ positifDg. Sapi 24 0 28 0

Dg. Babi 10 0 39 0

Dg. Ayam 35 0

Telur ayam 135 0

Susu

Bali

Dg. Olahan

Page 208: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

218

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Dg. Sapi 58 2* (3,4%) 50 1* (2,0%)

Dg. Ayam 44 0

Telu ayam 160 0

Telur bebek 7 0

Dg. Kuda 2 0

Dg. Kerbau

NTB

Dg. Olahan

Dg. Sapi 50 0 46 0

Dg. Babi 4 0 12 0

Dg. Ayam 33 0

NTT

Telur ayam 150 1* (0,6%)

Total 148 2 (1,4%) 739 2 (0,3%)

Ket : * sampel daging sapi positif Salmonella sp berasal dari Kota Mataram(NTB) dan telur ayam positif Salmonella sp berasal dari Sumba Timur (NTT).Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram untuk Salmonella sp :negatif/25 gram

Sementara itu, hasil uji terhadap residu antibiotika disajikan dalam tabel 5 di

bawah ini.. Hasil uji menunjukkan, sebanyak 110 sampel (15,4%) positif

mengandung residu antibiotika golongan penisillin (PC’s), sebanyak 10 sampel

(1,4%%) positif golongan tetrasiklin (TC’s), sebanyak 192 sampel (26,9%%)

positif golongan Aminoglikosida (AG’s) dan sebanyak 143 sampel (20%) sampel

positif golongan makrolida (MC’s) dari 715 sampel yang diuji.

Page 209: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

219

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 5. Hasil Uji Residu Antibiotika sampel daging dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2016

∑ Sampel Positif Residu AntibiotikaAsalSampel

JenisSampel

JumlahSampel PC’s TC’s AG’s MC’s

Dagingayam

34 0 0 0 0

Telurayam

120 12(10,0%)

0 27(22,5%)

21(17,5%)

Hati sapi 22 3 (13,6%) 1 (4,5%) 3(13,6%)

1 (4,5%)

Bali

Hati babi 10 0 0 0 0Dagingayam

49 0 0 0 0

Telurayam

175 52(29,7%)

7 (4,0%) 85(48,6%)

60(34,3%)

Hati sapi 52 0 0 1 (1,9%) 0HatiKerbau

2 0 0 0 0

NTB

Hati Kuda 2 0 0 0 0Dagingayam

37 0 0 0 0

Telurayam

156 43 (27,6%) 2(10,6%)

76(48,7%)

61(39,1%)

Hati sapi 47 0 0 0 0

NTT

Hati babi 9 0 0 0 0Total 715 110

(15,4%)10(1,4%)

192(26,9%)

143(20%)

Ket : PC’s : golongan Penisillin, TC’s : golongan Tetrasiklin, AG’s : golonganAminoglikosida, MC’s : golongan Macrolida

Hasil uji terhadap residu hormon trenbolon acetat (TBA), menunjukkan bahwa

40 sampel daging sapi beku import dan 60 sampel hati sapi lokal negatif residu

hormon trenbolon acetat. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 6 di bawah ini.

Page 210: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

220

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 6. Hasil Uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) pada sampeldaging dan hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016

Hasil Uji TBAAsalSampel Jenis Sampel Jumlah

sampel Konsentrasi(ppt) Interpretasi

Daging sapi beku

import

40 63,9 – 91,9 NegatifBali

Hati sapi lokal 23 60,8 – 98,2 Negatif

NTB Hati sapi lokal 21 68,8 – 94,1 Negatif

NTT Hati sapi lokal 16 67,6 – 97,1 Negatif

Total 100

Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkan

Codex Alimentarius Commision (CAC) pada daging : 2 ppb (2000 ppt) ; hati : 10

ppb (10000 ppt)

Dalam tabel 7 tersaji hasil uji residu logam berat khususnya Pb (timbal). Hasil uji

menunjukkan, sebanyak 58 sampel hati sapi yang diuji negatif residu logam

berat Pb (timbal)

Tabel 7. Hasil uji Residu Logam Berat (Pb) pada sampel hati sapi asal Bali,NTB dan NTT tahun 2016

Hasil Uji Residu Pb (Timbal)AsalSampel Jenis sampel Jumlah

sampel Konsentrasi (ppm) InterpretasiBali Hati sapi 16 (-0,07) – (-0,17) Negatif

NTB Hati sapi 22 (-0,06) – (-2,00) Negatif

NTT Hati sapi 20 (-0,08) – (-0,12) Negatif

Total 58

Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387 : 2009,

dalam Jeroan sapi : 0,5 mg/kg (ppm) (CAC, 2003)

Page 211: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

221

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hasil uji terhadap Aflatoksin M1 dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging

babi), menunjukkan bahwa semua sampel (84 sampel susu sapi ) negatif

Aflatoksin M1 dan 120 sampel daging olahan negatif pemalsuan daging babi.

Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 8 dan 9 di bawah ini.

Tabel 8. Hasil Uji Aflatoksin M1 pada sampel susu asal Bali, NTB dan NTTtahun 2016

Hasil Uji Aflatoksin M1AsalSampel

Jenis sampelJumlahsampel Nilai (ppt) Interpretasi

Bali Susu sapi 42 <125- 366,5 NegatifNTB Susu sapi 20 <125- 366,5 NegatifNTT Susu sapi 22 <125- 366,5 NegatifTotal 84

Keterangan: Batas Maksimum Residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385-

2009:500 ppt

Tabel 9. Hasil Uji Identifikasi Spesies (pemalsuan daging babi) padasampel daging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2016

AsalSampel Jenis Sampel Jumlah Sampel Hasil Uji

ID Spesies BabiBali Daging olahan - -

NTB Daging olahan 35 Negatif

NTT Dasging olahan 85 Negatif

Total 120

Dalam table 10 disajikan hasil uji anti mikrobial Resistant (AMR) terhadap isolat

E.coli dari sampel daging segar (daging sapi dan babi). Hasil uji menunjukkan

bahwa dari 37 isolat E.coli yang diuji, sebanyak 54% resistant terhadap

streptomycin, 49% resistant terhadap cephalotin, 46% resistant terhadap

amoxicillin, 35% resistant terhadap oxytetrasiklin, 32% resistant terhadap

penicillin, 16% resistant terhadap ofloxacin, 5% resistant terhadap trimethoprim.

Sedangkan semua isolat E.coli sensitif terhadap chloramphenicol.

Page 212: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

222

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 10. Hasil uji AMR (Anti Mikrobial Resistant) terhadap isolat E.coli

Hasil uji AMR terhadap isolat E.coli(∑ isolat yang resistant terhadap jenis antibiotika)

Asal isolatE.coli

JumlahisolatE.coli P W S10 KF30 C30 AMC30 OFX30 OTC30

Dg.Sapi

15 4(27%)

0(0%)

15(100%)

15(100%)

0(0%)

10(67%)

4(27%)

5(33%)

Dg.Babi

22 8(36%)

2(9%)

5(23%)

3(14%)

0(0%)

7(32%)

2(9%)

8(4%)

37 12(32%)

2(5%)

20(54%)

18(49%)

0(0%)

17(46%)

6(16%)

13(35%)

Ket : P = Penicillin, W = Trimethoprim, S10 = Streptomycin, KF30 = Cephalotin,C30 = Chloramphenicol, AMC30 = Amoxycillin, OFX30 = Ofloxacin, OTC30 =Oxytetracyclin

IV. PEMBAHASAN

Cemaran mikroba adalah mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada

batas tertentu dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Cemaran mikroba

yang dikatagorikan membahayakan pada pangan asal hewan (daging, telur dan

susu) berdasarkan SNI 7388:2009 adalah TPC, Coliform, Eschericia coli,

Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria

monocytogenes (Anon., 2009). Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah

mikroba dalam suatu produk. Di beberapa negara dinyatakan sebagai Aerobic

Plate Count (APC) atau Standard Plate Count (SPC) atau Aerobic Microbial

Count (AMC). Secara umum TPC tidak terkait dengan bahaya keamanan

pangan namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa

simpan/waktu paruh, kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi

(Anon, 2009).

Berdasarkan hasil uji TPC pada pangan asal hewan terutama daging segar

yang diambil di beberapa RPH dan pasar tradisional menunjukkan bahwa tingkat

cemaran mikroba relatif cukup tinggi yaitu sebanyak 47,1% - 65,9% sampel

daging segar mengandung TPC melebihi nilai batas maksimum cemaran

mikroba (MBCM) yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)

7388 : 2009 untuk TPC 1 x 106 koloni/gram. Hal ini mengindikasikan bahwa

tingkat higiene dan sanitasi di RPH dan pasar tradisional di Bali, NTB dan NTT

relatif kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik.

Page 213: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

223

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang

dikatagorikan membahayakan seperti E.coli, S.aureus dan Salmonella sp

menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri ini pada pangan asal hewan relatif

rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji terhadap E,coli yaitu sebanyak 10,7%

sampel mengandung E.coli melebihi persyaratan SNI yaitu 1x 101 koloni/gram

pada daging dan hasil uji terhadap S.aureus negatif dan sebanyak 0,3-1,4%

sampel mengandung Salmonella sp. Dalam persyaratan yang ditetapkan dalam

SNI bahwa bakteri Salmonella sp tidak boleh ada dalam pangan asal hewan

(negatif), sedangkan terhadap bakteri S.aureus masih diperbolehkan ada dalam

pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram.

Escherichia .coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif,

ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4 um, dan beberapan strain mempunyai kapsul.

Terdapat beberapa strain E.coli yang patogen dan non patogen. Strain patogen

E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui

endotoksin yang dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses,

saluran pencernaan hewan atau manusia. Escherichia. coli yang bersifat

hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman

tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat

seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti haemolitik

uremik syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan

gejala syaraf. Sanitasi yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C

merupakan cara untuk mengontrol E.coli.

Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan bakteri

patogen seperti Salmonella terutama pada kasus sporadik dan wabah

Salmonellosis pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Namun pada surveilans ini

, kontaminasi bakteri Salmonella sp ditemukan pada 2 sampel daging sapi yang

berasal dari RPH, 1 sampel daging sapi yang berasal dari pasar tradisonal Kota

Mataram (NTB) dan 1 sampel telur ayam yang berasal dari pasar tradisional

Sumba Timur (NTT). Terjadinya kontaminasi bakteri Salmonella sp pada daging

dan telur kemungkinan karena terkontaminasi pada saat penanganan sampel

atau terkontaminasi dari feses ataupun dari air yang digunakan dalam proses

Page 214: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

224

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

produksi. Berdasarkan kajian keamanan pangan sesuai SNI 7388 : 2009 kasus

keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia

menelan pangan yang mengandung Salmonella dalam jumlah signifikan.

Jumlah Salmonella yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara 107 –

109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella juga dapat terjadi pada ternak.

Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat

kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam

pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.

enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi

dan Sukamto, 1999).

Sementara itu, daging olahan sering tercemar bakteri S.aureus, namun pada

surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus mencemari pangan

tersebut. Bakteri S.aureus sering ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit

dan selaput lendir manusia. Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia

maupun pada hewan. Pada susu jumlah bakteri S.aureus sebanyak 107

koloni/gram akan memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan

gastroenteritis atau radang lapisan saluran usus. Walaupun pengolah pangan

merupakan sumber pencemaran pangan yang utama, peralatan dan lingkungan

dapat juga menjadi sumber pencemaran S.aureus. Mencuci tangan dengan

teknik yang benar, membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan

penyiapan pangan diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan.

Secara umum, hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang

beredar di Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah yang ditunjukkan dari hasil

uji TPC. Hal ini bisa mengakibatkan waktu paruh atau masa simpan daging

tersebat pendek (tidak bertahan lama pada suhu ruang) sehingga menyebabkan

daging cepat busuk. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa status higiene dan

sanitasi pada mata rantai produksi pangan asal hewan relatif kurang memenuhi

persyaratan sanitasi yang baik.

Page 215: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

225

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Untuk dapat menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)

maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis,

mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak hidup menjadi produk

pangan (daging). Berdasarkan hasil pemantauan, ada beberapa RPH yang

memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik, namun sebagian besar

kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT saat ini cukup memprihatinkan dan

tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan), sumber

daya manusia serta prosedur teknis pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan

tidak semua RPH memilki nomor kontrol veteriner (NKV) sebagai standar

pelaksanaan higiene dan sanitasi pada sebuah RPH.

Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun ada beberapa pasar yang

sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar pasar tradisional tidak

memiliki kios daging. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan

kondisi lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-

asuhan. Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal

hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di pasar tradisional

kenyataannya relatif berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar

masalah teknis tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon,

2013).

Sampel pangan asal hewan (daging, hati dan telur) juga diuji terhadap 4 (empat)

golongan residu antibiotika yaitu golongan penicillin, tetrasiklin, aminoglikosida

dan makrolida. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil

metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta

kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan

sekitar (Anon., 2005).

Page 216: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

226

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hasil uji residu antibiotika menunjukkan bahwa ke empat golongan residu

antibiotika masih ditemukan pada pangan asal hewan terutama telur ayam dan

beberapa hati sapi. Dari 715 sampel yang diuji, residu antibiotika golongan

penisillin ditemukan sebanyak 110 sampel (15,4%), golongan tetrasiklin

sebanyak 10 sampel (1,4%), golongan aminoglikosida sebanyak 192 sampel

(26,9%%) dan golongan makrolida sebanyak 143 sampel (20%).

Hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur yang

dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga

seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang ditambahkan dalam

pakan maupun dalam minuman. Sedangkan residu antibiotika yang ditemukan

pada sampel hati sapi mengindikasikan bahwa kurangnya pengawasan terhadap

penggunaan antibiotika di peternakan.. Disamping itu juga kurangnya perhatian

terhadap withdrawal time (waktu henti obat) sebelum ternak dipotong.

Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan

penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika

golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan

efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika

golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk

menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi

konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).

Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak

hanya untuk menjamin kesehatan ternak tetapi juga mencegah terjadinya

transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi

sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol

yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak

menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang

mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia.

Page 217: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

227

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sementara itu, sebanyak 40 sampel daging sapi yang diambil dari 4 perusahaan

(importir) dan 60 sampel hati sapi yang diambil dari RPH dan pasar tradisional

diperiksa terhadap residu hormon trenbolon asetat (TBA). Hasil uji menunjukkan

bahwa nilai kandungan hormon TBA dengan Elisa terdeteksi pada sampel

daging sapi beku impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara 63,9-91,9 ppt

dan pada sampel hati sapi lokal berkisar antara 60,8-97,1 ppt. Nilai kandungan

hormon TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga

diinterpretasikan tidak terdeteksi (negatif).

Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan

maximum residue limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius

Commisions (CAC) yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel

hati sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan

bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat

(withdrawal times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk.

2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut

aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolon asetat.

Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan

untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.

Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara

subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat

pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa

17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi

mamalia dari berbagai spesies (Jecfa, 1988).

Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,

Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak

digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan

dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat

keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.

Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi

dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu

hormon tersebut.

Page 218: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

228

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sementara itu dari hasil uji Aflatoksin M1 terhadap sampel susu menunjukkan

bahwa semua sampel susu yang diuji tidak mengandung residu Aflatoksin M1

atau konsentrasinya di bawah batas maksimum residu (BMR). Batas maksimum

residu Aflatoksin M1 dalam SNI 7385 : 2009 adalah 500 ppt sehingga secara

umum sampel susu tersebut dikatagorikan belum membahayakan untuk

dikonsumsi.

Namun demikian perlu tetap diwaspai mengingat susu (segar, pasteurisasi,

UHT, olahan) merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial

sebagai sumber masuknya aflatoksin melalui rantai makanan manusia melalui

terbentuknya Aflatoksin M1 (Aycicek et al, 2001). Aflatoksin M1 merupakan

metabolit sekunder dari Aflatoksin B1 yang diketahui sebagai senyawa alami

yang memiliki efek toksik dan karsinogenik paling tinggi diantara jenis mikotoksin

lainnya sehingga dikelompokkan sebagai kelompok 1 oleh IARC (Richard,

2007).

Hasil uji terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb) terhadap sampel

hati sapi dalam surveilans ini menunjukkan tidak terdeteksi (negatif). Namun

demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa hati

sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani dapat

terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi.

Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak.

Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang

tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan

ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang

diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb)

dari kendaraan bermotor.

Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.

Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko

pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk

memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik

Page 219: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

229

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi

masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.

Hasil uji Identifikasi spesies daging babi (pemalsuan daging babi) terhadap

beberapa daging olahan menunjukkan bahwa tidak ada penambahan daging

babi pada sampel daging olahan. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel daging

olahan tersebut utuh (tidak dicampur) dengan daging babi.

Sementara itu, resistensi anti mikroba kemudian disebut dengan Anti Mikrobial

Resistance (AMR) adalah resistensi yang terjadi oleh mikroorganisme terhadap

obat-obatan mikroba untuk yang sebelumnya sensitive. Organisme yang

resistant (termasuk didalamnya bakteri, virus dan beberapa parasit) mampu

melawan serangan obat-obatan anti mikroba seperti antibiotik, anti virus dan anti

malaria, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif lagi. Sehingga

infeksi yang muncul akan bertahan dan dapat menyebar kepada orang atau

populasi lain. AMR merupakan konsekuensi logis dari penggunaan antimikroba,

termasuk didalamnya didalamnya adalah penggunaan reguler maupun

penyalahgunaan.

Hasil uji anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli dari sampel daging

sapi dan babi menunjukkan bahwa dari 37 isolat E.coli yang diuji, sebanyak 54%

resistant terhadap streptomycin, 49% resistant terhadap cephalotin, 46%

resistant terhadap amoxicillin, 35% resistant terhadap oxytetrasiklin, 32%

resistant terhadap penicillin, 16% resistant terhadap ofloxacin, 5% resistant

terhadap trimethoprim. Sedangkan semua isolat E.coli sensitif terhadap

chloramphenicol. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa apabila terinfeksi oleh

mikroorganisme E.coli maka pilihan pengobatan adalah lebih baik menggunakan

chloramphenicol dibandingkan antibiotika yang lain.

Page 220: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

230

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SimpulanDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene

pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi

Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan

yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut

karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba terutama total jumlah

kuman (TPC) yang mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa

rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai proses produksi

pangan.

Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan

khususnya telur ayam dan hati sapi mengindikasikan bahwa pemakaian

antibiotika dipeternakan ayam dan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya

pengawasan terhadap penggunaannya dan kurangnya pengetahuan terhadap

waktu henti obat (witdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sementara itu,

pangan asal masih aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu

hormon Trenbolon Acetat (TBA), Aflatoksin M1, Logam berat Timbal (Pb), dan

Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi).

Dari hasil pengujian anti mikrobial resistant (AMR) terhadap isolat E.coli yang

diisolasi dari sampel daging sapi dan daging babi, bahwa pengobatan yang lebih

baik untuk infeksi E.coli adalah chloramphenicol

5.2. SaranUntuk dapat menyediakan pangan asal hewan yang memenuhi standar jaminan

mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas

Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi mata rantai proses produksi

dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan kios-kios daging di pasar

tradisional. Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap peredaran dan

pemakaian obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada

pangan asal hewan. Sedangkan untuk mengetahui resistensi antimikroba maka

perlu dilakukan pengujian AMR secara berkesinambungan terhadap berbagai

isolat mikroorganisme.

Page 221: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

231

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Aycicek, H., E. Yarsan, B. Sarimeh Metoglu and O. Cakmak. 2002. Aflatoxin M1 in white cheeseand butter consumed in Istanbul Turkey. Vet. Human Toxicol. 44: 295 – 296.

Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan sususecara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging,telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Kumpulan Peraturan Menteri Pertanian Bidang Kesehatan MasyarakatVeteriner dan Pasca Panen. Direktorat Kesmavet dan Pasca Panen, Direktorat jenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian

Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, JurnalPengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. DalamMikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, YayasanAdikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173

Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses.Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.

Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. InternationalJournal of food Microbiology 11:3-10.

Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengantrenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.

Page 222: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

232

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING DALAM RANGKA UPAYAPEMBEBASAN PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALI

TAHUN 2016

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni PuspitasariI Ketut Mayun, I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Sapi Bali merupakan plasma nutfah /primadona Indonesia karena keunggulan yang dimiliki.Dibalik keunggulan tersebut sapi Bali memiliki beberapa kelemahan dan salah satunya adalahsangat peka terhadap penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD). JD merupakan penyakithewan menular pada sapi Bali yang disebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JDmasih endemik di Bali dan merupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali diProvinsi Bali. Pada bulan September sampai dengan Desember 2016 telah dilakukan surveilansuntuk mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaan penyakit dan rencana pembebasanJD di provinsi Bali Pengambilan sampel dilakukan di seluruh Kabupaten/kota di Bali, berbasisdesa dan selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 20759 sampel serumdan 20721 sampel darah EDTA sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semua sampelserum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkan sampel darahEDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan situasi JD di Bali cukup terkendali ditandaidengan tidak ditemukan adanya kasus positif JD di semua lokasi surveilans. Dari 20759sampel serum yang diuji ELISA hanya 5 (0.02 %) seropositif JD., konfirmasi dengan ujiWestern Blotting hanya 1 sampel (0.005%) seropositif JD. Sedangkan hasil uji PCR terhadap20721 sampel darah, menunjukkan negatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkanbahwa situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif sangat rendah, dantidak ditemukan hewan carrier / positif virus JD. Perlu diupayakan pembebasan JD di provinsiBali melalui surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur, peningkatan pengawasan lalulintas ternak dan pengendalian vektor.

Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, sapi Bali

Page 223: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

233

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar BelakangSapi Bali adalah salah satu dari tiga ras sapi di dunia , merupakan salah satu

plasma nutfah/ primadona Indonesia dan diharapkan mampu menggantikan

posisi sapi import dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain

mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan,

calving interval yang sangat pendek, kualitas daging yang cukup bagus namun

di balik keunggulan yang dimiliki tersebut sapi Bali memiliki kelemahan yaitu

sangat peka terhadap penyakit Jembrana.

Penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit virus

yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.

Kasus JD di Bali pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1964, hingga saat ini

JD endemik di Bali dan telah menyebar ke beberapa daerah di luar Bali seperti

Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah (Hartaningsih, 2005).

Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan salah satu kendala

dalam pengiriman sapi bibit ke luar Bali sehingga berdampak dalam

pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena

berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No: 46 Tahun 2011 mensyaratkan

agar semua bibit sapi Bali yang akan diantarpulaukan harus benar-benar bebas

JD untuk mencegah penyebaran JD ke luar pulau Bali.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian KepMentan

4026/Kpts.OT.140/3/2013, JD merupakan salah satu penyakit strategis di

Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan

pemberantasannya. Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara

vaksinasi. Dalam upaya pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali

telah melakukan vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15,

produksi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar berturut-turut selama 4 tahun

dari tahun 2001-2004. Dengan cakupan vaksinasi kurang dari 70%. Vaksinasi

Page 224: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

234

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

hanya dapat dilakukan di beberapa daerah saja karena keterbatasan jumlah

vaksin yang tersedia, sehingga cakupan vaksinasi sangat rendah, akibatnya

masih banyak sapi yang berisiko terserang penyakit Jembrana. Dalam kurun

waktu 2005 sampai dengan 2011 vaksinasi JD tidak pernah dilakukan lagi,

Vaksinasi JD dilakukan kembali mulai akhir tahun 2012, tahun 2013 dan 2014

terbatas pada beberapa Kelompok Ternak SIMANTRI dan ternak masyarakat.

Dalam rangka mengetahui situasi JD di Bali, BBVet Denpasar telah melakukan

surveilans dan monitoring JD secara rutin setiap tahun dan melakukan uji

serologis (ELISA) untuk mendeteksi antibodi terhadap JD dan uji PCR untuk

mendeteksi adanya virus JD. Hasil surveilans dan monitoring JD yang dilakukan

BBVet Denpasar, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend terjadinya

penurunan seropositif dan positif virus JD,. Berdasarkan data tersebut sangat

mungkin dilakukan upaya pembebasan JD di Bali . Selain itu tidak adanya

pemasukan sapi ke provinsi Bali juga sangat mendukung pembebasan JD di

provinsi Bali.. Bebasnya JD di Bali akan berdampak positif terhadap

pengembangan peternakan sapi di Bali karena bibit sapi asal Bali akan dapat

dintarpulaukan sehingga akan meningkatkan pendapatan peternak dan

pendapatan asli daerah (PAD) Bali

Upaya pembebasan JD di Bali telah diputuskan oleh Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan, pada rapat bersama dengan BBVet Denpasar, BBPMSOH,

dan Pusvetma tanggal 14 Pebruari 2015 di Denpasar Selain itu upaya

pembebasan JD di Bali juga telah disetujui oleh Dinas Peternakan Provinsi

Bali, dan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota se-Bali, Kepala BBVet

Denpasar dan staf , Expert penyakit Jembrana (Dr Hartaningsih, Dr Anak

Agung Gde Putra ) dan ahli epidemiologi Prof Setyawan Budiharta pada rapat

khusus penyakit Jembrana di Denpasar tanggal 3 Maret 2015, Untuk

mengetahui situasi JD di provinsi Bali pada tahun 2016, maka dilakukan

surveilans dan monitoring JD.

Page 225: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

235

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan JD di Provinsi Bali sebagai berikut :

1. Sampai saat ini penyakit Jembrana (JD) di Bali bersifat endemik, sehingga

ada larangan pengeluaran bibit sapi Bali dari provinsi Bali.

2. Hasil monitoring BBVet Denpasar selama lima tahun terakhir menunjukkan

rendahnya seropositif JD , namun kasus JD tidak pernah terjadi.

1.3. Tujuan KegiatanSurveilans dan monitoring ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui situasi JD di Bali dalam rangka program pembebasan JD

sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan

2. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus JD sebagai

dasar penentuan program surveilans selanjutnya

1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Bali sebagai bahan

masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam upaya

pembebasan JD di Bali

2. Terpetakannya situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD

1.5. OutputOutput/keluaran yang diharapkan dari surveilans dan monitoring ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di provinsi Bali, terkait

upaya pembebasan JD di Provinsi Bali .

2. Provinsi Bali bebas JD sehingga bibit sapi asal Bali boleh diantarpulaukan

untuk meningkatkan PAD provinsi Bali dan mendukung penyediaan bibit sapi

Nasional.

Page 226: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

236

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODA

BAHAN DAN ALATBahan dalam surveilans ini meliputi bahan-bahan untuk isolasi PBMC, KIT untuk

ekstraksi DNA, bahan untuk uji ELISA dan PCR, sedangkan alat-alat dalam

surveilans ini meliputi : alat-alat untuk pengambilan sampel darah dan serum,

alat-alat untuk uji ELISA dan PCR

METODEProgram pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam tiga

tahapan sampling yaitu Langkah pertama preliminary studi, langkah kedua

merupakan survey deteksi penyakit di tingkat kecamatan, desa, sensus tingkat

individu ternak dan tahap ketiga adalah eliminasi ternak carrier serta evaluasi

program pembebasan. Penjelasan tahapan program sampling pemberantasan

penyakit Jembrana di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut;

Page 227: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

237

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

A. Metode SurveilansSurveilans Terstruktur

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah serum dan darah sapi Bali dari

ternak Simantri dan masyarakat di wilayah Bali. Surveilans pembebasan

penyakit Jembrana di provinsi Bali dilakukan dalam dua tingkat unit observasi

yaitu :

1. Unit observasi desa

Desa yang akan dilakukan pengambilan sampel dipilih menggunakan metode

detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x[N-(d-1)/2]dengan tingkat kepercayaan 95 %, n adalah besaran sampel, P1

adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel

tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan

asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi

yaitu populasi desa di provinsi Bali sebanyak 716 desa.Pemilihan desa tersebut

dilakukan secara random dengan menggunakan metode random dalam aplikasi

online (Ausvet, 2016). Sehingga terpilih 287 desa dan pada tahun anggaran

2016 desa yang disurvei hanya 116 desa dan sisanya dilanjutkan tahun 2017.:

Tabel 1. Tabulasi jumlah sampel unit desa program pembebasan penyakitJembrana di Bali tahun 2016.

KabupatenJumlah

Kecamatan2016

Jumlah Target SampelDesa 2016

Jumlah TargetSampel Ternak 2016

Badung 5 18 3.080Bangli 4 9 2.289Buleleng 9 23 3.279Denpasar 4 7 1.204Gianyar 7 12 2.248Jembrana 5 12 2.577Karangasem 8 12 2.636Klungkung 4 9 1.389Tabanan 7 14 2.262Grand Total 53 116 20.964

Page 228: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

238

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2. Unit Observasi Ternak

Pengambilan sampel unit ternak yang akan dilakukan dengan menggunakan

metode detect presence of the disease dari Martin et al (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan tingkat kepercayaan 95 % n adalah besaran sampel,

P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah unit sampel

tersebut, d adalah harapan minimal jumlah unit sampel yang terinfeksi dengan

asumsi prevalensi sebesar 1 % dan N adalah jumlah populasi unit observasi

yaitu populasi ternak di masing – masing desa di provinsi Bali. Adapun tabulasi

jumlah sampel ternak yang akan diambil adalah sebagai berikut ;

Tabel 2. Tabulasi jumlah sampel tingkat Ternak program pembebasanpenyakit Jembrana di Bali. Tahun 2016 dan RencanaTahun 2017

Tahun 2016 Tahun 2017

Kabupaten JumlahKecamatan

2016

JumlahTargetSampel

Desa2016

JumlahTargetSampelTernak

JumlahKecama

tan2017

JumlahTargetSampel

Desa2017

JumlahTargetSampelTernak

TotalTargetSampelTernak

Badung 5 18 3.080 5 14 2.457 5.537

Bangli 4 9 2.289 3 19 4.906 7.195

Buleleng 9 23 3.279 9 34 7.528 10.807

Denpasar 4 7 1.204 3 7 - 1.204

Gianyar 7 12 2.248 6 15 2.860 5.108

Jembrana 5 12 2.577 4 9 1.973 4.550

Karangasem 8 12 2.636 7 18 4.820 7.456

Klungkung 4 9 1.389 4 18 3.773 5.162

Tabanan 7 14 2.262 10 37 5.904 8.166Grand Total 53 116 20.964 51 171 34.221 55.185

Pengujian sampel dilakukan secara paralel antara uji ELISA dan PCR, dengan

prosedur uji sebagai berikut :

Page 229: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

239

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

a. UJI ELISAPengujian sampel serum dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja

sebagai berikut : antigen J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating

buffer 1:50 kemudian ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl,

mulai dari well B2 sampai dengan G12. Masukkan 50 µl hanya coating buffer

(tanpa antigen) ke dalam lubang blank A1 dan B1.. Kocok dengan shaker dan

diinkubasikan pada suhu 40C selama 24 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak

3 kali dengan ELISA washer. Blok plate dengan menambahkan ke masing-

masing well sebanyak 50 µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate

diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan. Cuci plate dengan PBST

sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Siapkan sampel serum, kontrol positif

dan serum kontrol negatif, dengan cara sebagai berikut: Sampel yang akandiuji diencerkan 1: 100 dalam skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut

dimasukkan ke dalam masing-masing lubang test. Serum Kontrol Positif (PM)diencerkan mulai dari pengenceran 1 : 100 hingga 1 : 400 dalam skim milk 5%

dan tiap-tiap pengenceran dimasukkan pada lubang B2, C2 dan D2. SerumKontrol Negatif (PM) diencerkan 1 :100 dimasukkan ke dalam lubang B3 dan

C3. Serum sampel yang sudah diencerkan dimasukkan masing-masing 50 ul ke

well uji dan dhomogenkan dengan dishaker selanjutnya inkubasikan pada suhu

370C selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA

washer. Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA)

perbandingan 1 : 1000 dalam PBST buffer. Masukkan 50 µl conjugate yang

telah diencerkan tersebut pada setiap lubang baik yang mengandung serum

maupun lubang blank dan kontrol. Inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam.

Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Tambahkan

campuran satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9

bagian (solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-

ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid diamonium salt). Masukkan 50 µl substrate

ke dalam setiap well (blank, kontrol dan serum sampel), diamkan selama 2

menit. Kemudian stop reaksi dengan menambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2

% ke semua well.

Page 230: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

240

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Pembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang

gelombang 405 nm. Bila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD

pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan positif antibodi JD sedangkan bila

nilai OD sampel lebih kecil dari OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan

negatif antibodi JD.

b. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION(PCR)DNA virus JD dari PBMC diisolasi dengan menggunakan QIAmp DNA Blood Kit

(Qiagen). Tabung eppendorf yang sudah berisi DNA filtrat diberi label dan

disimpan pada -20oC sampai siap diuji. Sedangkan metoda uji PCR yang

dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah metoda PCR yang

dikembangkan oleh Tenaya dkk., (2003 & 2004). Bahan-bahan yang diperlukan

dalam teknik PCR JD antara lain: Master mix, PCR water,Primer JDV–1, Primer

JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%, TAE buffer, dan Ethidium Bromide.

Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer JDV–3.Forward

primer (JDV –1) dengan sekuen 5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA3’.Reverse primer (JDV – 3) dengan sekuen 5’CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al., 1995).

Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12.5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,

satu uL primer JDV-3, 8.5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.

Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume

500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35

siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5

menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1

menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus,

ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan

DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu

ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2

jam 15 menit.

Page 231: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

241

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielectrophoresis dengan 1% gel agarose yang

mengandung 5 ug Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan

voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi

dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel

Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.

III. HASIL

Dalam perencanaan awal surveilans JD tahun 2016 jumlah desa terpilih adalah

sebanyak 116 desa, namun dalam pelaksanaannya tidak seluruh desa terpilih

bisa dilakukan pengambilan sampel. Pengambilan sampel pada surveilans JD

di Provinsi Bali Tahun 2016 dilakukan di 112 desa di 56 kecamatan se-provinsi

Bali. Hal ini disebabkan karena di beberapa desa terpilih terjadi penurunan

jumlah populasi dan adanya alih fungsi lahan sehingga target sampel tidak bisa

terpenuhi. Selain itu juga terjadi pemindahan lokasi pengambilan sampel karena

populasi sapi di desa terpilih tidak mencukupi. Berkurangnya populasi sapi

tersebut banyak terjadi di Kota Denpasar, hal ini disebabkan karena banyaknya

alih fungsi lahan yang terrjadi di Denpasar sehingga banyak peternak yang

beralih profesi akibat tidak bisa beternak lagi.

Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan sapi yang menunjukkan gejala

klinis JD. dan berhasil dikumpulkan sebanyak 20759 sampel serum dan 20721

sampel darah EDTA. Berbeda dengan hasil surveilans tahun 2015 pada

surveilans JD tahun 2016 hasil uji ELISA terhadap sampel serum asal

Kabupaten Jembrana menunjukkan 5 sampel serum seropositif JD. sedangkan

setelah dikonfirmasi dengan uji WB dari 5 sampel tersebut hanya 1 sampel yang

menunjukkan seropositif JD. Hasil uji PCR tehadap sampel darah dari hewan

yang sama menunjukkan negatif virus JD. Hasil uji ELISA dan PCR dari sampel

Kabupaten/kota di Bali Tahun 2016 seperti tersaji pada Tabel 1 dan 2.

Page 232: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

242

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 1. Hasil Uji ELISA JD sampel dari Kabupaten/Kota di BaliTahun 2016.

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL

JUMLAHPOSITIF

PERSENTASESEROPOSITIF

(%)1 Badung 2657 0 0

2 Bangli 2288 0 0

3 Buleleng 3254 0 0

4 Denpasar 814 0 0

5 Gianyar 2262 0 0

6 Jembrana 2910 5 0.17

7 Karangasem 2657 0 0

8 Klungkung 1625 0 0

10 Tabanan 2292 0 0

TOTAL 20759 5 0.02

Hasil uji konfirmasi terhadap 5 sampel seropositif ELISA dengan uji WB

menunjukkan hanya 1 sampel seropositif JD. Hasil uji selengkapnya seperti

pada gambar 1.

Gambar 1.Hasil uji WB sampel serum asal Kabupaten Jembrana.

(1) sampel 119 (2) sampel 146: (3) sampel 23: (4) sampel 43 (5) kontrolnegatif: ; (6) sampel 24 (7) sampel 11 : (8 ) kontrol positif

Page 233: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

243

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Hasil Uji PCR JD sampel dari Kabupaten/Kota di Provinsi BaliTahun 2016

NO KABUPATEN/KOTA JUMLAHSAMPEL

JUMLAHPOSITIF

PERSENTASEPOSITIF JD

1 Badung 2657 0 02 Bangli 2288 0 03 Buleleng 3237 0 04 Denpasar 814 0 05 Gianyar 2262 0 06 Jembrana 2963 0 07 Karangasem 2657 0 08 Klungkung 1550 0 09 Tabanan 2293 0 0

TOTAL 20721 0 0

Dari hasil wawancara dengan peternak dan petugas Dinas Peternakan setempat

mengatakan bahwa mayoritas sampel yang diambil berasal dari sapi yang tidak

divaksinasi JD.

IV. PEMBAHASAN

Saat ini pemerintah sedang melaksanakan program pengembangan ternak sapi

Bali di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Salah satu alasan

dipilihnya sapi Bali untuk dikembangkan adalah karena sapi Bali memiliki

kualitas daging yang cukup baik. Sapi Bali diharapkan dapat menggantikan

kedudukan sapi import dalam penyediaan daging sapi Nasional. Terkait hal

tersebut ketersediaan sapi bibit sangat diperlukan untuk mendukung program

tersebut. Salah satu persyaratan untuk pengadaan sapi bibit khususnya bibit

sapi Bali adalah harus bebas JD berdasarkan hasil uji PCR. Keberadaan JD di

Bali merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit untuk

diantapulaukan ke luar Bali. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan

upaya pembebasan JD di provinsi Bali. Dalam rangka persiapan pembebasan

JD di provinsi Bali , BBVet Denpasar, telah melakukan surveilans JD setiap

tahun.

Page 234: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

244

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hasil surveilans JD tahun 2016 menunjukkan terjadinya penurunan persentase

seropositif JD di provinsi Bali. Hasil uji terhadap 20759 sampel serum

menunjukkan hanya 5 (0.02%) seropositif JD berdasarkan hasil uji ELISA

sedangkan setelah dilakukan konfirmasi dengan uji Western Blotting hanya satu

sampel (0.005%) seropositif JD. Satu sampel yang menunjukkan seropositif JD

tersebut berasal dari sapi di Kelompok Ternak Simantri 024, Kelompok Tani

Ternak Mekar Nadi, Gapoktan Subak Yeh Macan, Banjar Berawan Salak , Desa

Banyubiru, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana.

Terjadinya perbedaan jumlah seropositif antara hasil uji ELISA dan WB

disebabkan karena pada uji ELISA masih terjadi “cross reaction” dengan BIV. Uji

ELISA merupakan uji screening selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan uji

Western Immunoblotting yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dibandingkan

dengan uji ELISA. Untuk lebih memastikan apakah antibodi tersebut merupakan

antibodi JD maka dilakukan konfirmasi dengan uji PCR. Hasil uji PCR terhadap

sampel tersebut menunjukkan negatif virus JD. Hasil uji PCR inilah yang dipakai

sebagai acuan untuk menentukan hewan positif JD atau tidak. Hal ini

disebabkan karena primer yang digunakan yaitu primer JDV-1 dan JDV-3 sangat

spesifik , dimana primer tersebut mampu membedakan antara proviral DNA JDV

dan BIV. Selain itu uji PCR mampu mendeteksi keberadaan proviral DNA pada

saat hewan klinis, maupun setelah hewan sembuh (carrier). Saat ini uji PCR

digunakan sebagai gold standar untuk diagnosa JD .

Dari petugas Dinas Peternakan Kabupaten Jembrana diperoleh informasi bahwa

sampel serum yang menunjukkan seropositif JD tersebut berasal dari sapi yang

pernah divaksinasi JD. Informasi ini semakin memperkuat dugaan bahwa

antibodi yang terdeteksi adalah adalah antibodi JD dan semakin memastikan

bahwa antibodi yang terdeteksi bukan merupakan antibodi Bovine

Immunodefisiensi Virus (BIV). Hasil penelitian Hartaningsih, dkk., 2009

menemukan bahwa sapi yang pernah divaksinasi JD akan menunjukkan hasil

negatif pada uji PCR karena vaksin JD merupakan vaksin inaktif sehingga virus

JD tidak dapat melakukan penetrasi ke dalam sel induk semang untuk

bereplikasi.

Page 235: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

245

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Jumlah seropositive dari hasil surveilans JD tahun 2016 hanya 0.02% lebih

rendah , dibandingkan dengan hasil surveilans JD tahun 2015 . Trend,

terjadinya penurunan persentase seropositif dan positif virus JD di Bali sudah

terjadi sejak lima tahun terakhir.

Rendahnya hasil seropositif ini disebabkan karena mayoritas sampel serum

berasal dari sapi yang tidak divaksinasi JD. Dari total 20759 sampel serum yang

diambil hanya sebanyak 120 (0.6%) berasal dari sapi .yang divaksinasi JD..

Antibodi JD bisa terbentuk apabila hewan pernah divaksinasi JD atau terinfeksi

JD sebelumnya. Dari informasi yang terkumpul selama pelaksanaan surveilans

infeksi JD tidak pernah terjadi sebelumnya. Hasil surveilans 2016 ini

membuktikan bahwa tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD di

Bali sangat rendah disebabkan karena virus JD dan hewan carrier JD tidak

ditemukan di semua lokasi surveilans JD di Bali

V. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :

Situasi JD di Bali cukup terkendali dengan persentase seropositif JD sangat

rendah hanya 0.02%

Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans)

Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah

disebabkan karena virus JD (hewan carrier JD) tidak ditemukan di semua

lokasi surveilans di Kabupaten /Kota di Bali .

Saran

Surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur , peningkatan

pengawasan lalu lintas ternak. dan pemberantasan vektor tetap harus

dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit Jembrana.

Upaya pembebasan JD di Provinsi Bali harus dilakukan sehingga dengan

bebasnya JD di Bali maka bibit sapi Bali boleh diantarpulaukan untuk

memenuhi kebutuhan bibit sapi Bali di Indonesia.

Page 236: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

246

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

VI. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan

kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel.Penulis juga

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan

Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu

dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.

Page 237: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

247

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. .Manual Diagnosa Laboratorik JD. MateriKursus Peningkatan Metode Diagnosa JD ACIAR-BPPV VI.

Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya, G (1995). Nucleotidesequence analysis of Jembrana disease virus : a bovine lentivirus associated with anacute disease syndrome. Journal of General Virology. 76: 1637-1650

Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84

Hartaningsih, N. 2005. Laporan Hasil Investigasi JD di Kalimantan Timur. Laporan TahunanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar

Hartaningsih, N, Irvani, I dan Agustini, N.L.P. 2009. Uji Molekuler Pada Sapi Bali UntukMenetapkan Keamanan Vaksin Penyakit Jembrana JD Vacc Sp 15. Buletin VeterinerBalai Besar Veteriner Denpasar. .

Putra, AAG. 2003. Peranan Hewan Karier JD dalam penularan penyakit di lapangan. BuletinVeteriner. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. XV (63) :16-26

Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox, GE. 1990. Studiesexperimental Jembrana disease of infectious agen in Bali cattle. Transmission andpersistence of the infectious agent in ruminant and pigs and resistance of recoveredcattle to re-infection, Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59.

Soeharsono, S., Wilcox, G.E., Putra, A.A, Hartaningsih, N, Sulistyana K and Tenaya, M. 1995.The transmission of Jembrana disease a lentivirus disease of Bos javanicus cattle.Epidemiology and Infection 115: 367:374

Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction.Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.

Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR.BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S., and Robertson T(1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana disease in Bali cattle. VeterinaryMicrobiology 33: 367-374

Page 238: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

248

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR

TAHUN 2016

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana, Erni Puspitasari,I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitisfatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Vaksinasi merupakansalah satu upaya pencegahan dan pengendalian Rabies. Pemerintah provinsi Bali telahmelakukan vaksinasi massal Rabies dan tahun 2016 telah memasuki Round 7 (tujuh).Walaupun vaksinasi massal dilakukan setiap tahun namun kejadian Rabies masih terus terjadi .Serosurveilans untuk mengetahui profil antibodi pascavaksinasi Rabies di Bali, dan NTT serta,mengetahui gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB telah dilakukan pada bulanJuli sampai dengan Agustus 2016. Serosurveilans Rabies di provinsi Bali dilakukan di 9kabupaten/kota sedangkan untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan di lima kabupaten/kota.Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan sebanyak 1359sampel, sedangkan dari provinsi NTT 487 sampel dan sebanyak 275 sampel serum dariprovinsi NTB . Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabies produksiPusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA menunjukkan terjadi peningkatan titer antibodiyang sangat signifikan pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali. Persentase seropositif Rabies diprovinsi Bali mencapai 60,2%, persentase seropositif Rabies di provinsi NTT sebesar 45%sedangkan sampai saat ini provinsi NTB masih bebas Rabies. Perlu dilakukan vaksinasi ulang(booster) pada HPR yang memiliki titer antibodi kurang dari 0.5 IU/ml serta diupayakanpenggunaan vaksin oral pada anjing yang diliarkan/tidak diikat sehingga mampu meningkatkanpersentase seropositif Rabies .

Kata Kunci : Rabies, serosurveilans, vaksinasi

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar BelakangRabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut

menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari

famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies

ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)

melalui gigitan atau jilatan pada luka.

Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing

dalam masa inkubasi yang dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra

et.al., 2009). Sejak munculnya kasus Rabies di desa Kedonganan kecamatan

Kuta Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan

Page 239: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

249

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008

provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular Rabies.

Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak

tahun 1998 di Kabupaten Sikka , kemudian menyebar ke Ende tahun 1999,

Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000, sedangkan untuk provinsi NTB

sampai saat ini masih bebas Rabies namun merupakan daerah bebas terancam.

Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadian kasus Rabies di Bali masih terus

terjadi walaupun jumlah kasus sudah menurun. Anjing masih merupakan hewan

penular Rabies (HPR) utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus Rabies pada

hewan di Bali periode tahun 2008-2013 semuanya ditularkan oleh anjing Rabies.

(Supartika et.al., 2013). Cepatnya penyebaran Rabies di Bali dan Flores tidak

terlepas dari tingginya populasi anjing di kedua daerah tersebut dan hampir

setiap rumah tangga di Bali dan Flores memiliki anjing. Tingginya angka

kepemilikan anjing khususnya di Flores disebabkan karena anjing memiliki nilai

sosial budaya dan ekonomi yang sangat tinggi serta sangat dibutuhkan pada

upacara adat. Walaupun demikian, sistim pemeliharaan anjing di Flores,

mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat berpotensi menjadi sumber

penularan Rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.

Pengendalian penyakit Rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing secara selektif dan tertarget terutama anjing liar/diliarkan, serta

program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular Rabies (HPR).

Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk pencegahan dan

pengendalian Rabies. Pemerintah provinsi Bali secara rutin telah melakukan

vaksinasi massal terhadap HPR .Seiring dengan pelaksanaan vaksinasi Rabies

massal Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar melakukan serosurveilans

Rabies di provinsi Bali.

.

Hasil serosurveilans Rabies BBVet Denpasar tahun 2015 di provinsi Bali

menunjukkan persentase seropositif Rabies sebesar 47.3%. Sedangkan

persentase seropositif Rabies di provinsi NTT hanya 27.4% (Agustini, et.al.,

Page 240: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

250

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2015). Angka tersebut masih di bawah standar yang dipersyaratkan OIE dan hal

ini sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kasus Rabies. Sehubungan

dengan hal tersebut Dinas Peternakan provinsi Bali dan NTT melakukan

vaksinasi massal Rabies pada HPR pada tahun 2016.

1.2. Rumusan Masalah1. Dalam rangka pengendalian Rabies pemerintah provinsi Bali dan NTT telah

melakukan vaksinasi massal Rabies namun belum diiketahui secara pasti

titer antibodi yang terbentuk pascavaksinasi

2. Secara historis provinsi NTB merupakan daerah bebas Rabies, namun

mengingat adanya lalu lintas HPR ilegal, maka perlu dipantau situasi Rabies

di NTB

1.3.Tujuan KegiatanKegiatan serosurveilans ini bertujuan untuk

1. Mengetahui profil antibodi pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali dan NTT

2. Mengetahui gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB

3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit

Rabies sebagai dasar penentuan program surveilans selanjutnya

1.4. Manfaat KegiatanManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah:

1. Diiketahuinya profil antibodi pascavaksinasi Rabies di Bali dan NTT

2. Diketahuinya gambaran serologis dan situasi Rabies di provinsi NTB

1.5. Keluaran/OutputOutput yang diharapkan dari kegiatan serosurveilans ini adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang profil antibodi yang terbentuk

pascavaksinasi Rabies , terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies

di provinsi Bali

2. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Rabies di NTB dalam rangka

mempertahankan status NTB tetap bebas Rabies.

Page 241: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

251

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi2.1.1 BahanBahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans Rabies ini meliputi : KIT

ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.

2.1.2. AlatAlat yang digunakan untuk surveilans meliputi : spuite disposible 3 ml, , tabung

effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, microtip pipet 300 ul dan 1000 ul,

microshaker, ELISA washer, inkubator, ELISA reader.

2.2. Metode2.2.1. Metode Pengambilan sampela. Penentuan Lokasi.Lokasi pengambilan sampel Rabies di provinsi Bali dilaksanakan di seluruh

Kabupaten/kota di provinsi Bali. Pemilihan desa tempat pengambilan sampel

disesuaikan dengan jadwal pelaksanaan vaksinasi di masing-masing Dinas

Kabupaten/Kota melalui koordinasi dengan Dinas Peternakan Kabupaten /Kota

dan dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan bekerjasama dengan Puskeswan

di masing-masing Kabupaten /kota

Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Ende, Flores

Timur, Manggarai Timur, Sikka dan Ngada. Pemilihan lokasi ini berdasarkan

status wilayah, dimana semua lokasi tersebut sampai saat merupakan daerah

endemik Rabies, dan masih ditemukan adanya kasus positif Rabies pada HPR .

Sedangkan untuk provinsi NTB pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten

Bima, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara dan Kota Mataram.

b. Metode Pengambilan sampelMetode pengambilan sampel di provinsi Bali dilakukan di dua kecamatan di

masing-masing Kabupaten /kota. Pengambilan sampel dilakukan pre dan

pascavaksinasi. Penentuan jumlah sampel di Provinsi Bali, NTB dan NTT

dilakukan oleh Tim Pengkaji surveilans BBVet berdasarkan kaidah-kaidah

statistik yang berlaku serta disesuaikan dengan jumlah dana yang tersedia.

Page 242: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

252

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Pengambilan sampel melibatkan petugas Puskeswan, bertujuan untuk

meningkatkan fungsi dan peran serta Puskeswan dalam pencegahan dan

pengendalian dini terhadap Rabies. Selain itu keterlibatan Puskeswan juga

untuk menambah cakupan wilayah surveilans sehingga pengambilan sampel

sesuai harapan/target serta sebagai ajang pembinaan bagi petugas Puskeswan

dalam pengambilan dan penanganan sampel secara baik dan benar

3.2.2. Metode Pengujian SampelSampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA

Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya sesuai prosedur yang

terdapat pada KIT

III. HASIL

Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan

gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan

sebanyak 2121 sampel serum yang terdiri dari 1359 sampel serum asal provinsi

Bali, 275 sampel dari provinsi NTB sedangkan dari provinsi NTT dikumpulkan

sebanyak 487 sampel serum. Hasil uji ELISA terhadap 1359 sampel serum

dari provinsi Bali menunjukkan sebanyak 818 (60.2%) seropositif Rabies. Untuk

sampel serum dari provinsi NTB menunjukkan satu sampel seropositif Rabies,

sedangkan jumlah seropositif Rabies dari sampel asal provinsi NTT adalah

45% Data hasil uji ELISA selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 1.

Selama pelaksanaan serosurveilans dari 1359 sampel serum yang berasal dari

provinsi Bali, hanya 266 sampel serum yang berasal dari anjing yang sama

saat pre dan pascavaksinasi. Hasil uji ELISA terhadap sampel serum tersebut

menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata titer antibodi signifikan lebih tinggi

antara pascavaksinasi dan prevaksinasi. dari 1.5 IU/ml menjadi 4,6 IU/ml.

Perbandingan hasil uji ELISA pre dan pascavaksinasi selengkapnya seperti

disajikan pada Tabel 2.

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali tahun 2016 menunjukkan terjadinya

peningkatan persentase seropositif bila dibandingkan dengan hasil surveilans

tahun 2015 yang hanya mencapai 47.3% Persentase seropositif tertinggi tahun

Page 243: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

253

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2016 terjadi di Kabupaten Karangasem (88.4 %) disusul oleh Kabupaten

Buleleng , Gianyar, dan Denpasar dengan persentase berturut-turut : 77.6%,

74.5% dan 63%. Persentase seropositif terendah terjadi di Kabupaten Bangli

hanya mencapai 37.5%. Data jumlah sampel dan hasil uji ELISA Rabies di

masing-masing Kabupaten/kota di Bali seperti tersaji pada Tabel 3, Grafik 1.

Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan

persentase seropositif sebanyak 45 %, terjadi peningkatan persentase

seropositif bila dibandingkan dengan hasil seropositif tahun 2015 yang hanya

mencapai 27.4%. Persentase seropositif Rabies tertinggi di NTT terjadi di

Kabupaten Manggarai Timur yaitu 71%, sedangkan persentase seropositif

terendah terjadi di Kabupaten Flores Timur. Hasil uji serologis Rabies di masing-

masing Kabupaten di NTT selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 4, Grafik 2.

Hasil serosurveilans Rabies BBVet Denpasar di Bali tahun 2016 menunjukkan

trend terjadi peningkatan persentase seropositif Rabies bila dibandingkan

dengan hasil serosurveilans Rabies tahun 2015. Gambaran persentase

seropositif Rabies selengkapnya tersaji pada Grafik 3.

Tabel 1. Rekapitulasi hasil uji Elisa Rabies di provinsi Bali , NTB dan NTTTahun 2016

PROVINSI JUMLAHSAMPEL

JUMLAHSEROPOSITIF

PERSENTASESEROPOSITIF (%)

Bali 1359 818 60.2Nusa Tenggara Barat 275 1 0.4Nusa Tenggara Timur 487 217 45TOTAL 2121 1036 48.84

Sumber Data : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 244: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

254

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Perbandingan Titer Antibodi Pre dan Pascavaksinasi Rabies diProvinsi Bali Tahun 2016

Kabupaten Jumlahsampel

Rata-rata TiterAntibodi Pre

vaksinasi (IU/ml)

Rata-rata TiterAntibodi

Pascavaksinasi(IU/ml)

Rata-rataperiodeAntibodi

(hari)Badung 19 1.0 1.4 67Bangli 20 0.4 3.6 67Buleleng 33 1.7 4.8 68Denpasar 41 1.0 4.1 41Gianyar 25 1.5 7.3 53Jembrana 19 0.7 6.4 40Karangasem 34 4.4 5.4 36Klungkung 34 0.5 1.6 57Tabanan 41 0.5 6.3 47Total 266 1.5 4.6 51

Tabel 3. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2016

NO Kabupaten/Kota Jumlah sampelserum

JumlahSeropositif

PersentaseSeropositif (%)

1 Karangasem 131 115 88.42 Klungkung 125 72 57.63 Bangli 88 33 37.54 Gianyar 169 126 74.55 Denpasar 43 27 636 Badung 138 49 43.37 Tabanan 147 86 58.58 Jembrana 134 78 58.29 Buleleng 116 90 77.6

TOTAL 1359 818 60.2Sumber Data : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 245: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

255

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Jumlah sampel

Jumlah Positif

% positif

Grafik 1Hasil seropositif Rabies di Kabupaten/kota Provinsi Bali Tahun 2016

Tabel 4. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2016

No Kabupaten/ kotaJumlahsampelserum

Jumlahseropositif

Persentaseseropositif

1 Ende 100 60 60

2 Flores Timur 101 19 19

3 Ngada 151 52 34

4 Sikka 31 12 39

5 Manggarai Timur 104 74 71

Total 487 217 45

Sumber Data : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 246: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

256

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Grafik 2Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2016

68.3

43.947.3

60.2

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016

% seropositif

% seropositif

Grafik 3Persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013-2016

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Ende FloresTimur

Ngada Sikka ManggaraiTimur

Jumlah sampel serum

Jumlah seropositif

Persentase seropositif

Page 247: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

257

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan

pemberantasan Rabies di Indonesia , karena vaksinasi Rabies akan

merangsang sistim imun membentuk antibodi sehingga mampu memberikan

proteksi pada HPR terhadap infeksi Rabies.

Vaksinasi massal Rabies yang dilakukan di Provinsi Bali tahun 2016 mampu

merangsang terbentuknya antibodi terhadap Rabies. Hal ini dibuktikan dengan

terjadinya peningkatan persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun

2016 dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu dari 47.3% menjadi 60,2%.

Hasil serosurveilans Rabies tahun 2016 menunjukkan terjadi peningkatan titer

antibodi dari pre dan pascavaksinasi. Hasil uji ELISA terhadap 266 sampel

serum menunjukkan rata-rata titer antibodi pre vaksinasi sebesar 1.5 IU/ml

meningkat menjadi 4.5 IU/ml setelah dilakukan vaksinasi. Hasil Ini

mengindikasikan bahwa vaksin Rabies mampu merangsang respon imun untuk

membentuk antibodi

Hasil serosurveilans 2016 menunjukkan tidak semua anjing yang divaksinasi

menghasilkan antibodi protektif. Hal ini diduga kuat dipengaruhi oleh : status gizi

dan managemen pemeliharaan yang kurang baik. Mayoritas sampel serum

yang diperiksa di laboratorium berasal dari anjing lokal (anjing Bali) dengan

sistem pemeliharaan sebagian besar diliarkan, dengan makanan seadanya

sehingga kebutuhan gizinya tidak terpenuhi. Selain itu ada dugaan rendahnya

persentase seropositif Rabies dipengaruhi oleh interval waktu pelaksanaan

vaksinasi dengan pengambilan sampel serta tidak validnya data tentang

pelaksanaan vaksinasi.

Menurut Widodo, 2009 perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi,

status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan. Selain itu

perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu

Page 248: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

258

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi, sistim

penanganan vaksin (transportasi dan penyimpanan (cold chain system).

(Suprapto, 2008). Menurut WHO, 1998 komponen cold chain (sistem rantai

dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan transportasi vaksin, prosedur

pengelolaan, program dan kontrol distribusi vaksin .

Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah

divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .

Hal ini sesuai dengan Simani et al., 2004 yang menyatakan bahwa booster

penting dilakukan untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini juga

sesuai dengan yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010), bahwa

satu dosis vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama sehingga

perlu dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali kebanyakan masih

diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi ulangan secara massal

sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi kesulitan melakukan

penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies umumnya melalui suntikan.

Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau dicarikan alternatif penggunaan

vaksin Rabies lainnya yang lebih mudah aplikasinya namun mampu memberikan

kekebalan lebih lama terutama untuk anjing-anjing yang diliarkan/tidak diikat.

Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan vaksinasi Rabies karena anjing

tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk menyebarkan Rabies. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono (2007), bahwa anjing

liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari Rabies yang potensial

karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan Rabies ke

hewan lain, bahkan juga ke manusia.

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTB menunjukkan satu sampel

seropositif Rabies namun setelah dikonfirmasi dengan uji FAT terhadap sampel

otak anjing tersebut menunjukkan hasil negatif virus Rabies. Adanya seropositif

tersebut dapat terjadi karena reaksi positif palsu yang disebabkan oleh

spesifisitas KIT ELISA Rabies yang digunakan kurang dari 100%. Hasil

penelitian Dartini. 2011 menemukan bahwa spesifisitas KIT ELISA Rabies

Pusvetma hanya 73.5%. Rendahnya spesifisitas ini diduga kuat menyebabkan

Page 249: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

259

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

terjadinya positif palsu karena antigen yang digunakan pada KIT ELISA tersebut

berasal dari whole virus Rabies.

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2016 menunjukkan terjadi

peningkatan persentase seropositif Rabies.bila dibandingkan dengan persentase

seropositif tahun 2015. Hal ini disebabkan karena adanya vaksinasi massal

Rabies yang dilakukan oleh Dinas Peternakan bekerjasama dengan FAO.

Walaupun dilakukannya vaksinasi massal namun masih banyak anjing yang

belum menunjukkan titer antibodi protektif. Rendahnya titer antibodi yang

terbentuk diduga kuat karena anjing-anjing yang diambil sampel serumnya

tersebut baru pertama kali divaksinasi sehingga tidak mampu menghasilkan titer

antibodi protektif. Keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia masih menjadi

kendala utama dalam pelaksanaan vaksinasi di NTT sehingga tidak bisa

mengcover semua populasi yang ada. Selain itu kurangnya pengetahuan dan

kesadaran masyarakat terhadap pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor

tofografi NTT yang sangat sulit dijangkau, juga berpengaruh terhadap

keberhasilan pelaksanaan vaksinasi Rabies di NTT. Mengingat vaksinasi

merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pemberantasan

Rabies maka perlu diupayakan penggunaan vaksin Rabies oral terutama pada

anjing-anjing yang diliarkan /tidak diikat, sehingga membantu dalam

meningkatan persentase cakupan vaksinasi.

Page 250: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

260

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULANBerdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :

Vaksinasi menyebabkan terjadinya peningkatan titer antibodi yang signifikan

antara pre dan pascavaksinasi yaitu dari 1.5 IU/ml menjadi 4.6 IU/ml.

Persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun 2016 sebesar 60.2%

sedangkan untuk provinsi NTT hanya 45%

Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.

SARAN

Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah

70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang

memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.

Vaksinasi massal Rabies secara periodik perlu dilakukan sehingga mampu

meningkatkan kekebalan kelompok (herd immunity)

Perlu digunakan vaksin Rabies oral untuk mempermudah pelaksanaan

vaksinasi pada anjing yang diliarkan atau tidak diikat,

Sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan

pengendalian populasi perlu dilakukan untuk mempertahankan provinsi

NTB tetap bebas Rabies

VI. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten Ende, Flores Timur, Sikka, Ngada dan Manggarai Timur beserta staf,

serta kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar

yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian sampel.

Page 251: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

261

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous 2010. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali

Agustini, N.L.P., Dilasdita K.P., dan Melyantono, S., 2015. Laporan Teknis SerosurveilansRabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Tahun2015. Laporan Teknis Hasil Surveilans , Monitoring dan Pengembangan Metode UjiBalai Besar Veteriner Denpasar Tahun 2015. Hal : 201-216

Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. 2003. Neutralising antibody titrationin 25,000 sera of dogs and cats vaccinated against Rabies in France, in the frameworkof the new regulationsthat offer an alternative to quarantine.

Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., 2007.Comparison of antibody responses aftervaccination with two inactivated Rabies vaccines,

Dartini, N,L. 2011. Profil Imun Respon Terhadap Rabies dan Analisis Genetik dan Gen PenyandiGlikoprotein Virus Rabies Isolat Bali. Kumpulan Thesis Program Pascsarjana UniversitasUdayana

.Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B., Cliquet, F., Vasquez-

Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M., Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M.,Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A.,Beer, M., Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic of LyssavirusesResult of a Ring Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5.

Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) diKabupaten Badung, Provinsi Bali.

Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009. Rhabdoviridae in VeterinatyVirology, 3nd Ed. 429-439

Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.,Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies di Bali Enam Bulan Pasca ProgramPemberantasan . Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74: 13-26.

Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami,A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The Effectiveness of PreExposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251-255.

Soeharsono.2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit KanisiusJogyakarta.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diarmita, I.K. 2014. Surveilans danmonitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013. Buletin Veteriner. alai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXVI, No. 84. Edisi Juni 2014. Hal :46-59

Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde. 2010.Survival of Naturally Infected Rabid Dogs and Cats.Brief Report. Clinical InfectiousDiseases. 39 : 278-280

.WHO, Guidelines for dog Rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987

Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan. Orasi IlmiahGuru Besar Universitas Airlangga, Surabaya

Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre

Page 252: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

262

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2016

Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT yang bertujuan untukmendeteksi antigen / kasus dan mengetahui proporsi seropositive antibodi Hog Cholera, baikpada babi yang divaksinasi maupun yang terindikasi terinfeksi penyakit ini. Pengujian dilakukandengan metode Elisa antibodi dan antigen capture dengan menggunakan Kit Elisa Hog Cholera.Hasil dari pengambilan sampel diperoleh sebanyak 441 sampel PBMC darah babi dari wilayahprovinsi Bali. Seluruh sampel tersebut menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB diperoleh sebanyak 163 sampel PBMC darah babi dan semua sampelmenunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Sedangkan untuk provinsi NTT diperoleh sebanyak176 sampel PBMC darah babi dan tiga sampel (1,7 %) diantaranya menunjukkan hasil positifvirus Hog cholera. Sementara kegiatan pengambilan sampel serum babi juga dilakukan untukmendeteksi antibodi Hog cholera. Jumlah sampel yang diperoleh di provinsi Bali sejumlah 558sampel serum babi dan 195 sampel (34,95%) diantaranya positif antibodi Hog cholera. Untuk diprovinsi NTB, dari 328 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi Hog cholera.Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 138 dari 452 sampel (30,53%) positif antibodi Hogcholera.

Kata kunci: Hog cholera. antigen capture. antibodi Elisa

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Classical Swine Fever atau (HC) merupakan penyakit hewan yang sangat

menular pada babi yang disebabkan oleh virus HC dari genus Pestivirus

(Ressang, 1986). Virus HC merupakan virus RNA berukuran kira kira 38-44 nm,

berbentuk bundar dan memiliki amplop (selubung). Virus HC stabil pada pH 5-

10. Virus HC juga diketahui bersifat imunosupresif. Masa inkubasi pada

umumnya berkisar antara 3- 6 hari dan viremia terjadi segera setelah beberapa

jam virus HC menginfeksi babi. Babi merupakan satu satunya hewan yang

rentan terhadap HC. Hog Cholera ditularkan terutama melalui kontak langsung

antara babi sakit dan sehat, juga melalui sekreta dan ekskreta yang segar baik

Page 253: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

263

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran penyakit dipercepat

dengan perpindahan babi sakit ke daerah baru. Kendaraan dan peralatan yang

tercemar juga dapat menularkan virus HC dari satu peternakan ke peternakan

lainnya. Disamping itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak babi yang

dipotong untuk konsumsi pada stadium permulaan penyakit. Pada stadium ini

organ tubuh mengandung kosentrasi virus yang cukup tinggi dan virus ini dalam

daging segar dapat tahan hidup untuk jangka waktu yang panjang. Hog Cholera

sering ditularkan melalui limbah cucian daging yang berasal dari pemotongan

babi yang terinfeksi yang diberikan pada ternak babi lainnya. Tingkat morbiditas

dan mortalitas dapat mencapai 95 – 100%. Penyakit dapat terjadi secara akut

tetapi dapat juga menjadi kronis. Tanda klinis yang pertama terlihat ialah babi

tampak lesu, nafsu makan menghilang, depresi, demam tinggi hingga 41O C,

muntah, dan diare yang berseling dengan konstipasi. Perubahan warna kulit

merah kebiruan dapat ditemukan pada pangkal telinga dan pada daerah perut.

Pada stadium lanjut akan tampak gejala saraf, dimana babi terlihat terhuyung-

huyung, kejang lalu rebah dengan kaki bergerak gerak seperti mendayung

sepeda (Dharma dan Putra, 1997).

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 4026/Kpts/OT.140/4/2013

tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS), Hog

Cholera termasuk dalam 25 jenis penyakit hewan menular strategis yang

menjadi prioritas nasional dalam pengendalian dan penanggulangan di

Indonesia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2015). Ternak babi di wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar, pada umumnya dikembangkan sebagai

peternakan rakyat dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang tinggi.

Sejak tahun 1995 sampai saat ini peternakan babi di Bali dan NTT masih

terkendala dengan adanya letupan kasus Hog Cholera. Sedangkan di Pulau

Lombok Provinsi NTB kasus HC sudah tidak pernah dilaporkan dalam 5 tahun.

Page 254: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

264

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimana aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.

2. Apakah virus Hog Cholera masih terdeteksi di P. Lombok, Provinsi NTB.

Tujuan kegiatan1. Mengetahui aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.

2. Mendeteksi keberadaan virus Hog Cholera di P. Lombok, Provinsi NTB.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah aras Hog Cholera di Provinsi Bali dan NTT dan keberadaan agen

penyebab Hog Cholera di P. Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga

dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka pencegahan, pengendalian

dan pemberantasannya.

Out putTermonitornya Hog Cholera yang ada di Propinsi Bali, dan Nusa Tenggara

Timur, serta tersedianya data sebagai pijakan awal program pembebasan pulau

Lombok NTB.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas Hog Cholera di Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO HOG CHOLERA DI BALI, NTB DAN NTT

Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan secara ekonomi.

Penyakit ini cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala

umur. Besarnya dampak Hog Cholera terhadap populasi babi yang rentan tidak

hanya mempengaruhi industri babi secara local, namun juga internasional

melalui pembatasan perdagangan antar Negara. Karena dampak internasional

ini, Hog Cholera termasuk salah satu penyakit yang harus dilaporkan menurut

OIE. Beberapa faktor risiko penyebaran Hog Cholera di Bali, NTB dan NTT

Page 255: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

265

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

antara lain manajemen kesehatan hewan belum terimplementasikan secara

optimal, pengawasan lalu lintas ternak babi (pergerakan babi) masih lemah,

pencampuran babi di setiap rantai pasar, status biosekuriti terbatas, dan

minimnya manajemen produk peternakan babi dan hasil sampingannya (by

product).

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring HC diwilayah kerja BBVet Denpasar dapat

diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring HC di Wilayah Kerja Balai BesarVeteriner Denpasar.

No Risiko Solusi

1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai

Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.

2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)

Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.

4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian

Page 256: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

266

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.

II. MATERI DAN METODE

MateriBahan : Serum dan PBMC babi

Kit Elisa Hog Cholera (VDProCSFV)

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.

Metode Sampling

Sampel yang diambil pada kegiatan surveilans HC di provinsi Bali dan NTT

adalah ternak babi pada peternakan tradisional. Besaran sampel yang diambil

menggunakan rumus mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin et al,

1987) yakni n = 4PQ/L2 . Dengan tingkat konfidensi 95% dan galat yang

diinginkan 0,1 serta asumsi prevalensi untuk Bali 44,65 %, sementara asumsi

prevalensi untuk NTT 25,11% (Hartawan et al., 2015) maka diperoleh jumlah

sampel n = 99 sampel (Bali), dan n = 75 sampel (NTT). Sedangkan sampel di

pulau Lombok NTB menggunakan rumus Detect Disease (Martin et al, 1987).

Dengan asumsi prevalensi sebesar 1 %, tingkat kepercayaan 95 % maka

diperoleh hasil penghitungan jumlah sampel sebanyak 299 sampel di seluruh

pulau Lombok.

Page 257: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

267

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Prosedur Uji

Prosedur uji Elisa HC Antigen

Darah babi diambil dari vena jugularis menggunakan tabung yang berisi EDTA.

Kemudian darah disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10 menit.

Kemudian ambil sebanyak 1 ml lapisan leukosit dengan menggunakan pipet dan

tambahkan sebanyak 0.5 ml. Sentrifus larutan tersebut dengan kecepatan 3000

rpm selama 1 menit dan buang supernatant. Kemudian tambahkan pellet ke

dalam 300 µl STB 1x, vortex dan inkubasi selama 1 jam di suhu ruangan,

kemudian sentrifus sampel dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit dan

gunakan supernatant untuk uji. Inkubasi semua komponen kit pada suhu

ruangan. Buka tutup plate dari tempatnya, selanjutnya masukkan 50 µl dilution

buffer ke setiap well. Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol

negative ke dalam well yang telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan

inkubasi selama 90 menit atau semalaman pada suhu ruangan. Setelah

inkubasi, cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per

well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Setelah itu,

tambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-CAB) ke dalam setiap well.

Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan. Cuci setiap well

sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten

dalam well setiap tahap pencucian. Tahap elanjutnya, tambahkan 100 µl TMB

Substrat ke dalam setiap well dan tutup plate dan inkubasi selama 10 menit

pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.

Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setiap well

dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya

Interpretasi hasil

Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

(OD sampel - Rata-rata OD Kontrol negatif)PI = x 100

(Rata-rata OD Kontrol positif - Rata-rata OD Kontrol negatif)

Page 258: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

268

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Interpretasi

%SP value ≥20% : Positif virus Hog Cholera%SP value15-20% : Suspected virus Hog Cholera%SP value <15% : Negatif virus Hog Cholera

Prosedur uji Elisa HC Antibodi

Darah babi diambil dari vena jugularis babi, setelah menjendal kemudian serum

dipisahkan dengan cara disentrifus dengan kecepatan 2.500 rpm selama 10

menit. Serum ditampung dalam tabung bertutup kuning (yellow cuptube) dan

disimpan pada suhu -20°C atau -70°C sampai digunakan. Pada saat dilakukan

uji ELISA, sebanyak 200 µl serum sampel masing-masing dipindahkan pada plat

mikrotiter bentuk datar. Inkubasi semua komponen kit pada suhu ruangan. Dan

buka plate yang telah dilapisi CSFV gp55 dari tempatnya. Masukkan 50 µl

dilution buffer ke setiap well yang telah dilapisi dengan antigen CSFV gp55.

Masukkan 50 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negative ke dalam well yang

telah berisi dilution buffer (1:2). Tutup plate dan inkubasi selama 60 menit atau

semalaman pada suhu ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing

buffer 1X (300 µl per well) dan buang konten dalam well setiap tahap

pencucian. Setelah itu ditambahkan 100 µl konjugat HRPO anti-CSFV (CSFV-

CAB) ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 30 menit pada suhu

ruangan. Cuci setiap well sebanyak 3X dengan washing buffer 1X (300 µl per

well) dan buang konten dalam well setiap tahap pencucian. Tambahkan 100 µl

TMB Substrat ke dalam setiap well. Tutup plate dan inkubasi selama 15 menit

pada suhu ruangan. Amati densitas perkembangan warna pada kontrol negative.

Stop reaksi enzymatic dengan menambahkan 50 µl stop solution ke setian well

dan baca pada panjang gelombang 450 nm. Validasi dan hitung hasilnya.

Page 259: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

269

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Interpretasi hasil

Hitung % kompetisi (%PC) sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

(Rata-rata OD Kontrol negatif – OD sampel)PI = x 100

(Rata-rata OD Kontrol negatif – Rata-rata OD Kontrol positif)

Interpretasi

%PC value ≥40% : Positif antibodi spesifik HC dalam serum.%PC value <40% : Negatif antibodi spesifik HC dalam serum.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASILHasil pengujian sampel untuk mendeteksi antigen penyebab Hog Cholera

di wilayah kerja Bali, NTB dan NTT pada tahun 2016, disajikan padaTabel 1.

Tabel 1. Deteksi virus hog cholera di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2016.

Provinsi Kabupaten Kecamatan Positif Negatif JumlahSampel

BALI Bangli Bangli 0 25 25Buleleng Buleleng 0 25 25

DenpasarDenpasarSelatan 0 84 84

Gianyar Blahbatuh 0 25 25Payangan 0 182 182

Jembrana Melaya 0 25 25Karang Asem Karang Asem 0 25 25Klungkung Banjarangkan 0 25 25Tabanan Kerambitan 0 25 25

Total 0 441 441NUSATENGGARABARAT Lombok Barat Batu Layar 0 30 30

LombokTengah Jonggat 0 50 50Lombok Utara Tanjung 0 83 83

Total 0 163 163

Page 260: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

270

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

NUSATENGGARATIMUR Alor Teluk Mutiara 0 53 53

Ende Nanga Panda 0 25 25Ndona 0 1 1

Flores Timur Ile Mandiri 0 41 41Larantuka 0 9 9

Lembata Nubatukan 0 20 20ManggaraiBarat Komodo 0 1 1Sabu Raijua Sabu Barat 1 21 22

Sumba BaratKotaWaikabubak 2 2 4

Total 3 173 176TOTAL (Bali, NTB dan NTT) 3 777 780

Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan

NTT diperoleh sebanyak 780 sampel PBMC babi. Di Provinsi Bali diambil

sejumlah 441 sampel dari 8 Kabupaten / Kota yaitu Kabupaten Bangli, Buleleng,

Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan dan Kota Denpasar. Di

provinsi NTB diambil sejumlah 163 sampel dari kabupaten Lombok Barat,

Lombok Tengah, dan Lombok Utara. Hasil laboratorium dari kedua provinsi

tersebut menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang terdeteksi positif virus Hog

cholera (0 %). Sedangkan di provinsi NTT diambil 176 sampel dari kabupaten

Alor, Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat, Saburaijua, dan Sumba

Barat. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa 1 sampel terdeteksi positif virus

Hog Cholera yaitu di Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Saburaijua dan 2

sampel terdeteksi positif virus Hog Cholera yaitu di Kecamatan Kota

Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, sehingga total sampel yang terdeteksi

positif virus Hog Cholera adalah 3 sampel (1.7%)

Kegiatan serosurveilans Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dimaksudkan untuk melihat proporsi antibodi Hog cholera di provinsi

Bali, NTB dan NTT pada tahun 2016. Hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini di

provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 2).

Page 261: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

271

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 2. Deteksi antibodi Hog Cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT tahun2016.

Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Proporsi(%)

BALI Badung Petang 3 6 9 33.33Bangli Bangli 34 3 37 91.89Buleleng Buleleng 0 25 25 0.00

DenpasarDenpasarSelatan 58 102 160 36.25

Gianyar Blahbatuh 9 16 25 36.00Payangan 72 110 182 39.56Tegallalang 19 1 20 95.00

Jembrana Melaya 0 25 25 0.00Karang Asem Karang Asem 0 25 25 0.00Klungkung Banjarangkan 0 25 25 0.00Tabanan Kerambitan 0 25 25 0.00

TOTAL 195 363 558 34.95NUSATENGGARABARAT Lombok Barat Batu Layar 0 102 102 0.00

Lombok Tengah Jonggat 0 100 100 0.00Lombok Utara Tanjung 0 126 126 0.00

TOTAL 0 328 328 0.00NUSATENGGARATIMUR Alor

Alor BaratDaya 8 25 33 24.24Kabola 0 17 17 0.00Teluk Mutiara 4 49 53 7.55

Ende Nanga Panda 0 25 25 0.00Ndona 1 0 1 100.00

Flores Timur Ile Mandiri 10 41 51 19.61Larantuka 2 47 49 4.08

Lembata Ile Ape 11 6 17 64.71Ile Ape Timur 1 16 17 5.88Lebatukan 13 1 14 92.86Nagawutung 1 15 16 6.25Nubatukan 12 24 36 33.33

Sabu Raijua Sabu Barat 72 33 105 68.57

Sumba BaratKotaWaikabubak 1 1 2 50.00

Sumba BaratDaya Kodi Bangedo 2 8 10 20.00

WewewaSelatan 0 6 6 0.00

TOTAL 138 314 452 30.53TOTAL (Bali, NTB, NTT) 333 1005 1338 24.88

Page 262: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

272

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi Bali, NTB dan NTT

diambil sejumlah 1338 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan hasil 333 dari 1338 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera

(24.88 %) di provinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk di provinsi Bali diperoleh hasil

195 sampel dari 558 sampel serum positif antibodi Hog cholera (34.94 %). Untuk

di provinsi NTB diperoleh hasil 0 dari 328 sampel serum positif antibodi Hog

cholera (0%). Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 138 dari 452 sampel

positif antibodi Hog cholera (30.53 %).

IV. PEMBAHASAN

Pada tahun 2016 di Provinsi Bali tidak terdeteksi positif virus HC sedangkan

untuk deteksi antibodi mencatat ada 195 sampel seropositif HC dari 558 sampel.

Tidak diketahui secara pasti apakah hasil positif antibodi ini disebabkan karena

pemberian vaksinasi anti Hog Cholera atau karena infeksi alam oleh virus Hog

Cholera. Sehingga hasil ini tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk menilai

pelaksanaan vaksinasi terkait upaya pengendalian dan atau pemberantasan.

Hasil surveilans pada tahun 2016 di Provinsi NTT menunjukkan hasil positif virus

HC di Kab. Saburaijua (1 sampel terdeteksi positif virus HC), di Kab. Sumba

Barat pun diperoleh hasil 2 sampel positif virus HC. Tahun 2016 Pemerintah

Provinsi NTT melakukan Program vaksinasi HC, sesuai data pengambilan

sampel pada tahun 2016 diperoleh 126 sampel dari 229 sampel memiliki status

vaksinasi HC (55.02%).

Kasus Hog Cholera di Provinsi NTT dilaporkan pertama kali tahun 1998 di desa

Tarus, Kabupaten Kupang dan tahun 1999 dilaporkan juga terjadi di Pulau Sabu,

Rote, Sumba dan terus menyebar ke Pulau Alor dan Pantar tahun 2002.

Wabah terakhir dilaporkan di Lembata tahun 2011 akibat tingginya lalu lintas

perdagangan babi antar pulau di NTT. Hog cholera cendrung bersifat endemis di

kabupaten Sabu Raijua. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada

tahun 2012 dan 2013 melaporkan adanya kasus Hog Cholera di Kabupaten

Sabu Raijua masing-masing 19 dan 3 kasus. Sementara pada tahun 2014 tidak

Page 263: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

273

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

ada laporan adanya kasus kematian ternak babi akibat HC. Munculnya kasus

Hog Cholera di kabupaten Sabu Raijua tahun 2015 tidak lepas dari beberapa

faktor antara lain: kebanyakan ternak babi dipelihara dalam keadaan bebas

berkeliaran, hanya sedikit ternak babi dipelihara dalam kandang. Banyaknya

babi yang diantarpulaukan melalui pelabuhan Seba, Sabu Barat yang berasal

dari Kupang, Ende, dan Rote Endao yang merupakan daerah endemis Hog

Cholera. Kurang lebih ada sebanyak 50 ekor babi ke luar/masuk pelabuhan

Seba setiap dua minggu yang lebih banyak untuk kepentingan adat (Drh. Wayan

Rudi, mantan petugas Karantina Hewan dan Tumbuhan kabupaten Sabu

Raijua). Disamping itu realisasi vaksinasi Hog Cholera di kabupaten Sabu Raijua

masih rendah. Rata-rata realisasi vaksinasi Hog Cholera setiap tahunnya

berkisar 6.996 dosis sedangkan populasi ternak babi di Kabupaten Sabu Raijua

berkisar 25.987 ekor. Kalau pelaksanaan vaksinasi Hog Cholera sesuai dengan

rencana, ini berarti bahwa cakupan vaksinasi Hog Cholera di kabupaten Sabu

Raijua baru mencapai 26,92%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak ternak

babi yang belum memperoleh vaksinasi Hog Cholera. Untuk melindungi

peternakan babi dari Hog Cholera cakupan vaksinasi di daerah tersebut perlu

terus ditingkatkan sehingga terbentuk herd immunity yang mampu melindungi

populasi dari infeksi Hog Cholera.

Pada tahun 2012, NTB pernah terdeteksi positif virus HC di Kabupaten Lombok

Utara dan Mataram (Hartawan et al., 2012), akan tetapi di tahun 2013 sampai

2016, hasil pengujian dari Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan hasil uji

negatif dan seronegatif untuk masing-masing uji. Penurunan atau tidak adanya

kasus penyakit HC di Nusa Tenggara Barat kemungkinan karena jumlah

peternak babi di NTB relative sedikit mengingat sosioreligi masyarakat daerah

NTB yang mayoritas beragama muslim.

Page 264: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

274

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera tahun 2016 di provinsi NTT

sebesar 1.7%, sedangkan provinsi Bali dan NTB tidak terdeteksi sampel

yang positif virus Hog cholera (0 %).

2. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera pada tahun 2016 di Provinsi di

Bali 34.95 %, NTB sebesar 0 %, dan di NTT 30.53 %.

3. Antigen Hog cholera masih terdeteksi di Provinsi NTT yaitu di Kecamatan

Sabu Barat, Kabupaten Saburaijua dan di Kec. Kota Waikabubak,

Kabupaten Sumba Barat.

Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui

indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak

melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga

untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB

sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.

2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk

melakukan vaksinasi Hog cholera dan pengawasan lalu lintas ternak babi

secara ketat serta mengimplementasika prinsip prinsip biosecurity.

3. Mengembangkan sistem surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk

dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas

surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans Hog Cholera, sehingga surveilans dapat dilaksanakan dengan baik.

Page 265: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

275

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA.

Dharma, D.M.N dan Putra, A.A.G (1997). Penyidikan Penyakit Hewan. Bali Media.

Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan ClassicalSwine Fever. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Hartawan, D. H. W., Dewi, A. A. S., Purnatha, N., Sutami, N., Suryadinata, L. (2012). DeteksiAntigen Seroprevalensi Penyakit Hog Cholera di Bali dan Nusa Tenggara Timur.Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar.

Hartawan, D. H. W.,Dibia, I N. ., Laksmi, L. K. N., Pitriani, K., Abiyoga, P. D., Suryadinata, L. M.F, Sutami, N., Purnatha, N., Kurniawan.,F.R. (2015). Surveilans Penyakit Hog Cholera diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015. LaporanTeknis Balai Besar Veteriner Denpasar.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : veterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.

Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.

Page 266: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

276

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKUDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2016

Dibia, I N., Melyantono, S.E., Abioga, D. P., Purnatha, N.,Suryadinata, L. M. F., Kurniawan, F. R.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selama surveilans berhasildikumpulkan sampel sebanyak 386 sampel serum di provinsi Bali dan 302 sampel serum diNusa Tenggara Barat dan 329 sampel serum di Nusa Tenggara Timur. Hasil pengamatan danpemeriksaan selama pelaksanaan surveilans, tidak ditemukan ternak sapi dan babi yangmenunjukkan gejala klinis PMK. Demikian pula hasil uji dengan metode ELISA menggunakanPriocheck FMDV NS Elisa Kit menunjukkan semua sampel serum negatif antibodi PMK. Dapatdisimpulkan bahwa provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tetap bebasPMK.

Kata Kunci : Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Mulut dan Kuku adalah penyakit viral yang sangat menular dan

menyerang semua hewan berkuku belah/ genap seperti sapi, kerbau, kambing,

domba dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk genus Aphthovirus

dari family Picornaviridae, berukuran sangat kecil yaitu sekitar 20 milimikron.

Virus PMK terdiri dari 7 serotipe yaitu: O, A, C, SAT-1, SAT-2, SAT-3, dan Asia-

1 (Ressang, 1986). Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara hewan

sakit dengan yang sehat atau secara kontak tidak langsung melalui makanan

yang tercemar (terutama peternakan yang mempraktekan swill feeding) atau

melalui lalu lintas bahan bahan lain yang tercemar. Masa inkubasi PMK pada

umumnya antara 2-5 hari atau lebih. Penyakit ini ditandai dengan adanya

pembentukan vesikel / lepuh dan erosi pada mukrosa mulut, lidah, gusi, nostril,

Page 267: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

277

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

ambing, dan pada kulit diantara kuku (Donaldson, 1993). Pada hewan

ruminansia dapat membawa virus setelah sembuh dan virus tetap persisten

dalam faring sapi selama 3 tahun.

Kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah. Tingkat

morbiditas PMK sangat tinggi yakni dapat mencapai 100% tetapi tingkat

kematian penderita sangat rendah. Meskipun demikian kerugian yang

ditimbulkan sangat besar yakni terjadi penurunan berat badan, penurunan

produksi susu, dan hambatan lalu lintas ternak.

Pada tahun 1986, pemerintah menyatakan Indonesia bebas PMK melalui SK

Mentan 260/1986, selanjutnya OIE mengirim tim ahli ke Indonesia dan secara

resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office International

des Epizooties (OIE) pada tahun 1990 seperti tercantum dalam resolusi OIE No.

XI tahun 1990. Masuknya PMK ke Negara bebas pada umumnya melalui

importasi daging atau importasi ternak. Mengingat Indonesia setiap tahun masih

mengimport daging beku atau sapi bakalan maka masuknya PMK perlu

diwaspadai. Disamping itu, wilayah kerja BBVet Denpasar pada umumnya

dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia sehingga tingginya arus lalu lintas

manusia dari daerah tertular PMK ke Indonesia juga berpotensi menyebarkan

PMK. Untuk itu surveilans / monitoring dalam rangka mengevaluasi status bebas

dan deteksi dini penyakit Mulut dan Kuku di wilayah kerja BBVet Denpasar

(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur ) perlu dilakukan.

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut; Apakah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur masih bebas Penyakit Mulut dan Kuku ?

Page 268: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

278

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tujuan KegiatanMendeteksi virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui surveilans

sindromik dan uji serologis dengan indikator antibodi untuk membuktikan bahwa

Bali, NTB dan NTT masih bebas PMK.

Manfaat KegiatanHasil surveilans / monitoring ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah status PMK di wilayah kerja BBVet Denpasar serta dijadikan bahan

pertimbangan dalam rangka peningkatan kewaspadaan dini terhadap PMK

Out putTermonitornya status bebas penyakit Mulut dan Kuku di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Out comeTerwujudnya lingkungan ternak bebas PMK di Provinsi Bali, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur.

ANALISA RISIKO PMK DI BALI, NTB DAN NTT

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar belum mampu memenuhi

kebutuhan daging sapi / kerbau secara lokal. Untuk memenuhi kebutuhan

tersebut, Indonesia harus melakukan importasi baik dalam bentuk daging beku

maupun sapi bakalan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk

tentunya meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK) ke Indonesia termasuk ke wilayah kerja BBVet Denpasar (Bali, NTB dan

NTT). Selama ini sebagian besar wabah PMK di beberapa Negara di dunia

selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan / lalu lintas hewan

dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan

tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu daging dan

produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk

hewan, hijauan pakan ternak, jerami, dan beberapa jenis material lainnya dapat

juga berperan dalam penyebaran PMK. Meningkatnya jumlah penumpang

internasional dari daerah / negara tertular juga merupakan salah satu potensi

Page 269: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

279

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

ancaman masuknya PMK yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian peneliti

sebelumnya menyatakan bahwa virus PMK dapat disebarkan oleh orang melalui

sepatu, tangan dan pakaian yang tercemar.

ANALISA RISIKO KEGIATAN

Pada kegiatan surveilans / monitoring PMK diwilayah kerja BBVet Denpasar

dapat diidentifikasi risiko kegiatan sebagai berikut, seperti disajikan pada Tabel

1.

Tabel 1. Analisa Risiko Surveilans / Monitoring PMK di Wilayah Kerja Balai BesarVeteriner Denpasar.

No Risiko Solusi

1 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai

Melakukan koordinasi dengandinas peternakan atau yangmenangani peternakan dankesehatan hewan terkaitkepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatansehingga dapat disesuaikandengan kegiatan lain pada Dinas /instansi terkait.

2 Target sampel tidak terpenuhi Melakukan koordinasi dengandinas terkait sehingga jumlahsampel minimal terpenuhi.

3 Rusaknya sampel akibat tidaktersedianya sarana penyimpananyang layak (pendingin)

Berkoordinasi dengan dinassetempat untuk dapat menitipkansampel yang diperoleh padakulkas atau freezer, untukselanjutnya dalam perjalanan keDenpasar menggunakan coolerbox beserta ice pack sehinggasampel masih tetap baik sampaidi laboratorium.

4 Bahan pengujian belum tersedia Berkomunikasi secara intensifdengan tim pengadaan barangdan jasa BBVet Denpasar terkaitketersediaan bahan pengujian

Page 270: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

280

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

5 Alat rusak Berkomunikasi dengan KasubbagRTP terkait perbaikan alatpengujian yang rusak. Untuksementara waktu dapatmenggunakan alat yang sama dilaboratorium lain di BBVetDenpasar untuk kelancaranpengujian.

II. MATERI DAN METODE

Materi

Bahan : Serum hewan peka (sapi dan babi),

Kit Elisa antibodi PMK (PrioCHECK FMDV NS)

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, mikrotube 2 ml, tips, mikropipet, dan elisa reader.

Metodea. Metode sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah serum ternak peka PMK pada

peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans PMK di provinsi Bali, NTB

dan NTT menggunakan rumus Detect present of the Disease (Martin et al,

1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan asumsi

prevalensi adalah 1 %, serta ukuran populasi di masing-masing provinsi di atas

10.000 ekor maka diperlukan 299 sampel untuk mendeteksi setidaknya satu

positif dengan peluang 0,95.

b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk mendeteksi antibodi Non Struktural Protein virus

penyebab PMK akibat infeksi alam (OIE, 2014) menggunakan Kit Elisa antibodi

PMK (Priocheck FMDV NSP), dengan prosedur uji sebagai berikut :

Page 271: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

281

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Hari pertama proses pengujian1. ELISA buffer sebanyak 80 µl dimasukkan ke semua well plate yang sudah

dilapisi antigen virus PMK

2. Serum kontrol negatif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well A1 dan B1

3. Serum kontrol positif lemah sebanyak 20 µl dimasukkan ke well C1 dan D1

4. Serum kontrol positif sebanyak 20 µl dimasukkan ke well E1 dan F1

5. Sampel serum sebanyak 20 µl dimasukkan ke masing masing well yang

masih kosong.

6. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah disediakan

7. Plate uji digoyang dengan pelan

8. Plate uji di inkubasi semalaman (16-18 jam) pada suhu 22 °C

Hari kedua proses pengujian1. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan selanjutnya plate dicuci

menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing-masing

200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang

terakhir.

2. Konjugat sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

3. Plate uji ditutup menggunakan penutup yang telah tersedia.

4. Plate uji diinkubasi selama 60 menit pada suhu 22 °C

5. Plate uji yang telah diinkubasi dikosongkan dan cuci plate tersebut

menggunakan washing solution sebanyak 6x pencucian masing masing

200-300 µl/well. Tap plate dengan kuat setelah tahap pencucian yang

terakhir.

6. Substrat chromogen (TMB) sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

7. Plate uji diinkubasi selama 20 menit pada suhu 22 °C

8. Stop solution sebanyak 100 µl ditambahkan ke semua wells

9. Mix semua bagian di wells plate uji untuk di ukur

10. Densitas diukur dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang

gelombang 450 nm setelah 15 menit

11. Nilai OD450 dihitung sebagai berikut:

OD450 sampelPI = 100 - x 100

OD450 max

Page 272: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

282

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Interpretasi Hasil

1. OD450 max (rata-rata OD450 kontrol negatif harus >1.000

2. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif lemah harus >50%

3. Rata-rata persetase inhibisi kontrol positif harus >70%

4. Bila tidak menemukan kriteria itu, berarti hasilnya tidak terpakai

5. Bila PI ≥50% = seropositif PMK

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2016

dilakukan di delapan kabupaten/kota yaitu Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar,

Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil

sejumlah 386 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang disampling. Dari

hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Bali.

Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

BALI Bangli Kintamani 0 50 50Buleleng Sawan 0 50 50

DenpasarDenpasarSelatan 0 50 50

Gianyar Blahbatuh 0 50 50Jembrana Jembrana 0 50 50KarangAsem Rendang 0 50 50Klungkung Dawan 0 50 50Tabanan Tabanan 0 36 36

Total 0 386 386

Page 273: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

283

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

pada tahun 2016 dilakukan di tiga kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Lombok

Tengah dan Kota Mataram. Jumlah sampel yang diambil berjumlah 302 sampel.

Dari hasil pengujian, semua sampel serum tidak terdeteksi atau negatif antibodi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Nusa Tenggara Barat .

Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Lombok Barat Kediri 0 50 50Lombok Tengah Jonggat 0 50 50

Praya Barat 0 21 21Praya Tengah 0 26 26Pujut 0 53 53

Mataram Ampenan 0 9 9Sandubaya 0 50 50

NUSATENGGARABARAT

Sekarbela 0 43 43

Total 0 302 302

Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 329 sampel

serum, yang diambil di kabupaten Alor, Belu dan Flores Timur. Dari hasil

pengujian diperoleh hasil semua sampel negatif antibodi Penyakit Mulut dan

Kuku (PMK), seperti Tabel 4.

Page 274: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

284

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Tabel 4. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Nusa Tenggara Timur.

Provinsi Kabupaten Kecamatan Seropositif

Seronegatif

JumlahSampel

Alor Alor Barat Daya 0 33 33Kabola 0 17 17Teluk Mutiara 0 53 53

Belu Atambua Barat 0 9 9Atambua Kota 0 8 8Atambua Selatan 0 10 10Kakuluk Mesak 0 24 24LamaknenSelatan 0 10 10Lasiolat 0 10 10Nanaet Duabesi 0 10 10Raihat 0 15 15Tasifeto Barat 0 15 15Tasifeto Timur 0 15 15

FloresTimur Ile Mandiri 0 51 51

NUSATENGGARATIMUR

Larantuka 0 49 49Total 0 329 329

IV. PEMBAHASAN

Penyakit Mulut dan Kuku merupakan penyakit hewan menular yang mempunyai

dampak ekonomi yang sangat besar, antara lain karena kehilangan

produktivitas, pemusnahan ternak terinfeksi, kehilangan peluang ekspor dan

biaya eradikasi. Telah diketahui secara umum bahwa lalu lintas ternak dan

produk asal ternak serta bahan bahan lainnya yang tercemar virus merupakan

sarana penular / pembawa virus PMK atau sumber penular. Oleh karenanya,

terhadap bahan-bahan tersebut di atas pada saat terjadinya wabah atau adanya

ancaman wabah perlu memperoleh pengawasan yang sangat ketat. Beberapa

negara di kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam,

Laos, dan Kamboja) masih tertular PMK, sehingga selalu menjadi ancaman

yang besar terhadap kemungkinan introduksi PMK ke Indonesia. Mengingat

kejadian PMK di daerah bebas akan bersifat epidemik / mewabah, dan

menyebar sangat cepat serta dapat melintasi batas batas negara, maka perlu

Page 275: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

285

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

dicermati secara seksama agar Indonesia yang telah bebas dari PMK tidak

tertular kembali, yang pada akhirnya akan sangat merugikan perekonomian

nasional.

Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar tahun 2016 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur menunjukkan tidak ada kasus klinis PMK yang ditemukan

dilapangan dan secara serologis semua sampel serum negatif antibodi Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK). Hasil ini mengukuhkan bahwa Bali, Nusa Tenggara

Barat, dan Nusa Tenggara Timur masih tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK). Bebasnya wilayah ini dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) karena telah

dilakukan tindak pencegahan melalui pengawasan lalu lintas/ tindak karantina

yang sangat ketat terhadap pemasukan atau import ternak ruminansia dan

produknya dari negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Surveilans PMK di daerah yang memiliki risiko paling tinggi untuk kemungkinan

masuknya hewan/produk hewan dari negara tertular PMK merupakan kunci

utama dalam rangka mempertahankan status bebas PMK di Indonesia. Untuk

itu, dipandang perlu penguatan system surveilans untuk membangun suatu

sistem deteksi dini (early detection system) yang memiliki sensitivas tinggi

terhadap PMK terutama di daerah / kawasan yang memiliki potensi ancaman

karena penyelundupan hewan atau produk hewan dari negara tertular, dan

lokasi dengan peternakan babi yang pakannya menggunakan sisa hotel (swill

feeding). Disamping itu, dalam rangka mengantisipasi kemungkinan masuknya

PMK ke Indonesia, mengingat beberapa negara tetangga di Asia Tenggara telah

tertular, dipandang perlu segera ditetapkan rencana aksi darurat yang bertujuan

untuk menguraikan prosedur-prosedur yang perlu dilaksanakan, struktur

manajemen dan peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak yang

terlibat apabila ada dugaan / kasus PMK.

Page 276: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

286

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

V. KESIMPULAN DAN SARAN.

KesimpulanBerdasarkan kegiatan surveilans / monitoring PMK oleh BBVet Denpasar pada

tahun 2016 dapat disimpulkan ;

1. Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan ternak yang menunjukkan

gejala klinis PMK.

2. Dari 1017 sampel serum yang diuji, tidak terdeteksi antibodi PMK (negatif

antibodi PMK).

3. Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur masih tetap

bebas PMK.

Saran

Mengingat ancaman masuknya PMK ke Indonesia sangat tinggi dan

berlangsung setiap saat, maka kegiatan surveilans/ monitoring perlu

dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang berisiko

tinggi dengan metode surveilans yang memiliki sensitivitas yang tinggi

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Bali, NTB dan NTT beserta

staff atas dukungan dan bantuannya selama berlangsungnya kegiatan

surveilans penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga surveilans dapat

dilaksanakan dengan baik.

Page 277: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

287

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

DAFTAR PUSTAKA

Donaldson, A.I (1993). Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent and New Perspective.Diagnosis and epidemiology of foot and mouth disease in southeast Asia. AciarProceeding No 51, 9-15.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press. USA.

OIE, (2014). Manual Diagnostic and Vaccine for Terestrial, Chapter 2.1.5. Office Internationaldes Epizooties.

Ressang, A. A. (1986). Penyakit Viral pada Hewan. UI-press. Jakarta.

Page 278: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PENGEMBANGAN METODAIDENTIFIKASI BAKTERI Campylobacter jejuni DAN IDENTIFIKASIDAGING TIKUS PADA PANGAN ASAL HEWAN MENGGUNAKAN

TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)( Increasing Competence and Development Method Identification of

Bacteria Campylobacter jejuni and Identification of Rat meat in Foodof Animal Origin using Polymerase Chain Reaction)

Dewi,A.A.S., D.H.W.Hartawan., A.Rachim, Y. Suryawan, P.B.Frimananda

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Bahan pangan yang dikonsumsi manusia harus aman dan layak yang disebut dengan ASUH(Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Dalam upaya mewujudkan jaminan penyediaan pangan yangASUH dibutuhkan laboratorium yang memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atauhasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode uji yangdikembangkan saat ini di Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar adalah Polymerase ChainReaction (PCR) untuk identifikasi bakteri Campylobacter jejuni dan daging tikus. Campylobacterjejuni dikenal sebagai pathogen enterik yang penting. Bakteri ini pada umumnya ada dalamjumlah besar pada feses individu yang diare dan sering pada pangan asal hewan terutama ayammentah. Isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni pada pangan dilakukan secarakonvensional dengan mengkultur bakteri tersebut. Isolasi dan identifikasi membutuhkan waktuyang lebih lama dan membutuhkan tenaga teknis yang terampil dalam melakukan kultur bakteri.Pengembangan metode dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR supayapengujian dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Primer yang digunakan yaitu gen HipO(Hippopuricase) merupakan novel primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. Hasil ujimenunjukkan bahwa hasil amplifikasi DNA C. jejuni terlihat pada amplikon berkisar pada 323 bpdan mampu terdeteksi dengan tingkat kekeruhan minimum pada OD 0,22. Sementara itu, dagingtikus disinyalir menjadi daging penambah dalam kaitan dengan pemalsuan daging. Untukmendeteksi daging tikus dengan PCR, digunakan primer yang didesain spesifik dengan targetgen CytB. Hasil amplifikasi DNA daging tikus menunjukkan hasil positif mengandung DNA tikusdengan panjang amplikon 188 bp. Dengan demikian BB-Vet Denpasar telah mampumeningkatkan kompetensi dalam melakukan deteksi bakteri C. jejuni dan daging tikus denganteknik PCR

Kata kunci : C. jejuni, daging tikus, PCR

ABSTRACT

Foodstuff for human consumption must be safe and feasible as called ASUH (Safe, Healthy,Whole and Halal). In an effort to actualize food supply assurance, the laboratory which hastechnical capability to generate the data and an appropriate, accurate and accountable testresult scientifically is needed. The test method which developed at this time in BBVet Denpasaris the Polymerase Chain Reaction (PCR) for identification of the bacteria Campylobacter jejuniand rat meat. C. jejuni is known as an important enteric pathogen. This bacteria is generallypresented in large amount of individual stool with diarrhea and often in animal-based foodproduct, especially raw chicken. Isolation and identification of C.jejuni in food had been done byculturing bacteria conventionally. Isolation and identification took longer and required a technicalskilled personal in performing bacterial culture. Development of molecular method by using PCR

Page 279: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

technique in order to make the test could be performed rapidly and accurately. Primer that usedwas HipO (Hippopuricase) which was novel primer that could be found in C.jejuni. The test resultshowed that C.jejuni DNA amplicon product could be seen at the range 323 bp, and was able tobe detected with a minimum turbidity level at OD 0.22. Meanwhile, rat meat was allegedly in theconnection with meat adulteration. To detect rat meat with PCR, used scientifically designedprimer with CytB gene. DNA amplification result showed positive rat meat containing the DNA ofrat with length of 188 bp amplicon. Thus BB-Vet Denpasar had been able to improvecompetence in perfoming the detection of C. jejuni bacteria and rat meat by PCR.

Keywords : Campylobacter jejuni, rat meat, PCR

I. PENDAHULUAN

Pangan asal hewan adalah bahan makanan bernilai gizi tinggi yang sangat

berguna bagi kesehatan manusia. Selain itu, pangan asal hewan juga

merupakan bahan makanan mudah rusak (perishable food) dan berpotensi

berbahaya (potentially hazardous food). Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain

yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Pada prinsipnya bahan pangan yang dikonsumsi manusia harus aman dan layak

yang disebut dengan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Dalam upaya mewujudkan jaminan penyediaan pangan yang ASUH dibutuhkan

laboratorium yang memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atau

hasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Namun demikian metode uji tersebut harus tetap dimutakhirkan sesuai

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Metode uji yang dikembangkan

saat ini di Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar adalah Polymerase Chain

Reaction (PCR) untuk identifikasi bakteri Campylobacter jejuni

Dari kajian keamanan pangan, Campylobacter jejuni (C. jejuni) dikenal sebagai

pathogen enterik yang penting. Bakteri ini pada umumnya ada dalam jumlah

besar pada feses individu yang diare dan sering pada pangan asal hewan

terutama ayam mentah. Diare disebabkan karena sifat Campylobacter yang

invasif yaitu dapat masuk ke lapisan usus halus dan akan mengeluarkan toksin

yang merusak mukosa usus tersebut. Dosis infeksi C. jejuni cenderung kecil.

Page 280: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Jumlah 400-500 sel bakteri dapat menyebabkan penyakit pada beberapa

individu.

Isolasi dan identifikasi C. jejuni pada pangan dilakukan secara konvensional

dengan mengkultur bakteri tersebut. Namun demikian, mengisolasi C. jejuni

pada pangan sulit karena jumlahnya sangat rendah dan dibutuhkan kaldu yang

mengandung antibiotika dan media yang mengandung antibiotika khusus dan

lingkungan yang kadar oksigennya sebesar 5% (SNI 7388, 2009). Isolasi dan

identifikasi membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan tenaga

teknis yang terampil dalam melakukan kultur bakteri. Pengembangan metode

dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR supaya pengujian

terhadap C. jejuni dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Primer yang

digunakan yaitu gen HipO (Hippopuricase) merupakan novel primer yang hanya

terdapat pada C. jejuni. Strain ini memberikan reaksi positif pada uji hidrolisis

hipurat (Wang et al., 2002).

Selain identifikasi C. jejuni, BB-Vet Denpasar juga melakukan peningkatan

kompetensi untuk identifikasi daging tikus yang masih terkait dengan

penyediaan pangan yang ASUH. Pangan diperuntukkan sebagai konsumsi bagi

manusia sehingga kejelasan bahan asal sangat diutamakan. Pangan olahan,

contohnya bakso, seringkali dipalsukan dengan cara menambah dengan daging

tikus yang lebih murah, mudah didapat, namun statusnya haram dan juga

berbahaya bagi kesehatan. Tindak pemalsuan tersebut mengancam keamanan

pangan yang beredar di masyarakat, sehingga dibutuhkan teknik yang spesifik

dan akurat untuk mendeteksi daging tikus yang disinyalir menjadi daging

penambah (Widiyanti, 2015). Salah satu metode yang dapat diaplikasikan

adalah PCR yang diaplikasikan dengan memakai primer yang digunakan untuk

amplifikasi dioxynucleic acid (DNA) didesain spesifik untuk tikus dengan target

gen CytB (Srihanto dkk, 2015).

Page 281: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1 Isolasi dan Identifikasi Campylobacter jejuniBahan-bahan yang dibutuhkan antara lain : isolat murni (standar) Campylobacter

jejuni ATCC 33560, daging ayam, modified charcoal cefoperazone

desoxycholate agar (mCCDA), pepton 0,1%, enrichment broth, pewarna gram,

aquades, PBS 1%, Primer (HipO) sekuen basa : CJ-F (5’-

ACTTCTTTATTGCTTGCTGC-3’) dan CJ-R (5’-GCCACAACAAGTAAA GAAGC-

3’), master mix, ethidium bromide, agarose, 100 bp DNA ladder, loading

dye/blue juice, TBE 1 x

Alat-alat yang dibutuhkan antara lain : timbangan, cawan petri, ose, inkubator,

sentrifus, waterbath, tabung reaksi, collection tube, anaerobic jars dengan gas

generating envelopes, gas tank system, mikroskop, vortex, spektrofotometer,

mikro pipet, thermocycler, elektroforesis, UV transiluminator.

2.1.2. Identifikasi daging tikus

Bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain : daging tikus putih (Rattus

norvegicus), daging tikus got (Rattus norvegicus strain wistar), Purelink viral

DNA/RNA minikit, master mix, ethanol, agarose, TBE 1x, 100 bp DNA ladder,

loading dye/blue juice, ethidium bromide, primer F (5’-

CATGTGGGACGAGGACTATACTATG-3’), primer R (5’-

GTAGTCCCAATGTAAGGGATAGCTG-3’).

Alat-alat yang dibutuhkan antara lain : collection tube, mikro pipet, sentrifus,

waterbath, vortex, thermocycler, elektroforesis, UV transiluminator.

Page 282: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

2.2. Metode

2.2.1. Isolasi dan Identifikasi Campylobacter jejuni secara konvensionalContoh daging sebanyak 25 gram ditambahkan 100 ml pepton 0,1% kemudian

dicentrifus dingin 16.000 rpm selama 15 menit, supernatan dibuang

Pindahkan 3 ml endapan ke dalam botol centrifus steril yang berisi 100 ml

enrichment broth (Bolton broth base 1.000 ml ditambah 50 ml lysed horse blood

ditambah 2 vial Bolton antibiotik). Selanjutnya dilakukan tahapan pengujian

sebagai berikut :

a. Pra pengayaanSuspensi tersebut diinkubasikan pada temperatur 370 C selama 4 jam dalam

kondisi mikroaerobic dengan Gas Tank System.

b. PengayaanTemperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C selama 23 jam sampai dengan 24

jam

c. Isolasi

- Suspensi di atas dibuat pengenceran 1: 100 (0,1 ml dimasukkan ke dalam

9,9 ml pepton 0,1%)

- Goreskan 2 ose dari suspensi pada media agar AHB atau mCCDA

- Inkubasikan pada temperature 420C selama 24-48 jam dalam gas tank

system. Pertumbuhan diamati pada inkubasi 24 jam.

d. Identifikasi

- Koloni berbentuk bulat atau tidak beraturan dengan tepi halus dan berwarna

putih translusen dengan pertumbuhan menyebar.

- Pilih 1 koloni dari cawan petri dan siapkan pada gelas obyek. Lihat bentuk sel

bakteri di bawah mikroskop dengan minyak emersi . Sel Campylobacter

terlihat berbentuk koma atau melengkung, panjang 1,5-5 um dan dengan

formasi zigzag. Campylobacter umumnya motil dan 20% Campylobacter jejuni

adalah tidak motil. Sel yang sudah tua dan cedera (injured) akan mengalami

Page 283: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

penurunan motilitas dan terjadi perubahan bentuk menjadi bulat. (SNI

2897;2008).

e. Konfirmasi dan uji biokimia, antara lain :

- Uji Katalase

Diambil koloni positif Campylobacter kemudian diteteskan hydrogen peroxide

3% dan apabila timbul gelembung maka koloni positif Campylobacter.

- Uji sensitifitas antibiotik

Kultur diinokulasikan secara merata pada permukaaan media Heart Infusion

Agar yang mengandung 5% darah dan 0,35% FBS dengan menggunakan

swab steril. Kertas cakram Cephalothin dan Nalidixic acid diletakkan di atas

media, kemudian diinkubasikan pada temperatur 420C ±10C selama 24 – 48

jam dengan kondisi mikroaerobik. Selanjutnya dilihat zona inhibisi yang

mengelilingi kertas cakram. C. jejuni sangat sensitif terhadap Nalidixic acid

dan resisten terhadap Cephalothin.

- Uji hippurate hydrolysis

Emulsi dibuat dengan mengambil koloni yang tumbuh dari media Heart

Infusion Agar dengan menambahkan 0,4 ml hippurate solution dalam tabung.

Selanjutnya diinkubasikan pada temperatur 370C dalam penangas air selama

2 jam. Ditambahkan 0,5 ml reagen Ninhydrin sambil diaduk, diinkubasikan

kembali selama 10 menit. Dilihat perubahan pada tabung. Reaksi positif bila

terjadi perubahan media menjadi violet dengan jelas. Campylobacter jejuni

menunjukkan reaksi positif pada uji hippurate hydrolysis.

2.2.2 Identifikasi Campylobacter jejuni dengan teknik Direct PolymeraseChain Reaction (PCR).

a. Ekstraksi isolat murni bakteri standar

Beberapa koloni isolat standar American Type Culture Collection

(Campylobacter jejuni ATCC 33560) hasil isolasi dimasukkan ke dalam 1 ml

akuades kemudian dikocok dengan menggunakan vortex. Kekeruhan diukur

Page 284: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

pada OD 0,3 dengan panjang gelombang 600 nm dan disentrifus dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Purifikasi DNA dilakukan dengan cara

menambahkan akuades 1 ml pada pelet, kemudian dipanaskan dalam air

mendidih dengan suhu 1000C. Setelah 10 menit dipanaskan, segera didinginkan

dan segera disentrifus kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit,

suspensi yang diperoleh merupakan DNA (Alexandrino et al.,2004)

b. Ekstraksi sampel

Sampel karkas ayam dalam suspensi media enrichment broth yang telah

diinkubasikan, diambil sebanyak 1 ml kemudian disentrifus dengan kecepatan

10.000 rpm pada suhu 40C selama 10 menit. Pelet yang diperoleh ditambah 1 ml

akuades dan disentrifus kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit.

Purifikasi DNA dilakukan dengan cara menambahkan akuades 1 ml pada pelet,

kemudian dipanaskan dalam air mendidih dengan suhu 1000C. Setelah 10

menit, suspensi segera didinginkan dan disentrifus kembali dengan kecepatan

12.000 rpm selama 5 menit, selanjutnya suspensi yang ada diambil sebagai

DNA (Alexandrino et al., 2004)

c. Analisa

Primer yang digunakan untuk mengidentifikasi gen hippuricase (HipO) disajikan

dalam tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Primer yang digunakan untuk PCR (Wang et al., 2002)

Primer Sekuen Gen target Ukuran (bp)CJ-F ACT TCT TTA TTG CTT GCT GC C.jejuni Hip 323

CJ-R GCC ACA ACA AGT AAA GAA GC

Volume total reaction mix dalam tube PCR adalah 25 ul yang terdiri atas 20 ul

Master Mix (SSIII : 1 ul, Primer F : 1 ul, Primer R : 1 ul, NFW : 4,5 ul, 2xR : 12,5

ul) dan 5 ul template DNA. Thermocycler disiapkan dengan program sebagai

berikut : pre-denaturasi (suhu 940C selama 2 menit), denaturasi (suhu 940C

selama 30 detik), annealing (550C selama 30 detik, dan ekstensi (720C selama 1

menit) kemudian ditunggu hingga proses PCR selesai.

Page 285: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Produk PCR kemudian diperiksa dengan elektroforesis gel agarose. Agarose gel

1% dengan 1 x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 10 ul ethidium bromide solution.

Selanjutnya Run elektroforesis 125 volt, 400 mA selama 35 menit. Visualisasi

(untuk melihat pita gen target) digunakan transluminator ultraviolet dan hasilnya

didokumentasikan dengan kamera. Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran

dari masing-masing fragmen atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari

marker.

2.2.3 Identifikasi daging tikus dengan teknik PCR

a. Pembuatan suspensi 20%

Sampel dipotong kecil-kecil, ditimbang sebanyak 0,2 gram. Selanjutnya sampel

digerus dengan menambahkan 1 ml PBS 1%

b. Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan Purelink Viral RNA/DNA minikit.

Sebanyak 200 ul suspensi sampel ditambahkan 200 ul lysis buffer dan 25 ul

Proteinase K dan dicampurkan ke dalam tube 1,5 ml. Suspensi di vortex dan

diinkubasikan pada waterbath pada suhu 560C selama 15 menit. Suspensi

ditambahkan ethanol sebanyak 200 ul dan diinkubasikan pada suhu ruang

selama 5 menit. Suspensi dimasukkan ke dalam spin column dan disentrifus

dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Collection tube diganti dan

ditambahkan 500 ul whasing buffer pada spin column. Collection tube disentrifus

dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Cairan pada collection tube

dibuang. Selanjutnya pada collection tube dimasukkan lagi whasing buffer

sebanyak 500 ul dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.

Collection tube diganti dan disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1

menit. Collection tube diganti dengan recovery tube ukuran 1,5 ml dan

ditambahkan 50 ul nuclease free water (NFW), kemudian disentrifus dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Dioxycucleic acid (DNA) yang diperoleh

dapat secara langsung/segera diamplifikasi atau bisa disimpan dalam freezer

suhu -200C/-800C.

Page 286: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

c. Analisa

Primer yang digunakan untuk mengidentifikasi daging tikus dengan target gen

CytB disajikan dalam tabel 2 di bawah ini .

Tabel 2. Primer yang digunakan untuk PCR (Srihanto, 2013)

Primer Sekuen Gentarget

Ukuran(bp)

Forward 5’-CAT GTG GGA CGA GGA CTA TAC TATG-3’

Reverse 5’-GTA GTC CCA ATG TAA GGG ATA GCTG-3’

CytB 188

Volume total reaction mix dalam tube PCR adalah 25 ul yang terdiri atas 20 ul

Master Mix (SSIII : 1 ul, Primer F : 1 ul, Primer R : 1 ul, NFW : 4,5 ul, 2xR : 12,5

ul) dan 5 ul template DNA. Thermocycler disiapkan dengan program sebagai

berikut : pre-denaturasi (suhu 940C selama 2 menit), denaturasi (suhu 940C

selama 30 detik), annealing (550C selama 30 detik, dan ekstensi (720C selama 1

menit) kemudian ditunggu hingga proses PCR selesai.

Produk PCR kemudian diperiksa dengan elektroforesis gel agarose. Agarose gel

1% dengan 1 x TBE (Tris Boric EDTA) ditambah 10 ul ethidium bromide solution.

Selanjutnya Run elektroforesis 125 volt, 400 mA selama 35 menit. Visualisasi

(untuk melihat pita gen target) digunakan transluminator ultraviolet dan hasilnya

didokumentasikan dengan kamera. Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran

dari masing-masing fragmen atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari

marker.

Page 287: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

III. HASIL

Hasil isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni (bentuk sel bakteri di bawah

mikroskop) terlihat seperti gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Sel Campylobacter jejuni

Sel Campylobacter terlihat berbentuk koma atau melengkung, panjang 1,5-5

um dan dengan formasi zigzag.

Sementara itu hasil PCR isolat C. jejuni ditunjukkan dalam gambar 2 di bawah

ini

Gambar 2. Hasil PCR menggunakan primer HipO dari isolat C.jejuni (323bp) berdasarkan nilai kekeruhan (OD)

100bp

400bp200bp

323 bp

Page 288: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Keterangan :

M : Marker (100 bp)1 : isolat C.jejuni OD 0,22 ( kontrol positif)2 : isolat C.jejuni OD 0,44 (kontro positif)3 : isolat C.jejuni OD 0,89 (kontrol positif)4 : isolat C.jejuni OD 1,79 (kontrol positif)5 : isolat C.jejuni OD 1,79 (kontrol positif)6 : sampel positif C. jejuni (sampel spike )7 : sampel positif C. jejuni (sampel spike)8 : sampel positif C. jejuni (sampel spike)9 : kontrol negatif

Hasil PCR spesies tikus (188 bp) ditampilkan pada gambar 3 dibawah ini

Keterangan :M : Marker (100 bp)1 : daging tikus got (kontrol positif)2 : daging tikus putih (kontrol positif)3 : daging tikus got positif (sampel spike)4 : daging tikus putih positif (sampel spike)5 : sampel tahu ayam6 : sampel bakso ayam7 : sampel mie ayam8 : kontrol negatif

100bp

200bp

400bp

188 bp

Page 289: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

IV. PEMBAHASAN

Campylobacter spp. adalah bakteri Gram-negatif, non spora dan merupakan

famili Campylobacteraceae. Genus Campylobacter terdiri dari 17 spesies dan 6

subspesies (Nachamkin, 2007; Silva et al., 2011). Hasil isolasi dan identifikasi

pada media modified charcoal cefoperazone desoxycholate agar (mCDDA) dan

pembesaran di bawah mikroskop (gambar 1) sel Campylobacter terlihat

berbentuk koma atau melengkung, panjang 1,5-5 um dan dengan formasi

zigzag. Campylobacter spp adalah bakteri mikroaerobik tetapi telah ditemukan

tumbuh pada kondisi aerobik dan anaerobik. Suhu optimum yang diperlukan

untuk pertumbuhan Campylobacter spp adalah 420C tetapi dapat tumbuh pada

suhu 300C (Moore et al., 2005).

Campylobacter spp. adalah bakteri yang menyebabkan penyakit gastrointestinal

yang biasa disebut Kampilobakteriosis. Gejala klinis Kampilobakteriosis yaitu

diare, demam dan kram perut dengan durasi rata-rata enam hari (Butzler, 2004).

Infeksi Campylobacter spp. juga dikaitkan dengan sindrom Guillain-Barre, yang

mempunyai gejala klinis berupa kelemahan otot yang progresif atau

kelumpuhan. Dua spesies yang paling umum berhubungan dengan penyakit

manusia adalah C. jejuni dan C. coli. Campylobacter jejuni teridentifikasi lebih

dari 80% dari penyakit Kampilobakteriosis, sedangkan C. coli teridentifikasi

hingga 18,6% dari penyakit manusia (Wilson et al., 2008).

Umumnya daging unggas diketahui sebagai sumber infeksi bakteri

Campylobacter pada manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan pada retail di

Selandia Baru antara tahun 2005-2008 menemukan 72,7% dari karkas unggas

terkontaminasi dengan C. jejuni (n=500). Survei awal yang dilakukan di Uni

Eropa pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa 75,8% dari 9.213 samepl

karkas ayam broiler terkontaminasi dengan Campylobacter spp. dan prevalensi

C. jejuni adalah 51,0% (Efsa, 2010). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian

yang dilakukan di Indonesia khususnya di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat

(Bogor dan Sukabumi) dan Jawa Tengah (Kudus dan Demak) tahun 2009-2011

menemukan 19,8% dari 298 sampel karkas ayam terkontaminasi C. jejuni

dengan menggunakan deteksi isolasi dan identifikasi secara konvensional.

Page 290: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

Sedangkan dengan menggunakan deteksi molekuler (metode PCR) ditemukan

prevalensi lebih tinggi yaitu 62,6% (Andriani dkk., 2013)

Metode deteksi C. jejuni secara konvensional memerlukan waktu yang lebih

lama karena terlebih dahulu menumbuhkan bakteri pada media melalui tahap

pra-pengayaan, pengayaan, isolasi dan identifikasi selanjutnya uji konfirmasi

dan biokimia. Waktu yang dibutuhkan adalah 4 (empat) hari untuk mengetahui

hasil negatif dan 6-7 hari untuk melakukan konfirmasi hasil yang positif (Anon,

2009). Pengembangan metode deteksi molekuler Campylobacter jejuni dengan

metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan sampel enrichment

sebelumnya telah banyak dilakukan. Metode PCR ini telah digunakan di

beberapa negara salah satunya Denmark untuk skrining rutin swab kloaka dari

ayam broiler di rumah jagal (Bang et al., 2001). Identifikasi C. jejuni

menggunakan metode PCR lebih baik dibandingkan metode konvensional

(Lawson et al., 1998)

Karakterisasi genetik isolat Campylobacter jejuni yang dilakukan secara PCR

menggunakan primer gen HipO (Hippuricase). Gen HipO merupakan novel

primer yang hanya terdapat pada C. jejuni. Strain ini memberikan reaksi positif

pada uji hidrolisis hipurat (Wang et al., 2002). Kemampuan spesies C. jejuni

menghidrolisis hipurat (N-benzoylglycine) menjadi benzoic acid dan glycine

dapat digunakan untuk membedakan C. jejuni dari spesies Campylobacter yang

lain. Target gen C. jejuni HipO yang memiliki lokasi gen 1662-1665 bp

memberikan hasil positif pada 323 bp.

Hasil peningkatan kompetensi dan pengembangan metode deteksi C. jejuni

secara PCR di BB-Vet Denpasar disajikan dalam gambar 2. Hasil uji

menunjukkan bahwa hasil amplifikasi DNA isolat C. jejuni (sebagai control

positif) maupun isolat yang ditambahkan pada sampel daging ayam (sampel

spike) terlihat pada amplikon berkisar pada 323 bp dan mampu terdeteksi dari

isolat dengan tingkat kekeruhan minimum pada OD 0,22 pada panjang

gelombang 600 nm. Hasil uji ini sesuai dengan metode untuk ekstraksi isolat C.

jejuni yaitu kekeruhan diukur pada OD 0,3 dengan panjang gelombang 600 nm

(Alexandrino et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa BB-Vet Denpasar telah

Page 291: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

mampu meningkatkan kompetensi dan pengembangan metode deteksi C. jejuni

secara molekuler menggunakan teknik PCR.

Sementara itu, untuk mengetahui keutuhan suatu bahan makanan (daging) dari

adanya pencampuran daging lain yang tidak semestinya sering kali sulit

dilakukan, misalnya pada produk sosis atau bakso yang dagingnya telah

dihancurkan. Penemuan beberapa kasus pencampuran bahan daging babi

dalam keadaan segar dengan daging sapi juga pernah terjadi dan ini

menunjukkan tidak hanya produk olahan saja yang dicampur tapi juga daging

segar (Yuni dkk, 2012). Upaya untuk melakukan identifikasi telah dilakukan

dengan berbagai metode dan metode yang dianggap paling valid saat ini adalah

PCR dengan berbagai variasinya. Teknik PCR digunakan karena mampu

mendeteksi DNA dalam jumlah sedikit, waktu pengujian yang cepat dan hasilnya

akurat walaupun proteinnya telah mengalami degradasi (Matsunaga, 1999).

Hasil peningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi daging

tikus dengan teknik PCR di BB-Vet Denpasar disajikan dalam gambar 3.

Amplifikasi dilakukan terhadap DNA sampel daging tikus putih, tikus got dan

beberapa sampel makanan (bakso ayam, mie ayam, tahu ayam) menggunakan

primer spesifik untuk tikus dengan target CytB yang di desain oleh Eko AS

(2013). Hasil amplifikasi DNA daging tikus putih, tikus got, bakso yang

ditambahkan daging tikus (sampel spike) menunjukkan hasil positif mengandung

DNA tikus dengan panjang amplikon 188 bp. Hasil ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Srihanto dkk (2015). Dengan demikian BB-Vet Denpasar

telah mampu meningkatkan kompetensi dalam melakukan deteksi daging tikus

dengan teknik PCR.

Dengan metode yang sama telah dilakukan amplifikasi DNA terhadap sampel

tahu ayam, bakso ayam dan mie ayam yang berasal dari beberapa pedagang di

pasar tradisional. Hasil uji menunjukkan hasil negatif yang mengindikasikan

bahwa sampel olahan daging ayam tersebut tidak dicampur (tidak dipalsukan)

dengan daging tikus. Deteksi daging tikus ini sangat berguna untuk memberikan

rasa aman pada konsumen karena dapat terhindar dari kemungkinan adanya

Page 292: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

penipuan produk sehingga dapat meningkatkan rasa keyakinan dalam

mengkonsumsi suatu produk asal hewan.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SimpulanPeningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi bakteri

Campylobacter jejuni dan identifikasi daging tikus menggunakan teknik PCR

telah berhasil dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil uji

menunjukkan bahwa amplifikasi DNA C. jejuni menggunakan primer HipO

terdeteksi pada pada amplikon 323 bp dengan minimum kekeruhan (OD) adalah

0,22 pada panjang gelombang 600 nm. Amplifikasi DNA daging tikus terdeteksi

pada amplikon 188 bp. Teknik PCR digunakan karena dapat mendeteksi DNA

dalam jumlah sedikit, waktu pengujian yang cepat dan lebih baik dibandingkan

metode konvensional.

5.2. SaranPerlu dilakukan peningkatan kompetensi dan pengembangan metode identifikasi

terhadap jenis spesies bakteri yang lain dengan menggunakan teknik PCR.

DAFTAR PUSTAKA

Alexandrino M, Grohmann E, Szewzyk U. 2004. Optimation of PCR-based for rapid detection ofCampylobacter jejuni, Campylobacter coli, and Yersinia enterocolitica serovar 0:3 inwaste samples. Water Res 38: 1340-1346.

Andriani, Sudarwanto M, Setiyanjingsih S, Kusumaningrum HD. 2013. Metode DirectPolymerase Chain Reaction untuk melacak Campylobacter sp. Pada daging ayam.Jurnal Veteriner Vol.14 No.1 :45-52

Anonimus. 2009. Food Standards Agency report for the UK survey of Campylobacter andSalmonella contamination of fresh chicken at retail sale. B18025: 1–97.

Bang D. D., Scheutz F., Ahrens P., Pedersen K., Blom J., Madsen M. 2001. Prevalence ofcytolethal distending toxin (cdt) genes and CDT production in Campylobacter spp.isolated from Danish broilers. J. Med. Microbiol. 50, 1087–1094 PubMeds

Butzler JP. 2004. Campylobacter, from obscurity to celebrity. Clin Microbiol Infect. (10):868-76PubMed.

Page 293: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016

EFSA, 2010. Analysis of the baseline survey on the prevalence of Campylobacter in broilerbatches and of Campylobacter and Salmonella on broiler carcasses in the EU, 2008 - Part A.

Campylobacter and Salmonella prevalence estimates. EFSA Journal 8(03):1503

Lawson AJ, Shafi MS, Pathak K, Stanley J.1998. Detection of Campylobacter in gastroenteritis:comparison of direct PCR assay faecal samples with selective culture.

Epidemiol Infect 121:547-553.

Matsunaga, T. 1999. A quick and simple method for the identification of meat spesies. Meat sci.51 : 143-148

Moore JE1, Corcoran D, Dooley JS, Fanning S, Lucey B, Matsuda M, McDowell DA, Mégraud F,Millar BC, O'Mahony R, O'Riordan L, O'Rourke M, Rao JR, Rooney PJ, Sails A, WhyteP. 2005. Campylobacter. Vet Res. 2005 May-Jun;36(3):351-82.

Nachamki I, Viraj N, N. Perera, Huong Ung, John H. Patterson, Malcolm J. McConville, Peter J.Coloe, Benjamin N. FrY. 2007. Molecular mimicry in Campylobacter jejuni : role of thelipo-oligosaccharide core oligosaccharide in inducing anti-ganglioside antibodie. OxfordJournal. Vol 50, issue page 27-36.

Silva J, Leite D, Fernandes M, Mena C, Gibbs PA, Teixeira P. 2011. Campylobacter spp. as afoodborne pathogen: A review. Frontiers in Microbiology 2:200

Srihanto, E.A, Setiaji G, Rumpaka R, Firwantoni. 2015. Identifikasi Daging Tikus Pada ProdukAsal Hewan Dengan Menggunakan Teknik Poymerase Chain Reaction (PCR). ProsidingSeminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian.

SNI 2897 , 2008 . Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam Daging, Telur dan Susu sertaHasil Olahannya. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

SNI 7388, 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Badan StandardisasiNasional. Jakarta.

Wang G, Clifford G, Tracy M, Taylor, Chad P, Connie B, Lawrence P, David L, Woodward, FrankG.R. 2002. Colony multiplex PCR assay for identification and differentiation ofCampylobacter jejuni, C. coli, C. lari, C. upsaliensis, and C. fetus subsp. fetus. J ClinMicrobiol 40(12):4744-4747.

Widiyanti R. 2015 Deteksi Daging Tikus Pada Bakso Dari Warung Makan Dengan TeknikPolymerase Chain Reaktion (PCR).

Wilson DJ, Gabriel E, Leatherbarrow AJH, Cheesbrough J, Gee S, Bolton E, Fox KA, Hart CA,Diggle PJ, Fearnhead P (2009) Rapid evolution and the importance of recombination tothe gastroenteric pathogen Campylobacter jejuni. Molecular Biology and Evolution26(2):385–397

Yuni E., Sugiono, Abdul Rohman, Mohammad Zainal Abidin, Dwi Ariyani, 2012. IdentifikasiDaging Babi menggunakan metode PCR-RFLP Gen Cytochrome B dan PCR PrimerSpesifik Gen Amelogenin. Agritech, Vol 32, No.4.

Page 294: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

1

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

SURVEILANS PENYAKIT HEWAN DI UPT BALAI PEMBIBITAN TERNAKUNGGUL – HIJAUAN PAKAN TERNAK (BPTU-HPT)

TAHUN 2016

Ni Made Sri Handayani

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilaksanakan surveilans di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan TernakPulukan dan Dompu yang terletak di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat untukmengetahui situasi penyakit hewan menular mengetahui tingkat kekebalan kelompok(herd immunity) serta menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upayamenghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi. Sejumlah 4528 spesimen dariBPTU-HPT Pulukan dan 3311 dari BPTU-HPT Dompu spesimen serum, darah, swab, preparatulas darah dan feses dikoleksi secara acak sejak bulan Mei sampai bulan September 2016.Seluruh sampel diperiksa terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE, IBR, BVD, parasitgastrointestinal dan parasit darah, hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakitJD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Pulukan. Hasil pengujian sampel serum untuk deteksiantibodi penyakit SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Dompu, sebanyak 186 (22,2%) dari836 sampel positif antibodi SE, 61 (22,7%) dari 269 sampel positif antibodi IBR dan 194 (64,9%)dari 269 sampel positif antibodi BVD. Sama halnya dengan di BPTU-HPT Pulukan, hasilpengujian deteksi antigen penyakit SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Dompu juga semua negatif.Prevalensi cacing Nematoda dari BPTU-HPT Pulukan 11,3% dan BPTU-HPT Dompu 20,4%,sedangkan prevalensi cacing Trematoda masing-masing BPTU-HPT Pulukan adalah 14,1% danDompu 20,4%. Jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan ternak sapi di BPTU-HPTadalah Genus Eimeria dengan prevalensi 1,2% untuk BPTU-HPT Pulukan dan 5,1% untukBPTU-HPT Dompu. Hasil pemeriksaan 727 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasaldari BPTU-HPT Pulukan dan Dompu menunjukkan semua negatif namun ditemukan adanyajenis parasit darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia sp dan Theileria sp. Hasil inimenunjukkan bahwa masih perlu dilakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik danmelakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi menggunakan suatuprogram pengendalian yang tepat dan efektif untuk menghasilkan bibit berkualitas.

Kata Kunci: Penyakit Hewan, BPTU-HPT Pulukan dan Dompu

Page 295: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

2

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangKerjasama antar Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Kementerian Pertanian

yang merujuk pada surat tugas No. 22038/ OT.140/F/07/2013 tentang

pelaksanaan Bimbingan teknis UPT Perbibitan Pusat di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar, maka perlu dilakukan suatu program untuk

mencegah, melindungi dan memelihara proses kegiatan produksi sapi bibit yang

sesuai dan berkualitas. Dengan melakukan program surveilans dan monitoring

yang terstruktur akan sangat membantu dan berguna buat BPTU-HPT Bali

dalam menghasilkan bibit sapi bali berkualitas dan tersertifikasi, bebas dari

penyakit menular strategis dan memenuhi kriteria bibit sapi unggul, serta

mewujudkan tujuan Renstra setiap tahunnya.

Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) dari Balai Besar Veteriner

Denpasar yaitu monitoring dan surveilans penyakit hewan, laboratorium

kesehatan hewan dan status bebas penyakit hewan menular, diharapkan Balai

Besar Veteriner Denpasar dapat memberikan kontribusi teknis terhadap UPT

Perbibitan pusat yang ada di wilayah kerjanya yakni Balai Perbibitan Ternak

Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) dalam mewujudkan Tugas Pokok

BPTUHPT sesuai SK Menteri Pertanian No.13 / Permentan / OT.140 / 2 / 2007,

adalah melaksanakan pelestarian, pemuliaan, pembibitan, produksi dan

pengembangan serta penyebaran hasil produksi bibit Sapi Bali Murni Unggul

secara Nasional.

Untuk memperoleh data yang lebih akurat perlu dilakukan surveilans yang

berkelanjutan. Oleh karena itu tahun 2017 surveilans dan monitoring akan

dilanjutkan untuk memantau situasi penyakit serta mencegah masuknya

penyakit hewan menular sehingga hasilnya dapat meningkatkan performa

BPTU-HPT Bali sebagai salah satu Balai Perbibitan yang menghasilkan ternak

Sapi Bali Bibit yang berkualitas dan tersertifikasi.

Page 296: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

3

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

1.2. Tujuan.1. Untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular yang ada di BPTU-HPT

Pulukan Bali dan Dompu.

2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT

Pulukan Bali dan Dompu.

3. Menyusun rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam upaya

menghasilkan bibit berkualitas, unggul dan tersertifikasi.

1.3. Manfaat.1. Mendapatkan informasi tentang status dan situasi Penyakit Hewan

Menular di UPT BPTU-HPT Pulukan Kabupaten Jembrana dan

Kabupaten Dompu NTB.

2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di BPTU-HPT

Pulukan dan Dompu

3. Menghasilkan rekomendasi berdasarkan kajian ini untuk meningkatkan

produksi bibit sapi bali yang berkualitas.

1.4. SasaranMendeteksi penyakit hewan menular strategis yang tidak diperbolehkan

pada pusat pembibitan sapi, status penyakit di BPTU-HPT Pulukan dan

Dompu dapat diidentifikasi dan sebagai salah satu usaha kewaspadaan dini

terhadap munculnya penyakit baru.

1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit hewan menular strategis

serta tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi JD dan

SE di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu ;

2. BPTU-HPT pulukan dan Dompu dapat menghasilkan bibit berkualitas,

unggul dan tersertifikasi.

1.6. Out come1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit

SE di wilayah kerja.

Page 297: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

4

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

2. Terciptanya lingkungan ternak bebas penyakit hewan menular strategis di

BPTU-HPT Pulukan dan Dompu.

1.7. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis

Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) diBPTU-HPT

RisikoPemasukanTernak

AsalWilayah

SistemPemeliha

raan

StatusVaksina

siManajemen

Resiko Kriteria Lokasi

Penyakit PHMS(SE,JD,Anthrax,IBR,BVD,Brucellosis diBPTU-HPT

BebasPemetaanSerologispenyakit SE,JD,

Wilayahkabupaten yangpernah tercatatpositif antibodiSE,JD

EndemisAda

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD,

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Lepas

TidakSurveilansdeteksipenyakit

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Ada

KandangAda

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Tidak

Surveilansdeteksipenyakit

Wilayah kasusdan ada lalulintas ternak

Ada

Surveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

Tidak

Lepas

Tidak

Surveilansdeteksipenyakit

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

AdaSurveilanskonfirmasipenggunaanvaksin SE,JD

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternakKandang

TidakSurveilansdeteksipenyakit

Seluruh wilayahkabupaten dantidak melakukanlalu lintas ternak

Page 298: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

5

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

1.8. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans Penyakit Hewan Menulardi BPTU-HPT Pulukan dan Dompu

Berikut ini disajikan pada Tabel 2 analisa risiko kegiatan surveilans penyakit

hewan menular di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu.

Tabel 2. Analisa Risiko Kegiatan Surveilans PHMS di BPTU-HPT

No Risiko Manajemen Risiko/Solusi1 Jumlah target sampel tidak tercapai Berkoordinasi dengan BPTU-HPT, terkait data

populasi ternak pada lokasi yang akandisampling dan agar dikoordinasikan tentangpentingnya pengambilan sampel yang akandilakukan.

2 Lokasi target tidak sesuai denganunit sampel yang direncanakan

Berkoordinasi dengan BPTU-HPT mengenaikondisi geografis, alur transportasi ke lokasi dankesiapan pemilik ternak pada lokasi yang akandisampling.

3 Waktu pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdirencanakan

Berkoordinasi BPTU-HPT mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum menujulokasi pengambilan sampel.

4 Jadwal transportasi dari Balai keBPTU-HPT yang akan dikunjungitidak sesuai dengan waktu kegiatanyang direncanakan (kendala nonteknis)

Segera berkoordinasi ulang dengan BPTU-HPTterkait mengenai penjadwalan ulang waktukegiatan pengambilan sampel termasuk kepadapeternak agar dapat menyesuaikan perubahanjadwal kegiatan

5 Tidak ada rute transportasi (udara,laut, darat) menuju Kabupaten/Kotayang akan dikunjungi sebagai lokasisurveilans

Transportasi seperti penerbangan dan lainnyaagar dialihkan ke lokasi terdekat dariKabupaten/Kota yang dituju sehingga terjangkauoleh transportasi yang digunakan.

6 Surat pemberitahuan serta jadwalsurvailans dan monitoring tidaksampai/terlambat diterima olehDinas Kabupaten/Kota yang akandituju.

Koordinasi dengan BPTU-HPT atau contactpersonnya sebelum hari keberangkatan dengansarana telekomunikasi yang tersedia mengenaijadwal pengambilan sampel yang akandilakukan.

7 Rusaknya sampel yang diambil dilapangan karena tidak tersedianyasarana penyimpanan (mesinpendingin) yang layak di lokasipengambilan sampel

Sampel dapat kita titipkan pada petugas dilapangan/tempat menginap agar disimpan dalammesin pendingin, selanjutnya dalam perjalananagar menggunakan es batu/ice pack untukmenjaga sampel tetap dalam keadaan baiksampai di laboratorium.

Page 299: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

6

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

II. MATERI DAN METODE

2.1. MateriKegiatan Surveilans dan Monitoring penyakit Hewan Menular ini akan diambil

data dan sampel dari individu sapi yang disampling, kelompok sapi yang

dipelihara sesuai kualifikasinya. Sampel yang diambil adalah serum, darah dan

feses Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan dan di kandang

isolasi di BPTU-HPT di Pulukan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan

Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Sampel tersebut akan diuji untuk beberapa

penyakit Hewan Menular seperti penyakit Brucellosis, Jembrana Disease,

Anthrax, SE, BVD, IBR dan identifikasi parasit gastrointestinal serta parasit

darah. Bahan dan materi pengujian akan disesuaikan dengan metode uji yang

dilakukan di Balai Besar Veteriner Denpasar.

2.2. Metode2.2.1. Metode samplingDalam surveilans dan monitoring penyakit Hewan Menular di BPTU-HPT

Pulukan dan Dompu ini dilakukan pengambilan sampel serum untuk

pemeriksaan Elisa BVD, IBR, SE, Jembrana Desease dan Brucellosis.

Pengambilan sampel swab untuk pemeriksaan PCR IBR dan isolasi SE

(Pasteurella multocida), pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan PCR

Jembrana Desease, pengambilan sampel PUD untuk pemeriksaan parasit darah

(Surra) dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan parasit gastro

intestinal. Pelaksanaan Surveilans dan monitoring akan dilakukan dengan

pengambilan sampel di lapangan untuk unit ternak. Estimasi jumlah sampel

dapat dilihat pada tabel berikut :

Page 300: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

7

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Tabel 3. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi Pengambilan SampelPenyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Pulukan Jembrana Bali

No JenisSampel

JumlahSpl Jenis Pengujian Keterangan

1 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

2 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

3 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

4 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

5 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

6 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

7 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

Page 301: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

8

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

8 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

9 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

10 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

11 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150

12 Serum Sapi 50 IBR, BVD, Bru/SE, JD JD (50),IBR (20), BVD (20),Bru/SE (10)

Darah Sapi 50 JD PCRPUD 25 SurraFeses 20 PGISwab 5 IBR PCR/SE IsolasiJumlah 150TOTAL 1.800

Tabel 4. Estimasi Jumlah Sampel dan Distribusi Pengambilan SampelPenyakit Hewan Menular di BPTU-HPT Kabupaten Dompu NTB

No JenisSampel

Jumlah Spl

JenisPengujian Keterangan

Serum Sapi 50 IBR, BVD,Bru/SE

IBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

1

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

2

Feses 25 PGIJumlah 150

Page 302: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

9

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Serum Sapi 50 IBR, BVD,Bru/SE

IBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

3

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

4

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

5

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

6

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

7

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

8

Feses 25 PGIJumlah 150Serum Sapi 50 IBR, BVD,

Bru/SEIBR (15), BVD (15), Bru/SE (40)

Swab Sapi 50 IBR/SEPUD 25 Surra

9

Feses 25 PGIJumlah 150TOTAL 1.320

Total Jumlah sampel yang diambil dari BPTU-HPT Pulukan Jembrana dan

Dompu sebanyak 3.150 sampel.

Page 303: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

10

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

2.2.2. Metode pengujianPengujian sampel serum, darah dan feses untuk mendeteksi antibodi dan agen

penyakit Hewan Menular dapat dilihat pada tabel berikut ;

Tabel 5. Daftar penyakit yang diuji berdasarkan jenis sampel yang diambildalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular diBPTUHPT Sapi Bali

Jenis SampelPenyakit yangdiuji Serum Darah Feses Urine PUD

Jenis Pengujian

BVD Elisa BVDIBR Elisa IBRJD Elisa dan PCR JDBrucelosis RBPTSE Elisa SEParasit Gastro Identifikasi

ParasitParasit Darah Mikroskopis

2.3. Analisis DataSemua data sampel, hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis secara

dekriptif.

2.4. Tempat Pelaksanaan KegiatanPelaksanaan surveilans dilaksanakan di lokasi Kandang perbibitan BPTU-HPT

Bali di Desa Pangyangan Kecamatan Pekutatan kabupaten Jembrana, Bali dan

Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat.

Page 304: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

11

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HasilKegiatan surveilans di UPT Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan

Ternak (BPTU-HPT) pada Tahun 2016 bertujuan untuk mengetahui situasi

penyakit hewan menular dan mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity)

yang ada di UPT tersebut. Hasil pengambilan sampel surveilans di UPT BPTU-

HPT Pulukan dan Dompu berhasil mengumpulkan sampel sebanyak 4.528

sampel serum, darah, feses dan swab. Sampel tersebut diperiksa untuk

mengetahui berbagai jenis penyakit hewan menular seperti : JD, IBR, BVD, SE,

Brucellosis, parasit darah dan juga parasit gastro intestinal. Berikut ini disajikan

prevalensi penyakit hewan secara umum di BPTU HPT pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Pulukan

No JenisPenyakit

JenisPengujian

JenisSampel

JumlahSampel

JumlahPositif

Prevalensi(%)

Elisa Serum 888 454 5,11 SEIsolasi Swab 70 0 0

2 Brucellosis RBT Serum 710 0 0Elisa Serum 887 80 9,03 JDPCR Darah 887 0 0Elisa Serum 255 6 2,34 IBRPCR Swab 46 0 0Elisa Serum 187 110 58,85 BVDPCR Swab 4 0 0

6 PGI Apung danSedimentasi

Feses 256 58 22,6

7 ParasitDarah

PUD 338 7 2,1

TOTAL 4528 715 15,8

Hasil pengambilan sampel di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu masing-masing

sebanyak sebanyak 4528 sampel dan 3311 sampel diuji terhadap beberapa

pengujian seperti disajikan pada Tabel 7 dan 8. Proporsi jumlah positif untuk

masing-masing lokasi tidak terlalu jauh berbeda 15,8% untuk BPTU-HPT

Pulukan dan 16,6% untuk BPTU-HPT Dompu.

Page 305: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

12

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Antigen dan Antibodi) di BPTU- HPT Dompu

No JenisPenyakit

JenisPengujian

JenisSampel

JumlahSampel

JumlahPositif

Proporsi(%)

Elisa Serum 836 186 22,21 SEIsolasi Swab 108 0 0

2 Brucellosis RBT Serum 786 0 03 Anthrax Identifikasi PUD 197 0 0

Elisa Serum 269 61 22,74 IBRPCR Swab 153 0 0

6 BVD Elisa Serum 299 194 64,57 PGI Apung dan

SedimentasiFeses 274 106 38,7

8 ParasitDarah

Mikroskopis PUD 389 3 0,8

TOTAL 3311 550 16,6

Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Deteksi Antibodi Penyakit Hewan Menular diBPTU-HPT Pulukan dan DompuTahun 2016

No BPTU-HPT JenisPenyakit

JumlahSampel

JumlahSeropositif

Proporsi(%)

JD 887 80 9,0SE 888 454 51,1IBR 255 6 2,3

1 Pulukan

BVD 187 110 58,8JUMLAH 2217 650 29,3

SE 836 186 22,2IBR 269 61 22,7

2 Dompu

BVD 299 194 64,9JUMLAH 1404 441 31,4TOTAL 3621 1091 30,1

Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil pengujian sampel serum untuk deteksi

antibodi penyakit JD, SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Pulukan, sebanyak 454

(51,1%) dari 888 sampel positif antibodi SE, 80 (9,0%) dari 887 sampel positif

antibodi JD, dan 110 (58,8%) dari 187 sampel positif antibodi BVD.

Page 306: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

13

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Dari hasil pemeriksaan antibodi terhadap berbagai penyakit seperti SE, JD IBR

dan BVD menunjukkan bahwa titer antibodi ternak sapi di BPTU-HPT Pulukan

dan Dompu termasuk rendah karena dibawah 80%, hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya kemungkinan vaksinasi baru dilaksanakan saat

surveilans dilakukan atau vaksinasi sudah terlalu lama dilakukan sehingga titer

antibodinya menurun atau bisa juga disebabkan karena inveksi alam karena

tidak dilakukanya vaksinasi. Data vaksinasi dari lapangan sangat minim

sehingga diharapkan petugas yang melakukan surveilans melengkapi data

vaksinasi agar memudahkan dalam melakukan analisa.

Hasil pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi penyakit SE, IBR dan BVD

di BPTU-HPT Dompu, sebanyak 186 (22,2%) dari 836 sampel positif antibodi

SE, 61 (22,7%) dari 269 sampel positif antibodi IBR dan 194 (64,9%) dari 269

sampel positif antibodi BVD. Sama halnya dengan di BPTU-HPT Pulukan, hasil

pengujian deteksi antigen penyakit SE, IBR dan BVD di BPTU-HPT Dompu juga

semua negatif, tetapi penyakit parasit gastro intestinal dan parasit darah

ditemukan berbagai macam parasit gastro dan parasit darah, hasil selengkapnya

ditampilkan pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Penyakit Hewan Menular (Isolasi, PCR) diBPTU-HPT Pulukan dan Dompu Tahun 2016

No Jenis Penyakit JumlahSampel Jumlah Positif Prevalensi

(%)1 JD 887 0 02 SE 70 0 03 Brucellosis 710 0 04 IBR 887 0 05 BVD 4 0 0

JUMLAH 2554 0 01 SE 108 0 02 Brucellosis 786 0 03 IBR 153 0 04 Anthrax 197 0 0

JUMLAH 1244 0 0TOTAL 3798 0 0

Page 307: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

14

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Hasil pengujian sampel swab, serum dan darah untuk mendeteksi antigen

(agen) virus/bakteri pada penyakit JD, IBR dan BVD, SE, Anthrax dan

Brucellosis dari 3798 sampel yang diuji semua hasilnya negatif. Hasil

pemeriksaan sampel feses 530 ekor sapi yang berasal dari BPTU-HPT Pulukan

dan Dompu dan peternak binaan dari kedua UPT tersebut dapat dilihat pada

Tabel 9. Berdasarkan hasil uji Floatasi dan Sedimentasi sampel feses menurut

Whitlock (1980) menunjukkan bahwa sapi bali di BPTU-HPT Pulukan dan

Dompu serta peternak binaan disekitarnya secara umum terinfeksi oleh parasit

gastrointestinal dengan rata-rata prevalensi di BPTU-HPT Pulukan 28,5% dan

BPTU-HPT Dompu 46,0%. Jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi terdiri

dari jenis Trematoda (Fasciola sp dan Paramphistomum sp) dan Nematoda

(Toxocara sp, Trichostrongylus sp, Chabertia sp, Cooperia sp, Mecistocirrus sp,

Oesophagustomum sp, Ostertyagia sp, Strongyloides sp, Toxocara sp,

Tricostrongylus sp, dan Bunostomum sp), disamping itu juga terdapat Coccidia

(protozoa) dari genus Eimeria sp. Prevalensi cacing Nematoda dari BPTU-HPT

Pulukan 11,3% dan BPTU-HPT Dompu 20,4%, sedangkan prevalensi cacing

Trematoda masing-masing BPTU-HPT Pulukan adalah 14,1% dan Dompu

20,4%. Jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan ternak sapi di

BPTU-HPT adalah Genus Eimeria dengan prevalensi 1,2% untuk BPTU-HPT

Pulukan dan 5,1% untuk BPTU-HPT Dompu.

Koksidiosis sapi merupakan penyakit yang menyerang pada hewan-hewan

muda. Biasanya terdapat pada anak sapi umur 3 minggu sampai 6 bulan. Anak

sapi yang umurnya lebih tua bahkan dewasa dapat terserang pada kondisi

pencemaran berat, tetapi biasanya mereka tidak memperlihatkan gejala penyakit

dan bersifat Carrier. Anak-anak sapi terkena infeksi karena menelan ookista-

ookista bersama-sama dengan pakan atau dengan melalui air minum. Mortalitas

yang cukup tinggi dapat di temukan pada anak anak sapi yaitu berkisar antara

26-42%. Keparahan penyakit tergantung pada jumlah ookista yang menginfeksi.

Jika ookista yang masuk sedikit maka tidak ada tanda-tanda penyakit, infeksi

yang berulang-ulang dapat menghasilkan imunitas terhadap penyakit tersebut,

dan begitupun juga sebaliknya. Secara ekonomis penyakit ini mempunyai arti

yang penting karena dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat

Page 308: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

15

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

badan, pertumbuhan terhambat dan penurunan produksi. Penyebaran penyakit

terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan ookista yang

telah bersporulasi.

Pengendalian dan pencegahan Coccidiosis dapat dilakukan dengan menjaga

kebersihan kandang, air minum dan lingkungan sekitarnya. Manajemen

pemberian pakan yang baik, menghindarkan sapi dari memakan pakan yang

jatuh ke tanah. Memisahan ternak tua dan ternak muda, pembuatan program

antikoksidiosis dalam pakan, melakukan karantina ternak yang baru masuk,

melakukan Isolasi hewan yang terkena koksidiosis dan pengobatan. Cara

lainnya adalah dengan meminimalkan stres lingkungan, suhu, kelembaban dan

faktor lain yang meningkatkan resiko koksidiosis (ventilasi yang buruk, nutrisi

buruk, kepadatan kandang). Sedangkan usaha pengobatan yang dapat

dilakukan adalah dengan menggunakan preparat sulfa.

Tabel 10. Hasil Uji Penyakit Parasit Gastro Intestinal (PGI) di BPTU – HPTPulukan dan Dompu

No Lokasi Jenis ParasitGastro Intestinal

JumlahSampel

JumlahPositif

Prevalensi (%)

ID Hewan (No Ear Tag)

Chabertia 256 9 * 3,5 13511 ; 013415Cooperia 1 0,4 0841 05Eimeria 3 * 1,2Fasciola 8 * 3,1 084710Mecistocirrus 4 * 1,6 0918 09 ; 0239 13

0847 10Oesophagustomum 1 * 0,4Ostertagia 5 * 1,9 0139 15 ; 0110 14

0118 13 ; 0107 12Paramphistomum 28 * 10,9 0906 09 ; 0102 06

0851 09 ; 0569 120508 10 ; 0117 150918 09 ; 0847 100247 09 ; 0231 110264 15

Strongyloides 4 * 1,6Toxocara 2 * 0,8 0102 06

1 PULUKAN

Trichostrongylus 3 * 1,2 0215 150225 14

JUMLAH 256 68 26,6

Page 309: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

16

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Bunostomum 274 2 * 0,7Cooperia 12* 4,7 170612 13;

CO601 15;06185 16;06178 16;24;17

Eimeria 14 * 5,1 11;10;29;06176 16;06104 15;21

Faciola 14 * 5,1 19 ;12 ; 13 ; 14 ; 1516 ; 17 ; 18

Mecistocirrus 7 * 2,5 06185 16;06182 16;06178 16;22;5

Oesophagustomum 5 * 1,8 24Ostertagia 14 * 5,1 24Paramphistomum 42* 15,3 0629 13;

06104 15; 23 ; 12 ;13 ; 16 ; 17 ; 18 ; 22

Strongylus 4 * 1,5 23 ; 12Toxocara 4 * 1,5Trichostrongylus 3 * 1,1

2 DOMPU

Chabertia 5 * 1,8 13,14JUMLAH 274 126 46,0

Keterangan : * ID Hewan (Ear Tag) tidak lengkap

Tabel 10 menunjukkan bahwa ternak sapi di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu

terinfeksi oelh berbagai macam parasit cacing Nematoda dan Trematoda.

Tabel 11. Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal pada Sapi Bali diBPTU-HPT Pulukan dan Dompu.

LokasiBPTU-HPT

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI

Pulukan 256 36 29 3 68 (26,6%)Dompu 274 56 56 14 126 (46,0%)Total 530 92 84 17 194 (36,6%)

Parasit gastrointestinal pada sapi bali di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu

menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi terutama di BPTU-HPT Dompu yaitu

46,0%. Untuk pemberantasan penyakit gastrointestinal terutama cacingan dapat

dilakukan dengan menggunakan anthelminthika seca rutin dan dilakukan sejak

sapi berumur 7 hari dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna

membasmi cacing secara tuntas (Anonim, 2004).

Page 310: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

17

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

Hasil pemeriksaan 727 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari

BPTU-HPT Pulukan dan Dompu menunjukkan semua negatif selengkapnya

disajikan pada Tabel 6.

Tabel 12. Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra pada Sapi Bali diBPTU – HPT Pulukan dan Dompu

Lokasi JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma Prevalensi (%)

Pulukan 338 338 0 0Dompu 389 389 0 0Total 727 0 0

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya kejadian Trypanosomiasis

pada sapi bali di BPTU HPT Pulukan dan Dompu, namun di BPTU-HPT Pulukan

ditemukan adanya jenis parasit darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia

sp dan Theileria sp. Selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa sapi bali yang terdapat di BPTU-HPT Pulukan terinfeksi

Theileriosis, Anaplasmosis dan Babesiosis.

Tabel 13. Distribusi Prevalensi Berbagai Jenis Parasit Darah pada Sapi Balidi BPTU-HPT Pulukan dan Dompu

No Lokasi JumlahSampel

JenisParasitDarah

JumlahPositif

Prevalensi(%)

ID Hewan(No Ear Tag)

1 Pulukan 338 TheileiriaAnaplasmaBabesia

5*1*1*

1,50,30,3

0838.08 ; 0946.09 ;;0102.06 ; 0219.10

338 7 2,12 DOMPU 389 - 0 0,1

389 0 0TOTAL 727 10 1,4

Keterangan : * ID Hewan (Ear Tag) tidak lengkap

Penyakit parasit darah merupakan masalah kesehatan hewan yang

menimbulkan kerugian ekonomi pada ternak sapi di Indonesia. Kerugian

tersebut berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan

daya kerja, penurunan daya reproduksi (Nasution, 2007) dan aborsi (Kocan et

al. 2003). Infeksi berat jika tidak diobati dapat menyebabkan kematian sapi

terutama pada hewan muda. Iklim tropis merupakan lingkungan ideal bagi

Page 311: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

18

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

perkembangan dan transmisi parasit sehingga perlu dilakukan pengendalian

sebagai upaya pencegahan penyakit. Pengendalian kuratif untuk sapi yang

terinfeksi dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan namun pengendalian

bersifat kuratif biasanya tidak mampu menurunkan tingkat prevalensi.

Pengendalian infeksi parasit darah pada sapi yang efektif dapat dilakukan

melalui pendekatan epidemiologi. Dalam merancang suatu program

pengendalian yang tepat dan efektif sangat diperlukan kajian tentang data dasar

yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi, tingkat parasitemia dan

berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian infeksi parasit darah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disimpulkan bahwa :

1. Ternak sapi bali di BPTU-HPT Pulukan hasil pemeriksaan penyakit SE, JD,

IBR dan BVD dengan metode isolasi dan PCR di BPTU-HPT menunjukkan

semua negatif, demikian juga halnya BPTU-HPT Dompu.

2. Ternak sapi di BPTU-HPT Pulukan dan Dompu terinfeksi cacing dengan

prevalensi di BPTU-HPT Pulukan 28,5% dan BPTU-HPT Dompu 46,0%,

sedangkan protozoa Genus Eimeria menginfeksi dengan prevalensi 1,2%

untuk BPTU-HPT Pulukan dan 5,1% untuk BPTU-HPT Dompu.

3. Tidak ditemukan adanya indikasi penyakit Trypanosomiasis pada sapi bali di

BPTU HPT Pulukan dan Dompu, namun ditemukan adanya jenis parasit

darah yang lain seperti Anaplasma sp, Babesia sp dan Theileria sp dengan

prevalensi 1,4%.

Page 312: HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis... · LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur

19

LAPORAN TEKNIS Balai Besar Veteriner Denpasar2016

4.2. Saran

Saran yang ingin disampaikan untuk BPTU-HPT Pulukan dan Dompu adalah:

1. Melakukan pemberian obat cacing dari usia 3 bulan secara kontinyu dan

pemberian obat preparat sulfa untuk pengobatan penyakit yang disebabkan

oleh protozoa secara rutin sesuai dengan petunjuk dokter hewan serta

melakukan tata cara pemeliharaan sapi yang baik.

2. Melakukan pengendalian dengan melakukan pendekatan epidemiologi

dengan suatu program pengendalian yang tepat dan efektif, kajian tentang

data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi, tingkat

parasitemia dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian

infeksi parasit darah.

3. Petugas yang melaksanakan surveilans diharapkan untuk melengkapi data

vaksinasi.

V. DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2004.Ivermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20pages/fenbendazole.htm.Diakses 24 Januari 2017

Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E., 2008. Avian InfluenzaVirus in Water Infectivity is depend on pH, Salinity and Temperature. Vet Microbiol. Doi :10.1016/j.vetmic.1 Veterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The Natural Historyof Anaplasma Marginale. Vet Parasitol. 167:95-1070.027.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods

Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, KotaJambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.