hasil surveilans dan monitoring di wilayah kerja...

280
KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266 Denpasar 80223 Bali 2015 LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2014

Upload: ngohanh

Post on 10-Mar-2019

260 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN

DAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Jalan Raya Sesetan No. 266Denpasar 80223 Bali

2015

LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS DAN MONITORING

DI WILAYAH KERJA BALAI BESARVETERINER DENPASAR

TAHUN 2014

Page 2: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang

telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah Kerja

Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2014 dapat diselesaikan

dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan Monitoring di

wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT selama satu tahun

anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31 Desember 2014.

Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang

mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.140/5/2013

Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan

penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di

laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.

Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah kerja

pada tahun 2014 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar

tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2014, tanggal 5 Desember

2014.

Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan

Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima. Selain

untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya bagi

peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat

veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan semua pihak yang

telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan banyak terima kasih.

Denpasar, Januari 2015Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,

Drh. I Ketut Diarmita, M.P.NIP. 19621231 198903 1 006

Page 3: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

ii

DAFTAR ISI

Halaman

1 KATA PENGANTAR …………………………………………………… i

2 DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iii

I. BAKTERIOLOGI

3 SURVEILAN DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014…........... 1-12

4 SURVEILAN DAN MONITORING PENYAKIT BAKTERIAL DIWILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014................... 13-24

5 SURVEILAN DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014.................................... 25-36

6 SPROGRAM PEMBERANTASAN BRUCELOOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2014.................................................................................... 37-65

II. PARASITOLOGI

7 SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKITTRYPANOSOMIASIS (SURRA) DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR…………... 66-75

8 SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR................... 76-87

III. PATOLOGI

9 ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014................. 88-100

10 SURVEILANS PATOLOGI REPRODUKSI PADA TERNAK SAPIPOTONG DALAM RANGKA MENDUKUNGPROGRAMSWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014........................................……………………… 101-116

11 SURVEILANS DAN MONITORING AGEN PENYAKIT RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014…………………… 117-131

Page 4: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

iii

IV. KESMAVET

12 MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU,CEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) DI PROPINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN ANGGARAN 2014…………………………………………….. 132-151

V. BIOTEKNOLOGI

13 SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALIDAN BPTU HPT DOMPU TAHUN 2014.................................................. 152-165

14 SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014............................................................................................ 166-180

15 UJI REAL TIME PCR UNTUK MENDETEKSI c-DNA VIRUSPENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI…...................................... 181-193

VI. VIROLOGI

16 MONITORING AVIAN INFLUENZA H5N1 DI PASAR UNGGASHIDUP DI DI PROVINSI BALI TERKAIT PERUBAHAN MUSIMTAHUN 2014…………………………………………………………….. 194-204

17 SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZADAN NEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN2014……………………………………………………………. 205-228

18 SEROSURVEILANS PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA(BVD) DAN INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR TAHUN 2014................................................... 229-241

19 DETEKSI ANTIBODI PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2014.....................................................…………………….. 242-251

20 SURVEILANS ANTIGEN DAN ANTIBODI PENYAKITHOG CHOLERA DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014.............................. 252-265

VII. PELAYANAN VETERINER

21 SURVEILANS DAN MONITORING BALAI BESAR VETERINERDENPASAR TERHADAP PENYAKIT HEWAN MENULARSTRATEGIS PADA UNIT PELAKSANA TEKNIS BPTU-HPTDENPASAR...................................................................................... 266-276

Page 5: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

1

SURVEILANS DAN MONITORING ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR, TAHUN 2014

I Ketut Narcana, A.A.Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Kasus Anthrax di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan terjadi Tahun 1987 KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Anthrax dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus penyakit Anthraxdi Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007kasus Anthrax kembali dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Berdasarkan data dari DinasPeternakan Provinsi NTT, kejadian penyakit Anthrax di Pulau Sabu pernah dilaporkan terjadipada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta bulan Agustus 2011 ada kejadianpenyakit Anthrax pada kuda dan manusia . Di Pulau Timor (bagian barat) kasus pertamatercatat tahun 1930.

Penanganan yang telah dilakukan salah satunya berupa vaksinasi Anthrax pada ternak rentan.Untuk mengetahui prevalensi antibodi Anthrax di Provinsi NTB (Kabupaten Dompu dan KotaBima) dan Provinsi NTT (di Kabupaten Ngada, Rotendao, Manggarai, Manggarai Barat,Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Timur dan Sabu Raijua) telah dilaksanakansurveilans serologis. Pengambilan serum sapi dan kerbau dilakukan secara acak, kemudiandilakukan pemeriksaan terhadap adanya antibodi Anthrax dengan metode ELISA. Sedangkan diKabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram, Sumbawa Barat,Kota Kupang, TTS , Belu, Alor, Flores Timur, Sikka dan Lembata tidak dilakukan vaksinasiterhadap Anthrax. Akan tetapi tetap dilakukan surveilans dan monitoring dini untuk mendeteksiadanya/masuknya reaktor sehingga dapat dilakukan pengendalian selanjutnya.

Hasil uji serologis terhadap sampel yang diambil di Pulau Lombok dan Kabupaten SumbawaBarat negatif antibodi Anthrax karena tidak melakukan vaksinasi Anthrax. Kecuali di Kotamataram 2 (1%) sampel positif antibodi Anthrax. Sedangkan di kabupaten yang melakukanvaksinasi Anthrax yaitu di Kota Bima dari 147 sampel 91 (61,91%) positif antibodi Anthrax dan diKabupaten Dompu dari 204 sampel hanya 12(5,88%) positif antibodi Anthrax. Hasil uji diProvinsi NTT di Kota Kupang, TTS, Belu, Lembata, Alor, dan Sikka yang tidak melakukanprogram vaksinasi Anthrax pada ternak, hasilnya negatif antibodi Anthrax, kecuali di KabupatenFlores Timur 3 (1,92%) sampel positif antibodi Anthrax. Di Kabupaten Ngada dari 253 sampel 93(36,76%) positif antibodi Anthrax, di Kabupaten Manggarai 84 sampel 53 (63,10%) positifantibodi, di Kabupaten Manggarai Barat 134 sampel 67 (50%) positif antibodi, KabupatenNagekeo 230 sampel 75(32,61%) positif antibodi, Kabupaten Sumba Barat Daya 172 sampel137 (79,65%) positif antibodi, Sumba Barat 100 sampel 43 (43%) positif antibodi, Sumba Timur663 sampel 594(89,59%) positif antibodi, dan Kabupaten Sabu Raijua positif antibodi Anthrax102(74,45%) dari 137 sampel. Dari Hasil ini dapat disimpulkan program vaksinasi pada ternakrentan di Kota Bima, Kabupaten Dompu, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, danSumba Barat tersebut belum optimal (< 70%) kecuali Kabupaten Sumba Timur, Sumba BaratDaya dan Sabu Raijua positif antibodi antibodi >70%. Mengingat durasi kekebalan terhadapAnthrax dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi dan kasus/wabah Anthrax biasanyaterjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujan sehingga dengandemikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun. Yakni bulan Juni – Agustus danbulan Februari – Maret tahun berikutnya.

Kata Kunci : Anthrax, Sapi, Kerbau, ELISA, Lombok, Sumbawa, Dompu, Bima, Ngada, Sikka,Manggarai, Flores, Nagekeo, Lembata, Alor, Sumba, Sabu Raijua, Kupang, TTS,Belu.

Page 6: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangAnthrax adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis

hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.

Burung unta juga dilaporkan peka terhadap Anthrax (Noor, dkk. 2001;

Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk Anthrax yaitu bentuk kulit dan bentuk

septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam

lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh

jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan

bertahan hidup puluhan tahun . Penyembelihan hewan tertular Anthrax akan

mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular Anthrax

dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak

yang telah tercemar spora Anthrax akan mengakibatkan penyakit menjadi

bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Pulau Lombok kasus Anthrax dilaporkan

pertama kali tahun 1933 namun tidak dijelaskan dimana lokasi kejadiannya.

Selanjutnya kasus Anthrax terakhir di Pulau Lombok terjadi 26 Januari 1987 di

Desa Kenyalu Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah (Putra, dkk.,

2011). Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis

Anthrax (Hardjoutomo dkk., 1995; Hardjoutomo, dkk. 1996; Kertayadnya, dkk.,

2003) dan kasus terjadi hampir setiap tahun. Penyakit Anthrax pernah terjadi di

semua kabupaten di Pulau Sumbawa (Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat ,

Bima, Kota Madya Bima dan Dompu).

Di Nusa Tenggara Timur kasus penyakit Anthrax ditemukan hampir setiap tahun

di beberapa Kabupaten. Menurut catatan Dinas Peternakan NTT kasus di

Kabupaten Ende, dilaporkan terjadi di Kecamatan Wewaria terjadi pada Tahun

2004 dan di Kabupaten Sikka, terjadi di Kecamatan Nita pada Tahun 2000, 2002

dan 2003. Pada tahun 2007 kasus Anthrax kembali dilaporkan terjadi di

Kabupaten Sikka, di Desa Kolisia B, Kecamatan Magepanda. Di Pulau Sabu

kejadian penyakit Anthrax pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 –

1942 dan tahun 1987, serta bulan Agustus 2011 ada kejadian penyakit Anthrax

Page 7: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

3

pada kuda dan manusia. Di Pulau Timor (bagian barat) kasus pertama tercatat

tahun 1930 (Soemanagara, 1958) dikutip oleh Putra, dkk., (2011).

Pencegahan penyakit Anthrax di Pulau Sumbawa, Flores, Sumba dan Sabu

secara rutin dilakukan dengan program vaksinasi pada ternak rentan. Untuk

mengetahui sejauh mana keberhasilan dari vaksinasi yang dilakukan perlu

dilakukan evaluasi dengan melakukan surveilans serologis dan pengamatan

kasus lapangan terhadap penyakit Anthrax.

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

penyakit Anthrax di wilayah kerja sebagai berikut :

1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Anthrax di di wilayah kerja;

2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di

wilayah kerja;

3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan

monitoring Anthrax di wilayah kerja;

4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

1.3. Tujuan Kegiatan1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian penyakit Anthrax di

wilayah kerja;

2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;

3. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

4. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.4. Manfaat Kegiatan1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi penyakit Anthrax di di

wilayah kerja;

2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah

kerja;

Page 8: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

4

3. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

4. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Anthrax serta tingkat

kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Anthrax pada daerah

endemis di wilayah kerja;

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

3. Turunnya kejadian penyakit Anthrax di wilayah kerja dan terciptanya

lingkungan peternakan yang bebas Anthrax dan tersedianya produk

hewan yang bebas penyakit Anthrax.

1.6. Out come1. Terciptanya lingkungan peternakan yang bebas penyakit Anthrax dan

tersedianya daging yang bebas penyakit Anthrax.

2. Menurunnya kejadian kasus Anthrax diwilayah kerja.

Page 9: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

5

II. MATERI DAN METODE

Pengambilan SerumDi wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi Anthrax dengan metode

mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang

digunakan adalah multi stage random sampling.

n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan

Seperti salah satunya di Pulau Sumbawa dengan asumsi prevalensi 50% (data

BBVet Denpasar 2013) dengan konfidensi 95%, eror 5%

n = 4 x 0,5 x (1- 0,5) 0,052

n = 4 x 0,5 x 0,5 0,0025n = 400, jadi di Pulau Sumbawa (NTB) sampel minimal yang diambil 400

sampel.Untuk di NTT dengan prevalensi 60% (data BBVet Denpasar 2013) minimal

pengambilan sampel 384 sampel (dibulatkan 400 sampel). Kegiatan ini juga

dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah

kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik

veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah

kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT.

Perlakuan SampelKegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan

berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di

Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon,

1999).

Page 10: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

6

III. HASIL

Hasil Uji ElisaHasil Uji Elisa menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif mengandung

antibodi Anthrax di wilayah kerja BBVet Denpasar seperti dalam Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Hasil Uji ELISA Anthrax di Provinsi NTB

Kabupaten Kecamatan JumlahSampel

Positif AntibodiAnthrax

Pringarata 166 0Praya Tengah 34 0

Lombok Tengah

Jumlah 200 0Gerung 100 0Lombok Barat

Jumlah 100 0Aikmal 88 0Suralaga 92 0

Lombok Timur

Jumlah 180 0Sekar Bela 199 2 (1%)Ampenan 23 0Mataram 31 0

Mataram

Jumlah 253 0Brang Ene 103 0Sumbawa Barat

Jumlah 103 0Raba 59 50Asakota 45 22Mpunda 43 19

Kota Bima

Jumlah 147 91 (61,91%)Manggalewa 104 0Dompu 100 12

Dompu

Jumlah 204 12 (5,88%)TOTAL 1187 105

Page 11: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

7

Tabel 2. Hasil Uji ELISA Anthrax di Provinsi NTT

Kabupaten Kecamatan JumlahSampel

Positif AntibodiAnthrax

Tasifeto Barat 48 0Raimanuk 71 0Tasifeto Timur 41 0Kakuluk Mesak 31 0Lasiolat 17 0

Belu

Jumlah 208 0Amanuban Selatan 100 0TTS

Jumlah 100 0Kota Lama 100 0Kota Kupang

Jumlah 100 0Sabu Barat 59 43Sabu Timur 23 16Sabu Tengah 55 43

Saburaijua

Jumlah 137 102 (74,45%)Nagawutung 20 0Lie Ape 10 0Buyasuri 13 0Omesuri 10 0Nubatukan 25 0Lembatukan 127 0Nagawutung 39 0

Lembata

Jumlah 244 0Alor Timur 54 0Alor

Jumlah 54 0Riung Barat 50 46Bajawa 10 3Golewa 193 44

Ngada

Jumlah 253 93 (36,76%)Rote Barat Daya 44 0Rotendao

Jumlah 44 0Sano Nggoang 62 41Komodo 53 19Lembor 19 7

ManggaraiBarat

Jumlah 134 67 (50%)Ruteng 50 36Wae Rii 24 9Langke 10 8

Manggarai

Jumlah 84 53 (63,10%)Larantuka 31 0Lewolema 36 0Titehena 156 3 (1,92%)

Flores Timur

Jumlah 223 0Talibura 100 0Sikka

Jumlah 100 0Walowa 230 75Nagekeo

Jumlah 230 75 (32,61%)

Page 12: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

8

Surveilans Anthrax di NTT yang direncanakan sesuai dengan TOR di Kabupaten

Manggarai Timur namun tidak dilakukan di kabupaten tersebut karena ada

permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata sehubungan adanya

pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Flores merupakan daerah

endemis Anthrax, untuk deteksi dini kejadian Anthrax surveillans dialihkan ke

Kabupaten Lembata. Pengambilan sampel Anthrax diintegrasikan dengan

surveilans SE dan Brucellosis.

Pinupahar 34 34Pahungalodu 134 126Lewa 15 15Nggaha Ori Angu 17 17Matawai Lapawu 4 4Kaha Ungu Ety 24 24Haharu 35 35Kambera 46 45Karera 162 143Kanatang 5 5Umalulu 41 40Rindi 10 10Tabundung 15 15Ngadu Ngala 43 23Lewa Tidahu 5 5Wulla Waijelu 19 19Mahu 11 11Paberiwai 43 23

Sumba Timur

Jumlah 663 594 (89,59%)Wewewa Barat 18 9Kodi 59 58Kota Tambolaka 29 20Kodi Balaghar 8 6Kodi Bangedo 5 1Kodi Utara 53 43

Sumba BaratDaya

Jumlah 172 137 (79,65%)Lamboya Barat 11 4Wanukaka 68 28Tana Righu 21 11

Sumba Barat

Jumlah 100 43 (43%)TOTAL 2593 1167

Page 13: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

9

Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan

dan sulit dijangkau serta keterbatasan dana yang ada, pengambilan sampel

dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan dinas

yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama

kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara

pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 3.780 sampel

serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.

IV. PEMBAHASAN

Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di kota Mataram (NTB), kecamatan

Sekarbela ada 2 sampel positif antibodi Anthrax yaitu sampel dari desa

Jempong baru, demikian pula sampel dari desa Kobasama, kecamatan

Titehena, kabupaten Flores Timur (NTT) hasil uji Elisa 3 sampel positif antibodi

Anthrax. Hasil penelusuran asal ternak tersebut, sesuai informasi dari Kepala

Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Kota Mataram dan Kabid Keswan

Flores Timur, bahwa banyak ada pemasukan ternak dari daerah luar kota

Mataram dan kabupaten Flores Timur yang kemungkinan ternak tersebut

sebelumnya sudah pernah divaksinasi Anthrax. Adanya positif antibodi ini perlu

mendapatkan perhatian khusus dari instansi terkait dalam pengambilan

kebijakan selanjutnya.

Hasil uji serologis dari sampel yang diambil menunjukan bahwa di Kota Bima,

Kabupaten Dompu, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, dan Sumba

Barat tersebut belum optimal (< 70%). Hal ini disebabkan karena cakupan

vaksinasi Anthrax di kabupaten/kota masih rendah sehingga tidak mampu

memberikan perlindungan terhadap kelompok ternak tersebut, sebagai contoh

informasi dari petugas Disnak Kabupaten Dompu cakupan vaksinasi Anthrax

pada bulan Juni – Juli 2014 dilanjutkan bulan September – Oktober 2014 hanya

38.143 ekor (40,88%) dari populasi target 93.294 ekor. Dari hasil tersebut diatas

menunjukan di Kabupaten Dompu hasil positif antibodi rendah hanya 5,88%.

Mengingat masih rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat

Page 14: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

10

kekebalan ternak rentan menjadi rendah, sehingga kemungkinan terjadinya

wabah masih sangat besar terutama menjelang sampai akhir musim hujan.

Rendahnya cakupan vaksinasi selain akibat terbatasnya jumlah vaksin yang

tersedia juga belum optimalnya vaksinasi pada semua jenis ternak rentan

(terutama pada kambing), di daerah tertular dan sekitarnya. Berdasarkan

penelitian lapangan yang dilakukan pada sapi Bali di Kecamatan Janapria

Kabupaten Lombok Tengah di ketahui bahwa durasi kekebalan terhadap

Anthrax dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, sehingga dengan

demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun (Arsani, 2010

dikutif oleh Putra, dkk., 2011).

Hasil uji Elisa di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua

positif antibodi antibodi > 70%, menunjukan program vaksinasi cukup berhasil.

Di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Mataram, Lombok Timur,

Sumbawa Barat, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Kota Kupang, TTS dan

Belu tidak ditemukan titer antibodi positif hal ini disebabkan karena di kabupaten

tersebut sesuai informasi dari dinas peternakan atau dinas yang menangani

kesehatan hewan tidak melakukan vaksinasi Antharx, meskipun di Pulau

Lombok, Sumbawa, Flores dan Pulau Timor bagian barat dilaporkan pernah

terjadi kasus Anthrax. Dengan tidak dilakukan program vaksinasi anthrax di

daerah tersebut, hal ini perlu diwaspadai agar di daerah yang pernah tertular

tersebut tidak terjadi kasus Anthrax kembali, serta tetap memperketat

pengawasan lalu lintas ternak.

Secara umum kasus/wabah Anthrax biasanya terjadi pada akhir musim kemarau

dan berlanjut sampai musim hujan. Dengan harapan bahwa herd immunity

terhadap Anthrax telah terbentuk sekurang-kurangnya satu bulan dari waktu

munculnya kasus Anthrax, maka program vaksinasi sebaiknya dilakukan pada

bulan Juli – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya. Vaksinasi

dilakukan terhadap seluruh hewan peka dengan prioritas pada ternak yang ada

di desa tertular, kemudian dilanjutkan pada desa terancam sesuai dengan peta

distribusi penyakit (Putra, dkk., 2011)

Page 15: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

11

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil surveilans dapat disimpulkan program vaksinasi pada ternak rentan

belum optimal mengingat titer antibodi positif masih rendah (kecuali Kabupaten

Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Saburaijua positif antibodi antibodi >

70%). Untuk itu vaksinasi pada semua ternak rentan perlu di tingkatkan dan

program vaksinasi tetap dilakukan secara berkesinambungan untuk

mempertahankan kekebalan pada ternak. Diperlukan program surveilans dan

monitoring pasca vaksinasi dan terorganisir dengan baik sehingga jumlah

sampel yang diuji lebih repersentatif sehingga datanya dapat dipergunakan

untuk pengambilan kebijakan selanjutnya. Perlu dilakukan pengawasan

terhadap lalu lintas ternak terutama dari wilayah endemis Anthrax sehingga

penyebaran Anthrax dapat ditekan.

Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan di Kabupaten

Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram, Sumbawa Barat,

Dompu, Kota Bima, Sikka, Ende, Ngada, Rotendao, Manggarai, Manggarai

Barat, Flores Timur, Lembata, Alor, Sabu Raijua, Kota Kupang, TTS, Belu,

Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Timur yang telah membantu

terselenggaranya surveilans ini.

2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan

tugas pelaksanaan surveilans ini.

Page 16: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

12

DAFTAR PUSTAKA

Anon (2008), OIE, Anthrax, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.

Anon (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Halaman 51- 55.

Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection inAnimals. Edited by Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa stateUniversity Press, ames, pp.21-25

Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) Theapplication of ELISA to monitor the vaccinal respon of antraks vaccinatedruminants. Penyakit Hewan XXV : 46A.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks padahewan dan manusia di Indonesia. Prosiding Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman:305-318.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks diIndonesia : sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian danPengembangan Pertanian XV (2): 35-40

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks padaburung unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.

Kertayadnya, I G. Dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan WabahPenyakit Anthrax pada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo,Kabupaten Bima. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusiadan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.

Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Anthrax di NusaTenggara, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewanbekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

Page 17: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

13

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT BAKTERIALDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR

TAHUN 2014

I Ketut Narcana, A.A.Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAKS

Data kejadian penyakit SE di wilayah kerja (Provinsi Bali, NTB dan NTT) tidak pernah dilaporkan.Akan tetapi program vaksinasi SE masih tetap dilakukan di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.Namun di Provinsi NTB program vaksinasi SE hanya di lakukan di Pulau Sumbawa sedangkandi Pulau Lombok tidak dilakukan vaksinasi. Surveilans serologis penyakit SE telah dilaksanakanuntuk mengetahui prevalensi antibodi SE di Provinsi Bali (8 Kabupaten dan 1 Kota Madya), NusaTenggara Barat ( Kabupaten Lombok Timur, Mataram, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima) danNusa Tenggara Timur (Kabupaten Belu, TTS, TTU, Kota Kupang, Saburaijua, Ngada, Lembata,Rotendao, Flores Timur, Sikka, Manggarai Barat, Manggarai, Sumba Barat Daya, Sumba Barat,dan Sumba Timur). Pengambilan serum sapi dilakukan secara acak untuk kemudian dilakukanpemeriksaan terhadap adanya antibodi SE dengan metoda ELISA. Di Pulau Lombok tetapdilakukan surveilans yang berkelanjutan dalam rangka memperoleh data akurat sebagi masukanpada instansi terkait dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.

Hasil pemeriksaan Elisa Antibodi SE sampel serum sapi yang berasal dari Pulau Bali, PulauSumbawa dan sampel diambil di Provinsi NTT menunjukkan positif terhadap antibodi SE <70%.Hasil ini menunjukan prevalensi antibodi SE di masing-masing kabupaten/kota umumnyarendah, kecuali Kota Bima Provinsi NTB dari 147 sampel sebanyak 113 (76,87%) positif antibodiSE (≥ 70%). Rendahnya titer antibodi kemungkinan disebabkan cakupan vaksinasinya rendah.Dari hasil ini dipandang perlu dikaji ulang tentang strategi vaksinasi SE di daerah endemik.

Secara umum dari hasil surveilans SE di Bali, NTT dan NTB (kecuali di Pulau Nusa Penida,Pulau Lombok dan Kota Bima) tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa program vaksinasi SEbelum optimal. Mengingat rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat kekebalankelompok ternak rentan menjadi rendah kemungkinan terjadinya kasus di lapangan sangatbesar. Untuk itu disarankan vaksinasi SE agar tetap dilakukan secara berkelanjutan dengancakupan yang lebih optimal serta tetap memperketat pengawasan lalu lintas ternak.

Kata Kunci : SE, Sapi, Kerbau, Bali, NTB, NTT, Elisa.

Page 18: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

14

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPenyakit ngorok (Haemorrhagic Septicaemia) atau Septicaemia Epizootica

(SE) merupakan penyakit bakteri menular disebabkan oleh kuman Pasteurella

multosida yang menyerang ruminansia, khususnya hewan sapi dan kerbau (OIE

2008). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa Negara Asia dan Afrika

termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah

(Benkirane and Alwis, 2002) Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai

penyakit merugikan secara ekonomi. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktur

Jendral Peternakan, pada tahun 1973 melaporkan kerugian akibat SE di

Indonesia diperkirakan mencapai 5,4 miliyar rupiah.

Penanggulangan penyakit SE di Indonesia secara nasional dilakukan dengan

melakukan program vaksinasi massal. Sebagai contoh Pulau Lombok yang

secara rutin melakukan vaksinasi SE berturut - turut selama 3 tahun telah

berhasil menghilangkan kejadian kasus SE, dan telah dinyatakan bebas dari

penyakit SE (Sudana,G. dkk, 1982).

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

penyakit SE di wilayah kerja sebagai berikut :

a. Belum diketahuinya perkembangan penyakit SE di wilayah kerja

b. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di

wilayah kerja

c. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan

monitoring SE di wilayah kerja

d. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

1.3. Tujuan Kegiatana. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit SE di wilayah

kerja

b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja

Page 19: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

15

c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar

b. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.4. Manfaat Kegiatana. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit SE di wilayah

kerja

b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah

kerja

c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH

dan Kepala BBVet Denpasar

d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.5. Outputa. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit SE serta tingkat

kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi SE pada daerah

endemis di wilayah kerja;

b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

c. Turunnya kejadian penyakit SE di wilayah kerja dan terciptanya

lingkungan peternakan yang bebas SE dan tersedianya produk hewan

yang bebas penyakit SE.

1.6. Out comea. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit

SE di wilayah kerja.

b. Terciptanya lingkungan ternak bebas SE di wilayah kerja.

Page 20: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

16

II. MATERI DAN METODE

Pengambilan Serum

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan

dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak

melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Nusa Penida dan Lombok) teknik

sampling yang digunakan adalah multi stage random sampling. Seperti di NTB

dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dengan asumsi

prevalensi 0,5% (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000, maka

dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel metode detect disease

yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ;

n : adalah besaran sampel,

p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkan

d : adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan

N : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000

maka diperoleh; n = 598. Sehingga besaran sampel minimal 598 sampel.

Dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.

Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE dengan metode

mengukur aras (Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ / L2

n : adalah besaran sampel,

P : adalah tingkat prevalensi,

Q : adalah (1 – P) dan

L : adalah galat yang diinginkan

Seperti salah satunya di NTT dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40%

(data BBVet Denpasar 2013), dengan konfidensi 95%, eror 5%

n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052

n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025n = 384

Page 21: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

17

Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel

(dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage

random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 3

kali, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT

besaran sampel yang diambil 400 sampel x 3 = 1.200 sampel. Kegiatan ini juga

dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah

kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik

veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah

kerja.

Perlakuan Sampel2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE

Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal

protektif pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked

immunosorbent assay ( ELISA ) SE BBVet Denpasar ( Anon, 1999).

2.2. Isolasi Pasteurella multocida

Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk

atau limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di

rumah potong hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH

sampel berupa swab trachea/nasopharynk, dari setiap kabupaten dipool

menjadi satu untuk kemudian di lakukan penanaman di media agar,

sesuai metode isolasi kuman Laboratorium Bakteri BBVet Denpasar

(Anon, 1999; Anon, 2008).

Page 22: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

18

III. HASIL

Gambaran antibodi SE pada ternak sapi di seluruh kabupaten/kota di Bali

menunjukkan adanya variasi. Secara umum prevalensi antibodi SE di Bali

rendah < 50% ( Tabel 1)

Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Kediri 91 3Pupuan 50 10Selemadeg 32 0Baturiti 31 8

1 Tabanan

Jumlah 204 21 (10,29%)Mengwi 31 5Kuta Utara 50 11Abiansemal 95 0

2 Badung

Jumlah 176 16 (9,09%)Tembuku 63 1Bangli 25 2Susut 50 0Kintamani 205 15

3 Bangli

Jumlah 343 18 (5,25%)Denpasar Utara 42 4Denpasar Timur 41 0

4 Denpasar

Jumlah 83 4 (4,82%)Abang 60 0Karangasem 118 11Rendang 50 4Sidemen 87 4Manggis 91 29Kubu 24 0

5 Karangasem

Jumlah 430 48 (11,16%)Seririt 48 5Gerokgak 50 7Busungbiu 27 1Banjar 31 2Sawan 45 19Sukasada 21 0

6 Buleleng

Jumlah 222 34 (15,32%)Klungkung 65 0Banjarangkan 105 2Dawan 70 0

Jumlah 240 2 (0,83%)Nusa Penida 148 0

7 Klungkung

Jumlah 148 0

Page 23: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

19

Pekutatan 357 228Melaya 48 1Negara 70 5Jembrana 113 9

8 Jembrana

Jumlah 588 243 (41,33%)Gianyar 43 39 Gianyar

Jumlah 43 3 (6,98%)TOTAL 2477 389

Tabel 2 .Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di bebrapaKabupaten Provinsi NTB

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Aikmal 88 0Suralaga 92 0

1 Lombok Timur

Jumlah 180 0Sekar Bela 132 0Ampenan 23 0

2 Mataram

Jumlah 155 0Raba 59 57Asakota 45 30Mpunda 43 26

3 Kota Bima

Jumlah 147 113 (76,87%)Brangene 103 24 Sumbawa Barat

Jumlah 103 2 (1,94%)Dompu 200 45Manggalewa 104 4

5 Dompu

Jumlah 304 49 (16,12%)889 164

Page 24: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

20

Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di beberapaKabupaten Provinsi NTT

KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Amanuba Selatan 252 58TTSJumlah 252 58 (23,02%)

Biboki Utara 52 4Kota Kefa 97 39

TTU

Jumlah 149 43 (28,86%)Kota Lama 100 15Kota Kupang

Jumlah 100 15 (15%)Tasifeto Barat 48 3Raimanuk 71 3Tasifeto Timur 41 5Kakuluk Mesak 31 3Lasiolat 17 1

Belu

Jumlah 208 15 (7,21%)Sabu Barat 59 14Sabu Timur 23 6Sabu Tengah 55 19

Sabu Raijua

Jumlah 137 39 (28,46%)Riung Barat 50 3Bajawa 10 3Golewa 93 3Golewa Barat 100 16

Ngada

Jumlah 253 25 (9,88%)Nubatukan 25 1Lembatukan 120 7Nagawutung 39 0

Lembata

Jumlah 184 8 (4,35%)Rote Barat Daya 44 10Rotendao

Jumlah 44 10 (22,73%)Larantuka 31 0Lowolema 36 0Titehena 156 112

Flores Timur

Jumlah 223 112 (71,79%)Talibura 100 2Sikka

Jumlah 100 2 (2%)Sano Nggoang 134 29Manggarai

Barat Jumlah 134 29 (21,64%)Ruteng 84 4Manggarai

Jumlah 84 4 (4,76%)

Page 25: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

21

Hasil isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau limfoglandula

retropharengea baik dari sapi dan kerbau tidak ditemukan kuman Pasteurella

multocida.

Surveilans SE di NTB yang direncanakan sesuai dengan TOR di Kabupaten :

Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Barat, Nagekeo dan Alor tidak bisa

terlaksana karena ada revisi anggaran/pemotongan anggaran dari pusat.

Sedangkan Surveilans SE di NTT yang direncanakan ke Kabupaten Manggarai

Timur, karena ada permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata

sehubungan adanya pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Flores

merupakan daerah yang belum pernah terjadi kasus SE, untuk deteksi dini

Pinupahar 34 10Pahungalodu 134 24Lewa 15 4Nggaha Ori Angu 17 5Matawai Lapawu 4 0Kaha Ungu Ety 24 4Haharu 35 13Kambera 46 14Karera 162 28Kanatang 5 3Umalulu 41 25Rindi 10 5Tabundung 15 6Ngadu Ngala 43 14Lewa Tidahu 5 1Wulla Waijelu 19 1Mahu 11 0Paberiwai 43 1

Sumba Timur

Jumlah 663 158 (23,83%)Wewewa Barat 18 0Kodi 59 15Kota Tambolaka 29 5Kodi Balaghar 8 1Kodi Bangedo 5 0

Sumba BaratDaya

Kodi Utara 53 9Jumlah 172 30 (17,44%)

Lamboya Barat 11 5Wanukaka 68 42Tana Righu 21 13

Sumba Barat

Jumlah 100 60 (60%)TOTAL 2803 496

Page 26: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

22

kejadian SE surveillans dialihkan ke Kabupaten Lembata, serta pengambilan

sampel SE diintegrasikan dengan surveilans Anthrax dan Brucellosis.

Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan

dan sulit dijangkau serta keterbatasan dana yang ada, pengambilan sampel

dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan dinas

yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama

kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara

pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 6.169 sampel

serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.

IV. PEMBAHASAN

Data kejadian penyakit SE di wilayah kerja (Provinsi Bali, NTB dan NTT) selama

ini tidak pernah dilaporkan, hal ini belum tentu bisa mencerminkan situasi

dilapangan yang sebenarnya. Apakah memang benar tidak ada kasus atau ada

kasus namun tidak dilaporkan. Kalau dilihat dari hasil surveilans tahun 2014

menunjukan positif antibodi terhadap SE masih rendah (<70%). Hal ini bisa

disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya cakupan vaksinasi di

wilayah tersebut. Ada juga kemungkinan terjadi infeksi alam. Hal ini sulit

ditelusuri karena data vaksinasi pada masing-masing ternak sulit diperoleh.

Mengingat masih rendahnya mengakibatkan tingkat kekebalan ternak rentan

menjadi rendah, sehingga kemungkinan terjadinya kasus masih sangat besar.

Semakin tinggi prevalensi antibodi SE pada suatu kelompok ternak (Herd

Immunity) semakin kecil kemungkinan akan terjadinya wabah penyakit SE

(Sudana dkk., 1982).

Pada daerah yang melakukan vaksinasi SE namun hasil uji menunjukan positif

antibodi SE masih rendah (<70%), maka strategi vaksinasi di daerah endemik

perlu dikaji ulang. Menurut Sudana dkk., 1982 bahwa tinggi rendahnya

prevalensi antibodi SE disuatu kelompok ternak sangat dipengaruhi oleh

keberhasilan cakupan vaksinasi yang dilakukan disuatu wilayah.

Page 27: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

23

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum dari hasil surveilans SE di Pulau Nusa Penida kabupaten

Klungkung dan Pulau Lombok (Kabupaten Lombok Timur dan Kota Mataram)

memang tidak dilakukan program vaksinasi, mengingat Pulau Nusa Penida

dalam tahap program pemberantasan SE sedangkan pulau Lombok merupakan

pulau yang sudah bebas SE. Namun di Pulau Bali, Sumbawa, Flores, Timor

Sumba dan Pulau Sabu yang melakukan program vaksinasi hasil surveilans

tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa program vaksinasi SE belum optimal.

Mengingat rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat kekebalan

kelompok ternak rentan menjadi rendah kemungkinan terjadinya kasus di

lapangan sangat besar. Untuk itu disarankan vaksinasi SE agar tetap dilakukan

secara berkelanjutan dengan cakupan yang optimal serta tetap memperketat

pengawasan lalu lintas ternak.

Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan kabupaten/kota

diseluruh Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa

Tenggara Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan

tugas pelaksanaan surveilans ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Halaman 172-176.

Anonimus (2008), Haemorrhagic Septicaemia, OIE terrestrial manual 2008,chapter 2.4.12: 739-751.

Benkirane, A. And M.C.L. de Alwis (2002) Haemorrhagic Septicaemia, itsSignificance, Prevention and Control in Asia. Rev. Art. Vet. Med. Czech,47: 234-240.

Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982)Evaluasi II pilot proyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagicsepticaemia) di pulau lombok. Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewanwilayah VI Denpasar.

Page 28: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

24

Putra A. A. G. (2002) Surveilans dalam rangka pembebasan penyakit ngorok diPulau Nusa Penida, Sumbawa dan Sumba. Suatu surveilans. LaporanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner regional VI Denpasar.

Putra A. A. G. (1992) Monitoring zat kebal alami dan usaha isolasi Pasteurellamultocidapada sapi Bali di Pulau Lombok: Suatu surveilance. LaporanBPPH Wilayah VI Denpasar.

Page 29: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

25

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2014

I Ketut Narcana, A.A. Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Bali, Lombok dan Sumbawa sudahdinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT belum ada daerah bebasBrucellosis dan di Kabupaaten Belu vaksinasi Brucellosis masih tetap dilaksanakan. Untuk tetapdapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis maka diperlukan surveilans yangberkelanjutan sebagai langkah deteksi dini dalam rangka memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut.

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan denganmenggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stagerandom sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan DinasPeternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasie Kesehatan Hewan,dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar diwilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPTsebagai uji skrining jika ada positif antibodi brucella kemudian dilanjutkan dengan uji CFT.

Hasil pengujian terhadap sampel serum di Provinsi Bali dari 9 kabupaten sebanyak 2.753sampel serum dan di Provinsi NTB sebanyak 1.514 sampel serum semua sampel negatifantibodi brucella. Sedangkan sampel serum di Provinsi NTT sebanyak 1.957 (7 sampel positifCFT dari 199 sampel serum yang diuji dari Kabupaten Belu dan 1 sampel positif CFT dari 97sampel serum yang diuji dari Kabupaten TTU). Hasil uji ini belum bisa membedakan positif dariinfeksi alam atau dari vaksinasi karena data vaksinasi dari masing-masing hewan tidak jelas.Sehingga disarankan data vaksinasi agar tercatat dengan jelas. Untuk dapat mempertahankanPulau Bali, Lombok dan Sumbawa tetap sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukanpengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dan surveilans yang berkelanjutan.

Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, Lombok, Sumbawa, Belu dan TTU.

Page 30: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

26

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar BelakangBrucellosis merupakan salah satu dari penyakit hewan menular strategis di

Indonesia. Di Indonesia (secara serologis) dikenal pertama kali pada tahun 1935

yang ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Kuman Brucella abortus penyebab Brucellosis berhasil diisolasi pada tahun

1938. Pada tahun 1940 Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara

dan Aceh. Di Nusa Tenggara Timur, Brucellosis secara serologis pertama kali

dilaporkan/didiagnosa pada tahun 1986 (Putra, dkk 1995).

Saat ini kejadian Brucellosis secara serologis telah ditemukan di beberapa pulau

di Indonesia, kecuali Provinsi Bali yang dinyatakan bebas secara historis dan

Provinsi NTB yang telah berhasil dibebaskan melalui survei massal selama 3

tahun berturut-turut. Dari pengamatan perkembangan penyakit akhir-akhir ini,

kejadian Brucellosis di beberapa daerah di Indonesia cenderung semakin

meningkat baik dari segi jumlah (tingkat prevalensi atau insiden reaktor) maupun

dalam penyebarannya (distribusi), tentu hal ini sangat mengancam pertumbuhan

peternakan (sapi dan kerbau) (Putra, dkk, 2006). Brucellosis sudah dikenal

secara luas dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Putra,

2001). Pulau Lombok sudah dinyatakan bebas Brucellosis sejak tahun 2002 dan

Pulau Sumbawa tahun 2005. Untuk mempertahankan ketiga pulau tersebut

tetap sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukan surveilans yang

berkesinambungan, sebagai langkah deteksi dini.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur situasi Brucellosis berbeda antara satu pulau

dengan pulau lainnya, di pulau Timor terutama di Kabupaten Belu dan TTU

adalah merupakan daerah tertular berat Brucellosis di Pulau Timor. Prevalensi

reaktor Brucellosis yang sebenarnya di Kabupaten TTU dan Belu sangat sulit

digambarkan, sebab dikedua daerah ini telah dilakukan vaksinasi Brucellosis

sejak tahun 1993/1994 dengan menggunakan vaksin brucella Strain 19, untuk

hewan muda diberikan dosis penuh (full dose) sedangkan untuk dewasa

diberikan dosis yang diencerkan 1:40 dengan aquadest steril

(Soeharsono,1999). Dinas Peternakan Provinsi NTT pada tahun 2001

Page 31: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

27

melaporkan telah terjadi penurunan prevalensi menjadi sekitar 4% di Kabupaten

TTU dan sekitar 9% di Kabupaten Belu (Anon, 2001). Kabupaten Timor Tengah

Selatan dan Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular ringan dengan

prevalensi reaktor kurang dari 2%.

Di Pulau Folres diketahui bahwa ada pemasukan ternak sapi yang berasal dari

Pulau Timor ke wilayah Kabupaten Ende dan Ngada. Berdasarkan catatan

Dinas Peternakan setempat, di Kabupaten Ende belum pernah terdeteksi

adanya reaktor Brucellosis. Dengan pemasukan sapi asal Pulau Timor ini

menimbulkan kekhawatiran akan adanya penyebaran Brucellosis ke wilayah ini.

Untuk itu pada tahun 2006 BPPV Regional VI Denpasar melakukan monitoring

awal terhadap kemungkinan adanya reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende,

dengan melakukan survei serologis pada ternak sapi. Dari 94 sampel serum

yang diambil di Kabupaten Ende ternyata 1 diantaranya positif sebagai reaktor

secara CFT, sapi tersebut diketahui berasal dari desa yang merupakan daerah

distribusi bantuan sapi asal Pulau Timor sebelumnya, untuk itu perlu dilakukan

surveilans lanjutan yang lebih intensif untuk mengetahui prevalensi reaktor yang

sebenarnya dan reaktor positif dapat dieliminasi dengan cepat sehingga

penyebaran penyakit yang lebih luas dapat dihindari sedini mungkin.

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan Brucellosis

di wilayah kerja BBVet Denpasar sebagai berikut :

a. Belum diketahuinya perkembangan Brucellosis di wilayah kerja;

b. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

Provinsi NTB harus dipertahankan serta membebaskan Provinsi NTT

(khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;

c. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan

monitoring Brucellosis di wilayah kerja;

d. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

Page 32: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

28

1.3. Tujuan Kegiatana. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Brucellosis di wilayah

kerja;

b. Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau

Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB serta mendukung pembebasan

Provinsi NTT (khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;

c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.4. Manfaat Kegiatana. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Brucellosis di wilayah

kerja;

b. Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan

Sumbawa di Provinsi NTB serta terdeklarasikannya pembebasan

Provinsi NTT (khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;

c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

1.5. Outputa. Termonitor dan terpetakannya kejadian Brucellosis di wilayah kerja;

b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

c. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

Provinsi NTB tetap terjaga serta pembebasan Provinsi NTT (khususnya

Pulau Sumba) dari Brucellosis dapat terealisasi sesuai rencana.

Page 33: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

29

1.6. Outcomea. Tersedianya data yang lengkap untuk kepentingan pemetaan situasi

Brucellosis di wilayah kerja

b. Tetap terjaganya status bebas Brucellosis di Pulau Bali, Lombok dan

Sumbawa sehingga akan meningkatkan pendapatan petani ternak.

II. MATERI DAN METODE

Pengambilan Serum

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis

dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling

yang digunakan adalah multi stage random sampling. Tingkat kepercayaan yang

digunakan adalah 95 %, dengan asumsi prevalensi 0,1 %, populasi lebih dari

10.000 maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel metode

detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan

keterangan sebagai berikut ;

n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000maka diperoleh= 2995, sehingga besaran sampel minimal 2995 sampel.

Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan,

dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner puskeswan yang

tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Page 34: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

30

Perlakuan SampelKegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan

berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian sampel serum diuji

terhadap Brucellosis dengan uji RBPT apabila positif kemudian dilanjutkan

dengan uji Complement Fixation Test (CFT) di Laboratorium Bakteriologi Balai

Besar Veteriner Denpasar (IKP-Bak No 1; Anon, 1999, OIE ,2009).

III. HASIL

Hasil Uji SerologisHasil Uji serologis RBPT dan CFT di wilayah kerja BBVet Denpasar seperti pada

Tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi BaliNO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH

SAMPELHASIL UJI

RBPT

Kediri 31 NegatifPenebel 25 NegatifSelemadeg 52 NegatifSelemadeg Barat 31 NegatifPupuan 50 NegatifBaturiti 54 Negatif

1 Tabanan

Jumlah 243 NegatifKintamani 237 NegatifTembuku 70 NegatifBangli 80 Negatif

2 Bangli

Jumlah 387 NegatifBebandem 49 NegatifAbang 20 NegatifRendang 56 NegatifKubu 24 NegatifManggis 91 NegatifKarangasem 98 Negatif

3 Karangasem

Jumlah 338 NegatifSeririt 20 NegatifTejakula 60 NegatifGerokgak 70 NegatifBuleleng 27 NegatifBanjar 31 NegatifBusungbiu 27 NegatifKubutambahan 21 NegatifSukasada 21 Negatif

4 Buleleng

Jumlah 277 Negatif

Page 35: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

31

Banjarangkan 91 NegatifNusa Penida 51 NegatifKlungkung 141 NegatifDawan 51 Negatif

5 Klungkung

Jumlah 334 NegatifMelaya 69 NegatifMendoyo 67 NegatifNegara 73 NegatifJembrana 82 NegatifPekutatan 360 Negatif

6 Jembrana

Jumlah 651 NegatifBelahbatuh 15 NegatifPayangan 22 NegatifGianyar 31 NegatifTegalalang 18 Negatif

7 Gianyar

Jumlah 86 NegatifMengwi 206 NegatifPetang 24 NegatifAbiansemal 105 NegatifKuta Utara 50 Negatif

8 Badung

Jumlah 385 NegatifDenpasar Timur 11 NegatifDenpasar Utara 41 Negatif

9 Denpasar

Jumlah 52 NegatifTotal 2753 Negatif

Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB

KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

HASIL UJIRBPT

Pringarata 166 NegatifPraya Tengah 34 Negatif

Lombok Tengah

Jumlah 200 NegatifGerung 100 NegatifLombok Barat

Junlah 100 NegatifAikmal 191 NegatifSuralaga 92 Negatif

Lombok Timur

Jumlah 283 NegatifSekar Bela 199 NegatifAmpenan 23 NegatifSundubaya 24 NegatifMataram 31 Negatif

Mataram

Jumlah 277 NegatifLunyuk 100 NegatifSumbawa Besar

Jumlah 100 NegatifBrang Ene 103 NegatifSumbawa Barat

Jumlah 103 NegatifManggalewa 123 NegatifDompu 100 NegatifWoja 33 NegatifPajo 48 Negatif

Dompu

Jumlah 304 Negatif

Page 36: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

32

Raba 59 NegatifAsakota 45 NegatifMpunda 43 Negatif

Kota Bima

Jumlah 147 NegatifTotal 1514 Negatif

Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT

HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL RBPT CFT

Tasifeto Barat 48 4 (positif) 4 (positif)Raimanuk 70 1 (positif) 1 (positif)Tasifeto Timur 41 2 (positif) 2 (positif)Kakuluk Mesak 31 Negatif NegatifLasiolat 17 Negatif Negatif

Belu

Jumlah 199 7 (positif) 7 (positif)Kota Kefa 97 1 (positif) 1 (positif)TTU

Jumlah 97 1 (positif) 1 (positif)Amanuban Selatan 100 Negatif NegatifSalbait 152 Negatif Negatif

TTS

Jumlah 252 Negatif NegatifKota Lama 100 Negatif NegatifKota Kupang

Jumlah 100 Negatif NegatifNubatukan 25 Negatif NegatifLembatukan 127 Negatif NegatifNagawutung 39 Negatif Negatif

Lembata

Jumlah 191 Negatif NegatifSabu Barat 59 Negatif NegatifSabu Timur 23 Negatif NegatifSabu Tengah 55 Negatif Negatif

Saburaijua

Jumlah 137 Negatif NegatifAlor Timur 54 Negatif NegatifAlor

Jumlah 54 Negatif NegatifLarantuka 31 Negatif NegatifLewolema 36 Negatif NegatifTitehena 156 Negatif Negatif

Flores Timur

Jumlah 223 Negatif NegatifTalibura 100 Negatif NegatifSikka

Jumlah 100 Negatif NegatifRote Barat Daya 44 Negatif NegatifRotendao

Jumlah 44 Negatif NegatifRiung Barat 50 Negatif NegatifBajawa 10 Negatif NegatifGolewa 50 Negatif NegatifGolewa Barat 193 Negatif Negatif

Ngada

Jumlah 303 Negatif NegatifWolowa 130 Negatif NegatifNagekeo

Jumlah 130 Negatif Negatif

Page 37: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

33

Surveilans Brucellosis di NTT yang direncanakan sesuai dengan TOR di

Kabupaten Manggarai Timur namun tidak dilakukan di kabupaten tersebut

karena ada permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata sehubungan

adanya pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Lembata belum

pernah terdeteksi Brucellosis, untuk deteksi dini kejadian Brucellosis surveilans

dialihkan ke Kabupaten Lembata. Pengambilan sampel Brucellosis

diintegrasikan dengan surveilans Anthrax dan SE.

Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan

dan sulit dijangkau serta dengan keterbatasan dana yang ada, pengambilan

sampel dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan

dinas yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama

kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara

pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 6.347 sampel

serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.

Sanonggoang 34 Negatif NegatifKomodo 53 Negatif NegatifWelak 28 Negatif NegatifLembor 19 Negatif Negatif

Manggarai Barat

Jumlah 134 Negatif NegatifRuteng 50 Negatif NegatifWae Rii 24 Negatif NegatifLangke 10 Negatif Negatif

Manggarai

Jumlah 84 Negatif NegatifKambera 32 Negatif NegatifSumba Timur

Jumlah 32 Negatif NegatifTotal 2.080 8 (positif) 8 (positif)

Page 38: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

34

IV. PEMBAHASAN

Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok,

berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal

selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa

pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama (Putra,dkk.,

2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah

dimusnahkan atau di potong paksa.

Hasil monitoring Brucellosis tahun 2014 di Provinsi Bali dari 2.753 sampel serum

menunjukan negatif antibodi brucella. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa

Tenggara Barat, menunjukkan bahwa dari 1.514 sampel serum yang diuji

berasal dari Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif

mengandung antibodi brucella. Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini

Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari Brucellosis.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Kabupaten Belu sebanyak 7 (3,5%) sampel positif CFT dari

199 sampel serum yang diuji. Dari hasil pengujian di kabupaten tersebut ada

positif CFT namun tidak bisa dibedakan positif dari infeksi alam atau dari

vaksinasi, karena data vaksinasi dari masing-masing ternak tidak jelas. Di

Kabupaten TTU tidak melakukan vaksinasi brucella hasilnya 1 sampel positif

CFT sudah dilakukan test and slaughter. Sedangkan di TTS, Kota Kupang,

Lembata, Sabu Raijua, Alor, Flores Timur, Sikka, Rotendao, Ngada, Nagekeo,

Manggarai Barat, dan Manggarai yang tidak melakukan vaksinasi hasilnya

menunjukan negatif antibodi brucella. Namun demikian, perlu tetap waspada

mengingat hasil surveilans BPPV Regional VI Denpasar tahun 2006 dari 94

sampel serum 1 sampel serum sapi diantaranya positif sebagai reaktor secara

CFT, sapi tersebut diketahui berasal dari desa yang merupakan daerah distribusi

bantuan sapi asal Pulau Timor sebelumnya (Dartini, dkk 2007).

Page 39: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

35

Untuk mempertahankan status bebas suatu wilayah perlu dilakukan surveilans

secara berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif guna

mengetahui sedini mungkin apabila masih ada Brucellosis, serta memperketat

lalu lintas ternak.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil surveilans yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil uji

terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat

menunjukan negatif antibodi brucella, hal ini mengindikasikan bahwa sampai

saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari Brucellosis. Untuk dapat

mempertahankan sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukan

pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dan surveilans yang

berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif sebagai langkah deteksi

dini dalam rangka memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di

wilayah tersebut sehingga ada acuan oleh instansi terkait dalam mengambil

kebijakan.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Kabupaten Belu sebanyak 7 (3,5%) sampel positif CFT dari

199 sampel serum yang diuji. Dari hasil pengujian di kabupaten tersebut ada

positif CFT namun tidak bisa dibedakan apakah positif dari infeksi alam atau dari

vaksinasi. Sedangkan di TTS, Kota Kupang, Lembata, Sabu Raijua, Alor, Flores

Timur, Sikka, Rotendao, Ngada, Nagekeo, Manggarai Barat, dan Manggarai

tidak ditemukan reaktor Brucellosis. Guna menghindari penyebaran yang lebih

luas, pada daerah tertular perlu dilakukan pegawasan terhadap lalulintas ternak

terutama untuk ternak bibit.

Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan Provinsi Bali,

Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah

membantu terselanggaranya surveilans ini.

2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan

tugas pelaksanaan surveilans ini.

Page 40: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

36

DAFTAR PUSTAKA

Anon (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Halaman 59-84.

Anon (2001), Evaluasi Pemberantasan Brucellosis di pulau Timor Propinsi NusaTengga Timur tahun 2000. Dinas Peternakan Propinsi Nusa tenggaraTimur.

Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di KabupatenEnde dan Kabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.

Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikandan Pengujian Veteriner regional VI Denpasar.

OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11

Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995).Prevalensi dan Distribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggarapada Tahun1994 – 1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.

Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosisterhadap pendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekananpada Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.

Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B.,(2006). Evaluasi akhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau diPulau Sumbawa, Bulletin Veteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol.XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

Soeharsono (1999) Laporan monitoring hasil vaksinasi brucellosismenggunakan dosis penuh dan dosis yang diencerkan di KabupatenBelu, NTT.

Page 41: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

37

PROGRAM PEMBERANTASAN BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

TAHUN 2014

I Ketut Narcana, A.A. Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini, belum ada wilayah yang dinyatakansebagai daerah bebas Brucellosis. Namun di Pulau Sumba dilihat dari prevalensi reaktorBrucellosis masih rendah di bawah 1%, memiliki potensi yang cukup besar terhadap kemungkinanbebas dari Brucellosis. Tiindakan pemberantasan merupakan upaya terbaik sebelum berkembangmenjadi yang lebih besar. Dalam rangka program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumbamaka pada tahun 2014 dilakukan surveilans pengambilan dan pengujian sampel serum sapi/kerbauumur 1 tahun atau lebih, diuji secara serologis untuk mendapatkan data prevalensi reaktor yanglebih akurat. Dengan lokasi pengambilan sampel diutamakan di desa yang belum diambil dandiuji sampelnya di tahun 2012 dan 2013 sebanyak 80 desa. Kegiatan ini juga dikoordinasikandengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/KasiKesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner puskeswan yangtersebar di wilayah kerja khususnya di Pulau Sumba Provinsi NTT. Sampel serum diuji secaraRBPT sebagai uji skrining jika ada positif antibodi brucella kemudian dilanjutkan dengan uji CFT.Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebihtelah diperiksa serumnya menunjukan hasil negatif antibodi terhadap Brucella abortus. Seluruhserum diambil di dari 425 jumlah desa yang ada di Pulau Sumba telah diperiksa dan semua desadalam status monitoring negatif. Selama pengambilan sampel serum dilaksanakan tidakditemukan adanya hewan yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan datakeseluruhan dengan hasil pengujian sampel serum negatif antibodi brucella maka Pulau Sumbasangat memungkinkan untuk dibebaskan dari Brucellosis. Mengingat telah memenuhipersyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggi-tingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis

Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.

Page 42: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

38

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar BelakangPulau Sumba dengan luas wilayah 10.710 km2, saat ini terbagi menjadi empat

kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya (11 kecamatan, 131 desa),

Sumba Barat (6 kecamatan, 73 desa), Sumba Tengah (5 kecamatan, 65 desa)

dan Sumba Timur (22 kecamatan, 159 desa). Di Pulau Sumba pertama kali

dilaporkan kejadian brucellosis pada tahun 1996 positif pada uji RBT,

selanjutnya positif pada uji CFT pada tahun 1997 yaitu di Kabupaten Sumba

Timur ( Putra, dkk.,1997).

Pulau Sumba memiliki potensi yang cukup besar terhadap kemungkinan bebas

dari Brucellosis dilihat dari prevalensi reaktor Brucellosis masih rendah di bawah

1%, tindakan pemberantasan merupakan upaya terbaik sebelum berkembang

menjadi yang lebih besar. Menurut Putra, dkk 2002, arah pembrantasan

sebaiknya bertumpu pada desa dengan memandang jumlah ternak (sapi/kerbau)

yang ada di suatu desa sebagai satu kawanan ternak (herd) atau satu unit

epidemiologi. Keberhasilan dari program pembrantasan, selanjutnya dapat

dievaluasi berdasarkan penetapan status desa, yang dibedakan menjadi 9 status

desa. Klasifikasi status desa ini akan sangat bermanfaat sebagai tolak ukur dalam

penilaian kemajuan program pemberantasan. Demikian halnya dalam

pembrantasan Brucellosis di Pulau Sumba mengacu pada pola pembrantasan

Brucellosis di Pulau Lombok. Dalam rangka program pemberantasan Brucellosis

di Pulau Sumba maka pada tahun 2014 dilakukan surveilans pengambilan dan

pengujian sampel serum sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih, diuji secara

serologis untuk mendapatkan data prevalensi reaktor yang lebih akurat.

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan Brucellosis

di Pulau Sumba sebagai berikut :

1. Belum diketahuinya perkembangan terakhir Brucellosis di Pulau Sumba,

NTT;

2. Walaupun prevalensi Brucellosis cendrung menurun di pulau Sumba namun

pernah terdeteksi adanya reaktor pada tahun 1997 (RBPT), tahun 2002 di

Page 43: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

39

Sumba Timur (CFT), 2009 di Sumba Barat (CFT), di Sumba Timur 2011

(RBPT) dan di Sumba Tengah 2012 (RBPT) tetapi negatif CFT berdasarkan

uji BBVet Denpasar.

3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka pemberantasan

Brucellosis di Pulau Sumba, NTT;

4. Belum terbinanya Puskeswan di Pulau Sumba, NTT secara intensif.

1.3. Tujuan Kegiatan1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian terbaru Brucellosis di Pulau

Sumba, Nusa Tenggara Timur;

2. Memberantas Brucellosis di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur;

3. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

4. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Pulau

Sumba, Nusa Tenggara Timur.

1.4. Manfaat Kegiatan1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Brucellosis di Pulau Sumba,

Nusa Tenggara Timur;

2. Terberantasnya Brucellosis di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur;

3. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

4. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di

Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian Brucellosis di Pulau Sumba;

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Pulau Sumba,

NTT;

Page 44: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

40

3. Terdeklarasikannya Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis serta

terciptanya lingkungan peternakan dan tersedianya produk hewan yang

bebas Brucellosis.

1.6. Out come1. Tersedianya data yang lengkap untuk kepentingan pemetaan situasi

Brucellosis di Pulau Sumba.

2. Bebasnya Pulau Sumba dari Brucellosis.

II MATERI DAN METODE

MateriDalam pelaksanaan program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba pada

tahun 2014 dilakukan pengambilan sampel serum sapi/kerbau dan diuji secara

serologis untuk mendapatkan data prevalensi yang lebih akurat. Sampel serum

dipisahkan dari klotnya, selanjutnya diuji terhadap antibodi Bucella abortus

dengan uji Rose Bengal Plate Test (RBPT), bila positif RBPT dilanjutkan dengan

uji Complement Fixation Test (CFT) (Alton et al., 1986).

MetodeProgram pemberantasan yang diterapkan di Pulau Sumba adalah test and

slaughter karena prevalensi < 2 % sesuai OIE. Surveilans dilakukan dengan

mengambil spesimen serum dari sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun. Spesimen

serum diuji secara bertahap yaitu uji RBPT sebagai uji pendahuluan/screening

dan apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan uji CFT

(Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan sebagai

reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi oleh

petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil kemudian

dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi bakteri

Brucella abortus.

Page 45: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

41

Pengambilan serum dilakukan pada seluruh populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1

tahun. Unit pengamatan yang digunakan adalah desa. Jadi pengambilan serum

dilakukan di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba. Pada tahun 2014 lokasi

pengambilan sampel diutamakan di desa yang belum diambil dan diuji

sampelnya di tahun 2012 dan 2013 yaitu sebanyak 80 desa. Apabila ditemukan

reaktor di suatu desa, maka di seluruh populasi sapi dan kerbau ≥ 1 tahun di

desa tersebut dilakukan pengambilan ulang sampel serum dan diuji kembali

untuk meyakinkan bahwa tidak ada lagi reaktor di desa tersebut. Pengambilan

sampel serum juga dilakukan di desa terdekat dengan desa tertular dan di desa

lainnya yang dicurigai merupakan desa lokasi penyebaran sapi bibit yang

berasal dari desa tertular. Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh

Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi

Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner

puskeswan yang tersebar di wilayah kerja khususnya di Pulau Sumba Provinsi

NTT.

Page 46: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

42

III. HASIL

Hasil Uji SerologisSejak hasil uji CFT positif di Pulau Sumba survei/monitoring terus dilakukan

sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada tahun 2012,

2013 dan 2014 (data hasil uji terinci dalam lampiran 1 dan 2). Dalam rangka

program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba telah dilakukan pengambilan

sampel serum sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih, diuji secara serologis untuk

mendapatkan data prevalensi reaktor yang lebih akurat. Pada tahap kedua

program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba tahun 2014 rencananya

dilakukan pengambilan spesimen sebanyak 5.400 spesimen. Namun demikian,

jumlah spesimen yang dapat diambil secara keseluruhan 6.928 spesimen (Tabel

1). Hasil pengujian menunjukan bahwa 1 (satu) spesimen dari Sumba Barat

positif dengan uji RBT tetapi setelah dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya

negatif. Di bulan Mei tahun 2014 telah dilakukan penelusuran kembali di desa

tertular (positif CFT di desa Patawang) dengan pengambilan 41 spesimen serum

sapi dan semuanya negatif antibodi brucella.

Tabel 1. Hasil Surveillans Brucellosis Pulau Sumba Tahun 2014

Jumlah Spesimen Sapi/kerbau ≥ 1 thnPelaksanaKerbau

BtnKerbau

JtnSapiBtn

Sapi JtnTotal Hasil Uji

Disnak Sumba Barat Daya 826 318 70 19 1233 NegatifDisnak Sumba Barat 526 0 37 0 563 NegatifDisnak Sumba Tengah 292 87 123 38 540 NegatifDisnak Sumba Timur 1170 483 1315 570 3538 NegatifKontrol BB-Vet Denpasar 127 156 135 48 466 NegatifPemantauanKarantina Kupang 335 140 66 47 588 1 (+) RBT,

(-) CFTJumlah 3276 1184 1746 722 6928Total 4460 2468

Page 47: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

43

Tabel 1a. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun2014

Jumlah SampelKecamatanDisnak

Sumba Barat DayaBB-Vet

DenpasarBPK

Kelas IKupang

TotalHasil UjiRBPT

Kodi 107 59 12 178 NegatifKodi Utara 193 33 0 226 NegatifKodi Blaghar 262 0 0 262 NegatifKodi Bangedo 60 0 0 60 NegatifKota Tambolaka 289 0 41 330 NegatifLaura 33 0 0 33 NegatifWewewa Tengah 0 130 0 130 NegatifWewewa Timur 0 1 0 1 NegatifWewewa Barat 289 0 0 289 NegatifWewewa Selatan 0 0 97 97 NegatifWewewa Utara 0 0 0 0 Negatif

Jumlah 1233 223 150 1606 Negatif

Tabel 1b. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Barat Tahun 2014

Jumlah Sampel Hasil UjiKecamatanDisnakSumbaBarat

BB-VetDenpasar

BPK Kelas IKupang

Total RBT CFT

Kota Waiakabubak 80 0 0 80 Negatif NegatifLoli 106 0 153 259 Positif 1 NegatifTana Righu 85 0 0 85 Negatif NegatifLamboya 100 0 0 100 Negatif NegatifLamboya Barat 112 0 0 112 Negatif NegatifWanokaka 80 0 0 80 Negatif NegatifJumlah 563 0 153 716 Negatif Negatif

Tabel 1c. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Tengah Tahun 2014

Jumlah SampelKecamatanDisnak

Sumba TengahBB-Vet

DenpasarBPK Kelas I

KupangTotal

Hasil UjiRBPT

Katikutana 70 0 0 70 NegatifKatikutana Selatan 180 0 0 180 NegatifMamboro 90 0 154 244 NegatifUmbu Ratu Ngae Barat 50 0 0 50 NegatifUmbu Ratu Ngae 150 0 0 150 NegatifJumlah 540 0 154 694 Negatif

Page 48: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

44

Tabel 1d. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Timur Tahun 2014

Jumlah SampelKecamatan Disnak

Sumba TimurBB-Vet

DenpasarBPK Kelas I

KupangTotal Hasil Uji

RBPT

Matawai La Pawu 46 0 0 46 NegatifPandawai 0 0 0 0 NegatifHaharu 369 0 0 369 NegatifKahaungu Ety 240 0 0 240 NegatifKatala Hamu Lingu 62 0 0 62 NegatifKambata Mapambuhang 0 0 0 0 NegatifKanatang 50 0 0 50 NegatifLewa 150 0 0 150 NegatifUmalulu 0 41 0 41 NegatifNgadu Ngala 83 0 0 83 NegatifRindi 100 0 0 100 NegatifPinupahar 350 0 0 350 NegatifNggaha Ori Angu 186 0 0 186 NegatifKarera 331 0 131 462 NegatifLewa Tidahu 55 0 0 55 NegatifTabundung 200 0 0 200 NegatifKambera 216 0 0 216 NegatifKota Waingapu 230 0 0 230 NegatifPahunga Lodu 250 110 0 360 NegatifWulla Waijellu 200 0 0 200 NegatifMahu 143 0 0 143 NegatifPaberiwai 277 92 0 369 NegatifJumlah 3538 243 131 3912 Negatif

Data Status Desa di Pulau SumbaDari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa

yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan 1 reaktor Brucellosis, yaitu

di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan

dikategorikan sebagai desa tertular. Tahun 2014 telah dilakukan penelusuran

pada desa tertular tersebut dan hasilnya negatif, sehingga bisa dikategorikan

sebagai desa monitoring negatif.

Hasil surveillans terstruktur program pemberantasan Brucellosis dari tahu 2012

sampai bulan Juli tahun 2014 seluruh desa yang ada di Pulau Sumba (426 desa)

telah diperiksa, dengan kategorikan sebagai desa monitoring negatif 187 dan

desa sebagai desa uji masal negatif 239 desa (Tabel 2).

Page 49: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

45

Tabel 2. Data Status Desa-Desa di Pulau Sumba terhadap Brucellosis

KabupatenNo Satus Desa Sumba

Barat DayaSumbaBarat

SumbaTengah

SumbaTimur

JumlahTotal

1 Belum Diperiksa2 Dicurigai3 Historis Bebas4 Uji Masal Negatif 67 55 41 76 2395 Monitoring Negatif 64 19 24 80 1876 Tertular7 Karantina8 Bebas sementara9 Dinyatakan bebas

Jumlah 131 74 65 156 426

Hasil Pengamatan Gejala Klinis BrucellosisBerdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan

petugas surveillans BBVet Denpasar selama program pemberantasan tidak

ditemukan adanya gejala klinis yang mengarah ke Brucellosis, seperti

keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun

gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.

Vaksinasi BrucellosisSesuai ketentuan OIE, dimana daerah prevalensi diatas 2% dilakukan program

vaksinasi dan prevalensi di bawah 2% dilakukan test and slaughter. Mengingat

prevalensi Brucellosis di Pulau Sumba rendah dibawah 2%, sehingga

pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba diterapkan test and slaughter dan

di Pulau Sumba tidak pernah dilakukan program vaksinasi Brucellosis.

Page 50: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

46

IV. PEMBAHASAN

Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012

selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan

pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah

desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba (lampiran 1). Hasil uji spesimen

tahun 2012 terhadap 3.165 spesimen, masing-masing berasal dari, Kabupaten

Sumba Barat Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba

Barat sebanyak 813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah

sebanyak 843 spesimen (dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan

dengan uji CFT hasilnya negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen,

hasilnya negatif RBPT. Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan

program pembebasan Brucellosis selanjutnya di tahun 2013.

Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi

dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun sebanyak 49.571, terdiri dari 47.021

spesimen yang diambil oleh Disnak se kabupaten di Pulau Sumba dan 2.550

spesimen yang diambil oleh BBVet Denpasar, dengan hasil pengujian semuanya

negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di 346 desa

dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina Pertanian

Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian spesimen untuk

Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu spesimen diantaranya

positif antibodi Brucellosis secara CFT. Berdasarkan hasil tersebut, maka

BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan lokasi pengambilan

spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP Kelas I Kupang dan

Dinas peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran tersebut diketahui

bahwa spesimen tersebut diambil dari Desa Patawang, Kecamatan Umalulu,

Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut BB-Vet Denpasar, Disnak

Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan penelusuran kembali dengan

pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa Petawang dan desa-desa yang

kemungkinan pernah menerima ternak dari Desa Petawang, yakni Desa

Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa Hanggororu Kecamatan Rindi dan

Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota Waingapu. Dari 233 sampel yang

diambil, hasilnya semua negatif sebagai reaktor. Untuk klarifikasi terhadap

Page 51: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

47

status desa tersebut, maka pada tahun 2014 dilakukan pengambilan spesimen

kembali di lokasi ditemukan CFT tersebut.

Pada tahap kedua tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan

spesimen di 80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang

bersetatus monitoring negatif serta pengambilan spesimen di 1 desa tertular

(lokasi positif CFT hasil uji tahun 2013). Adapun hasil penelusuran di lokasi

positif CFT, pada tahun 2014 diambil dan diperiksa spesimen dengan hasil uji

RBT negatif. Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928

(sapi/kerbau) spesimen menunjukan 1 spesimen dari Sumba Barat positif RBPT

namun dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya negatif. Sedangkan spesimen yang

lainnya menunjukan hasil yang negatif.

Berdasarkan penilaian status desa (data per Juli 2014) dapat disimpulkan

sebagai berikut, dari 426 desa yang ada di pulau Sumba : 187 (43,90%) desa

dengan status monitoring negatif, 239 (56,10%) sebagai desa dengan uji massal

negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.

Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se-Pulau Sumba dan hasil pengamatan

petugas surveillans BBVet Denpasar selama program pemberantasan tidak

ditemukan adanya gejala klinis yang mengarah ke Brucellosis, seperti

keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun

gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis. Pengawasan lalu lintas ternak dari

satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba perlu dilakukan secara ketat, hal ini

dilakukan untuk mempertahankan status desa yang sudah diketahui, mengingat

antara desa yang satu dengan desa yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam

satu daratan yang lalu lintas ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan

pengawasan. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius,

untuk hal tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan

setelah Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

Page 52: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

48

Penetapan status desa, sebagian desa dengan status uji massal negatif sudah

merupakan desa bebas Brucellosis karena banyak dari desa tersebut sudah diuji

massal lebih dari sekali. Kurang akuratnya data populasi ternak antar waktu

pengambilan sampel, menjadi salah satu kendala yang dapat membuat kurang

akuratnya penilaian status desa apakah tergolong sebagai desa dengan status

uji massal negatif atau monitoring negatif. Hal tersebut menyebabkan pengertian

massal dapat saja tidak konsisten pelaksanaannya pada berbagai kondisi

lapangan. Walaupun demikian pengambilan sampel darah di setiap desa

setidak-tidaknya sudah dapat memenuhi tingkat kepercayaan 95%, sehingga

dapat dikatakan mewakili populasi ternak yang ada di setiap desa.

Berdasarkan hasil data pengambilan dan pengujian spesimen secara terstruktur

dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, secara keseluruhan jumlah

spesimen yang diambil oleh BBVet Denpasar, Dinas Peternakan se-Pulau

Sumba dan BKP Kelas I Kupang adalah sebanyak 60.809 spesimen, dengan

hasil uji seluruh spesimen negatif. Sesuai ketentuan OIE (Chapter 11.3 of the

OIE Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines (OIE, 2009), bahwa

negara/wilayah yang dikategorikan sebagai daerah bebas Brucellosis jika telah

memenuhi persyaratan antara lain :

1. Brucellosis atau yang dicurigai Brucellosis wajib dilaporkan.

2. Seluruh ternak disuatu wilayah dibawah pengawasan petugas yang

berwenang dan prevalensi reaktor tidak lebih dari 0,2%.

3. Uji serologis dilakukan secara berkala dalam setiap kelompok ternak.

4. Semua reaktor sudah dipotong.

5. Pemasukan ternak baru hanya berasal dari daerah bebas Brucellosis.

Mengacu pada persyaratan tersebut diatas, maka Pulau Sumba sudah

memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi pulau bebas Brucellosis khususnya

pada sapi dan kerbau. Untuk dapat tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas

Brucellosis diperlukan komitmen yang kuat dari semua instansi terkait, dan

tertuang dalam regulasi yang jelas.

Page 53: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

49

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanBerdasarkan hasil pengujian Brucellosis tahun 2012 – 2014 di Pulau Sumba

dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Prevalensi reaktor Brucellosis di Pulau Sumba adalah 0%.

2. Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 (43,90%) desa

dengan status monitoring negatif, 239 (56,10%) sebagai desa dengan uji

massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.

3. Pulau Sumba yang terdiri dari Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat,

Sumba Tengah dan Sumba Timur dapat diusulkan sebagai pulau bebas

Brucellosis.

Saran-Saran1. Langkah pembebasan sudah memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi

sehingga Pulau Sumba Bebas Brucellosis Tahun 2014. Namun demikian

diperlukan komitmen yang kuat dari semua instansi terkait, dan tertuang

dalam regulasi yang jelas.

2. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius, untuk hal

tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah

Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

3. Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba telah

mendapatkan status bebas Brucellosis.

Ucapan terimakasihTerimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan Provinsi NTT, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba

Tengah dan Sumba Timur, yang telah membantu dalam pengumpulan data,

pengambilan sampel dan pendampingan selama surveilans. Ucapan yang

sama juga kami sampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas

fasilitas dan dukungan yang diberikan dalam pelaksanaan surveilans ini.

Page 54: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

50

DAFTAR PUSTAKA

Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M.; (1986). Techniques for TheBrucellosis Laboratory. Hal.81-87.

Anonimus, (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Halaman 59-84.

Anonimus, (2010), Brucellosis. chapter 2.4.2 : 1 - 15.

Putra, A.A.G.; Arsani, N.M. dan Sudianta, W. (2002), BRUCELLOSIS, Programdan Evaluasi Pembrantasan di Pulau Lombok Nusa TenggaraBarat.

Sudana, I.G., Soeharsono dan Malote, M. (1980) Laporan Penyidikan PenyakitHewan di Perwakilan Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten SumbaTimur.

Page 55: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

51

Lampiran 1.Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2012

No Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi

PopulasiKerbau

EstimasiPopulasi Sapidan Kerbau

≥ 1 ThnI Sumba Kodi Ate Dalo 89 373 286

Barat Daya Bondo Kodi 64 159 155Hamonggolele 8 135 78Homba Rande 3 64 45Kapaka Madeta 9 91 67Kawangohari 6 20 15Koki 8 111 47Mali iha 50 138 130Onggol 4 105 55Pero Batang 40 165 144Wura Homba 0 61 41Tanjung Karoso 28 25 21Watu WonaPero Konda 35 3 15

Jumlah 281 1422 10162 Dinjo 1 39 26Kodi

BangedoLete Loko 48 222 164

Mata Kapore 0 78 45Rada Loko 0 41 24Umbu Ngedo 40 118 99Wai Kadada 8 226 134Wailangira 5 128 99Walandimu 1 43 25Wai Paddi 0 53 21Wikaninyo 21 92 45Mere Kehe 3 57 24Delu Depa 0 46 18

Jumlah 103 895 6163 Kodi Utara Bila Cenge 30 11 87

Bukambero 63 50 79Hoha Wungo 16 65 54Homba Karipit 8 37 29Kalena Rongo 105 262 212Kendu Wela 27 92 59Kori 43 193 160KuduetaManggaNipi 52 92 80Noha 46 19 49Wai Holo 5 76 60

Page 56: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

52

Waila Bubur 33 44 48Mago LinyoHomba PareHameli AteKadaghu TanaWaitamuWeda

Jumlah 634 941 9174 Kodi Blaghar Kahale 12 119 82

Karang indah 4 2 2Manutoghi 0 83 33Panenggo Ede 1 164 89Tana mete 38 97 54Wailang ira 8 106 45Rada Malanda 9 64 29Waikarara 0 76 25Wee Makaha 11 36 18Waimaringi 0 48 19Waiha 7 108 73Wainyapu 4 126 93

Jumlah 24 563 3625 Loura Bondo Boghila 72 127 206

Karuni 86 239 237Lete Konda 125 162 294Ramma Dana 96 180 204Totok 7 100 61Wee Mananda 13 82 57Wee Pangali 122 276 150Wee Tobula 5 40 25Loko KaladaPogo Tena

Jumlah 526 1206 13846 Kabali Dana 45 177 117Wewewa

Barat Kalimbu Tillu 4 257 100Kalimbu Weri 23 176 134Marokota 78 502 376Menne ate 7 203 145Raba Ege 1 177 120Reda Pada 42 221 179Waimangura 47 137 70Wali Ate 9 136 77Watu Labara 1 117 45Wee Kombaka 4 206 147Weerera 78 279 112Lage Ete 27 153 72KalembuKanaka 9 105 45

Page 57: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

53

Luo Koba 34 154 75Wee Kura 11 113 49Kalaki Kambe 33 117 60

Jumlah 339 2588 18437 Bondo Bela 280 170Wewewa

Selatan Bondo Ukka 1 141 94Buru Deilo 3 294 191Buru Kaghu 37 264 165Delo 13 463 309Denduka 10 329 238Mila AteTena Teke 8 227 156Weri Lolo 14 318 176Umbu WangoMandundoRita Baru

Jumlah 86 2316 14998 Dangga Mango 25 128 88Wewewa

Timur Dikira 26 115 91Kalembu ndaramane 2 327 177

Lete kamouna 115 69Mareda kalada 3 163 103Mata mpayu 4 112 60Pada ewata 1 144 78Tema Tana 9 183 114Wee lima 7 116 88Wee limbu 25 195 137

Jumlah 102 1598 10059 Mali mada 2 43 21Wewewa

Utara Mataloko 3 51 40Puu Potto 0 26 12Wano Talla 0 27 18Wee Namba 4 41 23Wee Paboba 17 121 70

Jumlah 26 309 18410 Bolora 9 140 63Wewewa

Tengah Ekapata 0 216 136Kenelu 0 135 87Kalingara 0 96 51Lombu 0 183 115Ombarade 0 199 123Tanggaba 4 138 77Wee Patonda 12 351 206Wee rame 40 214 146Weekokora 4 115 72

Jumlah 69 1787 1076

Page 58: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

54

11 Kadi Pada 74 214 180KotaTambolaka Kalembu Kaha 37 95 82

Kalenawanno 58 62 82Langga Lerro 19 64 46Radamata 87 83 91Wee rena 78 279 224Wee Londa 37 54 52Watu Kawula 99 183 161Waitabula 5 40 25Wee Pangali

Jumlah 494 1074 943Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat Daya

Page 59: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

55

Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba BaratTahun 2012

No.

Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi

PopulasiKerbau

Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau

≥ 1 Thn

IISumbaBarat

KotaWaikabubak

KampungSawah 0 1 1

Kampung Baru 1 52 27Kalembu Kuni 36 253 157Kodaka 27 271 139Komerda 0 1 1Lapale 1 18 10Maliti 0 19 8Moduwaimaringi 12 176 79

Pada Eweta 0 15 6Puu Mawo 1 61 33Sobarade 48 142 112Tebara 0 363 189WailiangJumlah 130 1530 856

2 Lamboya Bodo Hulla 51 301 199Kabu Karudi 5 156 127Laboya Bawa 0 204 116Laboya Dete 2 161 92Palamoko 1 50 34Patiala Bawa 17 204 130Rajaka 1 196 101Ringu Rara 2 152 82Sodana 14 139 98Watu Karere 1 324 184Welibo 4 370 228Jumlah 98 2257 1391

3 Lamboya Barat Gaura 42 602 311Harona Kalla 34 69 48Patiala Dete 24 111 79Wetana 34 829 466WetanaJumlah 134 1611 904

4 Loli Baliledo 6 43 25Beradolu 10 105 54Dedekadu 3 219 116Diratana 21 136 71Dokakaka 7 100 60Lodapare 20 100 61Sobawawi 40 205 138Tanarara 1 22 11Tematana 6 11 3Ubu Raya 1 138 78Ubu Pede 4 143 82Weekarou 8 174 80

Page 60: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

56

Weedabbo 5 174 85Manola 20 40 7Jumlah 152 1610 871

5 Tana Righu Bondo Tera 0 0 0Elu Loda 0 13 7Karekanduku 9 20 18K.nduku Selatan 3 8 3K.nduku Utara 4 12 4KealembuA.Kaka 2 28 14Lingulango 4 22 14Lokory 309 314 383Lolo Tana 17 44 35Lolo Wanno 142 162 209Malata 42 269 133Manu Kuku 7 39 26Manumada 5 23 7Ngadu Pada 3 10 4Tarona 1 14 9Wanokasa 10 19 21Weepatola 2 23 12Zalakadu 2 24 12Jumlah 562 1044 911

6 Wanukaka Ana Wolu 4 90 57Bali Loku 8 426 245Hoba Wawi 4 91 47Hupu Mada 4 77 53Katiku Loku 2 81 63Mamodu 18 134 71Pari Rara 5 83 53Praibakul 0 190 87Pahola 6 106 65Tara Manu 0 178 94Rewarara 3 79 42Rua 0 81 42Weimangoma 6 112 65Weihura 2 166 129Jumlah 62 1894 1113

Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat

Page 61: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

57

Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba TengahTahun 2012

No. Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi

PopulasiKerbau

Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau

≥ 1 Thn

III Sumba Umbu RatuNggay Bolu Bokat 135 81 119

Tengah Bolu BokatUtara 131 167 178

Bolu BokatBarat 133 152 166

Lenang 242 146 205Lenang Selatan 226 92 165Mara Desa 166 85 135Mara DesaTimur 169 74 129

Mara DesaSelatan 103 64 108

Mbliur Pangadu 227 306 109Ngadu Bolu 260 81 169Ngadu Olu 237 298 268PraikarokuJangga 252 300 271

Padira Tana 204 311 259Soru 270 88 183Tana Mbanas 235 77 170Tana MbanasSelatan 257 75 172

Tana MbanasBarat 172 75 141

Weluk PraiMemang 217 87 182

Jumlah 3636 2559 31292 Anajiaka 55 68 86Umbu Ratu

Nggay BaratAnapallu 19 69 51

Daha Elu 8 49 40Dewa Tana 7 49 33Holur Kambata 10 49 43Maderi 114 55 96Matawekajawi 75 60 68Prai Madeta 128 95 157Pondok 87 38 74Sambali Loku 43 72 73Umbu Kawolu 42 72 80Umbu Mamijuk 44 98 98Umbu Pabal 48 121 108Umbu PabalSelatan 55 138 137

Umbu Langang 56 133 122Umbu Jodu 62 122 125

Page 62: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

58

Wairasa 31 76 69WanggaWayengu 85 69 72

Jumlah 969 1433 15323 Katikutana Anakalang 41 79 48

Dewa Jara 77 234 175Kabela Wuntu 35 104 72Makata Keri 36 95 54Mata Woga 46 143 94Mata Redi 95 314 221Umbu Riri 40 118 80Jumlah 370 1087 744

4 KatikutanaSelatan Dameka 65 153 140

Dasa Elu 72 140 125Konda Maloba 73 144 134Manu Rara 67 147 135Malinjak 60 155 132Okawacu 68 132 127Tana Modu 68 156 145Wailawa 75 142 139Waimanu 66 149 121Jumlah 614 1318 1198

5 Mamboro Bondo Sulla 107 144 122Cendana 125 190 145Cendana Barat 155 185 161Ole Ate 99 160 117Ole Dewa 96 142 109Manu Wolu 209 174 224Susu Wendewa 141 147 153Watu Asa 118 180 144Wee Luri 116 143 116Wendewa barat 342 392 585WendewaSelatan 132 168 134

Wendewa Utara 127 167 146Wendewa Timur 141 170 146Jumlah 1908 2362 2302

Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Tengah

Page 63: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

59

Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba Timur Tahun2012

No. Kabupaten Kecamatan Desa Populasi Sapi

PopulasiKerbau

Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau

≥ 1 Thn

IVSumbaTimur

HaharuKalamba 1 3 1

Mbatapuhu 77 2 34

Praibakul 185 108Rambangaru 261 139

Wunga 111 125 26

Kadahang 303 46 139

Napu 646 50 278

Jumlah 1584 226 7252 Kanatang Hamba Praing 307 126 188

Kuta 306 42 160

Mondu 477 118 251

Ndapa Yami 185 147 141

Temu 201 152 144

Jumlah 1476 585 8843 Kahaungu Eti Kamanggih 475 245 288

KambataBundung 54 243 118

Kataka 371 73 177Kotak Kawau 346 119 186

Lai Mbonga 355 652 402MatawaiKatingga 1241 248 285MatawaiMaringu 219 80 119

Mau Ramba 136 106 96

Jumlah 3197 1766 19814 Luku Wingir 77 22 41Kambata

MapambuhangLai Meta 120 378 350

Mahu Bokul 94 76 69

Maidang 68 222 100Marada Mundi 29 5 8

Waimbidi 57 116 71

Jumlah 445 819 6395 Kambera Kambaniru 289 35 35

Kiritana 166 8 12

Lambanapu 324 14 60

Malumbi 214 12 22

Page 64: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

60

Mau Hau 220 68

Mauliru 338 74

Prailiu 112 17 29

Wangga 184 21 72

Jumlah 1847 107 3726 Karera Ananjaki 311 198 182

Jangga Mangu 164 276 171

Nangga 187 298 232

Nggongi 149 357 185

Praimadita 124 406 220

Prai SaluraTandula Jangga 631 897 708

Jumlah 1566 2432 16987 Kombapari 190 125

Lai Lara 231 155 167

Katala HamuLingu

Mandahu 208 276 188Matawai Amahu 13 236 105

Prai bakul 195 127 163

Jumlah 837 794 7488 Hambala 24 3Kota Waingapu

Kamalaputi 6 2

Kambajawa 90 29 44Lukukamaru 40 48 33Mbata kapidu 192 84 105

Matawai 2 1Pambotandjara 171 88 120

Jumlah 525 250 3079 Lewa Tidahu Bidi praing 165 50 86

Kangeli 67 48 46Lai Hau 116 45 64Mondu Lambi 171 110 112

Umamanu 327 244 228

Watumbelar 102 50 60

Jumlah 948 547 59610 Lewa Bidi Hunga 340 154 197

Kambu Hapang 157 94 100KambataWundut 441 375 326

Kondamara 335 134 187

Lewa Paku 84 20 41Matawai Pawali 383 114 198

Tanarara 88 92 72

Rakawatu 298 220 207

Jumlah 2126 1203 1328

Page 65: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

61

11 Mahu Haray 96 319 171

La Hiru 45 226 83

Lulundilu 102 198 106

Patamawai 166 237 90

Praikalala 53 201 75

Wairara 92 246 120

Jumlah 554 1427 64512 Karipi 110 147 73Matawai La

PawuKatiku Luku 300 606 306

Katikutana 424 1068 443

Katiku Wai 227 252 113

Prai Bokul 213 731 305Wangga Meti 86 152 54

Jumlah 1360 2956 129413 Hamba Wutang 132 303 202Ngadu Ngala

Kabanda 12 284 111

Kakaha 202 453 274

Prai Witu 72 201 81Prau Raming 66 256 127

Jumlah 484 1497 79514 Kahiri 729 719 580Nggaha Ori Angu

Makamenggit 210 161 128

Ngadu Langgi 94 77 68

Prai Karang 163 192 150

Prai Paha 269 49 103Pulu Panjang 185 288 168Prai Hamboli

Tanatuku 40 67 34Tandula Jangga 86 33 68

Jumlah 1776 1586 129915 Kananggar 171 343 182

Karera Jangga 244 297 121

Lai Taku 34 104 59Mehang Mata 144 192Pabera Manera 86 177 105

Prai Mbana 135 114 101

Paberiwai

Winu Muru 47 104 39

Jumlah 861 1139 904

Page 66: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

62

16 Kaliuda 966 467 528

Kuruwaki 173 119 103

Lambakara 367 217 125

Mburukulu 1000 541 300

Palanggai 397 188 215Pamburu 107 129 90

Tamma 607 1298 833

Pahunga Lodu

Tanamanang 223 204 161

Jumlah 3840 3163 301317 Kadumbul 339 137

Kawangu 469 100Kambatatana 589 16 242

Laindeha 353 272 250

Mau Bokul 1401 45 578Palakahembi 55 46 42

Watumbaka 190 45 91

Pandawai

Jumlah 2927 424 134018 Lailunggi 286 151 133

Maha Niwa 61 151 74

Ramuk 118 69 116

Tawui 179 211 206

Wahang 132 151 102

Wangga Bewa 111 71 96

Pinupahar

Jumlah 887 804 72719 Haikatapu 921 195 456

Hanggaroru 831 274 497

Kabaru 764 81 447

Kayuri 215 4 93

Lai Lanjang 176 127 121

Rindi 683 329

Tamburi 189 90 139

Rindi

Tanaraing 683 54 366

Jumlah 4462 825 244820 Bangga Watu 29 158 85

Billa 208 348 280

Karita 347 332 292

Kukitalu 154 107 109Pindu Hurani 21 159 74

Praing Kareha 58 165 101

Tapil 125 97 94

Tarimbang 79 433 135

Tabundung

Waikanabu 145 675 180

Page 67: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

63

Wudi Pandak 72 168 120

Jumlah 1238 2642 176521 Lairuru 456 52 203

Londa Lima

Lumbukore 131 33 65

Matawai Atu 67 20 12

Mutunggeding 168 52 73Ngaru Kanoru 269 315 199

Patawang 216 91 82

P. Lodu

Umalulu 233 71 129

Wangga 324 80 126

Umalulu

Watu Hadang 232 90 116

Watu Puda 175 192 146

Jumlah 2271 996 115122 Hadakamali 110 186

La Tena 3 235 64

Laijanji 86 318 186

Lai Pandak 105 478 275Lumbu Manggit 18 51

Paranda 139 188 139

Wula Waijelu

Wulla 142 173

Jumlah 603 1219 1074Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur

Page 68: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

64

Lampiran 3.Rekapitulasi Status Desa Per Kecamatan di Pulau Sumba

Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Barat Daya (131 Desa)Status DesaNo Kecamatan

BD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB1 Wewewa Timur 5 52 Wewewa Utara 4 23 Wewewa Selatan 1 114 Wewewa Tengah 5 55 Wewewa Barat 11 66 Kodi 9 57 Kodi Balaghar 3 98 Kodi Utara 10 89 Kodi Bagedo 10 210 Loura 3 711 Kota Tambolaka 6 4

Jumlah 67 64

Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Barat (74 Desa)

Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB

1 Kota Wikabubak 10 32 Lamboya 7 43 Lamboya Barat 44 Loli 12 25 Tana Righu 11 76 Wanukaka 11 3

Jumlah 55 19

Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Tengah (65 Desa)

Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB

1 Umbu Ratu Nggay 15 32 Umbu R. N. Barat 11 73 Katikutana 5 24 Katikutana Selatan 3 65 Mamboro 7 6

Jumlah 41 24

Page 69: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

65

Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Timur (156 Desa)

Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB

1 Matawai La Pawu 1 52 Pandawai 5 23 Haharu 5 24 Kahaungu Ety 2 75 Katala Hamu Lingu 2 36 Kambata

Mapambuhang4 2

7 Kanatang 2 38 Lewa 2 69 Umalulu 7 310 Ngadu Ngala 3 211 Rindi 3 512 Pinupahar 3 313 Nggaha Ori Angu 4 414 Karera 1 615 Lewa Tidahu 616 Tabundung 3 717 Kambera 6 218 Kota Waingapu 6 119 Pahunga Lodu 3 520 Wulla Waijellu 2 521 Mahu 3 322 Paberiwai 3 4

Jumlah 76 80

Page 70: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

66

SURVEILAN DAN MONITORING TRYPANOSOMIASIS ( SURRA )DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR

I Ketut Mastra, Ni Ketut Harmini Saraswati, I Made Sutawijaya dan Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans dan Monitoring Trypanosomiasis ( Surra ) untuk mengetahui distribusidan prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi (Surra) di Propinsi Bali, NusaTenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka tindak pencegahan danpengendalian penyakit secara efektif dan efisien.

Sejumlah specimen preparat ulas darah dikoleksi dari 3.152 sapi yang terdiri dari 1908 sapi diBali, 370 sapi di NTB dan 873 sapi di NTT secara acak sejak bulan Janiari – November2014. Seluruh sampel diperiksa terhadap parasit gastrointestinal dengan teknik Uji pewarnaanGiemza di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar

Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa tingkat prevalensi Trypanosomiasis/ Surra diBali, NTB dan NTT rata rata sebesar 0.12 % ( 5 dari 3.152 ) dengan variasi tertinggi 0.11 % diNTT, kemudian 0.05 % di Bali dan terendah 0.0% di NTB,

Kata Kunci: Trypanosomiasis, Sapi/kerbau, Propinsi Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN

Trypanosomiasis merupakan penyakit arthropod borne pada berbagai jenis

ternak, disebabkan oleh Trypanosoma evansi ( T. evansi). Sebaran parasit

protozoa T.evansi ini sangat luas. terutama di pulau Sumatera, Jawa,

Kalimantan,Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Penyakit yang lebih

dikenal sebagai penyakit Surra ini dapat menyerang berbagai jenis hewan

ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi tergantung

kepekaan hewan dan faktor – faktor yang mempengaruhi. Hewan unta, kerbau

dan kuda, serta anjing sangat peka terhadap infeksi T. evansi, penyakit terjadi

secara cepat, bersifat akut dan berakibat fatal (.(Kageruka dan Merlvenne,

1991), Sedangkan ternak ruminansia (sapi, kambing, domba, dan ruminansia

lainnya) relatif lebih tahan dari serangan penyakit. Penyakit pada umumnya

berlangsung lebih lambat, bersifat kronis dan bahkan sub klinis tanpa

Page 71: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

67

menunjukan gejala klinis. Akan tetapi penyakit dapat bersifat akut dan

mewabah pada ternak ruminansia tersebut ketika hewan mengalami stress,

misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat

kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan yang kritis dan cuaca

yang ekstrim (Soulsby, 1928).

Secara historis, sejak infeksi T. evansi pertama kali ditemukan oleh Grifit Evans

pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail

Khan, Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta dan

kerbau di beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan

wabah penyakit tersebut sangat fatal maka trypsnosomiasis sering disebut juga

penyakit Surra (Soulsby,1982) Selanjutnya pada akhir abad 19. dilaporkan

telah menyebar ke beberapa Negara, diantaranya Turkestan, Annam Selatan,

Burma, Malaysia, Philiphina, Indonesia (Jawa, dan Sumatra) dan di Vietnam

mewabah pada tahun 1978 sampai tahun 1980an.. Di Indonesia, penyakit

Surra pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda

di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1898 terjadi wabah

penyakit Surra di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang memakan

korban sebanyak 500 ekor kerbau dari 7000 poulasi pada tahun 1900 – 1901

terjadi wabah penyakit Surra pada sapi di Keresidenan Pasuruan, Provinsi

Jawa Timur. Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun penyakit berlangsung

secara sporadis dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis.

Akan tetapi pada tahun 1968 – 1969 letupan wabah penyakit Surra menyerang

sebanyak 516 ekor hewan ternak besar. terjadi di beberapa daerah di

Indonesia, termasuk terjadi di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada

tahun 1971. Kemudian pada tahun 1974 – 1976 terjadi peningkatan kasus

Surra di Provinsi Nusa Tenggara Barat. (Sukanto, I.P.et al. 1992).Kerugian

ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah setiap

tahun akibat kematian hewan ternak, kehilangan tenaga kerja, penurunan berat

badan ternak, abortus dan akibat gangguan reproduksi lainnya (Anonimus

1991)

Page 72: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

68

Provinsi Bali merupakan daerah pengembangan plasma nuftah sapi bali,

Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai daerah sejuta sapi/kerbau dan

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai gudang ternak potong di wilayah

Indonesia Timur namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan

populasi ternak cenderung mengalami stagnasi rata-rata sekitar 5.4 %.

Sebagai salah satu penyebab rendahnya peningkatan pertumbuhan produksi

dan reproduktivitas ternak tersebut diduga karena adanya gangguan oleh

penyakit hewan menular, diantaranya oleh trypanosomiasis yang dapat

mengganggu fertilitas ternak, abortus, dan kematian ternak. Kejadian penyakit

Surra atau trypanosomiasis di Provinsi Bali,NTB dan NTT pada umumnya

cendrung terjadi secara sporadis. Namun demikian, oleh karena mobilitas

ternak di regional ini sangat tinggi, maka perlu dilakukan Surveilans dan

Monitoring Trypanosomiasis (Surra) dengan cakupan desa / kecamatan yang

lebih banyak agar memperoleh informasi tentang prevalensi dan distribusinya

pada sapi, kerbau dan kuda di Provinsi Bali, NTB dan NTT yang lebih

presentatif.

MATERI DAN METODA

MateriSurveilans dan Monitoring dilakukan di Provinsi di 9 kabupatem /kota di

Provinsi Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung,

Karangasem, Buleleng, Jembrana dan Tabanan), di 6 kabupaten/Kota di

Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB (Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Bima, dan Sumbawa Barat) dan di 8 kabupaten/kota di Nusa

Tenggara Timur (Kota Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Ngada, Sumba

Barat Daya dan Belu.

Page 73: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

69

Selama survei yang dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan November

2014 telah dikoleksi sejumlah sampel preparat ulas darah dari 3.152 sapi yang

terdiri dari 1908 sapi di Bali, 370 sapi di NTB dan 873 sapi di NTT. Selain

sampel preparat ulas darah diperlukan bahan dan alat yaitu berupa 3 liter

methanol 10 %, 1 botol ( 100 ml) Emersiol Oil, 1 liter larutan pewarna

Giemza, 2 buah bak kaca fiksasi, 2 buah bak kaca pewrana, 40 box slide /

objek glass, 1 buah mikroskope binokuler

Metoda

Seluruh (3.152) spesimen preparat ulas darah tersebut difiksasi dengan

methanol selama 10 menit. Setelah preparat dikeringkan, kemudian diwarnai

dengan larutan pewarana Giemza 10% selama 30 - 45 menit. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis menggunakan mikroskop binocular

di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar.

HASIL

Hasil pemeriksaan 3.152 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal

dari beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

(NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari

sampai bulan November 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.

Tabel.1Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Lokasi JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma Prevalensi

( % )

BALI 1.908 1.904 4 0.05 %

NTB 370 370 0 0.0 %

NTT 874 873 1 0.11 %

TOTAL 3.152 3.147 5 0.12 %

Page 74: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

70

Tabel 2Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi di Provinsi Bali

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosom

a

Prevalensi(%)

Tabanan 164 164 0 0%

Buleleng 50 50 0 0%

Klungkung 310 310 0 0%Gianyar 142 142 0 0%Bangli 276 276 0 0%

Karangasem 268 268 0 0%Denpasar 83 83 0 0%Jembrana 415 411 4 0.96%

Badung 200 200 0 0%

Total 1.908 1.904 4 0.21%

Tabel. 3Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau

di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi(%)

Dompu 195 195 0 0

Bima 50 50 0 0

Sumbawa Barat 25 25 0 0

Mataram 50 50 0 0

Lombok Tengah 25 25 0 0

Lombok Timur 25 25 0 0

TOTAL 370 370 0 0

Page 75: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

71

Tabel. 4Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi(%)

Ngada-Flores 100 100 0 0

Lembata-Flores

175 175 0 0

Sikka,Flores 100 100 0 0

Manggarai,Flores

50 50 0 0

Belu,Timor 100 99 1 1%

Timor TengahSelatan

33 33 0 0

Sumba Timur 267 267 0 0

Sumba BaratDaya

92 92 0 0

TOTAL 874 873 1 0.11%

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kejadian tryipanosomiasis pada sapi bali

di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. terjadi

secara sporadis pada sapi bali di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur, Akan tetapi sapi sapi Bali yang positif terifeksi

trypanosoma tersebut tidak menunjukkan gejala klinis.Hal iin menujukkan

bahwa sapi bali relatif lebih tahan di bandingkan kuda, kerbau dan jenis sapi

lainnya

termasuk sapi brahman dan sapi Onggole Hasil penelitian ini sesuai dengan

yang dilaporkan oleh peneliti lain seperti Payne et al, (1991) yang menemukan

kejadian kejadian infeksi T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah

penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat prevalensi pada kerbau lebih

tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat

ketahanan terhadap trypanosomiasis, selain karena faktor genetik (genetic host)

juga faktor kondisi setiap individu hewan terutama terkait managemen

pemeliharaan. Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ

pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan

pertanda yang khas adanya respon kekebalan terhadap adanya infeksi T evansi

Page 76: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

72

(Luckins,1977). Respon imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada

kerbau dan sapi menunjukkan bahwa ternak ruminansia besar tersebut relatif

lebih tahan terhadap serangan penyakit Surra. Kejadian penyakit pada

umumnya berlangsung kronis, sub klinis tanpa menunjukkan gejala klinis dan

ternak ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa

berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan

metoda uji sederhana/natif sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan

tanpa mendapat penanganan. Apabila rata rata tingkat prevalensi 0.42% pada

kerbau dan kuda dikaitkan dengan populasi kerbau dan kuda di pulau Sumba

masing-masing 79.234 ekor dan 52.107 ekor, maka diasumsikan ada sekitar 750

ekor kerbau dan 229 ekor kuda yang diduga masih menderita sub klinis dan

klinis yang bertindak yang belum terdeteksi serta dapat bertindak sebagai

karier dan berpeluang sebagai sumber penularan penyakit Surra terhadap

ternak lainnya. Berdasarkan fakta tersebut diatas bahwa pada ternak kuda

tingkat prevalensi T.evansi sebesar 0.74% lebih tinggi daripada kerbau 0.64%.

Hal ini terjadi besar kemungkinannya karena faktor genetik. respon imunnya

terhadap infeksi T evansi kurang baik sehingga kuda sangat rentan terhadap

serangan infeksi T evansi dan penyakit berlangsung cepat, perakut, akut dan

gejala klinis yang dapat diamati berupa demam tinggi-intermiten, anemia,

edema, pincang karena paralisis dan lebih lanjut terlihat gejala syaraf berupa

gerakan berputar. Apabila tidak segera mendapat pengobatan yang tepat

biasanya berakhir dengan kematian.

Akan tetapi karena luasnya wilayah dan sebaran penyakit sangat dipengaruhi

oleh cara pemeliharaan ternak yang umumnya dipelihara secara tradisional dan

pada umumnya cara pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan secara

bersama-sama di areal pengembalaan,. di daerah persawahan sehabis panen ,

ladang – ladang pertanian yang terbuka yang hanya dibatasi oleh semak-

semak, sungai dan hutan masih banyak dijumpai di daerah ini sebagai tempat

berkumpul hewan ternak untuk merumput dan mencari air minum. Kondisi

lingkungan seperti ini juga sangat digemari oleh lalat-latat pengisap darah

seperti Tabanus sp. Stomoxys sp. Lalat Tabanus sp, merupakan salah satu

vektor penularan secara mekanik penyakit Surra yang sangat potensial pada

hewan ternak (Soulsby, 1987). Secara epidemiologi menunjukkan bahwa di

Page 77: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

73

wilayah ini peluang terjadinya interaksi yang intensif antara agen penyakit,

hewan peka dan vektor serta di dukung oleh kondisi lingkungan yang serasi

untuk terjadinya penularan penyakit secara alami.

Sementara itu, hasil survei berdasarkan jenis hewan menunjukkan bahwa

derajat prevalensi agen T, evansi berturut –turut pada kuda, kerbau dan sapi

masing-masing sebesar %, % dan 0.0%.( Tabel.2 ). Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa kejadian infeksi T.evansi yang terjadi secara alami

pada kerbau relatif lebih tinggi daripada kuda dan ruminansia lainnya. termasuk

sapi Sumba onggole relatif lebih tahan dibandingkan kerbau dan kuda. Hasil

penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain seperti Payne et

al, (1991) yang menemukan kejadian – kejadian infeksi T.evansi telah tersebar

luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat

seroprevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan

yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap trypanosomiasis selain

karena faktor genetik (genetic host). juga faktor kondisi setiap individu hewan

terutama terkait managemen pemeliharaan.. Terbentuknya kekebalan atau

antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam

sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas adanya respon imun terhadap

adanya infeksi T evansi (Luckins,1977). Respon imun yang lebih baik terhadap

infeksi T evansi pada kerbau, sapi membuktikan bahwa ternak ruminansia besar

tersebut lebih tahan terhadap serangan penyakit Surra, kejadian penyakit

umumnya berlangsung kronis, tanpa menunjukkan gejala klinis dan ternak

ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa

berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan

metoda uji sederhana sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan tanpa

mendapat penanganan.

Page 78: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

74

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.Berdasarkan hasil pengamatan klinis penyakit Surra di lapangan dan

pemeriksaan laboratories dapat di simpulkan bahwa:

Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi pada sapi di

Bali,NTB dan NTT rata-rata sekitar 0.12% dengan prevalensi tertinggi 1.0 %

di Kabupaten Bellu,Timor,NTT kemudian di Kabupaten Jembrana,Bali

0.96%, Sedangkan di Kabupaten /Kota di NTB : 0.0%

Melalui kegiatan Surveilan dan monitoring Trypanosomiasis / penyakit Surra

serta upaya pencegahan dan pengendaliannya yang efektif, kejadian

penyakit cendrung menurun dan bersifat sporadis.

Saran-Saran. Meskipun Trypanosomiasis /penyakit Surra di Provinsi Bali,NTB dan NTT

cendrung menurun dan bersifat sporadis, namun surveilan dan monitoring

serta upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Surra tetap senantiasa

perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Selain itu tetap meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak antar pulau

maupun antar kabupaten

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan untuk melaksanakan

tugas surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sdr. Drh Ni

Ketut Harmini Saraswati, I Gde Made Sutawijaya dan Yunanto A Md. serta staf

medik dan paramedik Balai Besar Veteriner lainnya yang telah membantu

dalam tindak pengujian serta pengambilan specimen dalam kegiatan surveilans

dan monitoring penyakit. Demikian juga kepada Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

berserta staf atas koordinasi dan bantuannya selama kegiatan ini dilakukan.

Page 79: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

75

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1975. Usaha Pengendalian Penyakit Surra di Indonesia, Kertas KerjaRapat Kerja Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian,Jakarta;

Anonimus, 2009. Statistik Peternakan Tahun 2009, Dinas Peternakan ProvinsiNusa Tenggara Timur, Kupang;

Anonimus, 2012. Statistik Peternakan Tahun 2012, Dinas Peternakan ProvinsiNusa Tenggara Timur, Kupang;

Damayanti R. 1993 The pathology of natural Trypanosoma evansi infection inthe buffalo (Bubalus bubalis ), Penyakit Hewan ,1993 25; 34-39;

Davidson,H.C,M.V.Thrusfield,S.Muharsini,A.Husein,S.Partoutomo,P.F.Rae, R.Masake and A.G. Luckins 1999. Evaluation of antigen and antibodydetection tests for Trypanosome evansi of buffaloes in IndonesiaEpidemiolInfect.149-155, Cambridge, United Kingdom;

Ismu Prastyawati,S. R.C. Payne dan R. Graydon. 1992 Survei Parasitologik danSerologik Trypanosomiasis di Madura. Proseding Seminar HasilPenelitian Parasit Darah Pada Ruminansia Besar di Indonesia,Balitvet,Bogor;

Levine, 1973. Protozoa Parasites of Domestic Animal and Man 2nd ed BurgerPublishing Company, Minnepolis, Philadelphia.

Luckins, AG 1983. Development Serological Assay for Studies onTrypanomiasis of Livestock in Indonesia. Bakitwan Project report,RIVS, Bogor.

Nantulya, VM. Trypanosomiasis in domestic animals; the problem of diagnosis.Rev. Scui Tech. 1990 9:357-367.

Soulsby, 1982 Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals 7th

ed Lea and Febiger, Philadelphia.

Wilson AJ. Some bservation on the epidemiology of the animaltrypanosomiasis with particular reference to T.evansi, In: CambellsRSF,ed, A course manual in veterinary epidemiology, Cambera,Australia University International Development Programme. 1983:201-210

Woo, P.T.K. 1970 Evaluetion of the Haematocrite Centrifuge and otherTechniques fos Field Diagnostic of Human Trypanosomiasis andFilariasis, can J. Zool 47, 921-923.

Page 80: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

76

SURVEILAN DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL PADASAPI BALI DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR

I Ketut Mastra, Ni Ketut Harmini Saraswati, I Made Sutawijaya dan Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans dan Monitoring Parasit Gastro-Intestinal (PGI) untuk mengetahui jenisdan prevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada sapi bali ( Bos sondaicus ) di Propinsi Bali,Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka pengobatan danpengendalian parasit gastrointestinal secara efektif dan efisien.

Sejumlah specimen feses dikoleksi dari 2.495 ekor ternak sapi di Provinsi Bali,NTB danNTTdiambil secara acak sejak bulan Janiari – November 2014. Seluruh sampel diperiksaterhadap parasit gastrointestinal dengan teknik Uji Flotasi dan Uji Sedimentasi di LaboratoriumParasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar

Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal diBali, NTB dan NTT rata rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) dengan variasi tertinggi 53.3% diNTT, kemudian 51.9% di NTB dan terendah 44.25% di Bali, .diantranya terinfeksi oleh parasitgastrointestinal jenis trematoda (Paramphistomum sp dan Fasciola sp.), Nematoda(Mecistocirrus spp, Ostertagia spp, Cooperia spp, Chabertia spp. Toxocara spp.Oesophagustomum spp Trichostrongylus spp.dan Strongyloides spp) dan Coccidia (Eimeriaspp).dengan prevalensi masing-masing berkisar antara 0.04%- 53.3%; 2.9% - 51.9% and 6.8%- 19.8% dengan intensitas infestasi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomumsp. berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram feses,epg) dandari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari Klas Cocsidia (Eimeria sp.)berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukantelur cacing dari klas Cestoda.

Kata Kunci: Parasit Gastrointestinal, Sapi bali, Propinsi Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi hasil domestikasi dari Banteng

(Bossondaicus) yang memiliki potensi internal sebagai plasma nutfah dan dapat

diandalkan sebagai primadona ternak sapi potong untuk menunjang

pembangunan peternakan di Indonesia di masa akan datang sehingga

kebijakan tentang pemulia biakan sapi bali sangat diperlukan (Sastradipraja,

1990). Sejak lama sapi asli pulau Bali ini sudah menyebar ke seluruh

Indonesia dan perkembangannya sangat cepat dibanding dengan sapi potong

Page 81: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

77

lainnya. Sapi bali lebih diminati oleh peternak karena beberapa keunggulannya

antara lain: tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat

beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan

efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi,(Pane, 1990)

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

adalah salah satu wilayah penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah

Indonesia Timur. Populasi sapi bali saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar 32.4%

dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus, 2008b).

Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB dan NTT

dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Akan tetapi dalam beberapa

tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi bali cendrung

mengalami stagnasi. Selain dipicu oleh factor eksternal bahwa selama ini

permintaan sapi lokal meningkat seiring meningkatnya kebutuhan daging dalam

negeri dan mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi bali hidup

dikirim ke kota- kota besar di pulau Jawa sering terlihat belakangan ini.

Sedikitnya 275.000 ekor sapi bali setiap tahunnya ditransportasikan dari Provinsi

Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tengara Timur (NTT). Juga karena

faktor internal yaitu menurunnya produksi dan reproduktivitas ternak karena

adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM) bersifat infeksius maupun

non infeksius,termasuk infeksi parasit gastro-intestinal (PGI)..Beberapa peneliti

terdahulu melaporkan bahwa PGI seperti ascariasis dan koksidiosis umumnya

pada pedet umur dibawah 6 bulan. Menurut . Gunawan dan Putra (1981) bahwa

prevalensi infeksi oleh Toxocara vitulorum / ascariasis pada pedet di Bali

mencapai 75% , sedangkan pada ternak sapi muda rentan terhadap berbagai

penyakit infeksi parasit gastrointestinal (PGI) lainnya seperti helmithiasis, pada

umumnya dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, diare, anemia, ikterus dan

pada kasus yang berat terjadi kematian.( Soulsby,1982,Purwanta dkk.(2006)

Penelitian tentang infeksi PGI pada sapi muda –dewasa telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti terdahulu. melaporkan bahwa prevalensi cacing trematoda

Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%.(Estuningsih.2004).

Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis)

pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.% ,.dan lebih banyak ditemukan pada sapi

muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konsitpasi, diare,

Page 82: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

78

anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian.(Purwanta

dkk.(2006) Sebaliknya pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering diinfeksi

oleh Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% ( Gunawan dan

Putra .1981) Kemudian dengan semakin meningkatnya pemahaman dan

kemampuan peternak dalam tata laksana dan kesehtan hewan secara

berangsur ansur semakin menurun prevalensi Toxocara vitulorum rata-rata 1.3

% (Mastra, 2013)

Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda

sangat rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis

diare berdarah, dihidrasi, kurus,, lemah dan terjadi kematian apabila tidak

mengdapat penanganan yang baik..

Dalam rangka percepatan keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan

Kerbau (PSDS/K) tentu saja diperlukan adanya upaya upaya peningkatan

populasi dan perbaikan produktivitas ternak sapi, dalam rangka mendukung

penyediaan daging bagi tercapainya swasembada daging sapi (PSDS) pada

tahun 2014. (Anon 2008b)

MATERI DAN METODE

SampelSampel tinja sapi diambil dari 2.495 ekor sapi umur 6 bulan sampai dengan 6

tahun yang berasal dari berbagai desa,kecamatan dan kabupaten di propinsi

Bali,NTB dan NTT.

BahanSelain sampel tinja/ feses dalam surveilan dan monitoring ini juga diperlukan

bahan antara lain : garam jenuh, methyline blue 1%.

Page 83: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

79

AlatPeralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal

Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alt pengaduk tinja,

tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung

pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedeimentasi), pipet

Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing,ookista koksidia , cawan (conical

flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja(plug), serta mikroskop ( electric

binukuler microscope)

Pemeriksaan Telur cacing nematoda dilakukan dengan teknik uji FloatasiKe dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 7 ml,

ditambahkan 3 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam

silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada

dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan

menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalan silinder

pencampur.Larutan tinja yang telah tersaring lalu diambil dengan menggunakan

dengan pipet Pasteur. Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke

dalam kamar penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap

pengisian kamar penghitung telur cacing. Alat penghitung telur Universal

(Universal slidecounting chamber) berisi 4 kamar dan setiap kamar menampung

0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki

volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau

strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya. (berat, sedang, atau ringan).

Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah

teluryang ditemukan dikalikan dengan factor 40 ( Whitlock et al.1980)

Pemeriksaan Telur cacing trematoda dilakukan dengan teknik ujiSedimentasiKe dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,

ditambahkan 1 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam

silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada

dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan

Page 84: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

80

menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder

pencampur sampai batas leher silinder. Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalm

posisi terbalik diatas tabung penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask)

sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke

atas. Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.

Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi

yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit. Selanjutnya,

dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask) sedimentasi.

Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan

supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam cawan

(flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali selkama

6 menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan

pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan

(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

larutan tinja sebanyak 5 ml. Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam

endapan, diaduk dengan baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6

menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan

pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan

(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

sebanyak 5 ml. Kemudian endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan

methylene blue 1% dan diaduk hingga merata dengan pipet.lalu larutan tersebut

segera diisap dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung

telur . Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung.di bawah mikroskop

dengan pembesaran lemah (40x). Telur cacing Fasciola sp. akan terlihat coklat

keemasan dan telur Parampistomum sp.terlihat bening /terang. ng. Tabung

penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur cacing.

Universal (Universal slide counting chamber) Dalam penghitungan telur cacing

dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya.

(berat, sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja

menggunakan angka pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja,

sehingga jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan factor 10 ( Whitlock et

al.1980)

Page 85: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

81

HASIL

Hasil pemeriksaan sampel feses 2.495 ekor sapi bali yang berasal dari beberapa

lokasi (desa,kecamatan) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa

Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari sampai bulan

November 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.

Berdasarkan hasil uji Floatasi dan Sedimentasi sampel feses menurut

Whthlock.(1980) menunjukkan bahwa sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT

secara umum terinfestasi oleh parasit gastrointestinal dengan rata-rata

prevalensi 38.4% ( 958 dari 2.495 ) terdiri dari jenis Trematoda 26.1%, (Fasciola

spp.dan Paramphistomum spp ), Nematoda 14.7% yang terdiri dari genus

Toxocara spp,Mecistocirrus spp Oesophagustomum spp, Ostertagia spp,

Cooperia spp, dan Trichostrongylus spp. dengan prevalensi masing-masing

berkisar antara 1.6%- 80.4%; 3.7% - 27.7 %; dan 1.4% - 5.5% dengan

intensitas infeksi berturut turut berkisar antara 10 -60 epg dan 10-200 epg.; 40-

1560 epg dan 400-10.200

Intensitas infeksi masing-masing dari Trematoda terdiri dari genus Fasciola spp.

dan Paramphistomum spp., berkisar 10-50. per gram tinja ( egg per gram

feses,epg). dan 10-30epg serta dari Nematoda berkisar 40- 1.560 epg.

Sedangkan dari Coccidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1,080 opg (oocyte per gram

) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan infeksi cacing dari jenis

Cestoda.

Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi telur menurut Thienpon et

al.(1979), teridentifikasi dari klas Trematoda terdiri dari genus

Paramphistomum sp dan Fasciola sp. Dari klas Nematoda terdiri dari genus

Strongyloides sp.,Trichostrongylus sp.,Oesophagustomum sp.,Meccistosirus sp.,

Cooperia sp., Oestargia sp., Chabertia sp.,dan Toxocara sp., dan Klas Coccidia

(protozoa) dari genus Eimeria sp. yang menginfeksi saluran pencernaan sapi

bali di Propinsi Bali,NTB dan NTT

Page 86: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

82

Intensitas infeksi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomum sp.

berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram

feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari

Klas Cocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja.

Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda.

Tabel.1

Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Balidi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

BALI 1.799 475 (26.4%) 239 (13.3%) 176(9.8%)

746(41.5.%)

NTB 289 60 (20.7%) 72(24.9%) 52.(17.9%) 129(44.6%)

NTT 407 6 (1.5%) 76 (18.7%) 13(3.2%) 83(29.4%)

TOTAL 2.495 541(21.6%)

387(15.5%)

241(9.6%)

958(38.4%)

Tabel 2

Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali di PropinsiBali,

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

Tabanan 191 82 (41.6%) 20 (1.05%) 13 (6.8%) 82 (41.6%)Buleleng 109 22 ( 20.2%) 25 (22.9%) 12 (11.0%) 25 (22.9%)

Klungkung 243 72 ( 29.6%) 23 (9.5%) 13 (5.3%) 72 ( 29.6%)Gianyar 159 96 (60.4% ) 27 (28.1%) 24 (15.1%) 96 (60.4% )Bangli 193 18 (9.3% ) 37 (19.2%) 35 (18.1%) 37 (19.2%)

Karangasem 234 46 (19.6% ) 22 (9.1%) 42 (17.9%) 46 (19.6% )Denpasar 13 3 (23.1% ) 2 (15.4%) 0 (0.0%) 3 (23.1% )Jembrana 439 127 (28.9%) 56 (12.7%) 23 (5.2%) 127 (28.9%)Badung 218 19 (8.7% ) 19 (8.7%) 14 (6.4%) 19 (8.7%)Total 1799 475 (26.4%) 239 (13.3%) 176 (9.8%) 746 (41.5.%)

Page 87: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

83

Tabel.3

Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapidi Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

Dompu 66 0 (0.%) 10(15.2.%) 6(9.1%) 16(24.2-%)

Mataram 98 8(16.6.%) 26(54.1.%) 7(14.6.%) 31(31.6%)

Bima 100 19(12.6.%) 9(9.0.%) 10(10.0.%) 38(38.0.%)

Lotim Timur 25 9(36.0.%) 3(12.0.%) 2(8.0.%) 14(56.0.%)

TOTAL 289 36(12.5.%) 48(016.6%) 25(8.6.%) 129(44.6%)

Tabel.4

Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapidi Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

Kupang 10 0 (0.%) 1 (10.0%) 0 (0.%) 1 (10.0%)

Manggarai 52 0 (0.%) 14(26.9.%) 4 (7.6.%) 14 (26.6.%)

Ruteng 10 3 (0.%) 0 (0.%) 0 (0.%) 3 (0.%)

Ngada 102 2 (1.9.%) 13(12.7.%) 1 (0.9%) 13 (12.7.%)

Sikka 54 0 (0.%) 10(18.5.%) 2 (2.7.%) 10 (18.5.%)

Belu 110 3 (2.7.%) 30 (27.3%) 4 (3.6.%) 30 (27.3%)

TimurTengahS

17 0 (0.%) 7 (0.%) 0 (0.%) 10 (0.%)

Total 407 8(1.9%) 64(15.7.%) 11(2.2%) 83 (29.4%)

Page 88: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

84

PEMBAHASAN

Hasil pengujian terhadap 2.495 sampel tinja sapi bali di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 958 ( 38.4% )

positif terinfeksi oleh parasit gastrointestinal dan 1537 (63.6%) diantaranya

negatif. Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan penghitungan

telur ditemukan cacing trematoda terdiri atas genus Paramphistomum spp.,

Fasciola spp. dengan prevalensi 21.6% dan cacing nematoda terdiri atas genus

Mecistoccirus spp.,Ostertagia spp,Trichotrongylus spp. Meccistosirus sp.

Cooperia sp. Oesophagustomum sp dan Tococara spp. prevalenisnya 15.5%

Serta Coccidia dari genus Eimeria spp 9.6% dengan variasi distribusi prevalensi

di daerah survey, yaitu tertinggi di NTB sebesar 44.6% diikut di Propinsi Bali

41.5.%, dan terendah 29.4% di NTT. Berbagai jenis parasit gastrointestinal yang

dapat menginfeksi ruminansia tersebar secara kosmopolitan, kecuali jenis-jenis

tertentu hanya ditemukan pada suatu wilayah geografis tertentu. Kejadian

parasit gastrointestinal pada sapi dengan kepentingannya secara ekonomis

sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis dan iklim serta musim sepanjang tahun.

(Anonim 2008b) Seperti halnya komposisi jenis-jenis parasit pada hasil

penelitian ini juga ditemukan mirip dengan penelitian lain yang terjadi pada

ternak ruminansia di daerah yang berbeda

Intensitas infeksi berdasarkan perhitungan jumlah telur cacing ( eggs per gram

faeses,epg ) dari Trematoda adalah tergolong ringan sampai sedang . .Menurut

acuan bahwa 10-20 epg ringan, >.20- 60 epg sedang dan > 60 berat,

sedangkan Nematoda ,Cestoda dan Coccidia 40-500 epg. ringan, 500-1000 epg

sedang dan > 1000 berat .( Whitlock,1980) Pada surveilan dan monitoring ini

intensitas infeksi oleh Trematoda, dan Nematoda tergolong infeksi ringan –

sedang, khususnya beberapa pedet /sapi muda ditemukan infestasi Toxocara

(Neoascaris vitulorum) dan infeksi Eimeria spp(Coccidia) dengan intensitas

infeksi sedang – berat yaitu pedet umur < 6 bulan masing asal Kabupaten

Jembrana.Bali dan Bima, NTB. Hal ini disebabkan di beberapa lokasi

peternakan sapi di pedesaan, khususnya program pengendalian parasit

gastrointestinal, perbaikan managemen pemeliharaan dan pemberian obat

cacing/ antelmentik ataupun anti coccidia tidak dilakukan secara periodik Selain

karena keterbatasan pengetahuan peternak tentang penyakit, harga obat cukup

Page 89: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

85

mahal dan susah didapat, sehingga pada infeksi yang intensitasnya sedang

sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan

penanganan yang baik sering terjadi kematian ternak. khususnya pada pedet.

Admadilaga (1975) pernah melaporkan bahwa angka kematian pedet sapi Bali

sebesar 10–80%, sedangkan Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di

Bali memperoleh kematian pedet sebesar 7,3%, terhadap kelahiran atau

sebesar 1,84% dari populasi. Kemudian hasil survei pendahuluan Gunawan dan

Anak Agung Gde Putra (1982) bahwa prevalensi infestasi Neoascaris vitulorum

( ascariasis) tertinggi 75 % pada pedet umur 3- 4 minggu kemudian menurun

55.5% terjadi pada pedet berumur 5-6 bulan

Pada kasus- kasus infeksi kronis ringan yang berulang pada sapi dalam kurun

waktu tertentu di dalam tubuh akan terbentuk pertahanan berupa zat kebal

atau antibodi terhadap parasit sehingga pada infeksi berikut intensitasnya

cendrung berkurang. . Namun demikian, pada infeksi yang intensitasnya

sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan

penanganan yang baik akan terjadi kerugian ekonomi akibat penurunan

produkstivitas dan kematian ternak.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanBerdasarkan hasil surveilan dan monitoring parasitgastrointestinal di Provibsi

Bali,NTBdan NTT Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa

1. Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di Bali,NTB dan NTT rata

rata sebesar 38.4% dengan variasi tertinggi 44.6%) di NTB, kemudian

41.5.% di Bali dan terendah 29.4%) di NTT

2. Ada tiga jenis Parasit Gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali di Propinsi

Bali, NTB dan NTT yaitu : cacing Trematoda, Nematoda dan Coccidia. Dari

trematoda ditemukan genus Paramphistomum sp dan Fasciola sp. dengan

prevalensi 21.6%, Dari Nematoda terdiri atas genus Toxocara

spp,Mecistoccirus spp.,Ostertagia spp,Trichotrongylus spp.. Cooperia spp.

Oesophagustomum spp. dan Monieza spp prevalenisnya 13.3% ,

sedangkan dari Protozoa genus Eimeria spp. 9.6%.

Page 90: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

86

3. Intensitas infeksi dari genus Paramphistomum sp 10-200 dan Fasciola sp.

10-60 epg dan genus strongylus 40-800 epg sedangkan dari genus Emeria

sp 40-1040 opg.

Saran -Saran1. Untuk mengendalikan inpeksi parasit gastrointestinal pada sapi di Bali, NTB

dan NTT disarankan penggunaan obat cacing khusus untuk Toxocara/

ascariasis pada pedet dengan piperasin, sedangkan untuk cacing trematoda

dan nematoda, gunakan antelmintik berspektrum luas antara lain

albendazole, febendazole. Serta pengobatan terhadap coccidia (Emeria.)

menggunakan preparat sulfa sesuai dosis anjuran

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak ekonomi yang

ditimbulkan oleh infeksi parasit gastrointestinal pada sapi / kerbau

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Besar

Veteriner Denpasar, atas tugas dan fasilitas yang diberikan untuk melakukan

penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. drh.Ni Ketut

Harmini Saraswati, I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto yang telah membantu

dalam persiapan dan tindak pengujian di laboratorium Parasitologi,Balai Besar

Veteriner Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternakdalam Sistem Pembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana EkonomiPeternakan. F.E. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Anonimus, 2008. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan,Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Anonimus .2008b.The epidemiology of helminth parasites.http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/ Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008].

Darmadja, N..D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam EkosistemPertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Page 91: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

87

Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan TelurCacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal IlmuTernak dan Veteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60

Gunawan M. (1984) Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan PiperazinCitrat pada pedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. . BalaiPenyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5

Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminarsapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada SapiBali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar.J. Agrisistem 2 (2): 63-69..

Mastra. I K. (2012) Sebaran infeksi Parasit Gastrointestinal pada sapi bali di ProvinsiBali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2012, BuletinVeteriner .Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat, VeterinerVol. XX VI Juni 2013 ISSN : 0854 901 X

Sastradipraja,D. (1990) Potensi Int ernal Sapi Bali sebagai salah satu sumberPlasmaNutfah unutk menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan ternakKerja secara Nasional. Proc. Seminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar..

Suhadji (1990) Kebijakan Pemulia Biakan khusunya sapi Bali. Proc. Seminar sapi BaliUniv.Udayana, Denpasar..

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52

Suweta, I.G.P.(1982). Kerugian Ekonomi Cacing Hati pada Sapi sebagai ImplikasiInteraksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di PulauBali, Thesis Doktor, Universitas Padjadjaran, Indonesia

Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs(1979) Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation

Whitlock, et al (1980), Universal Egg Counting Technique , Veterinary Parasitolog, 7:215

Page 92: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

88

ANALISA RESIKO DAN SURVEILANSBOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY

DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014

Drh. I Ketut Eli Supartika M.Sc,Drh. I Ketut Wirata, M.SiDrh. Gede Agus Joni Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy (BSE) di wilayah kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar telah dilakukan pada tahun anggaran 2014. Kegiatan ini dilakukan dirumah potong hewan (RPH) yang ada di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanyapenyakit BSE pada sapi Bali serta menganalisa kemungkinan masuknya BSE ke wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap kemungkinanmasuknya BSE ke wilayah kerja BBVet Denpasar khususnya dan Indonesia pada umumnya.Hasil wawancara dengan peternak dan staf dinas peternakan serta pemeriksan histopatologi 275sampel medula oblongata sapi yang dipotong di RPH yang ada di kabupaten/kota di ProvinsiBali, NTB dan NTT tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan unggas komersiil yangdiduga mengandung meat bone meal (MBM), limbah hotel/restoran untuk diberikan kepadaternak sapi. Secara histopatologis semua sampel medulla oblongata negatif BSE, ditandaidengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plakamyloid. Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebasdari BSE.

Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.

PENDAHULUAN

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah tujuan wisata

banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan

hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan

sumber potensial penularan penyakit sapi gila/BSE. Disamping itu, intensifikasi

pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan

penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum

bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan

Page 93: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

89

MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa

pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunkan MBM hasil importasi.

Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan

surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah

kerja, namun demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor.

367/Kpts/T N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas

Dari Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), maka dipandang perlu

untuk melakukan kegiatan monitoring patologi penyakit BSE di wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar secara terstruktur dan berkesinambungan.

Selain itu berdasarkan kontrak kinerja antara Direktur Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian dengan Kepala Unit Pelayanan Teknis

(UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

tanggal 14 Pebruari 2013 dengan penyampain dokumen

No:19044/TU.210/F1/2013 tanggal 19 Pebruari 2013 perihal tugas pokok dan

fungsi masing – masing UPT beserta beban kinerja dan target pencapaiannya.

Balai Besar Veteriner Denpasar sebagai UPT pusat mendapatkan beban target

kinerja antara lain; pencapaian target jumlah sampel, pemberdayaan atau

peningkatan peranan Puskeswan di wilayah kerja, peningkatan kompetensi

laboratorium tipe B dan C serta pencapaian penurunan status penyakit di

wilayah kerja yang pada akhirnya dapat mendukung program percepatan

swasembada daging sapi yang dicangkan oleh pemerintah.

Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar

Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang

dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun 2014 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut.

Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian

target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan

anggaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Peningkatan

kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta

melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni:

Page 94: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

90

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan

pelatihan secara terpusat

2. Supervisi kegiatan penerapan metode uji yang dilaksanakan oleh

laboratorium tersebut secara langsung.

3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan

peranan 20 Puskeswan di wilayah kerja (Bali 4 Puskeswan, NTB 4

Puskeswan dan NTT 12 Puskeswan), secara berkelanjutan sehingga

diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan peranannya dalam

surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.

TUJUAN

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara historis merupakan daerah

bebas BSE. Namun dengan semakin derasnya arus importasi pakan

ternak/unggas, maka kecurigaan akan masuknya BSE ke Indonesia patut

diantisipasi. Ada informasi yang perlu dicermati bahwa ada pakan unggas

komersial yang diduga mengandung MBM diberikan ke ternak sapi potong.

Kebenaran informasi seperti ini patut ditelusuri melalui kegiatan surveilans di

RPH disertai penelusuran kemungkinan distribusi pakan unggas diduga

mengandung MBM pada pedagang pakan ternak. Kegiatan analisa resiko dan

surveilans penyakit BSE dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeteksi

kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi yang dipotong

di RPH serta penelusuran kemungkinan adanya penggunaan pakan unggas

yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

Page 95: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

91

MANFAAT

Manfaat dari kegiatan analisa resiko dan surveilans penyakit BSE adalah

1 Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak

sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

2 Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan pakan unggas yang

diberikan ke ternak sapi potong.

3 Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah

dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.

KELUARAN

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit BSE

adalah:

1. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara

histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.

3. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit BSE diwilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar.

4. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaan pakan unggas

komersiil diberikan ke ternak sapi potong.

PELAKSANAAN KEGIATAN

Kegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2014 dilaksanakan oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas

pengambil contoh (PPC) dengan melibatkan dokter hewan Puskeswan dan

petugas di RPH dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata yang diambil

sebanyak 275 sampel dari target 354 sampel (Tabel 1).

Page 96: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

92

1. Materi dan Metode.

Materi:

Monitoring patologi BSE dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi

(medula oblongata) di RPH yang berada dibawah pengawasan Pemerintah

Daerah/ Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex

dari medula oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal

dari sapi yang berumur 2 tahun keatas.

Metode:

Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pada pemeriksaan histopatologik.

Pada kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal

sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,

gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2001), reaksi

astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

Analisis Data

Data hasil informasi tentang penggunaan pakan komersiil pada peternakan sapi

disajikan secara naratif. Hasil pengujian histopatologi disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik selanjutnya dianalisa secara deskrip.

HASIL

Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau TPH

yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi

fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel didampingi oleh

petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah Provinsi Bali, sampel

otak diambil di RPH Kabupaten Badung, Buleleng, Denpasar, Karangasem,

Klungkung dan Tabanan. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH

Kabupaten Lombok Tengah dan Mataram, sedangkan di Provinsi NTT diambil di

RPH di kabupaten Manggarai dan Kota Kupang. (Tabel 1). Jumlah sampel otak

yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan pada Tabel 1, Grafik 1,

Page 97: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

93

2, 3. Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di

RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis

kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-

sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di

NTT sapi-sapi kebanyak dilepas pada padang gembalaan (Gambar. 1dan 2).

Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang

membidangi fungsi peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat

langsung ke lapangan bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil

untuk ternak sapinya apa lagi pemberian pakan ungags komersiil yang diduga

mengandung MBM atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi

peternak kebanyakan makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan

berupa dedak dan juga rumput gajah (Gambar 3). Pada pemeriksaan sampel

medulla oblongata (Tabel 1) semua sampel yang berasal dari RPH

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE. Hasil pemeriksaan

histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang mengarah ke BSE seperti:

degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi

radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasil pemeriksaanhistopatologi sampel otak yang berasal dari RPH kabupaten/kota diProvinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2014.

Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah Sampel Jantan Betina BSE (+) BSE (-)Bali Badung 57 15 42 0 57

Buleleng 8 2 6 0 8

Denpasar 56 37 19 0 56

Jembrana 6 4 2 0 6

Karangasem 25 9 16 0 25

Klungkung 5 0 5 0 5

Tabanan 12 12 0 0 12

Jumlah 169 79 90 0 169

NTB Lombok Tengah 15 6 9 0 15

Mataram 31 10 21 0 31

Jumlah 46 16 30 0 46

NTT Manggarai 50 12 38 0 50

Kota Kupang 10 0 10 0 10

Jumlah 60 12 48 0 60

Jumlah Keseluruhan 275 107 168 0 275

Page 98: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

94

Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2014.

Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2014.

Page 99: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

95

Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2014.

0

10

20

30

40

50

60

Jantan Betina Jumlah

12

38

50

0

10 1012

48

60

Manggarai Kota Kupang Kota Kupang

Page 100: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

96

Gambar 1. Sapi-sapi yang dipelihara di kabupaten/kota di provinsi Bali umumnyadikandangkan, 2. Di Provinsi NTT, peternak umumnya mengembalakan ternaknya padapadang pengembalaan. 3. Peternak umunya memberikan rumput raja sebagai pakanternak sapi, dan tidak memberikan pakan komersiil. 4. Histopatologi medula oblongatanegatif BSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrositataupun plak amyloid (H&E; 100X)

1 2

43

Page 101: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

97

PEMBAHASAN

Indonesia sampai saat ini merupakan negara bebas BSE. Untuk

mempertahankan Indonesia tetap bebas dari BSE, pemerintah telah mengambil

langkah-langkah antara lain: penghentian importasi hewan ruminansia dan

produknya yang berasal dari negara tertular BSE, pelarangan penggunaan

tepung daging dan tulang (TDT) dan MBM asal ruminansia sebagai pakan

ternak ruminansia serta melakukan surveilans dan kajian resiko setiap tahun

secara berkelanjutan.

Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2014

di RPH yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT

tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif BSE. Di Provinsi Bali, NTB dan

NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan sapi

merupakan usaha sambilan bukan merupakan usaha pokok. Di Provinsi Bali

petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali sebanyak 2 ekor. Pakan yang

diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada diberikan dedak dan mineral blok.

Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi ada yang dikandangkan dan ada juga

dilepas di padang pengembalaan. Tidak ada pemberian pakan komersial yang

mengandung MBM atau TDT, konsentrat pakan ayam atau limbah

hotel/restoran. Sistem peternakan sapi yang dianut oleh sebagian besar

peternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar pada khususnya

dan Indonesia pada umumnya sejak dari jaman dahulu telah menerapkan

prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami diberikan rumput

sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang berasal dari hewan.

Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui

pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia

yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung antar

ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak telah

menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di dalam

saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke organ

limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk selanjutkan

diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004). PrPsc selanjutnya

Page 102: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

98

melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem saraf tepi dan sistem

saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi spesifik yaitu:

degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik tanpa diikuti

adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan hiperplasia

(Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994). Pada sapi

menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak, spinal cord ,

retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.

Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan data

bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan dengan sapi

jantan. Jenis kelamin hewan bukan merupakan faktor resiko penularan penyakit

BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai peluang yang sama

untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan perlakuan atau mempunyai

resiko paparan yang sama.

Analisa resiko kegiatan.Di Provinsi Bali, jumlah target sampel BSE sebanyak 118 sampel realisasinya

melebihi target yaitu sebanyak 169 sampel, sedangkan di provinsi NTB dan NTT

target sampel otak tidak memenuhi. Di NTB target sampel otak sebanyak 118

sampel, realisasinya hanya 46 sampel, di NTT dari target 118 sampel

realisasinya 60 sampel. Tidak terpenuhinya target sampel BSE di NTB dan NTT

disebabkan oleh karena para jagal tidak mau sapi yang mereka potong bagian

otaknya diambil untuk sampel. Mereka takut nanti otak sapi rusak dan tidak laku

dijual di pasar. Kedepan, para PPC diberi arahan sebelum mengambil sampel

kelapangan tentang cara mengambil sampel medulla oblongata yang baik dan

benar sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada otak.

Page 103: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

99

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.a. Berdasarkan hasil analisa resiko dan surveilans BSE yang diadakan di

RPHyang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT

disimpulkan bahwa Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari

penyakit BSE.

b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat pakan ayam, limbah hotel dan

restoran untuk dijadikan pakan ternak sapi.

2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya

kasus BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan

MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia tetap dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt,C.J., Udy, H.J., MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E.,Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M., Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.Rand Wells, G.A.H (1996). Transmission dynamics and epidemiology ofBSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.

Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistryof PrPsc within bovine spongiform encephalopathy brain samples withgraded autolysis. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 49. pp.1519-1524.

Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmissionof prion diseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.

Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovinespongiform encephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibrilprotein (PrP) and vacuolation in brain. Veterinary Microbiology. 23. pp.295-304.

Page 104: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

100

Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration andtopographic distribution of PrP in the central nervous system in bovinespongiform encephalopathy: an immunohistochemistry study: Ann NYAcad Sci. 724. pp. 350-352.

Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting diseaseof mule deer (Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni).Veterinary Pathology. 30. pp. 36-45.

Page 105: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

101

SURVEILANS PATOLOGI REPRODUKSI PADA TERNAK SAPI POTONGDALAM RANGKA MENDUKUNGPROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI

DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR

TAHUN 2014

Drh. Gede Agus Joni Uliantara, Drh. I Ketut Eli Supartika M.Sc,Drh. I Ketut Wirata, M.Si.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAKS

Dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau , telah dilakukansurveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar tahun anggaran 2014. Surveilans dilakukan dengan mengambil sampel organreproduksi pada ternak sapi betina dan jantan yang di potong di rumah potong hewan (RPH) dantempat pemotongan hewan (TPH) yang ada di wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB)dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Surveilans bertujuan untuk mengetahui patologi reproduksi yang mungkin terjadi pada ternaksapi potong yang bisa berpengaruh terhadap produktifitas ternak sapi. Untuk wilayah Bali,pemotongan terhadap sapi betina mencapai 129 (59,17%), dan jantan sebanyak 42(19,26%)tanpa data sebanyak 47 ekor (21,55%), dari seluruh jumlah sampel yang diperoleh sebanyak218 sampel. Sedangkan untuk wilayah NTB pemotongan sapi betina sebanyak 95 ekor (58,64%)dan jantan 38 ekor (23,45%) dan tanpa data sebanyak 29 ekor (17,90%) dari 162 ekor sapiyang dipotong. RPH dan TPH di wilayah Provinsi NTT juga melakukan pemotongan pada betinayaitu sebanyak 188 ekor (90,82%) dan jantan sebanyak 19 ekor (9,18%) dari 207 ekor sapi yangdipotong.

Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan, dari 587 sampel organ reproduksi yang diuji dilaboratorium Patologi yang berasal dari wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tampaknormal dan tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.

Dapat disimpulkan bahwa adanya gangguan reproduksi seperti kawin berulang maupun anestrusyang sering dikeluhkan peternak dan dijadikan alasan untuk menjual ternaknya yang masihtergolong usia betina produktif, bukan disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi yangbersifat patologis.

Kata kunci: surveilans, patologi reproduksi, sapi potong, Prov. Bali, NTB, dan NTT

Page 106: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

102

PENDAHULUAN

Latar BelakangPopulasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari

tahun ke tahun mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari

luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap

tahun, hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar.

Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional

masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun

terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat

tinggi mencapai 20-40% ; kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di

beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada

saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh

penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010).

Untuk mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah

mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi

(PSDS) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:

60/Permentan/HK.060/8/2007. Kementerian Pertanian melalui Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama

terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak

berbasis sumberdaya domestik yang salah satunya adalah Program

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang tertuang dalam blue print Program

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014.

Gangguan reproduksi pada ternak sapi merupakan gangguan infertilitas yang

merupakan masalah yang sangat komplek disebabkan oleh beraneka ragam

penyakit Gangguan reproduksi pada sapi potong dapat disebabkan oleh bawaan

sejak lahir (Anon, 2005), penyakit viral seperti Bovine Viral Diarrhoea

(Hawranek, 2004), Infectious Bovine Rhinotraceitis (Nuotio et al., 2007),

bakterial (Brucellosis, Leptospirosis), jamur, atau parasit / protozoa

(Trichomoniasis).

Page 107: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

103

GANGGUAN REPRODUKSI

Penyebab Gangguan ReproduksiDi dalam Petunjuk Teknis Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong

(Balitbangnak, 2007), gangguan reproduksi pada sapi potong bisa disebabkan

oleh beberapa faktor, diantaranya:

Cacat anatomi saluran reproduksi (defek kongenital), Gangguan fungsional,

Kesalahaan manajemen dan Infeksi organ reproduksi.

Macam Gangguan Reproduksi

A. Cacat Anatomi Saluran ReproduksiAbnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan

menjadi dua yaitu cacat congenital (bawaan) dan cacat perolehan.

1. Cacat Kongenital

Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada

ovarium (indung telur) dan pada saluran reproduksinya.

2. Cacat perolehan

Cacat perolehan dapat terjadi pada indung telur maupun pada alat

reproduksinya. Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya:

Ovarian Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang

pada indung telur). Bekuan darah yang terjadi dapat menimbulkan adhesi

(perlekatan) antara indung telur dan bursa ovaria (Ovaro Bursal Adhesions /

OBA). OBA dapat terjadi secara unilateral dan bilateral.

B. Gangguan fungsionalSalah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional

(organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini

disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus

gangguan fungsional, diantaranya: sista ovarium, subestrus dan birahi tenang,

anestrus dan ovulasi tertunda.

Page 108: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

104

C. Kesalahan ManajemenFaktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika

tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan

mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan

akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi

hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormone FSH dan LH rendah

(karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).

Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan

sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa

pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi

tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/

fetus.

D. Infeksi Organ Reproduksi1. Infeksi non spesifik

Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: endometritis (radang

uterus), piometra (radang uterus bernanah), dan vaginitis.

2. Infeksi Spesifik

Infeksi yang bersifat spesifik diantaranya: bacterial, viral, protozoa, jamur,

prolaps vagina cervik (dobolen), distokia, retensi plasenta, torsi uterus

(kandung peranakan melintir), maserasi fetus (janin membubur), mummifikasi

fetus (janin mengeras), dan hernia uterina.

Gangguan reproduksi sering dijadikan alasan bagi para peternak untuk menjual

ternak sapi mereka yang masih tergolong produktif. Surveilans patologi

gangguan reproduksi dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan

gangguan reproduksi yang bersifat patologis pada organ reproduksi ternak sapi

yang di potong di RPH maupun TPH yang ada di wilayah Bali, NTB dan NTT.

Page 109: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

105

TUJUAN1. Untuk mendapatkan gambaran situasi penyakit gangguan reproduksi di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Agar dapat mempetakan penyakit gangguan reproduksi yang terjadi di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

SASARAN1. Pemotongan betina produktif agar dapat dikendalikan, guna mencapai

PSDSK.

2. Pengawasan dari Pemerintah setempat terutama yang menangani fungsi

Keswan agar lebih ditingkatkan agar tidak tejadi lagi pemotongan betina

produktif.

OUTPUTTerdatanya RPH dan TPH yang melakukan pemotongan betina produktif.

MATERI DAN METODE

MateriMeteri dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi adalah berupa spesimen

organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH maupun TPH

pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas peternakan atau yang

membidangi fungsi kesehatan hewan setempat. Spesimen organ terdiri dari

bagian testis, ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya yang secara

patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di simpan dalam

media formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses dilaboratorium.

MetodeSpesimen yang diambil selanjutnya diproses dalam alat tissue prosesor, di

embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi dengan mempergunakan

pewarnaan rutin Hematoxilin- Eosin. Pemeriksaan dilakukan dibawah miroskop

dengan perbesaran 5 – 40x untuk melihat kemungkinan adanya perubahan atau

lesi yang bersifat patogen pada organ reproduksi.

Page 110: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

106

HASIL

Pengambilan sampel organ reproduksi sapi untuk pengujian gangguan patologi

reproduksi dilakukan pada malam hari di Rumah Potong Hewan (RPH) atau

Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang berada dibawah pengawasan Dinas

Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan.

Pengambilan sampel didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga

RPH.

Pengambilan sampel di kabupaten Karangasem diperoleh sampel sebanyak 26

sampel. Dari 26 sampel tersebut sebanyak 4 ekor berjenis kelamin jantan

(15,38%) dan 22 (84,62%). sampel dengan jenis kelamin betina Umur sapi yang

dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 20 ekor (76,92%) dan sebanyak 6

ekor (23,08%) sampel tidak ada datanya

Pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Jembrana diperoleh

sampel sebanyak 16 sampel. Dari 16 sampel tersebut 2 sampel berjenis kelamin

jantan (12,5%) dan 10 sampel berjenis kelamin betina (62,5%) dan 4 sampel

tidak ada data (25%). Umur sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun

sebanyak 7 sampel (43,75%) diatas 5 tahun sebanyak 3 sampel (18,75%) dan

sebanyak 6sampel tidak ada catatan umurnya (37,5%). Hal ini bisa dilihat dari

struktur gigi dan atau jumlah cincin pada lingkar tanduk hewan betina.

Pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Buleleng sebanyak 14

sampel,yang terdiri dari 1 sampel dengan jenis kelamin jantan (7,14%), 9 sampel

dengan jenis kelamin betina (64,3%) dan 4 sampel tidak ada data (28,5%). Umur

sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 2 sampel (16,67%)

diatas 5 tahun sebanyak 6 sampel (50%) dan 6 sampel tidak ada datanya (

33,33%).

Page 111: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

107

Di Kabupaten Tabanan pengambilan sampel reproduksi sebanyak 13 sampel.

Organ reproduksi jantan diperoleh sebanyak 10 sampel (76,9%) dan betina

sebanyak 3 sampel (23,1%). Sedangkan umur sapi yang dipotong berkisar

antara 1-5 tahun sebanyak 9 ekor (69,2%) dan tanpa data sebanyak 4 ekor

(30,8%)

Pengambilan sampel organ reproduksi di Kota Denpasar diperoleh sampel

sebanyak 39 sampel, yang terdiri dari 4 sampel dengan jenis kelamin jantan

(10,2%), 26 sampel dengan jenis kelamin betina (66,6%) dan tanpa data

sebanyak 9 sampel (25%). Umur sapi yang dipotong berkisar antara1-5 tahun

sebanyak 36 ekor (92,3%) diatas 5 tahun sebanyak 2 ekor (5,12%) dan tidak

ada data umur sebanyak 1 ekor (2,5%).

Untuk pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Klungkung diperoleh

sampel sebanyak 30 sampel yang terdiri dari 7 sampel dengan jenis kelamin

jantan (23,33%), 17 sampel dengan jenis kelamin betinan (56,67%) dan 6

sampel tanpa data (20%). Sedangkan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak

11 ekor (36,67%) diatas 5 tahun sebanyak 5 ekor (16,67%) dan tanpa data

sebanyak 14 ekor (46,67%).

Pengambilan sampel di Kabupaten Badung diperoleh sampel sebanyak 62

sampel yang terdiri dari 9 sampel(14,51%) dengan jenis kelamin jantan ,38

sampel (61,30%) dengan jenis kelamin betina dan tanpa data sebanyak 15

sampel(24,20%).Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 21 ekor

(38,88%),diatas umur 5 tahun sebanyak 17 ekor (27,41%) dan tanpa data umur

sebanyak 24 ekor ( 38,70% ).

Sedangkan untuk pengambilan sampel di Kabupaten Gianyar diperoleh sampel

organ reproduksi sebanyak 8 sampel yang terdiri dari 5 sampel (62,5%) dengan

jenis kelamin jantan, dan 2 sampel (25%) dengan jenis kelamin betina dan 1

sampel tanpa keterangan(12,5%). Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 8

ekor (100%).

Page 112: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

108

Untuk di Kabupaten Bangli diperoleh sampel sebanyak 10 sampel yang terdiri

dari 4 sampel (40%) dengan jenis kelamin betina dan 6 sampel (60%) tidak ada

datanya. Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 4 sampel (40%) dan 6 tidak

ada catatan umurnya ( 60% ).

Surveilans patologi gangguan reproduksi untuk wilayah NTB dilakukan

pengambilan sampel di Lima Kabupaten/Kota. Untuk di Kabupaten Sumbawa

Barat diperoleh sampel sebanyak 21 sampel yang terdiri dari 21 sampel berjenis

kelamin betina (100%) dan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 9 ekor

(42,85%) dan diatas 5 tahun sebanyak 12 ekor (57,15%).

Di Kabupaten Lombok Tengah diperoleh sampel sebanyak 39 sampel yang

terdiri dari 6 sampel (15,38%) berjenis kelamin jantan, 9 sampel (23,07%)

dengan jenis kelamin betina dan 24 sampel (61,53%) tidak dilengkapi dengan

jenis kelaminnya, Umur sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak

21 ekor (53,85%) diatas 5 tahun sebanyak 14 ekor (35,88%) dan 4 sampel tanpa

data (10,25%).Sedangkan untuk di Kabupaten Dompu diperoleh sampel

sebanyak 40 sampel yang terdiri dari 7 sampel (17,5%) dengan jenis kelamin

jantan dan 33 sampel (82,5%) dengan jenis kelamin betina. Umur sapi yang

dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 15 ekor (37,5%) diatas 5 tahun

sebanyak 5 ekor (12,5%) dan 20 ekor (50%) tanpa keterangan umurnya.

Pengambilan sampel di Kabupaten Lombok Timur diperoleh sampel sebanyak

33 sampel yang terdiri dari 15 sampel (45,45%) dengan jenis kelamin jantan dan

18 sampel (54,54%) tanpa keterangan. Untuk umur sapi yang dipotong tidak ada

data tercatat. Untuk pengambilan sampel di Kota Mataram diperoleh sampel

sebanyak 24 sampel yang terdiri dari 10 sampel 41,66%) dengan jenis kelamin

jantan dan 14 sampel (58,33%) dengan jenis kelamin betina.Kisaran umur sapi

yang dipotong di RPH antara 1-5 tahun sebanyak 15 ekor(62,5%) dan diatas 5

tahun sebanyak 9 ekor (37,5%). Untuk di Kota Mataram diperoleh sampel organ

reproduksi sebanyak 5 sampel,dengan jenis kelamin betina tanpa dilengkapi

umur dari hewan tersebut.

Page 113: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

109

Di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengambilan sampel dilakukan di

Enam Kabupaten/Kota. Di Kota Kupang diperoleh sampel organ reproduksi

sebanyak 60 sampel yang terdiri dari 60 sampel (100%) berjenis kelamin betina

dengan kisaran umur antar 1-5 sebanyak 21 ekor (35%), diatas 5 tahun

sebanyak 39 ekor (65%).

Di Kabupaten Sikka diperoleh sampel organ reproduksi sebanyak 20 sampel 10

sampel (50%) dengan jenis kelamin jantan dan 10 sampel (50%) dengan jenis

kelamin betina. Untuk kisaran umur yang dipotong di RPH antara 1-5 tahun

sebanyak 10 ekor (50%) dan tanpa keterangan data sebanyak 10 ekor

(50%).Untuk di Kabupaten Manggarai timur diperoleh sampel organ reproduksi

sebanyak 12 sampel yang terdiri dari 6 sampel (50%) dengan jenis kelamin

jantan dan 6 sampel (50%) dengan jenis kelamin betina, dan 12 sampel (100%)

tidak ada keterangan umurnya.

Pengambilan sampel di Kabupaten Manggarai diperoleh sampel sebanyak 96

sampel dengan jenis kelamin betina sebanyak 96 sampel (100%), kisaran umur

antara 1-5 tahun sebanyak 59 ekor (61,45%),diatas 5 tahun sebanyak 35 ekor

(36,45%) dan 2 ekor (2,08%) tanpa keterangan.Di Kabupaten Nagakeo

diperoleh sampel sebanyak 12 sampel yang terdiri dari 3 sampel (25%) dengan

jenis kelamin jantan dan 9 sampel (75%) dengan jenis kelamin betina. Umur sapi

yang dipotong di RPH berisar antara 1-5 tahun sebanyak 12 sampel (100%).

Dan di Kabupaten Ngada diperoleh sampel sebanyak 7 sampel yang terdiri dari

7 sampel (100%) dengan jenis kelamin betina dan tanpa dilengkapi umur.

Pengambilan sampel organ reproduksi khususnya di Provinsi Bali melibatkan

seluruh Puskeswan yang ada disetiap Kabupaten/Kota di seluruh Bali. Adapun

tujuannya dilakukan kerjasama ini adalah guna meningkatkan kerjasama antar

instansi dan sekaligus untuk meningkatkan ketrampilan kawan-kawan dalam

pengambilan sampel dilapangan.

Page 114: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

110

Data dan hasil pemeriksaan sampel dari masing-masing Rumah Potong Hewan

dan Tempat Pemotongan Hewan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali NTB dan NTT

pada tahun 2014 dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ reproduksi yangberasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTTtahun 2014

Umur Hewan Jenis KelaminNo Prov Kab/Kota Jml

Smpl 1≤5 th >5 th TD Jtn Btn TdHasil

Karangasem 26 20 - 6 4 22 - 26 TAP

De Jembrana 16 7 3 6 2 10 4 16 TAP

Buleleng 14 2 6 6 1 9 4 14 TAP

Tabanan 13 9 - 4 10 1 2 13 TAPDenpasar 39 36 2 1 4 26 9 39 TAP

Klungkung 30 11 5 14 7 17 6 30 TAP

Badung 62 21 17 24 9 38 15 62 TAP

Gianyar 8 8 - - 5 2 1 8 TAP

Bangli 10 4 - 6 - 4 6 10 TAP

1 Bali

Jumlah 218 118 33 67 42 129 47SumbawaBarat

21 9 12 - - 21 - 21 TAP

Loteng 39 21 14 4 6 9 24 39 TAP

Dompu 40 15 5 20 7 33 - 40 TAP

Lotim 33 - - 33 15 18 - 33 TAP

Mataram 24 15 9 - 10 14 - 24 TAP

Kota Bima 5 - - 5 - - 5 5 TAP

2 NTB

Jumlah 162 60 40 62 38 95 293 NTT Kota Kupang 60 21 39 - - 60 - 60 TAP

Sikka 20 10 - 10 10 10 - 20 TAPManggaraiTimur 12 - - 12 6 6 - 12 TAP

Manggarai 96 59 35 2 - 96 - 96 TAP

Nagakeo 12 12 - - 3 9 - 12 TAP

Ngada 7 - - 7 - 7 - 7 TAP

Jumlah 207 102 74 31 19 188 -

Jumlah Total Sampel 587 280 147 160 99 412 76

KeteranganTD : tidak ada dataTAP : tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan

reproduksi

Page 115: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

111

PEMBAHASAN

Penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi maupun kerbau sering kali tidak

terdeteksi pada awalnya. Hal ini disebabkan karena biasanya penyakit berjalan

sangat perlahan sampai suatu saat muncul pada suatu peternakan. Disamping

itu, penyakit gangguan reproduksi juga cenderung bersifat sub klinis namun bisa

mengancam seluruh populasi dalam kelompok dan yang ada disekitarnya.

Sistem produksi ternak yang masih bersifat tradisional/ ternak dilepas di padang

gembalaan akan semakin mempersulit pengamatan terhadap ternak yang

mengalami gangguan reproduksi.

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Provinsi Bali, NTB dan

NTT. Untuk wilayah Bali sistem produksi ternak bersifat semi intensif, dimana

ternak sudah dikandangkan dan dilakukan pemberian pakan baik berupa hijauan

maupun pakan tambahan berupa dedak padi/ gandum. Pemanfaatan teknologi

reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) maupun sinkronisasi birahi juga sudah

cukup banyak dilakukan di wilayah Bali. Ternak sebagai tenaga untuk

pengolahan lahan pertanian sudah mulai di geser fungsinya oleh alat pembajak

yang menggunakan motor/mesin (tractor). Sedangkan wilayah Provinsi NTB

(kecuali Pulau Lombok) dan NTT, sistem produksi ternak sapi dan kerbau masih

sangat tradisional. Ternak di wilayah tersebut dipelihara dengan cara dilepaskan

di padang gembalaan. Ternak hanya masuk kandang pada saat pendataan

(registrasi) dan vaksinasi oleh petugas. Bahkan menurut informasi Kepala Dinas

Peternakan di wilyah tersebut, dalam satu tahun belum tentu ternak pernah

masuk ke kandang. Hal ini sangat menyulitkan untuk mendeteksi kemungkinan

ternak terjangkit suatu penyakit termasuk penyakit gangguan reproduksi seperti

Brucellosis dan yang lainnya.

Peta kesehatan hewan di wilayah kerja Balai Besar veteriner Denpasar

menunjukkan Provinsi Bali merupakan daerah bebas penyakit Brucellosis, Pulau

Lombok sudah dapat dibebaskan dari penyakit Brucellosis sejak tahun 2002

sedangkan Kota Bima prevalensi reaktor Brucellosis cukup rendah yakni 0,06%

(Putra dan Arsani, 2004). Wilayah Provinsi NTT merupakan daerah endemis

Page 116: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

112

Brucellosis terutama Pulau Timor, walaupun di beberapa wilayah seperti Pulau

Sumba prevalensinya sangat rendah.

Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di Provinsi Bali, NTB

dan NTT pada tahun anggaran 2014 oleh Balai Besar Veteriner Denpasar,

menunjukkan bahwa gangguan reproduksi yang disinyalir mempunyai andil

dalam penurunan populasi ternak sapi di Indonesia, bukan disebabkan oleh

penyakit infeksi.

Dari analisa data hasil pengujian secara histopatologi terhadap sampel organ

reproduksi yang berasal dari wilayah kerja balai Besar Veteriner Denpasar

diperoleh sampel sebanyak 587. Dari 587 sampel yang diuji secara histopatologi

semua organ tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan

reproduksi. Adapun 587 sampel tersebut berasal dari :

Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di wilayah Provinsi Bali

mengambil sampel sebanyak 218 sampel organ reproduksi dan hasil

pemeriksaan secara histopatologi menunjukkan ( 100% ) sampel baik itu organ

reproduksi betina dan organ reproduksi jantan tidak ada perubahan yang

mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.

Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di wilayah Provinsi

NTB hanya memperoleh 162 sampel organ reproduksi dan dari hasil

pemeriksaan histopatologi keseluruhan sampel (100%) baik dari hewan jantan

maupun betina tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit reproduksi.

Untuk wilayah Provinsi NTT diperoleh sebanyak 207 sampel organ reproduksi

dan hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan 207 (100%) sampel tidak ada

perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.

Page 117: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

113

Gambar 1. Organ reproduksi hewan normal, tidak tampak ada perubahan secarahistopatologi (HE. 40x).

Gambar 2. Organ reproduksi hewan normal, tidak tampak ada perubahan secarahistopatologi (HE. 40x).

Page 118: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

114

Analisa hasil pengujian histopatologi terhadap sampel organ reproduksi yang

diperoleh pada saat surveilans patologi gangguan reproduksi dilakukan

menunjukkan signifikansi yang sangat rendah antara pengaruh penyakit

gangguan reproduksi (0 kasus) terhadap penurunan populasi ternak di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Hal yang cukup mengejutkan dari hasil monitoring yang dilakukan adalah

tingginya pemotongan terhadap betina produktif. Adapun yang dimaksud sapi-

sapi betina produktif adalah sapi-sapi betina dalam strata umur produktif yaitu

umur 1 tahun sampai dengan umur ≤ 5 tahun, strata umur ini merupakan kondisi

pencapaian laju produksi puncak (peak product) sapi betina untuk menghasilkan

produksi terbaik/ optimum (Bambang S., 2011).

Untuk wilayah Bali, pemotongan terhadap sapi betina mencapai 129 (59,17%),

dan jantan sebanyak 31(19,26%) tanpa data sebanyak 47 ekor (21,55%), dari

seluruh jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 218 sampel. Sedangkan untuk

wilayah NTB pemotongan sapi betina sebanyak 95 ekor (58,64%) dan jantan 38

ekor (23,45%) dan tanpa data sebanyak 29 ekor (17,90%) dari 162 ekor sapi

yang dipotong. RPH dan TPH di wilayah Provinsi NTT juga melakukan

pemotongan pada betina yaitu sebanyak 188 ekor (90,82%) dan jantan

sebanyak 19 ekor (9,18%) dari 207 ekor sapi yang dipotong.

Hasil diatas menunjukkan masih tetap terjadi pemotongan terhadap sapi

produktif dengan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 280 ekor (47,70%)

dan umur diatas 5 tahun sebanyak 147 ekor (25,04%) dan tanpa data sebanyak

160 ekor (27,25%)

Page 119: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

115

SIMPULAN DAN SARAN

SimpulanKejadian penyakit infeksi pada organ reproduksi ternak sapi yang di potong di

RPH maupun TPH yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT sangat rendah (0

kasus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa gangguan reproduksi yang

disebabkan oleh penyakit infeksi tidak secara signifikan mempengaruhi

penurunan populasi ternak masyarakat. Faktor manajemen seperti nutrisi

pakan, deteksi birahi, transportasi semen untuk inseminasi buatan, dan

ketersediaan pejantan untuk intensifikasi kawin alam, lebih berperan dalam

kegagalan reproduksi daripada akibat penyakit infeksi.

Pemotongan terhadap ternak betina produktif sangat jelas mempengaruhi

penurunan populasi ternak, karena ternak yang diharapkan untuk menghasilkan

ternak baru (reproduksi) harus berakhir di rumah pemotongan hewan.

SaranUntuk meningkatkan populasi ternak, manajemen pemeliharaan ternak

diharapkan bisa lebih kearah intensif. Karena sistem produksi tradisional/

ekstensif kurang mampu memaksimalkan produksi ternak atau setidaknya lebih

lambat dalam berproduksi daripada sistem produksi intensif.

Pengawasan terhadap pemotongan betina produktif diharapkan lebih maksimal

guna meningkatkan jumlah populasi ternak

DAFTAR PUSTAKA

Anon. (2005). Congenital and Inherited anomalies of the reproductive system.The Merck Veterinery Manual. 9th Ed. Merck & CO., INC. WhitehouseStation. N.J., USA. pp. 1094-1096.

Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. DirektoratJenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.

Bambang Soejosopoetro (2011). Studi Tentang Pemotongan Sapi BetinaProduktif di RPH Malang. J. Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011

Page 120: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

116

Blowey, R.W and Weaver, A.D (1991). Diseses and Disorders of Cattle. WolfePublishing Ltd, 1991. BPCC Hazell Books Ltd, Aylesbury, England.

Budiantono, A., Supartika, I.K.E., Sudiarka, W., Berathi, W dan Sudira, W(2002). Monitoring kesehatan reproduksi ternak sapi potong di rumahpotong hewan di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. BuletinVeteriner. BPPV Denpasar. Vo. XIV. No. 60. pp. 33-37.

Hawranek, J.O (2004). Reproductive losses in dairy cattle inected with BVD-MDvirus – A field study. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 48. 355-359.

Nuotio, L., Neuvonen, E and Hyytiainen, M (2007). Epidemiology and eradicationof infectious bovine rhinotracheitis/infectious pustular vulvovaginitis(IBR/IPV) virus in Finland. Acta Veterinaria Scandinavica. 49. pp.1-6.

Walker, B. (2005). Diseases causing reproductive losses in breeding cattle.Agfact A0.9.68, rev. Veterinary Officer, Gunnedah. NSW Department ofPrimary Industries. pp. 1-5

Page 121: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

117

SURVEILANS DAN MONITORING AGEN PENYAKIT RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014

I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilans dan monitoring deteksi agen penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar merupakan komponen penting dalam upaya pengendalian dan pemberantasanpenyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Rabies bersifat endemis diProvinsi Bali, Pulau Flores dan sekitarnya di wilayah Provinsi NTT. Surveilans dan monitoring inibertujuan: mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkaitdengan upaya pembebasan penyakit rabies di Provinsi Bali, mendeteksi sedini mungkinkemungkinan keberadaan virus rabies pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangkamenjaga daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing-anjingyang berisiko tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan penanggulangan rabies(early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.

Surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies. Sampelotak anjing diperiksa dengan metode Flourescent Antibody Test (FAT).

Pada tahun 2014 jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 1.818 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak1.279 sampel, 130/1.279(10,16%) sampel diantaranya positif rabies. Rata-rata jumlah kasusrabies perbulan ada sebanyak 10,83 kasus meningkat hampir 300% dibandingkan dengantahun 2013 sebanyak 3,42 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan diKabupaten Karangasem sebanyak 26 kasus, dan lebih banyak disebabkan oleh anjing yangbelum divaksin rabies.

Jumlah sampel otak yang berasal dari NTB sebanyak 452 sampel, tidak ada positif rabies,sedangkan sampel otak anjing dari Provinsi NTT diperiksa sebanyak 87 sampel, 25/87 (28,73%)sampel positif rabies.

Hasil surveilens dan monitoring ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis diProvinsi Bali dan pulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT, untuk itu program vaksinasi masal,kerjasama antar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies kemasyarakat masih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrolsangat ketat terhadap lalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabiesdi Provinsi NTT masih sangat diperlukan dan diimplemantasikan.

Kata kunci: anjing, monitoring, otak, rabies, surveilans

Page 122: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

118

PENDAHULUAN

Penyakit rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan

ensefalitis fatal pada mammalia disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga

Rabdoviridae (Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai

Besar Veteriner (BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies,

namun sejak tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya

kasus rabies pertama kali di Larantukan, Flores Timur, Nusa Tenggaran Timur

(Windiyaningsih et al., 2004), selanjutnya rabies menyebar ke Provinsi Bali pada

akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan

serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan orang atau

hewan dalam masa inkubasi berpindah ke tempat lain dan berperan dalam

penyebaran penyakit zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al.,

2013). Kejadian wabah rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh

masuknya tiga ekor anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung,

pulau Buton, Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et

al., 2004). Di Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari

masuknya anjing dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi

Selatan (Putra et al., 2009). Kejadian kasus rabies di Provinsi Bali dari tahun

2008 sampai dengan 2013 terus muncul. Anjing masih merupakan hewan

penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali

periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et

al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat

tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan.

Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat

untuk menentukan apakah penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga

tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans

memegang peranan penting dalam memacu memberikan respon cepat,

memonitor dampaknya, sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti

(Townsend et al., 2013).

Page 123: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

119

Dalam rangka pengendalian dan pemberantasan rabies di wilayah kerja BBVet

Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan NTT), BBVet Denpasar melakukan kegiatan

surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing bekerja sama dengan

dinas atau instasi yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di

kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.

TujuanKegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan

tujuan sebagai berikut :1. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies, terkait

dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali

2. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada anjing di

wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap bebas Rabies

3. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko tertular

Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan penanggulangan

rabies (early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.

Keluaran.Keluaran yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit

Rabies adalah :1. Tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing

berisiko terjangkit Rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di

Provinsi Bali

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.

3. Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C

sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang

dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali,

NTB dan NTT.

Page 124: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

120

Pelaksanaan KegiatanPengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan surveilans dan monitoring

agen penyakit rabies dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar

Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas

PUSKESWAN yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah target sampel

otak anjing sebesar 1.226 sampel berasal dari kabupaten/kota di wilayah kerja

BBVet Denpasar (Tabel 1)

Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan diBali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan surveilans deteksi agenpenyakit rabies Tahun Anggaran 2014.

No Provinsi Kabupaten Jumlah Sampel

A Bali BBVet PKHTotal Sampel

Buleleng 5 55 60Karangasem 5 56 62Klungkung 5 55 60Bangli 5 58 66Gianyar 5 55 60Denpasar 5 55 60Badung 5 55 60Tabanan 5 55 60Jembrana 5 56 62

Jumlah 45 500 550

B NTB Sumbawa 15 150 165Mataram 10 150 160

Jumlah 25 300 325

C NTT Sikka 10 168 178Manggarai

Timur 10 168 178Jumlah 20 336 356

Jumlah Keseluruhan 90 1.136 1.226

Page 125: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

121

MATERI DAN METODE

MateriSurveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan

melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut: 1)

anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies, seperti: anjing yang

menggigit orang dan atau hewan lainnya, 2) anjing yang menunjukkan gejala

klinis rabies dan menunjukkan perubahan perilaku, 3) hasil eliminasi terhadap

anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh petugas dinas setempat, 4)

sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan

hidangan dari daging anjing (rumah makan RW). Walaupun terkadang terkesan

sedikit tertutup/ eksklusif tetapi tempat yang menyediakan hidangan daging

anjing (RW) masih cukup banyak keberadaannya, 5) sampel otak anjing yang

mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini menjadi pertimbangan

karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies akan mengalami perubahan

perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk menghindari lalulintas

kendaraan, 6) untuk di daerah bebas Rabies, anjing yang berasal dari daerah

tertular rabies dan tanpa dilengkapi dengan keterangan vaksinasi rabies

(SKKH).

MetodeData yang menyertai sampel otak anjing yang masuk ke Epidemiologi, BBVet

Denpasar dicatat. Data tersebut meliputi: anamnesa, kasus gigitan, kasus klinis,

eliminasi, umur anjing, jenis kelamin, status vaksinasi, asal sampel. Sampel

otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau dalam pengawet gliserin 50%

diperiksa dengan metoda Flourescent Antibody Test (FAT). Preparat apus otak

setelah dikeringkan dalam suhu ruangan difiksasi dengan aseton pada suhu -

20oC selama 30 menit. Setelah dikeringkan pada suhu ruangan preparat

digenangi dengan konjugat anti-rabies (Bio-Rad), ditaruh pada cawan petri yang

beralaskan kertas tissue basah, kemudian dimasukkan ke dalam incubator suhu

37oC selama 30 menit. Preparat dicuci dengan PBS pH 7,2 sebanyak 3 kali 5

menit. Preparat ditetesi larutan mounting serta ditutup dengan cover slip.

Preparat diperiksa dibawah mikroskup fluorescence. Sel-sel neuron terinfeksi

virus rabies ditandai dengan pendaran warna hijau magenta.

Page 126: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

122

HASIL

Jumlah sampel otak anjing yang di periksa di Laboratorium Patologi, BBVet

Denpasar sampai dengan 31 Desember 2014 sebanyak 1.818 sampel, terdiri

dari 1.279 sampel berasal dari Provinsi Bali, 452 sampel berasal dari Provinsi

NTB dan sisanya 87 sampel berasal dari Provinsi NTT (Tabel 2). Pada

pemeriksaan FAT, sampel positif rabies ditandai dengan adanya pendaran

fluorescence berwarna hijau magenta pada sel-sel neuron terinfeksi virus rabies

(Gambar 1).

Di Provinsi Bali jumlah sampel otak anjing positif rabies sebanyak

130/1.279(10,16%) berasal dari 9 kabupaten/kota (Tabel 2, Grafik 2). Jumlah

rata-rata anjing rabies per bulan ada sebanyak 130/12 (10,83) kasus (Grafik 1).

Provinsi NTB masih bebas dari rabies, dari 452 sampel otak anjing yang

diperiksa semuanya negatif rabies (Tabel 2; Grafik 4 & 5). Di Provinsi NTT

sebanyak 25/87 (28,73%) sampel otak anjing positif rabies, dengan jumlah

kasus per bulan rata-rata 24/12 (2,08) per bulan (Tabel 2; Grafik 6 & 7).

Gambar 1. Sampel positif rabies ditandai dengan adanya pendaranfluorescence berwarna hijau magenta pada sel-sel neuronterinfeksi virus rabies.

Page 127: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

123

Tabel 2. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar dan jumlah sampel positif rabies di Provinsi Bali, NTBdan NTT dari bulan Januari s/d 31 Desember Tahun 2014.

Bali NTB NTT Jumlah KeseluruhanBulan(+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml

Jan 3 64 67 0 0 0 2 2 4 5 66 71

Peb 8 84 92 0 11 11 1 1 2 9 96 105

Mar 5 77 82 0 0 0 3 0 3 8 77 85

Apr 13 84 97 0 0 0 5 0 5 18 84 102

Mei 9 64 73 0 30 30 5 0 5 14 94 108

Jun 14 52 66 0 0 0 1 0 1 15 52 67

Jul 12 70 82 0 36 36 1 3 4 13 109 122

Ags 11 71 82 0 40 40 2 4 6 13 115 128

Sep 21 326 347 0 219 219 2 31 33 23 576 599

Okt 15 170 185 0 96 96 1 12 13 16 278 294

Nop 11 42 53 0 0 0 1 0 0 12 42 54

Des 8 45 53 0 20 20 1 9 10 8 74 82

Jml 130 1.149 1.279 0 452 452 25 62 87 154 1.663 1.818

Kasus-kasus positif rabies di Provinsi Bali kebanyakan berasal dari Kabupaten

Karangasem (26 kasus) sedangkan di NTT kasus positif rabies banyak berasal

dari Kabupaten Lembata. Kasus positif rabies kebanyakan berasal dari anjing

yang tidak divaksinasi rabies (Grafik 3 & 8)

Grafik 1. Jumlah sampel otak anjing positif dan negatif rabies yang diperiksa diBalai Besar Veteriner Denpasar dari Provinsi Bali bulan Januari s/d 31Desember 2014 (N=1.279 sampel, 130 sampel positif rabies)

3 8 5 13 9 14 12 11 21 15 11 8

6484 77 84

64 5270 71

326

170

42 45

0

50

100

150

200

250

300

350

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Positif Rabies

Negatif Rabies

Page 128: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

124

Pada pengamatan lapangan, hampir di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali

masih banyak ditemukan anjing-anjing yang berkeliaran, tanpa ada tanda bahwa

anjing tersebut telah divaksinasi rabies (Gambar 2). Masyarakat masih

memelihara anjing dalam jumlah yang cukup banyak untuk kepentingan

menjaga kebun seperti sering dijumpai di Kabupaten Ende, Flores (Gambar 3)

Grafik 2. Jumlah sampel otak anjing positif rabies dari masing-masingkabupaten/kota di Provinsi Bali tahun Januari s/d 31 Desember2014.

Grafik 3. Status vaksinasi anjing positif rabies di Provinsi Bali dari bulanJanuari s/d 31Desember 2014

0

50

100

150

200

250

Badung

Bangli

Buleleng

Denpasar

Gianyar

Jembrana

Karangasem

Klungkung

Tabanan

523 23

2 10 22 2610 9

176203

134

89

49

89

158178

73 Positif Rabies

Negatif Rabies

01020304050607080

Vaksinasi Rabies

Tidak TervaksinasiRabies

Tidak ada data

21

72

37

Jumlah Sampel

Page 129: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

125

Grafik 4.Jumlah sampel otak anjing rabies yang diperiksa di Balai BesarVeteriner Denpasar dari Provinsi Nusa Tengarar Barat bulanJanuari s/d 9 Desember 2014 (N= 452, semua sampel negatifrabies)

Grafik 5. Jumlah sampel otak ajing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar, berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NusaTenggara Barat Tahun 2014 (N=452)

Page 130: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

126

Grafik 6 Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di Balai Besar VeterinerDenpasar dari Provinsi Nusa Tengarar Timur bulan Januari s/dDesember 2014 (N= 87, 25 positif rabies; 62 sampel negatif rabies)

Grafik 7. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar berasal dari kabupaten/kota di Provinsi Nusa TenggaraTimur, Tahun 2014 (N=87, 25 positif rabies, 62 sampel negatifrabies)

2 13

5 5

1 1 2 2 1 1 1

2 1 0 0 0 03 4

31

12

0

9

0

5

10

15

20

25

30

35

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Positf Rabies

Negatif Rabies

05

101520253035

Belu

Flores Timur

Lembata

Manggarai Barat

Nagekeo

Ngada

Sikka

03

20

1 0 1 03

15

1 0

11

1

31

Positif Rabies

Negatif Rabies

Page 131: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

127

Grafik 8. Status vaksinasi anjing positif rabies di Provinsi NTT dari bulan Januaris/d 31 Desember 2014

Gambar 2. Anjing masih nampak berkeliaran di jalanan di beberapa daerahdi Provinsi Bali. 3. Petani memelihara anjing cukup banyak untuk menjagakebun (Ende, Flores).

2 3

2 3

02468

101214161820

VaksinasiRabies

TidakTervaksinasi

Rabies

Tidak AdaData

3 3

19

Jumlah Sampel

Page 132: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

128

PEMBAHASAN

Rabies merupakan penyakit zoonosis bersifat fatal namun penyakit ini bisa di

cegah. Sejak munculnya kasus rabies di Flores tahun 1997 dan di Provinsi Bali

tahun 2008, kasus rabies di kedua daerah ini terus berlanjut sampai saat ini

walau program vaksinasi massal rabies telah dilaksanakan.

Hasil surveilans tahun 2014 menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus

rabies di provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2013. Tahun 2013 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 41 kasus, sedangkan tahun 2014 meningkat

cukup drastis yaitu ada sebanyak 130 kasus positif rabies (Tabel 2). Tahun 2013

di Kota Denpasar dan Tabanan tidak dijumpai kasus rabies, namun di tahun

2014 di Kota Denpasar ditemukan 2 kasus positif dan di Kabupaten Tabanan 9

kasus positif rabies (Grafik 2). Di Provinsi NTT, kasus rabies banyak ditemukan

di kabupaten Lembata yaitu sebanyak 20 kasus. Berdasarkan status

vaksinasinya, anjing yang positif rabies baik di Provinsi Bali dan NTT lebih

banyak disebabkan oleh anjing yang belum divaksin (Grafik 3 & 8). Sampai saat

ini anjing merupakan sumber utama penularan rabies baik ke hewan maupun

manusia. Di Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan

difungsikan sebagai penjaga rumah atau kebun atau untuk penting komersial

(Gambar 3). Namun perhatian mereka terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing

dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri (Gambar 2), pergi ke tempat-

tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat upacara keagamaan, serta

berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat sulit ditangkap apa lagi

divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) menyebutkan bahwa

anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular rabies. Jual beli anjing

untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara keagamaan di Bali juga

berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan Flores.

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah

satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya

anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya.

Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga

cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat

Page 133: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

129

tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam

perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat

sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,

peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.

Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup

ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi

sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin

yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa inkubasi

(Putra, 2011). Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena

cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga

siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum

lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena

anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang

kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana

sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari

sampai dengan Desember 2014 sebanyak 452 sampel, berasal dari 9

kabupaten/kota semuanya hasilnya negatif rabies (Grafik 4 dan 5). Provinsi NTB

merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi

terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di

sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi

wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya

untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan

tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan

penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu

surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan

pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi

NTB perlu terus ditingkatkan.

Page 134: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

130

Analisa resiko kegiatan.Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di

provinsi Bali, NTB dan NTT sebanyak 1.226 sampel, terdiri dari 550 sampel dari

Provinsi Bali, 325 sampel dari NTB dan 356 sampel dari NTT. Dari jumlah

sampel, Provinsi Bali dan NTB jumlah sampel otak yang terkumpul telah

melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTT jumlah sampel otak anjing yang

terkumpul hanya 87 sampel dari target sampel sebanyak 356. Hal ini mungkin

disebabkan oleh karena anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup lumayan di

NTT khususnya di Pulau Flores, sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh

pemerintah menemui kesulitan, disamping itu untuk menangkap anjing yang

diliarkan sangat sulit apalagi tanpa ada dukungan dari pemilik/masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.

1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa

kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.

3. Tahun 2014 terjadi peningkatan kasus rabies pada anjing di Provinsi Bali.

4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak

disebabkan oleh anjing yang belum pernah diimunisasi rabies.

Saran-saran

1. Perlu upaya kerja keras dalam upaya pengendalian dan pemberantasan

rabies di Bali dan NTT, diantaranya melakukan vaksinasi masal, kebijakan

depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan tokoh

masyarakat setempat, serta kemungkinan penggunaan vaksinasi oral.

2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan

penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.

Page 135: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

131

DAFTAR PUSTAKA

Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B.,Cliquet, F., Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M.,Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez,S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B(2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of Lyssaviruses-Resultsof a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue3. E5

Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D.,Buttke, D., Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H.,Ruppecht, C.E. and Marano, N (2013). Prevention and Control of Rabiesin an Age of Global Travel: A Review of Travel and Trade AssociatedRabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses Public Health. 22:12071

Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009).Rhabdoviridae. In: Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.

Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G.,Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies diBali: Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner,Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26.

Putra, A.A.G (2011). Epidemiologi Rabies di Bali: Analisis Kasus Rabies pada:Semi Free Ranging Dog” dan Siginifikansinya Dalam Siklus PenularanRabies dengan Pendekatan Ekosistem. Bull. Vet. BBVet Denpasar. VolXXIII, no 78, 45-55.

Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004).The Rabies Epidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med.Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393

Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease inShifting Climate Context. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4

Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma,D.M.N., Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali diProvinsi Bali. Buletin Veteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) .Rabies Pada Hewan Di Provinsi Bali Tahun 2008-2012 BulleteinVeteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar

Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra,A.A.G., Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines forDisease Elimination: A Case Study of Canine Rabies. ComparativeImmunology, Microbiology and Infectious Diseases. 36. 249-261.

Page 136: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

132

MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA(PMSR-CM) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014

Dewi,A.A.S., N.P.Widdhiasmoro, I.Nurlatifah, P.B. Frimananda, N.Riti,D.Purnawati,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Produk hewan memiliki nilai dan kualitas tinggi bagi kemaslahatan manusia. Khusus pangan asalhewan (PAH) berupa daging, telur, dan susu merupakan protein hewani yang mengandungasam amino essential yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, dan mencerdaskan kehidupanbangsa. Namun demikian pangan asal hewan juga mudah rusak (perishable food) danmemiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (hazardous food)) karena mudahtercemar secara fisik, kimiawi (residu), dan biologis (cemaran mikroba). Program Monitoring dansurveilans residu dan cemaran mikroba tahun 2014 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telahdilakukan dengan melakukan pengambilan sampel pangan asal hewan sebanyak 774 sampelyang terdiri atas 308 sampel daging segar (sapi, babi dan ayam), 366 sampel telur (ayam, itikdan puyuh), 80 sampel hati sapi dan 20 sampel daging sapi beku impor. Hasil uji cemaranmikroba terhadap 308 sampel daging segar menunjukkan bahwa sebanyak 12,5-34% sampeldaging segar mengandung total mikroba (TPC) dan sebanyak 12,5-39,9% sampel mengandungbakteri Coliform melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI7388;2009. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene daging yangberedar di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah. Namun demikian semuasampel daging tidak tercemar bakteri patogen S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter spdan tidak mengandung bahan pengawet (formalin). Pengujian terhadap residu antibiotikamenunjukkan bahwa residu antibiotika golongan (penisillin, tetrasiklin, aminoglikosida danmakrolida) masih ditemukan pada beberapa sampel telur ayam, telur itik dan telur puyuhkhususnya sampel telur yang berasal dari Provinsi Bali yaitu sebanyak 1,0-7,3%. Hasil uji residuhormon trenbolon asetat (TBA) terhadap 100 sampel hati sapi lokal dan daging sapi beku impormenunjukkan bahwa konsentrasi TBA sampel tersebut (61,83-191,00 ppt) masih di bawahdeteksi limit dan batas maksimum residu (MRL) sehingga diinterpretasikan tidak terdeteksi(negatif).

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kesehatan masyarakat veteriner meliputi antara lain segala urusan yang

berhubungan dengan hewan, produk hewan baik langsung maupun tidak

langsung yang mempengaruhi kesehatan manusia, dan urusan penyakit-

penyakit hewan termasuk anthropozoonosa (Anon, 2008).

Page 137: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

133

Produk hewan memiliki nilai dan kualitas tinggi bagi kemaslahatan manusia.

Khusus pangan asal hewan (PAH) berupa daging, telur, dan susu merupakan

protein hewani yang mengandung asam amino essential yang tidak dapat

diganti dengan protein nabati atau protein sintesis lainnya, sehingga sangat

bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan

bangsa.

Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah

rusak (perishable food dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan

lingkungan (hazardous food)) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi

(residu), dan biologis (cemaran mikroba) sehingga dapat membahayakan

keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan , serta

mengganggu ketentraman batin masyarakat.

Undang-undang No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

juga mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin pangan

asal hewan (daging, telur, susu) yang beredar harus Aman, Sehat, Utuh dan

Halal (ASUH) sebagai upaya untuk melindungi kesehatan dan ketentraman batin

masyarakat (Anon, 2013).

Upaya yang dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat

membahayakan keselamatan hidup manusia, dan guna mendorong pelaku

usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang memenuhi persyaratan

keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi, dimasukkan dari dan/atau

dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di dalam negeri, perlu dilakukan

pengawasan dan pengujian melalui program monitoring dan surveilans.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Balai Besar Veteriner Denpasar

melakukan program monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba

(PMSR-CM) pada pangan asal hewan di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil surveilans tahun

2013 menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang beredar dimasyarakat

relatif masih rendah karena sebanyak 36,8-67,7% sampel daging tercemar

Page 138: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

134

mikroba melebihi persyaratan yang ditetapkan dalam Standard Nasional

Indonesia (SNI 7388 ; 2009), dan sebanyak 3,9% sampel telur masih

mengandung residu antibiotika. Oleh karena itu surveilans dilanjutkan tahun

2014 dengan melakukan pengambilan sampel di rumah potong hewan, pasar

tradisional dan perusahaan.

1.2. Identifikasi MasalahBerdasarkan informasi di atas dapat diidentifikasikan masalah yaitu sejauh mana

tingkat pencemaran mikroba dan profil kandungan residu pada pangan asal

hewan yang beredar di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun

2014.

1.3. TujuanUntuk mendapatkan data (mengetahui prevalensi residu dan cemaran mikroba),

1.4. Manfaata. Berdasarkan data yang diperoleh dapat meningkatkan hasil analisis

prevalensi residu dan cemaran mikroba, sebagai pijakan dalam upaya

melakukan pengawasan terhadap keamanan pangan yang beredar di

masyarakat

b. Sebagai masukan kepada pimpinan pusat dan daerah untuk pengembangan

kebijakan kesmavet lebih lanjut

1.5. SasaranTerdeteksinya agen (mikroba) serta obat-obatan (antibiotika) yang terkandung

pada pangan asal hewan.

1.6. Outputa. Tersedianya data prevalensi residu dan cemaran mikroba

b. Pemetaan derajat kejadian residu dan cemaran mikroba pada pangan asal

hewan yang beredar di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

Page 139: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

135

II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1. Bahan

Jenis sampel yang diambil adalah daging segar (ayam, sapi dan babi), daging

sapi beku impor, hati sapi dan telur (ayam, itik dan puyuh). Di wilayah Provinsi

Bali jumlah sampel yang diambil sebanyak 645 sampel (268 sampel daging

segar, 314 sampel telur, 43 sampel hati sapi dan 20 sampel daging sapi beku

impor), di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 62 sampel (16 sampel

daging segar, 26 sampel telur dan 20 sampel hati sapi) dan di Nusa Tenggara

Timur (NTT) sebanyak 67 sampel (24 sampel daging segar, 26 sampel telur dan

17 sampel hati sapi). Total sampel adalah 774 sampel. Sedangkan bahan

(media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba (TPC) mencakup

plate count agar (PCA), BPW 0,1%.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,

tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,

hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate

tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s

eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’

citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen

metyl red indikator, reagen voges proskauer.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara

lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,

koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter

enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%

Page 140: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

136

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon

trenbolon dan formalin mencakup bakteri (Bacillus cereus ATCC 11778, Bacillus

cereus ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953 dan Kocuria

rizophilla ATCC 9341) bacto pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract,

glucosa, dextrosa, tryptone, tert butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit

elisa trenbolon, colom C-18, metanol, sodium nitroprusida, penilhidrasin, NaOH.

2.1.2. AlatPeralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan

petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic

jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,

labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety cabinet, laminar air flow,

autoclave, gelas ukur, oven, colony counter, mikroskop, evaporator,

homogenizer, elisa reader

2.2. Metode

2.2.1. Lokasi pengambilan sampelPengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan di 8 (delapan) Kabupaten/Kota

(Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Buleleng, Jembrana, Tabanan dan

Denpasar). Di Provinsi NTB dilakukan di 2 (dua) Kabupaten/Kota (Lombok

Barat dan Kota Bima), sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di Kabupaten Sikka.

Sampel daging segar dan hati sapi diambil di rumah potong hewan

(RPH)/tempat pemotongan hewan (TPH) dan pasar tradisional. Pengambilan

sampel khususnya daging sapi beku import juga dilakukan di beberapa

perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon. Sampel telur

diambil di pasar tradisional.

2.2.2. Penanganan dan transportasi sampelSemua sampel daging ditangani secara aseptis. Sampel yang diperoleh

disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin. Sedangkan sampel telur

diletakkan pada rak telur.

Page 141: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

137

2.2.3. Pengujian sampela. Cemaran mikroba (TPC, Coliform, E.coli, S.aureus, Salmonella

sp,Campylobacter sp.)

Berdasarkan SNI 2897:2008. Masing-masing sampel ditimbang sebanyak

25 gram, kemudian dimasukkan dalam wadah steril, ditambahkan 225 ml

BPW 0,1% dan dihomogenkan selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat

pengenceran seri berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap

pengenceran tersebut dan dituangkan ke dalam cawan petri steril.

Kemudian dituangkan 12-15 ml plate count agar dan diinkubasikan pada

suhu 350C selama 24-48 jam Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total

Plate Count (TPC).

Untuk pengujian bakteri Coliform yaitu sampel dari setiap pengenceran

10-1, 10-2, 10-3 masing-masing diambil 1 ml, dituangkan ke dalam 3 tabung

yang berisi tabung durham dan 9 ml lauryl sulfate trptose broth (LSTB)

Tabung-tabung tersebut diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 350C.

Gas yang terbentuk pada tabung-tabung ini adalah hasil positif dalam uji

pendugaan untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan uji peneguhan

dengan mengambil 1 loop biakan dari tabung LSTB yang positif ke tabung-

tabung brilliant green lactose bile broth (BGLBB) yang diinkubasikan pada

suhu 350C selama 48 ± 2 jam. Bakteri Coliform ditentukan dengan nilai

MPNnya (Most Probable Number) berdasarkan jumlah tabung-tabung yang

mengandung gas pada tabung BGLBB.

Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap

tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham

dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-

tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri

E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC

broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari

masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi

dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah

tabung dalam pengenceran EC broth yang positif.

Page 142: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

138

Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran

diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3

ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk.,

diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan

ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan

dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu

350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci

ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan

pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya

gumpalan.

Pengujian bakteri Salmonella sp sebanyak 25 gram sampel ditambahkan

225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2

jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml

tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2

jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD

dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang

khas untuk bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni

yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia.

Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan

ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15

menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml

endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment

broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam

dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C

selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml

dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari

suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama

24-48 jam dalam kondisi anaerobic.

b. Residu antibiotika (bioassay) berdasarkan SNI 7424:2008

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan

pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus

Page 143: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

139

diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah

ditambahkan bakteri uji (Bacillus cereus ATCC 11778, Bacillus cereus

ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953 atau Kocuria

rizophilla ATCC 9341) sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,

kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika

sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan

makrolida dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan

tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada

temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel

sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan

yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan.

c. Residu hormon Trenbolon Acetat (TBA)Sampel daging dibuang lapisan lemaknya, kemudian ditimbang sebanyak

10 gram ditambahkan 10 ml PBS 67 mM dihomogenkan dengan

homogenizer selama 5 menit. Dalam tabung centrifus, sebanyak 2 gram

sampel yang sudah homogen dicampur dengan 5 ml tert-butylmetylether

kemudian di kocok dengan memakai shaker selama 30-60 menit dan

dicentrifus (10- 150C ) selama 10 menit dengan kecepatan 3000 g.

Supernatannya ditampung dalam labu evaporator (dilakukan pengulangan

2 kali), kemudian di evaporasi hingga kering. Hasil evaporasi

ditambahkan 1 ml larutan metanol 80% dan 2 ml PBS buffer 20 mM dan

dimasukkan ke dalam kolom C-18 yang sebelumnya sudah dilakukan

pencucian dengan 3 ml metanol 100% dan 2 ml PBS buffer 20 mM.

Selanjutnya sampel dalam kolom C-18 dibilas dengan 2 ml metanol 40%

dan dikeringkan. Setelah kering di elusi dengan 1 ml metanol 80% dan

diencerkan dengan 1 ml H2O. Diambil 20 ul untuk diuji selanjutnya pada

mikrotiter Elisa.

Page 144: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

140

d. Uji FormalinSampel ditimbang sebanyak 10 gram dan diencerkan dalam 10 ml air

steril, dihomogenkan sampai halus. Sampel kemudian disentrifus dengan

kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya.

Supernatan dituangkan dalam tabung reaksi kemudian ditambhakan 3

tetes larutan penilhidrasin 0,5%, 2 tetes larutan sodium nitroprusida 5%

dan 3 tetes larutan NaOH 10%. Sampel dikatakan positif mengandung

formalin bila terbentuk warna hijau-biru dan akhirnya berubah menjadi

warna oranye atau merah.

III. HASIL

Hasil uji cemaran mikroba terutama TPC, Coliform dan E.coli terhadap sampel

daging segar asal Kabupaten/Kota di Provinsi NTB disajikan dalam tabel 1 di

bawah ini

Tabel 1. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)

JenisSampel

Lokasi Jumlahsampel

TPC>1x106

Coliform>1x102

E.coli>1x101

RPH 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging sapi

Pasar 4 2 (50,0%) 2 (50,0%) 0 (0,0%)

TPU 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging ayam

Pasar 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Jumlah 16 2 (12,5%) 2 (12,5%) 0 (0,0%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml ;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.

Page 145: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

141

Hasil uji cemaran mikroba terhadap 268 sampel daging segar asal

kabupaten/kota di Provinsi Bali menunjukkan bahwa rata-rata sebanyak 91

sampel (24,5%) mengandung TPC, sebanyak 107 sampel (39,9%)

mengandung bakteri Coliform dan sebanyak 11 sampel (4,1%) mengandung

bakteri E.coli melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang

dipersyaratkan dalam SNI. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi Bali

Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)

JenisSampel

Lokasi Jumlahsampel

TPC>1x106

Coliform>1x102

E.coli>1x101

RPH 38 8 (21,1%) 9 (23,7%) 4 (10,5%)Daging sapi

Pasar 41 17 (41,5%) 17 (41,5%) 2 (4,9%)

RPH 11 1 (9,1%) 1 (9,1%) 0 (0,0%)

TPH 20 8 (40,0%) 8 (40,0%) 1 (5,0%)

Daging babi

Pasar 55 21 (38,2%) 22 (40,0%) 0 (0,0%)

TPU 13 7 (53,8%) 9 (69,2%) 0 (0,0%)Daging ayam

Pasar 90 29 (32,2%) 41 (45,6%) 4 (4,4%)

Jumlah 268 91 (34,0%) 107 (39,9%) 11 (4,1%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml ;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.

Sedangkan hasil uji terhadap 24 sampel daging segar dari NTT menunjukkan

bahwa rata-rat sebanyak 5 sampel (20,8%) mengandung TPC dan bakteri

Coliform melebihi persyaratan SNI. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 3 di

bawah ini.

Page 146: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

142

Tabel 3. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi NusaTenggara Timur (NTT)

Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)

JenisSampel

Lokasi Jumlahsampel

TPC>1x106

Coliform>1x102

E.coli>1x101

RPH 5 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging sapi

Pasar 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Daging babi Pasar 7 3 (42,9%) 3 (42,9%) 0 (0,0%)

Daging ayam Pasar 8 2 (25,0%) 2 (25,0%) 0 (0,0%)

Jumlah 24 5 (20,8%) 5 (20,8%) 0 (0,0%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.

Hasil uji terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa semua sampel daging

segar (daging sapi, daging babi dan daging ayam) tidak terkontaminasi (negatif)

bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan

Campylobacter sp. Semua sampel daging tersebut juga tidak mengandung

bahan pengawet (formalin).

Hasil uji residu antibiotika terhadap sampel daging dan telur yang berasal dari

Provinsi Bali menunjukkan bahwa sampel daging tidak mengandung residu

antibiotika. Sedangkan sebanyak 5 sampel (4,2%) dari 119 sampel telur ayam

mengandung residu golongan penisillin, sebanyak 5 sampel (4,2%)

mengandung residu golongan aminoglikosida dan sebanyak 2 sampel

(1,7%)mengandung residu golongan makrolida. Telur itik mengandung residu

golongan aminoglikosida sebanyak 1 sampel (1,3%) dari 79 sampel. Demikian

juga dari 99 sampel telur puyuh, sebanyak 3 sampel (3,1%) mengandung residu

golongan penisillin, sebanyak 1 sampel (1,0%) mengandung residu golongan

tetrasiklin dan sebanyak 7 sampel (7,3%) mengandung residu golongan

aminoglikosida. Hasil uji selengkapnya tersaji dalam tabel 4 di bawah ini.

Page 147: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

143

Tabel 4. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal ProvinsiBali

Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)

Provinsi JenisSampel

Jumlahsampel

GolonganPenisillin

GolonganTetrasiklin

GolonganAmino

glikosida

GolonganMakrolida

Dg.

Sapi

79 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Dg.

Babi

86 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Dg.

ayam

103 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tl.

Ayam

119 5 (4,2%) 0 (0,0%) 5 (4,2%) 2 (1,7%)

Tl. Itik 99 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (1,0%) 0 (0,0%)

Bali

Tl.

puyuh

96 3 (3,1%) 1 (1,0%) 7 (7,3%) 0 (0,0%)

Jumlah 582

Sedangkan hasil uji residu antibiotika terhadap sampel yang bersasal dari

Provinsi NTB dan NTT menunjukkan bahwa semua sampel daging dan telur

tidak mengandung residu antibiotika (0,0%). Hasil uji tersaji dalam tabel 5 dan 6

di bawah ini.

Page 148: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

144

Tabel 5. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal ProvinsiNTB

Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)

Provinsi JenisSampel

Jumlahsampel

GolonganPenisillin

GolonganTetrasiklin

GolonganAmino

glikosida

GolonganMakrolida

Dg. sapi 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Dg.

ayam

8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tl. ayam 9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tl. Itik 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

NTB

Tl.

puyuh

9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Jumlah 42

Tabel 6. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asalProvinsi NTT

Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)

Provinsi JenisSampel

Jumlahsampel

GolonganPenisillin

GolonganTetrasiklin

GolonganAmino

glikosida

GolonganMakrolida

Dg. sapi 9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Dg.

ayam

8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Dg. babi 7 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tl. ayam 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Tl. Itik 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

NTT

Tl.

puyuh

10 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)

Jumlah 50

Page 149: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

145

Sementara itu, hasil uji residu hormon trenbolon asetat (TBA) terhadap 100

sampel daging dan hati sapi tersaji dalam tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Hasil uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA)

Hasil uji hormon TBAProvinsi AsalSampel

JenisSampel

Jumlahsampel Konsentrasi

(ppt)Perusahaan(importir)

Dg. sapibeku

20 73,17 - 182,32

RPH Hati sapi 24 61,83 - 165,04

Bali

Pasar Hati sapi 19 87,97 - 191,00

TPH Hati sapi 10 85,28 - 179,54 NTB

Pasar Hati sapi 10 130,64 - 182,32

NTT RPH Hati sapi 17 64,10 - 185,88

Jumlah 100

Keterangan : - Batas Maksimum Residu (BMR) residu hormon TBA yangditetapkan Codex Alimentarius Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) pada dagingdan 10 ppb (10.000 ppt) pada hati

IV. PEMBAHASAN

Dalam Standard Nasional Indonesia (SNI 7388-2009) dinyatakan bahwa

cemaran mikroba adalah kontaminan dalam pangan asal hewan berupa

mikroorganisme yang dikatagorikan dapat membahayakan kesehatan manusia

jika jumlahnya melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan dalam SNI. Jenis

cemaran mikroba yang dikatagorikan membahayakan pada daging, telur dan

susu adalah TPC, Coliform. Escherichia coli, Staphylococcus .aureus,

Salmonella sp, Campylobacter sp, Listeria monocytogenes (Anon.,2009).

Berdasarkan data hasil pengujian cemaran mikroba terhadap 308 sampel daging

segar (sapi, babi dan ayam) yang berasal dari Bali, NTB dan NTT yang tersaji

dalam tabel di atas, menunjukkan bahwa prevalensi cemaran mikroba sampel

daging yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) relatif lebih rendah

dibandingkan dengan sampel yang berasal dari pasar tradisional. Namun

demikian secara umum prevalensi cemaran mikroba terutama Total Plate Count

Page 150: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

146

(TPC) relatif masih cukup tinggi (12,5-34%) melebihi persyaratan batas

maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam SNI 7388;2009 yaitu 1x106

koloni/gram pada sampel daging. Demikian juga hasil uji terhadap bakteri

Coliform sebanyak 12,5-39,9% sampel daging segar tercemar bakteri Coliform

melebihi SNI (1x102 koloni/gram) dan 0-4,1% sampel tercemar bakteri E.coli

melebihi SNI (1x101 koloni/gram)

Bakteri ini merupakan mikroba indikator tingkat kontaminasi. Bakteri Coliform

umumnya tidak bersifat patogen, namun apabila ditemukan maka diasumsikan

bahwa air yang digunakan dalam proses penyediaan daging telah

terkontaminasi feses. Bakteri Coliform seperti bakteri lainnya dapat

dimusnahkan dengan cara memasak air hingga mendidih atau perlakuan

dengan klorin. Sedangkan strain E.coli ada yang patogen dan non patogen.

Bakteri E.coli non patogen banyak ditemukan dalam usus besar manusia

sebagai flora normal dan berperan dalam pencemaran pangan dengan

menghasilkan vitamin K dari bahan yang belum dicerna dalam usus besar.

Strain patogen E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua

kelompok usia melalui endotoksin yang dihasilkannya (Anon, 2009)

Dengan demikian, secara umum hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat hygiene

daging segar tersebut relatif masih rendah dari aspek cemaran total bakteri yang

dikatagorikan bakteri kontaminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi

mikroba pada daging segar sudah terjadi mulai dari RPH, selanjutnya di pasar

tradisional. Daging dikenal sebagai bahan makanan yang mudah rusak

(perishable food). Untuk dapat menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh

dan halal (ASUH) maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi

persyaratan teknis, mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak

hidup menjadi produk pangan (daging) (Anon,1997). Berdasarkan hasil

pemantauan, ada beberapa RPH yang memenuhi standar higiene dan sanitasi

yang baik, namun sebagian besar kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT

saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik

(bangunan dan peralatan), sumber daya manusia serta prosedur teknis

pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua RPH memilki nomor

Page 151: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

147

kontrol veteriner (NKV) sebagai standar pelaksanaan higiene dan sanitasi pada

sebuah RPH.

Kontaminasi mikroba juga dapat terjadi pada alat pengangkut daging. Hasil

pengamatan selama surveilans bahwa sebagian besar daging segar diangkut

dari RPH menuju pasar menggunakan mobil bak terbuka, sehingga daging

mudah tercemar mikroba. Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun

ada beberapa pasar yang sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar

pasar tidak memiliki kios daging. Banyak pedagang yang meletakkan daging di

atas meja kayu yang beralaskan plastik, hanya sebagian kecil yang beralaskan

porselin. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan kondisi

lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-asuhan .

Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal hewan yang

aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di pasar tradisional kenyataannya relatif

berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar masalah teknis

tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon, 2013).

Namun demikian semua sampel daging segar yang diperiksa tidak tercemar

bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan

Campylobacter sp, Berdasarakan SNI 7388:2009, bakteri Salmonella sp dan

Campylobacter sp adalah bakteri yang tidak boleh berada dalam pangan. Bateri

Salmonella terdapat dimana-mana dan dikenal sebagai agen yang zoonotic.

Salmonella adalah penyebab foodborne disease dan Campylobacter jejuni

dikenal sebagai patogen enterik yang penting. Bakteri ini merupakan patogen

utama penyebab keguguran dan enteritis pada sapi dan kambing. Diare

berdarah disebakan karena sifat Campylobacter yang invasif yaitu dapat masuk

ke lapisan usus halus dan akan mengeluarkan toksin yang merusak mukosa

usus tersebut (Anon, 2009).

Page 152: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

148

Sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga diuji terhadap residu

antibiotika. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil

metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta

kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan

sekitar (Anon., 2005).

Hasil uji menunjukkan bahwa residu antibiotika masih ditemukan pada sampel

telur khususnya sampel yang berasal dari Provinsi Bali. Residu antibiotika

golongan penisillin ditemukan sebanyak 5 sampel ( 4,2%) dari 119 sampel telur

ayam dan sebanyak 3 sampel (3,1%) dari 96 sampel telur puyuh. Residu

golongan aminoglikosida ditemukan sebanyak 5 sampel (4,2%) dari 119 sampel

telur ayam, sebanyak 1 sampel (1,0%) dari 99 sampel telur itik dan sebanyak 7

sampel (7,3%) dari 96 sampel telur puyuh. Sedangkan residu golongan

makrolida dan tetrasiklin masing-masing ditemukan pada telur ayam yaitu

sebanyak 2 sampel (1,7%), sebanyak 1 sampel (1,0%) pada telur puyuh.

Keempat golongan residu antibiotika masih ditemukan pada pangan asal hewan,

hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur, itik dan

burung puyuh yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang

cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang

ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman.

Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan

penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika

golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan

efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika

golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk

menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi

konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).

Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak

hanya untuk menjamin kesehatan ter nak tetapi juga mencegah terjadinya

transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi

sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol

Page 153: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

149

yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak

menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang

mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia.

Sementara itu, sebanyak 20 sampel daging sapi dan 80 sampel hati sapi yang

diambil dari beberapa perusahaan (importir) , RPH dan pasar diperiksa terhadap

residu hormon trenbolon asetat (TBA). Hasil uji menunjukkan bahwa nilai

kandungan hormon TBA dengan Elisa terdeteksi pada sampel daging sapi beku

impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara 73,17-182,32 ppt dan pada

sampel hati sapi lokal berkisar antara 61,83-191,0 ppt. Nilai kandungan hormon

TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga diinterpretasikan

tidak terdeteksi.

Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan

maximum residue limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius

Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel hati

sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan

bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat

(withdrawal times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk.

2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut

aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolon asetat.

Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan

untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.

Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara

subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat

pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa

17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi

mamalia dari berbagai spesies (JECFA, 1988).

Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,

Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak

digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan

dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat

Page 154: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

150

keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.

Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi

dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu

hormon tersebut.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SimpulanDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene

pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi

Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan

yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut

karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba (TPC, Coliform) yang

mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat

higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan yaitu RPH dan pasar

tradisional.

Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan

khususnya telur mengindikasikan bahwa pemakaian antibiotika dipeternakan

ayam, itik dan puyuh masih cukup tinggi dan kurangnya kontrol terhadap

aplikasinya. Sementara itu, sampel daging sapi beku impor dan hati sapi lokal

aman dikonsumsi dari aspek kandungan residu 17β-trenbolon dan 17α-

trenbolon.

5.2. SaranUntuk dapat menyediakan pangan asal hewan terutama daging segar yang

memenuhi standar jaminan mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat

dan Derah melalui Dinas Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi

mata rantai penyediaan daging dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan

kios-kios daging di pasar tradisional.

Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan pemakaian

obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada pangan asal

hewan.

Page 155: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

151

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1997. Manual Kesmavet. Pedoman Pembinaan Kesmavet, No.47hal.40.

Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat KesehatanMasyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.Departemen Pertanian.

Anonimus, 2008. Pedoman Pengawasan dan Pengujian Keamanan dan MutuProduk Hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, DirektoratJenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388:2000. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Pedoman Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan TugasPembantuan (TP) Tahun 2013. Direktorat Kesehatan MasyarakatVeteriner Dan Pasca Panen, Direktorat Jenderal Peternakan DanKesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Horie, M., Hiroyuki N., 2000. Determination of trenbolon and zeranol in bovinemuscle and liver by liquid chromatography-electrospray massspectrometry. J Chrom A. 882:53-62.

JECFA. Joint FAO/WHO Expert Commitee on Food Additives, 1988.Consideration of maximum residue limits (MRL) for veterinary drugs.Thirty-second Report of the joint FAO/WHO Expert Commitee on FoodAdditives Codex Comittee on Residues of Veterinary Drugs in Foods.WHO Technical Report Series 763. Geneva (CH): World HealthOrganization.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Widiastuti, R., Indraningsih, TB. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2001. Residutrenbolon pada domba Garut yang diimplantasi dengan trenbolon asetat.JITV. 6(3):198-201.

Widiastuti, R., R. Firmansyah, dan Indraningsih, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yangdiimplantasi dengan trenbolon asetat. JITV. 12(1):60.67.

Page 156: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

152

SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALIDAN BPTU HPT DOMPU TAHUN 2014

Ni Luh Putu Agustini, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Penyakit Jembrana/Jembrana Disease (JD) adalah penyakit hewan menular pada sapi Bali yangdisebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JD sudah endemik di Bali danmerupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Pada bulanMaret sampai dengan November 2014 telah dilakukan surveilans JD untuk mengetahuiprevalensi antibodi dan mendeteksi virus penyakit Jembrana di seluruh kabupaten/kota diProvinsi Bali dan di BPTU HPT Dompu. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkansebanyak 5715 sampel serum dan 4487 sampel darah EDTA. Dari total sampel tersebut 95diantaranya berasal dari BPTU HPT Dompu. Lokasi pengambilan sampel adalah peternakansapi Bali milik masyarakat dan SIMANTRI, serta breeding farm BPTU Pulukan dan breeding farmBPTU HPT Dompu. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6histidin, sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan tidakditemukan adanya kasus positif JD disemua lokasi surveilans. Hasil uji ELISA terhadap 5620sampel serum asal Provinsi Bali menunjukkan 541 (9.6%) positif antibodi JD. Sedangkan hasiluji PCR terhadap 4392 sampel darah, menunjukkan negatif virus Jembrana. Hasil uji ELISA danPCR terhadap sampel dari BPTU HPT Dompu menunjukkan semua negatif antibodi dan virusJD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa prevalensi antibodi JD di lokasi surveilans diBali hanya 9.6% dan tidak ditemukan adanya positif virus JD / hewan carrier JD di semua lokasisurveilans. Sampai saat ini BPTU HPT Dompu masih bebas penyakit Jembrana. Mengingatvirus JD dan hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi surveilans, maka perludiupayakan pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali sehinga harapan menjadikanProvinsi Bali sebagai sumber bibit sapi Bali untuk Indonesia bisa terwujud. Untuk mewujudkanhal tersebut perlu dilakukan surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur, peningkatanpengawasan lalu lintas ternak dan pengendalian vektor,

Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, ELISA, PCR, sapi Bali.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPenyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit virus

yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retovirus famili Lentivirinae . JD

ditemukan pertama kali di Desa Sangkar Agung Kabupaten Jembrana, Provinsi

Bali pada tahun 1964. Saat ini JD sudah endemik di Bali dan telah menyebar ke

beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,

Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah

(Hartaningsih, 2005). Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan

Page 157: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

153

salah satu kendala dalam pengiriman sapi Bali bibit ke luar Bali serta berdampak

dalam pengembangan peternakan sapi Bali. Kasus JD terakhir di Provinsi Bali

dilaporkan terjadi pada tahun 2005 di Desa Pecatu , Kecamatan Kuta Selatan

Kabupaten Badung. Selama kurun waktu 2006-2013 tidak ada laporan kasus JD

di Bali.

Salah satu upaya pencegahan JD adalah dengan cara vaksinasi. Dalam upaya

pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali telah melakukan

vaksinasi Jembrana dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15, produksi

Balai Besar Veteriner Denpasar berturut-turut selama 4 tahun dari tahun 2001-

2004. Karena keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia maka vaksinasi

menyeluruh terhadap semua populasi sapi Bali tidak pernah dilakukan sehingga

cakupan vaksinasi JD di Bali sangat rendah. Vaksinasi JD baru dilakukan

kembali di Bali pada akhir tahun 2012 sampai sekarang menggunakan vaksin

JD VET produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, namun jumlah

vaksin yang dialoksikan juga tidak bisa menyeluruh pada semua populasi.

Ada indikasi bahwa vaksinasi JD selama 4 tahun berturut-turut mampu

menurunkan kasus dan mengeliminasi agen. Sejak tahun 2005 vaksinasi JD

tidak pernah dilakukan lagi sehingga kemungkinan jumlah hewan peka JD

meningkat. Hasil surveilans/monitoring penyakit Jembrana di Provinsi Bali tahun

2013 menunjukkan bahwa persentase positif antibodi JD di semua kabupaten /

kota di Bali hanya 12.8%., dan tidak ditemukan adanya virus JD di semua lokasi

survei.

Menurut Putra, 2002 di daerah endemik, kasus JD terjadi sepanjang tahun

dengan tingkat insiden yang cenderung rendah dan wabah biasanya terjadi

secara reguler sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun dari kejadian JD terakhir.

Sebaliknya di daerah “ baru” kejadian JD cenderung mewabah . Ada fenomena

menarik yang perlu segera dijawab yaitu walaupun prevalensi antibodi JD di Bali

sangat rendah, namun sampai saat ini tidak pernah ada laporan kasus JD di

Bali. Hal ini sangat menarik untuk diketahui apakah hal ini terjadi akibat

tereliminasinya agen penyakit Jembrana, atau mungkin virus JD di Bali sudah

mengalami mutasi atau tidak ada,. Untuk itu maka dilakukan surveilans penyakit

Jembrana di Provinsi Bali.

Page 158: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

154

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas terkait dengan penyakit Jembrana di

Provinsi Bali, maka teridentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Seroprevalensi JD rendah, karena tidak pernah dilakukan vaksinasi secara

keseluruhan terhadap populasi sapi di Bali, namun tidak ada dilaporkan

kasus JD di Bali,

2. Ada upaya untuk melakukan pembebasan Jembrana atas perintah Direktur

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait adanya lalu lintas sapi

bibit dari Bali ke luar Bali khususnya Kalimantan dan Sumatera (proposal

telah dibahas secara khusus).

3. Dalam upaya pembebasan ini perlu diketahui apakah agen penyakit

Jembrana masih ada pada sapi Bali di Provinsi Bali

1.3. TujuanSurveilans ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui prevalensi antibodi dan mendeteksi virus JD pada kelompok

ternak di Bali

2. Mengetahui gambaran situasi penyakit JD di Bali dalam rangka upaya

pembebasan JD di provinsi Bali

3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang

mengarah pada penyakit Jembrana sebagai dasar penentuan program

surveilans selanjutnya

1.4. ManfaatManfaat yang diharapkan dari hasil surveilans adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi penyakit Jembrana di

Provinsi Bali

2. Terdeteksinya hewan carrier sehingga didapatkan isolat baru / strain virus

yang ada di lapangan saat ini untuk kepentingan kajian lebih lanjut.

3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan

daerah dalam upaya pembebasan penyakit Jembrana di Bali.

4. Dapat dijadikan model pembebasan penyakit Jembrana di Provinsi lain

secara nasional.

Page 159: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

155

1.5. OutputOutput yang diharapkan dari surveilan ini :

1. Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit Jembrana di

Provinsi Bali

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Bali.

3. Memudahkan dalam langkah pembebasan Penyakit Jembrana di Bali

II. MATERI DAN METODA

2.1. Pengambilan SampelPengambilan sampel dilakukan di seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Bali serta

di Balai Perbibitan Ternak Unggul sapi Bali (BPTU). Pelaksanaan pengambilan

sampel dilakukan bekerjsana dengan Dinas Peternakan kabupaten/kota dan

beberapa Puskeswan yang ada di Bali.

2.2. Penanganan sampelSampel serum yang telah diambil segera dipisahkan dari gumpalan darah

dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit dan

selanjutnya dimasukkan ke dalam efendorf, diberi label dan disimpan dalam

Freezer (suhu -200C) sampai dilakukan pengujian.

2.2.1. Isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)Untuk sampel darah dilakukan isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells

(PBMC) dengan cara : darah dengan antikoagulan EDTA disentrifugasi 3000

rpm selama 5 menit, kemudian buffy coatnya diambil dan dimasukkan ke dalam

tabung dan selanjutnya ditambahkan sebanyak 9 ml NH4Cl 0,83%. Setelah

disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit dan supernatannya

dibuang, pellet yang diperoleh kemudian ditambahkan PBS steril sampai

mencapai 10 ml . Setelah itu dilakukan pencucian dengan cara disentrifugasi

kembali 1500 rpm selama 5 menit. Pencucian ini diulangi sebanyak 2 kali

Page 160: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

156

dengan cara yang sama. Terakhir supernatannya dibuang dan pellet yang

diperoleh ditambahkan 0.5 – 1 ml media TC atau PBS steril dan disimpan pada

suhu (-200C) sampai digunakan.

2.2.2. Isolasi DNAPBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan

QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai

berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam

tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106

lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL

ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex

selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama

10 menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl

ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik.

Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati

masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection

tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm

selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan

buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan

tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan

centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column

dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka

tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi

dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh

20.000 g/ 14.000 rpm selama 3 menit.Tempatkan QIAamp spin column pada 1.5

ml tabung microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung

filtrat. Tahap Elution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul

buffer AE atau aquadest. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan

kemudian centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin

colum dan simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.

Page 161: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

157

2.3.. Pengujian SampelSemua sampel serum diuji terhadap antibodi Jembrana dengan Uji Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) mempergunakan antigen Jembrana J

Gag 6 Histidin (Agustini et al., 2002) .

2.3.1. UJI ELISAPengujian sampel serum dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja

sebagai berikut : antigen J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating

buffer 1:50 kemudian ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl,

mulai dari well B2 sampai dengan G11. Masukkan 50 µl hanya coating buffer

(tanpa antigen) ke dalam lubang blank B1 s/d G1. Shaker mikroplate dan

diinkubasikan pada suhu 40C selama 24 jam. Setelah dicuci dengan PBST

sebanyak 3 kali dengan ELISA washer selanjutnya plate diblok dengan

menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl larutan skim milk 5%

dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan. Setelah

plate dcuci dengan PBST sebanyak 3 kali maka plate siap digunakan untuk uji

ELISA. Selanjutnya siapkan sampel serum uji, sampel serum standar, dan

reference serum dengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji

diencerkan 1: 100 dalam skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke

dalam masing-masing lubang test. Sampel serum standar (PM) diencerkan

mulai dari pengenceran 1 : 100 hingga 1 : 3200 dalam skim milk 5% dan tiap-

tiap pengenceran dimasukkan pada lubang di deretan 2 setiap pengenceran

satu lubang mulai dari B2 sampai G2. Sampel Reference serum yang

digunakan ada dua yaitu reference serum positif Jembrana /Hyperimun (A), dan

Reference serum negatif (Nusa Penida /B). Encerkan masing-masing reference

serum tersebut 1 : 100 dalam skim milk 5% dan masukkan 50 ul reference

serum A ke lubang B3 , C3 dan D3; 50 µl serum B ke lubang E3, F3, dan G3.

Homogenkan dengan dishaker dan inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam.

Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Encerkan

conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) 1 : 1000 dalam PBST buffer

dan masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan tersebut pada setiap

lubang baik yang mengandung serum maupun lubang blank dan kontrol. Plate

diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Plate dicuci kembali dengan cara

yang sama seperti sebelumnya. Tambahkan campuran satu bagian substrate

Page 162: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

158

Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian (solution A) atau 2,2-

Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid diamonium salt). Selanjutnya

masukkan 50 µl substrate yang telah diencerkan tersebut ke dalam setiap well

(blank, kontrol dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Terakhir untuk

menghentikan reaksi tambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well.

Pembacaan dan intepretasi hasilPembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang

gelombang 405 nm.

Interpretasi HasilBila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD pengenceran 1 : 100

maka sampel dikatakan positif sedangkan bila nilai OD sampel lebih kecil dari

OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan negatif

2.3.2. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)Metoda uji PCR yang dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah

metoda Konvensional PCR yang dikembangkan oleh Masa Tenaya dkk., (2003

& 2004). Bahan-bahan yang diperlukan dalam teknik PCR JD antara lain: Master

mix, PCR water, Primer JDV–1, Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%,

TAE buffer, dan Ethidium Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer

JDV-1 dan Primer JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen

5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3)

dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,

1995).

Untuk setiap reaksi PCR digunakan 25 µL Master Mix, 2 µL primer JDV-1, dua

uL primer JDV-3, 19 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL. Bahan-

bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume 500 µL.

Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35 siklus

dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5 menit,

Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1 menit,

Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus, ada

program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan DNA

yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu ruang,

Page 163: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

159

biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2 jam 15

menit.

Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielektrophoresis dalam 1% gel agarose yang

mengandung 5 µg Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan

voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi

dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel

Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.

III. HASIL

Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan adanya hewan yang

menunjukkan gejala klinis /mengarah ke penyakit Jembrana. Dari informasi

masyarakat dan petugas Dinas Peternakan di semua lokasi surveilans di Bali

mengatakan bahwa kasus JD tidak pernah terjadi sejak tahun 2006.

Pengambilan sampel pada saat surveilans dilakukan bekerjasama dengan

petugas Puskeswan di masing-masing Dinas Peternakan Kabupaten/Kota.

Seperti disebutkan pada materi dan metode bahwa semua sampel hasil

surveilans diuji ELISA dan PCR. Hasil dari masing -masing uji tersebut sebagai

berikut :

1. HASIL UJI ELISASeperti diringkaskan pada Tabel 1 terlihat bahwa selama pelaksanaan

surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 5620 sampel serum. Hasil uji ELISA

terhadap sampel serum tersebut menunjukkan 541 (9,6%) diantaranya positif

mengandung antibodi JD. Persentase positif antibodi JD tertinggi terjadi di

kabupaten Jembrana yaitu 19.1% Sedangkan persentase positif antibodi

terendah terjadi di Kota Denpasar yaitu 1.6%. Selama pelaksanaan surveilans

berhasil dikumpulkan 2323 sampel serum dari hewan yang divaksinasi JD. Dari

2323 sampel tersebut hanya 274 (11.8%) menghasilkan antibodi positif JD.

Mayoritas sampel serum yang berhasil dikumpulkan selama pelaksanaan

surveilans tidak diketahui secara pasti status vaksinasinya. Dari 3298 sampel

Page 164: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

160

serum tersebut 238 (6.2%) diantaranya menghasilkan antibodi positif (Gambar

1)

Dari 5620 sampel serum yang diambil 522 diantaranya diambil dari BPTU HPT

Pulukan. Dari sampel serum tersebut 77 (14.8%) diantaranya positif antibodi

JD. Sedangkan hasil uji ELISA terhadap 95 sampel serum asal BPTU HPT

Dompu menunjukkan negatif antibodi JD (Tabel 2)

2. HASIL UJI PCRSeperti diringkaskan pada Tabel 3 dari 4392 sampel darah asal provinsi Bali

semua menunjukkan hasil negatif virus JD. Hasil ini sama dengan hasil

surveilans JD tahun 2013, ini mengindikasikan bahwa virus JD/hewan carrier JD

tidak ada di lokasi surveilans. Sedangkan hasil uji PCR terhadap 95 sampel

darah asal BPTU HPT Dompu menujukkan negatif virus JD.

Tabel 1. Prevalensi antibodi penyakit Jembrana di Provinsi Bali Tahun 2014

NoKabupaten/

KotaJumlahsampel

JumlahPositif

Prevalensi(%)

1 Badung 673 78 11.6

2 Jembrana 1025 196 19.1

3 Buleleng 467 35 7.5

4 Bangli 661 24 3.6

5 Klungkung 921 23 2.5

6 Tabanan 590 47 8.0

7 Gianyar 452 52 11.5

8 Denpasar 123 2 1.6

9 Karangasem 708 84 11.9

TOTAL 5620 541 9.6

Page 165: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

161

Tabel 2. Prevalensi antibodi Penyakit Jembrana di BPTU HPT Tahun 2014

No BPTU HPT Jumlahsampel

JumlahPositif

Prevalensi(%)

1 Pulukan 522 77 14.8

2 Dompu 95 0 0

TOTAL 617 77 12.5

Tabel 3. Prevalensi Virus Penyakit Jembrana di Provinsi Bali Tahun 2014

No Kabupaten Jumlahsampel

JumlahPositif

Prevalensi(%)

1 Badung 471 0 0

2 Buleleng 354 0 0

3 Bangli 518 0 0

4 Klungkung 717 0 0

5 Tabanan 414 0 0

6 Denpasar 40 0 0

7 Gianyar 325 0 0

8 Jembrana 1004 0 0

9 Karangasem 549 0 0

TOTAL 4392 0 0

Page 166: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

162

Gambar 1. Hasil uji ELISA Jembrana di Bali berdasarkan status vaksinasi

IV. PEMBAHASAN

Hasil uji ELISA terhadap 5620 sampel serum asal provinsi Bali menunjukkan

hanya 541 (9.6%) diantaranya positif antibodi JD. Hasil ini sedikit lebih rendah

bila dibandingkan dengan hasil surveilans JD tahun 2013 yang mencapai

12.8%. Rendahnya hasil seropositif tersebut disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain : mayoritas sampel serum yang diuji berasal dari sapi yang tidak

divaksinasi. Banyaknya hewan yang tidak divaksinasi terjadi karena

keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia sehingga vaksinasi tidak bisa

dilakukan pada semua populasi sapi yang ada. Selain itu faktor penyebab lain

yang mungkin berpengaruh terhadap rendahnya seropositif JD diantaranya, :

kualitas vaksin yang digunakan kurang bagus, aplikasi vaksin yang tidak sesuai,

status gizi dari hewan yang divaksin terganggu serta sistem imun dari hewan

kurang bagus. Terkait dengan aplikasi vaksin, ada kemungkinan rendahnya

antibodi yang terbentuk disebabkan karena vaksin hanya diberikan dalam dosis

Page 167: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

163

tunggal yaitu tidak dilakukan vaksinasi ulang (Booster). Ada kecenderungan

titer antibodi tidak optimal terbentuk apabila hewan divaksinasi tanpa dilakukan

booster . Menurut Roitt, 1996 menemukan bahwa imunisasi/vaksinasi

pertama tidak akan menimbulkan respon antibodi yang tinggi, tetapi jika

imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka respon antibodi yang terbentuk akan

meningkat tajam , bertahan selama beberapa waktu dan akhirnya akan menurun

secara perlahan. Peningkatan titer antibodi tersebut disebabkan oleh proses

pemilihan (switching) isotipe imunoglobulin menjadi IgG dan hal ini dapat terjadi

karena bantuan sel T.

Terdeteksinya antibodi pada hewan yang tidak jelas status vaksinasinya

kemungkinan terjadi karena hewan tersebut pernah divaksinasi sebelumnya

namun tidak diketahui oleh pemiliknya sehingga status vaksinasinya tidak jelas

atau antibodi yang terdeteksi tersebut kemungkinan antibodi BIV. Kuat dugaan

antibodi yang terdeteksi tersebut merupakan antibodi BIV, didukung oleh hasil

penelitian Hartaningsih et al. 1990 menemukan bahwa BIV sudah ada di

Provinsi Bali. Selain itu tidak adanya vaksinasi dan infeksi JD pada hewan-

hewan tersebut, serta hasil PCR negatif semakin memperkuat dugaan antibodi

tersebut merupakan antibodi BIV. Sampai saat ini uji PCR merupakan gold

standard untuk diagnosa JD karena primer yang digunakan sangat spesifik dan

hanya mendeteksi virus JD , Tenaya dkk., 2004. Tidak terdeteksinya virus JD

pada semua sampel darah yang diuji, erat kaitannya dengan keberhasilan

program vaksinasi JD selama.3 tahun berturut-turut yaitu 2001-2004. sehingga

mampu menekan terjadinya kasus JD atau mampu mengeliminasi agen dan

hewan carrier JD. Kondisi ini sangat berperan dalam upaya pembebasan JD di

provinsi Bali.

Page 168: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

164

V. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Dari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :

Prevalensi antibodi JD di Bali sangat rendah hanya 9.6%

Situasi JD di Bali cukup terkendali., virus JD/ hewan carrier JD tidak

ditemukan di semua lokasi surveilans.

Hasil surveilans ini bisa dijadikan dasar untuk upaya pembebasan JD di

Provinsi Bali.

Sampai saat ini BPTU HPT Dompu masih bebas penyakit Jembrana.

Saran

Walaupun virus dan hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans , perlu dilakukan surveilans/monitoring JD secara periodik

dan terstruktur , peningkatan pengawasan lalu lintas ternak. dan

pemberantasan vektor

Perlu diupayakan pembebasan JD di Provinsi Bali sehingga Provinsi Bali

bisa dijadikan sebagai sumber bibit sapi Bali untuk memenuhi kebutuhan

bibit sapi Bali di Indonesia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan

kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis

juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan

Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu

dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.

Page 169: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

165

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. (2002). Uji Elisa untuk Mendeteksi AntibodiLentivirus Menggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. ManualPeningkatan Metode Diagnosa Penyakit Jembrana ACIAR BPPV VI.

Agustini, NLP. (2009). Surveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Lampungdan Sumatera Barat. Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar.

Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya,G.(1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : abovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal ofGeneral Virology. 76: 1637-1650

Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test forJDV Antibodies and Antibodi Respons of Infected Cattle. In JembranaDisease and the Bovine Lentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page79-84.

Hartaningsih, N. (2005). Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana diKalimantan Timur. Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Denpasar.

Putra, AAG. (2003). Peranan Hewan Karier penyakit Jembrana dalam penularanpenyakit di lapangan. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar. XV (63) :16-26

Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox,GE. (1990). Studies experimental Jembrana disease of infectious agen inBali cattle. Transmission and persistence of the infectious agent inruminant and pigs and resistance of recovered cattle to re-infection,Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59

Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNAVirus Jembrana pada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase ChainReaction. Buletin Veteriner. 63: 44-48, BPPV VI Denpasar.

Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals byPCR. Buletin Veteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

Page 170: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

166

SEROSURVEILANS RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN

NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014.

Ni Luh Putu Agustini, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitisfatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae Serosurveilans untukmengetahui respon vaksinasi rabies, mengetahui hubungan antara pengaruh vaksinasi dengankejadian kasus rabies di Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta mengetahui situasi danstatus rabies di provinsi Nusa Tenggara Barat telah dilakukan di 47 kecamatan di 9kabupaten/kota di provinsi Bali sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di tiga kabupaten sertadi Provinsi NTB dilakukan di satu kabupaten, pada bulan Februari sampai dengan Oktober2014. Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan 768 sampelserum, sedangkan dari provinsi NTB dan NTT dikumpulkan masing-masing sebanyak 3 serumdan 528 sampel serum, Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA produksiPusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA sampel serum asal provinsi Bali menunjukkanbahwa dari 768 sampel serum tersebut 337 (43.9%) diantaranya positif antibodi rabies. Semuasampel asal provinsi NTB negatif antibodi Rabies sedangkan sebanyak 230 (43.5%) serumasal NTT menujukkan positif antibodi rabies. Vaksinasi yang telah dilakukan oleh DinasPeternakan kabupaten/kota di provinsi Bali dan NTT mampu merangsang terbentuknya antibodipositif. Terjadi penurunan prosentase jumlah seropositif antibodi Rabies di Provinsi Bali biladibandingkan dengan data hasil serosurveilans tahun 2013. Ada indikasi bahwa terjadinyakembali kasus rabies di beberapa daerah di Bali kemungkinan disebabkan oleh rendahnyapersentase seropositif antibodi hasil vaksinasi rabies (kurang dari 70%). Untuk provinsi NTBsampai saat ini masih bebas Rabies. Mengingat masih banyak anjing yang memiliki titer antibodidibawah 0.5 IU/ml maka perlu dilakukan vaksinasi ulang terutama pada anjing-anjing kelahiranbaru . Untuk mempertahankan NTB tetap bebas rabies maka perlu dilakukan pengawasan lalulintas HPR yang masuk ke NTB dan pengurangan populasi.

Kata Kunci : rabies, serosurveilan, vaksinasi

Page 171: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

167

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut

menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari

famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies

ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)

melalui gigitan atau jilatan pada luka.

Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing

dalam masa inkubasi dibawa oleh pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra

et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Ungasan, kecamatan Kuta

Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 provinsi Bali secara

resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies. Sedangkan untuk NTT

khususnya pulau Flores sudah lebih dulu tertular rabies berawal dari kejadian

Rabies di Kabupaten Sikka (1998), Ende (1999), Ngada (Juni 2000), dan

Manggarai (Juli 2000). Saat ini provinsi NTB masih dinyatakan bebas penyakit

rabies dan merupakan daerah bebas terancam .

Kejadian kasus Rabies di Provinsi Bali sejak tahun 2008 hingga saat ini masih

terus terjadi. Anjing masih merupakan hewan penular Rabies (HPR) utama di

Provinsi Bali.Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2013

semuanya ditularkan oleh anjing Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya

penyebaran rabies di Bali dan Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing

di kedua daerah tersebut. Hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores

memiliki anjing. Tingginya angka kepemilikan anjing khususnya di Flores

disebabkan karena anjing memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat

tinggi dan anjing sangat dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun anjing

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun sistim pemeliharaan anjing di

Flores, mayoritas diliarkan, sehingga hal ini berpotensi menjadi sumber

penularan penyakit rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.

Page 172: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

168

Vaksinasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka

pencegahan dan pengendalian penyebaran rabies di provinsi Bali dan NTT.

Hasil serosurveilans rabies Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2013 di

provinsi Bali menunujukkan .jumlah seropositif rabies sebesar 68.3 %

Sedangkan persentase positif antibodi rabies di provinsi NTT hanya 45,8.%

(Agustini, et.al., 2013). Angka tersebut masih di bawah standar yang

dipersyaratkan OIE dan hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya kasus

rabies . Fakta di lapangan menunjukkan bahwa walaupun vaksinasi rabies

sudah dilakukan namun kasus rabies dan kematian akibat rabies masih

dilaporkan terjadi , hal ini membuktikan bahwa masih banyak anjing-anjing yang

tidak mempunyai antibodi terhadap penyakit rabies dan berpotensi menularkan

Rabies ke hewan dan orang/manusia. Untuk mengantisipasi hal tersebut,

pemerintah provinsi Bali melakukan vaksinasi massal setiap tahunnya di

semua kabupaten/kota di Bali, demikian juga halnya pemerintah provinsi NTT.

Untuk mengetahui respon antibodi dan prevalensi antibodi yang ditimbulkan

akibat vaksinasi tersebut maka dilakukan serosurveilans rabies di Provinsi Bali

dan NTT

1.2 . Tujuan

Serosurveilans ini bertujuan :

1. Mengetahui respon antibodi pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali dan NTT

2. Mengetahui pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan

NTT (Pulau Flores).

3. Mengetahui situasi dan status Rabies di provinsi NTB

4. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang

mengarah pada penyakit Rabies sebagai dasar penentuan program

surveilans selanjutnya

Page 173: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

169

1.4. ManfaatManfaat yang diharapkan dari serosurveilans ini adalah :1. Diketahuinya respon antibodi Rabies di Provinsi Bali dan NTT

2. Diketahuinya pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan

NTT khususnya Pulau Flores NTT.

3. Diketahuinya situasi dan status Rabies di provinsi NTB

4. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah

dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit Rabies

Output yang diharapkan adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang respon antibodi Rabies di Bali dan

NTT

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.

3. Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C

sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang

dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali,

NTB dan NTT

II. MATERI DAN METODE

2.1. Materi

- Bahan

Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans rabies ini meliputi : KIT

ELISA produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.

- Alat

Alat yang digunakan untuk surveilans ini meliputi : tabung plain vacutainer, jarum

venoject, handle, tabung effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, micro tip

pipet 250 ul dan 1000 ul, ELISA washer, inkubator, ELISA reader

Page 174: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

170

2.2. Metode

2.2.1. Metode Pengambilan sampel

a. Penentuan Lokasi.

Pengambilan sampel rabies di provinsi Bali dilaksanakan di seluruh

Kabupaten/kota. Dasar pertimbangan dari penentuan lokasi ini adalah

vaksinasi dilakukan secara massal di semua Kabupaten/kota. Pemilihan

desa tempat pengambilan sampel dikoordinasikan dengan Dinas

Peternakan Kabupaten /Kota dan dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan

bekerjasama dengan Puskeswan di masing-masing Kabupaten /kota

Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Sikka, Ngada

dan Lembata. Pemilihan lokasi ini dilakukan berdasarkan pertimbangan

bahwa derah tersebut merupakan daerah endemik rabies, selain itu di

daerah tersebut masih ditemukan adanya kasus positif Rabies pada HPR

dan kematian akibat Rabies pada orang/manusia.

b. Metode Pengambilan sampel

Pengambilan sampel melibatkan petugas Puskeswan, hal ini untuk semakin

meningkatkan fungsi dan peran serta Puskeswan dalam pencegahan

pengendalian dini terhadap penyakit hewan. Selain itu keterlibatan

Puskeswan dalam pengambilan sampel ini juga bertujuan supaya cakupan

wilayah surveilans bisa lebih luas, karena petugas Puskeswan lebih

mengetahui kondisi lapangan secara keseluruhan, sehingga pengambilan

sampel sesuai dengan yang diharapkan. Dengan melibatkan petugas

Puskeswan ini juga sekaligus sebagai ajang pembinaan bagi petugas

Puskeswan dalam pengambilan dan penanganan sampel. sehingga akhirnya

diharapkan petugas Puskeswan sudah bisa melakukan sendiri pengambilan

serta penangangan sampel secara baik dan benar

Penentuan jumlah sampel di Provinsi Bali dilakukan berdasarkan persentase

seropositif Rabies tahun 2013 yaitu sebesar 68.3% dan berdasarkan

perhitungan statistik dengan selang kepercayaan 95% sehingga total jumlah

sampel yang harus diambil adalah 697 sampel. Sedangkan untuk provinsi

NTT pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Sikka, Ngada dan

Page 175: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

171

Lembata. Berdasarkan prevalensi seropositif antibodi Rabies tahun 2013

yaitu sebesar 45.3% dengan selang kepercayaan 95% maka jumlah sampel

yang diambil keseluruhan adalah 396 sampel.

c. Penanganan Sampel

Sampel yang sudah diambil setelah sampai di Laboratorium segera

dipisahkan dari klot darah dengan cara dicentrifugasi kemudian disimpan

dalam vial, diberi label dan disimpan pada suhu (-200C) sampai

dipergunakan

3.2.2. Metode Pengujian Sampel

Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA di Balai Besar Veteriner

Denpasar menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma

Surabaya sesuai prosedur yang terdapat pada KIT dengan tahapan sebagai

berikut : sebelum dilakukan pengujian semua sampel serum diinaktivasi pada

suhu 560C selama 30 menit. Sampel serum diencerkan dalam larutan

Phosphate Buffer Saline Tween 20 dengan perbandingan 1 : 100. Pengenceran

serum kontrol positif dimulai dari 4 EU sampai dengan 0.125 EU. Serum kontrol

standar dan kontrol negatif diencerkan 1 : 100. Selanjutnya 100 ul dari kontrol

positif : 4 EU dimasukkan ke dalam well A1 dan A2. Kontrol positif 2 EU ke

dalam well B1 dan B2. Kontrol positif 1 EU ke dalam well C1 dan C2. Kontrol

positif 0.5 EU ke dalam well D1 dan D2, kontrol positif 0,25 EU ke dalam well E 1

dan E2, serta kontrol positif 0,125 EU ke dalam well F1 dan F2. Sedangkan

untuk kontrol standar dimasukkan masing-masing 100 ul ke dalam well G1 , G2

dan untuk kontrol negatif dimasukkan ke dalam well H 1 dan H2.

Selanjutnya 100 ul sampel serum yang sudah diencerkan dimasukkan mulai well

A3 sampai dengan G12. sedangkan well H11 dan H12 tidak ditambahkan

sampel serum atau digunakan sebagai kontrol. Setelah diinkubasi pada suhu

370C selama 1jam mikroplate dicuci sebanyak 3-5 kali dengan PBST.

Selanjutnya 100 µl conjugate protein A yang sudah diencerkan dalam PBST

dengan perbandingan 1 : 16000, ditambahkan kesemua well kecuali well H11

dan H12, kemudian mikroplate diinkubasikan kembali pada suhu 370C selama 1

jam. Setelah mikroplate dicuci kembali sebanyak 3-5 kali dengan PBST

Page 176: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

172

selanjutnya ke dalam masing-masing well ditambahkan 100 µl substrate ABTS

dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 10-15 menit, sambil diamati

munculnya warna kebiruan. Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa

dibedakan secara visual dilakukan penghentian reaksi dengan penambahan

stop solution kesemua well. Terakhir dilakukan pembacaan pada ELISA Reader

menggunakan filter 405 nm.

Kalkulasi dan Interpretasi Hasil

Kalkulasi hasil dilakukan dengan program Microsoft Excel dengan interpretasi

hasil: Jika nilai OD sampel ≥ 0,5 IU maka sampel dinyatakan Positif antibodi

Rabies dan sebaliknya jika nilai OD sampel < 0,5 IU maka sampel dinyatakan

negatif antibodi Rabies.

III. HASIL

Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan

gejala klinis / mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan sebanyak

1299 sampel serum yang terdiri atas sampel serum asal provinsi Bali sebanyak

768 sampel dari provinsi NTB sebanyak 3 sampel dan dari provinsi NTT

sebanyak 528 sampel. Seperti diringkaskan pada Tabel 1, dari 768 sampel

serum asal provinsi Bali 337 (43.9 %) menunjukkan hasil positif antibodi rabies.

Semua sampel asal provinsi NTB negatif antibodi Rabies. Sedangkan dari 528

sampel serum asal NTT 230 (43.5%) menunjukkan hasil positif antibodi Rabies.

Dari hasil surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 465 sampel serum yang

berasal dari anjing yang pernah divaksinasi Rabies. Dari sampel serum tersebut,

hanya 205 diantaranya positif antibodi rabies (Grafik 1 )

Seperti tersaji pada Tabel 2, persentase seropositif antibodi Rabies di provinsi

Bali tahun 2014 hanya mencapai 43.9%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan

dengan persentase seropositif tahun 2013 yang mencapai 68.3%. Seropositif

antibodi tertinggi terjadi di Kabupaten Jembrana yaitu 72.2% sedangkan

seropositif terendah terjadi di kabupaten Gianyar (12.1%). Mayoritas persentase

seropositif Rabies di Kabupaten /kota di Bali masih dibawah 70% (Grafik 2).

Page 177: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

173

Hasil uji ELISA terhadap sampel serum asal NTT menunjukkan 43.5 % dari

sampel serum yang diuji, positif antibodi Rabies. Hasil ini sedikit lebih rendah

bila dibandingkan dengan hasil seropositif tahun 2013 yang sempat mencapai

45.3%. Persentase seropositif antibodi Rabies di Kabupaten Lembata paling

tinggi, dibandingkan dengan Kabupaten Sikka dan Ngada. Hasil uji

selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 3, Grafik 3

Tabel 1. Hasil Uji ELISA sampel serum asal povinsi Bali , NTB dan NTTTahun 2014

PROVINSI JUMLAHSAMPEL

JUMLAHPOSITIF ELISA

PERSENTASE(%)

Bali 768 337 43.9

Nusa Tenggara Barat 3 0 0

Nusa Tenggara Timur 528 230 43.5

TOTAL 1299 567 43.6

Grafik 1.Jumlah sampel dari anjing yang divaksinasi Rabies dan hasil seropositif Rabies

Tahun 2014

Page 178: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

174

Tabel 2. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2014

Grafik 2Hasil seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten/kota Provinsi Bali Tahun 2014

NO Kabupaten/kota

Jumlahsampel

Jumlahpositif

Persentasepositif

1 Badung 110 37 33.6

2 Buleleng 119 69 57.9

3 Karangasem 148 62 41.9

4 Bangli 63 24 38.1

5 Gianyar 66 8 12.1

6 Denpasar 34 19 55.9

7 Jembrana 18 13 72.2

8 Tabanan 99 51 51.5

9 Klungkung 111 54 48.7

Total 768 337 43.9

Page 179: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

175

Tabel 3. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2014

NO Kabupaten/kota

Jumlahsampel

Jumlahpositif

Persentasepositif

1 Ngada 50 16 32

2 Sikka 275 104 37.8

3 Lembata 203 110 54.2

Total 528 230 43.5

Grafik 3Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2014

Page 180: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

176

IV. PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan

pemberantasan rabies di Indonesia , karena vaksinasi akan merangsang respon

imun untuk membentuk antibodi sehingga bisa memberikan proteksi pada

hewan yang divaksinasi.

Hasil serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2014 menunjukkan terjadi

penurunan persentase seropositif antibodi Rabies dari 68.3% menjadi 43.9%.

Rendahnya persentase seropositif tersebut diduga berpengaruh terhadap

kejadian kasus positif Rabies. Dugaan ini terbukti karena hasil uji FAT

menunjukkan terjadi peningkatan jumlah kasus positif Rabies dari 41 kasus pada

tahun 2013 menjadi 130 kasus pada tahun 2014. Ada indikasi meningkatnya

jumlah kasus positif Rabies disebabkan oleh menurunnya jumlah seropositif

Rabies sehingga mengakibatkan menurunnya kekebalan kelompok (herd

immunity) dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi Rabies

Menurunnya seropositif Rabies juga disebabkan oleh adanya pergantian jenis

vaksin, adanya jeda waktu pelaksanaan vaksinasi sehingga respon antibodi

hasil vaksinasi tahun sebelumnya sudah menurun dan bila dilakukan vaksinasi

selanjutnya maka respon antibodi yang terbentuk tidak akan optimal .

Banyaknya HPR yang tidak mendapatkan vaksinasi ulang pada tahun 2014

terutama anjing-anjing kelahiran baru juga diduga kuat berpengaruh terhadap

menurunnya seropositif tersebut, sehingga tidak mampu memproteksi serangan

virus yang masuk.

Masih banyak anjing yang tidak memberikan respon antibodi maksimal, hal ini

diduga kuat dipengaruhi oleh : status gizi dan managemen pemeliharaan yang

kurang baik. Kebanyakan sampel serum yang diperiksa di laboratorium berasal

dari anjing lokal (anjing Bali) dengan sistem pemeliharaan sebagian besar

diliarkan, dengan makanan seadanya sehingga kebutuhan gizinya tidak

terpenuhi.

Page 181: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

177

Menurut Widodo, 2009 perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi,

status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan. Selain itu

perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu

dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi.

(Suprapto, 2008).

Adanya kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah

pernah divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama

kali disebabkan karena imunisasi/vaksinasi pertama tidak akan menimbulkan

respon antibodi yang tinggi, tetapi jika imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka

respon antibodi yang terbentuk akan meningkat tajam dan bertahan selama

beberapa waktu dan akhirnya akan menurun secara perlahan. Peningkatan titer

antibodi tersebut disebabkan oleh proses pemilihan (switching) isotipe

imunoglobulin menjadi IgG dan hal ini dapat terjadi karena bantuan sel T (Roitt,

1996).

Selain itu keberhasilan vaksinasi dan terbentuknya titer antibodi protektif juga

dipengaruhi oleh sistim penanganan vaksin (transportasi dan penyimpanan

(cold chain system). Menurut WHO, 1998 komponen cold chain (system rantai

dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan transportasi vaksin, prosedur

pengelolaan, program dan kontrol distribusi vaksin.

Untuk provinsi NTB sampai saat ini masih dinyatakan bebas terhadap Rabies .

Hal ini diperkuat oleh hasil uji FAT dari 432 sampel otak asal provinsi NTB

semuanya menunjukkan hasil negatif virus Rabies.

Hasil uji serologis terhadap 528 sampel asal provinsi NTT menunjukkan terjadi

penurunan persentase seropositif Rabies dari 45.3% menjadi 43.5%. .

Penurunan jumlah seropositif tersebut diduga kuat disebabkan oleh

keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia sehingga tidak bisa mengcover semua

populasi yang ada. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang sangat sulit

dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan vaksinasi.

Page 182: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

178

Walaupun vaksinasi sudah dilakukan secara massal namun masih ditemukan

adanya anjing yang positif Rabies. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan FAT

terhadap 65 sampel otak asal provinsi NTT dimana 24 diantara sampel tersebut

menunjukkan positif virus Rabies hasil ini mengindikasikan rendahnya

kekebalan kelompok (herd immunity)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :

Vaksinasi Rabies yang dilakukan di provinsi Bali, dan NTT, mampu

merangsang terbentuknya antibodi.

Persentase seropositif antibodi Rabies di provinsi Bali 43.9% dan NTT43.5%

Ada indikasi munculnya kasus Rabies di Bali dan NTT disebabkan karenarendahnya persentase seropositif antibodi dan kekebalan kelompok (herdimmunity)

Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.

SARAN

Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah

70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang

memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.

Untuk mencegah terjadinya kasus rabies di Bali dan NTT , perlu dilakukan

vaksinasi Rabies secara teratur, meningkatkan kekebalan kelompok (herd

immunity) dan pengawasan lalu lintas anjing dan pengendalian populasi.

Untuk mempertahankan provinsi NTB tetap bebas Rabies maka perlu

dilakukan sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR

dan pengendalian populasi.

Page 183: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

179

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten Sikka, Ngada dan Lembata, serta kepada Medik dan Paramedik

Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam

pengambilan dan pengujian sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali, 2010

Agustini, N.L.P., Dibia, I.N., dan Mustikawati, D. 2013. Laporan TeknisSerosurveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat,dan Nusa Tenggara Timur Tahuin 2013

Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. Neutralisingantibody titration in 25,000 sera of dogs and cats vaccinated againstrabies inFrance, in the framework of the new regulationsthat offer analternative to quarantine, 2003

Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B.,Cliquet, F., Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M.,Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez,S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B.2013. A step Forward in molecular diagnostic of Lyssaviruses Result of aRing Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5.

Minke ,J.M, Bouvet,J., Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., Comparison ofantibody responses after vaccination with two inactivated rabies vaccines,2007

Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009.Rhabdoviridae in Veterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439

Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G.,Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi

Rabies di Bali Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan .Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74:13-26.

Page 184: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

180

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diatmita, I.K. 2014.Surveilans dan monitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di ProvinsiBali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013.Buletin Veteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar . Vol. XXVI, No. 84.Edisis Juni 2014. Hal 46-59

WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987

Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan.Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya

Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre

Page 185: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

181

UJI REAL TIME PCR UNTUK MENDETEKSI c-DNA VIRUSPENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI

Ni Luh Putu Agustini, I Wayan Masa Tenaya, I Ketut Diarmita, I Nyoman Dibia,Dinar Hadi Wahyu Hartawan, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun,I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana, LM. Faezal Suryadinata

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD) adalah penyakit hewan menular pada sapi Balidisebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae . Untuk peneguhan diagnosa JD beberapa metodeuji sudah dikembangkan antara lain Uji ELISA, Western immunoblotting, IHK, dan KonvensionalPCR, Walaupun PCR merupakan Gold standard untuk diagnosa JD, namun uji PCR tidak bisamendiagnosa JD secara kuantitatif , sehingga perlu dilakukan pengembangan metode uji untukdiagnosa penyakit Jembrana dengan teknik Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA viruspenyakit Jembrana pada sapi Bali,. Pengembangan metode ini dilakukan dalam 2 tahapan yaituTahap I yang sudah dilakukan pada tahun 2013 dan Tahap II dilakukan pada Tahun 2014.Adapun tujuan dari kegiatan Tahap II adalah : mengembangkan metode uji Real Time PCRuntuk mendeteksi c-DNA virus penyakit Jembrana pada sapi Bali. Pada pengembangan metodetahap II ini dilakukan ,isolasi Peripheral Blood Mononuclear cells (PBMC) optimalisai metode ujiReal Time PCR dan validasi metode uji Real Time PCR. Pada pengembangan metode saat inioptimalisasi uji Real Time PCR telah berhasil dikembangkan , namun validasi metode uji belummendapatkan hasil yang optimal, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

Kata kunci: Jembrana. Uji Real time PCR

I. PENDAHULUAN

Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) dan Balai Veteriner (B-Vet) di Indonesia

saat ini berjumlah 9 unit (3 BBVet dan 6 (B-Vet) yang merupakan institusi yang

memiliki peran penting secara Regional dalam melaksanakan tugas surveilans,

penyidikan, pengujian dan diagnosa penyakit hewan di wilayah kerja

pelayanannya.

Page 186: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

182

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.: 89/Kpts/PD/1/2012,

masing-masing BB Vet dan B Vet tersebut telah ditetapkan sebagai laboratorium

rujukan pengujian penyakit hewan menular tertentu. Laboratorium rujukan dan

penyakit yang ditangani sebagai berikut : BBVet Wates (penyakit Anhrax, AI ,

BSE dan Salmonella) BBVet Denpasar (penyakit Jembrana dan SE), BBVet

Maros (penyakit BVD dan Brucellosis) , BVet Medan (penyakit PRRS dan HC),

BVet Bukittinggi (penyakit Rabies), BVet Lampung (penyakit ND dan IBD), BVet

Banjarbaru (penyakit Surra dan IBR), dan BVet Subang (penyakit AI ). Sebagai

Laboratorium rujukan BBVet dan BVet selain menerapkan ISO 17025 dan ISO

9001 diharapkan juga menerapkan ISO 17043.

Walaupun setiap BBVet dan BVet sudah ditetapkan sebagai laboratorium

rujukan penyakit hewan tertentu, namun ada perbedaan tugas pokok dan fungsi

yang sangat prinsip yang membedakan antara Balai Besar Veteriner dan Balai

Veteriner. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

54/Permentan/OT140/5/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar

Veteriner (BBVet) bahwa BBVet mempunyai tugas khusus yaitu pengembangan

teknik dan metode penyidikan , diagnosa dan pengujian Veteriner . Berdasarkan

alasan tersebut di atas BBVet Denpasar berkomitmen untuk melakukan

pengembangan teknik dan metoda penyidikan, diagnosa dan pengujian

Veteriner, dan saat ini terkait dengan penyakit Jembrana yang bersifat spesifik.

Penyakit Jembrana/Jembrana Disease (JD) adalah penyakit viral bersifat akut,

disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae. Virus ini berbentuk pleomorf,

beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic

Acid (ss-RNA) berukuran 50-120 nm.

Berbeda dengan grup lentivirus lainnya infeksi oleh virus penyakit Jembrana

cenderung bersifat akut, menimbulkan gejala klinis dengan masa inkubasi

pendek yaitu sekitar 7 hari pasca infeksi dapat menimbulkan gejala klinis

terutama demam, pembesaran kelenjar limfe permukaan, nafsu makan turun,

kadang-kadang disertai keringat darah. Demam umumnya berlangsung 5-6 hari

dan pada saat demam tersebut, titer virus sangat tinggi dan dapat dideteksi

dengan RT-PCR (Gambar 1.)

Page 187: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

183

Gambar 1. Hubungan antara suhu tubuh (tanda bulat hitam) dengan titer virus (tandasegitiga merah) yang di deteksi dengan uji Real Time PCR (RT-PCRpada sapi Bali setelahdiinfeksi VPJ (Sumber: IW. Masa T. PhD Thesis, 2010).

Siklus hidup Virus Penyakit Jembrana (JDV) dimulai dengan menempelkan

dirinya pada permukaaan target cells melalui reseptor, kemudian melepas

kulitnya di dalam sitoplasma dan memasukkan gen-nya yang disebut cDNA

(proviral DNA) ke dalam inti sel yang selanjutnya menyatu (berintegrasi) dengan

gen sapi untuk selamanya. Pada saat hewan sembuh gen JDV tetap berada di

dalam target cells dan status hewan yang sembuh menjadi karier (Gambar 2)

Gambar 2. Siklus hidup lentivirus di dalam sebuah target cell (Sumber: IW. Masa T. PhDThesis, 2010

38

39

40

41

42

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021

Days post-infection

Mea

n re

ctal

tem

pera

ture

(oC)

0100200300400500600700800

JDV

RNA

x106 /m

l

Temperature JDV RNA

Page 188: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

184

Di laboratorium diagnosa penyakit Jembrana biasanya dilakukan dengan

beberapa uji diantaranya untuk mendeteksi antibody dilakukan uji serologis

ELISA atau Western Blot dan untuk mendeteksi virus/antigen dilakukan dengan

uji Immunohistokimia (IHK), Insitu-Hybridization (ISH ) dan Polymerase Chain

Reaction (PCR). Untuk mendeteksi antigen pada saat hewan sedang dalam fase

demam (akut), dilakukan dengan uji IHK dan ISH (Gambar 3)

Gambar 3. Hasil deteksi virus Jembrana pada organ limfoid dengan IHK (gambar kiri) dan deteksiantigen dengan ISH (gambar kanan). Hasil positif IHK ditandai dengan adanya warna coklat pada selyang terinfeksi) sedangkan hasil positif ISH ditandai dengan warna merah pada sitoplasma sel B(Sumber PhD Thesis I.W.Masa Tenaya. 2010)

Sesungguhnya sel-sel positif IHK dan ISH tersebut adalah sel-sel B (penghasil

antibodi seluler) sebagaimana dibuktikan dengan uji double immunostaining. Hal

ini menjelaskan mengapa antibodi tidak terbentuk sampai 2 bulan pasca infeksi,

sedangkan pada penyakit virus lainnya antibodi sudah terbentuk beberapa hari

pasaca infeksi.

Pada saat penyakit phase akut (demam) keberadaaan JDV yang berada dalam

sel (intracellular virus) dalam bentuk cDNA dapat dideteksi dengan uji

convensional PCR dan virus yang berada di luar sel (extracellular virus) dalam

bentuk RNA dapat dideteksi dengan uji Real -Time PCR (gambar 4)

Page 189: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

185

Gambar 4. RT-PCR: Kiri adalah kurve standar, kanan adalah amplifikasi positif berlipat ganda RNAvirus Jembrana pada saat demam (Sumber PhD Thesis; IWM. Tenaya, 2010).

Uji Real Time PCR dan Convensional PCR lebih sensitive dan spesifik daripada

uji IHK dan ISH. Akan tetapi setelah phase demam berlangsung, karena

extracellular virus sudah masuk bersembunyi ke dalam inti sel target menjadi

cDNA, maka RT-PCR tidak dapat lagi mendeteksi JDV. Sebaliknya cDNA

tersebut masih dapat dideteksi dengan convensional PCR selama demam

berlangsung sampai beberapa tahun setelah hewan sembuh dengan PCR

product sekitar 360 bp Secara keseluruhan dapat disimpulkan perbandingan

kelebihan dan kekurangan metoda diagnose JD seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Rangkuman perbandingan kelebihan dan kekurangan metodadiagnose penyakit Jembrana yang telah dikembangkan

No Metoda diagnose Kelebihan Kekurangan1 Serologi (ELISA

dan Western Blott)1. Dapat mendeteksi

antibody pada saatkronis

2. Sebagai uji evaluasihasil vaksinasi

1. Tidak spesifik (crossreaksi dengan antibodyBIV

2. Tidak sensitive, tidakdapat mendeteksiantibody pada saatphase akut (dibawah 2bulan)

2 Deteksi antigen(IHK dan ISH.Doubleimmunostainning

1. Sensitif dan spesifikkarena memakaiantibody monoclonaldan Riboprobe

1. Tidak dapat mendeteksiJDV pada phase kronis,tidak cocok untuk ujimassal.

2. ISH dan doubleimmunostainning sangatkomplek tidak cocokuntuk uji massal.

Cycle5 10 15 20 25 30 35 40

Norm

. F

luoro

.

0.8

0.6

0.4

0.2

0 Threshold

Cycle5 10 15 20 25 30 35 40

Norm

. F

luoro

.

0.8

0.6

0.4

0.2

0 Threshold

Page 190: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

186

3. Deteksi cDNAdengan c-PCR

1. Sensitif dan spesifikmendeteksi JDVpada saat akut dankronis (karier)

2. Mendeteksi virussecara kualitatif

1. Memerlukan waktu lebihlama

2. Berbahaya memakai zatkarsinogenik (ethidiumbromide)

3. Memerlukan pembuatangel elektroforesis

4. Tidak cocok untuk ujimassal

4 Deteksi RNAdengan RT-PCR

1. Sensitif dan spesifikmendeteksi JDVpada saat akut

2. Mendeteksi virussecara kuantitatif

1. Tidak dapat mendeteksiRNA pada phase kronisKarena RT-PCR hanyamendeteksi (ekstrasellulerRNA), dimana pada phasecarrier tidak ada lagi RNA didalam plasma namunc-DNA tetap ada di dalamPBMC

B. Rumusan MasalahDari uraian di atas walaupun metoda diagnosa JDV telah dikembangkan secara

maksimal dari tingkat konvensional sampai molekuler, aplikasi metode-metode

tersebut harus masih disesuaikan dengan tingkat kejadian penyakit. Hal ini

terjadi bukan karena metode diagnosa yang kurang tepat tetapi karena sifat

alamiah infeksi JDV yang sangat unik. Oleh karena itu dapat diidentifikasi

masalah-masalah sebagai berikut :

1. Belum tersedianya metoda diagnosa JDV yang “feasible” yaitu efektif, efisien,

sensitif dan spesifik (akurat) dapat mendeteksi hewan terinfeksi JDV pada

phase akut, kronis dan karier.

2. Belum tersedia metoda diagnosa yang dapat mengkuantitasi JDV khususnya

pada saat kronis dan/atau pada hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis

atau pada hewan karier.

3. Belum pernah dilakukan uji coba revitalisasi RT-PCR sebagai pengganti C-

PCR dalam mendeteksi cDNA pada hewan terinfeksi JDV

Page 191: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

187

C. Maksud dan TujuanKegiatan ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan DNA dari PBMC

2. Mengembangkan/optimalisasi uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA

virus penyakit Jembrana pada sapi Bali yang terinfeksi.

3. Melakukan validasi metode uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA virus

penyakit Jembrana.

D. Manfaat/OutcomeManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :

1. Tersedianya DNA virus Jembrana dari sapi Bali yang terinfeksi JD

2. Tersedianya metode uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA virus

penyakit Jembrana pada sapi Bali yang terinfeksi JD

II. MATERI DAN METODE

Pada pengembangan metode tahun 2014 dilakukan beberapa kegiatan antara

lain :

1. Isolasi DNAPBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan

QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai

berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam

tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106

lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL

ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex

selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama 10

menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl

ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik.

Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati

masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection

tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm

selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan

buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan

Page 192: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

188

tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan

centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column

dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka

tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi

dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh

20.000 g / 14.000 rpm selama 3 menit. Tempatkan QIAamp spin column pada

1.5 ml tabung microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung

filtrat. Tahap Elution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul

buffer AE atau aquadest. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan

kemudian centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin

colum dan simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.

2. Uji Real Time PCRMetoda uji Real Time PCR yang dipakai untuk mendeteksi c-DNA virus Jembrana ini

adalah mengacu pada uji Real Time PCR AI dengan beberapa modifikasi. Bahan-bahan

yang diperlukan dalam teknik Real Time PCR JD adalah Superscript III Platinum

SybrGreen One Step. . Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer

JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen

5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3) dengan

sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al., 1995). Formula untuk

1 reaksi Real Time PCR adalah : Enzyme 1 ul, 2x Master mix: 12,5 ul, Reverse Primer

1 ul, Forward primer L 1 ul , Nuclease Free Water 6,5 Ul dan Template DNA : 3 ul.

Campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin Real Time PCR diamplifikasi

sebanyak 35 siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama

5 menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1

menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus, ada

program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan DNA yang

belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu ruang, biasanya

15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2 jam 15 menit.

Page 193: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

189

III. HASIL

Dari hasil isolasi DNA telah berhasil dikumpulkan sebanyak 60 sampel DNA

Pada optimalisasi metoda uji saat ini telah dicoba 2 protokol uji . Protokol

pertama mengadopsi metoda uji Real PCR yang dikembangkan oleh Faizah ,

2008. Sedangkan protokol kedua mengacu pada protokol yang digunakan pada

metoda PCR konvensional. Dari hasil optimalisasi , ternyata dengan

menggunakan protokol dari Faizah 2008, tidak memberikan hasil yang optimal.

Dengan menggunakan waktu dan suhu seperti pada protokol PCR konvensional,

dan selanjutnya dilakukan amplifikasi pada mesin Real Time PCR akhirnya

DNA virus JD berhasil terdeteksi. Pada saat pengembangan metoda ini

dilakukan pembacaan pada saat anealing dan elongasi. Hasil pembacaan

menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pembacaan sinyal

probe (Rox ) yang dilakukan pada saat anealing dan elongasi. . Hasil

selengkapnya seperti terlihat pada gambar 1,2 dan 3.

Page 194: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

190

Gambar 1. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocoldari bu Faizah.

Gambar 2. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocolKonvensional dengan Step pembacaansinyal Probe (Rox) pada tahap Annealing

Gambar 3. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocolKonvensional dengan Step pembacaansinyal Probe (Rox) pada tahap Elongasi

Page 195: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

191

IV. PEMBAHASAN

Real time PCR merupakan PCR kuantitatif dengan cara mendeteksi flourescen

repoter yang dihasilkan selama reaksi PCR. Peningkatan sinyal flourescen,

merupakan indikator amplifikasi produk PCR di setiap siklus PCR (deteksi

secara Real Time). Selama proses PCR berlangsung akan terjadi 3 fase

pertumbuhan produk amplifikasi yakni :

Fase eksponensial (Logaritmik) dimana Penggandaan produk secara tepat

(efisiensi reaksi diasumsikan 100%), reaksi sangat presisi dan spesifik

Fase linier : komponen reaksi menjadi terbatas, efisiensi rekasi menurun

Fase Plateau (stasioner : rekasi telah berhenti, tidak ada lagi produk yang

dihasilkan, apabila dibiarkan cukup lama maka produk PCR dapat mengalami

degradasi.

Dalam penelitian ini menggunakan Sybr Green. Alasan penggunaan Sybr

Green tersebut karena memiliki beberapa keuntungan antara lain : lebih murah

dan dapat melihat Tm serta dapat digunakan untuk aplikasi DNA dan RNA.

Namun SybrGreen memiliki kekurangan yaitu kurang spesifik. Faktor inilah yang

mungkin menyebabkan kurang bagusnya hasil pada validasi metode yang

dilakukan. Metode Real Time PCR JD mungkin akan lebih memberikan hasil

yang spesifik bila menggunakan TaqMan Probe karena TaqMan Probe memiliki

keunggulan yaitu memberikan hasil yang spesifik , dapat mendeteksi antigen,

kuantitasi viral dan deteksi SNP, dapat digunakan untuk deteksi DNA dan RNA,

Namun kekurangannya harga lebih mahal. (Faizah , 2008).

Page 196: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

192

V. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULANDari hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

c-DNA virus penyakit Jembrana berhasil diisolasi dari PBMC.

Optimalisasi uji Real Time PCR telah berhasil dilakukan namun hasil validasi

uji belum optimal

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan TaqMan Probe untuk

mendapatkan hasil yang lebih maksimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

bapak Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas kepercayaan dan dana yang

diberikan untuk menyelesaikan kegiatan ini. Ucapan terimakasih juga

disampaikan kepada semua medik dan paramedik Veteriner Balai Besar

Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam pengamatan klinis

pengambilan dan pengujian sampel serta semua pihak yang ikut membantu

sehingga kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi AntibodiLentivirus Menggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6.Manual DiagnosaLaboratorik Penyakit Jembrana. Materi Kursus Peningkatan MetodeDiagnosa Penyakit Jembrana ACIAR-BPPV VI.

Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya,G.(1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : abovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal ofGeneral Virology. 76: 1637-1650

Page 197: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

193

Faizah , 2008. Polymerase Chain Reaction (PCR). Dalam Materi PeningkatanKompetensi Laboratorium Bioteknologi. Balai Besar Veteriner Denpasar.2008.

Hartaningsih, N., Sulistyana, K., and G.E. Wilcox. (1996) Serological Test forJDV Antibodies and Antibody Respons of Infecetsd Cattle. In JembranaDisease and the Bovine Lentiviruses, ACIAR Preceeding No.75, Page79—84

Hartaningsih, N. 2005.Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana diKalimantan Timur.Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Denpasar.

Putra, AAG., 2003. Peranan Hewan Karier Penyakit Jembrana dalam Penularanpenyakit di Lapangan Bulletin Veteriner , Balai Penyidikan dan PengujianNeteriner Regional VI Denpasar , XV (63) : 15-26.

Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno., M Kertaydnya, G., and Wilcox, GE.1990. Studies experimental Jembrana disease of infectious agen in Balicattle. Transmission and persistence of the infectious agent in ruminantand pigs and resistence of recovered cattle to re-infection, Journal ofComparative Pathology 103 : 49-69

Soeharsono, S., Wilcox, GE., Putra, AAG., Hartaningsih, N., Syulistyana, K andTenaya., M. 1995. The Transmission of Jembrana disease of lentivirusdisease of Bos javanicus cattle, Epidemiology and Infection .115 : 367-374.

Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNAVirus Jembrana pada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase ChainReaction.Buletin Veteriner. 63: 44-48, BPPV VI Denpasar.

Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals byPCR.Buletin Veteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S.,and Robertson T (1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana diseasein Bali cattle. Veterinary Microbiology 33: 367-374

Page 198: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

194

MONITORING AVIAN INFLUENZA H5N1 DI PASAR UNGGAS HIDUP DI DIPROVINSI BALI TERKAIT PERUBAHAN MUSIM TAHUN 2014

Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Fitriani,K1.Suryadinata, L. M. F1,Sutami, N1., Purnatha, N1.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Avian Influenza (AI) adalah menular pada unggas dan dapat menyebabkan spectrum gejalayang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yangsangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.Monitoring ini dilakukan untuk mendeteksi munculnya penyakit Avian Influenza di pasar unggashidup di Bali terkait dengan perubahan musim. Kegiatan monitoring ini dilakukan denganmenggunakan metode Detect Presence of the Disease dengan populasi target unggas sehat danyang tampak sakit di pasar unggas berisiko tinggi di bali pada saat terjadi perubahan musim darimusim kemarau ke musim hujan. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa proporsi hasil positifpenyakit AI di di pasar unggas hidup di provinsi Bali terkait perubahan musim adalah 1.89 %, Halini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar khususnya di provinsi Bali. Prevalensi penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidupdi provinsi Bali terkait perubahan musim untuk unggas itik sebesar 5 % yang ditemukan di pasarAmlapura kabupaten Karangasem, sedangkan untuk unggas ayam diperoleh hasil sebesar 1,52% yang diterdeteksi di pasar Umum Gianyar kabupaten Gianyar. Ditemukan hasil positif virus ND(0.1 %) tepatnya di pasar Kediri Kabupaten Tabanan, hal ini menunjukkan bahwa penyakit NDmasih bersirkulasi di wilayah provinsi Bali.

Kata Kunci : Avian Influenza virus, Pasar unggas Hidup, perubahan musim

PENDAHULUAN

Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada

unggas yang termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE).

Seluruh unggas diketahui rentan terhadap infeksi avian influenza, walaupun

beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan yang lain. Infeksi

ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai

dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat

menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat. Hal ini

meningkatkan risiko terjadinya penularan khususnya untuk penyakit AI yang

dapat menular pada manusia (zoonosis).

Page 199: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

195

Penyebaran penyakit Avian Influenza dapat melalui perniagaan (Putra et al,

2006). Pasar unggas hidup merupakan pusat perniagaan unggas yang menjadi

salah satu mata rantai yang sangat berpengaruh terhadap lalu lintas unggas.

Penyebaran penyakit ini dapat cepat terjadi apabila unggas yang

diperjualbelikan di pasar terdeteksi virus AI kemudian dilalu lintaskan ke wilayah

yang lain. Potensi penularan juga menjadi meningkat apabila unggas dari

berbagai macam spesies dikumpulkan dalam satu kandang yang sama. Unggas

air diketahui sebagai reservoir penyakit AI tidak akan menunjukkan gejala klinis

penyakit AI tetapi dapat menjadi media penular ke unggas yang lain. Namun

saat ini unggas air menjadi terinfeksi oleh virus AI H5N1 dengan clade 2.3.2.1

yang baru merebak di Indonesia pada pertengahan tahun 2012. Pada saat

musim hujan, potensi kemunculan penyakit AI diprediksi akan meningkat. Hal ini

disebabkan antara lain munculnya stress pada unggas akibat perubahan musim

yang dapat menurunkan kondisi imunologis unggas tersebut. Pada saat musim

hujan, temperatur dan tingkat kelembaban lingkungan juga dapat meningkatkan

ketahanan virus di lapangan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya kontak

antara virus dengan unggas di lapangan. Oleh karena hal tersebut maka

monitoring penyakit AI pada pasar Unggas hidup di provinsi Bali terkait

perubahan musim perlu dilakukan untuk mendeteksi kemunculan penyakit ini

yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian dini penyakit Hewan

Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan kebutuhan bahan makanan

asal hewan yang ASUH sehingga tercapai swasembada pangan.

Identifikasi PermasalahanPerubahan musim dari kemarau ke musim hujan menjadi salah satu faktor yang

dianggap mempengaruhi munculnya kasus Avian Influenza. Hal ini disebabkan

antara lain munculnya stress pada unggas akibat perubahan musim yang dapat

menurunkan kondisi imunologis unggas tersebut. Pada saat musim hujan,

temperatur dan tingkat kelembaban lingkungan juga dapat meningkatkan

ketahanan virus di lapangan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya kontak

antara virus dengan unggas di lapangan.

Page 200: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

196

Tujuan Monitoring.1. Memonitor kejadian Avian Influenza di pusat rantai perdagangan yakni

pasar unggas pada saat perubahan musim.

2. Mendeteksi virus Avian Influenza di lingkungan di pasar unggas untuk

mengetahui potensi terjadinya infeksi pada unggas yang diperjual belikan di

pasar tersebut.

Manfaat Monitoring.

1. Mengetahui tingkat infeksi penyakit Avian Influenza dan potensi

penyebarannya di pusat rantai perdagangan unggas yakni di pasar unggas

hidup.

2. Terdeteksinya virus Avian Influenza di pasar unggas hidup di Bali pada saat

musim hujan.

OutputTersedianya data kejadian infeksi penyakit Avian Influenza dan potensi

penyebarannya di pusat rantai perdagangan unggas yakni di pasar unggas

hidup disaat musim hujan sehingga dapat direkomendasikan tindakan

pencegahan dan pengendaliannya.

Page 201: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

197

MATERI DAN METODE

MateriBahan : Swab unggas, antigen AI, PBS, RBC 1 %, Telur Ayam Bertunas,

antibiotik inokulum

Alat :: tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

MetodeSampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab ternak unggas (ayam, itik,

entok dan swab kandang) di pasar unggas berisiko tinggi (FAO, 2008) di wilayah

provinsi Bali. Monitoring penyakit unggas AI di pasar unggas terkait perubahan

musim di provinsi Bali, Besaran sampel metode detect the presence of disease

dari Martin et al. (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah

besaran sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam

jumlah sampel tersebut, d adalah jumlah hewan yang terinfeksi (asumsi prev 5

%) dan N adalah besaran populasi unit observasi. Maka diperoleh; n = 48. Cara

pengambilan sampel dilakukan dengan Random di pasar unggas berisiko tinggi

di kabupaten terpilih Sehingga diperoleh hasil estimasi jumlah sampel di masing

– masing pasar unggas. Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada

analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas. Sehingga dapat diperoleh

jumlah sampel unggas yang harus diambil dalam monitoring penyakit Avian

Influenza di Bali, pada tahun 2014 seperti pada tabel berikut ;

Tabel 2. Distribusi sampling monitoring penyakit AI di pasar unggas Hidupdi provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014.

No Lokasi Kabupaten PopulasiPedagang

Proporsisampel unitpedagang

Estimasisampeltingkatunggas

1 Pasar umum Gianyar Gianyar 30 4 302 Pasar Galiran Klungkung 70 10 603 Pasar Amlapura Karangasem 50 7 454 Pasar Kediri Tabanan 50 7 455 Pasar Dauh Pala Tabanan 30 4 306 Pasar Beringkit Badung 70 10 607 Pasar Veteran Denpasar 50 7 45Jumlah 380 48 215

Page 202: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

198

HASIL

Dari hasil pengambilan sampel di pasar unggas hidup di provinsi Bali pada tahun

2012 dilakukan di delapan pasar unggas terpilih yang ada di enam kabupaten di

provinsi Bali. Dari kegiatan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Jumlah sampel berdasarkan Jenis sampel, Spesies dan rasunggas monitoring di pasar unggas hidup di provinsi Bali tahun2014

Jumlah Sampel Total SampelSakit Tampak Sehat Ʃ Total Ʃ TotalSpesies Ras

Ʃ Swab ƩPool

ƩSwab Ʃ Pool Swab Pool

Angsa 5 1 5 1Ayam Broiler 83 18 83 18

Kampung 15 15 141 29 156 44Layer 1 1 15 3 16 4

Entok 7 2 7 2itik lokal 1 1 90 19 91 20Lingk,Feses 14 14 14 14Swab Limbah 3 3 3 3Grand Total 17 17 358 89 375 106

Dari hasil tersebut diperoleh sampel sebanyak 375 swab dalam 106 pool

sampel. Selain swab unggas, pengambilan sampel juga dilakukan untuk

mendeteksi sampel yang berasal dari lingkungan, kandang dan saluran limbah

pembuangan lokasi pemotongan unggas. Hal tersebut dilakukan untuk

menelusuri kemungkinan bahwa pada lokasi target pengambilan sampel

tersebut pernah terjadi infeksi virus Avian influenza dari unggas yang diperjual

belikan. Dari hasil tersebut diiperoleh satu pool sampel angsa, 44 pool sampel

ayam (Broiler, layer, kampung), 20 pool swab Itik, 14 pool swab lingkungan dan

tiga pool swab limbah di pasar unggas hidup di provinsi Bali. Monitoring pada

pasar unggas ini juga mengambil sampel dari unggas yang tampak sakit untuk

meningkatkan probability ditemukannya paling tidak satu sampel positif virus AI

menggunakan metode detect presence of the disease yang direncanakan dalam

metodologi sampling.

Page 203: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

199

Dari hasil pengujian laboratorium di laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner

Denpasar, diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil pengujian sampel monitoring di pasar unggas hidupdi provinsi Bali tahun 2014

Hasil PengujianLaboratorium

Kabupaten Nama PasarUnggas Jenis/Spesies

Sampel NegatifVirus AI

PositifVirus

AI

PositifVirusND

GrandTotal

ProporsiPos AI

(%)

Badung Pasar Beringkit Angsa 1 1 0

Ayam 12 12

Entok 1 1

itik 4 4

Lingk,Feses 5 5

Denpasar Pasar Veteran Ayam 13 13 0

Lingk,Feses 5 5

Gianyar Pasar Semenaung Ayam 2 2 11,1

Ayam 5 1 6Pasar UmumGianyar itik 1 1

Karangasem Pasar Amlapura Ayam 8 8 0

Entok 1 1

itik 1 1 2 7,69

Lingk,Feses 2 2

Klungkung Pasar Galiran Ayam 11 11 0

itik 4 4

Tabanan Pasar Dauh Pala Ayam 9 9 0

itik 3 3

Lingk,Feses 2 2

Swab Limbah 3 3

Pasar Kediri Ayam 5 5 0

itik 5 1 6Grand Total 103 2 1 106 1,89

Dari hasil pengujian laboratorium tersebut diperoleh hasil dua pool sampel

terdeteksi positif virus AI di pasar unggas hidup di Bali pada saat musim hujan

tahun 2014. Selain itu satu sampel juga terdeteksi positif virus ND (Newcastle

disease. Satu pool sampel ayam broiler terdeteksi positif virus AI dari unggas

yang diperjual belikan oleh pedagang di pasar Umum Gianyar kabupaten

Gianyar, sedangkan satu unggas itik diperoleh dari pedagang di pasar Amlapura

Kabupaten Karangasem. Untuk satu sampel yang terdeteksi virus ND, diperoleh

dari unggas itik yang dijual di pasar Kediri kabupaten Tabanan.

Page 204: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

200

PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian laboratorium tersebut maka dapat diketahui bahwa proporsi

hasil positif virus AI di pasar unggas hidup pada saat musim hujan di kabupaten

Karangasem sebesar 11,1 % (1 dari 9 sampel positif virus AI). Sedangkan di

kabupaten Tabanan menunjukkan proporsi hasil positif sebesar 7,69 (1 dari 13

sampel positif virus AI). Berdasarkan jenis sampel dan spesies unggas (Gambar

1), diperoleh hasil bahwa hasil positif virus AI pada ayam sebanyak 1 dari 66

sampel (1,52 %), sedangkan pada ternak itik 1 dari 20 sampel positif virus AI (5

%). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ditemukan prevalensi

infeksi VAI H5 di kabupaten Buleleng pada tahun 2005 yaitu pada ayam buras

sebesar 5,43 % dan unggas air 8,93 % (Anonimous, 2005). Tingkat

seroprevalensi infeksi penyakit AI pada tahun 2006 di kabupaten Buleleng untuk

ayam kampung adalah 7,19 % dan unggas air 17,46 % (Anonimous, 2006).

Menurut Hartawan, et al, 2011, Persentase hasil positif Virus AI (H5) di tingkat

kandang yang berisikan unggas itik selama periode empat waktu pengambilan

sampel di pasar unggas berisiko tinggi di Bali adalah 0,68 % (1/146).

Gambar 1. Proporsi hasil positive virus AI di pasar unggas hidup di provinsi Bali tahun2014 terkait perubahan musim berdasarkan jenis dan spesies sampel.

Page 205: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

201

Di beberapa negara berkembang di Asia, wabah penyakit AI banyak terjadi

khususnya pada ayam kampung dan ayam komersial pada tahun 1990-an

(Perdue et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa ayam komersial khususnya

ayam layer pejantan bisa tertular penyakit AI, faktor utama penularan penyakit AI

pada ayam komersial melalui kontak langsung dengan unggas terinfeksi atau

secara tidak langsung melalui kontaminasi sekresi pada kandang tempat unggas

tersebut dijual dan peralatan lainnya (Swayne, 2008).

Tercatat 109 pasar unggas yang tersebar di seluruh kabupaten di propinsi Bali

(Muktazam et al., 2009). Kurun waktu bulan Mei 2008 sampai Januari 2009 telah

dilakukan survey di sembilan pasar unggas di tujuh kabupaten di propinsi Bali.

Pemilihan sembilan pasar tersebut berdasarkan kriteria 1). jumlah unggas yang

terjual di pasar tersebut per hari, 2). lokasi pasar berdasarkan kedekatan dengan

jalan utama, 3). banyaknya peternakan unggas komersial di sekitar pasar

tersebut, 4). ada tidaknya kasus AI di sekitar pasar tersebut, dan 5). aktivitas

pasar tersebut, apakah beroperasi setiap hari atau pada hari tertentu serta

durasi waktu penjualan unggas. Beberapa pasar besar menjual beberapa jenis

hewan dalam satu lokasi, dan merupakan tempat penjualan hewan antar pulau.

Pasar unggas tersebut merupakan pasar berisiko tinggi terhadap penyebaran

penyakit AI berdasarkan tingkat lalu lintas pedagang, jumlah pedagang bergerak

maupun permanen, biosekuriti pasar dan jumlah unggas yang diperjual belikan

(Dharma et alI, 2008). Berdasarkan kriteria tersebut diatas maka disimpulkan

bahwa beberapa pasar tersebut merupakan pasar unggas hidup dengan risiko

menjadi lokasi penyebaran virus AI lebih tinggi.

Dengan terdeteksinya unggas di pasar unggas hidup terhadap infeksi virus

Avian Influenza (AI), menunjukkan bahwa sampai saat ini penyakit tersebut

masih bersirkulasi di provinsi Bali. Terkait dengan perubahan musim dari musim

kemarau ke musim hujan pada saat ini, dapat pula disimpulkan bahwa risiko

perubahan musim tetap mempengaruhi tingkat kemunculan infeksi penyakit ini.

Berdasarkan kriteria risiko yang digunakan untuk menetapkan kategoris pasar

unggas berisiko tinggi di Bali, maka tindakan pencegahan dan penanganan

terhadap munculnya infeksi penyakit AI melalui pasar unggas dapat dilakukan

sedini mungkin.

Page 206: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

202

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanDalam kegiatan Monitoring penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidup di

provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014 dapat disimpulkan sebagai

berikut ;

1. proporsi hasil positif penyakit AI di di pasar unggas hidup di provinsi Bali

terkait perubahan musim adalah 1.89 %, Hal ini menunjukkan bahwa

penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar khususnya di provinsi Bali.

2. Prevalensi penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidup di provinsi Bali

terkait perubahan musim untuk unggas itik sebesar 5 % yang ditemukan di

pasar Amlapura kabupaten Karangasem, sedangkan untuk unggas ayam

diperoleh hasil sebesar 1,52 % yang diterdeteksi di pasar Umum Gianyar

kabupaten Gianyar.

3. Ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %) tepatnya di pasar Kediri Kabupaten

Tabanan, hal ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di

wilayah provinsi Bali.

SaranSaran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Monitoring

di pasar unggas hidup di provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014

adalah sebagai berikut ;

1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya baik antar wilayah

maupun dalam provinsi Bali yang melalui pusat rantai perdagangan yakni

pasar unggas hidup, harus diawasi dan dilakukan tindakan antisipasi

terhadap munculnya penyakit AI seperti dengan memperkuat Biosekuriti

pasar tersebut dengan menyediakan fasilitas untuk kebersihan pasar..

2. Perlu dilakukan desinfeksi atau fumigasi menyeluruh pada lokasi pasar

tempat penjualan unggas di seluruh pasar unggas hidup di Bali untuk

mencegah terjadinya penularan penyakit AI di pasar tersebut

3. Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas

tentang penyakit AI.

Page 207: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

203

4. Kegiatan Monitoring dan Investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar

pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian kasus serta faktor

resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

PUSTAKA.

Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. VeterinaryBulletin12. 341-359.

Cardona, C. J., Xing, Z., Sandrock, C.E., dan Davis, C.E., 2008. Avian influenzain birds and animal. Comparative immunology, microbiology andinfectious disease.(2008),doi:10.1016/j.cimid.2008.01.001www.sciendirect.com/locate.cimid

Hartawan, et al. 2013. Epidemiologi kasus avian influenza di bali bulandesember 2012 sampai april 2013 : frekuensi penyakit dan distribusiunggas. BulVet BBVet Denpasar. Edisi Juli 2013. Vol. XXV No. 82

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A.G. 2006. Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System andin Live Bird Markets in Bali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26

Muktazam, A., Ambarwati, A., Fenwick, S., dan Millar, J. 2009. Report on Activity1.2: Cross Sectional Study - Bali and Lombok. ACIAR. Sept 2009.

Hananto, W., 2007. Kajian kasus kontrol Avian influenza pada peternakanunggas komersial di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. TesisSekolah Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.

Dharma, D. G. M. N., Kertayandnya, G., dan Thornton, R., 2008. Live birdmarket study report. FAO: Jakarta.

Page 208: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

204

FAO,, 2007. The Importance of Biosecurity in Reducing HPAI Risk on Farm andin Market. International Ministerial Conference on Avian and Pandemicinfluenza. New Delhi 4 – 6 December.

Perdue, M. L., D. L. Suarez, dan D. E. Swayne., 1999. Avian influenza in 1990’s.Poultry and Avian Biology Review 11: 1- 20.

Swayne, D. E., dan Halvorson, D. A.,2003, dalam Cardona, C. J., Xing, Z.,Sandrock, C.E., Davis, C.E., 2008. Avian influenza in birds and animal.Comparative immunology, microbiology and infectious disease. (2008),doi: 10. 1016/j. cimid. 2008. 01. 001

Page 209: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

205

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DANNEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014

Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Fitriani,K1.Suryadinata,L. M. F1, Sutami, N1., Purnatha, N1.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggasdan mempunyai arti penting yakni munculnya kerugian ekonomi yang diderita oleh parapeternak unggas mulai dari penurunan produksi hingga kematian unggas. Penyakit initermasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE). Penyakit tersebutmenular pada unggas dan dapat menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas padaunggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggidan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.Selain itu dampak sosio-ekonominya cukup luas mempengaruhi status kesehatanmasyarakat dan perdagangan internasional terutama pada perdagangan produk unggasdan hasil olahannya. Oleh karena itu kajian terhadap penyakit tersebut sangat pentinguntuk dilakukan. Surveilans ini dilakukan sebagai dasar pemetaan penyakit AI H5N1dan ND dan sekaligus untuk mengetahui distribusinya di wilayah kerja Balai BesarVeteriner Denpasar Hasil yang diperoleh ditemukan hasil positif virus AI denganproporsi 1.11 % (11/989) di Provinsi Bali dan 0,19 % (2/1052) di Nusa Tenggara Barat.Hal ini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai BesarVeteriner Denpasar. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI dipropinsi Bali sebesar 27.33 %, di Nusa Tenggara Barat dengan proporsi 64.1 % danNusa Tenggara Timur 85.4 %. Untuk penyakit ND, ditemukan positif virus ND denganproporsi sebesar 0.1 % (1/955) di propvinsi Bali. hal ini menunjukkan juga bahwapenyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasarsedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positifND. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di propinsi Balisebesar 47.46 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 56.44 % dan Nusa Tenggara Timursebesar 100 %.

Kata Kunci : Avian Influenza, Newcastle Disease Deteksi virus, Serosurveilans titer antibodi

Page 210: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

206

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas menular yang disebabkan oleh

virus Avian influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae. Kebanyakan kasus

disebabkan oleh highly pathogenic avian influenza virus subtipe H5 dan H7 yang

menyebabkan gangguan sistemik diikuti tingkat kematian tinggi pada unggas dan

lesi organ yang bervariasi (Alexander, 1982). Dampak sosio-ekonominya cukup

luas mempengaruhi status kesehatan masyarakat dan perdagangan internasional

terutama pada perdagangan produk unggas dan hasil olahannya (Alexander,

2000). Penyakit ini menyebabkan penurunan produksi serta memiliki tingkat

morbiditas dan mortalitas tinggi. Penyakit Influenza pertama kali dilaporkan pada

tahun 1878 di Italia kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai negara di

dunia (Easterday dan Hinshaw, 1991). Di Indonesia, pertama kali kasus penyakit

influenza pada unggas dilaporkan pada tahun 1983. Di Indonesia, penyakit AI

dilaporkan kembali mewabah pada bulan Agustus 2003. Laporan pertama kali

kejadian wabah menyerang peternakan unggas komersial (skala besar dan kecil)

di kabupaten Pekalongan propinsi Jawa Tengah. Secara resmi kejadian wabah AI

diumumkan pada tanggal 25 Januari 2004 dan beberapa hari kemudian

dikonfirmasi bahwa penyebabnya adalah VAI tipe A dengan subtipe H5N1 (Putra,

2008). Sebelum konfirmasi resmi wabah AI di Indonesia, kejadian kasus juga

sudah muncul di propinsi Bali. Wabah AI yang terjadi di propinsi Bali menyerupai

kejadian wabah di pulau Jawa, ditemukan pertama kali di kabupaten Karangasem

dan Jembrana pada bulan Oktober 2003 dan dikonfirmasi disebabkan oleh VAI

subtipe H5N1 pada bulan April 2004.

Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan

pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (Aleksander.

1997). Diketahui seluruh unggas rentan terhadap infeksi virus Newcastle

Disease (ND), walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini

dibandingkan yang lain. Infeksi ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat

luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan

yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga

menghasilkan epidemi yang berat. Penyakit ini termasuk dalam daftar A Office

International des Epizooties (OIE).

Page 211: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

207

Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan

sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut

derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik,

mesogenik dan lentogenik. Sementara itu, itik dilaporkan kurang rentan terhadap

virus ND. Itik yang terinfeksi oleh virus ND galur mesogenik maupun velogenik

umumnya bersifat subklinis yakni tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis

penyakit.

Penyebaran penyakit ini ke propinsi Bali diperkirakan melalui perniagaan unggas

(Putra et al., 2006). Salah satu faktor yang berperan dalam kegiatan perniagaan

unggas adalah pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live bird

markets). Penempatan unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang

di pasar juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit AI

H5N1 dan ND (Yee et al., 2009).

Identifikasi Permasalahan

1. Kasus kematian unggas disebabkan penyakit AI H5N1 dan ND masih terjadi

walaupun tindakan pencegahan dan pengendalian sudah dilakukan di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Penyebaran penyakit tidak memiliki pola yang pasti seperti dalam literatur,

hal ini mengindikasikan adanya faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat

penyebaran penyakit AI H5N1 dan ND seperti lalu lintas unggas maupun

perubahan musim.

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1. Mengetahui seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan ND di

daerah tertular setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit AI

H5N1 dan ND.

2. Mengetahui pola penyebaran virus AI H5N1 dan ND pada peternakan

tradisional.

Page 212: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

208

3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit

yang mengarah pada penyakit AI H5N1 dan ND sebagai dasar penentuan

program monitoring tahun selanjutnya.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan

ND di daerah tertular.

2. Diketahuinya peranan unggas air dan ayam kampung dalam penularan

penyakit AI H5N1 dan ND

3. Kasus penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dapat dipetakan.

Output

1. Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi sehingga dapat

dijadikan pertimbangan dalam rangka tindakan pengendalian penyakit AI

H5N1 dan ND

2. Diketahuinya pola lalu lintas unggas dapat dijadikan assesment oleh dinas

terkait untuk tindakan pencegahan penularan penyakit tersebut.

3. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit khususnya AI di wilayah kerja

BBVet Denpasar.

MATERI DAN METODA

Materi

Bahan : Serum dan swab unggas, antigen AI, PBS, RBC 1 %, Telur Ayam

Bertunas, antibiotik inokulum

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Page 213: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

209

Metode Sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah swab dan serum ternak unggas

(ayam, itik, entok) pada peternakan tradisional di wilayah bali, NTB dan NTT.

Surveilans dan monitoring penyakit unggas menular di provinsi Bali, NTB dan

NTT menggunakan metode mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin

et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat

error sebesar 5 %. Asumsi prevalensi yang digunakan adalah 5 %, maka dapat

diperoleh perhitungan sebagai berikut ;

N = 4.P.Q/L2

N = 4 x 0,05 x 0,95 / 0,0025

N = 76

Jadi estimasi sampel jumlah sampel yang ditentukan adalah 76 sampel.

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan

metode random proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi

jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung

menggunakan tahapan ganda (multistage), sehingga diperoleh jumlah sampel

tiap daerah yang terpilih secara judgement untuk kabupaten/kota di provinsi NTB

dan NTT adalah 76 x 2 tahapan yaitu 152 sampel per kabupaten kota. Untuk

estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, tidak menggunakan tahapan ganda

karena di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali dilakukan pengambilan sampel,

sehingga jumlah sampel yang harus diambil adalah 76 sampel per

kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan

dengan melibatkan salah satu Puskeswan binaan merujuk pada instruksi Dirjen

Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di

wilayah kerja BBVet Denpasar. Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan

pada analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas.

Page 214: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

210

Isolasi virus

Secara konvensional, virus influensa unggas diisolasi melalui inokulasi telur

ayam berembryo umur 9-11 hari dengan menggunakan sediaan usap

trachea/kloaka atau homogenat jaringan, biasanya melalui kantung

khorioallantoik (Woolcock, 2001). Tergantung kepada patotipe virus yang

diinokulasikan, embryo mungkin mati mungkin pula tidak dalam masa empat hari

observasi dan biasanya tidak ditemukan adanya lesi, baik pada embryo maupun

pada membran allantois (Mutinelli, 2003b). Telur yang diinokulasi dengan bahan

yang mengandung HPAIV biasanya mati dalam waktu 48 jam. Adanya zat

hemaglutinik dapat dideteksi dalam cairan allantois yang diambil. Hemaglutinasi

(HA) adalah tehnik pengujian yang tidak sensitif karena memerlukan paling

sedikit 106,0 partikel per mililiter. Diperlukan sampai dua kali lagi melewati telur

berembryo untuk beberapa strain LPAIV, supaya diperoleh jumlah virus yang

cukup untuk dapat dideteksi dengan uji HA. Dalam hal HPAIV, pelintasan kedua

pada telur berembryo dengan menggunakan inokulum yang sudah diencerkan

dapat membawa hasil yang lebih baik untuk menghasilkan zat hemaglutinasi

yang optimal.

Uji hemaglutinasi dan hambatan hemaglutinasi (HA/HI)

Uji HA dapat digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki hemaglutinin.

Adanya hemaglutinin akan dapat mengaglutinasi eritrosit dari beberapa spesies,

seperti unggas, mamalia maupun manusia. Selain dapat mendeteksi adanya

virus yang memiliki hemaglutinin, uji HA juga biasa digunakan untuk mengukur

titer antigen (OIE, 2004). Aktifitas aglutinasi dari mikroorganisme yang memiliki

hemaglutinin dapat dihambat oleh antibodi terhadapnya. Kemampuan

penghambatan tersebut dapat digunakan sebagai cara mengenali virus dan

untuk mengukur titer antibodi dalam serum (Tizard,1988). Uji HA mikrotiter

(mikroteknik) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui titer isolat dan

juga digunakan untuk retitrasi. Reaksi hambatan hemaglutinasi digunakan untuk

membantu diagnosis laboratorium dalam melakukan identifikasi virus. Selain itu

juga dapat menentukan status kekebalan setelah vaksinasi atau sembuh dari

penyakit dengan mengetahui titer antibodi atau antiserum (OIE, 2004).

Page 215: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

211

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Deteksi virus Avian Influenza (H5N1)

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2014 untuk mendeteksi virus Avian Influenza dapat disajikan sebagai berikut

Tabel 1:

Tabel 1. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI d(H5N1) Provinsi BaliTahun 2014.

AI IsolasiLokasi Positif AI Negatif AIJumlah

SpesimenProporsi

(%)BADUNG 0 59 59 0

ABIANSEMAL 0 6 6KUTA SELATAN 0 2 2KUTA UTARA 0 1 1MENGWI 0 50 50

BANGLI 2 99 101 1.98BANGLI 0 99 99SUSUT 2 0 2

BULELENG 0 181 181 0BULELENG 0 50 50GEROKGAK 0 131 131

DENPASAR 1 5 6 16.67DENPASAR BARAT 1 0 1DENPASAR SELATAN 0 5 5

GIANYAR 0 25 25 0.00GIANYAR 0 23 23PAYANGAN 0 1 1SUKAWATI 0 1 1

JEMBRANA 5 52 57 8.77JEMBRANA 3 0 3NEGARA 2 50 52PEKUTATAN 0 2 2

KARANG ASEM 0 100 100 0KARANG ASEM 0 50 50KUBU 0 50 50

KLUNGKUNG 0 256 256 0BANJARANGKAN 0 104 104DAWAN 0 51 51KLUNGKUNG 0 101 101

TABANAN 3 201 204 1.47BATURITI 0 51 51KEDIRI 2 1 3KERAMBITAN 0 54 54SELEMADEG 0 4 4SELEMADEG BARAT 0 89 89TABANAN 1 2 3

Grand Total 11 978 989 1.11

Page 216: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

212

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Avian Influenza di

Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 2915 sampel unggas. Sampel

tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus AI di lapangan.

Sejumlah 989 unggas berhasil diuji di wilayah propinsi Bali. Dari jumlah total

seluruh sampel yang diuji diatas, terdeteksi 11 sampel yang menunjukkan hasil

positif virus AI H5N1 di Provinsi Bali

Tabel 2. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI (H5N1) di provinsi NTBTahun 2014.

AI IsolasiLokasiPositif AI Negatif AI

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BIMA 0 1 1 0BOLO 0 1 1

DOMPU 0 590 590 0DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64

KOTA BIMA 2 16 18 11.11RABA 1 0 1RASANAE BARAT 0 16 16RASANAE TIMUR 1 0 1

LOMBOK BARAT 0 80 80 0GERUNG 0 80 80

LOMBOK TENGAH 0 90 90 0PRINGGARATA 0 80 80PUJUT 0 10 10

LOMBOK TIMUR 0 81 83 0AIKMEL 0 80 80WANASABA 0 1 3

MATARAM 0 80 80 0CAKRANEGARA 0 80 80

SUMBAWA 0 30 30 0SUMBAWA 0 30 30

SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81

Grand Total 2 1049 1052 0.19

Sejumlah 1052 sampel unggas diuji dari sampel yang berasal dari Nusa

Tenggara Barat. Sampel tersebut diambil dari Sembilan kabupaten di wilayah

provinsi NTB. Dari hasil surveilans tahun 2014, diperoleh hasil dua sampel

dinyatakan positif AI H5N1 yang berasal dari kota Bima yaitu dari kecamatan

Raba dan Rasanae Timur. Sampel yang terdeteksi positif Avian influenza adalah

sampel dari unggas ayam.

Page 217: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

213

Tabel 3. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI (H5N1) di provinsi NTTTahun 2014.

AI IsolasiLokasi Positif AI Negatif AIJumlah

Spesimen ProporsiBELU 0 42 42 0

ATAMBUA BARAT 0 42 42FLORES TIMUR 0 227 227 0

LARANTUKA 0 225 225WULANGGITANG 0 2 2

KOTA KUPANG 0 50 50 0OEBOBO 0 50 50

MANGGARAI 0 50 50 0LANGKE REMBONG 0 50 50

NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50

NGADA 0 51 51 0GOLEWA 0 50 50SOA 0 1 1

SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15

SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54

TIMOR TENGAHSELATAN 0 230 230 0

MOLLO SELATAN 0 230 230TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0

KOTA KEFAMENANU 0 50 50Grand Total 0 874 874 0

Di provinsi Nusa Tenggara Timur, berhasil diperoleh sebanyak 874 sampel

unggas yang diuji. Dari hasil pengujian yang dilakukan di Balai Besar Veteriner,

tidak terdeteksi hasil positif virus avian influenza dari wilayah Nusa Tenggara

Timur.

Deteksi antibodi Avian Influenza

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2014 untuk mendeteksi antibodi Avian Influenza dapat disajikan sebagai berikut :

Page 218: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

214

Tabel 4. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi BaliTahun 2014.

AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah

Spesimen ProporsiBADUNG 219 219 438 50.0

ABIANSEMAL 7 21 28KUTA UTARA 128 176 304MENGWI 62 16 78PETANG 22 6 28

BANGLI 105 253 358 29.3BANGLI 98 103 201KINTAMANI 2 100 102SUSUT 4 23 27TEMBUKU 1 27 28

BULELENG 20 389 409 4.9BANJAR 0 36 36BULELENG 0 86 86BUSUNGBIU 0 36 36GEROKGAK 14 137 151KUBUTAMBAHAN 3 27 30SERIRIT 0 28 28SUKASADA 0 18 18TEJAKULA 3 21 24

DENPASAR 1 4 5 20.0DENPASAR BARAT 1 4 5

GIANYAR 2 116 118 29.3BLAHBATUH 0 10 10GIANYAR 1 59 60PAYANGAN 1 19 20TEGALLALANG 0 28 28

JEMBRANA 112 192 304 29.3JEMBRANA 5 48 53MELAYA 43 26 69NEGARA 61 67 128PEKUTATAN 3 51 54

KARANG ASEM 34 211 245 29.3KARANG ASEM 7 132 139KUBU 1 69 70MANGGIS 26 10 36

KLUNGKUNG 150 248 398 29.3BANJARANGKAN 74 90 164DAWAN 49 1 50KLUNGKUNG 27 157 184

TABANAN 177 547 725 29.3BATURITI 20 60 80KEDIRI 2 56 58KERAMBITAN 17 54 71MARGA 0 38 39PENEBEL 0 39 39PUPUAN 115 5 120SELEMADEG 9 63 72SELEMADEG BARAT 11 175 186TABANAN 3 57 60

Grand Total 820 2179 3000 27.3

Page 219: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

215

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil

3000 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari

820 sampel serum ( 27.33 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari

hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten

Badung menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 219 dari 438 sampel serum

(50 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari kabupaten Klungkung,

Jembrana, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Karangasem dan Tabanan

menunjukkan titer antibodi yang rendah.

Tabel 5. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi NTB Tahun 2014.

AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah

Spesimen ProporsiBIMA 0 1 1 0

BOLO 0 1 1DOMPU 0 590 590 0

DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64

KOTA BIMA 4 75 79 5.1RASANAE BARAT 4 75 79

LOMBOK BARAT 16 64 80 20.0GERUNG 16 64 80

LOMBOK TENGAH 59 33 92 64.1JONGGAT 0 1 1PRAYA 0 1 1PRINGGARATA 57 23 80PUJUT 2 8 10

LOMBOK TIMUR 85 115 200 42.5AIKMEL 0 80 80PRINGGABAYA 85 35 120

MATARAM 8 72 80 10.0CAKRANEGARA 8 72 80

SUMBAWA 0 80 80 0UTAN 0 80 80

SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81

Grand Total 172 1111 1283 13.4

Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil

bahwa sampel yang diambil dari Lombok Tengah memiliki proporsi paling tinggi

dengan 59 dari 92 sampel serum (64.1 %) terdeteksi Seropositif antibodi AI.

Page 220: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

216

Untuk kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat menunjukkan

Seronegatif Antibodi AI sedangkan Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Barat

dan Kota Bima terdeteksi titer Antibodi AI yang rendah. Hasil pengambilan

sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai

berikut :

Tabel 6. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi NTTTahun 2014.

AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah

SpesimenProporsi

(%)BELU 0 42 42 0

ATAMBUA BARAT 0 42 42FLORES TIMUR 3 197 200 2

LARANTUKA 3 197 200KOTA KUPANG 0 60 60 0

KELAPA LIMA 0 10 10OEBOBO 0 50 50

KUPANG 205 35 240 85KUPANG TIMUR 205 35 240

MANGGARAI 5 45 50 10LANGKE REMBONG 5 45 50

NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50

NGADA 0 50 50 0GOLEWA 0 50 50

SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15

SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54

TIMOR TENGAH SELATAN 0 230 230 0MOLLO SELATAN 0 230 230

TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0KOTA KEFAMENANU 0 50 50

Grand Total 213 883 1096 19.4

Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil

bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Kupang terdeteksi seropositif

antibodi AI dengan 205 dari 240 sampel serum (85.4 %) memiliki proporsi paling

tinggi. Kabupaten Manggarai terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 5 dari 50

sampel serum (10 %). Dan di Kabupaten Flores Timur terdeteksi seropositif

antibodi AI dengan 3 dari 200 sampel serum( 1.5 %).

Page 221: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

217

Dimana kita ketahui bahwa Flores Timur merupakan wilayah yang terjangkit

wabah AI pada tahun 2011 tepatnya di pulau Adonara. Sedangkan sampel yang

berasal dari kabupaten Belu,TTS, Kota Kupang, Sikka, Nagekeo, Ngada, TTU,

dan Sumba Barat terdeteksi seronegatif antibodi AI.

Pelaksanaan Deteksi virus Newcastle Disease

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2014 untuk mendeteksi virus Newcastle Disease dapat disajikan sebagai berikut;

Tabel 7. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi Bali tahun 2014.

ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel

Proporsi(%)

BADUNG 1 51 52 1.92ABIANSEMAL 1 0 1KUTA UTARA 0 1 1MENGWI 0 50 50

BANGLI 0 99 99 0BANGLI 0 99 99

BULELENG 0 181 181 0BULELENG 0 50 50GEROKGAK 0 131 131

DENPASAR 0 3 3 0DENPASAR SELATAN 0 3 3

GIANYAR 0 24 24 0GIANYAR 0 23 23SUKAWATI 0 1 1

JEMBRANA 0 50 50 0NEGARA 0 50 50

KARANG ASEM 0 100 100 0KARANG ASEM 0 50 50KUBU 0 50 50

KLUNGKUNG 0 254 254 0BANJARANGKAN 0 104 104DAWAN 0 50 50KLUNGKUNG 0 100 100

TABANAN 0 192 192 0BATURITI 0 51 51KERAMBITAN 0 50 50SELEMADEG BARAT 0 89 89TABANAN 0 2 2

Grand Total 1 954 955 0.10

Page 222: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

218

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) di Bali berhasil mendapatkan 955 sampel unggas. Sampel

tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh

sampel tersebut ditemukan satu hasil positif virus ND (0.1 %) di Kabupaten

Badung, Bali.

Tabel 8. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi Balitahun 2014.

ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel

Proporsi(%)

BIMA 0 1 1 0BOLO 0 1 1

DOMPU 0 590 590 0DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64

KOTA BIMA 0 16 16 0RASANAE BARAT 0 16 16

LOMBOK BARAT 0 80 80 0GERUNG 0 80 80

LOMBOK TENGAH 0 90 90 0PRINGGARATA 0 80 80PUJUT 0 10 10

LOMBOK TIMUR 0 80 80 0AIKMEL 0 80 80

MATARAM 0 80 80 0CAKRANEGARA 0 80 80

SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81

Grand Total 0 1018 1018 0

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) di NTB berhasil mendapatkan 1018 sampel unggas. Sampel

tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh

sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif virus ND (0 %). Walaupun tidak

terdeteksi dari hasil surveilans dan monitoring penyakit ND, laporan kematian

unggas dengan gejala menyerupai klinis penyakit ini masih dilaporkan di

lapangan.

Page 223: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

219

Tabel 9. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi NTT tahun 2014.

ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel

Proporsi(%)

BELU 0 42 42 0ATAMBUA BARAT 0 42 42

FLORES TIMUR 0 227 227 0LARANTUKA 0 225 225WULANGGITANG 0 2 2

KOTA KUPANG 0 50 50 0OEBOBO 0 50 50

MANGGARAI 0 50 50 0LANGKE REMBONG 0 50 50

NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50

NGADA 0 51 51 0GOLEWA 0 50 50SOA 0 1 1

SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15

SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54

TIMOR TENGAH SELATAN 0 230 230 0MOLLO SELATAN 0 230 230

TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0KOTA KEFAMENANU 0 50 50

Grand Total 0 874 874 0.00

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) di NTT berhasil mendapatkan 874 sampel unggas. Sampel

tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh

sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif virus ND (0 %).

Deteksi antibodi Newcastle Disease

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2014 untuk mendeteksi antibodi Newcastle Disease dapat disajikan sebagai

berikut :

Page 224: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

220

Tabel 10. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di Bali tahun 2014.

ND HA/HILokasi Seropositif

NDSeronegatif

ND

Jumlahsampel

Proporsi(%)

BADUNG 210 128 338 62.13ABIANSEMAL 13 15 28KUTA UTARA 126 78 204MENGWI 70 8 78PETANG 1 27 28

BANGLI 247 111 358 68.99BANGLI 127 74 201KINTAMANI 85 17 102SUSUT 14 13 27TEMBUKU 21 7 28

BULELENG 164 245 409 40.10BANJAR 5 31 36BULELENG 23 63 86BUSUNGBIU 20 16 36GEROKGAK 86 65 151KUBUTAMBAHAN 6 24 30SERIRIT 6 22 28SUKASADA 1 17 18TEJAKULA 17 7 24

DENPASAR 3 2 5 60.00DENPASAR BARAT 3 2 5

GIANYAR 44 74 118 37.29BLAHBATUH 0 10 10GIANYAR 38 22 60PAYANGAN 1 19 20TEGALLALANG 5 23 28

JEMBRANA 93 123 214 43.46JEMBRANA 18 37 53MELAYA 26 13 39NEGARA 13 55 68PEKUTATAN 36 18 54

KARANG ASEM 158 87 245 64.49KARANG ASEM 77 62 139KUBU 45 25 70MANGGIS 36 0 36

KLUNGKUNG 116 282 398 29.15BANJARANGKAN 7 157 164DAWAN 6 44 50KLUNGKUNG 103 81 184

TABANAN 106 213 319 33.23BATURITI 20 30 50KEDIRI 0 36 36KERAMBITAN 21 29 50MARGA 3 0 3PENEBEL 17 11 28SELEMADEG 11 20 31SELEMADEG BARAT 34 87 121

Grand Total 1141 1265 2404 47.46

Page 225: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

221

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil

2404 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 1141

dari 2404 sampel serum (47.46 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle

Disease (ND). Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang

berasal dari kabupaten Bangli menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 247

dari 358 sampel serum ( 68.99 %) terdeteksi titer seropositif antibodi positif ND.

Hasil kurang memuaskan diperoleh dari sampel yang berasal dari kabupaten

Klungkung dengan 29.15 %.

Tabel 11. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di NTB tahun 2014.

ND HA/HILokasi Seropositif

NDSeronegatif

ND

Jumlahsampel Proporsi

BIMA 1 0 1 100.00BOLO 1 0

DOMPU 146 444 590 24.75DOMPU 143 383 526WOJA 3 61 64

KOTA BIMA 12 67 79 15.19RASANAE BARAT 12 67 79

LOMBOK BARAT 37 43 80 46.25GERUNG 37 43 80

LOMBOK TENGAH 49 31 90 54.44PRINGGARATA 49 21 80PUJUT 0 10 10

LOMBOK TIMUR 13 67 80 16.25AIKMEL 13 67 80

MATARAM 25 55 80 31.25CAKRANEGARA 25 55 80

SUMBAWA 0 80 80 0.00UTAN 0 80 80

SUMBAWA BARAT 0 81 81 0.00TALIWANG 0 81 81

Grand Total 283 868 1160 24.40

Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil

bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Tengah memiliki proporsi

paling tinggi dengan 49 dari 90 sampel serum (54.44 %) terdeteksi seropositif

antibodi ND. Proporsi antibodi ND seropositif di kabupaten Bima (24.75%),

Dompu (24.75%), Kota Bima (15.19%), Lombok Barat (46.25%), Lombok

Timur(16.25%) dan Mataram (31.25%) sedangkan Sumbawa terdeteksi (0.00%.)

Page 226: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

222

Tabel 12. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di NTT tahun 2014.

ND HA/HILokasi Seropositif

NDSeronegatif

ND

Jumlahsampel

Proporsi(%)

BELU 10 32 42 23.81ATAMBUA BARAT 10 32 42

FLORES TIMUR 21 179 200 10.50LARANTUKA 21 179 200

KOTA KUPANG 22 38 60 36.67KELAPA LIMA 6 4 10OEBOBO 16 34 50

MANGGARAI 1 49 50 2.00LANGKE REMBONG 1 49 50

NAGEKEO 48 2 50 96.00AESESA 48 2 50

NGADA 23 27 50 46.00GOLEWA 23 27 50

SIKKA 15 55 70 21.43ALOK 12 3 15ALOK TIMUR 3 27 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15

SUMBA BARAT 52 2 54 96.30KOTA WAIKABUBAK 52 2 54

TIMOR TENGAH SELATAN 114 116 230 49.57MOLLO SELATAN 114 116 230

TIMOR TENGAH UTARA 50 0 50 100.00KOTA KEFAMENANU 50 0 50

Grand Total 356 500 856 41.59

Sampel yang berasal dari kabupaten Timu Tengah Utara terdeteksi seropositif

antibodi ND paling tinggi dengan 50 dari 50 sampel (100 %). Hasil dari

pengambilan sampel di kabupaten Flores Timur proporsi seropositif antibodi ND

terdeteksi (10.50 %) ,proporsi seropositif antibodi ND di Belu terdeteksi (23.81

%), proporsi seropositif antibodi ND di Kota Kupang terdeteksi (36.67%),

proporsi seropositif antibodi ND di Manggarai terdeteksi (2 %), proporsi

seropositif antibodi ND di Ngada proporsi seropositif antibodi ND terdeteksi (46

%), proporsi seropositif antibodi ND di Sikka (21.43 %) dan proporsi seropositif

antibodi ND di Sumba Barat terdeteksi (96.30 %).

Page 227: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

223

PEMBAHASAN

Dalam kegiatan surveilans dan monitoring penyakit AI di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar tahun 2014 dan Berdasarkan hasil pengujian

laboratorium dapat disimpulkan bahwa proporsi hasil positif penyakit AI di Bali

adalah 1.11 %, sedangkan proporsi di NTB hanya 0.19 % dan di NTT tidak

terdeteksi positif virus AI. Dimana hasil pengujian di laboratorium Virologi BBVet

Denpasar, terdeteksi hasil positif virus AI selain pada Ayam juga terjadi pada itik

yang mengalami kematian. Dimana Unggas itik dikenal sebagai reservoir

penyakit Avian Influenza. Hal ini merupakan fakta baru, dimana sebelum

merebak kasus kematian unggas itik di provinsi Bali, kematian itik dalam jumlah

besar juga terjadi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. disebabkan oleh

virus yang memiliki kesamaan dengan virus AI yang menyerang pada itik di

pulau Jawa yang terjadi sebelumnya (Hartawan et al, 2012).

Tingkat stres unggas pada saat perubahan musim diduga menjadi faktor yang

lebih mempengaruhi penurunan daya imun unggas terhadap beberapa penyakit

unggas menular. Meskipun demikian, beberapa peneliti menyatakan bahwa

tingkat kelembaban yang tinggi, kondisi pH, salinitasi dan suhu lingkungan

mempengaruhi data tahan virus AI di lingkungan. Menurut Brown et al. (2008)

daya tahan virus AI di lingkungan berhubungan dengan temperatur lingkungan,

kondisi pH dan kadar salinitas. Suspensi virus AI tetap infektif pada temperatur

17 oC selama lebih dari 100 hari dan dapat bertahan dalam waktu tak terbatas

pada suhu di bawah -50 oC (Harder dan Warner, 2006). Apalagi sirkulasi virus ini

terus meluas dengan perantara unggas domestik maupun burung liar yang

dapat menyebarkan virus ini melalui migrasi dan lalu lintas perniagaan unggas.

Hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil 3000

sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari 820

sampel serum ( 27.33 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari

hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten

Badung menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 219 dari 438 sampel serum

(50 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari kabupaten Klungkung,

Page 228: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

224

Jembrana, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Karangasem dan Tabanan

menunjukkan titer antibodi yang rendah. Hasil tersebut relatif lebih tinggi

daripada serosurveilans pada tahun sebelumnya yang mencapai proporsi 6,83

% pada tahun 2010 (santhia et al. 2010) dan 0 % pada tahun 2011 (santhia et al.

2011). Di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil bahwa sampel yang

diambil dari Lombok Tengah memiliki proporsi paling tinggi dengan 59 dari 92

sampel serum (64.1 %) terdeteksi Seropositif antibodi AI. Untuk kabupaten

Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat menunjukkan Seronegatif

Antibodi AI sedangkan Lombok Barat , Lombok Timur, Lombok Barat dan Kota

Bima terdeteksi titer Antibodi AI yang rendah sedangkan di propinsi Nusa

Tenggara Timur menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari kabupaten

Kupang terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 205 dari 240 sampel serum

(85.4 %) memiliki proporsi paling tinggi. Kabupaten Manggarai terdeteksi

seropositif antibodi AI dengan 5 dari 50 sampel serum (10 %). Dan di Kabupaten

Flores Timur terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 3 dari 200 sampel serum(

1.5 %). Sedangkan sampel yang berasal dari kabupaten Belu,TTS, Kota

Kupang, Sikka, Nagekeo, Ngada, TTU, dan Sumba Barat terdeteksi seronegatif

antibodi AI. Rendahnya tingkat kekebalan imunitaas unggas di wilayah Bali, NTB

dan NTT mempengaruhi tingginya tingkat infeksi pada unggas. Dengan

melakukan program vaksinasi yang berkesinambungan diharapkan wabah

penyakit AI dapat dikendalikan dan diminimalisir sehingga kerugian ekonomi

akibat kematian unggas dapat dicegah.

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) Tahun 2014 di Bali berhasil mendapatkan 955 sampel unggas.

Dari seluruh sampel tersebut satu ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %)

tepatnya di Kabupaten Badung. Di kabupaten NTT berhasil mendapatkan 874

sampel unggas Dari seluruh sampel di Kabupaten NTT tersebut tidak ditemukan

hasil positif virus ND (0 %). Sedangkan di kabupaten NTB berhasil mendapatkan

1018 sampel unggas. Dari seluruh sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif

virus ND (0 %). Penyakit ini tetap memiliki arti penting bagi peternakan komersial

karena berpotensi terjadinya penurunan produksi hingga kematian unggas yang

mengakibatkan terjadinya kerugian secara ekonomi.

Page 229: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

225

Hasil surveilans dan monitoring penyakit ND di Balai Besar Veteriner Denpasar

menunjukkan di propinsi Bali, diperoleh hasil 2404 sampel serum unggas. Hasil

pengujian yang diperoleh menunjukkan 1141 dari 2404 sampel serum (47.46 %)

terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND). Di Propinsi NTB bahwa

sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Tengah memiliki proporsi paling

tinggi dengan 49 dari 90 sampel serum (54.44 %) terdeteksi seropositif antibodi

ND. Proporsi antibodi ND seropositif di kabupaten Bima (24.75%), Dompu

(24.75%), Kota Bima (15.19%), Lombok Barat (46.25%), Lombok Timur(16.25%)

dan Mataram (31.25%) sedangkan Sumbawa terdeteksi (0.00 %.) Kemudian di

propinsi NTT sampel yang berasal dari kabupaten Timu Tengah Utara terdeteksi

seropositif antibodi ND paling tinggi dengan 50 dari 50 sampel (100 %). Dari hasi

surveilans dan monitoring penyakit ND oleh Balai Besar Veteriner Denpasar

pada tahun 2014 mengindikasikan bahwa distribusi vaksinasi dan kesadaran

para peternak untuk menerapkan langkah – langkah pencegahan sangat baik di

wilayah kerja BBVet Denpasar. Hanya saja tingkat cakupan vaksinasi yang

masih kurang dari 70 % yang kemungkinan menyebabkan kemunculan penyakit

ini secara sporadis di lapangan.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanDalam kegiatan surveilans dan Monitoring penyakit Avian Influenza di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Bali, NTB dan NTT dapat

disimpulkan sebagai berikut ;

1. proporsi hasil positif penyakit AI di Bali adalah 1.11 %, sedangkan proporsi

di NTB hanya 0.19 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

2. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di

propinsi Bali sebesar 27.33 %, di Nusa Tenggara Barat dengan 64.1 % dan

Nusa Tenggara Timur dengan 85.4 %.

3. Ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %) tepatnya di Kabupaten Badung,hal

ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja

Page 230: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

226

Balai Besar Veteriner Denpasar sedangkan Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positif ND.

4. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di

propinsi Bali sebesar 47.46 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 56.44 %

dan Nusa Tenggara Timur sebesar 100 %.

Saran

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Surveilans

dan Monitoring penyakit AI dan ND di Bali, NTB dan NTT tahun 2014 adalah

sebagai berikut ;

1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya antar wilayah di

propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur perlu lebih

diperketat untuk mengantisipasi penyebaran penyakit melalui perniagaan

unggas dan produk turunannya.

2. Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas

tentang penyakit AI.

3. Kegiatan Monitoring dan Surveilan serta Investigasi harus terus dilakukan

sebagai dasar pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian

kasus serta faktor resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

Page 231: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

227

PUSTAKA

Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. Veterinary Bulletin12. 341-359.

Alexander, D.J. 1997. Newcastle Disease and Other Avian ParamyxoviridaeInfection. Deseases of Poultry. 10th ed. pp. 541-581.

Alexander, D. J. 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza (Fowl Plague) Manualof Standards for Diagnostic Test Vaccines. OIE. 155 – 160.

Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E.,2008. Avian Influenza Virus in Water Infectivity is depend on pH, Salinityand Temperature. Vet Microbiol. Doi : 10.1016/j.vetmic.10.027.

Easterday, B. C, dan V. S. Hinshaw. 1991. Influenza Disease of Poultry. 9th ed.Iowa State University Press, Ames. Iowa USA. 532 – 551.

Harder, T. C., dan Warner, O., 2006 Avian Influenza. Influenza Report,www.Influenzareport.com. Accessed 2 march 2009.

Hartawan, D. H. W., Sumiarto, B., Budiharta, S ., Putra, A. A. G., Santhia, K.,Suryadinata, L. M. F, Sutami, N., Purnatha, N., Toribio, J. A. 2012.Deteksi Avian influenza di Pasar Unggas Berisiko Tinggi di pulau Bali danLombok pada Musim dan Jumlah Permintaan Unggas yang Berbeda.Proceeding Rapat Koordinasi dan pertemuan Ilmiah Kesehatan HewanNasional. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan.

Kranedveld, T.D. 1926. A Poultry Disease in Dutch East Indies Ned IndischDiergeneested 38:448-450.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :Veterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Mutinelli, F., Hablovarid, H., Capua, I. Avian embryo susceptibility to ItalianH7N1 avian influenza viruses belonging to different lineages. Avian Dis2003b;47:Suppl:1145-9. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575131

OIE. 2004. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals2004. Highly Pathogenic Avian influenza (Chapter 2.1.14)

Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A.G. 2006. Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System and inLive Bird Markets in Bali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26.

Putra, A. A. G. 2008. Lama Sekresi, Daya Tahan Hidup Virus pada Feses danProfil Antibodi yang Terbentuk pada Ayam Kampung yang Tertular VirusAvian Influenza H5N1 secara Alami. Buletin Veteriner. XX; 72.June.

Page 232: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

228

Santhia, K., Sagung Dewi, A. A., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata,M. L. 2010. Seroprevalensi dan kasus klinis Avian Influenza pada unggasdi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun2010. Laporan teknis tahun 2010. Balai Besar Veteriner Denpasar.

Santhia, K., Sagung Dewi, A. A., Nanda Laksmi, L. K., Santiarka, K., Putra, M.A., Dwiana, N., Saleh, U., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata,M. L. 2011. Wabah Avian Influenza (H5N1) di propinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Laporan teknis tahun 2011.Balai Besar Veteriner Denpasar.

Tizard, 1988. Pengantar Immunologi Veteriner, Penerjemah Masduki P.,Soeharjo H., Airlangga University Press, hal:184-185

Woolcock, PR., McFarland, MD., Lai, S dan Chin, RP. Enhanced recovery ofavian influenza virus isolates by a combination of chicken embryoinoculation methods. Avian Dis 2001; 45:1030-5. Abstract:http://amedeo.com/lit.php?id=11785874

Yee, K. S,. Carpenter, T. E., Cardona, C. J. 2009. Epidemiology of H5N1 Avianinfluenza. Comparative Immunology, microbiology and infectious disease;32 (2009).325 – 340 . www.sciencedirect.com

Page 233: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

229

SEROSURVEILANS PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) DANINFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI PROVINSI BALI, NUSA

TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014

Hartawan, D. H. W., Laksmi, L. K. N., Puspitasari, E., Fitriani, K., Suryadinata, L.M. F, Sutami, N., Purnatha, N.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Bovine Viral Diarrhea (BVD) dan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit padasapi yang menyebabkan kerugian yang cukup besar dalam peternakan perbibitan dan ternakyang terinfeksi dapat bersifat carrier. serosurveilans penyakit BVD dan IBR telah dilakukan diBalai Besar Veteriner Denpasar terhadap sampel serum yang berasal dari beberapa kabupatendi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar. Tujuan dari pelaksanaan surveilans penyakit BVD dan IBR iniadalah untuk mengetahui status infeksi penyakit tersebut menggunakan deteksi antibodi sebagaiindikator terjadinya infeksi penyakit BVD dan IBR. Hasil pengujian secara serologis denganmetode ELISA antibodi BVD terhadap sampel yang diperoleh di Propinsi Bali adalah, 8 dari 55sampel terdeteksi positif antibodi BVD (14.55 %). Di propinsi NTB, diperoleh hasil 158 dari 362sampel serum terdeteksi seropositif BVD (43,65 %). Sedangkan di provinsi NTT terdeteksi 14dari 203 sampel serum terdeteksi seropositif BVD. Untuk surveilans penyakit IBR di wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar, diperoleh total sampel serum sebanyak 886 sampel diariprovinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2014. Hasil pengujian sampel serum dari provinsi Balidiperoleh sampel sebanyak 390 sampel dan semua sampel negatif antibodi IBR. Dari provinsiNTB, diperoleh hasil 117 dari 462 (25,32 %) sampel serum yang diuji terdeteksi positif antibodiIBR. Sampel tersebut berasal dari kabupaten Dompu dan kota Bima, NTB. Sedangkan untuksampel yang berasal dari provinsi NTT, diperoleh hasil 21 dari 262 sampel serum positif antibodiIBR (8,01 %). Sampel tersebut berasal dari kabupaten Timor Tengah Utara. Berdasarkancatatan status vaksinasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar diperoleh informasibahwa tidak pernah dilakukan program vaksinasi terhadap ternak sapi yang diambil sampelnya.Hal ini meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam di pada ternak yang terdeteksiseropositif BVD maupun IBR di Wilayah kerja Balai Besar Veteriener Denpasar tersebut.Pelaksanaan uji konfirmsi untuk mendeteksi agen virus BVD maupun IBR harus segeradilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam tersebut.

Kata kunci : Bovine Viral Diarrhea, Infectious Bovine Rhinotracheitis ELISA

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit pada sapi yang disebabkan oleh

virus RNA yang termasuk dalam famili Flaviviridae, genus Pestivirus yang

mudah menular dan telah menyebar di seluruh dunia (Paton, 1995). Secara

antigenic, virus ini terbagi menjadi 2 genotipe yaitu Bovine Viral Diarrhea Virus-1

Page 234: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

230

(BVDV-1) dan Bovine Viral Diarrhea-2 (BVDV-2), sedangkan berdasarkan pada

efek yang ditimbulkan pada kultur jaringan, virus ini terbagi menjadi 2 biotipe

yaitu cytopathic (CP) dan non cytophatic (NCP) (Baker, 1995; Fulton, et al.,

2003).

Penularan BVD dapat terjadi secara vertical (dari induk ke anak) maupun

horizontal (dari hewan terinfeksi ke hewan sehat). Infeksi pada hewan bunting

dapat menyebabkan terjadinya abortus, stillbirth (lahir dalam keadaan mati), lahir

normal namun anak yang lahir akan menjadi terinfeksi persisten (persisten

infection/PI) atau hewan karier (Kahrs, 1973; McClurkin et al., 1984; Baker,

1987). Penularan dapat terjadi melalui nasal discharge (leleran hidung), saliva,

urine, feces, leleran mata, air susu atau semen dari hewan terinfeksi persisten

(Radostits, 2007). Gejala klinis hewan yang terserang BVDV adalah terjadinya

peningkatan suhu tubuh, depresi ringan, hewan menjadi lemah, adanya leleran

hidung dan terjadi diare. Penyakit ini juga bersifat immunosupressif yang

menyebabkan hewan menjadi rentan terhadap infeksi penyakit lain (Baker,

1987). Pemeriksaan serologis terhadap sapi bibit yang menampakkan gejala

klinis penyakit BVD ternyata juga memberikan serologis positif terhadap

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) (Wiyono et al., 1989).

Penyebaran BVD meluas hampir di seluruh dunia, di Indonesia prevalensi BVD

pada sapi potong 28 %, pada sapi perah 77 %, sapi pada Balai Inseminasi

Buatan 37 % dan sapi pada Balai Embrio Transfer 45 % (Sudarisman, 2009).

Kasus diare ganas yang disebabkan oleh BVD dilaporkan terjadi di beberapa

wilayah Indonesia antara lain di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa

Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung,

Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan

(Wiyono et al.1989; Siregar, 1989; Darmadi, 1989), hal ini memerlukan tindakan

penanganan yang serius dan komprehensif.

Page 235: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

231

Wiyono et al., 1989, menyatakan dalam pengamatannya ada 70 ekor sapi mati

di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sedangkan

dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati. Keseluruhan sapi bibit

tersebut berasal dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina ada 70 ekor

dengan total kematian yang berasal dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor

(19,4%). Gejala yang diamati adalah demam, diare, erosi pada selaput lendir

saluran pencernaan, opasitas kornea dan infeksi sekunder. Dari 15 ekor sapi

yang sakit, diamati nafsu makan yang menurun, lemah dan lesu, dan kelainan

pada mata berupa konjungtifitis, keratitis, opasitas kornea dan hiperlakrimasi.

Sedangkan gejala pada saluran pencernaan adalah lesi ringan atau erosi pada

selaput lendir lidah dan mencret. Keseluruhan sapi bibit yang didatangkan dari

Sulawesi Selatan tersebut ternyata secara serologik positif terhadap antigen

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Berarti kemungkinan sapi-sapi ini

terinfeksi oleh virus BVD dan IBR.

Di Indonesia program vaksinasi secara nasional tidak dilakukan, sementara dari

hasil pemantauan tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan karantina Pertanian di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan lebih dari 40 %

seropositif terhadap antibodi penyakit BVD ini. Kemungkinan terdeteksinya

antibodi BVD pada sapi impor dapat disebabkan penggunaan vaksin polivalen

penyakit IBR yang memiliki kedekatan genetik dengan virus BVD. Sehingga

untuk melihat secara utuh kondisi penyakit tersebut di lapangan sekaligus

pemetaan terhadap penyakit BVD yang selama ini sangat minim dilakukan,

maka surveilans serologis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar untuk

tahun 2014 perlu untuk dilaksanakan.

Tujuan Surveilans dan Monitoring1. Untuk mendeteksi penyakit BVD di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, melalui indikator antibodi dengan uji serologis.

2. Melakukan pemetaan terhadap penyakit BVD di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar.

Page 236: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

232

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Mendapatkan Informasi tentang situasi penyakit BVD dan IBR di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Pemetaan penyakit BVD dan BVD ini berguna sebagai informasi awal

tindakan penanganannya di lapangan dan pelaporan situasi penyakit.

3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait berdasarkan hasil surveilans

dan monitoring penyakit BVD dan IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar. Rekomendasi yang disampaikan kepada pihak terkait dalam hal

ini dinas di wilayah masing-masing digunakan sebagai dasar tindakan

pengendalian dan pencegahan munculnya wabah penyakit BVD dan IBR di

lapangan.

Sasaran

Dengan terdeteksinya penyakit BVD dan IBR lebih dini serta pemetaan status

penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka

program penanggulangan penyakit tersebut yang efektif dan efisien dapat

dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat.

MATERI DAN METODEMateri :Bahan : Serum sapi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari Dinas Peternakan

di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

Kit Elisa BVD (VDPro® BVDV AB ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)

dan Kit elisa IBR (VDPro® IBR AB ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)

Alat : Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Page 237: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

233

Metodea. Metode sampling surveilansSampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di

wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit BVD dan IBR di

provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau

Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang

digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi yang

digunakan adalah Bali 46,2 % (asumsi prevalensi), di NTB sebesar 52,5 % dan

NTT 34,5 % (BBVet Denpasar, 2012), maka dapat diperoleh perhitungan

sebagai berikut:

N Bali = 397, N NTB = 399 dan N NTT = 359

Pengukuran seroprevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini

menggunakan metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis.

Estimasi jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung

menggunakan Random Proporsional.

b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk deteksi antibodi BVD dilaksanakan sesuai

dengan petunjuk (instruction manual) dari Kit ELISA (VDPro® BVDV AB ELISA,

Median Diagnostics Inc Korea) dan Kit elisa IBR (VDPro® IBR AB ELISA,

Median Diagnostics Inc Korea)yang dilakukan di laboratorium virologi, Balai

Besar Veteriner Denpasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HasilDeteksi Antibodi BVDHasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2014 untuk mendeteksi antibodi BVDv dapat disajikan sebagai berikut :

N = 4.P.Q/L2

Page 238: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

234

Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi BVD sampel dari propinsi Bali,NTB dan NTT tahun 2014

Lokasi Surveilans Elisa BVD (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif

Jumlahsampel

Proporsi(%)

BALI 8 47 55 14.55BANGLI 1 31 32

-KINTAMANI 1 31 32TABANAN 7 16 23

-PENEBEL 7 16 23NUSA TENGGARA BARAT 158 204 362 43.65

DOMPU 158 204 362-DOMPU 85 77 162-MANGGELEWA 36 64 100-WOJA 37 63 100

NUSA TENGGARA TIMUR 14 189 203 6.90NGADA 14 189 203

-BAJAWA 0 10 10-GOLEWA 14 179 193

Grand Total 180 440 620 29.03

Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi BVD di Bali, NTB dan NTT

berhasil mendapatkan 620 sampel serum sapi. Sampel tersebut diambil untuk

dilakukan pengujian deteksi antibodi BVD di Balai Besar Veteriner Denpasar.

Sejumlah 180 dari 620 sampel serum tersebut positif antibodi BVD di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (29,03 %).

Deteksi Antibodi IBRPelaksanaan surveilans dan monitoring penyakit BVD dan IBR dilakukan secara

bersamaan atau terintegrasi, karena komoditi sampel yang akan diuji antara

kedua jenis penyakit tersebut adalah sama. Hasil pelaksanaan surveilans untuk

mendeteksi antibody IBR di provinsi Bali, NTB dan NTT dapat dilihat sebagai

berikut ;

Page 239: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

235

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi IBR sampel dari provinsi Balitahun 2014

Lokasi Surveilans Elisa IBR (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif

Jumlahsampel Proporsi

BALI 0 390 390 0BADUNG 0 50 50 0

ABIANSEMAL 0 10 10‘-DARMASABA 0 10 10

PETANG 0 40 40-PLAGA 0 40 40

BANGLI 0 32 32 0KINTAMANI 0 32 32

-BANUA 0 25 25-KEDISAN 0 7 7

BULELENG 0 55 55 0BULELENG 0 27 27

-ANTURAN 0 27 27GEROKGAK 0 28 28

-PENGULON 0 28 28DENPASAR 0 40 40 0

DENPASAR SELATAN 0 40 40-SANUR KAJA 0 40 40

GIANYAR 0 22 22 0PAYANGAN 0 22 22

-KERTA 0 22 22JEMBRANA 0 39 39 0

MENDOYO 0 39 39-MENDOYO DANGIN TUKAD 0 20 20-YEH EMBANG KANGIN 0 19 19

KARANG ASEM 0 40 40 0MANGGIS 0 40 40

-NYUH TEBEL 0 15 15-SELUMBUNG 0 25 25

KLUNGKUNG 0 65 65 0KLUNGKUNG 0 65 65

-AKAH 0 21 21-SEMARAPURA KANGIN 0 25 25-TEGAK 0 19 19

TABANAN 0 47 47 0MARGA 0 22 22

-TUA 0 22 22PENEBEL 0 25 25

-TEGAL LINGGAH 0 25 25Grand Total 0 390 390 0

Page 240: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

236

Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi IBR di Bali, diperoleh

sebanyak 390 sampel serum sapi. Berdasarkan hasil pengujian, semua sampel

serum sapi yang diambil dari provinsi Bali tidak terdeteksi antibodi IBR (0 %).

Untuk kegiatan di wilayah provinsi NTB dan NTT dapat dilihat pada sebagai

berikut ;

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi IBR sampel dari propinsi NTB danNTT tahun 2014

Lokasi Surveilans Elisa IBR Proporsi (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif

Jumlahsampel (%)

NUSA TENGGARA BARAT 117 345 462 25.32DOMPU 101 261 362 27.9

DOMPU 80 82 162-KANDAI SATU 2 8 10-MBAWI 73 61 134-PALIKRAWE 5 13 18

MANGGELEWA 11 89 100-SORIUTU 11 89 100

WOJA 10 90 100-KANDAI SATU 10 90 100

KOTA BIMA 16 84 100 16ASAKOTA 2 39 41

-JATIWANGI 2 39 41RABA 14 45 59

-NTOBO 14 45 59NUSA TENGGARA TIMUR 21 241 262 8.01

NAGEKEO 0 34 34 0WOLOWAE 0 34 34

-TOLOMALA 0 34 34

TIMOR TENGAH UTARA 21 207 228 9.21-TUBUHUE 13 36 46

-TAPENPAH 4 41 45

-MAUBELI 2 2 4

-OESOKO 2 43 45

-HAUMENI ANA 0 20 20

-BENPASI 0 22 22

-SUANAE 0 46 46

Grand Total 138 586 724 19.06

Page 241: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

237

Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi IBR di NTB dan NTT,

diperoleh sebanyak 724 sampel serum sapi. Berdasarkan hasil pengujian, di

nusa Tenggara Barat sebesar 117 dari 462 sampel serum sapi terdeteksi potsitif

antibodi IBR (25,32 %). Pengambilan sampel dilakukan di wilayah kabupaten

Dompu dan kota Bima. Untuk di provinsi NTT, diperoleh sampel sebanyak 262

serum sapi dari kabupaten Nagekeo. 21 dari 262 sampel serum positif antibodi

IBR (8,01 %) di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pembahasan

Dari hasil pengujian serologis menggunakan Elisa BVD, sampel serum yang

diperoleh di provinsi Bali menunjukkan hasil 14,55 % positif antibody BVD.

Sementara hasil positif antibody di provinsi NTB sebesar 43,65 % dan di provinsi

NTT sebesar 6,90 %. Terdeteksinya antibodi terhadap BVD dicurigai berasal

dari infeksi alam yang terjadi di wilayah Balai Besar Veteriner Denpasar. Hal

tersebut didukung dengan informasi bahwa di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar tidak pernah tercatat melakukan vaksinasi terhadap penyakit

BVD. Kejadian BVD banyak terjadi pada Balai Inseminasi Buatan dan

pembibitan sapi di Indonesia (Wiyono et al., 1989). Kasus diare ganas yang

disebabkan oleh BVD dilaporkan terjadi di beberapa wilayah Indonesia antara

lain di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa

Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wiyono et

al.1989; Siregar, 1989; Darmadi, 1989), Gejala klinis dari BVD bervariasi

tergantung genotype virus yang menginfeksi mulai dari tidak menampakkan

gejala klinis, demam ringan sampai dengan kejadian akut dan fatal berupa diare

ganas. Pada sapi bunting dapat menyebabkan terjadinya abortus, stillbirth, anak

lahir dalam keadaan lemah atau anak menjadi terinfeksi persisten. Pada sapi

perah menyebabkan penurunan produksi susu. Karena BVD bersifat immune

supressif maka penderita BVD akan mudah terinfeksi penyakit lain seperti IBR

atau pasteurellosis paru paru (Sudarisman, 2011).

Salah satu usaha pencegahan terhadap BVD dapat dilakukan melalui program

vaksinasi dan pemeriksaan terhadap pejantan yang akan digunakan sebagai

sumber semen dalam program inseminasi buatan. Deteksi kejadian akan lebih

Page 242: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

238

penting bila terdapat pengawasan secara rutin terhadap sekelompok ternak

yang dicurigai terinfeksi. Pemeriksaan serologis pada betina bunting tua dapat

dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi persisten pada fetus yang akan

dilahirkan (Odeon et al., 2003; Jalali et al., 2004). Pencapaian tujuan

pengawasan dan pemberantasan BVD dapat dilakukan dengan tiga langkah

utama yaitu : pengujian awal untuk menentukan status kelompok ternak, tindak

lanjut pengujian untuk mengidentifikasi ternak yang terinfeksi secara individual

dan monitoring untuk menyatakan status bebas BVD (Houe et al., 2006).

Dalam pelaksanaan surveilans untuk mendeteksi antibody penyakit IBR di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, total sampel yang diuji sebanyak

1114 sampel serum sapi. Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tidak

tercatat pernah dilakukan program vaksinasi untuk penyakit IBR maupun BVD.

Hasil kegiatan tersebut menunjukkan bahwa sejumlah 117 dari 462 sampel

serum sapi yang diambil di provinsi Nusa Tenggara Barat terdeteksi positif

antibody IBR. Demikian juga dengan pengambilan sampel di wilayah Nusa

Tenggara Timur, diperoleh hasil 21 dari 262 sampel serum positif antibody IBR

(8,01 %). Hal ini menunjukkan bahwa antibody IBR yang terdeteksi tersebut

kemungkinan besar berasal dari infeksi alam virus Infectious Bovine

Rhinotrachitis, mengingat di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tidak

pernah dilakukan program vaksinasi terhadap penyakit IBR.

Hal ini merupakan indikator status infeksi penyakit BVD dan IBR di wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar terutama di provinsi NTB dan NTT yang di

wilayahnya terdeteksi antibody baik terhadap penyakit BVD maupun IBR.

Sebagai provinsi lumbung ternak atau populasi ternak yang cukup besar,

provinsi NTB dan NTT banyak melalulintaskan ternak sapinya untuk pemenuhan

kebutuhan bibit sapi maupun untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan produksi

daging atau sapi potong. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan kemungkinan

penularan penyakit BVD dan IBR ke wilayah provinsi yang lainnya. Metode

diagnostic untuk mendeteksi antigen atau virus BVD dan IBR harus segera

dilakukan dan desain surveilans dengan sensitifitas dan spesifisitas yang optimal

juga harus segera dirancang untuk mengetahui status penyakit BVD dan IBR

tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 243: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

239

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Proporsi hasil positif antibody BVD pada tahun 2014 di Provinsi NTB sebesar

43,65 %, di Bali 14,55 % dan di NTT 6,90 %.

2. Untuk hasil surveilans deteksi antibody IBR, diperoleh 1114 sampel serum

sapi diseluruh wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dengan hasil

proporsi positif sebesar 25,32 % di provinsi NTB dan 8,01 % di provinsi NTT.

Sedangkan sampel yang berasal dari provinsi Bali tidak terdeteksi antibody

terhadap penyakit IBR.

Saran1. Monitoring terhadap wilayah yang menunjukkan hasil serologis positif harus

terus dilakukan untuk mengetahui status terkini indicator penyakit IBR dan

BVD di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Merekomendasikan kajian lebih lanjut terhadap kegiatan pelalulintasan

ternak sapi dari wilayah yang terdeteksi positif indicator penyakit IBR dan

BVD untuk menghindari potensi penularan penyakit tersebut ke wilayah lain

di Indonesia.

3. Mengembangkan pemeriksaan menggunakan metode diagnostic untuk

mendeteksi antigen atau virus BVD dan IBR sebagai uji konfirmasi terhadap

status infeksi penyakit tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

Page 244: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

240

DAFTAR PUSTAKA

Baker, JC., 1987. Bovine Viral Diarrhea Virus : A Review. J. Am. Vet. Med. Ass.190 : 1449 – 1458.

Baker, JC., 1995. The Clinical Manifestations of Bovine Viral Diarrhea Infection.Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract. 11 : 425 – 445.

Collett MS, Anderson DK, Retzel E: 1988, Comparisons of the pestivirus bovineviral diarrhoea virus with members of the Flaviviridae. J Gen Virol69:2637-2643.

Darmadi, P., 1989. Kejadian Diare Ganas pada Sapi. Laporan NationalResearch and Concelling Committee. November, 14 -15. 1989.Surabaya. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Fulton, RW., JF. Ridpath and AW. Convert, 2003. Bovine Viral DiarrheaAntigenic Diversity : Impact on Disease and Vaccination Programmes.Biologicals 31 : 89 -95.

GEORGE, T.D. 1980. Herpesviruses in cattle. In Diseases of livestock. byHungerford. pp. 103−113.

GIBBS, E.P.J. and M.M. RWEYEMAMU. 1977. Bovine herpesviruses. Part.1.Bovine Herpesvirus 1. Vet. Bull 47(5): 317−343.

Houe, HA; Linberg and V. Moennig, 2006. Test Strategies in Bovine ViralDiarrhea Virus Control and Eradication Campaigns in Europe. J.Vet.Diagn Invest 18 : 427-436.

Jalali, AM., Torstenson and A. Linberg, 2004. Using a Commercial IndirectAntibody detection ELISA to Identify Dams Carrying PI Foetuses – AComplementary Measure in BVDV Control/Eradication Programmes.Svanova Vet. Diagnostic. www.svanova.com (13 Desember 2007).

Kahrs, RF., 1981. Viral Diseases of Cattle. 1st Edition. The IOWA StateUniversity Press, IOWA. pp. 89 – 106.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

McClurkin, AW., MF. Coria and RC. Cutlip, 1979. Reproductive Performance ofApparently Healthy Cattle Persistently Infected With Bovine Viral DiarrheaVirus. J. Am. Vet. Med. Association 174 : 1116 – 1119.

Sudarisman, 2009. Infeksi Virus Bovine Viral Diarrhea (BVD) Pada Sapi diLapangan. Laporan Balai Besar Penelitian Veteriner.

Page 245: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

241

Sudarisman, 2011. Bovine Viral Diarrhea di Indonesia dan Permasalahannya.Wartazoa.Vol.11. No. 1.Th. 2011

Olafson P, MacCallum AD, Fox FH: 1946, An apparently new transmissibledisease of cattle. Cornell Vet 36:205-213.

Odeon, AC., Risatti, GG, Kaiser, MR., Leunda, E., Odriozola, CM., Campero andRO. Donis, 2003. Bovine Viral Diarrhea Virus Genomic Associations inMucosal Disease, Enteritis and Generalized Dermatitis Outbreaks inArgentina. Vet. Microb, 96 : 133-144.

Radostitis, OM. and Littlejohns, 1988. New Concepts in Patogenesis, Diagnosisand Control of Diseases Caused by The Bovine Viral Diarrhea Virus. Can.Vet. J. 29 : 513 -528.

Ramsey FK, Chivers WH: 1953, Mucosal disease of cattle. North Am Vet34:629-633.

Siregar, SB., 1989. Beberapa Penyakit Viral Pada Sapi di Indonesia. LaporanNational Research Concelling Committee, November 14-15, 1989.Surabaya. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Underdahl NR, Grace OP, Hoerlein AB: 1957, Cultivation in tissue-culture ofcytopathic agent from bovine mucosal disease. Proc Soc Exp Biol Med94:795-797.$

Wiyono, A., P. Ronohardjo, RJ. Graydon and PW. Daniels, 1989. Diare GanasSapi I :Kejadian Penyakit Pada Sapi Bibit Asal Sulawesi Selatan yangBaru Tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan XXI (38) : 77 – 83.

Wittmann, g., r.m. gaskell and h.j. rziha. 1984. Latent herpes virus infections inveterinary medicine. Martinus Nijhoff Publishers. For the Commission ofthe European Communities. Boston, The Hague, Dordrecht, Lancaster.

Page 246: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

242

DETEKSI ANTIBODI PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

TAHUN 2014

Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Pitriani, K.,Suryadinata, L. M. F1, Sutami, N1., Purnatha, N1.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku telah dilakukan melalui surveilans di enam kabupaten,diPropinsi Bali dan di kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu,Nusa Tenggara Timur. Pemilihanlokasi pengambilan sampel di dasarkan pada risiko penularan PMK di Indonesia khususnya diarea regional Balai Besar Veteriner Denpasar. Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utaramerupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste yang belumdiketahui statusnya terhadap penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sedangkan di provinsi Bali dipilihkarena risiko sebagai salah satu wilayah dengan tingkat perdagangan dan lalu lintas wisatawaninternasional yang cukup tinggi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendeteksi infeksipenyakit Mulut dan Kuku (PMK) di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. sejak bulanSeptember – Oktober 2014. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak562 sampel serum di propinsi Bali dan 200 sampel serum di kabupaten Belu,NTTdan tidakditemukan ternak yang menunjukkan gejala klinis PMK.Selanjutnya sampel tersebut diuji ELISAmenggunakan Kit ELISA PMK produksi JENO BIOTECH INC. Hasil uji menunjukkan semuasampel serum negatif antibodi PMK. Hasil tersebut mendukung status Indonesia sebagai salahsatu Negara yang masih bebas dari penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Kata Kunci : Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi Bali adalah salah satu plasma nutfah yang diharapkan menjadi primadona

dalam menyediakan kebutuhan daging selain ternak-ternak import. Salah satu

ternak andalan sektor peternakan di Propinsi Bali dan NTT adalah ternak sapi.

Adanya peningkatan populasi ternak merupakan salah satu langkah dalam

mewujudkan program swasembada daging tahun 2015.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit epizootika yang menyerang

ternak besar terutama sapi dan babi. Salah satu penyakit yang berpotensi

menyerang sapi adalah Penyakit Mulut dan Kuku..Penyakit ini disebabkan oleh

aphtoviridae.Gejala klinis PMK ditandai dengan bentukan lepuh diikuti dengan

erosi selaput lendir mulut, hidung, kulit dan puting susu (Donaldson, 1993). PMK

Page 247: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

243

di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di daerah Malang Jawa Timur pada

tahun 1887 kemudian penyakit menyebar ke berbagai daerah di Sumatera,

Sulawesi dan Kalimantan. Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK secara

intensif di Indonesia dilakukan sejak tahun 1974 sampai tahun 1986. Pada tahun

1986 di Indonesia dinyatakan bebas PMK sesuai SK Mentan No.260 tahun

1986. Status bebas ini secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan

Dunia (OIE) melalui Resolusi No.XI tahun 1990.Walaupun status Indonesia

masih Bebas PMK, namun Penyakit Mulut dan Kuku ini perlu diwaspadai.

Penularan virus PMK dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung yaitu melalui kontak dengan penderita, sekresi, ekskresi atau

hasil - hasil ternak seperti air susu, semen/ sperma yang dibekukan dan daging.

Penularan secara tidak langsung yaitu melalui bahan bahan ( makanan,

minuman dan peralatan kandang) yang tercemar virus. Selain itu penularan

dapat melalui udara sehingga dapat menularkan penyakit ke tempat yang lebih

luas. Angka mortalitas (kematian) akibat serangan penyakit ini rendah, namun

kerugian yang timbul akibat serangan penyakit sangat besar karena terjadi

penurunan berat badan, penurunan produksi susu, kehilangan tenaga kerja,

hambatan pertumbuhan dan hambatan lalu lintas ternak (Anonimous, 2009).

Untuk mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas PMK maka

dipandang perlu untuk tetap melakukan deteksi indikator melalui surveilans

serologis dengan metode Detect the Presence of Disease.

PERMASALAHAN

PMK selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas

hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk

hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu

daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Sebagai negara

dengan populasi manusia yang besar dan populasi hewan yang relatif kecil,

Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan impor sebagai cara untuk

memenuhi kecukupan permintaan (demand) konsumen untuk produk

peternakan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk , tentunya

meningkatkan potensi ancaman masuknya PMK ke Indonesia.

Page 248: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

244

TUJUAN

1. Mendeteksi keberadaan virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui

indikator antibodi dengan uji serologis.

2. Membuktikan status bebas penyakit PMK di Indonesia secara epidemiologi

untuk mendukung program pengembangan peternakan secara umum.

SASARAN

Dengan terdeteksinya penyakit PMK lebih dini serta pemetaan status penyakit

tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program

penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih efektif dan efisien dilaksanakan

sehingga terwujudnya keamanan masyarakat.

INDIKATOR KINERJA :INPUT : Melakukan surveilans di daerah yang belum pernah di kunjungi

untuk mengetahui status penyakit dan seroprevalensi dari penyakit

PMK. Melakukan kunjungan dan membangun jejaring yang efektif

dengan dinas – dinas setempat sebagai salah satu usaha

koordinasi untuk kelanjutan kegiatan di tahun-tahun selanjutnya.

OUTPUT : Mengetahui informasi kondisi lapangan, status dan seroprevalensi

penyakit PMK di daerah tersebut. Terciptanya komunikasi yang

efektif dan berkesinambungan untuk meningkatkan kerjasama

khususnya dalam tindakan pencegahan, pengendalian dan

pemberantasan penyakit tersebut.

MATERI DAN METODA

MATERI

Bahan : Serum sapi, Kit Elisa antibodi PMK

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung , jarum

venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Page 249: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

245

METODE

a. Metode sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di

wilayah Bali dan NTT. Deteksi penyakit PMK di provinsi Bali dan NTT

menggunakan metode Detect present of the Disease (Martin et al, 1987).

Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar

5 %. Asumsi revalensi yang digunakan adalah 5 %, maka dapat diperoleh

perhitungan sebagai berikut.

Besaran sampel metode detect the presence of disease dari Martin et al. (1987)

yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah besaran sampel, P1 adalah

probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah sampel tersebut, d

adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N adalah besaran populasi unit

observasi. maka diperoleh; n : [1-(1-0,95)1/5,75] x [115-(5,75-1)/2] = 47. Cara

pengambilan sampel dilakukan dengan tahapan ganda (multistage) dengan 2

tahapan (kabupaten dan kecamatan). Sehingga diperoleh hasil estimasi jumlah

sampel di masing – masing provinsi sebesar 94 sampel untuk mendeteksi paling

tidak satu hasil positif penyakit PMK.

b. Metode pengujian

Pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi PMK menggunakan Kit ELISA

PMK produksi JENO BIOTECH INC dengan prosedur uji sebagai berikut :

Masing-masing well ditambahkan sebanyak 80 µl dilution buffer 1x dan 20 µl

sampel yang akan diuji, kontrol positif dan kontrol negatif dengan posisi seperti

bagan di bawah. Selanjutnya plate ditutup dan setelah diinkubasi pada suhu

ruangan selama 60 menit,plate dicuci sebanyak 3 kali dengan cara

menambahkan sebanyak 300 µl washing buffer 1x ke masing – masing well.

Setelah pencucian selesai keringkan plate dengan tissue, dan tambahkan ke

masing-masing well 100 µl Anti-FMFV NSP HRPO konjugate. Kemudian tutup

plate dan inkubasi pada suhu ruangan selama 60 menit. Setelah dicuci dengan

washing buffer, selanjutnya tambahkan ke masing-masing well 100 µl TMB

substrate dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan sambil diamati

perubahan warna yang terjadi. Untuk menghentikan reaksi, tambahkan 50 µl

Page 250: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

246

stop solution ke masing-masing well dan baca pada ELISA Reader dengan

panjang gelombang 450 nm. Terakhir dilakukan kalkulasi hasil.

Interpretasi

A. Validasi

Hasil Uji dikatakan valid apabila :

1. Rata-rata negatif kontrol harus lebih besar dari 0,6

2. Rata-rata dari positif kontrol harus lebih kecil dari 0,3

B. Kalkulasi

Kalkulasi negative Ratio (SN) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

SN = OD Sample / OD Negatif Kontrol

C. Interpretasi Hasil

Hasil uji dikatakan positif apabila nilai SN ≤ 0,06 dan sampel dikatakan

negatif apabila nilai SN > 0,06.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil pelaksanaan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014 untuk mendeteksi

antibodi penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat disajikan sebagai berikut ;

Page 251: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

247

Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi PMK di Propinsi Bali

PROP KABUPATEN KECAMATAN SEROPOSITIF

SERONEGATIF

GRANDTOTAL

BALI BADUNGMENGWI

TOTAL SAMPEL0

0

50

50

50

50

BANGLI

BANGLI

KINTAMANI

TOTAL SAMPEL

0

0

0

50

32

82

50

32

82

BULELENG

BULELENG

TEJAKULA

TOTAL SAMPEL

0

0

0

46

38

84

46

38

84

JEMBRANA

JEMBRANA

NEGARA

TOTAL SAMPEL

0

0

0

10

39

49

10

39

49

KLUNGKUNGBANJARANGKAN

TOTAL SAMPEL0

0

46

46

46

46

TABANANPENEBEL

TOTAL SAMPEL0

0

23

23

23

23

TOTAL BALI 0 334 334

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah Propinsi Bali pada tahun 2014 telah

dilakukan di 6 kabupaten di Bali yaitu Badung, Bangli, Buleleng ,Jembrana,

Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil sejumlah 334 sampel

yang terbagi dari enam kabupaten yang disampling. Dari hasil tersebut, semua

sampel serum sapi menunjukkan negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK).

Page 252: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

248

Tabel 2 .Prevalensi antibodi PMK di provinsi Nusa Tenggara Timur

PROP KABUPATEN KECAMATANSERO

POSITIFSERO

NEGATIFGRANDTOTAL

NUSATENGGARATIMUR

BELU LAMAKNEN SELATANLASIOLATTASIFETO BARATTASIFETO TIMUR

0000

8027

3855

80273855

TIMORTENGAHUTARA

TUBUHUETAPENPAHMAUBELIOESOKOHAUMENI ANABENPASISUANAE

0000000

46454

45202246

46454

45202246

TOTAL NTT 0 428 428

Sampel yang diuji dari propinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 428 sampel

serum yang diambil di Kabupaten Belu sebanyak 200 sampel dan kabupaten

Timor Tengah Utara sebanyak 228 sampel. Dari hasil pengujian diperoleh hasil

semua sampel serum sapi negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Surveilans PMK ini dilakukan di daerah beresiko tinggi, atau

daerah lain yang memiliki potensi terjadi pemasukan ternak sapi, produk

turunannya maupun media yang dapat membawa virus Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK). Dearah beresiko tinggi yakni perbatasan dengan negara lain. Target

surveilans di NTT tahun 2014 diprioritaskan pada daerah perbatasan seperti

kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sedangkan

surveilans di provinsi Bali tahun 2014 dilakukan di Enam kabupaten. Hasil

pelaksanaan surveilans menunjukkan tidak ada kasus klinik yang ditemukan

dilapangan. Secara serologis semua sampel serum negatif Antibodi PMK. Ini

mengindikasikan Bali dan NTT tetap bebas PMK. Bebasnya wilayah ini dari PMK

karena telah dilakukan tindak pencegahan dan pengendalian melalui

pengawasan lalul lintas / tindak karantina yang sangat ketat terhadap

pemasukan atau import ternak ruminansia dan produknya dari Negara tertular

PMK.

Page 253: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

249

PMK selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas

hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk

hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu

daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan

dan produk hewan, hijauan pakan ternak, jerami, kendaraan, dan beberapa jenis

material lainnya dapat juga berperan dalam penyebaran PMK. Apabila

ditemukan kasus atau wabah dalam wilayah atau daftar daerah yang ditetapkan

bebas penyakit, OIE selanjutnya akan menerima konfirmasi wabah oleh delegasi

resmi anggota dan segera menginformasikan kepada anggota lainnya melalui

website OIE untuk menginformasikan negara – negara anggota tersebut untuk

dikeluarkan dari daftar negara atau wilayah bebas PMK.Di Negara maju,

tindakan yang dilakukan apabila ditemukan kasus PMK adalah tindakan

stamping out seperti yang dilakukan oleh Inggris.Laboratorium rujukan

Internasional untuk PMK terdapat di kota kecil Pirbright, Inggris (Soerharsono et

al, 2010).

Berdasarkan Status bebas yang diakui secara resmi oleh Organisasi

Kesehatan Hewan Dunia ( OIE) melalui Resolusi No.XI tahun 1990, maka

dipandang perlu untuk tetap melakukan deteksi melalui surveilans untuk

mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas PMK.

Pencapaian target jumlah sampel PMK tahun 2014 telah terpenuhi. Pelaksanaan

surveilans dan monitoring PMK tahun 2014 dilakukan dengan melibatkan

peranan beberapa Puskeswan di wilayah kerja, sehingga harapannya seluruh

Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara

bertahap dapat ditingkatkan keterlibatannya.Dalam hal target sampel,

perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian target telah

diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan anggaran telah

dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Page 254: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

250

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil pelaksanaan surveilans penyakit PMK, antiibodi PMK tidak ditemukan

di semua lokasi surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, baik

di provinsi Bali, dan Nusa Tenggara Timur.

Saran

Meskipun tidak ditemukan indikasi positif serologis antibody PMK diwilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar, surveilans secara berkesinambungan harus

tetap dilakukan untuk mengevaluasi status tetap bebas PMK terutama daerah

perbatasan dan wilayah yang secara aktif mendatangkan atau mengimpor

ternak sapi serta produk turunannya. Lalu lintas ternak sebaiknya diperketat

seperti daerah yang padat lalu lintas ternaknya. Kajian untuk mengidentifikasi

risiko penyakit PMK harus terus dilakukan oleh jajaran Balai Besar Veteriner

Denpasar untuk mengantisipasi risiko masuknya penyakit ini ke wilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas

bantuan dan kepercayaan yang diberikan serta kepada Kepala Dinas

Peternakan Kabupaten/Kota dan Propinsi terkait atas dukungan dan bantuannya

selama surveilans sehingga surveilans ini dapat dilaksanakan dengan baik dan

lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2009. Kajian penyakit mulut dan Kuku. Litbang peternakan.Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan dan KesehatanHewan. Jakarta.

Anonimous, 2010. Jenis Penyakit Sapi; Peluang Usaha Sapi Potong. ManualBudidaya peternakan

Page 255: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

251

Donaldson,A.I (1993) Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent andNew Perspectives. Diagnosis and epidemiology of foot and mouthdisease in southeast Asia.Aciar Proceeding No 51, 9-15.

OIE,FOOT and Mouth Disease Website New, 18 November 2009. Martin, W.,Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : veterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Soeharsono,Tatty Syafrianti,Tri Satya Putri Naipospos (2010) Atlas PenyakitHewan Di Indonesia,Hal 32.

Page 256: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

34

SURVEILANS ANTIGEN DAN ANTIBODI PENYAKIT HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2014

Hartawan, D. H. W., Laksmi, L. K. N., Puspitasari, E., Fitriani, K., Suryadinata, L.M. F, Sutami, N., Purnatha, N.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Penyakit Hog cholera atau Classical Swine Fever merupakan penyakit hewan menular pada babiyang masuk dalam penyakit hewan prioritas di Indonesia. Penyakit ini dapat menimbulkankerugian yang cukup besar dari penurunan produksi hingga kematian ternak babi. Surveilansantigen dan antibodi Hog cholera di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT bertujuan untukmendeteksi kasus pada wilayah tersebut dan melihat proporsi seropositif antibodi Hog cholerabaik pada babi yang divaksinasi maupun pada babi yang terindikasi terinfeksi penyakit ini.Pengujian dilakukan dengan metode Elisa antibosi dan antigen capture dengan menggunakankit Elisa produksi Vdpro, Median, Korea Selatan. Hasil dari pengambilan sampel diperolehbahwa Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 286 sampel PBMC darah babi dari wilayahprovinsi Bali. Dari seluruh sampel tersebut diperoleh hasil 5 dari 268 sampel darah babi positivevirus Hog cholera (1,75 %). Untuk di provinsi NTB dan NTT diperoleh sebanyak 302 sampelPBMC darah babi dan semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Kegiatanpengambilan sampel serum babi dilakukan untuk mendeteksi antibody Hog cholera di provinsiBali, NTB dan NTT. Jumlah sampel yang berhasil diambil di provinsi Bali sejumlah total 772sampel serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 282 dari 772 sampelserum babi positif antibodi Hog cholera (36,53 %). Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 2 dari275 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,72 %). Sementara di provinsi NTT diperolehhasil 177 dari 517 sampel positif antibodi Hog cholera (34,24 %).

Kata kunci : Hog cholera, antigen capture, antibodi Elisa

PENDAHULUAN

Permintaan daging babi untuk konsumsi seperti untuk kepentingan usaha

restoran, hotel, industri rumah tangga dan keperluan adat di Bali dan NTT

sangat tinggi, sehingga kejadian wabah suatu penyakit dapat mempengaruhi

produktivitas dan secara tidak langsung memberikan kerugian ekonomi kepada

para peternak. Salah satu penyakit viral yang endemik dan memberikan

kerugian terbesar khususnya di wilayah Bali dan NTT adalah Hog cholera.

Penyakit ini sangat menular dan memiliki mortalitas yang sangat tinggi (Terpstra,

2002). Salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini adalah melalui

tindakan vaksinasi. Meskipun secara ilmiah virus Hog cholera diketahui bersifat

imunosupresif yakni terjadi defisiensi sel limfosit B (susa, et al, 1992) yang

Page 257: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

35

mengakibatkan respon vaksin menjadi rendah, surveilans dan monitoring harus

tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi dan respon antibodi serta

deteksi dini terhadap kemunculan penyakit ini juga harus tetap dilakukan

sebagai salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini khususnya di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Dalam rangka usaha membebaskan wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dari penyakit Hog cholera, di pulau Lombok diketahui tidak dilakukan

program vaksinasi pada ternak babi. Hal yang mendasari tidak dilakukan

program vaksinasi adalah populasi ternak babi yang tidak terlalu besar di pulau

Lombok dan laporan kasus kematian jarang terjadi sehingga kemungkinan

terjadi wabah penyakit hog cholera sangat kecil. Informasi ini dapat dijadikan

pijakan sebagai pertimbangan program pembebasan penyakit hog cholera di

pulau Lombok dengan dibuktikan melalui surveilans yang terstruktur dan

menggunakan metode pengujian yang sensitifitas dan spesifisitasnya lebih

tinggi. Sebagai kajian awal maka perlu dilakukan surveilans dan identifikasi

faktor risiko penyakit hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dan khususnya di pulau Lombok terkait dengan persiapan program

pembebasan.

Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar

Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang

dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun 2014 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut.

Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian

target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan

anggaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Peningkatan

kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta

melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni;

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan

pelatihan secara terpusat

2. Supervisi kegiatan penerapan metode uji yang dilaksanakan oleh

laboratorium tersebut secara langsung.

Page 258: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

36

3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan

peranan Puskeswan di wilayah kerja (Bali , NTB dan NTT), secara

berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan

peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.

Program pemberdayaan Puskeswan diwilayah Nusa Tenggara Timur, Bali dan

Nusa Tenggara Barat dilibatkan Puskeswan yang aktif. Seluruh kegiatan ini

dilakukan secara sinergis sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan, yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian

dini penyakit Hewan Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan

kebutuhan bahan makanan asal hewan yang ASUH sehingga tercapai

swasembada pangan.

Identifikasi Permasalahan1. Data seroprevalensi dan serokonversi program vaksinasi Hog cholera yang

dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat perlu untuk diketahui terutama

untuk membuktikan cakupan vaksinasinya.

2. Tingkat penyebaran penyakit ini perlu dilakukan karena berdasarkan hasil

pengujian tahun sebelumnya masih diperoleh hasil yang mengindikasikan

adanya infeksi alami pada peternakan babi di wilayah kerja BBVet

Denpasar.

Tujuan Surveilans dan Monitoring untuk:1. Mengamati dan mengevaluasi status daerah tertular dan disekitarnya

setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit Hog cholera.

2. Mengetahui pola penyebaran virus Hog cholera pada tingkat kepemilikan

peternak tradisional dan komersial.

3. pemetaan dan penggalian informasi Status penyakit Hog Cholera

khususnya di Wilayah pulau Lombok sebagai kajian awal untuk mendukung

program pembebasan.

Page 259: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

37

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya informasi tentang status daerah tertular dan sekitarnya, serta

hasil tindakan penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah

tersebut terhadap penyakit babi khususnya penyakit Hog cholera.

2. Diketahuinya sifat penyebaran penyakit Hog cholera, sehingga dapat

menganalisis aspek epidemiologi dari penyakit tersebut lebih mendalam.

3. Diketahuinya status penyakit dan faktor risiko hog cholera khususnya di

wilayah pulau Lombok sebagai pijakan dalam merancang program

pembebasan penyakit tersebut di pulau Lombok.

Output1. Terdeteksinya penyakit Hog cholera lebih dini dapat mencegah kejadian

wabah yang lebih besar.

2. Pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih

efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan

masyarakat.

3. Teridentifikasi faktor risiko dan situasi terkini dari penyakit Hog cholera

khususnya di pulau Lombok, rekomendasi untuk melaksanakan program

pembebasan penyakit ini dapat segera dilakukan.

MATERI DAN METODE

MateriBahan : Serum dan PBMC darah babi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari

Dinas Peternakan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

Kit Elisa antibodi Hog cholera (VDPro® AB CSF ELISA, Median Diagnostics

Inc., Korea) dan Kit elisa Antigen Hog cholera (VDPro® CSF A CAPTURE

ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)

Page 260: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

38

Alat : Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Metode Sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak babi pada peternakan

tradisional di wilayah bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit

Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur

aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan

yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi

yang digunakan adalah 40 % (Hartawan et al, 2013), maka dapat diperoleh

perhitungan sebagai berikut ;

N = 4.P.Q/L2

N bali = 384

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan

metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Untuk estimasi jumlah

sampel di wilayah Bali juga menggunakan tahapan ganda di seluruh

kabupaten/kota di provinsi Bali dengan tahapan kecamatan dan desa, sehingga

jumlah sampel yang harus diambil adalah 384 x 2 = 768 sampel di seluruh

kabupaten/kota. Sementara untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan pengambilan

sampel secara random proporsional dengan estimasi jumlah sampel sebesar

384 sampel. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan

melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Barat dan

Mataram di provinsi NTB serta di wilayah Alor dan Lembata di provinsi NTT,

merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan

Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko pada lokasi

yang telah dijelaskan diatas. Sehingga dapat diperoleh jumlah sampel babi yang

harus diambil dalam monitoring dan survei penyakit hewan menular di Bali, NTB

dan NTT pada tahun 2014 seperti pada tabel berikut ;

Page 261: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

39

Analisis Data.Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di

tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan

menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Surveilans Deteksi Antigen Virus Hog cholera

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah kerja Bali

pada tahun 2014 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 1) ;

Tabel 1. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali tahun 2014.Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BANGLI 0 34 34 0.00BANGLI 0 18 18KINTAMANI 0 6 6TEMBUKU 0 10 10

BULELENG 0 52 52 0.00BULELENG 0 10 10KUBUTAMBAHAN 0 20 20SUKASADA 0 22 22

DENPASAR 0 90 90 0.00DENPASAR SELATAN 0 42 42DENPASAR TIMUR 0 20 20DENPASAR UTARA 0 28 28

GIANYAR 5 12 17 29.41UBUD 5 12 17

JEMBRANA 0 10 10 0.00JEMBRANA 0 10 10

KARANG ASEM 0 50 50 0.00SELAT 0 10 10SIDEMEN 0 40 40

KLUNGKUNG 0 30 30 0.00BANJARANGKAN 0 10 10KLUNGKUNG 0 20 20

TABANAN 0 3 3 0.00MARGA 0 3 3

Grand Total 5 281 286 1.75

Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 286 sampel PBMC darah babi dari

wilayah provinsi Bali. Dari seluruh sampel tersebut diperoleh hasil 5 dari 286

sampel darah babi positive virus Hog cholera (1,75 %). Sampel yang terdeteksi

positif virus Hog merupakan Cholera merupakan hasil investigasi atau

surveilans aktif Balai Besar Veteriner Denpasar dari kasus keguguran babi di

Page 262: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

40

wilayah desa Singakerta, kec. Ubud kab. Gianyar. Lima sampel positif hog

cholera diambil dari satu peternakan milik I Wayan Open Surata yang beralamat

di banjar Tebongkang. Laporan kasus keguguran pada babi indukan

disampaikan oleh Dinas peternakan kab Gianyar yang ditindaklanjuti oleh tim

investigasi Balai Besar Veteriner Denpasar pada bulan februari tahun 2014.

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah provinsi

NTB dan NTT pada tahun 2014 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 2) ;

Tabel 2. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2014.

Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Prov- Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

NUSA TENGGARA BARAT 0 150 150 0.00LOMBOK BARAT 0 150 150

GERUNG 0 150 150NUSA TENGGARA TIMUR 0 152 152 0.00

ALOR 0 15 15ALOR BARAT DAYA 0 8 8TELUK MUTIARA 0 7 7

KOTA KUPANG 0 39 39KELAPA LIMA 0 39 39

LEMBATA 0 15 15ILE APE 0 4 4NAGAWUTUNG 0 3 3NUBATUKAN 0 8 8

MANGGARAI 0 50 50LANGKE REMBONG 0 50 50

TIMOR TENGAH UTARA 0 33 33BIKOMI SELATAN 0 33 33

Grand Total 0 302 302 0.00

Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTT

diperoleh sebanyak 302 sampel PBMC darah babi. Di provinsi NTB diambil

sejumlah 200 sampel dari kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Hasil

laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang terdeteksi positif virus

Hog cholera (0 %) di provinsi NTB. Sedangkan di provinsi NTT diambil 152

sampel dari kabupaten Alor, Lembata, Manggarai, Timor Tengah Utara dan Kota

Kupang. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang

terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %) di provinsi NTT.

Page 263: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

41

Hasil Serosurveilans Antibody Hog cholera

Kegiatan serosurveilans antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar dimaksudkan untuk melihat Seroprevalensi antibodi Hog

cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2014. Kegiatan pengambilan

sampel untuk mendeteksi antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar dilakukan dengan melibatkan petugas Puskeswan selain

oleh staf Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil yang diperoleh dalam kegiatan

ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3) ;

Tabel 3. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali tahun 2014.

Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BADUNG 35 8 43 81.40ABIANSEMAL 7 4 11KUTA UTARA 2 1 3MENGWI 22 1 23PETANG 4 2 6

BANGLI 12 77 89 13.48BANGLI 7 33 40KINTAMANI 5 8 13SUSUT 0 3 3TEMBUKU 0 33 33

BULELENG 5 120 125 4.00BANJAR 0 4 4BULELENG 5 25 30BUSUNGBIU 0 4 4GEROKGAK 0 3 3KUBUTAMBAHAN 0 55 55SERIRIT 0 3 3SUKASADA 0 23 23TEJAKULA 0 3 3

DENPASAR 47 57 104 45.19DENPASAR SELATAN 19 21 40DENPASAR TIMUR 7 18 25DENPASAR UTARA 21 18 39

GIANYAR 97 29 126 76.98BLAHBATUH 0 4 4GIANYAR 20 7 27TEGALLALANG 69 7 76UBUD 8 11 19

JEMBRANA 5 47 52 9.62JEMBRANA 5 34 39MELAYA 0 3 3MENDOYO 0 3 3NEGARA 0 3 3PEKUTATAN 0 4 4

Page 264: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

42

KARANG ASEM 14 80 94 14.89KARANG ASEM 0 11 11KUBU 3 0 3MANGGIS 4 0 4RENDANG 2 4 6SELAT 5 25 30SIDEMEN 0 40 40

KLUNGKUNG 59 60 119 49.58BANJARANGKAN 18 21 39DAWAN 1 5 6KLUNGKUNG 40 34 74

TABANAN 8 12 20 40.00BATURITI 4 0 4KEDIRI 0 2 2MARGA 3 0 3PENEBEL 0 3 3SELEMADEG 1 3 4SELEMADEG BARAT 0 4 4

Grand Total 282 490 772 36.53

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan di seluruh kabupaten/kota

di provinsi Bali. Jumlah sampel yang berhasil diambil sejumlah total 772 sampel

serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 282 dari 772

sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (36,53 %). Dari total sampel

yang diambil di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali, diperoleh data bahwa

jumlah sampel terendah yang diambil adalah dari kabupaten Tabanan dengan

sebanyak 20 sampel serum babi. Berdasarkan informasi petugas Dinas

Peternakan setempat, hal ini disebabkan keengganan peternak untuk

mengijinkan ternak babi nya diambil sampelnya. Sedangkan jumlah sampel

tertinggi yang berhasil diambil berasal dari kabupaten Gianyar dengan sebanyak

126 sampel serum babi. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling tinggi

di provinsi Bali diperoleh dari kabupaten Badung sebesar 81,40 %. Sedangkan

proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling rendah adalah dari kabupaten

Buleleng hanya dengan hasil 4 %.

Hasil yang diperoleh dalam kegiatan Serosurveilans antibody Hog cholera di

provinsi NTB dan NTT dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ;

Page 265: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

43

Tabel 4. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2014.

Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Prov -Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

NUSA TENGGARA BARAT 2 273 275 0.72LOMBOK BARAT 2 173 175

GERUNG 2 173 175LOMBOK TENGAH 0 50 50

PRINGGARATA 0 50 50 MATARAM 0 50 50NUSA TENGGARA TIMUR 177 340 517 34.24

ALOR 21 19 40ALOR BARAT DAYA 10 10 20TELUK MUTIARA 11 9 20

BELU 21 34 55ATAMBUA 7 30 37KAKULUK MESAK 14 4 18

KOTA KUPANG 19 30 49KELAPA LIMA 19 30 49

LEMBATA 18 32 50ATADEI 4 8 12ILE APE 0 11 11NAGAWUTUNG 10 4 14NUBATUKAN 4 9 13

MANGGARAI 0 50 50LANGKE REMBONG 0 50 50

NAGEKEO 0 4 4WOLOWAE 0 4 4

NGADA 2 48 50BAJAWA 2 48 50

SIKKA 86 0 86ALOK TIMUR 54 0 54KANGAE 32 0 32

SUMBA BARAT 2 48 50KOTA WAIKABUBAK 1 41 42LOLI 1 7 8

TIMOR TENGAH SELATAN 0 50 50AMANUBAN BARAT 0 20 20KOTA SOE 0 30 30

TIMOR TENGAH UTARA 8 25 33BIKOMI SELATAN 8 25 33

Grand Total 179 613 792 22.6

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi NTB dan NTT

berhasil diambil sejumlah total 792 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan

laboratorium menunjukkan hasil 179 dari 792 sampel serum babi positif antibodi

Hog cholera (22,6 %) di provinsi NTB dan NTT. Untuk di provinsi NTB diperoleh

hasil 2 dari 275 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,72 %). Sementara

di provinsi NTT diperoleh hasil 177 dari 517 sampel positif antibodi Hog cholera

(34,24 %).

Page 266: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

44

Pembahasan

Kegiatan surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2014

berhasil mendeteksi 5 sampel positif virus Hog cholera yang berasal dari

kabupaten Gianyar. Berdasarkan surat Dinas Peternakan, Perikanan dan

Kelautan kabupaten Gianyar, yang menginformasikan bahwa telah terjadi kasus

keguguran pada 40 ekor indukan di peternakan milik pak Open Surata dengan

alamat di banjar Tebongkang, desa Singakerta, kecamatan Ubud Gianyar. Mulai

dari bulan februari tahun 2014 diketahui secara beruntun terjadi keguguran anak

babi dari indukan yang dimiliki oleh peternakan tersebut dan rata-rata indukan

pernah mengalami keguguran sebanyak 2 kali periode kebuntingan. Anak yang

dilahirkan dalam kondisi mati/membusuk tetapi indukan masih terlihat sehat atau

tidak menunjukkan gejala klinis yang lain. Peternakan babi tersebut juga terisolir

dari lokasi peternakan yang lain. Peternak babi tersebut juga memiliki usaha

penggilingan padi sehingga untuk beberapa bahan pakan babi tidak mengambil

dari luar area peternakan. Berdasarkan hasil tersebut maka beberapa saran dan

masukan yang diberikan kepada peternak adalah, melakukan pemberian

multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan pengawasan kebersihan serta

sanitasi lingkungan. Untuk babi yang mengalami keguguran disarankan secara

bertahap untuk segera diganti, mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier

Hog cholera.

Surveilans untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar memperoleh hasil proporsi hasil positif di provinsi Bali

sebesar 36,53 %, sedangkan di provinsi NTB sebesar 0,89 % dan di provinsi

NTT sebesar 24,12 %. Program vaksinasi dilakukan secara intensif di provinsi

Bali dan NTT sehingga hasil proporsi tersebut mengindikasikan cakupan hasil

vaksinasi yang tidak terlalu menggembirakan. Mengacu pada protocol OIE yang

mensyaratkan cakupan vaksinasi sebesar 70 % untuk mengendalikan kejadian

wabah dan pembebasan penyakit ini (Anonimous, 2014).

Sementara di provinsi NTB diperoleh hasil 2 dari 255 sampel serum positif

antibodi Hog cholera (0,89 %) di wilayah kec. Gerung kab. Lombok Barat. hal ini

dapat mengindikasikan terjadinya infeksi alami dari penyakit Hog cholera atau

Page 267: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

45

kemungkinan terjadinya pemasukan babi dari wilayah yang melakukan program

vaksinasi. Dari hasil penggalian informasi melalui kuesioner, tidak ditemukan

adanya catatan pemasukan bibit babi ke wilayah tersebut. Sementara catatan

kasus klinis yang mengarah pada gejala penyakit Hog cholera juga tidak pernah

dilaporkan ataupun adanya kematian atau keguguran ternak yang dapat

dikaitkan dengan terjadinya infeksi penyakit ini.

Untuk dapat menggali informasi tentang munculnya titer antibodi pada ternak

yang diambil sampel khususnya di wilayah kabupaten Lombok Barat dan

provinsi Nusa Tenggara Barat pada umumnya, pelaksanaan koordinasi terhadap

kasus klinis maupun kematian dan keguguran pada ternak babi diwilayah

tersebut terus dilakukan dengan pihak Dinar Peternakan setempat. Balai Besar

Veteriner Denpasar dalam kapasitasnya sebagai laboratorium rujukan juga

mencoba untuk melihat kemungkinan dilaksanakannya pembuktian wilayah

provinsi NTB sebagai wilayah yang bebas penyakit Hog cholera atau

Demonstration of Freedom the Disease terhadap penyakit Hog cholera.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali sebesar

1,75%, sedangkan provinsi NTB dan NTT tidak terdeteksi sampel yang

positif virus Hog cholera (0 %).

2. Proporsi hasil positif antibody Hog cholera pada tahun 2014 di Provinsi di

Bali 36,53 %, NTB sebesar 0,72 %, dan di NTT 34,24 %.

3. Hasil lima sampel Positif virus Hog cholera di provinsi Bali diperoleh dari

peternakan di banjar Tebongkang, desa Singakerta, kecamatan Ubud,

kabupaten Gianyar berdasarkan hasil laporan kasus keguguran pada babi

yang disampaikan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan

kabupaten Gianyar.

Page 268: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

46

Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui

indicator antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak

melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga

untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB

sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.

2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk

melakukan pemberian multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan

pengawasan kebersihan serta sanitasi lingkungan. Untuk babi yang

mengalami keguguran disarankan secara bertahap untuk segera diganti,

mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier Hog cholera.

3. Mengembangkan system surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk

dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas

surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

Page 269: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

47

PUSTAKA.

Anonimous, 2014. Manual for Laboratory Diagnosis of Classical swine fever(Hog cholera) vaccination protocol. Chapter 2.8.3. May 2014. WorldHealthOrganization.

Anonimous, 2007. Manual for Laboratory Diagnosis of Japanese EncephalitisVirus Infection. World HealthOrganization.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Sendow, I., danBahri, S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis diIndonesia. LokakaryaNasionalpenyakit Zoonosis.Wartazoa. 2005.

Christianson, W. T., J .E . Collins, D.A . Benfield, L.Harris, D.E .Gorcyca, D.W.Chladek, R.B . Robinson, and H.S .Joo. 1992 . Experimentalreproduction of swine infertility and respiratory syndrome in pregnantsows . Am. J. Vet. Res . 5 3 : 485-488 .

Done, S . H., and D.J. Paton. 1995 . Porcine reproductive and respiratorysyndrome : clinical disease, pathology and immunosuppression.

Hirose, O., H. Kudo, S .Yoshizawa, T. Hiroiko, T. Nakane .1995 . Isolation ofporcine reproductive and respiratory syndrome virus from pigs . J.Japan Vet. Med. Ass . 48 (9) : 646 - 649 .

Hooper, S . A., M.E.C . White, and N. Twiddy .1992 . An out-break of blue-earedpig disease (porcine reproductive and respiratory syndrome) in four pigherds in Great Britain . Vet. Rec .131 : 140-144 .

Page 270: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

266

HASIL SURVEILAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2014

Drh. Mahmud Siswanto, M.Si.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

Abstrak

Surveilans untuk melihat kondisi penyakit hewan di BPTU-HPT Denpasar terkait adanya

informasi penurunan produktivitas (kualitas dan kuantitas) ternak telah dilakukan. Kegiatan ini

dilakukan dari periode April-Mei 2014 dengan pengambilan sejumlah 792 sampel serum, 321

sampel feces dan 264 ulas darah. Sampel serum tersebut diuji secara serologi dengan uji

Enzyme-linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk melihat gambaran seropositif penyakit

Septicaemia epizootica (SE) dan Jembrana. Pemeriksaan feces ditujukan untuk melihat keadaan

infeksi parasit gastro intestinal (PGI), sedangkan pemeriksaan preparat ulas darah untuk melihat

kemungkinan adanya infeksi parasit darah. Hasil pengujian laboratorium membuktikan bahwa

153 dari 204 sampel yang diuji (75%) positif antibodi SE dan terhadap penyakit Jembrana hanya

positif 42 dari 264 sampel yang diuji (15,9%). Gambaran infeksi penyakit parasiter cukup tinggi

dimana 50 dari 402 (12,44%) sampel yang diperiksa positif PGI. Infeksi parasit darah cukup

rendah hanya 6 dari 264 sampel yang diperiksa (2,27%), namun karena didalamnya ada

termasuk infeksi Trypanosoma sp, hal ini perlu diwaspadai. Dengan melihat hasil pemeriksaan

laboratorium tersebut diatas bahwa kekebalan kelompok (Heard immunity) terhadap penyakit SE

dan Jembrana harus ditingkatkan. Prevalensi infeksi PGI walaupun rendah perlu mendapat

perhatian, oleh karena itu pemberian obat antiparasit dengan bahan aktif Ivermectin perlu

dilakukan secara rutin dan terkontrol. Rendahnya Heard immunity dan tingginya derajat infeksi

parasiter dapat menurunkan kekebalan hewan secara umum dan diduga kuat sebagai penyebab

turunnya kualitas dan kuantitas ternak di BPTU sapi Bali, disamping kemungkinan adanya

pengaruh faktor lain seperti manajemen pakan dan air.

Page 271: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

267

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang memiliki tugas dan fungsi untuk

mengembangkan pembibitan sapi Bali adalah BPTU-HPT Denpasar yang

berlokasi di Denpasar memiliki Instalasi Breeding Centre di Kabupaten

Jembrana. Populasi sapi bali di Indonesia saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar

32.4% dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus,

2008b). Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB

dan NTT dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Sampai saat ini,

BPTU-HPT denpasar memiliki populasi sapi Bali sebanyak 895 ekor dan

diharapkan UPT ini dapat membantu menyediakan bibit unggul yang diperlukan

oleh masyarakat dan atau UPT lain untuk dikembangkan lebih lanjut. Banyak

faktor yang bisa menghambat dan atau mendorong berhasilnya UPT tersebut

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Sapi bali lebih diminati oleh peternak

karena beberapa keunggulannya antara lain: tingkat kesuburannya tinggi,

sebagai sapi pekerja yang baik, cepat beradaptasi, lebih tahan dengan kondis

lingkungan yang kurang baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan

yang kurang bergizi,(Pane, 1990) Salah satu dari unsur Panca Usaha

Peternakan, selain pakan, manajemen, bibit dan kandang, adalah kesehatan

hewannya. Ada suatu informasi bahwa keberadaan BPTU belum oftimal dalam

menjalankan TUPOKSI-nya terkait dengan menurunnya produksi dan

reproduktivitas ternak karena adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM)

bersifat infeksius maupun non infeksius, termasuk infeksi parasit gastrointestinal.

Pada umumnya ternak sapi rentan terhadap berbagai penyakit infeksi parasit

gastrointestinal seperti helminthiasis, kokdidiosis dan ektoparasit

(Soulsby1982), hasil penelitian menyatakan prevalensi cacing trematoda

Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%. (Estuningsih.2004),

F.gigantica (Fasciolosis) pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.%, dan lebih

banyak ditemukan pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari

anoreksia, konsitpasi, diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi

kematian.(Purwanta dkk.(2006).

Page 272: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

268

Menjadi Salah satu UPT pusat, Balai Besar Veteriner Denpasar yang mewilayahi

3 provinsi termasuk Bali, NTB dan NTT mempunyai peranan penting dalam

melakukan surveilan, monitoring dan investigasi suatu penyakit hewan di

wilayah kerjanya. Dalam fungsi pengawasan kesehatan hewan, BB-Vet

berkewajiban memberikan pembinaan teknis dan rekomendasi/saran kepada

UPT terkait antara lain pembinaan kepada PUSKESWAN, laboratorium Type B

dan C dan BPTU sapi Bali yang ada di Prov. Bali. Kerjasama dengan BPTU –

HPT Denpasar yang mengembangkan sapi Bali sudah dibangun sejak dahulu,

terkait investigasi atau monitoring dan kegiatan uji coba vaksinasi penyakit

Jembrana. Belakangan ini kerjasama tersebut tetap berlanjut, namun lebih

menekan kepada kegiatan monitoring dan surveilan aktif dengan harapan dapat

memberikan gambaran/kondisi penyakit hewannya.

B. TUJUAN

Surveilan ini bertujuan untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular pada

ternak bibit sapi Bali milik BPTU-HPT Denpasar yang ada di Breeding Centre

Pulukan Kabupaten Jembrana, terkait adanya dugaan penurunan kualitas dan

produktivitas ternak sapi Bali.

II. MATERI DAN METODA

2.1. Materi

Dilakukan pengambilan sampel sesuai jadwal yang sudah ditetapkan

pengambilan sampel setiap bulan (dari bulan April s/d Desember 2014). Jumlah

hewan yang disampling adalah 792 ekor dari 895 ekor (88,4%). Pada setiap

tahap pengambilan, hewan yang sudah disampling tidak disampling ulang

dengan mencatat dan menandai hewan yang belum dan atau sudah pernah

disampling. Terhadap sampel tersebut telah dilakukan pengujian secara

komprehensi terhadap 5 jenis PHMS meliputi penyakit Jembrana (JD),

Septicaemia Epizootika (SE), Infectiopus Bovine Rhinotraheitis, Bovine Viral

Diarrohea (BVD) dan beberapa penyakit parasit. Jadwal, Rincian jumlah dan

jenis sampel serta penyakit yang diuji sepert tersaji pada Tabel 1.

Page 273: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

269

Tabel 1. Jadwal surveilan, jumlah dan jenis sampel serta penyakit yangdiuji.

Tahapsampling

Targethewan

Jumlah sampel yangDiambil

Jenis penyakit yangdiuji

Keterangan

I

22 April

50 ekor 275 buah (150 serum, 50darah EDTA, 25 Feces dan50 ulas darah)

JD, SE, Brucellosisdan Parasit

Telahdikerjakan

II

23 April

50 ekor 300 buah (150 serum, 50darah EDTA, 50 Feces dan50 ulas darah

JD, SE, Brucellosisdan , Parasit

Telahdikerjakan

III

30 April

50 ekor 344 buah (197 serum, 49darah EDTA, 49 Feces dan49 ulas darah

JD, SE, Brucellosisdan Parasit

Telahdikerjakan

IV

13 Mei

65 ekor 375 buah (195 serum, 65darah EDTA, 50 Feces dan65 ulas darah

JD, SE, Brucellosisdan Parasit

Telahdikerjakan

V

14 Mei

50 ekor 272 buah (150 serum, 50darah EDTA, 22 Feces dan50 ulas darah)

JD, SE, Brucellosisdan Parasit

Telahdikerjakan

Total. 265 ekor 1566 buah

Disamping dilakukan pengambilan sampel, pada saat surveilan juga dilakukan

wawancara/pengamatan terhadap kondisi hewan, pakan air dan lain-lain

sebagai upaya publik awarness dan komunikasi dalam pemberian informasi atau

saran serta edukasi terhadap cara penanganan penyakit hewan menular.

2.2. Metoda

Metoda uji yang digunakan untuk pemeriksaan sampel serum adalah uji ELISA,

dimana uji ELISA yang dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya antibody yang

terbentuk terhadap JD dan SE. Untuk Brucellosis digunakan metode rose bengal

test (RBT), Jika dari hasil uji RBT terdapat hasil positif ( antibodi positif ) maka

akan dilanjutkan dengan uji Complement Fixation test (CFT) untuk memastikan

hasil uji RBT yang positif tersebut. Sedangkan untuk pemeriksaan parasit

dilakukan dengan uji/pemeriksaan feces dengan mikroskop cahaya untuk

melihat ada/tidaknya telur parasit gastro-intestinal (PGI). Sedangkan

pemeriksaan parasit darah dilakukan dengan memeriksaan preparat ulas darah

(PUD) yang diwarnai Giemsa di bawah mikroskop cahaya.

Page 274: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

270

III. HASIL

Dari lima tahapan waktu untuk melakukan sampling telah dikumpulkan 1566

sampel dari 265 ekor sapi yang berbeda. Jumlah sampel yang diuji dan hasil

pengujiannya di ringkas pada Tabel 2. Secara umum diketahui bahwa dari 4

penyakit yang diinvestigasi ( SE, JD, Brucellosis dan Parasiter), hanya

Brucellosis yang negatif

Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel yang diuji terhadap beberapa jenispenyakit.

ELISA PCR Uji ParasitPGI Parasit darah

Tahapsampling

Jenis/jumlahsampel

PenyakitPos Pos

Pos PosSerum 50 SE - - - -Serum 50 JD 0/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50 - -Darah 50 - - - 2/50

I(22 April )

Feces 21 - - 17/21* -Serum 50 SE 23/50 - - -Serum 50 JD 41/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50Darah 50 - - - 3/50

II(23 April )

Feces 50 - - 07/50* -Serum 49 SE 32/49 - - -Serum 49 JD 0/49 - - -Serum 49 Brucellosis 0/49 - - -DarahEDTA JD - 0/49 - -Darah 49 - - - 0/49

III(30 April )

Feces 49 - - 06 /49* -Serum 65 SE 53/65 - - -Serum 65 JD 0/65 - - -Serum 65 Brucellosis 0/65 - - -DarahEDTA JD - 0/65 - -Darah 65 - - - 1/65

IV

(13 Mei )

Feces 50 - - 06/65 -Serum 50 SE 45/50 - - -Serum 50 JD 01/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50 - -Darah 50 - - 0/50

V(14 Mei )

Feces 22 - - 04/22 - Total 195/742 40/207 6/263

Page 275: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

271

Tabel 3 Rincian Hasil Uji Laboratorium Jenis Parasit Gastro IntestinalDan Parasit Darah pada BPTU-HPT Denpasar

Ket: * Jenis PGI (Penyakit Gastro Intestinal) umum:Emiria sp, Cooperia sp,Parampistomum sp, dan Fasciola sp.dll.

** Jenis Pararait darah: 2 kasus Theileria sp. dan 4 kasus Trypanosoma sp.

IV. PEMBAHASAN

Dari hasil yang di dapat terhadap pemeriksaan penyakit dapat digambarkan

bahwa. secara umum infeksi penyakit Parasiter cukup tinggi, dimana 40 dari 207

sampel yang diuji (19,3%) positif PGI, termasuk ditemukannya telur cacing

Fasciola sp yaitu 3 dari 207 sampel yang diuji (1,4%) dan Trypanosoma sp (

penyebab penyakit Surra) yaitu 4 dari 263 sampel yang di uji (1,5%) . Hal ini

merupakan suatu ancaman produksi dan produktivitas ternak sapi, karena jenis

cacing dan parasit darah ini termasuk parasit yang paling berbahaya bagi ternak.

Selain itu banyaknya jenis telur Parasit Gastro Intestinal lain yang ditemukan

termasuk Emiria sp, Cooperia sp, Parampistomum sp cukup memprihatinkan.

Pada Kejadian ditemukannya Trypanosoma sp patut dijadikan “early warning

system” di masa mendatang terkait upaya persediaan obat yang sesuai karena

infeksi oleh parasit darah ini sangat fatal, walaupun sampai saat ini belum

banyak dilaporkan di Bali.

Jumlah

No.Nama Parasit Gastro

Intestinal PosKet.

1 Eimeria sp 3 PGI2 Cooperia sp 2 PGI3 Parampistomum sp 18 PGI4 Fasciola sp 3 PGI5 Theileria sp 2 Parasit Darah6 Trypanosoma sp 4 Parasit Darah7 Mecistocirrus sp 5 PGI8 Oestertagia sp 6 PGI9 Oesophagustomum sp - PGI10 Chabertia sp 4 PGI11 Trichostrongylus sp - PGI

Page 276: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

272

Hasil surveilan ini membuktikan bahwa pemberian obat cacing belum dilakukan

secara optimal. Secara kasat mata, dampak dari penampilan luar kelihatan

bahwa performans tubuh ternak sapi dewasa masih bervariasi (seperti yang

dilaporkan oleh petugas surveilan), namun secara ekonomis infestasi parasit

cacing ini dapat menurunkan produksi dan produktivitas ternak sapi yang cukup

tinggi. Dampak infestasi PGI ini akan sangat signifikan terlihat secara ekonomi

manakala cuaca ekstrim dimusim kemarau atau sebaliknya dan ranch BPTU-

HPT Pulukan tidak didukung air bersih, pakan yang berkualitas, sarana kandang

pembibitan yang baik dan biosecurity yang kurang baik terkait lalulintas ternak.

Infestasi cacing ini sangat merugikan khususnya pada pedet ( anak sapi )

berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan, sakit-sakitan (dengan gejala

klinis yang tampak : demam, diare, kurus, lemah, cyanosis dan bulu berdiri ),

cacat fisik ( anak diafkir dari seleksi bibit karena mata buta ) dan kematian dini

pedet. Oleh karena pengaruh alam daerah tropis dan lembab dimana parasit

dapat berkembang subur maka, perlu dilakukan pemberian obat cacing atau

injeksi ivermectin rutin secara berkala.

Dari pengujian serologi terhadap penyakit SE terlihat bahwa hasil uji ELISA

cukup tinggi dimana hanya 153 dari 214 sampel yang diuji (71,4%) menunjukan

positif. Kalau hasil positif ini disebabkan oleh vaksinasi, hal ini mengindikasikan

bahwa vaksinasi belum dilakukan secara optimal dimana belum mampu

memberikan kekebalan kelompok (Heard Immunity) minimal 80%, hal mana

dapat berakibat fatal kalau terjadi perubahan iklim yang ekstrim akan sangat

berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas SE. Oleh karena itu, sangat

dianjurkan untuk melakukan vaksinasi SE dengan tingkat Heard Immunity diatas

80%.

Dari hasil pengujian serologi terhadap penyakit Brucellosis terlihat pada hasil uji

serologi (ELISA) terhadap sampel sebanyak 264 sampel, diperoleh hasil 0%

(Negatif). Hal ini mengindikasikan bahwa Bali bebas Brucellosis.

Page 277: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

273

Dalam studi ini tidak dilakukan pemeriksaan sampel terhadap BVD dan IBR

karena kehabisan substrat pemeriksaan akibat dari banyaknya sampel pasif

yang masuk ke laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar sehingga perlu

dilakukan pengadaan subsrat BVD dan IBR. Substrat tersebut masih sudah

diadakan dan dalam proses pengiriman

Hasil uji serum terhadap JD menunjukan hasil positif yang bervariasi pada setiap

tahap pengambilan. Dimana pada pengambilan I hanya 0 dari 50 (0 %) hewan

positif, namun pada pengambilan tahap II hasil positif ELISA cukup tinggi 41 dari

50 serum yang diuji (82 %), tahap III hanya 0 dari 49 sampel yang diuji (0 %)

dan tahap IV hanya 0 dari 65 sampel yang diuji (0 %), dan tahap V hanya 1

sampel dari 50 sampel yang diuji (0%) secara rata-rata hasil ELISA positif dari

ke lima tahap 15,9 %, yang menandakan bahwa Heard Immunity masih sangat

rendah dari minimal 80%, sehingga masih harus ditingkatkan. Dan pada hasil uji

PCR pada semua tahapan ( I-V) 0 dari 264 sampel yang diuji PCR (0%), tidak

terdeteksi adanya virus Jembrana.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SimpulanBerdasarkan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut :

a). Prevalensi investasi cacing ( PGI dan parasit darah ) masih cukup tinggi.

b). Serokonversi hasil vaksinasi belum optimal, dalam studi ini ditemukan hasil

71,4% yang positif uji ELISA dari 214 sampel yang diuji.

c). Prevalensi Penyakit Brucellosis masih 0%.

d). Prevalensi serologi penyakit JD 15,9% walaupun pervalensi penyakit JD

dengan uji PCR masih 0%.

Page 278: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

274

5.2 SaranBerdasarkan kesimpulan di atas dapat di sarankan hal-hal sebagai berikut :

a). Agar dilakukan pemberian obat cacing secara periodik dengan anthermintik

yang sesuai

b). Agar serokonversi penyakit SE dapat ditingkatan dengan melakukan

vaksinasi SE ulangan bagi hewan-hewan yang masih seronegatif

c). Agar dilakukan vaksinasi penyakit jembrana sesuai anjuran yang berlaku

d). Untuk menjamin tetap terjaganya kondisi kesehatan hewan yang memadai,

agar prinsif-prinsif Biosecurity yang ketat dapat diterapkan

Page 279: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

275

Analisa ResikoAnalisa Resiko setelah kegiatan surveilans Balai Besar Veteriner Denpasar

pada kegiatan Perbibitan Sapi Bali di BPTU-HPT Denpasar.

No Analisa Resiko Managemen Resiko/Solusi

1 Sistem pemeliharaan sapi bali diBPTU-HPT Denpasar adalahsystem ranch dimana umumnyasapi-sapi dilepas/ diumbar miripdengan sistem pemeliharaanekstensif maka resiko penularanPGI cukup tinggi

Perlu dilakukan sosialisasi tatacara pemeliharaan ternak yangbaik dan benar sesuai anjurankesehatan hewan yang baik.

2 Luasnya sebaran dan relativetingginya prevalensi PGI di BPTU-HPT Denpasar, yang dapatberdampak pada penurunproduktivitas dan reproduksi ternak

Perlu dilakukan Surveilan danpengobatan secara berkala untukmemantau ,mencegah danpengendalian penyakit PGI dalamrangka meningkatkan produksidan reproduktivitas ternak

3 Relatif tingginya kematian pedet,yang ,salah satunya disebabkanoleh infeksi PGI ( ascariasis danatau koksidiosis)

Perlu dilakukan peningkatanMonitoring dan penanggulanganPGI khususnya pada pedet .umurdi bawah tiga bulan (batilan)

4 Target jumlah dan kriteria sampeltidak sesuai dengan yangdiharapkan dan tidak terpenuhi

Meningkatkan koordinasi denganBPTU-HPT Denpasar mengenailokasi dan kriteria sampelsehingga dapat terpenuhi

5 Target Vaksinasi pada programperbibitan tidak tercapai untukmencapai Heard Immunity diatas80%.

Perlu dilakukan sosialisasi ataupeningkatan publik awareness tatacara Vaksinasi ternak yang baikdan benar sesuai anjurankesehatan hewan yang baik.

Page 280: HASIL SURVEILANS DAN MONITORING DI WILAYAH KERJA …bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/05/... · telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring

276

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2009. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan,Inspektorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Anonimus .2008b.The epidemiology of helmintparasites.http://www.ilri.org/InfoServ/ Webpub/ Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008].

Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan PemeriksaanTelur Cacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60

Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. ProcSeminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis)pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kotaMakassar. J. Agrisistem 2 (2): 63-69..

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of DomesticatedAnimals. 7th.ed P.51, 52