hasil surveilans dan monitoring di wilayah kerja...
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASAR
Jalan Raya Sesetan No. 266Denpasar 80223 Bali
2015
LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS DAN MONITORING
DI WILAYAH KERJA BALAI BESARVETERINER DENPASAR
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang
telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah Kerja
Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2014 dapat diselesaikan
dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan Monitoring di
wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT selama satu tahun
anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31 Desember 2014.
Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang
mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.140/5/2013
Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan surveilans, monitoring, dan pelayanan
penyidikan secara aktif di lapangan, juga melakukan pengujian veteriner di
laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.
Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah kerja
pada tahun 2014 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2014, tanggal 5 Desember
2014.
Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima. Selain
untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya bagi
peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat
veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan semua pihak yang
telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan banyak terima kasih.
Denpasar, Januari 2015Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,
Drh. I Ketut Diarmita, M.P.NIP. 19621231 198903 1 006
ii
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR …………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iii
I. BAKTERIOLOGI
3 SURVEILAN DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014…........... 1-12
4 SURVEILAN DAN MONITORING PENYAKIT BAKTERIAL DIWILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014................... 13-24
5 SURVEILAN DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2014.................................... 25-36
6 SPROGRAM PEMBERANTASAN BRUCELOOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR,TAHUN 2014.................................................................................... 37-65
II. PARASITOLOGI
7 SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKITTRYPANOSOMIASIS (SURRA) DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR…………... 66-75
8 SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR................... 76-87
III. PATOLOGI
9 ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014................. 88-100
10 SURVEILANS PATOLOGI REPRODUKSI PADA TERNAK SAPIPOTONG DALAM RANGKA MENDUKUNGPROGRAMSWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014........................................……………………… 101-116
11 SURVEILANS DAN MONITORING AGEN PENYAKIT RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014…………………… 117-131
iii
IV. KESMAVET
12 MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU,CEMARAN MIKROBA (PMSR-CM) DI PROPINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN ANGGARAN 2014…………………………………………….. 132-151
V. BIOTEKNOLOGI
13 SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALIDAN BPTU HPT DOMPU TAHUN 2014.................................................. 152-165
14 SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014............................................................................................ 166-180
15 UJI REAL TIME PCR UNTUK MENDETEKSI c-DNA VIRUSPENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI…...................................... 181-193
VI. VIROLOGI
16 MONITORING AVIAN INFLUENZA H5N1 DI PASAR UNGGASHIDUP DI DI PROVINSI BALI TERKAIT PERUBAHAN MUSIMTAHUN 2014…………………………………………………………….. 194-204
17 SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZADAN NEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN2014……………………………………………………………. 205-228
18 SEROSURVEILANS PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA(BVD) DAN INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSATENGGARA TIMUR TAHUN 2014................................................... 229-241
19 DETEKSI ANTIBODI PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) TAHUN 2014.....................................................…………………….. 242-251
20 SURVEILANS ANTIGEN DAN ANTIBODI PENYAKITHOG CHOLERA DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014.............................. 252-265
VII. PELAYANAN VETERINER
21 SURVEILANS DAN MONITORING BALAI BESAR VETERINERDENPASAR TERHADAP PENYAKIT HEWAN MENULARSTRATEGIS PADA UNIT PELAKSANA TEKNIS BPTU-HPTDENPASAR...................................................................................... 266-276
1
SURVEILANS DAN MONITORING ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR, TAHUN 2014
I Ketut Narcana, A.A.Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Kasus Anthrax di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan terjadi Tahun 1987 KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Anthrax dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus penyakit Anthraxdi Pulau Flores dilaporkan terjadi di Kabupaten Ende terjadi pada Tahun 2004. Pada tahun 2007kasus Anthrax kembali dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Berdasarkan data dari DinasPeternakan Provinsi NTT, kejadian penyakit Anthrax di Pulau Sabu pernah dilaporkan terjadipada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, serta bulan Agustus 2011 ada kejadianpenyakit Anthrax pada kuda dan manusia . Di Pulau Timor (bagian barat) kasus pertamatercatat tahun 1930.
Penanganan yang telah dilakukan salah satunya berupa vaksinasi Anthrax pada ternak rentan.Untuk mengetahui prevalensi antibodi Anthrax di Provinsi NTB (Kabupaten Dompu dan KotaBima) dan Provinsi NTT (di Kabupaten Ngada, Rotendao, Manggarai, Manggarai Barat,Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Timur dan Sabu Raijua) telah dilaksanakansurveilans serologis. Pengambilan serum sapi dan kerbau dilakukan secara acak, kemudiandilakukan pemeriksaan terhadap adanya antibodi Anthrax dengan metode ELISA. Sedangkan diKabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram, Sumbawa Barat,Kota Kupang, TTS , Belu, Alor, Flores Timur, Sikka dan Lembata tidak dilakukan vaksinasiterhadap Anthrax. Akan tetapi tetap dilakukan surveilans dan monitoring dini untuk mendeteksiadanya/masuknya reaktor sehingga dapat dilakukan pengendalian selanjutnya.
Hasil uji serologis terhadap sampel yang diambil di Pulau Lombok dan Kabupaten SumbawaBarat negatif antibodi Anthrax karena tidak melakukan vaksinasi Anthrax. Kecuali di Kotamataram 2 (1%) sampel positif antibodi Anthrax. Sedangkan di kabupaten yang melakukanvaksinasi Anthrax yaitu di Kota Bima dari 147 sampel 91 (61,91%) positif antibodi Anthrax dan diKabupaten Dompu dari 204 sampel hanya 12(5,88%) positif antibodi Anthrax. Hasil uji diProvinsi NTT di Kota Kupang, TTS, Belu, Lembata, Alor, dan Sikka yang tidak melakukanprogram vaksinasi Anthrax pada ternak, hasilnya negatif antibodi Anthrax, kecuali di KabupatenFlores Timur 3 (1,92%) sampel positif antibodi Anthrax. Di Kabupaten Ngada dari 253 sampel 93(36,76%) positif antibodi Anthrax, di Kabupaten Manggarai 84 sampel 53 (63,10%) positifantibodi, di Kabupaten Manggarai Barat 134 sampel 67 (50%) positif antibodi, KabupatenNagekeo 230 sampel 75(32,61%) positif antibodi, Kabupaten Sumba Barat Daya 172 sampel137 (79,65%) positif antibodi, Sumba Barat 100 sampel 43 (43%) positif antibodi, Sumba Timur663 sampel 594(89,59%) positif antibodi, dan Kabupaten Sabu Raijua positif antibodi Anthrax102(74,45%) dari 137 sampel. Dari Hasil ini dapat disimpulkan program vaksinasi pada ternakrentan di Kota Bima, Kabupaten Dompu, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, danSumba Barat tersebut belum optimal (< 70%) kecuali Kabupaten Sumba Timur, Sumba BaratDaya dan Sabu Raijua positif antibodi antibodi >70%. Mengingat durasi kekebalan terhadapAnthrax dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi dan kasus/wabah Anthrax biasanyaterjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujan sehingga dengandemikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun. Yakni bulan Juni – Agustus danbulan Februari – Maret tahun berikutnya.
Kata Kunci : Anthrax, Sapi, Kerbau, ELISA, Lombok, Sumbawa, Dompu, Bima, Ngada, Sikka,Manggarai, Flores, Nagekeo, Lembata, Alor, Sumba, Sabu Raijua, Kupang, TTS,Belu.
2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangAnthrax adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap Anthrax (Noor, dkk. 2001;
Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk Anthrax yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam
lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh
jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan
bertahan hidup puluhan tahun . Penyembelihan hewan tertular Anthrax akan
mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular Anthrax
dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak
yang telah tercemar spora Anthrax akan mengakibatkan penyakit menjadi
bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Pulau Lombok kasus Anthrax dilaporkan
pertama kali tahun 1933 namun tidak dijelaskan dimana lokasi kejadiannya.
Selanjutnya kasus Anthrax terakhir di Pulau Lombok terjadi 26 Januari 1987 di
Desa Kenyalu Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah (Putra, dkk.,
2011). Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis
Anthrax (Hardjoutomo dkk., 1995; Hardjoutomo, dkk. 1996; Kertayadnya, dkk.,
2003) dan kasus terjadi hampir setiap tahun. Penyakit Anthrax pernah terjadi di
semua kabupaten di Pulau Sumbawa (Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat ,
Bima, Kota Madya Bima dan Dompu).
Di Nusa Tenggara Timur kasus penyakit Anthrax ditemukan hampir setiap tahun
di beberapa Kabupaten. Menurut catatan Dinas Peternakan NTT kasus di
Kabupaten Ende, dilaporkan terjadi di Kecamatan Wewaria terjadi pada Tahun
2004 dan di Kabupaten Sikka, terjadi di Kecamatan Nita pada Tahun 2000, 2002
dan 2003. Pada tahun 2007 kasus Anthrax kembali dilaporkan terjadi di
Kabupaten Sikka, di Desa Kolisia B, Kecamatan Magepanda. Di Pulau Sabu
kejadian penyakit Anthrax pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 –
1942 dan tahun 1987, serta bulan Agustus 2011 ada kejadian penyakit Anthrax
3
pada kuda dan manusia. Di Pulau Timor (bagian barat) kasus pertama tercatat
tahun 1930 (Soemanagara, 1958) dikutip oleh Putra, dkk., (2011).
Pencegahan penyakit Anthrax di Pulau Sumbawa, Flores, Sumba dan Sabu
secara rutin dilakukan dengan program vaksinasi pada ternak rentan. Untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan dari vaksinasi yang dilakukan perlu
dilakukan evaluasi dengan melakukan surveilans serologis dan pengamatan
kasus lapangan terhadap penyakit Anthrax.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
penyakit Anthrax di wilayah kerja sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Anthrax di di wilayah kerja;
2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di
wilayah kerja;
3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan
monitoring Anthrax di wilayah kerja;
4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.
1.3. Tujuan Kegiatan1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian penyakit Anthrax di
wilayah kerja;
2. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;
3. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
4. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatan1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi penyakit Anthrax di di
wilayah kerja;
2. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah
kerja;
4
3. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
4. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Anthrax serta tingkat
kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Anthrax pada daerah
endemis di wilayah kerja;
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;
3. Turunnya kejadian penyakit Anthrax di wilayah kerja dan terciptanya
lingkungan peternakan yang bebas Anthrax dan tersedianya produk
hewan yang bebas penyakit Anthrax.
1.6. Out come1. Terciptanya lingkungan peternakan yang bebas penyakit Anthrax dan
tersedianya daging yang bebas penyakit Anthrax.
2. Menurunnya kejadian kasus Anthrax diwilayah kerja.
5
II. MATERI DAN METODE
Pengambilan SerumDi wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi Anthrax dengan metode
mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang
digunakan adalah multi stage random sampling.
n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan
Seperti salah satunya di Pulau Sumbawa dengan asumsi prevalensi 50% (data
BBVet Denpasar 2013) dengan konfidensi 95%, eror 5%
n = 4 x 0,5 x (1- 0,5) 0,052
n = 4 x 0,5 x 0,5 0,0025n = 400, jadi di Pulau Sumbawa (NTB) sampel minimal yang diambil 400
sampel.Untuk di NTT dengan prevalensi 60% (data BBVet Denpasar 2013) minimal
pengambilan sampel 384 sampel (dibulatkan 400 sampel). Kegiatan ini juga
dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah
kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik
veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah
kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT.
Perlakuan SampelKegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak
sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan
berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di
Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon,
1999).
6
III. HASIL
Hasil Uji ElisaHasil Uji Elisa menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif mengandung
antibodi Anthrax di wilayah kerja BBVet Denpasar seperti dalam Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Hasil Uji ELISA Anthrax di Provinsi NTB
Kabupaten Kecamatan JumlahSampel
Positif AntibodiAnthrax
Pringarata 166 0Praya Tengah 34 0
Lombok Tengah
Jumlah 200 0Gerung 100 0Lombok Barat
Jumlah 100 0Aikmal 88 0Suralaga 92 0
Lombok Timur
Jumlah 180 0Sekar Bela 199 2 (1%)Ampenan 23 0Mataram 31 0
Mataram
Jumlah 253 0Brang Ene 103 0Sumbawa Barat
Jumlah 103 0Raba 59 50Asakota 45 22Mpunda 43 19
Kota Bima
Jumlah 147 91 (61,91%)Manggalewa 104 0Dompu 100 12
Dompu
Jumlah 204 12 (5,88%)TOTAL 1187 105
7
Tabel 2. Hasil Uji ELISA Anthrax di Provinsi NTT
Kabupaten Kecamatan JumlahSampel
Positif AntibodiAnthrax
Tasifeto Barat 48 0Raimanuk 71 0Tasifeto Timur 41 0Kakuluk Mesak 31 0Lasiolat 17 0
Belu
Jumlah 208 0Amanuban Selatan 100 0TTS
Jumlah 100 0Kota Lama 100 0Kota Kupang
Jumlah 100 0Sabu Barat 59 43Sabu Timur 23 16Sabu Tengah 55 43
Saburaijua
Jumlah 137 102 (74,45%)Nagawutung 20 0Lie Ape 10 0Buyasuri 13 0Omesuri 10 0Nubatukan 25 0Lembatukan 127 0Nagawutung 39 0
Lembata
Jumlah 244 0Alor Timur 54 0Alor
Jumlah 54 0Riung Barat 50 46Bajawa 10 3Golewa 193 44
Ngada
Jumlah 253 93 (36,76%)Rote Barat Daya 44 0Rotendao
Jumlah 44 0Sano Nggoang 62 41Komodo 53 19Lembor 19 7
ManggaraiBarat
Jumlah 134 67 (50%)Ruteng 50 36Wae Rii 24 9Langke 10 8
Manggarai
Jumlah 84 53 (63,10%)Larantuka 31 0Lewolema 36 0Titehena 156 3 (1,92%)
Flores Timur
Jumlah 223 0Talibura 100 0Sikka
Jumlah 100 0Walowa 230 75Nagekeo
Jumlah 230 75 (32,61%)
8
Surveilans Anthrax di NTT yang direncanakan sesuai dengan TOR di Kabupaten
Manggarai Timur namun tidak dilakukan di kabupaten tersebut karena ada
permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata sehubungan adanya
pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Flores merupakan daerah
endemis Anthrax, untuk deteksi dini kejadian Anthrax surveillans dialihkan ke
Kabupaten Lembata. Pengambilan sampel Anthrax diintegrasikan dengan
surveilans SE dan Brucellosis.
Pinupahar 34 34Pahungalodu 134 126Lewa 15 15Nggaha Ori Angu 17 17Matawai Lapawu 4 4Kaha Ungu Ety 24 24Haharu 35 35Kambera 46 45Karera 162 143Kanatang 5 5Umalulu 41 40Rindi 10 10Tabundung 15 15Ngadu Ngala 43 23Lewa Tidahu 5 5Wulla Waijelu 19 19Mahu 11 11Paberiwai 43 23
Sumba Timur
Jumlah 663 594 (89,59%)Wewewa Barat 18 9Kodi 59 58Kota Tambolaka 29 20Kodi Balaghar 8 6Kodi Bangedo 5 1Kodi Utara 53 43
Sumba BaratDaya
Jumlah 172 137 (79,65%)Lamboya Barat 11 4Wanukaka 68 28Tana Righu 21 11
Sumba Barat
Jumlah 100 43 (43%)TOTAL 2593 1167
9
Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan
dan sulit dijangkau serta keterbatasan dana yang ada, pengambilan sampel
dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan dinas
yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama
kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara
pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 3.780 sampel
serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.
IV. PEMBAHASAN
Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di kota Mataram (NTB), kecamatan
Sekarbela ada 2 sampel positif antibodi Anthrax yaitu sampel dari desa
Jempong baru, demikian pula sampel dari desa Kobasama, kecamatan
Titehena, kabupaten Flores Timur (NTT) hasil uji Elisa 3 sampel positif antibodi
Anthrax. Hasil penelusuran asal ternak tersebut, sesuai informasi dari Kepala
Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Kota Mataram dan Kabid Keswan
Flores Timur, bahwa banyak ada pemasukan ternak dari daerah luar kota
Mataram dan kabupaten Flores Timur yang kemungkinan ternak tersebut
sebelumnya sudah pernah divaksinasi Anthrax. Adanya positif antibodi ini perlu
mendapatkan perhatian khusus dari instansi terkait dalam pengambilan
kebijakan selanjutnya.
Hasil uji serologis dari sampel yang diambil menunjukan bahwa di Kota Bima,
Kabupaten Dompu, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, dan Sumba
Barat tersebut belum optimal (< 70%). Hal ini disebabkan karena cakupan
vaksinasi Anthrax di kabupaten/kota masih rendah sehingga tidak mampu
memberikan perlindungan terhadap kelompok ternak tersebut, sebagai contoh
informasi dari petugas Disnak Kabupaten Dompu cakupan vaksinasi Anthrax
pada bulan Juni – Juli 2014 dilanjutkan bulan September – Oktober 2014 hanya
38.143 ekor (40,88%) dari populasi target 93.294 ekor. Dari hasil tersebut diatas
menunjukan di Kabupaten Dompu hasil positif antibodi rendah hanya 5,88%.
Mengingat masih rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat
10
kekebalan ternak rentan menjadi rendah, sehingga kemungkinan terjadinya
wabah masih sangat besar terutama menjelang sampai akhir musim hujan.
Rendahnya cakupan vaksinasi selain akibat terbatasnya jumlah vaksin yang
tersedia juga belum optimalnya vaksinasi pada semua jenis ternak rentan
(terutama pada kambing), di daerah tertular dan sekitarnya. Berdasarkan
penelitian lapangan yang dilakukan pada sapi Bali di Kecamatan Janapria
Kabupaten Lombok Tengah di ketahui bahwa durasi kekebalan terhadap
Anthrax dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, sehingga dengan
demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun (Arsani, 2010
dikutif oleh Putra, dkk., 2011).
Hasil uji Elisa di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua
positif antibodi antibodi > 70%, menunjukan program vaksinasi cukup berhasil.
Di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Mataram, Lombok Timur,
Sumbawa Barat, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Kota Kupang, TTS dan
Belu tidak ditemukan titer antibodi positif hal ini disebabkan karena di kabupaten
tersebut sesuai informasi dari dinas peternakan atau dinas yang menangani
kesehatan hewan tidak melakukan vaksinasi Antharx, meskipun di Pulau
Lombok, Sumbawa, Flores dan Pulau Timor bagian barat dilaporkan pernah
terjadi kasus Anthrax. Dengan tidak dilakukan program vaksinasi anthrax di
daerah tersebut, hal ini perlu diwaspadai agar di daerah yang pernah tertular
tersebut tidak terjadi kasus Anthrax kembali, serta tetap memperketat
pengawasan lalu lintas ternak.
Secara umum kasus/wabah Anthrax biasanya terjadi pada akhir musim kemarau
dan berlanjut sampai musim hujan. Dengan harapan bahwa herd immunity
terhadap Anthrax telah terbentuk sekurang-kurangnya satu bulan dari waktu
munculnya kasus Anthrax, maka program vaksinasi sebaiknya dilakukan pada
bulan Juli – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya. Vaksinasi
dilakukan terhadap seluruh hewan peka dengan prioritas pada ternak yang ada
di desa tertular, kemudian dilanjutkan pada desa terancam sesuai dengan peta
distribusi penyakit (Putra, dkk., 2011)
11
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil surveilans dapat disimpulkan program vaksinasi pada ternak rentan
belum optimal mengingat titer antibodi positif masih rendah (kecuali Kabupaten
Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Saburaijua positif antibodi antibodi >
70%). Untuk itu vaksinasi pada semua ternak rentan perlu di tingkatkan dan
program vaksinasi tetap dilakukan secara berkesinambungan untuk
mempertahankan kekebalan pada ternak. Diperlukan program surveilans dan
monitoring pasca vaksinasi dan terorganisir dengan baik sehingga jumlah
sampel yang diuji lebih repersentatif sehingga datanya dapat dipergunakan
untuk pengambilan kebijakan selanjutnya. Perlu dilakukan pengawasan
terhadap lalu lintas ternak terutama dari wilayah endemis Anthrax sehingga
penyebaran Anthrax dapat ditekan.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan di Kabupaten
Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram, Sumbawa Barat,
Dompu, Kota Bima, Sikka, Ende, Ngada, Rotendao, Manggarai, Manggarai
Barat, Flores Timur, Lembata, Alor, Sabu Raijua, Kota Kupang, TTS, Belu,
Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Timur yang telah membantu
terselenggaranya surveilans ini.
2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan
tugas pelaksanaan surveilans ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anon (2008), OIE, Anthrax, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.
Anon (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Halaman 51- 55.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection inAnimals. Edited by Carton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa stateUniversity Press, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) Theapplication of ELISA to monitor the vaccinal respon of antraks vaccinatedruminants. Penyakit Hewan XXV : 46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks padahewan dan manusia di Indonesia. Prosiding Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua Bogor. Halaman:305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks diIndonesia : sampai dimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian danPengembangan Pertanian XV (2): 35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks padaburung unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. Dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan WabahPenyakit Anthrax pada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo,Kabupaten Bima. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusiadan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Anthrax di NusaTenggara, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewanbekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
13
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT BAKTERIALDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR
TAHUN 2014
I Ketut Narcana, A.A.Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAKS
Data kejadian penyakit SE di wilayah kerja (Provinsi Bali, NTB dan NTT) tidak pernah dilaporkan.Akan tetapi program vaksinasi SE masih tetap dilakukan di Provinsi Bali dan Provinsi NTT.Namun di Provinsi NTB program vaksinasi SE hanya di lakukan di Pulau Sumbawa sedangkandi Pulau Lombok tidak dilakukan vaksinasi. Surveilans serologis penyakit SE telah dilaksanakanuntuk mengetahui prevalensi antibodi SE di Provinsi Bali (8 Kabupaten dan 1 Kota Madya), NusaTenggara Barat ( Kabupaten Lombok Timur, Mataram, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima) danNusa Tenggara Timur (Kabupaten Belu, TTS, TTU, Kota Kupang, Saburaijua, Ngada, Lembata,Rotendao, Flores Timur, Sikka, Manggarai Barat, Manggarai, Sumba Barat Daya, Sumba Barat,dan Sumba Timur). Pengambilan serum sapi dilakukan secara acak untuk kemudian dilakukanpemeriksaan terhadap adanya antibodi SE dengan metoda ELISA. Di Pulau Lombok tetapdilakukan surveilans yang berkelanjutan dalam rangka memperoleh data akurat sebagi masukanpada instansi terkait dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.
Hasil pemeriksaan Elisa Antibodi SE sampel serum sapi yang berasal dari Pulau Bali, PulauSumbawa dan sampel diambil di Provinsi NTT menunjukkan positif terhadap antibodi SE <70%.Hasil ini menunjukan prevalensi antibodi SE di masing-masing kabupaten/kota umumnyarendah, kecuali Kota Bima Provinsi NTB dari 147 sampel sebanyak 113 (76,87%) positif antibodiSE (≥ 70%). Rendahnya titer antibodi kemungkinan disebabkan cakupan vaksinasinya rendah.Dari hasil ini dipandang perlu dikaji ulang tentang strategi vaksinasi SE di daerah endemik.
Secara umum dari hasil surveilans SE di Bali, NTT dan NTB (kecuali di Pulau Nusa Penida,Pulau Lombok dan Kota Bima) tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa program vaksinasi SEbelum optimal. Mengingat rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat kekebalankelompok ternak rentan menjadi rendah kemungkinan terjadinya kasus di lapangan sangatbesar. Untuk itu disarankan vaksinasi SE agar tetap dilakukan secara berkelanjutan dengancakupan yang lebih optimal serta tetap memperketat pengawasan lalu lintas ternak.
Kata Kunci : SE, Sapi, Kerbau, Bali, NTB, NTT, Elisa.
14
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPenyakit ngorok (Haemorrhagic Septicaemia) atau Septicaemia Epizootica
(SE) merupakan penyakit bakteri menular disebabkan oleh kuman Pasteurella
multosida yang menyerang ruminansia, khususnya hewan sapi dan kerbau (OIE
2008). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa Negara Asia dan Afrika
termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan terkadang mewabah
(Benkirane and Alwis, 2002) Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai
penyakit merugikan secara ekonomi. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktur
Jendral Peternakan, pada tahun 1973 melaporkan kerugian akibat SE di
Indonesia diperkirakan mencapai 5,4 miliyar rupiah.
Penanggulangan penyakit SE di Indonesia secara nasional dilakukan dengan
melakukan program vaksinasi massal. Sebagai contoh Pulau Lombok yang
secara rutin melakukan vaksinasi SE berturut - turut selama 3 tahun telah
berhasil menghilangkan kejadian kasus SE, dan telah dinyatakan bebas dari
penyakit SE (Sudana,G. dkk, 1982).
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
penyakit SE di wilayah kerja sebagai berikut :
a. Belum diketahuinya perkembangan penyakit SE di wilayah kerja
b. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di
wilayah kerja
c. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan
monitoring SE di wilayah kerja
d. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.
1.3. Tujuan Kegiatana. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit SE di wilayah
kerja
b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja
15
c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar
b. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatana. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit SE di wilayah
kerja
b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah
kerja
c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH
dan Kepala BBVet Denpasar
d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.5. Outputa. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit SE serta tingkat
kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi SE pada daerah
endemis di wilayah kerja;
b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;
c. Turunnya kejadian penyakit SE di wilayah kerja dan terciptanya
lingkungan peternakan yang bebas SE dan tersedianya produk hewan
yang bebas penyakit SE.
1.6. Out comea. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan penyakit
SE di wilayah kerja.
b. Terciptanya lingkungan ternak bebas SE di wilayah kerja.
16
II. MATERI DAN METODE
Pengambilan Serum
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan
dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak
melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Nusa Penida dan Lombok) teknik
sampling yang digunakan adalah multi stage random sampling. Seperti di NTB
dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dengan asumsi
prevalensi 0,5% (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000, maka
dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel metode detect disease
yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ;
n : adalah besaran sampel,
p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkan
d : adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan
N : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000
maka diperoleh; n = 598. Sehingga besaran sampel minimal 598 sampel.
Dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.
Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE dengan metode
mengukur aras (Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ / L2
n : adalah besaran sampel,
P : adalah tingkat prevalensi,
Q : adalah (1 – P) dan
L : adalah galat yang diinginkan
Seperti salah satunya di NTT dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40%
(data BBVet Denpasar 2013), dengan konfidensi 95%, eror 5%
n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052
n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025n = 384
17
Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel
(dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage
random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 3
kali, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT
besaran sampel yang diambil 400 sampel x 3 = 1.200 sampel. Kegiatan ini juga
dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah
kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik
veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah
kerja.
Perlakuan Sampel2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE
Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal
protektif pada masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked
immunosorbent assay ( ELISA ) SE BBVet Denpasar ( Anon, 1999).
2.2. Isolasi Pasteurella multocida
Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk
atau limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di
rumah potong hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH
sampel berupa swab trachea/nasopharynk, dari setiap kabupaten dipool
menjadi satu untuk kemudian di lakukan penanaman di media agar,
sesuai metode isolasi kuman Laboratorium Bakteri BBVet Denpasar
(Anon, 1999; Anon, 2008).
18
III. HASIL
Gambaran antibodi SE pada ternak sapi di seluruh kabupaten/kota di Bali
menunjukkan adanya variasi. Secara umum prevalensi antibodi SE di Bali
rendah < 50% ( Tabel 1)
Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL
JUMLAH POSITIFANTIBODI SE
Kediri 91 3Pupuan 50 10Selemadeg 32 0Baturiti 31 8
1 Tabanan
Jumlah 204 21 (10,29%)Mengwi 31 5Kuta Utara 50 11Abiansemal 95 0
2 Badung
Jumlah 176 16 (9,09%)Tembuku 63 1Bangli 25 2Susut 50 0Kintamani 205 15
3 Bangli
Jumlah 343 18 (5,25%)Denpasar Utara 42 4Denpasar Timur 41 0
4 Denpasar
Jumlah 83 4 (4,82%)Abang 60 0Karangasem 118 11Rendang 50 4Sidemen 87 4Manggis 91 29Kubu 24 0
5 Karangasem
Jumlah 430 48 (11,16%)Seririt 48 5Gerokgak 50 7Busungbiu 27 1Banjar 31 2Sawan 45 19Sukasada 21 0
6 Buleleng
Jumlah 222 34 (15,32%)Klungkung 65 0Banjarangkan 105 2Dawan 70 0
Jumlah 240 2 (0,83%)Nusa Penida 148 0
7 Klungkung
Jumlah 148 0
19
Pekutatan 357 228Melaya 48 1Negara 70 5Jembrana 113 9
8 Jembrana
Jumlah 588 243 (41,33%)Gianyar 43 39 Gianyar
Jumlah 43 3 (6,98%)TOTAL 2477 389
Tabel 2 .Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di bebrapaKabupaten Provinsi NTB
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL
JUMLAH POSITIFANTIBODI SE
Aikmal 88 0Suralaga 92 0
1 Lombok Timur
Jumlah 180 0Sekar Bela 132 0Ampenan 23 0
2 Mataram
Jumlah 155 0Raba 59 57Asakota 45 30Mpunda 43 26
3 Kota Bima
Jumlah 147 113 (76,87%)Brangene 103 24 Sumbawa Barat
Jumlah 103 2 (1,94%)Dompu 200 45Manggalewa 104 4
5 Dompu
Jumlah 304 49 (16,12%)889 164
20
Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di beberapaKabupaten Provinsi NTT
KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL
JUMLAH POSITIFANTIBODI SE
Amanuba Selatan 252 58TTSJumlah 252 58 (23,02%)
Biboki Utara 52 4Kota Kefa 97 39
TTU
Jumlah 149 43 (28,86%)Kota Lama 100 15Kota Kupang
Jumlah 100 15 (15%)Tasifeto Barat 48 3Raimanuk 71 3Tasifeto Timur 41 5Kakuluk Mesak 31 3Lasiolat 17 1
Belu
Jumlah 208 15 (7,21%)Sabu Barat 59 14Sabu Timur 23 6Sabu Tengah 55 19
Sabu Raijua
Jumlah 137 39 (28,46%)Riung Barat 50 3Bajawa 10 3Golewa 93 3Golewa Barat 100 16
Ngada
Jumlah 253 25 (9,88%)Nubatukan 25 1Lembatukan 120 7Nagawutung 39 0
Lembata
Jumlah 184 8 (4,35%)Rote Barat Daya 44 10Rotendao
Jumlah 44 10 (22,73%)Larantuka 31 0Lowolema 36 0Titehena 156 112
Flores Timur
Jumlah 223 112 (71,79%)Talibura 100 2Sikka
Jumlah 100 2 (2%)Sano Nggoang 134 29Manggarai
Barat Jumlah 134 29 (21,64%)Ruteng 84 4Manggarai
Jumlah 84 4 (4,76%)
21
Hasil isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau limfoglandula
retropharengea baik dari sapi dan kerbau tidak ditemukan kuman Pasteurella
multocida.
Surveilans SE di NTB yang direncanakan sesuai dengan TOR di Kabupaten :
Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Barat, Nagekeo dan Alor tidak bisa
terlaksana karena ada revisi anggaran/pemotongan anggaran dari pusat.
Sedangkan Surveilans SE di NTT yang direncanakan ke Kabupaten Manggarai
Timur, karena ada permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata
sehubungan adanya pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Flores
merupakan daerah yang belum pernah terjadi kasus SE, untuk deteksi dini
Pinupahar 34 10Pahungalodu 134 24Lewa 15 4Nggaha Ori Angu 17 5Matawai Lapawu 4 0Kaha Ungu Ety 24 4Haharu 35 13Kambera 46 14Karera 162 28Kanatang 5 3Umalulu 41 25Rindi 10 5Tabundung 15 6Ngadu Ngala 43 14Lewa Tidahu 5 1Wulla Waijelu 19 1Mahu 11 0Paberiwai 43 1
Sumba Timur
Jumlah 663 158 (23,83%)Wewewa Barat 18 0Kodi 59 15Kota Tambolaka 29 5Kodi Balaghar 8 1Kodi Bangedo 5 0
Sumba BaratDaya
Kodi Utara 53 9Jumlah 172 30 (17,44%)
Lamboya Barat 11 5Wanukaka 68 42Tana Righu 21 13
Sumba Barat
Jumlah 100 60 (60%)TOTAL 2803 496
22
kejadian SE surveillans dialihkan ke Kabupaten Lembata, serta pengambilan
sampel SE diintegrasikan dengan surveilans Anthrax dan Brucellosis.
Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan
dan sulit dijangkau serta keterbatasan dana yang ada, pengambilan sampel
dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan dinas
yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama
kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara
pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 6.169 sampel
serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.
IV. PEMBAHASAN
Data kejadian penyakit SE di wilayah kerja (Provinsi Bali, NTB dan NTT) selama
ini tidak pernah dilaporkan, hal ini belum tentu bisa mencerminkan situasi
dilapangan yang sebenarnya. Apakah memang benar tidak ada kasus atau ada
kasus namun tidak dilaporkan. Kalau dilihat dari hasil surveilans tahun 2014
menunjukan positif antibodi terhadap SE masih rendah (<70%). Hal ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya cakupan vaksinasi di
wilayah tersebut. Ada juga kemungkinan terjadi infeksi alam. Hal ini sulit
ditelusuri karena data vaksinasi pada masing-masing ternak sulit diperoleh.
Mengingat masih rendahnya mengakibatkan tingkat kekebalan ternak rentan
menjadi rendah, sehingga kemungkinan terjadinya kasus masih sangat besar.
Semakin tinggi prevalensi antibodi SE pada suatu kelompok ternak (Herd
Immunity) semakin kecil kemungkinan akan terjadinya wabah penyakit SE
(Sudana dkk., 1982).
Pada daerah yang melakukan vaksinasi SE namun hasil uji menunjukan positif
antibodi SE masih rendah (<70%), maka strategi vaksinasi di daerah endemik
perlu dikaji ulang. Menurut Sudana dkk., 1982 bahwa tinggi rendahnya
prevalensi antibodi SE disuatu kelompok ternak sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan cakupan vaksinasi yang dilakukan disuatu wilayah.
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum dari hasil surveilans SE di Pulau Nusa Penida kabupaten
Klungkung dan Pulau Lombok (Kabupaten Lombok Timur dan Kota Mataram)
memang tidak dilakukan program vaksinasi, mengingat Pulau Nusa Penida
dalam tahap program pemberantasan SE sedangkan pulau Lombok merupakan
pulau yang sudah bebas SE. Namun di Pulau Bali, Sumbawa, Flores, Timor
Sumba dan Pulau Sabu yang melakukan program vaksinasi hasil surveilans
tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa program vaksinasi SE belum optimal.
Mengingat rendahnya titer antibodi positif mengakibatkan tingkat kekebalan
kelompok ternak rentan menjadi rendah kemungkinan terjadinya kasus di
lapangan sangat besar. Untuk itu disarankan vaksinasi SE agar tetap dilakukan
secara berkelanjutan dengan cakupan yang optimal serta tetap memperketat
pengawasan lalu lintas ternak.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan kabupaten/kota
diseluruh Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan
tugas pelaksanaan surveilans ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Halaman 172-176.
Anonimus (2008), Haemorrhagic Septicaemia, OIE terrestrial manual 2008,chapter 2.4.12: 739-751.
Benkirane, A. And M.C.L. de Alwis (2002) Haemorrhagic Septicaemia, itsSignificance, Prevention and Control in Asia. Rev. Art. Vet. Med. Czech,47: 234-240.
Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982)Evaluasi II pilot proyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagicsepticaemia) di pulau lombok. Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewanwilayah VI Denpasar.
24
Putra A. A. G. (2002) Surveilans dalam rangka pembebasan penyakit ngorok diPulau Nusa Penida, Sumbawa dan Sumba. Suatu surveilans. LaporanBalai Penyidikan dan Pengujian Veteriner regional VI Denpasar.
Putra A. A. G. (1992) Monitoring zat kebal alami dan usaha isolasi Pasteurellamultocidapada sapi Bali di Pulau Lombok: Suatu surveilance. LaporanBPPH Wilayah VI Denpasar.
25
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2014
I Ketut Narcana, A.A. Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Bali, Lombok dan Sumbawa sudahdinyatakan bebas Brucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT belum ada daerah bebasBrucellosis dan di Kabupaaten Belu vaksinasi Brucellosis masih tetap dilaksanakan. Untuk tetapdapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis maka diperlukan surveilans yangberkelanjutan sebagai langkah deteksi dini dalam rangka memonitor kemungkinanmasuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut.
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan denganmenggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stagerandom sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan DinasPeternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasie Kesehatan Hewan,dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar diwilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPTsebagai uji skrining jika ada positif antibodi brucella kemudian dilanjutkan dengan uji CFT.
Hasil pengujian terhadap sampel serum di Provinsi Bali dari 9 kabupaten sebanyak 2.753sampel serum dan di Provinsi NTB sebanyak 1.514 sampel serum semua sampel negatifantibodi brucella. Sedangkan sampel serum di Provinsi NTT sebanyak 1.957 (7 sampel positifCFT dari 199 sampel serum yang diuji dari Kabupaten Belu dan 1 sampel positif CFT dari 97sampel serum yang diuji dari Kabupaten TTU). Hasil uji ini belum bisa membedakan positif dariinfeksi alam atau dari vaksinasi karena data vaksinasi dari masing-masing hewan tidak jelas.Sehingga disarankan data vaksinasi agar tercatat dengan jelas. Untuk dapat mempertahankanPulau Bali, Lombok dan Sumbawa tetap sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukanpengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dan surveilans yang berkelanjutan.
Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, Lombok, Sumbawa, Belu dan TTU.
26
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar BelakangBrucellosis merupakan salah satu dari penyakit hewan menular strategis di
Indonesia. Di Indonesia (secara serologis) dikenal pertama kali pada tahun 1935
yang ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Kuman Brucella abortus penyebab Brucellosis berhasil diisolasi pada tahun
1938. Pada tahun 1940 Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara
dan Aceh. Di Nusa Tenggara Timur, Brucellosis secara serologis pertama kali
dilaporkan/didiagnosa pada tahun 1986 (Putra, dkk 1995).
Saat ini kejadian Brucellosis secara serologis telah ditemukan di beberapa pulau
di Indonesia, kecuali Provinsi Bali yang dinyatakan bebas secara historis dan
Provinsi NTB yang telah berhasil dibebaskan melalui survei massal selama 3
tahun berturut-turut. Dari pengamatan perkembangan penyakit akhir-akhir ini,
kejadian Brucellosis di beberapa daerah di Indonesia cenderung semakin
meningkat baik dari segi jumlah (tingkat prevalensi atau insiden reaktor) maupun
dalam penyebarannya (distribusi), tentu hal ini sangat mengancam pertumbuhan
peternakan (sapi dan kerbau) (Putra, dkk, 2006). Brucellosis sudah dikenal
secara luas dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Putra,
2001). Pulau Lombok sudah dinyatakan bebas Brucellosis sejak tahun 2002 dan
Pulau Sumbawa tahun 2005. Untuk mempertahankan ketiga pulau tersebut
tetap sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukan surveilans yang
berkesinambungan, sebagai langkah deteksi dini.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur situasi Brucellosis berbeda antara satu pulau
dengan pulau lainnya, di pulau Timor terutama di Kabupaten Belu dan TTU
adalah merupakan daerah tertular berat Brucellosis di Pulau Timor. Prevalensi
reaktor Brucellosis yang sebenarnya di Kabupaten TTU dan Belu sangat sulit
digambarkan, sebab dikedua daerah ini telah dilakukan vaksinasi Brucellosis
sejak tahun 1993/1994 dengan menggunakan vaksin brucella Strain 19, untuk
hewan muda diberikan dosis penuh (full dose) sedangkan untuk dewasa
diberikan dosis yang diencerkan 1:40 dengan aquadest steril
(Soeharsono,1999). Dinas Peternakan Provinsi NTT pada tahun 2001
27
melaporkan telah terjadi penurunan prevalensi menjadi sekitar 4% di Kabupaten
TTU dan sekitar 9% di Kabupaten Belu (Anon, 2001). Kabupaten Timor Tengah
Selatan dan Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular ringan dengan
prevalensi reaktor kurang dari 2%.
Di Pulau Folres diketahui bahwa ada pemasukan ternak sapi yang berasal dari
Pulau Timor ke wilayah Kabupaten Ende dan Ngada. Berdasarkan catatan
Dinas Peternakan setempat, di Kabupaten Ende belum pernah terdeteksi
adanya reaktor Brucellosis. Dengan pemasukan sapi asal Pulau Timor ini
menimbulkan kekhawatiran akan adanya penyebaran Brucellosis ke wilayah ini.
Untuk itu pada tahun 2006 BPPV Regional VI Denpasar melakukan monitoring
awal terhadap kemungkinan adanya reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende,
dengan melakukan survei serologis pada ternak sapi. Dari 94 sampel serum
yang diambil di Kabupaten Ende ternyata 1 diantaranya positif sebagai reaktor
secara CFT, sapi tersebut diketahui berasal dari desa yang merupakan daerah
distribusi bantuan sapi asal Pulau Timor sebelumnya, untuk itu perlu dilakukan
surveilans lanjutan yang lebih intensif untuk mengetahui prevalensi reaktor yang
sebenarnya dan reaktor positif dapat dieliminasi dengan cepat sehingga
penyebaran penyakit yang lebih luas dapat dihindari sedini mungkin.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan Brucellosis
di wilayah kerja BBVet Denpasar sebagai berikut :
a. Belum diketahuinya perkembangan Brucellosis di wilayah kerja;
b. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di
Provinsi NTB harus dipertahankan serta membebaskan Provinsi NTT
(khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;
c. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan
monitoring Brucellosis di wilayah kerja;
d. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.
28
1.3. Tujuan Kegiatana. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Brucellosis di wilayah
kerja;
b. Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau
Lombok dan Sumbawa di Provinsi NTB serta mendukung pembebasan
Provinsi NTT (khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;
c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.4. Manfaat Kegiatana. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Brucellosis di wilayah
kerja;
b. Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan
Sumbawa di Provinsi NTB serta terdeklarasikannya pembebasan
Provinsi NTT (khususnya Pulau Sumba) dari Brucellosis;
c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
1.5. Outputa. Termonitor dan terpetakannya kejadian Brucellosis di wilayah kerja;
b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;
c. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di
Provinsi NTB tetap terjaga serta pembebasan Provinsi NTT (khususnya
Pulau Sumba) dari Brucellosis dapat terealisasi sesuai rencana.
29
1.6. Outcomea. Tersedianya data yang lengkap untuk kepentingan pemetaan situasi
Brucellosis di wilayah kerja
b. Tetap terjaganya status bebas Brucellosis di Pulau Bali, Lombok dan
Sumbawa sehingga akan meningkatkan pendapatan petani ternak.
II. MATERI DAN METODE
Pengambilan Serum
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis
dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling
yang digunakan adalah multi stage random sampling. Tingkat kepercayaan yang
digunakan adalah 95 %, dengan asumsi prevalensi 0,1 %, populasi lebih dari
10.000 maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel metode
detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan
keterangan sebagai berikut ;
n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000maka diperoleh= 2995, sehingga besaran sampel minimal 2995 sampel.
Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan,
dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner puskeswan yang
tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
30
Perlakuan SampelKegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak
sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan
berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian sampel serum diuji
terhadap Brucellosis dengan uji RBPT apabila positif kemudian dilanjutkan
dengan uji Complement Fixation Test (CFT) di Laboratorium Bakteriologi Balai
Besar Veteriner Denpasar (IKP-Bak No 1; Anon, 1999, OIE ,2009).
III. HASIL
Hasil Uji SerologisHasil Uji serologis RBPT dan CFT di wilayah kerja BBVet Denpasar seperti pada
Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi BaliNO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH
SAMPELHASIL UJI
RBPT
Kediri 31 NegatifPenebel 25 NegatifSelemadeg 52 NegatifSelemadeg Barat 31 NegatifPupuan 50 NegatifBaturiti 54 Negatif
1 Tabanan
Jumlah 243 NegatifKintamani 237 NegatifTembuku 70 NegatifBangli 80 Negatif
2 Bangli
Jumlah 387 NegatifBebandem 49 NegatifAbang 20 NegatifRendang 56 NegatifKubu 24 NegatifManggis 91 NegatifKarangasem 98 Negatif
3 Karangasem
Jumlah 338 NegatifSeririt 20 NegatifTejakula 60 NegatifGerokgak 70 NegatifBuleleng 27 NegatifBanjar 31 NegatifBusungbiu 27 NegatifKubutambahan 21 NegatifSukasada 21 Negatif
4 Buleleng
Jumlah 277 Negatif
31
Banjarangkan 91 NegatifNusa Penida 51 NegatifKlungkung 141 NegatifDawan 51 Negatif
5 Klungkung
Jumlah 334 NegatifMelaya 69 NegatifMendoyo 67 NegatifNegara 73 NegatifJembrana 82 NegatifPekutatan 360 Negatif
6 Jembrana
Jumlah 651 NegatifBelahbatuh 15 NegatifPayangan 22 NegatifGianyar 31 NegatifTegalalang 18 Negatif
7 Gianyar
Jumlah 86 NegatifMengwi 206 NegatifPetang 24 NegatifAbiansemal 105 NegatifKuta Utara 50 Negatif
8 Badung
Jumlah 385 NegatifDenpasar Timur 11 NegatifDenpasar Utara 41 Negatif
9 Denpasar
Jumlah 52 NegatifTotal 2753 Negatif
Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB
KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL
HASIL UJIRBPT
Pringarata 166 NegatifPraya Tengah 34 Negatif
Lombok Tengah
Jumlah 200 NegatifGerung 100 NegatifLombok Barat
Junlah 100 NegatifAikmal 191 NegatifSuralaga 92 Negatif
Lombok Timur
Jumlah 283 NegatifSekar Bela 199 NegatifAmpenan 23 NegatifSundubaya 24 NegatifMataram 31 Negatif
Mataram
Jumlah 277 NegatifLunyuk 100 NegatifSumbawa Besar
Jumlah 100 NegatifBrang Ene 103 NegatifSumbawa Barat
Jumlah 103 NegatifManggalewa 123 NegatifDompu 100 NegatifWoja 33 NegatifPajo 48 Negatif
Dompu
Jumlah 304 Negatif
32
Raba 59 NegatifAsakota 45 NegatifMpunda 43 Negatif
Kota Bima
Jumlah 147 NegatifTotal 1514 Negatif
Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT
HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL RBPT CFT
Tasifeto Barat 48 4 (positif) 4 (positif)Raimanuk 70 1 (positif) 1 (positif)Tasifeto Timur 41 2 (positif) 2 (positif)Kakuluk Mesak 31 Negatif NegatifLasiolat 17 Negatif Negatif
Belu
Jumlah 199 7 (positif) 7 (positif)Kota Kefa 97 1 (positif) 1 (positif)TTU
Jumlah 97 1 (positif) 1 (positif)Amanuban Selatan 100 Negatif NegatifSalbait 152 Negatif Negatif
TTS
Jumlah 252 Negatif NegatifKota Lama 100 Negatif NegatifKota Kupang
Jumlah 100 Negatif NegatifNubatukan 25 Negatif NegatifLembatukan 127 Negatif NegatifNagawutung 39 Negatif Negatif
Lembata
Jumlah 191 Negatif NegatifSabu Barat 59 Negatif NegatifSabu Timur 23 Negatif NegatifSabu Tengah 55 Negatif Negatif
Saburaijua
Jumlah 137 Negatif NegatifAlor Timur 54 Negatif NegatifAlor
Jumlah 54 Negatif NegatifLarantuka 31 Negatif NegatifLewolema 36 Negatif NegatifTitehena 156 Negatif Negatif
Flores Timur
Jumlah 223 Negatif NegatifTalibura 100 Negatif NegatifSikka
Jumlah 100 Negatif NegatifRote Barat Daya 44 Negatif NegatifRotendao
Jumlah 44 Negatif NegatifRiung Barat 50 Negatif NegatifBajawa 10 Negatif NegatifGolewa 50 Negatif NegatifGolewa Barat 193 Negatif Negatif
Ngada
Jumlah 303 Negatif NegatifWolowa 130 Negatif NegatifNagekeo
Jumlah 130 Negatif Negatif
33
Surveilans Brucellosis di NTT yang direncanakan sesuai dengan TOR di
Kabupaten Manggarai Timur namun tidak dilakukan di kabupaten tersebut
karena ada permintaan dari dinas terkait di Kabupaten Lembata sehubungan
adanya pemasukan sapi dari Pulau Flores. Mengingat Pulau Lembata belum
pernah terdeteksi Brucellosis, untuk deteksi dini kejadian Brucellosis surveilans
dialihkan ke Kabupaten Lembata. Pengambilan sampel Brucellosis
diintegrasikan dengan surveilans Anthrax dan SE.
Secara goegrafis wilayah kerja BBVet Denpasar terdiri dari daerah perbukitan
dan sulit dijangkau serta dengan keterbatasan dana yang ada, pengambilan
sampel dilapangan dilakukan dengan cara kerjasama BBVet Denpasar dengan
dinas yang menangani kesehatan hewan di masing-masing kabupaten terutama
kerjasama dengan Puskeswan di masing-masing wilayah. Dengan cara
pengambilan sampel seperti ini sampel yang diambil sebanyak 6.347 sampel
serum sudah sesuai dengan target sampel yang ditetapkan.
Sanonggoang 34 Negatif NegatifKomodo 53 Negatif NegatifWelak 28 Negatif NegatifLembor 19 Negatif Negatif
Manggarai Barat
Jumlah 134 Negatif NegatifRuteng 50 Negatif NegatifWae Rii 24 Negatif NegatifLangke 10 Negatif Negatif
Manggarai
Jumlah 84 Negatif NegatifKambera 32 Negatif NegatifSumba Timur
Jumlah 32 Negatif NegatifTotal 2.080 8 (positif) 8 (positif)
34
IV. PEMBAHASAN
Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok,
berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal
selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa
pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama (Putra,dkk.,
2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu pembebasan telah
dimusnahkan atau di potong paksa.
Hasil monitoring Brucellosis tahun 2014 di Provinsi Bali dari 2.753 sampel serum
menunjukan negatif antibodi brucella. Demikan halnya untuk Provinsi Nusa
Tenggara Barat, menunjukkan bahwa dari 1.514 sampel serum yang diuji
berasal dari Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif
mengandung antibodi brucella. Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini
Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari Brucellosis.
Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Belu sebanyak 7 (3,5%) sampel positif CFT dari
199 sampel serum yang diuji. Dari hasil pengujian di kabupaten tersebut ada
positif CFT namun tidak bisa dibedakan positif dari infeksi alam atau dari
vaksinasi, karena data vaksinasi dari masing-masing ternak tidak jelas. Di
Kabupaten TTU tidak melakukan vaksinasi brucella hasilnya 1 sampel positif
CFT sudah dilakukan test and slaughter. Sedangkan di TTS, Kota Kupang,
Lembata, Sabu Raijua, Alor, Flores Timur, Sikka, Rotendao, Ngada, Nagekeo,
Manggarai Barat, dan Manggarai yang tidak melakukan vaksinasi hasilnya
menunjukan negatif antibodi brucella. Namun demikian, perlu tetap waspada
mengingat hasil surveilans BPPV Regional VI Denpasar tahun 2006 dari 94
sampel serum 1 sampel serum sapi diantaranya positif sebagai reaktor secara
CFT, sapi tersebut diketahui berasal dari desa yang merupakan daerah distribusi
bantuan sapi asal Pulau Timor sebelumnya (Dartini, dkk 2007).
35
Untuk mempertahankan status bebas suatu wilayah perlu dilakukan surveilans
secara berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif guna
mengetahui sedini mungkin apabila masih ada Brucellosis, serta memperketat
lalu lintas ternak.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil surveilans yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil uji
terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat
menunjukan negatif antibodi brucella, hal ini mengindikasikan bahwa sampai
saat ini Provinsi Bali dan NTB masih bebas dari Brucellosis. Untuk dapat
mempertahankan sebagai daerah bebas Brucellosis, maka diperlukan
pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dan surveilans yang
berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif sebagai langkah deteksi
dini dalam rangka memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di
wilayah tersebut sehingga ada acuan oleh instansi terkait dalam mengambil
kebijakan.
Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Belu sebanyak 7 (3,5%) sampel positif CFT dari
199 sampel serum yang diuji. Dari hasil pengujian di kabupaten tersebut ada
positif CFT namun tidak bisa dibedakan apakah positif dari infeksi alam atau dari
vaksinasi. Sedangkan di TTS, Kota Kupang, Lembata, Sabu Raijua, Alor, Flores
Timur, Sikka, Rotendao, Ngada, Nagekeo, Manggarai Barat, dan Manggarai
tidak ditemukan reaktor Brucellosis. Guna menghindari penyebaran yang lebih
luas, pada daerah tertular perlu dilakukan pegawasan terhadap lalulintas ternak
terutama untuk ternak bibit.
Ucapan terimakasih ditujukan kepada :1. Dinas peternakan atau dinas yang menangani peternakan Provinsi Bali,
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah
membantu terselanggaranya surveilans ini.
2. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas penyediaan dana dan arahan
tugas pelaksanaan surveilans ini.
36
DAFTAR PUSTAKA
Anon (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Halaman 59-84.
Anon (2001), Evaluasi Pemberantasan Brucellosis di pulau Timor Propinsi NusaTengga Timur tahun 2000. Dinas Peternakan Propinsi Nusa tenggaraTimur.
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di KabupatenEnde dan Kabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikandan Pengujian Veteriner regional VI Denpasar.
OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995).Prevalensi dan Distribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggarapada Tahun1994 – 1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosisterhadap pendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekananpada Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B.,(2006). Evaluasi akhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau diPulau Sumbawa, Bulletin Veteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol.XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
Soeharsono (1999) Laporan monitoring hasil vaksinasi brucellosismenggunakan dosis penuh dan dosis yang diencerkan di KabupatenBelu, NTT.
37
PROGRAM PEMBERANTASAN BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2014
I Ketut Narcana, A.A. Semara Putra, Mutawadiah, Cok Kresna A.,Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini, belum ada wilayah yang dinyatakansebagai daerah bebas Brucellosis. Namun di Pulau Sumba dilihat dari prevalensi reaktorBrucellosis masih rendah di bawah 1%, memiliki potensi yang cukup besar terhadap kemungkinanbebas dari Brucellosis. Tiindakan pemberantasan merupakan upaya terbaik sebelum berkembangmenjadi yang lebih besar. Dalam rangka program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumbamaka pada tahun 2014 dilakukan surveilans pengambilan dan pengujian sampel serum sapi/kerbauumur 1 tahun atau lebih, diuji secara serologis untuk mendapatkan data prevalensi reaktor yanglebih akurat. Dengan lokasi pengambilan sampel diutamakan di desa yang belum diambil dandiuji sampelnya di tahun 2012 dan 2013 sebanyak 80 desa. Kegiatan ini juga dikoordinasikandengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/KasiKesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner puskeswan yangtersebar di wilayah kerja khususnya di Pulau Sumba Provinsi NTT. Sampel serum diuji secaraRBPT sebagai uji skrining jika ada positif antibodi brucella kemudian dilanjutkan dengan uji CFT.Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebihtelah diperiksa serumnya menunjukan hasil negatif antibodi terhadap Brucella abortus. Seluruhserum diambil di dari 425 jumlah desa yang ada di Pulau Sumba telah diperiksa dan semua desadalam status monitoring negatif. Selama pengambilan sampel serum dilaksanakan tidakditemukan adanya hewan yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan datakeseluruhan dengan hasil pengujian sampel serum negatif antibodi brucella maka Pulau Sumbasangat memungkinkan untuk dibebaskan dari Brucellosis. Mengingat telah memenuhipersyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggi-tingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis
Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.
38
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar BelakangPulau Sumba dengan luas wilayah 10.710 km2, saat ini terbagi menjadi empat
kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya (11 kecamatan, 131 desa),
Sumba Barat (6 kecamatan, 73 desa), Sumba Tengah (5 kecamatan, 65 desa)
dan Sumba Timur (22 kecamatan, 159 desa). Di Pulau Sumba pertama kali
dilaporkan kejadian brucellosis pada tahun 1996 positif pada uji RBT,
selanjutnya positif pada uji CFT pada tahun 1997 yaitu di Kabupaten Sumba
Timur ( Putra, dkk.,1997).
Pulau Sumba memiliki potensi yang cukup besar terhadap kemungkinan bebas
dari Brucellosis dilihat dari prevalensi reaktor Brucellosis masih rendah di bawah
1%, tindakan pemberantasan merupakan upaya terbaik sebelum berkembang
menjadi yang lebih besar. Menurut Putra, dkk 2002, arah pembrantasan
sebaiknya bertumpu pada desa dengan memandang jumlah ternak (sapi/kerbau)
yang ada di suatu desa sebagai satu kawanan ternak (herd) atau satu unit
epidemiologi. Keberhasilan dari program pembrantasan, selanjutnya dapat
dievaluasi berdasarkan penetapan status desa, yang dibedakan menjadi 9 status
desa. Klasifikasi status desa ini akan sangat bermanfaat sebagai tolak ukur dalam
penilaian kemajuan program pemberantasan. Demikian halnya dalam
pembrantasan Brucellosis di Pulau Sumba mengacu pada pola pembrantasan
Brucellosis di Pulau Lombok. Dalam rangka program pemberantasan Brucellosis
di Pulau Sumba maka pada tahun 2014 dilakukan surveilans pengambilan dan
pengujian sampel serum sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih, diuji secara
serologis untuk mendapatkan data prevalensi reaktor yang lebih akurat.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan Brucellosis
di Pulau Sumba sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya perkembangan terakhir Brucellosis di Pulau Sumba,
NTT;
2. Walaupun prevalensi Brucellosis cendrung menurun di pulau Sumba namun
pernah terdeteksi adanya reaktor pada tahun 1997 (RBPT), tahun 2002 di
39
Sumba Timur (CFT), 2009 di Sumba Barat (CFT), di Sumba Timur 2011
(RBPT) dan di Sumba Tengah 2012 (RBPT) tetapi negatif CFT berdasarkan
uji BBVet Denpasar.
3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka pemberantasan
Brucellosis di Pulau Sumba, NTT;
4. Belum terbinanya Puskeswan di Pulau Sumba, NTT secara intensif.
1.3. Tujuan Kegiatan1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian terbaru Brucellosis di Pulau
Sumba, Nusa Tenggara Timur;
2. Memberantas Brucellosis di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur;
3. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
4. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Pulau
Sumba, Nusa Tenggara Timur.
1.4. Manfaat Kegiatan1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Brucellosis di Pulau Sumba,
Nusa Tenggara Timur;
2. Terberantasnya Brucellosis di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur;
3. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
4. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
1.5. Output1. Termonitor dan terpetakannya kejadian Brucellosis di Pulau Sumba;
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Pulau Sumba,
NTT;
40
3. Terdeklarasikannya Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis serta
terciptanya lingkungan peternakan dan tersedianya produk hewan yang
bebas Brucellosis.
1.6. Out come1. Tersedianya data yang lengkap untuk kepentingan pemetaan situasi
Brucellosis di Pulau Sumba.
2. Bebasnya Pulau Sumba dari Brucellosis.
II MATERI DAN METODE
MateriDalam pelaksanaan program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba pada
tahun 2014 dilakukan pengambilan sampel serum sapi/kerbau dan diuji secara
serologis untuk mendapatkan data prevalensi yang lebih akurat. Sampel serum
dipisahkan dari klotnya, selanjutnya diuji terhadap antibodi Bucella abortus
dengan uji Rose Bengal Plate Test (RBPT), bila positif RBPT dilanjutkan dengan
uji Complement Fixation Test (CFT) (Alton et al., 1986).
MetodeProgram pemberantasan yang diterapkan di Pulau Sumba adalah test and
slaughter karena prevalensi < 2 % sesuai OIE. Surveilans dilakukan dengan
mengambil spesimen serum dari sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun. Spesimen
serum diuji secara bertahap yaitu uji RBPT sebagai uji pendahuluan/screening
dan apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan uji CFT
(Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan sebagai
reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi oleh
petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil kemudian
dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi bakteri
Brucella abortus.
41
Pengambilan serum dilakukan pada seluruh populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1
tahun. Unit pengamatan yang digunakan adalah desa. Jadi pengambilan serum
dilakukan di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba. Pada tahun 2014 lokasi
pengambilan sampel diutamakan di desa yang belum diambil dan diuji
sampelnya di tahun 2012 dan 2013 yaitu sebanyak 80 desa. Apabila ditemukan
reaktor di suatu desa, maka di seluruh populasi sapi dan kerbau ≥ 1 tahun di
desa tersebut dilakukan pengambilan ulang sampel serum dan diuji kembali
untuk meyakinkan bahwa tidak ada lagi reaktor di desa tersebut. Pengambilan
sampel serum juga dilakukan di desa terdekat dengan desa tertular dan di desa
lainnya yang dicurigai merupakan desa lokasi penyebaran sapi bibit yang
berasal dari desa tertular. Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh
Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi
Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner
puskeswan yang tersebar di wilayah kerja khususnya di Pulau Sumba Provinsi
NTT.
42
III. HASIL
Hasil Uji SerologisSejak hasil uji CFT positif di Pulau Sumba survei/monitoring terus dilakukan
sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada tahun 2012,
2013 dan 2014 (data hasil uji terinci dalam lampiran 1 dan 2). Dalam rangka
program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba telah dilakukan pengambilan
sampel serum sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih, diuji secara serologis untuk
mendapatkan data prevalensi reaktor yang lebih akurat. Pada tahap kedua
program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba tahun 2014 rencananya
dilakukan pengambilan spesimen sebanyak 5.400 spesimen. Namun demikian,
jumlah spesimen yang dapat diambil secara keseluruhan 6.928 spesimen (Tabel
1). Hasil pengujian menunjukan bahwa 1 (satu) spesimen dari Sumba Barat
positif dengan uji RBT tetapi setelah dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya
negatif. Di bulan Mei tahun 2014 telah dilakukan penelusuran kembali di desa
tertular (positif CFT di desa Patawang) dengan pengambilan 41 spesimen serum
sapi dan semuanya negatif antibodi brucella.
Tabel 1. Hasil Surveillans Brucellosis Pulau Sumba Tahun 2014
Jumlah Spesimen Sapi/kerbau ≥ 1 thnPelaksanaKerbau
BtnKerbau
JtnSapiBtn
Sapi JtnTotal Hasil Uji
Disnak Sumba Barat Daya 826 318 70 19 1233 NegatifDisnak Sumba Barat 526 0 37 0 563 NegatifDisnak Sumba Tengah 292 87 123 38 540 NegatifDisnak Sumba Timur 1170 483 1315 570 3538 NegatifKontrol BB-Vet Denpasar 127 156 135 48 466 NegatifPemantauanKarantina Kupang 335 140 66 47 588 1 (+) RBT,
(-) CFTJumlah 3276 1184 1746 722 6928Total 4460 2468
43
Tabel 1a. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun2014
Jumlah SampelKecamatanDisnak
Sumba Barat DayaBB-Vet
DenpasarBPK
Kelas IKupang
TotalHasil UjiRBPT
Kodi 107 59 12 178 NegatifKodi Utara 193 33 0 226 NegatifKodi Blaghar 262 0 0 262 NegatifKodi Bangedo 60 0 0 60 NegatifKota Tambolaka 289 0 41 330 NegatifLaura 33 0 0 33 NegatifWewewa Tengah 0 130 0 130 NegatifWewewa Timur 0 1 0 1 NegatifWewewa Barat 289 0 0 289 NegatifWewewa Selatan 0 0 97 97 NegatifWewewa Utara 0 0 0 0 Negatif
Jumlah 1233 223 150 1606 Negatif
Tabel 1b. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Barat Tahun 2014
Jumlah Sampel Hasil UjiKecamatanDisnakSumbaBarat
BB-VetDenpasar
BPK Kelas IKupang
Total RBT CFT
Kota Waiakabubak 80 0 0 80 Negatif NegatifLoli 106 0 153 259 Positif 1 NegatifTana Righu 85 0 0 85 Negatif NegatifLamboya 100 0 0 100 Negatif NegatifLamboya Barat 112 0 0 112 Negatif NegatifWanokaka 80 0 0 80 Negatif NegatifJumlah 563 0 153 716 Negatif Negatif
Tabel 1c. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Tengah Tahun 2014
Jumlah SampelKecamatanDisnak
Sumba TengahBB-Vet
DenpasarBPK Kelas I
KupangTotal
Hasil UjiRBPT
Katikutana 70 0 0 70 NegatifKatikutana Selatan 180 0 0 180 NegatifMamboro 90 0 154 244 NegatifUmbu Ratu Ngae Barat 50 0 0 50 NegatifUmbu Ratu Ngae 150 0 0 150 NegatifJumlah 540 0 154 694 Negatif
44
Tabel 1d. Hasil Uji RBPT Serum dari Kabupaten Sumba Timur Tahun 2014
Jumlah SampelKecamatan Disnak
Sumba TimurBB-Vet
DenpasarBPK Kelas I
KupangTotal Hasil Uji
RBPT
Matawai La Pawu 46 0 0 46 NegatifPandawai 0 0 0 0 NegatifHaharu 369 0 0 369 NegatifKahaungu Ety 240 0 0 240 NegatifKatala Hamu Lingu 62 0 0 62 NegatifKambata Mapambuhang 0 0 0 0 NegatifKanatang 50 0 0 50 NegatifLewa 150 0 0 150 NegatifUmalulu 0 41 0 41 NegatifNgadu Ngala 83 0 0 83 NegatifRindi 100 0 0 100 NegatifPinupahar 350 0 0 350 NegatifNggaha Ori Angu 186 0 0 186 NegatifKarera 331 0 131 462 NegatifLewa Tidahu 55 0 0 55 NegatifTabundung 200 0 0 200 NegatifKambera 216 0 0 216 NegatifKota Waingapu 230 0 0 230 NegatifPahunga Lodu 250 110 0 360 NegatifWulla Waijellu 200 0 0 200 NegatifMahu 143 0 0 143 NegatifPaberiwai 277 92 0 369 NegatifJumlah 3538 243 131 3912 Negatif
Data Status Desa di Pulau SumbaDari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa
yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan 1 reaktor Brucellosis, yaitu
di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan
dikategorikan sebagai desa tertular. Tahun 2014 telah dilakukan penelusuran
pada desa tertular tersebut dan hasilnya negatif, sehingga bisa dikategorikan
sebagai desa monitoring negatif.
Hasil surveillans terstruktur program pemberantasan Brucellosis dari tahu 2012
sampai bulan Juli tahun 2014 seluruh desa yang ada di Pulau Sumba (426 desa)
telah diperiksa, dengan kategorikan sebagai desa monitoring negatif 187 dan
desa sebagai desa uji masal negatif 239 desa (Tabel 2).
45
Tabel 2. Data Status Desa-Desa di Pulau Sumba terhadap Brucellosis
KabupatenNo Satus Desa Sumba
Barat DayaSumbaBarat
SumbaTengah
SumbaTimur
JumlahTotal
1 Belum Diperiksa2 Dicurigai3 Historis Bebas4 Uji Masal Negatif 67 55 41 76 2395 Monitoring Negatif 64 19 24 80 1876 Tertular7 Karantina8 Bebas sementara9 Dinyatakan bebas
Jumlah 131 74 65 156 426
Hasil Pengamatan Gejala Klinis BrucellosisBerdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan
petugas surveillans BBVet Denpasar selama program pemberantasan tidak
ditemukan adanya gejala klinis yang mengarah ke Brucellosis, seperti
keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun
gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.
Vaksinasi BrucellosisSesuai ketentuan OIE, dimana daerah prevalensi diatas 2% dilakukan program
vaksinasi dan prevalensi di bawah 2% dilakukan test and slaughter. Mengingat
prevalensi Brucellosis di Pulau Sumba rendah dibawah 2%, sehingga
pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba diterapkan test and slaughter dan
di Pulau Sumba tidak pernah dilakukan program vaksinasi Brucellosis.
46
IV. PEMBAHASAN
Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012
selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan
pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah
desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba (lampiran 1). Hasil uji spesimen
tahun 2012 terhadap 3.165 spesimen, masing-masing berasal dari, Kabupaten
Sumba Barat Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba
Barat sebanyak 813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah
sebanyak 843 spesimen (dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan
dengan uji CFT hasilnya negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen,
hasilnya negatif RBPT. Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan
program pembebasan Brucellosis selanjutnya di tahun 2013.
Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi
dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun sebanyak 49.571, terdiri dari 47.021
spesimen yang diambil oleh Disnak se kabupaten di Pulau Sumba dan 2.550
spesimen yang diambil oleh BBVet Denpasar, dengan hasil pengujian semuanya
negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di 346 desa
dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina Pertanian
Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian spesimen untuk
Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu spesimen diantaranya
positif antibodi Brucellosis secara CFT. Berdasarkan hasil tersebut, maka
BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan lokasi pengambilan
spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP Kelas I Kupang dan
Dinas peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran tersebut diketahui
bahwa spesimen tersebut diambil dari Desa Patawang, Kecamatan Umalulu,
Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut BB-Vet Denpasar, Disnak
Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan penelusuran kembali dengan
pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa Petawang dan desa-desa yang
kemungkinan pernah menerima ternak dari Desa Petawang, yakni Desa
Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa Hanggororu Kecamatan Rindi dan
Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota Waingapu. Dari 233 sampel yang
diambil, hasilnya semua negatif sebagai reaktor. Untuk klarifikasi terhadap
47
status desa tersebut, maka pada tahun 2014 dilakukan pengambilan spesimen
kembali di lokasi ditemukan CFT tersebut.
Pada tahap kedua tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan
spesimen di 80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang
bersetatus monitoring negatif serta pengambilan spesimen di 1 desa tertular
(lokasi positif CFT hasil uji tahun 2013). Adapun hasil penelusuran di lokasi
positif CFT, pada tahun 2014 diambil dan diperiksa spesimen dengan hasil uji
RBT negatif. Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928
(sapi/kerbau) spesimen menunjukan 1 spesimen dari Sumba Barat positif RBPT
namun dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya negatif. Sedangkan spesimen yang
lainnya menunjukan hasil yang negatif.
Berdasarkan penilaian status desa (data per Juli 2014) dapat disimpulkan
sebagai berikut, dari 426 desa yang ada di pulau Sumba : 187 (43,90%) desa
dengan status monitoring negatif, 239 (56,10%) sebagai desa dengan uji massal
negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.
Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se-Pulau Sumba dan hasil pengamatan
petugas surveillans BBVet Denpasar selama program pemberantasan tidak
ditemukan adanya gejala klinis yang mengarah ke Brucellosis, seperti
keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun
gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis. Pengawasan lalu lintas ternak dari
satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba perlu dilakukan secara ketat, hal ini
dilakukan untuk mempertahankan status desa yang sudah diketahui, mengingat
antara desa yang satu dengan desa yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam
satu daratan yang lalu lintas ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan
pengawasan. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius,
untuk hal tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan
setelah Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.
48
Penetapan status desa, sebagian desa dengan status uji massal negatif sudah
merupakan desa bebas Brucellosis karena banyak dari desa tersebut sudah diuji
massal lebih dari sekali. Kurang akuratnya data populasi ternak antar waktu
pengambilan sampel, menjadi salah satu kendala yang dapat membuat kurang
akuratnya penilaian status desa apakah tergolong sebagai desa dengan status
uji massal negatif atau monitoring negatif. Hal tersebut menyebabkan pengertian
massal dapat saja tidak konsisten pelaksanaannya pada berbagai kondisi
lapangan. Walaupun demikian pengambilan sampel darah di setiap desa
setidak-tidaknya sudah dapat memenuhi tingkat kepercayaan 95%, sehingga
dapat dikatakan mewakili populasi ternak yang ada di setiap desa.
Berdasarkan hasil data pengambilan dan pengujian spesimen secara terstruktur
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, secara keseluruhan jumlah
spesimen yang diambil oleh BBVet Denpasar, Dinas Peternakan se-Pulau
Sumba dan BKP Kelas I Kupang adalah sebanyak 60.809 spesimen, dengan
hasil uji seluruh spesimen negatif. Sesuai ketentuan OIE (Chapter 11.3 of the
OIE Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines (OIE, 2009), bahwa
negara/wilayah yang dikategorikan sebagai daerah bebas Brucellosis jika telah
memenuhi persyaratan antara lain :
1. Brucellosis atau yang dicurigai Brucellosis wajib dilaporkan.
2. Seluruh ternak disuatu wilayah dibawah pengawasan petugas yang
berwenang dan prevalensi reaktor tidak lebih dari 0,2%.
3. Uji serologis dilakukan secara berkala dalam setiap kelompok ternak.
4. Semua reaktor sudah dipotong.
5. Pemasukan ternak baru hanya berasal dari daerah bebas Brucellosis.
Mengacu pada persyaratan tersebut diatas, maka Pulau Sumba sudah
memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi pulau bebas Brucellosis khususnya
pada sapi dan kerbau. Untuk dapat tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas
Brucellosis diperlukan komitmen yang kuat dari semua instansi terkait, dan
tertuang dalam regulasi yang jelas.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanBerdasarkan hasil pengujian Brucellosis tahun 2012 – 2014 di Pulau Sumba
dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Prevalensi reaktor Brucellosis di Pulau Sumba adalah 0%.
2. Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 (43,90%) desa
dengan status monitoring negatif, 239 (56,10%) sebagai desa dengan uji
massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.
3. Pulau Sumba yang terdiri dari Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat,
Sumba Tengah dan Sumba Timur dapat diusulkan sebagai pulau bebas
Brucellosis.
Saran-Saran1. Langkah pembebasan sudah memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi
sehingga Pulau Sumba Bebas Brucellosis Tahun 2014. Namun demikian
diperlukan komitmen yang kuat dari semua instansi terkait, dan tertuang
dalam regulasi yang jelas.
2. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius, untuk hal
tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah
Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.
3. Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba telah
mendapatkan status bebas Brucellosis.
Ucapan terimakasihTerimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan Provinsi NTT, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba
Tengah dan Sumba Timur, yang telah membantu dalam pengumpulan data,
pengambilan sampel dan pendampingan selama surveilans. Ucapan yang
sama juga kami sampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas
fasilitas dan dukungan yang diberikan dalam pelaksanaan surveilans ini.
50
DAFTAR PUSTAKA
Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M.; (1986). Techniques for TheBrucellosis Laboratory. Hal.81-87.
Anonimus, (1999), Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium KesehatanHewan. Halaman 59-84.
Anonimus, (2010), Brucellosis. chapter 2.4.2 : 1 - 15.
Putra, A.A.G.; Arsani, N.M. dan Sudianta, W. (2002), BRUCELLOSIS, Programdan Evaluasi Pembrantasan di Pulau Lombok Nusa TenggaraBarat.
Sudana, I.G., Soeharsono dan Malote, M. (1980) Laporan Penyidikan PenyakitHewan di Perwakilan Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten SumbaTimur.
51
Lampiran 1.Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2012
No Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi
PopulasiKerbau
EstimasiPopulasi Sapidan Kerbau
≥ 1 ThnI Sumba Kodi Ate Dalo 89 373 286
Barat Daya Bondo Kodi 64 159 155Hamonggolele 8 135 78Homba Rande 3 64 45Kapaka Madeta 9 91 67Kawangohari 6 20 15Koki 8 111 47Mali iha 50 138 130Onggol 4 105 55Pero Batang 40 165 144Wura Homba 0 61 41Tanjung Karoso 28 25 21Watu WonaPero Konda 35 3 15
Jumlah 281 1422 10162 Dinjo 1 39 26Kodi
BangedoLete Loko 48 222 164
Mata Kapore 0 78 45Rada Loko 0 41 24Umbu Ngedo 40 118 99Wai Kadada 8 226 134Wailangira 5 128 99Walandimu 1 43 25Wai Paddi 0 53 21Wikaninyo 21 92 45Mere Kehe 3 57 24Delu Depa 0 46 18
Jumlah 103 895 6163 Kodi Utara Bila Cenge 30 11 87
Bukambero 63 50 79Hoha Wungo 16 65 54Homba Karipit 8 37 29Kalena Rongo 105 262 212Kendu Wela 27 92 59Kori 43 193 160KuduetaManggaNipi 52 92 80Noha 46 19 49Wai Holo 5 76 60
52
Waila Bubur 33 44 48Mago LinyoHomba PareHameli AteKadaghu TanaWaitamuWeda
Jumlah 634 941 9174 Kodi Blaghar Kahale 12 119 82
Karang indah 4 2 2Manutoghi 0 83 33Panenggo Ede 1 164 89Tana mete 38 97 54Wailang ira 8 106 45Rada Malanda 9 64 29Waikarara 0 76 25Wee Makaha 11 36 18Waimaringi 0 48 19Waiha 7 108 73Wainyapu 4 126 93
Jumlah 24 563 3625 Loura Bondo Boghila 72 127 206
Karuni 86 239 237Lete Konda 125 162 294Ramma Dana 96 180 204Totok 7 100 61Wee Mananda 13 82 57Wee Pangali 122 276 150Wee Tobula 5 40 25Loko KaladaPogo Tena
Jumlah 526 1206 13846 Kabali Dana 45 177 117Wewewa
Barat Kalimbu Tillu 4 257 100Kalimbu Weri 23 176 134Marokota 78 502 376Menne ate 7 203 145Raba Ege 1 177 120Reda Pada 42 221 179Waimangura 47 137 70Wali Ate 9 136 77Watu Labara 1 117 45Wee Kombaka 4 206 147Weerera 78 279 112Lage Ete 27 153 72KalembuKanaka 9 105 45
53
Luo Koba 34 154 75Wee Kura 11 113 49Kalaki Kambe 33 117 60
Jumlah 339 2588 18437 Bondo Bela 280 170Wewewa
Selatan Bondo Ukka 1 141 94Buru Deilo 3 294 191Buru Kaghu 37 264 165Delo 13 463 309Denduka 10 329 238Mila AteTena Teke 8 227 156Weri Lolo 14 318 176Umbu WangoMandundoRita Baru
Jumlah 86 2316 14998 Dangga Mango 25 128 88Wewewa
Timur Dikira 26 115 91Kalembu ndaramane 2 327 177
Lete kamouna 115 69Mareda kalada 3 163 103Mata mpayu 4 112 60Pada ewata 1 144 78Tema Tana 9 183 114Wee lima 7 116 88Wee limbu 25 195 137
Jumlah 102 1598 10059 Mali mada 2 43 21Wewewa
Utara Mataloko 3 51 40Puu Potto 0 26 12Wano Talla 0 27 18Wee Namba 4 41 23Wee Paboba 17 121 70
Jumlah 26 309 18410 Bolora 9 140 63Wewewa
Tengah Ekapata 0 216 136Kenelu 0 135 87Kalingara 0 96 51Lombu 0 183 115Ombarade 0 199 123Tanggaba 4 138 77Wee Patonda 12 351 206Wee rame 40 214 146Weekokora 4 115 72
Jumlah 69 1787 1076
54
11 Kadi Pada 74 214 180KotaTambolaka Kalembu Kaha 37 95 82
Kalenawanno 58 62 82Langga Lerro 19 64 46Radamata 87 83 91Wee rena 78 279 224Wee Londa 37 54 52Watu Kawula 99 183 161Waitabula 5 40 25Wee Pangali
Jumlah 494 1074 943Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat Daya
55
Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba BaratTahun 2012
No.
Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi
PopulasiKerbau
Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau
≥ 1 Thn
IISumbaBarat
KotaWaikabubak
KampungSawah 0 1 1
Kampung Baru 1 52 27Kalembu Kuni 36 253 157Kodaka 27 271 139Komerda 0 1 1Lapale 1 18 10Maliti 0 19 8Moduwaimaringi 12 176 79
Pada Eweta 0 15 6Puu Mawo 1 61 33Sobarade 48 142 112Tebara 0 363 189WailiangJumlah 130 1530 856
2 Lamboya Bodo Hulla 51 301 199Kabu Karudi 5 156 127Laboya Bawa 0 204 116Laboya Dete 2 161 92Palamoko 1 50 34Patiala Bawa 17 204 130Rajaka 1 196 101Ringu Rara 2 152 82Sodana 14 139 98Watu Karere 1 324 184Welibo 4 370 228Jumlah 98 2257 1391
3 Lamboya Barat Gaura 42 602 311Harona Kalla 34 69 48Patiala Dete 24 111 79Wetana 34 829 466WetanaJumlah 134 1611 904
4 Loli Baliledo 6 43 25Beradolu 10 105 54Dedekadu 3 219 116Diratana 21 136 71Dokakaka 7 100 60Lodapare 20 100 61Sobawawi 40 205 138Tanarara 1 22 11Tematana 6 11 3Ubu Raya 1 138 78Ubu Pede 4 143 82Weekarou 8 174 80
56
Weedabbo 5 174 85Manola 20 40 7Jumlah 152 1610 871
5 Tana Righu Bondo Tera 0 0 0Elu Loda 0 13 7Karekanduku 9 20 18K.nduku Selatan 3 8 3K.nduku Utara 4 12 4KealembuA.Kaka 2 28 14Lingulango 4 22 14Lokory 309 314 383Lolo Tana 17 44 35Lolo Wanno 142 162 209Malata 42 269 133Manu Kuku 7 39 26Manumada 5 23 7Ngadu Pada 3 10 4Tarona 1 14 9Wanokasa 10 19 21Weepatola 2 23 12Zalakadu 2 24 12Jumlah 562 1044 911
6 Wanukaka Ana Wolu 4 90 57Bali Loku 8 426 245Hoba Wawi 4 91 47Hupu Mada 4 77 53Katiku Loku 2 81 63Mamodu 18 134 71Pari Rara 5 83 53Praibakul 0 190 87Pahola 6 106 65Tara Manu 0 178 94Rewarara 3 79 42Rua 0 81 42Weimangoma 6 112 65Weihura 2 166 129Jumlah 62 1894 1113
Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat
57
Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba TengahTahun 2012
No. Kabupaten Kecamatan Desa PopulasiSapi
PopulasiKerbau
Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau
≥ 1 Thn
III Sumba Umbu RatuNggay Bolu Bokat 135 81 119
Tengah Bolu BokatUtara 131 167 178
Bolu BokatBarat 133 152 166
Lenang 242 146 205Lenang Selatan 226 92 165Mara Desa 166 85 135Mara DesaTimur 169 74 129
Mara DesaSelatan 103 64 108
Mbliur Pangadu 227 306 109Ngadu Bolu 260 81 169Ngadu Olu 237 298 268PraikarokuJangga 252 300 271
Padira Tana 204 311 259Soru 270 88 183Tana Mbanas 235 77 170Tana MbanasSelatan 257 75 172
Tana MbanasBarat 172 75 141
Weluk PraiMemang 217 87 182
Jumlah 3636 2559 31292 Anajiaka 55 68 86Umbu Ratu
Nggay BaratAnapallu 19 69 51
Daha Elu 8 49 40Dewa Tana 7 49 33Holur Kambata 10 49 43Maderi 114 55 96Matawekajawi 75 60 68Prai Madeta 128 95 157Pondok 87 38 74Sambali Loku 43 72 73Umbu Kawolu 42 72 80Umbu Mamijuk 44 98 98Umbu Pabal 48 121 108Umbu PabalSelatan 55 138 137
Umbu Langang 56 133 122Umbu Jodu 62 122 125
58
Wairasa 31 76 69WanggaWayengu 85 69 72
Jumlah 969 1433 15323 Katikutana Anakalang 41 79 48
Dewa Jara 77 234 175Kabela Wuntu 35 104 72Makata Keri 36 95 54Mata Woga 46 143 94Mata Redi 95 314 221Umbu Riri 40 118 80Jumlah 370 1087 744
4 KatikutanaSelatan Dameka 65 153 140
Dasa Elu 72 140 125Konda Maloba 73 144 134Manu Rara 67 147 135Malinjak 60 155 132Okawacu 68 132 127Tana Modu 68 156 145Wailawa 75 142 139Waimanu 66 149 121Jumlah 614 1318 1198
5 Mamboro Bondo Sulla 107 144 122Cendana 125 190 145Cendana Barat 155 185 161Ole Ate 99 160 117Ole Dewa 96 142 109Manu Wolu 209 174 224Susu Wendewa 141 147 153Watu Asa 118 180 144Wee Luri 116 143 116Wendewa barat 342 392 585WendewaSelatan 132 168 134
Wendewa Utara 127 167 146Wendewa Timur 141 170 146Jumlah 1908 2362 2302
Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Tengah
59
Data Populasi Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten Sumba Timur Tahun2012
No. Kabupaten Kecamatan Desa Populasi Sapi
PopulasiKerbau
Estimasi PopulasiSapi dan Kerbau
≥ 1 Thn
IVSumbaTimur
HaharuKalamba 1 3 1
Mbatapuhu 77 2 34
Praibakul 185 108Rambangaru 261 139
Wunga 111 125 26
Kadahang 303 46 139
Napu 646 50 278
Jumlah 1584 226 7252 Kanatang Hamba Praing 307 126 188
Kuta 306 42 160
Mondu 477 118 251
Ndapa Yami 185 147 141
Temu 201 152 144
Jumlah 1476 585 8843 Kahaungu Eti Kamanggih 475 245 288
KambataBundung 54 243 118
Kataka 371 73 177Kotak Kawau 346 119 186
Lai Mbonga 355 652 402MatawaiKatingga 1241 248 285MatawaiMaringu 219 80 119
Mau Ramba 136 106 96
Jumlah 3197 1766 19814 Luku Wingir 77 22 41Kambata
MapambuhangLai Meta 120 378 350
Mahu Bokul 94 76 69
Maidang 68 222 100Marada Mundi 29 5 8
Waimbidi 57 116 71
Jumlah 445 819 6395 Kambera Kambaniru 289 35 35
Kiritana 166 8 12
Lambanapu 324 14 60
Malumbi 214 12 22
60
Mau Hau 220 68
Mauliru 338 74
Prailiu 112 17 29
Wangga 184 21 72
Jumlah 1847 107 3726 Karera Ananjaki 311 198 182
Jangga Mangu 164 276 171
Nangga 187 298 232
Nggongi 149 357 185
Praimadita 124 406 220
Prai SaluraTandula Jangga 631 897 708
Jumlah 1566 2432 16987 Kombapari 190 125
Lai Lara 231 155 167
Katala HamuLingu
Mandahu 208 276 188Matawai Amahu 13 236 105
Prai bakul 195 127 163
Jumlah 837 794 7488 Hambala 24 3Kota Waingapu
Kamalaputi 6 2
Kambajawa 90 29 44Lukukamaru 40 48 33Mbata kapidu 192 84 105
Matawai 2 1Pambotandjara 171 88 120
Jumlah 525 250 3079 Lewa Tidahu Bidi praing 165 50 86
Kangeli 67 48 46Lai Hau 116 45 64Mondu Lambi 171 110 112
Umamanu 327 244 228
Watumbelar 102 50 60
Jumlah 948 547 59610 Lewa Bidi Hunga 340 154 197
Kambu Hapang 157 94 100KambataWundut 441 375 326
Kondamara 335 134 187
Lewa Paku 84 20 41Matawai Pawali 383 114 198
Tanarara 88 92 72
Rakawatu 298 220 207
Jumlah 2126 1203 1328
61
11 Mahu Haray 96 319 171
La Hiru 45 226 83
Lulundilu 102 198 106
Patamawai 166 237 90
Praikalala 53 201 75
Wairara 92 246 120
Jumlah 554 1427 64512 Karipi 110 147 73Matawai La
PawuKatiku Luku 300 606 306
Katikutana 424 1068 443
Katiku Wai 227 252 113
Prai Bokul 213 731 305Wangga Meti 86 152 54
Jumlah 1360 2956 129413 Hamba Wutang 132 303 202Ngadu Ngala
Kabanda 12 284 111
Kakaha 202 453 274
Prai Witu 72 201 81Prau Raming 66 256 127
Jumlah 484 1497 79514 Kahiri 729 719 580Nggaha Ori Angu
Makamenggit 210 161 128
Ngadu Langgi 94 77 68
Prai Karang 163 192 150
Prai Paha 269 49 103Pulu Panjang 185 288 168Prai Hamboli
Tanatuku 40 67 34Tandula Jangga 86 33 68
Jumlah 1776 1586 129915 Kananggar 171 343 182
Karera Jangga 244 297 121
Lai Taku 34 104 59Mehang Mata 144 192Pabera Manera 86 177 105
Prai Mbana 135 114 101
Paberiwai
Winu Muru 47 104 39
Jumlah 861 1139 904
62
16 Kaliuda 966 467 528
Kuruwaki 173 119 103
Lambakara 367 217 125
Mburukulu 1000 541 300
Palanggai 397 188 215Pamburu 107 129 90
Tamma 607 1298 833
Pahunga Lodu
Tanamanang 223 204 161
Jumlah 3840 3163 301317 Kadumbul 339 137
Kawangu 469 100Kambatatana 589 16 242
Laindeha 353 272 250
Mau Bokul 1401 45 578Palakahembi 55 46 42
Watumbaka 190 45 91
Pandawai
Jumlah 2927 424 134018 Lailunggi 286 151 133
Maha Niwa 61 151 74
Ramuk 118 69 116
Tawui 179 211 206
Wahang 132 151 102
Wangga Bewa 111 71 96
Pinupahar
Jumlah 887 804 72719 Haikatapu 921 195 456
Hanggaroru 831 274 497
Kabaru 764 81 447
Kayuri 215 4 93
Lai Lanjang 176 127 121
Rindi 683 329
Tamburi 189 90 139
Rindi
Tanaraing 683 54 366
Jumlah 4462 825 244820 Bangga Watu 29 158 85
Billa 208 348 280
Karita 347 332 292
Kukitalu 154 107 109Pindu Hurani 21 159 74
Praing Kareha 58 165 101
Tapil 125 97 94
Tarimbang 79 433 135
Tabundung
Waikanabu 145 675 180
63
Wudi Pandak 72 168 120
Jumlah 1238 2642 176521 Lairuru 456 52 203
Londa Lima
Lumbukore 131 33 65
Matawai Atu 67 20 12
Mutunggeding 168 52 73Ngaru Kanoru 269 315 199
Patawang 216 91 82
P. Lodu
Umalulu 233 71 129
Wangga 324 80 126
Umalulu
Watu Hadang 232 90 116
Watu Puda 175 192 146
Jumlah 2271 996 115122 Hadakamali 110 186
La Tena 3 235 64
Laijanji 86 318 186
Lai Pandak 105 478 275Lumbu Manggit 18 51
Paranda 139 188 139
Wula Waijelu
Wulla 142 173
Jumlah 603 1219 1074Sumber Data Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur
64
Lampiran 3.Rekapitulasi Status Desa Per Kecamatan di Pulau Sumba
Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Barat Daya (131 Desa)Status DesaNo Kecamatan
BD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB1 Wewewa Timur 5 52 Wewewa Utara 4 23 Wewewa Selatan 1 114 Wewewa Tengah 5 55 Wewewa Barat 11 66 Kodi 9 57 Kodi Balaghar 3 98 Kodi Utara 10 89 Kodi Bagedo 10 210 Loura 3 711 Kota Tambolaka 6 4
Jumlah 67 64
Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Barat (74 Desa)
Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB
1 Kota Wikabubak 10 32 Lamboya 7 43 Lamboya Barat 44 Loli 12 25 Tana Righu 11 76 Wanukaka 11 3
Jumlah 55 19
Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Tengah (65 Desa)
Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB
1 Umbu Ratu Nggay 15 32 Umbu R. N. Barat 11 73 Katikutana 5 24 Katikutana Selatan 3 65 Mamboro 7 6
Jumlah 41 24
65
Rekapitulasi status desa per kecamatan di Sumba Timur (156 Desa)
Status DesaNo KecamatanBD DC HF UMN MN TTL KTN BS DB
1 Matawai La Pawu 1 52 Pandawai 5 23 Haharu 5 24 Kahaungu Ety 2 75 Katala Hamu Lingu 2 36 Kambata
Mapambuhang4 2
7 Kanatang 2 38 Lewa 2 69 Umalulu 7 310 Ngadu Ngala 3 211 Rindi 3 512 Pinupahar 3 313 Nggaha Ori Angu 4 414 Karera 1 615 Lewa Tidahu 616 Tabundung 3 717 Kambera 6 218 Kota Waingapu 6 119 Pahunga Lodu 3 520 Wulla Waijellu 2 521 Mahu 3 322 Paberiwai 3 4
Jumlah 76 80
66
SURVEILAN DAN MONITORING TRYPANOSOMIASIS ( SURRA )DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR
I Ketut Mastra, Ni Ketut Harmini Saraswati, I Made Sutawijaya dan Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans dan Monitoring Trypanosomiasis ( Surra ) untuk mengetahui distribusidan prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi (Surra) di Propinsi Bali, NusaTenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka tindak pencegahan danpengendalian penyakit secara efektif dan efisien.
Sejumlah specimen preparat ulas darah dikoleksi dari 3.152 sapi yang terdiri dari 1908 sapi diBali, 370 sapi di NTB dan 873 sapi di NTT secara acak sejak bulan Janiari – November2014. Seluruh sampel diperiksa terhadap parasit gastrointestinal dengan teknik Uji pewarnaanGiemza di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar
Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa tingkat prevalensi Trypanosomiasis/ Surra diBali, NTB dan NTT rata rata sebesar 0.12 % ( 5 dari 3.152 ) dengan variasi tertinggi 0.11 % diNTT, kemudian 0.05 % di Bali dan terendah 0.0% di NTB,
Kata Kunci: Trypanosomiasis, Sapi/kerbau, Propinsi Bali,NTB dan NTT
PENDAHULUAN
Trypanosomiasis merupakan penyakit arthropod borne pada berbagai jenis
ternak, disebabkan oleh Trypanosoma evansi ( T. evansi). Sebaran parasit
protozoa T.evansi ini sangat luas. terutama di pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan,Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Penyakit yang lebih
dikenal sebagai penyakit Surra ini dapat menyerang berbagai jenis hewan
ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi tergantung
kepekaan hewan dan faktor – faktor yang mempengaruhi. Hewan unta, kerbau
dan kuda, serta anjing sangat peka terhadap infeksi T. evansi, penyakit terjadi
secara cepat, bersifat akut dan berakibat fatal (.(Kageruka dan Merlvenne,
1991), Sedangkan ternak ruminansia (sapi, kambing, domba, dan ruminansia
lainnya) relatif lebih tahan dari serangan penyakit. Penyakit pada umumnya
berlangsung lebih lambat, bersifat kronis dan bahkan sub klinis tanpa
67
menunjukan gejala klinis. Akan tetapi penyakit dapat bersifat akut dan
mewabah pada ternak ruminansia tersebut ketika hewan mengalami stress,
misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat
kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan yang kritis dan cuaca
yang ekstrim (Soulsby, 1928).
Secara historis, sejak infeksi T. evansi pertama kali ditemukan oleh Grifit Evans
pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail
Khan, Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta dan
kerbau di beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan
wabah penyakit tersebut sangat fatal maka trypsnosomiasis sering disebut juga
penyakit Surra (Soulsby,1982) Selanjutnya pada akhir abad 19. dilaporkan
telah menyebar ke beberapa Negara, diantaranya Turkestan, Annam Selatan,
Burma, Malaysia, Philiphina, Indonesia (Jawa, dan Sumatra) dan di Vietnam
mewabah pada tahun 1978 sampai tahun 1980an.. Di Indonesia, penyakit
Surra pertama kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda
di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1898 terjadi wabah
penyakit Surra di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang memakan
korban sebanyak 500 ekor kerbau dari 7000 poulasi pada tahun 1900 – 1901
terjadi wabah penyakit Surra pada sapi di Keresidenan Pasuruan, Provinsi
Jawa Timur. Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun penyakit berlangsung
secara sporadis dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis.
Akan tetapi pada tahun 1968 – 1969 letupan wabah penyakit Surra menyerang
sebanyak 516 ekor hewan ternak besar. terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, termasuk terjadi di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada
tahun 1971. Kemudian pada tahun 1974 – 1976 terjadi peningkatan kasus
Surra di Provinsi Nusa Tenggara Barat. (Sukanto, I.P.et al. 1992).Kerugian
ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah setiap
tahun akibat kematian hewan ternak, kehilangan tenaga kerja, penurunan berat
badan ternak, abortus dan akibat gangguan reproduksi lainnya (Anonimus
1991)
68
Provinsi Bali merupakan daerah pengembangan plasma nuftah sapi bali,
Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai daerah sejuta sapi/kerbau dan
Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai gudang ternak potong di wilayah
Indonesia Timur namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan
populasi ternak cenderung mengalami stagnasi rata-rata sekitar 5.4 %.
Sebagai salah satu penyebab rendahnya peningkatan pertumbuhan produksi
dan reproduktivitas ternak tersebut diduga karena adanya gangguan oleh
penyakit hewan menular, diantaranya oleh trypanosomiasis yang dapat
mengganggu fertilitas ternak, abortus, dan kematian ternak. Kejadian penyakit
Surra atau trypanosomiasis di Provinsi Bali,NTB dan NTT pada umumnya
cendrung terjadi secara sporadis. Namun demikian, oleh karena mobilitas
ternak di regional ini sangat tinggi, maka perlu dilakukan Surveilans dan
Monitoring Trypanosomiasis (Surra) dengan cakupan desa / kecamatan yang
lebih banyak agar memperoleh informasi tentang prevalensi dan distribusinya
pada sapi, kerbau dan kuda di Provinsi Bali, NTB dan NTT yang lebih
presentatif.
MATERI DAN METODA
MateriSurveilans dan Monitoring dilakukan di Provinsi di 9 kabupatem /kota di
Provinsi Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung,
Karangasem, Buleleng, Jembrana dan Tabanan), di 6 kabupaten/Kota di
Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB (Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur
Kabupaten Bima, dan Sumbawa Barat) dan di 8 kabupaten/kota di Nusa
Tenggara Timur (Kota Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Ngada, Sumba
Barat Daya dan Belu.
69
Selama survei yang dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan November
2014 telah dikoleksi sejumlah sampel preparat ulas darah dari 3.152 sapi yang
terdiri dari 1908 sapi di Bali, 370 sapi di NTB dan 873 sapi di NTT. Selain
sampel preparat ulas darah diperlukan bahan dan alat yaitu berupa 3 liter
methanol 10 %, 1 botol ( 100 ml) Emersiol Oil, 1 liter larutan pewarna
Giemza, 2 buah bak kaca fiksasi, 2 buah bak kaca pewrana, 40 box slide /
objek glass, 1 buah mikroskope binokuler
Metoda
Seluruh (3.152) spesimen preparat ulas darah tersebut difiksasi dengan
methanol selama 10 menit. Setelah preparat dikeringkan, kemudian diwarnai
dengan larutan pewarana Giemza 10% selama 30 - 45 menit. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis menggunakan mikroskop binocular
di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar.
HASIL
Hasil pemeriksaan 3.152 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal
dari beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
(NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari
sampai bulan November 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.
Tabel.1Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Lokasi JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosoma Prevalensi
( % )
BALI 1.908 1.904 4 0.05 %
NTB 370 370 0 0.0 %
NTT 874 873 1 0.11 %
TOTAL 3.152 3.147 5 0.12 %
70
Tabel 2Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi di Provinsi Bali
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosom
a
Prevalensi(%)
Tabanan 164 164 0 0%
Buleleng 50 50 0 0%
Klungkung 310 310 0 0%Gianyar 142 142 0 0%Bangli 276 276 0 0%
Karangasem 268 268 0 0%Denpasar 83 83 0 0%Jembrana 415 411 4 0.96%
Badung 200 200 0 0%
Total 1.908 1.904 4 0.21%
Tabel. 3Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau
di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosoma
Prevalensi(%)
Dompu 195 195 0 0
Bima 50 50 0 0
Sumbawa Barat 25 25 0 0
Mataram 50 50 0 0
Lombok Tengah 25 25 0 0
Lombok Timur 25 25 0 0
TOTAL 370 370 0 0
71
Tabel. 4Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
NegatifTrypanosoma
PositifTrypanosoma
Prevalensi(%)
Ngada-Flores 100 100 0 0
Lembata-Flores
175 175 0 0
Sikka,Flores 100 100 0 0
Manggarai,Flores
50 50 0 0
Belu,Timor 100 99 1 1%
Timor TengahSelatan
33 33 0 0
Sumba Timur 267 267 0 0
Sumba BaratDaya
92 92 0 0
TOTAL 874 873 1 0.11%
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kejadian tryipanosomiasis pada sapi bali
di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. terjadi
secara sporadis pada sapi bali di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur, Akan tetapi sapi sapi Bali yang positif terifeksi
trypanosoma tersebut tidak menunjukkan gejala klinis.Hal iin menujukkan
bahwa sapi bali relatif lebih tahan di bandingkan kuda, kerbau dan jenis sapi
lainnya
termasuk sapi brahman dan sapi Onggole Hasil penelitian ini sesuai dengan
yang dilaporkan oleh peneliti lain seperti Payne et al, (1991) yang menemukan
kejadian kejadian infeksi T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah
penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat prevalensi pada kerbau lebih
tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat
ketahanan terhadap trypanosomiasis, selain karena faktor genetik (genetic host)
juga faktor kondisi setiap individu hewan terutama terkait managemen
pemeliharaan. Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ
pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan
pertanda yang khas adanya respon kekebalan terhadap adanya infeksi T evansi
72
(Luckins,1977). Respon imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada
kerbau dan sapi menunjukkan bahwa ternak ruminansia besar tersebut relatif
lebih tahan terhadap serangan penyakit Surra. Kejadian penyakit pada
umumnya berlangsung kronis, sub klinis tanpa menunjukkan gejala klinis dan
ternak ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa
berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan
metoda uji sederhana/natif sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan
tanpa mendapat penanganan. Apabila rata rata tingkat prevalensi 0.42% pada
kerbau dan kuda dikaitkan dengan populasi kerbau dan kuda di pulau Sumba
masing-masing 79.234 ekor dan 52.107 ekor, maka diasumsikan ada sekitar 750
ekor kerbau dan 229 ekor kuda yang diduga masih menderita sub klinis dan
klinis yang bertindak yang belum terdeteksi serta dapat bertindak sebagai
karier dan berpeluang sebagai sumber penularan penyakit Surra terhadap
ternak lainnya. Berdasarkan fakta tersebut diatas bahwa pada ternak kuda
tingkat prevalensi T.evansi sebesar 0.74% lebih tinggi daripada kerbau 0.64%.
Hal ini terjadi besar kemungkinannya karena faktor genetik. respon imunnya
terhadap infeksi T evansi kurang baik sehingga kuda sangat rentan terhadap
serangan infeksi T evansi dan penyakit berlangsung cepat, perakut, akut dan
gejala klinis yang dapat diamati berupa demam tinggi-intermiten, anemia,
edema, pincang karena paralisis dan lebih lanjut terlihat gejala syaraf berupa
gerakan berputar. Apabila tidak segera mendapat pengobatan yang tepat
biasanya berakhir dengan kematian.
Akan tetapi karena luasnya wilayah dan sebaran penyakit sangat dipengaruhi
oleh cara pemeliharaan ternak yang umumnya dipelihara secara tradisional dan
pada umumnya cara pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan secara
bersama-sama di areal pengembalaan,. di daerah persawahan sehabis panen ,
ladang – ladang pertanian yang terbuka yang hanya dibatasi oleh semak-
semak, sungai dan hutan masih banyak dijumpai di daerah ini sebagai tempat
berkumpul hewan ternak untuk merumput dan mencari air minum. Kondisi
lingkungan seperti ini juga sangat digemari oleh lalat-latat pengisap darah
seperti Tabanus sp. Stomoxys sp. Lalat Tabanus sp, merupakan salah satu
vektor penularan secara mekanik penyakit Surra yang sangat potensial pada
hewan ternak (Soulsby, 1987). Secara epidemiologi menunjukkan bahwa di
73
wilayah ini peluang terjadinya interaksi yang intensif antara agen penyakit,
hewan peka dan vektor serta di dukung oleh kondisi lingkungan yang serasi
untuk terjadinya penularan penyakit secara alami.
Sementara itu, hasil survei berdasarkan jenis hewan menunjukkan bahwa
derajat prevalensi agen T, evansi berturut –turut pada kuda, kerbau dan sapi
masing-masing sebesar %, % dan 0.0%.( Tabel.2 ). Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa kejadian infeksi T.evansi yang terjadi secara alami
pada kerbau relatif lebih tinggi daripada kuda dan ruminansia lainnya. termasuk
sapi Sumba onggole relatif lebih tahan dibandingkan kerbau dan kuda. Hasil
penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain seperti Payne et
al, (1991) yang menemukan kejadian – kejadian infeksi T.evansi telah tersebar
luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di Indonesia, dengan derajat
seroprevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi di daerah pemeliharaan
yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap trypanosomiasis selain
karena faktor genetik (genetic host). juga faktor kondisi setiap individu hewan
terutama terkait managemen pemeliharaan.. Terbentuknya kekebalan atau
antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh hewan yang disekresi ke dalam
sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas adanya respon imun terhadap
adanya infeksi T evansi (Luckins,1977). Respon imun yang lebih baik terhadap
infeksi T evansi pada kerbau, sapi membuktikan bahwa ternak ruminansia besar
tersebut lebih tahan terhadap serangan penyakit Surra, kejadian penyakit
umumnya berlangsung kronis, tanpa menunjukkan gejala klinis dan ternak
ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa
berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan
metoda uji sederhana sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan tanpa
mendapat penanganan.
74
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.Berdasarkan hasil pengamatan klinis penyakit Surra di lapangan dan
pemeriksaan laboratories dapat di simpulkan bahwa:
Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi pada sapi di
Bali,NTB dan NTT rata-rata sekitar 0.12% dengan prevalensi tertinggi 1.0 %
di Kabupaten Bellu,Timor,NTT kemudian di Kabupaten Jembrana,Bali
0.96%, Sedangkan di Kabupaten /Kota di NTB : 0.0%
Melalui kegiatan Surveilan dan monitoring Trypanosomiasis / penyakit Surra
serta upaya pencegahan dan pengendaliannya yang efektif, kejadian
penyakit cendrung menurun dan bersifat sporadis.
Saran-Saran. Meskipun Trypanosomiasis /penyakit Surra di Provinsi Bali,NTB dan NTT
cendrung menurun dan bersifat sporadis, namun surveilan dan monitoring
serta upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Surra tetap senantiasa
perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Selain itu tetap meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak antar pulau
maupun antar kabupaten
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan untuk melaksanakan
tugas surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sdr. Drh Ni
Ketut Harmini Saraswati, I Gde Made Sutawijaya dan Yunanto A Md. serta staf
medik dan paramedik Balai Besar Veteriner lainnya yang telah membantu
dalam tindak pengujian serta pengambilan specimen dalam kegiatan surveilans
dan monitoring penyakit. Demikian juga kepada Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
berserta staf atas koordinasi dan bantuannya selama kegiatan ini dilakukan.
75
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus 1975. Usaha Pengendalian Penyakit Surra di Indonesia, Kertas KerjaRapat Kerja Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian,Jakarta;
Anonimus, 2009. Statistik Peternakan Tahun 2009, Dinas Peternakan ProvinsiNusa Tenggara Timur, Kupang;
Anonimus, 2012. Statistik Peternakan Tahun 2012, Dinas Peternakan ProvinsiNusa Tenggara Timur, Kupang;
Damayanti R. 1993 The pathology of natural Trypanosoma evansi infection inthe buffalo (Bubalus bubalis ), Penyakit Hewan ,1993 25; 34-39;
Davidson,H.C,M.V.Thrusfield,S.Muharsini,A.Husein,S.Partoutomo,P.F.Rae, R.Masake and A.G. Luckins 1999. Evaluation of antigen and antibodydetection tests for Trypanosome evansi of buffaloes in IndonesiaEpidemiolInfect.149-155, Cambridge, United Kingdom;
Ismu Prastyawati,S. R.C. Payne dan R. Graydon. 1992 Survei Parasitologik danSerologik Trypanosomiasis di Madura. Proseding Seminar HasilPenelitian Parasit Darah Pada Ruminansia Besar di Indonesia,Balitvet,Bogor;
Levine, 1973. Protozoa Parasites of Domestic Animal and Man 2nd ed BurgerPublishing Company, Minnepolis, Philadelphia.
Luckins, AG 1983. Development Serological Assay for Studies onTrypanomiasis of Livestock in Indonesia. Bakitwan Project report,RIVS, Bogor.
Nantulya, VM. Trypanosomiasis in domestic animals; the problem of diagnosis.Rev. Scui Tech. 1990 9:357-367.
Soulsby, 1982 Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals 7th
ed Lea and Febiger, Philadelphia.
Wilson AJ. Some bservation on the epidemiology of the animaltrypanosomiasis with particular reference to T.evansi, In: CambellsRSF,ed, A course manual in veterinary epidemiology, Cambera,Australia University International Development Programme. 1983:201-210
Woo, P.T.K. 1970 Evaluetion of the Haematocrite Centrifuge and otherTechniques fos Field Diagnostic of Human Trypanosomiasis andFilariasis, can J. Zool 47, 921-923.
76
SURVEILAN DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL PADASAPI BALI DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR
I Ketut Mastra, Ni Ketut Harmini Saraswati, I Made Sutawijaya dan Yunanto
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Telah dilakukan surveilans dan Monitoring Parasit Gastro-Intestinal (PGI) untuk mengetahui jenisdan prevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada sapi bali ( Bos sondaicus ) di Propinsi Bali,Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka pengobatan danpengendalian parasit gastrointestinal secara efektif dan efisien.
Sejumlah specimen feses dikoleksi dari 2.495 ekor ternak sapi di Provinsi Bali,NTB danNTTdiambil secara acak sejak bulan Janiari – November 2014. Seluruh sampel diperiksaterhadap parasit gastrointestinal dengan teknik Uji Flotasi dan Uji Sedimentasi di LaboratoriumParasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar
Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal diBali, NTB dan NTT rata rata sebesar 38.4% ( 958 dari 2.495) dengan variasi tertinggi 53.3% diNTT, kemudian 51.9% di NTB dan terendah 44.25% di Bali, .diantranya terinfeksi oleh parasitgastrointestinal jenis trematoda (Paramphistomum sp dan Fasciola sp.), Nematoda(Mecistocirrus spp, Ostertagia spp, Cooperia spp, Chabertia spp. Toxocara spp.Oesophagustomum spp Trichostrongylus spp.dan Strongyloides spp) dan Coccidia (Eimeriaspp).dengan prevalensi masing-masing berkisar antara 0.04%- 53.3%; 2.9% - 51.9% and 6.8%- 19.8% dengan intensitas infestasi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomumsp. berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram feses,epg) dandari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari Klas Cocsidia (Eimeria sp.)berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukantelur cacing dari klas Cestoda.
Kata Kunci: Parasit Gastrointestinal, Sapi bali, Propinsi Bali,NTB dan NTT
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi hasil domestikasi dari Banteng
(Bossondaicus) yang memiliki potensi internal sebagai plasma nutfah dan dapat
diandalkan sebagai primadona ternak sapi potong untuk menunjang
pembangunan peternakan di Indonesia di masa akan datang sehingga
kebijakan tentang pemulia biakan sapi bali sangat diperlukan (Sastradipraja,
1990). Sejak lama sapi asli pulau Bali ini sudah menyebar ke seluruh
Indonesia dan perkembangannya sangat cepat dibanding dengan sapi potong
77
lainnya. Sapi bali lebih diminati oleh peternak karena beberapa keunggulannya
antara lain: tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat
beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan
efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi,(Pane, 1990)
Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
adalah salah satu wilayah penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah
Indonesia Timur. Populasi sapi bali saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar 32.4%
dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus, 2008b).
Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB dan NTT
dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Akan tetapi dalam beberapa
tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi bali cendrung
mengalami stagnasi. Selain dipicu oleh factor eksternal bahwa selama ini
permintaan sapi lokal meningkat seiring meningkatnya kebutuhan daging dalam
negeri dan mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi bali hidup
dikirim ke kota- kota besar di pulau Jawa sering terlihat belakangan ini.
Sedikitnya 275.000 ekor sapi bali setiap tahunnya ditransportasikan dari Provinsi
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tengara Timur (NTT). Juga karena
faktor internal yaitu menurunnya produksi dan reproduktivitas ternak karena
adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM) bersifat infeksius maupun
non infeksius,termasuk infeksi parasit gastro-intestinal (PGI)..Beberapa peneliti
terdahulu melaporkan bahwa PGI seperti ascariasis dan koksidiosis umumnya
pada pedet umur dibawah 6 bulan. Menurut . Gunawan dan Putra (1981) bahwa
prevalensi infeksi oleh Toxocara vitulorum / ascariasis pada pedet di Bali
mencapai 75% , sedangkan pada ternak sapi muda rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi parasit gastrointestinal (PGI) lainnya seperti helmithiasis, pada
umumnya dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, diare, anemia, ikterus dan
pada kasus yang berat terjadi kematian.( Soulsby,1982,Purwanta dkk.(2006)
Penelitian tentang infeksi PGI pada sapi muda –dewasa telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti terdahulu. melaporkan bahwa prevalensi cacing trematoda
Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%.(Estuningsih.2004).
Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis)
pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.% ,.dan lebih banyak ditemukan pada sapi
muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konsitpasi, diare,
78
anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian.(Purwanta
dkk.(2006) Sebaliknya pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering diinfeksi
oleh Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% ( Gunawan dan
Putra .1981) Kemudian dengan semakin meningkatnya pemahaman dan
kemampuan peternak dalam tata laksana dan kesehtan hewan secara
berangsur ansur semakin menurun prevalensi Toxocara vitulorum rata-rata 1.3
% (Mastra, 2013)
Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi umur muda
sangat rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan gejala klinis
diare berdarah, dihidrasi, kurus,, lemah dan terjadi kematian apabila tidak
mengdapat penanganan yang baik..
Dalam rangka percepatan keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan
Kerbau (PSDS/K) tentu saja diperlukan adanya upaya upaya peningkatan
populasi dan perbaikan produktivitas ternak sapi, dalam rangka mendukung
penyediaan daging bagi tercapainya swasembada daging sapi (PSDS) pada
tahun 2014. (Anon 2008b)
MATERI DAN METODE
SampelSampel tinja sapi diambil dari 2.495 ekor sapi umur 6 bulan sampai dengan 6
tahun yang berasal dari berbagai desa,kecamatan dan kabupaten di propinsi
Bali,NTB dan NTT.
BahanSelain sampel tinja/ feses dalam surveilan dan monitoring ini juga diperlukan
bahan antara lain : garam jenuh, methyline blue 1%.
79
AlatPeralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal
Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alt pengaduk tinja,
tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung
pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedeimentasi), pipet
Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing,ookista koksidia , cawan (conical
flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja(plug), serta mikroskop ( electric
binukuler microscope)
Pemeriksaan Telur cacing nematoda dilakukan dengan teknik uji FloatasiKe dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 7 ml,
ditambahkan 3 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam
silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada
dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan
menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja
tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalan silinder
pencampur.Larutan tinja yang telah tersaring lalu diambil dengan menggunakan
dengan pipet Pasteur. Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke
dalam kamar penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap
pengisian kamar penghitung telur cacing. Alat penghitung telur Universal
(Universal slidecounting chamber) berisi 4 kamar dan setiap kamar menampung
0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki
volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau
strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya. (berat, sedang, atau ringan).
Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka
pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah
teluryang ditemukan dikalikan dengan factor 40 ( Whitlock et al.1980)
Pemeriksaan Telur cacing trematoda dilakukan dengan teknik ujiSedimentasiKe dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,
ditambahkan 1 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam
silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada
dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan
80
menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja
tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder
pencampur sampai batas leher silinder. Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalm
posisi terbalik diatas tabung penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask)
sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke
atas. Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.
Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi
yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit. Selanjutnya,
dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask) sedimentasi.
Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan
supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam cawan
(flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali selkama
6 menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan
pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan
(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan
larutan tinja sebanyak 5 ml. Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam
endapan, diaduk dengan baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6
menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan
pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan
(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan
sebanyak 5 ml. Kemudian endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan
methylene blue 1% dan diaduk hingga merata dengan pipet.lalu larutan tersebut
segera diisap dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung
telur . Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung.di bawah mikroskop
dengan pembesaran lemah (40x). Telur cacing Fasciola sp. akan terlihat coklat
keemasan dan telur Parampistomum sp.terlihat bening /terang. ng. Tabung
penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur cacing.
Universal (Universal slide counting chamber) Dalam penghitungan telur cacing
dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya.
(berat, sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja
menggunakan angka pengenceran 1: 5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja,
sehingga jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan factor 10 ( Whitlock et
al.1980)
81
HASIL
Hasil pemeriksaan sampel feses 2.495 ekor sapi bali yang berasal dari beberapa
lokasi (desa,kecamatan) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa
Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari sampai bulan
November 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.
Berdasarkan hasil uji Floatasi dan Sedimentasi sampel feses menurut
Whthlock.(1980) menunjukkan bahwa sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT
secara umum terinfestasi oleh parasit gastrointestinal dengan rata-rata
prevalensi 38.4% ( 958 dari 2.495 ) terdiri dari jenis Trematoda 26.1%, (Fasciola
spp.dan Paramphistomum spp ), Nematoda 14.7% yang terdiri dari genus
Toxocara spp,Mecistocirrus spp Oesophagustomum spp, Ostertagia spp,
Cooperia spp, dan Trichostrongylus spp. dengan prevalensi masing-masing
berkisar antara 1.6%- 80.4%; 3.7% - 27.7 %; dan 1.4% - 5.5% dengan
intensitas infeksi berturut turut berkisar antara 10 -60 epg dan 10-200 epg.; 40-
1560 epg dan 400-10.200
Intensitas infeksi masing-masing dari Trematoda terdiri dari genus Fasciola spp.
dan Paramphistomum spp., berkisar 10-50. per gram tinja ( egg per gram
feses,epg). dan 10-30epg serta dari Nematoda berkisar 40- 1.560 epg.
Sedangkan dari Coccidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1,080 opg (oocyte per gram
) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan infeksi cacing dari jenis
Cestoda.
Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi telur menurut Thienpon et
al.(1979), teridentifikasi dari klas Trematoda terdiri dari genus
Paramphistomum sp dan Fasciola sp. Dari klas Nematoda terdiri dari genus
Strongyloides sp.,Trichostrongylus sp.,Oesophagustomum sp.,Meccistosirus sp.,
Cooperia sp., Oestargia sp., Chabertia sp.,dan Toxocara sp., dan Klas Coccidia
(protozoa) dari genus Eimeria sp. yang menginfeksi saluran pencernaan sapi
bali di Propinsi Bali,NTB dan NTT
82
Intensitas infeksi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomum sp.
berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram
feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari
Klas Cocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja.
Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda.
Tabel.1
Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Balidi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
PositifTrematoda
PositifNematoda
PositifCoccidia
PrevalensiPGI ( % )
BALI 1.799 475 (26.4%) 239 (13.3%) 176(9.8%)
746(41.5.%)
NTB 289 60 (20.7%) 72(24.9%) 52.(17.9%) 129(44.6%)
NTT 407 6 (1.5%) 76 (18.7%) 13(3.2%) 83(29.4%)
TOTAL 2.495 541(21.6%)
387(15.5%)
241(9.6%)
958(38.4%)
Tabel 2
Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali di PropinsiBali,
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
PositifTrematoda
PositifNematoda
PositifCoccidia
PrevalensiPGI ( % )
Tabanan 191 82 (41.6%) 20 (1.05%) 13 (6.8%) 82 (41.6%)Buleleng 109 22 ( 20.2%) 25 (22.9%) 12 (11.0%) 25 (22.9%)
Klungkung 243 72 ( 29.6%) 23 (9.5%) 13 (5.3%) 72 ( 29.6%)Gianyar 159 96 (60.4% ) 27 (28.1%) 24 (15.1%) 96 (60.4% )Bangli 193 18 (9.3% ) 37 (19.2%) 35 (18.1%) 37 (19.2%)
Karangasem 234 46 (19.6% ) 22 (9.1%) 42 (17.9%) 46 (19.6% )Denpasar 13 3 (23.1% ) 2 (15.4%) 0 (0.0%) 3 (23.1% )Jembrana 439 127 (28.9%) 56 (12.7%) 23 (5.2%) 127 (28.9%)Badung 218 19 (8.7% ) 19 (8.7%) 14 (6.4%) 19 (8.7%)Total 1799 475 (26.4%) 239 (13.3%) 176 (9.8%) 746 (41.5.%)
83
Tabel.3
Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapidi Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
PositifTrematoda
PositifNematoda
PositifCoccidia
PrevalensiPGI ( % )
Dompu 66 0 (0.%) 10(15.2.%) 6(9.1%) 16(24.2-%)
Mataram 98 8(16.6.%) 26(54.1.%) 7(14.6.%) 31(31.6%)
Bima 100 19(12.6.%) 9(9.0.%) 10(10.0.%) 38(38.0.%)
Lotim Timur 25 9(36.0.%) 3(12.0.%) 2(8.0.%) 14(56.0.%)
TOTAL 289 36(12.5.%) 48(016.6%) 25(8.6.%) 129(44.6%)
Tabel.4
Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapidi Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kabupaten/Kota
JumlahSampel
PositifTrematoda
PositifNematoda
PositifCoccidia
PrevalensiPGI ( % )
Kupang 10 0 (0.%) 1 (10.0%) 0 (0.%) 1 (10.0%)
Manggarai 52 0 (0.%) 14(26.9.%) 4 (7.6.%) 14 (26.6.%)
Ruteng 10 3 (0.%) 0 (0.%) 0 (0.%) 3 (0.%)
Ngada 102 2 (1.9.%) 13(12.7.%) 1 (0.9%) 13 (12.7.%)
Sikka 54 0 (0.%) 10(18.5.%) 2 (2.7.%) 10 (18.5.%)
Belu 110 3 (2.7.%) 30 (27.3%) 4 (3.6.%) 30 (27.3%)
TimurTengahS
17 0 (0.%) 7 (0.%) 0 (0.%) 10 (0.%)
Total 407 8(1.9%) 64(15.7.%) 11(2.2%) 83 (29.4%)
84
PEMBAHASAN
Hasil pengujian terhadap 2.495 sampel tinja sapi bali di Propinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 958 ( 38.4% )
positif terinfeksi oleh parasit gastrointestinal dan 1537 (63.6%) diantaranya
negatif. Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan penghitungan
telur ditemukan cacing trematoda terdiri atas genus Paramphistomum spp.,
Fasciola spp. dengan prevalensi 21.6% dan cacing nematoda terdiri atas genus
Mecistoccirus spp.,Ostertagia spp,Trichotrongylus spp. Meccistosirus sp.
Cooperia sp. Oesophagustomum sp dan Tococara spp. prevalenisnya 15.5%
Serta Coccidia dari genus Eimeria spp 9.6% dengan variasi distribusi prevalensi
di daerah survey, yaitu tertinggi di NTB sebesar 44.6% diikut di Propinsi Bali
41.5.%, dan terendah 29.4% di NTT. Berbagai jenis parasit gastrointestinal yang
dapat menginfeksi ruminansia tersebar secara kosmopolitan, kecuali jenis-jenis
tertentu hanya ditemukan pada suatu wilayah geografis tertentu. Kejadian
parasit gastrointestinal pada sapi dengan kepentingannya secara ekonomis
sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis dan iklim serta musim sepanjang tahun.
(Anonim 2008b) Seperti halnya komposisi jenis-jenis parasit pada hasil
penelitian ini juga ditemukan mirip dengan penelitian lain yang terjadi pada
ternak ruminansia di daerah yang berbeda
Intensitas infeksi berdasarkan perhitungan jumlah telur cacing ( eggs per gram
faeses,epg ) dari Trematoda adalah tergolong ringan sampai sedang . .Menurut
acuan bahwa 10-20 epg ringan, >.20- 60 epg sedang dan > 60 berat,
sedangkan Nematoda ,Cestoda dan Coccidia 40-500 epg. ringan, 500-1000 epg
sedang dan > 1000 berat .( Whitlock,1980) Pada surveilan dan monitoring ini
intensitas infeksi oleh Trematoda, dan Nematoda tergolong infeksi ringan –
sedang, khususnya beberapa pedet /sapi muda ditemukan infestasi Toxocara
(Neoascaris vitulorum) dan infeksi Eimeria spp(Coccidia) dengan intensitas
infeksi sedang – berat yaitu pedet umur < 6 bulan masing asal Kabupaten
Jembrana.Bali dan Bima, NTB. Hal ini disebabkan di beberapa lokasi
peternakan sapi di pedesaan, khususnya program pengendalian parasit
gastrointestinal, perbaikan managemen pemeliharaan dan pemberian obat
cacing/ antelmentik ataupun anti coccidia tidak dilakukan secara periodik Selain
karena keterbatasan pengetahuan peternak tentang penyakit, harga obat cukup
85
mahal dan susah didapat, sehingga pada infeksi yang intensitasnya sedang
sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan
penanganan yang baik sering terjadi kematian ternak. khususnya pada pedet.
Admadilaga (1975) pernah melaporkan bahwa angka kematian pedet sapi Bali
sebesar 10–80%, sedangkan Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di
Bali memperoleh kematian pedet sebesar 7,3%, terhadap kelahiran atau
sebesar 1,84% dari populasi. Kemudian hasil survei pendahuluan Gunawan dan
Anak Agung Gde Putra (1982) bahwa prevalensi infestasi Neoascaris vitulorum
( ascariasis) tertinggi 75 % pada pedet umur 3- 4 minggu kemudian menurun
55.5% terjadi pada pedet berumur 5-6 bulan
Pada kasus- kasus infeksi kronis ringan yang berulang pada sapi dalam kurun
waktu tertentu di dalam tubuh akan terbentuk pertahanan berupa zat kebal
atau antibodi terhadap parasit sehingga pada infeksi berikut intensitasnya
cendrung berkurang. . Namun demikian, pada infeksi yang intensitasnya
sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan
penanganan yang baik akan terjadi kerugian ekonomi akibat penurunan
produkstivitas dan kematian ternak.
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanBerdasarkan hasil surveilan dan monitoring parasitgastrointestinal di Provibsi
Bali,NTBdan NTT Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa
1. Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di Bali,NTB dan NTT rata
rata sebesar 38.4% dengan variasi tertinggi 44.6%) di NTB, kemudian
41.5.% di Bali dan terendah 29.4%) di NTT
2. Ada tiga jenis Parasit Gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali di Propinsi
Bali, NTB dan NTT yaitu : cacing Trematoda, Nematoda dan Coccidia. Dari
trematoda ditemukan genus Paramphistomum sp dan Fasciola sp. dengan
prevalensi 21.6%, Dari Nematoda terdiri atas genus Toxocara
spp,Mecistoccirus spp.,Ostertagia spp,Trichotrongylus spp.. Cooperia spp.
Oesophagustomum spp. dan Monieza spp prevalenisnya 13.3% ,
sedangkan dari Protozoa genus Eimeria spp. 9.6%.
86
3. Intensitas infeksi dari genus Paramphistomum sp 10-200 dan Fasciola sp.
10-60 epg dan genus strongylus 40-800 epg sedangkan dari genus Emeria
sp 40-1040 opg.
Saran -Saran1. Untuk mengendalikan inpeksi parasit gastrointestinal pada sapi di Bali, NTB
dan NTT disarankan penggunaan obat cacing khusus untuk Toxocara/
ascariasis pada pedet dengan piperasin, sedangkan untuk cacing trematoda
dan nematoda, gunakan antelmintik berspektrum luas antara lain
albendazole, febendazole. Serta pengobatan terhadap coccidia (Emeria.)
menggunakan preparat sulfa sesuai dosis anjuran
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak ekonomi yang
ditimbulkan oleh infeksi parasit gastrointestinal pada sapi / kerbau
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Besar
Veteriner Denpasar, atas tugas dan fasilitas yang diberikan untuk melakukan
penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. drh.Ni Ketut
Harmini Saraswati, I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto yang telah membantu
dalam persiapan dan tindak pengujian di laboratorium Parasitologi,Balai Besar
Veteriner Denpasar.
DAFTAR PUSTAKA
Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternakdalam Sistem Pembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana EkonomiPeternakan. F.E. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Anonimus, 2008. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan,Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta
Anonimus .2008b.The epidemiology of helminth parasites.http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/ Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008].
Darmadja, N..D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam EkosistemPertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
87
Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan TelurCacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal IlmuTernak dan Veteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60
Gunawan M. (1984) Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan PiperazinCitrat pada pedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. . BalaiPenyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5
Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminarsapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar
Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada SapiBali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar.J. Agrisistem 2 (2): 63-69..
Mastra. I K. (2012) Sebaran infeksi Parasit Gastrointestinal pada sapi bali di ProvinsiBali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2012, BuletinVeteriner .Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat, VeterinerVol. XX VI Juni 2013 ISSN : 0854 901 X
Sastradipraja,D. (1990) Potensi Int ernal Sapi Bali sebagai salah satu sumberPlasmaNutfah unutk menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan ternakKerja secara Nasional. Proc. Seminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar..
Suhadji (1990) Kebijakan Pemulia Biakan khusunya sapi Bali. Proc. Seminar sapi BaliUniv.Udayana, Denpasar..
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52
Suweta, I.G.P.(1982). Kerugian Ekonomi Cacing Hati pada Sapi sebagai ImplikasiInteraksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di PulauBali, Thesis Doktor, Universitas Padjadjaran, Indonesia
Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs(1979) Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation
Whitlock, et al (1980), Universal Egg Counting Technique , Veterinary Parasitolog, 7:215
88
ANALISA RESIKO DAN SURVEILANSBOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY
DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014
Drh. I Ketut Eli Supartika M.Sc,Drh. I Ketut Wirata, M.SiDrh. Gede Agus Joni Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy (BSE) di wilayah kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar telah dilakukan pada tahun anggaran 2014. Kegiatan ini dilakukan dirumah potong hewan (RPH) yang ada di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanyapenyakit BSE pada sapi Bali serta menganalisa kemungkinan masuknya BSE ke wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap kemungkinanmasuknya BSE ke wilayah kerja BBVet Denpasar khususnya dan Indonesia pada umumnya.Hasil wawancara dengan peternak dan staf dinas peternakan serta pemeriksan histopatologi 275sampel medula oblongata sapi yang dipotong di RPH yang ada di kabupaten/kota di ProvinsiBali, NTB dan NTT tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan unggas komersiil yangdiduga mengandung meat bone meal (MBM), limbah hotel/restoran untuk diberikan kepadaternak sapi. Secara histopatologis semua sampel medulla oblongata negatif BSE, ditandaidengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plakamyloid. Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebasdari BSE.
Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.
PENDAHULUAN
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah tujuan wisata
banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan
sumber potensial penularan penyakit sapi gila/BSE. Disamping itu, intensifikasi
pemeliharaan ternak oleh masyarakat berdampak pada peningkatan
penggunaan konsentrat atau pakan jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum
bisa dibuktikan bahwa konsentrat atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan
89
MBM sebagai bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa
pakan/konsentrat tersebut tidak mempergunkan MBM hasil importasi.
Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan
surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah
kerja, namun demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor.
367/Kpts/T N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas
Dari Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), maka dipandang perlu
untuk melakukan kegiatan monitoring patologi penyakit BSE di wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar secara terstruktur dan berkesinambungan.
Selain itu berdasarkan kontrak kinerja antara Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian dengan Kepala Unit Pelayanan Teknis
(UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
tanggal 14 Pebruari 2013 dengan penyampain dokumen
No:19044/TU.210/F1/2013 tanggal 19 Pebruari 2013 perihal tugas pokok dan
fungsi masing – masing UPT beserta beban kinerja dan target pencapaiannya.
Balai Besar Veteriner Denpasar sebagai UPT pusat mendapatkan beban target
kinerja antara lain; pencapaian target jumlah sampel, pemberdayaan atau
peningkatan peranan Puskeswan di wilayah kerja, peningkatan kompetensi
laboratorium tipe B dan C serta pencapaian penurunan status penyakit di
wilayah kerja yang pada akhirnya dapat mendukung program percepatan
swasembada daging sapi yang dicangkan oleh pemerintah.
Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar
Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang
dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun 2014 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut.
Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian
target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan
anggaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Peningkatan
kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta
melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni:
90
1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan
pelatihan secara terpusat
2. Supervisi kegiatan penerapan metode uji yang dilaksanakan oleh
laboratorium tersebut secara langsung.
3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan
peranan 20 Puskeswan di wilayah kerja (Bali 4 Puskeswan, NTB 4
Puskeswan dan NTT 12 Puskeswan), secara berkelanjutan sehingga
diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan peranannya dalam
surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.
TUJUAN
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara historis merupakan daerah
bebas BSE. Namun dengan semakin derasnya arus importasi pakan
ternak/unggas, maka kecurigaan akan masuknya BSE ke Indonesia patut
diantisipasi. Ada informasi yang perlu dicermati bahwa ada pakan unggas
komersial yang diduga mengandung MBM diberikan ke ternak sapi potong.
Kebenaran informasi seperti ini patut ditelusuri melalui kegiatan surveilans di
RPH disertai penelusuran kemungkinan distribusi pakan unggas diduga
mengandung MBM pada pedagang pakan ternak. Kegiatan analisa resiko dan
surveilans penyakit BSE dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeteksi
kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak sapi yang dipotong
di RPH serta penelusuran kemungkinan adanya penggunaan pakan unggas
yang diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
91
MANFAAT
Manfaat dari kegiatan analisa resiko dan surveilans penyakit BSE adalah
1 Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak
sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar.
2 Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan pakan unggas yang
diberikan ke ternak sapi potong.
3 Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.
KELUARAN
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit BSE
adalah:
1. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara
histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.
3. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit BSE diwilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar.
4. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaan pakan unggas
komersiil diberikan ke ternak sapi potong.
PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2014 dilaksanakan oleh Balai
Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas
pengambil contoh (PPC) dengan melibatkan dokter hewan Puskeswan dan
petugas di RPH dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata yang diambil
sebanyak 275 sampel dari target 354 sampel (Tabel 1).
92
1. Materi dan Metode.
Materi:
Monitoring patologi BSE dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi
(medula oblongata) di RPH yang berada dibawah pengawasan Pemerintah
Daerah/ Dinas Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex
dari medula oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal
dari sapi yang berumur 2 tahun keatas.
Metode:
Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pada pemeriksaan histopatologik.
Pada kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal
sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,
gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2001), reaksi
astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.
Analisis Data
Data hasil informasi tentang penggunaan pakan komersiil pada peternakan sapi
disajikan secara naratif. Hasil pengujian histopatologi disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik selanjutnya dianalisa secara deskrip.
HASIL
Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau TPH
yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel didampingi oleh
petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah Provinsi Bali, sampel
otak diambil di RPH Kabupaten Badung, Buleleng, Denpasar, Karangasem,
Klungkung dan Tabanan. Di Provinsi NTB sampel otak diambil di RPH
Kabupaten Lombok Tengah dan Mataram, sedangkan di Provinsi NTT diambil di
RPH di kabupaten Manggarai dan Kota Kupang. (Tabel 1). Jumlah sampel otak
yang diambil dan jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan pada Tabel 1, Grafik 1,
93
2, 3. Hasil pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di
RPH tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis
kelamin betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-
sapi yang dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di
NTT sapi-sapi kebanyak dilepas pada padang gembalaan (Gambar. 1dan 2).
Informasi dari peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang
membidangi fungsi peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat
langsung ke lapangan bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil
untuk ternak sapinya apa lagi pemberian pakan ungags komersiil yang diduga
mengandung MBM atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi
peternak kebanyakan makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan
berupa dedak dan juga rumput gajah (Gambar 3). Pada pemeriksaan sampel
medulla oblongata (Tabel 1) semua sampel yang berasal dari RPH
kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE. Hasil pemeriksaan
histopatologi tidak ditemukan adanya lesi yang mengarah ke BSE seperti:
degenerasi vakuoler neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi
radang, reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.
Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasil pemeriksaanhistopatologi sampel otak yang berasal dari RPH kabupaten/kota diProvinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2014.
Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah Sampel Jantan Betina BSE (+) BSE (-)Bali Badung 57 15 42 0 57
Buleleng 8 2 6 0 8
Denpasar 56 37 19 0 56
Jembrana 6 4 2 0 6
Karangasem 25 9 16 0 25
Klungkung 5 0 5 0 5
Tabanan 12 12 0 0 12
Jumlah 169 79 90 0 169
NTB Lombok Tengah 15 6 9 0 15
Mataram 31 10 21 0 31
Jumlah 46 16 30 0 46
NTT Manggarai 50 12 38 0 50
Kota Kupang 10 0 10 0 10
Jumlah 60 12 48 0 60
Jumlah Keseluruhan 275 107 168 0 275
94
Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2014.
Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2014.
95
Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2014.
0
10
20
30
40
50
60
Jantan Betina Jumlah
12
38
50
0
10 1012
48
60
Manggarai Kota Kupang Kota Kupang
96
Gambar 1. Sapi-sapi yang dipelihara di kabupaten/kota di provinsi Bali umumnyadikandangkan, 2. Di Provinsi NTT, peternak umumnya mengembalakan ternaknya padapadang pengembalaan. 3. Peternak umunya memberikan rumput raja sebagai pakanternak sapi, dan tidak memberikan pakan komersiil. 4. Histopatologi medula oblongatanegatif BSE, tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrositataupun plak amyloid (H&E; 100X)
1 2
43
97
PEMBAHASAN
Indonesia sampai saat ini merupakan negara bebas BSE. Untuk
mempertahankan Indonesia tetap bebas dari BSE, pemerintah telah mengambil
langkah-langkah antara lain: penghentian importasi hewan ruminansia dan
produknya yang berasal dari negara tertular BSE, pelarangan penggunaan
tepung daging dan tulang (TDT) dan MBM asal ruminansia sebagai pakan
ternak ruminansia serta melakukan surveilans dan kajian resiko setiap tahun
secara berkelanjutan.
Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2014
di RPH yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT
tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif BSE. Di Provinsi Bali, NTB dan
NTT tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Peternakan sapi
merupakan usaha sambilan bukan merupakan usaha pokok. Di Provinsi Bali
petani ternak rata-rata memelihara sapi Bali sebanyak 2 ekor. Pakan yang
diberikan adalah rumput, kadang-kadang ada diberikan dedak dan mineral blok.
Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi ada yang dikandangkan dan ada juga
dilepas di padang pengembalaan. Tidak ada pemberian pakan komersial yang
mengandung MBM atau TDT, konsentrat pakan ayam atau limbah
hotel/restoran. Sistem peternakan sapi yang dianut oleh sebagian besar
peternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar pada khususnya
dan Indonesia pada umumnya sejak dari jaman dahulu telah menerapkan
prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi secara alami diberikan rumput
sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan pakan yang berasal dari hewan.
Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui
pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia
yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung antar
ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak telah
menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di dalam
saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke organ
limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk selanjutkan
diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004). PrPsc selanjutnya
98
melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem saraf tepi dan sistem
saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi spesifik yaitu:
degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik tanpa diikuti
adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan hiperplasia
(Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994). Pada sapi
menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak, spinal cord ,
retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.
Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan data
bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan dengan sapi
jantan. Jenis kelamin hewan bukan merupakan faktor resiko penularan penyakit
BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai peluang yang sama
untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan perlakuan atau mempunyai
resiko paparan yang sama.
Analisa resiko kegiatan.Di Provinsi Bali, jumlah target sampel BSE sebanyak 118 sampel realisasinya
melebihi target yaitu sebanyak 169 sampel, sedangkan di provinsi NTB dan NTT
target sampel otak tidak memenuhi. Di NTB target sampel otak sebanyak 118
sampel, realisasinya hanya 46 sampel, di NTT dari target 118 sampel
realisasinya 60 sampel. Tidak terpenuhinya target sampel BSE di NTB dan NTT
disebabkan oleh karena para jagal tidak mau sapi yang mereka potong bagian
otaknya diambil untuk sampel. Mereka takut nanti otak sapi rusak dan tidak laku
dijual di pasar. Kedepan, para PPC diberi arahan sebelum mengambil sampel
kelapangan tentang cara mengambil sampel medulla oblongata yang baik dan
benar sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada otak.
99
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan.a. Berdasarkan hasil analisa resiko dan surveilans BSE yang diadakan di
RPHyang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT
disimpulkan bahwa Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari
penyakit BSE.
b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat pakan ayam, limbah hotel dan
restoran untuk dijadikan pakan ternak sapi.
2. Saran.Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya
kasus BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan
MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia tetap dilanjutkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt,C.J., Udy, H.J., MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E.,Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M., Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.Rand Wells, G.A.H (1996). Transmission dynamics and epidemiology ofBSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.
Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistryof PrPsc within bovine spongiform encephalopathy brain samples withgraded autolysis. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 49. pp.1519-1524.
Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmissionof prion diseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.
Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovinespongiform encephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibrilprotein (PrP) and vacuolation in brain. Veterinary Microbiology. 23. pp.295-304.
100
Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration andtopographic distribution of PrP in the central nervous system in bovinespongiform encephalopathy: an immunohistochemistry study: Ann NYAcad Sci. 724. pp. 350-352.
Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting diseaseof mule deer (Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni).Veterinary Pathology. 30. pp. 36-45.
101
SURVEILANS PATOLOGI REPRODUKSI PADA TERNAK SAPI POTONGDALAM RANGKA MENDUKUNGPROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI
DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2014
Drh. Gede Agus Joni Uliantara, Drh. I Ketut Eli Supartika M.Sc,Drh. I Ketut Wirata, M.Si.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAKS
Dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau , telah dilakukansurveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar tahun anggaran 2014. Surveilans dilakukan dengan mengambil sampel organreproduksi pada ternak sapi betina dan jantan yang di potong di rumah potong hewan (RPH) dantempat pemotongan hewan (TPH) yang ada di wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB)dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Surveilans bertujuan untuk mengetahui patologi reproduksi yang mungkin terjadi pada ternaksapi potong yang bisa berpengaruh terhadap produktifitas ternak sapi. Untuk wilayah Bali,pemotongan terhadap sapi betina mencapai 129 (59,17%), dan jantan sebanyak 42(19,26%)tanpa data sebanyak 47 ekor (21,55%), dari seluruh jumlah sampel yang diperoleh sebanyak218 sampel. Sedangkan untuk wilayah NTB pemotongan sapi betina sebanyak 95 ekor (58,64%)dan jantan 38 ekor (23,45%) dan tanpa data sebanyak 29 ekor (17,90%) dari 162 ekor sapiyang dipotong. RPH dan TPH di wilayah Provinsi NTT juga melakukan pemotongan pada betinayaitu sebanyak 188 ekor (90,82%) dan jantan sebanyak 19 ekor (9,18%) dari 207 ekor sapi yangdipotong.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan, dari 587 sampel organ reproduksi yang diuji dilaboratorium Patologi yang berasal dari wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tampaknormal dan tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.
Dapat disimpulkan bahwa adanya gangguan reproduksi seperti kawin berulang maupun anestrusyang sering dikeluhkan peternak dan dijadikan alasan untuk menjual ternaknya yang masihtergolong usia betina produktif, bukan disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi yangbersifat patologis.
Kata kunci: surveilans, patologi reproduksi, sapi potong, Prov. Bali, NTB, dan NTT
102
PENDAHULUAN
Latar BelakangPopulasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari
tahun ke tahun mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari
luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap
tahun, hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar.
Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional
masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun
terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat
tinggi mencapai 20-40% ; kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di
beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada
saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh
penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010).
Untuk mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah
mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi
(PSDS) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
60/Permentan/HK.060/8/2007. Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama
terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak
berbasis sumberdaya domestik yang salah satunya adalah Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang tertuang dalam blue print Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014.
Gangguan reproduksi pada ternak sapi merupakan gangguan infertilitas yang
merupakan masalah yang sangat komplek disebabkan oleh beraneka ragam
penyakit Gangguan reproduksi pada sapi potong dapat disebabkan oleh bawaan
sejak lahir (Anon, 2005), penyakit viral seperti Bovine Viral Diarrhoea
(Hawranek, 2004), Infectious Bovine Rhinotraceitis (Nuotio et al., 2007),
bakterial (Brucellosis, Leptospirosis), jamur, atau parasit / protozoa
(Trichomoniasis).
103
GANGGUAN REPRODUKSI
Penyebab Gangguan ReproduksiDi dalam Petunjuk Teknis Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong
(Balitbangnak, 2007), gangguan reproduksi pada sapi potong bisa disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya:
Cacat anatomi saluran reproduksi (defek kongenital), Gangguan fungsional,
Kesalahaan manajemen dan Infeksi organ reproduksi.
Macam Gangguan Reproduksi
A. Cacat Anatomi Saluran ReproduksiAbnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan
menjadi dua yaitu cacat congenital (bawaan) dan cacat perolehan.
1. Cacat Kongenital
Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada
ovarium (indung telur) dan pada saluran reproduksinya.
2. Cacat perolehan
Cacat perolehan dapat terjadi pada indung telur maupun pada alat
reproduksinya. Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya:
Ovarian Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang
pada indung telur). Bekuan darah yang terjadi dapat menimbulkan adhesi
(perlekatan) antara indung telur dan bursa ovaria (Ovaro Bursal Adhesions /
OBA). OBA dapat terjadi secara unilateral dan bilateral.
B. Gangguan fungsionalSalah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional
(organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini
disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus
gangguan fungsional, diantaranya: sista ovarium, subestrus dan birahi tenang,
anestrus dan ovulasi tertunda.
104
C. Kesalahan ManajemenFaktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan/ nutrisi. Jika
tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan
mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan
akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi
hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormone FSH dan LH rendah
(karena tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan
sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa
pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah : birahi
tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/
fetus.
D. Infeksi Organ Reproduksi1. Infeksi non spesifik
Yang termasuk dalam infeksi non spesifik diantaranya: endometritis (radang
uterus), piometra (radang uterus bernanah), dan vaginitis.
2. Infeksi Spesifik
Infeksi yang bersifat spesifik diantaranya: bacterial, viral, protozoa, jamur,
prolaps vagina cervik (dobolen), distokia, retensi plasenta, torsi uterus
(kandung peranakan melintir), maserasi fetus (janin membubur), mummifikasi
fetus (janin mengeras), dan hernia uterina.
Gangguan reproduksi sering dijadikan alasan bagi para peternak untuk menjual
ternak sapi mereka yang masih tergolong produktif. Surveilans patologi
gangguan reproduksi dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan
gangguan reproduksi yang bersifat patologis pada organ reproduksi ternak sapi
yang di potong di RPH maupun TPH yang ada di wilayah Bali, NTB dan NTT.
105
TUJUAN1. Untuk mendapatkan gambaran situasi penyakit gangguan reproduksi di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
2. Agar dapat mempetakan penyakit gangguan reproduksi yang terjadi di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
SASARAN1. Pemotongan betina produktif agar dapat dikendalikan, guna mencapai
PSDSK.
2. Pengawasan dari Pemerintah setempat terutama yang menangani fungsi
Keswan agar lebih ditingkatkan agar tidak tejadi lagi pemotongan betina
produktif.
OUTPUTTerdatanya RPH dan TPH yang melakukan pemotongan betina produktif.
MATERI DAN METODE
MateriMeteri dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi adalah berupa spesimen
organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH maupun TPH
pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas peternakan atau yang
membidangi fungsi kesehatan hewan setempat. Spesimen organ terdiri dari
bagian testis, ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya yang secara
patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di simpan dalam
media formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses dilaboratorium.
MetodeSpesimen yang diambil selanjutnya diproses dalam alat tissue prosesor, di
embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi dengan mempergunakan
pewarnaan rutin Hematoxilin- Eosin. Pemeriksaan dilakukan dibawah miroskop
dengan perbesaran 5 – 40x untuk melihat kemungkinan adanya perubahan atau
lesi yang bersifat patogen pada organ reproduksi.
106
HASIL
Pengambilan sampel organ reproduksi sapi untuk pengujian gangguan patologi
reproduksi dilakukan pada malam hari di Rumah Potong Hewan (RPH) atau
Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang berada dibawah pengawasan Dinas
Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan.
Pengambilan sampel didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga
RPH.
Pengambilan sampel di kabupaten Karangasem diperoleh sampel sebanyak 26
sampel. Dari 26 sampel tersebut sebanyak 4 ekor berjenis kelamin jantan
(15,38%) dan 22 (84,62%). sampel dengan jenis kelamin betina Umur sapi yang
dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 20 ekor (76,92%) dan sebanyak 6
ekor (23,08%) sampel tidak ada datanya
Pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Jembrana diperoleh
sampel sebanyak 16 sampel. Dari 16 sampel tersebut 2 sampel berjenis kelamin
jantan (12,5%) dan 10 sampel berjenis kelamin betina (62,5%) dan 4 sampel
tidak ada data (25%). Umur sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun
sebanyak 7 sampel (43,75%) diatas 5 tahun sebanyak 3 sampel (18,75%) dan
sebanyak 6sampel tidak ada catatan umurnya (37,5%). Hal ini bisa dilihat dari
struktur gigi dan atau jumlah cincin pada lingkar tanduk hewan betina.
Pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Buleleng sebanyak 14
sampel,yang terdiri dari 1 sampel dengan jenis kelamin jantan (7,14%), 9 sampel
dengan jenis kelamin betina (64,3%) dan 4 sampel tidak ada data (28,5%). Umur
sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 2 sampel (16,67%)
diatas 5 tahun sebanyak 6 sampel (50%) dan 6 sampel tidak ada datanya (
33,33%).
107
Di Kabupaten Tabanan pengambilan sampel reproduksi sebanyak 13 sampel.
Organ reproduksi jantan diperoleh sebanyak 10 sampel (76,9%) dan betina
sebanyak 3 sampel (23,1%). Sedangkan umur sapi yang dipotong berkisar
antara 1-5 tahun sebanyak 9 ekor (69,2%) dan tanpa data sebanyak 4 ekor
(30,8%)
Pengambilan sampel organ reproduksi di Kota Denpasar diperoleh sampel
sebanyak 39 sampel, yang terdiri dari 4 sampel dengan jenis kelamin jantan
(10,2%), 26 sampel dengan jenis kelamin betina (66,6%) dan tanpa data
sebanyak 9 sampel (25%). Umur sapi yang dipotong berkisar antara1-5 tahun
sebanyak 36 ekor (92,3%) diatas 5 tahun sebanyak 2 ekor (5,12%) dan tidak
ada data umur sebanyak 1 ekor (2,5%).
Untuk pengambilan sampel organ reproduksi di Kabupaten Klungkung diperoleh
sampel sebanyak 30 sampel yang terdiri dari 7 sampel dengan jenis kelamin
jantan (23,33%), 17 sampel dengan jenis kelamin betinan (56,67%) dan 6
sampel tanpa data (20%). Sedangkan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak
11 ekor (36,67%) diatas 5 tahun sebanyak 5 ekor (16,67%) dan tanpa data
sebanyak 14 ekor (46,67%).
Pengambilan sampel di Kabupaten Badung diperoleh sampel sebanyak 62
sampel yang terdiri dari 9 sampel(14,51%) dengan jenis kelamin jantan ,38
sampel (61,30%) dengan jenis kelamin betina dan tanpa data sebanyak 15
sampel(24,20%).Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 21 ekor
(38,88%),diatas umur 5 tahun sebanyak 17 ekor (27,41%) dan tanpa data umur
sebanyak 24 ekor ( 38,70% ).
Sedangkan untuk pengambilan sampel di Kabupaten Gianyar diperoleh sampel
organ reproduksi sebanyak 8 sampel yang terdiri dari 5 sampel (62,5%) dengan
jenis kelamin jantan, dan 2 sampel (25%) dengan jenis kelamin betina dan 1
sampel tanpa keterangan(12,5%). Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 8
ekor (100%).
108
Untuk di Kabupaten Bangli diperoleh sampel sebanyak 10 sampel yang terdiri
dari 4 sampel (40%) dengan jenis kelamin betina dan 6 sampel (60%) tidak ada
datanya. Kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 4 sampel (40%) dan 6 tidak
ada catatan umurnya ( 60% ).
Surveilans patologi gangguan reproduksi untuk wilayah NTB dilakukan
pengambilan sampel di Lima Kabupaten/Kota. Untuk di Kabupaten Sumbawa
Barat diperoleh sampel sebanyak 21 sampel yang terdiri dari 21 sampel berjenis
kelamin betina (100%) dan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 9 ekor
(42,85%) dan diatas 5 tahun sebanyak 12 ekor (57,15%).
Di Kabupaten Lombok Tengah diperoleh sampel sebanyak 39 sampel yang
terdiri dari 6 sampel (15,38%) berjenis kelamin jantan, 9 sampel (23,07%)
dengan jenis kelamin betina dan 24 sampel (61,53%) tidak dilengkapi dengan
jenis kelaminnya, Umur sapi yang dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak
21 ekor (53,85%) diatas 5 tahun sebanyak 14 ekor (35,88%) dan 4 sampel tanpa
data (10,25%).Sedangkan untuk di Kabupaten Dompu diperoleh sampel
sebanyak 40 sampel yang terdiri dari 7 sampel (17,5%) dengan jenis kelamin
jantan dan 33 sampel (82,5%) dengan jenis kelamin betina. Umur sapi yang
dipotong berkisar antara 1-5 tahun sebanyak 15 ekor (37,5%) diatas 5 tahun
sebanyak 5 ekor (12,5%) dan 20 ekor (50%) tanpa keterangan umurnya.
Pengambilan sampel di Kabupaten Lombok Timur diperoleh sampel sebanyak
33 sampel yang terdiri dari 15 sampel (45,45%) dengan jenis kelamin jantan dan
18 sampel (54,54%) tanpa keterangan. Untuk umur sapi yang dipotong tidak ada
data tercatat. Untuk pengambilan sampel di Kota Mataram diperoleh sampel
sebanyak 24 sampel yang terdiri dari 10 sampel 41,66%) dengan jenis kelamin
jantan dan 14 sampel (58,33%) dengan jenis kelamin betina.Kisaran umur sapi
yang dipotong di RPH antara 1-5 tahun sebanyak 15 ekor(62,5%) dan diatas 5
tahun sebanyak 9 ekor (37,5%). Untuk di Kota Mataram diperoleh sampel organ
reproduksi sebanyak 5 sampel,dengan jenis kelamin betina tanpa dilengkapi
umur dari hewan tersebut.
109
Di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengambilan sampel dilakukan di
Enam Kabupaten/Kota. Di Kota Kupang diperoleh sampel organ reproduksi
sebanyak 60 sampel yang terdiri dari 60 sampel (100%) berjenis kelamin betina
dengan kisaran umur antar 1-5 sebanyak 21 ekor (35%), diatas 5 tahun
sebanyak 39 ekor (65%).
Di Kabupaten Sikka diperoleh sampel organ reproduksi sebanyak 20 sampel 10
sampel (50%) dengan jenis kelamin jantan dan 10 sampel (50%) dengan jenis
kelamin betina. Untuk kisaran umur yang dipotong di RPH antara 1-5 tahun
sebanyak 10 ekor (50%) dan tanpa keterangan data sebanyak 10 ekor
(50%).Untuk di Kabupaten Manggarai timur diperoleh sampel organ reproduksi
sebanyak 12 sampel yang terdiri dari 6 sampel (50%) dengan jenis kelamin
jantan dan 6 sampel (50%) dengan jenis kelamin betina, dan 12 sampel (100%)
tidak ada keterangan umurnya.
Pengambilan sampel di Kabupaten Manggarai diperoleh sampel sebanyak 96
sampel dengan jenis kelamin betina sebanyak 96 sampel (100%), kisaran umur
antara 1-5 tahun sebanyak 59 ekor (61,45%),diatas 5 tahun sebanyak 35 ekor
(36,45%) dan 2 ekor (2,08%) tanpa keterangan.Di Kabupaten Nagakeo
diperoleh sampel sebanyak 12 sampel yang terdiri dari 3 sampel (25%) dengan
jenis kelamin jantan dan 9 sampel (75%) dengan jenis kelamin betina. Umur sapi
yang dipotong di RPH berisar antara 1-5 tahun sebanyak 12 sampel (100%).
Dan di Kabupaten Ngada diperoleh sampel sebanyak 7 sampel yang terdiri dari
7 sampel (100%) dengan jenis kelamin betina dan tanpa dilengkapi umur.
Pengambilan sampel organ reproduksi khususnya di Provinsi Bali melibatkan
seluruh Puskeswan yang ada disetiap Kabupaten/Kota di seluruh Bali. Adapun
tujuannya dilakukan kerjasama ini adalah guna meningkatkan kerjasama antar
instansi dan sekaligus untuk meningkatkan ketrampilan kawan-kawan dalam
pengambilan sampel dilapangan.
110
Data dan hasil pemeriksaan sampel dari masing-masing Rumah Potong Hewan
dan Tempat Pemotongan Hewan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali NTB dan NTT
pada tahun 2014 dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ reproduksi yangberasal dari RPH kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTTtahun 2014
Umur Hewan Jenis KelaminNo Prov Kab/Kota Jml
Smpl 1≤5 th >5 th TD Jtn Btn TdHasil
Karangasem 26 20 - 6 4 22 - 26 TAP
De Jembrana 16 7 3 6 2 10 4 16 TAP
Buleleng 14 2 6 6 1 9 4 14 TAP
Tabanan 13 9 - 4 10 1 2 13 TAPDenpasar 39 36 2 1 4 26 9 39 TAP
Klungkung 30 11 5 14 7 17 6 30 TAP
Badung 62 21 17 24 9 38 15 62 TAP
Gianyar 8 8 - - 5 2 1 8 TAP
Bangli 10 4 - 6 - 4 6 10 TAP
1 Bali
Jumlah 218 118 33 67 42 129 47SumbawaBarat
21 9 12 - - 21 - 21 TAP
Loteng 39 21 14 4 6 9 24 39 TAP
Dompu 40 15 5 20 7 33 - 40 TAP
Lotim 33 - - 33 15 18 - 33 TAP
Mataram 24 15 9 - 10 14 - 24 TAP
Kota Bima 5 - - 5 - - 5 5 TAP
2 NTB
Jumlah 162 60 40 62 38 95 293 NTT Kota Kupang 60 21 39 - - 60 - 60 TAP
Sikka 20 10 - 10 10 10 - 20 TAPManggaraiTimur 12 - - 12 6 6 - 12 TAP
Manggarai 96 59 35 2 - 96 - 96 TAP
Nagakeo 12 12 - - 3 9 - 12 TAP
Ngada 7 - - 7 - 7 - 7 TAP
Jumlah 207 102 74 31 19 188 -
Jumlah Total Sampel 587 280 147 160 99 412 76
KeteranganTD : tidak ada dataTAP : tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan
reproduksi
111
PEMBAHASAN
Penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi maupun kerbau sering kali tidak
terdeteksi pada awalnya. Hal ini disebabkan karena biasanya penyakit berjalan
sangat perlahan sampai suatu saat muncul pada suatu peternakan. Disamping
itu, penyakit gangguan reproduksi juga cenderung bersifat sub klinis namun bisa
mengancam seluruh populasi dalam kelompok dan yang ada disekitarnya.
Sistem produksi ternak yang masih bersifat tradisional/ ternak dilepas di padang
gembalaan akan semakin mempersulit pengamatan terhadap ternak yang
mengalami gangguan reproduksi.
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Provinsi Bali, NTB dan
NTT. Untuk wilayah Bali sistem produksi ternak bersifat semi intensif, dimana
ternak sudah dikandangkan dan dilakukan pemberian pakan baik berupa hijauan
maupun pakan tambahan berupa dedak padi/ gandum. Pemanfaatan teknologi
reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) maupun sinkronisasi birahi juga sudah
cukup banyak dilakukan di wilayah Bali. Ternak sebagai tenaga untuk
pengolahan lahan pertanian sudah mulai di geser fungsinya oleh alat pembajak
yang menggunakan motor/mesin (tractor). Sedangkan wilayah Provinsi NTB
(kecuali Pulau Lombok) dan NTT, sistem produksi ternak sapi dan kerbau masih
sangat tradisional. Ternak di wilayah tersebut dipelihara dengan cara dilepaskan
di padang gembalaan. Ternak hanya masuk kandang pada saat pendataan
(registrasi) dan vaksinasi oleh petugas. Bahkan menurut informasi Kepala Dinas
Peternakan di wilyah tersebut, dalam satu tahun belum tentu ternak pernah
masuk ke kandang. Hal ini sangat menyulitkan untuk mendeteksi kemungkinan
ternak terjangkit suatu penyakit termasuk penyakit gangguan reproduksi seperti
Brucellosis dan yang lainnya.
Peta kesehatan hewan di wilayah kerja Balai Besar veteriner Denpasar
menunjukkan Provinsi Bali merupakan daerah bebas penyakit Brucellosis, Pulau
Lombok sudah dapat dibebaskan dari penyakit Brucellosis sejak tahun 2002
sedangkan Kota Bima prevalensi reaktor Brucellosis cukup rendah yakni 0,06%
(Putra dan Arsani, 2004). Wilayah Provinsi NTT merupakan daerah endemis
112
Brucellosis terutama Pulau Timor, walaupun di beberapa wilayah seperti Pulau
Sumba prevalensinya sangat rendah.
Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di Provinsi Bali, NTB
dan NTT pada tahun anggaran 2014 oleh Balai Besar Veteriner Denpasar,
menunjukkan bahwa gangguan reproduksi yang disinyalir mempunyai andil
dalam penurunan populasi ternak sapi di Indonesia, bukan disebabkan oleh
penyakit infeksi.
Dari analisa data hasil pengujian secara histopatologi terhadap sampel organ
reproduksi yang berasal dari wilayah kerja balai Besar Veteriner Denpasar
diperoleh sampel sebanyak 587. Dari 587 sampel yang diuji secara histopatologi
semua organ tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan
reproduksi. Adapun 587 sampel tersebut berasal dari :
Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di wilayah Provinsi Bali
mengambil sampel sebanyak 218 sampel organ reproduksi dan hasil
pemeriksaan secara histopatologi menunjukkan ( 100% ) sampel baik itu organ
reproduksi betina dan organ reproduksi jantan tidak ada perubahan yang
mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.
Surveilans patologi gangguan reproduksi yang dilakukan di wilayah Provinsi
NTB hanya memperoleh 162 sampel organ reproduksi dan dari hasil
pemeriksaan histopatologi keseluruhan sampel (100%) baik dari hewan jantan
maupun betina tidak ada perubahan yang mengarah ke penyakit reproduksi.
Untuk wilayah Provinsi NTT diperoleh sebanyak 207 sampel organ reproduksi
dan hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan 207 (100%) sampel tidak ada
perubahan yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi.
113
Gambar 1. Organ reproduksi hewan normal, tidak tampak ada perubahan secarahistopatologi (HE. 40x).
Gambar 2. Organ reproduksi hewan normal, tidak tampak ada perubahan secarahistopatologi (HE. 40x).
114
Analisa hasil pengujian histopatologi terhadap sampel organ reproduksi yang
diperoleh pada saat surveilans patologi gangguan reproduksi dilakukan
menunjukkan signifikansi yang sangat rendah antara pengaruh penyakit
gangguan reproduksi (0 kasus) terhadap penurunan populasi ternak di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Hal yang cukup mengejutkan dari hasil monitoring yang dilakukan adalah
tingginya pemotongan terhadap betina produktif. Adapun yang dimaksud sapi-
sapi betina produktif adalah sapi-sapi betina dalam strata umur produktif yaitu
umur 1 tahun sampai dengan umur ≤ 5 tahun, strata umur ini merupakan kondisi
pencapaian laju produksi puncak (peak product) sapi betina untuk menghasilkan
produksi terbaik/ optimum (Bambang S., 2011).
Untuk wilayah Bali, pemotongan terhadap sapi betina mencapai 129 (59,17%),
dan jantan sebanyak 31(19,26%) tanpa data sebanyak 47 ekor (21,55%), dari
seluruh jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 218 sampel. Sedangkan untuk
wilayah NTB pemotongan sapi betina sebanyak 95 ekor (58,64%) dan jantan 38
ekor (23,45%) dan tanpa data sebanyak 29 ekor (17,90%) dari 162 ekor sapi
yang dipotong. RPH dan TPH di wilayah Provinsi NTT juga melakukan
pemotongan pada betina yaitu sebanyak 188 ekor (90,82%) dan jantan
sebanyak 19 ekor (9,18%) dari 207 ekor sapi yang dipotong.
Hasil diatas menunjukkan masih tetap terjadi pemotongan terhadap sapi
produktif dengan kisaran umur antara 1-5 tahun sebanyak 280 ekor (47,70%)
dan umur diatas 5 tahun sebanyak 147 ekor (25,04%) dan tanpa data sebanyak
160 ekor (27,25%)
115
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanKejadian penyakit infeksi pada organ reproduksi ternak sapi yang di potong di
RPH maupun TPH yang ada di Provinsi Bali, NTB dan NTT sangat rendah (0
kasus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa gangguan reproduksi yang
disebabkan oleh penyakit infeksi tidak secara signifikan mempengaruhi
penurunan populasi ternak masyarakat. Faktor manajemen seperti nutrisi
pakan, deteksi birahi, transportasi semen untuk inseminasi buatan, dan
ketersediaan pejantan untuk intensifikasi kawin alam, lebih berperan dalam
kegagalan reproduksi daripada akibat penyakit infeksi.
Pemotongan terhadap ternak betina produktif sangat jelas mempengaruhi
penurunan populasi ternak, karena ternak yang diharapkan untuk menghasilkan
ternak baru (reproduksi) harus berakhir di rumah pemotongan hewan.
SaranUntuk meningkatkan populasi ternak, manajemen pemeliharaan ternak
diharapkan bisa lebih kearah intensif. Karena sistem produksi tradisional/
ekstensif kurang mampu memaksimalkan produksi ternak atau setidaknya lebih
lambat dalam berproduksi daripada sistem produksi intensif.
Pengawasan terhadap pemotongan betina produktif diharapkan lebih maksimal
guna meningkatkan jumlah populasi ternak
DAFTAR PUSTAKA
Anon. (2005). Congenital and Inherited anomalies of the reproductive system.The Merck Veterinery Manual. 9th Ed. Merck & CO., INC. WhitehouseStation. N.J., USA. pp. 1094-1096.
Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. DirektoratJenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.
Bambang Soejosopoetro (2011). Studi Tentang Pemotongan Sapi BetinaProduktif di RPH Malang. J. Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011
116
Blowey, R.W and Weaver, A.D (1991). Diseses and Disorders of Cattle. WolfePublishing Ltd, 1991. BPCC Hazell Books Ltd, Aylesbury, England.
Budiantono, A., Supartika, I.K.E., Sudiarka, W., Berathi, W dan Sudira, W(2002). Monitoring kesehatan reproduksi ternak sapi potong di rumahpotong hewan di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. BuletinVeteriner. BPPV Denpasar. Vo. XIV. No. 60. pp. 33-37.
Hawranek, J.O (2004). Reproductive losses in dairy cattle inected with BVD-MDvirus – A field study. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 48. 355-359.
Nuotio, L., Neuvonen, E and Hyytiainen, M (2007). Epidemiology and eradicationof infectious bovine rhinotracheitis/infectious pustular vulvovaginitis(IBR/IPV) virus in Finland. Acta Veterinaria Scandinavica. 49. pp.1-6.
Walker, B. (2005). Diseases causing reproductive losses in breeding cattle.Agfact A0.9.68, rev. Veterinary Officer, Gunnedah. NSW Department ofPrimary Industries. pp. 1-5
117
SURVEILANS DAN MONITORING AGEN PENYAKIT RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2014
I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Surveilans dan monitoring deteksi agen penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar merupakan komponen penting dalam upaya pengendalian dan pemberantasanpenyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. Rabies bersifat endemis diProvinsi Bali, Pulau Flores dan sekitarnya di wilayah Provinsi NTT. Surveilans dan monitoring inibertujuan: mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkaitdengan upaya pembebasan penyakit rabies di Provinsi Bali, mendeteksi sedini mungkinkemungkinan keberadaan virus rabies pada anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangkamenjaga daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing-anjingyang berisiko tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan penanggulangan rabies(early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.
Surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies. Sampelotak anjing diperiksa dengan metode Flourescent Antibody Test (FAT).
Pada tahun 2014 jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 1.818 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak1.279 sampel, 130/1.279(10,16%) sampel diantaranya positif rabies. Rata-rata jumlah kasusrabies perbulan ada sebanyak 10,83 kasus meningkat hampir 300% dibandingkan dengantahun 2013 sebanyak 3,42 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan diKabupaten Karangasem sebanyak 26 kasus, dan lebih banyak disebabkan oleh anjing yangbelum divaksin rabies.
Jumlah sampel otak yang berasal dari NTB sebanyak 452 sampel, tidak ada positif rabies,sedangkan sampel otak anjing dari Provinsi NTT diperiksa sebanyak 87 sampel, 25/87 (28,73%)sampel positif rabies.
Hasil surveilens dan monitoring ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis diProvinsi Bali dan pulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT, untuk itu program vaksinasi masal,kerjasama antar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies kemasyarakat masih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrolsangat ketat terhadap lalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabiesdi Provinsi NTT masih sangat diperlukan dan diimplemantasikan.
Kata kunci: anjing, monitoring, otak, rabies, surveilans
118
PENDAHULUAN
Penyakit rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan
ensefalitis fatal pada mammalia disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga
Rabdoviridae (Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai
Besar Veteriner (BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies,
namun sejak tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya
kasus rabies pertama kali di Larantukan, Flores Timur, Nusa Tenggaran Timur
(Windiyaningsih et al., 2004), selanjutnya rabies menyebar ke Provinsi Bali pada
akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan
serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan orang atau
hewan dalam masa inkubasi berpindah ke tempat lain dan berperan dalam
penyebaran penyakit zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al.,
2013). Kejadian wabah rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh
masuknya tiga ekor anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung,
pulau Buton, Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et
al., 2004). Di Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari
masuknya anjing dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi
Selatan (Putra et al., 2009). Kejadian kasus rabies di Provinsi Bali dari tahun
2008 sampai dengan 2013 terus muncul. Anjing masih merupakan hewan
penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali
periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et
al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat
tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan.
Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat
untuk menentukan apakah penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga
tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans
memegang peranan penting dalam memacu memberikan respon cepat,
memonitor dampaknya, sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti
(Townsend et al., 2013).
119
Dalam rangka pengendalian dan pemberantasan rabies di wilayah kerja BBVet
Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan NTT), BBVet Denpasar melakukan kegiatan
surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing bekerja sama dengan
dinas atau instasi yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di
kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.
TujuanKegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan
tujuan sebagai berikut :1. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies, terkait
dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali
2. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada anjing di
wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap bebas Rabies
3. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko tertular
Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan penanggulangan
rabies (early detection, early warning, early response) di wilayah Provinsi NTT.
Keluaran.Keluaran yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit
Rabies adalah :1. Tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing
berisiko terjangkit Rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di
Provinsi Bali
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.
3. Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C
sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang
dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali,
NTB dan NTT.
120
Pelaksanaan KegiatanPengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan surveilans dan monitoring
agen penyakit rabies dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai Besar
Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas
PUSKESWAN yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah target sampel
otak anjing sebesar 1.226 sampel berasal dari kabupaten/kota di wilayah kerja
BBVet Denpasar (Tabel 1)
Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan diBali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan surveilans deteksi agenpenyakit rabies Tahun Anggaran 2014.
No Provinsi Kabupaten Jumlah Sampel
A Bali BBVet PKHTotal Sampel
Buleleng 5 55 60Karangasem 5 56 62Klungkung 5 55 60Bangli 5 58 66Gianyar 5 55 60Denpasar 5 55 60Badung 5 55 60Tabanan 5 55 60Jembrana 5 56 62
Jumlah 45 500 550
B NTB Sumbawa 15 150 165Mataram 10 150 160
Jumlah 25 300 325
C NTT Sikka 10 168 178Manggarai
Timur 10 168 178Jumlah 20 336 356
Jumlah Keseluruhan 90 1.136 1.226
121
MATERI DAN METODE
MateriSurveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan
melakukan pengambilan sampel otak anjing dengan kriteria sebagai berikut: 1)
anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies, seperti: anjing yang
menggigit orang dan atau hewan lainnya, 2) anjing yang menunjukkan gejala
klinis rabies dan menunjukkan perubahan perilaku, 3) hasil eliminasi terhadap
anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh petugas dinas setempat, 4)
sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan
hidangan dari daging anjing (rumah makan RW). Walaupun terkadang terkesan
sedikit tertutup/ eksklusif tetapi tempat yang menyediakan hidangan daging
anjing (RW) masih cukup banyak keberadaannya, 5) sampel otak anjing yang
mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini menjadi pertimbangan
karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies akan mengalami perubahan
perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk menghindari lalulintas
kendaraan, 6) untuk di daerah bebas Rabies, anjing yang berasal dari daerah
tertular rabies dan tanpa dilengkapi dengan keterangan vaksinasi rabies
(SKKH).
MetodeData yang menyertai sampel otak anjing yang masuk ke Epidemiologi, BBVet
Denpasar dicatat. Data tersebut meliputi: anamnesa, kasus gigitan, kasus klinis,
eliminasi, umur anjing, jenis kelamin, status vaksinasi, asal sampel. Sampel
otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau dalam pengawet gliserin 50%
diperiksa dengan metoda Flourescent Antibody Test (FAT). Preparat apus otak
setelah dikeringkan dalam suhu ruangan difiksasi dengan aseton pada suhu -
20oC selama 30 menit. Setelah dikeringkan pada suhu ruangan preparat
digenangi dengan konjugat anti-rabies (Bio-Rad), ditaruh pada cawan petri yang
beralaskan kertas tissue basah, kemudian dimasukkan ke dalam incubator suhu
37oC selama 30 menit. Preparat dicuci dengan PBS pH 7,2 sebanyak 3 kali 5
menit. Preparat ditetesi larutan mounting serta ditutup dengan cover slip.
Preparat diperiksa dibawah mikroskup fluorescence. Sel-sel neuron terinfeksi
virus rabies ditandai dengan pendaran warna hijau magenta.
122
HASIL
Jumlah sampel otak anjing yang di periksa di Laboratorium Patologi, BBVet
Denpasar sampai dengan 31 Desember 2014 sebanyak 1.818 sampel, terdiri
dari 1.279 sampel berasal dari Provinsi Bali, 452 sampel berasal dari Provinsi
NTB dan sisanya 87 sampel berasal dari Provinsi NTT (Tabel 2). Pada
pemeriksaan FAT, sampel positif rabies ditandai dengan adanya pendaran
fluorescence berwarna hijau magenta pada sel-sel neuron terinfeksi virus rabies
(Gambar 1).
Di Provinsi Bali jumlah sampel otak anjing positif rabies sebanyak
130/1.279(10,16%) berasal dari 9 kabupaten/kota (Tabel 2, Grafik 2). Jumlah
rata-rata anjing rabies per bulan ada sebanyak 130/12 (10,83) kasus (Grafik 1).
Provinsi NTB masih bebas dari rabies, dari 452 sampel otak anjing yang
diperiksa semuanya negatif rabies (Tabel 2; Grafik 4 & 5). Di Provinsi NTT
sebanyak 25/87 (28,73%) sampel otak anjing positif rabies, dengan jumlah
kasus per bulan rata-rata 24/12 (2,08) per bulan (Tabel 2; Grafik 6 & 7).
Gambar 1. Sampel positif rabies ditandai dengan adanya pendaranfluorescence berwarna hijau magenta pada sel-sel neuronterinfeksi virus rabies.
123
Tabel 2. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar dan jumlah sampel positif rabies di Provinsi Bali, NTBdan NTT dari bulan Januari s/d 31 Desember Tahun 2014.
Bali NTB NTT Jumlah KeseluruhanBulan(+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml (+)Rabies (-)Rabies Jml
Jan 3 64 67 0 0 0 2 2 4 5 66 71
Peb 8 84 92 0 11 11 1 1 2 9 96 105
Mar 5 77 82 0 0 0 3 0 3 8 77 85
Apr 13 84 97 0 0 0 5 0 5 18 84 102
Mei 9 64 73 0 30 30 5 0 5 14 94 108
Jun 14 52 66 0 0 0 1 0 1 15 52 67
Jul 12 70 82 0 36 36 1 3 4 13 109 122
Ags 11 71 82 0 40 40 2 4 6 13 115 128
Sep 21 326 347 0 219 219 2 31 33 23 576 599
Okt 15 170 185 0 96 96 1 12 13 16 278 294
Nop 11 42 53 0 0 0 1 0 0 12 42 54
Des 8 45 53 0 20 20 1 9 10 8 74 82
Jml 130 1.149 1.279 0 452 452 25 62 87 154 1.663 1.818
Kasus-kasus positif rabies di Provinsi Bali kebanyakan berasal dari Kabupaten
Karangasem (26 kasus) sedangkan di NTT kasus positif rabies banyak berasal
dari Kabupaten Lembata. Kasus positif rabies kebanyakan berasal dari anjing
yang tidak divaksinasi rabies (Grafik 3 & 8)
Grafik 1. Jumlah sampel otak anjing positif dan negatif rabies yang diperiksa diBalai Besar Veteriner Denpasar dari Provinsi Bali bulan Januari s/d 31Desember 2014 (N=1.279 sampel, 130 sampel positif rabies)
3 8 5 13 9 14 12 11 21 15 11 8
6484 77 84
64 5270 71
326
170
42 45
0
50
100
150
200
250
300
350
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Positif Rabies
Negatif Rabies
124
Pada pengamatan lapangan, hampir di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali
masih banyak ditemukan anjing-anjing yang berkeliaran, tanpa ada tanda bahwa
anjing tersebut telah divaksinasi rabies (Gambar 2). Masyarakat masih
memelihara anjing dalam jumlah yang cukup banyak untuk kepentingan
menjaga kebun seperti sering dijumpai di Kabupaten Ende, Flores (Gambar 3)
Grafik 2. Jumlah sampel otak anjing positif rabies dari masing-masingkabupaten/kota di Provinsi Bali tahun Januari s/d 31 Desember2014.
Grafik 3. Status vaksinasi anjing positif rabies di Provinsi Bali dari bulanJanuari s/d 31Desember 2014
0
50
100
150
200
250
Badung
Bangli
Buleleng
Denpasar
Gianyar
Jembrana
Karangasem
Klungkung
Tabanan
523 23
2 10 22 2610 9
176203
134
89
49
89
158178
73 Positif Rabies
Negatif Rabies
01020304050607080
Vaksinasi Rabies
Tidak TervaksinasiRabies
Tidak ada data
21
72
37
Jumlah Sampel
125
Grafik 4.Jumlah sampel otak anjing rabies yang diperiksa di Balai BesarVeteriner Denpasar dari Provinsi Nusa Tengarar Barat bulanJanuari s/d 9 Desember 2014 (N= 452, semua sampel negatifrabies)
Grafik 5. Jumlah sampel otak ajing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar, berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NusaTenggara Barat Tahun 2014 (N=452)
126
Grafik 6 Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di Balai Besar VeterinerDenpasar dari Provinsi Nusa Tengarar Timur bulan Januari s/dDesember 2014 (N= 87, 25 positif rabies; 62 sampel negatif rabies)
Grafik 7. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar VeterinerDenpasar berasal dari kabupaten/kota di Provinsi Nusa TenggaraTimur, Tahun 2014 (N=87, 25 positif rabies, 62 sampel negatifrabies)
2 13
5 5
1 1 2 2 1 1 1
2 1 0 0 0 03 4
31
12
0
9
0
5
10
15
20
25
30
35
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Positf Rabies
Negatif Rabies
05
101520253035
Belu
Flores Timur
Lembata
Manggarai Barat
Nagekeo
Ngada
Sikka
03
20
1 0 1 03
15
1 0
11
1
31
Positif Rabies
Negatif Rabies
127
Grafik 8. Status vaksinasi anjing positif rabies di Provinsi NTT dari bulan Januaris/d 31 Desember 2014
Gambar 2. Anjing masih nampak berkeliaran di jalanan di beberapa daerahdi Provinsi Bali. 3. Petani memelihara anjing cukup banyak untuk menjagakebun (Ende, Flores).
2 3
2 3
02468
101214161820
VaksinasiRabies
TidakTervaksinasi
Rabies
Tidak AdaData
3 3
19
Jumlah Sampel
128
PEMBAHASAN
Rabies merupakan penyakit zoonosis bersifat fatal namun penyakit ini bisa di
cegah. Sejak munculnya kasus rabies di Flores tahun 1997 dan di Provinsi Bali
tahun 2008, kasus rabies di kedua daerah ini terus berlanjut sampai saat ini
walau program vaksinasi massal rabies telah dilaksanakan.
Hasil surveilans tahun 2014 menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus
rabies di provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2013. Tahun 2013 jumlah
kasus positif rabies ada sebanyak 41 kasus, sedangkan tahun 2014 meningkat
cukup drastis yaitu ada sebanyak 130 kasus positif rabies (Tabel 2). Tahun 2013
di Kota Denpasar dan Tabanan tidak dijumpai kasus rabies, namun di tahun
2014 di Kota Denpasar ditemukan 2 kasus positif dan di Kabupaten Tabanan 9
kasus positif rabies (Grafik 2). Di Provinsi NTT, kasus rabies banyak ditemukan
di kabupaten Lembata yaitu sebanyak 20 kasus. Berdasarkan status
vaksinasinya, anjing yang positif rabies baik di Provinsi Bali dan NTT lebih
banyak disebabkan oleh anjing yang belum divaksin (Grafik 3 & 8). Sampai saat
ini anjing merupakan sumber utama penularan rabies baik ke hewan maupun
manusia. Di Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan
difungsikan sebagai penjaga rumah atau kebun atau untuk penting komersial
(Gambar 3). Namun perhatian mereka terhadap anjingnya sangat kurang. Anjing
dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri (Gambar 2), pergi ke tempat-
tempat pembuangan sampah, pasar atau tempat upacara keagamaan, serta
berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat sulit ditangkap apa lagi
divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) menyebutkan bahwa
anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular rabies. Jual beli anjing
untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara keagamaan di Bali juga
berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan Flores.
Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah
satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya
anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya.
Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga
cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat
129
tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam
perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat
sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,
peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.
Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup
ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi
sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin
yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa inkubasi
(Putra, 2011). Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena
cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga
siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum
lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena
anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang
kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana
sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.
Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari
sampai dengan Desember 2014 sebanyak 452 sampel, berasal dari 9
kabupaten/kota semuanya hasilnya negatif rabies (Grafik 4 dan 5). Provinsi NTB
merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi
terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di
sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi
wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya
untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan
tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan
penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu
surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan
pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi
NTB perlu terus ditingkatkan.
130
Analisa resiko kegiatan.Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di
provinsi Bali, NTB dan NTT sebanyak 1.226 sampel, terdiri dari 550 sampel dari
Provinsi Bali, 325 sampel dari NTB dan 356 sampel dari NTT. Dari jumlah
sampel, Provinsi Bali dan NTB jumlah sampel otak yang terkumpul telah
melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTT jumlah sampel otak anjing yang
terkumpul hanya 87 sampel dari target sampel sebanyak 356. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup lumayan di
NTT khususnya di Pulau Flores, sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh
pemerintah menemui kesulitan, disamping itu untuk menangkap anjing yang
diliarkan sangat sulit apalagi tanpa ada dukungan dari pemilik/masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.
3. Tahun 2014 terjadi peningkatan kasus rabies pada anjing di Provinsi Bali.
4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak
disebabkan oleh anjing yang belum pernah diimunisasi rabies.
Saran-saran
1. Perlu upaya kerja keras dalam upaya pengendalian dan pemberantasan
rabies di Bali dan NTT, diantaranya melakukan vaksinasi masal, kebijakan
depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan tokoh
masyarakat setempat, serta kemungkinan penggunaan vaksinasi oral.
2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan
penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.
131
DAFTAR PUSTAKA
Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B.,Cliquet, F., Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M.,Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez,S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B(2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of Lyssaviruses-Resultsof a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue3. E5
Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D.,Buttke, D., Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H.,Ruppecht, C.E. and Marano, N (2013). Prevention and Control of Rabiesin an Age of Global Travel: A Review of Travel and Trade AssociatedRabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses Public Health. 22:12071
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009).Rhabdoviridae. In: Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.
Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G.,Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies diBali: Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner,Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26.
Putra, A.A.G (2011). Epidemiologi Rabies di Bali: Analisis Kasus Rabies pada:Semi Free Ranging Dog” dan Siginifikansinya Dalam Siklus PenularanRabies dengan Pendekatan Ekosistem. Bull. Vet. BBVet Denpasar. VolXXIII, no 78, 45-55.
Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004).The Rabies Epidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med.Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393
Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease inShifting Climate Context. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4
Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma,D.M.N., Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali diProvinsi Bali. Buletin Veteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) .Rabies Pada Hewan Di Provinsi Bali Tahun 2008-2012 BulleteinVeteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar
Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra,A.A.G., Haydon, D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines forDisease Elimination: A Case Study of Canine Rabies. ComparativeImmunology, Microbiology and Infectious Diseases. 36. 249-261.
132
MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA(PMSR-CM) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014
Dewi,A.A.S., N.P.Widdhiasmoro, I.Nurlatifah, P.B. Frimananda, N.Riti,D.Purnawati,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Produk hewan memiliki nilai dan kualitas tinggi bagi kemaslahatan manusia. Khusus pangan asalhewan (PAH) berupa daging, telur, dan susu merupakan protein hewani yang mengandungasam amino essential yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, dan mencerdaskan kehidupanbangsa. Namun demikian pangan asal hewan juga mudah rusak (perishable food) danmemiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (hazardous food)) karena mudahtercemar secara fisik, kimiawi (residu), dan biologis (cemaran mikroba). Program Monitoring dansurveilans residu dan cemaran mikroba tahun 2014 di Provinsi Bali, NTB dan NTT telahdilakukan dengan melakukan pengambilan sampel pangan asal hewan sebanyak 774 sampelyang terdiri atas 308 sampel daging segar (sapi, babi dan ayam), 366 sampel telur (ayam, itikdan puyuh), 80 sampel hati sapi dan 20 sampel daging sapi beku impor. Hasil uji cemaranmikroba terhadap 308 sampel daging segar menunjukkan bahwa sebanyak 12,5-34% sampeldaging segar mengandung total mikroba (TPC) dan sebanyak 12,5-39,9% sampel mengandungbakteri Coliform melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan dalam SNI7388;2009. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene daging yangberedar di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah. Namun demikian semuasampel daging tidak tercemar bakteri patogen S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter spdan tidak mengandung bahan pengawet (formalin). Pengujian terhadap residu antibiotikamenunjukkan bahwa residu antibiotika golongan (penisillin, tetrasiklin, aminoglikosida danmakrolida) masih ditemukan pada beberapa sampel telur ayam, telur itik dan telur puyuhkhususnya sampel telur yang berasal dari Provinsi Bali yaitu sebanyak 1,0-7,3%. Hasil uji residuhormon trenbolon asetat (TBA) terhadap 100 sampel hati sapi lokal dan daging sapi beku impormenunjukkan bahwa konsentrasi TBA sampel tersebut (61,83-191,00 ppt) masih di bawahdeteksi limit dan batas maksimum residu (MRL) sehingga diinterpretasikan tidak terdeteksi(negatif).
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kesehatan masyarakat veteriner meliputi antara lain segala urusan yang
berhubungan dengan hewan, produk hewan baik langsung maupun tidak
langsung yang mempengaruhi kesehatan manusia, dan urusan penyakit-
penyakit hewan termasuk anthropozoonosa (Anon, 2008).
133
Produk hewan memiliki nilai dan kualitas tinggi bagi kemaslahatan manusia.
Khusus pangan asal hewan (PAH) berupa daging, telur, dan susu merupakan
protein hewani yang mengandung asam amino essential yang tidak dapat
diganti dengan protein nabati atau protein sintesis lainnya, sehingga sangat
bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah
rusak (perishable food dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan
lingkungan (hazardous food)) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi
(residu), dan biologis (cemaran mikroba) sehingga dapat membahayakan
keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan , serta
mengganggu ketentraman batin masyarakat.
Undang-undang No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
juga mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin pangan
asal hewan (daging, telur, susu) yang beredar harus Aman, Sehat, Utuh dan
Halal (ASUH) sebagai upaya untuk melindungi kesehatan dan ketentraman batin
masyarakat (Anon, 2013).
Upaya yang dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat
membahayakan keselamatan hidup manusia, dan guna mendorong pelaku
usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi, dimasukkan dari dan/atau
dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di dalam negeri, perlu dilakukan
pengawasan dan pengujian melalui program monitoring dan surveilans.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Balai Besar Veteriner Denpasar
melakukan program monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba
(PMSR-CM) pada pangan asal hewan di wilayah kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil surveilans tahun
2013 menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang beredar dimasyarakat
relatif masih rendah karena sebanyak 36,8-67,7% sampel daging tercemar
134
mikroba melebihi persyaratan yang ditetapkan dalam Standard Nasional
Indonesia (SNI 7388 ; 2009), dan sebanyak 3,9% sampel telur masih
mengandung residu antibiotika. Oleh karena itu surveilans dilanjutkan tahun
2014 dengan melakukan pengambilan sampel di rumah potong hewan, pasar
tradisional dan perusahaan.
1.2. Identifikasi MasalahBerdasarkan informasi di atas dapat diidentifikasikan masalah yaitu sejauh mana
tingkat pencemaran mikroba dan profil kandungan residu pada pangan asal
hewan yang beredar di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun
2014.
1.3. TujuanUntuk mendapatkan data (mengetahui prevalensi residu dan cemaran mikroba),
1.4. Manfaata. Berdasarkan data yang diperoleh dapat meningkatkan hasil analisis
prevalensi residu dan cemaran mikroba, sebagai pijakan dalam upaya
melakukan pengawasan terhadap keamanan pangan yang beredar di
masyarakat
b. Sebagai masukan kepada pimpinan pusat dan daerah untuk pengembangan
kebijakan kesmavet lebih lanjut
1.5. SasaranTerdeteksinya agen (mikroba) serta obat-obatan (antibiotika) yang terkandung
pada pangan asal hewan.
1.6. Outputa. Tersedianya data prevalensi residu dan cemaran mikroba
b. Pemetaan derajat kejadian residu dan cemaran mikroba pada pangan asal
hewan yang beredar di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
135
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Bahan
Jenis sampel yang diambil adalah daging segar (ayam, sapi dan babi), daging
sapi beku impor, hati sapi dan telur (ayam, itik dan puyuh). Di wilayah Provinsi
Bali jumlah sampel yang diambil sebanyak 645 sampel (268 sampel daging
segar, 314 sampel telur, 43 sampel hati sapi dan 20 sampel daging sapi beku
impor), di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 62 sampel (16 sampel
daging segar, 26 sampel telur dan 20 sampel hati sapi) dan di Nusa Tenggara
Timur (NTT) sebanyak 67 sampel (24 sampel daging segar, 26 sampel telur dan
17 sampel hati sapi). Total sampel adalah 774 sampel. Sedangkan bahan
(media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba (TPC) mencakup
plate count agar (PCA), BPW 0,1%.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,
tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,
hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate
tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s
eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’
citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen
metyl red indikator, reagen voges proskauer.
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara
lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,
koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter
enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%
136
Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon
trenbolon dan formalin mencakup bakteri (Bacillus cereus ATCC 11778, Bacillus
cereus ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953 dan Kocuria
rizophilla ATCC 9341) bacto pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract,
glucosa, dextrosa, tryptone, tert butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit
elisa trenbolon, colom C-18, metanol, sodium nitroprusida, penilhidrasin, NaOH.
2.1.2. AlatPeralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan
petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic
jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,
labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety cabinet, laminar air flow,
autoclave, gelas ukur, oven, colony counter, mikroskop, evaporator,
homogenizer, elisa reader
2.2. Metode
2.2.1. Lokasi pengambilan sampelPengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan di 8 (delapan) Kabupaten/Kota
(Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Buleleng, Jembrana, Tabanan dan
Denpasar). Di Provinsi NTB dilakukan di 2 (dua) Kabupaten/Kota (Lombok
Barat dan Kota Bima), sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di Kabupaten Sikka.
Sampel daging segar dan hati sapi diambil di rumah potong hewan
(RPH)/tempat pemotongan hewan (TPH) dan pasar tradisional. Pengambilan
sampel khususnya daging sapi beku import juga dilakukan di beberapa
perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon. Sampel telur
diambil di pasar tradisional.
2.2.2. Penanganan dan transportasi sampelSemua sampel daging ditangani secara aseptis. Sampel yang diperoleh
disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin. Sedangkan sampel telur
diletakkan pada rak telur.
137
2.2.3. Pengujian sampela. Cemaran mikroba (TPC, Coliform, E.coli, S.aureus, Salmonella
sp,Campylobacter sp.)
Berdasarkan SNI 2897:2008. Masing-masing sampel ditimbang sebanyak
25 gram, kemudian dimasukkan dalam wadah steril, ditambahkan 225 ml
BPW 0,1% dan dihomogenkan selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat
pengenceran seri berkelipatan 10. Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap
pengenceran tersebut dan dituangkan ke dalam cawan petri steril.
Kemudian dituangkan 12-15 ml plate count agar dan diinkubasikan pada
suhu 350C selama 24-48 jam Koloni yang tumbuh dihitung sebagai Total
Plate Count (TPC).
Untuk pengujian bakteri Coliform yaitu sampel dari setiap pengenceran
10-1, 10-2, 10-3 masing-masing diambil 1 ml, dituangkan ke dalam 3 tabung
yang berisi tabung durham dan 9 ml lauryl sulfate trptose broth (LSTB)
Tabung-tabung tersebut diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 350C.
Gas yang terbentuk pada tabung-tabung ini adalah hasil positif dalam uji
pendugaan untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan uji peneguhan
dengan mengambil 1 loop biakan dari tabung LSTB yang positif ke tabung-
tabung brilliant green lactose bile broth (BGLBB) yang diinkubasikan pada
suhu 350C selama 48 ± 2 jam. Bakteri Coliform ditentukan dengan nilai
MPNnya (Most Probable Number) berdasarkan jumlah tabung-tabung yang
mengandung gas pada tabung BGLBB.
Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap
tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham
dan diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-
tabung yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri
E.coli. Uji peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC
broth yang positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan
diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari
masing-masing L-EMB dipindahkan ke PCA miring untuk uji morphologi
dan biokimia. Bakteri E.coli dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah
tabung dalam pengenceran EC broth yang positif.
138
Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran
diambil masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3
ml) dipupuk pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk.,
diinkubasikan pada suhu 350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan
ditemukan koloni yang khas S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan
dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI broth, kemudian diinkubasikan pada suhu
350C selama 18-24 jam. Sebanyak 0,5 ml koagualse plasma kelinci
ditambahlan ke biakan BHI broth dan diaduk, selanjutnya diinkubasikan
pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam untuk melihat terbentuknya
gumpalan.
Pengujian bakteri Salmonella sp sebanyak 25 gram sampel ditambahkan
225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2
jam. Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml
tetrathionate broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2
jam. Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD
dan BSA, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang
khas untuk bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni
yang dicurigai diuji dengan reaksi biokimia.
Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan
ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15
menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml
endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment
broth. Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam
dalam kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C
selama 24 jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml
dimasukkan ke dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari
suspensi ke media agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama
24-48 jam dalam kondisi anaerobic.
b. Residu antibiotika (bioassay) berdasarkan SNI 7424:2008
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan
pelarut dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus
139
diambil supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah
ditambahkan bakteri uji (Bacillus cereus ATCC 11778, Bacillus cereus
ATCC 6633, Bacillus stearothermophillus ATCC 7953 atau Kocuria
rizophilla ATCC 9341) sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,
kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika
sebanyak 75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan
makrolida dan aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan
tetrasiklin pada temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada
temperatur 550C ± 10C. Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel
sebaiknya berada dalam kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan
yang terbentuk melebihi nilai kurva baku maka sampel harus diencerkan.
c. Residu hormon Trenbolon Acetat (TBA)Sampel daging dibuang lapisan lemaknya, kemudian ditimbang sebanyak
10 gram ditambahkan 10 ml PBS 67 mM dihomogenkan dengan
homogenizer selama 5 menit. Dalam tabung centrifus, sebanyak 2 gram
sampel yang sudah homogen dicampur dengan 5 ml tert-butylmetylether
kemudian di kocok dengan memakai shaker selama 30-60 menit dan
dicentrifus (10- 150C ) selama 10 menit dengan kecepatan 3000 g.
Supernatannya ditampung dalam labu evaporator (dilakukan pengulangan
2 kali), kemudian di evaporasi hingga kering. Hasil evaporasi
ditambahkan 1 ml larutan metanol 80% dan 2 ml PBS buffer 20 mM dan
dimasukkan ke dalam kolom C-18 yang sebelumnya sudah dilakukan
pencucian dengan 3 ml metanol 100% dan 2 ml PBS buffer 20 mM.
Selanjutnya sampel dalam kolom C-18 dibilas dengan 2 ml metanol 40%
dan dikeringkan. Setelah kering di elusi dengan 1 ml metanol 80% dan
diencerkan dengan 1 ml H2O. Diambil 20 ul untuk diuji selanjutnya pada
mikrotiter Elisa.
140
d. Uji FormalinSampel ditimbang sebanyak 10 gram dan diencerkan dalam 10 ml air
steril, dihomogenkan sampai halus. Sampel kemudian disentrifus dengan
kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya.
Supernatan dituangkan dalam tabung reaksi kemudian ditambhakan 3
tetes larutan penilhidrasin 0,5%, 2 tetes larutan sodium nitroprusida 5%
dan 3 tetes larutan NaOH 10%. Sampel dikatakan positif mengandung
formalin bila terbentuk warna hijau-biru dan akhirnya berubah menjadi
warna oranye atau merah.
III. HASIL
Hasil uji cemaran mikroba terutama TPC, Coliform dan E.coli terhadap sampel
daging segar asal Kabupaten/Kota di Provinsi NTB disajikan dalam tabel 1 di
bawah ini
Tabel 1. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)
JenisSampel
Lokasi Jumlahsampel
TPC>1x106
Coliform>1x102
E.coli>1x101
RPH 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging sapi
Pasar 4 2 (50,0%) 2 (50,0%) 0 (0,0%)
TPU 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging ayam
Pasar 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 16 2 (12,5%) 2 (12,5%) 0 (0,0%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml ;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.
141
Hasil uji cemaran mikroba terhadap 268 sampel daging segar asal
kabupaten/kota di Provinsi Bali menunjukkan bahwa rata-rata sebanyak 91
sampel (24,5%) mengandung TPC, sebanyak 107 sampel (39,9%)
mengandung bakteri Coliform dan sebanyak 11 sampel (4,1%) mengandung
bakteri E.coli melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang
dipersyaratkan dalam SNI. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi Bali
Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)
JenisSampel
Lokasi Jumlahsampel
TPC>1x106
Coliform>1x102
E.coli>1x101
RPH 38 8 (21,1%) 9 (23,7%) 4 (10,5%)Daging sapi
Pasar 41 17 (41,5%) 17 (41,5%) 2 (4,9%)
RPH 11 1 (9,1%) 1 (9,1%) 0 (0,0%)
TPH 20 8 (40,0%) 8 (40,0%) 1 (5,0%)
Daging babi
Pasar 55 21 (38,2%) 22 (40,0%) 0 (0,0%)
TPU 13 7 (53,8%) 9 (69,2%) 0 (0,0%)Daging ayam
Pasar 90 29 (32,2%) 41 (45,6%) 4 (4,4%)
Jumlah 268 91 (34,0%) 107 (39,9%) 11 (4,1%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml ;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.
Sedangkan hasil uji terhadap 24 sampel daging segar dari NTT menunjukkan
bahwa rata-rat sebanyak 5 sampel (20,8%) mengandung TPC dan bakteri
Coliform melebihi persyaratan SNI. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 3 di
bawah ini.
142
Tabel 3. Hasil Uji Cemaran Mikroba sampel daging segar asalKabupaten/Kota di Provinsi NusaTenggara Timur (NTT)
Hasil uji Cemaran Mikroba(Jumlah sampel tidak sesuai SNI)
JenisSampel
Lokasi Jumlahsampel
TPC>1x106
Coliform>1x102
E.coli>1x101
RPH 5 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)Daging sapi
Pasar 4 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Daging babi Pasar 7 3 (42,9%) 3 (42,9%) 0 (0,0%)
Daging ayam Pasar 8 2 (25,0%) 2 (25,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 24 5 (20,8%) 5 (20,8%) 0 (0,0%)
Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) No.01-7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml;sampel daging segar : TPC 1x106, Coliform 1x102, E.coli 1x101.
Hasil uji terhadap bakteri patogen menunjukkan bahwa semua sampel daging
segar (daging sapi, daging babi dan daging ayam) tidak terkontaminasi (negatif)
bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan
Campylobacter sp. Semua sampel daging tersebut juga tidak mengandung
bahan pengawet (formalin).
Hasil uji residu antibiotika terhadap sampel daging dan telur yang berasal dari
Provinsi Bali menunjukkan bahwa sampel daging tidak mengandung residu
antibiotika. Sedangkan sebanyak 5 sampel (4,2%) dari 119 sampel telur ayam
mengandung residu golongan penisillin, sebanyak 5 sampel (4,2%)
mengandung residu golongan aminoglikosida dan sebanyak 2 sampel
(1,7%)mengandung residu golongan makrolida. Telur itik mengandung residu
golongan aminoglikosida sebanyak 1 sampel (1,3%) dari 79 sampel. Demikian
juga dari 99 sampel telur puyuh, sebanyak 3 sampel (3,1%) mengandung residu
golongan penisillin, sebanyak 1 sampel (1,0%) mengandung residu golongan
tetrasiklin dan sebanyak 7 sampel (7,3%) mengandung residu golongan
aminoglikosida. Hasil uji selengkapnya tersaji dalam tabel 4 di bawah ini.
143
Tabel 4. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal ProvinsiBali
Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)
Provinsi JenisSampel
Jumlahsampel
GolonganPenisillin
GolonganTetrasiklin
GolonganAmino
glikosida
GolonganMakrolida
Dg.
Sapi
79 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Dg.
Babi
86 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Dg.
ayam
103 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Tl.
Ayam
119 5 (4,2%) 0 (0,0%) 5 (4,2%) 2 (1,7%)
Tl. Itik 99 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (1,0%) 0 (0,0%)
Bali
Tl.
puyuh
96 3 (3,1%) 1 (1,0%) 7 (7,3%) 0 (0,0%)
Jumlah 582
Sedangkan hasil uji residu antibiotika terhadap sampel yang bersasal dari
Provinsi NTB dan NTT menunjukkan bahwa semua sampel daging dan telur
tidak mengandung residu antibiotika (0,0%). Hasil uji tersaji dalam tabel 5 dan 6
di bawah ini.
144
Tabel 5. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asal ProvinsiNTB
Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)
Provinsi JenisSampel
Jumlahsampel
GolonganPenisillin
GolonganTetrasiklin
GolonganAmino
glikosida
GolonganMakrolida
Dg. sapi 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Dg.
ayam
8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Tl. ayam 9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Tl. Itik 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
NTB
Tl.
puyuh
9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 42
Tabel 6. Hasil uji residu antibiotika sampel daging dan telur asalProvinsi NTT
Hasil Uji Residu Antibiotika(∑ sampel positif)
Provinsi JenisSampel
Jumlahsampel
GolonganPenisillin
GolonganTetrasiklin
GolonganAmino
glikosida
GolonganMakrolida
Dg. sapi 9 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Dg.
ayam
8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Dg. babi 7 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Tl. ayam 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Tl. Itik 8 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
NTT
Tl.
puyuh
10 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 50
145
Sementara itu, hasil uji residu hormon trenbolon asetat (TBA) terhadap 100
sampel daging dan hati sapi tersaji dalam tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Hasil uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA)
Hasil uji hormon TBAProvinsi AsalSampel
JenisSampel
Jumlahsampel Konsentrasi
(ppt)Perusahaan(importir)
Dg. sapibeku
20 73,17 - 182,32
RPH Hati sapi 24 61,83 - 165,04
Bali
Pasar Hati sapi 19 87,97 - 191,00
TPH Hati sapi 10 85,28 - 179,54 NTB
Pasar Hati sapi 10 130,64 - 182,32
NTT RPH Hati sapi 17 64,10 - 185,88
Jumlah 100
Keterangan : - Batas Maksimum Residu (BMR) residu hormon TBA yangditetapkan Codex Alimentarius Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) pada dagingdan 10 ppb (10.000 ppt) pada hati
IV. PEMBAHASAN
Dalam Standard Nasional Indonesia (SNI 7388-2009) dinyatakan bahwa
cemaran mikroba adalah kontaminan dalam pangan asal hewan berupa
mikroorganisme yang dikatagorikan dapat membahayakan kesehatan manusia
jika jumlahnya melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan dalam SNI. Jenis
cemaran mikroba yang dikatagorikan membahayakan pada daging, telur dan
susu adalah TPC, Coliform. Escherichia coli, Staphylococcus .aureus,
Salmonella sp, Campylobacter sp, Listeria monocytogenes (Anon.,2009).
Berdasarkan data hasil pengujian cemaran mikroba terhadap 308 sampel daging
segar (sapi, babi dan ayam) yang berasal dari Bali, NTB dan NTT yang tersaji
dalam tabel di atas, menunjukkan bahwa prevalensi cemaran mikroba sampel
daging yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) relatif lebih rendah
dibandingkan dengan sampel yang berasal dari pasar tradisional. Namun
demikian secara umum prevalensi cemaran mikroba terutama Total Plate Count
146
(TPC) relatif masih cukup tinggi (12,5-34%) melebihi persyaratan batas
maksimum cemaran mikroba (BMCM) dalam SNI 7388;2009 yaitu 1x106
koloni/gram pada sampel daging. Demikian juga hasil uji terhadap bakteri
Coliform sebanyak 12,5-39,9% sampel daging segar tercemar bakteri Coliform
melebihi SNI (1x102 koloni/gram) dan 0-4,1% sampel tercemar bakteri E.coli
melebihi SNI (1x101 koloni/gram)
Bakteri ini merupakan mikroba indikator tingkat kontaminasi. Bakteri Coliform
umumnya tidak bersifat patogen, namun apabila ditemukan maka diasumsikan
bahwa air yang digunakan dalam proses penyediaan daging telah
terkontaminasi feses. Bakteri Coliform seperti bakteri lainnya dapat
dimusnahkan dengan cara memasak air hingga mendidih atau perlakuan
dengan klorin. Sedangkan strain E.coli ada yang patogen dan non patogen.
Bakteri E.coli non patogen banyak ditemukan dalam usus besar manusia
sebagai flora normal dan berperan dalam pencemaran pangan dengan
menghasilkan vitamin K dari bahan yang belum dicerna dalam usus besar.
Strain patogen E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua
kelompok usia melalui endotoksin yang dihasilkannya (Anon, 2009)
Dengan demikian, secara umum hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat hygiene
daging segar tersebut relatif masih rendah dari aspek cemaran total bakteri yang
dikatagorikan bakteri kontaminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi
mikroba pada daging segar sudah terjadi mulai dari RPH, selanjutnya di pasar
tradisional. Daging dikenal sebagai bahan makanan yang mudah rusak
(perishable food). Untuk dapat menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh
dan halal (ASUH) maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi
persyaratan teknis, mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak
hidup menjadi produk pangan (daging) (Anon,1997). Berdasarkan hasil
pemantauan, ada beberapa RPH yang memenuhi standar higiene dan sanitasi
yang baik, namun sebagian besar kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT
saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik
(bangunan dan peralatan), sumber daya manusia serta prosedur teknis
pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua RPH memilki nomor
147
kontrol veteriner (NKV) sebagai standar pelaksanaan higiene dan sanitasi pada
sebuah RPH.
Kontaminasi mikroba juga dapat terjadi pada alat pengangkut daging. Hasil
pengamatan selama surveilans bahwa sebagian besar daging segar diangkut
dari RPH menuju pasar menggunakan mobil bak terbuka, sehingga daging
mudah tercemar mikroba. Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun
ada beberapa pasar yang sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar
pasar tidak memiliki kios daging. Banyak pedagang yang meletakkan daging di
atas meja kayu yang beralaskan plastik, hanya sebagian kecil yang beralaskan
porselin. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan kondisi
lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-asuhan .
Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal hewan yang
aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di pasar tradisional kenyataannya relatif
berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar masalah teknis
tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon, 2013).
Namun demikian semua sampel daging segar yang diperiksa tidak tercemar
bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan
Campylobacter sp, Berdasarakan SNI 7388:2009, bakteri Salmonella sp dan
Campylobacter sp adalah bakteri yang tidak boleh berada dalam pangan. Bateri
Salmonella terdapat dimana-mana dan dikenal sebagai agen yang zoonotic.
Salmonella adalah penyebab foodborne disease dan Campylobacter jejuni
dikenal sebagai patogen enterik yang penting. Bakteri ini merupakan patogen
utama penyebab keguguran dan enteritis pada sapi dan kambing. Diare
berdarah disebakan karena sifat Campylobacter yang invasif yaitu dapat masuk
ke lapisan usus halus dan akan mengeluarkan toksin yang merusak mukosa
usus tersebut (Anon, 2009).
148
Sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga diuji terhadap residu
antibiotika. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil
metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta
kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan
sekitar (Anon., 2005).
Hasil uji menunjukkan bahwa residu antibiotika masih ditemukan pada sampel
telur khususnya sampel yang berasal dari Provinsi Bali. Residu antibiotika
golongan penisillin ditemukan sebanyak 5 sampel ( 4,2%) dari 119 sampel telur
ayam dan sebanyak 3 sampel (3,1%) dari 96 sampel telur puyuh. Residu
golongan aminoglikosida ditemukan sebanyak 5 sampel (4,2%) dari 119 sampel
telur ayam, sebanyak 1 sampel (1,0%) dari 99 sampel telur itik dan sebanyak 7
sampel (7,3%) dari 96 sampel telur puyuh. Sedangkan residu golongan
makrolida dan tetrasiklin masing-masing ditemukan pada telur ayam yaitu
sebanyak 2 sampel (1,7%), sebanyak 1 sampel (1,0%) pada telur puyuh.
Keempat golongan residu antibiotika masih ditemukan pada pangan asal hewan,
hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur, itik dan
burung puyuh yang dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang
cukup lama sehingga seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang
ditambahkan dalam pakan maupun dalam minuman.
Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan
penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika
golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan
efektif terhadap berbagai spesies Gram negatif dan Gram positif. Antibiotika
golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk
menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi
konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).
Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak
hanya untuk menjamin kesehatan ter nak tetapi juga mencegah terjadinya
transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi
sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol
149
yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak
menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang
mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia.
Sementara itu, sebanyak 20 sampel daging sapi dan 80 sampel hati sapi yang
diambil dari beberapa perusahaan (importir) , RPH dan pasar diperiksa terhadap
residu hormon trenbolon asetat (TBA). Hasil uji menunjukkan bahwa nilai
kandungan hormon TBA dengan Elisa terdeteksi pada sampel daging sapi beku
impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara 73,17-182,32 ppt dan pada
sampel hati sapi lokal berkisar antara 61,83-191,0 ppt. Nilai kandungan hormon
TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga diinterpretasikan
tidak terdeteksi.
Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan
maximum residue limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius
Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel hati
sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan
bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat
(withdrawal times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk.
2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut
aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolon asetat.
Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan
untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.
Trenbolon asetat adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara
subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolon asetat
pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa
17α-trenbolon. Trenbolon memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi
mamalia dari berbagai spesies (JECFA, 1988).
Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,
Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak
digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan
dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat
150
keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.
Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi
dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu
hormon tersebut.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SimpulanDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene
pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi
Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan
yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut
karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba (TPC, Coliform) yang
mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat
higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan yaitu RPH dan pasar
tradisional.
Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan
khususnya telur mengindikasikan bahwa pemakaian antibiotika dipeternakan
ayam, itik dan puyuh masih cukup tinggi dan kurangnya kontrol terhadap
aplikasinya. Sementara itu, sampel daging sapi beku impor dan hati sapi lokal
aman dikonsumsi dari aspek kandungan residu 17β-trenbolon dan 17α-
trenbolon.
5.2. SaranUntuk dapat menyediakan pangan asal hewan terutama daging segar yang
memenuhi standar jaminan mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat
dan Derah melalui Dinas Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi
mata rantai penyediaan daging dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan
kios-kios daging di pasar tradisional.
Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan pemakaian
obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada pangan asal
hewan.
151
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1997. Manual Kesmavet. Pedoman Pembinaan Kesmavet, No.47hal.40.
Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat KesehatanMasyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.Departemen Pertanian.
Anonimus, 2008. Pedoman Pengawasan dan Pengujian Keamanan dan MutuProduk Hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, DirektoratJenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388:2000. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonimus, 2013. Pedoman Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan TugasPembantuan (TP) Tahun 2013. Direktorat Kesehatan MasyarakatVeteriner Dan Pasca Panen, Direktorat Jenderal Peternakan DanKesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Horie, M., Hiroyuki N., 2000. Determination of trenbolon and zeranol in bovinemuscle and liver by liquid chromatography-electrospray massspectrometry. J Chrom A. 882:53-62.
JECFA. Joint FAO/WHO Expert Commitee on Food Additives, 1988.Consideration of maximum residue limits (MRL) for veterinary drugs.Thirty-second Report of the joint FAO/WHO Expert Commitee on FoodAdditives Codex Comittee on Residues of Veterinary Drugs in Foods.WHO Technical Report Series 763. Geneva (CH): World HealthOrganization.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Widiastuti, R., Indraningsih, TB. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2001. Residutrenbolon pada domba Garut yang diimplantasi dengan trenbolon asetat.JITV. 6(3):198-201.
Widiastuti, R., R. Firmansyah, dan Indraningsih, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yangdiimplantasi dengan trenbolon asetat. JITV. 12(1):60.67.
152
SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALIDAN BPTU HPT DOMPU TAHUN 2014
Ni Luh Putu Agustini, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Penyakit Jembrana/Jembrana Disease (JD) adalah penyakit hewan menular pada sapi Bali yangdisebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JD sudah endemik di Bali danmerupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali di Provinsi Bali. Pada bulanMaret sampai dengan November 2014 telah dilakukan surveilans JD untuk mengetahuiprevalensi antibodi dan mendeteksi virus penyakit Jembrana di seluruh kabupaten/kota diProvinsi Bali dan di BPTU HPT Dompu. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkansebanyak 5715 sampel serum dan 4487 sampel darah EDTA. Dari total sampel tersebut 95diantaranya berasal dari BPTU HPT Dompu. Lokasi pengambilan sampel adalah peternakansapi Bali milik masyarakat dan SIMANTRI, serta breeding farm BPTU Pulukan dan breeding farmBPTU HPT Dompu. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan antigen Jembrana J Gag 6histidin, sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilans menunjukkan tidakditemukan adanya kasus positif JD disemua lokasi surveilans. Hasil uji ELISA terhadap 5620sampel serum asal Provinsi Bali menunjukkan 541 (9.6%) positif antibodi JD. Sedangkan hasiluji PCR terhadap 4392 sampel darah, menunjukkan negatif virus Jembrana. Hasil uji ELISA danPCR terhadap sampel dari BPTU HPT Dompu menunjukkan semua negatif antibodi dan virusJD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa prevalensi antibodi JD di lokasi surveilans diBali hanya 9.6% dan tidak ditemukan adanya positif virus JD / hewan carrier JD di semua lokasisurveilans. Sampai saat ini BPTU HPT Dompu masih bebas penyakit Jembrana. Mengingatvirus JD dan hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi surveilans, maka perludiupayakan pembebasan penyakit Jembrana di provinsi Bali sehinga harapan menjadikanProvinsi Bali sebagai sumber bibit sapi Bali untuk Indonesia bisa terwujud. Untuk mewujudkanhal tersebut perlu dilakukan surveilans/monitoring secara periodik dan terstruktur, peningkatanpengawasan lalu lintas ternak dan pengendalian vektor,
Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans, ELISA, PCR, sapi Bali.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPenyakit Jembrana/Jembrana disease (JD) merupakan salah satu penyakit virus
yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retovirus famili Lentivirinae . JD
ditemukan pertama kali di Desa Sangkar Agung Kabupaten Jembrana, Provinsi
Bali pada tahun 1964. Saat ini JD sudah endemik di Bali dan telah menyebar ke
beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah
(Hartaningsih, 2005). Keberadaan JD di Bali sampai saat ini masih merupakan
153
salah satu kendala dalam pengiriman sapi Bali bibit ke luar Bali serta berdampak
dalam pengembangan peternakan sapi Bali. Kasus JD terakhir di Provinsi Bali
dilaporkan terjadi pada tahun 2005 di Desa Pecatu , Kecamatan Kuta Selatan
Kabupaten Badung. Selama kurun waktu 2006-2013 tidak ada laporan kasus JD
di Bali.
Salah satu upaya pencegahan JD adalah dengan cara vaksinasi. Dalam upaya
pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali telah melakukan
vaksinasi Jembrana dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15, produksi
Balai Besar Veteriner Denpasar berturut-turut selama 4 tahun dari tahun 2001-
2004. Karena keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia maka vaksinasi
menyeluruh terhadap semua populasi sapi Bali tidak pernah dilakukan sehingga
cakupan vaksinasi JD di Bali sangat rendah. Vaksinasi JD baru dilakukan
kembali di Bali pada akhir tahun 2012 sampai sekarang menggunakan vaksin
JD VET produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, namun jumlah
vaksin yang dialoksikan juga tidak bisa menyeluruh pada semua populasi.
Ada indikasi bahwa vaksinasi JD selama 4 tahun berturut-turut mampu
menurunkan kasus dan mengeliminasi agen. Sejak tahun 2005 vaksinasi JD
tidak pernah dilakukan lagi sehingga kemungkinan jumlah hewan peka JD
meningkat. Hasil surveilans/monitoring penyakit Jembrana di Provinsi Bali tahun
2013 menunjukkan bahwa persentase positif antibodi JD di semua kabupaten /
kota di Bali hanya 12.8%., dan tidak ditemukan adanya virus JD di semua lokasi
survei.
Menurut Putra, 2002 di daerah endemik, kasus JD terjadi sepanjang tahun
dengan tingkat insiden yang cenderung rendah dan wabah biasanya terjadi
secara reguler sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun dari kejadian JD terakhir.
Sebaliknya di daerah “ baru” kejadian JD cenderung mewabah . Ada fenomena
menarik yang perlu segera dijawab yaitu walaupun prevalensi antibodi JD di Bali
sangat rendah, namun sampai saat ini tidak pernah ada laporan kasus JD di
Bali. Hal ini sangat menarik untuk diketahui apakah hal ini terjadi akibat
tereliminasinya agen penyakit Jembrana, atau mungkin virus JD di Bali sudah
mengalami mutasi atau tidak ada,. Untuk itu maka dilakukan surveilans penyakit
Jembrana di Provinsi Bali.
154
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas terkait dengan penyakit Jembrana di
Provinsi Bali, maka teridentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Seroprevalensi JD rendah, karena tidak pernah dilakukan vaksinasi secara
keseluruhan terhadap populasi sapi di Bali, namun tidak ada dilaporkan
kasus JD di Bali,
2. Ada upaya untuk melakukan pembebasan Jembrana atas perintah Direktur
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait adanya lalu lintas sapi
bibit dari Bali ke luar Bali khususnya Kalimantan dan Sumatera (proposal
telah dibahas secara khusus).
3. Dalam upaya pembebasan ini perlu diketahui apakah agen penyakit
Jembrana masih ada pada sapi Bali di Provinsi Bali
1.3. TujuanSurveilans ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui prevalensi antibodi dan mendeteksi virus JD pada kelompok
ternak di Bali
2. Mengetahui gambaran situasi penyakit JD di Bali dalam rangka upaya
pembebasan JD di provinsi Bali
3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang
mengarah pada penyakit Jembrana sebagai dasar penentuan program
surveilans selanjutnya
1.4. ManfaatManfaat yang diharapkan dari hasil surveilans adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi penyakit Jembrana di
Provinsi Bali
2. Terdeteksinya hewan carrier sehingga didapatkan isolat baru / strain virus
yang ada di lapangan saat ini untuk kepentingan kajian lebih lanjut.
3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan
daerah dalam upaya pembebasan penyakit Jembrana di Bali.
4. Dapat dijadikan model pembebasan penyakit Jembrana di Provinsi lain
secara nasional.
155
1.5. OutputOutput yang diharapkan dari surveilan ini :
1. Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit Jembrana di
Provinsi Bali
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Bali.
3. Memudahkan dalam langkah pembebasan Penyakit Jembrana di Bali
II. MATERI DAN METODA
2.1. Pengambilan SampelPengambilan sampel dilakukan di seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Bali serta
di Balai Perbibitan Ternak Unggul sapi Bali (BPTU). Pelaksanaan pengambilan
sampel dilakukan bekerjsana dengan Dinas Peternakan kabupaten/kota dan
beberapa Puskeswan yang ada di Bali.
2.2. Penanganan sampelSampel serum yang telah diambil segera dipisahkan dari gumpalan darah
dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam efendorf, diberi label dan disimpan dalam
Freezer (suhu -200C) sampai dilakukan pengujian.
2.2.1. Isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)Untuk sampel darah dilakukan isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells
(PBMC) dengan cara : darah dengan antikoagulan EDTA disentrifugasi 3000
rpm selama 5 menit, kemudian buffy coatnya diambil dan dimasukkan ke dalam
tabung dan selanjutnya ditambahkan sebanyak 9 ml NH4Cl 0,83%. Setelah
disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit dan supernatannya
dibuang, pellet yang diperoleh kemudian ditambahkan PBS steril sampai
mencapai 10 ml . Setelah itu dilakukan pencucian dengan cara disentrifugasi
kembali 1500 rpm selama 5 menit. Pencucian ini diulangi sebanyak 2 kali
156
dengan cara yang sama. Terakhir supernatannya dibuang dan pellet yang
diperoleh ditambahkan 0.5 – 1 ml media TC atau PBS steril dan disimpan pada
suhu (-200C) sampai digunakan.
2.2.2. Isolasi DNAPBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan
QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai
berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam
tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106
lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL
ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex
selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama
10 menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl
ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik.
Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati
masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection
tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm
selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan
buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan
tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan
centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column
dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka
tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi
dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh
20.000 g/ 14.000 rpm selama 3 menit.Tempatkan QIAamp spin column pada 1.5
ml tabung microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung
filtrat. Tahap Elution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul
buffer AE atau aquadest. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan
kemudian centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin
colum dan simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.
157
2.3.. Pengujian SampelSemua sampel serum diuji terhadap antibodi Jembrana dengan Uji Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) mempergunakan antigen Jembrana J
Gag 6 Histidin (Agustini et al., 2002) .
2.3.1. UJI ELISAPengujian sampel serum dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja
sebagai berikut : antigen J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating
buffer 1:50 kemudian ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl,
mulai dari well B2 sampai dengan G11. Masukkan 50 µl hanya coating buffer
(tanpa antigen) ke dalam lubang blank B1 s/d G1. Shaker mikroplate dan
diinkubasikan pada suhu 40C selama 24 jam. Setelah dicuci dengan PBST
sebanyak 3 kali dengan ELISA washer selanjutnya plate diblok dengan
menambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl larutan skim milk 5%
dalam PBST dan plate diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan. Setelah
plate dcuci dengan PBST sebanyak 3 kali maka plate siap digunakan untuk uji
ELISA. Selanjutnya siapkan sampel serum uji, sampel serum standar, dan
reference serum dengan cara sebagai berikut: Sampel yang akan diuji
diencerkan 1: 100 dalam skim milk 5% dan 50 µl serum tersebut dimasukkan ke
dalam masing-masing lubang test. Sampel serum standar (PM) diencerkan
mulai dari pengenceran 1 : 100 hingga 1 : 3200 dalam skim milk 5% dan tiap-
tiap pengenceran dimasukkan pada lubang di deretan 2 setiap pengenceran
satu lubang mulai dari B2 sampai G2. Sampel Reference serum yang
digunakan ada dua yaitu reference serum positif Jembrana /Hyperimun (A), dan
Reference serum negatif (Nusa Penida /B). Encerkan masing-masing reference
serum tersebut 1 : 100 dalam skim milk 5% dan masukkan 50 ul reference
serum A ke lubang B3 , C3 dan D3; 50 µl serum B ke lubang E3, F3, dan G3.
Homogenkan dengan dishaker dan inkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam.
Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA washer. Encerkan
conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) 1 : 1000 dalam PBST buffer
dan masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan tersebut pada setiap
lubang baik yang mengandung serum maupun lubang blank dan kontrol. Plate
diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Plate dicuci kembali dengan cara
yang sama seperti sebelumnya. Tambahkan campuran satu bagian substrate
158
Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9 bagian (solution A) atau 2,2-
Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid diamonium salt). Selanjutnya
masukkan 50 µl substrate yang telah diencerkan tersebut ke dalam setiap well
(blank, kontrol dan serum sampel), diamkan selama 2 menit. Terakhir untuk
menghentikan reaksi tambahkan 50 µl larutan asam oxalat 2 % ke semua well.
Pembacaan dan intepretasi hasilPembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang
gelombang 405 nm.
Interpretasi HasilBila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD pengenceran 1 : 100
maka sampel dikatakan positif sedangkan bila nilai OD sampel lebih kecil dari
OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan negatif
2.3.2. UJI POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)Metoda uji PCR yang dipakai untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah
metoda Konvensional PCR yang dikembangkan oleh Masa Tenaya dkk., (2003
& 2004). Bahan-bahan yang diperlukan dalam teknik PCR JD antara lain: Master
mix, PCR water, Primer JDV–1, Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%,
TAE buffer, dan Ethidium Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer
JDV-1 dan Primer JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen
5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3)
dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,
1995).
Untuk setiap reaksi PCR digunakan 25 µL Master Mix, 2 µL primer JDV-1, dua
uL primer JDV-3, 19 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL. Bahan-
bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume 500 µL.
Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35 siklus
dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5 menit,
Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1 menit,
Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus, ada
program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan DNA
yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu ruang,
159
biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2 jam 15
menit.
Analisa dan dokumentasi hasil PCRHasil PCR kemudian dielektrophoresis dalam 1% gel agarose yang
mengandung 5 µg Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan
voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi
dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel
Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.
III. HASIL
Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan adanya hewan yang
menunjukkan gejala klinis /mengarah ke penyakit Jembrana. Dari informasi
masyarakat dan petugas Dinas Peternakan di semua lokasi surveilans di Bali
mengatakan bahwa kasus JD tidak pernah terjadi sejak tahun 2006.
Pengambilan sampel pada saat surveilans dilakukan bekerjasama dengan
petugas Puskeswan di masing-masing Dinas Peternakan Kabupaten/Kota.
Seperti disebutkan pada materi dan metode bahwa semua sampel hasil
surveilans diuji ELISA dan PCR. Hasil dari masing -masing uji tersebut sebagai
berikut :
1. HASIL UJI ELISASeperti diringkaskan pada Tabel 1 terlihat bahwa selama pelaksanaan
surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 5620 sampel serum. Hasil uji ELISA
terhadap sampel serum tersebut menunjukkan 541 (9,6%) diantaranya positif
mengandung antibodi JD. Persentase positif antibodi JD tertinggi terjadi di
kabupaten Jembrana yaitu 19.1% Sedangkan persentase positif antibodi
terendah terjadi di Kota Denpasar yaitu 1.6%. Selama pelaksanaan surveilans
berhasil dikumpulkan 2323 sampel serum dari hewan yang divaksinasi JD. Dari
2323 sampel tersebut hanya 274 (11.8%) menghasilkan antibodi positif JD.
Mayoritas sampel serum yang berhasil dikumpulkan selama pelaksanaan
surveilans tidak diketahui secara pasti status vaksinasinya. Dari 3298 sampel
160
serum tersebut 238 (6.2%) diantaranya menghasilkan antibodi positif (Gambar
1)
Dari 5620 sampel serum yang diambil 522 diantaranya diambil dari BPTU HPT
Pulukan. Dari sampel serum tersebut 77 (14.8%) diantaranya positif antibodi
JD. Sedangkan hasil uji ELISA terhadap 95 sampel serum asal BPTU HPT
Dompu menunjukkan negatif antibodi JD (Tabel 2)
2. HASIL UJI PCRSeperti diringkaskan pada Tabel 3 dari 4392 sampel darah asal provinsi Bali
semua menunjukkan hasil negatif virus JD. Hasil ini sama dengan hasil
surveilans JD tahun 2013, ini mengindikasikan bahwa virus JD/hewan carrier JD
tidak ada di lokasi surveilans. Sedangkan hasil uji PCR terhadap 95 sampel
darah asal BPTU HPT Dompu menujukkan negatif virus JD.
Tabel 1. Prevalensi antibodi penyakit Jembrana di Provinsi Bali Tahun 2014
NoKabupaten/
KotaJumlahsampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
1 Badung 673 78 11.6
2 Jembrana 1025 196 19.1
3 Buleleng 467 35 7.5
4 Bangli 661 24 3.6
5 Klungkung 921 23 2.5
6 Tabanan 590 47 8.0
7 Gianyar 452 52 11.5
8 Denpasar 123 2 1.6
9 Karangasem 708 84 11.9
TOTAL 5620 541 9.6
161
Tabel 2. Prevalensi antibodi Penyakit Jembrana di BPTU HPT Tahun 2014
No BPTU HPT Jumlahsampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
1 Pulukan 522 77 14.8
2 Dompu 95 0 0
TOTAL 617 77 12.5
Tabel 3. Prevalensi Virus Penyakit Jembrana di Provinsi Bali Tahun 2014
No Kabupaten Jumlahsampel
JumlahPositif
Prevalensi(%)
1 Badung 471 0 0
2 Buleleng 354 0 0
3 Bangli 518 0 0
4 Klungkung 717 0 0
5 Tabanan 414 0 0
6 Denpasar 40 0 0
7 Gianyar 325 0 0
8 Jembrana 1004 0 0
9 Karangasem 549 0 0
TOTAL 4392 0 0
162
Gambar 1. Hasil uji ELISA Jembrana di Bali berdasarkan status vaksinasi
IV. PEMBAHASAN
Hasil uji ELISA terhadap 5620 sampel serum asal provinsi Bali menunjukkan
hanya 541 (9.6%) diantaranya positif antibodi JD. Hasil ini sedikit lebih rendah
bila dibandingkan dengan hasil surveilans JD tahun 2013 yang mencapai
12.8%. Rendahnya hasil seropositif tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain : mayoritas sampel serum yang diuji berasal dari sapi yang tidak
divaksinasi. Banyaknya hewan yang tidak divaksinasi terjadi karena
keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia sehingga vaksinasi tidak bisa
dilakukan pada semua populasi sapi yang ada. Selain itu faktor penyebab lain
yang mungkin berpengaruh terhadap rendahnya seropositif JD diantaranya, :
kualitas vaksin yang digunakan kurang bagus, aplikasi vaksin yang tidak sesuai,
status gizi dari hewan yang divaksin terganggu serta sistem imun dari hewan
kurang bagus. Terkait dengan aplikasi vaksin, ada kemungkinan rendahnya
antibodi yang terbentuk disebabkan karena vaksin hanya diberikan dalam dosis
163
tunggal yaitu tidak dilakukan vaksinasi ulang (Booster). Ada kecenderungan
titer antibodi tidak optimal terbentuk apabila hewan divaksinasi tanpa dilakukan
booster . Menurut Roitt, 1996 menemukan bahwa imunisasi/vaksinasi
pertama tidak akan menimbulkan respon antibodi yang tinggi, tetapi jika
imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka respon antibodi yang terbentuk akan
meningkat tajam , bertahan selama beberapa waktu dan akhirnya akan menurun
secara perlahan. Peningkatan titer antibodi tersebut disebabkan oleh proses
pemilihan (switching) isotipe imunoglobulin menjadi IgG dan hal ini dapat terjadi
karena bantuan sel T.
Terdeteksinya antibodi pada hewan yang tidak jelas status vaksinasinya
kemungkinan terjadi karena hewan tersebut pernah divaksinasi sebelumnya
namun tidak diketahui oleh pemiliknya sehingga status vaksinasinya tidak jelas
atau antibodi yang terdeteksi tersebut kemungkinan antibodi BIV. Kuat dugaan
antibodi yang terdeteksi tersebut merupakan antibodi BIV, didukung oleh hasil
penelitian Hartaningsih et al. 1990 menemukan bahwa BIV sudah ada di
Provinsi Bali. Selain itu tidak adanya vaksinasi dan infeksi JD pada hewan-
hewan tersebut, serta hasil PCR negatif semakin memperkuat dugaan antibodi
tersebut merupakan antibodi BIV. Sampai saat ini uji PCR merupakan gold
standard untuk diagnosa JD karena primer yang digunakan sangat spesifik dan
hanya mendeteksi virus JD , Tenaya dkk., 2004. Tidak terdeteksinya virus JD
pada semua sampel darah yang diuji, erat kaitannya dengan keberhasilan
program vaksinasi JD selama.3 tahun berturut-turut yaitu 2001-2004. sehingga
mampu menekan terjadinya kasus JD atau mampu mengeliminasi agen dan
hewan carrier JD. Kondisi ini sangat berperan dalam upaya pembebasan JD di
provinsi Bali.
164
V. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan
Dari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :
Prevalensi antibodi JD di Bali sangat rendah hanya 9.6%
Situasi JD di Bali cukup terkendali., virus JD/ hewan carrier JD tidak
ditemukan di semua lokasi surveilans.
Hasil surveilans ini bisa dijadikan dasar untuk upaya pembebasan JD di
Provinsi Bali.
Sampai saat ini BPTU HPT Dompu masih bebas penyakit Jembrana.
Saran
Walaupun virus dan hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi
surveilans , perlu dilakukan surveilans/monitoring JD secara periodik
dan terstruktur , peningkatan pengawasan lalu lintas ternak. dan
pemberantasan vektor
Perlu diupayakan pembebasan JD di Provinsi Bali sehingga Provinsi Bali
bisa dijadikan sebagai sumber bibit sapi Bali untuk memenuhi kebutuhan
bibit sapi Bali di Indonesia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
surveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan
kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan
Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu
dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.
165
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. (2002). Uji Elisa untuk Mendeteksi AntibodiLentivirus Menggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. ManualPeningkatan Metode Diagnosa Penyakit Jembrana ACIAR BPPV VI.
Agustini, NLP. (2009). Surveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Lampungdan Sumatera Barat. Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar.
Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya,G.(1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : abovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal ofGeneral Virology. 76: 1637-1650
Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test forJDV Antibodies and Antibodi Respons of Infected Cattle. In JembranaDisease and the Bovine Lentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page79-84.
Hartaningsih, N. (2005). Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana diKalimantan Timur. Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Denpasar.
Putra, AAG. (2003). Peranan Hewan Karier penyakit Jembrana dalam penularanpenyakit di lapangan. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar. XV (63) :16-26
Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox,GE. (1990). Studies experimental Jembrana disease of infectious agen inBali cattle. Transmission and persistence of the infectious agent inruminant and pigs and resistance of recovered cattle to re-infection,Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59
Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNAVirus Jembrana pada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase ChainReaction. Buletin Veteriner. 63: 44-48, BPPV VI Denpasar.
Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals byPCR. Buletin Veteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.
166
SEROSURVEILANS RABIESDI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014.
Ni Luh Putu Agustini, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun, I Nengah Mundera dan I Wayan Ekaana.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitisfatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae Serosurveilans untukmengetahui respon vaksinasi rabies, mengetahui hubungan antara pengaruh vaksinasi dengankejadian kasus rabies di Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta mengetahui situasi danstatus rabies di provinsi Nusa Tenggara Barat telah dilakukan di 47 kecamatan di 9kabupaten/kota di provinsi Bali sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di tiga kabupaten sertadi Provinsi NTB dilakukan di satu kabupaten, pada bulan Februari sampai dengan Oktober2014. Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan 768 sampelserum, sedangkan dari provinsi NTB dan NTT dikumpulkan masing-masing sebanyak 3 serumdan 528 sampel serum, Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA produksiPusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA sampel serum asal provinsi Bali menunjukkanbahwa dari 768 sampel serum tersebut 337 (43.9%) diantaranya positif antibodi rabies. Semuasampel asal provinsi NTB negatif antibodi Rabies sedangkan sebanyak 230 (43.5%) serumasal NTT menujukkan positif antibodi rabies. Vaksinasi yang telah dilakukan oleh DinasPeternakan kabupaten/kota di provinsi Bali dan NTT mampu merangsang terbentuknya antibodipositif. Terjadi penurunan prosentase jumlah seropositif antibodi Rabies di Provinsi Bali biladibandingkan dengan data hasil serosurveilans tahun 2013. Ada indikasi bahwa terjadinyakembali kasus rabies di beberapa daerah di Bali kemungkinan disebabkan oleh rendahnyapersentase seropositif antibodi hasil vaksinasi rabies (kurang dari 70%). Untuk provinsi NTBsampai saat ini masih bebas Rabies. Mengingat masih banyak anjing yang memiliki titer antibodidibawah 0.5 IU/ml maka perlu dilakukan vaksinasi ulang terutama pada anjing-anjing kelahiranbaru . Untuk mempertahankan NTB tetap bebas rabies maka perlu dilakukan pengawasan lalulintas HPR yang masuk ke NTB dan pengurangan populasi.
Kata Kunci : rabies, serosurveilan, vaksinasi
167
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut
menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari
famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies
ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)
melalui gigitan atau jilatan pada luka.
Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing
dalam masa inkubasi dibawa oleh pelaut berasal dari Sulawesi Selatan (Putra
et.al., 2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Ungasan, kecamatan Kuta
Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 provinsi Bali secara
resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies. Sedangkan untuk NTT
khususnya pulau Flores sudah lebih dulu tertular rabies berawal dari kejadian
Rabies di Kabupaten Sikka (1998), Ende (1999), Ngada (Juni 2000), dan
Manggarai (Juli 2000). Saat ini provinsi NTB masih dinyatakan bebas penyakit
rabies dan merupakan daerah bebas terancam .
Kejadian kasus Rabies di Provinsi Bali sejak tahun 2008 hingga saat ini masih
terus terjadi. Anjing masih merupakan hewan penular Rabies (HPR) utama di
Provinsi Bali.Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2013
semuanya ditularkan oleh anjing Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya
penyebaran rabies di Bali dan Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing
di kedua daerah tersebut. Hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores
memiliki anjing. Tingginya angka kepemilikan anjing khususnya di Flores
disebabkan karena anjing memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat
tinggi dan anjing sangat dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun anjing
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun sistim pemeliharaan anjing di
Flores, mayoritas diliarkan, sehingga hal ini berpotensi menjadi sumber
penularan penyakit rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.
168
Vaksinasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka
pencegahan dan pengendalian penyebaran rabies di provinsi Bali dan NTT.
Hasil serosurveilans rabies Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2013 di
provinsi Bali menunujukkan .jumlah seropositif rabies sebesar 68.3 %
Sedangkan persentase positif antibodi rabies di provinsi NTT hanya 45,8.%
(Agustini, et.al., 2013). Angka tersebut masih di bawah standar yang
dipersyaratkan OIE dan hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya kasus
rabies . Fakta di lapangan menunjukkan bahwa walaupun vaksinasi rabies
sudah dilakukan namun kasus rabies dan kematian akibat rabies masih
dilaporkan terjadi , hal ini membuktikan bahwa masih banyak anjing-anjing yang
tidak mempunyai antibodi terhadap penyakit rabies dan berpotensi menularkan
Rabies ke hewan dan orang/manusia. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
pemerintah provinsi Bali melakukan vaksinasi massal setiap tahunnya di
semua kabupaten/kota di Bali, demikian juga halnya pemerintah provinsi NTT.
Untuk mengetahui respon antibodi dan prevalensi antibodi yang ditimbulkan
akibat vaksinasi tersebut maka dilakukan serosurveilans rabies di Provinsi Bali
dan NTT
1.2 . Tujuan
Serosurveilans ini bertujuan :
1. Mengetahui respon antibodi pascavaksinasi Rabies di provinsi Bali dan NTT
2. Mengetahui pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan
NTT (Pulau Flores).
3. Mengetahui situasi dan status Rabies di provinsi NTB
4. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang
mengarah pada penyakit Rabies sebagai dasar penentuan program
surveilans selanjutnya
169
1.4. ManfaatManfaat yang diharapkan dari serosurveilans ini adalah :1. Diketahuinya respon antibodi Rabies di Provinsi Bali dan NTT
2. Diketahuinya pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan
NTT khususnya Pulau Flores NTT.
3. Diketahuinya situasi dan status Rabies di provinsi NTB
4. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit Rabies
Output yang diharapkan adalah :
1. Tersedianya data dan informasi tentang respon antibodi Rabies di Bali dan
NTT
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.
3. Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C
sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang
dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali,
NTB dan NTT
II. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
- Bahan
Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans rabies ini meliputi : KIT
ELISA produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.
- Alat
Alat yang digunakan untuk surveilans ini meliputi : tabung plain vacutainer, jarum
venoject, handle, tabung effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, micro tip
pipet 250 ul dan 1000 ul, ELISA washer, inkubator, ELISA reader
170
2.2. Metode
2.2.1. Metode Pengambilan sampel
a. Penentuan Lokasi.
Pengambilan sampel rabies di provinsi Bali dilaksanakan di seluruh
Kabupaten/kota. Dasar pertimbangan dari penentuan lokasi ini adalah
vaksinasi dilakukan secara massal di semua Kabupaten/kota. Pemilihan
desa tempat pengambilan sampel dikoordinasikan dengan Dinas
Peternakan Kabupaten /Kota dan dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan
bekerjasama dengan Puskeswan di masing-masing Kabupaten /kota
Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Sikka, Ngada
dan Lembata. Pemilihan lokasi ini dilakukan berdasarkan pertimbangan
bahwa derah tersebut merupakan daerah endemik rabies, selain itu di
daerah tersebut masih ditemukan adanya kasus positif Rabies pada HPR
dan kematian akibat Rabies pada orang/manusia.
b. Metode Pengambilan sampel
Pengambilan sampel melibatkan petugas Puskeswan, hal ini untuk semakin
meningkatkan fungsi dan peran serta Puskeswan dalam pencegahan
pengendalian dini terhadap penyakit hewan. Selain itu keterlibatan
Puskeswan dalam pengambilan sampel ini juga bertujuan supaya cakupan
wilayah surveilans bisa lebih luas, karena petugas Puskeswan lebih
mengetahui kondisi lapangan secara keseluruhan, sehingga pengambilan
sampel sesuai dengan yang diharapkan. Dengan melibatkan petugas
Puskeswan ini juga sekaligus sebagai ajang pembinaan bagi petugas
Puskeswan dalam pengambilan dan penanganan sampel. sehingga akhirnya
diharapkan petugas Puskeswan sudah bisa melakukan sendiri pengambilan
serta penangangan sampel secara baik dan benar
Penentuan jumlah sampel di Provinsi Bali dilakukan berdasarkan persentase
seropositif Rabies tahun 2013 yaitu sebesar 68.3% dan berdasarkan
perhitungan statistik dengan selang kepercayaan 95% sehingga total jumlah
sampel yang harus diambil adalah 697 sampel. Sedangkan untuk provinsi
NTT pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Sikka, Ngada dan
171
Lembata. Berdasarkan prevalensi seropositif antibodi Rabies tahun 2013
yaitu sebesar 45.3% dengan selang kepercayaan 95% maka jumlah sampel
yang diambil keseluruhan adalah 396 sampel.
c. Penanganan Sampel
Sampel yang sudah diambil setelah sampai di Laboratorium segera
dipisahkan dari klot darah dengan cara dicentrifugasi kemudian disimpan
dalam vial, diberi label dan disimpan pada suhu (-200C) sampai
dipergunakan
3.2.2. Metode Pengujian Sampel
Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA di Balai Besar Veteriner
Denpasar menggunakan KIT ELISA Rabies produksi Pusat Veteriner Farma
Surabaya sesuai prosedur yang terdapat pada KIT dengan tahapan sebagai
berikut : sebelum dilakukan pengujian semua sampel serum diinaktivasi pada
suhu 560C selama 30 menit. Sampel serum diencerkan dalam larutan
Phosphate Buffer Saline Tween 20 dengan perbandingan 1 : 100. Pengenceran
serum kontrol positif dimulai dari 4 EU sampai dengan 0.125 EU. Serum kontrol
standar dan kontrol negatif diencerkan 1 : 100. Selanjutnya 100 ul dari kontrol
positif : 4 EU dimasukkan ke dalam well A1 dan A2. Kontrol positif 2 EU ke
dalam well B1 dan B2. Kontrol positif 1 EU ke dalam well C1 dan C2. Kontrol
positif 0.5 EU ke dalam well D1 dan D2, kontrol positif 0,25 EU ke dalam well E 1
dan E2, serta kontrol positif 0,125 EU ke dalam well F1 dan F2. Sedangkan
untuk kontrol standar dimasukkan masing-masing 100 ul ke dalam well G1 , G2
dan untuk kontrol negatif dimasukkan ke dalam well H 1 dan H2.
Selanjutnya 100 ul sampel serum yang sudah diencerkan dimasukkan mulai well
A3 sampai dengan G12. sedangkan well H11 dan H12 tidak ditambahkan
sampel serum atau digunakan sebagai kontrol. Setelah diinkubasi pada suhu
370C selama 1jam mikroplate dicuci sebanyak 3-5 kali dengan PBST.
Selanjutnya 100 µl conjugate protein A yang sudah diencerkan dalam PBST
dengan perbandingan 1 : 16000, ditambahkan kesemua well kecuali well H11
dan H12, kemudian mikroplate diinkubasikan kembali pada suhu 370C selama 1
jam. Setelah mikroplate dicuci kembali sebanyak 3-5 kali dengan PBST
172
selanjutnya ke dalam masing-masing well ditambahkan 100 µl substrate ABTS
dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 10-15 menit, sambil diamati
munculnya warna kebiruan. Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa
dibedakan secara visual dilakukan penghentian reaksi dengan penambahan
stop solution kesemua well. Terakhir dilakukan pembacaan pada ELISA Reader
menggunakan filter 405 nm.
Kalkulasi dan Interpretasi Hasil
Kalkulasi hasil dilakukan dengan program Microsoft Excel dengan interpretasi
hasil: Jika nilai OD sampel ≥ 0,5 IU maka sampel dinyatakan Positif antibodi
Rabies dan sebaliknya jika nilai OD sampel < 0,5 IU maka sampel dinyatakan
negatif antibodi Rabies.
III. HASIL
Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan
gejala klinis / mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan sebanyak
1299 sampel serum yang terdiri atas sampel serum asal provinsi Bali sebanyak
768 sampel dari provinsi NTB sebanyak 3 sampel dan dari provinsi NTT
sebanyak 528 sampel. Seperti diringkaskan pada Tabel 1, dari 768 sampel
serum asal provinsi Bali 337 (43.9 %) menunjukkan hasil positif antibodi rabies.
Semua sampel asal provinsi NTB negatif antibodi Rabies. Sedangkan dari 528
sampel serum asal NTT 230 (43.5%) menunjukkan hasil positif antibodi Rabies.
Dari hasil surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 465 sampel serum yang
berasal dari anjing yang pernah divaksinasi Rabies. Dari sampel serum tersebut,
hanya 205 diantaranya positif antibodi rabies (Grafik 1 )
Seperti tersaji pada Tabel 2, persentase seropositif antibodi Rabies di provinsi
Bali tahun 2014 hanya mencapai 43.9%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan
dengan persentase seropositif tahun 2013 yang mencapai 68.3%. Seropositif
antibodi tertinggi terjadi di Kabupaten Jembrana yaitu 72.2% sedangkan
seropositif terendah terjadi di kabupaten Gianyar (12.1%). Mayoritas persentase
seropositif Rabies di Kabupaten /kota di Bali masih dibawah 70% (Grafik 2).
173
Hasil uji ELISA terhadap sampel serum asal NTT menunjukkan 43.5 % dari
sampel serum yang diuji, positif antibodi Rabies. Hasil ini sedikit lebih rendah
bila dibandingkan dengan hasil seropositif tahun 2013 yang sempat mencapai
45.3%. Persentase seropositif antibodi Rabies di Kabupaten Lembata paling
tinggi, dibandingkan dengan Kabupaten Sikka dan Ngada. Hasil uji
selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 3, Grafik 3
Tabel 1. Hasil Uji ELISA sampel serum asal povinsi Bali , NTB dan NTTTahun 2014
PROVINSI JUMLAHSAMPEL
JUMLAHPOSITIF ELISA
PERSENTASE(%)
Bali 768 337 43.9
Nusa Tenggara Barat 3 0 0
Nusa Tenggara Timur 528 230 43.5
TOTAL 1299 567 43.6
Grafik 1.Jumlah sampel dari anjing yang divaksinasi Rabies dan hasil seropositif Rabies
Tahun 2014
174
Tabel 2. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2014
Grafik 2Hasil seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten/kota Provinsi Bali Tahun 2014
NO Kabupaten/kota
Jumlahsampel
Jumlahpositif
Persentasepositif
1 Badung 110 37 33.6
2 Buleleng 119 69 57.9
3 Karangasem 148 62 41.9
4 Bangli 63 24 38.1
5 Gianyar 66 8 12.1
6 Denpasar 34 19 55.9
7 Jembrana 18 13 72.2
8 Tabanan 99 51 51.5
9 Klungkung 111 54 48.7
Total 768 337 43.9
175
Tabel 3. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2014
NO Kabupaten/kota
Jumlahsampel
Jumlahpositif
Persentasepositif
1 Ngada 50 16 32
2 Sikka 275 104 37.8
3 Lembata 203 110 54.2
Total 528 230 43.5
Grafik 3Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2014
176
IV. PEMBAHASAN
Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan
pemberantasan rabies di Indonesia , karena vaksinasi akan merangsang respon
imun untuk membentuk antibodi sehingga bisa memberikan proteksi pada
hewan yang divaksinasi.
Hasil serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2014 menunjukkan terjadi
penurunan persentase seropositif antibodi Rabies dari 68.3% menjadi 43.9%.
Rendahnya persentase seropositif tersebut diduga berpengaruh terhadap
kejadian kasus positif Rabies. Dugaan ini terbukti karena hasil uji FAT
menunjukkan terjadi peningkatan jumlah kasus positif Rabies dari 41 kasus pada
tahun 2013 menjadi 130 kasus pada tahun 2014. Ada indikasi meningkatnya
jumlah kasus positif Rabies disebabkan oleh menurunnya jumlah seropositif
Rabies sehingga mengakibatkan menurunnya kekebalan kelompok (herd
immunity) dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi Rabies
Menurunnya seropositif Rabies juga disebabkan oleh adanya pergantian jenis
vaksin, adanya jeda waktu pelaksanaan vaksinasi sehingga respon antibodi
hasil vaksinasi tahun sebelumnya sudah menurun dan bila dilakukan vaksinasi
selanjutnya maka respon antibodi yang terbentuk tidak akan optimal .
Banyaknya HPR yang tidak mendapatkan vaksinasi ulang pada tahun 2014
terutama anjing-anjing kelahiran baru juga diduga kuat berpengaruh terhadap
menurunnya seropositif tersebut, sehingga tidak mampu memproteksi serangan
virus yang masuk.
Masih banyak anjing yang tidak memberikan respon antibodi maksimal, hal ini
diduga kuat dipengaruhi oleh : status gizi dan managemen pemeliharaan yang
kurang baik. Kebanyakan sampel serum yang diperiksa di laboratorium berasal
dari anjing lokal (anjing Bali) dengan sistem pemeliharaan sebagian besar
diliarkan, dengan makanan seadanya sehingga kebutuhan gizinya tidak
terpenuhi.
177
Menurut Widodo, 2009 perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi,
status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan. Selain itu
perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu
dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi.
(Suprapto, 2008).
Adanya kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah
pernah divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama
kali disebabkan karena imunisasi/vaksinasi pertama tidak akan menimbulkan
respon antibodi yang tinggi, tetapi jika imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka
respon antibodi yang terbentuk akan meningkat tajam dan bertahan selama
beberapa waktu dan akhirnya akan menurun secara perlahan. Peningkatan titer
antibodi tersebut disebabkan oleh proses pemilihan (switching) isotipe
imunoglobulin menjadi IgG dan hal ini dapat terjadi karena bantuan sel T (Roitt,
1996).
Selain itu keberhasilan vaksinasi dan terbentuknya titer antibodi protektif juga
dipengaruhi oleh sistim penanganan vaksin (transportasi dan penyimpanan
(cold chain system). Menurut WHO, 1998 komponen cold chain (system rantai
dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan transportasi vaksin, prosedur
pengelolaan, program dan kontrol distribusi vaksin.
Untuk provinsi NTB sampai saat ini masih dinyatakan bebas terhadap Rabies .
Hal ini diperkuat oleh hasil uji FAT dari 432 sampel otak asal provinsi NTB
semuanya menunjukkan hasil negatif virus Rabies.
Hasil uji serologis terhadap 528 sampel asal provinsi NTT menunjukkan terjadi
penurunan persentase seropositif Rabies dari 45.3% menjadi 43.5%. .
Penurunan jumlah seropositif tersebut diduga kuat disebabkan oleh
keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia sehingga tidak bisa mengcover semua
populasi yang ada. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang sangat sulit
dijangkau, juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan vaksinasi.
178
Walaupun vaksinasi sudah dilakukan secara massal namun masih ditemukan
adanya anjing yang positif Rabies. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan FAT
terhadap 65 sampel otak asal provinsi NTT dimana 24 diantara sampel tersebut
menunjukkan positif virus Rabies hasil ini mengindikasikan rendahnya
kekebalan kelompok (herd immunity)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :
Vaksinasi Rabies yang dilakukan di provinsi Bali, dan NTT, mampu
merangsang terbentuknya antibodi.
Persentase seropositif antibodi Rabies di provinsi Bali 43.9% dan NTT43.5%
Ada indikasi munculnya kasus Rabies di Bali dan NTT disebabkan karenarendahnya persentase seropositif antibodi dan kekebalan kelompok (herdimmunity)
Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.
SARAN
Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah
70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang
memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.
Untuk mencegah terjadinya kasus rabies di Bali dan NTT , perlu dilakukan
vaksinasi Rabies secara teratur, meningkatkan kekebalan kelompok (herd
immunity) dan pengawasan lalu lintas anjing dan pengendalian populasi.
Untuk mempertahankan provinsi NTB tetap bebas Rabies maka perlu
dilakukan sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR
dan pengendalian populasi.
179
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas
Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten Sikka, Ngada dan Lembata, serta kepada Medik dan Paramedik
Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam
pengambilan dan pengujian sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali, 2010
Agustini, N.L.P., Dibia, I.N., dan Mustikawati, D. 2013. Laporan TeknisSerosurveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat,dan Nusa Tenggara Timur Tahuin 2013
Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. Neutralisingantibody titration in 25,000 sera of dogs and cats vaccinated againstrabies inFrance, in the framework of the new regulationsthat offer analternative to quarantine, 2003
Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B.,Cliquet, F., Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson, M.,Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez,S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M., Hoffman, B.2013. A step Forward in molecular diagnostic of Lyssaviruses Result of aRing Trial among European Laboratories PLOS ONE. Vol 8 Issue 3E5.
Minke ,J.M, Bouvet,J., Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., Comparison ofantibody responses after vaccination with two inactivated rabies vaccines,2007
Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009.Rhabdoviridae in Veterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439
Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G.,Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi
Rabies di Bali Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan .Buletin Veteriner . Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74:13-26.
180
Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diatmita, I.K. 2014.Surveilans dan monitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing Di ProvinsiBali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2013.Buletin Veteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar . Vol. XXVI, No. 84.Edisis Juni 2014. Hal 46-59
WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987
Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan.Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya
Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre
181
UJI REAL TIME PCR UNTUK MENDETEKSI c-DNA VIRUSPENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI
Ni Luh Putu Agustini, I Wayan Masa Tenaya, I Ketut Diarmita, I Nyoman Dibia,Dinar Hadi Wahyu Hartawan, Diana Mustikawati, I Ketut Mayun,I Nengah Mundera, I Wayan Ekaana, LM. Faezal Suryadinata
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD) adalah penyakit hewan menular pada sapi Balidisebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae . Untuk peneguhan diagnosa JD beberapa metodeuji sudah dikembangkan antara lain Uji ELISA, Western immunoblotting, IHK, dan KonvensionalPCR, Walaupun PCR merupakan Gold standard untuk diagnosa JD, namun uji PCR tidak bisamendiagnosa JD secara kuantitatif , sehingga perlu dilakukan pengembangan metode uji untukdiagnosa penyakit Jembrana dengan teknik Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA viruspenyakit Jembrana pada sapi Bali,. Pengembangan metode ini dilakukan dalam 2 tahapan yaituTahap I yang sudah dilakukan pada tahun 2013 dan Tahap II dilakukan pada Tahun 2014.Adapun tujuan dari kegiatan Tahap II adalah : mengembangkan metode uji Real Time PCRuntuk mendeteksi c-DNA virus penyakit Jembrana pada sapi Bali. Pada pengembangan metodetahap II ini dilakukan ,isolasi Peripheral Blood Mononuclear cells (PBMC) optimalisai metode ujiReal Time PCR dan validasi metode uji Real Time PCR. Pada pengembangan metode saat inioptimalisasi uji Real Time PCR telah berhasil dikembangkan , namun validasi metode uji belummendapatkan hasil yang optimal, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
Kata kunci: Jembrana. Uji Real time PCR
I. PENDAHULUAN
Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) dan Balai Veteriner (B-Vet) di Indonesia
saat ini berjumlah 9 unit (3 BBVet dan 6 (B-Vet) yang merupakan institusi yang
memiliki peran penting secara Regional dalam melaksanakan tugas surveilans,
penyidikan, pengujian dan diagnosa penyakit hewan di wilayah kerja
pelayanannya.
182
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.: 89/Kpts/PD/1/2012,
masing-masing BB Vet dan B Vet tersebut telah ditetapkan sebagai laboratorium
rujukan pengujian penyakit hewan menular tertentu. Laboratorium rujukan dan
penyakit yang ditangani sebagai berikut : BBVet Wates (penyakit Anhrax, AI ,
BSE dan Salmonella) BBVet Denpasar (penyakit Jembrana dan SE), BBVet
Maros (penyakit BVD dan Brucellosis) , BVet Medan (penyakit PRRS dan HC),
BVet Bukittinggi (penyakit Rabies), BVet Lampung (penyakit ND dan IBD), BVet
Banjarbaru (penyakit Surra dan IBR), dan BVet Subang (penyakit AI ). Sebagai
Laboratorium rujukan BBVet dan BVet selain menerapkan ISO 17025 dan ISO
9001 diharapkan juga menerapkan ISO 17043.
Walaupun setiap BBVet dan BVet sudah ditetapkan sebagai laboratorium
rujukan penyakit hewan tertentu, namun ada perbedaan tugas pokok dan fungsi
yang sangat prinsip yang membedakan antara Balai Besar Veteriner dan Balai
Veteriner. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
54/Permentan/OT140/5/2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar
Veteriner (BBVet) bahwa BBVet mempunyai tugas khusus yaitu pengembangan
teknik dan metode penyidikan , diagnosa dan pengujian Veteriner . Berdasarkan
alasan tersebut di atas BBVet Denpasar berkomitmen untuk melakukan
pengembangan teknik dan metoda penyidikan, diagnosa dan pengujian
Veteriner, dan saat ini terkait dengan penyakit Jembrana yang bersifat spesifik.
Penyakit Jembrana/Jembrana Disease (JD) adalah penyakit viral bersifat akut,
disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae. Virus ini berbentuk pleomorf,
beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic
Acid (ss-RNA) berukuran 50-120 nm.
Berbeda dengan grup lentivirus lainnya infeksi oleh virus penyakit Jembrana
cenderung bersifat akut, menimbulkan gejala klinis dengan masa inkubasi
pendek yaitu sekitar 7 hari pasca infeksi dapat menimbulkan gejala klinis
terutama demam, pembesaran kelenjar limfe permukaan, nafsu makan turun,
kadang-kadang disertai keringat darah. Demam umumnya berlangsung 5-6 hari
dan pada saat demam tersebut, titer virus sangat tinggi dan dapat dideteksi
dengan RT-PCR (Gambar 1.)
183
Gambar 1. Hubungan antara suhu tubuh (tanda bulat hitam) dengan titer virus (tandasegitiga merah) yang di deteksi dengan uji Real Time PCR (RT-PCRpada sapi Bali setelahdiinfeksi VPJ (Sumber: IW. Masa T. PhD Thesis, 2010).
Siklus hidup Virus Penyakit Jembrana (JDV) dimulai dengan menempelkan
dirinya pada permukaaan target cells melalui reseptor, kemudian melepas
kulitnya di dalam sitoplasma dan memasukkan gen-nya yang disebut cDNA
(proviral DNA) ke dalam inti sel yang selanjutnya menyatu (berintegrasi) dengan
gen sapi untuk selamanya. Pada saat hewan sembuh gen JDV tetap berada di
dalam target cells dan status hewan yang sembuh menjadi karier (Gambar 2)
Gambar 2. Siklus hidup lentivirus di dalam sebuah target cell (Sumber: IW. Masa T. PhDThesis, 2010
38
39
40
41
42
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021
Days post-infection
Mea
n re
ctal
tem
pera
ture
(oC)
0100200300400500600700800
JDV
RNA
x106 /m
l
Temperature JDV RNA
184
Di laboratorium diagnosa penyakit Jembrana biasanya dilakukan dengan
beberapa uji diantaranya untuk mendeteksi antibody dilakukan uji serologis
ELISA atau Western Blot dan untuk mendeteksi virus/antigen dilakukan dengan
uji Immunohistokimia (IHK), Insitu-Hybridization (ISH ) dan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Untuk mendeteksi antigen pada saat hewan sedang dalam fase
demam (akut), dilakukan dengan uji IHK dan ISH (Gambar 3)
Gambar 3. Hasil deteksi virus Jembrana pada organ limfoid dengan IHK (gambar kiri) dan deteksiantigen dengan ISH (gambar kanan). Hasil positif IHK ditandai dengan adanya warna coklat pada selyang terinfeksi) sedangkan hasil positif ISH ditandai dengan warna merah pada sitoplasma sel B(Sumber PhD Thesis I.W.Masa Tenaya. 2010)
Sesungguhnya sel-sel positif IHK dan ISH tersebut adalah sel-sel B (penghasil
antibodi seluler) sebagaimana dibuktikan dengan uji double immunostaining. Hal
ini menjelaskan mengapa antibodi tidak terbentuk sampai 2 bulan pasca infeksi,
sedangkan pada penyakit virus lainnya antibodi sudah terbentuk beberapa hari
pasaca infeksi.
Pada saat penyakit phase akut (demam) keberadaaan JDV yang berada dalam
sel (intracellular virus) dalam bentuk cDNA dapat dideteksi dengan uji
convensional PCR dan virus yang berada di luar sel (extracellular virus) dalam
bentuk RNA dapat dideteksi dengan uji Real -Time PCR (gambar 4)
185
Gambar 4. RT-PCR: Kiri adalah kurve standar, kanan adalah amplifikasi positif berlipat ganda RNAvirus Jembrana pada saat demam (Sumber PhD Thesis; IWM. Tenaya, 2010).
Uji Real Time PCR dan Convensional PCR lebih sensitive dan spesifik daripada
uji IHK dan ISH. Akan tetapi setelah phase demam berlangsung, karena
extracellular virus sudah masuk bersembunyi ke dalam inti sel target menjadi
cDNA, maka RT-PCR tidak dapat lagi mendeteksi JDV. Sebaliknya cDNA
tersebut masih dapat dideteksi dengan convensional PCR selama demam
berlangsung sampai beberapa tahun setelah hewan sembuh dengan PCR
product sekitar 360 bp Secara keseluruhan dapat disimpulkan perbandingan
kelebihan dan kekurangan metoda diagnose JD seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Rangkuman perbandingan kelebihan dan kekurangan metodadiagnose penyakit Jembrana yang telah dikembangkan
No Metoda diagnose Kelebihan Kekurangan1 Serologi (ELISA
dan Western Blott)1. Dapat mendeteksi
antibody pada saatkronis
2. Sebagai uji evaluasihasil vaksinasi
1. Tidak spesifik (crossreaksi dengan antibodyBIV
2. Tidak sensitive, tidakdapat mendeteksiantibody pada saatphase akut (dibawah 2bulan)
2 Deteksi antigen(IHK dan ISH.Doubleimmunostainning
1. Sensitif dan spesifikkarena memakaiantibody monoclonaldan Riboprobe
1. Tidak dapat mendeteksiJDV pada phase kronis,tidak cocok untuk ujimassal.
2. ISH dan doubleimmunostainning sangatkomplek tidak cocokuntuk uji massal.
Cycle5 10 15 20 25 30 35 40
Norm
. F
luoro
.
0.8
0.6
0.4
0.2
0 Threshold
Cycle5 10 15 20 25 30 35 40
Norm
. F
luoro
.
0.8
0.6
0.4
0.2
0 Threshold
186
3. Deteksi cDNAdengan c-PCR
1. Sensitif dan spesifikmendeteksi JDVpada saat akut dankronis (karier)
2. Mendeteksi virussecara kualitatif
1. Memerlukan waktu lebihlama
2. Berbahaya memakai zatkarsinogenik (ethidiumbromide)
3. Memerlukan pembuatangel elektroforesis
4. Tidak cocok untuk ujimassal
4 Deteksi RNAdengan RT-PCR
1. Sensitif dan spesifikmendeteksi JDVpada saat akut
2. Mendeteksi virussecara kuantitatif
1. Tidak dapat mendeteksiRNA pada phase kronisKarena RT-PCR hanyamendeteksi (ekstrasellulerRNA), dimana pada phasecarrier tidak ada lagi RNA didalam plasma namunc-DNA tetap ada di dalamPBMC
B. Rumusan MasalahDari uraian di atas walaupun metoda diagnosa JDV telah dikembangkan secara
maksimal dari tingkat konvensional sampai molekuler, aplikasi metode-metode
tersebut harus masih disesuaikan dengan tingkat kejadian penyakit. Hal ini
terjadi bukan karena metode diagnosa yang kurang tepat tetapi karena sifat
alamiah infeksi JDV yang sangat unik. Oleh karena itu dapat diidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut :
1. Belum tersedianya metoda diagnosa JDV yang “feasible” yaitu efektif, efisien,
sensitif dan spesifik (akurat) dapat mendeteksi hewan terinfeksi JDV pada
phase akut, kronis dan karier.
2. Belum tersedia metoda diagnosa yang dapat mengkuantitasi JDV khususnya
pada saat kronis dan/atau pada hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis
atau pada hewan karier.
3. Belum pernah dilakukan uji coba revitalisasi RT-PCR sebagai pengganti C-
PCR dalam mendeteksi cDNA pada hewan terinfeksi JDV
187
C. Maksud dan TujuanKegiatan ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan DNA dari PBMC
2. Mengembangkan/optimalisasi uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA
virus penyakit Jembrana pada sapi Bali yang terinfeksi.
3. Melakukan validasi metode uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA virus
penyakit Jembrana.
D. Manfaat/OutcomeManfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah :
1. Tersedianya DNA virus Jembrana dari sapi Bali yang terinfeksi JD
2. Tersedianya metode uji Real Time PCR untuk mendeteksi c-DNA virus
penyakit Jembrana pada sapi Bali yang terinfeksi JD
II. MATERI DAN METODE
Pada pengembangan metode tahun 2014 dilakukan beberapa kegiatan antara
lain :
1. Isolasi DNAPBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan
QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai
berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam
tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106
lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL
ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex
selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama 10
menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl
ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik.
Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati
masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection
tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm
selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan
buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan
188
tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan
centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column
dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka
tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi
dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh
20.000 g / 14.000 rpm selama 3 menit. Tempatkan QIAamp spin column pada
1.5 ml tabung microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung
filtrat. Tahap Elution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul
buffer AE atau aquadest. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan
kemudian centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin
colum dan simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.
2. Uji Real Time PCRMetoda uji Real Time PCR yang dipakai untuk mendeteksi c-DNA virus Jembrana ini
adalah mengacu pada uji Real Time PCR AI dengan beberapa modifikasi. Bahan-bahan
yang diperlukan dalam teknik Real Time PCR JD adalah Superscript III Platinum
SybrGreen One Step. . Primer yang digunakan terdiri dari Primer JDV-1 dan Primer
JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen
5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3) dengan
sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al., 1995). Formula untuk
1 reaksi Real Time PCR adalah : Enzyme 1 ul, 2x Master mix: 12,5 ul, Reverse Primer
1 ul, Forward primer L 1 ul , Nuclease Free Water 6,5 Ul dan Template DNA : 3 ul.
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin Real Time PCR diamplifikasi
sebanyak 35 siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama
5 menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1
menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus, ada
program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan DNA yang
belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu ruang, biasanya
15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2 jam 15 menit.
189
III. HASIL
Dari hasil isolasi DNA telah berhasil dikumpulkan sebanyak 60 sampel DNA
Pada optimalisasi metoda uji saat ini telah dicoba 2 protokol uji . Protokol
pertama mengadopsi metoda uji Real PCR yang dikembangkan oleh Faizah ,
2008. Sedangkan protokol kedua mengacu pada protokol yang digunakan pada
metoda PCR konvensional. Dari hasil optimalisasi , ternyata dengan
menggunakan protokol dari Faizah 2008, tidak memberikan hasil yang optimal.
Dengan menggunakan waktu dan suhu seperti pada protokol PCR konvensional,
dan selanjutnya dilakukan amplifikasi pada mesin Real Time PCR akhirnya
DNA virus JD berhasil terdeteksi. Pada saat pengembangan metoda ini
dilakukan pembacaan pada saat anealing dan elongasi. Hasil pembacaan
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pembacaan sinyal
probe (Rox ) yang dilakukan pada saat anealing dan elongasi. . Hasil
selengkapnya seperti terlihat pada gambar 1,2 dan 3.
190
Gambar 1. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocoldari bu Faizah.
Gambar 2. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocolKonvensional dengan Step pembacaansinyal Probe (Rox) pada tahap Annealing
Gambar 3. Hasil Grafik Linear Real TimeRT-PCR Jembrana, menggunakan protocolKonvensional dengan Step pembacaansinyal Probe (Rox) pada tahap Elongasi
191
IV. PEMBAHASAN
Real time PCR merupakan PCR kuantitatif dengan cara mendeteksi flourescen
repoter yang dihasilkan selama reaksi PCR. Peningkatan sinyal flourescen,
merupakan indikator amplifikasi produk PCR di setiap siklus PCR (deteksi
secara Real Time). Selama proses PCR berlangsung akan terjadi 3 fase
pertumbuhan produk amplifikasi yakni :
Fase eksponensial (Logaritmik) dimana Penggandaan produk secara tepat
(efisiensi reaksi diasumsikan 100%), reaksi sangat presisi dan spesifik
Fase linier : komponen reaksi menjadi terbatas, efisiensi rekasi menurun
Fase Plateau (stasioner : rekasi telah berhenti, tidak ada lagi produk yang
dihasilkan, apabila dibiarkan cukup lama maka produk PCR dapat mengalami
degradasi.
Dalam penelitian ini menggunakan Sybr Green. Alasan penggunaan Sybr
Green tersebut karena memiliki beberapa keuntungan antara lain : lebih murah
dan dapat melihat Tm serta dapat digunakan untuk aplikasi DNA dan RNA.
Namun SybrGreen memiliki kekurangan yaitu kurang spesifik. Faktor inilah yang
mungkin menyebabkan kurang bagusnya hasil pada validasi metode yang
dilakukan. Metode Real Time PCR JD mungkin akan lebih memberikan hasil
yang spesifik bila menggunakan TaqMan Probe karena TaqMan Probe memiliki
keunggulan yaitu memberikan hasil yang spesifik , dapat mendeteksi antigen,
kuantitasi viral dan deteksi SNP, dapat digunakan untuk deteksi DNA dan RNA,
Namun kekurangannya harga lebih mahal. (Faizah , 2008).
192
V. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULANDari hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
c-DNA virus penyakit Jembrana berhasil diisolasi dari PBMC.
Optimalisasi uji Real Time PCR telah berhasil dilakukan namun hasil validasi
uji belum optimal
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan TaqMan Probe untuk
mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
bapak Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas kepercayaan dan dana yang
diberikan untuk menyelesaikan kegiatan ini. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada semua medik dan paramedik Veteriner Balai Besar
Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam pengamatan klinis
pengambilan dan pengujian sampel serta semua pihak yang ikut membantu
sehingga kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. 2002. Uji Elisa untuk Mendeteksi AntibodiLentivirus Menggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6.Manual DiagnosaLaboratorik Penyakit Jembrana. Materi Kursus Peningkatan MetodeDiagnosa Penyakit Jembrana ACIAR-BPPV VI.
Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya,G.(1995). Nucleotide sequence analysis of Jembrana disease virus : abovine lentivirus associated with an acute disease syndrome. Journal ofGeneral Virology. 76: 1637-1650
193
Faizah , 2008. Polymerase Chain Reaction (PCR). Dalam Materi PeningkatanKompetensi Laboratorium Bioteknologi. Balai Besar Veteriner Denpasar.2008.
Hartaningsih, N., Sulistyana, K., and G.E. Wilcox. (1996) Serological Test forJDV Antibodies and Antibody Respons of Infecetsd Cattle. In JembranaDisease and the Bovine Lentiviruses, ACIAR Preceeding No.75, Page79—84
Hartaningsih, N. 2005.Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana diKalimantan Timur.Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Denpasar.
Putra, AAG., 2003. Peranan Hewan Karier Penyakit Jembrana dalam Penularanpenyakit di Lapangan Bulletin Veteriner , Balai Penyidikan dan PengujianNeteriner Regional VI Denpasar , XV (63) : 15-26.
Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno., M Kertaydnya, G., and Wilcox, GE.1990. Studies experimental Jembrana disease of infectious agen in Balicattle. Transmission and persistence of the infectious agent in ruminantand pigs and resistence of recovered cattle to re-infection, Journal ofComparative Pathology 103 : 49-69
Soeharsono, S., Wilcox, GE., Putra, AAG., Hartaningsih, N., Syulistyana, K andTenaya., M. 1995. The Transmission of Jembrana disease of lentivirusdisease of Bos javanicus cattle, Epidemiology and Infection .115 : 367-374.
Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNAVirus Jembrana pada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase ChainReaction.Buletin Veteriner. 63: 44-48, BPPV VI Denpasar.
Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals byPCR.Buletin Veteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.
Wilcox G.E., Kertaydnya G., Hartaningsih N., Dharma D.M.N., Soeharsono S.,and Robertson T (1992). Evidence for viral aetiology of Jembrana diseasein Bali cattle. Veterinary Microbiology 33: 367-374
194
MONITORING AVIAN INFLUENZA H5N1 DI PASAR UNGGAS HIDUP DI DIPROVINSI BALI TERKAIT PERUBAHAN MUSIM TAHUN 2014
Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Fitriani,K1.Suryadinata, L. M. F1,Sutami, N1., Purnatha, N1.,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Avian Influenza (AI) adalah menular pada unggas dan dapat menyebabkan spectrum gejalayang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yangsangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.Monitoring ini dilakukan untuk mendeteksi munculnya penyakit Avian Influenza di pasar unggashidup di Bali terkait dengan perubahan musim. Kegiatan monitoring ini dilakukan denganmenggunakan metode Detect Presence of the Disease dengan populasi target unggas sehat danyang tampak sakit di pasar unggas berisiko tinggi di bali pada saat terjadi perubahan musim darimusim kemarau ke musim hujan. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa proporsi hasil positifpenyakit AI di di pasar unggas hidup di provinsi Bali terkait perubahan musim adalah 1.89 %, Halini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar khususnya di provinsi Bali. Prevalensi penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidupdi provinsi Bali terkait perubahan musim untuk unggas itik sebesar 5 % yang ditemukan di pasarAmlapura kabupaten Karangasem, sedangkan untuk unggas ayam diperoleh hasil sebesar 1,52% yang diterdeteksi di pasar Umum Gianyar kabupaten Gianyar. Ditemukan hasil positif virus ND(0.1 %) tepatnya di pasar Kediri Kabupaten Tabanan, hal ini menunjukkan bahwa penyakit NDmasih bersirkulasi di wilayah provinsi Bali.
Kata Kunci : Avian Influenza virus, Pasar unggas Hidup, perubahan musim
PENDAHULUAN
Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada
unggas yang termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE).
Seluruh unggas diketahui rentan terhadap infeksi avian influenza, walaupun
beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan yang lain. Infeksi
ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai
dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat
menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat. Hal ini
meningkatkan risiko terjadinya penularan khususnya untuk penyakit AI yang
dapat menular pada manusia (zoonosis).
195
Penyebaran penyakit Avian Influenza dapat melalui perniagaan (Putra et al,
2006). Pasar unggas hidup merupakan pusat perniagaan unggas yang menjadi
salah satu mata rantai yang sangat berpengaruh terhadap lalu lintas unggas.
Penyebaran penyakit ini dapat cepat terjadi apabila unggas yang
diperjualbelikan di pasar terdeteksi virus AI kemudian dilalu lintaskan ke wilayah
yang lain. Potensi penularan juga menjadi meningkat apabila unggas dari
berbagai macam spesies dikumpulkan dalam satu kandang yang sama. Unggas
air diketahui sebagai reservoir penyakit AI tidak akan menunjukkan gejala klinis
penyakit AI tetapi dapat menjadi media penular ke unggas yang lain. Namun
saat ini unggas air menjadi terinfeksi oleh virus AI H5N1 dengan clade 2.3.2.1
yang baru merebak di Indonesia pada pertengahan tahun 2012. Pada saat
musim hujan, potensi kemunculan penyakit AI diprediksi akan meningkat. Hal ini
disebabkan antara lain munculnya stress pada unggas akibat perubahan musim
yang dapat menurunkan kondisi imunologis unggas tersebut. Pada saat musim
hujan, temperatur dan tingkat kelembaban lingkungan juga dapat meningkatkan
ketahanan virus di lapangan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya kontak
antara virus dengan unggas di lapangan. Oleh karena hal tersebut maka
monitoring penyakit AI pada pasar Unggas hidup di provinsi Bali terkait
perubahan musim perlu dilakukan untuk mendeteksi kemunculan penyakit ini
yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian dini penyakit Hewan
Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan kebutuhan bahan makanan
asal hewan yang ASUH sehingga tercapai swasembada pangan.
Identifikasi PermasalahanPerubahan musim dari kemarau ke musim hujan menjadi salah satu faktor yang
dianggap mempengaruhi munculnya kasus Avian Influenza. Hal ini disebabkan
antara lain munculnya stress pada unggas akibat perubahan musim yang dapat
menurunkan kondisi imunologis unggas tersebut. Pada saat musim hujan,
temperatur dan tingkat kelembaban lingkungan juga dapat meningkatkan
ketahanan virus di lapangan, sehingga meningkatkan potensi terjadinya kontak
antara virus dengan unggas di lapangan.
196
Tujuan Monitoring.1. Memonitor kejadian Avian Influenza di pusat rantai perdagangan yakni
pasar unggas pada saat perubahan musim.
2. Mendeteksi virus Avian Influenza di lingkungan di pasar unggas untuk
mengetahui potensi terjadinya infeksi pada unggas yang diperjual belikan di
pasar tersebut.
Manfaat Monitoring.
1. Mengetahui tingkat infeksi penyakit Avian Influenza dan potensi
penyebarannya di pusat rantai perdagangan unggas yakni di pasar unggas
hidup.
2. Terdeteksinya virus Avian Influenza di pasar unggas hidup di Bali pada saat
musim hujan.
OutputTersedianya data kejadian infeksi penyakit Avian Influenza dan potensi
penyebarannya di pusat rantai perdagangan unggas yakni di pasar unggas
hidup disaat musim hujan sehingga dapat direkomendasikan tindakan
pencegahan dan pengendaliannya.
197
MATERI DAN METODE
MateriBahan : Swab unggas, antigen AI, PBS, RBC 1 %, Telur Ayam Bertunas,
antibiotik inokulum
Alat :: tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.
MetodeSampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah swab ternak unggas (ayam, itik,
entok dan swab kandang) di pasar unggas berisiko tinggi (FAO, 2008) di wilayah
provinsi Bali. Monitoring penyakit unggas AI di pasar unggas terkait perubahan
musim di provinsi Bali, Besaran sampel metode detect the presence of disease
dari Martin et al. (1987) yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah
besaran sampel, P1 adalah probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam
jumlah sampel tersebut, d adalah jumlah hewan yang terinfeksi (asumsi prev 5
%) dan N adalah besaran populasi unit observasi. Maka diperoleh; n = 48. Cara
pengambilan sampel dilakukan dengan Random di pasar unggas berisiko tinggi
di kabupaten terpilih Sehingga diperoleh hasil estimasi jumlah sampel di masing
– masing pasar unggas. Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada
analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas. Sehingga dapat diperoleh
jumlah sampel unggas yang harus diambil dalam monitoring penyakit Avian
Influenza di Bali, pada tahun 2014 seperti pada tabel berikut ;
Tabel 2. Distribusi sampling monitoring penyakit AI di pasar unggas Hidupdi provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014.
No Lokasi Kabupaten PopulasiPedagang
Proporsisampel unitpedagang
Estimasisampeltingkatunggas
1 Pasar umum Gianyar Gianyar 30 4 302 Pasar Galiran Klungkung 70 10 603 Pasar Amlapura Karangasem 50 7 454 Pasar Kediri Tabanan 50 7 455 Pasar Dauh Pala Tabanan 30 4 306 Pasar Beringkit Badung 70 10 607 Pasar Veteran Denpasar 50 7 45Jumlah 380 48 215
198
HASIL
Dari hasil pengambilan sampel di pasar unggas hidup di provinsi Bali pada tahun
2012 dilakukan di delapan pasar unggas terpilih yang ada di enam kabupaten di
provinsi Bali. Dari kegiatan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Daftar Jumlah sampel berdasarkan Jenis sampel, Spesies dan rasunggas monitoring di pasar unggas hidup di provinsi Bali tahun2014
Jumlah Sampel Total SampelSakit Tampak Sehat Ʃ Total Ʃ TotalSpesies Ras
Ʃ Swab ƩPool
ƩSwab Ʃ Pool Swab Pool
Angsa 5 1 5 1Ayam Broiler 83 18 83 18
Kampung 15 15 141 29 156 44Layer 1 1 15 3 16 4
Entok 7 2 7 2itik lokal 1 1 90 19 91 20Lingk,Feses 14 14 14 14Swab Limbah 3 3 3 3Grand Total 17 17 358 89 375 106
Dari hasil tersebut diperoleh sampel sebanyak 375 swab dalam 106 pool
sampel. Selain swab unggas, pengambilan sampel juga dilakukan untuk
mendeteksi sampel yang berasal dari lingkungan, kandang dan saluran limbah
pembuangan lokasi pemotongan unggas. Hal tersebut dilakukan untuk
menelusuri kemungkinan bahwa pada lokasi target pengambilan sampel
tersebut pernah terjadi infeksi virus Avian influenza dari unggas yang diperjual
belikan. Dari hasil tersebut diiperoleh satu pool sampel angsa, 44 pool sampel
ayam (Broiler, layer, kampung), 20 pool swab Itik, 14 pool swab lingkungan dan
tiga pool swab limbah di pasar unggas hidup di provinsi Bali. Monitoring pada
pasar unggas ini juga mengambil sampel dari unggas yang tampak sakit untuk
meningkatkan probability ditemukannya paling tidak satu sampel positif virus AI
menggunakan metode detect presence of the disease yang direncanakan dalam
metodologi sampling.
199
Dari hasil pengujian laboratorium di laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner
Denpasar, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil pengujian sampel monitoring di pasar unggas hidupdi provinsi Bali tahun 2014
Hasil PengujianLaboratorium
Kabupaten Nama PasarUnggas Jenis/Spesies
Sampel NegatifVirus AI
PositifVirus
AI
PositifVirusND
GrandTotal
ProporsiPos AI
(%)
Badung Pasar Beringkit Angsa 1 1 0
Ayam 12 12
Entok 1 1
itik 4 4
Lingk,Feses 5 5
Denpasar Pasar Veteran Ayam 13 13 0
Lingk,Feses 5 5
Gianyar Pasar Semenaung Ayam 2 2 11,1
Ayam 5 1 6Pasar UmumGianyar itik 1 1
Karangasem Pasar Amlapura Ayam 8 8 0
Entok 1 1
itik 1 1 2 7,69
Lingk,Feses 2 2
Klungkung Pasar Galiran Ayam 11 11 0
itik 4 4
Tabanan Pasar Dauh Pala Ayam 9 9 0
itik 3 3
Lingk,Feses 2 2
Swab Limbah 3 3
Pasar Kediri Ayam 5 5 0
itik 5 1 6Grand Total 103 2 1 106 1,89
Dari hasil pengujian laboratorium tersebut diperoleh hasil dua pool sampel
terdeteksi positif virus AI di pasar unggas hidup di Bali pada saat musim hujan
tahun 2014. Selain itu satu sampel juga terdeteksi positif virus ND (Newcastle
disease. Satu pool sampel ayam broiler terdeteksi positif virus AI dari unggas
yang diperjual belikan oleh pedagang di pasar Umum Gianyar kabupaten
Gianyar, sedangkan satu unggas itik diperoleh dari pedagang di pasar Amlapura
Kabupaten Karangasem. Untuk satu sampel yang terdeteksi virus ND, diperoleh
dari unggas itik yang dijual di pasar Kediri kabupaten Tabanan.
200
PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian laboratorium tersebut maka dapat diketahui bahwa proporsi
hasil positif virus AI di pasar unggas hidup pada saat musim hujan di kabupaten
Karangasem sebesar 11,1 % (1 dari 9 sampel positif virus AI). Sedangkan di
kabupaten Tabanan menunjukkan proporsi hasil positif sebesar 7,69 (1 dari 13
sampel positif virus AI). Berdasarkan jenis sampel dan spesies unggas (Gambar
1), diperoleh hasil bahwa hasil positif virus AI pada ayam sebanyak 1 dari 66
sampel (1,52 %), sedangkan pada ternak itik 1 dari 20 sampel positif virus AI (5
%). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ditemukan prevalensi
infeksi VAI H5 di kabupaten Buleleng pada tahun 2005 yaitu pada ayam buras
sebesar 5,43 % dan unggas air 8,93 % (Anonimous, 2005). Tingkat
seroprevalensi infeksi penyakit AI pada tahun 2006 di kabupaten Buleleng untuk
ayam kampung adalah 7,19 % dan unggas air 17,46 % (Anonimous, 2006).
Menurut Hartawan, et al, 2011, Persentase hasil positif Virus AI (H5) di tingkat
kandang yang berisikan unggas itik selama periode empat waktu pengambilan
sampel di pasar unggas berisiko tinggi di Bali adalah 0,68 % (1/146).
Gambar 1. Proporsi hasil positive virus AI di pasar unggas hidup di provinsi Bali tahun2014 terkait perubahan musim berdasarkan jenis dan spesies sampel.
201
Di beberapa negara berkembang di Asia, wabah penyakit AI banyak terjadi
khususnya pada ayam kampung dan ayam komersial pada tahun 1990-an
(Perdue et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa ayam komersial khususnya
ayam layer pejantan bisa tertular penyakit AI, faktor utama penularan penyakit AI
pada ayam komersial melalui kontak langsung dengan unggas terinfeksi atau
secara tidak langsung melalui kontaminasi sekresi pada kandang tempat unggas
tersebut dijual dan peralatan lainnya (Swayne, 2008).
Tercatat 109 pasar unggas yang tersebar di seluruh kabupaten di propinsi Bali
(Muktazam et al., 2009). Kurun waktu bulan Mei 2008 sampai Januari 2009 telah
dilakukan survey di sembilan pasar unggas di tujuh kabupaten di propinsi Bali.
Pemilihan sembilan pasar tersebut berdasarkan kriteria 1). jumlah unggas yang
terjual di pasar tersebut per hari, 2). lokasi pasar berdasarkan kedekatan dengan
jalan utama, 3). banyaknya peternakan unggas komersial di sekitar pasar
tersebut, 4). ada tidaknya kasus AI di sekitar pasar tersebut, dan 5). aktivitas
pasar tersebut, apakah beroperasi setiap hari atau pada hari tertentu serta
durasi waktu penjualan unggas. Beberapa pasar besar menjual beberapa jenis
hewan dalam satu lokasi, dan merupakan tempat penjualan hewan antar pulau.
Pasar unggas tersebut merupakan pasar berisiko tinggi terhadap penyebaran
penyakit AI berdasarkan tingkat lalu lintas pedagang, jumlah pedagang bergerak
maupun permanen, biosekuriti pasar dan jumlah unggas yang diperjual belikan
(Dharma et alI, 2008). Berdasarkan kriteria tersebut diatas maka disimpulkan
bahwa beberapa pasar tersebut merupakan pasar unggas hidup dengan risiko
menjadi lokasi penyebaran virus AI lebih tinggi.
Dengan terdeteksinya unggas di pasar unggas hidup terhadap infeksi virus
Avian Influenza (AI), menunjukkan bahwa sampai saat ini penyakit tersebut
masih bersirkulasi di provinsi Bali. Terkait dengan perubahan musim dari musim
kemarau ke musim hujan pada saat ini, dapat pula disimpulkan bahwa risiko
perubahan musim tetap mempengaruhi tingkat kemunculan infeksi penyakit ini.
Berdasarkan kriteria risiko yang digunakan untuk menetapkan kategoris pasar
unggas berisiko tinggi di Bali, maka tindakan pencegahan dan penanganan
terhadap munculnya infeksi penyakit AI melalui pasar unggas dapat dilakukan
sedini mungkin.
202
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanDalam kegiatan Monitoring penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidup di
provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014 dapat disimpulkan sebagai
berikut ;
1. proporsi hasil positif penyakit AI di di pasar unggas hidup di provinsi Bali
terkait perubahan musim adalah 1.89 %, Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar khususnya di provinsi Bali.
2. Prevalensi penyakit Avian Influenza di pasar unggas hidup di provinsi Bali
terkait perubahan musim untuk unggas itik sebesar 5 % yang ditemukan di
pasar Amlapura kabupaten Karangasem, sedangkan untuk unggas ayam
diperoleh hasil sebesar 1,52 % yang diterdeteksi di pasar Umum Gianyar
kabupaten Gianyar.
3. Ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %) tepatnya di pasar Kediri Kabupaten
Tabanan, hal ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di
wilayah provinsi Bali.
SaranSaran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Monitoring
di pasar unggas hidup di provinsi Bali terkait perubahan musim tahun 2014
adalah sebagai berikut ;
1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya baik antar wilayah
maupun dalam provinsi Bali yang melalui pusat rantai perdagangan yakni
pasar unggas hidup, harus diawasi dan dilakukan tindakan antisipasi
terhadap munculnya penyakit AI seperti dengan memperkuat Biosekuriti
pasar tersebut dengan menyediakan fasilitas untuk kebersihan pasar..
2. Perlu dilakukan desinfeksi atau fumigasi menyeluruh pada lokasi pasar
tempat penjualan unggas di seluruh pasar unggas hidup di Bali untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit AI di pasar tersebut
3. Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas
tentang penyakit AI.
203
4. Kegiatan Monitoring dan Investigasi harus terus dilakukan sebagai dasar
pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian kasus serta faktor
resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian
pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta
kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,
kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.
PUSTAKA.
Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. VeterinaryBulletin12. 341-359.
Cardona, C. J., Xing, Z., Sandrock, C.E., dan Davis, C.E., 2008. Avian influenzain birds and animal. Comparative immunology, microbiology andinfectious disease.(2008),doi:10.1016/j.cimid.2008.01.001www.sciendirect.com/locate.cimid
Hartawan, et al. 2013. Epidemiologi kasus avian influenza di bali bulandesember 2012 sampai april 2013 : frekuensi penyakit dan distribusiunggas. BulVet BBVet Denpasar. Edisi Juli 2013. Vol. XXV No. 82
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A.G. 2006. Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System andin Live Bird Markets in Bali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26
Muktazam, A., Ambarwati, A., Fenwick, S., dan Millar, J. 2009. Report on Activity1.2: Cross Sectional Study - Bali and Lombok. ACIAR. Sept 2009.
Hananto, W., 2007. Kajian kasus kontrol Avian influenza pada peternakanunggas komersial di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. TesisSekolah Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.
Dharma, D. G. M. N., Kertayandnya, G., dan Thornton, R., 2008. Live birdmarket study report. FAO: Jakarta.
204
FAO,, 2007. The Importance of Biosecurity in Reducing HPAI Risk on Farm andin Market. International Ministerial Conference on Avian and Pandemicinfluenza. New Delhi 4 – 6 December.
Perdue, M. L., D. L. Suarez, dan D. E. Swayne., 1999. Avian influenza in 1990’s.Poultry and Avian Biology Review 11: 1- 20.
Swayne, D. E., dan Halvorson, D. A.,2003, dalam Cardona, C. J., Xing, Z.,Sandrock, C.E., Davis, C.E., 2008. Avian influenza in birds and animal.Comparative immunology, microbiology and infectious disease. (2008),doi: 10. 1016/j. cimid. 2008. 01. 001
205
SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DANNEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT
DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014
Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Fitriani,K1.Suryadinata,L. M. F1, Sutami, N1., Purnatha, N1.,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggasdan mempunyai arti penting yakni munculnya kerugian ekonomi yang diderita oleh parapeternak unggas mulai dari penurunan produksi hingga kematian unggas. Penyakit initermasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE). Penyakit tersebutmenular pada unggas dan dapat menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas padaunggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggidan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.Selain itu dampak sosio-ekonominya cukup luas mempengaruhi status kesehatanmasyarakat dan perdagangan internasional terutama pada perdagangan produk unggasdan hasil olahannya. Oleh karena itu kajian terhadap penyakit tersebut sangat pentinguntuk dilakukan. Surveilans ini dilakukan sebagai dasar pemetaan penyakit AI H5N1dan ND dan sekaligus untuk mengetahui distribusinya di wilayah kerja Balai BesarVeteriner Denpasar Hasil yang diperoleh ditemukan hasil positif virus AI denganproporsi 1.11 % (11/989) di Provinsi Bali dan 0,19 % (2/1052) di Nusa Tenggara Barat.Hal ini menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai BesarVeteriner Denpasar. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI dipropinsi Bali sebesar 27.33 %, di Nusa Tenggara Barat dengan proporsi 64.1 % danNusa Tenggara Timur 85.4 %. Untuk penyakit ND, ditemukan positif virus ND denganproporsi sebesar 0.1 % (1/955) di propvinsi Bali. hal ini menunjukkan juga bahwapenyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasarsedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positifND. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di propinsi Balisebesar 47.46 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 56.44 % dan Nusa Tenggara Timursebesar 100 %.
Kata Kunci : Avian Influenza, Newcastle Disease Deteksi virus, Serosurveilans titer antibodi
206
PENDAHULUAN
Avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas menular yang disebabkan oleh
virus Avian influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae. Kebanyakan kasus
disebabkan oleh highly pathogenic avian influenza virus subtipe H5 dan H7 yang
menyebabkan gangguan sistemik diikuti tingkat kematian tinggi pada unggas dan
lesi organ yang bervariasi (Alexander, 1982). Dampak sosio-ekonominya cukup
luas mempengaruhi status kesehatan masyarakat dan perdagangan internasional
terutama pada perdagangan produk unggas dan hasil olahannya (Alexander,
2000). Penyakit ini menyebabkan penurunan produksi serta memiliki tingkat
morbiditas dan mortalitas tinggi. Penyakit Influenza pertama kali dilaporkan pada
tahun 1878 di Italia kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai negara di
dunia (Easterday dan Hinshaw, 1991). Di Indonesia, pertama kali kasus penyakit
influenza pada unggas dilaporkan pada tahun 1983. Di Indonesia, penyakit AI
dilaporkan kembali mewabah pada bulan Agustus 2003. Laporan pertama kali
kejadian wabah menyerang peternakan unggas komersial (skala besar dan kecil)
di kabupaten Pekalongan propinsi Jawa Tengah. Secara resmi kejadian wabah AI
diumumkan pada tanggal 25 Januari 2004 dan beberapa hari kemudian
dikonfirmasi bahwa penyebabnya adalah VAI tipe A dengan subtipe H5N1 (Putra,
2008). Sebelum konfirmasi resmi wabah AI di Indonesia, kejadian kasus juga
sudah muncul di propinsi Bali. Wabah AI yang terjadi di propinsi Bali menyerupai
kejadian wabah di pulau Jawa, ditemukan pertama kali di kabupaten Karangasem
dan Jembrana pada bulan Oktober 2003 dan dikonfirmasi disebabkan oleh VAI
subtipe H5N1 pada bulan April 2004.
Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan
pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (Aleksander.
1997). Diketahui seluruh unggas rentan terhadap infeksi virus Newcastle
Disease (ND), walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini
dibandingkan yang lain. Infeksi ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat
luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan
yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga
menghasilkan epidemi yang berat. Penyakit ini termasuk dalam daftar A Office
International des Epizooties (OIE).
207
Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan
sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut
derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik,
mesogenik dan lentogenik. Sementara itu, itik dilaporkan kurang rentan terhadap
virus ND. Itik yang terinfeksi oleh virus ND galur mesogenik maupun velogenik
umumnya bersifat subklinis yakni tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis
penyakit.
Penyebaran penyakit ini ke propinsi Bali diperkirakan melalui perniagaan unggas
(Putra et al., 2006). Salah satu faktor yang berperan dalam kegiatan perniagaan
unggas adalah pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live bird
markets). Penempatan unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang
di pasar juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit AI
H5N1 dan ND (Yee et al., 2009).
Identifikasi Permasalahan
1. Kasus kematian unggas disebabkan penyakit AI H5N1 dan ND masih terjadi
walaupun tindakan pencegahan dan pengendalian sudah dilakukan di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
2. Penyebaran penyakit tidak memiliki pola yang pasti seperti dalam literatur,
hal ini mengindikasikan adanya faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat
penyebaran penyakit AI H5N1 dan ND seperti lalu lintas unggas maupun
perubahan musim.
Tujuan Surveilans dan Monitoring.
1. Mengetahui seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan ND di
daerah tertular setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit AI
H5N1 dan ND.
2. Mengetahui pola penyebaran virus AI H5N1 dan ND pada peternakan
tradisional.
208
3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit
yang mengarah pada penyakit AI H5N1 dan ND sebagai dasar penentuan
program monitoring tahun selanjutnya.
Manfaat Surveilans dan Monitoring.
1. Diketahuinya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan
ND di daerah tertular.
2. Diketahuinya peranan unggas air dan ayam kampung dalam penularan
penyakit AI H5N1 dan ND
3. Kasus penyakit AI H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar dapat dipetakan.
Output
1. Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi sehingga dapat
dijadikan pertimbangan dalam rangka tindakan pengendalian penyakit AI
H5N1 dan ND
2. Diketahuinya pola lalu lintas unggas dapat dijadikan assesment oleh dinas
terkait untuk tindakan pencegahan penularan penyakit tersebut.
3. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit khususnya AI di wilayah kerja
BBVet Denpasar.
MATERI DAN METODA
Materi
Bahan : Serum dan swab unggas, antigen AI, PBS, RBC 1 %, Telur Ayam
Bertunas, antibiotik inokulum
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum
venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.
209
Metode Sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah swab dan serum ternak unggas
(ayam, itik, entok) pada peternakan tradisional di wilayah bali, NTB dan NTT.
Surveilans dan monitoring penyakit unggas menular di provinsi Bali, NTB dan
NTT menggunakan metode mengukur aras atau Meassure of prevalence (Martin
et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat
error sebesar 5 %. Asumsi prevalensi yang digunakan adalah 5 %, maka dapat
diperoleh perhitungan sebagai berikut ;
N = 4.P.Q/L2
N = 4 x 0,05 x 0,95 / 0,0025
N = 76
Jadi estimasi sampel jumlah sampel yang ditentukan adalah 76 sampel.
Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan
metode random proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi
jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung
menggunakan tahapan ganda (multistage), sehingga diperoleh jumlah sampel
tiap daerah yang terpilih secara judgement untuk kabupaten/kota di provinsi NTB
dan NTT adalah 76 x 2 tahapan yaitu 152 sampel per kabupaten kota. Untuk
estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, tidak menggunakan tahapan ganda
karena di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali dilakukan pengambilan sampel,
sehingga jumlah sampel yang harus diambil adalah 76 sampel per
kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan
dengan melibatkan salah satu Puskeswan binaan merujuk pada instruksi Dirjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di
wilayah kerja BBVet Denpasar. Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan
pada analisis risiko pada lokasi yang telah dijelaskan diatas.
210
Isolasi virus
Secara konvensional, virus influensa unggas diisolasi melalui inokulasi telur
ayam berembryo umur 9-11 hari dengan menggunakan sediaan usap
trachea/kloaka atau homogenat jaringan, biasanya melalui kantung
khorioallantoik (Woolcock, 2001). Tergantung kepada patotipe virus yang
diinokulasikan, embryo mungkin mati mungkin pula tidak dalam masa empat hari
observasi dan biasanya tidak ditemukan adanya lesi, baik pada embryo maupun
pada membran allantois (Mutinelli, 2003b). Telur yang diinokulasi dengan bahan
yang mengandung HPAIV biasanya mati dalam waktu 48 jam. Adanya zat
hemaglutinik dapat dideteksi dalam cairan allantois yang diambil. Hemaglutinasi
(HA) adalah tehnik pengujian yang tidak sensitif karena memerlukan paling
sedikit 106,0 partikel per mililiter. Diperlukan sampai dua kali lagi melewati telur
berembryo untuk beberapa strain LPAIV, supaya diperoleh jumlah virus yang
cukup untuk dapat dideteksi dengan uji HA. Dalam hal HPAIV, pelintasan kedua
pada telur berembryo dengan menggunakan inokulum yang sudah diencerkan
dapat membawa hasil yang lebih baik untuk menghasilkan zat hemaglutinasi
yang optimal.
Uji hemaglutinasi dan hambatan hemaglutinasi (HA/HI)
Uji HA dapat digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki hemaglutinin.
Adanya hemaglutinin akan dapat mengaglutinasi eritrosit dari beberapa spesies,
seperti unggas, mamalia maupun manusia. Selain dapat mendeteksi adanya
virus yang memiliki hemaglutinin, uji HA juga biasa digunakan untuk mengukur
titer antigen (OIE, 2004). Aktifitas aglutinasi dari mikroorganisme yang memiliki
hemaglutinin dapat dihambat oleh antibodi terhadapnya. Kemampuan
penghambatan tersebut dapat digunakan sebagai cara mengenali virus dan
untuk mengukur titer antibodi dalam serum (Tizard,1988). Uji HA mikrotiter
(mikroteknik) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui titer isolat dan
juga digunakan untuk retitrasi. Reaksi hambatan hemaglutinasi digunakan untuk
membantu diagnosis laboratorium dalam melakukan identifikasi virus. Selain itu
juga dapat menentukan status kekebalan setelah vaksinasi atau sembuh dari
penyakit dengan mengetahui titer antibodi atau antiserum (OIE, 2004).
211
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Deteksi virus Avian Influenza (H5N1)
Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2014 untuk mendeteksi virus Avian Influenza dapat disajikan sebagai berikut
Tabel 1:
Tabel 1. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI d(H5N1) Provinsi BaliTahun 2014.
AI IsolasiLokasi Positif AI Negatif AIJumlah
SpesimenProporsi
(%)BADUNG 0 59 59 0
ABIANSEMAL 0 6 6KUTA SELATAN 0 2 2KUTA UTARA 0 1 1MENGWI 0 50 50
BANGLI 2 99 101 1.98BANGLI 0 99 99SUSUT 2 0 2
BULELENG 0 181 181 0BULELENG 0 50 50GEROKGAK 0 131 131
DENPASAR 1 5 6 16.67DENPASAR BARAT 1 0 1DENPASAR SELATAN 0 5 5
GIANYAR 0 25 25 0.00GIANYAR 0 23 23PAYANGAN 0 1 1SUKAWATI 0 1 1
JEMBRANA 5 52 57 8.77JEMBRANA 3 0 3NEGARA 2 50 52PEKUTATAN 0 2 2
KARANG ASEM 0 100 100 0KARANG ASEM 0 50 50KUBU 0 50 50
KLUNGKUNG 0 256 256 0BANJARANGKAN 0 104 104DAWAN 0 51 51KLUNGKUNG 0 101 101
TABANAN 3 201 204 1.47BATURITI 0 51 51KEDIRI 2 1 3KERAMBITAN 0 54 54SELEMADEG 0 4 4SELEMADEG BARAT 0 89 89TABANAN 1 2 3
Grand Total 11 978 989 1.11
212
Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Avian Influenza di
Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 2915 sampel unggas. Sampel
tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus AI di lapangan.
Sejumlah 989 unggas berhasil diuji di wilayah propinsi Bali. Dari jumlah total
seluruh sampel yang diuji diatas, terdeteksi 11 sampel yang menunjukkan hasil
positif virus AI H5N1 di Provinsi Bali
Tabel 2. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI (H5N1) di provinsi NTBTahun 2014.
AI IsolasiLokasiPositif AI Negatif AI
JumlahSpesimen
Proporsi(%)
BIMA 0 1 1 0BOLO 0 1 1
DOMPU 0 590 590 0DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64
KOTA BIMA 2 16 18 11.11RABA 1 0 1RASANAE BARAT 0 16 16RASANAE TIMUR 1 0 1
LOMBOK BARAT 0 80 80 0GERUNG 0 80 80
LOMBOK TENGAH 0 90 90 0PRINGGARATA 0 80 80PUJUT 0 10 10
LOMBOK TIMUR 0 81 83 0AIKMEL 0 80 80WANASABA 0 1 3
MATARAM 0 80 80 0CAKRANEGARA 0 80 80
SUMBAWA 0 30 30 0SUMBAWA 0 30 30
SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81
Grand Total 2 1049 1052 0.19
Sejumlah 1052 sampel unggas diuji dari sampel yang berasal dari Nusa
Tenggara Barat. Sampel tersebut diambil dari Sembilan kabupaten di wilayah
provinsi NTB. Dari hasil surveilans tahun 2014, diperoleh hasil dua sampel
dinyatakan positif AI H5N1 yang berasal dari kota Bima yaitu dari kecamatan
Raba dan Rasanae Timur. Sampel yang terdeteksi positif Avian influenza adalah
sampel dari unggas ayam.
213
Tabel 3. Data Hasil Pengujian Deteksi virus AI (H5N1) di provinsi NTTTahun 2014.
AI IsolasiLokasi Positif AI Negatif AIJumlah
Spesimen ProporsiBELU 0 42 42 0
ATAMBUA BARAT 0 42 42FLORES TIMUR 0 227 227 0
LARANTUKA 0 225 225WULANGGITANG 0 2 2
KOTA KUPANG 0 50 50 0OEBOBO 0 50 50
MANGGARAI 0 50 50 0LANGKE REMBONG 0 50 50
NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50
NGADA 0 51 51 0GOLEWA 0 50 50SOA 0 1 1
SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15
SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54
TIMOR TENGAHSELATAN 0 230 230 0
MOLLO SELATAN 0 230 230TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0
KOTA KEFAMENANU 0 50 50Grand Total 0 874 874 0
Di provinsi Nusa Tenggara Timur, berhasil diperoleh sebanyak 874 sampel
unggas yang diuji. Dari hasil pengujian yang dilakukan di Balai Besar Veteriner,
tidak terdeteksi hasil positif virus avian influenza dari wilayah Nusa Tenggara
Timur.
Deteksi antibodi Avian Influenza
Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2014 untuk mendeteksi antibodi Avian Influenza dapat disajikan sebagai berikut :
214
Tabel 4. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi BaliTahun 2014.
AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah
Spesimen ProporsiBADUNG 219 219 438 50.0
ABIANSEMAL 7 21 28KUTA UTARA 128 176 304MENGWI 62 16 78PETANG 22 6 28
BANGLI 105 253 358 29.3BANGLI 98 103 201KINTAMANI 2 100 102SUSUT 4 23 27TEMBUKU 1 27 28
BULELENG 20 389 409 4.9BANJAR 0 36 36BULELENG 0 86 86BUSUNGBIU 0 36 36GEROKGAK 14 137 151KUBUTAMBAHAN 3 27 30SERIRIT 0 28 28SUKASADA 0 18 18TEJAKULA 3 21 24
DENPASAR 1 4 5 20.0DENPASAR BARAT 1 4 5
GIANYAR 2 116 118 29.3BLAHBATUH 0 10 10GIANYAR 1 59 60PAYANGAN 1 19 20TEGALLALANG 0 28 28
JEMBRANA 112 192 304 29.3JEMBRANA 5 48 53MELAYA 43 26 69NEGARA 61 67 128PEKUTATAN 3 51 54
KARANG ASEM 34 211 245 29.3KARANG ASEM 7 132 139KUBU 1 69 70MANGGIS 26 10 36
KLUNGKUNG 150 248 398 29.3BANJARANGKAN 74 90 164DAWAN 49 1 50KLUNGKUNG 27 157 184
TABANAN 177 547 725 29.3BATURITI 20 60 80KEDIRI 2 56 58KERAMBITAN 17 54 71MARGA 0 38 39PENEBEL 0 39 39PUPUAN 115 5 120SELEMADEG 9 63 72SELEMADEG BARAT 11 175 186TABANAN 3 57 60
Grand Total 820 2179 3000 27.3
215
Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil
3000 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari
820 sampel serum ( 27.33 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten
Badung menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 219 dari 438 sampel serum
(50 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari kabupaten Klungkung,
Jembrana, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Karangasem dan Tabanan
menunjukkan titer antibodi yang rendah.
Tabel 5. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi NTB Tahun 2014.
AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah
Spesimen ProporsiBIMA 0 1 1 0
BOLO 0 1 1DOMPU 0 590 590 0
DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64
KOTA BIMA 4 75 79 5.1RASANAE BARAT 4 75 79
LOMBOK BARAT 16 64 80 20.0GERUNG 16 64 80
LOMBOK TENGAH 59 33 92 64.1JONGGAT 0 1 1PRAYA 0 1 1PRINGGARATA 57 23 80PUJUT 2 8 10
LOMBOK TIMUR 85 115 200 42.5AIKMEL 0 80 80PRINGGABAYA 85 35 120
MATARAM 8 72 80 10.0CAKRANEGARA 8 72 80
SUMBAWA 0 80 80 0UTAN 0 80 80
SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81
Grand Total 172 1111 1283 13.4
Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil
bahwa sampel yang diambil dari Lombok Tengah memiliki proporsi paling tinggi
dengan 59 dari 92 sampel serum (64.1 %) terdeteksi Seropositif antibodi AI.
216
Untuk kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat menunjukkan
Seronegatif Antibodi AI sedangkan Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Barat
dan Kota Bima terdeteksi titer Antibodi AI yang rendah. Hasil pengambilan
sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai
berikut :
Tabel 6. Data Hasil Pengujian Deteksi antibodi AI (H5N1) di provinsi NTTTahun 2014.
AI HA/HILokasi Seropositif AI Seronegatif AIJumlah
SpesimenProporsi
(%)BELU 0 42 42 0
ATAMBUA BARAT 0 42 42FLORES TIMUR 3 197 200 2
LARANTUKA 3 197 200KOTA KUPANG 0 60 60 0
KELAPA LIMA 0 10 10OEBOBO 0 50 50
KUPANG 205 35 240 85KUPANG TIMUR 205 35 240
MANGGARAI 5 45 50 10LANGKE REMBONG 5 45 50
NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50
NGADA 0 50 50 0GOLEWA 0 50 50
SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15
SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54
TIMOR TENGAH SELATAN 0 230 230 0MOLLO SELATAN 0 230 230
TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0KOTA KEFAMENANU 0 50 50
Grand Total 213 883 1096 19.4
Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil
bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Kupang terdeteksi seropositif
antibodi AI dengan 205 dari 240 sampel serum (85.4 %) memiliki proporsi paling
tinggi. Kabupaten Manggarai terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 5 dari 50
sampel serum (10 %). Dan di Kabupaten Flores Timur terdeteksi seropositif
antibodi AI dengan 3 dari 200 sampel serum( 1.5 %).
217
Dimana kita ketahui bahwa Flores Timur merupakan wilayah yang terjangkit
wabah AI pada tahun 2011 tepatnya di pulau Adonara. Sedangkan sampel yang
berasal dari kabupaten Belu,TTS, Kota Kupang, Sikka, Nagekeo, Ngada, TTU,
dan Sumba Barat terdeteksi seronegatif antibodi AI.
Pelaksanaan Deteksi virus Newcastle Disease
Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2014 untuk mendeteksi virus Newcastle Disease dapat disajikan sebagai berikut;
Tabel 7. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi Bali tahun 2014.
ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel
Proporsi(%)
BADUNG 1 51 52 1.92ABIANSEMAL 1 0 1KUTA UTARA 0 1 1MENGWI 0 50 50
BANGLI 0 99 99 0BANGLI 0 99 99
BULELENG 0 181 181 0BULELENG 0 50 50GEROKGAK 0 131 131
DENPASAR 0 3 3 0DENPASAR SELATAN 0 3 3
GIANYAR 0 24 24 0GIANYAR 0 23 23SUKAWATI 0 1 1
JEMBRANA 0 50 50 0NEGARA 0 50 50
KARANG ASEM 0 100 100 0KARANG ASEM 0 50 50KUBU 0 50 50
KLUNGKUNG 0 254 254 0BANJARANGKAN 0 104 104DAWAN 0 50 50KLUNGKUNG 0 100 100
TABANAN 0 192 192 0BATURITI 0 51 51KERAMBITAN 0 50 50SELEMADEG BARAT 0 89 89TABANAN 0 2 2
Grand Total 1 954 955 0.10
218
Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle
Disease (ND) di Bali berhasil mendapatkan 955 sampel unggas. Sampel
tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh
sampel tersebut ditemukan satu hasil positif virus ND (0.1 %) di Kabupaten
Badung, Bali.
Tabel 8. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi Balitahun 2014.
ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel
Proporsi(%)
BIMA 0 1 1 0BOLO 0 1 1
DOMPU 0 590 590 0DOMPU 0 526 526WOJA 0 64 64
KOTA BIMA 0 16 16 0RASANAE BARAT 0 16 16
LOMBOK BARAT 0 80 80 0GERUNG 0 80 80
LOMBOK TENGAH 0 90 90 0PRINGGARATA 0 80 80PUJUT 0 10 10
LOMBOK TIMUR 0 80 80 0AIKMEL 0 80 80
MATARAM 0 80 80 0CAKRANEGARA 0 80 80
SUMBAWA BARAT 0 81 81 0TALIWANG 0 81 81
Grand Total 0 1018 1018 0
Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle
Disease (ND) di NTB berhasil mendapatkan 1018 sampel unggas. Sampel
tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh
sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif virus ND (0 %). Walaupun tidak
terdeteksi dari hasil surveilans dan monitoring penyakit ND, laporan kematian
unggas dengan gejala menyerupai klinis penyakit ini masih dilaporkan di
lapangan.
219
Tabel 9. Hasil pengujian deteksi virus Newcastle Disease di propinsi NTT tahun 2014.
ND HA/HILokasi Positif ND Negatif NDJumlahsampel
Proporsi(%)
BELU 0 42 42 0ATAMBUA BARAT 0 42 42
FLORES TIMUR 0 227 227 0LARANTUKA 0 225 225WULANGGITANG 0 2 2
KOTA KUPANG 0 50 50 0OEBOBO 0 50 50
MANGGARAI 0 50 50 0LANGKE REMBONG 0 50 50
NAGEKEO 0 50 50 0AESESA 0 50 50
NGADA 0 51 51 0GOLEWA 0 50 50SOA 0 1 1
SIKKA 0 70 70 0ALOK 0 15 15ALOK TIMUR 0 30 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15
SUMBA BARAT 0 54 54 0KOTA WAIKABUBAK 0 54 54
TIMOR TENGAH SELATAN 0 230 230 0MOLLO SELATAN 0 230 230
TIMOR TENGAH UTARA 0 50 50 0KOTA KEFAMENANU 0 50 50
Grand Total 0 874 874 0.00
Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle
Disease (ND) di NTT berhasil mendapatkan 874 sampel unggas. Sampel
tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari seluruh
sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif virus ND (0 %).
Deteksi antibodi Newcastle Disease
Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2014 untuk mendeteksi antibodi Newcastle Disease dapat disajikan sebagai
berikut :
220
Tabel 10. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di Bali tahun 2014.
ND HA/HILokasi Seropositif
NDSeronegatif
ND
Jumlahsampel
Proporsi(%)
BADUNG 210 128 338 62.13ABIANSEMAL 13 15 28KUTA UTARA 126 78 204MENGWI 70 8 78PETANG 1 27 28
BANGLI 247 111 358 68.99BANGLI 127 74 201KINTAMANI 85 17 102SUSUT 14 13 27TEMBUKU 21 7 28
BULELENG 164 245 409 40.10BANJAR 5 31 36BULELENG 23 63 86BUSUNGBIU 20 16 36GEROKGAK 86 65 151KUBUTAMBAHAN 6 24 30SERIRIT 6 22 28SUKASADA 1 17 18TEJAKULA 17 7 24
DENPASAR 3 2 5 60.00DENPASAR BARAT 3 2 5
GIANYAR 44 74 118 37.29BLAHBATUH 0 10 10GIANYAR 38 22 60PAYANGAN 1 19 20TEGALLALANG 5 23 28
JEMBRANA 93 123 214 43.46JEMBRANA 18 37 53MELAYA 26 13 39NEGARA 13 55 68PEKUTATAN 36 18 54
KARANG ASEM 158 87 245 64.49KARANG ASEM 77 62 139KUBU 45 25 70MANGGIS 36 0 36
KLUNGKUNG 116 282 398 29.15BANJARANGKAN 7 157 164DAWAN 6 44 50KLUNGKUNG 103 81 184
TABANAN 106 213 319 33.23BATURITI 20 30 50KEDIRI 0 36 36KERAMBITAN 21 29 50MARGA 3 0 3PENEBEL 17 11 28SELEMADEG 11 20 31SELEMADEG BARAT 34 87 121
Grand Total 1141 1265 2404 47.46
221
Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil
2404 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 1141
dari 2404 sampel serum (47.46 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle
Disease (ND). Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang
berasal dari kabupaten Bangli menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 247
dari 358 sampel serum ( 68.99 %) terdeteksi titer seropositif antibodi positif ND.
Hasil kurang memuaskan diperoleh dari sampel yang berasal dari kabupaten
Klungkung dengan 29.15 %.
Tabel 11. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di NTB tahun 2014.
ND HA/HILokasi Seropositif
NDSeronegatif
ND
Jumlahsampel Proporsi
BIMA 1 0 1 100.00BOLO 1 0
DOMPU 146 444 590 24.75DOMPU 143 383 526WOJA 3 61 64
KOTA BIMA 12 67 79 15.19RASANAE BARAT 12 67 79
LOMBOK BARAT 37 43 80 46.25GERUNG 37 43 80
LOMBOK TENGAH 49 31 90 54.44PRINGGARATA 49 21 80PUJUT 0 10 10
LOMBOK TIMUR 13 67 80 16.25AIKMEL 13 67 80
MATARAM 25 55 80 31.25CAKRANEGARA 25 55 80
SUMBAWA 0 80 80 0.00UTAN 0 80 80
SUMBAWA BARAT 0 81 81 0.00TALIWANG 0 81 81
Grand Total 283 868 1160 24.40
Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil
bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Tengah memiliki proporsi
paling tinggi dengan 49 dari 90 sampel serum (54.44 %) terdeteksi seropositif
antibodi ND. Proporsi antibodi ND seropositif di kabupaten Bima (24.75%),
Dompu (24.75%), Kota Bima (15.19%), Lombok Barat (46.25%), Lombok
Timur(16.25%) dan Mataram (31.25%) sedangkan Sumbawa terdeteksi (0.00%.)
222
Tabel 12. Hasil pengujian antibodi Newcastle Disease di NTT tahun 2014.
ND HA/HILokasi Seropositif
NDSeronegatif
ND
Jumlahsampel
Proporsi(%)
BELU 10 32 42 23.81ATAMBUA BARAT 10 32 42
FLORES TIMUR 21 179 200 10.50LARANTUKA 21 179 200
KOTA KUPANG 22 38 60 36.67KELAPA LIMA 6 4 10OEBOBO 16 34 50
MANGGARAI 1 49 50 2.00LANGKE REMBONG 1 49 50
NAGEKEO 48 2 50 96.00AESESA 48 2 50
NGADA 23 27 50 46.00GOLEWA 23 27 50
SIKKA 15 55 70 21.43ALOK 12 3 15ALOK TIMUR 3 27 30KANGAE 0 10 10KEWAPANTE 0 15 15
SUMBA BARAT 52 2 54 96.30KOTA WAIKABUBAK 52 2 54
TIMOR TENGAH SELATAN 114 116 230 49.57MOLLO SELATAN 114 116 230
TIMOR TENGAH UTARA 50 0 50 100.00KOTA KEFAMENANU 50 0 50
Grand Total 356 500 856 41.59
Sampel yang berasal dari kabupaten Timu Tengah Utara terdeteksi seropositif
antibodi ND paling tinggi dengan 50 dari 50 sampel (100 %). Hasil dari
pengambilan sampel di kabupaten Flores Timur proporsi seropositif antibodi ND
terdeteksi (10.50 %) ,proporsi seropositif antibodi ND di Belu terdeteksi (23.81
%), proporsi seropositif antibodi ND di Kota Kupang terdeteksi (36.67%),
proporsi seropositif antibodi ND di Manggarai terdeteksi (2 %), proporsi
seropositif antibodi ND di Ngada proporsi seropositif antibodi ND terdeteksi (46
%), proporsi seropositif antibodi ND di Sikka (21.43 %) dan proporsi seropositif
antibodi ND di Sumba Barat terdeteksi (96.30 %).
223
PEMBAHASAN
Dalam kegiatan surveilans dan monitoring penyakit AI di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar tahun 2014 dan Berdasarkan hasil pengujian
laboratorium dapat disimpulkan bahwa proporsi hasil positif penyakit AI di Bali
adalah 1.11 %, sedangkan proporsi di NTB hanya 0.19 % dan di NTT tidak
terdeteksi positif virus AI. Dimana hasil pengujian di laboratorium Virologi BBVet
Denpasar, terdeteksi hasil positif virus AI selain pada Ayam juga terjadi pada itik
yang mengalami kematian. Dimana Unggas itik dikenal sebagai reservoir
penyakit Avian Influenza. Hal ini merupakan fakta baru, dimana sebelum
merebak kasus kematian unggas itik di provinsi Bali, kematian itik dalam jumlah
besar juga terjadi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. disebabkan oleh
virus yang memiliki kesamaan dengan virus AI yang menyerang pada itik di
pulau Jawa yang terjadi sebelumnya (Hartawan et al, 2012).
Tingkat stres unggas pada saat perubahan musim diduga menjadi faktor yang
lebih mempengaruhi penurunan daya imun unggas terhadap beberapa penyakit
unggas menular. Meskipun demikian, beberapa peneliti menyatakan bahwa
tingkat kelembaban yang tinggi, kondisi pH, salinitasi dan suhu lingkungan
mempengaruhi data tahan virus AI di lingkungan. Menurut Brown et al. (2008)
daya tahan virus AI di lingkungan berhubungan dengan temperatur lingkungan,
kondisi pH dan kadar salinitas. Suspensi virus AI tetap infektif pada temperatur
17 oC selama lebih dari 100 hari dan dapat bertahan dalam waktu tak terbatas
pada suhu di bawah -50 oC (Harder dan Warner, 2006). Apalagi sirkulasi virus ini
terus meluas dengan perantara unggas domestik maupun burung liar yang
dapat menyebarkan virus ini melalui migrasi dan lalu lintas perniagaan unggas.
Hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil 3000
sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari 820
sampel serum ( 27.33 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten
Badung menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 219 dari 438 sampel serum
(50 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari kabupaten Klungkung,
224
Jembrana, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Karangasem dan Tabanan
menunjukkan titer antibodi yang rendah. Hasil tersebut relatif lebih tinggi
daripada serosurveilans pada tahun sebelumnya yang mencapai proporsi 6,83
% pada tahun 2010 (santhia et al. 2010) dan 0 % pada tahun 2011 (santhia et al.
2011). Di propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan hasil bahwa sampel yang
diambil dari Lombok Tengah memiliki proporsi paling tinggi dengan 59 dari 92
sampel serum (64.1 %) terdeteksi Seropositif antibodi AI. Untuk kabupaten
Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat menunjukkan Seronegatif
Antibodi AI sedangkan Lombok Barat , Lombok Timur, Lombok Barat dan Kota
Bima terdeteksi titer Antibodi AI yang rendah sedangkan di propinsi Nusa
Tenggara Timur menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari kabupaten
Kupang terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 205 dari 240 sampel serum
(85.4 %) memiliki proporsi paling tinggi. Kabupaten Manggarai terdeteksi
seropositif antibodi AI dengan 5 dari 50 sampel serum (10 %). Dan di Kabupaten
Flores Timur terdeteksi seropositif antibodi AI dengan 3 dari 200 sampel serum(
1.5 %). Sedangkan sampel yang berasal dari kabupaten Belu,TTS, Kota
Kupang, Sikka, Nagekeo, Ngada, TTU, dan Sumba Barat terdeteksi seronegatif
antibodi AI. Rendahnya tingkat kekebalan imunitaas unggas di wilayah Bali, NTB
dan NTT mempengaruhi tingginya tingkat infeksi pada unggas. Dengan
melakukan program vaksinasi yang berkesinambungan diharapkan wabah
penyakit AI dapat dikendalikan dan diminimalisir sehingga kerugian ekonomi
akibat kematian unggas dapat dicegah.
Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle
Disease (ND) Tahun 2014 di Bali berhasil mendapatkan 955 sampel unggas.
Dari seluruh sampel tersebut satu ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %)
tepatnya di Kabupaten Badung. Di kabupaten NTT berhasil mendapatkan 874
sampel unggas Dari seluruh sampel di Kabupaten NTT tersebut tidak ditemukan
hasil positif virus ND (0 %). Sedangkan di kabupaten NTB berhasil mendapatkan
1018 sampel unggas. Dari seluruh sampel tersebut tidak ditemukan hasil positif
virus ND (0 %). Penyakit ini tetap memiliki arti penting bagi peternakan komersial
karena berpotensi terjadinya penurunan produksi hingga kematian unggas yang
mengakibatkan terjadinya kerugian secara ekonomi.
225
Hasil surveilans dan monitoring penyakit ND di Balai Besar Veteriner Denpasar
menunjukkan di propinsi Bali, diperoleh hasil 2404 sampel serum unggas. Hasil
pengujian yang diperoleh menunjukkan 1141 dari 2404 sampel serum (47.46 %)
terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND). Di Propinsi NTB bahwa
sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Tengah memiliki proporsi paling
tinggi dengan 49 dari 90 sampel serum (54.44 %) terdeteksi seropositif antibodi
ND. Proporsi antibodi ND seropositif di kabupaten Bima (24.75%), Dompu
(24.75%), Kota Bima (15.19%), Lombok Barat (46.25%), Lombok Timur(16.25%)
dan Mataram (31.25%) sedangkan Sumbawa terdeteksi (0.00 %.) Kemudian di
propinsi NTT sampel yang berasal dari kabupaten Timu Tengah Utara terdeteksi
seropositif antibodi ND paling tinggi dengan 50 dari 50 sampel (100 %). Dari hasi
surveilans dan monitoring penyakit ND oleh Balai Besar Veteriner Denpasar
pada tahun 2014 mengindikasikan bahwa distribusi vaksinasi dan kesadaran
para peternak untuk menerapkan langkah – langkah pencegahan sangat baik di
wilayah kerja BBVet Denpasar. Hanya saja tingkat cakupan vaksinasi yang
masih kurang dari 70 % yang kemungkinan menyebabkan kemunculan penyakit
ini secara sporadis di lapangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanDalam kegiatan surveilans dan Monitoring penyakit Avian Influenza di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Bali, NTB dan NTT dapat
disimpulkan sebagai berikut ;
1. proporsi hasil positif penyakit AI di Bali adalah 1.11 %, sedangkan proporsi
di NTB hanya 0.19 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai
Besar Veteriner Denpasar.
2. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di
propinsi Bali sebesar 27.33 %, di Nusa Tenggara Barat dengan 64.1 % dan
Nusa Tenggara Timur dengan 85.4 %.
3. Ditemukan hasil positif virus ND (0.1 %) tepatnya di Kabupaten Badung,hal
ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerja
226
Balai Besar Veteriner Denpasar sedangkan Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil positif ND.
4. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di
propinsi Bali sebesar 47.46 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 56.44 %
dan Nusa Tenggara Timur sebesar 100 %.
Saran
Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Surveilans
dan Monitoring penyakit AI dan ND di Bali, NTB dan NTT tahun 2014 adalah
sebagai berikut ;
1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya antar wilayah di
propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur perlu lebih
diperketat untuk mengantisipasi penyebaran penyakit melalui perniagaan
unggas dan produk turunannya.
2. Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas
tentang penyakit AI.
3. Kegiatan Monitoring dan Surveilan serta Investigasi harus terus dilakukan
sebagai dasar pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian
kasus serta faktor resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian
pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta
kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,
kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.
227
PUSTAKA
Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. Veterinary Bulletin12. 341-359.
Alexander, D.J. 1997. Newcastle Disease and Other Avian ParamyxoviridaeInfection. Deseases of Poultry. 10th ed. pp. 541-581.
Alexander, D. J. 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza (Fowl Plague) Manualof Standards for Diagnostic Test Vaccines. OIE. 155 – 160.
Brown, J. D., Goekijan, G., Poulsan, R., Valeika, S., dan Stallknecht, D. E.,2008. Avian Influenza Virus in Water Infectivity is depend on pH, Salinityand Temperature. Vet Microbiol. Doi : 10.1016/j.vetmic.10.027.
Easterday, B. C, dan V. S. Hinshaw. 1991. Influenza Disease of Poultry. 9th ed.Iowa State University Press, Ames. Iowa USA. 532 – 551.
Harder, T. C., dan Warner, O., 2006 Avian Influenza. Influenza Report,www.Influenzareport.com. Accessed 2 march 2009.
Hartawan, D. H. W., Sumiarto, B., Budiharta, S ., Putra, A. A. G., Santhia, K.,Suryadinata, L. M. F, Sutami, N., Purnatha, N., Toribio, J. A. 2012.Deteksi Avian influenza di Pasar Unggas Berisiko Tinggi di pulau Bali danLombok pada Musim dan Jumlah Permintaan Unggas yang Berbeda.Proceeding Rapat Koordinasi dan pertemuan Ilmiah Kesehatan HewanNasional. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan.
Kranedveld, T.D. 1926. A Poultry Disease in Dutch East Indies Ned IndischDiergeneested 38:448-450.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :Veterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Mutinelli, F., Hablovarid, H., Capua, I. Avian embryo susceptibility to ItalianH7N1 avian influenza viruses belonging to different lineages. Avian Dis2003b;47:Suppl:1145-9. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=14575131
OIE. 2004. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals2004. Highly Pathogenic Avian influenza (Chapter 2.1.14)
Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A.G. 2006. Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System and inLive Bird Markets in Bali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26.
Putra, A. A. G. 2008. Lama Sekresi, Daya Tahan Hidup Virus pada Feses danProfil Antibodi yang Terbentuk pada Ayam Kampung yang Tertular VirusAvian Influenza H5N1 secara Alami. Buletin Veteriner. XX; 72.June.
228
Santhia, K., Sagung Dewi, A. A., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata,M. L. 2010. Seroprevalensi dan kasus klinis Avian Influenza pada unggasdi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun2010. Laporan teknis tahun 2010. Balai Besar Veteriner Denpasar.
Santhia, K., Sagung Dewi, A. A., Nanda Laksmi, L. K., Santiarka, K., Putra, M.A., Dwiana, N., Saleh, U., Purnatha, N., Sutami, N., Faesal Suryadinata,M. L. 2011. Wabah Avian Influenza (H5N1) di propinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Laporan teknis tahun 2011.Balai Besar Veteriner Denpasar.
Tizard, 1988. Pengantar Immunologi Veteriner, Penerjemah Masduki P.,Soeharjo H., Airlangga University Press, hal:184-185
Woolcock, PR., McFarland, MD., Lai, S dan Chin, RP. Enhanced recovery ofavian influenza virus isolates by a combination of chicken embryoinoculation methods. Avian Dis 2001; 45:1030-5. Abstract:http://amedeo.com/lit.php?id=11785874
Yee, K. S,. Carpenter, T. E., Cardona, C. J. 2009. Epidemiology of H5N1 Avianinfluenza. Comparative Immunology, microbiology and infectious disease;32 (2009).325 – 340 . www.sciencedirect.com
229
SEROSURVEILANS PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) DANINFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI PROVINSI BALI, NUSA
TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2014
Hartawan, D. H. W., Laksmi, L. K. N., Puspitasari, E., Fitriani, K., Suryadinata, L.M. F, Sutami, N., Purnatha, N.,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Bovine Viral Diarrhea (BVD) dan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit padasapi yang menyebabkan kerugian yang cukup besar dalam peternakan perbibitan dan ternakyang terinfeksi dapat bersifat carrier. serosurveilans penyakit BVD dan IBR telah dilakukan diBalai Besar Veteriner Denpasar terhadap sampel serum yang berasal dari beberapa kabupatendi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar. Tujuan dari pelaksanaan surveilans penyakit BVD dan IBR iniadalah untuk mengetahui status infeksi penyakit tersebut menggunakan deteksi antibodi sebagaiindikator terjadinya infeksi penyakit BVD dan IBR. Hasil pengujian secara serologis denganmetode ELISA antibodi BVD terhadap sampel yang diperoleh di Propinsi Bali adalah, 8 dari 55sampel terdeteksi positif antibodi BVD (14.55 %). Di propinsi NTB, diperoleh hasil 158 dari 362sampel serum terdeteksi seropositif BVD (43,65 %). Sedangkan di provinsi NTT terdeteksi 14dari 203 sampel serum terdeteksi seropositif BVD. Untuk surveilans penyakit IBR di wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar, diperoleh total sampel serum sebanyak 886 sampel diariprovinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2014. Hasil pengujian sampel serum dari provinsi Balidiperoleh sampel sebanyak 390 sampel dan semua sampel negatif antibodi IBR. Dari provinsiNTB, diperoleh hasil 117 dari 462 (25,32 %) sampel serum yang diuji terdeteksi positif antibodiIBR. Sampel tersebut berasal dari kabupaten Dompu dan kota Bima, NTB. Sedangkan untuksampel yang berasal dari provinsi NTT, diperoleh hasil 21 dari 262 sampel serum positif antibodiIBR (8,01 %). Sampel tersebut berasal dari kabupaten Timor Tengah Utara. Berdasarkancatatan status vaksinasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar diperoleh informasibahwa tidak pernah dilakukan program vaksinasi terhadap ternak sapi yang diambil sampelnya.Hal ini meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam di pada ternak yang terdeteksiseropositif BVD maupun IBR di Wilayah kerja Balai Besar Veteriener Denpasar tersebut.Pelaksanaan uji konfirmsi untuk mendeteksi agen virus BVD maupun IBR harus segeradilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam tersebut.
Kata kunci : Bovine Viral Diarrhea, Infectious Bovine Rhinotracheitis ELISA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit pada sapi yang disebabkan oleh
virus RNA yang termasuk dalam famili Flaviviridae, genus Pestivirus yang
mudah menular dan telah menyebar di seluruh dunia (Paton, 1995). Secara
antigenic, virus ini terbagi menjadi 2 genotipe yaitu Bovine Viral Diarrhea Virus-1
230
(BVDV-1) dan Bovine Viral Diarrhea-2 (BVDV-2), sedangkan berdasarkan pada
efek yang ditimbulkan pada kultur jaringan, virus ini terbagi menjadi 2 biotipe
yaitu cytopathic (CP) dan non cytophatic (NCP) (Baker, 1995; Fulton, et al.,
2003).
Penularan BVD dapat terjadi secara vertical (dari induk ke anak) maupun
horizontal (dari hewan terinfeksi ke hewan sehat). Infeksi pada hewan bunting
dapat menyebabkan terjadinya abortus, stillbirth (lahir dalam keadaan mati), lahir
normal namun anak yang lahir akan menjadi terinfeksi persisten (persisten
infection/PI) atau hewan karier (Kahrs, 1973; McClurkin et al., 1984; Baker,
1987). Penularan dapat terjadi melalui nasal discharge (leleran hidung), saliva,
urine, feces, leleran mata, air susu atau semen dari hewan terinfeksi persisten
(Radostits, 2007). Gejala klinis hewan yang terserang BVDV adalah terjadinya
peningkatan suhu tubuh, depresi ringan, hewan menjadi lemah, adanya leleran
hidung dan terjadi diare. Penyakit ini juga bersifat immunosupressif yang
menyebabkan hewan menjadi rentan terhadap infeksi penyakit lain (Baker,
1987). Pemeriksaan serologis terhadap sapi bibit yang menampakkan gejala
klinis penyakit BVD ternyata juga memberikan serologis positif terhadap
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) (Wiyono et al., 1989).
Penyebaran BVD meluas hampir di seluruh dunia, di Indonesia prevalensi BVD
pada sapi potong 28 %, pada sapi perah 77 %, sapi pada Balai Inseminasi
Buatan 37 % dan sapi pada Balai Embrio Transfer 45 % (Sudarisman, 2009).
Kasus diare ganas yang disebabkan oleh BVD dilaporkan terjadi di beberapa
wilayah Indonesia antara lain di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
(Wiyono et al.1989; Siregar, 1989; Darmadi, 1989), hal ini memerlukan tindakan
penanganan yang serius dan komprehensif.
231
Wiyono et al., 1989, menyatakan dalam pengamatannya ada 70 ekor sapi mati
di Kecamatan Mensiku Jaya, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sedangkan
dari Kecamatan Batang Tarang ada 22 ekor mati. Keseluruhan sapi bibit
tersebut berasal dari Sulawesi Selatan dan yang mati di karantina ada 70 ekor
dengan total kematian yang berasal dari Sulawesi Selatan sebanyak 162 ekor
(19,4%). Gejala yang diamati adalah demam, diare, erosi pada selaput lendir
saluran pencernaan, opasitas kornea dan infeksi sekunder. Dari 15 ekor sapi
yang sakit, diamati nafsu makan yang menurun, lemah dan lesu, dan kelainan
pada mata berupa konjungtifitis, keratitis, opasitas kornea dan hiperlakrimasi.
Sedangkan gejala pada saluran pencernaan adalah lesi ringan atau erosi pada
selaput lendir lidah dan mencret. Keseluruhan sapi bibit yang didatangkan dari
Sulawesi Selatan tersebut ternyata secara serologik positif terhadap antigen
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Berarti kemungkinan sapi-sapi ini
terinfeksi oleh virus BVD dan IBR.
Di Indonesia program vaksinasi secara nasional tidak dilakukan, sementara dari
hasil pemantauan tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan karantina Pertanian di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar menunjukkan lebih dari 40 %
seropositif terhadap antibodi penyakit BVD ini. Kemungkinan terdeteksinya
antibodi BVD pada sapi impor dapat disebabkan penggunaan vaksin polivalen
penyakit IBR yang memiliki kedekatan genetik dengan virus BVD. Sehingga
untuk melihat secara utuh kondisi penyakit tersebut di lapangan sekaligus
pemetaan terhadap penyakit BVD yang selama ini sangat minim dilakukan,
maka surveilans serologis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar untuk
tahun 2014 perlu untuk dilaksanakan.
Tujuan Surveilans dan Monitoring1. Untuk mendeteksi penyakit BVD di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar, melalui indikator antibodi dengan uji serologis.
2. Melakukan pemetaan terhadap penyakit BVD di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar.
232
Manfaat Surveilans dan Monitoring.
1. Mendapatkan Informasi tentang situasi penyakit BVD dan IBR di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
2. Pemetaan penyakit BVD dan BVD ini berguna sebagai informasi awal
tindakan penanganannya di lapangan dan pelaporan situasi penyakit.
3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait berdasarkan hasil surveilans
dan monitoring penyakit BVD dan IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar. Rekomendasi yang disampaikan kepada pihak terkait dalam hal
ini dinas di wilayah masing-masing digunakan sebagai dasar tindakan
pengendalian dan pencegahan munculnya wabah penyakit BVD dan IBR di
lapangan.
Sasaran
Dengan terdeteksinya penyakit BVD dan IBR lebih dini serta pemetaan status
penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka
program penanggulangan penyakit tersebut yang efektif dan efisien dapat
dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat.
MATERI DAN METODEMateri :Bahan : Serum sapi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari Dinas Peternakan
di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
Kit Elisa BVD (VDPro® BVDV AB ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)
dan Kit elisa IBR (VDPro® IBR AB ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)
Alat : Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.
233
Metodea. Metode sampling surveilansSampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di
wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit BVD dan IBR di
provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau
Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang
digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi yang
digunakan adalah Bali 46,2 % (asumsi prevalensi), di NTB sebesar 52,5 % dan
NTT 34,5 % (BBVet Denpasar, 2012), maka dapat diperoleh perhitungan
sebagai berikut:
N Bali = 397, N NTB = 399 dan N NTT = 359
Pengukuran seroprevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini
menggunakan metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis.
Estimasi jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung
menggunakan Random Proporsional.
b. Metode pengujianPengujian sampel serum untuk deteksi antibodi BVD dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk (instruction manual) dari Kit ELISA (VDPro® BVDV AB ELISA,
Median Diagnostics Inc Korea) dan Kit elisa IBR (VDPro® IBR AB ELISA,
Median Diagnostics Inc Korea)yang dilakukan di laboratorium virologi, Balai
Besar Veteriner Denpasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HasilDeteksi Antibodi BVDHasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2014 untuk mendeteksi antibodi BVDv dapat disajikan sebagai berikut :
N = 4.P.Q/L2
234
Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi BVD sampel dari propinsi Bali,NTB dan NTT tahun 2014
Lokasi Surveilans Elisa BVD (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif
Jumlahsampel
Proporsi(%)
BALI 8 47 55 14.55BANGLI 1 31 32
-KINTAMANI 1 31 32TABANAN 7 16 23
-PENEBEL 7 16 23NUSA TENGGARA BARAT 158 204 362 43.65
DOMPU 158 204 362-DOMPU 85 77 162-MANGGELEWA 36 64 100-WOJA 37 63 100
NUSA TENGGARA TIMUR 14 189 203 6.90NGADA 14 189 203
-BAJAWA 0 10 10-GOLEWA 14 179 193
Grand Total 180 440 620 29.03
Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi BVD di Bali, NTB dan NTT
berhasil mendapatkan 620 sampel serum sapi. Sampel tersebut diambil untuk
dilakukan pengujian deteksi antibodi BVD di Balai Besar Veteriner Denpasar.
Sejumlah 180 dari 620 sampel serum tersebut positif antibodi BVD di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (29,03 %).
Deteksi Antibodi IBRPelaksanaan surveilans dan monitoring penyakit BVD dan IBR dilakukan secara
bersamaan atau terintegrasi, karena komoditi sampel yang akan diuji antara
kedua jenis penyakit tersebut adalah sama. Hasil pelaksanaan surveilans untuk
mendeteksi antibody IBR di provinsi Bali, NTB dan NTT dapat dilihat sebagai
berikut ;
235
Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi IBR sampel dari provinsi Balitahun 2014
Lokasi Surveilans Elisa IBR (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif
Jumlahsampel Proporsi
BALI 0 390 390 0BADUNG 0 50 50 0
ABIANSEMAL 0 10 10‘-DARMASABA 0 10 10
PETANG 0 40 40-PLAGA 0 40 40
BANGLI 0 32 32 0KINTAMANI 0 32 32
-BANUA 0 25 25-KEDISAN 0 7 7
BULELENG 0 55 55 0BULELENG 0 27 27
-ANTURAN 0 27 27GEROKGAK 0 28 28
-PENGULON 0 28 28DENPASAR 0 40 40 0
DENPASAR SELATAN 0 40 40-SANUR KAJA 0 40 40
GIANYAR 0 22 22 0PAYANGAN 0 22 22
-KERTA 0 22 22JEMBRANA 0 39 39 0
MENDOYO 0 39 39-MENDOYO DANGIN TUKAD 0 20 20-YEH EMBANG KANGIN 0 19 19
KARANG ASEM 0 40 40 0MANGGIS 0 40 40
-NYUH TEBEL 0 15 15-SELUMBUNG 0 25 25
KLUNGKUNG 0 65 65 0KLUNGKUNG 0 65 65
-AKAH 0 21 21-SEMARAPURA KANGIN 0 25 25-TEGAK 0 19 19
TABANAN 0 47 47 0MARGA 0 22 22
-TUA 0 22 22PENEBEL 0 25 25
-TEGAL LINGGAH 0 25 25Grand Total 0 390 390 0
236
Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi IBR di Bali, diperoleh
sebanyak 390 sampel serum sapi. Berdasarkan hasil pengujian, semua sampel
serum sapi yang diambil dari provinsi Bali tidak terdeteksi antibodi IBR (0 %).
Untuk kegiatan di wilayah provinsi NTB dan NTT dapat dilihat pada sebagai
berikut ;
Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi IBR sampel dari propinsi NTB danNTT tahun 2014
Lokasi Surveilans Elisa IBR Proporsi (Kab-Kec-Desa) Seropositif Seronegatif
Jumlahsampel (%)
NUSA TENGGARA BARAT 117 345 462 25.32DOMPU 101 261 362 27.9
DOMPU 80 82 162-KANDAI SATU 2 8 10-MBAWI 73 61 134-PALIKRAWE 5 13 18
MANGGELEWA 11 89 100-SORIUTU 11 89 100
WOJA 10 90 100-KANDAI SATU 10 90 100
KOTA BIMA 16 84 100 16ASAKOTA 2 39 41
-JATIWANGI 2 39 41RABA 14 45 59
-NTOBO 14 45 59NUSA TENGGARA TIMUR 21 241 262 8.01
NAGEKEO 0 34 34 0WOLOWAE 0 34 34
-TOLOMALA 0 34 34
TIMOR TENGAH UTARA 21 207 228 9.21-TUBUHUE 13 36 46
-TAPENPAH 4 41 45
-MAUBELI 2 2 4
-OESOKO 2 43 45
-HAUMENI ANA 0 20 20
-BENPASI 0 22 22
-SUANAE 0 46 46
Grand Total 138 586 724 19.06
237
Hasil pengambilan sampel surveilans deteksi antibodi IBR di NTB dan NTT,
diperoleh sebanyak 724 sampel serum sapi. Berdasarkan hasil pengujian, di
nusa Tenggara Barat sebesar 117 dari 462 sampel serum sapi terdeteksi potsitif
antibodi IBR (25,32 %). Pengambilan sampel dilakukan di wilayah kabupaten
Dompu dan kota Bima. Untuk di provinsi NTT, diperoleh sampel sebanyak 262
serum sapi dari kabupaten Nagekeo. 21 dari 262 sampel serum positif antibodi
IBR (8,01 %) di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pembahasan
Dari hasil pengujian serologis menggunakan Elisa BVD, sampel serum yang
diperoleh di provinsi Bali menunjukkan hasil 14,55 % positif antibody BVD.
Sementara hasil positif antibody di provinsi NTB sebesar 43,65 % dan di provinsi
NTT sebesar 6,90 %. Terdeteksinya antibodi terhadap BVD dicurigai berasal
dari infeksi alam yang terjadi di wilayah Balai Besar Veteriner Denpasar. Hal
tersebut didukung dengan informasi bahwa di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar tidak pernah tercatat melakukan vaksinasi terhadap penyakit
BVD. Kejadian BVD banyak terjadi pada Balai Inseminasi Buatan dan
pembibitan sapi di Indonesia (Wiyono et al., 1989). Kasus diare ganas yang
disebabkan oleh BVD dilaporkan terjadi di beberapa wilayah Indonesia antara
lain di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Jawa Timur, Riau, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wiyono et
al.1989; Siregar, 1989; Darmadi, 1989), Gejala klinis dari BVD bervariasi
tergantung genotype virus yang menginfeksi mulai dari tidak menampakkan
gejala klinis, demam ringan sampai dengan kejadian akut dan fatal berupa diare
ganas. Pada sapi bunting dapat menyebabkan terjadinya abortus, stillbirth, anak
lahir dalam keadaan lemah atau anak menjadi terinfeksi persisten. Pada sapi
perah menyebabkan penurunan produksi susu. Karena BVD bersifat immune
supressif maka penderita BVD akan mudah terinfeksi penyakit lain seperti IBR
atau pasteurellosis paru paru (Sudarisman, 2011).
Salah satu usaha pencegahan terhadap BVD dapat dilakukan melalui program
vaksinasi dan pemeriksaan terhadap pejantan yang akan digunakan sebagai
sumber semen dalam program inseminasi buatan. Deteksi kejadian akan lebih
238
penting bila terdapat pengawasan secara rutin terhadap sekelompok ternak
yang dicurigai terinfeksi. Pemeriksaan serologis pada betina bunting tua dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi persisten pada fetus yang akan
dilahirkan (Odeon et al., 2003; Jalali et al., 2004). Pencapaian tujuan
pengawasan dan pemberantasan BVD dapat dilakukan dengan tiga langkah
utama yaitu : pengujian awal untuk menentukan status kelompok ternak, tindak
lanjut pengujian untuk mengidentifikasi ternak yang terinfeksi secara individual
dan monitoring untuk menyatakan status bebas BVD (Houe et al., 2006).
Dalam pelaksanaan surveilans untuk mendeteksi antibody penyakit IBR di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, total sampel yang diuji sebanyak
1114 sampel serum sapi. Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tidak
tercatat pernah dilakukan program vaksinasi untuk penyakit IBR maupun BVD.
Hasil kegiatan tersebut menunjukkan bahwa sejumlah 117 dari 462 sampel
serum sapi yang diambil di provinsi Nusa Tenggara Barat terdeteksi positif
antibody IBR. Demikian juga dengan pengambilan sampel di wilayah Nusa
Tenggara Timur, diperoleh hasil 21 dari 262 sampel serum positif antibody IBR
(8,01 %). Hal ini menunjukkan bahwa antibody IBR yang terdeteksi tersebut
kemungkinan besar berasal dari infeksi alam virus Infectious Bovine
Rhinotrachitis, mengingat di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tidak
pernah dilakukan program vaksinasi terhadap penyakit IBR.
Hal ini merupakan indikator status infeksi penyakit BVD dan IBR di wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar terutama di provinsi NTB dan NTT yang di
wilayahnya terdeteksi antibody baik terhadap penyakit BVD maupun IBR.
Sebagai provinsi lumbung ternak atau populasi ternak yang cukup besar,
provinsi NTB dan NTT banyak melalulintaskan ternak sapinya untuk pemenuhan
kebutuhan bibit sapi maupun untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan produksi
daging atau sapi potong. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan kemungkinan
penularan penyakit BVD dan IBR ke wilayah provinsi yang lainnya. Metode
diagnostic untuk mendeteksi antigen atau virus BVD dan IBR harus segera
dilakukan dan desain surveilans dengan sensitifitas dan spesifisitas yang optimal
juga harus segera dirancang untuk mengetahui status penyakit BVD dan IBR
tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
239
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Proporsi hasil positif antibody BVD pada tahun 2014 di Provinsi NTB sebesar
43,65 %, di Bali 14,55 % dan di NTT 6,90 %.
2. Untuk hasil surveilans deteksi antibody IBR, diperoleh 1114 sampel serum
sapi diseluruh wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar dengan hasil
proporsi positif sebesar 25,32 % di provinsi NTB dan 8,01 % di provinsi NTT.
Sedangkan sampel yang berasal dari provinsi Bali tidak terdeteksi antibody
terhadap penyakit IBR.
Saran1. Monitoring terhadap wilayah yang menunjukkan hasil serologis positif harus
terus dilakukan untuk mengetahui status terkini indicator penyakit IBR dan
BVD di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
2. Merekomendasikan kajian lebih lanjut terhadap kegiatan pelalulintasan
ternak sapi dari wilayah yang terdeteksi positif indicator penyakit IBR dan
BVD untuk menghindari potensi penularan penyakit tersebut ke wilayah lain
di Indonesia.
3. Mengembangkan pemeriksaan menggunakan metode diagnostic untuk
mendeteksi antigen atau virus BVD dan IBR sebagai uji konfirmasi terhadap
status infeksi penyakit tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian
pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta
kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,
kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.
240
DAFTAR PUSTAKA
Baker, JC., 1987. Bovine Viral Diarrhea Virus : A Review. J. Am. Vet. Med. Ass.190 : 1449 – 1458.
Baker, JC., 1995. The Clinical Manifestations of Bovine Viral Diarrhea Infection.Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract. 11 : 425 – 445.
Collett MS, Anderson DK, Retzel E: 1988, Comparisons of the pestivirus bovineviral diarrhoea virus with members of the Flaviviridae. J Gen Virol69:2637-2643.
Darmadi, P., 1989. Kejadian Diare Ganas pada Sapi. Laporan NationalResearch and Concelling Committee. November, 14 -15. 1989.Surabaya. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Fulton, RW., JF. Ridpath and AW. Convert, 2003. Bovine Viral DiarrheaAntigenic Diversity : Impact on Disease and Vaccination Programmes.Biologicals 31 : 89 -95.
GEORGE, T.D. 1980. Herpesviruses in cattle. In Diseases of livestock. byHungerford. pp. 103−113.
GIBBS, E.P.J. and M.M. RWEYEMAMU. 1977. Bovine herpesviruses. Part.1.Bovine Herpesvirus 1. Vet. Bull 47(5): 317−343.
Houe, HA; Linberg and V. Moennig, 2006. Test Strategies in Bovine ViralDiarrhea Virus Control and Eradication Campaigns in Europe. J.Vet.Diagn Invest 18 : 427-436.
Jalali, AM., Torstenson and A. Linberg, 2004. Using a Commercial IndirectAntibody detection ELISA to Identify Dams Carrying PI Foetuses – AComplementary Measure in BVDV Control/Eradication Programmes.Svanova Vet. Diagnostic. www.svanova.com (13 Desember 2007).
Kahrs, RF., 1981. Viral Diseases of Cattle. 1st Edition. The IOWA StateUniversity Press, IOWA. pp. 89 – 106.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
McClurkin, AW., MF. Coria and RC. Cutlip, 1979. Reproductive Performance ofApparently Healthy Cattle Persistently Infected With Bovine Viral DiarrheaVirus. J. Am. Vet. Med. Association 174 : 1116 – 1119.
Sudarisman, 2009. Infeksi Virus Bovine Viral Diarrhea (BVD) Pada Sapi diLapangan. Laporan Balai Besar Penelitian Veteriner.
241
Sudarisman, 2011. Bovine Viral Diarrhea di Indonesia dan Permasalahannya.Wartazoa.Vol.11. No. 1.Th. 2011
Olafson P, MacCallum AD, Fox FH: 1946, An apparently new transmissibledisease of cattle. Cornell Vet 36:205-213.
Odeon, AC., Risatti, GG, Kaiser, MR., Leunda, E., Odriozola, CM., Campero andRO. Donis, 2003. Bovine Viral Diarrhea Virus Genomic Associations inMucosal Disease, Enteritis and Generalized Dermatitis Outbreaks inArgentina. Vet. Microb, 96 : 133-144.
Radostitis, OM. and Littlejohns, 1988. New Concepts in Patogenesis, Diagnosisand Control of Diseases Caused by The Bovine Viral Diarrhea Virus. Can.Vet. J. 29 : 513 -528.
Ramsey FK, Chivers WH: 1953, Mucosal disease of cattle. North Am Vet34:629-633.
Siregar, SB., 1989. Beberapa Penyakit Viral Pada Sapi di Indonesia. LaporanNational Research Concelling Committee, November 14-15, 1989.Surabaya. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Underdahl NR, Grace OP, Hoerlein AB: 1957, Cultivation in tissue-culture ofcytopathic agent from bovine mucosal disease. Proc Soc Exp Biol Med94:795-797.$
Wiyono, A., P. Ronohardjo, RJ. Graydon and PW. Daniels, 1989. Diare GanasSapi I :Kejadian Penyakit Pada Sapi Bibit Asal Sulawesi Selatan yangBaru Tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan XXI (38) : 77 – 83.
Wittmann, g., r.m. gaskell and h.j. rziha. 1984. Latent herpes virus infections inveterinary medicine. Martinus Nijhoff Publishers. For the Commission ofthe European Communities. Boston, The Hague, Dordrecht, Lancaster.
242
DETEKSI ANTIBODI PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)
TAHUN 2014
Hartawan, D. H. W1., Laksmi, L. K. N1., Puspitasari, E., Pitriani, K.,Suryadinata, L. M. F1, Sutami, N1., Purnatha, N1.,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku telah dilakukan melalui surveilans di enam kabupaten,diPropinsi Bali dan di kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu,Nusa Tenggara Timur. Pemilihanlokasi pengambilan sampel di dasarkan pada risiko penularan PMK di Indonesia khususnya diarea regional Balai Besar Veteriner Denpasar. Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utaramerupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste yang belumdiketahui statusnya terhadap penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sedangkan di provinsi Bali dipilihkarena risiko sebagai salah satu wilayah dengan tingkat perdagangan dan lalu lintas wisatawaninternasional yang cukup tinggi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendeteksi infeksipenyakit Mulut dan Kuku (PMK) di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar. sejak bulanSeptember – Oktober 2014. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak562 sampel serum di propinsi Bali dan 200 sampel serum di kabupaten Belu,NTTdan tidakditemukan ternak yang menunjukkan gejala klinis PMK.Selanjutnya sampel tersebut diuji ELISAmenggunakan Kit ELISA PMK produksi JENO BIOTECH INC. Hasil uji menunjukkan semuasampel serum negatif antibodi PMK. Hasil tersebut mendukung status Indonesia sebagai salahsatu Negara yang masih bebas dari penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Kata Kunci : Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi Bali adalah salah satu plasma nutfah yang diharapkan menjadi primadona
dalam menyediakan kebutuhan daging selain ternak-ternak import. Salah satu
ternak andalan sektor peternakan di Propinsi Bali dan NTT adalah ternak sapi.
Adanya peningkatan populasi ternak merupakan salah satu langkah dalam
mewujudkan program swasembada daging tahun 2015.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit epizootika yang menyerang
ternak besar terutama sapi dan babi. Salah satu penyakit yang berpotensi
menyerang sapi adalah Penyakit Mulut dan Kuku..Penyakit ini disebabkan oleh
aphtoviridae.Gejala klinis PMK ditandai dengan bentukan lepuh diikuti dengan
erosi selaput lendir mulut, hidung, kulit dan puting susu (Donaldson, 1993). PMK
243
di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di daerah Malang Jawa Timur pada
tahun 1887 kemudian penyakit menyebar ke berbagai daerah di Sumatera,
Sulawesi dan Kalimantan. Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK secara
intensif di Indonesia dilakukan sejak tahun 1974 sampai tahun 1986. Pada tahun
1986 di Indonesia dinyatakan bebas PMK sesuai SK Mentan No.260 tahun
1986. Status bebas ini secara resmi diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan
Dunia (OIE) melalui Resolusi No.XI tahun 1990.Walaupun status Indonesia
masih Bebas PMK, namun Penyakit Mulut dan Kuku ini perlu diwaspadai.
Penularan virus PMK dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung yaitu melalui kontak dengan penderita, sekresi, ekskresi atau
hasil - hasil ternak seperti air susu, semen/ sperma yang dibekukan dan daging.
Penularan secara tidak langsung yaitu melalui bahan bahan ( makanan,
minuman dan peralatan kandang) yang tercemar virus. Selain itu penularan
dapat melalui udara sehingga dapat menularkan penyakit ke tempat yang lebih
luas. Angka mortalitas (kematian) akibat serangan penyakit ini rendah, namun
kerugian yang timbul akibat serangan penyakit sangat besar karena terjadi
penurunan berat badan, penurunan produksi susu, kehilangan tenaga kerja,
hambatan pertumbuhan dan hambatan lalu lintas ternak (Anonimous, 2009).
Untuk mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas PMK maka
dipandang perlu untuk tetap melakukan deteksi indikator melalui surveilans
serologis dengan metode Detect the Presence of Disease.
PERMASALAHAN
PMK selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas
hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk
hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu
daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Sebagai negara
dengan populasi manusia yang besar dan populasi hewan yang relatif kecil,
Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan impor sebagai cara untuk
memenuhi kecukupan permintaan (demand) konsumen untuk produk
peternakan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk , tentunya
meningkatkan potensi ancaman masuknya PMK ke Indonesia.
244
TUJUAN
1. Mendeteksi keberadaan virus PMK di wilayah kerja BBVET Denpasar melalui
indikator antibodi dengan uji serologis.
2. Membuktikan status bebas penyakit PMK di Indonesia secara epidemiologi
untuk mendukung program pengembangan peternakan secara umum.
SASARAN
Dengan terdeteksinya penyakit PMK lebih dini serta pemetaan status penyakit
tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program
penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih efektif dan efisien dilaksanakan
sehingga terwujudnya keamanan masyarakat.
INDIKATOR KINERJA :INPUT : Melakukan surveilans di daerah yang belum pernah di kunjungi
untuk mengetahui status penyakit dan seroprevalensi dari penyakit
PMK. Melakukan kunjungan dan membangun jejaring yang efektif
dengan dinas – dinas setempat sebagai salah satu usaha
koordinasi untuk kelanjutan kegiatan di tahun-tahun selanjutnya.
OUTPUT : Mengetahui informasi kondisi lapangan, status dan seroprevalensi
penyakit PMK di daerah tersebut. Terciptanya komunikasi yang
efektif dan berkesinambungan untuk meningkatkan kerjasama
khususnya dalam tindakan pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit tersebut.
MATERI DAN METODA
MATERI
Bahan : Serum sapi, Kit Elisa antibodi PMK
Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung , jarum
venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.
245
METODE
a. Metode sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di
wilayah Bali dan NTT. Deteksi penyakit PMK di provinsi Bali dan NTT
menggunakan metode Detect present of the Disease (Martin et al, 1987).
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar
5 %. Asumsi revalensi yang digunakan adalah 5 %, maka dapat diperoleh
perhitungan sebagai berikut.
Besaran sampel metode detect the presence of disease dari Martin et al. (1987)
yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah besaran sampel, P1 adalah
probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah sampel tersebut, d
adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N adalah besaran populasi unit
observasi. maka diperoleh; n : [1-(1-0,95)1/5,75] x [115-(5,75-1)/2] = 47. Cara
pengambilan sampel dilakukan dengan tahapan ganda (multistage) dengan 2
tahapan (kabupaten dan kecamatan). Sehingga diperoleh hasil estimasi jumlah
sampel di masing – masing provinsi sebesar 94 sampel untuk mendeteksi paling
tidak satu hasil positif penyakit PMK.
b. Metode pengujian
Pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi PMK menggunakan Kit ELISA
PMK produksi JENO BIOTECH INC dengan prosedur uji sebagai berikut :
Masing-masing well ditambahkan sebanyak 80 µl dilution buffer 1x dan 20 µl
sampel yang akan diuji, kontrol positif dan kontrol negatif dengan posisi seperti
bagan di bawah. Selanjutnya plate ditutup dan setelah diinkubasi pada suhu
ruangan selama 60 menit,plate dicuci sebanyak 3 kali dengan cara
menambahkan sebanyak 300 µl washing buffer 1x ke masing – masing well.
Setelah pencucian selesai keringkan plate dengan tissue, dan tambahkan ke
masing-masing well 100 µl Anti-FMFV NSP HRPO konjugate. Kemudian tutup
plate dan inkubasi pada suhu ruangan selama 60 menit. Setelah dicuci dengan
washing buffer, selanjutnya tambahkan ke masing-masing well 100 µl TMB
substrate dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan sambil diamati
perubahan warna yang terjadi. Untuk menghentikan reaksi, tambahkan 50 µl
246
stop solution ke masing-masing well dan baca pada ELISA Reader dengan
panjang gelombang 450 nm. Terakhir dilakukan kalkulasi hasil.
Interpretasi
A. Validasi
Hasil Uji dikatakan valid apabila :
1. Rata-rata negatif kontrol harus lebih besar dari 0,6
2. Rata-rata dari positif kontrol harus lebih kecil dari 0,3
B. Kalkulasi
Kalkulasi negative Ratio (SN) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
SN = OD Sample / OD Negatif Kontrol
C. Interpretasi Hasil
Hasil uji dikatakan positif apabila nilai SN ≤ 0,06 dan sampel dikatakan
negatif apabila nilai SN > 0,06.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN
Hasil pelaksanaan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di
wilayah kerja Bali dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014 untuk mendeteksi
antibodi penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat disajikan sebagai berikut ;
247
Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi PMK di Propinsi Bali
PROP KABUPATEN KECAMATAN SEROPOSITIF
SERONEGATIF
GRANDTOTAL
BALI BADUNGMENGWI
TOTAL SAMPEL0
0
50
50
50
50
BANGLI
BANGLI
KINTAMANI
TOTAL SAMPEL
0
0
0
50
32
82
50
32
82
BULELENG
BULELENG
TEJAKULA
TOTAL SAMPEL
0
0
0
46
38
84
46
38
84
JEMBRANA
JEMBRANA
NEGARA
TOTAL SAMPEL
0
0
0
10
39
49
10
39
49
KLUNGKUNGBANJARANGKAN
TOTAL SAMPEL0
0
46
46
46
46
TABANANPENEBEL
TOTAL SAMPEL0
0
23
23
23
23
TOTAL BALI 0 334 334
Kegiatan pengambilan sampel di wilayah Propinsi Bali pada tahun 2014 telah
dilakukan di 6 kabupaten di Bali yaitu Badung, Bangli, Buleleng ,Jembrana,
Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel yang diambil sejumlah 334 sampel
yang terbagi dari enam kabupaten yang disampling. Dari hasil tersebut, semua
sampel serum sapi menunjukkan negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK).
248
Tabel 2 .Prevalensi antibodi PMK di provinsi Nusa Tenggara Timur
PROP KABUPATEN KECAMATANSERO
POSITIFSERO
NEGATIFGRANDTOTAL
NUSATENGGARATIMUR
BELU LAMAKNEN SELATANLASIOLATTASIFETO BARATTASIFETO TIMUR
0000
8027
3855
80273855
TIMORTENGAHUTARA
TUBUHUETAPENPAHMAUBELIOESOKOHAUMENI ANABENPASISUANAE
0000000
46454
45202246
46454
45202246
TOTAL NTT 0 428 428
Sampel yang diuji dari propinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 428 sampel
serum yang diambil di Kabupaten Belu sebanyak 200 sampel dan kabupaten
Timor Tengah Utara sebanyak 228 sampel. Dari hasil pengujian diperoleh hasil
semua sampel serum sapi negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
PEMBAHASAN
Pelaksanaan Surveilans PMK ini dilakukan di daerah beresiko tinggi, atau
daerah lain yang memiliki potensi terjadi pemasukan ternak sapi, produk
turunannya maupun media yang dapat membawa virus Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK). Dearah beresiko tinggi yakni perbatasan dengan negara lain. Target
surveilans di NTT tahun 2014 diprioritaskan pada daerah perbatasan seperti
kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sedangkan
surveilans di provinsi Bali tahun 2014 dilakukan di Enam kabupaten. Hasil
pelaksanaan surveilans menunjukkan tidak ada kasus klinik yang ditemukan
dilapangan. Secara serologis semua sampel serum negatif Antibodi PMK. Ini
mengindikasikan Bali dan NTT tetap bebas PMK. Bebasnya wilayah ini dari PMK
karena telah dilakukan tindak pencegahan dan pengendalian melalui
pengawasan lalul lintas / tindak karantina yang sangat ketat terhadap
pemasukan atau import ternak ruminansia dan produknya dari Negara tertular
PMK.
249
PMK selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas
hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk
hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus PMK antara lain yaitu
daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan
dan produk hewan, hijauan pakan ternak, jerami, kendaraan, dan beberapa jenis
material lainnya dapat juga berperan dalam penyebaran PMK. Apabila
ditemukan kasus atau wabah dalam wilayah atau daftar daerah yang ditetapkan
bebas penyakit, OIE selanjutnya akan menerima konfirmasi wabah oleh delegasi
resmi anggota dan segera menginformasikan kepada anggota lainnya melalui
website OIE untuk menginformasikan negara – negara anggota tersebut untuk
dikeluarkan dari daftar negara atau wilayah bebas PMK.Di Negara maju,
tindakan yang dilakukan apabila ditemukan kasus PMK adalah tindakan
stamping out seperti yang dilakukan oleh Inggris.Laboratorium rujukan
Internasional untuk PMK terdapat di kota kecil Pirbright, Inggris (Soerharsono et
al, 2010).
Berdasarkan Status bebas yang diakui secara resmi oleh Organisasi
Kesehatan Hewan Dunia ( OIE) melalui Resolusi No.XI tahun 1990, maka
dipandang perlu untuk tetap melakukan deteksi melalui surveilans untuk
mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas PMK.
Pencapaian target jumlah sampel PMK tahun 2014 telah terpenuhi. Pelaksanaan
surveilans dan monitoring PMK tahun 2014 dilakukan dengan melibatkan
peranan beberapa Puskeswan di wilayah kerja, sehingga harapannya seluruh
Puskeswan yang aktif di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara
bertahap dapat ditingkatkan keterlibatannya.Dalam hal target sampel,
perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian target telah
diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan anggaran telah
dilaksanakan secara efektif dan efisien.
250
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pelaksanaan surveilans penyakit PMK, antiibodi PMK tidak ditemukan
di semua lokasi surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, baik
di provinsi Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Saran
Meskipun tidak ditemukan indikasi positif serologis antibody PMK diwilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar, surveilans secara berkesinambungan harus
tetap dilakukan untuk mengevaluasi status tetap bebas PMK terutama daerah
perbatasan dan wilayah yang secara aktif mendatangkan atau mengimpor
ternak sapi serta produk turunannya. Lalu lintas ternak sebaiknya diperketat
seperti daerah yang padat lalu lintas ternaknya. Kajian untuk mengidentifikasi
risiko penyakit PMK harus terus dilakukan oleh jajaran Balai Besar Veteriner
Denpasar untuk mengantisipasi risiko masuknya penyakit ini ke wilayah kerja
Balai Besar Veteriner Denpasar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar atas
bantuan dan kepercayaan yang diberikan serta kepada Kepala Dinas
Peternakan Kabupaten/Kota dan Propinsi terkait atas dukungan dan bantuannya
selama surveilans sehingga surveilans ini dapat dilaksanakan dengan baik dan
lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2009. Kajian penyakit mulut dan Kuku. Litbang peternakan.Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan dan KesehatanHewan. Jakarta.
Anonimous, 2010. Jenis Penyakit Sapi; Peluang Usaha Sapi Potong. ManualBudidaya peternakan
251
Donaldson,A.I (1993) Eidemiology of Foot and Mouth Disease the Curent andNew Perspectives. Diagnosis and epidemiology of foot and mouthdisease in southeast Asia.Aciar Proceeding No 51, 9-15.
OIE,FOOT and Mouth Disease Website New, 18 November 2009. Martin, W.,Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : veterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Soeharsono,Tatty Syafrianti,Tri Satya Putri Naipospos (2010) Atlas PenyakitHewan Di Indonesia,Hal 32.
34
SURVEILANS ANTIGEN DAN ANTIBODI PENYAKIT HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2014
Hartawan, D. H. W., Laksmi, L. K. N., Puspitasari, E., Fitriani, K., Suryadinata, L.M. F, Sutami, N., Purnatha, N.,
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Penyakit Hog cholera atau Classical Swine Fever merupakan penyakit hewan menular pada babiyang masuk dalam penyakit hewan prioritas di Indonesia. Penyakit ini dapat menimbulkankerugian yang cukup besar dari penurunan produksi hingga kematian ternak babi. Surveilansantigen dan antibodi Hog cholera di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT bertujuan untukmendeteksi kasus pada wilayah tersebut dan melihat proporsi seropositif antibodi Hog cholerabaik pada babi yang divaksinasi maupun pada babi yang terindikasi terinfeksi penyakit ini.Pengujian dilakukan dengan metode Elisa antibosi dan antigen capture dengan menggunakankit Elisa produksi Vdpro, Median, Korea Selatan. Hasil dari pengambilan sampel diperolehbahwa Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 286 sampel PBMC darah babi dari wilayahprovinsi Bali. Dari seluruh sampel tersebut diperoleh hasil 5 dari 268 sampel darah babi positivevirus Hog cholera (1,75 %). Untuk di provinsi NTB dan NTT diperoleh sebanyak 302 sampelPBMC darah babi dan semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Kegiatanpengambilan sampel serum babi dilakukan untuk mendeteksi antibody Hog cholera di provinsiBali, NTB dan NTT. Jumlah sampel yang berhasil diambil di provinsi Bali sejumlah total 772sampel serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 282 dari 772 sampelserum babi positif antibodi Hog cholera (36,53 %). Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 2 dari275 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,72 %). Sementara di provinsi NTT diperolehhasil 177 dari 517 sampel positif antibodi Hog cholera (34,24 %).
Kata kunci : Hog cholera, antigen capture, antibodi Elisa
PENDAHULUAN
Permintaan daging babi untuk konsumsi seperti untuk kepentingan usaha
restoran, hotel, industri rumah tangga dan keperluan adat di Bali dan NTT
sangat tinggi, sehingga kejadian wabah suatu penyakit dapat mempengaruhi
produktivitas dan secara tidak langsung memberikan kerugian ekonomi kepada
para peternak. Salah satu penyakit viral yang endemik dan memberikan
kerugian terbesar khususnya di wilayah Bali dan NTT adalah Hog cholera.
Penyakit ini sangat menular dan memiliki mortalitas yang sangat tinggi (Terpstra,
2002). Salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini adalah melalui
tindakan vaksinasi. Meskipun secara ilmiah virus Hog cholera diketahui bersifat
imunosupresif yakni terjadi defisiensi sel limfosit B (susa, et al, 1992) yang
35
mengakibatkan respon vaksin menjadi rendah, surveilans dan monitoring harus
tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi dan respon antibodi serta
deteksi dini terhadap kemunculan penyakit ini juga harus tetap dilakukan
sebagai salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini khususnya di
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.
Dalam rangka usaha membebaskan wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar dari penyakit Hog cholera, di pulau Lombok diketahui tidak dilakukan
program vaksinasi pada ternak babi. Hal yang mendasari tidak dilakukan
program vaksinasi adalah populasi ternak babi yang tidak terlalu besar di pulau
Lombok dan laporan kasus kematian jarang terjadi sehingga kemungkinan
terjadi wabah penyakit hog cholera sangat kecil. Informasi ini dapat dijadikan
pijakan sebagai pertimbangan program pembebasan penyakit hog cholera di
pulau Lombok dengan dibuktikan melalui surveilans yang terstruktur dan
menggunakan metode pengujian yang sensitifitas dan spesifisitasnya lebih
tinggi. Sebagai kajian awal maka perlu dilakukan surveilans dan identifikasi
faktor risiko penyakit hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar dan khususnya di pulau Lombok terkait dengan persiapan program
pembebasan.
Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar
Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang
dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun 2014 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut.
Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian
target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan
anggaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Peningkatan
kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta
melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni;
1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan
pelatihan secara terpusat
2. Supervisi kegiatan penerapan metode uji yang dilaksanakan oleh
laboratorium tersebut secara langsung.
36
3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan
peranan Puskeswan di wilayah kerja (Bali , NTB dan NTT), secara
berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah
kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan
peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.
Program pemberdayaan Puskeswan diwilayah Nusa Tenggara Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Barat dilibatkan Puskeswan yang aktif. Seluruh kegiatan ini
dilakukan secara sinergis sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan, yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian
dini penyakit Hewan Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan
kebutuhan bahan makanan asal hewan yang ASUH sehingga tercapai
swasembada pangan.
Identifikasi Permasalahan1. Data seroprevalensi dan serokonversi program vaksinasi Hog cholera yang
dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat perlu untuk diketahui terutama
untuk membuktikan cakupan vaksinasinya.
2. Tingkat penyebaran penyakit ini perlu dilakukan karena berdasarkan hasil
pengujian tahun sebelumnya masih diperoleh hasil yang mengindikasikan
adanya infeksi alami pada peternakan babi di wilayah kerja BBVet
Denpasar.
Tujuan Surveilans dan Monitoring untuk:1. Mengamati dan mengevaluasi status daerah tertular dan disekitarnya
setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit Hog cholera.
2. Mengetahui pola penyebaran virus Hog cholera pada tingkat kepemilikan
peternak tradisional dan komersial.
3. pemetaan dan penggalian informasi Status penyakit Hog Cholera
khususnya di Wilayah pulau Lombok sebagai kajian awal untuk mendukung
program pembebasan.
37
Manfaat Surveilans dan Monitoring.
1. Diketahuinya informasi tentang status daerah tertular dan sekitarnya, serta
hasil tindakan penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah
tersebut terhadap penyakit babi khususnya penyakit Hog cholera.
2. Diketahuinya sifat penyebaran penyakit Hog cholera, sehingga dapat
menganalisis aspek epidemiologi dari penyakit tersebut lebih mendalam.
3. Diketahuinya status penyakit dan faktor risiko hog cholera khususnya di
wilayah pulau Lombok sebagai pijakan dalam merancang program
pembebasan penyakit tersebut di pulau Lombok.
Output1. Terdeteksinya penyakit Hog cholera lebih dini dapat mencegah kejadian
wabah yang lebih besar.
2. Pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih
efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan
masyarakat.
3. Teridentifikasi faktor risiko dan situasi terkini dari penyakit Hog cholera
khususnya di pulau Lombok, rekomendasi untuk melaksanakan program
pembebasan penyakit ini dapat segera dilakukan.
MATERI DAN METODE
MateriBahan : Serum dan PBMC darah babi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari
Dinas Peternakan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
Kit Elisa antibodi Hog cholera (VDPro® AB CSF ELISA, Median Diagnostics
Inc., Korea) dan Kit elisa Antigen Hog cholera (VDPro® CSF A CAPTURE
ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)
38
Alat : Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.
Metode Sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak babi pada peternakan
tradisional di wilayah bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit
Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur
aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan
yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi
yang digunakan adalah 40 % (Hartawan et al, 2013), maka dapat diperoleh
perhitungan sebagai berikut ;
N = 4.P.Q/L2
N bali = 384
Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan
metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Untuk estimasi jumlah
sampel di wilayah Bali juga menggunakan tahapan ganda di seluruh
kabupaten/kota di provinsi Bali dengan tahapan kecamatan dan desa, sehingga
jumlah sampel yang harus diambil adalah 384 x 2 = 768 sampel di seluruh
kabupaten/kota. Sementara untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan pengambilan
sampel secara random proporsional dengan estimasi jumlah sampel sebesar
384 sampel. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan
melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Barat dan
Mataram di provinsi NTB serta di wilayah Alor dan Lembata di provinsi NTT,
merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan
Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko pada lokasi
yang telah dijelaskan diatas. Sehingga dapat diperoleh jumlah sampel babi yang
harus diambil dalam monitoring dan survei penyakit hewan menular di Bali, NTB
dan NTT pada tahun 2014 seperti pada tabel berikut ;
39
Analisis Data.Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di
tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan
menggunakan software statistix versi 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Surveilans Deteksi Antigen Virus Hog cholera
Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah kerja Bali
pada tahun 2014 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 1) ;
Tabel 1. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali tahun 2014.Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC
JumlahSpesimen
Proporsi(%)
BANGLI 0 34 34 0.00BANGLI 0 18 18KINTAMANI 0 6 6TEMBUKU 0 10 10
BULELENG 0 52 52 0.00BULELENG 0 10 10KUBUTAMBAHAN 0 20 20SUKASADA 0 22 22
DENPASAR 0 90 90 0.00DENPASAR SELATAN 0 42 42DENPASAR TIMUR 0 20 20DENPASAR UTARA 0 28 28
GIANYAR 5 12 17 29.41UBUD 5 12 17
JEMBRANA 0 10 10 0.00JEMBRANA 0 10 10
KARANG ASEM 0 50 50 0.00SELAT 0 10 10SIDEMEN 0 40 40
KLUNGKUNG 0 30 30 0.00BANJARANGKAN 0 10 10KLUNGKUNG 0 20 20
TABANAN 0 3 3 0.00MARGA 0 3 3
Grand Total 5 281 286 1.75
Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 286 sampel PBMC darah babi dari
wilayah provinsi Bali. Dari seluruh sampel tersebut diperoleh hasil 5 dari 286
sampel darah babi positive virus Hog cholera (1,75 %). Sampel yang terdeteksi
positif virus Hog merupakan Cholera merupakan hasil investigasi atau
surveilans aktif Balai Besar Veteriner Denpasar dari kasus keguguran babi di
40
wilayah desa Singakerta, kec. Ubud kab. Gianyar. Lima sampel positif hog
cholera diambil dari satu peternakan milik I Wayan Open Surata yang beralamat
di banjar Tebongkang. Laporan kasus keguguran pada babi indukan
disampaikan oleh Dinas peternakan kab Gianyar yang ditindaklanjuti oleh tim
investigasi Balai Besar Veteriner Denpasar pada bulan februari tahun 2014.
Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah provinsi
NTB dan NTT pada tahun 2014 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 2) ;
Tabel 2. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2014.
Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Prov- Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC
JumlahSpesimen
Proporsi(%)
NUSA TENGGARA BARAT 0 150 150 0.00LOMBOK BARAT 0 150 150
GERUNG 0 150 150NUSA TENGGARA TIMUR 0 152 152 0.00
ALOR 0 15 15ALOR BARAT DAYA 0 8 8TELUK MUTIARA 0 7 7
KOTA KUPANG 0 39 39KELAPA LIMA 0 39 39
LEMBATA 0 15 15ILE APE 0 4 4NAGAWUTUNG 0 3 3NUBATUKAN 0 8 8
MANGGARAI 0 50 50LANGKE REMBONG 0 50 50
TIMOR TENGAH UTARA 0 33 33BIKOMI SELATAN 0 33 33
Grand Total 0 302 302 0.00
Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTT
diperoleh sebanyak 302 sampel PBMC darah babi. Di provinsi NTB diambil
sejumlah 200 sampel dari kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Hasil
laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang terdeteksi positif virus
Hog cholera (0 %) di provinsi NTB. Sedangkan di provinsi NTT diambil 152
sampel dari kabupaten Alor, Lembata, Manggarai, Timor Tengah Utara dan Kota
Kupang. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada sampel yang
terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %) di provinsi NTT.
41
Hasil Serosurveilans Antibody Hog cholera
Kegiatan serosurveilans antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar dimaksudkan untuk melihat Seroprevalensi antibodi Hog
cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2014. Kegiatan pengambilan
sampel untuk mendeteksi antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar dilakukan dengan melibatkan petugas Puskeswan selain
oleh staf Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil yang diperoleh dalam kegiatan
ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3) ;
Tabel 3. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali tahun 2014.
Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif
JumlahSpesimen
Proporsi(%)
BADUNG 35 8 43 81.40ABIANSEMAL 7 4 11KUTA UTARA 2 1 3MENGWI 22 1 23PETANG 4 2 6
BANGLI 12 77 89 13.48BANGLI 7 33 40KINTAMANI 5 8 13SUSUT 0 3 3TEMBUKU 0 33 33
BULELENG 5 120 125 4.00BANJAR 0 4 4BULELENG 5 25 30BUSUNGBIU 0 4 4GEROKGAK 0 3 3KUBUTAMBAHAN 0 55 55SERIRIT 0 3 3SUKASADA 0 23 23TEJAKULA 0 3 3
DENPASAR 47 57 104 45.19DENPASAR SELATAN 19 21 40DENPASAR TIMUR 7 18 25DENPASAR UTARA 21 18 39
GIANYAR 97 29 126 76.98BLAHBATUH 0 4 4GIANYAR 20 7 27TEGALLALANG 69 7 76UBUD 8 11 19
JEMBRANA 5 47 52 9.62JEMBRANA 5 34 39MELAYA 0 3 3MENDOYO 0 3 3NEGARA 0 3 3PEKUTATAN 0 4 4
42
KARANG ASEM 14 80 94 14.89KARANG ASEM 0 11 11KUBU 3 0 3MANGGIS 4 0 4RENDANG 2 4 6SELAT 5 25 30SIDEMEN 0 40 40
KLUNGKUNG 59 60 119 49.58BANJARANGKAN 18 21 39DAWAN 1 5 6KLUNGKUNG 40 34 74
TABANAN 8 12 20 40.00BATURITI 4 0 4KEDIRI 0 2 2MARGA 3 0 3PENEBEL 0 3 3SELEMADEG 1 3 4SELEMADEG BARAT 0 4 4
Grand Total 282 490 772 36.53
Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan di seluruh kabupaten/kota
di provinsi Bali. Jumlah sampel yang berhasil diambil sejumlah total 772 sampel
serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 282 dari 772
sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (36,53 %). Dari total sampel
yang diambil di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali, diperoleh data bahwa
jumlah sampel terendah yang diambil adalah dari kabupaten Tabanan dengan
sebanyak 20 sampel serum babi. Berdasarkan informasi petugas Dinas
Peternakan setempat, hal ini disebabkan keengganan peternak untuk
mengijinkan ternak babi nya diambil sampelnya. Sedangkan jumlah sampel
tertinggi yang berhasil diambil berasal dari kabupaten Gianyar dengan sebanyak
126 sampel serum babi. Proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling tinggi
di provinsi Bali diperoleh dari kabupaten Badung sebesar 81,40 %. Sedangkan
proporsi hasil positif antibodi Hog cholera paling rendah adalah dari kabupaten
Buleleng hanya dengan hasil 4 %.
Hasil yang diperoleh dalam kegiatan Serosurveilans antibody Hog cholera di
provinsi NTB dan NTT dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ;
43
Tabel 4. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2014.
Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Prov -Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif
JumlahSpesimen
Proporsi(%)
NUSA TENGGARA BARAT 2 273 275 0.72LOMBOK BARAT 2 173 175
GERUNG 2 173 175LOMBOK TENGAH 0 50 50
PRINGGARATA 0 50 50 MATARAM 0 50 50NUSA TENGGARA TIMUR 177 340 517 34.24
ALOR 21 19 40ALOR BARAT DAYA 10 10 20TELUK MUTIARA 11 9 20
BELU 21 34 55ATAMBUA 7 30 37KAKULUK MESAK 14 4 18
KOTA KUPANG 19 30 49KELAPA LIMA 19 30 49
LEMBATA 18 32 50ATADEI 4 8 12ILE APE 0 11 11NAGAWUTUNG 10 4 14NUBATUKAN 4 9 13
MANGGARAI 0 50 50LANGKE REMBONG 0 50 50
NAGEKEO 0 4 4WOLOWAE 0 4 4
NGADA 2 48 50BAJAWA 2 48 50
SIKKA 86 0 86ALOK TIMUR 54 0 54KANGAE 32 0 32
SUMBA BARAT 2 48 50KOTA WAIKABUBAK 1 41 42LOLI 1 7 8
TIMOR TENGAH SELATAN 0 50 50AMANUBAN BARAT 0 20 20KOTA SOE 0 30 30
TIMOR TENGAH UTARA 8 25 33BIKOMI SELATAN 8 25 33
Grand Total 179 613 792 22.6
Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi NTB dan NTT
berhasil diambil sejumlah total 792 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil 179 dari 792 sampel serum babi positif antibodi
Hog cholera (22,6 %) di provinsi NTB dan NTT. Untuk di provinsi NTB diperoleh
hasil 2 dari 275 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,72 %). Sementara
di provinsi NTT diperoleh hasil 177 dari 517 sampel positif antibodi Hog cholera
(34,24 %).
44
Pembahasan
Kegiatan surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2014
berhasil mendeteksi 5 sampel positif virus Hog cholera yang berasal dari
kabupaten Gianyar. Berdasarkan surat Dinas Peternakan, Perikanan dan
Kelautan kabupaten Gianyar, yang menginformasikan bahwa telah terjadi kasus
keguguran pada 40 ekor indukan di peternakan milik pak Open Surata dengan
alamat di banjar Tebongkang, desa Singakerta, kecamatan Ubud Gianyar. Mulai
dari bulan februari tahun 2014 diketahui secara beruntun terjadi keguguran anak
babi dari indukan yang dimiliki oleh peternakan tersebut dan rata-rata indukan
pernah mengalami keguguran sebanyak 2 kali periode kebuntingan. Anak yang
dilahirkan dalam kondisi mati/membusuk tetapi indukan masih terlihat sehat atau
tidak menunjukkan gejala klinis yang lain. Peternakan babi tersebut juga terisolir
dari lokasi peternakan yang lain. Peternak babi tersebut juga memiliki usaha
penggilingan padi sehingga untuk beberapa bahan pakan babi tidak mengambil
dari luar area peternakan. Berdasarkan hasil tersebut maka beberapa saran dan
masukan yang diberikan kepada peternak adalah, melakukan pemberian
multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan pengawasan kebersihan serta
sanitasi lingkungan. Untuk babi yang mengalami keguguran disarankan secara
bertahap untuk segera diganti, mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier
Hog cholera.
Surveilans untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Denpasar memperoleh hasil proporsi hasil positif di provinsi Bali
sebesar 36,53 %, sedangkan di provinsi NTB sebesar 0,89 % dan di provinsi
NTT sebesar 24,12 %. Program vaksinasi dilakukan secara intensif di provinsi
Bali dan NTT sehingga hasil proporsi tersebut mengindikasikan cakupan hasil
vaksinasi yang tidak terlalu menggembirakan. Mengacu pada protocol OIE yang
mensyaratkan cakupan vaksinasi sebesar 70 % untuk mengendalikan kejadian
wabah dan pembebasan penyakit ini (Anonimous, 2014).
Sementara di provinsi NTB diperoleh hasil 2 dari 255 sampel serum positif
antibodi Hog cholera (0,89 %) di wilayah kec. Gerung kab. Lombok Barat. hal ini
dapat mengindikasikan terjadinya infeksi alami dari penyakit Hog cholera atau
45
kemungkinan terjadinya pemasukan babi dari wilayah yang melakukan program
vaksinasi. Dari hasil penggalian informasi melalui kuesioner, tidak ditemukan
adanya catatan pemasukan bibit babi ke wilayah tersebut. Sementara catatan
kasus klinis yang mengarah pada gejala penyakit Hog cholera juga tidak pernah
dilaporkan ataupun adanya kematian atau keguguran ternak yang dapat
dikaitkan dengan terjadinya infeksi penyakit ini.
Untuk dapat menggali informasi tentang munculnya titer antibodi pada ternak
yang diambil sampel khususnya di wilayah kabupaten Lombok Barat dan
provinsi Nusa Tenggara Barat pada umumnya, pelaksanaan koordinasi terhadap
kasus klinis maupun kematian dan keguguran pada ternak babi diwilayah
tersebut terus dilakukan dengan pihak Dinar Peternakan setempat. Balai Besar
Veteriner Denpasar dalam kapasitasnya sebagai laboratorium rujukan juga
mencoba untuk melihat kemungkinan dilaksanakannya pembuktian wilayah
provinsi NTB sebagai wilayah yang bebas penyakit Hog cholera atau
Demonstration of Freedom the Disease terhadap penyakit Hog cholera.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali sebesar
1,75%, sedangkan provinsi NTB dan NTT tidak terdeteksi sampel yang
positif virus Hog cholera (0 %).
2. Proporsi hasil positif antibody Hog cholera pada tahun 2014 di Provinsi di
Bali 36,53 %, NTB sebesar 0,72 %, dan di NTT 34,24 %.
3. Hasil lima sampel Positif virus Hog cholera di provinsi Bali diperoleh dari
peternakan di banjar Tebongkang, desa Singakerta, kecamatan Ubud,
kabupaten Gianyar berdasarkan hasil laporan kasus keguguran pada babi
yang disampaikan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
kabupaten Gianyar.
46
Saran1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui
indicator antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner
Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak
melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga
untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB
sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.
2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk
melakukan pemberian multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan
pengawasan kebersihan serta sanitasi lingkungan. Untuk babi yang
mengalami keguguran disarankan secara bertahap untuk segera diganti,
mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier Hog cholera.
3. Mengembangkan system surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk
dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas
surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner
Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian
pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta
kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,
kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.
47
PUSTAKA.
Anonimous, 2014. Manual for Laboratory Diagnosis of Classical swine fever(Hog cholera) vaccination protocol. Chapter 2.8.3. May 2014. WorldHealthOrganization.
Anonimous, 2007. Manual for Laboratory Diagnosis of Japanese EncephalitisVirus Infection. World HealthOrganization.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods:eterinary Epidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Sendow, I., danBahri, S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis diIndonesia. LokakaryaNasionalpenyakit Zoonosis.Wartazoa. 2005.
Christianson, W. T., J .E . Collins, D.A . Benfield, L.Harris, D.E .Gorcyca, D.W.Chladek, R.B . Robinson, and H.S .Joo. 1992 . Experimentalreproduction of swine infertility and respiratory syndrome in pregnantsows . Am. J. Vet. Res . 5 3 : 485-488 .
Done, S . H., and D.J. Paton. 1995 . Porcine reproductive and respiratorysyndrome : clinical disease, pathology and immunosuppression.
Hirose, O., H. Kudo, S .Yoshizawa, T. Hiroiko, T. Nakane .1995 . Isolation ofporcine reproductive and respiratory syndrome virus from pigs . J.Japan Vet. Med. Ass . 48 (9) : 646 - 649 .
Hooper, S . A., M.E.C . White, and N. Twiddy .1992 . An out-break of blue-earedpig disease (porcine reproductive and respiratory syndrome) in four pigherds in Great Britain . Vet. Rec .131 : 140-144 .
266
HASIL SURVEILAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI
BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2014
Drh. Mahmud Siswanto, M.Si.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Abstrak
Surveilans untuk melihat kondisi penyakit hewan di BPTU-HPT Denpasar terkait adanya
informasi penurunan produktivitas (kualitas dan kuantitas) ternak telah dilakukan. Kegiatan ini
dilakukan dari periode April-Mei 2014 dengan pengambilan sejumlah 792 sampel serum, 321
sampel feces dan 264 ulas darah. Sampel serum tersebut diuji secara serologi dengan uji
Enzyme-linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk melihat gambaran seropositif penyakit
Septicaemia epizootica (SE) dan Jembrana. Pemeriksaan feces ditujukan untuk melihat keadaan
infeksi parasit gastro intestinal (PGI), sedangkan pemeriksaan preparat ulas darah untuk melihat
kemungkinan adanya infeksi parasit darah. Hasil pengujian laboratorium membuktikan bahwa
153 dari 204 sampel yang diuji (75%) positif antibodi SE dan terhadap penyakit Jembrana hanya
positif 42 dari 264 sampel yang diuji (15,9%). Gambaran infeksi penyakit parasiter cukup tinggi
dimana 50 dari 402 (12,44%) sampel yang diperiksa positif PGI. Infeksi parasit darah cukup
rendah hanya 6 dari 264 sampel yang diperiksa (2,27%), namun karena didalamnya ada
termasuk infeksi Trypanosoma sp, hal ini perlu diwaspadai. Dengan melihat hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut diatas bahwa kekebalan kelompok (Heard immunity) terhadap penyakit SE
dan Jembrana harus ditingkatkan. Prevalensi infeksi PGI walaupun rendah perlu mendapat
perhatian, oleh karena itu pemberian obat antiparasit dengan bahan aktif Ivermectin perlu
dilakukan secara rutin dan terkontrol. Rendahnya Heard immunity dan tingginya derajat infeksi
parasiter dapat menurunkan kekebalan hewan secara umum dan diduga kuat sebagai penyebab
turunnya kualitas dan kuantitas ternak di BPTU sapi Bali, disamping kemungkinan adanya
pengaruh faktor lain seperti manajemen pakan dan air.
267
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang memiliki tugas dan fungsi untuk
mengembangkan pembibitan sapi Bali adalah BPTU-HPT Denpasar yang
berlokasi di Denpasar memiliki Instalasi Breeding Centre di Kabupaten
Jembrana. Populasi sapi bali di Indonesia saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar
32.4% dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus,
2008b). Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB
dan NTT dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Sampai saat ini,
BPTU-HPT denpasar memiliki populasi sapi Bali sebanyak 895 ekor dan
diharapkan UPT ini dapat membantu menyediakan bibit unggul yang diperlukan
oleh masyarakat dan atau UPT lain untuk dikembangkan lebih lanjut. Banyak
faktor yang bisa menghambat dan atau mendorong berhasilnya UPT tersebut
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Sapi bali lebih diminati oleh peternak
karena beberapa keunggulannya antara lain: tingkat kesuburannya tinggi,
sebagai sapi pekerja yang baik, cepat beradaptasi, lebih tahan dengan kondis
lingkungan yang kurang baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan
yang kurang bergizi,(Pane, 1990) Salah satu dari unsur Panca Usaha
Peternakan, selain pakan, manajemen, bibit dan kandang, adalah kesehatan
hewannya. Ada suatu informasi bahwa keberadaan BPTU belum oftimal dalam
menjalankan TUPOKSI-nya terkait dengan menurunnya produksi dan
reproduktivitas ternak karena adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM)
bersifat infeksius maupun non infeksius, termasuk infeksi parasit gastrointestinal.
Pada umumnya ternak sapi rentan terhadap berbagai penyakit infeksi parasit
gastrointestinal seperti helminthiasis, kokdidiosis dan ektoparasit
(Soulsby1982), hasil penelitian menyatakan prevalensi cacing trematoda
Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%. (Estuningsih.2004),
F.gigantica (Fasciolosis) pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.%, dan lebih
banyak ditemukan pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari
anoreksia, konsitpasi, diare, anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi
kematian.(Purwanta dkk.(2006).
268
Menjadi Salah satu UPT pusat, Balai Besar Veteriner Denpasar yang mewilayahi
3 provinsi termasuk Bali, NTB dan NTT mempunyai peranan penting dalam
melakukan surveilan, monitoring dan investigasi suatu penyakit hewan di
wilayah kerjanya. Dalam fungsi pengawasan kesehatan hewan, BB-Vet
berkewajiban memberikan pembinaan teknis dan rekomendasi/saran kepada
UPT terkait antara lain pembinaan kepada PUSKESWAN, laboratorium Type B
dan C dan BPTU sapi Bali yang ada di Prov. Bali. Kerjasama dengan BPTU –
HPT Denpasar yang mengembangkan sapi Bali sudah dibangun sejak dahulu,
terkait investigasi atau monitoring dan kegiatan uji coba vaksinasi penyakit
Jembrana. Belakangan ini kerjasama tersebut tetap berlanjut, namun lebih
menekan kepada kegiatan monitoring dan surveilan aktif dengan harapan dapat
memberikan gambaran/kondisi penyakit hewannya.
B. TUJUAN
Surveilan ini bertujuan untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular pada
ternak bibit sapi Bali milik BPTU-HPT Denpasar yang ada di Breeding Centre
Pulukan Kabupaten Jembrana, terkait adanya dugaan penurunan kualitas dan
produktivitas ternak sapi Bali.
II. MATERI DAN METODA
2.1. Materi
Dilakukan pengambilan sampel sesuai jadwal yang sudah ditetapkan
pengambilan sampel setiap bulan (dari bulan April s/d Desember 2014). Jumlah
hewan yang disampling adalah 792 ekor dari 895 ekor (88,4%). Pada setiap
tahap pengambilan, hewan yang sudah disampling tidak disampling ulang
dengan mencatat dan menandai hewan yang belum dan atau sudah pernah
disampling. Terhadap sampel tersebut telah dilakukan pengujian secara
komprehensi terhadap 5 jenis PHMS meliputi penyakit Jembrana (JD),
Septicaemia Epizootika (SE), Infectiopus Bovine Rhinotraheitis, Bovine Viral
Diarrohea (BVD) dan beberapa penyakit parasit. Jadwal, Rincian jumlah dan
jenis sampel serta penyakit yang diuji sepert tersaji pada Tabel 1.
269
Tabel 1. Jadwal surveilan, jumlah dan jenis sampel serta penyakit yangdiuji.
Tahapsampling
Targethewan
Jumlah sampel yangDiambil
Jenis penyakit yangdiuji
Keterangan
I
22 April
50 ekor 275 buah (150 serum, 50darah EDTA, 25 Feces dan50 ulas darah)
JD, SE, Brucellosisdan Parasit
Telahdikerjakan
II
23 April
50 ekor 300 buah (150 serum, 50darah EDTA, 50 Feces dan50 ulas darah
JD, SE, Brucellosisdan , Parasit
Telahdikerjakan
III
30 April
50 ekor 344 buah (197 serum, 49darah EDTA, 49 Feces dan49 ulas darah
JD, SE, Brucellosisdan Parasit
Telahdikerjakan
IV
13 Mei
65 ekor 375 buah (195 serum, 65darah EDTA, 50 Feces dan65 ulas darah
JD, SE, Brucellosisdan Parasit
Telahdikerjakan
V
14 Mei
50 ekor 272 buah (150 serum, 50darah EDTA, 22 Feces dan50 ulas darah)
JD, SE, Brucellosisdan Parasit
Telahdikerjakan
Total. 265 ekor 1566 buah
Disamping dilakukan pengambilan sampel, pada saat surveilan juga dilakukan
wawancara/pengamatan terhadap kondisi hewan, pakan air dan lain-lain
sebagai upaya publik awarness dan komunikasi dalam pemberian informasi atau
saran serta edukasi terhadap cara penanganan penyakit hewan menular.
2.2. Metoda
Metoda uji yang digunakan untuk pemeriksaan sampel serum adalah uji ELISA,
dimana uji ELISA yang dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya antibody yang
terbentuk terhadap JD dan SE. Untuk Brucellosis digunakan metode rose bengal
test (RBT), Jika dari hasil uji RBT terdapat hasil positif ( antibodi positif ) maka
akan dilanjutkan dengan uji Complement Fixation test (CFT) untuk memastikan
hasil uji RBT yang positif tersebut. Sedangkan untuk pemeriksaan parasit
dilakukan dengan uji/pemeriksaan feces dengan mikroskop cahaya untuk
melihat ada/tidaknya telur parasit gastro-intestinal (PGI). Sedangkan
pemeriksaan parasit darah dilakukan dengan memeriksaan preparat ulas darah
(PUD) yang diwarnai Giemsa di bawah mikroskop cahaya.
270
III. HASIL
Dari lima tahapan waktu untuk melakukan sampling telah dikumpulkan 1566
sampel dari 265 ekor sapi yang berbeda. Jumlah sampel yang diuji dan hasil
pengujiannya di ringkas pada Tabel 2. Secara umum diketahui bahwa dari 4
penyakit yang diinvestigasi ( SE, JD, Brucellosis dan Parasiter), hanya
Brucellosis yang negatif
Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel yang diuji terhadap beberapa jenispenyakit.
ELISA PCR Uji ParasitPGI Parasit darah
Tahapsampling
Jenis/jumlahsampel
PenyakitPos Pos
Pos PosSerum 50 SE - - - -Serum 50 JD 0/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50 - -Darah 50 - - - 2/50
I(22 April )
Feces 21 - - 17/21* -Serum 50 SE 23/50 - - -Serum 50 JD 41/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50Darah 50 - - - 3/50
II(23 April )
Feces 50 - - 07/50* -Serum 49 SE 32/49 - - -Serum 49 JD 0/49 - - -Serum 49 Brucellosis 0/49 - - -DarahEDTA JD - 0/49 - -Darah 49 - - - 0/49
III(30 April )
Feces 49 - - 06 /49* -Serum 65 SE 53/65 - - -Serum 65 JD 0/65 - - -Serum 65 Brucellosis 0/65 - - -DarahEDTA JD - 0/65 - -Darah 65 - - - 1/65
IV
(13 Mei )
Feces 50 - - 06/65 -Serum 50 SE 45/50 - - -Serum 50 JD 01/50 - - -Serum 50 Brucellosis 0/50 - - -DarahEDTA JD - 0/50 - -Darah 50 - - 0/50
V(14 Mei )
Feces 22 - - 04/22 - Total 195/742 40/207 6/263
271
Tabel 3 Rincian Hasil Uji Laboratorium Jenis Parasit Gastro IntestinalDan Parasit Darah pada BPTU-HPT Denpasar
Ket: * Jenis PGI (Penyakit Gastro Intestinal) umum:Emiria sp, Cooperia sp,Parampistomum sp, dan Fasciola sp.dll.
** Jenis Pararait darah: 2 kasus Theileria sp. dan 4 kasus Trypanosoma sp.
IV. PEMBAHASAN
Dari hasil yang di dapat terhadap pemeriksaan penyakit dapat digambarkan
bahwa. secara umum infeksi penyakit Parasiter cukup tinggi, dimana 40 dari 207
sampel yang diuji (19,3%) positif PGI, termasuk ditemukannya telur cacing
Fasciola sp yaitu 3 dari 207 sampel yang diuji (1,4%) dan Trypanosoma sp (
penyebab penyakit Surra) yaitu 4 dari 263 sampel yang di uji (1,5%) . Hal ini
merupakan suatu ancaman produksi dan produktivitas ternak sapi, karena jenis
cacing dan parasit darah ini termasuk parasit yang paling berbahaya bagi ternak.
Selain itu banyaknya jenis telur Parasit Gastro Intestinal lain yang ditemukan
termasuk Emiria sp, Cooperia sp, Parampistomum sp cukup memprihatinkan.
Pada Kejadian ditemukannya Trypanosoma sp patut dijadikan “early warning
system” di masa mendatang terkait upaya persediaan obat yang sesuai karena
infeksi oleh parasit darah ini sangat fatal, walaupun sampai saat ini belum
banyak dilaporkan di Bali.
Jumlah
No.Nama Parasit Gastro
Intestinal PosKet.
1 Eimeria sp 3 PGI2 Cooperia sp 2 PGI3 Parampistomum sp 18 PGI4 Fasciola sp 3 PGI5 Theileria sp 2 Parasit Darah6 Trypanosoma sp 4 Parasit Darah7 Mecistocirrus sp 5 PGI8 Oestertagia sp 6 PGI9 Oesophagustomum sp - PGI10 Chabertia sp 4 PGI11 Trichostrongylus sp - PGI
272
Hasil surveilan ini membuktikan bahwa pemberian obat cacing belum dilakukan
secara optimal. Secara kasat mata, dampak dari penampilan luar kelihatan
bahwa performans tubuh ternak sapi dewasa masih bervariasi (seperti yang
dilaporkan oleh petugas surveilan), namun secara ekonomis infestasi parasit
cacing ini dapat menurunkan produksi dan produktivitas ternak sapi yang cukup
tinggi. Dampak infestasi PGI ini akan sangat signifikan terlihat secara ekonomi
manakala cuaca ekstrim dimusim kemarau atau sebaliknya dan ranch BPTU-
HPT Pulukan tidak didukung air bersih, pakan yang berkualitas, sarana kandang
pembibitan yang baik dan biosecurity yang kurang baik terkait lalulintas ternak.
Infestasi cacing ini sangat merugikan khususnya pada pedet ( anak sapi )
berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan, sakit-sakitan (dengan gejala
klinis yang tampak : demam, diare, kurus, lemah, cyanosis dan bulu berdiri ),
cacat fisik ( anak diafkir dari seleksi bibit karena mata buta ) dan kematian dini
pedet. Oleh karena pengaruh alam daerah tropis dan lembab dimana parasit
dapat berkembang subur maka, perlu dilakukan pemberian obat cacing atau
injeksi ivermectin rutin secara berkala.
Dari pengujian serologi terhadap penyakit SE terlihat bahwa hasil uji ELISA
cukup tinggi dimana hanya 153 dari 214 sampel yang diuji (71,4%) menunjukan
positif. Kalau hasil positif ini disebabkan oleh vaksinasi, hal ini mengindikasikan
bahwa vaksinasi belum dilakukan secara optimal dimana belum mampu
memberikan kekebalan kelompok (Heard Immunity) minimal 80%, hal mana
dapat berakibat fatal kalau terjadi perubahan iklim yang ekstrim akan sangat
berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas SE. Oleh karena itu, sangat
dianjurkan untuk melakukan vaksinasi SE dengan tingkat Heard Immunity diatas
80%.
Dari hasil pengujian serologi terhadap penyakit Brucellosis terlihat pada hasil uji
serologi (ELISA) terhadap sampel sebanyak 264 sampel, diperoleh hasil 0%
(Negatif). Hal ini mengindikasikan bahwa Bali bebas Brucellosis.
273
Dalam studi ini tidak dilakukan pemeriksaan sampel terhadap BVD dan IBR
karena kehabisan substrat pemeriksaan akibat dari banyaknya sampel pasif
yang masuk ke laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar sehingga perlu
dilakukan pengadaan subsrat BVD dan IBR. Substrat tersebut masih sudah
diadakan dan dalam proses pengiriman
Hasil uji serum terhadap JD menunjukan hasil positif yang bervariasi pada setiap
tahap pengambilan. Dimana pada pengambilan I hanya 0 dari 50 (0 %) hewan
positif, namun pada pengambilan tahap II hasil positif ELISA cukup tinggi 41 dari
50 serum yang diuji (82 %), tahap III hanya 0 dari 49 sampel yang diuji (0 %)
dan tahap IV hanya 0 dari 65 sampel yang diuji (0 %), dan tahap V hanya 1
sampel dari 50 sampel yang diuji (0%) secara rata-rata hasil ELISA positif dari
ke lima tahap 15,9 %, yang menandakan bahwa Heard Immunity masih sangat
rendah dari minimal 80%, sehingga masih harus ditingkatkan. Dan pada hasil uji
PCR pada semua tahapan ( I-V) 0 dari 264 sampel yang diuji PCR (0%), tidak
terdeteksi adanya virus Jembrana.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SimpulanBerdasarkan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
a). Prevalensi investasi cacing ( PGI dan parasit darah ) masih cukup tinggi.
b). Serokonversi hasil vaksinasi belum optimal, dalam studi ini ditemukan hasil
71,4% yang positif uji ELISA dari 214 sampel yang diuji.
c). Prevalensi Penyakit Brucellosis masih 0%.
d). Prevalensi serologi penyakit JD 15,9% walaupun pervalensi penyakit JD
dengan uji PCR masih 0%.
274
5.2 SaranBerdasarkan kesimpulan di atas dapat di sarankan hal-hal sebagai berikut :
a). Agar dilakukan pemberian obat cacing secara periodik dengan anthermintik
yang sesuai
b). Agar serokonversi penyakit SE dapat ditingkatan dengan melakukan
vaksinasi SE ulangan bagi hewan-hewan yang masih seronegatif
c). Agar dilakukan vaksinasi penyakit jembrana sesuai anjuran yang berlaku
d). Untuk menjamin tetap terjaganya kondisi kesehatan hewan yang memadai,
agar prinsif-prinsif Biosecurity yang ketat dapat diterapkan
275
Analisa ResikoAnalisa Resiko setelah kegiatan surveilans Balai Besar Veteriner Denpasar
pada kegiatan Perbibitan Sapi Bali di BPTU-HPT Denpasar.
No Analisa Resiko Managemen Resiko/Solusi
1 Sistem pemeliharaan sapi bali diBPTU-HPT Denpasar adalahsystem ranch dimana umumnyasapi-sapi dilepas/ diumbar miripdengan sistem pemeliharaanekstensif maka resiko penularanPGI cukup tinggi
Perlu dilakukan sosialisasi tatacara pemeliharaan ternak yangbaik dan benar sesuai anjurankesehatan hewan yang baik.
2 Luasnya sebaran dan relativetingginya prevalensi PGI di BPTU-HPT Denpasar, yang dapatberdampak pada penurunproduktivitas dan reproduksi ternak
Perlu dilakukan Surveilan danpengobatan secara berkala untukmemantau ,mencegah danpengendalian penyakit PGI dalamrangka meningkatkan produksidan reproduktivitas ternak
3 Relatif tingginya kematian pedet,yang ,salah satunya disebabkanoleh infeksi PGI ( ascariasis danatau koksidiosis)
Perlu dilakukan peningkatanMonitoring dan penanggulanganPGI khususnya pada pedet .umurdi bawah tiga bulan (batilan)
4 Target jumlah dan kriteria sampeltidak sesuai dengan yangdiharapkan dan tidak terpenuhi
Meningkatkan koordinasi denganBPTU-HPT Denpasar mengenailokasi dan kriteria sampelsehingga dapat terpenuhi
5 Target Vaksinasi pada programperbibitan tidak tercapai untukmencapai Heard Immunity diatas80%.
Perlu dilakukan sosialisasi ataupeningkatan publik awareness tatacara Vaksinasi ternak yang baikdan benar sesuai anjurankesehatan hewan yang baik.
276
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2009. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan,Inspektorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta
Anonimus .2008b.The epidemiology of helmintparasites.http://www.ilri.org/InfoServ/ Webpub/ Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008].
Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan PemeriksaanTelur Cacing untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Volume 9 Nomor1hal.55-60
Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. ProcSeminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar
Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis)pada Sapi Bali di perusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kotaMakassar. J. Agrisistem 2 (2): 63-69..
Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of DomesticatedAnimals. 7th.ed P.51, 52