haploidisasi melalui androgenesis dan … · dari ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul dan...
TRANSCRIPT
HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESISDAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESISDAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESISDAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Haploidisasi MelaluiAndrogenesis dan Ginogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.) adalah karya sayadengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapunkepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutipdari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telahdisebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pusaka di bagian akhirdisertasi ini
Bogor, Desember 2012
Suskandari KartikaningrumNRP A263080031
iv
ABSTRACT
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM. Haploidization through Androgenesisand Gynogenesis on Carnation (Dianthus sp.). Under supervisor of AGUSPURWITO, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, BUDI MARWOTO and DEWISUKMA .
Haploidization technology ensures important advantages in obtaining purelines by rapid fixation of homozygosity. Anther culture, ovule culture, ovaryculture and irradiated pollen technique were used in this study. The objective ofthe research was to develop appropriate haploid technology in order to obtainhaploid plants through androgenesis, gynogenesis by ovule culture and ovaryculture and pseudofertilization on Dianthus chienesis. Androgenic callus wasinduced in four WT basic medium inductions supplemented with 2.4D, NAA,TDZ and BA. Four explants originated from ovule and ovary cultures of sixgenotypes of D. chinensis (Dchi-11, Dchi-12, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 andDchi-16) were applied in five media. For the parthenogenesis induction, 100-200Gray gamma irradiations were applied to the Dchi-14 pollens and pollinated to theDchi-11. Pollinations were conducted on the day after irradiation. Eight mediawere selected to obtain regenerated plants. Results showed that androgenic callusformation needed high auxin and sitokinin ratio, while regenerated callus requiredlower auxin and sitokinin ratio. 2,4-D was better than NAA in callus induction.Callus originated from anther culture, multi ovule slice culture, ovule culture andovary slice culture regenerated producing early flowering plants and expressed ofabnormal flowering mutant. Regeneran from anther culture was diploid, but twoputative double haploids came up from multi ovule slice culture and ovaryculture. Cytology and flow cytometry observations showed that seven haploidplants were obtained from pseudofertilization. Spontaneous chromosome doublingwas inferred to have occurred during the callus culture period. In conclusion,gynogenesis through multiovule culture, ovary slice culture andpseudofertilization was more effective in inducing haploid and double haploidplants than androgenesis.
Key words: androgenesis, gynogenesis, pseudofertilization, haploid, Dianthus sp.
vi
RINGKASAN
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM. Haploidisasi melalui Androgenesis danGinogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.) Dibimbing oleh AGUS PURWITOsebagai ketua, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, BUDI MARWOTO danDEWI SUKMA sebagai anggota komisi pembimbing
Tanaman homosigot dapat diperoleh secara konvensional melalui selfingsecara terus menerus sampai lebih dari enam generasi. Namun cara inimemerlukan waktu lama dan pada akhir generasi selfing masih ditemukan residuheterosigositas. Androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi sudah secara luasdigunakan untuk program pemuliaan sebagai metode untuk menghasilkantanaman haploid. Melalui teknologi haploidisasi, pembuatan tanaman homosigotmurni dapat diperoleh hanya dalam satu generasi. Tanaman haploid ganda dapatdigunakan untuk membentuk tanaman hibrida F1. Teknologi haploidisasi padatanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, menawarkan peluangperdagangan benih dalam bentuk biji (true seed), dan bukan dalam bentuk stekyang tidak dapat disimpan lama.
Salah satu kendala dalam sistem usahatani anyelir domestik yaituketergantungan benih dari luar negeri. Untuk mengatasi masalah ketergantunganterhadap penggunaan benih impor, maka perlu upaya untuk merakit kultivarunggul yang memiliki nilai kompetisi yang tinggi di pasaran. Serangkaianpenelitian dilakukan untuk mempercepat diperolehnya varietas-varietas baruanyelir, dengan menyediakan tetua-tetua yang diperoleh dari teknologi haploid.Tiga metode haploidisasi yaitu androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasidiaplikasikan untuk mendapatkan tanaman haploid, yang selanjutnya dapatdigandakan atau mengganda secara spontan untuk mendapatkan tanaman haploidganda yang bersifat homosigot untuk seluruh lokus.
Berdasarkan studi biologi bunga dan dikaitkan dengan studi rasioperkembangan mikrospora diketahui bahwa variabel panjang kuncup merupakanindikator penanda kapan kuncup bunga dipanen untuk sumber eksplan. Induksikalus androgenik dicoba pada empat jenis media yang mengandung media dasarWT yang berbeda rasio auksin dan sitokinin. Delapan jenis media regenerasidiseleksi untuk mendapatkan media yang sesuai untuk regenerasi. Penelitianginogenesis terdiri atas empat percobaan berdasarkan pada kemampuan eksplanmembentuk kalus/embrio. Empat eksplan tersebut ialah irisan multi ovul, multiovul, irisan ovari dan ovari.
Percobaan pseudofertilisasi dilakukan dalam dua unit. Percobaan pertama,dosis iradiasi sinar gamma 100 Gy diaplikasikan pada serbuk sari dua genotipeDianthus chinensis yaitu Dchi-14 dan Dchi-13. Percobaan kedua dosis iradiasidiperluas mulai 100-300 Gy yang diaplikasikan pada serbuk sari Dchi-14.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima genotipe Dianthus chinensisyang diuji memiliki kecepatan antesis yang relatif sama, yaitu berkisar 14-16 hari,memiliki ciri-ciri spesifik yaitu adanya perubahan warna pada antera sesuaidengan fase perkembangan kuncup bunga, variasi jumlah mikrospora berkisar4000 – 64000, viabilitas mikrospora berkisar 40 – 60%. Ukuran kuncup bungadapat dijadikan sebagai indikator kapan dilakukan pengambilaan donor eksplan.Persentase late-uninucleate tertinggi (44,64%) adalah pada saat ukuran kuncupbunga T2 dengan ukuran kuncup 1,31 – 1,51 cm (umur 5 hari), dan belum adaperubahan warna antera. Eksplan ovul yang tepat berada pada tahapperkembangan kuncup bunga T7 (umur 10 hari) yang telah terbentuk dua inti hasilmitosis di kantong embrio.
viii
Media terbaik untuk menginduksi kalus pada androgenesis ialah mediumpadat AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ ). Mediaterbaik untuk menginduksi kalus pada ginogenesis ialah media M10 (MS + 4,52µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa). Media untuk menginduksi embriolangsung dari kultur ovari medium M6 (WT + 0.25 mgL-1 2,4-D+ 0.01 mgL-1
NAA + 0,5 mgL-1 TDZ + 30 g L-1 sukrosa). Medium regenerasi kalus yangterbaik ialah medium R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1
sukrosa).Penelitian androgenesis belum mengasilkan tanaman haploid. Sampel
kalus androgenik yang dianalisis memiliki tingkat ploidi diploid, sedang daripenelitian ginogenesis telah dihasilkan tanaman putatif haploid ganda melaluikultur irisan multi ovul dan kultur ovari. Satu tanaman haploid ganda hasil kulturirisan multi ovul telah di uji melalui selfing atau sibling (penyerbukan sendiri) dandiperoleh keturunan yang seragam. Kultur irisan multi ovul menghasilkan mutan-mutan abnormalitas pembungaan.
Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapatmenginduksi partenogenesis Dianthus sp. dan menghasilkan tujuh tanamanhaploid (PF69.1, PF69.2; C11; D231, D9.1; D9.2 dan D19.1). Pengandaankromosom spontan terjadi pada D9.1. Frekuensi tanaman haploid yang diperolehpada percobaan pseudofertilisasi adalah 5,10%.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ginogenesis melaluikultur irisan multi ovul, kultur irisan ovary, kultur ovari dan pseudofertilisasilebih efektif untuk menginduksi tanaman haploid dan haploid ganda dibandingkanandrogenesis. Dari ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul dan kultur ovaridiperoleh dua putatif tanaman haploid ganda, sedang dari kultur irisan ovaridiperoleh satu putatif tanaman haploid. Ginogenesis melalui pseudofertilisasimenghasilkan tujuh tanaman haploid
Kata kunci: androgenesis, ginogenesis, pseudofertilisasi, haploid, Dianthus sp.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPB.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis inidalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
x
HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESISDAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)
SUSKANDARI KARTIKANINGRUM
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
xii
Penguji Luar Komisi
Penguji pada Ujian Tertutup :
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, MS.(Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB)
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc.(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. Ir. Yusdar Hilman, MS, APU(Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Kementrian Pertanian)
Dr. Ir Syarifah Iis Aisyah, MSi.(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB)
Judul Disertasi : Haploidisasi melalui Androgenesis dan Ginogenesis padaaAnyelir (Dianthus sp.)
Nama : Suskandari Kartikaningrum
NRP : A 263080031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr.Ketua
Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc. Dr. Ir. Budi Marwoto, MS Dr. Ir. Dewi Sukma, SP, MSiAnggota Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pemuliaan Dekan Sekolah PascasarjanaDan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 30 Oktober 2012 Tanggal Lulus:
xiv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segalarahmat dan karunia Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi inidengan judul Haploidisasi melalui Androgenesis dan Ginogenesis pada Anyelir(Dianthus sp.).
Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. AgusPurwito, M.Sc Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Gustaaf AdolfWattimena MSc., Dr. Ir Budi Marwoto, MS APU, dan Dr. Dewi Sukma, SP. MSi,selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritikan,saran dan masukan yang sangat berharga sejak persiapan, pelaksanaan penelitianhingga selesainya penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasihkepada Prof. (Riset) Dr. Ika Mariska, MSc dan Dr. Muhamad Syukur, SP, Msi.selaku penguji pada saat ujian pra kualifikasi, Dr. Ir. Ence Darmo Jaya SupenaMS dan Dr. Ir. Endah Retno Palupi MSc. selaku penguji luar komisi pada ujiantertutup, serta Dr. Ir. Yusdar Hilman, MSc. dan Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSiselaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Badan Penelitian danPengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian melalui Bagian PembinaanTenaga serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura yang telahmemberikan kesempatan, kepercayaan dan dukungan biaya selama masa tugasbelajar S3 ini berlangsung. Penghargaan dan terima kasih, penulis ucapkan kepadaKepala Balai Penelitian Tanaman Hias atas fasilitas kebun dan laboratorium sertamateri yang disediakan.
Kepada teman-teman peneliti Dr. Drs Budi Winarto, Ir. MinangsariDewanti, MP, Dr. Dra. Sri Rianawati, MSi., Ir. Dedeh Siti Badriah, Msi., RidhoKurniati, SP MSi, Dra. Dyah Widiastoety, MS dan Dr. Ir. Marcia BungaPabendon, MP yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang berharga.Terima kasih juga penulis ucpakan kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi diSegunung, Cipanas dan Pasar Minggu yang telah banyak membantu di lapang danlaboratorium, serta teman seperjuangan dari Badan Litbang Ir. Sesanti Basuki MPhil., Ir. Agus Sutanto MSc. dan Dr. Ir. Ika Roostika, MSi untuk dorongansemangat dan persahabatannya. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasihkepada Pak Joko Marwanto (Faperta IPB), Pak Fajar (LIPI), Pak Ujang Hafid(LIPI), Pak Pras (PPSHB IPB), Pak Iwan (FKH IPB) dan Pak Muryanto (Ewindo,Purwakarta) yang telah membantu analisis laboratorium, serta semua pihak yangtelah membantu pelaksanaan penelitian ini.
Ucapan terimakasih khusus atas doa, dorongan dan kasih sayang yangtiada putus dari ayahanda Wiryawan (almarhum) dan ibunda Sri Anitah sertasemua keluarga, kakak dan adik yang telah mendukung dan menguatkan penulisdalam melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa tiada yang sempurna pada karya manusia,sehingga besar harapan penulis atas saran dan kritik membangun demipenyempurnaan disertasi ini. Akhir kata penulis berharap semoga disertasi inibermanfaat dan menjadi acuan dalam pengembangan teknologi haploid demikemajuan florikultura khususnya di Indonesia.
Bogor, Desember2012
Suskandari Kartikaningrum
xvi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 31 Januari 1966 anak ke-2dari tiga bersaudara pasangan suami-istri Wiryawan dan Sri Anitah. PendidikanS1 Agronomi diselesaikannya di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun1989. Pada tahun 1999, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 diUniversitas Padjadjaran Bandung bidang Ilmu Tanaman, Bidang Kajian UtamaIlmu Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian yang diselesaikan pada tahun 2002.Tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studiS3 di Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Pemuliaan dan BioteknologiTanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultuas Pertanian IPB.
Sejak bulan Maret 1994 penulis bekerja di Balai Penelitian Tanaman Hias,Departemen Pertanian, tergabung dalam kelompok peneliti Pemuliaan dan PlasmaNutfah Tanaman Hias. Tugas yang diemban ialah manajemen koleksi plasmanutfah anggrek dan pemulia tanaman anggrek. Sejak tahun 2003 sampai 2009penulis telah melepas delapan varietas anggrek Spathoglottis dan Phalaenopsisserta anggota tim pelepas lima varietas anggrek Spathoglottis dan PhalaenopsisBalithi.
Karya ilmiah berjudul Teknologi Haploid Anyelir: Studi TahapPerkembangan Mikrospora dan Seleksi Tanaman Donor Anyelir, telah diterbitkan(Jurnal Hortikultura 21 (2): 101-112, 2011). Artikel berjudul: Induksi GinogenesisMelalui Kultur Irisan Ovul dan Kultur Irisan Ovari Dianthus chinensis akanditerbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia. Karya ilmiah berjudul InduksiTanaman Haploid Dianthus sp, melalui Pseudofertilisasi Menggunakan Polenyang Diiradiasi dengan Sinar Gamma telah dipresentasikan pada SeminarNasional PERHORTI di Lembang pada tanggal 23-24 Nopember 2011 danterpilih dan dimuat pada Jurnal Hortikultura Indonesia Edisi Agustus-Desember2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xviii
DAFTAR ISIHalaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………… xix
DAFTAR TABEL …………………………………………………… xxi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. xxiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. xxv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………….. 1Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 5Hipotesis ……………………………………………………….. 5Manfaat Penelitian ……………………………………………… 6Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………… 6
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 9
STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA,MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.
Abstrak …………………………………………………………. 17Abstract ………………………………………………………… 18Pendahuluan …………………………………………………….. 19Bahan dan Metode………………………………………………. 20Hasil …………………………………………………………..… 24Pembahasan……………………………………………………… 37Simpulan ………………………………………………………… 39
INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUIANDROGENESIS SECARA IN VITRO
Abstrak …………………………………………………………. 41Abstract ………………………………………………………… 42Pendahuluan …………………………………………………….. 43Bahan dan Metode………………………………………………. 45Hasil …………………………………………………………..… 46Pembahasan……………………………………………………… 52Simpulan ………………………………………………………… 54
INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI GINOGENESISSECARA IN VITRO
Abstrak …………………………………………………………. 55Abstract ………………………………………………………… 56Pendahuluan …………………………………………………….. 57Bahan dan Metode………………………………………………. 58Hasil …………………………………………………………..… 64Pembahasan……………………………………………………… 76Simpulan ………………………………………………………… 80
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus chinensis MELALUIPSEUDOFERTILISASI
Abstrak …………………………………………………………. 81Abstract ………………………………………………………… 82
xx
Pendahuluan …………………………………………………….. 83Bahan dan Metode………………………………………………. 84Hasil …………………………………………………………..… 89Pembahasan……………………………………………………… 106Simpulan ………………………………………………………… 110
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………. 111
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………. 119
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 121
LAMPIRAN …………………………………………………………. 131
DAFTAR TABELHalaman
1 Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap fasepertumbuhan lima genotipe Dianthus chinensis.......................
26
2 Jumlah mikrospora per antera lima genotipe dari spesies Dianthuschinensis...............................................................
28
3 Frekuensi tahap perkembangan serbuk sari D. chinensis Dchi-11berdasarkan ukuran kuncup bunga dan warna antera…………..
29
4 Viabilitas serbuk sari pada lima genotipe dari spesies Dianthuschinensis............................................................................
39
5 Respon empat tahap perkembangan mikrospora genotipe Dchi-11pada berbagai media induksi embrio/kalus ..………………..
31
6 Pengaruh tahap kuncup terhadap terbentuknya kalus pada ovulaatau ovari Dchi-11, 8 minggu setelah tanam ..…………………..
34
7 Respon dua genotipe D. chinensis (rataan persentase terbentuknyakalus dan waktu terbentuknya kalus) pada media induksi kalus ……
48
8 Pengaruh media terhadap persentase antera membentuk kalus danwaktu terbentuknya kalus pada genotype D. chinensis …..
48
9 Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persenkalus yang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asaldan media regenerasi ……………………….………………
50
10 Interaksi media dengan genotipe terhadap persen hasilpembentukan kalus pada kultur irisan multi ovul pada umur 4 MSI(minggu setelah inisiasi)……………………………………
65
11 Regenerasi kalus empat genotipe Dianthus chinensis hasil kulturirisan multi ovul
66
12 Organogenesis kalus dan saat munculnya tunas genotipe D.chinensis Dchi-11 pada media regenerasi R7 dan Dchi-15 padamedia regenerasi R11 dari media asal M10 …………..………..
69
13 Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukankalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi…………………………………………………..
74
14 Organogenesis dari kalus pada genotipe dari jenis eksplan irisanovari, genotipe dan media asal pada kultur irisan ovari …….…..
75
15 Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dariovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasidengan sinar gamma ………………………………….
90
16 Jumlah biji yang tumbuh setiap ovari hasil pseudofertilisasi 9117 Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata
enam genotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi denganpolen yang diiradiasi sinar gamma ………………………………...
92
18 Jumlah dan karakteristik buah yang dipanen dan biji yang diperolehsetelah penyerbukan D. chinensis Dchi-11 dengan serbuk sari D.chinensis Dchi-14 yang diradiasi dengan sinar gamma…………...
98
19 Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap perkecambahan bijidan kualitas planlet setelah 4 bulan dan 7 bulan hasilpseudofertilisasi ……………………………………………………..
99
20 Hasil aklimatisasi 23 regeneran hasil pseudofertilisasi ………… 103
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman1 Bagan alir kegiatan penelitian ………………………………. 72 Morfologi bunga lima genotipe Dianthus chinensis (A) Dchi-11,
(B) Dchi-12, (C) Dchi-13, (D) Dchi-14 dan (E) Dchi-1520
3 Perkembangan kuncup bunga, ovari dan antera Dianthuschinensis Dchi-11. T1 sampai T10 adalah 4 sampai 13 harisetelah inisiasi bunga …………………………...........................
25
4 Tahap perkembangan serbuk sari. …………………………… 275 Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap
perkembangan bunga Dianthus chinensis. ……………………28
6 Hubungan antara panjang kuncup dengan umur kuncup dantahap perkembangan serbuk sari Dianthus chinensis Dchi-11.
29
7 Hasil pewarnaan serbuk sari dengan FDA Dchi-15..................... 308 Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur .......................... 329 Histologi kultur antera ………………………………………. 3210 Irisan melintang dan membujur kuncup bunga dan ovul .... 3311 Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus
chinensis ……………………………………………………………..47
12 Verifikasi media AD4 kultur antera ………………………… 4913 Regenerasi kalus hasil kultur antera ………..…………………. 5014 Histogram DNA hasil analisis flow cytometry …………………. 5215 Eksplan ovul dan ovari …………………………………..…… 5916 Pembentukan kalus eksplan irisan multi ovul……………….. 6417 regenerasi dari kalus yang terinduksi membentuk bunga tidak lengkap 6618 Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul …….. 6719 Hasil analisis isozim dengan enzim …………………………. 6820 Diagram persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-11 dan
Dchi-15 pada media M10 dan M11 pada kultur multi ovul …..68
21 Pembentukan kalus dan regenerasi kalus menjadi tunas padagenotype Dchi-11 dan Dchi-15 dari media asal M10 ……….
70
22 Histogram DNA hasil analisis flow cytometry ………………… 7023 Kultur ovary ………………………………………………….. 7124 Analisis ploidi pada regeneran Dchi-15 hasil kultur ovari …….. 7225 Variasi warna dan bentuk bunga dan ketebalan warna putih pada
tepi bunga tanaman donor dan hasil kultur ovari Dchi-15…….72
26 Hasil analisis isozim dengan enzim ……………………………. 7327 Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari setiap genotipe
pada media induksi …………………………………………….74
28 Persentase pembentukan kalus yang berasal dari eksplan irisanovari genotipe Dchi-11dan Dchi-13 pada 3 macam media………..
75
29 Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari … 7630 Mutan pembungaan homeotik ABC pada Dianthus chinensis 77
xxiv
31 Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yangdikecambahkan pada larutan sukrosa 15%.……………………..
89
32 Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari …………….. 9033 Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus
chinensis hasil pseudofertilisasi ………………………………...92
34 Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat duasel dengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30(panah hitam), jumlah kromosom 15 (panah merah)……………
92
35 Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanamanPF69.1 dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi ……………………..
93
36 Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanamanPF89 hasil pseudofertilisasi …………………………………………
94
37 Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanamanPF35.1 hasil pseudofertilisasi …………………………………..
94
38 Pertumbuhan planlet in vitro dan tanaman hasil pseudofertilisasi 9539 Hasil analisis isozim dengan enzim …………………………. 9640 PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasil
pseudofertilisasi ………………………………………………..97
41 Persentase perkecambahan serbuk sari D. chinensis Dchi-14, 24jam setelah iradiasi sinar gamma ………………………………..
97
42 Persentase pembentukan buah pada D. chinensis yangdiseerbuki dengan serbuk sari yang diradiasi dengan berbagaidosis sinar gamma ……………………………………………..
98
43 Grafik hubungan antara dosis iradiasi sinar gama terhadappersentase abnormal planlet D. chinensis setelah 4 bulan dan 7bulan ………………………………………………..…………
99
44 Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasidengan sinar gamma pada dosis 100-300 Gy …………….……
100
45 Pertumbuhan planlet normal dan planlet yang diduga haploid,bentuk daun variegata serta jumlah kloroplas di sel penjagastomata ………………………………………………………..
101
46 Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer padatanaman D9.2 hasil pseudofertilisasi ……………………………
102
47 Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer padatanaman C11, D9.1, D19.1, D231……………………………..
102
48 Empat genotipe haploid dan haploid ganda hasilpseudofertilisasi yang sudah berbunga ..........…………………
104
49 Tanaman hasil pseudofertilisasi E30d-1, hasil penyerbukandengan serbuk sari yang diirdiasi dengan sinar gamma 300 Gy.
105
50 Bunga dari tanaman donor dan bunga dari tanaman hasilpseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diradiasi dengan sinargamma pada dosis 100-200 Gy …………………………………
105
DAFTAR LAMPIRANHalaman
1 Rata-rata ukuran bagian-bagian bunga pada lima genotipe 130
2 Tabel komposisi media dasar yang digunakan 131
3 Komposisi dan formula media dasar untuk embriogenesis 132
xxvi
GLOSSARY
Androgenesis adalah proses terbentuknya tanaman yang diinisiasi dari gametjantanBinucleate adalah tahap mikrospora berinti dua (inti vegetatif dan generatif)Dediferensiasi adalah proses berubah kembalinya eksplan yang tadinya sudahterspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik.Dihaploid adalah tanaman haploid (n=2x) yang mengandung dua set kromosomyang berasal dari tanaman tetraploid (2n=4x)Diploid adalah sel yang mengandung dua set kromosom (2n = 2x)Double haploid adalah penggandaan kromosom haploid menjadi diploid yanghomosigotEmbryo rescue adalah penyelamatan embrio muda yang tidak dapat berkembangmenjadi embrio dewasaEndoreduplikasi adalah penggandaan kromosom tanpa sitokinesis.Gametofitik adalah generasi seksual (proses pembentukan gamet)Gynogenesis adalah proses terbentuknya tanaman yang diinisiasi dari gametbetinaHaploid adalah tanaman (sporofitik) yang mengandung jumlah kromosom gamet(n)Haploidisasi adalah proses mendapatkan tanaman haploidKultur irisan multi ovul adalah kultur dengan eksplan yang berasal dari irisanporos bunga yang berisi ovul lebih dari satuKultur irisan ovary (ovary slice) adalah kultur dengan eksplan yang berasal dariirisan ovari yang mengandung lebih dari satu ovul secara melintangMeiotic sieve adalah pengaturan kembali kromosom setelah mengalami radiasiKultur multi ovul adalah eksplan dalam bentuk poros bunga utuh berisi banyakovulOrganogenesis adalah proses pembentukan organ-organ tanaman seperti akar,batang, daun dan bungaKultur ovari adalah kultur dengan eksplan dalam bentuk ovari yang mengandungbanyak ovul di dalamnyaPartenogenesis adalah proses berkembangnya embrio haploid dari sel telur tanpaproses fertilisasiPolihaploid adalah gamet (n) yang memiliki lebih dari satu set kromosomPseudofertilisasi adalah proses penyerbukan (polinasi) tanpa fetilisasiRegenerasi adalah proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang bertujuanuntuk mengisi ruang tertentu pada jaringan atau mempebaiki bagian yang rusakSemigami adalah inti sperma memasuki sel telur tetapi tidak berfusi dengan intisel telur. Setiap inti masing-masing membelah membentuk embrio haploid yangmengandung sektor asal jantan dan betinaSporofitik adalah generasi aseksualUninucleate adalah tahap mikrospora berinti tunggal
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anyelir atau carnation (Dianthus sp.) merupakan salah satu tanaman hias
penting (Leshem 1990; Fisher et al. 1993). Menurut Plasmeijer & Yanai (2006)
dalam laporan Market News Service di Asia dan Eropa, pasar anyelir menduduki
ranking ke 4 setelah mawar, krisan dan garbera. Sementara di Indonesia menurut
data Biro Pusat Statistik 2012 produksi tanaman anyelir di Indonesia masih sangat
rendah, menempati urutan ke enam setelah krisan, mawar, sedap malam, gladiol
dan gerbera.
Salah satu kendala dalam sistem usaha tani anyelir domestik adalah
ketergantungan benih dari luar negeri. Benih sangat penting dalam budidaya
anyelir, karena 30-35% biaya produksi digunakan untuk pembelian benih (BI
2004). Benih anyelir didatangkan dari Belanda, Spanyol dan Vietnam (Satsijati et
al. 2004). Untuk mengatasi masalah ketergantungan penggunaan benih impor,
maka perlu upaya untuk merakit kultivar unggul yang memiliki nilai kompetisi
yang tinggi di pasaran. Hal ini penting untuk mengoptimalkan keuntungan yang
diterima petani. Optimasi keuntungan dapat diperoleh melalui peningkatan
efisiensi produksi. Situasi ini akan menjadi tantangan serius bagi para pemulia
untuk saling berlomba mendapatkan kultivar unggul baru, agar industri tanaman
hias menjadi tangguh (Marwoto et al. 1995).
Tanaman haploid menarik perhatian utama para ahli genetika dan pemulia
tanaman, karena melalui penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid
ganda yang homosigot. Tanaman homosigot dapat diperoleh secara konvensional,
tetapi diperlukan prosedur lebih dari enam kali generasi inbreeding, sedangkan
melalui teknologi haploid dapat dicapai dalam satu kali generasi.
Haploid merupakan istilah umum untuk tanaman yang mengandung
jumlah kromosom gamet (n). Pada tanaman diploid (2n), haploid dapat disebut
dengan monoploid (x) karena hanya memiliki satu set kromosom. Pada tanaman
poliploid, haploid (n) yang memiliki lebih dari satu set kromosom disebut dengan
polihaploid. Tanaman haploid dari autotetraploid (2n=4x) memiliki empat set dari
satu genom yang disebut dengan dihaploid (karena n = 2x). Jika jumlah
kromosom haploid (n=x) digandakan, disebut dengan double haploid atau haploid
ganda dan bukan dihaploid. Dihaploid bukan homosigus karena mewakili dua set
2
kromosom terseleksi dari empat set dalam autotetraploid, sedangkan haploid
ganda dari monoploid atau suatu allohaploid pasti homosigus lengkap (Kasha
2005).
Tanaman haploid ganda memiliki beberapa kegunaan dalam program
pemuliaan, yaitu digunakan sebagai tetua dalam pembentukan varietas hibrida F1
dan untuk studi pewarisan karakter. Haploid ganda juga bermanfaat dalam proses
seleksi, terutama untuk karakter-karakter poligenik, karena rasio genetiknya
menjadi lebih sederhana. Kegunaan lain yaitu untuk mendapatkan genotipe
tertentu dan jumlah tanaman yang ditapis lebih sedikit. Selain itu tanaman haploid
ganda berguna untuk studi yang terkait dengan karakter resesif, karena sifat
resesif dapat terekspresi pada fenotipe tanaman. Menurut Reinert et al. (1975)
tanaman haploid berguna untuk studi mutasi dan seleksi.
Proses untuk mendapatkan tanaman haploid yang biasanya berasal dari sel
diploid (2n) dikenal dengan nama haploidisasi. Beberapa upaya telah dilakukan
untuk memproduksi tanaman haploid, diantaranya ialah persilangan tanaman
kerabat jauh, perlakuan fisik dan kimiawi, penggunaan serbuk sari yang diiradiasi
dan penundaan penyerbukan. Dengan makin banyaknya teknik yang
dikembangkan untuk menginduksi tanaman haploid, maka penelitian untuk
mendapatkan tanaman haploid juga makin berkembang.
Pengembangan teknologi haploidisasi merupakan salah satu terobosan
teknologi yang dapat diharapkan untuk membangun dan mendorong kebangkitan
florikultura di Indonesia. Melalui teknologi ini, tanaman homozigot murni akan
dihasilkan. Persilangan antara tanaman homozigot akan dihasilkan tanaman
hibrida baru dan benih berkualitas dalam jumlah yang besar, stabil dan seragam.
Ini berarti keberhasilan pengembangan teknologi pada tanaman hias secara
langsung akan bermanfaat dalam penyediaan benih yang berkualitas melalui
persilangan konvensional sekaligus menghasilkan varietas unggul baru.
Pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam bidang pemuliaan tanaman telah
banyak diaplikasikan dan memberi dampak nyata terhadap kemajuan program
pemuliaan pada tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Maluszynski et al.
2003; Thomas et al. 2003). Aplikasi metode in vitro untuk mendapatkan tanaman
haploid meliputi androgenesis melalui kultur antera atau kultur serbuk sari) dan
ginogenesis (kultur ovul atau kultur ovari yang belum dibuahi) (Radzan, 1993;
Maluszynski et al. 2003). Pada androgenesis, pertumbuhan serbuk sariataupolen,
dipicu melalui induksi yang diarahkan untuk tidak membentuk serbuk sari,
3
melainkan membentuk embrio. Induksi perkembangan sel sporofitik hanya
mungkin dilakukan pada tahap awal perkembangan serbuk sari, pada saat serbuk
sari memperlihatkan totipotensi (Toraev et al. 2001).
Aplikasi kultur antera atau serbuk sari pada tanaman hias sampai saat ini
masih terbatas. Beberapa tanaman yang telah dilaporkan menggunakan teknik ini,
di antaranya Lilium sp. (van den Bulk et al. 1992; Han et al. 1997), Tulipa sp.
(van den Bulk et al. 1994), Helianthus sp. (Coumans & Zhon, 1995), Petunia
(Mohan & Bhalla-Shari, 1997), dan Camelia japonica (Pedroso & Pai, 1997).
Meskipun kultur antera di beberapa spesies telah dilakukan untuk induksi
embriogenesis somatik (Achar 2002; Germanà 2003; Kikkert et al. 2005;
Rimberia et al. 2005), tetapi hanya sedikit laporan hasil penelitian mengenai
kultur antera anyelir (Dolcet-Sanjuan et al. 2001).
Upaya untuk mendapatkan tanaman haploid pada tanaman anyelir sudah
dilakukan oleh Fu et al. (2008) melalui kultur antera. Namun tidak diperoleh
tanaman haploid maupun haploid ganda. Hasil analisis histologi menunjukkan
bahwa tanaman berasal dari dinding sel antera, dengan konstitusi genetik diploid
dan tetraploid. Ketidakberhasilan induksi tanaman haploid dari antera ini
kemungkinan disebabkan oleh belum tepatnya stadia mikrospora, belum tepatnya
media yang digunakan, praperlakuan dan kombinasinya yang belum sesuai atau
kemungkinan penggunaan metode androgenesis tidak tepat. Untuk mendapatkan
tanaman haploid, metode lain seperti ginogenesis dan penggunaan serbuk sari
yang diiradiasi untuk pseudofertilisasi perlu dipelajari.
Pada beberapa penelitian, ginogenesis merupakan metode alternatif lain
untuk memperoleh tanaman haploid. Ginogenesis mirip dengan partenogenesis
apomiktik, sehingga pemahaman proses yang mengatur embriogenesis spontan
(terjadi tanpa fertilisasi), berkontribusi terhadap perkembangan metode
ginogenesis secara in vitro. Gen-gen yang bertanggungjawab terhadap inisiasi
perkembangan embrio apomiktik dari sel telur yang tidak dibuahi berperan dalam
ginogenesis (Wędzony et al. 2009). Regenerasi haploid ginogenik secara luas
digunakan untuk metode induksi haploid dimana megagametofit yang digunakan
berasal dari sel-sel haploid, termasuk pseudofertilisasi. Sebagian besar penelitian
menunjukkan bahwa sel telur merupakan sumber dari embrio haploid pada
tanaman Beta vulgaris (Ferrant & Bouharmont 1994), Allium cepa (Musial et al.
2001, 2005), Helianthus annuus (Gelebart & San 1987), Hevea brasiliensis (Guo
4
et al. 1982), Hordeum vulgare (Huang et al. 1982), Melandrium album (Mol
1992) dan Nicotiana tabacum (Wu & Chen 1982).
Partenogenesis yang diinduksi dengan serbuk sari yang diiradiasi juga
dapat menghasilkan tanaman haploid. Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan
serbuk sari yang diradiasi diikuti dengan penyelamatan embrio yang
menghasilkan tanaman haploid telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman
buah-buahan yaitu plum (Peixe et al. 2000), kiwi (Chalak and Legave, 1997,
Musial et al. 1998), melon ( Katoh et al. 1993), jeruk (Bermejo et al. 2011). Pada
tanaman hias telah dilakukan pada primula (Carraro et al. 1990), bunga matahari
(Todorova et al. 2004), mawar (Meynet et al. 1994), anyelir (Dianthus
caryophillus) (Sato et al. 2000) dan tanaman lain seperti kapas (Aslam 2000;
Savaskan 2002).
Teknologi haploidisasi ini penting dilakukan pada anyelir karena
perkembangan pemuliaan anyelir di Indonesia yang masih lambat dibandingkan
dengan tanaman hias lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa selain
benihnya yang masih impor dengan informasi tetua persilangan yang terbatas,
maka hasil pemuliaan hanya tertuju pada menghasilkan varietas baru yang
memiliki warna bunga yang berbeda-beda saja. Karakter-karakter penting lain
seperti ketahanan simpan, ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik belum
menjadi penelitian utama. Penelitian radiasi pada anyelir juga belum dapat
meningkatkan variasi pada anyelir. Banyak pola pewarisan karakter pada anyelir
yang belum terungkap karena bersifat resesif, sehingga dengan teknologi haploid
ini akan diperoleh karakter-karakter lain yang selama ini tertutupi oleh karakter
yang dominan.
Mengingat aplikasi teknologi ini pada tanaman anyelir masih jarang,
maka pengembangan penelitian ini akan dimulai dari studi tanaman donor, kajian
khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi, histologi
maupun mikroskopi), perkembangan serbuk sari dan ovul, metode isolasi;
pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; perkecambahan
embrio; analisis ploidi akan menjadi hal penting yang akan dikaji dan dipelajari
dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian
mendasar tersebut diharapkan pada akhir studi dapat ditemukan teknologi haploid
anyelir yang efektif, efisien, dapat diulang dengan hasil yang sama (reproducible)
dan mudah diulang (repeatable).
5
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ialah mendapatkan teknologi haploidisasi yang
sesuai untuk pembentukan tanaman haploid dan mendapatkan tanaman
homozigot murni tanaman Dianthus chinensis yang dapat digunakan dalam
pembentukan varietas baru dan pembuatan benih hibrida. Tujuan utama tersebut
dijabarkan dalam setiap percobaan dengan tujuan khusus:
1. Menentukan indikator morfologi dari tahap perkembangan kuncup, stadia
perkembangan serbuk sari late uninukleat dominan serta stadia ovul yang
tepat untuk digunakan dalam kultur antera, ovul dan pseudofertilisasi.
2. Mendapatkan media yang sesuai untuk menginduksi androgenesis dan
mendapatkan tanaman haploid melalui androgenesis.
3. Mendapatkan metode kultur ovul atau ovari untuk menghasilkan tanaman
haploid, media yang sesuai untuk menginduksi ginogenesis, dan tanaman
haploid melalui ginogenesis.
4. Mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang dapat menonaktifkan serbuk
sari untuk pseudofertilisasi dan mendapatkan tanaman haploid melalui
penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma.
Hipotesis
1. Stadia kuncup bunga dengan serbuk sari pada stadia late uninukleat dan ovul
pada stadia setelah meiosis merupakan fase terbaik untuk menginduksi
pembentukan embrio kalus
2. Media dengan perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan
menghasilkan embrio atau kalus yang dapat beregenerasi menjadi tanaman
haploid.
3. Metode isolasi kultur ovul atau ovari pada media yang mampu menginduksi
kalus ginogenik yang tepat akan dapat menghasilkan tanaman haploid.
4. Dosis iradiasi sinar gamma yang mampu menonaktifkan serbuk sari akan
mampu menginduksi embrio partenogenik yang akan menghasilkan tanaman
haploid.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain:
6
1. Protokol kultur ovul dan pseudofertilisasi dapat digunakan untuk
memproduksi tanaman haploid dan haploid ganda pada tanaman Dianthus
yang lain.
2. Tanaman haploid ganda dapat langsung dimanfaatkan sebagai tetua dalam
persilangan konvensional untuk menghasilkan kultivar hibrida F1.
3. Tanaman haploid yang membawa satu alel setiap gen dapat digunakan untuk
mempelajari mutasi dan pewarisan karakter
Ruang Lingkup Penelitian
Tanaman haploid ganda sebagian besar digunakan untuk tetua pembentuk
varietas hibrida F1 dalam program pemuliaan. Tanaman haploid ganda dapat
dilakukan melalui androgenesis, ginogenesis dan eliminasi kromosom. Untuk
mendapatkan tanaman haploid ganda pada tanaman Dianthus sp, dapat diperoleh
melalui androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi yang diikuti dengan
penggandaan kromosom. Untuk itu perlu pengetahuan mengenai biologi bunga
dan media untuk regenerasi tanaman haploid. Penelitian melingkupi empat aspek
yaitu: (1) studi tahap perkembangan kuncup bunga serbuk sari dan ovul, (2)
induksi haploid melalui androgenesis dan ginogenesis secara in vitro (3) induksi
tanaman haploid melalui pseudofertilisasi.
7
Bagan alir penelitian
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian
7
Bagan alir penelitian
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian
7
Bagan alir penelitian
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
Dianthus chinensis L.
Dianthus termasuk dalam tanaman dikotil dari family Caryophyllaceae
(Bunt & Cockshull 1985). Famili Caryophyllaceae terdiri atas 80 genera dan 2000
spesies baik tanaman annual ataupun perennial, sebagian besar berbentuk herba
yang tumbuh di belahan bumi bagian utara. Genus Dianthus memiliki dua
kelompok yaitu carnation dan pinks. Di Indonesia carnation dikenal dengan nama
anyelir, sedangkan pinks adalah nama lain dari species chinensis. Pada penelitian
ini nama anyelir digunakan untuk memberi nama Dianthus chinensis agar lebih
dikenal dibandingkan dengan nama pink. Anyelir komersial yang ada sekarang
merupakan turunan dari spesies nenek moyang dari Dianthus caryophyllus, yang
berasal dari Eropa bagian selatan dan Asia bagian barat (Mii et al. 1990).
Berdasarkan informasi dari Germplasm Resources Information Network (GRIN),
Dianthus chinensis berasal dari China (Gangsu, Henan, Qinghai, Shandong) dan
India (Uttar Pradesh), dan Nepal.
Daerah tumbuh anyelir adalah daerah subtropik yang terletak pada 30o LU
atau LS yang beriklim sejuk. Di daerah tropik anyelir dapat ditanam di daerah
pegunungan. Suhu optimum untuk pertumbuhan anyelir adalah 10–22oC. Suhu
udara berperan penting dalam perkembangan masa generatif tanaman anyelir.
Pada suhu tinggi bakal bunga akan berkembang lebih cepat, tetapi bunga yang
dihasilkan kecil serta tangkainya kurus dan lemas (Hardjoko, 1999).
Di Indonesia anyelir cocok ditanam di daerah dengan ketinggian di atas
1000 m dpl, yang pada malam hari suhu udara dapat mencapai di bawah 16 oC,
sedangkan suhu pada siang hari dapat mencapai di bawah 30 oC. Suhu optimal
untuk produksi serbuk sari yaitu 23 oC dan suhu di bawah 17 oC akan
menghambat pembentukan stamen (Kho & Baer 1973). Sentra produksi bunga
potong anyelir di Indonesia adalah Cipanas (Jawa Barat) dan Bandungan (Jawa
Tengah) (Satsijati et al. 2004).
Berdasarkan manfaatnya, Dianthus dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu annual carnations (bunga semusim yang biasanya digunakan sebagai bunga
potong), border carnations (dikenal sebagai Dianthus liar atau clove pinks,
biasanya berbentuk semak), dan perpetual flowering carnations (berbunga terus-
menerus yang merupakan hasil persilangan interspesifik antara D. caryopillus
dengan D. chinensis) (Anonim 2005). Berdasarkan pada periode tumbuh, tanaman
10
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu semusim (6-12 months) dan dua
musim/tahunan (2-4 tahun) (Crockett 1972). Pada umumnya anyelir tumbuh
selama dua tahun dengan periode tanam 18-20 bulan (Salinger 1985).
Dianthus chinensis atau lebih dikenal dengan nama Chinese pink, Indian
pink, Japanese pink, Rainbow pink merupakan kerabat Dianthus caryophyllus
yang telah digunakan sebagai materi pemuliaan untuk karakter-karakter unik
seperti ketahanan terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang cepat, adaptasi luas,
dan hasil yang tinggi (Tejaswini 2002). Dianthus chinensis termasuk tanaman
biennial, bentuk tanaman semak, berasal dari Asia Timur. Bunga bervariasi dalam
warna pink atau putih, dengan ujung zig-zag pada bagian tepi. Di Cina D.
chinensis biasanya digunakan sebagai tanaman obat. Beberapa kultivar modern
merupakan keturunan dari persilangan interspesifik antara D. caryophyllus dan D.
chinensis atau kerabat lain (Mii et al. 1990). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van
Putten (1990) spesies-spesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D.
chienensis dan D. superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan
untuk transfer karakter kegenjahan ke tanaman anyelir. Dianthus chinensis
merupakan spesies yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang
serta paling genjah di antara spesies yang lain. Persilangan antara D. caryophyllus
dan D. chinensis menghasilkan varietas yang berbunga lebih awal dan terus
menerus (Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990).
Produksi Haploid dan Haploid Ganda
Aspek yang penting dalam pemuliaan adalah induksi keragaman yang
maksimum dari sumber plasma nutfah untuk efektifitas seleksi dan introduksi
karakter yang lebih baik pada spesies tanaman yang ada. Sejak Bergener
menemukan tanaman haploid pada Datura starmonium pada tahun 1921, pemulia
tanaman mulai bekerja ekstensif untuk mendapatkan tanaman haploid baik secara
in vivo maupun in vitro. Secara alami haploid muncul sebagai hasil dari
parthenogenesis (Wedzony et al. 2009)
Metode untuk mendapatkan tanaman haploid secara in vivo memiliki
frekuensi keberhasilan yang rendah, sebaliknya menggunakan kultur antera atau
polen secara in vitro dilaporkan telah menghasilkan tanaman haploid pada kira-
kira 250 spesies dan tanaman hibrid. Respon yang baik ditunjukkan pada tanaman
terutama dari famili Solanaceae. Pada famili lain seperti Cruciferae, Graminae,
11
Ranunculaceae dan famili lainnya, memungkinkan untuk diinduksi juga melalui
kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid .
Teknik kultur antera pertama kali diperkenalkan oleh Guha dan
Maheshwari (1964, 1966) pada Datura innoxia Mill, kemudian berkembang pesat
dan diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman (Maluszynski et al., 2003). Sifat
totipotensi pada sel mikrospora berpengaruh terhadap diperolehnya tanaman
haploid. Pada kondisi yang sesuai, perkembangan sel polen dapat diubah dari
pembentukan polen (jalur gametofitik) ke pembentukan embrio (jalur sporofitik),
tanaman haploid dan/atau haploid ganda (Supena, 2004). Tanaman haploid ganda
terbentuk akibat terjadinya penggandaan spontan atau melalui proses
penggandaan kromosom tanaman haploid.
Status Teknologi Haploid pada Anyelir
Penelitian tentang haploidisasi tanaman anyelir (Dianthus caryophillus)
masih jarang dilakukan. Penelitian androgenesis melalui kultur antera pada
tanaman Dianthus sp sebagian besar melalui tahap kalus (Mosquera et al. 1999).
Kultur antera pada anyelir pertama kali dilakukan oleh Mosquera et al. (1999),
dan dihasilkan kalus embriogenik, tetapi hanya diperoleh satu planlet yang dapat
diregenerasi dan tidak dijelaskan apakah diperoleh tanaman haploid atau haploid
ganda.
Perkembangan penelitian haploidisasi pada anyelir menjanjikan setelah
Sato et al. (2000) mendapatkan tanaman haploid ganda melalui pseudofertilisasi
menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar X sebagai sumber gamet
jantan. Kemudian dengan metode yang sama Dolcet-Sanjuan et al. (2001)
mendapatkan haploid ganda tanaman anyelir yang tahan terhadap Fusarium
oxysporum f. sp. dianthi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar
Gamma. Menurut Dolcet-Sanjuan et al. (2001), protokol untuk produksi tanaman
haploid dan haploid ganda anyelir belum pernah dipublikasi. Hasil penelitian
kultur antera Fu et al. (2008) menggunakan spesies dari Dianthus chinensis
dikombinasikan dengan beberapa macam praperlakuan juga belum diperoleh hasil
yang memuaskan. Hasil pengamatan sitologi dan histologi menunjukkan bahwa
planlet yang diregenerasi berasal dari dinding antera. Dari perkembangan hasil-
hasil penelitian haploidisasi yang telah dilakukan ini, maka percobaan penelitian
12
yang akan dilakukan yaitu dengan mengkombinasikan prosedur-prosedur dari
penelitian sebelumnya.
Faktor yang mempengaruhi induksi haploid/haploid ganda
Menurut Wedzony et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi induksi
haploid/haploid ganda ialah (1) genotipe dari tanaman donor, (2) kondisi
fisiologis tanaman donor (contoh pertumbuhan pada suhu lebih rendah dan
pencahayaan yang tinggi), (3) tahap perkembangan serbuk sari dan ovul, (4)
praperlakuan (contoh perlakuan suhu rendah pada bunga untuk dikultur, perlakuan
panas pada kultur serbuk sari), (5) komposisi media kultur (termasuk perlakuan
cekaman karbohidrat atau starvasi atau elemen makro diikuti dengan subkultur
pada media regenerasi) dan (6) faktor fisik selama kultur (cahaya, suhu).
Induksi Haploid dan Haploid Ganda
1. Induksi in vitro haploid melalui Androgenesis
Androgenesis ialah proses induksi dan regenerasi haploid dan haploid
ganda yang berasal dari sel gamet jantan (Bohanec 2009, Wedzony et al. 2009).
Metode ini banyak digunakan dan efektif pada beberapa spesies tanaman dan
berpotensi untuk eksploitasi pada tanaman-tanaman komersial (Murovec &
Bohanec 2012). Metode ini berdasar pada kemampuan serbuk sari dan serbuk sari
yang belum masak mengubah lintasan perkembangannya dari gametofitik
(pembentukan serbuk sari masak) ke sporofitik menghasilkan pembelahan sel
pada level haploid diikuti pembentukan kalus atau embrio pada media kultur
(Murovec & Bohanec 2012).
Androgenesis dapat diinduksi dengan mengkultur antera yang belum
masak secara in vitro. Metode yang digunakan sederhana dengan terdiri atas
sterilisasi kuncup bunga diikuti dengan pemisahan antera pada kondisi aseptik.
Antera diinokulasi pada media padat, semi padat atau media cair atau media dua
lapis padat dan cair. Kultur antera merupakan teknik induksi haploid pertama
yang ditemukan yang cukup efisien untuk tujuan pemuliaan tanaman
(Maluszynski et al., 2003). Androgenesis dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik
dan abiotik. Tahap perkembangan gamet jantan pada saat antera atau mikrospora
diisolasi, dikombinasikan dengan perlakuan stress yang tepat merupakan faktor
utama yang menentukan respon androgenetik (Murovec & Bohanec 2012).
13
2. Induksi in vitro haploid melalui Ginogenesis
Induksi secara in vitro haploid maternal yang dikenal dengan ginogenesis
merupakan lintasan lain untuk memproduksi embrio haploid dari gamet betina.
Metode ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro bagian-bagian bunga yang
tidak diserbuki, seperti ovul, plasenta di mana ovul melekat, ovari. Meskipun
regeneran ginogenik menunjukkan stabilitas genetik yang lebih tinggi dan laju
tanaman albino yang lebih rendah dibandingkan dengan regeneran androgenik,
namun metode ginogenesis digunakan pada tanaman yang sulit diinduksi dengan
metode lain seperti androgenesis dan metode penyerbukan lain (Bohanec 2009).
Induksi ginogenesis menggunakan bagian bunga yang belum diserbuki telah
berhasil pada beberapa tanaman seperti bawang, gula bit, mentimun, labu,
gerbera, bunga matahari, gandum, barley dan lain-lain. Namun hanya bawang dan
gula bit yang telah diaplikasikan dalam program pemuliaan (Murovec & Bohanec
2012).
Kantong embrio yang masak berisi beberapa sel haploid seperti sel telur,
sinergid, antipodal dan inti polar yang tidak dibuahi, secara teori mampu
membentuk embrio haploid. Pada kondisi optimal, sel telur di ovul pada spesies
yang responsif mengalami perkembangan sporofitik dan dapat mengalami
perkembangan menjadi tanaman haploid (Bohanec 2009).
Pada tanaman bawang rata-rata frekuensi embrio yang dapat diinduksi
bervariasi antara 0% (aksesi yang tidak respon) sampai 18,6-22% (aksesi yang
sangat respon), di mana tanaman donor individu memproduksi lebih dari 51,7%
embrio. Tingginya frekuensi produksi haploid diuji dalam dua tahun berturut-turut
dan menunjukkan kestabilan dari tahun ke tahun (Bohanec & Jakse 1999).
3. Induksi in situ haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yangdiiradiasi
Induksi haploid secara maternal dapat dilakukan dengan penyerbukan
menggunakan serbuk sari yang diiradiasi. Kemudian penyerbukan dapat diikuti
dengan pembuahan sel telur dan perkembangan embrio, namun tahap selanjutnya
inti paternal tereliminasi pada tahap awal embriogenesis atau permbuahan sel
telur tidak terjadi (Murovec & Bohanec 2012).
14
Penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan metode lain
untuk menginduksi haploid maternal menggunakan penyerbukan intraspesifik.
Namun cara ini sangat rumit karena harus mengisolasi ovul yang telah distimulasi
dengan polen yang dinonaktifkan dengan iradiasi sinar x atau sinar gamma, diikuti
dengan penyelamatan embrio. Perkembangan embrio distimulasi oleh
perkecambahan serbuk sari pada stigma dan pertumbuhan dari tabung serbuk sari
di dalam stilus, meskipun serbuk sari yang telah diiradiasi tidak dapat membuahi
sel telur. Metode ini telah berhasil dilakukan pada spesies-spesies tanaman buah-
buahan, tanaman hias dan tanaman industri seperti kapas (Aslam 2000; Savaskan
2002; Murovec dan Bohanec 2012).
Produksi haploid maternal dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari
yang diiradiasi memerlukan pekerjaan emaskulasi, dan dalam kasus tertentu
menunjukkan keterbatasan karena pengerjaannya yang memerlukan banyak
tenaga. Selain itu dosis radiasi juga berpengaruh terhadap produksi tanaman
haploid. Pada dosis yang rendah inti generatif hanya sebagian yang rusak
sehingga masih mampu membuahi sel telur dan menghasilkan embrio yang
banyak tetapi membawa karakter mutant. Peningkatan dosis iradiasi menyebabkan
penurunan jumlah embrio, tetapi diperoleh regeneran yang sebagian besar haploid
(Murovec dan Bohanec 2012).
Fenomena yang muncul dalam kultur antera dan ovul secara in vitro
Teknologi haploid dengan kultur antera dan kultur ovul (tanpa fertilisasi
dan fertilisasi dengan serbuk sari yang dinonaktifkan) ditujukan untuk
menghasilkan tanaman haploid. Mutasi mudah terjadi dalam kultur antera, dalam
bentuk variasi somaklonal akibat dari aplikasi kultur jaringan secara in vitro.
Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman
yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro
(Larkin & Scowcroft 1981)
Dalam kultur antera sering timbul masalah seperti munculnya tanaman
albino dan mutasi dengan frekuensi kejadian bervariasi tergantung tanaman donor
dan kondisi kultur in vitro. Salah satu kejadian yang penting adalah metilasi yang
tidak normal pada DNA tanaman hasil kultur jaringan. Metilasi merupakan proses
penambahan group metil pada cincin sitosin oleh enzim methyltransferase
(Antequera & Bird 1988).
Studi pembungaan pada Arabidopsis melalui jalur vernalisasi melibatkan
metilasi DNA yang mempengaruhi ekspresi gen. Gen FLC yang mengkode
15
protein MADS-box ialah gen yang berperan sebagai repressor pembungaan. Pada
suhu dingin ekspresi gen sangat rendah dan terjadi demetilasi, sehingga proses
pembungaan dapat berlangsung (Finnegan et al. 1998). Abormalitas juga terjadi
pada penentuan identitas organ bunga yang terbentuk karena ketidakseimbangan
dari kelompok gen identitas organ pembungaan yang terkait dengan model
“ABC” dalam perkembangan bunga. Meristem pembungaan dibagi menjadi tiga
kelompok aktivitas gen yang saling overlapping, yang setiap kelompok
merupakan dua lingkaran (whorl) yang berdampingan. Kelompok gen A bekerja
untuk perkembangan sepal dan petal. Ketidakhadiran APETALA1 (AP1) dan
APETALA2 (AP2) menyebabkan sepal dan petal gagal berkembang, sehingga
membentuk mutan ap1 dan ap2. Kelompok gen B bekerja untuk perkembangan
petal dan stamen yang secara normal ditemukan pada lingkaran bunga ke 2 dan 3.
Produk MADS-box gen APETALA3 (AP3), PISTILATA (PI) dan SEPALATA3
(SEP3) berinteraksi menentukan fungsi gen B dan mutan dari kedua gen ini ialah
ap3, pi dan sep3. Sedangkan kelompok gen C untuk perkembangan stamen dan
karpel yang ditemukan pada lingkaran bunga ke 3 dan 4. Aktivitas AGAMOUS
(AG) dan SEPALATA3 (SEP3) berperan mencegah akumulasi dari RNA
APETALA1 pada dua lingkaran bagian dalam (Goto 1996).
16
17
STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA,MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.
Abstrak
Stadia perkembangan mikrospora dan ovul yang tepat sangat menentukankeberhasilan mendapat tanaman haploid melalui androgenesis dan ginogenesis.Tujuan penelitian ialah mendapatkan penanda morfologi bunga dan stadia yangtepat dari perkembangan mikrospora dan ovu. Studi biologi bunga meliputi studitahap perkembangan bunga, penghitungan jumlah dan ukuran mikrospora, rasiotahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora dan seleksi stadiamikrospora dan ovul yang tepat untuk inisiasi kultur mikrospora dan ovul.. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga dan warna anteramerupakan indikator waktu dilakukan pengambilan donor eksplan. D. chinensis“Dchi-11” memiliki jumlah dan viabilitas mikrospora tertinggi (60,36%). Tahapperkembangan mikrospora dengan persentase late-uninucleate tertinggi (44,64%)pada saat ukuran kuncup bunga T2 (ukuran kuncup antara 1,31 – 1,50 cm, warnaantera putih, umur 5 hari, pencoklatan antera paling rendah). Tahapperkembangan ovul T7 (ukuran kuncup antara 1,81 – 2.00 cm, panjang petal 30%lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untukinduksi kultur ovul berdasarkan persentase pembentukan kalus (59,375%) dengantipe kalus remah dan agak remah dan berwarna hijau.
Kata kunci: indikator morfologi, viabilitas mikrospora, tahap perkembangan,mikrospora, ovul.
18
STUDY OF FLOWER BUD DEVELOPMENT, MICROSPOREAND OVULE OF Dianthus chinensis L.
Abstract
The study of anther or microspore and ovule critical development wereimportant to determine the successfull of obtaining haploid plants throughandrogenesis and gynogenesis. The aim of the research was to determinemophological indicator of bud, dominan uninucleate microspore and the rightovule development stage for. Flower biological study comprised study of flowerdevelopment, the number and size of microspore, ratio of microsporedevelopment stage, microspore viability and selection of the right microspore andovule stage for culture initiation of microspore and ovul. The research showedthat bud size and anther color are indicators for isolating donor explants. D.chinensis “Dchi-11” has the highest microspore number and viability (60.36%).Bud size of T2 stage (44,64%, 1.31 – 1.50 cm, white anther color, 5 days old, andthe lowest browning anther) produce the highest late uninucleate microspore.Ovule development of T7 (1.81 – 2,00 cm, the length of petals are 30% longerthan sepals length, 10 days old) was the right stage for ovule culture based onpercentage of callus formation ((59,375%) and friable green callus.
Key words: morphology indicator, microspore viability, flower bud development,microspore, ovule.
19
Pendahuluan
Aplikasi teknologi kultur antera dan ovul pada tanaman anyelir masih
jarang, oleh karena itu pengembangan penelitian ini dimulai dari studi tanaman
donor, kajian khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi
maupun mikroskopi), studi perkembangan mikrospora, metode kultur; pemilihan
pra-perlakuan yang optimal; pengembangan media inisiasi, regenerasi dan
pemasakan embrio; analisis ploidi; penggandaan kromosom yang menjadi bagian
penting dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai
kajian mendasar tersebut pada akhir studi diharapkan dapat ditemukan teknologi
haploid anyelir yang efektif, efisien, mudah diproduksi (reproducible) dan mudah
diulang (repeatable).
Induksi tanaman haploid melalui kultur in vitro antera, ovul dan ovari
yang tidak diserbuki menjadi pendekatan yang biasa dilakukan untuk
mendapatkan tanaman haploid pada beberapa tanaman. Pada beberapa spesies
tanaman, efisiensi induksi haploid sangat bervariasi dan terdapat banyak kendala
yang dapat mengurangi keberhasilan protokol yang telah dihasilkan (Musial et al.
2005). Tahap perkembangan eksplan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi induksi haploid (Yang & Zhou 1982). Namun studi yang berkaitan
dengan tahap perkembangan eksplan sedikit dipublikasi. Pada androgenesis tahap
perkembangan serbuk sarinya mudah diamati, sedangkan pada ginogenik tahap
perkembangan dalam kantong embrio lebih sulit diamati. Hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan pada umumnya tahap perkembangan megagametofit yang
digunakan untuk induksi ginogenik ialah pada tahap kantong embrio masak
(Musial et al. 2005). Namun menurut Bhojwani dan Thomas (2001) pada tahap
kantong embrio muda lebih sesuai untuk diinduksi karena sel gamet betina
melanjutkan perkembangannya sampai sel-sel yang ada dalam kantong embrio
telah berdiferensiasi.
Pada tahap awal studi ini diarahkan untuk mengungkap perkembangan
kuncup bunga secara morfologi terkait dengan penampilan morfologi bunga
(ukuran panjang, lebar diameter bunga, dan waktu bunga mekar), jumlah serbuk
sari, ukuran dan viabilitas serbuk sari, rasio tahap perkembangan serbuk sari serta
anatomi ovul. Aktivitas tahap ini memiliki tujuan utama untuk menyediakan data
dasar terkait dengan pemanfaatannya dalam pengembangan kultur antera dan ovul
anyelir.
20
Tahap perkembangan polen merupakan faktor yang penting untuk
androgenesis in vitro, maka pemilihan tanaman donor untuk studi ini sangat
penting. Berkenaan dengan hal tersebut korelasi antara tahap perkembangan polen
dan morfologi kuncup (panjang petal, munculnya petal dari kelopak dan lain-lain),
bervariasi antara spesies dan umur tanaman donor. Antera yang paling responsif
biasanya pada tahap perkembangan serbuk sari uninukleat yaitu pada tahap antara
tetrad dan mitosis polen pertama (Heberle-Bors 1985). Sementara pada
ginogenesis meskipun gametofit betina melanjutkan perkembangannya selama
kultur in vitro, perkembangan tahap awal kantong embrio sampai tahap masak
perlu diuji untuk melihat potensi perkembangan masing-masing tahap
perkembangannya. Tujuan penelitian adalah menentukan indikator morfologi dari
tahap perkembangan kuncup, stadia perkembangan serbuk sari uninukleat
dominan serta stadia ovul yang tepat untuk digunakan dalam kultur antera, ovul
dan pseudofertilisasi
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Sere
Anyelir, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung, Laboratorium Mikroteknik,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, dan
Laboratorium Anatomi dan Sitologi Puslitbang Biologi LIPI, Cibonong mulai
April 2009 – Maret 2010. Bahan tanaman yang digunakan ialah kuncup dari lima
genotipe Dianthus chinensis Dchi-11, Dchi-12, Dchi-13, Dchi-14 dan Dchi-15
(Gambar 2).
Gambar 2. Morfologi bunga lima genotype Dianthus chinensis (A) Dchi-11, (B)Dchi-12, (C) Dchi-13, (D) Dchi-14 dan (E) Dchi-15
Perkembangan kuncup bunga
Studi biologi ini difokuskan untuk melihat perkembangan bunga sejak
kuncup bunga terlihat hingga bunga mekar sempurna. Berbagai peubah yang
menyangkut ukuran kuncup bunga: panjang, lebar, diameter dan pengamatan
A B C D E
21
antera, serbuk sari dan ovul dari tanaman donor, diamati dan diukur. Studi biologi
ini melibatkan aplikasi anatomi sederhana (baik irisan lintang maupun membujur)
dan pewarnaan (haematoxilin, fuchsin, Metilen-blue, aceto-orcein dan aceto-
carmin) untuk membantu memperjelas pengamatan. Studi ini akan dibandingkan
langsung dengan studi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul untuk
menentukan tahap yang tepat untuk pengambilan tanaman donor.
Perkembangan antera dan serbuk sari
Penghitungan jumlah dan ukuran serbuk sari
Untuk penghitungan jumlah serbuk sari, 2-3 antera dipanen, seluruh
serbuk sarinya dikeluarkan dari kotak spora, kemudian dilarutkan dalam 1 ml
media cair embriogenesis. Suspensi serbuk sari dibuat sehomogen mungkin
melalui pengocokan menggunakan vortex. Setelah dirasa cukup homogen, sampel
dipipet dan diletakkan di atas haemacytometer, dan ditutup dengan gelas penutup,
diamati di bawah mikroskop. Serbuk sari dihitung menggunakan rumus A = (n x
B)/N (Godini 1979), n : jumlah serbuk sari dalam setiap kotak, B = 10.000/jumlah
kotak yang dihitung dan N = jumlah antera yang digunakan. Ukuran serbuk sari
diukur menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Pengukuran
dilakukan sebanyak mungkin mewakili jumlah serbuk sari secara keseluruhan.
Hasil penghitungan dan pengukuran selanjutnya ditampilkan dalam bentuk data
rata-rata dan standar deviasinya untuk setiap tanaman donor.
Studi rasio tahap perkembangan serbuk sari
Tahap perkembangan serbuk sari diamati melalui pewarnaan inti sel
menggunakan 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) (Custers et al, 2001) yang
dilakukan pada Dianthus chinensis. Sebanyak 25 µl larutan serbuk sari
dimasukkan dalam Eppendorf kecil kemudian disentrifugasi pada 4000 rpm
selama 2-4 menit. Supernatan dipipet hingga hanya tersisa pelet dan sesedikit
mungkin supernatan ditambah larutan kerja DAPI dengan konsentrasi 1 µg/ml,
dan diaduk merata menggunakan ujung pipet. Campuran serbuk sari dan larutan
DAPI dipipet dan letakkan di atas kaca obyek ditutup dengan gelas penutup, dan
dibiarkan minimal 4 jam (1 malam) pada suhu 4ºC. Setelah inkubasi, serbuk sari
diamati di bawah mikroskop UV pada perbesaran 200 dan 400x. Tahap-tahap
perkembangan serbuk sari dihitung jumlahnya dan dibagi dengan jumlah seluruh
22
sel yang diamati dikalikan 100 untuk mengetahui persentasenya. Rasio
perkembangan dihitung dengan membandingkan frekuensi perkembangan serbuk
sari early uninucleate,mid uninucleate, late uninucleate, early binucleate dan
binucleate yang ada dalam satu bidang pandang pengamatan. Frekuensi setiap
tahap perkembangan serbuk sari dihitung dan dibagi total serbuk sari yang diamati
pada tahap kuncup yang sama. Pengamatan dilakukan minimal pada 5 bidang
pandang dan diulang minimal 5 kali untuk mendapatkan data yang valid.
Uji viabilitas serbuk sari
Pengujian viabilitas atau vitalitas sel serbuk sari atau polen menggunakan
larutan kerja 10 µM fluorescein diacetate (FDA) (Custers et al. 2001). Larutan
serbuk sari (90 µl) ditempatkan dalam Eppendorf yang telah dibungkus dengan
aluminium ditambah 10 µl larutan stok FDA ke dalam larutan kultur serbuk sari
dan diaduk rata, ditempatkan dalam gelap 10 menit. Sebanyak 50-100µl kultur
serbuk sari yang telah diberi perlakuan FDA dipipet dan ditetes di atas kaca obyek
dan ditutup dengan kaca penutup, dan segera dilakukan pengamatan di bawah
mikroskop fluoresen. Jumlah serbuk sari yang memendarkan warna hijau diamati
dan dihitung. Pengamatan diulang minimal pada 5 bidang pandang pengamatan.
Viabilitas atau vitalitas sel (%) dihitung dengan membagi jumlah total sel yang
fluoresen dengan jumlah total sel yang diamati pada satu bidang pandang
dikalikan dengan 100%.
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi doublelayer untuk kultur antera
Percobaan faktorial terdiri atas dua faktor, disusun dalam Rancangan Acak
Kelompok. Faktor pertama ialah tahap perkembangan kuncup bunga dan faktor ke
dua ialah media induksi. Empat tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji
dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup 1 (T2), dominan mikrospora berada dalam
kondisi tetrad, (2) kuncup 2 (T3), dominan mikrospora berada dalam tahap early
dan middle uninucleate, (3) kuncup 3 (T4), dominan mikrospora berada pada
tahap late uninucleate, dan (4) kuncup 4 (T5), dominan mikrospora berada pada
tahap early binucleate. Masing-masing tahap ditanam dalam lima media yang
diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus dan/atau embrio adalah (1) M1
(Winarto et al. 2011), (2) M2 (Nontaswatsri et al. 2007), (3) M3 (Mosquera et al.
23
1999), (4) M4 (Sato et al, 2000) dan (5) M5 (Fu et al. 2008). Setiap unit perlakuan
diulang 10 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 10 antera.
Isolasi antera dilakukan dengan cara membersihkan kuncup bunga dengan
kapas yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Antera
diisolasi dengan cara membuka kuncup bunga, kemudian antera dan filament
dipisahkan, dan ditanam dalam media induksi. Metode kultur sebar mikrospora
antera (anther shed microspore culture) pada media double layer digunakan
dalam penelitian ini. Prosedur penelitian menggunakan prosedur standard dari
Dolcet-Sanjuan et al. 1997. Media embriogenesis yang digunakan disusun dengan
sistem double layer yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan padat di bawah
dan cair di atas. Media padat ditambahkan 0,5% arang aktif , dengan pH 5,8.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase pencoklatan dan kontaminasi.
Perkembangan ovari atau ovul
Pembuatan sayatan kuncup bunga D. chinensis
Bahan difiksasi di dalam larutan FAA (formali : asam asetat glasial :
alkohol 70% (v/v) = 5 :5 :90) selama 24 jam. Selanjutnya didehidrasi secara
bertahap menggunakan alkohol 50% – 100% masing-masing selama 30 menit.
Kemudian dilakukan dealkoholisasi secara bertahap menggunakan campuran
alkohol-xylol, dilanjutkan dengan xylol murni 1 dan 2 masing-masing 30 menit.
Parafin diinfiltrasi sedikit demi sedikit sampai jenuh dan disimpan dalam oven
dengan suhu 60oC selama 3 jam. Parafin diganti dengan parafin baru dan
disimpan dalam oven dengan suhu 50-60oC selama 3 hari. Sampel dimasukkan
dalam parafin, kemudian blok sampel disayat dengan ketebalan 15-17 µm
menggunakan mikrotom putan (Yamato RV-240). Sayatan parafin yang
berrbentuk pita di rekatkan pada gelas objek yang telah diolesi dengan larutan
albumin-gliserin dan dikeringkan di atas hot plate dengan suhu 40oC selama 3-5
jam. Sampel diwarnai dengan safranin 2% (b/v) dan fastgreen 0,5% (b/v).
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovula tau ovari
Percobaan merupakan faktor tunggal yang disusun dengan Rancangan
Acak Kelompok. Tiga tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam
kegiatan ini yaitu (1) kuncup bunga tahap T5, (2) kuncup bunga tahap T7, (3)
kuncup bunga tahap T9. Kuncup bunga disimpan pada suhu 4 oC selama 1 hari
24
sebelum diisolasi. Masing-masing tahap tersebut ditanam dalam media MS + 4,52
µM 2,4-D+ 4.44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999), yang diuji
responnya dalam induksi pembentukan kalus. Setiap unit perlakuan diulang 8 kali.
Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 4 potongan ovul. Semua
kultur diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 7 hari pada suhu 4 oC dilanjutkan
dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC dengan lama penyinaran 16 jam di bawah
lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati
dalam percobaan ini ialah persentase eksplan membentuk kalus (%), dan
pengamatan kalus secara visual. Pengamatan dilakukan 1 bulan setelah inisiasi
kultur.
Analisis statistik
Data pengamatan yang diperoleh dari hasil seleksi tahap perkembangan
kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari, dianalisis menggunakan analisis
ragam (ANOVA) dengan program SAS Release window 9.1. Data dalam bentuk
persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi
diganti dengan 1/4n, di mana n adalah jumlah satuan percobaan dari data
persentase yang diperoleh. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka
dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf
kepercayaan 5%.
Hasil
Perkembangan kuncup bunga
Inisiasi bunga ditandai dengan munculnya daun-daun kecil pada ujung
tunas. Hari ke empat setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap
perkembangan kuncup bunga T1. Pada tahap tersebut mikrospora didominasi oleh
pollen mother cell (PMC) dan tetrad. Hari ke lima setelah inisiasi bunga
ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T2 yang didominasi oleh
mikrospora mid uninukleat. Tahap T3 yang didominasi oleh mikrospora late
uninukleat pada hari ke enam setelah inisiasi bunga dan seterusnya sampai bunga
mekar sebagai tahap T10 pada hari ke 13 setelah inisiasi kuncup bunga.
Hasil studi ini diketahui bahwa dari lima genotipe Dianthus chinensis yang
digunakan memiliki kecepatan antesis yang. Pada tahap T3 bagian pucuk kuncup
sedikit terbuka, dan pada tahap T4 ujung petal yang berwarna putih mulai
25
kelihatan, dan tahap T5 ujung petal berubah warna menjadi pink. Tahap
selanjutnya warna petal berubah menjadi kemerahan (Gambar 3). Ukuran panjang
kuncup bunga setiap genotipe berbeda-beda. Panjang kuncup D. chinensis
merupakan ukuran panjang kelopak, dan tidak berubah sampai bunga mekar. Pada
tahap T2 berkisar 1,295 cm pada Dchi-13 sampai 1,535 cm pada Dchi-15
(Lampiran 1).
Gambar 3. Perkembangan kuncup bunga, ovari dan antera Dianthus chinensisDchi-11. T1 sampai T10 adalah 4 sampai 13 hari setelah inisiasibunga. Bar = 0,5 cm
Perkembangan antera dan serbuk Sari
Pengamatan antera dan serbuk sari
Masa reseptif putik dan kemasakan polen D. chinenesis tidak terjadi
secara bersamaan. Serbuk sari D. chinenesis masak lebih dahulu dibandingkan
putik. Antera terbuka dan mengeluarkan polen pada umur 14 – 16 hari setelah
inisiasi bunga. Pengamatan antera dilakukan dari T1 sampai T7. Pengamatan
tahap terakhir pada tahap T7 karena pada tahap tersebut 100% antera dalam satu
kuncup sudah berwarna ungu tua.
Dari hasil pengamatan pada jumlah antera diketahui bahwa lima genotipe
dari kultivar yang berbeda memiliki jumlah antera yang sama yaitu 10. Jumlah
antera 12 ditemukan pada genotipe Dchi-14, tetapi jumlah antera 12 ini sangat
jarang ditemukan. Pada tahap perkembangan bunga T1-T2 antera berwarna putih.
Kemudian pada tahap pertumbuhan lanjut warna antera berubah sesuai dengan
warna petal. Perubahan warna antera dimulai pada tahap T3, 6 hari setelah
munculnya kuncup bunga (Gambar 3 dan Tabel 1).
26
Tabel 1. Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap tahap pertumbuhanbunga lima genotipe Dianthus chinensis
Genotipe
Warna anterapada satu
kuncup bunga
Rata-rata jumlah antera per bunga pada tahappertumbuhan
T1(4 hr)
T2(5 hr)
T3(6hr)
T4(7 hr)
T5(8 hr)
T6(9 hr)
T7(10 hr)
Dchi-11putih 10,0 10,0 10,0 3,9 0,9 0,0 0,0Ungu muda 0,0 0,0 0,0 6,1 9,0 1,0 0,0Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 9,0 10
Dchi-12putih 10,0 10,0 10,0 10,0 5,2 0,0 0,0Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 2,4 0,0Ungu ttua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,6 10,0
Dchi-13putih 10,0 10,0 10,0 8,9 4,5 0,3 0,0Ungu muda 0,0 0,0 0,0 1,1 5,5 8,8 0,0Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 10,0
Dchi-14putih 10,0 10,0 9,6 7,25 3,2 0,0 0,0Ungu muda 0,0 0,0 0,4 2,75 4,1 0,0 0,0Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 2,7 10 10,2
Dchi-15putih 10,0 10,0 10,0 9,33 5,0 0,0 0,0Ungu muda 0,0 0,0 0,0 0,67 5,0 0,5 0,0Ungu tua 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,5 12
Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 sampel kuncup bunga yang diambilsecara acak. T1, T2….T7 = tahap perkembangan kuncup bungapertama, ke dua…..ke tujuh, 4 hari, 5 hari……10 hari setelah inisiasibunga.
Warna antera berubah dari warna putih menjadi ungu muda, dan pada saat
masak menjadi berwarna ungu tua. Perubahan warna antera ini merupakan
karakter yang stabil yang terjadi pada tahap pertumbuhan kuncup bunga T3 pada
semua genotipe yang diamati. Perubahan warna ini dapat digunakan sebagai
penanda dengan pembandingan perkembangan serbuk sari untuk mendapatkan ciri
spesifik pada saat yang tepat untuk pengambilan eksplan tanaman donor.
Pengamatan tahap perkembangan serbuk sari dilakukan dengan mewarnai
serbuk sari dengan berbagai macam pewarnaan yaitu aceto-orcein, metilene blue,
fuchsin dan campuran metilene blue dan fuchsin (1:1). Pewarnaan terbaik yang
dapat mewarnai inti dalam serbuk sari adalah campuran metilene blue dan
fuchsin. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan campuran antara metilene blue dan
fuchsin pada serbuk sari diperoleh bahwa tahap perkembangan T1 banyak
didominasi oleh tahap pollen mother cell (sel induk mikrospora) dan tetrad. Pada
tahap perkembangan T2 didominasi oleh mid uninucleat (tahap serbuk sari berinti
tunggal di tengah) dan tahap perkembangan T3 didominasi oleh late uninucleate.
Sedang tahap perkembangan T4, tahap di mana terjadi perubahan warna antera
menjadi ungu, bentuk binucleate (tahap inti awal tunggal membelah menjadi 2
27
yaitu inti generatif dan vegetatif) mulai muncul (Gambar 4A-D). Tahap inti
binucleate ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan DAPI (Gambar 4F) dan tidak
dapat dilihat dengan pewarnaan campuran metilene blue dan fuchsin (Gambar
4L1).
Gambar 4. Tahap perkembangan serbuk sari. Pewarnaan mikrospora denganFuchsin + Metilen-blue (A-D dan L) dan DAPI (E-K, M). (A) PMC(pollen mother cell); (B) tetrad; (C, G) early uninucleate; (H) miduninucleate; (D, I) late uninucleate; (E) serbuk sari dengan dua intiidentik (F) serbuk sari tahap binucleate dengan inti vegetatif (warnapudar) dan inti generatif (warna terang). (L, M) Serbuk sari denganukuran yang berbeda: (1) serbuk sari berinti 1, (2) serbuk sari tanpainti, (3) serbuk sari berinti 2, (A – D) bar = 10 µm; (G-K) bar = 15µm (L-M) bar = 25 µm
Jumlah serbuk sari dan ukurannya
Hasil pengamatan yang dilakukan pada lima genotipe menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah serbuk sari per antera berkisar 4000 – 64000 (Tabel 2).
Jumlah serbuk sari yang terkandung dalam antera akan berpengaruh terhadap
jumlah antera yang harus diisolasi, dan terkait dengan kepadatan antera dalam
kultur. Kepadatan antera memiliki pengaruh fisik dan biokimia pada pembentukan
embrio. Pada kepadatan yang rendah antera akan memisah pada media, sedangkan
pada kepadatan yang tinggi akan cenderung mengelompok.
Hasil pengamatan pada dua sampel genotipe (Dchi-11 dan Dchi-14)
diketahui terdapat tiga macam kisaran ukuran serbuk sari yaitu besar dengan
28
ukuran >20 µm, sedang dengan ukuran 15 – 20 µm, dan ukuran kecil <15 µm.
Semua genotipe yang diamati memiliki ukuran serbuk sari yang bervariasi.
Tabel 2. Jumlah serbuk sari per antera lima genotipe Dianthus chinensis
Genotipe Jumlah serbuk sari per antera
kisaran Rata-rata*Dchi-11 10000 - 64000 30400 ± 16297Dchi-12 4000 - 30000 21400 ± 9143Dchi-13 4000 - 40000 21200 ± 10840Dchi-14 4000 - 32000 23200 ± 10799Dchi-15 6000 - 30000 20400 ± 8044
Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 kali isolasi pada 5 bidang pengamatan.*Rata-rata ± standard deviasi
Rasio tahap perkembangan serbuk sari
Seleksi tahap perkembangan serbuk sari didasarkan penanda morfologi
dan antera. Panjang sepal, dan petal kuncup bunga serta morfologi kuncup sangat
berguna untuk menentukan tahap awal sebagai indikator seleksi kuncup bunga
yang tepat. Hasil pengamatan pada serbuk sari tahap T2 merupakan tahap dengan
serbuk sari late uninukleat tertinggi (44,64%), dan tidak terjadi perubahan warna
antera dari putih menjadi ungu (Tabel 3). Tahap T2 ini bentuk kuncup masih
tertutup rapat, dan akan mulai terbuka pada tahap T3 (Gambar 5A). Tahap T3
mulai terjadi perubahan warna antera yang didominasi serbuk sari pada tahap
early binukleat (Gambar 3, Tabel 3). Penggunaan kriteria warna pada antera
merupakan kriteria yang paling efektif sebagai indikator seleksi bahan dasar yang
lebih sesuai dibandingkan dengan ukuran kuncup, karena adanya keragaman yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Gambar 5. Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap perkembangan bunga Dianthuschinensis. (A) ujung kuncup tahap T1-T2 belum terbuka, tahap T3 mulai terbuka,tahap T4 petal terlihat 30% dan T5 terjadi perubahan warna petal (B) Kuncup tahapT1-T2 warna petal putih, T3 petal sedikit ungu (C) Warna antera dalam satu bungaputih tahap T1-T2, warna antera dalam satu bunga 30% putih, 30% ungu muda dan40% ungu tua pada T3, warna antera dalam satu bunga > 50% ungu tua pada tahapT4, dan semua antera berwarna ungu tua pada tahap T5.
A B C
28
ukuran >20 µm, sedang dengan ukuran 15 – 20 µm, dan ukuran kecil <15 µm.
Semua genotipe yang diamati memiliki ukuran serbuk sari yang bervariasi.
Tabel 2. Jumlah serbuk sari per antera lima genotipe Dianthus chinensis
Genotipe Jumlah serbuk sari per antera
kisaran Rata-rata*Dchi-11 10000 - 64000 30400 ± 16297Dchi-12 4000 - 30000 21400 ± 9143Dchi-13 4000 - 40000 21200 ± 10840Dchi-14 4000 - 32000 23200 ± 10799Dchi-15 6000 - 30000 20400 ± 8044
Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 kali isolasi pada 5 bidang pengamatan.*Rata-rata ± standard deviasi
Rasio tahap perkembangan serbuk sari
Seleksi tahap perkembangan serbuk sari didasarkan penanda morfologi
dan antera. Panjang sepal, dan petal kuncup bunga serta morfologi kuncup sangat
berguna untuk menentukan tahap awal sebagai indikator seleksi kuncup bunga
yang tepat. Hasil pengamatan pada serbuk sari tahap T2 merupakan tahap dengan
serbuk sari late uninukleat tertinggi (44,64%), dan tidak terjadi perubahan warna
antera dari putih menjadi ungu (Tabel 3). Tahap T2 ini bentuk kuncup masih
tertutup rapat, dan akan mulai terbuka pada tahap T3 (Gambar 5A). Tahap T3
mulai terjadi perubahan warna antera yang didominasi serbuk sari pada tahap
early binukleat (Gambar 3, Tabel 3). Penggunaan kriteria warna pada antera
merupakan kriteria yang paling efektif sebagai indikator seleksi bahan dasar yang
lebih sesuai dibandingkan dengan ukuran kuncup, karena adanya keragaman yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Gambar 5. Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap perkembangan bunga Dianthuschinensis. (A) ujung kuncup tahap T1-T2 belum terbuka, tahap T3 mulai terbuka,tahap T4 petal terlihat 30% dan T5 terjadi perubahan warna petal (B) Kuncup tahapT1-T2 warna petal putih, T3 petal sedikit ungu (C) Warna antera dalam satu bungaputih tahap T1-T2, warna antera dalam satu bunga 30% putih, 30% ungu muda dan40% ungu tua pada T3, warna antera dalam satu bunga > 50% ungu tua pada tahapT4, dan semua antera berwarna ungu tua pada tahap T5.
A B C
28
ukuran >20 µm, sedang dengan ukuran 15 – 20 µm, dan ukuran kecil <15 µm.
Semua genotipe yang diamati memiliki ukuran serbuk sari yang bervariasi.
Tabel 2. Jumlah serbuk sari per antera lima genotipe Dianthus chinensis
Genotipe Jumlah serbuk sari per antera
kisaran Rata-rata*Dchi-11 10000 - 64000 30400 ± 16297Dchi-12 4000 - 30000 21400 ± 9143Dchi-13 4000 - 40000 21200 ± 10840Dchi-14 4000 - 32000 23200 ± 10799Dchi-15 6000 - 30000 20400 ± 8044
Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 kali isolasi pada 5 bidang pengamatan.*Rata-rata ± standard deviasi
Rasio tahap perkembangan serbuk sari
Seleksi tahap perkembangan serbuk sari didasarkan penanda morfologi
dan antera. Panjang sepal, dan petal kuncup bunga serta morfologi kuncup sangat
berguna untuk menentukan tahap awal sebagai indikator seleksi kuncup bunga
yang tepat. Hasil pengamatan pada serbuk sari tahap T2 merupakan tahap dengan
serbuk sari late uninukleat tertinggi (44,64%), dan tidak terjadi perubahan warna
antera dari putih menjadi ungu (Tabel 3). Tahap T2 ini bentuk kuncup masih
tertutup rapat, dan akan mulai terbuka pada tahap T3 (Gambar 5A). Tahap T3
mulai terjadi perubahan warna antera yang didominasi serbuk sari pada tahap
early binukleat (Gambar 3, Tabel 3). Penggunaan kriteria warna pada antera
merupakan kriteria yang paling efektif sebagai indikator seleksi bahan dasar yang
lebih sesuai dibandingkan dengan ukuran kuncup, karena adanya keragaman yang
disebabkan oleh pengaruh lingkungan.
Gambar 5. Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap perkembangan bunga Dianthuschinensis. (A) ujung kuncup tahap T1-T2 belum terbuka, tahap T3 mulai terbuka,tahap T4 petal terlihat 30% dan T5 terjadi perubahan warna petal (B) Kuncup tahapT1-T2 warna petal putih, T3 petal sedikit ungu (C) Warna antera dalam satu bungaputih tahap T1-T2, warna antera dalam satu bunga 30% putih, 30% ungu muda dan40% ungu tua pada T3, warna antera dalam satu bunga > 50% ungu tua pada tahapT4, dan semua antera berwarna ungu tua pada tahap T5.
A B C
29
Tabel 3. Rasio tahap perkembangan serbuk sari D. chinensis Dchi-11 berdasarkanukuran kuncup bunga dan warna antera
Umurkuncup(hari)
Tahapantera
Karakteristik Rasio tahap perkembangan serbuk sari
Ukurankuncup
(cm)
Warna antera EU MU LU EB B
4 T1 1,21 - 1,30 Antera putih 5,10 67,35 27,55 0,00 0,005 T2 1,31 - 1,50 Antera putih 3,57 33,93 44,64 17,86 0,006 T3 1,51 - 1,60 Antera putih 6,76 10,81 29,73 35,14 17,57
7 T4 1,61 - 1,7030% antera ungu muda,Ujung kuncup munculpetal warna putih
1,30 19,48 20,78 20,78 37,66
8 T5 >1,71> 50% ungu muda,petal berubah warnasesuai warna bunga
0,00 16,67 20,00 21,67 41,67
Keterangan: Data diambil dari rata-rata minimal 3 x isolasi pada 5 bidangpengamatan. T1= 4 hari setelah inisiasi bunga, T2 = bunga mekar 5hari setelah inisiasi bunga, dst.T= tahap perkembangan. EU=earlyuninucleate, MU=mid uninucleate, LU=late uninucleate, EB=earlybinucleate, B = binucleate
Gambar 6. Hubungan antara panjang kuncup dengan umur kuncup dan tahapperkembangan serbuk sari Dianthus chinensis Dchi-11. Setiap titikadalah rata-rata dari 10 pengamatan
Pada tahap T2 walaupun mengandung late uninucleate tertinggi, tetapi
frekuensinya termasuk rendah (< 50%). Setiap genotipe memiliki potensi yang
berbeda, sehingga hasil ini perlu diuji lebih lanjut. Dari Tabel 3 didapatkan grafik
hubungan antara panjang kuncup bunga dengan tahap perkembangan serbuk sari.
Gambar 6 memperlihatkan bahwa serbuk sari pada tahap meiosis merupakan
proses tahap pembentukan dari sel induk mikrospora sampai tetrad. Tahap meiosis
ini kuncup berukuran kurang dari 1,2 cm berumur kurang dari 4 hari setelah
inisiasi bunga. Tahap uninucleate panjang kuncup 1,21- 1,5 cm berumur 4 – 6 hari
setelah insiasi bunga merupakan tahap T1 – T2. Tahap mitosis dimulai pada umur
6 hari (T3 – T4) dengan panjang kuncup antara 1,51 – 1,70 cm merupakan tahap
pembelahan inti uninucleate menjadi dua inti yaitu generatif dan vegetatif. Tahap
y = -0,020x2 + 0,376x + 0,001R² = 0,988
0
0,5
1
1,5
2
0 2 4 6 8 10 12Panj
ang
kunc
nup
(cm
)
Umur kuncup (hari)
PMC-tetradUninucleate B
inuc
leat
e
Polen/serbuksari
30
binucleate (T5) panjang kuncup berukuran > 1,71 cm berumur 8 hari setelah
inisiasi bunga. Dari Gambar 6 diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat
antara umur kuncup dengan ukuran kuncup dengan koefisien determinasi R2=
98.8% pada genotipe Dchi-11.
Viabilitas serbuk sari
Serbuk sari yang viabel ditunjukkan oleh tingkat fluorescen yang tinggi
setelah pewarnaan dengan FDA, sementara serbuk sari yang non viabel
ditunjukkan oleh tingkat fluorescen yang rendah. Yang menarik di sini, serbuk
sari yang memiliki ukuran yang besar tidak seperti serbuk sari pada umumnya
yang memancarkan warna hijau terang, tetapi terdapat serbuk sari berwarna coklat
kehitaman (anak panah kuning) (Gambar 7) walaupun tidak banyak. Namun tidak
semua serbuk sari berukuran besar berwarna coklat kehitaman, serbuk sari
berwarna terang (anak panah putih) juga ada. Warna coklat kehitaman ini diduga
merupakan polen yang tidak memiliki inti. Hasil uji viabilitas pada tanaman uji
sangat rendah (Tabel 4). Serbuk sari berwarna coklat kehitaman tidak ditemukan
pada dua genotipe yaitu Dchi-12 dan Dchi-14, namun jumlah serbuk sari per
antera kedua genotipe ini lebih rendah dibandingkan dengan genotipe lain.
Gambar 7. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan FDA Dchi-15. Serbuk sari besardengan warna terang atau viabel (anak panah putih); serbuk saridengan warna pudar atau non viabel (anak panah hitam); serbuk saritanpa inti (warna kuning). Bar = 50 µm
Tabel 4. Viabilitas serbuk sari pada lima genotipe dari spesies Dianthus chinensis.
Genotipe Viabilitas serbuk sari (%)Viabel Non viabel
Dchi-11 60,36 ± 10,73 39,64 ± 10,73Dchi-12 56,72 ± 36,15 43,28 ± 36,15Dchi-13 57,85 ± 7,93 42,15 ± 7,93Dchi-14 44,91 ± 21,51 55,09 ± 21,51Dchi-15 55,02 ± 22,26 44,98 ± 22,26Keterangan : Data dihitung dari rata-rata 4 kali isolasi pada minial 5 bidang
pengamatan pada masing-masing genotipe
31
Hasil uji viabilitas serbuk sari terlihat bahwa rata-rata serbuk sari viabel
berkisar 44 – 60% (Tabel 4). Persentase viabilitas tertinggi ditunjukkan oleh
genotipe Dchi-11 dan Dchi-13. Uji viabilitas ini terkait dengan jumlah antera yang
harus ditanam.
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi doublelayer untuk kultur antera
Hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga tidak dapat dianalisis
secara statistik, karena hasil pengamatan tidak diperoleh embrio. Hasil yang
disajikan bersifat observatif dengan mengamati pencoklatan dan kontaminasi.
Hasil observasi peroleh bahwa pada tahap T2 yang memiliki antera dengan
pencoklatan terkecil (Tabel 5) dan pencoklatan tertinggi yaitu tahap T4. Makin
lanjut tahap kuncup bunga, makin tinggi pencoklatan.
Tabel 5. Respon empat tahap perkembangan mikrospora genotipe Dchi-11 padaberbagai media induksi embrio/kalus.
Tahap kuncupbunga
Media Rata-rataPencoklatan (%)M1 M2 M3 M4 M5
T2 10 0 20 20 0 10T3 50 30 20 50 30 36T4 70 70 70 70 50 66T5 60 50 40 70 50 54
rata-rata 47.5 37.5 37.5 52.5 32.5Tahap kuncup
bungaMedia Rata-rata
Kontaminasi (%)M1 M2 M3 M4 M5T2 10 40 20 10 40 24T3 90 70 60 60 60 68T4 70 70 60 60 40 60T5 50 50 40 70 50 52
rata-rata 55 57.5 45 50 47.5Keterangan: data merupakan rata-rata dari 10 ulangan. T1= 4 hari setelah inisiasi
bunga, T2 = bunga mekar 5 hari setelah inisiasi bunga, dst. T= tahapperkembangan. Komposisi media di lampiran 3.
Kontaminasi disebabkan oleh munculnya bakteri pada minggu ke dua
setelah tanam. Pencoklatan terjadi mulai minggu ke dua terutama pada tahap T4
dan T5. Tahap T4 dan T5 mengandung antera dengan warna ungu, yang pada
umumnya paling cepat mengalami degenerasi. Dari 5 macam media yang diuji,
tidak ada satu media yang sesuai. Pada media yang mengalami kontaminasi,
menyebabkan pencoklatan pada eksplan (Gambar 8A), sehingga kondisi ini dapat
mengaburkan hasil, apakah pencoklatan terjadi karena media yang tidak sesuai
atau karena pengaruh kontaminasi.
32
Gambar 8. Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur; (A) Pencoklatan padaantera yang banyak terjadi pada tahap T3-T5; (B) antera tahap T2 yangsedikit terjadi pencoklatan. Bar 1 mm
Dari hasil pengamatan, tahap perkembangan mikrospora T2 dengan inti
dominan mid-late uninucleate memiliki potensi untuk diuji lebih lanjut, karena
memiliki persentase pencoklatan yang paling rendah. Selanjutnya tahap T2 ini
yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, sementara media lain perlu diuji lagi
karena dengan sistem kultur sebar menggunakan media double layer (dua lapis
padat cair) tidak berhasil. Untuk mengetahui tidak responnya antera atau
mikrospora terhadap media induksi, maka dilakukan pemeriksaan sampel kultur
antera setiap minggu kemudian dianalisis histologi pada eksplan antera. Hasil
yang diperoleh disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Histologi kultur antera. (A-C) 2 minggu setelah kultur; (D-F) 3 minggusetelah kultur; (B) pembelahan sel dari jaringan penghubung ke dalamlokus dalam antera (tanda panah), (C) sel jaringan penghubung yangmeristimatik dan (F) Sel-sel dinding antera yang meristematik. M=mikrospora, Ld=lokus dalam antera, Tp=tapetum
Hasil histologi pada kultur antera pada media double layer terlihat bahwa
pada 2 minggu setelah kultur, serbuk sari masih terlihat ada di dalam lokus dalam
antera, tetapi tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 9A dan B). Sel yang
A B
32
Gambar 8. Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur; (A) Pencoklatan padaantera yang banyak terjadi pada tahap T3-T5; (B) antera tahap T2 yangsedikit terjadi pencoklatan. Bar 1 mm
Dari hasil pengamatan, tahap perkembangan mikrospora T2 dengan inti
dominan mid-late uninucleate memiliki potensi untuk diuji lebih lanjut, karena
memiliki persentase pencoklatan yang paling rendah. Selanjutnya tahap T2 ini
yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, sementara media lain perlu diuji lagi
karena dengan sistem kultur sebar menggunakan media double layer (dua lapis
padat cair) tidak berhasil. Untuk mengetahui tidak responnya antera atau
mikrospora terhadap media induksi, maka dilakukan pemeriksaan sampel kultur
antera setiap minggu kemudian dianalisis histologi pada eksplan antera. Hasil
yang diperoleh disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Histologi kultur antera. (A-C) 2 minggu setelah kultur; (D-F) 3 minggusetelah kultur; (B) pembelahan sel dari jaringan penghubung ke dalamlokus dalam antera (tanda panah), (C) sel jaringan penghubung yangmeristimatik dan (F) Sel-sel dinding antera yang meristematik. M=mikrospora, Ld=lokus dalam antera, Tp=tapetum
Hasil histologi pada kultur antera pada media double layer terlihat bahwa
pada 2 minggu setelah kultur, serbuk sari masih terlihat ada di dalam lokus dalam
antera, tetapi tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 9A dan B). Sel yang
A B
32
Gambar 8. Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur; (A) Pencoklatan padaantera yang banyak terjadi pada tahap T3-T5; (B) antera tahap T2 yangsedikit terjadi pencoklatan. Bar 1 mm
Dari hasil pengamatan, tahap perkembangan mikrospora T2 dengan inti
dominan mid-late uninucleate memiliki potensi untuk diuji lebih lanjut, karena
memiliki persentase pencoklatan yang paling rendah. Selanjutnya tahap T2 ini
yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, sementara media lain perlu diuji lagi
karena dengan sistem kultur sebar menggunakan media double layer (dua lapis
padat cair) tidak berhasil. Untuk mengetahui tidak responnya antera atau
mikrospora terhadap media induksi, maka dilakukan pemeriksaan sampel kultur
antera setiap minggu kemudian dianalisis histologi pada eksplan antera. Hasil
yang diperoleh disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Histologi kultur antera. (A-C) 2 minggu setelah kultur; (D-F) 3 minggusetelah kultur; (B) pembelahan sel dari jaringan penghubung ke dalamlokus dalam antera (tanda panah), (C) sel jaringan penghubung yangmeristimatik dan (F) Sel-sel dinding antera yang meristematik. M=mikrospora, Ld=lokus dalam antera, Tp=tapetum
Hasil histologi pada kultur antera pada media double layer terlihat bahwa
pada 2 minggu setelah kultur, serbuk sari masih terlihat ada di dalam lokus dalam
antera, tetapi tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 9A dan B). Sel yang
A B
33
tumbuh dan berkembang adalah jaringan penghubung (Gambar 9B dan C, anak
panah putih). Hasil ini memberikan indikasi bahwa pertumbuhan lanjut pada
kultur antera tidak melalui embriogenesis, tetapi melalui pendekatan kalus. Srbuk
sari cepat mengalami degenerasi pada minggu ke 3 (Gambar 9D dan E).
Perkembangan ovari atau ovul
Anatomi kuncup bunga, ovari dan ovul D. chinensis
Setelah periode viabilitas polen berakhir, diikuti dengan masa reseptif
putik 18-20 hari setelah inisiasi bunga yang ditandai dengan keluarnya bulu-bulu
pada tangkai putik. Hasil pengamatan anatomi kuncup bunga, ovul dan ovari
menunjukkan bahwa pada tahap T5 ovari dan ovul belum terbentuk secara
maksimal (Gambar 10A, B dan C), sedangkan pada tahap T7 ovul telah
membentuk dua inti di dalam kantong embrio (Gambar 10F).
Gambar 10. Irisan melintang dan membujur kuncup bunga dan ovul (A) irisanmelintang kuncup bunga pada tahap T5, (B) irisan membujur kucupbunga pada tahap T5, (C) irisan membujur ovul pada tahap T5(Bar =20 µm), (D) irisan melintang kuncup bunga pada tahap T7, (E) irisanmembujur ovari pada tahap T7 dan (F) irisan membujur ovul padatahap T7. at=antera, c=poros bunga, pt=petal, sp=sepal, fl=filamen,ov=ovul, panah merah=megaspore mother cell (sel indukmegaspora), panah putih=2 inti hasil pembelahan mitosis.
Penentuan tahap pembentukan inti dalam kantong embrio ini penting,
karena dalam kantong embrio yang diinginkan ialah kantong embrio yang berisi
34
sel tunggal yang merupakan hasil pembelahan mitosis sel induk megaspora pada
tahap T7. Sel induk megaspora yang lengkap ada delapan inti yang terdiri atas dua
inti polar, tiga inti sel antipodal, satu inti sel telur dan dua inti sel sinergid.
Jaringan-jaringan lain selain 8 inti tersebut merupakan jaringan dengan level
ploidi 2n yaitu jaringan nuselus, integumen, dan funikulus. Pada tahap T5
didominasi oleh sel nuselus (Gambar 9C). Pada tahap T7 di dalam ovul telah
terbentuk dua inti (Gambar 9F).
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul/ovari
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap perkembangan kuncup bunga
mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan. Tahap kuncup T5 memiliki rata-
rata persentase terbentuknya kalus terendah dan lebih rendah dari pada tahap
kuncup T7 dan T9 (Tabel 6). Tahap kuncup T7 merupakan tahap kuncup yang
paling banyak membentuk kalus, tetapi tidak berbeda dengan tahap kuncup T9.
Tabel 6. Pengaruh tahap kuncup terhadap terbentuknya kalus pada ovula atauovari Dchi-11, 8 minggu setelah tanam.
Perlakuan Umur kuncupbunga (hari
sejak inisiasibunga)
Rata-rata persentaseterbentuknya kalus*
(%)
Warna dan tipe kalus
Tahap kuncup T5 8 9,375 b kalus hijau agak remah
Tahap kuncup T7 10 59,375 a kalus hijau remah dankalus hijau agak remah
Tahap kuncup T9 12 46,875 ab kalus hijau agak remah
Keterangan : * rata-rata persentase terbentuknya kalus dihitung dari rata-ratasetiap unit perlakuan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yangsama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyataberdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan5%. T5= 8 hari setelah inisiasi bunga, T7 = 10 hari setelahinisiasi bunga, T9 = bunga mekar 12 hari setelah inisiasi bunga.
Pembahasan
Perkembangan kuncup bunga
Hasi penelitian menunjukkan bahwa setiap tahap perkembangan bunga
terdapat variasi ukuran kuncup bunga antar genotipe yang kemungkinan
disebabkan oleh faktor internal (genotipe) tanaman dan faktor eksternal
(lingkungan). Variasi ukuran kuncup bunga ini akan menyulitkan penetapan
35
stándar untuk seleksi tanaman donor. Panjang kuncup bunga Dianthus chinensis
untuk donor antera menurut Fu et al. (2008) adalah antara 7,5 - 8 mm. Pada
ukuran kuncup bunga tersebut, tahap serbuk sari adalah uninukleat. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Fu et al. (2008). Apabila dikaitkan
dengan pengamatan serbuk sari setiap tahap pada penelitian ini, tahap uninukleat
dominan dicapai pada ukuran kuncup bunga 1,31-1,5 cm. Hasil ini menunjukkan
bahwa ukuran kuncup bunga kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan genotipe,
umur kuncup, lingkungan tempat tumbuh dan iklim, serta budidaya tanaman,
sehingga ukuran kuncup bunga pada penelitian ini hanya berlaku untuk genotipe
yang sedang diamati.
Perkembangan antera dan serbuk sari
Pengamatan antera dan serbuk sari
Penanda lain yang dapat diamati dan dijadikan sebagai standar adalah
mulai sedikit terbukanya kelopak di bagian ujung kuncup (tahap T3), di mana
pada kondisi itu mulai terjadi perubahan warna antera dari putih menjadi ungu,
dan pada tahap ini, kuncup bunga tidak dapat dijadikan sebagai donor antera,
karena pada tahap ini serbuk sari berada pada tahap dominan binukleat.
Pengamatan ini tidak dilakukan Fu et al. (2000), sehingga hasil penelitian Fu et al.
(2000) berdasarkan ukuran bunga tidak dapat dijadikan acuan. Seleksi tanaman
donor didasarkan pada perubahan warna antera juga dilakukan pada tanaman cabe
yang merupakan penanda morfologi yang penting (Supena 2004).
Penghitungan jumlah serbuk sari dan ukurannya
Penghitungan jumlah serbuk sari dilakukan untuk menentukan kepadatan
antera atau serbuk sari yang harus dikultur. Kepadatan antera dalam kultur akan
menentukan keberhasilan. Antera cenderung untuk melekat satu sama lain
sehingga kepadatan tertentu akan melindungi antera menempel pada dinding
cawan petri pada kultur media cair (Keller 1984; Hoekstra et al. 1993 dan Arnison
et al. 1990). Setiap tanaman akan memiliki kepadatan antera atau serbuk sari
yang berbeda-beda. Pada tanaman Brassica jumlah 6 antera per ml media
merupakan kepadatan yang optimal (Keller 1984), sedang pada tanaman padi
kepadatan antera yang diperlukan adalah 3 antera per ml media. Menurut Huang
et al. (1990) kepadatan kultur serbuk sari pada Brassica napus adalah 3-4 x 104
36
mikrospora per ml dan pada jagung 6-8 x 104 mikrospora per ml (Gaillard et al.
1991). Kepadatan antera yang sesuai untuk kultur juga tergantung pada kualitas
materi yaitu persentase serbuk sari yang viabel.
Rasio tahap perkembangan serbuk sari
Tahap uninucleate sampai tahap early binucleate pada banyak kasus
merupakan tahap paling responsif untuk menginduksi perubahan serbuk sari dari
perkembangan gametofit (membentuk polen) ke perkembangan sporofit
(membentuk embrio atau kalus) akibat stres lingkungan pada beberapa perlakuan
yang diberikan (Palmer & Keller 2005). Penelitian androgénesis pada tanaman
Dianthus sp sebagian besar regeneran yang diperoleh melalui tahap kalus yang
diaplikasikan pada tahap late uninucleate sampai tahap early binucleate
(Mosquera et al. 1999; Nontaswatsri et al. 2008; Fu et al. 2008). Tahap ini
dikatakan merupakan tahap yang kompeten di mana sel-sel serbuk sari memiliki
respon yang tinggi terhadap induksi stres yang diberikan. Karena pada tahap
uninucleate ini sel serbuk sari mengalami peningkatan síntesis protein dan
berkurangnya laju síntesis DNA serta RNA (Cordewener et al. 1995; Saunders &
Saunders 1988) yang berkorelasi dengan perkembangan embriogenik. Pada tahap
uninucleate akhir sampai tahap awal binucleate perkembangan embriogenik
dimulai dengan pembelahan asimetris pertama yang dengan adanya sinyal yang
berasal dari induksi stres yang diberikan, dirubah menjadi pembelahan simetris.
Jika tahap induksi awal menggunakan tahap biselular sebagai donor awal
perkembangan embriogenik dimulai dengan masuknya kembali ke siklus sel G1
dari vegetatif sel. Pembelahan sporofitik berlanjut untuk membentuk embrio
(Binarova et al. 1997).
Hasil pengamatan antara morfologi kuncup bunga dan tahap
perkembangan serbuk sari dapat digambarkan dalam bentuk grafik hubungan
antara panjang kuncup bunga dengan tahap perkembangan serbuk sari
(Sunderland & Wick 1971). Studi mengenai hubungan antara panjang kuncup
dengan tahap perkembangan serbuk sari sangat penting untuk menentukan tahap
perkembangan polen pada saat akan dilakukan isolasi, karena tidak mungkin
semua antera satu persatu dianalisis sitologis (Sopory & Maheswari 1976).
Walaupun penentuan morfologi kuncup bunga ini bukan merupakan kriteria
utama penentuan materi donor, tetapi kuncup bunga mewakili tahap seleksi awal
tanaman donor.
37
Uji viabilitas serbuk sari
Viabilitas serbuk sari Dianthus sp pada umumnya rendah. Menurut
Galbally & Galbally (1997) anyelir memiliki viabilitas yang sangat rendah dengan
persentase perkecambahan kurang dari 10%. Pengamatan viabilitas serbuk sari
diperlukan untuk menentukan kepadatan antera dalam kultur. Kepadatan suatu
kultur tergantung dari kualitas materi yaitu persentase serbuk sari yang
embriogenik (Sopory & Munshi 1996). Apabila rata-rata viabilitas 50%, maka
jumlah antera yang harus di tanam dua kali jumlah prediksi optimalnya. Mengacu
pada kepadatan serbuk sari Brassica optimal yaitu 30000 – 40000 per ml (Sopory
& Munshi 1996), maka dengan jumlah serbuk sari per antera rata-rata Dchi-11 ±
30000 (Tabel 2), viabilitas serbuk sari Dchi-11 50%, maka dengan cawan petri
berdiameter 6 cm berisi 5 ml media, jumlah antera Dianthus yang harus ditanam
adalah 10 – 13 antera. Selain itu dengan melihat morfologi atau ciri unik dari
Dianthus chinensis yang memiliki dua inti identik yang diduga merupakan gamet
2n menurut Fu et al. (2008), maka penentuan donor polen untuk kultur antera atau
serbuk sari sangat menentukan karena apabila serbuk sari ini yang berkembang
maka dipastikan tanaman tersebut adalah heterosigot. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa genotipe Dchi-11, Dchi-13 dan Dchi-15 memiliki serbuk
sari berukuran besar, sehingga apabila genotipe ini disertakan, kemungkinan-
kemungkinan di atas harus diantisipasi.
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi padatcair untuk kultur antera
Tahap perkembangan mikrospora sejalan dengan perubahan warna antera.
Pada tahap perkembangan T3 (30% antera ungu muda) pencoklatan mulai
meningkat sejalan dengan makin lanjutnya tahap perkembangan mikrospora.
Pencoklatan kemungkinan terjadi karena adanya akumulasi komponen fenolik
pada eksplan dimana terjadi proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat
adanya pengaruh fisik dan biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan
penyakit, atau kondisi yang tidak normal), bisa juga merupakan gejala alamiah
dari proses penuaan yang terjadi pada antera.
Menurut Sheeler dan Bianchi (1987), bagian sel tanaman yaitu vakuola
sebagai tempat untuk penyimpanan air dan produk-produk sel khususnya
metabolit sekunder termasuk fenol. Didalam pemotongan jaringan, vakuola
38
terpotong dan mengeluarkan fenol yang akan bereaksi dengan enzim fenol
oksidase di dalam sitosol sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna
coklat dan beracun. Eksplan pada penelitian ini tidak dilakukan pemotongan,
sehingga apabila terjadi pencoklatan kemungkinan berkaitan dengan penggunaan
eksplan tahap perkembangan kuncup yang makin lanjut. Makin lanjut tahap
perkembangan kuncup bunga, pencoklatan makin tinggi. Apabila pencoklatan
bersumber dari hasil pemotongan eksplan, kemungkinan bersumber dari
pemotongan fillamen dari antera.
Perkembangan ovari atau ovul
Anatomi kuncup bunga, ovari dan ovul D. chinensis
Tanaman D. chinensis memiliki ovul yang terbentuk dari satu poros bunga.
Poros bunga menyatu membentuk satu ruangan (loculus) (Gambar 10E). Ovul
melekat pada plasenta yang dihubungkan oleh funikulus. Sel induk mikrospora
dalam ovul akan membelah secara meiosis menghasilkan empat megaspora yang
masing-masing mempunyai set kromosom haploid. Hanya satu megaspora yang
bertahan dan berkembang menjadi kantong embrio, sedangkan tiga yang lain
gugur. Inti dalam kantong embrio mengalami pembelahan tiga kali membentuk
satu inti sel telur, dua inti sel sinergid, tiga inti antipodal dan dua inti polar. Pola
perkembangan megasporogenesis D. chinensis termasuk tipe polygonum (Sniezko
2006). Dua inti pada tahap perkembangan T7 pada Gambar 10F diduga merupakan
hasil pembelahan pertama yang berasal dari satu inti hasil meiosis yang masih
bertahan.
Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari
Biasanya tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang
responsif untuk mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Pada ginogenesis
kisaran tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Gametofit jantan
dan betina tanaman Dianthus chinensis tidak masak bersamaan. Pada tanaman bit
gula kuncup bunga diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis (Ferrant &
Bouharmont 1994), tanaman bawang merah 3-5 hari sebelum antesis (Martinez et
al. 2000). Pada penelitian ini donor ovul terbaik berasal dari kuncup bunga pada
tahap T7 (umur 10 hari setelah munculnya bunga).
39
Simpulan
1. Ukuran, bentuk kuncup bunga dan warna antera merupakan indikator waktu
dilakukan pengambilaan donor eksplan.
2. Tahap perkembangan kuncup T2 (LU tertinggi (44,64%), ukuran kuncup
antara 1,31 – 1,50 cm, warna antera putih, umur 5 hari, pencoklatan terendah)
merupakan tahap yang tepat untuk kultur antera.
3. Tahap perkembangan kuncup T7 (ukuran kuncup antara 1,81 – 2.00 cm,
panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan
tahap yang tepat untuk kultur ovul dan ovari berdasarkan persentase
terbentuknya kalus dan tipe kalus.
40
41
INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI
ANDROGENESIS SECARA IN VITRO
Abstrak
Komposisi media mempengaruhi kemampuan antera membentuk kalusdan/atau embrio serta regenerasi tanaman. Pada tanaman Dianthus sp. mediapadat lebih sesuai untuk induksi kalus antera dibandingkan dengan media cair.Tujuan penelitian ialah mendapatkan media yang sesuai untuk pembentukan kalusdan mendapatkan media regenerasi yang sesuai untuk pertumbuhan kalusandrogenik serta mendapatkan tanaman haploid melalui androgenesis. Induksikalus androgenik dilakukan pada empat jenis media yang mengandung mediadasar WT yang berbeda rasio auksin:sitokinin. Delapan jenis media regenerasidiseleksi untuk mendapatkan media yang sesuai untuk regenerasi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa media padat AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA +2,27 µM TDZ) merupakan media yang paling baik untuk induksi kalus padakultur antera, dengan persentase pembentukan kalus 17,5 %. Media R7 (WT +2,22 µM BAP) merupakan media yang sesuai untuk regenerasi kalus hasil kulturantera Dchi-13 (37,5%) sedang media R11 (WT + 2,22 µM BA + 0,285 µMNAA) merupakan media yang sesuai untuk regenerasi kalus hasil kultur anteraDchi-11 (66,6%). Analisis ploidi hasil kultur antera menunjukkan bahwaregeneran adalah diploid. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwapembentukan kalus pada kultur antera memerlukan auksin (2,4-D) yang lebihtinggi dibanding sitokinin, sebaliknya regenerasi kalus hasil kultur anteramemerlukan sitokinin (BAP) yang lebih tinggi dibanding auksin.
Kata kunci: kultur antera, auksin, sitokinin, induksi kalus, regenerasi
42
HAPLOID INDUCTION OF Dianthus chinensis
BY IN VITRO ANDROGENESIS
Abstract
Induction of anther callus and regeneration depend on media compositionand physical state. Solid media was preferred for induction anther callus ofDianthus sp. than liquid medium. The aim of ther research was to obtain suitablemedia for callus induction and to obtain suitable regeneration media forandrogenic callus growth and to obtain haploid plants by androgenesis.Androgenic callus induction was observed in four medium containing WT basicmedia supplemented with different auxin : cytokinin ratio. Eight regenerationmedia was selected to obtain appropriate medium for regeneration. The resultshowed that solid media of AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27µM TDZ) was the best medium for callusing in anther culture, with 17,5% callusformation. R7 media (WT + 2,22 µM BAP) was suitable media for callusregeneration (37,5%) resulted from Dchi-13 anther culture. R11 media (WT +2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA) was suitable media for callus regeneration(66,6%) resulted from Dchi-11 anther culture. Ploidy analysis of anther cultureshowed that regenerant was diploid. In conclusion, callus formation of antherculture need auxin (2,4-D) higher than cytokinin, on the contrary callusregeneration need cytokinin (BAP) higher than auxin.
Key words: anther culture, auxin, cytokinin, callus induction, regeneration.
43
Pendahuluan
Dianthus chinensis atau lebih dikenal dengan nama Chinese pink, Indian
pink, Japanese pink, Rainbow pink merupakan kerabat Dianthus caryophyllus
yang telah digunakan sebagai materi pemuliaan untuk karakter-karakter unik
seperti ketahanan terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang cepat, adaptasi luas,
dan hasil yang tinggi (Tejaswini 2002). Kondisi tanaman hias yang pada
umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan konstitusi genetik yang heterosigot
menyulitkan untuk memprediksi hasil persilangan dengan karakter yang
diinginkan. Pembentukan tanaman homosigot pada tanaman yang diperbanyak
secara vegetatif memiliki keuntungan dari segi pemuliaan dan perbenihan. Dari
segi pemuliaan, diperoleh hibrida F1 dengan karakter sesuai dengan yang
diinginkan dan dapat juga diperbanyak secara vegetatif. Dari segi perbenihan,
perdagangan benih dalam bentuk biji hibrida F1 lebih efisien dibandingkan bentuk
stek.
Untuk mendapatkan tanaman homosigot dapat diperoleh melalui kultur
antera yang dikenal dengan androgenesis. Androgenesis merupakan pertumbuhan
sporofitik sel gamet jantan yang terinduksi untuk membentuk embrio.
Perkembangan sel gamet jantan yang normal menghasilkan serbuk sari
(gametofitik) yang mengandung dua sel yaitu sel generatif dan sel vegetatif.
Selanjutnya sel generatif menghasilkan dua sel gamet selama pemasakan serbuk
sari atau selama perkecambahan serbuk sari dalam stigma.
Induksi perkembangan sporofitik hanya mungkin terjadi pada tahap awal
perkembangan ketika sel gamet menunjukkan totipotensinya (Touraev et al.
2001). Androgenesis terjadi jika serbuk sari atau polen diinduksi untuk mengubah
dari lintasan gametofitik menjadi lintasan sporofitik sehingga membentuk embrio.
Perubahan yang terjadi ditujukan pada pembelahan mikrospora (premitotik) yang
membentuk binukleat atau setelah mitosis mikospora (postmitotik), di mana sel
vegetatif atau generatif (atau keduanya) membelah untuk melakukan androgenesis
(Jacquard et al. 2003; Custers et al. 1994).
Banyak faktor mempengaruhi respon androgenik tanaman. Di antara
faktor endogen yang mempengaruhi embriogenesis, selain genotipe ialah tahap
perkembangan serbuk sari yang menentukan keberhasilan androgenesis. Faktor
lain adalah berkaitan dengan kondisi fisiologis selama perkembangan tanaman
donor maupun kondisi pertumbuhan in vitro setiap tahap proses.
44
Respon androgenik dapat dimodifikasi melalui perlakuan pada tanaman
donor. Praperlakuan pada antera merupakan tahap yang penting. Praperlakuan ini
diberikan dengan menciptakan kondisi stress. Kondisi stress diperlukan untuk
mengubah program gametofitik serbuk sari ke lintasan perkembangan sporofitik,
melalui suatu sinyal, menghasilkan embrio haploid. Reorientasi serbuk sari ini
sering dihasilkan dengan memberikan sinyal dalam bentuk stress seperti suhu
rendah, stress osmotik, pengurangan nutrient (pelaparan atau starvasi), heat-shock,
kombinasi dari berbagai macam stres ini (Asakaviciute 2008).
Suhu rendah merupakan praperlakuan yang paling sering digunakan untuk
androgenesis. Inkubasi suhu rendah pada donor antera dalam kultur menghasilkan
efek rangkap dengan memberikan gangguan mitosis pada serbuk sari untuk
membentuk embrio dan memberikan waktu yang cukup untuk serbuk sari dapat
dilepaskan oleh antera (Mejza et al. 1993). Pada tanaman barley perlakuan yang
umum diberikan ialah penyimpanan tangkai bunga pada 4 oC selama 28 hari, pada
kelembaban relatif yang tinggi dalam kondisi gelap (Huang dan Sunderland
1982). Namun menurut Powel (1988) durasi optimum untuk perlakuan suhu
rendah tergantung pada genotipe. Hasil penelitian Fu et al. (2008) pada Dianthus
chinensis perlakuan suhu rendah memberikan hasil terbentuknya kalus tertinggi
untuk kultivar “Splendor”. Dari beberapa media yang digunakan media MS
dengan rasio auksin : sitokinin tinggi mampu menginduksi kalus androgenik dan
media regenerasi dengan rasio auksin:sitokinin rendah dapat meningkatkan
regenerasi kalus. Media yang dengan penambahan 2,4-Dmenghambat diferensiasi
tunas, sedang penambahan TDZ menyebabkan tunas mengalami vitrifikasi. Media
dengan penambahan BA dan NAA merupakan media terbaik untuk regenerasi
kalus menjadi tunas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan media yang sesuai
untuk pembentukan kalus dan mendapatkan media regenerasi yang sesuai untuk
pertumbuhan kalus androgenik serta mendapatkan tanaman haploid melalui
androgenesis.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian
Tanaman Hias dan Laboratorium terkait, pada bulan Maret 2011 - Maret 2012.
Bahan yang digunakan Dianthus chinensis “Dchi-11” dan “Dchi-13” pada tahap
perkembangan kuncup bunga T2 (ukuran 1,31 cm -1,5 cm, warna antera putih,
umur 5 hari setelah inisiasi kuncup) koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias.
45
Dianthus chinensis “Dchi-11” dan “Dchi-13” dipilih karena memiliki viabilitas
serbuk sari tertinggi dari lima tanaman donor lain. Tiga genotipe lain seperti D.
barbatus, D. chinensis “Dchi-12 dan Dchi-15 digunakan untuk verifikasi media
yang telah dihasilkan. Tanaman ditanam di pot ukuran 17 cm dengan media
tanaman campuran humus daun bambu:arang sekam: pupuk kandang = 2:1:1.
Penelitian dibagi dalam dua seri percobaan yaitu (1) induksi kalus androgenik dan
(2) pertumbuhan dan regenerasi kalus.
Prosedur Pelaksanaan
Percobaan 1. Induksi Kalus Androgenik Dianthus chinensis
Media yang digunakan ialah media dasar WT (Winarto et al. 2009,
Winarto et al. 2011) (Lampiran 2). Komposisi media tersebut ialah AD1 = WT +
1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD2 = WT +
2,26 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD3 = WT +
4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT
+ 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ
Bahan pemadat menggunakan Phytagel sebanyak 2,8 g L-1 dan sukrosa 30
g/l dengan pH 5,8. Percobaan disusun secara faktorial diulang 3 kali. Faktor
pertama ialah dua genotipe Dchi-11 dan Dchi-13, dan faktor kedua ialah
komposisi media. Sebelum ditanam kuncup bunga disimpan pada suhu 4 oC
selama 1 hari. Jumlah antera setiap botol kultur adalah 5. Kultur diinkubasi pada
kondisi gelap suhu 4 oC selama 7 hari dilanjutkan dengan suhu 25 oC selama 4
minggu. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan lama
penyinaran 16 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus
terbentuk. Pembentukan kalus diamati setelah 1 – 2 bulan. Peubah yang diamati
ialah (1) jumlah antera membentuk kalus atau embrio dan (2) tipe kalus. Media
yang terbaik kemudian dilakukan verifikasi menggunakan genotipe lain yaitu
Dianthus barbatus, Dianthus chinensis Dchi-12 dan Dianthus chinensis Dchi-15.
Analisis data
Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA)
dengan program SAS Release window 9.1. Jika terdapat pengaruh nyata dari
perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan
pada taraf kepercayaan 5%.
46
Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anteraDianthus chinensis
Penggunaan berbagai media regenerasi yang diaplikasikan pada kalus hasil
percobaan 1. Media regenerasi yang diaplikasikan menggunakan media dasar WT
dengan 8 macam kombinasi, yaitu: R6 = WT + 1,11 µM BAP; R7 = WT + 2,22
µM BAP; R8 = WT + 0,444 µM BAP; R9 = WT + 0,222 µM BAP; R10 = WT +
1,11 µM BAP + 0,285 µM NAA; R11 = WT + 2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA;
R12 = WT + 0,444 µM BAP + 0,285 µM NAA dan R13 = WT + 0,222 µM BAP
+ 0,285 µM NAA dengan penambahan 30 g L-1 sukrosa pada pH 5,8. Peubah
yang diamati ialah (1) jumlah kalus yang beregenerasi, dan (2) saat/lama
regenerasi.
Analisis ploidi
Bahan yang digunakan dalam analisis ploidi adalah hasil regenerasi
percobaan 2. Analisis ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong
menggunakan alat CyFlow® space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan
diode pumped solid-state laser (20 mW) pada panjang gelombang 488 nm and
laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2)
dicacah menggunakan silet di dalam cawan petri yang berisi 500 µl buffer
ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 50
µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI (Propidium Iodide) dan Rnase (2
ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 – 60 menit sebelum dianalisis dalam flow
cytometry. Sebagai kontrol (diploid) digunakan daun muda dari Dianthus
chinensis Dchi-11.
Hasil
Percobaan 1. Induksi kalus androgenik Dianthus chinensis
Pembentukan kalus pada antera dimulai dengan membesarnya ukuran
antera, diikuti dengan pecahnya kotak antera di daerah stomium (Gambar 11).
Selain itu juga terjadi perubahan warna antera menjadi coklat (Gambar 11A) atau
ungu (Gambar 11B). Pada kondisi antera berada pada jalur terbentuknya polen
yang masak, pada umumnya berubah menjadi warna ungu. Perubahan warna
antera diduga karena aktifitas etilen. Selanjutnya pada stomium akan terjadi
47
diferensiasi akibat respon terhadap komponen media dan hormon (Gambar 11C).
Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristematik yang aktif membelah.
Antera yang tidak mampu membelah akan berwarna coklat tua sampai kehitaman
(Gambar 11D).
Gambar 11. Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus chinensis.(A) Antera membesar dan dinding antera merekah, (B) dindingantera warna ungu yang merekah, (C) rekahan dinding antera mulaimembentuk kalus pada minggu ke 3, (D) antera yang tidak responsifakan kisut berwarna coklat kehitaman, (E) kalus 30 hari setelahinisiasi, (F) kalus 45 hari setelah inisiasi, (G) kalus 3 bulan setelahinisiasi. Panah merah = antera yang tidak respon, panah putih =antera yang merekah, panah hijau = antera mati berwarna coklatkehitaman. Bar = 1 mm
Komposisi media dan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap pertumbuhan antera, namun interaksi antara media dan genotipe tidak
berpengaruh nyata. Respon pertumbuhan yang baik umumnya ditandai dengan
kondisi antera yang tetap segar dan inisiasi kalus pada daerah belahan antera,
meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan (Gambar 10D). Antera yang
tetap segar memiliki peluang terinduksi membentuk kalus, meskipun tidak setiap
antera yang segar dapat membentuk kalus. Kalus terus tumbuh dan berkembang
dan terlihat jelas 1 bulan setelah inisiasi (Gambar 10E) dan 3 bulan setelah inisiasi
(Gambar 10G).
Hasil analisis data tidak terdapat interaksi antara genotipe dengan media.
Persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-13 lebih tinggi, tetapi lebih lambat
dalam membentuk kalus dibandingkan genotipe Dchi-11 (Tabel 6). Dchi-13
A B C D
GFE
47
diferensiasi akibat respon terhadap komponen media dan hormon (Gambar 11C).
Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristematik yang aktif membelah.
Antera yang tidak mampu membelah akan berwarna coklat tua sampai kehitaman
(Gambar 11D).
Gambar 11. Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus chinensis.(A) Antera membesar dan dinding antera merekah, (B) dindingantera warna ungu yang merekah, (C) rekahan dinding antera mulaimembentuk kalus pada minggu ke 3, (D) antera yang tidak responsifakan kisut berwarna coklat kehitaman, (E) kalus 30 hari setelahinisiasi, (F) kalus 45 hari setelah inisiasi, (G) kalus 3 bulan setelahinisiasi. Panah merah = antera yang tidak respon, panah putih =antera yang merekah, panah hijau = antera mati berwarna coklatkehitaman. Bar = 1 mm
Komposisi media dan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap pertumbuhan antera, namun interaksi antara media dan genotipe tidak
berpengaruh nyata. Respon pertumbuhan yang baik umumnya ditandai dengan
kondisi antera yang tetap segar dan inisiasi kalus pada daerah belahan antera,
meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan (Gambar 10D). Antera yang
tetap segar memiliki peluang terinduksi membentuk kalus, meskipun tidak setiap
antera yang segar dapat membentuk kalus. Kalus terus tumbuh dan berkembang
dan terlihat jelas 1 bulan setelah inisiasi (Gambar 10E) dan 3 bulan setelah inisiasi
(Gambar 10G).
Hasil analisis data tidak terdapat interaksi antara genotipe dengan media.
Persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-13 lebih tinggi, tetapi lebih lambat
dalam membentuk kalus dibandingkan genotipe Dchi-11 (Tabel 6). Dchi-13
A B C D
GFE
47
diferensiasi akibat respon terhadap komponen media dan hormon (Gambar 11C).
Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristematik yang aktif membelah.
Antera yang tidak mampu membelah akan berwarna coklat tua sampai kehitaman
(Gambar 11D).
Gambar 11. Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus chinensis.(A) Antera membesar dan dinding antera merekah, (B) dindingantera warna ungu yang merekah, (C) rekahan dinding antera mulaimembentuk kalus pada minggu ke 3, (D) antera yang tidak responsifakan kisut berwarna coklat kehitaman, (E) kalus 30 hari setelahinisiasi, (F) kalus 45 hari setelah inisiasi, (G) kalus 3 bulan setelahinisiasi. Panah merah = antera yang tidak respon, panah putih =antera yang merekah, panah hijau = antera mati berwarna coklatkehitaman. Bar = 1 mm
Komposisi media dan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap pertumbuhan antera, namun interaksi antara media dan genotipe tidak
berpengaruh nyata. Respon pertumbuhan yang baik umumnya ditandai dengan
kondisi antera yang tetap segar dan inisiasi kalus pada daerah belahan antera,
meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan (Gambar 10D). Antera yang
tetap segar memiliki peluang terinduksi membentuk kalus, meskipun tidak setiap
antera yang segar dapat membentuk kalus. Kalus terus tumbuh dan berkembang
dan terlihat jelas 1 bulan setelah inisiasi (Gambar 10E) dan 3 bulan setelah inisiasi
(Gambar 10G).
Hasil analisis data tidak terdapat interaksi antara genotipe dengan media.
Persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-13 lebih tinggi, tetapi lebih lambat
dalam membentuk kalus dibandingkan genotipe Dchi-11 (Tabel 6). Dchi-13
A B C D
GFE
48
menghasilkan kalus lebih banyak dan berbeda secara signifikan (P<0.05)
dibandingkan dengan Dchi-11. Dari Tabel 7 tersebut jelas terlihat bahwa genotipe
donor merupakan faktor kunci keberhasilan pembentukan kalus.
Table 7. Respon dua genotipe D. chinensis (rataan persentase terbentuknya kalusdan waktu terbentuknya kalus) pada media induksi kalus
Genotipe Persentase anteramembentuk kalus (%)
Waktu terbentuknyakalus (hari)
Dchi-11 2,50 b 19,50Dchi-13 18,75 a 31,88
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayahberganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Media AD4 merupakan media dasar yang paling potensial untuk kultur
antera Dianthus chinensis. Komposisi media tersebut mampu menginduksi
persentase antera tertinggi membentuk kalus (17,50%) dibandingkan media yang
lain walaupun dengan media AD1 dan AD3 tidak berbeda nyata (Tabel 8).
Kesesuaian kombinasi dan konsentrasi hormon diduga juga mempengaruhi
komposisi media dasar dalam pembentukan kalus. Kombinasi antara 9,04 µM 2,4-
D+ 2,27 µM TDZ + 5,71 µM NAA pada media dasar WT (AD4) sesuai untuk
pembentukan kalus D. chinensis. Kombinasi antara 2,26 µM 2,4-D+ 4,54 µM
TDZ + 2,22 µM BAP + 5,71 µM NAA pada media dasar WT (AD2) paling
sedikit membentuk kalus.
Tabel 8. Pengaruh media terhadap persentase antera membentuk kalus dan waktuterbentuknya kalus pada genotype D. chinensis
Media Persentase anteramembentuk kalus (%)
Waktu mulaiterbentuknya kalus (hari)
AD1 10,0 ab 36,0AD2 5,0 b 38,0AD3 10,0 ab 25,0AD4 17,5 a 28,5
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayahberganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. AD1 = WT + 1,13 µM2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD2 = WT+ 2,26 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP,AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ +2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA +2,27 µM TDZ
Waktu mulai terbentuknya kalus pada semua media berkisar antara 25
sampai 38 hari setelah induksi (Tabel 7). Waktu terbentuknya kalus tercepat
adalah genotipe yang di tanaman pada media AD4 yaitu 25 hari setelah induksi.
49
Media AD4 yang merupakan media terbaik selanjutnya digunakan untuk
verifikasi dan diaplikasikan pada genotipe lain (Dianthus barbatus, Dianthus
chinensis Dchi-12 dan Dchi-15). Verifikasi media dilakukan pada genotipe-
genotipe ini karena pada saat perlakuan genotipe-genotipe ini belum berbunga.
Hasil yang diperoleh hanya genotipe Dchi-12 dan Dchi-15 yang dapat membentuk
kalus (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan bahwa setiap genotipe membutuhkan
media yang spesifik. Pada umumnya kalus terbentuk 3 - 4 minggu setelah kultur.
Gambar 12. Verifikasi media AD4 kultur antera (A) Dianthus barbatus, (B)Dianthus chinensis Dchi-12 dan (C) Dianthus chinensis Dchi-15.Bar = 1 mm
Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anteraDianthus sp.
Regenerasi kalus menggunakan media dasar yang sama dengan media
induksi kalus, tetapi dengan mengurangi konsentrasi auksin dan sitokinin. Dari
delapan media regenerasi yang diuji hanya media R7 dan R11 yang sesuai untuk
regenerasi (Tabel 9). Eksplan Dchi-13-148-3 dengan media induksi awal AD3
(Gambar 13A), eksplan mampu beregenerasi pada media R7, sedangkan eksplan
Dchi-11-171-4 dengan media induksi awal AD4 (Gambar 13B), eksplan mampu
beregenerasi pada media R11. Pada pembentukan kalus dan regenerasi genotipe
Dchi-13 lebih tinggi dibandingkan dengan Dchi-11. Media regenerasi lain seperti
R6, R8, R9, R10, R12 dan R13 menghambat diferensiasi tunas (Gambar 13C).
Pemberian 0,285 µM NAA dan 2,22 µM BAP pada media R11 mampu
meningkatkan persentase kalus yang beregenerasi dibandingkan media R7 yang
hanya berisi 2,22 µM BAP.
Kalus yang mampu beregenerasi, satu bulan berikutnya disubkultur ke
media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya regeneran
mampu memperbanyak diri pada media tersebut, tetapi semua kalus terinduksi
bunga prematur. Bentuk kuncup bunga juga tidak normal, petal tidak
berkembang, tanpa daun, dan ukuran kecil (1 – 1,5 cm) (Gambar 13D dan E).
A B C
49
Media AD4 yang merupakan media terbaik selanjutnya digunakan untuk
verifikasi dan diaplikasikan pada genotipe lain (Dianthus barbatus, Dianthus
chinensis Dchi-12 dan Dchi-15). Verifikasi media dilakukan pada genotipe-
genotipe ini karena pada saat perlakuan genotipe-genotipe ini belum berbunga.
Hasil yang diperoleh hanya genotipe Dchi-12 dan Dchi-15 yang dapat membentuk
kalus (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan bahwa setiap genotipe membutuhkan
media yang spesifik. Pada umumnya kalus terbentuk 3 - 4 minggu setelah kultur.
Gambar 12. Verifikasi media AD4 kultur antera (A) Dianthus barbatus, (B)Dianthus chinensis Dchi-12 dan (C) Dianthus chinensis Dchi-15.Bar = 1 mm
Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anteraDianthus sp.
Regenerasi kalus menggunakan media dasar yang sama dengan media
induksi kalus, tetapi dengan mengurangi konsentrasi auksin dan sitokinin. Dari
delapan media regenerasi yang diuji hanya media R7 dan R11 yang sesuai untuk
regenerasi (Tabel 9). Eksplan Dchi-13-148-3 dengan media induksi awal AD3
(Gambar 13A), eksplan mampu beregenerasi pada media R7, sedangkan eksplan
Dchi-11-171-4 dengan media induksi awal AD4 (Gambar 13B), eksplan mampu
beregenerasi pada media R11. Pada pembentukan kalus dan regenerasi genotipe
Dchi-13 lebih tinggi dibandingkan dengan Dchi-11. Media regenerasi lain seperti
R6, R8, R9, R10, R12 dan R13 menghambat diferensiasi tunas (Gambar 13C).
Pemberian 0,285 µM NAA dan 2,22 µM BAP pada media R11 mampu
meningkatkan persentase kalus yang beregenerasi dibandingkan media R7 yang
hanya berisi 2,22 µM BAP.
Kalus yang mampu beregenerasi, satu bulan berikutnya disubkultur ke
media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya regeneran
mampu memperbanyak diri pada media tersebut, tetapi semua kalus terinduksi
bunga prematur. Bentuk kuncup bunga juga tidak normal, petal tidak
berkembang, tanpa daun, dan ukuran kecil (1 – 1,5 cm) (Gambar 13D dan E).
A B C
49
Media AD4 yang merupakan media terbaik selanjutnya digunakan untuk
verifikasi dan diaplikasikan pada genotipe lain (Dianthus barbatus, Dianthus
chinensis Dchi-12 dan Dchi-15). Verifikasi media dilakukan pada genotipe-
genotipe ini karena pada saat perlakuan genotipe-genotipe ini belum berbunga.
Hasil yang diperoleh hanya genotipe Dchi-12 dan Dchi-15 yang dapat membentuk
kalus (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan bahwa setiap genotipe membutuhkan
media yang spesifik. Pada umumnya kalus terbentuk 3 - 4 minggu setelah kultur.
Gambar 12. Verifikasi media AD4 kultur antera (A) Dianthus barbatus, (B)Dianthus chinensis Dchi-12 dan (C) Dianthus chinensis Dchi-15.Bar = 1 mm
Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anteraDianthus sp.
Regenerasi kalus menggunakan media dasar yang sama dengan media
induksi kalus, tetapi dengan mengurangi konsentrasi auksin dan sitokinin. Dari
delapan media regenerasi yang diuji hanya media R7 dan R11 yang sesuai untuk
regenerasi (Tabel 9). Eksplan Dchi-13-148-3 dengan media induksi awal AD3
(Gambar 13A), eksplan mampu beregenerasi pada media R7, sedangkan eksplan
Dchi-11-171-4 dengan media induksi awal AD4 (Gambar 13B), eksplan mampu
beregenerasi pada media R11. Pada pembentukan kalus dan regenerasi genotipe
Dchi-13 lebih tinggi dibandingkan dengan Dchi-11. Media regenerasi lain seperti
R6, R8, R9, R10, R12 dan R13 menghambat diferensiasi tunas (Gambar 13C).
Pemberian 0,285 µM NAA dan 2,22 µM BAP pada media R11 mampu
meningkatkan persentase kalus yang beregenerasi dibandingkan media R7 yang
hanya berisi 2,22 µM BAP.
Kalus yang mampu beregenerasi, satu bulan berikutnya disubkultur ke
media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya regeneran
mampu memperbanyak diri pada media tersebut, tetapi semua kalus terinduksi
bunga prematur. Bentuk kuncup bunga juga tidak normal, petal tidak
berkembang, tanpa daun, dan ukuran kecil (1 – 1,5 cm) (Gambar 13D dan E).
A B C
50
Tabel 9. Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persen kalusyang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asal dan mediaregenerasi
Genotipe Mediaasal
Mediaregenerasi
jumlah massakalus yang
diregenerasi
Jumlah kalus yangberegenerasi
% kalusberegenerasi*
Dchi-13 AD3 R6 3 0 0Dchi-11 AD3 R6 2 0 0Dchi-11 AD4 R6 3 0 0Dchi-11 AD4 R7 2 0 0Dchi-13 AD1 R7 2 0 0Dchi-13 AD3 R7 3 3 37.5Dchi-13 AD4 R7 3 0 0Dchi-13 AD1 R8 2 0 0Dchi-13 AD4 R8 2 0 0Dchi-13 AD1 R9 5 0 0Dchi-13 AD4 R9 2 0 0Dchi-11 AD4 R10 3 0 0Dchi-13 AD3 R10 7 0 0Dchi-13 AD4 R10 3 0 0Dchi-11 AD4 R11 3 2 66.6Dchi-13 AD3 R11 2 0 0Dchi-13 AD4 R11 3 0 0Dchi-11 AD1 R12 2 0 0Dchi-13 AD3 R12 2 0 0Dchi-13 AD4 R12 3 0 0Dchi-13 AD3 R13 2 0 0Dchi-13 AD4 R13 2 0 0
Keterangan: *) Dihitung dari jumlah kalus yang beregenerasi per jumlah total kalus yangdiregenerasikan pada media regenerasi yang sama, dan genotipe yangsama. AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ +2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µMTDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA+ 2,27 µM TDZ.
Gambar 13. Regenerasi kalus hasil kultur antera. (A) Genotipe Dchi-13-148-3,(B) Genotipe Dchi-11-171-4, (C) Genotipe Dchi-13-186-3, (D danE) Regenerasi kalus menjadi kuncup bunga prematur (tanda panah).Bar = 0,5 cm
A B C
D E
A
50
Tabel 9. Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persen kalusyang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asal dan mediaregenerasi
Genotipe Mediaasal
Mediaregenerasi
jumlah massakalus yang
diregenerasi
Jumlah kalus yangberegenerasi
% kalusberegenerasi*
Dchi-13 AD3 R6 3 0 0Dchi-11 AD3 R6 2 0 0Dchi-11 AD4 R6 3 0 0Dchi-11 AD4 R7 2 0 0Dchi-13 AD1 R7 2 0 0Dchi-13 AD3 R7 3 3 37.5Dchi-13 AD4 R7 3 0 0Dchi-13 AD1 R8 2 0 0Dchi-13 AD4 R8 2 0 0Dchi-13 AD1 R9 5 0 0Dchi-13 AD4 R9 2 0 0Dchi-11 AD4 R10 3 0 0Dchi-13 AD3 R10 7 0 0Dchi-13 AD4 R10 3 0 0Dchi-11 AD4 R11 3 2 66.6Dchi-13 AD3 R11 2 0 0Dchi-13 AD4 R11 3 0 0Dchi-11 AD1 R12 2 0 0Dchi-13 AD3 R12 2 0 0Dchi-13 AD4 R12 3 0 0Dchi-13 AD3 R13 2 0 0Dchi-13 AD4 R13 2 0 0
Keterangan: *) Dihitung dari jumlah kalus yang beregenerasi per jumlah total kalus yangdiregenerasikan pada media regenerasi yang sama, dan genotipe yangsama. AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ +2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µMTDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA+ 2,27 µM TDZ.
Gambar 13. Regenerasi kalus hasil kultur antera. (A) Genotipe Dchi-13-148-3,(B) Genotipe Dchi-11-171-4, (C) Genotipe Dchi-13-186-3, (D danE) Regenerasi kalus menjadi kuncup bunga prematur (tanda panah).Bar = 0,5 cm
A B C
D E
A
50
Tabel 9. Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persen kalusyang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asal dan mediaregenerasi
Genotipe Mediaasal
Mediaregenerasi
jumlah massakalus yang
diregenerasi
Jumlah kalus yangberegenerasi
% kalusberegenerasi*
Dchi-13 AD3 R6 3 0 0Dchi-11 AD3 R6 2 0 0Dchi-11 AD4 R6 3 0 0Dchi-11 AD4 R7 2 0 0Dchi-13 AD1 R7 2 0 0Dchi-13 AD3 R7 3 3 37.5Dchi-13 AD4 R7 3 0 0Dchi-13 AD1 R8 2 0 0Dchi-13 AD4 R8 2 0 0Dchi-13 AD1 R9 5 0 0Dchi-13 AD4 R9 2 0 0Dchi-11 AD4 R10 3 0 0Dchi-13 AD3 R10 7 0 0Dchi-13 AD4 R10 3 0 0Dchi-11 AD4 R11 3 2 66.6Dchi-13 AD3 R11 2 0 0Dchi-13 AD4 R11 3 0 0Dchi-11 AD1 R12 2 0 0Dchi-13 AD3 R12 2 0 0Dchi-13 AD4 R12 3 0 0Dchi-13 AD3 R13 2 0 0Dchi-13 AD4 R13 2 0 0
Keterangan: *) Dihitung dari jumlah kalus yang beregenerasi per jumlah total kalus yangdiregenerasikan pada media regenerasi yang sama, dan genotipe yangsama. AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ +2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µMTDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA+ 2,27 µM TDZ.
Gambar 13. Regenerasi kalus hasil kultur antera. (A) Genotipe Dchi-13-148-3,(B) Genotipe Dchi-11-171-4, (C) Genotipe Dchi-13-186-3, (D danE) Regenerasi kalus menjadi kuncup bunga prematur (tanda panah).Bar = 0,5 cm
A B C
D E
A
51
Analisis ploidi
Analisis ploidi dilakukan pada sampel kalus yang telah beregenerasi,
karena kondisi regeneran tidak mampu untuk mendapatkan planlet normal.
Tanaman kontrol diploid untuk analisis ploidi dengan flow cytometer berasal dari
Dchi-11. Sebagian kalus dari tanaman donor dan daun dari tanaman kontrol
diploid diambil sampelnya kemudian dianalisis dengan flow cytometer. Hasil
analisis dengan flow cytometer diperoleh bahwa dua regeneran (Dchi-13-148-3
dan Dchi-11-171-4) tersebut memiliki level ploidi sama dengan tanaman kontrol
(Gambar 14). Kalus dari tanaman donor disajikan dalam bentuk puncak DNA G1
pada channel 200 (Gambar 14A), yang ditetapkan sebagai standar 2C untuk sel
diploid bersama dengan puncak kecil pada channel 400 sebagai karakteristik dari
puncak G2.
Gambar 14. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer: (A) Tanaman kontroldiploid D-chi11/Dchi-11; (B) Regeneran hasil kultur antera Dchi-13-148-3 dan (C) Regeneran hasil kultur antera Dchi-11-171-4.
File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43 Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
File: Anyelir 148 Date: 17-02-2012 Time: 10:25:55 Particles: 8528 Acq.-Time: 84 s
0 200 400 600 800 10000
80
160
240
320
400
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
80
160
240
320
400
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
File: Anyelir 171 Date: 17-02-2012 Time: 10:01:05 Particles: 25621 Acq.-Time: 251 s
0 200 400 600 800 10000
160
320
480
640
800
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
160
320
480
640
800
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
A
B
C
2C
2C
2C
4C
4C
4C 8C
52
Analisis ploidi tanaman donor ini hanya dilakukan satu sampel saja.
Sampel yang akurat biasanya menggunakan daun. Pada umumnya apabila kalus
digunakan sebagai sampel, akan terdapat kemungkinan bentuk mixoploid akan
muncul. Walaupun terdapat kemungkinan mixoploid (Gambar 14C), tetapi pada
umumnya sampel kalus akan berada pada channel 200 (fase G1) dan 400 (fase
G2) atau bentuk diploid. Analisis ploidi dilakukan menggunakan sampel kalus
karena eksplan mengalami perubahan fase generatif prematur. Analisis sitologi
dengan melihat jumlah kromosom sulit dilakukan karena sel terlalu kecil untuk
dideteksi jumlah kromosomnya.
Pembahasan
Percobaan 1. Induksi kalus androgenik Dianthus chinensis
Penggunaan media dasar WT dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan
setelah penggunaan media dasar MS tidak menghasilkan kalus. Media dasar WT
yang merupakan modifikasi media MMS yang memiliki komposisi elemen makro
dan mikro yang lebih kecil konsentrasinya dibandingkan media dasar MS. Media
ini merupakan media kultur antera Anthurium sp. yang paling baik untuk
pembentukan kalus (Winarto 2009). Komposisi media dasar WT terdapat
penambahan unsur NaH2PO4.H2O dan rasio NH4+: NO3
- = 1: 2,21. Vitamin hanya
terdiri atas myo-inositol dan thiamin, di mana myo-inositol lebih tinggi dari MS
dan thiamin setengah dari media MS. Kombinasi komposisi media dan
konsentrasi hormon yang sesuai diduga juga mempengaruhi komposisi media
dasar dalam pembentukan kalus antera Dianthus chinensis.
Media AD1 memiliki rasio auksin:sitokinin 0,6:1, AD2 memiliki rasio
auksin:sitokinin 1,18:1 lebih tinggi dari AD1. Media AD3 memiliki rasio
auksin:sitokinin 2,28:1 dan AD4 memiliki rasio auksin:sitokinin tertinggi yaitu
6,5:1. Media AD4 menambah konsentrasi 2,4-D dua kali lipat, tetapi mengurangi
hormon BAP. Ekplan yang ditanam pada media dasar WT yang mengandung 9,04
µM 2,4-D, 5,71 µM NAA, dan 2,27 µM TDZ (media AD4) menghasilkan
persentase terbentuknya kalus tertinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa induksi
kalus Dianthus chinensis memerlukan rasio auksin:sitokinin yang tinggi. Hasil
yang sama juga terjadi pada penelitian Fu et al. (2008) dan Pareek dan Kothari
(2003) pada 3 species Dianthus sp. yaitu D. caryophyllus, barbatus dan chienesis,
di mana rasio auksin:sitokinin yang tinggi (10,3:1) diperlukan dalam
53
pembentukan kalus yang embriogenik. Hasil yang sama juga diperoleh Ammirato
(1997) dan Frey et al. (1992), yang menggunakan 2,4-D untuk menginduksi kalus
embriogenik pada anyelir. 2,4-D merupakan zat pengatur tumbuh kelompok
auksin yang umum digunakan untuk menginduksi kalus dalam kondisi gelap. 2,4-
D mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai, berfungsi sebagai auksin yang
kuat dan mampu mendorong aktivitas morfogenesis (Terzi &Loschiavo 1990).
Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anteraDianthus chinensis.
Dchi-13 dapat membentuk kalus pada media WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71
µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan beregenerasi pada media WT +
2,22 µM BAP, sedangkan Dchi-11 dapat membentuk kalus pada media WT +
9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ dan beregenerasi pada media
WT + 2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA. Aplikasi ZPT ke dalam media kultur
berperan dalam pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pemberian
konsentrasi ZPT yang tinggi umumnya diperlukan untuk proses morfogenesis
awal dan digunakan untuk dediferensiasi serta pembentukan sel-sel meristematik.
Peran ZPT akan menurun setelah sel aktif membelah. Pada tahap ini kalus akan
teregenerasi menjadi dua kelompok sel yaitu sel meristematik dan non
meristematik sel (George et al. 2007).
Waktu regenerasi dua kalus Dchi-13-148-3 dan Dchi-11-171-4 sama yaitu
8 minggu setelah sub kultur pada media regenerasi. Saat pembentukan kalus rasio
auksin lebih tinggi (>2,28:1 ) pada media induksi kalus AD3 dan AD4, sebaliknya
pada saat regenerasi, media regenerasi yang memiliki rasio auksin:sitokinin
rendah (0,13:1) pada media regenerasi R11 memberikan respon yang positif.
Rasio auksin:sitokinin rendah inilah yang diduga berpengaruh terhadap aktivitas
pembelahan sel, pertumbuhan dan perkembangan tunas. Media regenerasi R11
menghasilkan persen regenerasi kalus yang lebih tinggi dibandingkan dengan R7
pada genotipe yang sama (Tabel 8). Media regenerasi R11 sesuai untuk genotipe
Dchi-11 dan media regenerasi R7 sesuai untuk genotipe Dchi-13. Media
regenerasi R7 hanya mengandung zat pengatur tumbuh sitokinin saja yaitu 22,2
µM BAP, sementara media regenerasi R11 mengandung sitokinin 22,2 µM BAP
dan auksin 0,285 µM NAA. Ini berarti kehadiran sedikit auksin dalam media akan
memberikan hasil yang maksimal. Hasil ini sama dengan yang diperoleh Fu et al.
(2008) yang hanya menggunakan BAP dan NAA untuk diferensiasi menjadi
54
tunas. Penggunaan 2,4-Datau TDZ pada kalus hasil kultur antera Dianthus
chinensis akan menghambat diferensiasi kalus menjadi tunas.
Analisis ploidi
Analisis ploidi menggunakan flow cytometer merupakan metode yang
sesuai apabila analisis ploidi dengan penghitungan kromosom sulit dilakukan.
Pada penelitian ini masing-masing regeneran hanya diambil satu sampel kultur
untuk analisis, sehingga hasil akhir yang diperoleh belum mewakili kondisi
keseluruhan yang sebenarnya. Sampai saat ini regenerasi kalus menjadi tanaman
normal belum dapat diperoleh, karena kalus beregenerasi menjadi bunga
prematur.
Simpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan kalus pada kultur
antera memerlukan auksin (2.4-D) yang lebih tinggi dari sitokinin, sebaliknya
regenerasi kalus hasil kultur antera memerlukan sitokinin (BAP) yang lebih tinggi
dari auksin.
Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dicari perlakuan cekaman yang mampumemecah kotak antera pada minggu ke 2 sampai ke 4 (sebelum antera mengalamidegenerasi).
55
INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUIGINOGENESIS SECARA IN VITRO
Abstrak
Tanaman haaploid ginogenik dapat diproduksi dari hasil pembelahan danregenerasi sel telur yang tidak dibuahi, atau sel haploid lain dalam kantongembrio. Tujuan penelitian ialah mendapatkan metode isolasi kultur ovul atau ovaridalam mendapatkan tanaman haploid, mendapatkan media yang sesuai untukmenginduksi ginogenesis, dan mendapatkan tanaman haploid melalui ginogenesis.Genotipe yang digunakan ialah Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 dan Dchi-16dari spesies Dianthus chinensis. Penelitian terdiri atas empat percobaanberdasarkan asal eksplan. Empat eksplan tersebut adalah potongan multi ovul,multi ovul, potongan ovari dan ovari. Masing-masing percobaan disusun secarafaktorial terdiri atas dua faktor yaitu faktor genotipe dan faktor media. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µMBAP + 20 g L-1 sukrosa) media yang baik untuk menginduksi kalus ginogenik darieksplan irisan multi ovul, multi ovul dan irisan ovari, sedang media M6 (WT +1,13 µM 2,4-D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa) media untukmenginduksi embrio langsung dari kultur ovari. Dari hasil penelitian ini dapatdisimpulkan bahwa media dasar WT sesuai untuk pembentukan embrio langsungdari kultur ovari, sedangkan media dasar MS sesuai unutk membentuk kalus padakultur multi ovul, ovul dan irisan ovari. Auksin dalam bentuk 2,4-D lebih baikuntuk menginduksi kalus ginogenik dibanding NAA. Kalus yang berasal darikultur multi ovul, ovul dan irisan ovari terinduksi bunga secara in vitro dan didugamenghasilkan mutan abnormalitas pembungaan. Kultur irisan multi ovul dankultur ovari diduga menghasilkan masing-masing satu tanaman haploid ganda,dan kultur irisan ovari diduga menghasilkan tanaman haploid yang membawa gendwarf.
Kata Kunci: kultur ovul, kultur ovari, media, ginogenesis, haploid ganda
56
HAPLOID INDUCTION OF Dianthus chinensis
THROUH IN VITRO GYNOGENESIS
Abstrak
Haploid plants can be produced from devision and regeneration ofunfertilized egg cell or other cell in embryo sac. The aim of the research were toobtain isolation method of ovule atau ovari culture in obtaining haploid plant,suitable media for gynogenesis induction, and haploid plants by gynogenesis.Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 and Dchi-16 of Dianthus chinensis specieswere used in this research. The research consist of four experiment based onexplants sources. These four explants were multy ovul slice, multy ovul, ovaryand ovary slice. The factorial design included genotipes factor and media factor.The result showed that M10 media (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 gL-1 sucrose) was the best media in inducing gynogenic callus from multy ovulslice, multy ovul, and ovary slice explants, while M6 media (WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sucrose) for inducing directembryo from ovary culture. In conclusion, WT basic media was suitable forinducing direct embryo from ovary culture, while MS basic media was suitablefor callus formation on culture of multiovule, ovule and ovary slice. Auxin (2,4-D) was better than NAA in inducing gynogenic callus. Callus from multy ovulslice, multy ovul, and ovary slice explants produce putative mutant with abnormalflower. Two putative double haploid plants came up from multy ovule and ovaryculture, and one haploid plant bringing dwarf gen was obtained.
Key words: ovule culture, ovary culture, media, gynogenesis
57
Pendahuluan
Pengembangan teknologi haploidisasi merupakan salah satu terobosan
teknologi yang dapat diharapkan untuk membangun dan mendorong kebangkitan
florikultura di Indonesia. Melalui teknologi ini, tanaman homozigot dapat
dihasilkan. Persilangan antara tanaman homozigot akan menghasilkan tanaman
hibrida baru yang diperbanyak melalui biji. Keberhasilan pengembangan
teknologi ini pada tanaman hias akan bermanfaat dalam penyediaan benih yang
berkualitas melalui persilangan konvensional sekaligus menghasilkan varietas
unggul baru.
Pengembangan teknologi haploid memiliki beberapa keuntungan dan
sangat bermanfaat dalam program pemuliaan dan penelitian dasar pada tanaman.
Tanaman haploid ganda sebagian besar digunakan untuk galur tetua dalam
pembentukan varietas hibrida F1 dalam program pemuliaan. Haploid ganda juga
bermanfaat dalam proses seleksi terutama untuk karakter-karakter poligenik,
karena rasio genetiknya menjadi lebih sederhana dan jumlah tanaman yang ditapis
lebih sedikit untuk mendapatkan genotipe tertentu. Selain itu tanaman haploid
ganda berguna untuk studi yang terkait dengan karakter resesif, karena efek
dominan tidak menutupi fenotipe resesif dari tanaman. Akhir-akhir ini tanaman
haploid ganda banyak dimanfaatkan dalam pemetaan gen dan MAS (marker-
assisted selection) secara molekuler (Gonzalo et al. 2011). Tanaman haploid yang
memiliki jumlah kromosom gametofitik menyediakan sistem yang penting untuk
studi mutasi dan seleksi (Reinert et al. 1975, Liu et al. 2005, Suprasanna et al.
2009).
Ginogenesis merupakan perkembangan embrio yang berasal dari jaringan
embrio maternal atau karena aktivasi sel telur oleh sel sperma yang mengalami
degenerasi tanpa bersatu dengan inti sel telur. Ginogenesis dapat dilakukan
melalui kultur in vitro, di antaranya ialah kultur ovul dan ovari. Dalam
terminologi tanaman, regenerasi haploid ginogenik secara luas digunakan untuk
semua metode induksi haploid yang menggunakan gametofit betina sebagai
sumber sel haploid, tanpa memperhatikan prosesnya dari pseudofertilisasi atau
tidak (Bohanec 2009). Haploid ginogenik dapat diinduksi dari hasil isolasi ovul,
ovari atau bahkan kuncup bunga (Keller 1990, Bohanec et al. 1995, Jakse et
al.1996).
58
Kultur ovul dan kultur ovari untuk mendapatkan tanaman haploid telah
banyak dimanfaatkan pada tanaman bawang merah (Martinez et al, 2000, Alan et
al. 2004, Musial et al. 2005), Cucurbita sp. (Shalaby 2007), Gerbera jamesonii
(Meynet and Sibi, 1984; Miyoshi dan Asakura 1996), Solanum tuberosum (Tao et
al. 1985) dan Lycopersicon esculentum Mill. (Bal and Abak 2003).
Produksi tanaman haploid melalui ginogenesis dilakukan hanya pada
tanaman yang sulit diperoleh melalui androgenesis yang tidak dapat diperoleh
regeneran yang viabel (Obert et al. 2009). Haploid ginogenik dapat diproduksi
dari hasil pembelahan sel telur yang tidak dibuahi, atau sel haploid lain dalam
kantong embrio seperti sel sinergid atau sel antipodal (Shivanna 2003). Pada
tanaman bawang merah ginogenesis melalui kultur ovul dan ovari sudah banyak
diaplikasikan. Embrio haploid bawang merah (77,6%) dihasilkan melalui
ginogenesis 32 klon (Cohat 1994). Keller (1990) memperoleh tiga tanaman
haploid bawang merah dari 287 tanaman (1,05%), sedangkan Geoffriau et al.
(1997) dan Alan et al. (2004) memperoleh tanaman haploid berturut-turut 0 –
17% dari 22 varietas dan 1100 tanaman ginogenik Allium cepa L. dari 47000 yang
diinduksi (2,34%). Pada tanaman Cucurbitaa pepo L. diperoleh 0 – 48% pada
tanaman (Shalaby 2007).
Induksi ginogenesis pada tanaman Flax (Linum usitatissimum L.)
memerlukan pra perlakuan pada suhu 8 oC selama 72 jam dilanjutkan dengan pra
perlakuan suhu 32 oC selama 8 jam untuk menginduksi kalogenesis kultur ovari
(Obert et al. 2009). Tanaman Allium cepa dan Lycopersicon esculentum Mill.
memerlukan pra perlakuan berbeda yaitu suhu 10 ◦C selama 4–23 hari (Alan et al.
2004; Bal % Abak 2003). Sementara pada beberapa tanaman seperti Nicotiana
rustica (Katoh & Iwai 1993) dan Cucurbita pepo L. (Shalaby 2007) tidak
memerlukan praperlakuan. Tujuan penelitan ini ialah mendapatkan metode isolasi
kultur ovul atau ovari dalam mendapatkan tanaman haploid, mendapatkan media
yang sesuai untuk menginduksi ginogenesis, dan mendapatkan tanaman haploid
melalui ginogenesis.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Sere
Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung dan Puslitbang Biologi LIPI untuk
analisis histologi dan flow cytometri, dari Januari 2011 – Mei 2012. Penelitian
menggunakan Dianthus chinensis koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias, berasal
59
dari stek pucuk berumur 6 bulan yang ditanam di pot berukuran 17 cm di Kebun
Percobaan Cipanas, pada ketinggian tempat 1100 m di atas permukaan laut.
Gambar 15. Morfologi dan irisan mikroskopis eksplan untuk kultur ovul danovari. (A) kuncup bunga tahap T7 (Bar = 5 mm), (B) kantongembrio ovul pada tahap T7 berisi dua inti (Bar = 20 µm), (C) multiovul (Bar = 1 mm), (D) irisan multi ovul ((E) ovari (Bar = 2 mm),(F) irisan ovari (Bar = 1 mm), (G) cara tanam kultur ovari (Bar =2mm).
Percobaan 1. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Multi Ovul
Kultur irisan multi ovul (Gambar 14D) berasal dari poros bunga berisi
multi ovul (Gambar 14C) yang dipotong menjadi empat bagian. Percobaan
faktorial menggunakan lima genotipe yaitu Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15,
dan Dchi-16 dan lima macam media yaitu M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM
NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa (Winarto 2009), M7 = MS + 9,04 µM
2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa (Fu et al. 2008), M8 = MS + 1,9 µM
NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa (Sato et al, 2000), M9 = MS + 0,57 µM
NAA + 4,54 µM TDZ + 20 g L-1 sukrosa (Nontaswatsri et al. 2007) dan M10 =
MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999)..
Eksplan yang digunakan ialah ovul pada kuncup bunga tahap T7 (Gambar 15A)
yang telah terbentuk kantong embrio (Gambar 15B). Kuncup bunga diberi pra
perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari. Ovari disterilisasi dan
dibuka, multi ovul dipotong menjadi empat bagian. Selanjutnya irisan ovul
ditanam pada lima macam media induksi. Semua media yang dicobakan ditambah
2,7 mM L-glutamin dan 0,9 mM L-prolin. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap
60
pada suhu 4 oC selama 1 minggu, kemudian dilanjutkan pada suhu inkubasi 25 oC
pada kondisi terang.
Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok 3 ulangan.
Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi. Setiap unit
percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 4 potongan eksplan yang berasal dari
satu ovari. Pengamatan kalus dilakukan pada 1 bulan setelah tanam. Data yang
diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0%
sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan
percobaan dari data persentase diperoleh. Ekaplan yang tumbuh diisolasi dan
disubkultur pada media WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa.
Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release window
9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat
perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji
wilayah berganda Duncan 5%.
Percobaan 2. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovul
Percobaan menggunakan eksplan kultur multi ovul (Gambar 14C).
Genotipe D. chinensis yang digunakan yaitu Dchi-11 dan Dchi-15. Kuncup bunga
diberi pra perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari, kemudian
disterilisasi menggunakan alkohol 70%, dan dibakar sebentar. Lapisan luar ovari
dibuka, selanjutnya multi ovul ditanam pada dua macam media induksi yaitu M10
= MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999)
dan M11 =WT + 9,04 µM 2,4-D + 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1
sukrosa. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu 4oC selama 1 minggu
dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC. Percobaan faktorial disusun
dalam rancangan acak kelompok dengan ulangan 5 kali. Faktor pertama ialah
media induksi, dan faktor kedua ialah genotipe. Setiap ulangan terdiri atas satu
cawan petri berisi dua multi ovul.
Pengamatan dilakukan pada persentase terbentuknya kalus atau embrio 1
bulan setelah tanam. Data yang diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke
dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransfromasi diganti dengan 1/4n, di
mana n ialah jumlah satuan percobaan. Kultur multi ovul yang menghasilkan
kalus pada jaringan ovul dilanjutkan untuk diregenerasikan pada media WT +
2.22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa.
Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release window
9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat
61
perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji
wilayah berganda Duncan 5%.
Percobaan 3. Induksi Ginogenesisi melalui Kultur Ovari
Penelitian menggunakan empat genotipe D. chinensis yaitu Dchi-11, Dchi-
13, Dchi-14 dan Dchi-15 untuk induksi kalus. Eksplan yang digunakan untuk
menginduksi kalus atau embrio ialah ovari dari kuncup bunga pada tahap T7
(Gambar 15E). Kuncup bunga diberi praperlakuan penyimpanan pada suhu 4oC
selama 1 hari, kemudian disterilisasi menggunakan alkohol 70%, dilewatkan di
atas lampu spirtus dan ditanam pada dua media induksi M6 = WT + 1,13 µM 2,4-
D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa dan M8 = MS + 1,9 µM
NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap
pada suhu 4 oC selama 1 minggu, dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu
25 oC.
Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 5
ulangan. Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi.
Setiap unit percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 5 ovari. Pengamatan
persentase terbentuknya kalus dari jaringan ovari, poros bunga dan ovul dilakukan
pada 1 bulan setelah tanam. Data yang diperoleh dalam bentuk persen
ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransfromasi diganti
dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan.
Kalus yang tumbuh langsung diisolasi dan disubkultur pada media
regenerasi WT + 2,22 µM BAP + 0,285 mgL-1 NAA + 30 gL-1 sukrosa. Media
WT (Winarto et al. 2011) merupakan modifikasi media MS hasil penelitian
Winarto (2009).
Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release Window
9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat
perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji
wilayah berganda Duncan 5%.
Percobaan 4. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Ovari
Kultur irisan ovari diaplikasikan pada dua genotipe yaitu Dchi-11 dan
Dchi-13 pada tahap T7 (Gambar 14F). Kuncup bunga diberi perlakuan
penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari, kemudian ovari dipotong menjadi
empat bagian dan di tanam pada 3 macam media induksi M6 =1,13 µM 2,4-D +
0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa (Winarto, 2009), M7= MS +
62
9,04 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa (Fu et al. 2008) dan M10 =
MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999).
Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu 4 oC selama 1 minggu kemudian
dilanjutkan pada dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC.
Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok 4 ulangan.
Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi. Setiap unit
percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 4 potongan eksplan. Pengamatan
kalus dilakukan pada 1 bulan setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada
persentase terbentuknya kalus. Data yang diperoleh dalam bentuk persen
ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti
dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan dari data persentase
diperoleh. Regenerasi eksplan yang membentuk kalus diseleksi kemudian
disubkultur pada media WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa.
Setelah planlet terbentuk, planlet dipindahkan ke media MS tanpa ZPT.
Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release Window
9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat
perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji
wilayah berganda Duncan 5%.
Analisis ploidi
Evaluasi awal level ploidi planlet dilakukan pada planlet dengan
mengamati jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata pada daun ke 3-4. Hasil
analisis jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata di verifikasi melalui
pengamatan langsung pada kromosom yang dilakukan di Puslitbang Biologi LIPI
menggunakan potongan meristem pucuk berdasarkan metode Darnaedi (1991).
Potongan tersebut direndam dalam larutan 0,002 M 8-Hydroxyquinolin selama 3-5
jam pada suhu 4 oC, kemudian dibilas dengan akuades, dan difiksasi dalam 45%
asam asetat selama 10 menit. Potongan pucuk (meristem) dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi campuran larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan
perbandingan 1:3, kemudian diinkubasi ke dalam air dengan suhu 60 oC selama 1-
5 menit, dan diwarnai dengan aceto-orcein 2%. Setelah itu potongan meristem
ditekan pada object glass, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 1000 x untuk perhitungan jumlah kromosom.
Selain mengamati jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata dan jumlah
kromosom, juga dilakukan anaisis ploidi dengan flow cytometer. Analisis ploidi
63
ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong menggunakan alat
CyFlow® space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan diode pumped solid-
state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm and laser diode pada
panjang gelombang 638 nm (25 mW).
Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petri
yang berisi 250 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring
menggunakan Partec 30 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI
(Propidium Iodide) dan Rnase (1 ml), selanjutunya diinkubasi selama 30 menit
sebelum dianalisis dalam flow cytometer. Sebagai kontrol digunakan tanaman
yang telah diketahui ploidinya.
Analisis isozim
Bahan tanaman menggunakan daun yang masih segar (1 g). Daun tersebut
digunting halus dimasukkan ke dalam mortar yang telah diberi pasir kuarsa
dengan menambahkan buffer pengekstrak sebanyak 0,5 ml, kemudian digerus
sampai halus. Selanjutnya kertas saring yang ukurannya disesuaikan dengan
kebutuhan dimasukkan dalam mortar untuk menyerap cairan sel daun yang telah
hancur. Kertas saring yang telah menyerap cairan sel dari setiap sampel
dibersihkan untuk kemudian disisipkan pada gel yang telah dilubangi.
Elektroforesis dilakukan dalam ruangan atau lemari es pada suhu antara 5
– 10 oC. Elektroforesis awal selama 30 menit pada 100 volt dan dielektroforesis
tetap pada 150 atau 200 watt selama 3 sampai 4 jam. Setelah selesai elektroforesis
gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalan) pada posisi horizontal. Kertas
saring sebelumnya dikeluarkan dari lubang-lubang. Lembaran gel dimasukkan
dalam nampan, kemudian diberi pewarna esterase (EST) dan peroksidase (PER).
Nampan selanjutnya ditutup dengan aluminium foil diinkubasi pada suhu ruang
sampai muncul pita-pita pada gel yang cukup jelas.
Pewarna esterase (EST) mengandung 100 m Sodium fosfat pH 7 (100 ml),
1-Naftil asetat (50 mg), 2-Naftil asetat (5 mg), dan Aseton (100 mg). Pewarna
peroksidase (PER) mengandung 50 mM Natrium asetat pH 5(100 ml), CaCl2 (50
mg), H2O2 3% (0,5 ml), 3-Amino-9etilkarbason(50 mg), Aseton/N,N-
Dimethylformamid (5 ml). Setelah pewarnaan gel dicuci dengan air mengalir
sampai bersih, kemudian difiksasi dengan 50% gliserol ; 50% etanol. Kemudian
gel didokumentasi.
64
Hasil
Percobaan 1. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Multi Ovul
Eksplan irisan multi ovul ialah poros bunga yang berisi ovul, yang
dipotong menjadi empat bagian. Eksplan yang berwarna putih tersebut langsung
ditanam dalam media inisiasi. Tahap inisiasi awal, ovul akan membesar dan
sampai pada minggu ke dua inisiasi, bila ovul dan poros bunga berubah menjadi
berwarna hijau menunjukkan bahwa eksplan tersebut berespon terhadap
komponen media dan hormon. Kemudian setelah tiga minggu ovul atau poros
bunga akan mengalami dediferensiasi membentuk kalus. Persentase kalus
dihitung berdasarkan banyaknya kalus yang terbentuk pada setiap eksplan.
Eksplan yang tidak berespon terhadap media induksi, maka jaringan ovul akan
mati dan berwarna coklat kehitaman (Gambar 16A dan B). Eksplan yang
responsif pada media, ovul maupun poros bunga akan tetap berwarna hijau dan
terlihat adanya inisiasi kalus (Gambar 16C dan D).
Gambar 16. Pembentukan kalus pada eksplan irisan multi ovul A. ovul dan porosbunga tidak membentuk kalus, poros bunga dan ovul mati, B. kalusterbentuk pada poros bunga, ovul mati C. kalus terbentuk pada ovul.D kalus pada poros bunga dan ovul.
Hasil penelitian pada kultur irisan multi ovul menunjukkan bahwa setiap
genotipe memberikan respon yang berbeda. Persentase rata-rata terbentuknya
kalus pada irisan multi ovul berkisar 0 – 29,17% (Tabel 10). Hasil analisis
varians diperoleh bahwa interaksi antara media induksi dengan genotipe
berpengaruh nyata. Pengaruh interaksi media dengan genotipe ini menunjukkan
bahwa genotipe berespon spesifik terhadap media tertentu (Tabel 10). Genotipe
Dchi-11 membentuk kalus pada media M6 (WT + 1,13 µM 2,4-D + 0,06 µM
NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa), Dchi-13 dan Dchi-16 pada media M10
(MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), serta Dchi-14 dan
Dchi-15 pada M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa).
Semua genotipe tidak memberi respon yang baik terhadap media M8 dan M9.
65
Berbeda dengan media M6, M7 dan M10, kedua media tersebut tidak
mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Hasil ini sama dengan kultur antera
pada media padat, dimana kalus terbentuk pada antera yang ditanam pada media
inisiasi kalus yang mengandung 2,4-D. Persentase terbentuknya kalus tertinggi
dicapai oleh genotipe Dchi-11 pada media M6. Media M6 terdiri atas media dasar
WT dengan penambahan 1,13 µm 2,4-D+ 0.06 µm NAA + 2,27 µm TDZ.
Tabel 10. Interaksi media dengan genotipe terhadap persen hasil pembentukankalus pada kultur irisan multi ovul pada umur 4 MSI (minggu setelahinisiasi).
MediaPersen terbentuknya kalus pada berbagai genotipe Rata-rata
Dchi-11 Dchi-13 Dchi-14 Dchi-15 Dchi-16M6 29,17 D 16,67 B 4,17 A 4,17 A 0,00 A 10.83 A
d c ab b aM7 14,58 C 12,50 B 27,08 C 25,69 d 12,5 B 18.47 B
b a c cd aM8 0,00 A 0,00 A 10,42 AB 4,17 A 2,08 A 3.33 A
a a b ab aM9 2,08 AB 6,25 B 4,17 A 12,5 BC 2,08 A 5.42 A
a ab ab b aM10 8,33 BC 25,00 C 12,5 B 18,75 C 27,08 C 18.33 B
a bc a ab cRata-rata 10.83 a 12.08 a 11.67 a 13.06 a 8.75 a
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam barisyang sama, huruf kapital pada kolom yang sama menunjukkan tidakada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncanpada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µMNAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, M8 = MS + 1,9 µM NAA +4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa, M9 = MS + 0,57 µM NAA + 4,54µM TDZ + 20 g L-1 sukrosa dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44µM BAP + 20 g L-1 sukrosa
Regenerasi
Kalus hasil kultur irisan multi ovul diseleksi dan dipilih kalus yang
dominan berasal dari bagian ovul. Bagian dan diregenerasikan pada dua media
regenerasi (Tabel 11).
Media R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP) lebih baik
dibandingkan dengan media R7 (WT + 2.22 µM BAP) untuk regenerasi kalus
ginogenik. Sebagian besar kalus dari semua jenis eksplan beregenerasi
menghasilkan pembungaan lebih awal yang langsung keluar dari kalus atau
melalui terbentuknya daun dengan batang atau internode yang pendek, dan bunga
keluar setelah buku ke 1 – 3. Kuncup bunga dan organ-organ lain keluar tidak
bersamaan, sedangkan kalus genotipe Dchi-14 tidak mampu beregenerasi.
66
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saat munculnya tunas dari eksplan
yang berasal dari irisan multi ovul beragam. Apabila bunga muncul langsung dari
kalus menghasilkan bunga yang abnormal yang memiliki variasi susunan bagian-
bagian bunga yaitu mahkota bunga + kelopak (Gambar 17A); Kelopak + antera
(Gambar 17B); Kelopak saja (Gambar 17C) dan kelopak + putik (Gambar 17D).
Tabel 11. Regenerasi kalus empat genotipe hasil kultur irisan multi ovulJenis
eksplanGenotipe Media asal
(inisiasikalus)
Mediaregenerasi
Jumlahmassakalus/embrio
Jumlah kalusyang ber
organogenesis
Saatmuncultunas(MSI)
Irisanmultiovul
Dchi-11 M10 R7 6 212 - 32Dchi-11 M10 R11 7 4
Dchi-13 M10 R7 3 0
Dchi-13 M10 R11 3 1 11Dchi-14 M10 R7 1 0 -Dchi-14 M7 R11 1 0 -Dchi-15 M7 R7 2 0 -
Dchi-15 M7 R11 1 1 28Dchi-15 M10 R7 3 0 -Dchi-15 M10 R11 4 3 14 - 28
Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1
sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT+ 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa)
Gambar 17. Hasil regenerasi dari kalus yang terinduksi membentuk bunga tidak lengkap(A) petal dan kelopak saja, (B) antera dan kelopak saja, (C) kelopak saja dan(D) kelopak dan putik saja. (E dan F) pemanjangan batang genotipe Dchi-11-42 pada media WT + 0,5 mg L-1 Gibberelin + 15 g L-1 sukrosa, bungamasih keluar dari ujung tunas, (G) hasil aklimatisasi regeneran denganbagian bunga sepal dan petal, (H) sepal dan antera, (I) sepal saja.
Upaya untuk mendapatkan regeneran yang tumbuh menjadi planlet yang
normal dilakukan dengan menambahkan 0,5 mg L-1 Gibberelin pada media dasar
67
WT + 15 g L-1 sukrosa. Sampai saat ini upaya ini berhasil hanya pada Dchi-11
hasil kultur irisan multi ovul (Dchi-11-42 dan Dchi-11-134) tetapi bunga masih
tetap muncul pada tunas baru (Gambar 17E dan F) bahkan bunga masih keluar
setelah aklimatisasi (Gambar 17G, H dan I).
Aklimatisasi
Hasil aklimatisasi regeneran Dchi-11-42 dan Dchi-11-134 hasil kultur
irisan multi ovul yang terinduksi bunga prematur mampu tumbuh di lapang dan
regeneran tetap memiliki bagian-bagian bunga yang sama seperti pada saat in
vitro. Hasil kultur irisan multi ovul hanya satu regeneran yang tumbuh menjadi
tanaman normal yaitu Dchi-11-34. Dchi-11-34 berjumlah 13 tanaman yang
bervariasi pada bentuk dan ukuran tanaman serta bentuk petal (Gambar 18A).
Untuk melihat regeneran tersebut apakah berasal dari jaringan vegetatif atau
generatif dari maternal maka sampel Dchi-11-34-1 dilakukan selfing (Gambar
18C) dan di analisis dengan isozim (Gambar 19).
Gambar 18. Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul. (A) variasibentuk petal diantara Dchi-11-34, (B) tanaman Dchi-11-34-1, (C)keseragaman tanaman hasil selfing Dchi-11-34-1.
Gambar 19. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) peroksidase,(B) esterase padatanaman hasil kultur irisan multi ovul. 11 = tanaman donor Dchi-11;34 = regeneran hasil kultur irisan multi ovul Dchi-11-34.
A B
67
WT + 15 g L-1 sukrosa. Sampai saat ini upaya ini berhasil hanya pada Dchi-11
hasil kultur irisan multi ovul (Dchi-11-42 dan Dchi-11-134) tetapi bunga masih
tetap muncul pada tunas baru (Gambar 17E dan F) bahkan bunga masih keluar
setelah aklimatisasi (Gambar 17G, H dan I).
Aklimatisasi
Hasil aklimatisasi regeneran Dchi-11-42 dan Dchi-11-134 hasil kultur
irisan multi ovul yang terinduksi bunga prematur mampu tumbuh di lapang dan
regeneran tetap memiliki bagian-bagian bunga yang sama seperti pada saat in
vitro. Hasil kultur irisan multi ovul hanya satu regeneran yang tumbuh menjadi
tanaman normal yaitu Dchi-11-34. Dchi-11-34 berjumlah 13 tanaman yang
bervariasi pada bentuk dan ukuran tanaman serta bentuk petal (Gambar 18A).
Untuk melihat regeneran tersebut apakah berasal dari jaringan vegetatif atau
generatif dari maternal maka sampel Dchi-11-34-1 dilakukan selfing (Gambar
18C) dan di analisis dengan isozim (Gambar 19).
Gambar 18. Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul. (A) variasibentuk petal diantara Dchi-11-34, (B) tanaman Dchi-11-34-1, (C)keseragaman tanaman hasil selfing Dchi-11-34-1.
Gambar 19. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) peroksidase,(B) esterase padatanaman hasil kultur irisan multi ovul. 11 = tanaman donor Dchi-11;34 = regeneran hasil kultur irisan multi ovul Dchi-11-34.
A B
67
WT + 15 g L-1 sukrosa. Sampai saat ini upaya ini berhasil hanya pada Dchi-11
hasil kultur irisan multi ovul (Dchi-11-42 dan Dchi-11-134) tetapi bunga masih
tetap muncul pada tunas baru (Gambar 17E dan F) bahkan bunga masih keluar
setelah aklimatisasi (Gambar 17G, H dan I).
Aklimatisasi
Hasil aklimatisasi regeneran Dchi-11-42 dan Dchi-11-134 hasil kultur
irisan multi ovul yang terinduksi bunga prematur mampu tumbuh di lapang dan
regeneran tetap memiliki bagian-bagian bunga yang sama seperti pada saat in
vitro. Hasil kultur irisan multi ovul hanya satu regeneran yang tumbuh menjadi
tanaman normal yaitu Dchi-11-34. Dchi-11-34 berjumlah 13 tanaman yang
bervariasi pada bentuk dan ukuran tanaman serta bentuk petal (Gambar 18A).
Untuk melihat regeneran tersebut apakah berasal dari jaringan vegetatif atau
generatif dari maternal maka sampel Dchi-11-34-1 dilakukan selfing (Gambar
18C) dan di analisis dengan isozim (Gambar 19).
Gambar 18. Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul. (A) variasibentuk petal diantara Dchi-11-34, (B) tanaman Dchi-11-34-1, (C)keseragaman tanaman hasil selfing Dchi-11-34-1.
Gambar 19. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) peroksidase,(B) esterase padatanaman hasil kultur irisan multi ovul. 11 = tanaman donor Dchi-11;34 = regeneran hasil kultur irisan multi ovul Dchi-11-34.
A B
68
Hasil analisis isozim diperoleh bahwa sampel tanaman Dchi-11-34-1
memiliki jumlah pita berbeda satu pita dibanding kontrol (tanaman donor Dchi-
11) berdasarkan enzim peroksidase, sedangkan sistem enzim esterase
memperlihatkan posisi pita yang sama dengan tanaman donor, namun memiliki
ketebalan yang berbeda. Hasil sellfing Dchi-11-34-1 dan diperoleh progeni yang
seragam pada fase generatif (Gambar 19C) sehingga terdapat indikasi
kemungkinan Dchi-34-1 adalah haploid ganda.
Percobaan 2. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovul
Multi ovul ialah eksplan yang terdiri atas poros bunga yang berisi ovul
utuh tanpa dipotong-potong. Media untuk kultur multi ovul yang digunakan ialah
M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa) dengan media
dasar MS yang merupakan media rata-rata terbaik yang diperoleh pada faktor
tunggal kultur irisan multi ovul. Media yang lain yaitu M11 (WT + 9,04 µM 2,4-
D + 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa) merupakan modifikasi
dari media M6 dengan media dasar WT pada percobaan kultur irisan multi ovul
namun tanpa asam amino L-glutamin dan L-prolin serta perubahan konsentrasi
pada ZPT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media M10 mampu menginduksi
kalus pada jaringan ovul baik genotipe Dchi-11 maupun Dchi-15. Namun kalus
yang terbentuk pada jaringan poros bunga lebih tinggi dari pada jaringan ovul
(Gambar 20). Pada media M11 kedua genotipe tidak mampu membentuk kalus
pada jaringan ovul. Pengurangan asam amino menyebabkan terhambatnya
pembentukan kalus pada jaringan ovul.
Gambar 20. Diagram persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-11 dan Dchi-15 pada media M10 dan M11 pada kultur multi ovul. M10 = MS +4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa, M11 = WT +9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa.
0
20
40
60
80
100
M10Dchi-11 M10Dchi-15 M11Dchi-11 M11Dchi-15Pem
bent
uka
kalu
s (%
)
Kombinasi media dan genotipe
%kalus pada ovul %kalus pada poros bunga
69
Hasil analisis pembentukan kalus pada jaringan poros bunga dan ovul
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengaruh faktor media
dan genotipe. Perbandingan pembentukan kalus pada jaringan ovul disajikan
dalam bentuk diagram batang (Gambar 21). Perkembangan kalus pada jaringan
somatis hanya dapat dihitung untuk mengukur kemampuan media pada
perkembangan jaringan somatis yang bukan merupakan tujuan dari penelitian ini.
Regenerasi
Hasil regenerasi eksplan multi ovul Dchi-11 dan Dchi-15 pada media
regenerasi R7 dan R11 diperoleh pada genotipe Dchi-11 dari media asal M10
yang terbentuk tunas pada minggu ke 16 setelah inisiasi (Gambar 20A, C, E).
Genotipe Dchi-15 membentuk tunas pada minggu ke 32 setelah inisiasi (Tabel
12). Kalus pada genotipe Dchi-11 merupakan kalus yang remah, sedang kalus
pada genotipe Dchi-15 kalus kompak yang tumbuh tunasnya lambat (Gambar
20B, D, F).
Tabel 12. Organogenesis kalus dan saat munculnya tunas genotipe D. chinensisDchi-11 pada media regenerasi R7 dan Dchi-15 pada media regenerasiR11 dari media asal M10
Genotipe Media asal(inisiasikalus)
Mediaregenerasi
Jumlahmassa kalus/
embrio
Jumlah kalusyang ber
organogenesis
Saatmuncul
tunas (MSI)Dchi-11 M10 R7 2 1 16Dchi-15 M10 R11 4 1 32
Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1
sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT+ 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa)
Perbedaan waktu regenerasi kemungkinan terjadi karena perbedaan
genotipe dan perbedaan media regenerasi. Dari hasil percobaan 1 genotipe Dchi-
11 respon pada kedua media regenerasi R7 dan R11, sedangkan genotipe Dchi-15
hanya respon pada media R11.
70
Gambar 21. Pembentukan kalus dan regenerasi kalus menjadi tunas padagenotype Dchi-11 dan Dchi-15 dari media asal M10. (A, C, E)kalus dan tunas hasil regenerasi kalus Dchi-11-16, (B, D, F) kalusdan tunas hasil regenerasi kalus Dchi-15-19, (E) bunga yangmuncul prematur dari kalus (anak panah putih), (F) tunas Dchi-15yang tumbuh lambat. (A– E) Bar = 1 cm, (F) Bar = 5 mm
Analisis ploidi dapat dilakukan pada tahap awal dengan flow cytometer.
Sampel Dchi-11-16 diambil dari kalus yang telah beregenerasi. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa regeneran memiliki ploidi yang sama dengan
tanaman kontrol yaitu diploid (Gambar 22).
Gambar 22. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer: (A) tanaman kontrol,(B) planlet hasil kultur multi ovul Dchi-11-16.
File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43 Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
File: Anyelir 16 Date: 17-02-2012 Time: 10:35:33 Particles: 14471 Acq.-Time: 179 s
0 200 400 600 800 10000
160
320
480
640
800
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
160
320
480
640
800
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
A B C D
E F
A
B
2C
4C
2C4C
71
Percobaan 3. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Ovari
Percobaan kultur ovari dilakukan dengan membandingkan dua media yang
memiliki komponen bahan kimia makro dan mikro, zat pengatur tumbuh dan
kandungan sukrosa yang berbeda yaitu media MS dan WT. Kedua media tersebut
memiliki rasio sitokinin lebih tinggi dari auksin. Media M8 yang berisi media
dasar MS tidak ada ovari yang respon, yang ditunjukkan dengan terjadinya
degenerasi pada ovari yang lama kelamaan mengecil dan mengalami vitrifikasi
(Gambar 22A). Media M8 ini merupakan media yang digunakan untuk kultur ovul
dalam bentuk penyelamatan embrio Dianthus caryophyllus (Sato et al. 2000) yang
dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L- glutamin. Media M6 merupakan
media yang digunakan untuk kultur antera tanaman Anthurium (Winarto 2009)
yang juga dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L-Glutamin. Media M6
menghasilkan 1 ovari Dchi-15 yang respon dari total 25 ovari yang ditanam
(Gambar 22B). Satu ovari tersebut menghasilkan embrio yang langsung
beregenerasi membentuk tanaman lengkap. Ovari yang menghasilkan embrio
berwarna hijau, membesar dan tidak mengalami vitrifikasi. Perkembangan ukuran
ovari ini diharapkan dapat menjadi ukuran keberhasilan penggunaan media. Pada
akhirnya perkembangan ovari tersebut mampu menginduksi perkembangan
embrio, sehingga embrio tumbuh menembus melalui pangkal dinding ovari
(Gambar 22B), dan akhirnya beregenerasi (Gambar 22C).
Gambar 23. Kultur ovari (A) Genotipe Dchi-15pada media M6 yang tidakberespon, (B) terbentuknya embrio langsung genotipe Dchi-15 padamedia M6, (C) regenerasi embrio membentuk planlet pada genotypeDchi-15. Bar = 1 mm
Berdasarkan hasil analisis ploidi regeneran hasil kultur ovari Dchi-15-3
dengan mengamati jumlah kloroplas dan kromosom pada sel meristem tunas
apikal diperoleh regeneran yang diduga haploid dengan variasi jumlah kloroplas
berkisar antara 10 – 20 dan jumlah kromosom yang dapat diamati dengan jelas
ialah 17 dan 18 (Gambar 24D dan E). Dari hasil pengamatan kromosom terlihat
72
adanya penggandaan komplemen kromosom yang tidak diikuti dengan
pembentukan dinding sel kromosom (Gambar 24F).
Gambar 24 Analisis ploidi pada regeneran Dchi-15 hasil kultur ovari. (A) planletuntuk analisis jumlah kloroplas dan jumlah kromosom, (B) kloropaspada ke dua sel penjaga regeneran Dchi-15, (C) kloroplas pada ke duasel penjaga tanaman kontrol diploid (D) jumlah kromosom regeneran(n=17), (E) jumlah kromosom regeneran (n=18) (F) endopoliploidipada sel meristem (panah hitam)
Hasil analisis dengan flow cytometer diperoleh bahwa ploidi regeneran
Dchi-15-3 sama dengan tanaman kontrol yaitu diploid. Diduga tanaman telah
mengalami penggandaan. Untuk membuktikan bahwa regeneran tersebut ialah
haploid ganda, regeneran tersebut dilakukan selfing.
Hasil kultur ovari diperoleh bunga yang bervariasi pada bentuk dan warna
petal. Variasi bunga ini memberikan indikasi kemungkinan karena variasi dari
embrio yang tumbuh langsung dari kultur ovari (Gambar 25).
Gambar 25. Variasi warna dan bentuk bunga dan ketebalan warna putih pada tepibunga tanaman donor dan hasil kultur ovari Dchi-15. (A) bunga daritanaman donor Dchi-15-3, (B-H) bunga dari tanaman hasil kulturovari Dchi-15-3
73
Hasil isozim pada sampel Dchi-15-3 dengan enzim peroksidase dan
esterase menunjukkan bahwa regeneran Dchi-15-3 memiliki pola pita yang
berbeda dibandingkan tetua donornya Dchi-15 (Gambar 26). Hasil ini
menunjukkan bahwa kemungkinan Dchi-15-3 berasal dari jaringan generatif
tanaman donor maternal. Kemungkinan lain adalah terjadinya variasi somaklonal.
Gambar 26. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase dan (B) peroksidasepada tanaman hasil kultur ovari. 15 = tanaman donor Dchi-15, 3 =regeneran Dchi-15-3
Tanaman donor Dchi-15 memiliki tipe bunga picotee (bunga dengan tepi
petal berbeda warna). Tanaman donor ini dikenal dengan nama komersial seri
“Telstar”. Telstar merupakan hasil persilangan antara Dianthus chinensis x
Dianthus barbatus (Strope & Trees 2003).
Percobaan 4. Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari
Penelitian irisan kultur ovari dilakukan karena persentase pembentukan
embrio dari eksplan kultur ovari sangat rendah (4%). Lapisan luar ovari/dinding
ovari pada kultur ovari (Percobaan 3) kemungkinan menjadi penghalang transfer
nutrisi dalam media yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio, sehingga ovari
yang dipotong-potong memberi peluang eksplan menerima asupan unsur hara dan
hormon.
Hasil yang diperoleh berbeda dengan percobaan 3, karena genotipe yang
digunakan berbeda. Pada percobaan 3, ekplan kultur ovari membentuk embrio
yang langsung beregenerasi, sedangkan pada penelitian ini eksplan irisan ovari
membentuk kalus (Gambar 27). Hasil penelitian pada kultur irisan ovari
menunjukkan persentase terbentuknya kalus berkisar antara 0% sampai 68,75%
(Tabel 13). Dengan eksplan kultur irisan ovari, ovul masih terbungkus oleh
lapisan luar ovari (dinding ovari), maka tingkat kematian ovul dapat dikurangi.
A B
73
Hasil isozim pada sampel Dchi-15-3 dengan enzim peroksidase dan
esterase menunjukkan bahwa regeneran Dchi-15-3 memiliki pola pita yang
berbeda dibandingkan tetua donornya Dchi-15 (Gambar 26). Hasil ini
menunjukkan bahwa kemungkinan Dchi-15-3 berasal dari jaringan generatif
tanaman donor maternal. Kemungkinan lain adalah terjadinya variasi somaklonal.
Gambar 26. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase dan (B) peroksidasepada tanaman hasil kultur ovari. 15 = tanaman donor Dchi-15, 3 =regeneran Dchi-15-3
Tanaman donor Dchi-15 memiliki tipe bunga picotee (bunga dengan tepi
petal berbeda warna). Tanaman donor ini dikenal dengan nama komersial seri
“Telstar”. Telstar merupakan hasil persilangan antara Dianthus chinensis x
Dianthus barbatus (Strope & Trees 2003).
Percobaan 4. Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari
Penelitian irisan kultur ovari dilakukan karena persentase pembentukan
embrio dari eksplan kultur ovari sangat rendah (4%). Lapisan luar ovari/dinding
ovari pada kultur ovari (Percobaan 3) kemungkinan menjadi penghalang transfer
nutrisi dalam media yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio, sehingga ovari
yang dipotong-potong memberi peluang eksplan menerima asupan unsur hara dan
hormon.
Hasil yang diperoleh berbeda dengan percobaan 3, karena genotipe yang
digunakan berbeda. Pada percobaan 3, ekplan kultur ovari membentuk embrio
yang langsung beregenerasi, sedangkan pada penelitian ini eksplan irisan ovari
membentuk kalus (Gambar 27). Hasil penelitian pada kultur irisan ovari
menunjukkan persentase terbentuknya kalus berkisar antara 0% sampai 68,75%
(Tabel 13). Dengan eksplan kultur irisan ovari, ovul masih terbungkus oleh
lapisan luar ovari (dinding ovari), maka tingkat kematian ovul dapat dikurangi.
A B
73
Hasil isozim pada sampel Dchi-15-3 dengan enzim peroksidase dan
esterase menunjukkan bahwa regeneran Dchi-15-3 memiliki pola pita yang
berbeda dibandingkan tetua donornya Dchi-15 (Gambar 26). Hasil ini
menunjukkan bahwa kemungkinan Dchi-15-3 berasal dari jaringan generatif
tanaman donor maternal. Kemungkinan lain adalah terjadinya variasi somaklonal.
Gambar 26. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase dan (B) peroksidasepada tanaman hasil kultur ovari. 15 = tanaman donor Dchi-15, 3 =regeneran Dchi-15-3
Tanaman donor Dchi-15 memiliki tipe bunga picotee (bunga dengan tepi
petal berbeda warna). Tanaman donor ini dikenal dengan nama komersial seri
“Telstar”. Telstar merupakan hasil persilangan antara Dianthus chinensis x
Dianthus barbatus (Strope & Trees 2003).
Percobaan 4. Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari
Penelitian irisan kultur ovari dilakukan karena persentase pembentukan
embrio dari eksplan kultur ovari sangat rendah (4%). Lapisan luar ovari/dinding
ovari pada kultur ovari (Percobaan 3) kemungkinan menjadi penghalang transfer
nutrisi dalam media yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio, sehingga ovari
yang dipotong-potong memberi peluang eksplan menerima asupan unsur hara dan
hormon.
Hasil yang diperoleh berbeda dengan percobaan 3, karena genotipe yang
digunakan berbeda. Pada percobaan 3, ekplan kultur ovari membentuk embrio
yang langsung beregenerasi, sedangkan pada penelitian ini eksplan irisan ovari
membentuk kalus (Gambar 27). Hasil penelitian pada kultur irisan ovari
menunjukkan persentase terbentuknya kalus berkisar antara 0% sampai 68,75%
(Tabel 13). Dengan eksplan kultur irisan ovari, ovul masih terbungkus oleh
lapisan luar ovari (dinding ovari), maka tingkat kematian ovul dapat dikurangi.
A B
74
Hasil analisis varians diperoleh bahwa interaksi antara media dengan
genotipe berpengaruh nyata. Dari tiga media yang dicobakan, Dchi-11 responsif
pada media M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa) dan
dan M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), sedang
genotipe Dchi-13 hanya responsif pada media M10 (Tabel 11). Genotipe Dchi-
11 dan Dchi-13 tidak responsif pada media M6 (Gambar 28).
Gambar 27. Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari dari setiap genotipepada media induksi. (A) kalus Dchi-13 pada media M10, (B) kalusDchi-11 pada media M10, (C) kalus Dchi-11 pada media M7 dan(D) kalus pada Dchi-11 yang tidak respon pada media M6. Anakpanah kuning lapisan luar ovari, anak panah merah ovul tidakberkalus.
Tabel 13. Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukankalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi
Media Persentase pembentukan kalus pada genotipe Rata-rataDchi-11 Dchi-13
M6 0,00 a 0,00 a 0,00 bA A
M7 25,00 a 0,00 a 12,50 abB A
M10 18,75a 68,75 b 43,75 aA B
Rata-rata 14,58 A 22,92 A
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam kolomyang sama, huruf kapital pada baris yang sama menunjukkan tidakada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncanpada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µMNAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa
74
Hasil analisis varians diperoleh bahwa interaksi antara media dengan
genotipe berpengaruh nyata. Dari tiga media yang dicobakan, Dchi-11 responsif
pada media M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa) dan
dan M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), sedang
genotipe Dchi-13 hanya responsif pada media M10 (Tabel 11). Genotipe Dchi-
11 dan Dchi-13 tidak responsif pada media M6 (Gambar 28).
Gambar 27. Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari dari setiap genotipepada media induksi. (A) kalus Dchi-13 pada media M10, (B) kalusDchi-11 pada media M10, (C) kalus Dchi-11 pada media M7 dan(D) kalus pada Dchi-11 yang tidak respon pada media M6. Anakpanah kuning lapisan luar ovari, anak panah merah ovul tidakberkalus.
Tabel 13. Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukankalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi
Media Persentase pembentukan kalus pada genotipe Rata-rataDchi-11 Dchi-13
M6 0,00 a 0,00 a 0,00 bA A
M7 25,00 a 0,00 a 12,50 abB A
M10 18,75a 68,75 b 43,75 aA B
Rata-rata 14,58 A 22,92 A
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam kolomyang sama, huruf kapital pada baris yang sama menunjukkan tidakada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncanpada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µMNAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa
74
Hasil analisis varians diperoleh bahwa interaksi antara media dengan
genotipe berpengaruh nyata. Dari tiga media yang dicobakan, Dchi-11 responsif
pada media M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa) dan
dan M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), sedang
genotipe Dchi-13 hanya responsif pada media M10 (Tabel 11). Genotipe Dchi-
11 dan Dchi-13 tidak responsif pada media M6 (Gambar 28).
Gambar 27. Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari dari setiap genotipepada media induksi. (A) kalus Dchi-13 pada media M10, (B) kalusDchi-11 pada media M10, (C) kalus Dchi-11 pada media M7 dan(D) kalus pada Dchi-11 yang tidak respon pada media M6. Anakpanah kuning lapisan luar ovari, anak panah merah ovul tidakberkalus.
Tabel 13. Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukankalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi
Media Persentase pembentukan kalus pada genotipe Rata-rataDchi-11 Dchi-13
M6 0,00 a 0,00 a 0,00 bA A
M7 25,00 a 0,00 a 12,50 abB A
M10 18,75a 68,75 b 43,75 aA B
Rata-rata 14,58 A 22,92 A
Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam kolomyang sama, huruf kapital pada baris yang sama menunjukkan tidakada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncanpada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µMNAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa
75
Gambar 28. Persentase pembentukan kalus yang berasal dari eksplan irisan ovarigenotipe Dchi-11dan Dchi-13 pada 3 macam media. M6 = WT +1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa,M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa danM10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP+ 20 g L-1 sukrosa.
Regenerasi
Hasil kultur irisan ovari hanya empat kalus yang dilanjutkan untuk
diregenerasi (Tabel 14). Hasil regenerasi hanya kalus Dchi-11-125 yang dapat
tumbuh. Dua tanaman dapat diaklimatisasi dan menghasilkan tanaman yang
berbeda morfologinya satu sama lain dan berbeda dengan tanaman donornya. Satu
tanaman tumbuh normal, berbunga dan memiliki antera, sedang satu tanaman
menghasilkan pertumbuhan abnormal pendek (dwarf), berbunga tetapi tidak
menghasilkan antera (Gambar 29), sehingga diduga tanaman ini adalah haploid.
Tabel 14. Organogenesis dari kalus pada genotipe dari jenis eksplan irisan ovari,genotipe dan media asal pada kultur irisan ovari
Genotipe Media asal(inisiasikalus)
Mediaregenerasi
Jumlahmassa kalus/
embrio
Jumlah kalusyang ber
organogenesis
Saatmuncul
tunas (MSI)Dchi-11 M7 R11 1 1 18Dchi-13 M10 R7 2 0 -Dchi-13 M10 R11 1 0 -
Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1
sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT+ 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa)
0102030405060708090
100
M10V11 M10V13 M7V11 M7V13 M6V11 M6V13
Pem
bent
ukan
kal
us (%
)
Kombinasi media dan genotipe
76
Gambar 29. Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari. (A,D)tanaman dan bunga donor Dchi-11, (B, E) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-123-1. (C, F) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-125-2.
Pembahasan
Ginogenesis merupakan upaya lain pembentukan kalus atau embrio yang
tidak berhasil/sulit dilakukan dengan menggunakan antera (androgenesis). Pada
androgenesis perkembangan serbuk sari merupakan faktor yang penting. Biasanya
tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk
mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Sebaliknya pada ginogenesis kisaran
tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Pada tanaman gula bit
kuncup bunga untuk kultur ovul diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis
(Ferrant & bouharmont 1994). Sedangkan pada tanaman Dianthus chinensis hasil
yang terbaik ialah umur 10 hari (tahap T7).
Induksi Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul
Media M8 dan M9 mengandung auksin dalam bentuk NAA dan media
M6, M7 dan M10 mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Jenis auksin yang
berbeda ini yang menyebabkan perbedaan pembentukan kalus. Pada penelitian ini
penggunaan 2,4-Dlebih baik dibandingkan NAA untuk menginduksi kalus
Dianthus chinensis. Menurut Komatsuda (1992) NAA yang diaplikasikan pada
tanaman kedelai hanya mampu membentuk embriosomatik pada jaringan
epidermis eksplan, sementara 2,4-D mampu menjangkau jaringan eksplan yang
A B C
D FE
76
Gambar 29. Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari. (A,D)tanaman dan bunga donor Dchi-11, (B, E) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-123-1. (C, F) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-125-2.
Pembahasan
Ginogenesis merupakan upaya lain pembentukan kalus atau embrio yang
tidak berhasil/sulit dilakukan dengan menggunakan antera (androgenesis). Pada
androgenesis perkembangan serbuk sari merupakan faktor yang penting. Biasanya
tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk
mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Sebaliknya pada ginogenesis kisaran
tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Pada tanaman gula bit
kuncup bunga untuk kultur ovul diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis
(Ferrant & bouharmont 1994). Sedangkan pada tanaman Dianthus chinensis hasil
yang terbaik ialah umur 10 hari (tahap T7).
Induksi Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul
Media M8 dan M9 mengandung auksin dalam bentuk NAA dan media
M6, M7 dan M10 mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Jenis auksin yang
berbeda ini yang menyebabkan perbedaan pembentukan kalus. Pada penelitian ini
penggunaan 2,4-Dlebih baik dibandingkan NAA untuk menginduksi kalus
Dianthus chinensis. Menurut Komatsuda (1992) NAA yang diaplikasikan pada
tanaman kedelai hanya mampu membentuk embriosomatik pada jaringan
epidermis eksplan, sementara 2,4-D mampu menjangkau jaringan eksplan yang
A B C
D FE
76
Gambar 29. Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari. (A,D)tanaman dan bunga donor Dchi-11, (B, E) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-123-1. (C, F) tanaman dan bunga hasilkultur irisan ovari Dchi-11-125-2.
Pembahasan
Ginogenesis merupakan upaya lain pembentukan kalus atau embrio yang
tidak berhasil/sulit dilakukan dengan menggunakan antera (androgenesis). Pada
androgenesis perkembangan serbuk sari merupakan faktor yang penting. Biasanya
tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk
mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Sebaliknya pada ginogenesis kisaran
tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Pada tanaman gula bit
kuncup bunga untuk kultur ovul diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis
(Ferrant & bouharmont 1994). Sedangkan pada tanaman Dianthus chinensis hasil
yang terbaik ialah umur 10 hari (tahap T7).
Induksi Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul
Media M8 dan M9 mengandung auksin dalam bentuk NAA dan media
M6, M7 dan M10 mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Jenis auksin yang
berbeda ini yang menyebabkan perbedaan pembentukan kalus. Pada penelitian ini
penggunaan 2,4-Dlebih baik dibandingkan NAA untuk menginduksi kalus
Dianthus chinensis. Menurut Komatsuda (1992) NAA yang diaplikasikan pada
tanaman kedelai hanya mampu membentuk embriosomatik pada jaringan
epidermis eksplan, sementara 2,4-D mampu menjangkau jaringan eksplan yang
A B C
D FE
77
lebih luas. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Komatsuda (1992), bahwa eksplan yang ditanaman pada media yang mengandung
2,4-Dmampu membentuk kalus pada seluruh permukaan eksplan (Gambar 15D).
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat 2,4-Dyang mudah diserap sel tanaman,
tidak mudah terurai, berfungsi sebagai auksin yang kuat dan mampu mendorong
aktivitas morfogenetik (Terzi & Loschiavo 1990).
Media M8 merupakan media yang digunakan oleh Sato et al. (2000) untuk
menumbuhkan embrio hasil pseudofertilisasi, sedangkan media M9 digunakan
Nontawatsri et al. (2007) untuk kultur antera Dianthus chinensis. Hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara respon kultur ovul dan antera pada
spesies yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman Cucurbita sp.
(Shalaby 2007), bawang (Alan et al. 2004), serta pada gula bit (Lux & Wetzel
1990). Bahkan pada gula bit terjadi perbedaan respon antar kultur ovul dan antera
pada genotipe yang sama.
Induksi kalus dan embrio melalui kultur multi ovul
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asam amino diperlukan untuk
induksi kalus pada jaringan ovul. Sesuai dengan penelitian Bal dan Abak (2003)
bahwa pada kultur ovari tanaman tomat, kultur ovul memerlukan asam amino
yang lengkap, seperti asam amino glutamin, prolin, serin, alanin, arginin dan
glisin.
Komposisi media bervariasi sangat luas di antara spesies-spesies tanaman,
Komponen media in vitro yang paling penting ialah fitohormon yang digolongkan
sebagai faktor induksi, tetapi pada perbanyakan kultur in vitro, jumlah fitohormon
yang digunakan (auksin dan sitokinin) untuk embriogenesis ginogenik juga
bervariasi. Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan sukrosa. Sukrosa yang
tinggi menguntungkan untuk ginogenesis terutama spesies monokotil, sedangkan
spesies lain, misal garbera kebutuhan karbohidrat lebih rendah (Bohanec 2009).
Induksi Ginogenesisi melalui kultur ovari
Media M6 yang mengandung media dasar WT merupakan media yang
potensial untuk menginduksi embrio pada kultur ovari walaupun persentase
terbentuknya embrio masih rendah. Media dasar WT memiliki komposisi unsur
78
makro dan mikro yang lebih dibandingkan dengan media M8 yang mengandung
media dasar MS. Perbedaan lain antara media M6 dan M8 adalah penggunaan
sumber N M6 memiliki rasio NH4:NO3 yang lebih rendah dari M8. M8 memiliki
rasio NH4:NO3 = 1:2, sedangkan M6 1:2,16. Rendahnya respon masing-masing
genotipe diduga karena belum optimalnya media induksi yang digunakan.
Kemungkinan lain ialah posisi persentuhan ovari dengan media yang
menyebabkan pangkal dari ovari tidak mampu mengabsorbsi unsur-unsur yang
diperlukan embrio untuk tumbuh. Hal ini terjadi karena sulitnya mempertahankan
ovari pada posisi vertikal, sehingga bagian pangkal tidak masuk ke dalam media.
Sebagian besar ovari berubah dengan posisi horizontal, karena ovari menjadi licin.
Lapisan luar ovari ini menjadi penghalang transfer unsur-unsur media yang
diperlukan untuk pertumbuhan embrio. Selain media untuk pertumbuhan embrio,
faktor lain yang mungkin berpengaruh ialah genotipe tanaman donor, umur
fisiologis tanaman donor, tahap perkembangan ovul, pra perlakuan dan
lingkungan kultur (suhu, kelembaban, dan cahaya) (Sopori & Munshi 1996).
Alan et al. (2003) dan Alan et al. (2004) mengkombinasikan praperlakuan
suhu rendah 4oC inkubasi, inkubasi gelap dan terang untuk menginduksi
embriogenesis langsung dari ovari. Sedangkan menurut Shalaby (2007) pada
tanaman Cucurbita pepo L. praperlakuan pada suhu 32 oC menghasilkan jumlah
ovul yang ginogenik yang tinggi dibandingkan dengan suhu 4oC.
Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari
Pada beberapa penelitian ginogenesis formula media banyak digunakan
untuk mendukung pertumbuhan embrio haploid dari pada untuk pengubahan
lintasan gametofitik ke sporofitik. Komposisi media bervariasi sangat luas di
antara spesies-spesies tanaman, meskipun fitohormon digolongkan sebagai faktor
induksi. tetapi pada perbanyakan in vitro, jumlah fitohormon yang digunakan
(auksin dan sitokinin) untuk embriogenesis ginogenik juga bervariasi. Hal yang
sama juga berlaku untuk penggunaan karbohidrat. Konsentrasi yang tinggi
(biasanya sukrosa) menguntungkan untuk ginogenesis terutama spesies
monokotil, sedangkan pada spesies dikotil (misal garbera) kebutuhan karbohidrat
rendah (Bohanec 2009).
Hasil penelitian ini ditemukan pula fenomena kondisi abnormalitas
pembungaan. Regenerasi kalus pada kultur ovul dan ovari hampir semua
membentuk bunga yang langsung keluar tanpa melalui fase vegetatif. Tanaman
79
Dianthus sp. merupakan tanaman hari panjang yang akan berbunga pada kondisi
penyinaran hari panjang. Abnormalitas pembungaan terjadi kemungkinan karena
adanya mutasi hasil kultur in vitro.
Kemungkinan lain pemicu pembungaan premature adalah melalui jalur
fotoperiodisitas, yang mengaktifkan gen waktu pembungaan yaitu gen CO
(constant) yang menginduksi pembungaan. Gen CO yang berada di dalam daun
mengaktifkan ekspresi gen LEAFY dan APETALA1 pada meristem reproduktif
yang langsung mengontrol inisiasi pembungaan. Pengaruh selanjutnya adalah
terjadinya perubahan atau mutasi yang terjadi pada gen-gen yang mengatur organ-
organ pembungaan. Pada penelitian ini perubahan tersebut terjadi dalam bentuk
abormalitas pembungaan yang digambarkan dalam model ABC (Gambar 30).
Gambar 30. Mutan pembungaan homeotik ABC model pada Dianthus chinensis.(A) wild type Dianthus chinensis, (B) mutan pembungaan tersusunatas sepal dan petal, (C ) mutan pembungaan tersusun atas sepalpetal dan karpel, (D) mutan pembungaan tersusun atas sepal, stamen,karpel, (E) mutan pembungaan tersusun atas karpel dan sepal, (F)mutan pembungaan tersusun atas sepal dan stamen, (G) mutanpembungaan tersusun atas sepal. A (kotak merah)=kelompok gen Ayang mengatur perkembangan sepal dan petal, B (kotakkuning)=kelompok gen B yang mengatur perkembangan petal danstamen, C (kotak hijau)=kelompok gen C yang mengaturperkembangan stamen dan karpel.
Tanaman normal (wild type) memiliki gen-gen A, B dan C yang bekerja
menghasilkan bagian-bagian bunga seperti sepal, petal, antera dan karpel (Gambar
29A). Apabila hanya gen A dan B yang bekerja, akan menghasilkan sepal dan
petal (Gambar 30B dan C). Jika hanya gen B dan C yang bekerja menghasilkan
stamen dan karpel saja (Gambar 29D). Jika hanya gen C saja yang bekerja
menghasilkan pistil saja (Gambar 29E). Jika hanya gen B saja yang bekerja
menghasilkan kelopak dan antera (Gambar 30F). jika hanya gen A yang bekerja
menghasilkan kelopak saja (Gambar 29G). Tipe-tipe mutasi ini berbeda dengan
tipe mutasi yang ada di Arabidopsis.
A B C D E F G
80
Selain mutasi pembungaan yang muncul, pada penelitian ini tanaman yang
membawa gen dwarf terekspresi pada Dchi-11-125-2.
Simpulan
1. Media dasar WT sesuai untuk pembentukan embrio langsung dari kultur ovari,
sedangkan media dasar MS sesuai unutk membentuk kalus pada kultur multi
ovul, ovul dan irisan ovari.
2. Auksin dalam bentuk 2,4-D lebih baik untuk menginduksi kalus ginogenik
dibanding NAA.
3. Kalus yang berasal dari kultur multi ovul, ovul dan irisan ovari terinduksi
bunga secara in vitro dan diduga menghasilkan mutan abnormalitas
pembungaan.
4. Kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diduga menghasilkan masing-masing
satu tanaman haploid ganda, dan kultur irisan ovari diduga menghasilkan
tanaman haploid yang membawa gen dwarf.
81
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI
PSEUDOFERTILISASI
Abstrak
Induksi partenogenesis menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengansinar gamma telah dilakukan pada tanaman Dianthus chinensis. Tujuan penelitianadalah untuk mendapatkan tanaman haploid melalui pseudofertilisasimenggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Percobaanpseudofertilisasi dilakukan dua kali. Pada percobaan pertama, dosis iradiasi sinargamma 100 Gy diaplikasikan pada serbuk sari dua genotipe dari spesies Dianthuschinensis Dchi-11 dan D.chi-13. Ovari hasil pseudofertilisasi dipanen pada umur10-14 hari. Penyelamatan embrio hasil pseudofertilisasi ditanam di dua media ujiyaitu media M8 (MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9mM prolin + 60 g L-1 sukrosa) dan media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µMBA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 20 g L-1 sukrosa). Pada percobaankedua, tiga level dosis iradiasi sinar gamma 100, 200 dan 300 Gy diaplikasikanpada serbuk sari genotipe Dchi-11. Penyelamatan embrio menggunakan mediaMS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin +30% sukrosa. Embrio yang berhasil tumbuh disubkultur di media MS tanpa zatpengatur tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 100 Gy merupakandosis minimum untuk menonaktifkan serbuk sari dan menginduksipartenogenesis. Semua media uji untuk penyelamatan embrio dapat digunakanuntuk membantu pertumbuhan embrio. Penyerbukan menggunakan serbuk sariyang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp.menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2dan D19.1). Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh adalah 5,1 tanamanhaploid dari 100 persilangan. Pseudofertilisasi menghasilkan putatif mutan dwarfpada D9.1 dan D231 serta mutan abnormalitas pembungaan. Tanaman haploidganda langsung dapat digunakan sebagai tetua persilangan untuk mendapatkantanaman hibrida F1.
Kata kunci: Dianthus chinensis, tanaman haploid, partenogenesis, iradiasi serbuksari
82
HAPLOID PLANTS INDUCTION OF Dianthus chinensis
TROUGH PSEUDOFERTILIZATION
Abstract
Parthenogenesis induce by irradiated pollen was ivestigated for theDianthus chinensis. The objective of this study was to obtain haploid plantsthrough pseudofertilization with irradiated pollen. Pseudofertilization consists oftwo unit experiment. The first experiment was 100 Gy gamma ray dose applicatedon two genotipes (Dchi-11 and D.chi-13) of Dianthus chinensis pollen. Ovariobtained from pseudofertilization were harvested 10-14 days afterpseudofertilization. Embryos were rescued on two medium of M8 (MS + 1,9 µMNAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 60 g L-1 sucrose)and M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mMproline + 20 g L-1 sucrose). The second experiment was three level dose ofgamma irradiated pollen (100, 200 and 300 Gy) applicated on Dchi-11 pollen.Embryos rescued on MS medium supplemented with 0.057 µM NAA + 2,22 µMBA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 30% sucrose. Enlarged embryoswere subcultured in free MS medium. Result showed that 100 Gy dose wasminimum dose to inactivate pollen inducing artificial parthenognetic. All mediumtested could be used to emerged embryo growth. Pollination using 100-200 Gygamma irradiated pollen dose can induce Dianthus chinensis parthenogenesisproduce five haploid plants (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2 dan D19.1).Frequency haploid plant as 5,1 haploid plants from 100 crossing. Putative mutantdwarf of D9.1 and D231 were obtained from pseudofertilization. Haploid plantcould be used for parent to obtain hybrid F1.
Key words: Dianthus chinensis, haploid plant, parthenogenesis, irradiated pollen
83
Pendahuluan
Spesies-spesies tanaman Dianthus yang lebih dikenal dengan tanaman
anyelir (carnation) beradaptasi di daerah pegunungan Alpine di Eropa dan Asia,
serta ditemukan pula di daerah Mideterranean. Tanaman ini pada umumnya
adalah tanaman diploid (2n = 2x = 30). Bentuk tetraploidnya juga telah
ditemukan, sedang tanaman triploidnya diproduksi untuk tujuan komersial, tetapi
sebagian besar tanaman ini adalah aneuploid (Brooks, 1960). Ketersediaan
kultivar anyelir di pasar pada umumnya adalah tanaman diploid (Galbally &
Galbally, 1997). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van Putten (1990) spesies-
spesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D. chienensis dan D.
superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan untuk transfer
karakter kegenjahan ke tanaman anyelir. Dianthus chinensis merupakan spesies
yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang serta paling genjah
diantara spesies yang lain.
Potensi untuk mendapatkan tanaman haploid dengan frekuensi yang tinggi
dari kultur serbuk sari yang belum masak dan kultur ovul yang tidak diserbuk
telah banyak diteliti. Teknik lain untuk mendapatkan tanaman haploid adalah
parthenogenesis. Partenogenesis merupakan sel telur yang berkembang menjadi
embrio tanpa fertilisasi (Kasha dan Maluczynski 2003). Partenogenesis dapat
dilakukan melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dan
digunakan untuk penyerbukan.
Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan serbuk sari yang diradiasi diikuti
dengan penyelamatan embrio telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman
buah-buahan yaitu plum (Peixe et al. 2000), kiwi (Chalak and Legave, 1997),
Melon (Katoh et al. 1993), jeruk (Bermejo et al. 2011), sedangkan pada tanaman
hias telah dilakukan pada primula (Carraro et al. 1990), bunga matahari
(Todorova et al. 2004), mawar (Meynet et al. 1994), anyelir (Dianthus
caryophillus) (Sato et al. 2000; Dolcet-Sanjuan et al. 2001) dan tanaman lain
seperti kapas (Aslam, 2000; Savaskan, 2002). Pada buah-buahan banyak
menghasilkan buah tanpa biji (partenokarpi) yang disebabkan oleh embrio yang
mengalami degenerasi (Sugiyama et al. 2002). Pada tanaman apel tanaman
haploid berhasil diregenerasi setelah diserbuk dengan polen yang diiradiasi sinar
gamma pada level dosis 200 – 500 Gy diikuti dengan penyelamatan embrio pada
umur 2-3 bulan setelah penyerbukan dengan media MS (Zhang et al. 1991).
84
Sementara pada tanaman mawar dosis 500 Gy merupakan dosis yang minimum
untuk menginduksi parthenogenesis (Meynet et al. 1994). Pada tanaman melon
dosis yang diperlukan adalah 300 Gy sinar Gamma. Pada tanaman anyelir, Sato et
al. (2000) menggunakan dosis iradiasi 100 Krad sinar X. Sementara Dolcet-
Sanjuan et al. (2001) menggunakan dosis iradiasi 1000 Gy sinar gamma untuk
mendapatkan tanaman yang tahan Fusarium oxysporum.
Penelitian Sato et al (2000) dengan perlakuan iradiasi sinar X 100 kRad
pada serbuk sari sebagai donor polen menghasilkan 300 ovari yang berhasil
ditanam, tetapi hanya 55 ovari yang berhasil tumbuh dan beregenerasi. Dari 55
ovari yang beregenerasi tersebut, 1 regeneran adalah haploid, sementara 54
regeneran lainnya bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Sementara dosis
iradiasi sinar X 200 Gy diperoleh 100 ovari, tetapi hanya 1 ovari saja yang
tumbuh, dan tidak bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Dari hasil
penelitian Sato et a.l (2000) ini, menunjukkan bahwa penggunaan sinar X kurang
efektif untuk menonaktifkan perkecambahan serbuk sari, sehingga pada
percobaan 1 ini digunakan sinar gamma untuk menggantikan sinar X. Tujuan
penelitian adalah mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang dapat
menonaktifkan serbuk sari untuk pseudofertilisasi dan mendapatkan tanaman
haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar
gamma.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan tanaman hias, Cipanas dan
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Hias, Segunung dengan ketinggian
tempat 1100 m dpl mulai April 2011 sampai Juli 2012. Penelitian terdiri atas dua
percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mendapatkan media yang sesuai
untuk penyelamatan embrio. Percobaan ke dua merupakan pengembangan hasil
percobaan pertama dengan meningkatkan dosis perlakuan iradiasi. Penelitian
terdiri atas dua percobaan (1) Pseudofertilisasi dengan dosis 100 Gy (2)
Pseudofertilisasi dengan dosis 0, 50, 100, 200, 300 Gy
Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengansinar gamma pada dosis 100 Gy
Pada percobaan ini dicari donor ovul dan serbuk sari yang sesuai untuk
mendapatkan tanaman haploid. Bahan tanaman untuk donor ovul menggunakan
85
spesies Dianthus chinensis D-chi11, Dchi-14 dan D-chi15 koleksi Balai Penelitian
Tanaman Hias. Donor serbuk sari diambil dari spesies Dianthus chinensis D.chi-
13 dan D.chi14 yang telah berumur 6 bulan. Tanaman ditanam di pot ukuran 17
cm dengan media tanaman campuran humus daun bambu:arang sekam: pupuk
kandang = 2:1:1.
Prosedur Pelaksanaan
Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan
Serbuk sari diambil dari kuncup bunga berukuran 1,8 cm pada tahap T8
(umur 11 hari) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar
gamma pada alat Gamma chamber 4000 A (CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan
laju dosis 80 kRad/jam per April 2011. Dosis yang digunakan adalah dosis
tunggal 100 Gy. Setelah diiradiasi, sampel serbuk sari diuji aktivitasnya dengan
menumbuhkannya pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24
jam serta dengan pewarnaan aceto-orcein. Kemudian diamati di bawah mikroskop
untuk memastikan bahwa serbuk sari tidak aktif. Serbuk sari yang tidak aktif
dilihat dari ketidak mampuannya berkecambah setelah 24 jam.
Satu hari sebelum penyerbukan, bunga betina reseptif diemaskulasi
kemudian ditutup dengan kertas untuk menghindari penyerbukan dari serbuk sari
yang tidak diinginkan. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari
yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas.
Penyelamatan embrio
Buah dipetik pada umur 10 hari sampai 14 hari setelah penyerbukan.
Buah dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi alkohol 96%
selama 10 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah steril
dibelah dan embrio muda yang membengkak ditanam pada media. Media yang
diuji ialah media M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa
(Sato et al. 2000), dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1
sukrosa (Mosquera et al. 1999). Dua media tersebut dimodifikasi dengan
penambahan 2,7 mM L-glutamin + 0,9 mM L-prolin. Kultur embrio muda
diinkubasi dalam ruang dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari
dengan intensitas cahaya 1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman
kemudian disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pengamatan
86
dilakukan terhadap jumlah persilangan, jumlah ovari yang dipanen, jumlah ovari
gugur, jumlah ovari yang diselamatkan, jumlah kloroplas pada sel penjaga
stomata, dan jumlah kromosom yang diambil pada meristem pucuk.
Evaluasi Ploidi
Evaluasi tingkat ploidi awal tanaman dilakukan dengan menghitung
jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata pada daun yang telah membuka
sempurna (daun ke 3 – 5). Lapisan daun bagian bawah dikupas dan ditempatkan
pada gelas preparat, ditambah beberapa tetes aquades, dan ditutup dengan gelas
penutup, kemudian diperiksa di bawah mikroskop pada perbesaran 10 x 10 dan
10 x 40.
Penghitungan jumlah kromosom dilakukan di Puslitbang Biologi LIPI
menggunakan potongan meristem. Potongan tersebut direndam dalam larutan
0,002 M 8-Hydroxyquinolin selama 3-5 jam pada suhu 4 oC, kemudian dibilas
dengan akuades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan
pucuk (meristem) dimasukkan pada campuran larutan1 N HCl dan 45% asam
asetat dengan perbandingan 1:3 pada air dengan suhu 60 oC selama 1-5 menit, dan
diwarnai dengan aceto-orcein 2%, dilakukan squashing kemudian di amati di
bawah mikroskop.
Verifikasi tingkat ploidi dilakukan dengan menggunakan alat flow
cytometer PARTEC CCA untuk PF35.1, PF42, dan PF79 yang dilakukan di Balai
Besar Biogen dengan membuat suspensi dari potongan daun muda sekitar 1 cm2
yang dilarutkan dengan 1 ml buffer ekstraksi. Suspensi disaring menggunakan
mikrofilter 0.2 µm, dimasukkan dalam Cuvet dan diwarnai dengan 4,6-diamidino-
2-phenylindole (DAPI). Cuvet dimasukkan pada alat flow cytometer yang telah
dioptimasi menggunakan suspensi kontrol diploid Dianthus chinensis Dchi-11.
Penentuan ploidi juga dilakukan dengan alat flow cytometer CyFlow®
space di Pusat Penelitian Biologi LIPI, menggunakan buffer PI, untuk PF35.1 dan
PF89. Penentuan plodi PF69.1 dan PF69.2 dilakukan di East West Seed Indonesia
menggunakan buffer Ewindo.
Analisis isozim
Analisis dengan isozim dilakukan untuk melihat adanya keragaman hasil
pseudofertilisasi. Bahan tanaman menggunakan daun yang masih segar (100 –
200 g). Daun tersebut digunting halus dimasukkan ke dalam mortar yang telah
diberi pasir kuarsa, dengan menambahkan buffer pengekstrak sebanyak 0,5 ml,
87
kemudian digerus sampai halus. Selanjutnya kertas saring yang ukurannya
disesuaikan dengan kebutuhan dimasukkan dalam mortar untuk menyerap cairan
sel daun yang telah hancur. Kertas saring yang telah menyerap cairan sel dari
setiap sampel dibersihkan untuk kemudian disisipkan pada gel yang telah
dilubangi.
Elektroforesis dilakukan dalam ruangan atau lemari es pada suhu antara 5
– 10 oC. Elektroforesis awal selama 30 menit pada 100 volt dan dielektroforesis
tetap pada 150 atau 200 watt selama 3 sampai 4 jam. Setelah selesai elektroforesis
gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalan) pada posisi horizontal. Kertas
saring sebelumnya dikeluarkan dari lubang-lubang. Lembaran gel dimasukkan
dalam nampan, kemudian diberi pewarna esterase (EST) dan peroksidase (PER).
Nampan selanjutnya ditutup dengan aluminium foil diinkubasi pada suhu ruang
sampai muncul pita-pita pada gel yang cukup jelas. Pewarna esterase (EST)
mengandung 100 m Sodium fosfat pH 7 (100 ml), 1-Naftil asetat (50 mg), 2-
Naftil asetat (5 mg), dan Aseton (100 mg). Pewarna peroksidase (PER)
mengandung 50 mM Natrium asetat pH 5 (100 ml), CaCl2 (50 mg), H2O2 3%
(0,5 ml), 3-Amino-9etilkarbason (50 mg), Aseton/N,N-Dimethylformamid (5
ml). Setelah pewarnaan gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian
difiksasi dengan 50% gliserol ; 50% etanol. Kemudian gel didokumentasi.
Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasidengan berbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy
Bahan tanaman menggunakan Dianthus chinensis D.chi-11 (hasil terbaik
pada percobaan 1 koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai donor ovul.
Serbuk sari dambil dari Dianthus chinensis D.chi-14 yang banyak menghasilkan
serbuk sari.
Prosedur Pelaksanaan
Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan
Kuncup bunga dari serbuk sari Dchi-14 pada tahap T8 (11 hari setelah
inisiasi bunga) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar
gamma pada dosis 50, 100, 200, dan 300 Gy pada alat Gamma chamber 4000 A
(CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan laju dosis 1 kRad/48 detik pada tanggal 23
Agustus 2011. Sebagai kontrol adalah serbuk sari tanpa diiradiasi. Sampel dari
serbuk sari yang diiradiasi setiap dosis diamati aktivitasnya setelah
dikecambahkan pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24
88
jam. Kemudian dihitung persentase serbuk sari yang berkecambah dalam satu
bidang pandang. Penghitungan dilakukan pada enam bidang pandang sebagai
ulangan.
Kuncup bunga dari donor ovul di emaskulasi satu hari sebelum
penyerbukan dan disungkup dengan kandung kertas untuk menghindari serbuk
sari dari bunga lain. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari
yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas.
Penyerbukan dengan serbuk sari tanpa diiradiasi digunakan sebagai kontrol.
Penyelamatan embrio
Buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan. Buah
dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi dengan alkohol
96% selama 2 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah
steril dibelah dan embrio muda ditanam pada media. Buah yang telah steril
dikultur pada media MS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin +
0,9 mM prolin and 30% sukrosa. Kultur embrio muda diinkubasi dalam ruang
dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari dengan intensitas cahaya
1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman kemudian disubkultur
pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Plantlet yang telah berakar kemudian
diaklimatisasi pada kondisi luar dengan media coco peat steril.
Evaluasi Ploidi
Pemeriksaan ploidi awal secara tidak langsung menggunakan
penghitungan jumlah kloropas pada sel penjaga stomata dengan analisis flow
cytometry. Analisis ploidi ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI,
Cibinong menggunakan alat CyFlow® space (Partec GmbH yang dilengkapi
dengan diode pumped solid-state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488
nm and laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW).
Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam Petri discs
yang berisi 500 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring
menggunakan Partec 50 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI
(Propidium Iodide) dan Rnase (2 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 – 60
menit sebelum dianalisis dalam flow cytometry. Sebagai kontrol (diploid)
digunakan daun muda dari Dianthus chinensis D.chi-11.
89
Hasil
Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasidengan sinar gaam pada dosis 100 Gy
Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari
yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk
sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk
sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain
itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang
(Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna
aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk
sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.
Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkanpada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi,berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D)penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol,(E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yangdiradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.
Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai
umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau,
sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari
hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah
dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang
telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur
(berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di
kultur.
Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu
menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang
membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan
embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah
poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di
A B C D E
89
Hasil
Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasidengan sinar gaam pada dosis 100 Gy
Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari
yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk
sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk
sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain
itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang
(Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna
aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk
sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.
Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkanpada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi,berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D)penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol,(E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yangdiradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.
Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai
umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau,
sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari
hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah
dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang
telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur
(berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di
kultur.
Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu
menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang
membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan
embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah
poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di
A B C D E
89
Hasil
Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasidengan sinar gaam pada dosis 100 Gy
Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari
yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk
sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk
sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain
itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang
(Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna
aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk
sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.
Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkanpada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi,berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D)penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol,(E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yangdiradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM.
Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai
umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau,
sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari
hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah
dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang
telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur
(berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di
kultur.
Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu
menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang
membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan
embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah
poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di
A B C D E
90
media M10 sebanyak 20. Hasil penyelamatan embrio ini diperoleh 7 karpel
(0,13%) yang berisi 10 biji belum masak dan berhasil ditanam (Tabel 15).
Tabel 15. Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dari ovarihasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinargamma
Media Jumlah karpelyang ditanam
Jumlah ovari yang tumbuh pada berbagaipseudofertilisasi
♂Serbuk sari Dchi-14 ♂Serbuk sari Dchi-13
♀Dchi-11 ♀Dchi-15 ♀Dchi-15 ♀Dchi-14M8 21 16 (4)* 1 (1)* 1 3M10 20 17 (2)* 3 0 0
Keterangan : *) angka di dalam kurung adalah embrio yang berhasil tumbuhM8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa
Embrio mulai tumbuh menjadi tunas pada minggu ke 4 setelah kultur.
Selanjutnya ovari yang ditanam diberi kode PF03, PF35, PF42, PF69, PF74,
PF79, dan PF89. PF 35, PF69 dan PF74 menghasilkan dua embrio, sedangkan
yang lain hanya satu embrio. Pada pertumbuhan selanjutnya PF03 mati dan PF74
terkontaminasi. Enam embrio yang tersisa dapat tumbuh langsung menjadi tunas,
sedangkan embrio dari PF89 yang dipanen umur 10 hari terinduksi menjadi
kalus. (Gambar 32).
Gambar 32. Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari hasil pseudofertilisasidengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. (A) PF35.1(B) PF42 (C) PF69.1 (D) PF69.2 (E) PF74 (F) PF79 dan (G) PF89.Bar = 0,5 cm
A
GFED
CB
91
Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa kedua media perkecambahan M8 dan
M10 dapat digunakan sebagai media penyelamatan embrio. Namun M8
menghasilkan persentase tumbuh embrio yang lebih tinggi dibanding M10.
Jumlah sukrosa M8 lebih tinggi dan menggunakan auksin NAA sedang media
M10 menggunakan auksin 2,4-D. Hal yang sama juga terjadi pada mawar
(Meynet et al. 1994) bahwa embrio dapat berkecambah di semua media uji dan
tidak ada pengaruh penggunaan hormon yang berbeda-beda. Namun sebagian
besar regeneran mengalami vitrifikasi. Embrio yang berhasil tumbuh pada media
M8 dan M10 pada umumnya berasal dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk
sari Dchi-14 (Tabel 16). Tidak ada satupun donor serbuk sari berasal dari Dchi-13
yang berhasil mendorong pembentukan embrio pada Dchi-14 dan Dchi-15.
Tabel 16. Jumlah embrio yang tumbuh dari setiap ovari hasil pseudofertilisasi
Kode ovari Betina Donor polen Media Jumlah embrio tumbuhPF03 Dchi-11 Dchi-14 M8 1+
PF35 Dchi-11 Dchi-14 M8 2#
PF42 Dchi-11 Dchi-14 M8 1PF69 Dchi-11 Dchi-14 M8 2PF74 Dchi-11 Dchi-14 M8 2*PF79 Dchi-11 Dchi-14 M10 1PF89 Dchi-15 Dchi-14 M10 1
Keterangan: *) terkontaminasi +) planlet mati #) 1 embrio matiM8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52 µM2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa
Evaluasi tingkat ploidy
Dari total 10 embrio yang telah tumbuh terdapat 4 embrio terkontaminasi
dan mati yaitu 1 embrio dari PF03, 1 embrio dari PF35 dan 2 embrio dari PF74.
Genotipe PF35-1, PF42, PF69-1, PF69-2, PF79 dan PF89 dilanjutkan untuk
evaluasi ploidi. Berdasarkan analisis jumlah kandungan kloropas pada sel penjaga
stomata diperoleh 4 genotipe yang diduga haploid yaitu PF035-1, PF42, PF 69-1
dan PF79, sedang dua genotipe yaitu PF69-2 dan PF89 belum dapat dianalisis,
karena belum membentuk daun (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Yuan et al. (2009) bahwa jumlah kloroplas bervariasi pada
genotipe yang sama dengan kisaran jumlah kloropas antara 9-24 pada genotipe
yang diduga haploid (Gambar 33A-E) dan 19-36 pada genotipe diploid (kontrol)
(Gambar 33F). Empat genotipe yang diduga haploid dilanjutkan dengan analisis
jumlah kromosom.
92
Tabel 17. Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata enamgenotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi dengan polen yangdiiradiasi sinar gamma
GenotipeJumlah stomata yang
diamatiRata-rata jumlah
kloroplasKisaran jumlah
kloroplasPF035.1 77 15,88 ± 2,47 17 - 24PF042 144 14,42 ± 1,79 9 - 18PF069.1 47 13,51 ± 2,45 9 - 18PF079 21 15,57 ± 2,18 10 - 18Kontrol 1 116 26,00 ± 3,08 19 - 36Kontrol 2 34 25,00 ± 2,19 21 - 31
Gambar 33. Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus chinensishasil pseudofertilisasi: (A) PF035.1, (B) PF042, (C) PF069.1, (D)PF69.2, (E) PF79, dan (F) diploid (kontrol) Bar =10 µm;Kromosom (G) PF35.1, (H) PF 42, (I) PF69.1, (J) PF79, (K)kontrol. Bar = 1 µm
Analisis kromosom sangat sulit dilakukan pada akar yang berasal dari
planlet in vitro, sehingga analisis jumlah kromosom menggunakan jaringan
meristem pada planlet. Berdasarkan analisis jumlah kromosom menggunakan
meristem pucuk planlet diketahui bahwa empat genotipe memiliki jumlah
kromosom 15 (PF35.1, PF69.1, PF69.1 dan PF79) dan jumlah kromosom 30
(PF42 dan kontrol) (Gambar 33G-K). Pada PF79 terdapat kemungkinan telah
terjadi penggandaan kromosom secara spontan. (Gambar 34). Namun hasil
analisis kromosom ini juga masih meragukan. Untuk memperjelas analisis ploidi
ini dilakukan analisis flow cytometri.
93
Gambar 34. Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat dua seldengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30 (panahhitam), jumlah kromosom 15 (panah merah)
Analisis dengan Flow cytometer diperoleh bahwa PF69.1 dan PF69.2
adalah haploid (Gambar 35). Pada histogram itu pula dapat dibuktikan adanya
kemungkinan penggandaan spontan, terlihat adanya peak (puncak) 4C. Analisis
dengan flow cytometer pada PF 35.1, PF42, PF79 dan PF89 menunjukkan bahwa
tanaman-tanaman tersebut adalah diploid (Gambar 36 dan 37).
Gambar 35. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF69.1dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi: (A) Kontrol diploid, (B) PF69-1dan (C) PF69-2
A
B
C
94
Gambar 36. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF89hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid, (B) PF89 diploid
Gambar 37. Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanaman PF35.1hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol; (B) PF 35.1
Setelah aklimatisasi, dari enam genotipe hasil pseudofertilisasi hanya 3
genotipe (PF42, PF69.1 dan PF69.2) yang berbunga (Gambar 38). Genotipe PF42
morfologi daun dan bunga yang sangat berbeda dengan donor ovul dan serbuk
File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43 Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
File: Anyelir PF89 Date: 17-02-2012 Time: 09:22:58 Particles: 8452 Acq.-Time: 326 s
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
0 200 400 600 800 10000
40
80
120
160
200
FL1 -
coun
ts
partec CyFlow
A
2C
2C
4C
4C
Kontroldiploid
BPF89
AKontrol
BPF35.1
95
sarinya. PF42 memiliki corak berbintik putih yang merata pada petal dengan
warna petal sama dengan donor ovul. Perbedaan juga terjadi pada bentuk dan
ukuran daun, tipe batang yang lebih roset dibanding dua sumber atau donor ovul
dan serbuk sari. PF42 kemungkinan mengalami mutasi selama proses
penyelamatan embrio secara in vitro.
PF69.1 memiliki warna daun kekuningan, kemungkinan karena terjadi
gangguan pada klorofil. Waktu berbunga tanaman ini sangat lama (11 bulan), dan
bunga tidak memiliki antera. PF69.2 memiliki pertumbuhan vegetatif normal,
tetapi bunga tidak memiliki antera. Dari hasil ini terlihat bahwa perbedaan antara
diploid dengan haploid yang utama adalah bagian bunga. Tanaman diploid
memiliki antera, sedangkan tanaman haploid tidak memiliki antera (Gambar 38L,
M). .
Gambar 38. Pertumbuhan planlet in vitro dan tanaman hasil pseudofertilisasi. (A) kontrol,(B) PF35-1, (C) PF42, (D) PF69-1 (E) PF69-2, (F) PF79 (G) Tanaman hasilpseudofertilisasi umur 3 bulan setelah aklimatisasi, (H) tanaman PF42, (I)tanaman PF69.1, (J) tanaman PF69.2, (K) bunga PF42, (L) bunga PF69.1,(M) bunga PF69.2
PF35.1, PF79, PF89 memiliki pertumbuhan vegetatif roset dan tidak
berbunga. PF79 dan PF89 memiliki daun yang tipis, dan peka terhadap busuk
akar. Untuk mengetahui asal-usul dari PF35.1, PF42, PF79, dan PF89, maka
dilakukan analisis isoenzim dan hasilnya disajikan pada Gambar 39.
Analisis isozim
Analisis isozim dilakukan dengan mengambil sampel daun PF35.1, PF 42,
PF79, dan PF89. Tanaman donor ovul Dchi-11, donor serbuk sari Dchi-14 dan
96
salah satu keturunan hasil persilangan kedua donor tersebut (151) digunakan
sebagai kontrol. Tanaman haploid akan memiliki pita yang sama atau lebih
sedikit dibandingkan dengan tanaman donor betina dan tidak ada pita yang berasal
dari donor serbuk sari.
Pita yang terbentuk pada isozim merupakan hasil reaksi enzimatik dari
substrat dengan enzim yang diamati. Hasil analisis isozim dengan sistem enzim
esterase (EST) diperoleh bahwa PF35.1 dan PF89 memiliki pita yang sama
dengan induk betina Dchi-11. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1
dan PF89 berasal dari perkembangan bagian dari sel donor betina, namun dua pita
yang sama ini juga dimiliki oleh donor jantan Dchi-14. PF 79 berbeda satu pita
dari donor ovulnya (pita tidak ada). Dua pita yang lain memiliki pita sama dengan
donor ovul dan donor serbuk sari, namun dengan sistem enzim peroksidase (PER)
PF79 memiliki pita sama dengan donor betina, dan tidak memiliki satu pita
(Gambar 39, tanda anak panah). Hasil ini masih meragukan sehingga perlu diuji
melalui segregasi turuannya melalui selfing. Namun karena tanaman ini berbentuk
roset dan tidak berbunga, sehingga tidak dapat diuji segregasinya. PF42 memiliki
satu pita yang sama sekali berbeda dari Dchi-11 dan Dchi-14 baik pada sistem
enzim esterase dan peroksidase, menunjukkan bahwa PF42 mengalami mutasi.
Hasil selfing dari PF42 memiliki keragaman yang tinggi pada bentuk daun, warna
daun, dan bunga (40), sehingga memberikan indikasi PF42 adalah diploid.
A BGambar 39. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase (EST) dan (B)
peroksidase (PER) pada tanaman hasil pseudofertilisasi PF35.1,PF42, PF79 dan PF89 menggunakan serbuk sari yang diiradiasi sinargamma 100 Gy
Dari sistem enzim peroksidase terdapat satu pita spesifik yang hanya
dimiliki oleh donor jantan dan tanaman F1 (Gambar 39B, tanda panah) dan tidak
97
dimiliki PF35.1, PF79 dan PF79. Hasil sistem enzim peroksidase ini menunjukkan
bahwa kemungkinan PF35.1, PF79 dan PF89 berasal dari donor betina Dchi11.
Gambar 40. PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasilpseudofertilisasi. (A) bunga PF42, (B-L) bunga progeni hasil selfingPF42. (M) keragaman pertumbuhan PF42
Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi denganberbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy
Pengujian aktivitas serbuk sari
Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Makin meningkat
dosis irradiasi sinar gamma, perkecambahan serbuk sari semakin menurun
dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak diiradiasi (Gambar 41). Laju
perkecambahan serbuk sari kontrol (serbuk sari tidak diiradiasi) rata-rata adalah
79,28%. laju perkecambahan rata-rata yang diamati pada serbuk sari yang
diiradiasi dengan dosis 50 Gy adalah 10,34%.
Gambar 41. Persentase perkecambahan serbuk sari D. chinensis Dchi-14, 24 jamsetelah iradiasi sinar gamma.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada dosis 50 Gy serbuk sari tidak dapat
digunakan sebagai donor, karena masih terdapat peluang serbuk sari untuk
menyerbuki sel telur. Tingkat dosis iradiasi 100 – 300 Gy mampu menonaktifkan
serbuk sari, sehingga dapat digunakan sebagai donor serbuk sari.
79,28
10,34
-200
20406080
100
0 100 200 300
Pers
enta
sepe
rkec
amba
han
dosis iradiasi(Gy)
98
Pemanenan buah
Semua buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan. Dari
104 buah yang diserbuki, hanya dapat dipanen 53 buah. Buah gugur pada
perlakuan serbuk sari yang diiradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
(tanpa iradiasi) (Gambar 42). Keguguran buah kemungkinan disebabkan oleh
ketidakmampuan tabung polen mencapai kantong embrio. Pengaruh serbuk sari
yang diiradiasi pada gugurnya buah secara morfologi terlihat dari keringnya buah
yang dimulai pada satu minggu setelah penyerbukan.
Gambar 42. Persentase pembentukan buah pada D. chinensis yang diserbukidengan serbuk sari yang diradiasi dengan berbagai dosis sinargamma.
Buah gugur terjadi setelah dua minggu perlakuan pseudofertilisasi dengan
serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 – 300 Gy. Jumlah total embrio yang
membesar tidak dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa
pada dosis 200 Gy memiliki rata-rata jumlah embrio yang terbentuk per buah
yang tertinggi. Namun jumlah embrio yang membesar tidak selalu mampu untuk
tumbuh dan berkecambah (Tabel 19).
Tabel 18. Jumlah dan karakteristik buah yang dipanen dan biji yang diperolehsetelah penyerbukan D. chinensis Dchi-11 dengan serbuk sari D.chinensis Dchi-14 yang diradiasi dengan sinar gamma.
Dosisiradiasi
(Gy)
Jumlahbunga yangdiserbuki
Jumlahbuah yangdipanen
Rata-ratapanjang
buah (cm)
Rata-ratadiameter
buah (cm)
Totalembrio
Rata-rataembrio yang
terbentuk/buah0 6 6 1,45 ± 0,28 0,45 ± 0,14 60 10,0
100 24 16 1,28 ± 0,05 0,29 ± 0,10 55 3,4200 37 16 1,33 ± 0,06 0,37 ± 0,06 89 5,6300 37 15 1,25 ± 0,11 0,43 ± 0,04 74 4,9
Jumlah 104 53 278Keterangan: rata-rata embrio yang terbentuk dihitung dari total embrio/jumlah
jumlah buah yang dipanen
100,00
66,6743,24 40,54
0,0020,0040,0060,0080,00
100,00120,00
0,00 100,00 200,00 300,00pem
bent
ukan
bua
h (5
)
Dosis iradiasi (Gy)
99
Tabel 19. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap perkecambahan biji dankualitas planlet setelah 4 bulan dan 7 bulan hasil pseudofertilisasi
Dosis(Gy)
Jumlahembrio
Embrioberkecambah
Setelah 4 bulan Setelah 7 bulan
jumlah % Planletnormal
Planletabnormal
Planletnormal
Planletabnormal
0 60 15 25,00 15 0 15 0100 55 14 23,64 8 6 5 9200 89 22 23,60 13 9 13 9300 74 7 9,46 3 4 2 5
Jumlah 278 58 39 19 35 23
Keterangan: plantlet normal dan abnormal dihitung dari jumlah embrio yangberkecambah
Rata-rata embrio yang terbentuk dari hasil penyerbukan dengan serbuk
sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 – 300 Gy menurun dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 18). Pengaruh lain akibat irradiasi ialah menurunnya
persentase perkecambahan pada dosis 100 - 300 Gy, tetapi tidak ada perbedaan
antara dosis 100 dan 200 Gy (Tabel 19). Persentase planlet normal dengan
perlakuan pada dosis 100 (57%) dan 200 (59%) mendekati setengah dari kontrol
(50%). Dari hasil ini, maka dapat digunakan untuk menentukan dosis 50%
(Gambar 43).
Gambar 43. Grafik hubungan antara dosis iradiasi sinar gamma terhadappersentase abnormal planlet D. chinensis setelah 4 bulan dan 7 bulan.
Abnormalitas dosis 50 mirip dengan penentuan LD50 (Lethal dosis 50)
yang digunakan untuk menentukan batas maksimum dosis iradiasi yang untuk
mendapatkan mutan maksimum. Kemudian kisaran dosis ini dikaitkan dengan
dosis irradiasi yang menghasilkan tanaman haploid yang maksimal, sehingga dari
dua waktu penentuan dosis abnormalitas dosis 50% dapat ditentukan waktu
penghitungan abnormalitas dosis 50% yang tepat. Pada penelitian ini diduga
y = 0,267x + 17,18R² = 0,762
y = 0,168x + 11,31R² = 0,747
020406080
100120
0 100 200 300 400
plan
let a
bnor
ma
(%)l
Dosis iradiasi (Gy)
7 bulan4 bulan
100
bahwa tanaman haploid mendekati tanaman abnormal, sehingga dosis untuk
mendapatkan tanaman haploid yang maksimal berada dibawah AD50. AD50
Dianthus chinensis hasil penelitian ini adalah 230,30 Gy (setelah 4 bulan) dan
122,92 Gy (setelah 7 bulan).
Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap plantlet in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas langsung keluar dari ovul, dan
hanya satu embrio yang membentuk kalus yaitu pada dosis irradiasi 100 Gy (C5).
Pembentukan tunas yang terjadi adalah 1 tunas per ovul. Beberapa plantlet yang
dihasilkan dari penyerbukan dengan polen yang diiradiasi menunjukkan fenotipe
abnormal. Bentuk-bentuk abnormal pada umumnya yaitu pada bagian daun dan
batang (Gambar 44).
Gambar 44. Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengansinar gamma pada dosis 100-300 Gy. (A-C) planlet abnormal hasilpseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy (D-G) planlet normal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gammapada dosis 100-200 Gy.
Planlet normal hasil dari penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi
dengan dosis 100 – 300 Gy pertumbuhannya sama dengan kontrol tetapi laju
pertumbuhannya agak lambat. Beberapa planlet ini memiliki fenotipe yang
100
bahwa tanaman haploid mendekati tanaman abnormal, sehingga dosis untuk
mendapatkan tanaman haploid yang maksimal berada dibawah AD50. AD50
Dianthus chinensis hasil penelitian ini adalah 230,30 Gy (setelah 4 bulan) dan
122,92 Gy (setelah 7 bulan).
Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap plantlet in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas langsung keluar dari ovul, dan
hanya satu embrio yang membentuk kalus yaitu pada dosis irradiasi 100 Gy (C5).
Pembentukan tunas yang terjadi adalah 1 tunas per ovul. Beberapa plantlet yang
dihasilkan dari penyerbukan dengan polen yang diiradiasi menunjukkan fenotipe
abnormal. Bentuk-bentuk abnormal pada umumnya yaitu pada bagian daun dan
batang (Gambar 44).
Gambar 44. Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengansinar gamma pada dosis 100-300 Gy. (A-C) planlet abnormal hasilpseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy (D-G) planlet normal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gammapada dosis 100-200 Gy.
Planlet normal hasil dari penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi
dengan dosis 100 – 300 Gy pertumbuhannya sama dengan kontrol tetapi laju
pertumbuhannya agak lambat. Beberapa planlet ini memiliki fenotipe yang
100
bahwa tanaman haploid mendekati tanaman abnormal, sehingga dosis untuk
mendapatkan tanaman haploid yang maksimal berada dibawah AD50. AD50
Dianthus chinensis hasil penelitian ini adalah 230,30 Gy (setelah 4 bulan) dan
122,92 Gy (setelah 7 bulan).
Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap plantlet in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas langsung keluar dari ovul, dan
hanya satu embrio yang membentuk kalus yaitu pada dosis irradiasi 100 Gy (C5).
Pembentukan tunas yang terjadi adalah 1 tunas per ovul. Beberapa plantlet yang
dihasilkan dari penyerbukan dengan polen yang diiradiasi menunjukkan fenotipe
abnormal. Bentuk-bentuk abnormal pada umumnya yaitu pada bagian daun dan
batang (Gambar 44).
Gambar 44. Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengansinar gamma pada dosis 100-300 Gy. (A-C) planlet abnormal hasilpseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy (D-G) planlet normal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gammapada dosis 100-200 Gy.
Planlet normal hasil dari penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi
dengan dosis 100 – 300 Gy pertumbuhannya sama dengan kontrol tetapi laju
pertumbuhannya agak lambat. Beberapa planlet ini memiliki fenotipe yang
101
berbeda dengan kontrol. Pada saat daun pertama muncul, semua organ, daun
tangkai daun dan cabang memiliki ukuran yang lebih kecil (Gambar 44B)
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 44A). Tiga planlet C18.2, C21.4 dan E30C
memiliki daun variegata (Gambar 44C).
Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap tingkat ploidi
Dari hasil percobaan 1 diketahui bahwa, pertumbuhan planlet yang kecil
dan lambat merupakan karakteristik tanaman haploid. Maka untuk planlet-plantlet
dengan pertumbuhan lambat ini, sebelum dilakukan multiplikasi, planlet diamati
jumlah kloroplasnya. Jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata tanaman yang
diduga haploid kurang lebih setengah dari tanaman diploid. (Gambar 45D-G).
Gambar 45. Pertumbuhan planlet normal dan planlet yang diduga haploid, bentukdaun variegata serta jumlah kloroplas di sel penjaga stomata. (A)tanaman kontrol diploid, (B) plantlet yang diduga haploid, (C) daunvariegata E30C, (D) jumlah kloroplas sel penjaga stomata C11, (E)D9.1, (F) D9.2, (G) D19.1 dan (H) kontrol
Kloroplas pada sel penjaga stomata lima sampel planlet dihitung
jumlahnya dan diperoleh rata-rata memiliki jumlah kloroplas berkisar antara 10 –
20. Analisis flowcytometer menggunakan tanaman standar atau kontrol D.
chinensis “D-chi11” (tanaman donor) yang memiliki tingkat ploidi diploid. Hasil
analisis menunjukkan bahwa planlet yang diduga haploid berdasarkan jumlah
kloroplas pada sel penjaga stomata sejalan dengan analisis flow cytometer. Lima
sampel haploid yang diuji semuanya haploid (Gambar 46, 47). Hasil ini sama
dengan perbobaan 1. Dari hasil ini dapat dibuktikan bahwa jumlah kloroplas pada
sel penjaga stomata dapat digunakan untuk menduga tingkat ploidi D. chinensis.
A B C
D E F G H
102
Gambar 46. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanamanD9.2 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) haploidD9.2 dari serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy.
Gambar 47. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanamanC11, D9.1, D19.1, D231: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) C11 hasilpseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100Gy; (C-E) berturut-turut haploid D9.1, D9.2, D19.1 dan D231 hasilpseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy
103
Hasil analisis dengan Flow cytometer diketahui bahwa 5 genotipe haploid
tersebut mengandung campuran ploidi haploid dan diploid yang ditunjukkan
adanya peak atau puncak 4C pada tanaman haploid. Dosis iradiasi 200 Gy
menghasilkan jumlah tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan
polen yang diiradiasi sinar gamma.
Aklimatisasi hasil pseudofertilisasi
Hasil pseudofertilisasi sebagian besar sudah dapat diaklimatisasi dan
hasilnya disajikan pada Tabel 20. Dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari
yang diradiasi dengan dosis sinar Gamma 100 Gy diperoleh 7 tanaman, dosis 200
Gy 13 tanaman dan 300 Gy diperoleh 3 tanaman yang normal. Dari total 23
tanaman hasil pseudofertilisasi 16 tanaman sudah berbunga, 7 tanaman
belum/tidak berbunga. Dari 23 tanaman yang dapat diaklimatisasi, empat sampel
haploid (hasil analisis dengan flow cytometer) semua sudah berbunga (Gambar
48).
Tabel 20. Hasil aklimatisasi 23 regeneran hasil pseudofertilisasi
No. Kodegenotipe
Tanaman berbunga/tidak berbunga Jumlahtanaman
Keterangan
1 C7.1 berbunga 12 C7.2 berbunga 13 C11 berbunga 1 Haploid ganda* **4 C13.1 berbunga 65 C18.1 berbunga 26 C18.2 berbunga 1 Daun variegata7 C21.4# berbunga 4 Daun variegata8 D231 berbunga 2 Haploid*9 D7.1 tidak berbunga 110 D7.2 tidak berbunga 311 D6.2 tidak berbunga 112 D9.1 berbunga 1 Haploid ganda* **13 D9.2 berbunga 1 Haploid*14 D13.1 berbunga 315 D14.1 tidak berbunga 216 D15.1 berbunga 417 D15.2 berbunga 318 D19.1 berbunga 3 Haploid Ganda**19 D37B.2# tidak berbunga 120 D37B.5# tidak berbunga 121 E30C# tidak berbunga 1 Daun variegata22 E37B.6# berbunga 123 E30d.1 berbunga 1Keterangan: * hasil analisis dengan flow cytometer
** terjadi penggandaan spontan secara in vivo# pseudofertilisasi dilakukan 2 hari setelah iradiasi dengan sinar
Gamma
104
Bunga berukuran kecil tidak memiliki serbuk sari yang merupakan salah
satu ciri tanaman haploid. Haploid ganda terjadi pada D19.1 yang menghasilkan
bunga yang normal dan warna bunga yang (mendekati warna donor betina).
Untuk membuktikan bahwa D19.1 merupakan haploid ganda dilakukan
penyerbukan sendiri D19.1, dan hasilnya dapat diperoleh biji normal tetapi
mengalami depresi inbreeding. Biji-biji tersebut hanya tumbuh 30% dengan
pertumbuhan yang sangat lambat. Jumlah kloroplas D19.1 pada saat kondisi
haploid berkisar antara 10-14, sedang setelah terjadi penggandaan spontan
berkisar 20-22.
Gambar 48. Empat genotipe haploid dan haploid ganda hasil pseudofertilisasiyang sudah berbunga (A,E) C11, hasil pseudofertilisasi dengan dosissinar gamma 100 Gy, (B,F) D9.1 hasil pseudofertilisasi dengan dosissinar gamma 200 Gy, (C,G) D9.2 hasil pseudofertilisasi dengandosis sinar gamma 200 Gy, (D,H) D19.1 hasil pseudofertilisasidengan dosis sinar gamma 200 Gy
Pada percobaan pseudofertilisasi ke 2 ini juga ditemukan abnormalitas
pembungaan. Mutan tersebut memiliki struktur seperti daun di tempat organ-
organ pembungaan menghasilkan kelopak ganda (Gambar 49A). Pada
perkembangan selanjutnya terjadi pertumbuhan bunga yang normal, dan kasus ini
semua terjadi pada satu tanaman yaitu E30d-1. Diduga tanaman berada pada
kondisi peralihan dari tanaman haploid menjadi tanaman haploid ganda.
A B C D
E F G H
105
Gambar 49. Tanaman hasil pseudofertilisasi E30d-1, hasil penyerbukan denganserbuk sari yang diirdiasi dengan sinar gamma 300 Gy. (A) mutanyang memiliki struktur seperti daun di tempat organ-organpembungaan. (B) abnormalitas dalam bentuk chimera terdiri atasbunga normal dan tidak normal. Anak panah merah = bunga tanpaantera, anak panah kuning = bunga normal, anak panah putih =bunga transisi dengan antera tidak lengkap.
Hasil pseudofertilisasi masih terdapat tanaman-tanaman putatif haploid
dan haploid ganda yang belum dianalisis ploidinya seperti, C18.1, D15.2, E37B.6
dan lainnya (Gambar 50). Warna bunga tanaman tersebut berkisar dari warna
putih sampai pink kemerahan.
Gambar 50. Bunga dari tanaman donor dan bunga dari tanaman hasilpseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diradiasi dengan sinargamma pada dosis 100-200 Gy. (A) bunga tanaman donor ♀, (B)bunga tanaman donor ♂, (C-G) bunga dari tanaman yang diserbukidengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis100 Gy, (I-L) bunga dari tanaman yang diserbuki dengan serbuksari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy .
106
Pembahasan
Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengandosis 100 Gy
Hasil penelitian pseudofertilisasi Dianthus chinensis menggunakan sinar
gamma pada dosis 100 Gy dapat menonaktifkan serbuk sari. Akibat dari serbuk
sari yang non aktif menyebabkan buah gugur setelah 2 minggu, ditandai dengan
berubahnya warna ovari dari warna hijau menjadi coklat. Buah harus dipanen
sebelum umur 2 minggu. Hasil penelitian Sato et al. (2000), menggunakan donor
betina Dianthus caryophyllus yang diiradiasi dengan sinar X pada level dosis 100
kRad, serbuk sari mampu berkecambah di dalam tabung polen dan dapat
mencapai stilus. Pembengkakan buah terjadi satu minggu setelah penyerbukan,
tetapi ovari akan mengalami aborsi pada umur 4 minggu, sehingga harus dikultur
pada umur 2- 3 minggu setelah penyerbukan.
Pada percobaan ini dari 123 persilangan semu (pseudofertilisasi) yang
dilakukan diperoleh dua tanaman haploid yaitu PF69.1 dan PF69.2.
Pseudofertilisasi PF 69.1 memiliki daun berwarna kekuningan, dengan umur
berbunga yang lambat. Persentase tanaman haploid yang diperoleh pada penelitian
ini lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diperoleh Sato et al (2000)
dengan hasil 1 tanaman haploid ganda dari 300 pseudofertilisasi dan Dolcet-
sanjuan et al. (2001) dengan hasil 3 tanaman haploid dari 1650 pseudofertilisasi.
Tanaman yang dihasilkan dari biji hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang
diiradiasi merupakan hasil dari tidak lengkapnya transmisi genom jantan (Peixe et
al. 2000). Menurut Sestili dan Ficcadenti (1996), iradiasi pada tingkat yang
rendah hanya merusak sebagian inti sel generatif serbuk sari saja, sehingga masih
mampu berfusi dengan sel telur.
Pada tanaman apel setelah penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi
menghasilkan biji yang mengandung endosperm saja atau endosperm dan embrio.
Pada dosis tertentu ada kemungkinan inti sperma tunggal masih ada dalam tabung
sari sehingga mampu membuahi sel telur atau berfusi dengan inti polar (Nicoll et
al. 1987). Jika hanya menghasilkan endosperm saja dipastikan tanaman adalah
triploid, sedang jika menghasilkan embrio dan endosperm dipastikan diploid,
tetapi dapat memunculkan mutan karena adanya transmisi gen dari tetua paternal.
Hal ini terjadi pada hasil penelitian ini (PF42 dan PF89) yang level ploidinya
adalah diploid.
107
Persentase terbentuknya embrio tertinggi menjadi tanaman adalah pada
umur embrio 14 HSP (24%). Hasil penelitian Sato et al. (2000) umur 3 minggu
merupakan umur maksimal ovari yang dapat dipanen, selebihnya buah akan
gugur. Pada penelitian ini hasil yang diperoleh berbeda. Pada persilangan normal,
3 minggu setelah penyerbukan buah telah masak ditandai dengan berubahnya
warna embrio dari putih menjadi hitam, sehingga panen buah dilakukan maksimal
umur dua minggu untuk menghindari kehilangan materi. Perbedaan ini
disebabkan oleh penggunaan materi induk betina yang digunakan. Pada penelitian
Sato et al. (2000) yang menggunakan Dianthus caryophyllus sebagai penerima
serbuk sari, memiliki umur berbunga yang lebih lama. Tanaman kontrol yang
dipanen satu minggu HSP hanya satu ovul yang mampu tumbuh. Hasil ini
menunjukkan bahwa umur satu minggu buah masih terlalu muda untuk
berkembang menjadi tanaman. Buah umur satu minggu biji belum masak dan
berwarna putih, pada akhirnya embrio berubah menjadi coklat seperti biji masak.
Sejalan dengan pendapat Bohanec (2009) dan Musial et al. (2005) bahwa proses
pemasakan kantong embrio berlanjut selama kultur in vitro.
Perlakuan iradiasi pada serbuk sari menyebabkan DNA kromosom rusak,
sehingga embrio yang dihasilkan dari serbuk sari ini hanya mengandung
kromosom dari sel telur. Pada saat terbentuk embrio, kromosom dari serbuk sari
yang diiradiasi ada kemungkinan dapat bergabung dengan kromosom dari sel
telur, tetapi pada perkembangan embrio selanjutnya, kromosom ini dapat hilang
selama proses mitosis (Suharsono et al., 2009).
Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi denganberbagai macam dosis sinar gamma 0 Gy, 50 Gy, 100 Gy, 200 Gy dan 300Gy
Haploid pada Dianthus chinensis telah diperoleh melalui induksi
partenogenesis melalui persilangan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan
sinar gamma. Dibandingkan dengan percobaan 1 dengan menggunakan spesies
genotipe yang sama, pada percobaan kedua ini menggunakan metode yang sama,
tetapi menggunakan laju dosis yang diperlebar sampai 300 Gy untuk mengetahui
batas atas dari perlakuan dosis iradiasi. Pada percobaan 1 serbuk sari yang
diiradiasi dengan sinar gamma 100 Gy hanya menonaktifkan perkecambahan
serbuk sari saja, tetapi kemungkinan serbuk sari pulih dari paparan sinar radiasi
gamma masih ada. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya tanaman variegata
108
(PF42), dan dua tanaman lain yaitu PF35.1 dan PF79 tidak berbunga. Hasil
konfirmasi ploidi tanaman-tanaman ini adalah diploid. Hasil ini memberikan
indikasi bahwa pada dosis 100 Gy walaupun seluruh serbuk sari telah non aktif,
tetapi terdapat kemungkinan serbuk sari pulih kembali. Maka percobaan ke 2 ini
dilakukan dengan meningkatkan dosis iradiasinya.
Pada semua dosis 100 – 300 Gy dapat diperoleh tanaman, tetapi
peningkatan laju dosis akan menurunkan persentase perkembangan genotipe
normal dan meningkatkan genotipe yang abnormal. Meskipun pada dosis iradiasi
300 Gy diperoleh tanaman, tetapi tanaman haploid tidak diperoleh. Genotipe pada
dosis 300 Gy ini tumbuh abnormal dan mati pada tahap perkembangan
selanjutnya. Menurut Vassileva-Dryanovska (1966), embrio haploid dapat
dihasilkan melalui dua cara berbeda. Pertama terkait dengan stimulasi inti induk
betina untuk membelah melalui piknotisasi dari kromatin induk jantan. Kedua
fertilisasi dari inti sel telur dirusak oleh sperma, kromatid sesudah itu tereliminasi
dalam sitoplasma. Tabung serbuk sari memiliki kemampuan untuk tumbuh ke
dalam kantong embrio meskipun pada level dosis yang tinggi. Fenomena ini
secara teori dapat diinterpretasikan sebagai RNA dan protein RNA (banyak
terdapat dalam sitoplasma serbuk sari) yang lebih tahan terhadap paparan iradiasi
dari pada DNA (banyak terdapat pada inti generatif).
Perlakuan dengan dosis iradiasi tinggi (300 Gy) menghasilkan
abnormalitas tanaman yang tinggi, laju kematian yang tinggi serta lambatnya
pertumbuhan tanaman. Pada percobaan ke dua ini ditemukan dua tanaman haploid
(D231 dan D9.1) yang memiliki tipe pertumbuhan abnormal yang kerdil (dwarf).
Dosis sinar gamma 200 Gy pada penelitian ini diperoleh jumlah tanaman
hidup dan tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis 100 Gy.
Fenomena ini dikenal dengan nama “Hertwig effect” (Pandey and Phung 1982).
Rendahnya pembentukan biji biasa terjadi setelah iradiasi serbuk sari dan
mencerminkan kegagalan fertilisasi (Nicoll et al. 1987). Rendahnya
perkecambahan biji terjadi karena aborsi pada kantong embrio (Chalak and
Legave 1997).
Fenomena yang terjadi pada pseudofertilisasi
Menurut Sato et al. (2000) studi pseudofertilisasi tanaman asal kultur ovul
memiliki tiga potensi sumber atau asal usul hasil pseudofertilisasi disamping
fertilisasi ovul yang sebenarnya. Potensi pertama adalah dari sel somatik tanaman
109
induk betina, yang berarti tanaman yang telah beregenerasi pasti identik dengan
tanaman induk betina. Pada penelitian pseudofertilisasi ini tujuh tanaman haploid
hasil percobaan 1 dan 2 secara morfologi berbeda dengan tanaman induk (donor
ovul dan serbuk sari) dan tanaman kontrol (persilangan normal).
Potensi kedua adalah fertilisasi ovul dengan serbuk sari yang aktif
terhindar dari iradiasi sinar Gamma sehingga karakter dominan dari donor serbuk
sari pasti terekspresi dalam tanaman. Pada penelitian ini warna bunga dari donor
serbuk sari Dchi-14 adalah ungu dengan warna merah melingkar dan tanaman
induk betina Dchi-11 adalah pink. Hasil persilangan keduanya memiliki karakter
warna bunga yang dominan dari tetua jantan. Hasil percobaan 1 kedua tanaman
haploid masing-masing berwarna pink keputihan dan salmon, sedangkan
percobaan ke 2 diperoleh lima tanaman haploid dengan kisaran warna putih
sampai pink dan tidak ada cirri-ciri warna bunga dari tanaman donor serbuk sari
(Dchi-14). Karena warna dasar bunga tanaman haploid tidak sama dengan tetua
jantan, maka pada percobaan ini bukan mengikuti potensi kedua.
Potensi ketiga adalah ovul yang di serbuki sendiri dengan serbuk sari
tanaman akan bervariasi karena materi tanaman sangat heterosigus dan turunan S1
akan bersegregasi dengan banyak karakter. Untuk membuktikan potensi ketiga
ini, dicontohkan PF42 hasil percobaan 1. Penyerbukan sendiri yang dilakukan
pada PF42 (berdaun variegata) menghasilkan keturunan normal yang bersegrasi
baik bentuk daun maupun bentuk dan corak bunga. Daun variegata juga bersegrasi
antara variegata dan daun normal. Secara teori daun variegata terkait dengan
perkembangan klorofil pada tanaman yang dikendalikan secara maternal, karena
klorofil terdapat dalam plastida. Daun variegata juga ditemukan lagi pada
percobaan 2 yaitu C18.2, C21.4, dan E30C .
Pada percobaan ke 2 ditemukan genotipe hasil pseudofertilisasi dengan
bunga yang berwarna putih, menunjukkan bahwa warna putih merupakan warna
dengan kendali resesif, karena warna putih selalu tertutupi dan jarang muncul
dalam persilangan kecuali dua gamet jantan dan betina yang membawa karakter
resesif ada bersama-sama.
Pada percobaan 1 dan 2, hasil pemeriksaan kromosom, sel-sel haploid ada
bersama-sama dengan sel-sel diploid dalam meristerm tanaman diploid. Hasil ini
memberikan indikasi adanya penggandaan kromosom spontan dapat terjadi. Hasil
ini dibuktikan dari analisis flow cytometer yang terdeteksi adanya dua ploidi yaitu
haploid dan haploid ganda dalam satu tanaman, sehingga hasil ini menjelaskan
110
adanya penggandaan kromosom spontan pada tanaman haploid Dianthus
chinensis. Hasil penelitian ini sama dengan yang terjadi pada penelitian Sato et al
(2000) di mana terjadi penggandaan kromosom spontan pada hasil
pseudofertilisasi, Fu et al. (2008) juga menemukan adanya penggandaan spontan
pada tanaman D. chinensis hasil kultur antera.
Meskipun tanaman haploid diperoleh dari kultur ovul pseudofertilisasi
tidak terlalu tinggi, tetapi metode pseudofertilisasi ini menawarkan potensi
parthenogenesis in vitro yang potensial pada tanaman D. chinensis.
Simpulan
1. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat
menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman
haploid (PF69.1, PF69.2, C11, D9.1, D9.2, D19.1 dan D231).
2. Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh pada percobaan ke dua adalah
5,1%.
3. Diperoleh putative mutan dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan
abnormalitas pembungaan
111
PEMBAHASAN UMUM
Dianthus chinensis sebagai tanaman model
Teknologi haploid yang berkembang saat ini, berasal dari tanaman model,
yang dapat dikembangkan pada tanaman komersial lain. Pola pengembangan
teknologi tersebut dilakukan pada tanaman Brassica napus cv “Topaz” yang
menjadi tanaman model untuk penelitian androgenesis dikotil, terutama untuk
mengetahui biologi dasar pembelahan sel dan tahap awal embriogenesis (Custers
et al. 2001). Pada penelitian ini pemilihan tanaman donor Dianthus chinensis
untuk pengembangan teknologi haploid di antara tanaman Dianthus sp yang lain,
didasarkan pada (1) budidaya tanamannya mudah, (2) produksi bunga setiap saat,
(3) memiliki karakter sebagai penanda yang stabil, dan (4) berumur lebih pendek
dibandingkan spesies-spesies lain seperti D. caryophillus dan D. barbatus
(Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990).
Studi awal yang meliputi studi tahap perkembangan bunga, rasio tahap
perkembangan serbuk sari, viabilitas serbuk sari, dan seleksi tanaman donor dan
media dasar memberi informasi yang penting untuk pengembangan teknologi
haploid pada Dianthus chinensis. Selanjutnya kemampuan tanaman donor diuji
untuk pengembangan teknologi. Apabila memiliki peluang keberhasilan yang
tinggi serta respon terhadap perlakuan yang diaplikasikan, tanaman tersebut dapat
menjadi tanaman model untuk pengembangan teknologi haploid.
Dianthus chinensis Dchi-11 berwarna pink, memiliki potensi sebagai
model, karena memenuhi persyaratan tersebut. Dchi-11 memiliki jumlah serbuk
sari dan viabilitas mikrospora tertinggi di antara genotipe yang diuji, sehingga
selalu diikutsertakan pada pengujian-pengujian seleksi tahap perkembangan
serbuk sari dan ovul. Walaupun persentase terbentuknya kalus lebih rendah
dibandingkan dengan Dchi-13, tetapi Dchi-11 cepat membentuk kalus dan
memiliki kemampuan beregenerasi yang lebih tinggi dibandingkan genotipe
lainnya. Selain itu Dchi-11 berespon positif terhadap semua aplikasi metode
androgénesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi.
Di antara faktor endogenus, tahap perkembangan serbuk sari dan genotipe
memiliki keterkaitan. Genotipe yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda
terhadap pembentukan kalus. Kompetensi ginogenik tampaknya memiliki dasar
genetik, karena dapat diwariskan pada keturunannya (Rudolf et al. 1999).
112
Keberhasilan induksi haploid pada Dianthus chinensis ditentukan oleh
sistem kultur yang digunakan. Tanaman haploid atau haploid ganda dapat
diinduksi dengan mengkulturkan ovul atau ovari dan ovul tanpa difertilisasi.
Metode lain seperti persilangan jarak jauh, tidak diterapkan untuk Dianthus
chinensis, karena persilangan interspesifik Dianthus chinensis mudah dilakukan.
Dengan mengacu pada hasil penelitian Fu et al. (2008) yang menguji penggunaan
media padat untuk kultur antera, penelitian pendahuluan dicoba menggunakan
metode kultur sebar dengan aplikasi perlakuan berbagai macam media dan
praperlakuan suhu randah, heat shock, manitol dan penempatan tanaman pada
ruangan dengan suhu 14-20 oC. Namun semua aplikasi tersebut tidak memberikan
respon yang signifikan. Kemudian metode diubah dengan menggantinya dengan
kultur antera pada media padat. Hasil yang diperoleh sama dengan yang dilakukan
Fu et al. (2008).
Androgenesis
Hasil penelitian kultur antera pada media padat menunjukkan bahwa
media yang terbaik ialah media yang mengandung 2,4-D sebagai auksin untuk
induksi kalus. 2,4-D memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan auksin
lainnya, karena lebih mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai dan
berfungsi mendorong aktifitas morfogenetik (Shoemaker et al. 1991; Widoretno et
al. 2003). Keseimbangan antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dapat
mempercepat waktu inisiasi kalus. Pembentukan kalus tidak hanya dipengaruhi
2,4-D saja. Penambahan sitokinin dikombinasikan dengan auksin memacu
pembentukan kalus. Kombinasi hormon sangat berpengaruh terhadap perbedaan
waktu inisiasi kalus. Dalam penelitian ini penambahan TDZ atau BAP dalam
konsentrasi yang rendah ke dalam media yang mengandung 2,4-Ddiperlukan
untuk induksi kalus. Pemberian auksin dan sitokinin sangat menentukan bentuk
dan struktur kalus. Kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat akan
menghasilkan kalus yang berstruktur remah (Wattimena, 1988).
Pembentukan kalus juga tergantung dari sumber eksplan maupun genotipe.
Genotipe tanaman donor sangat menentukan keberhasilan pembentukan kalus
dari kultur antera. Begitu pula pada kultur antera tanaman lain, seperti flax (Linum
usitatissimum L.) (Chen & Dribnenki 2002). Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa genotipe memiliki kapasitas embriogenik yang bervariasi
(Merkele et al. 1995; Kallak et al. 1997; Yantcheva et al. 1998). Perbedaan
113
genotipe dalam kapasitas embriogenik mencerminkan perbedaan kemampuan
mengaktifkan elemen kunci dalam lintasan embriogenik. Studi yang dilakukan
pada Dianthus sp terdapat perbedaan genotipik yang signifikan untuk induksi
kalus embriogenik dan embrio somatik (Kallak et al.1997, Pareek dan Kothari
2003, Fu et al. 2008).
Regenerasi kalus Dianthus chinenesis dilakukan pada media dasar yang
sama. Pada umumnya media regenerasi ditentukan dengan menurunkan
kandungan garam mineral media. Penurunan kandungan garam mineral media
dasar ternyata juga dilaporkan oleh Nichterlein (2003) pada kultur antera tanaman
flax (Linum usitatissimum). Pada studi lain, penurunan kandungan bahan media
MS hingga ½ bagian menjadi kunci keberhasilan pada regenerasi dan
perbanyakan tunas dengan variasi ZPT yang digunakannya pada Prunus
domestica (Nowak et al., 2007). Pada studi ini tidak dilakukan penurunan
kandungan media dasar, tetapi dengan mengurangi auksin dan sitokinin.
Ginogenesis
Secara umum ginognenesis serupa dengan parthenogenesis di alam.
Ginogenesis biasanya memiliki efisiensi yang rendah karena tanaman
memproduksi sel telur lebih sedikit dibandingkan serbuk sari, tetapi ginogenesis
sangat berguna untuk diterapkan pada spesies yang tidak efektif menerapkan
androgenesis (Wędzony et al. 2009).
Perkembangan sporofitik ginogenesis diinduksi dari sel telur yang tidak
difertilisasi (gamet betina). Tahap perkembangan ovul pada saat inokulasi sering
tidak ditentukan. Beberapa peneliti lebih suka melakukan inokulasi pada tahap
kuncup bunga atau tahap perkembangan serbuk sari. Beberapa spesies seperti juga
Dianthus chinensis memiliki tingkat kemasakan gametofit yang tidak simultan
antara jantan dan betina. Dianthus chinensis memiliki sifat protandry (antera
masak lebih dulu sebelum putik), sehingga bila menggunakan perbandingan
dengan perkembangan serbuk sari akan menjadi masalah.
Tahap terbaik isolasi eksplan Dianthus chinensis adalah pada tahap T7 (10
hari setelah munculnya primordia bunga/3-4 hari sebelum bunga mekar). Pada
tahap ini kantong embrio telah mengalami mitosis. Pada tanaman bunga
matahari, bunga memiliki kantong embrio muda tetapi sudah berkembang lengkap
2- 3 hari sebelum bunga mekar (Yang et al. 1986). Kantong embrio satu inti
114
sampai empat inti berkaitan dengan tahap uninukleat akhir atau binukleat awal
pada serbuk sari padi (Zhou et al 1986) merupakan tahap masak. Hasil serupa
juga diperoleh pada bawang (Musial et al. 2005) dimana kuncup bunga berukuran
kecil yang mengandung sel induk megaspora dan yang mengandung kandung
embrio yang masak kurang responsif dibandingkan dengan bunga yang berukuran
medium yang mengandung 2-4 inti hasil mitosis di kantong embrio.
Kebalikan dari serbuk sari bahwa kultur ovul tanpa penyerbukan mampu
melanjutkan proses masaknya kantong embrio selama tahap inokulasi (Bohanec
2009). Kantong embrio memiliki sel telur haploid, secara teori juga mampu
membentuk embrio haploid lain dari sel sinergid, sel antipodal dan dua inti polar
yang tidak berfusi. Namun pada umumnya sel telur merupakan sumber utama dari
embrio haploid (Huang & Sunderland. 1982, Ferrant & Bouharmont 1994; Musial
et al. 2001, 2005).
Hasil penelitian tentang peranan praperlakuan pada induksi ginogenesis
masih terbatas, sehingga pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian
praperlakuan. Namun praperlakuan diaplikasikan pada semua eksplan, karena
beberapa penelitian seperti perlakuan suhu dingin pada gandum (Sibi et al. 2001),
gula bit (Lux & Wetzel. 1990) dapat menginduksi embriogenesis.
Selain itu kultur in vitro juga merupakan faktor yang menunjang
keberhasilan ginogenesis. Komposisi media dasar yang digunakan dalam
androgenesis berbeda dengan ginogenesis. Pada ginogenesis penggunaan media
dasar MS lebih baik dibandingkan dengan media dasar WT. Hasil ini
menunjukkan bahwa formulasi media yang digunakan dalam ginogenesis lebih
banyak untuk pertumbuhan embrio haploid dari pada re-programming lintasan
gametofitik ke sporofitik. Sedangkan zat pengatur tubuh yang digunakan untuk
ginogenesis merupakan faktor induksi yang pasti akan berbeda untuk setiap
genotipe. Perbandingan auksin dan sitokinin lebih banyak digunakan untuk
menginduksi kalus atau embrio (Bohanec 2009). Begitu pula penggunaan sumber
karbohidrat (sukrosa), pada konsentrasi yang tinggi menguntungkan untuk
ginogenesis terutama spesies monokotil. Sedangkan untuk tanaman dikotil
kebutuhan karbohidrat rendah.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan ginogenesis di antaranya adalah penggunaan genotipe, media dasar,
pemilihan dan perbandingan zat pengatur tumbuh (dalam hal ini adalah auksin
115
dan sitokinin). Dari penelitian ini pula diketahui bahwa pemilihan eksplan dan
metode isolasi ovul juga menentukan keberhasilan ginogenesis.
Keberhasilan pembentukan embrio langsung dari kultur ovari, masih
memerlukan pengujian lebih lanjut, yaitu dengan melakukan selfing untuk melihat
segregasi keturunanya. Walaupun pada tahap awal pemeriksaan ploidi dengan
mengamati jumlah kloroplas regeneran adalah haploid dan pengujian selanjutnya
regeneran adalah diploid, terdapat kemungkinan terjadi penggandaan kromosom
spontan atau kemungkinan lain embrio berkembang dari jaringan nuselus.
Pseudofertilisasi
Percobaan 1 menghasilkan dua tanaman yang bersifat haploid yaitu
PF69.1 dan PF69.2 yang tetap dalam kondisi haploid setelah diaklimatisasi.
Kedua tanaman haploid ini berasal dari ovari yang sama, tetapi masing-masing
memiliki karakter yang berbeda. Hasil ini menunjukkan adanya variasi
gametoklonal yang berasal dari gamet betina bervariasi. Hasil pseudofertilisasi
lain yaitu PF35.1, PF79, PF42 dan PF89 adalah diploid. PF35.1 dan PF79 pada
awal pengamatan memiliki jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata haploid,
namun hasil flow cytometer adalah diploid dan kedua tanaman ini tidak
berbunga, sedang PF89 adalah diploid berdasarkan analisis flow cytometer,
sampai saat ini masih di dalam botol kultur. PF42 terjadi mutasi pada progeninya,
memiliki daun lebar, variegata, yang berbeda dengan daun kedua tetuanya.
Penelitian pseudofertilisasi ke dua dengan meningkatkan dosis iradiasi
sampai pada dosis 300 Gy diperoleh lima tanaman haploid yang dapat berbunga
yaitu C11, D231, D9.1, D9.2 dan D19.1. Penelitian pseudofertilisasi ke dua,
planlet tidak dilakukan perbanyakan in vitro untuk mendeteksi terjadinya
penggandaan spontan.
Serbuk sari yang lolos dari iradiasi, akan mentrasfer fragment DNA
paternal yang mungkin mengalami mutasi ke progeninya. Transmisi gen dari
paternal yang diiradiasi ini serupa dengan fertilisasi normal, dan bukan
parthenogenesis (Borrino et al. 1985). Kemungkinan yang terjadi adalah adanya
pengaturan kembali kromosom dan aneuploid. Menurut Snape et al. (1983)
peristiwa ini disebut dengan “meiotic sieve” yang terjadi setelah meiosis M1 yang
membatasi transmisi gen paternal. Pengaruhnya adalah hilangnya segmen
kromosom (delesi) yang berakibat perubahan beberapa karakter. Pada tanaman
116
Nicotiana sp (Warner et al. 1984) dan gandum (Snape et al. 1983) ditemukan
tingginya tingkat aneuploid (50%).
Mutasi atau perubahan hasil dari lolosnya inaktivasi serbuk sari akibat
irradiasi sinar Gamma yang dapat dilihat dari penelitian ini adalah terjadinya
sterilitas dari tanaman M1 dalam bentuk tidak berkembangnya polen. Ciri adanya
transmisi gen dari paternal adalah warna melingkar merah yang diwariskan dari
tetua paternal seperti pada genotipe D13.1, D15.1. Sementara mutasi warna terjadi
pada genotipe C21-4 yang menghasilkan warna bunga dan warna antera beserta
serbuk sari berbeda dengan ke dua tetuanya, bentuk daun yang juga berbeda dari
ke dua tetuanya. Warna tetua betina adalah pink dan tetua jantan adalah merah
dengan warna merak tua yang melingkat di petal.
Beberapa genotipe generasi M1 memiliki warna daun variegata yaitu
C18.1, C21.4 dan E30C. dari ke tiga tanaman variegata ini hanya E30C yang
bersifat variegata sejak berada dalam kultur in vitro. Secara teori warna daun
variegata merupakan karakter yang dibawa oleh genom maternal. Terjadinya
perubahan pada daun kemungkinan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada inti.
Kultur in vitro mewakili suatu kombinasi faktor stres yang dihadapi tanaman
(misalnya stres oksidatif akibat pelukaan atau pemotongan jaringan, zat pengatur
tumbuh, tinggi rendahnya konsentrasi garam, tinggi rendahnya intensitas cahaya)
(Zavlatteri et al. 2010).
Geissman & Mehlquist (1947) mengidentifikasi 6 gen untuk warna dasar
anyelir. Enam gen tersebut adalah Y, I, A, S, R dan M. Pada penelitian ini diduga
tanaman haploid PF69.1, PF69.2 dan D9.1 yang berwarna salmon dan warna
pucat adalah merupakan ekspresi dari dominansi gen Y, I dan A menghasilkan
antosianin dalam jumlah terbatas karena kehadiran gen I yang epistatik terhadap
Y dengan jenis antosianin pelargonidin. Tanaman haploid D19.1 dan C11 yang
berwarna pink tua terkait dengan hadirnya M dengan r yang mengubah warna
dari merah cerah menjadi warna pink tua. Tanaman haploid D9.2 yang berwarna
dasar putih merupakan ekspresi kehadiran gen I yang mengontrol produksi
anthoxantin ivory-white.
Gen-gen lain yang mungkin terekspresi adalah perbedaan vigor. Mehlquist
menghadirkan bukti genetik terhadap pewarisan tipe abnormal pada anyelir (Post
1955). Setiap tipe berbeda dari bentuk normal, berada dalam faktor resesif, seperti
albino, kuning, lutescent seedling yang bersifat lethal yaitu : club-neck (hampir
selalu lethal), Virescent (tipe kekurangan klorofil) dan Sub lethal yaitu: Lazy-
117
virescent (tipe kekurangan klorofil lemah), dwarf, (ekstrim pendek, kurang viabel
dibanding tipe normal, sangat steril), stocky (tanaman gemuk pendek, kurang
viabel dibanding tanaman normal, sangat steril), thin (tipe annual, kurang tegar
dibanding tipe normal tetapi sangat fertil). Semua tipe ini tertutupi karena resesif,
tetapi bertanggungjawab terhadap kematian banyak seedling pada persilangan
tanaman anyelir. Berdasarkan gen-gen yang ada pada anyelir ini, hasil penelitian
ini diperoleh satu tipe abnormal yang diduga merupakan tipe lazy-virescent pada
PF 69.1 hasil pseudofertilisasi (warna daun hijau keputihan, tanaman lama
berbunga), dan tipe dwarf pada D231, D9.1 hasil pseudofertilisasi, dan Dchi-11-
125 hasil kultur irisan multi ovul.
.
118
119
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul, kultur irisan ovary, kultur ovari
dan pseudofertilisasi lebih efektif menginduksi tanaman haploid dan haploid
ganda dibandingkan androgenesis dengan frekuensi keberhasilan
pembentukan haploid 5,1 tanaman haploid per 100 pseudofertilisasi.
2. Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diperoleh dua
putatif tanaman haploid ganda, sedang kultur irisan ovari diperoleh satu
putatif tanaman haploid.
3. Ginogenesis melalui pseudofertilisasi menghasilkan tujuh tanaman haploid
Saran
Dalam menerapkan teknologi untuk mendapatkan tanaman haploid atau
haploid ganda yang cepat melalui pseudofertilisasi, sebaiknya serbuk sari yang
diiradiasi sinar gamma, diaplikasikan tidak lebih dari satu hari setelah perlakuan
iradiasi.
Munculnya abnormalitas pembungaan awal pada kultur in vitro,
mengganggu upaya untuk mendapatkan tanaman haploid, namun di sisi lain dapat
untuk mempelajari mutan-mutan abnormalitas perkembangan bunga yang
mengikuti model ABC. Oleh karena itu beberapa hal penting disarankan untuk
penelitian berikutnya untuk menghindari terjadinya pembungaan prematur,
penelitian diarahkan ke penggunaan prekusor untuk mencegah pembungaan in
vitro yang prematur, sehingga penelitian mencari prekusor yang mampu
mencegah pembungaan in vitro yang prematur perlu dilakukan.
120
121
DAFTAR PUSTAKA
Achar PN. 2002. A study of factors affecting embryo yields from anther culture ofcabbage. Plant Cell Tiss Org Cult. 69: 183–188.
Alan AR, Brants A, Cobb E, Goldschmied PA, Mutschler MA, Erle ED. 2004.Fecund gynogenic lines from onion (Allium cepa L) breeding materials.Plant Sci. 167: 1055-1066.
Ammirato PV. 1987. Organizational Events during Somatic Embryogenesis. In:Green CE, Somers DA, Hacket WP, Biesboer DD (Eds.) Plant Tissue andCell Culture Plant Biology. Alan R. L, New York, USA. hlm: 57-81.
Anonim 2005. The Biology and Ecology of Dianthus caryophyllus L. (Carnation).Office of The Gene Technology Regulator. Department of Health &Ageing. Australian Government. 16 p.
Antequera F, Bird A. 1999. CpG islands as genomic footprints of promoters thatare associated with replication origins. Current Biology, 9 (17): 661-667
Arnison PG, Donaldson P, Jackson A, Semple C, Keller W. 1990. Genotype-specific response of cultured broccoli (Brassica oleracea var. italica)anthers to cytokinins. Plant Cell Tissue Organ Cult. 20: 217-228.
Asakaviciute R. 2008. Androgenesis in anther culture of Lithuanian spring barley(Hordeum vulgare L.) and potato (Solanum tuberosum L.) Cultivars. TurkJ Biol 32 : 155-160.
Aslam, M. 2000. Utilization of pollen irradiation technique for the improvementof G. Hirsutum L. Pak J of Biol. Sci. 3 (11): 1814-1816.
Bal U, Abak K. 2003. Attempts of haploidy induction in tomato (Lycopersiconesculentum Mill) via gynogenesis I. Pollination with Solanumsisymbriifolium Lam. Pollen. Pak. J. Biol. Sci. 6 (8) 745 – 749.
Benarova P, Hause G, Cenclova V, Cordewener Jan HG, Lookeren CampagneMM. 1997. A short severe heat shock is required to induce embryogenesisin late bicellular pollen of Brassica napus L. Sex Plant Reprod. 10:200-208.
Bermejo, Pardo AJ, Cano A. 2011. Influence of gamma irradiation on seedlesscitrus production: pollen germination and fruit quality. Food and NutritionScience 2: 169-180.
BI. 2004. Bunga Potong. SI-LMUK (Sistem-Informasi-Lending Model UsahaKecil) Bank Indonesia. www.bi.go.id (diakses 8 Mei 2004).
Bohanec B, Jakse M, Ihan A, Javornik B. 1995. Studies on gynogenesis in onion(Alium cepa L.) induction procedures and genetic analysis of regenerants.Plant Sci: 104: 215–24.
Bohanec B, Jakse M. 1999. Variations in gynogenic respons among long dayonion (Allium cepa L.) accessions. Plant Cell Rep. 18:737-742
Bohanec B. 2009. Doubled Haploid via Gynofenesis. In A. Touraev et al. (Eds).Advances in Haploid production in Higher Plants. Springer Science +Business Media B.V. hlm 35-46.
122
Brooks T. 1960. Cytological and genetical studies of the carnation, Dianthuscaryophyllus, with special reference to the production of triploids. (thesis),University of Connecticut.
Bunt AC, Cockshull KE. 1985. Dianthus caryophyllus. In: Halevy AH (Ed.)Handbook of Flowering. Boca Raton, Florida: CRC Press. hlm 433-440.
Carraro L, Gerola PD, Lombardo G, Gerola FM. 1990. Pseudo-self-compatibilityin ultraviolet_irradiated plants of Primula acaulis (’pin’ morph). J of Cellsci. 95: 659-665.
Chalak L, Legave JM. 1997. Effect of pollination by irradiated pollen in Haywardkiwifruit and spontaneous doubling of induced parthenogenetictrihaploids. Scientia Hortic. 68: 83-93.
Chen Y, Dribnenki P. 2002. Effect of genotype and medium composition on flaxLinum usitatissimum L. anther culture. Plant Cell Rep. 21: 204–207.
Cohat J. 1994. Obtention chez l’´echalote (Allium cepa L. var. agregatum ) deplantes haploıdes gynogenetiques par culture in vitro de boutons floraux.Agronomie 14: 299–304
Cordewener JHG, Hause G, Görgen E, Busink R, Hause B, Dons HJM, VanLammeren AAM, Van Lookeren Campagne MM, Pechan P. 1995.Changes in synthesis and localization of members of the 70-kDa class ofheat-shock proteins accompany the induction of embryogenesis inBrassica napus L. microspores. Planta 196:747–755
Coumans MP, Zhong D. 1995. Doubled haploid sunflower (Helianthus annuus L.)plant production by androgenesis: fact or artifact? 1. In vitro isolatedmicrospore culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 41: 203-209.
Crockett JU. 1972. Perennials. Time-Life Books. Alexandria. Virginia. hlm: 112-113
Custers JBM, Cordewener JHG, Nöllen Y, Dons HJM, Van Lookeren CampagneMM. 1994. Temperature controls both gametophytic and sporophyticdevelopment in microspore cultures of Brassica napus. Plant Cell Rep. 13:267-271.
Custers JBM, Cordewener JHG, Fiers MA, Maassen BTH, van LookerenCampagne MM, Liu CM. 2001. Androgenesis in Brassica: a model sistemto study the initiation of plant embryogenesis. In: Bhojwani SS, Soh WY(Eds.). Current Trends in The Embryology of Angiosperms. KluwerAcademic Publications. Dordrecht. Hlm 451-470.
Darnaedi D. 1991. Informasi tentang kromosom. Pelatihan Sitogenetika tumbuhanPAU Ilmu Hayat IPB. 5 Nopember Desember 1991. IPB Bogor.
Dolcet-Sanjuan R, Clavería E, Llauradó, Ortigosa A, Arús P. 2001. Carnation(Dianthus caryophyllus L.) dihaploid lines resistant to Fusariumoxysporum f.sp. dianthi. Acta Hortic. 560:141–144.
Dore C. 1989. Obtention de plantes haploõÈdes de chou cabus (Brassica oleraceaL. spp. capitata) apreas culture in vitro d'ovules polliniseas par du pollenirradiea. C.R. Acad. Sci. Paris, ser. III: 729-734.
Ferrant V, Bouharmont L. 1994. Origin of gynogenic embryos of Beta vulgaris L.Sex. Plant Reprod. 7: 12-16
123
Finnegan EJ, Genger RK, Ovac KK, Peacock WJ, Dennis ES. 1998. DNAmethylation and the promotion of flowering by vernalization. Proc. Natl.Acad. Sci. 95:5824-5829.
Fisher MZ, Vainstien A. 1993. An efficient method for adventitious shootregeneration from cultured carnation petals. Scientia Horticulturae. 53:231-237.
Frey L, Saranga Y, Janik J. 1992. Somatic embryogenesis in carnation. Hort. Sci.27: 63-65
Fu XP, Yang SH, Bao MZ. 2008. Factors affecting somatic embryogenesis inanther culturesof Chinese pink (Dianthus chinensis L). In VitroCell.Dev.Biol.-Plant 44:194–202
Gaillard A, Vergne P, Beckert M. 1991. Optimization of maize microsporeisolation and culture conditions for reliable plant regeneration. Plant CellReports. 10 (2): 55-58
Galbally J, Galbally E. 1997. Carnation and Pinks for Gardens and Greenhouse.Timber Press, Portland, Oregon. USA. 310 hlm.
Geissman TA, Mehlquist GAL. 1947. Inheritance in the carnation, Dianthuscaryophyllus . IV. The chemistry of flower color variation, I. Genetic 32:410-433
Gelebart P, San LH. 1987. Production of haploid plants of sunflower (Helianthusannuus L.) by in vitro culture of non-fertilized ovaries and ovules.Agronomie 7: 81–86.
Geoffriau E, Kahane R, Rancillac M. 1997. Variation of gynogenesis ability inonion (Allium cepa L.). Euphytica 94: 37–44
George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2007. Plant Propagation by Tissue Culture.3rd Edition: Volume 1. The Background. Exegetic Basingstone. UK. 508hlm.
Germanà, MA. 2003. Somatic embryogenesis and plant regeneration from antherculture of Citrus aurantium and C. reticulata. Biologia. 58: 843–850
Godini A. 1979. Couting pollen grains of some Almond cultivars by means of anhaemocytometer. Paper of the Progetto Finalizzato C.N.R."Miglioramento delle produzioni vegetali per fini alimentari e industrialimediante interventi genetici", Sottoprogetto "Frutta secca". No 153 : 83 –86.
Goto K. 1996. Molecular and genetic analyses of flower homeotic genes ofArabidopsis. J. Biosci. 21:369-378
Guha S, Maheshwari SC. 1964. In vitro production of embryos from anthers ofDatura. Nature. 204: 496.
___________________. 1966. Cell division and differentiation of embryos in thepollen grains of Datura innoxia. Nature 212: 97-98.
Guo F, Jia Xj, Chen LX. 1982. Induction of plantlets from isolated ovules ofHevea brasiliensis. Hereditas 4: 27–28.
Han, DS, Y Niimi, Nakano M. 1997. Regeneratiom of haploid plants from anthercultures of the Asiatic hybrid lily ‘Connecticut King’. Plant Cell, Tiss. andOrg. Cult. 47: 153-158.
124
Hardjoko B. 1999. Anyelir. In Supari Dh. (Ed.) Seri Praktek Ciputri Hijau :Tuntunan Membangun Agribisnis. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. p.219-234.
Heberle-Bors E. 1985. In vitro haploid formation from pollen: a critical review.Theor. Appl. Genet. 71: 361-374.
Hoekstra S. van Zijderworld MH, Heidekamap FL, Roue C. 1993. Microsporeculture of Hordeum vulgare L: the influence of density and osmolality.Plant Cell Rep. 12: 661-665
Huang B, N Sunderland. 1982. Temperature-stress pretreatment in barley antherculture. Ann. Bot., 49: 77-88.
Jacquard C, Wojnarowiez G, Clément C. 2003. Anther Culture in Barley. InMaluszynski, M., K.J. Kasha, B.P. Forster and I Szarejsko (eds). DoubleHaploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer AcademicPublishers. Dordrecht / Boston/London. 428 hlm.
Jakse M, Bohanec B, Ihan A. 1996. Effect of media components on the gynogenicregeneration of onion (Alium cepa L.) cultivars and analysis ofregenerants. Plant Cell Rep 15: 934–8.
Kallak H, Reidla M, Hilpus I. 1997. Effect of genotype, explant source andgrowth regulators on organogenesis in carnation callus. Plant Cell Tiss.Organ Cult., 51: 127-135.
Kasha KJ. 2005. Chromosome Doubling and Recovery of Doubled HaploidPlants. In: CE Palmer, WA Keller, and KJ Kasha (Eds.). Haploid in CropImprovement II, Volume 2. Springer Verlag, Berlin Heildelberg Germany.hlm 123 - 124
Kasha KJ, Simion E, Oro R, Shim YS. 2003. Barley isolated microspore cultureprotocol. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I (eds)Doubled Haploid Production in Crop Plants: a Manual. Kluwer,Dordrecht, hlm 43–47
Kasha K J and M Maluszynzki. 2003. Production of doubled haploids in cropplants . in: Maluszynski M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I (Eds).Doubled Haploid Production in Crop Plants A Manual. Kluwer AcademicPublishers, The Netherlands. 428 hlm.
Katoh N, Iwai S. 1993. Induction of haploid plants from unpollinated ovules inNicotiana tustica. Plant Tiss. Cult. Lett 10 (2): 123-129
Katoh N, Hagimori M, Iwai S. 1993. Production of haploid plants of melon bypseudofertilized ovule culture. Plant Tiss. Cult. Lett. 10: 60-66.
Keller J. 1990. Culture of unpollinated ovules, ovaries, and flower buds in somespecies of the genus Allium and haploid induction via gynogenesis inonion (Allium cepa L.). Euphytica 47: 241–247.
Keller WA. 1984. Anther culture of Brassic. In Cell Culture and Somatic CellGenetics of Plants, vol. 1. Vasil IK (ed). Academic Press, New York. hlm.302-10.
Kho YO, Baer J. 1973. The effect of temperature on pollen production incarnations. Euphytica 22: 467-470.
Kikkert J, Striem M, Vidal J, P Wallace ,Barnard J, Reisch B. 2005. Long-termstudy of somatic embryogenesis from anthers and ovaries of 12 grapevine(Vitis sp.) genotypes. In Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 1475–2689
125
Komatsuda T. 1992. Research on somatic embryogenesis and plant regenerationin soybean. Bull Nat Inst Agrobiol Res 7: 1-7
Larkin PJ and Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation—a novel source ofvariability from cell cultures for plant improvement. Theor. Appi. Genet.60:197-214, 1981
Leshem B. 1990. Somaclonal variation in carnation. In: Bajaj YPS (Ed).Biotechnology in Agriculture and Forestry. Vol. 11. Somaclonal Variationin Crop Improvement. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. hlm 573-585,
Lux HH, Wetzel C. 1990. Production of haploid sugar beet (Beta vulgaris L) byculturing unpollinated ovules. Plant Breed. 104: 177-183
Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I. 2003. Doubled haploidproduction in crop plants: A Manual. Kluwer Academic Publ., Dordrecht,Boston , London. 428 hlm.
Martınez LE, Aguero CB, Lopez ME, Galmarini CR. 2000. Improvement of invitro gynogenesis induction in onion (Allium cepa L.) using polyamines.Plant Sci. 156: 221–226
Marwoto B, Sanjaya L, Setyawati E. 1995. Characterization and Selection ofChrysanthemum resulted in crosses of selected cultivars. Progress report I.Program Biobress. Balai Penelitian Tanaman Hias. Badan LitbangPertanian, Kementan.
Mejza SJ, Morgan V, Dibona DE, Wong JK. 1993. Plant regeneration fromisolated microspore of Triticum aesticum. Plant Cell Rep. 12: 149-153
Mehlquist GAL, Ober D, Sagawa Y. 1957. Somatic mutations in the carnation,Dianthus caryophyllus L. Genetic 40: 432-436.
Merkele SA, Parrott W, Flin BS. 1995. Morphogenic Aspect of SomaticEmbryogenesis. In: Torpedoed in vitro Embryogenesis in Plant. KluwerAcademic Publishers, Dordrecht Bosta London, hlm. 155-203.
Meynet J, Sibi M, 1984. Haploid plants from in vitro culture of unfertilized ovulesin Gerbera jamesonii. Z. Pfanzenzuchtg 93: 78-85.
Meynet J, Barrade R, Duclos A, Siadous R. 1994. Dihaploid plants of roses (Rosax hybrid, cv “Sonia) obtained by parthenogenesis induced using irradiatedpollen and in vitro culture of immature seeds. Agronomie 2: 169-175.
Michalik B, Adamus A, Nowak E. 2000. Gynogenesis in Polish onion cultivars. J.Plant Physiol. 156, 211–216.
Mii M, Buiatti M, Gimelli F. 1990. Carnation. In: Ammirato P., Evans DA,Sharp WR, Bajaj YPS (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture V.5.Ornamental Spesies, New York: McGraw-Hill Publishing Company. hlm284-318.
Miyoshi K, Asakura N. 1996. Callus induction, regeneration of haploid plants andchromosome doubling in ovule culture of pot gerbera (Gerbera jemrsonii).Plant Cell Report 16:1-5.
Mohan JS, Bhalla-Sarin N. 1997. Haploidy in Petunia. In: In Vitro HaploidProduction in Higher Plants. Mohan JS, Sopory SK, Veileux RE (Eds.)Volume 5. p: 53-71. Kluwer Academic Publishers.Dordrecht/Boston/London.
126
Mol R. 1992. In vitro gynogenesis in Melandrium album – from partenogeneticembryos to mixoploid plants. Plant Sci 8: 261–269.
Murovec J, Bohanec B. 2012. Haploid and Double Haploid Plant Breeding.University of Ljubljana, Biotechnical Faculty Slovenia.http://www.intechopen.com/books/ Plant Breeding. (diakses 17 Mei 2012).
Mosquera T, Rodríguez LE, Parra A, Rodríguez M. 1999. In vitro adventiveregeneration from Carnation (Dianthus caryophyllus) anther. InternationalSymposium on Cut Flowers in the Tropics. Acta Hort. (ISHS) 482:305-308.
Musial K, Przywara L. 1998. Infuence of Irradiated Pollen on Embryo andEndosperm Development in Kiwifruit. Annals of Bot. 82: 747-756.
Musial K, Bohanec B, Przywara L. 2001. Embryological study on gynogenesis inonion (Allium cepa L.). Sex Plant Reprod. 13: 335–341.
Musial KB, Bohanec B, Jakse M, Przywara L. 2005. The development of onion(Allium cepa L.) embryo sac in vitro and gynogenesis induction in relationto flower size. In vitro Cell Dev Biol-Plant 41: 446-452.
Nicoll MF, Chapman GP, James DJ. 1987. Endosperm responses to irradiatedpollen in apples. Theor. Appl. Genet 74: 508-515.
Nichterlein K . 2003. Anther culture of linseed (Linum usitatissimum L.). In:Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Maluszynski M,Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Kluwer Academic Publishers.Dordrecht / Boston/London. hlm 249-254.
Nontaswatsri C, Uchiyama, Fukai S. 2007. Shoot regeneration and genetictransformation of regenetaive callus culture in Dianthus hybrid ‘TelstarScarlet’. Acta Horti. (ISHS) 764: 165-168.
Nontaswatsri C, Ruamrungsri S, Fukai S. 2008. Callus induction and plantregeneration of Dianthus chinensis L. and Dianthus barbatus L. via antherculture. Acta hort. (ISHS) 788: 109-114
Nowak BKK, Miczyński, Hudy L. 2007. The effect of total inorganic nitrogenand the balance between its ionic forms on adventitious bud formation andcallus growth of `Węgierka Zwykła' plum (Prunus domestica L.) ActaPhysiol. Plant. 29(5): 479-484.
Obert B, Žáčková Z, Šamaj J, Preťová A. 2009. Doubled haploid production inFlax (Linum usitatissimum L.). Biotechnol. Adv. 27: 371–375.
Plasmeijer J, Yanai C. 2006. Cut Flowers and Ornamental Plants report. MarketNews Service. Report No. M2. 46 hlm.
Palmer C, Keller W. 2005. Overview of haploidy: Haploids in crop improvementII. Biotech. Agric. Forest 56 :1–7.
Pandey KK, Phung M. 1982. ``Hertwig effect'' in plants: induced parthenogenesisthrough the use of irradiated pollen. Theo. Appl. Genet. 62, 295-300.
Pareek A, Kothari SL. 2003. Direct somatic embryogenesis and plant regenerationfrom leaf cultures of ornamental species of Dianthus. Scientia Hortic. 98 :449–459.
Pedroso MC, Pais MS. 1997. Anther and microspore culture in Camellia japonica.In: In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Mohan JS, Sopory SK,
127
Veileux RE (Eds.) Volume 5. Kluwer Academic Publishers.Dordrecht/Boston/London. Hlm. 89-108.
Peixe A, Campos MD, Cavaleiro C, Barroso J, Pais MS. (2000). Gamma-irradiated pollen induce the formation of 2n endosperm and abnormalembryo development in European plum (Prunus demestica L., cv “RainhaClaudia Verde”). Scientia Hortic. 86: 267-278.
Post K.1955. Florist Crop Production and Marketing. Orange Judd publishingCompany, inc. hlm 451-484.
Powel W. 1988. The influence of genotype and terperaturepre-treatment on antherculture response in barley (Hordeum vulgare L.). Plant Cell Tisse Orgcult, 12: 291-297.
Radzan MK. 1993. An Introduction to Plant Tissue Culture. Intercept. Andover,Hampshire, UK. 398 hlm.
Raquin C. 1985. Induction of haploid plants by in vitro culture of petunia ovariespollinated with irradiated pollen. Z. P¯anzenzucht 94, 166-169.
Reinert J, Bajaj YPS, Heberle E.1975. Induction of haploid tobacco plants fromsolated pollen, Brief report. Protoplasma 84: 191-196.
Rimberia FK, Sunagawa H, Urasaki N, Ishimine Y Adaniya S.2005. Embryoinduction via anther culture in papaya and sex analysis of the derivedplantlets. Scientia Hort. 103: 199–208.
Robinson KEP, Firoozabady E. 1993. Transformation of floriculture crops.Scientia Horticulturae. 55: 83-99.
Rudolf K, Bohanec B, Hansen M. 1999. Microspore culture of white cabbage,Brassica oleracea var. capitata L.: genetic improvement of non-responsivecultivars and effect of genome doubling agents. Plant Breed 118: 237–241
Salinger JP. 1985. Commercial Flower Growing. Butterworths HorticulturalBooks. New Zealand. p: 151-161.
San Noeum LH. 1976. Haploides d’Hordeum vulgare par culture in vitrod’ovaires non fe´condes. Ann. Ame´liar. Plantes 26, 751–754.
Sato S, Katoh N, Yoshida H, Iwai S, Hagimori M. 2000. Production of doubledhaploid plants of carnation (Dianthus caryophyllus L.) by pseudofertilizedovule culture. Scientia Hortic 83: 301-310.
Satsijati, Nurmalinda, Ridwan H, Herlina D, Herman, Rahardjo IB, Effendie K,Marwoto B. 2004. Profil Komoditas Tanaman Hias Menunjang StrategiPenelitian untuk Pengembangan Agribisnis Florikultura. Laporan akhir.Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, The ParticipatoryDevelopment of Agriculture Technology Project (PAATP). Balai PenelitianTanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. BadanLitbang Pertanian. Departemen Pertanian (tidak dipublikasikan).
Saunders JR, Saunders VA. 1988. Bacterial Transformatiion with Plasmid DNA.In Grinsted J. (Ed). Method in Microbiology. Vol 21. Academic Press.London. Hlm 79-122
Sauton A, Dumas VR. 1987. Obtention de plantes haploõedes chez melon(Cucumis melo L.) par gynogenease induite par du pollen irradie.Agronomie 7, 141-148.
128
Savaskan C. 2002. The effect of gamma irradiation on the pollen size ofGossipyium hirsutum L. Turk J Bot 26 : 477-480.
Sestili S, Ficcadenti N. 1996. Irradiated pollen for haploid producton. In. Jain S etal. (Eds). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol. I. KluwerAcademic Publishers. Dordrecht. hlm. 263-274.
Shalaby TA. 2007. Factors affecting haploid induction through in vitrogynogenesis in summer squash (Cucurbita pepo L). Sci. Hort. 115: 1-6.
Shivanna KR. 2003. Pollen biology and biotechnology. Science Publishers 978-1-57808-241-4. p. 316.
Shoemaker RC, Amberger LA, Palmer RG, Oglesby L, Ranch JP. 1991. Effects of2.4-Dichlorophenoxy acetic acid concentration on somatic embryogenesisand heritable variation in soybean (Glycine max (L.) Merr.). In vitro CellDev Biol 27: 84-88.
Sheeler P, Bianchi DE. 1987. Cell and Molecular Biology. John Wiley and Sons,Inc Canada. New York. 704 hlm.
Sibi ML, Kobaissi A, Shekafandeh A. 2001. Green haploid plants fromunpollinated ovary culture in tetraploid wheat (Triticum durum Defs.).Euphytica 122: 351–359.
Simpson GG. 2004. The autonomous pathway: epigenetic and post-transcriptionalgene regulation in the control of Arabidopsis flowering time. Curr.Opinion in Plant Biol. 7: 1-5.
Snape JW, Parker BB, Simpson E, Ainsworth CC, Payne PI, Law CN. 1983. Theuse of irradiated pollen for differential gene transfer in wheat (Triticumaestivum). Theor. and Appl. Genet. 65:103-111.
Sniezko R. 2006. Introduction: Meiosis in life Cycle Plant with differentPhylogenetic Positions. In Dashek WV, Harisson M (Eds). Plant CellBiology. Science Publisher. United States of Amerika. 494 hlm.
Sopory SK, Maheswari. 1976. Development of pollen embryoids in anther cultureof Datura innoxia. J. Exp. Bot 27 (1): 58-68.
Sopory SK, M Munshi. 1996. Anther culture. In: Mohan JS, Sopory SK, VeileuxRE (Eds.). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. KluwerAcademic Publishers. Dordrecht/Boston/London. 1: hlm145-176.
Sparnaaij LD, Koehorst-van Putten HJJ . 1990. Selection for early flowering inprogenies of interspecific crosses of ten species in the genus Dianthus.Euphytica 50 : 21 1-220.
Strope K, Trees. 2003 S. Interspesific Dianthus Plants. Pub date March, 13, 2003.Plant Patent Application Publication. www.freepatentonlines.com/0051276. 7 hlm.
Sugiyama K, Morishita M, Nishino E. 2002. Seedless watermelon produced viasoft X-irradiated pollen. HortScience 37:251-419.
Suharsono, Alwi M, Purwito A. 2009. Pembentukan tanaman cabai haploidmelalui induksi ginogenesis dengan menggunakan serbuk sari yangdiradiasi sinar gamma. J. Agron. Indoensia 37 (2): 123-129.
Sunderland N, Wicks FM. 1971. Embryoid formation in pollen grain of Nicotianatabacum. J. Exp. Bot. 22: 213-216.
129
Supena EDJ. 2004. Innovation in Microspora Embryogenesis in Indonesian HotPepper (Capsicum annuum L.) and Brassica napus L. Ph.D. Thesis.Wageningen University. Netherlands. 131 hlm.
Tao ZR, Liau MS, Zhu ZC. 1985. In vitro induction of haploid planlets from theunpollinated ovaries of potato. Hereditas (Beijing) 7: 24.
Tejaswini. 2002. Male gametophytic generation and possible approach forselective pollination in carnation (Dianthus) breeding programme.Rostlinna Vyroba 48 (8): 368-375.
Terzi M, Loschiavo F. 1990. Somatic embryogenesis. In Bhojwani SS (Ed).Development in Crop Science 10. Plant Tissue Culture: application andlimitation. Elsevier, New York. hlm 54-55.
Thomas WTB, Forster BP, Gertsson B. 2003. Doubled haploids in breeding. In:Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Double HaploidProduction in Crop Plants: A Manual.. Kluwer Academic Publishers.Dordrecht/Boston/London. hlm 337-350.
Todorova M, Ivanov P, Nenova N, Encheva J. 2004. Effect of female genotype onthe efficiency of -inducedd parthenogenesis in sunflower (Helianthusannuus L.). Helia 27 (41): 67-74.
Touraev A, Pfosser M, Heberle-Bors E. 2001. The microspore: a haploidmultipurpose cell. Adv Bot Res 35:53–109.
van den Bulk RW, de Vries-van Hulten HPJ, Dons JJM. 1992. Formation ofmultinucleate lily microspores in culture. Acta Horticulturae. 325: 649-654.
van den Bulk RW, de Vries-van Hulten HPJ, Custers JBM, Dons JJM. 1994.Induction of embryogenesis in isolated microspores of tulip. Plant Sci. 104:101-111.
Vassileva-Dryanovska OA. 1966. Development of embryo and endospermproduced after irradiated of pollen in Tradescantia. Hereditas 55: 129-148.
Warner CP, Dunkin I, Cornish MA, Jones GH. 1984. Gene transfer in Nicotianarustica by means of irradiated pollen. II. Cytogenetical consequences.Heredity 52: 113-119.
Wattimena GA. 1988. Zat Pengaatur tumbuh Tanaman. PAU IPB. 145 hlm.
Wedzony M, Forster BP, Zur I, Golemiec E, Szechynska-Hebda M, Dubas E,Gotebiowska G. 2009. Progress in Doubled Haploid Technology in HigherPlants. In Touraev A, Forster BP, Jain SM (Eds.). Advances in HaploidProduction in Higher Plants. www.springer .com. (9 Oktober 2011).
Widoretno W, Arumningtyas EL, Sudarsono. 2003. In vitro methods for inducingsomatic embryos of soybean and plant regeneration. Hayati 10 (1):19-24.
Winarto B, Rachmawati F, Teixeira da Silva JA. 2011. New basal media for half-anther culture of Anthurium andreanum Linden ex André cv. Tropical.Plant Growth Regul. 65 (3): 513-529.
Winarto, B.2009. Androgenesis: Upaya terobosan untuk penyediaan tanamanhaploid atau haploid ganda pada Anthurium (disertasi). SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.
130
Wu BJ, Chen KC. 1982. Cytological and embryological studies on haploid plantproduction from cultured unpollinated ovaries of Nicotiana tabacum L.Acta Bot Sin 24: 125–129.
Yang HY, Zhou C. 1982. In vitro induction of haploid plants from unpollinatedovaries and ovules. Theor. Appl. Genet. 63, 97–104.
Yang H, Zhou C, Cai D, Yan H, Wu Y, Chen X. 1986. In vitro culture ofunfertilized ovules in Helianthus annuus L. In: Hu H, Yang H (Eds)Haploids of higher plants in vitro. Springer, Berlin, hlm 182–191.
Yantcheva A, Vlahova M, Antanassov A. 1998. Direct somatic embryogenesisand plant regeneration of carnation (Dianthos caryophyllus L.). Plant CellRep. 18: 148-153.
Yu Q, H Ma. 1998. The flowering transition and florigen. Curr. Biol. 8: 815.
Yuan Su-xia, Mei LY, Yuan FZ, Mei YL, Mu Z, Yong ZY, Tian SP. 2009. Studyon the relationship between the ploidy level of microspore-derived plantsand the number of chloroplast in stomatal guard cells in Brassica oleracea.Agric. Sci.- China 8 (8): 939-946.
Zavlatteri MA, Frederico AM, Lima M, Sabino R, Schmitt BA. 2010. Induction ofsomatic embryogenesis as an example of stress-related plant reactions.http://www.ejbiotechnology.info/content/vol13/issue1/full/4. (diakses 17Mei 2012).
Zhang YX, Lespinasse Y. 1991. Pollination with gamma-irradiated pollen anddevelopment of fruits, seeds and parthenogenic plants in apple. Euphytica54: 101-109.
Zhang YX, Lespinasse Y, Chevreau E. 1988. Obtention de plantes haploõedes depommier (Malus domestica Borich) issues de parthenogenese induite insitu par du pollen irradietet culture in vitro des pepins immatures. C. R.Acad. Sci. Paris, ser. III. hlm 451-457.
Zhou C, Yang H, Tian H, Liu Z, Yan H. 1986. In vitro culture of unpollinatedovaries in Oryza sativa L. In: Hu H, Yang H (Eds) Haploids of higherplants in vitro. Springer, Berlin. hlm 167–181.
131
Lampiran 1. Rata-rata ukuran bagian-bagian bunga pada lima genotipe
Genotipe fase Panjangkuncup/kelopak
(cm)
Diameter (cm)
Braktea(cm)
panjangpetal(cm)
panjangstamen(cm)
jumlahantera
panjangovari(cm)
panjangstilus(cm)
Dchi-11 1 1,115 0,240 1,095 0,410 0,160 10 0,155 0,1452 1,500 0,370 1,435 0,805 0,310 10 0,295 0,2303 1,510 0,400 1,350 1,030 0,370 10 0,345 0,3004 1,580 0,385 1,130 1,580 0,560 10 0,485 0,4755 1,715 0,390 1,390 1,590 0,640 10 0,490 0,4906 1,700 0,395 1,180 1,760 0,760 10 0,560 0,5407 1,755 0,430 1,360 1,840 0,840 10 0,595 0,570
Dchi-V12 1 1,110 0,200 1,480 0,305 0,100 10 0,150 0,1002 1,310 0,230 1,380 0,465 0,215 10 0,200 0,1603 1,510 0,250 1,540 0,710 0,320 10 0,225 0,1754 1,640 0,290 1,480 0,900 0,355 10 0,290 0,2605 1,700 0,300 1,440 1,100 0,495 10 0,405 0,3156 1,770 0,350 1,440 1,660 0,675 10 0,500 0,4457 1,750 0,400 1,283 2,075 1,108 10 0,558 0,508
Dchi-13 1 1,105 0,260 1,045 0,495 0,215 10 0,190 0,1502 1,295 0,315 1,130 0,815 0,295 10 0,275 0,2303 1,380 0,335 1,105 1,060 0,370 10 0,315 0,3004 1,420 0,350 1,120 1,090 0,375 10 0,330 0,3305 1,420 0,335 1,065 1,120 0,465 10 0,365 0,3606 1,470 0,340 0,985 1,500 0,610 10 0,460 0,4857 1,550 0,350 1,130 1,680 0,780 10 0,500 0,500
Dchi-V14 1 1,285 0,265 1,325 0,505 0,275 10 0,210 0,1602 1,535 0,295 1,510 0,915 0,380 10 0,285 0,2403 1,530 0,295 1,445 1,115 0,420 10 0,360 0,3104 1,650 0,350 1,600 1,500 0,500 10 0,363 0,3635 1,655 0,385 1,430 1,345 0,550 10 0,420 0,4006 1,715 0,360 1,460 1,550 0,745 10 0,515 0,5107 1,665 0,395 1,295 1,710 0,890 10 0,580 0,555
Dchi-V15 1 1,356 0,295 1,296 0,481 0,280 10 0,285 0,2002 1,400 0,300 1,300 0,500 0,300 10 0,300 0,2003 1,533 0,333 1,100 0,483 0,283 10 0,250 0,2004 1,733 0,383 1,317 1,267 0,483 10 0,367 0,3505 1,650 0,400 1,233 1,333 0,567 10 0,483 0,4836 1,950 0,400 1,250 1,900 0,800 10 0,500 0,5007 1,900 0,500 1,500 2,200 1,000 12 0,600 0,500
132
Lampiran 2. Tabel komposisi media dasar yang digunakan
Komposisi bahan kimia WT MSElemen makro ------- mg L-1 ----NH4NO3 550 1650KNO3 1250 1900Ca(NO3)2.4H2O 250 -MgSO4 180 370CaCl2 300 440NaH2PO4.H2O 200 -KH2PO4 150 170Elemen mikroH3BO3 5,7 6,2KI 0,65 0,83MnSO4.H2O 15,5 22,3ZnSO4.7H2O 7,5 8,6Na2MoO4.2H2O 0.2 0,25CuSO4.5H2O 0,02 0,025CoCl2.6H2O 0,02 0,025Na2EDTA.2H2O 37,3 37,3FeSO4.7H2O 27,5 27,8Myo-inositol 110 100Thiamin-HCl 0,5 0,1Piridoxin 0,5Niacin 0,5Glisin 2Keterangan: Medium WT (Winarto et al. 2011)
133
Lampiran 3. Komposisi dan formula media dasar untuk embriogenesis
Komponenmedia
Formulasi media dasar (mg/l)M1 M2 M3 M4 M5
Elemen makroNH4NO3 550 1650 1650 1650 1650KNO3 1250 1900 1900 1900 1900Ca(NO3)2.4H2O 250 - - - -MgSO4 180 370 370 370 370CaCl2 300 440 440 440 440NaH2PO4.H2O 200 - - - -KH2PO4 150 170 170 170 170Elemen mikroH3BO3 5,7 6,2 6,2 6,2 6,2KJ 0,65 0,83 0,83 0,83 0,83MnSO4.H2O 15,5 22,3 22,3 22,3 22,3ZnSO4.7H2O 7,5 8,6 8,6 8,6 8,6Na2MoO4.2H2O 0.2 0.25 0.25 0.25 0.25CuSO4.5H2O 0.02 0.025 0.025 0.025 0.025CoCl2.6H2O 0.02 0.025 0.025 0.025 0.025Na2EDTA.2H2O 37.3 37.3 37.3 37.3 37.3FeSO4.7H2O 27.5 27.8 27.8 27.8 27.8As.aminoL glutamin - - - - 400casein hidrolisat - - - - 400VitaminMyo-inositol 110 100 100 100 100Thiamin-HCl 0,5 0.1 0.1 0.1 0.1Piridoxin 0.5 0.5 0.5 0.5Niacin 0.5 0.5 0.5 0.5L-Prolin - - - - 103,77Glisin 2 2 2 2ZPT2,4-D 1,00 2,00NAA 0,01 0,10 - 0,35 -TDZ 0,50 1,00 - - -BAP 1,00 - 1,00 1,00 -BA - - - - 1.00Sukrosa/maltosa 30.000 20.000 20.000 60.000 30.000