hana naufanita - uts take home ii - 2015

6
1 Tugas Take Home Ujian Tengah Semester Institusi Internasional NPM : 1406541341 Preferensi Soal : Nomor 3 Pengaruh Keunikan WTO dalam Proses Pembuatan Konsensus Trade Facilitation Agreement Tulisan ini dibuat guna melengkapi Ujian Tengah Semester mata kuliah Institusi Internasional. Pertanyaan yang diajukan dalam soal ujian ialah: “Mengapa waktu yang dibutuhkan sangat panjang untuk menghasilkan kesepakatan itu (Trade Facilitation Agreement)? Jawaban dan penjelasan mohon dikaitkan dengan keunikan institusi dari WTO dan proses pembahasan isunya.” Pada tulisan ini penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Diawali dengan paparan secara singkat apa itu WTO dan keunikannya dibandingkan organisasi internasional lainnya, salah satunya adanya mekanisme Dispute Settlement. Kedua, penulis akan membahas kronologi terbentuknya perjanjian yang dihasilkan WTO, Trade Facilitation Agreement. Terakhir, bagaimana perselisihan di antara anggota developing countries dan developed countries berdampak pada proses rampungnya perjanjian. Ditambah asas demokrasi dan jumlah anggota yang banyak juga mempengaruhi tercapainya konsensus yang cenderung lambat. Latar belakang World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional satu-satunya yang menangani peraturan perdagangan antar negara. WTO lahir dari hasil negosiasi yang dilakukan beberapa negara yang tergabung dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1986-1994. Organisasi yang bermarkas di Jenewa ini baru beroperasi secara resmi pada 1 Januari 1995. Fungsi utama WTO adalah untuk memastikan laju perdagangan berjalan lancar, dapat diprediksi dan semaksimal mungkin minim hambatan. Dalam dokumennya, WTO memberikan peraturan-peraturan dasar untuk melakukan perdagangan internasional. Peraturan ini bisa berupa kontrak dengan tujuan mengikat pemerintah dalam membuat kebijakan perdagangan agar tetap sesuai dengan perjanjian yang sudah ditentukan. Walau pun dinegosiasikan dan ditandatangani oleh negara, aktor-aktor non negara yang melakukan perdagangan juga mendapat perhatian dalam melakukan perdagangan. 1 Prinsip fundamental yang diusung organisasi yang terhitung memiliki 161 anggota ini antara lain: 1) resiprositas, negosiasi yang biasa dilakukan menjunjung tinggi asas ini. Jika pendekatan untuk bernegosiasi sukses, makin banyak aturan yang tercapai. 2) most-favoured- nations, yakni memperlakukan aktor-aktor setara. Tidak ada diskriminasi di antara partner dengan tidak memberikan perlakuan spesial terkait bea cukai yang diberikan. Namun prinsip ini pada kenyataanya sering dilanggar sehingga kerap kali menjadi alasan dalam penyelesaian sengketa. 3) national treatment, tidak ada diskriminasi terhadap produk impor dan produk lokal yang beredar. Ketika produk impor telah membayar biaya masuk ke negara tertentu, produk ini tidak boleh menjadi subjek pajak atau peraturan barrier lainnya. 2 Selain menjadi organisasi perdagagangan internasional satu-satunya, keunikan lain yang dimiliki WTO ada terdapat sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yakni Disputes Settlement. Dalam hubungan dagang kerap kali timbul konflik kepentingan. Perjanjian dalam

Upload: hana-naufanita

Post on 16-Feb-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hubungan internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

1

Tugas Take Home Ujian Tengah Semester Institusi InternasionalNPM : 1406541341Preferensi Soal : Nomor 3

Pengaruh Keunikan WTO dalam Proses PembuatanKonsensus Trade Facilitation Agreement

Tulisan ini dibuat guna melengkapi Ujian Tengah Semester mata kuliah Institusi Internasional. Pertanyaan yang diajukan dalam soal ujian ialah:

“Mengapa waktu yang dibutuhkan sangat panjang untuk menghasilkan kesepakatan itu (Trade Facilitation Agreement)? Jawaban dan penjelasan mohon dikaitkan dengan keunikan institusi dari WTO dan proses pembahasan isunya.”

Pada tulisan ini penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Diawali dengan paparan secara singkat apa itu WTO dan keunikannya dibandingkan organisasi internasional lainnya, salah satunya adanya mekanisme Dispute Settlement. Kedua, penulis akan membahas kronologi terbentuknya perjanjian yang dihasilkan WTO, Trade Facilitation Agreement. Terakhir, bagaimana perselisihan di antara anggota developing countries dan developed countries berdampak pada proses rampungnya perjanjian. Ditambah asas demokrasi dan jumlah anggota yang banyak juga mempengaruhi tercapainya konsensus yang cenderung lambat.

Latar belakang

World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional satu-satunya yang menangani peraturan perdagangan antar negara. WTO lahir dari hasil negosiasi yang dilakukan beberapa negara yang tergabung dalam General Agreement on Tariffs and Trade(GATT) pada 1986-1994. Organisasi yang bermarkas di Jenewa ini baru beroperasi secara resmi pada 1 Januari 1995. Fungsi utama WTO adalah untuk memastikan laju perdagangan berjalan lancar, dapat diprediksi dan semaksimal mungkin minim hambatan. Dalamdokumennya, WTO memberikan peraturan-peraturan dasar untuk melakukan perdagangan internasional. Peraturan ini bisa berupa kontrak dengan tujuan mengikat pemerintah dalam membuat kebijakan perdagangan agar tetap sesuai dengan perjanjian yang sudah ditentukan. Walau pun dinegosiasikan dan ditandatangani oleh negara, aktor-aktor non negara yang melakukan perdagangan juga mendapat perhatian dalam melakukan perdagangan.1

Prinsip fundamental yang diusung organisasi yang terhitung memiliki 161 anggota ini antara lain: 1) resiprositas, negosiasi yang biasa dilakukan menjunjung tinggi asas ini. Jika pendekatan untuk bernegosiasi sukses, makin banyak aturan yang tercapai. 2) most-favoured-nations, yakni memperlakukan aktor-aktor setara. Tidak ada diskriminasi di antara partner dengan tidak memberikan perlakuan spesial terkait bea cukai yang diberikan. Namun prinsip ini pada kenyataanya sering dilanggar sehingga kerap kali menjadi alasan dalam penyelesaian sengketa. 3) national treatment, tidak ada diskriminasi terhadap produk impor dan produk lokal yang beredar. Ketika produk impor telah membayar biaya masuk ke negara tertentu, produk ini tidak boleh menjadi subjek pajak atau peraturan barrier lainnya.2

Selain menjadi organisasi perdagagangan internasional satu-satunya, keunikan lain yang dimiliki WTO ada terdapat sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yakni Disputes Settlement. Dalam hubungan dagang kerap kali timbul konflik kepentingan. Perjanjian dalam

Page 2: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

2

WTO sering menimbulkan misinterpretasi, sehingga memicu konflik tersebut. Oleh karena itu WTO membuat sebuah mekanisme yang bertujuan meyelesaikan konflik dengan cara yang dirasa cukup harmonis dan bersifat netral sesuai perjanjian yang ada. Disputes Settlement inilah yang dijadikan mekanisme yang menopang sistem perdagangan multilateral dan kontribusi unik WTO terhadap stabilitas ekonomi global. Tanpa cara ini, sistem yang hanya berdasarkan kepercayaan bahwa negara-negara anggota WTO akan sepenuhnya kepatuhan (rule-based system) dirasa terlalu utopis. Namun WTO tetap menekankan peraturan yang telah dibuat sehingga sistem perdagangan akan lebih aman dan mudah diprediksi.3

Cara kerja mekanisme ini memiliki tiga tahapan: konsultasi, ligitasi formal atau panel dan implementasi jika dibutuhkan. 1) Diawali dengan permintaan konsultasi kasus ─terkait langkah-langkah perdagangan yang tidak disetujui oleh anggota (pengadu) terhadap anggota lain (pembela)─ ke Dispute Settlement Body (DBS). Keduanya diberikan waktu selama 60 hari untuk konsultasi agar tercapai kesepakatan yang dapat memuaskan kedua belah pihak. 46% masalah sengketa di WTO dapat diselesaikan pada tahap ini. Tiga perempat dari hasil tersebut mendapat kelonggaran dari pihak pembela. 2) Jika pada tahap konsultasi sengketa tidak menemukan titik temu, maka akan dilanjutkan ke tahap kedua yakni panel yang diajukan oleh pihak pembela. Panel terdiri dari tiga sampai lima orang yang memiliki latarbelakang hukum perdagangan, termasuk dari negara yang bukan terlibat dalam sengketa. Panel ini kemudian mengedarkan laporan semetara, menawarkan kedua belah pihak kesempatan untuk memberi komentar dan klarifikasi. Mereka berdua tetap bisa melakukan negosiasi pada tahap ini. Faktanya, 13% kasus berhasil ditangani pada tahap ini, sebelum putusan dibuat. Panel akan membuat putusan akhir jika pihak terkait setuju untuk tidak mengadopsi laporan hasil panel dengan alasan apapun dan salah satu pihak (bukan pihak ketiga) mengajukan banding yang nantinya akan dibuatkan Appellate Body. Appellate Bodyini terdiri dari ahli hukum yang sengaja dikumpulkan untuk mengatasi putusan yang lebih besar konsistensinya dibanding panel. Tugasnya mendengarkan testimoni dari pihak yang berseteru, pihak ketiga, mengenai kegagalan panel dalam menghasilkan putusan.keputusan yang dibuat Appellate Body merupakan keputusan final. 3) Jika putusan ini mendukung pembela, maka kasus berakhir. Sebaliknya jika putusan akhir memihak pada pengadu, maka akan berlanjut ke tahap implementasi. Pada tahap ini pembela diharuskan mengimplementasikan putusan akhir yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Jika tidak, maka pengadu dapat melakukan retaliasi dengan menaikan tarif ekspor pembela. Dalam WTO retaliasi dalam tahap ini justru jarang dilaksanakan. Terbukti hanya 7 dari ratusan kasus yang ditangani WTO mencapai tahap retaliasi.4

Proses Lahirnya Trade Facilitation Agreement (TFA)

Trade Facilitation Agreement (TFA) merupakan isu signifikan dalam agenda non-tariff barriers, seiring dengan kemajuan informasi, teknologi dan cara berkomunikasi yang semakin efektif dan efisien melintasi batas negara. Persetujuan yang dibuat oleh negara maju dan negara berkembang untuk fokus pada isu fasilitasi perdagangan ini diharapkan dapat membuat transaction costs impor dan ekspor berkurang, menghilangkan ketidakpastian dalam perdagangan yang mengakibatkan meningkatnya perdagangan dan investasi.5

Isu TFA pertama kali disinggung pada Konferensi Tingkat Menteri WTO pertama pada tahun 1996 di Singapura, setelah itu Dewan Perdagangan Barang diarahkan untuk melakukan simplifikasi prosedur perdagangan. Selanjutnya pada Konferensi Tingkat Menteri

Page 3: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

3

tahun 2001 di Doha, Qatar, dalam deklarasinya, Dewan Perdagangan Barang diinstruksikan untuk meninjau dan meningkatkan relevansi aspek dari pasal-pasal dalam GATT 1994, antara lain pasal V (kebebasan transit), pasal VIII (biaya dan formalitas terkait ekspor dan impor) dan pasal X (publikasi dan administrasi regulasi perdagangan). Ditambah mengindentifikasi kebutuhan dan prioritas anggota dalam fasilitas perdagangan, khususnya bagi negara berkembang dan negara kurang berkembang. Pada Doha Round, WTO mulai melakukan negosiasi terkait Trade Facilitation Agreement dan akan terus mengeksplorasi kemungkinan dari perjanjian tersebut dengan pendekatan multilateral.6

Terhitung telah diselenggarakan sembilan kali Konferensi Tingkat Menteri WTO. Berikut tabel konferensi yang diadakan setidaknya setiap dua tahun sekali:

Konferensi ke -

Lokasi Tanggal Deklarasi Terkait TFA

1Singapore, Singapura

9-13 Desember 1996Mengurangi beban delegasi khususnya yang memiliki keterbatasan sumber daya.

2 Jenewa, Swiss 18-20 Mei 1998 -

3Seattle, Amerika

Serikat30 November – 3 Desember 1999

-

4 Doha, Qatar 9-13 November 2001

Annex D: Meninjau dan meningkatkan relevansi aspek dari pasal-pasal dalam GATT 1994, antara lain pasal V (kebebasan transit), pasal VIII (biaya dan formalitas terkait ekspor dan impor) dan pasal X (publikasi dan administrasi regulasi perdagangan).

5 Cancun, Meksiko 10-14 September 2003 Berakhir tanpa konsensus

6 Hong Kong 13-18 Desember 2005

Annex E: Pernyataan mengenai pentingnya mengadakan technical assistance and capacity-building (TACB) yang tepat dan efektif bagi negara berkembang dan kurang berkembang melalui ketentuan special and differential treatment.

7 Jenewa, Swiss30 November – 2 Desember 2009

-

8 Jenewa, Swiss 15-17 Desember 2011 -

Page 4: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

4

9 Bali, Indonesia 3-6 Desember 2013

Doha Development Agenda: menyatakan kembali bahwa prinsip non diskriminasi dalam pasal V GATT 1994 tetap valid.

Sumber: www.wto.org

Konsensus yang Cenderung Lambat

Menurut penulis, terdapat beberapa alasan mengapa proses pengambilan keputusan dalam WTO cenderung lambat dan sulit mencapai konsensus. Alasan pertama karena jumlah anggota di dalam WTO yang kian bertambah dan masing-masing anggota tentu memiliki preferensi-preferensi masing-masing. Sejak tahun 1994, keanggotaan GATT telah meningkat sekaligus, berawal dari 23 penandatangan menjadi 128 negara partisipan.7 Statistik terakhir (dalam website resmi WTO) menunjukkan 161 negara telah bergabung ke dalamnya. Terkait jumlah negara yang tergabung dalam kerjasama multilateral, menurut Robert Axelrod dan Kenneth Oye, semakin banyak aktor dalam suatu kerjasama, semakin rentan prospek berkembangnya dalam bekerjasama. Jumlah aktor yang terlibat ini akan mempengaruhi efektivitas terjalinnya kerjasama. Semakin banyak preferensi yang diajukan para aktor, maka semakin sulit untuk mencapai payoff.8 Interaksi yang dilakukan para aktor menimbulkan posibilitas preferensi-preferensi yang dibuat pada saat tertentu. Interaksi tersebut tidak hanya mempengaruhi dampak di masa mendatang, tapi juga mempengaruhi preferensi para aktor

Kedua, pembuatan konsensus WTO yang bisa dibilang istimewa, tidak seperti yang dilakukan United Nations, International Monetary Fund dan World Bank yang berlomba dalam jumlah suara. Asal-usul metode konsensus yang diimplementasikan WTO dapat dilacak dalam GATT, yang menyatakan “not to allow progress to be frustrated by one party’s obstinacy, unless it happened to be one of the major trading powers.” Metode ini sesuai dengan prinsip most-favoured-nations. Dalam teori, satu suara dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan yang dihasilkan secara keseluruhan. Namun bukan dalam bentuk hak veto. Kelebihan dari metode konsensus antara lain: 1) menurut Mike Moore, mantan direktur jenderal WTO pasca Konferensi Tingkat Menteri di Seattle, konsensus merupakan garansi fundamental dalam asas demokrasi yang ditanam WTO. 2) metode konsensus memberikan negara berkembang dan kurang berkembang kesempatan untuk menyebar pengaruh. Negara kecil juga dapat mencegah konsensus yang dapat merugikan mereka. 3) pembuatan keputusan melalui konsensus dapat memastikan jika hanya konsensus yang ‘baik’ yang akan diimplementasi dan diadopsi negara anggota.9

Kenyataannya, jika anggota, khususnya negara berkembang, hal ini bisa terisolasi dan ditekan oleh anggota yang memiliki power lebih besar (negara maju). Hal ini menimbulkan alasan ketiga mengapa lambatnya mencapai konsensus dalam WTO. Jika negara berkembang atau kurang berkembang tidak setuju dengan konsensus, negara maju dapat mengajukan perpanjangan waktu. Dengan kata lain, konsensus hasil proses pembuatan keputusan di WTO kebanyakan masih dipengaruhi economic power.10

Dapat disimpulkan bahwa keunikan-keunikan WTO sebagai organisasi perdagangan internasional satu-satunya yang ‘menjunjung tinggi’ prinsip non diskriminasi dan most-favoured-nations, seperti yang tercantum pada prinsip fundamentalnya, serta semakin banyaknnya negara yang bergabung memilik dampak pada proses pembuatan konsensus yang ingin dicapai WTO dalam setiap Konferensi Tingkat Menteri, khususnya dalam konteks

Page 5: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

5

tulisan ini Trade Facilitation Agreement. Selain itu, faktor lain seperti yang terdapat dalampraktik kerjasama pada umumnya, baik itu bilateral maupun multilateral, real politics masih terjadi di dalam WTO:

"The strong do what they can and the weak suffer what they must."

Words: ±1716

1 “Who We Are,” World Trade Organization,https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm (diakses 24 Okt., 2015)

2 Chad Brown, Self-enforcing Trade: Developing Countries and WTO Dispute Settlement (Washington, D.C : Brookings Institution Press, 2009), 15-18.

3 “A Unique Contribution,” World Trade Organization,https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/disp1_e.htm (diakses 24 Okt., 2015)

4 Marc L. Busch and Eric Reinhardt, “The WTO Dispute Settlement Mechanism and Developing Countries” dalam The Brief. (Stockholm : Swedish International Development and Cooperation Agency, 2004), 1-2.

5 Nisha Taneja, “Trade Facilitation: Issues and Concerns,” Economic and Political Weekly, Vol. 39, No. 2 (2004): 126.

6 Taneja, 126.

7 Brown, 12.

8 Kenneth A. Oye, “Explaining Cooperation under Anarchy: Hypotheses and Strategies” World Politics 38, no. 1 (1985): 18.

9 Robert Axelrod, The Evolution of Cooperation (New York : Basic Books. Inc., Publishers, 1984), 11.

10 Mary E. Footer, An institutional and Normative Analysis of the WTO (Leiden : Martinus Nijjhoff Publishers, 2005), 14.

Page 6: Hana Naufanita - UTS Take Home II - 2015

Daftar Pustaka

BukuAxelrod, Robert. The Evolution of Cooperation. New York : Basic Books. Inc., Publishers, 1984.

Brown, Chad. Self-enforcing Trade: Developing Countries and WTO Dispute Settlement. Washington, D.C : Brookings Institution Press, 2009).

Footer, Mary E. An institutional and Normative Analysis of the WTO. Leiden : Martinus Nijjhoff Publishers, 2005.

Bab dalam buku

Busch, Marc L. and Eric Reinhardt, “The WTO Dispute Settlement Mechanism and Developing Countries” dalam The Brief. Stockholm : Swedish International Development and Cooperation Agency, 2004.

Jurnal

Oye, Kenneth A. “Explaining Cooperation under Anarchy: Hypotheses and Strategies” World Politics 38, no. 1 (1985): 18.

Taneja, Nisha. “Trade Facilitation: Issues and Concerns,” Economic and Political Weekly, Vol. 39, No. 2 (2004): 126.

Website

“A Unique Contribution,” World Trade Organization. https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/disp1_e.htm (diakses 24 Okt., 2015)

“Who We Are,” World Trade Organization.https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm (diakses 24 Okt., 2015)