ham n demoks di ind. (autosaved)

144
PENDAHULUAN 1.1 Pendidikan Kewargaan di Banyak Negara Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa. Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.

Upload: afief-prakoso-atmaja

Post on 02-Oct-2015

235 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

1.1 Pendidikan Kewargaan di Banyak Negara

Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa.

Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengembangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.

Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional; dan 3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip, proses dan nilai demokrasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif di masyarakat. Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarganegaraan (disusun berdasarkan psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha : 1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik; 2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.

Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif internasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).

1.2 Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.

Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Untuk tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru substansi pendidikan kewarganegaraan diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara).

Dengan keluarnya Keputusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Kewiraan direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

1.3 Materi Ajar

Setelah melakukan kajian yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perguruan tinggi politeknik yang memiliki sistem vokasi, dan dengan memakai landasan hukum: a. UUD 1945 - Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan. - Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum - Pasal 30 (1) tentang Bela Negara - Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988) d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional. e. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia. f. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi g. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Kami Tim Dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), sepakat untuk memberikan materi ajar bagi Mahasiswa PNJ yang terdiri dari: a. Kondisi Saat ini b. Pancasila sebagai Dasar Negarac. Negara dan Konstirusid. Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegarae. HAM dan Demokrasi di Indonesiaf. Keamanan Nasional/National Securityg. Geopolitik Indonesia Wawasan Nusantarah. Geostrategi Indonesia Ketahanan Nasional

Modul ini hanya akan membahas poin e saja yaitu HAM dan Demokrasi, kepentingan untuk mempelajarinya sebagai berikut:

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran HAM dan Demokrasi di pendidikan tinggi, khususnya meningkatkan kualitas metode pembelajaran dan penyediaan materi HAM dan Demokrasi, secara komprehensif terintegral dan kotemporer, sehingga Mahasiswa/Mahasiswi dapat memahami dan mengerti konsep HAM dan Demokrasi baik di dalam teori dan praktik didalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan HAM dan Demokrasi yang berkualitas dan efektif akan meningkatkan reputasi perguruan tinggi itu sendiri, berguna bagi masyarakat dan membantu pemerintah dalam pemajuan HAM dan Demokrasi.

1.4 Proses Pembelajaran

Adapun metode pembelajaran yang digunakan adalah: ceramah, diskusi, diskusi kelompok, curah pendapat, studi kasus bermain peran/simulasi, penggunaan alat bantu visual, debat, problem terbuka, polling pendapat, pertanyaan dan jawaban, dan presentasi peserta.

1.5 Petunjuk Mempelajari Modul Ajar

Silabus Pendidikan Kewarganegaraan di Politeknik Negeri Jakarta, terdiri dari delapan topik, berurutan dari topik: 1. Kondisi Saat ini; 2. Pancasila sebagai Dasar Negara; 3. Negara dan Konstirusi; 4. Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara; 5. Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia; 6. Keamanan Nasional/National Security; 7. Geopolitik Indonesia Wawasan Nusantar, 8. Geostrategi Indonesia Ketahanan Nasional. Dengan demikian memperlajari Modul HAM dan Demokrasi, mahasiswa/mahasiswi harus memperlajari dan melaksanakan tugas dalam topik-topik sebelumnya.

Di akhir Materi I dan Materi II terdapat tugas dan latihan soal, yang harus mahasiswa/mahasiswi laksanakan. Untuk menjawab latihan soal, mayoritas materi diambil dari Modul Ajar Hak azasi Manusia dan Demokrasi. Sedangkan materi dari tugas tidak terbatas dari bahan bacaan Modul Ajar Hak azasi Manusia dan Demokrasi saja, melainkan harus mengambil dari sumber yang lain.

MODUL 1

HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA

2.1 Pendahuluan

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.

Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya, dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional, demikian pula halnya dengan Hak Azasi Manusia. Perkembangan globalisasi ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam percaturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal ini tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu hak asasi manusia sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan mendiskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.

Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu struktur global, yaitu itu mempengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa. Walaupun sementara orang menganggap bahwa globalisasi adalah konsep semu sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War) (perang seusai Perang Dunia II 1939-1945 antara Blok Barat, dipelopori Amerika Serikat/AS dan Blok Timur dimotori oleh Uni Sovyet/US, yang berlangsung hampir setengah abad).

2.2 Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Hak Azasi Manusia di Indonesia antara lain : a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai HAM.b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal. d. Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik yang berkenaan dengan HAM .e. Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban).

2.3 Kegiatan Belajar

2.3.1 Materi Ajar I

2.3.1.1Sejarah Perkembangan Hak Azasi Manusia Jika kita telusuri sejarah HAM sejak abad pertengahan hingga zaman modern, mulai dari Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Independence (Amerika Serikat, 1776), Declaration des Droits de Ihomme et du Citoyen (Perancis, 1789), dan akhirnya Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948), bahwa dokumen-dokumen itu lahir bukan dari faham liberalisme dan individualisme, melainkan dari tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme dan diktatorisme.

Magna Charta lahir dari tuntutan para bangsawan dan gereja untuk membatasi kesewenang-wenangan raja Inggris, Petition of Rights lahir dari tuntutan parlemen yang mewakili rakyat (house of common) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of Independence Amerika Serikat lahir sebagai pernyataan ingin bebas dari penjajah Inggris yang dirasakan menindas mereka.

Declaration des Droit de Ihomme et du Citoyen lahir sebagai tuntutan kolektif Assemble Nationale yang mewakili rakyat untuk membatasi kekuasaan Raja Louis XVI dan suatu upaya untuk melindungi hak-hak rakyat. Universal Declaration of Human Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat. Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah lahir dari paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya dengan sejarah usaha untuk menegakkan demokrasi di satu pihak, dan perjuangan kemerdekaan dipihak lain.

Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.

Rumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan dan diproklamirkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217A (III) pada tanggal 10 Desember 1948 terdiri dari Mukadimah dan Pasal-Pasal.

Dalam mukadimah terdiri dari tujuh alinea, terdapat pertimbangan-pertimbangan:1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di dunia.2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah mengakibatkan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dan bahwa pembentukan suatu dunia yang akan membuat manusia mengecap kenikmatan bebas berbicara, bebas beragama serta bebas rasa takut dari kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi dari rakyat jelata.3. Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir guna menentang kezaliman dan penjajahan.4. Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu dianjurkan.5. Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Anggota PBB dalam piagam telah menyatakan hak dasar manusia, martabat serta penghargaan manusia dan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan dan telah memutuskan akan meningkatkan kemajuan sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas.6. Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan asas dalam kerja sama PBB.7. Menimbang bahwa pengertian umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah penting sekali untuk pelaksanaan janji ini secara benar.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terdiri dari 30 pasal, semua pasal berbicara tentang hak, hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak sebenarnya identik dengan kata kewajiban.

Masing-masing individu dan semua orang yang beragama akan sependapat dengan ketiga puluh pasal Deklarasi Universal. Ketika manusia telah memproklamasikan diri menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu negara, status manusia individu akan menjadi status warga negara. Diberi hak sebagai warga negara dalam mekanisme kenegaraan. Sebagai warga negara, masing-masing individu tidak hanya memperoleh hak tetapi juga kewajiban.

HAM dalam Berbagai Perspektif

Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sedunia, sejak pertengahan abad ke 20. Hingga saat ini HAM masih menjadi berita hangat yang sangat actual dalam berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat seperti peristiwa Politik, Sosial dan ekonomi baik ditingkat nasional maupun internasional. Seyogyanya HAM tidak hanya dipandang dari sudut kepemilikan dan bagaimana dijalankannya, akan tetapi lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang HAM , dibawah ini dijelaskan HAM dari berbagai perspektif menurut Hamidi (2010:231), yaitu dari persfektif Islam, Politik, Sosiologis dan geografis, yaitu:

1. HAM dalam perspektif Islam

Memahami HAM dalam persfektif Islam tentu lebih mudah, karena Islam adalah ajara komprehensif yang bersumber dari wahyu Illahi (Al Quran) dan berfungsi sebagai petunjuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan).

Cara pandang Islam terhdap HAM tidak terlepas dari cara pandangannya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (QS, Al-Israa(6):70), (QS Al-Hijr(15):28-29) dan fungsional (QS Al-Anam (6):165) serta (QS Al Ahzab(33):72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang riil agar ia dapat terpuji sebagai makhlus yang fungsional. Dalam kaitan ini manusia disebut khalifah dalam pengertian mandataris yang diberi kuasa dan bukan sebagai penguasa. Dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah SWT ( karena itu Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (QS Al-Ahzab(33):72). Sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal penciptaannya (QS At Taubah (9):111).

Meskipun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT, pada akhirnya kewajiban ini akan menimbulkan hak yang berkaitan dengan hubungan sesame manusia. Kewajiban bertauhid (meng_Esakan Allah) misalnya apabila dilaksanakan dengan benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan sesame manusia, sepert hak persamaan, hak kebebasan dan memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu Islam memandang hak azasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentrus tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist.a. Ha katas keselamatan jjiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Israa ayat 33 yaitu membunuh orang dibolehkan karena alasan yang benar, misalnya qisas bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja.b. Pengamanan hak milik pribadi (QS Al Baqarah (2):181)c. Keamana dan kesucian kehidupan pribadi (QS An-Nur (24):27)d. Hak untuk memperoleh keadilan hukume. Hak untuk menolak kezaliman (QS An-Nisa (4): 148)f. Hak untuk melakukan al amru bi al-maruf wa al-nahyuan al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (QS Al-Araf (7):165) dan QS Al-Baqarah(2):110).g. Kebebkasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan dengan menegakkan yang maruf dan mencegah yang mungkar.h. Hak Keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah (QS Ali Imron (3):100).i. Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan kata lain seseorang harus dianggap tidak bersalah jika belum terbukti melakukan kejahatan.j. Hak memperoleh perlakuan yang sama dari Negara dan tidak melebihkan seseorang atas orang lain (QS Al-Qashash(28):4).

Beberapa hak yang sudah dipaparkan di atas merupakan suatu bukti jika Islam memandang HAM dari segi hubungan antara Allah dengan manusia maupun manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hak-hak tersebut merpakan pemberian Allah SWT kepada setiap makhluk-Nya setelah menjalankan kewajibannya, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama satu dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah SWT yang berhak menentukan segalanya.

2. HAM dalam perspektif PolitikSering terdengar jika dalam politik tidak dikenal lawan ataupun kawan, yang ada hanyalah kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seseorang dalam politik dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang lainnya saling mencari alasan agar kekuasaan tersebut menjadi miliknya.Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama, maksudnya kesempatan yang sama untuk berpolitik. Yang membedakan hanya status sosial yang diperoleh setelah ia dapat menyakinkan orang lain tentang konsep perpolitikan yang ditawarkan. Sudut pandang politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik kepentingan pribadi, kelompok maupun gologannya.

3. HAM dalam perspektif SosiologisSecara sosiologis setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat dan mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya, mereka tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyrakat. Mereka adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi.

4. HAM dalam perspektif GeografisSecara geografis seseorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan kemampuannya dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam persfektif geografis adalah bahwa seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan diterima oleh suatu wilayah apabila wilayah tersebut secara hukum dapat ditempati/menjadi kewenangannya. HAM dalam perspektif geografis dipandang secara manusiawi bahwa manusia dapat menjadikan bumi sebagai media untuk memperoleh manfaat dan memberikan manfaat kepada orang lain.

2.3.1.2 Hak Azasi Manusia di Indonesia

Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa telah mencetuskan buah pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Buah pikiran ini dapat dibaca dalam: surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang; karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat; petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad; atau pledoi Soekarno yang berjudul Indonesia Menggugat; dan Hatta dengan judul Indonesia Merdeka yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda. Pemikiran-pemikiran tersebut pada masa pergerakan kemerdekaan, kemudian terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, dan menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sini terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.

Perdebatan yang sangat intensif terjadi dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meskipun pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.

(1) Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia

Saat menyusun Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus HAM di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.

Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan Philosofische grondslag atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee-- yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya.

Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara: ... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UndangUndang Dasar kita yang dinamakan rights of the citizens yang sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya. ... Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi droits de I homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya.

Sedangkan alasan penolakan Supomo berbeda, yaitu didasarkan pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.

Sebaliknya Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi. Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme.

Berikut argumen Hatta:Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat.

Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar. Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar, Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI.

Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.

Perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undangundang, tetapi juga dalam arti konseptual.

Konsep yang digunakan adalah Hak Warga Negara (rights of the citizens) bukan Hak Asasi Manusia (human rights). Penggunaan konsep Hak Warga Negara itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia. Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam UndangUndang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia, rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini.

Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia.

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan kembali ke Undang Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menjadi mundur kembali. Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat sementara.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar Reformasi, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.

(2) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru

Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai Kabinet Reformasi. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang. Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam hak asasi manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai sabotase terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat HAM di masa lalu, khususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran HAM di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional HAM, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).

Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia. (3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat friendly terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang melancarkan black-campaign terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang HAM ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia .

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham natural rights, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau human rights defenders. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan stuffenbau theorie des rechts (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.

Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia

Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya tumpangtindih, biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat yang menyatakan dengan gamblang dalam konstitusinya bahwa all treaties made or which shall be made, under the Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in every State shall be bound thereby.

Inilah bedanya dengan Indonesia, yang boleh dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu, mengambil langkah transformasi melalui proses perundangundangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri, namun tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila warga negara merasa mekanisme domestik telah mengalami exshausted alias menthok.

Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dibandindengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina, misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi manusia.

Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.

Produk Perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia

Seiring dengan era reformasi di Indonesia, terutama bidang hukum dan perundang-undangan, maka pemeriksaan atas pelanggaran hak asasi manusia, sudah berjalan dengan adanya Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menanganinya.

Beberapa produk hukum Indonesia yang berhubungan dengan Hak Asasi manusia antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945 BAB XA Hak Asasi Manusia2. Pasal 28 A sampai dengan 28 J3. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia4. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia5. Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM6. Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.7. Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum8. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 1999 tentang Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.9. Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak10. Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.11. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran HAM yang berat.13. Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat.14. Keputusan Presiden RI Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.15. Keputusan Presiden RI Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan.16. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009.

2.3.1.3Penerapan Hak Azasi Manusia di Indonesia

Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Jaminan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, supaya tercipta kehidupan kebangsaan yang lebih bermartabat dan manusiawi, memungkinkan terselenggaranya kehidupan bermasyarakat yang tidak diskriminatif dan apresiatif terhadap keanekaragaman, dan memungkinkan terciptanya kehidupan yang semakin demokratis dan beradab dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penegakan hak asasi manusia terutama didasarkan pada falsafah dan ideologi Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 terdiri atas XI Bab, 106 pasal dan penjelasannya. Beberapa istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 sebagai berikut:

a. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.b. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.c. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.d. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik.e. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hak tersebut adalah demi kepentingannya.f. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.g. Komisi Nasional Hak Asai manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga mandiri lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah. Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta Pengadilan Hak Asasi Manusia.Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya untuk mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan Bab VII Pasal 75 99, Partisipasi Masyarakat berdasarkan Bab VIII pasal 100 103, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia berdasarkan Bab IX Pasal 104 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam pasal 104 diamanatkan kedalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Selain itu juga dituangkan asas-asas dasar HAM, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, Kewajiban Dasar Manusia, Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah. Pembatasan dan Larangan, Komisi Nasional HAM, Partisipasi Masyarakat serta Pengadilan Hak Asasi Manusia.Secara operasional hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Indonesia dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 meliputi:

TABEL 5.1.Materi Muatan HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999No.PASALPROFIL HAM

19Hak untuk hidup

210Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

311 16Hak mengembangkan diri

417 19Hak memperoleh keadilan

520 27Hak atas kebebasan pribadi

628 35Hak atas rasa aman

736 42Hak atas kesejahteraan

843 - 44Hak turut serta dalam pemerintahan

945 51Hak wanita

1052 66Hak anak

Selain manusia Indonesia memiliki hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, juga memiliki kewajiban dasar manusia yang harus dilaksanakan, meliputi:

TABEL 5.2.Kewajiban-kewajiban Dasar Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999No.PASALISI

167Setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

268Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

369 ayat (1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tat tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

469 ayat (2)Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, memajukannya.

570Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Penerapan, penegakan dan pendidikan hak asasi manusia perlu diadakan untuk menjaga agar setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Penegakan hak asasi manusia dilakukan terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga yang dipercaya untuk mengatasi persoalan penegakan hak asasi manusia adalah Komisi Nasional HAM yang dibentuk berdasarkan Bab VII Pasal 75 99, Partisipasi Masyarakat berdasarkan Bab VIII pasal 100 103, dan Pengadilan HAM berdasarkan Bab IX Pasal 104 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999. Akhirnya Pengadilan HAM yang tertuang dalam pasal 104 diamanatkan kedalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Komisi Nasional Hak Asai Manusia atau Komnas HAMKomisi Nasional HAM adalah lembaga mandiri dan berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komnas HAM bertujuan:1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan2) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Guna mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri dan berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan:

1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Dan guna mencapai tujuannya, Komnas Hak Asasi Manusia melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UUD 1945, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.

Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.

Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).

Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung tujuan pembangunan nasional. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai perangkat lunak berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.

Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.

Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.

Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.

Upaya Penegakkan HAM di Indonesia

MASALAH penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional.

Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.

Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.

Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.

Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.

Tuntutan Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Sebagaimana dialami berbagai negara lainnya pada masa tansisi politik, di Indonesia pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya kasus-kasus terbuntuhnya para mahasiswa dalam kegiatan demontrasi karena bentrok dengan aparat keamanan, seprti dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), dan Semanggi II (22 24 September 1999). Adapula kasus lainnya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989 1999, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai.

Dalam satu seminar yang tertajuk Transitional Justice di Indonesia yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di Bandung beberapa bulan yang silam, muncul pemikiran bahwa penyuelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa lalu mutlak dilakukan jika Bangsa Indonesia ingin mewujudkan cita-cita demokrasi di masa depan. Karena itu, pemberian keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang medesak untuk dilakukan dalam eta transisi politik pada saat ini.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Enny Soeprapto, yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar itu mendefinisikan transitional justice sebagai masa peralihan dari sebuah rezim yang represif kepada bentuk pemerintahan demokratis. Negara-negara yang sedang menjalani proses tranformasi itu biasanya diwarnai oleh ciri-ciri tertentu seperti lembaga-lembaga yudikatif dan legislatif yang masih diisi oleh kekuatan lama dan adanya tuntutan dari para korban rezim masa lalu untuk mendapatkan keadilan. Menurut Enny lebih lanjut, salah satu ciri utama masyarakat yang hidup dibawah rezim otoriter dan represif adalah dilanggarnya hak hak asasi manusia dan kebebasan mendasar warga. Tidak heran jika tuntutan penegakan keadilan menjadi prioritas utama bnagsa yang bersangkutan . Dalam seminar itu antara lain terungkap bawa langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan itu adalah dengan meluruskan sejarah yang telah dibengkokan, mencegah kembalinya rezim or\toriter, dan penegakan aturan hukum (rule of law). Untuk saat ini, perhatian masyarakat terfokus pada penyelesaian masalah criminal justice (keadilan pidana) seperti kasus pelanggaran hak asasi manusia Aceh, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, maupun Timor-Timur.

2.3.2Latihan 1. Kapan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir, terdiri dari apa saja, dan sebutkan satu-satunya pasal yang berisi kewajiban. 2. Apa alasan Ir. Soekarno pada masa awal perdebatan hak asasi manusia menentang hak asasi manusia, Jelaskan..3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Apa yang dimaksud. Jelaskan. 4. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia, seperti tercantum dalam UU No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 5. Jelaskan tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia .

2.3.3Tugas

Studi Kasus : Lia Eden, Munir dan Lapindo. Dosen mengajukan tiga kasus yang berbeda, yaitu kasus Munir, Lia Eden, dan LapindoDosen dapat menjelaskan secara singkat posisi kasus yang akan dianalisis. Kemudian Dosen membagi peserta menjadi tiga kelompok.

Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk membangi kelompok, misalnyaberhitung 1-3, atau mengambil kertas yang sudah disiapkan antara angka 1-3. Setelah kelompok terbentuk, pengajar mendistribusikan kasus yang akan didiskusikan olehkelompok.

Dosen menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh kelompok, dan apa saja hasil yang diharapkan dari proses diskusi di kelompok. Perlu ada waktu pembatasan dalam diskusi di kelompok, misalnya 30 menit, atau 60 menit tergantung kebutuhan. Setelah diskusi kelompok, masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya, dan kelompok lain memberikan respon dan tanggapan. Pengajar mencatat poin-poin penting dalam proses presentasi dan diskusi, melakukan penajaman terhadap isu-isu tertentu, dan memberikan penjelasan terhadap isu-isu yang muncul dalam proses diskusi.

2.3.4Evaluasi/Kunci Jawaban1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan dan diproklamirkan tanggal 10 Desember 1948 terdiri dari Mukadimah dan Pasal-Pasal. 30 pasal berbicara tentang hak, hanya satu kata kewajiban, pada pasal 29 ayat 1, yaitu Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat di tempat ia mendapatkan kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya. Namun setiap kata hak sebenarnya identik dengan kata kewajiban.

2. Ir Soekarno menolak sama sekali faham individualisme, dimana menurut berliau hak asasi manusia berasal dari faham individualisme. Kutipan di bawah menunjukkan argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara: ... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam UndangUndang Dasar kita. ...Grondwet yang berisi droits de I homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya. 3. Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

4. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri, berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya. Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan: mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Dan guna mencapai tujuannya, Komnas Hak Asasi Manusia melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

2.4Rangkuman

Universal Declaration of Human Rights PBB lahir sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman, dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat. Dengan demikian, jelas bahwa berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah lahir dari paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir dari perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para penguasa. Jadi, sejarah hak asasi manusia erat hubungannya dengan sejarah usaha untuk menegakkan demokrasi di satu pihak, dan perjuangan kemerdekaan dipihak lain.

Dan Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.

Namun bukan berarti bahwa hak asasi manusia di Indonesia, dengan mudah mendapat pengakuan. Dari sejarah kita ketahui bahwa untuk di terapkannya hak asasi manusia perdebatan intensif terjadi dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan. Yaitu mulai dari tahun 1945, periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia, perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam hak asasi manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Dan pada periode ini pula telah dicapai konsensus untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia .

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaannya. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat, aturan ini memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau human rights defenders. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural dan institusional. Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara institusional, penegakan hak asasi manusia diperankan oleh sebuah Komisi Nasional hak asasi manusia serta Kementerian Hukum dan hak asasi manusia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar hak asasi manusia dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.

Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum. Selain perlu adanya kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya hak asasi manusia di Indonesia, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.

2.5Daftar Pustaka

A.B. Kusuma RM, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta , 2004

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Budi Saputro Pradono, Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Rabu 29 September 2009 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/09/upaya-penegakan-hak-asasi-manusia-di.html

http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf

Ihza Mahenda Yusril 1996, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Makalah pada Simposium Nasional Hak-hak Azasi Manusia dalam Agenda Pendidikan Bangsa, Jakarta: ICMI.

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma

Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia 2006, Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Presiden Habibie, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-2003

Undang-Undang No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia

MODUL 2

DEMOKRASI DI INDONESIA

2.1 Pendahuluan

Secara terminologis demokrasi mempunyai pengertian antara lain, menurut Yosefh A Schmer, Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsiptrias politicayang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsipchecks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusanlegislatifdibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui prosespemilihan umum legislatif sesuai hukumdanperaturan yang berlaku.

Pemilu untuk memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat di dalam negara demokrasi, meskipun suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi, sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.

2.2 Tujuan Pembelajaran Khusus

Tujuan pembelajaran khusus dari dari Modul 1 tentang Demokrasi di Indonesia antara lain : a. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.b. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi c. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, yang berkaitan dengan persoalan demokrasi.

2.3 Kegiatan Belajar

2.3.1 Materi Ajar II

2.3.1.1 Konsep Demokrasi

Pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi yang diketahui oleh hampir semua orang, adalah sebuah bentuk kekuasaan dari oleh /untuk rakyat. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani dmokrata atau kekuasaan rakyat, yang dibentuk dari kata dmos "rakyat" dan Kratos "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Beberapa pakar Indonesia memberikan pengertian tentang Demokrasi sebagai berikut:

Sri Soemantri, mengatakan: Demokrasi adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia

Pamudji, mengatakan: Demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan Yang Maha Esa, Yang Berperikemanusiaan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Meskipun menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Namun kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktek, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukanlah rakyat keseluruhan, namun hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak-hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yag berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan.

Dengan demikian demokrasi secara sederhana, berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi berarti suatu system pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara pengisian jabatan jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan mereka memiliki hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.

Prinsip-prinsip Demokrasi

Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang dikenal dengan soko guru demokrasi. Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah: 1. Kedaulatan rakyat;2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;3. Kekuasaan mayoritas;4. Hak-hak minoritas;5. Jaminan hak asasi manusia;6. Pemilihan yang bebas dan jujur;7. Persamaan di depan hukum;8. Proses hukum yang wajar;9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas pokok Demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu: 1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Dengan ciri-cirinya suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut. 1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Unsur-unsur Budaya Demokrasi

Semua kebebasan tidak bisa disamakan dengan demokrasi, atau denga kata lain demokrasi bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung makna yang luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa memperhatikan orang lain, bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif menurut sulteng (2006:32) budaya demokrasi mengandung unsur-unsur antara lain: kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghormati kejujuran, menghormati penalaran, dan keadaban.

1. Kebebasan Kebebasan diartikan sebagai keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak