guillain barre syndrome
TRANSCRIPT
PENUGASAN BLOK KEGAWATDARURATANGUILLAIN BARRE SYNDROME
Disusun Oleh :
Nama : Nor Roudhoh
Tutorial Kelompok
Tutor : dr. Fajar Alfa Saputra
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2012
A. IDENTITAS
Nama Pasien : Sdr. A
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Yogyakarta
B. ANAMNESA
Keluhan Utama : Kelemahan pada kedua kaki dan tidak mampu berdiri
Riwayat Penyakit Sekarang : Kelemahan pada empat anggota gerak disertai lidah kaku,
kelemahan berawal dari kedua tungkai sehingga sulit digerakkan dan
pasien tidak mampu berdiri, kondisi ini semakin lama semakin
memberat, pasien sulit bicara dan kesulitan menelan makanan. Pasien
juga mengeluhkan sulit bernafas.
Anamnesis sistem
Sistem Saraf Pusat : dalam batas normal (dbn)
Sistem Kardiovaskuler : dbn
Sistem Respirasi : sesak napas
Sistem Pencernaan : diare (+)
Sistem Urogenital : mengompol (+)
Sistem Muskuloskeletal : kelemahan pada 4 anggota gerak
Sistem Integumentum : dbn
Riwayat Penyakit dahulu : Sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami diare lebih dari 7
kali dalam sehari. Pasien memiliki riwayat apendisitis berulang dan
telah di operasi 2 tahun yang lalu. Riwayat batuk lama kambuhan dan
riwayat thypoid 3 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit keluarga : -
Kebiasaan, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan : kemungkinan higienitas pasien kurang,
konsumsi makanan bergizi juga adpat kurang.
Lingkungan pasien kemungkinan kurang
bersih.
C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Lemah
Kesadaran : Compos mentis GCS : E4 V2 M6
Vital sign : Tekanan darah : 90/60 mmHg
Denyut Nadi : 60 x/menit
Pernapasan : 12 x/menit
Suhu : 37,4 0C
Pemeriksaan Kepala : Anemis (-), ikterik (-), diaphoresis (-)
Pemeriksaan Leher : trakhea midline, limfonodi tidak teraba, JVP 5+2, thyroid tidak
teraba
Pemeriksaan Thorax : irama jantung dapat irregular, bradikardi, murmur (-) gallop (-),
terdapat gambaran retraksi dada yaitu pernapasan dengan otot bantuan
inspirasi maupun ekspirasi, napas tampak melambat.
Pemeriksaan Abdomen : kesan distensi (-), peristaltik (+) meningkat, nyeri tekan (-) hepar
lien tidak teraba.
Pemeriksaan Muskuloskletal : Kedua kaki lemah, tidak mampu berdiri, gerakan empat
ekstremitas terbatas yang hanya dapat menggerakkan ke kanan
dan kiri pada ekstremitas atas, dan hanya kontraksi otot pada
ekstremitas bawah.
Status Neurologis : Biasanya ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Pada kasus ini terdapat parase N.VII kanan dan kiri perifer,
dan parase N.XII kanan dan kiri perifer, reflek fisiologis (reflek
tendon dalam dan Achilles) menurun bahkan menghilang, tidak
ditemukan reflek patologis.
Dari anamnesis terdapat beberapa kekurangan yaitu :
a. Identitas pasien kurang lengkap
b. Kebiasaan sosial, ekonomi dan lingkungan tidak ada
Dari pemeriksaan fisik :
a. Pemeriksaan kepala tidak dinilai kondisi mata dan kelopak mata, apakah terdapat kelemahan
disana.
b. Pemeriksaan thorax apakah terdapat irama jantung yang irregular, gambaran penggunaan
otot pernapasan tambahan, inspirasi dan ekspirasi normal atau melambat.
c. Pemeriksaan integumentum apakah terdapat rasa seperti ada yang bergerak di bawah kulit.
d. Pemeriksaan neurologi apakah terdapat rasa nyeri pada daerah yang mengalami kelemahan.
D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN HARAPAN HASIL
1. Cairan serebrospinal (CSS). Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya
kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya
terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 / mm3 4,7,9) pada kultur LCS tidak ditemukan
adanya virus ataupun bakteri 1)
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Manifestasi
elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi
masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya
respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik,
serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari
60% normal.
3. Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada
hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang
bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS
4. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan
blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang
memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan
potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf
motorik.
5. Pemeriksaan darah pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase
aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala.
(pada miopati dapat ditemukan mioglobin serum yang meningkat)
6. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat dimyelinasi saraf pada kultur
jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
7. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
(pada miopati dapat ditemukan tanda hipokalemia yang perlu dicari pada EKG seperti :
peningkatan gelombang PR, gelombang U, QRS lebar)
8. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
9. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten;
yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat
terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
10. Urinalisis : untuk menyingkirkan diagnosis banding.
( pada miopati akan ditemukan mioglobin dan sedikit sel darah merah)
11. Pemeriksaan feses : untuk mengetahui apakah masih terdapat C.Jejuni dalam saluran cerna
pasien.
E. DIAGNOSA KERJA DAN DD
Diagnosa Kerja : Guillain Barre Syndrome
Diagnosa Banding : Myastenia Gravis, Myopati, Polimiolitis
F. PENATALAKSANAAN
Meski tanpa adanya gejala klinis distres pernapasan, namun ventilasi mekanik tetap
dibutuhkan pada pasien dengan minimal 1 gejala mayor atau 2 gejala minor.
Gejala mayor : hipercarbia (pCO2 48mm Hg), hipoksemia (pO2 mm Hg), dan kapasitas vital
kurang dari 15 ml/kgbb. Sedangkan kriteria minor adalah : batuk yg tidak efisien, gangguan
mengunyah, dan atelektasis. Sesuai dengan gejala yang muncl pada pasien A maka terapi
mekanis dibutuhkan karen telah terdapat 2 kriteria minor.
Juga akibat kesulitan menelan maka pasien membutuhkan Nasogastric tube (NGT)
Monitoring disfungsi jantung dan paru-paru
Elektrokardiografi, tekanan darah, oximetri nadi untuk saturasi oxihemoglobin,
kapasitas vital, dan kemampuan menelan harus di monitor pada pasien dengan kondisi
berat, dengan pengecekan setiap 2-4 jam jika penyakit bersifat progresif san setiap 6-
12 jam jika penyakit bersifat stabil.
Pencegahan Emboli Pulmo
Penggunaan heparin subkutan sebagai profilaksis dan kaos kaki kompresi
direkomendasikan untuk pasien dewasa yang tidak dapat berjalan.
Immunoterapi
Imun globulin intravena atau pertukaran plasma harus diberikan pada pasien tidak
dapat berjalan tanpa bantuan alat.
Jika pasien dengan status yang semakin memburuk setelah perbaikan awal atau
stabilisasi, pengobatan berulang dengan imunoterapi dapat dipertimbangkan.
IVIg baik diberikan dalam 2 minggu semenjak onset muncul dengan dosis 2g/kgbb
selama 5 hari. Ia bekerja untuk menetralisir antibodi patogenik dan inhibisi terhadap
aktivasi komplemen yang dimediasi autoantibodi agar terjadi penururnan kerusakan
syaraf dan perbaikan klinis yang lebih baik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahman dan Ahmed (2010), efektifitas
immunoglobulin intravena dalam penatalaksaan GBS sangatlah baik.
Terdapat perbaikan setelah pengobatan dengan IVIg. Perbaikan tersebut tampak pada
fungsirespirasi, tonus otot, kekuatan otot, fungsi autonom setelah 15, 30, dan 90 hari
pengobatan pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Funsi respirasi diperiksa dengan menggunakan kapasitas vital paksa (FVC) dan kecepatan
respirasi.
Perbaikan pada kekuatan otot setelah 90 hari pengobatan menunjukkan 8 (40%) kasus dan 5
(25%) kontrol mengalami perbaikan ke grade IV bahkan 3 kasus mengalami perbaikan ke
grade V.
Artinya terdapat perbaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Tonus otot juga membaik setelah 90 hari pengobatan. Setelah 90 hari, tonus otot pada 8 (40%)
kelompok kontrol dan 18 (90%) kelompok kasus menjadi kembali normal. Sehingga
pemberian IVIg pada kasus GBS sangatlah penting.
Plasmaparesis (pertukaran plasma)
Pada plasmaparesis yang dilakukan adalah pengambilan darah utuh dari vena lengan
pasien dan dipisahkan dengan mesin yang sudah ditambahkan dengan antikoagulan,
bagian yang cair atau plasma diambil dari darah dan diganti, kemudian darah yang
hanya mengandung sel darah merah, sel darah putih dan platelet ini ditambahkan
dengan cairan sesuai kebutuhan di transfusikan kembali ke pasien. Cara ini diketahui
dapat menyingkirkan antibodi yang bersirkulasi dan aktif pada GBS.
Plasma diketahui sebagai pors darah yang menyebabkan sela darah merah, sel darah
putih dan platelet dapat bersirkulasi. Plasma terdiri dari banyak cairan dimana partikel
kimia dapat dilarutkan.
Plasma juga memungkinkan terjadinya komunikasi antara zat-zat kimia dengan bagian
tubuh lain dengan membawa mineral, hormon, vitamin dan antibodi.
Beberapa penyakit khususnya yg bersifat autimun membuat substansi yang
bersirkulasi ke seluruh tubuh pada plasma darah. Dan substansi tersebut dapat
membuat plasma semakin kental sehingga aliran semakin lambat.
Rehabillitasi
Rehabilitasi diperlukan untuk menyembuhkan nyeri yang ada dan mengembalikan
fungsi fisiologi pada anggota gerak pasien.
G. PEMBAHASAN
Berdasarkan pemaparan data diatas maka diagnosa banding kami adalah Guillain Barre
syndrome, Myastenia Gravis dan Myopati. Beberapa perbedaan yang dapat menyingkirkan
diagnosa banding seperti :
1. Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome adalah kondisi inflamasi yang mengenai sistem syaraf
perifer yang bersifat akut yaitu dengan gambaran arefleksia yang total yang terjadi
dalam waktu dari 4-6 minggu semenjak terjadinya hiporefleksia dan kondisi ini
dimediasi oleh sistem imun. (Burns et al, 2008)
Pada Guillain Barre Syndrome kondisinya terlokalisir pada syaraf perifer
dibandingkan dengan batang otak, corda spinalis, cauda equina, maupun otot. Adanya
gejala khas GBS yaitu parestesi (suatu kondisi yang abnormal disaat seseorang
merasakan sensasi seperti terbakar, baal, geli, gatal dan seperti ada yang menjalar di
kulit pada tubuhnya) yang dimulai dari distal ke proksimal meningkatkan diagnosa kami
pada GBS.
Selain itu juga gejala lain yang dapat kami temukan adalah : dimulai kelemahan
anggota gerak bagian bawah yang bersifat simetris, menjalar ke atas sehingga
menyebabkan kelemahan kedua tangan, kelemahan pada otot wajah, lidah, dan
kelemahan pada otot pernapasan (Pritchard, 2010)
2. Myastenia Gravis
Myastenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun neuromuskular kronik yang
dikarakteristikkan oleh berbagai derajat kelemahan otot skelet (volunter) tubuh.
Gambaran utama MG adalah kelemahan otot yang meningkat selama aktivitas dan
membaik saat istirahat. Beberapa otot seperti yang mengontrol pergerakan mata dan
kelopak mata, ekspresi wajah, mengunyah, bicara dan menelan dapat terkena. Bahkan
otot pernapasan dan leher serta pergerakan anggota tubuh juga dapat terpengaruh.
Pada MG, antibodi memblok, mengubah dan menghancurkan reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction sehingga mencegah terjadiny kontraksi otot.
Antibodi ini dihasilkan oleh sistem imun diri sendiri sehingga disebut sebagai autoimun.
Gejala inisial pada 40% kasus adalah kelemahan otot mata dan kelopak mata.
Sehingga menyebabkan kondisi pandangan ganda (diplopia) dan jatuhnya kelopak
mata (ptosis). Dua gejala ini biasanya muncul pada 85% pasien MG.
Kelemahan bibir, mulut, lidah dan tenggorokan dapat menyebabkan diartria (bicara tidak
jelas) dan disfagia (kesulitan menelan).
Aspirasi makanan ke saluran napas dan perut menyebabkan pneumonia , yang dapat
mempresipitasi kegagalan napas. (emedicine.com)
3. Myopati
Miopati adalah penyakit pada otot yang tidak berhubungan dengan inervasi atau
neuromuskular junction. Gejala yang umum muncul adalah kelemahan otot, gangguan
fungsi pada aktivitas sehari-hari dan nyeri otot namun jarang.
Ditemukan adanya urin yang gelap yang menunjukkan myoglobinuria.
Paralisis (kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada suatu bagian akibat lesi
pada mekanisme syaraf atau otot) yang bersifat periodik merupakan kelompok penyakit
yang menyebabkan pasien mengalami kelemahan akut selama shift kalium
menyebabkan disfungsi otot. Defek genetic kanal ion natrium pada membrane sel
bertanggung jawab untuk paralisis yang dapat bertahan selama beberapa jam hingga
hari.
Gejala yang umumnya muncul adalah : kelemahan otot proksimal yang simetris,
malaise, lemah, urin gelap dan atau demam, tidak ada keluhan sensorik atau
parestesia, atrofi dan hiporefleksia merupakan temuan lambat pada sebagian besar
pasien dengan miopati. Reflek tendon dalam (DTR) dan persepsi sensorik dalam batas
normal.
H. SUMBER PUSTAKA
Burns, Ted M, MD. Guillain Barre Syndrome, Semin Neurol 2008; 28(2) :152-167
Chaudry F., Gee KE., Vaphiades MS., Biller J., Jay W. GQ1b antibody testing in Guilaain
Barre Syndrome and variants. Semin ophthalmol 2006; 21:223-227
Nagashima T., Koga M., Odaka M., Hirata K., Yuki N. Clinical correlates of serum anti GT1a
igG autoantibodies, J Neurol Sci 2004; 219:139-145
Pritchard jane. Guillain Barre Syndrome, Clinical Medicine 2010, Vol 1, No 4: 399-401
Rahman MM., Ahmed K. Efficacy of intravenous immunoglobulin in the management of
Guillain Barre Syndrome. J Bangladesh Coll Phys 2010; 28:81-85
Van Doorn PA., Ruts L., Jacobs B. Clinical Features, pathogenesis, and treatment of Guilaain
Barre Syndrome. Lancet Neurol 2008; 7;939 50.
Yuki Nobuhiro, M.D., Hartung Hans P, M.D. Guillain Barre Syndrome, N Engl J Med 2012;
366:2294-304