gea dan ckd

10
GASTRO ENTERITIS AKUT DEFINISI Gastroenteritis merupakan keadaan non-spesifik untuk berbagai macam keadaan patologis di jalur gastrointestinal. Manifestasi utama dari gastroenteritis adalah diare (Diskin, 2009). Diare akut merupakan diare yang terjadi selama kurang dari 14 hari (Spruill & Wade, 2008). ETIOLOGI Agen infeksius biasanya menjadi penyebab GEA. Agen ini menyebabkan diare dengan penempelan, invasi mukosa, produksi enterotoksin dan atau produksi sitotoksin (Diskin, 2009). Diare akut dapat juga dapat disebabkan oleh intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat- obatan, dan juga faktor psikis (Zein, 2004) PATOFISIOLOGI Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi diare akut atas mekanisme Inflamatory, Non inflammatory, dan Penetrating. Inflamatory diarrhea akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma Disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah (disebut juga Bloody diarrhea). Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear. Mikroorganisme penyebab seperti, E.histolytica, Shigella, Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus, C.difficile, dan C.jejuni. Non Inflamatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal, Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.

Upload: muhammad-arif

Post on 25-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Data kedokteran

TRANSCRIPT

  • GASTRO ENTERITIS AKUT

    DEFINISI

    Gastroenteritis merupakan keadaan non-spesifik untuk berbagai macam keadaan

    patologis di jalur gastrointestinal. Manifestasi utama dari gastroenteritis adalah diare (Diskin,

    2009). Diare akut merupakan diare yang terjadi selama kurang dari 14 hari (Spruill & Wade,

    2008).

    ETIOLOGI

    Agen infeksius biasanya menjadi penyebab GEA. Agen ini menyebabkan diare dengan

    penempelan, invasi mukosa, produksi enterotoksin dan atau produksi sitotoksin (Diskin, 2009).

    Diare akut dapat juga dapat disebabkan oleh intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-

    obatan, dan juga faktor psikis (Zein, 2004)

    PATOFISIOLOGI

    Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah pembagian diare akut berdasarkan

    proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi diare akut atas mekanisme Inflamatory,

    Non inflammatory, dan Penetrating.

    Inflamatory diarrhea akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi

    sindroma Disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah (disebut juga Bloody diarrhea).

    Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri

    seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada

    pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis

    didapati leukosit polimorfonuklear. Mikroorganisme penyebab seperti, E.histolytica, Shigella,

    Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus, C.difficile, dan C.jejuni.

    Non Inflamatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus bagian

    proksimal, Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan

    volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan

    abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat

    timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan

    tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae,

    Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.

  • Penetrating diarrhea, lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga

    Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada pemeriksaan

    tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear. Mikrooragnisme penyebab biasanya S.thypi,

    S.parathypi A,B, S.enteritidis, S.cholerasuis, Y.enterocolitidea, dan C.fetus.

    MANIFESTASI KLINIS

    Beberapa manifestasi klinis dari GEA sbb:

    1. Diare, peningkatan jumlah feses dengan konsistensi yang menurun/encer, merupakan

    manifestasi utama dari GEA.

    2. Panas, adanya panas (dengan demam maupun tidak) secara umum menunjukkan adanya

    organisme invasif sebagai penyebab diare.

    3. Muntah, merupakan tanda adanya obstruksi usus

    4. Nyeri perut, berkaitan dengan lokasi infeksi karena kolonisasi bakteri

    5. Kram, berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit (electrolic imbalance)

    6. Tenesmus & Fecal urgency, dorongan konstan untuk defekasi

    (Diskin, 2009)

  • PENATALAKSANAAN TERAPI

    Terapi untuk GEA merupakan terapi untuk diare akut sebagai manifestasinya. (Farthing, 2008;

    DuPont, 1997)

    Terapi Cairan dan Elektrolit

    Semua pasien yang mengalami diare membutuhkan evaluasi medik, terapi cairan dan elektroli

    harus menjadi bagian dari penanganan.

    Terapi ini merupakan yang paling penting untuk mencegah atau menghindari dehidrasi. Cairan

    elektrolit mengandung Na 60-90 mEq/L, K 20 mEq/L, Cl 80 mEq/L, Sitrat 30 mEq/L, dan

    glukosa 20 g/L.

    Diet yang tepat harus dibeikan sebagai pengganti energi yang terbuat dan memfasilitasi

    perbaruan enterosit. Pemberian susu dihindari untuk menghindari lebih parahnya diare karena

    intoleransi laktosa.

    Terapi Non Spesifik

    Obat yang digunakan pada terapi ini digunakan untuk mengatasi simptomatik diare, tidak

    mengatasi penyebab diare.

    Obat antimotilitas seperti Loperamide merupakan pilihan untuk diare pada dewasa (4-6mg/ hari).

    Loperamide menghambat peristaltik usus. Loperamide tidak dapat digunakan pada inflamatory

    diarrhea.

    Obat anti sekresi seperti Bismuth subsalisilat digunakan untuk pasien yang mengalami diare

    dengan keluhan mual dan muntah

    Penggunaan adsorben seperti Kaolin-Pectin, Karbon aktif, dan Attapulgite terbukti kurang kuat

    untuk mengatasi diare akut pada dewasa.

    Terapi Antimikroba

    Antimikroba digunakan untuk membunuh kuman yang telah dibuktikan dari sampel feses.

  • o Kolera

    Terapi pilihan pertama: Doxycycline 300mg sekali atau Tetrasiklin 500 mg sekali sehari selama

    3 hari

    Alternatif dapat digunakan Azithromycin atau Ciprofloxacin

    o Shigellosis

    Terapi pilihan pertama Ciprofloxacin 500mg 2dd1 selama 3 hari. Alternatif dapat digunakan

    Pivmecillinam 400mg 4dd1 selama 5 hari.

    o Amoebiasis

    Metronidazole 750mg 3dd1 selama 5 hari, dapat diperpanjang selama 10 hari bila parah.

    o Giardiasis

    Metronidazole 250mg 3dd1 selama 5 hari

    o Campylobacter

    Digunakan Azithromycin

    II. CHRONIC KIDNEY DISEASE

    DEFINISI

    Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu sindroma klinis dimana terjadi penurunan

    fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Penurunan fungsi ginjal ini berjalan secara

    kronis dan progresif sehingga pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (Tjokroprawiro et

    al, 2007). CKD juga merupakan kelanjutan dari gagal ginjal akut yang tidak merespon terhadap

    terapi yang diberikan. Gagal ginjal akut tidak memiliki definisi yang pasti. Kriterianya meliputi

    salah satu atau kombinasi dari perubahan nilai absolut serum kreatinin atau pengeluaran urin

    sehari. Definisi yang umum adalah peningkatan serum kreatinin lebih dari 1,0 mg/dl. Gagal

    ginjal akut ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus yang cepat (dalam beberapa jam

    sampai beberapa minggu) dan penimbunan produk buangan nitrogen (Brandy and Brenner,

    2000).

  • ETIOLOGI

    Faktor susceptible

    Individu dengan faktor susceptible mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya penyakit ginjal,

    meskipun faktor tersebut tidak terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor

    tersebut antara lain : pertambahan usia, penurunan massa ginjal dan berat lahir rendah, ras/etnik,

    riwayat keluarga, pendapatan dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.

    Faktor inisisasi

    Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal, meliputi : diabetes

    melitus, hipertensi, penyakit autoimun, Polycystic Kidney Disease, toksisitas obat, infeksi

    saluran kemih dan obstruksi saluran kemih bawah.

    Faktor progresif

    Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang dikaitkan dengan

    penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal akibat faktor inisiasi, yang meliputi : glikemia,

    peningkatan tekanan darah, merokok dan proteinuria (Joy et al, 2008).

    KLASIFIKASI

    CKD telah diklasifikasi menjadi beberapa tahapan atau stadium untuk mengetahui tahap

    kerusakan yang telah dialami.

    PATOFISIOLOGI

    Berbagai faktor etiologi menyebabkan kerusakan ginjal dengan cara yang beragam.

    Nefropati yang progresif akan mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal yang ireversibel,

  • dipengaruhi oleh faktor utama seperti massa nefron, glomerular capillary hypertension dan

    proteinuria. Adanya faktor resiko inisiasi mengakibatkan kehilangan massa nefron. Nefron yang

    masih tersisa mengalami hipertrofi sebagai kompensasi kehilangan fungsi renal trersebut. Pada

    tahap lebih lanjut, hipertrofi ini menjadi maladaptive dan berkembang kearah hipertensi

    glomerular, yang kemungkinan dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II, vasokontriktor

    poten memiliki efek lebih kuat terhadap arteriol eferen, yang menyebabkan peningkatan tekanan

    dalam kapiler glomerulus. Terjadinya hipertensi intraglomerular umumnya memiliki korelasi

    dengan hipertensi arteri sistemik. Percobaan pada hewan membuktikan bahwa tingginya tekanan

    intraglomerular berdampak pada fungsi permeabilitas glomerulus sehingga terjadi albuminuria

    dan proteinuria (Joy et al., 2008).

    Sindroma ini berhubungan dengan respon fungsional terhadap hipoperfusi ginjal dan

    cepat sembuh sejalan dengan adanya perbaikan aliran darah ke ginjal dan tekanan ultrafiltrasi

    glomerulus. Hipoperfusi yang berat ini juga dapat mengakibatkan cedera parenkim ginjal akibat

    iskemi dan azotemia renal intrinsic (Brandy and Brenner, 2000).

    Manifestasi ARF didasarkan pada komponen organ yang terlibat. Komponen tersebut

    diantaranya vaskularisasi (jantung), ginjal (glomerulus tubul) dan GIT (intestinum). ARF dapat

    dikelompokkan menjadi empat macam: prerenal (diakibatkan dari penurunan perfusi ginjal),

    intrinsik (diakibatkan dari struktur ginjal yang cedera), postrenal (diakibatkan dari obstruksi

    aliran urin), dan fungsional (diakibatkan dari perubahan hemodinamik pada tingkatan

    glomerular) (Joy et al., 2008). Kerusakan ginjal akut dapat bersifat tetap pada sebagian atau

    keseluruhan fungsi ginjal, namun kerusakan tersebut dapat kembali normal jika ginjal dapat

    memperbaiki diri.

    Konsentrasi garam urin yang tinggi dan pH urin yang rendah tampak meningkatkan

    resiko gagal ginjal akut intrinsik. Pada hiperurikosuri dan hiperoksaluri yang berat dapat

    menyebabkan obstruksi intratubulus dan ureter yang kemudian berkembang mengarah ke gagal

    ginjal akut (Joy et al., 2008). Nefropati asam urat akut secara khas juga dapat menyebabkan

    gagal ginjal akut. Obstruksi akut pada arteri renalis atau vena renalis (misalnya trombosis) dapat

    menyebabkan penurunan GFR yang mendadak jika obstruksi ini terjadi bilateral atau unilateral

    pada pasien fungsi ginjal soliter. Pasien dengan aterosklerosis stadium lanjut dapat berkembang

    menjadi gagal ginjal akut secara spontan setelah trauma atau setelah manipulasi aorta ataupun

    arteri renalis yang disebabkan oleh embolisasi kristal kolesterol pada vaskularisasi ginjal. Kristal

  • kolesterol dalam arteri yang berukuran kecil atau sedang akan mengundang reaksi fibrosis atau

    sebuah sel raksasa pada dinding pembuluh dengan penyempitan atau obstruksi lumen (Brandy

    and Brenner, 2000).

    MANIFESTASI KLINIS

    Kemunduran fungsi ginjal menyebabkan produksi dan kandungan urin tidak

    normal. Pada CKD, mengakibatkan terjadinya proteinuria akibat permeabilitas kapiler

    glomerulus meningkat sehingga protein ditemukan dalam urin. Selain itu terjadi uremia akibat

    penumpukan metabolisme protein dalam darah karena tidak dapat diekskresi. Kondisi uremia

    terlihat dari kadar BUN dan kreatinin serum tinggi. Kadar normal BUN 10-20 mg/dl dan SCr

    rata-rata 0,5-1,2 mg/dl (Pagana & Pagana, 2002). Gejala uremia antara lain mual, muntah, kejang

    bahkan koma.

    Komplikasi penyakit gangguan ginjal sangat kompleks mengingat banyaknya fungsi

    ginjal. Hambatan ekskresi natrium dan air menyebabkan hipertensi, dan udem. Asidosis

    metabolik juga sering terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan asam-

    asam hasil pencernaan dan metabolisme (Ganong, 2010). Abnormalitas lipid nampak pada

    peningkatan LDL, penurunan HDL (< 35 mg/dl) dan peningkatan konsentrasi trigliserida.

    Kemudian terganggunya pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan pembentukan sel

    darah terhambat sehingga pasien mengalami anemia. Ketidakseimbangan kalsium dan

    metabolisme tulang dapat dialami oleh pasien CKD akibat beberapa sebab, yaitu pembentukan

    1,25-dihidroksi vitamin D menurun menyebabkan penurunan kalsium serum, kemudian

    overproduksi PTH, asidosis metabolik, dan hambatan absorbsi kalsium di GIT. Hiperfosfatemia

    berperan mengakibatkan hipokalsemia yang kemudian menjadi penyebab hiperparatiroid

    sekunder. Peningkatan PTH menyebabkan deplesi kalsium tulang yang kemudian dapat

    berakibat osteoporosis pada CKD. Keseimbangan kalium pada CKD juga terganggu karena

    asidosis metabolik dan penurunan ekskresi kalium sehingga menyebabkan hiperkalemia.

    PENATALAKSANAAN TERAPI

    Tujuan terapi pada pasien CKD adalah mencegah progresivitas penyakit ginjal yaitu

    dengan pengawasan terhadap progresifitas CKD meliputi pemeriksaan teratur untuk menentukan

  • penurunan GFR, konfirmasi keberhasilan terapi, deteksi dan penanganan komplikasi yang akan

    memperparah CKD (Joy et al., 2008).

    Terapi Infeksi

    Masalah utama dalam memilih obat untuk terapi infeksi saluran kemih pada pasien

    dengan kelainan ginjal adalah bagaimana memperoleh konsentrasi obat yang adekuat dalam

    urine tanpa menyebabkan toksisitas sistemik. Obat yang ideal seharusnya memiliki kriteria tidak

    toksik walaupun pada konsentrasi serum yang tinggi dan terekskresi dalam keadaan tidak

    berubah (tidak dimetabolisme) di urine, dan dieliminasi melalui sekresi tubular ginjal. Namun

    belum ada obat yang memenuhi semua kriteria ini (Fish and Sahai, 1995).

    Terapi Anemia

    Untuk keberhasilan terapi dan memaksimalkan respon eritropoetin, maka terapi ini harus

    mampu menjaga jumlah besi, asam folat, dan vitamin B12 dalam darah, mengkoreksi adanya

    anemia yang bukan disebabkan adanya kerusakan fungsi ginjal, dan memperhatikan rute

    pemberian eritropoetin sesuai dengan tujuan terapi yang diinginkan (Krauss and Hak, 2000).

    Terapi Hiperkalemia

    Terdapat tiga cara untuk mengatasi hiperkalemia. Yang pertama adalah pemberian agen

    antagonis terhadap efek hiperkalemia pada jantung, yaitu kalsium. Yang kedua adalah pemberian

    agen yang memindahkan kalium dari ekstra sel (dalam plasma) menuju intra sel. Terdapat tiga

    agen yang dapat digunakan: insulin dan glukosa, agonis -2, dan natrium bikarbonat. Yang

    ketiga adalah penggunaan agen yang meningkatkan eliminasi kalium. Sodium polystyrene

    sulfonate yang merupakan resin penukar kation yang akan mengikat dan menghambat absorpsi

    kalium di usus besar kemudian meningkatkan ekskresi melalui feses (Lau & How, 1995).

    Terapi Dislipidemia

    HMGCo reductase inhibitor merupakan golongan obat yang paling efektif digunakan

    pada pasien CKD yang mengalami peningkatan kadar LDL dan kolesterol total. Turunan asam

    fibrat akan lebih efektif menurunkan kadar lemak yang diakibatkan meningkatnya trigliserida

    (Krauss and Hak, 2000).

  • Terapi Hipertensi

    Pada CKD, hipertensi dapat menjadi penyebab maupun manifestasi klinis yang muncul.

    Sebagian besar penderita CKD mengalami hipertensi karena retensi air dan garam juga karena

    stimulasi pada sistem renin angiotensin aldosteron (Ganong, 2010). Obat yang sering digunakan

    untuk mengatasi hipertensi pada pasien CKD adalah diuretik furosemid dan ACEI.

    Terapi Hiperurisemia

    Pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik, terapi hiperurisemia adalah pengaturan

    pemasukan cairan untuk mengatur konsentrasi asam urat dan menjaga pH urine 6-6,5. Namun

    apabila tidak berhasil dan pasien tidak dapat mentoleransi cairan maka kolkisin dan allopurinol

    dapat diberikan (Mc Nally, 1998). Allopurinol merupakan terapi obat pilihan pada pasien

    hiperurisemi yang mempunyai riwayat batu ginjal atau gangguan renal (Schwinghammer, 2006)

    DAFTAR PUSTAKA

    Brandy, H.R. and Brenner, B.M., 2000. Gagal Ginjal Akut. In: Isselbacher J. (Eds.), Harrison Prinsip-

    Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: EGC.

    Diskin, Arthur. 2009. Gastroenteritis. www.medscape.com diakses 11/06/2010

    DuPont, Herbert L. 1997. Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults. In: The American Journal

    of Gastroenterology. The American College of Gastroenterology.

    Farthing, M. 2008. World Gastroenterology Organisation Practice Guideline: Acute Diarrhea.

    World Gastroenterology Organisation

    Fish, D.N. and Sahai, J.V., 1995. Urinary Tract Infections, In: Koda-Kimble, M.A. and Young, L.Y.

    (Eds.), Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 6th

    edition, Vancouver: Applied

    Therapeutics Inc.

    Ganong, W.F., 2010. Review of Medical Physiology, 23rd

    edition, San Fransisco: Appleton and Lange.

    Hassan, Yahya., Abdul Aziz, Noorizan., Al-Rumahi, Rowa. 2007. Handbook of Medication Dosing ini

    Renal Failure for Healthcare Professional. School of Pharmaceutical Sciences, Universiti

    Sains Malaysia

  • Joy, M.S., Kshirsagar, A., and Franceshini, N., 2008. Chronic Kidney Disease: Progression-

    Modifying Therapies. In: Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th

    edition. The

    McGraw-Hill Companies, Inc

    Krauss, A.G. and Hak, L.J., 2000. Chronic Renal Disease, In: Herfindal, E.T. and Gourley, D.R. (Eds.),

    Textbook of Therapeutics Drug and Disease Management, 7th

    edition, Philadelphia: Lippicott

    William and Wilkins

    Lacy, Charles F., et al, 2009, Drug Information Handbook, 18th

    Edition, Lexi Comp Inc, North

    America

    Lau, Alan & How, Priscilla. 2009. Fluid and Electrolyte Disorders. In: Koda-Kimble, Mary Anne.

    Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins

    Mc Nally, K., 1998. Chronic Renal Disease, In: Hughes, J., Donelly, R., and Chatgilaou, G.J. (Eds.),

    Clinical Pharmacy, Australia: Macmilland Education Australia PTY Ltd.

    Pai, A.Barton & Conner, T.A. 2009. Chronic Kidney Disease. In: Koda-Kimble, Mary Anne. Applied

    Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins

    Pagana, K.D. & Pagana, T.J. 2002. Mosbys Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 2nd ed. Missouri: Mosby, Inc.

    Panitia Medik Farmasi dan Terapi. 1992. Pedoman Penggunaan Antibiotik Rumah Sakit Umum

    Daerah Dokter Soetomo. Surabaya

    Schwinghammer, T.L., 2006. Bone and Joint Disorders, in: Pharmacotherapy A Pathophysiologic

    Approach 6th

    edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

    Spruill,J.William & Wade, E.William. 2008. Diarrhea, Constipation, and Irritable Bowel Syndrome

    in: Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th

    edition. The McGraw-Hill Companies,

    Inc

    Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B., Santoso, D., Soegiarto, G., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

    Surabaya : Airlangga University Press.

    Zein, Umar. 2004. Diare Akut Infeksius Pada Dewasa. Bag. Ilmu Penyakit Dalam, Universitas

    Sumatera Utara.