gagal ginjal kronik
TRANSCRIPT
Makalah Program Based Learning
Henderina Welmince Doko Rehi (10.2009.005)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No.6, Jakarta 11510
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Tn. T 60 tahun, diantar keluarganya dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 6 jam
yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mulai merasakan sesak sejak 2 hari lalu. Muntah 4x, 1
hari yang lalu. Pasien saat ini tampak bingung, riwayat kencing manis dan darah tinggi di ketahui
sejak 25 tahun lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga dirasa bengkak sejak 3 hari yang
lalu.
PF: TB: 170cm, BB 66kg, keadaan umum : TD 150/90, N:90x/menit, RR: 18x/menit, suhu
37,2. Thoraks Cor: BJ I-II normal, Pulmo: rongki basah kasar pada kedua lapangan paru,
abdomen: bising usus + normal, nyeri tekan -, edem +.
Lab: Hb 8g/dl, L:7900/ul, T: 334000/ul, Ht: 26%. Kreatini serum 4.6. ureum 150, GDS :
250mg/dl.
PEMBAHASAN
A. Anamnesis
Anamnesis merupakan hal yang wajib dilakukan dalam pemeriksaan setiap penyakit,
karena sebagian besar diagnosis dapat dipikirkan hanya dari anamnesis.
1
Ananmnesa umum
a. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi :
1. Siapa nama anda?
2. Berapa umur anda?
3. Dimanakah anda lahir? Tanggal berapa anda lahir?
4. Dimana anda tinggal?
5. Apa pekerjaan anda?
6. Mohon maaf boleh tau anda beragama apa?
b. Keluhan utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan pasien sehingga membawa pasien
pergi ke dokter. Berdasarkan kasus yang menjadi keluhan utama adalah sesak nafas yang
memberat sejak 6 jam yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mulai merasakan sesak sejak 2
hari lalu. Muntah 4x, 1 hari yang lalu. Pasien saat ini tampak bingung, riwayat kencing manis
dan darah tinggi di ketahui sejak 25 tahun lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga
dirasa bengkak sejak 3 hari yang lalu. 1
Anamnesa terarah
Pada anamnesis terarah kita mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
utama pasien.Dari kasus didapatkan keluhan yang membawa pasien ke dokter adalah sesak nafas
yang memberat sejak 6 jam yang lalu. Keluarga mengatakan pasien mulai merasakan sesak sejak
2 hari lalu. Muntah 4x, 1 hari yang lalu. Pasien saat ini tampak bingung, riwayat kencing manis
dan darah tinggi di ketahui sejak 25 tahun lalu, tidak teratur minum obat. Kaki pasien juga dirasa
bengkak sejak 3 hari yang lalu. . Hal-hal yang perlu ditanyakan kepada pasien tersebut adalah:
- Riwayat penyakit sekarang
Yang perlu ditanyakan adalah sejak kapan mulai terasa sesak, sebelumnya pernah
merasakan sesak atau belum? Biasanya sesak saat melakukan pekerjaan atau tidak?
Apakah ada keluhan lain selain sesak??
2
- Riwayat penyakit terdahulu
Yang perlu ditanyakan adalah pernah mengalami keluhan yang sama pada masa lalu,
riwayat penyakit yang sama dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar
tempat tinggal, riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala yang sama,
riwayat kontak dengan serangga ataupun tanaman, riwayat pengobatan yang pernah
diterima dari dokter dan obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter.1
Riwayat keluarga,pekerjaan dan sosial meliputi :
- Apakah dalam keluarga ada yang sudah meninggal? Kalau umur berapa meninggal
dan ada apa penyebab kematiannya?
- Apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita hipertensi, diabetes atau stroke?
- Apakah pasien merupakan orang yang aktif merokok?
- Sejak kapan mulai merokok? Sehari berapa bungkus rokok yang di habiskan?
B. Pemeriksaan
Fisik dan penunjang
1. Inspeksi, melihat keadaan umum pasien (kesadaran pasien) apakah Kesadaran
koma,Kesadaran apatis, Kesadaran latergi,Kesadaran somnolen,Kesadaran sopor,
Kesadaran kompos mentis dan adanya tanda-tanda seperti adanya edema
ekstermitas, nafas yang dalam dan berat serta anemis. 1
2. Palpasi, palpasi regio abdomen yang khusus seperti palpasi ginjal (balotement dan
bimanual) biasanya ginjal normal tidak teraba dengan palpsi khusus ini. yang
dinilai adalah adanya nyeri dan terabanya ginjal. 1
3. Perkusi, yang terpenting adalah perkusi pada daerah CVA, yang dinilai adanya
nyeri atau tidak. 1
4. Auskultasi, biasanya kurang membantu diagnosis ginjal, tapi diperlukan untuk
melihat kompikasi yang ditimbulkan oleh ginjal seperti adanya kelaiana paru atau
jantung. 1
3
5. pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan darah
Variable Nilai normal Hasil pemeriksaan Interpretasi
Tekanan darah <120/<80 150/90 Hipetensi tahap I
Frekuensi nafas 16-20 kali/menit 18 kali/menit normal
Nadi 60-100 kali/menit 90 kali/menit Normal
Suhu (celcius) 36,5-37,5 37,2 Normal
Hemoglobin Laki-laki: 13-18 g/dl 8 g/dl Anemis
Leukosit 5000-10000 g/dl 7900 g/dl Normal
Trombosit 150.000-350.000 334.000 Normal
Hematokrit Laki-laki: 40-48 % 26% Menurun
Kreatinin serum Laki-laki 0,6-1,3 g/dl 4.6 g/dl Meningkat
Ureum serum Laki-laki 10-38 g/dl 150 g/dl Uremia
Gula darah sewaktu 200 g/dl 250 g/dl Diabetes
Adapun pemeriksaan labolatorium lain untuk mendukung diagnosis kita seperti gula darah
puasa (normal 70 – 110 mg/dL), pemeriksaan keasaman darah (normal 7,35-7,45), kalium
(normal 3,5-5,2 meq/l), LED, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia,
hipoalbuminemia 3.5 sampai 5 g/dL.4
Pemeriksaan urinalisis didapatkan: volume yang meningkat, proteinuria (jika > 3 g/ hari
kerusakan glomelurus, jika <1,5 g/hari kerusakan tubulus), sedimen adanya sedimen eritrosit,
leukosit dan silinder granul, dan kita bisa melakukan pemeriksaan biakan urin untuk memastikan
ada tidaknya infeksi. Nilai rujukan untuk menghitung analisa gas darah PCO2: 3,5-45 mm HG
dan HCO3- 24-28 mEq/L.
4
Pemeriksaan penunajang : rontgen
Gambaran hipertrofi ventrikel kanan
Gambaran edema paru paru sentar, paru uremik
5
Pemeriksaan penunjang EKG di gunakan untuk melihat apakah ada hipertrofi ventrikel kanan
yang dapat mengindikasikan adanya hipertensi.
C. Gambaran klinis
Perjalanan klinis penyakit gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium.
- Stadium I disebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan
kadan BUN (kadar nitrogen urea dalam darah) normal, pasien asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi jika member beban kerja yang berat pada ginjal
seperti tes pemekatan urin yang lama atau mengadakan tes GFR yang teliti.
- Stadium II disebut insufisuensi ginjal. Bila lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah
rusak (GFR biasanya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat
di atas batas normal. Peningkatan kadar konsentrasi BUN berbeda tergantung kadar
protein yang dimakan. Pada stadium ini kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal, azetomia biasanya ringan, dan timbul gejala nokturia dan poliuria.
- Stadium ke III disebut stadium akhir gagal ginjal progresif di sebut juga End Stage Renal
Disease (ESRD) atau uremia. Hal ini terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari
normal. Pada stadium ini pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah karena
ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan hoemostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh.
Urin menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Pasien
6
biasanya menjadi oligourik. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang
dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.3
D. Diagnosis
Gagal ginjal kronik
Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi gagal ginjal akut dan gagal kinjal kronik. ada gagal
ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya
berlangsung beberapa tahun), dan sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau
minggu. Pada kedua kasus tersebut , ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Meskipun
ketidakmampuan fungsional terminal sama pada kedua jenis gagal ginjal, tetap saja masing-
masing memiliki gambaran yang khas.2
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit merusak massa nefron ginjal.
Sebagaimana besar penyakit dasar ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral,
meskipun lesi obstruksi pada trakturs urianarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.
Pada awalnya beberapa penyakit menyerang glomerulus ginjal (glomerulonefritis) sedangkan
jenis lain menyerang tubuli ginjal (pielonefritis) atau dapat juga menganggu perfusi darah pada
parenkim ginjal (nefrosklerosis). Namun apabila proses penyakit ini tidak dihambat maka pada
semua kasus nefron akan hancur dan diganti dengan jaringan parut.2
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulang berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan GFR dengan manifestasi yaitu
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal termaksud kelainan delam komposisi darah
atau urin atau kelainan dalam tes pencitraan. Selain GFR kurang dari 60/% ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berikut adalah tabel klasifikasi penyakit
ginjal kronik atas dasar derajat penyakit.2
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar GFR yang dihitung menggunakan rumus
Kockrcroft-Gault sebagai berikut :
7
GFR (ml/mnt/1,73m2) =(140 – umur) X berat badan
72 X kreatinin plasma (mg/dl)*
*Pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik :
Derajat Penjelasan GFR (ml/menit/1,73m2)
1Kerusakan ginjal dengan GFR
normal atau meningkat≥ 90
2Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun ringan60-89
3Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun sedang30-59
4Kerusakan ginjal dengan GFR
menurun berat15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialysis
Patofisiologi gagal ginjal kronik
Awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan
hipertrofi nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang
diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak ada lagi. Adanya peningkatan aktivitas rennin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF β). Beberapa
hal lain yang dianggap mempengaruhi progresifitas penyakit gagal ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia.2
8
Pada stadium dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal. Pada keadaan
ini GFR masih normal atau meningkat sedikit. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar kratinin serum
dan urea. Sampai pada GFR 60% pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik) tapi
sudah ada peningkatan kadar kreatinin serum dan urea. Sampai pada GFR 30% mulai terjadi
keluhan pada pasien yaitu mual, muntah, nafsu makan berkurang, nokturia, dan penurunan berat
badan. Sampai pada GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang
nyata sepeti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran napas maupun
infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara natrium dan kalium pada GFR 15% akan terjadi gejala
dan komplikasi lebih serius dan pasien sudah membutuhkan terapai penggantian ginjal. 2
Etiologi
Etiologi penyakit gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Berikut adalah table perbedaan penyebab penyakit ginjal kronik di Amerika serikat dan di
Indonesia. 2
Penyebab penyakit gagal ginjal di Amerika
Penyebab Insidens
Diabetes mellitus 44 %
Diabetes mellitus tipe I 7 %
Diabetes mellitus tipe II 37%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27 %
Glomerulonefritis 10 %
Nefritis interstitialis 4 %
Kista dan penyakit bawaan lain 3 %
Penyakit sistemik (SLE) 2 %
Neoplasma 2 %
Tidak diketahui 4 %
9
Penyakit lain 4 %
Penyebab penyakit gagal ginjal di Indonesia
Penyebab Insidens
Glomerulonefritis 46,39 %
Diabetes mellitus 18,65 %
Obstruksi dan infeksi 12,85 %
Hipertensi 8,49 %
Sebab lain 13,65 %
Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan
penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik
yang berat dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui
mekanisme resistensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dan sistem rennin-angiotensin dan
mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Kadang-kadang sulit bagi seseorang ahli
nefrologi untuk menentukan mana yang primer. Nefrosklerosis (pengerasan ginjal) menunjukan
adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat hipertensi. Keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi bukan orang
kulit putih.3
Hipertensi esensial dan ginjal
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap diatas batas normal
yang disepakati, yaitu diastolic 90 mmHg atau sistolik 140 mmHg. Menurut definisi ini, sekitar
18% dari penduduk Amerika Serikat menderita hipertensi. Namun,sebanyak 50% individu
mungkin menderita gangguan ini pada usia 65 tahun. Sekitar 90% kasus hipertensi ini disebut
hipertensi esensial (etiologi dan pathogenesis tidak diketahui). Awitan hipertensi esensial
biasanya terjadi antara usia 20 dan 50 tahun, dan lebih sering dijumpai pada orang Afro-Amerika
dari pada populasi umum. Hipertensi esensial dapat diklasifikasin mejadi benigna dan maligna.
Hipertensi benigna bersifat progresif dan lambat sedangka hipertensi maligna adalah keadaan
10
klinis dalam penyakit hipertensi yang bertambah berat dan cepat sehingga dapat menyebabkan
kerusakan obat berat pada berbagai organ.
Laju perkembangan hipertensi esensial jinak berbeda-beda, tapi biasanya memiliki
perkembangan yang berjalan secara progresif lambat selama 20 sampai 30 tahun. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol
diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama penyakit ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Penyebab tersering
kematian adalah infark miiokard, gagal jantung kongestif, atau gangguan serebrovaskular. Bila
hipertensi esensial tetap jinak, pasien tidak akan menderita kerusakan ginjal yang dapat
menyebabkan kematian akibat uremia. Sebagian besar kasus insufisuensi ginjal yang
dihubungkan dengan nefrosklerosis jinak memiliki penyakit ginjal yang mendasarinya.
Proteinuria dan azetomia tingan dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa gejala dan
kebanyakan pasien meninggal akibat uremia yang disebabkan oleh hipertensi yang sudah
memasuki stadium maligna, hal ini terjadi kurang dari 10% kasus hipertensi esensial.3
Hipertensi maligna bisa diartikan hipertensi berat dengan tekanan diastolic lebih tinggi dari
120 sampai 130 mmHg, retinopati stadium IV (mengacu pada perubahan yang paling berat
dalam retina yang disebabkan oleh hipertensi), dan disfungsi eksresi ginjal yang berkisar dari
proteinuria, hematuria, sampai azetomia. Hipertensi maligna dapat terjadi setiap saat dalam
perjalanan hipertensi jinak, tetapi biasanya baru terjadi sesusudah bertahun-tahun. Kadang-
kadang, terjadi juga secara de novo, terutama pada laki-laki Afro-Amerika pada decade ketiga
atau keempat.
Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama dapat menyebabkan nefrosklerosis
benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen
pembuluh darah intrra-renal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan mempunyai
permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara histologist, lesi yang esensial adalah
sklerosis arteria-arteria kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol aferen. Penyumbatan
arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak.
11
Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan
structural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial. Ginjal dapat berukuran
normal dengan sedikit granula dan beberapa petekia akibat pecahnya arteriol atau dapat mengisut
dan membentuk jaringan parut. Mula-mula terdapat penebalan nyata bagian intima arteria
interlobularis yang disebabkan oleh proliferasi sel-sel endotel. Perubahan ini menghasilkan suatu
bent k yang sering kali disebut sebagai kulit bawang. Lumen yang menyempit akan
mengakibatkan iskemia arteriol aferen dan pelepasan rennin yang akan semakin meningkatkan
tekanan darah tersebut. Nekrosis fokal kemudian akan terjadi pada dinding arteriol dank arena
darah yang mengalami nekrosis mengandung fibrin maka perubahan ini disebut nekrosis
fibrinoid. Bila tekanan darah tetap meningkat perubahan local ini semakin meluas di sertai
pembentukan thrombus, pendarahan glomerulus, infark seluruh nefron dan kematian yang cepat
dari semua sel ginjal. 3
Diabetes mellitus
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah satu penyebab
kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebih dari sepertiga pasien yang baru
masuk dalam program ESRD menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 30-40%
orang dengan diabetes mellitus tipe I akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu
15 samkpai 20 tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe II lebih sedikit
berkembang maenjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10 sampai 20%) dengan pengecualian pada
orang Indian pima dengan insidensi mendekati 50%. Pada penduduk Afro-Amerika dan
penduduk asli Amerika sangat beresiko mengalami gagal ginjal diabetik. 3
Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati
diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi di ginjal pada diabetes melitus.
Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas dapat terjadi secara difus atau nodular.
Glomerulorsklerosis diabetik difus, merupakan lesi yang paling sering terjadi terdiri dari
penebalan difus matriks mesangial (jalinan tali seoerti busa dari trabecula yang menyerupai
membrane basalis pada bagian tengah lobules glomerulusyang mengelilingi sel-sel mesangial,
matrik mesangial ini menyatu dengan kapiler membrane basalis) dengan bahan eusinofilik
disertai penebalan membrane basalis kapiler. Glomerulosklerosis diabatik nodular (juga dikenal
12
sebagai glomerulosklerosis Kimmelstiel-Wilson) lebih jarang terjadi tetapi yang spesifik dari
penyakit ini yaitu terdiri dari bahan eusinofilik nodular yang menumpuk dan biasanya terletak
dalam perifer glomerulus di dalam inti lobus kapiler. Glomerulosklerosis diabetik hampir selalu
didahulaui dengan retinopati diabetik yang ditandai dengan mikroaneurisma di sekitar macula. 3
Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan ESRD dapat dibagi menjadi lima fase
atau stadium. Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa komplikasi diabetes jangka panjang
seperti retinopati diabaeticum, neuropati dan nefropati, dapat dicegah dengan mengendalikan
kadar glukosa darah dan hipertensi secara ketat disertai dengan pembatasan protein dalam
makanan.
Stadium 1 atau fase perubahan fungsional dini. Ditandai dengan hipertrofi fan hiperfiltrasi
ginjal. Stadium 1 sebenarnya ditemukan pada semua pasien yang didiagnosis sebagai diabetes
melitus tipe (bergantung insulin) dan berkembang pada awal penyakit. Sering terjadi
peningkatan GFR hingga 40% diatas normal. Peningkatan ini disebabkan oleh banyak faktor,
dengan faktor yang memperburuk adalah kadar glukosa darah yang tinggi, glucagon yang
abnormal,hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II dan prostaglandin. Ginjal yang
menunjukan peningkatan GFR ukurannya lebih besar dari normal, dan glomerulus yang
bersangkutan akan lebih besar dengan daerah permukaan yang meningkat.
Stadium 2 atau fase perubahan struktural dini. Ditandai dengan penebalan membrane basalis
kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit bahan matriks mesangial. Stadium ini
terjadi setelah 5 tahumsetelah awitan diabetes tipe 1 dan kelihatannya akan berkembang pada
semua pasien diabetes mellitus. Kerasnya penebalan atau perluasan mesangial yang terligat pada
stadium 2 secara positif berkaitan dengan perkembangan proteinuria yang akan datang dan
penurunan fungsi ginjal. Penumpukan matrik mesangial dapat mengenai lumen kapiler
glomerulus menyebabkan iskemia dan menurunkan daerah permukaan filtrasi, namun GFR
biasanya tetap dalam kisaran normal yang tinggi (menurun dari peningkatan GFR yang sangat
tinggi pada stadium 1). Eksresi albumin pada stadium ini biasanya normal, kecuali pada
mikroalbuminemia reversible yang terjadi pada waktu singkat. 3
13
Hiperglikemia persistenkelihatannya menjadi faktor terpenting dalam patogenesisnya
glomerulosklerosi diabetik dan melibatkan beberapa mekanisme yaitu :
- Vasodilatasi dengan meningkatkan permeabilitas mikrosirkulasi yang menyebabkan
peningkatan kebocoran zat terlarut kedalam dinding pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya.
- Pembuangan glukosa melalui jalur pulyol (insulin independent) menyebabkan
penimbunan pulyol dan penurunan kadar komponen selular utama, termaksud glomerulus
- Glikosilasi protein struktur glomerulus.
Pada hiperglikemia, glukosa memberikan reaksi dengan mengedarkan protein structural
secara nonenzimatik (misalnya glikosilasi hemoglobin menghasilkan hemoglobin A10).
Glikosilasi membrane basalis dan protein mesangial dapat menjadi faktor utama bertanggung
jawab dalam peningkatan matriks mesangial dan perubahan permeabilitas membrane yang
menyebabkan proteinuria.
Stadium 3 mengacu pada nefropati insipient dan secara khas berkembang dalam waktu sekitar
10 tahun stelah awitan diabetes mellitus. Tanda khas dari stadium ini adalah mikroalbuminuria
yang menetap (ekresi albumin urin antara 30 hingga 300 mg/24 jam) yang hanya dapat terdeteksi
dengan radioimunnoassay atau metode labolatorium sensitive lainnya. Normal urun
mengeksresikan albumin dibawah 30 mg/ 24 jam, sedangkan eksresi albumin diatas 300 mg/24
jam memgarah pada proteinuria pasti yang dapat dibedakan dengan mikroalbuminuria.
Mikroalbuminuria yang menetap dapat dibuktikan dengan tiga atau lebih urin yang dikumpulkan
secara terpisah selama lebih dari 3 hingga 6 bulan. Mikroalbuminuria yang menetap dapat
dideteksi pada 25% sampai 40% pasien, dan besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi
nefropati stadiu, 4 dan 5 pada pasien yang mengalami mikroalnuminuria tersebut dan
kemungkinannya rendah pada pasien yang tidak menngalami mikroalbuminuria. Kadar GFR
biasanya normal hingga normal tinggi dan peningkatan tekanan darah juga merupakan gembaran
penting dari nefropati diabetik stadium 3. 3
Stadium 4 atau fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan proteinuria yang positif dengan
carik celup (>300 mg/24 jam) dan dengan penurunan GFR yang progresif. Retinopati diabetik,
14
sertaa hipertensi hampir selalu ada pada stadium ini. Stadium ini kira-kira 15 tahun setelah awita
diabetes mellitus tipe 1 dan menyebabkan ESRD pada sebagian besar kasus. Namun banyak
pasien yang tidak mengalami ESRD karena kematian dini akibat penyakit jantung arterosklerosis
atau stroke.
Stadium 5 adata fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif. Ditandai dengan azetomia
(peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat yang
pada akhirnya menyebabkan berkembangnya ESRD dan membutuhkan dialisis atau transplantasi
ginjal. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai staium ini adalah 20 tahun setelah
awitan diabetes mellitus tipe 1. Kecepatan rata-rata penurunan GFR adala 1 ml/bulan sehingga
ESRD kira-kira muncul sekita 5 sampai 10 tahun setelah awitan proteinuria. Nefropati diabetik
lanjut stadium 2 biasanya disertai dengan retinopati, hipertensi dan neuropati. 3
Stadium nefropati diabetikum
STADIUM 1 (PERUBAHAN FUNGSIONAL DINI)
Hipertrofi ginjal
Peningkatan daerah permukaan kapiler glomerulus
Peningkatan GFR
STADIUM 2 (PERUBAHAN STRUKTUR DINI)
Penebalan membrane basalis kapiler glomerulus
GFR normal atau sedikit meningkat
STADIUM 3 (NEFROPATI INSIPIDEN)
Mikroalbuminuria (30-300 mg/24jam)
Tekanan darah meningkat
15
STADIUM 4 (NEFROPATI KLINIS ATAU MENETAP)
Proteinuria (>30 mg/24 jam)
GFR menurun
STADIUM 5 (INSUFISUENSI ATAU GAGAL GINJAL PROGRESIF)
GFR menurun dengan cepat (-1 ml/bulan)
Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hingga 3%
Hasil dari beberapa penilitian telah memperlihatkan bahwa pengaturan yang tepat dari
glukosa darah (dicapai melalui pengawasan ketat terhadap makanan, olahraga, pemantauan
glokosa darah pribadi, dan insulin harian multidosis) dapat memperlambat laju perkembangan
nefroapati, retinopati dan neuropati secara signifikan, khususnya pengobatan dimulai selama
stadium ketiga atau mikroabmuminuria. Pembatasan protein pada makanan dan penurunan
tekanan darah dengan penghambat ACE akan menurunkan eksresi albumin dan memperlambat
nefropati diabetik. Penghambat ACE efektif dalam memperlambat perkembangan gagal ginjal
karena penghambat ACE adalah satu-satunya obat yang bekerja dengan memperlebar arteriol
eferen sehingga tekanan intraglomerulus akan menurun. Sebaliknya antagonis kalsium (misalnya
verapamil) menyebabkan dilatasi arteriol aferen pada ginjal yang lebih dapat meningkatkan
tekanan intraglomerulus daripada menurunkan tekanan intraglomerulus. 3
Terapi penggantian ginjal sebaiknya dilakukan pada fase awal daripada dilakukan pada pasien
tanpa diabetes, karena uremia berkaitan dengan makin cepatnya timbul komplikasi diabetik lain
misalnya retinopati. Secara umum kematian pada pasien diabetes dengan dialisis jangka panjang
adalah tiga kali lebih tinggi daripada kematian pada pasien tanpa diabetes dalam usia yang sama.
Transplantasi ginjal dapat berhasil pada pasien diabetes yang usianya lebih muda dibandingkan
pada pasien yang usianya lebih tua.
Penyakit Ginjal Stadium Akhir : Sindrom Uremik
16
Yang menjadi dasar penyakit ginjal stadium akhir yaitu GFR. Apabila GFR menurun < 15%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol maka pasien menderita sindrom uremik. Sindrom
uremik adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit
nitrogen karena gagal ginjal. Pada uremia lanjut, sebagian fungsi dari semua sistem organ tubuh
menjadi abnormal. 2,3
Manifestasi sindrom uremik
Sistem tubuh Manifestasi Sistem tubuh Manifestasi
Biokimia Asidosis metabolic (HCO3- serum
18-20 mEq/L)
Azetomia (penurunan GFR, menyebabkan peningkatan BUN, kreatinin)
Hiperkalemia
Retensi atau pembuangan natrium
Hipermagnesimia
Hiperurisemia
Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah,
menyebabkan penurunan berat
badan
Napas berbau amoniak, rasa kecap
logam, mulut kering,
Stomatitis, parotitis, gastritis,
enteritis, pendarahan saluran cerna,
diare.
Genitourinaria Poliuria, berlanjut menjadi
oligouria lalu anuria
Nokturia, pembalikan irama
diurnal
Berat jenis urin kemih tetap
sebesar 1.010, proteinuria, silinder
Hilangnya libido, amenore,
impotensi dan steriltas
Metabolisme
intermedier
Protein – intoleransi, sintesis
abnormal
Karbohirat – hiperglikemia,
kebutuhan insulin menurun
Lemak – peningkatana kadar
trigliserida
Mudah lelah
Kardiovaskular Hipertensi, retinopati, dan
ensefalopati hipertensif
Beban sirkulasi berlebihan, edema
Gagal jantung kongestif
Neuromuscular Otot mengecil dan lemah
SSP (penurunan ketajaman mental,
konsentrasi buruk, apati, latergi
atau gelisa, insomnia, kekacaun
mental,otot berkedut, asteriksis,
17
Perikarditis (friction rub),
disaritmia kejang)
Neuropati perifer (konduksi saraf
lambat, sindrom restless leg.
Perubahan sensorik pada
ekstermitas – parasesti
Perubahan motorik – foot drop
yang belanjut menjadi paraplegia
Pernapasan Pernapasan kussmaul, dispnea
Edema paru
Pneumonitis
Gangguan
kalsium dan
rangaka
Hiperfosfatemia, hipokalsemia
Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistrofi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi
tulang)
Deposit garam kalsium pada
jaringan lunak (sekitar sendi,
pembuluh darah, jantung, paru)
Hematologic Anemia menyebabkan kelelahan
Hemolisis
Kecenderungan perdarahan
Menurunnya resistensi infeksi
(UTI, pneumonia, septicemia)
Kulit Pucat, pigmentasi
Perubahan rambut dan kuku (kuku
mudah patah, tipis, bergerigi, ada
garis-garis merah- biru yang
berkaitan dengan kehilangan
protein)
Pruritus, Kristal uremik, kulit
kering, memar
18
Ada dua kelompok gejala klinis yang dapat terjadi pada sindrom uremik:
1. Gejala-gejala yang paling nyata adalah gangguan fungsi pengaturan dan ekresi; kelainan
volume cairan dan elektrolit, ketidak seimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen
dan metabolit lainnya, serta anemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi ginjal.
2. Gabungan kelainan kardiovaskular, neuromuscular, saluran cerna, dan kelainannya
lainnya.
Berikut adalah penjelasan manifestasi lazim yang sering terjadi pada sindrom uremik:
Gangguan biokimiawi
a. Asidosis metabolic
Gagal ginjal ditandai dengan berbagai jenis gangguan biokimiawi. Salah satu kelainan
konstan yang selalu tampak pada penderita uremia adalah asidosis metabolic. Pada diet normal,
ginjal harus mengeluarkan 40-60 Meq ion hydrogen setiap harinya untuk mencegah asidosis.
Pada gagal ginjal terjadi ganggua untuk mengekresikan ion hydrogen mengakibatkan asidosis
metabolic sistemik disertai penurunan kadar bikarbonat dan PH plasma. Kadar bikarbonat turun
karena digunakan untuk mendapatkan ion hydrogen. Ekresi ammonium merupakan mekanisme
utama ginjal dalam usaha dalam usahanya mengeluarkan ion hydrogen dan pembentukan
kembali bikarbonat. Pada gagal ginajl, ekskrsi ammonium total berkurang karena berkurangnya
jumlah nefron. Ekskresi fosfat merupakan mekanisme lain dalam usaha mengeluarkan ion
hydrogen dalam bentuk asam yang dapat di titrasi. Namun, kecepatan ekskresi fosfat ditentukan
oleh kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa. Pada gagal ginajl fosfat
cenderung bertahan dalam tubuh karena berkurangnya massa nefron dank arena factor-faktor
yang berkaitan dengan metabolism kalsium.3
Kadar bikarbonat serum biasanya stabi pada sekitar 18-20 mEq/L(asidosis sedang) dan jarang
dibawah angka ini.
Agaknya gejala-gejala anoreksia, mual, dan lelah yang sering ditemukan pada pasien uremia,
sebagian disebabkan oleh asidosis. Salah satu gejala yang sudah jelas akibat asidosis adalah
pernapasan kuss-maul, meskipun gejala ini paling kurangnya pada asidosis kronik. Pernapasan
kuss-maul adalah pernapasan yang dalam dan berat, yang timbul karena kebutuan meningkatkan
ekskresi karbon dioksida, sehingga mengurai keparan asidosis.
19
b. Ketidakseimbangan kalium
Ketidak seimbangan kalium merupakan salah satu gangguan serius yang dapat terjadi pada
gagal ginajl, kalium plasma normal berkisar 3,5-5,5 mEq/L. sekitar 90% asupan normal yaitu
sebesar 50-150 mEq/hari di ekskresikan dalam urine. Hipokalemia dapat menyertai poliuria pada
gagal ginjal kronik dini, terutama pada penyakit-penyakit tubulus seperti pielonefritis kronik.
Akan tetapi hiperkalemia selalu akan timbul bila pasien mengalami oliguria pada gagal ginjal
kronik.
Disamping itu, asidosis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalaui pergeseran
Kalium dari dalam sel kecairan ekstraseluler. Efek hiperkalemia yang sangat mengancam
kehidupan adalah pengaruhnya pada hantaran listrik jantung. Bila kadar kalium serum mencapai
7-8 mEq/L, akan timbul disretmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung.3
c. Keseimbangan Natrium
Pada kebanyakan orang normal, ginjal sangat fleksibel dalam ekskresi natrium sebagai respon
terhadapa asupan natrium yang sangat bervariasi. Ekskresi garam dapat berkisar dari hampir nol
sampai lebih dari 20g/hari. Pasien gagal ginjal kronik kehilangan kemapuan yang sangat
felksibel itu, sehingga dapat dikatan kemampuan ginjalnya untuk mengekskresikan natrium yang
sangat bervariasi itu seperti telur diujung tanduk. Pada insufisiensi ginjal dini (bila terjadi
poliuria) terjadi kehilangan natrium karena peningkatan beban zat yang terlarut pada nefrton
yang utuh. Dieresis osmotic mengakibatkan kehilangan natrium secara obligat. Keadaan ini
sering di dapatkan pada penderita pielonefritis kronik dan ginjal polikistik yang terutama
menyerang tubulus.
Apa bila ginjal terminal diikuti oleh oliguria, maka pasien cenderung memepertahankan
natrium. Retensi natrium dan air dapat menyebabkan beban sirkulasi, edema, hipertensi dan
gagal jantung kongesti. Gagal jantung kongesti terjadi sekundet akibat hipertensi dan
peningkatan kadar aldosteron pada pasien uremia juga ikut berperan dalam menyebabkan retensi
natrium.3
d. Hipermagnesimia
Seperti halnya kalium, mengnesium terutama merupakan kation intrasel dan terutama
diekskresikan oleh ginjal. Kadar serum normal adalah 1,5-2,3 mEq/L. penderita uremia akan
20
mengalami penurunan kemampuan untuk mengekskresikan magnesium. Namun
hipermagnesemia bukan masalah yang serius karena asupan magnesium biasanya menurun
akibat anoreksia, berkurangnya asupan protein dan penurunan absorbs dari saluran cerna.
Pembebanan magnesium secara tiba-tiba akibat minum laksatif seperti susu magnesia atau
magnesium sitrat dapat menyebabkan kematian.3
e. Azotemia
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, peningkatan tajam kadar urea dan kreatinin plasma
biasanya merupakan tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan menyertai gajala uremik. Tetapi
terdapat banyak bukti yangmenunjukan bahwa urea sendiri tidak bertanggung jawab atas gejala-
gejala dan gangguan metebolisme yang ditemukan pada uremia. Beberapa zat yang ditemukan
dalam darah pasien uremia yang mungkin bertidak sebagai racun adalah guanidine,fenol, amin,
urat, kreatinin, dan asam hidroksi aromatic dan indikan. Beberapa senyawa ini bertidandak
sebagai penghambat enzim yang kuat. Agaknya kambinasi factor-faktor asidosis dan gangguan
elektrolit lainnya, gangguan hormonal dan retensi racun dapat mengakibatkan gangguan
metabolisme dan terserang banyak sistem organ, penyelidakan -penyelidikan yang dilakukan
sekarang ini menyimpulkan bahwa racun uremik merupakan molekur ukuran sedang (urea
adalah molekul kecil, albumin adalah molekul yang besar) yang mengakibatkan timbulnya
hipotesis molekul dan penyelidikan-penyelidikan untuk mecarai cara pembungan molekul ini
secara lebih efisien. Misalnya hemodialisis fluks tinggi yang memiliki efisiensi tinggi (HEHF)
menggunakan membrane dialysis berpeamilitas tinggi yang lebih biokompatibel tidak hanya
dapat memperpendek waktu dialysis namun juga lebih baik dalam pembungan toksik uremik
potensial yang terdapat dalam ukuran molekul sedang.3
f. Hiperurisemia
Peningkatan kadar asam urat serum dan pembentukan Kristal-kristal yang menyumbat ginjal
dapat menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik. Sebaliknya pada stadium dini gagal ginjal
kronik dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya
meningkat, biasanya sekitar 75% dari total asam urat di ekskresik oleh ginjal. Peningkatan kadar
asam urat serum diatas normal yaitu 4-6mg/100 ml dapat atau tidak disertai gejala-gejala,
namun penderita uremia tidak jarang pula mengalami serangan atritis gout akibat endapan garam
urat pada sendi dan jaringan lunak.
21
Ganguan kemih-kelamin
Gejala-gejala saluran kemih pada uremia erat kali hubungannya dengan metabolism ait.
Poliuria akibat diureis ismotik lambat laun akan menjurus pada oliguriam bahkan juga anuria
karena kerusakan masa nefraom yang berlasung bertahap. Slain itu juga muncul gejala nucturia
dan pembalikan pola diurnal ekskresi urin normal, yang menyebabkan kecepatan pembentukan
urin relative konstan pada siang dan malam hari. Berat jenis urin relative konstan sekitar 1010
(285mOsm) pada pendetia uremia menunjukan hilannyga kemampuan pemekatan dan
pengencaran urin dari kadar plasma, perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan penderita
uremia mudah mengalami perubahan keseimbangan air yang akut. Diare atau muntah dapat
menyebabkan dehidrasi yang cepat dan mengakibatkan hipovolemia, penuruanan GFR, dan
memburuknya fungsi ginjal. Sementara asupan air yang berlebihan dapat menyebabkan
kelebihan beban sirkulasi, edema, dan gagal jantung kongesti. Dengan berkurangnya massa
nefron dan GFRm maka proteinuria yang mungkin sudahnyata pada awal penyakit penyakit
ginajl kronik menajdi semakin tak berarti atau kehingan sama sekali. Kadang-kadand dalam
sedimen urin bisa ditemukan selinder granular yang besar. Ini merupakan ciri khas gagal ginaj
lanjut.
Perempuan mudah yang menderita uremia umumnya berhenti mesturasi sedangkan laki-laki
menajdi impoten dan sterill bila GFR turun hingga 5ml/menit. Baik perempuan ataupun laki-laki
akan kehingan libido jiga uremia semakin menberat. Setalah menjalani transplantasi ginjal atau
hemodialisis yang teratur, fungsi seksual dan reprodoksi mungkin akan normal kembali.
Sebaiknya wanita yang mengalami insufiesiensi ginjal lanjut jangan hamil lagi. 2,3
Kelainan kardiovaskular
Sindrom uremik sering disertai hipertensi dan gagal jantung koengesti. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara kurang dari
10% yang bergantung pada rennin. Kombinasi hipertensi , anemia dan kelebihan beban sirkulasi
yang disebabkan oleh retensi natrium dan air semuanya berperan dalam kecenderungan
meningakatnya kasus gagal jantung kongesti. Efek samping lain dari hipertensi yang berat adalah
retinopati dan enselopati. Gejala-gejala dari gangguan ini sama dengan pada pasien-pasien yang
tidak menderita uremia.
22
Perikarditis yang dulu sering sebagai komplikasi gagal ginjal kronik, sekarang sudah jarang
terjadi karena sudah dimulai dialysis sejak dini. Toksin metabolic yang menetap diyakini
merupakan penyebab pericarditis. Manifestasi klinis pasien perikarditis uremik serupa dengan
yang sebabkan oleh penyebab lain. Pasien dapat mengeluh nyeri pada inspirasi dalam atau pada
saat berbaring, tetapi sekitar 2/3 orang asimtomatik. Pada waktu auskulatasi didaerah prekordium
akan terdengar friction rub bolak-balik. Foto torak akan memperlihatkan gambaran jantung yang
membesar bila terjadi efusi pericardial. Kadang-kadang penderita perikarditis uremik dapat
mengalami efusi hemoragik massif dan tamponade jantung, khususnya bila digunakan
antikoagulan selama hemodialisis. Dalam keadaan darurat ini, aspirasi cairan secara cepat oleh
dokter dapat menolong nyawa pasien. Juga dapat terjadi aritmia jantung yang sering kali
menyertai ketidak seimbangan K+ pada gagal ginjal juga di pengaruhi oelh ketidakseimbangan
Na+, Ca++, H+, dan Mg++.2,3
Perubahan pernafasan
Pernafasan yang berat dan dalam (kussmaul) pada pasien yang menderita asidosis berat.
Namun penderita asidosis sedang akibat insufisiensi ginjal kronik cenderung mengeluhkan
dispnea pada waktu melakukan kegiatan fisik dan perubahan pernafasan yang makin dlam
tersebut sering kali diluputkan oleh pengamat yang kurang ahli.
Koplikasi lain pada pernafasan akibat gagal ginjal adalah paru uremik dan pnumonitis. Foto
toraks pada paru uremik memperlihatkan infiltrasi bilateral berbentuk kupu-kupu. Sebenarnya
keadaan ini merupakan suatu edema paru yang tentunya disertai kelebihan beban cairan akibat
retensi natrium dan air dan atau gagal ventrikel kiri.konfigurasi kupu-kupu pada edema paru
terjadi akibat peningkatan permeabilitas mambran kapiler alveolar disekitar hilus paru. Infeksi
bilateral penyebab pneumonitis dapat menanggapi paru basah kronik. Kongesti paru menghilang
dengan menurunya carian tubuh melalui pembatasan garam dan hodialisis.3
Perubahan kulit
Penimbunan pigmen urin(terutama urokrom) bersama anemia pada insufisensi ginjal lanjut
akan menyebabkan kulit pasien menjadi putih seakan-akan berlilin kekuningan . pada paseien
orang kulit coklat, kulit akan berwarna coklat kekuningan, sedangkan pada orang kulit hitam
berwarna abu-abu semu kuning terutama daerah telapak tangan dan kaki.
23
Kulit mungkin menjadi kering dan bersisik, sedangkan rambut menjadi rapuh dan berubah
warna. Kuku menjadi tipis dan rapuh, bergerigi dan memperlihatkan garis-garis terang dan
kemerahan berselang seling. Perubahan-perubahan pada kuku ini merupakan ciri khas protein
kronik(garis muehrcke). Penderita uremia sering mengalami pruritus dan ini dianggap sebagai
manifestasi peningkatan fungsi kelenjar paratiroid dan pengendapan kalsium dalam kulit.
Pruritus uremik biasanya sangat resisten terhadap pengobatan dialysis serta agen-agen topical.
Jika kadar BUN sangat tinggi, maka pada bagian-bagian kulit yang banyak berkeringat akan
timbul Kristal-kristal urea halus dan berwarna putih. Ini dikenal sebagai Kristal uremik, memar-
memar akibat trauma ringan sering terlihat pada kulit penderita uremia karena peningkatan
fragilitas kapiler.3
Gejala dan tanda saluran cerna
Manifestasi saluran cerna dari uremia dapat menyebabkan pasien sangat terganggu.
Anoreksia, mual, muntah merupakan gejala yang sering ditemukan pada uremia dan seringkali
menjadi gejala-gejala awal penyakit. Gejala-gejala ini ikut bertanggung jawab atas penurunan
berat badan yang cukup besar pada gagal ginjal kronik. Seluruh saluran cerna itu sendiri ikut
terserang pada uremia. Pasien sering mengeluh rasa kecap logam dimulutnya dan napasnya
mungkin berbau ammonia. Mulut dapat mengalami peradangan dan ulserasi (stomatitis), dan
lidah dapat menjadi kering dan berselaput. Terkadang timbul parotitis (peradangan kelenjar
parotis). Flora normal mulut terdiri dari organsime-organisme (bakteri karang gigi) yang dapat
memeceh urea dalam saliva sehingga memventuk ammonia. Inilah yang menyebabkan timbulnya
bau seperti urin pada napas dan dapat mengubah cita rasa, serta merupakan predisposisi
peradangan atau infeksi jaringan. Dapat berbentuk tukak pada mukosa lambung dan usus besar
dan kecil dan dapat menyebabkan perdarahan yang cukup berat. Efek perdarahan saluran cerna
sangat serius karena menurunkan tekanan darah akan semakin menurunkaln GFR. Sedangkan
darah yang dicerna akan menyebabkan peningkatan tajam kadar BUN. Kadang-kadang terjadi
diare yang dapat menimbulkan dehidrasi serius.
Meskipun infeksi hepatitis B (HBV) merupakan masalah yang signifikan dimasa lalu, namun
saat ini berkurang karena implementasi peringatan yang universal dan tersediannya vaksin HBV.
Infeksis hepatitis C (HCV), seperti HBV, ditransmisi melalui pajanan perkutan terhadap darah.
24
HCV adalah salah satu masalah, terutama bagi pasien yang akhirnya menjalani transplantasi
ginjal karena mempunyai hubungan erat dengan hepatitis aktif kronik dan berkembangnya
kanker hati.3
Kelainan metabolisme intermedia
Kelainan metabolisme intermedia merupakan cirri khas sindrom uremik, meskipun
mekanisme fisiologisnya belum dipahami dengan jelas.
- Protein
Apapun unsur lain yang menyebabkan gejala-gejala uremik, tetapi hasil pemecahan
metabolisme protein merupakan unsur yang paling penting. Diet pembatasan protein
umumnya agak dapat mengurangi lesu, letih, mual dan anorekisia dan semaki banyak
bukti yang menunjukan bahwa diet ini dapat menghambat kerusakan ginjal lebih lanjut.
Pasien cenderung mengurangi asupan protein tanpa disadarinya, karena [erkembangan
azetomia menyebabkan hilangnya nafsu makan terhadap makanan yang mengandung
protein. Alasan lain member diet pembatasan protein pada uremia adalah H+ , K+ dan
fosfat terutama dihasilkan dari makanan yang mengandung protein sehingga harus
dibatasi dengan ketat agar tidak terjadi penimbunan dalam darah. Sintesis protein
abnormal dalam darah nyata dari meningkat atau menurunnya asam-asam amino tertentu.
Makna klinis fenomena ini belum diketahui.
- Karbohidrat dan lemak
Gangguan metabolisme karbohidrat seringkali disebabkan oleh uremia. Kadar gula darah
puasa meningkat lebih dari 50% pasien uremia, tetapi biasanya tidak melebihi200mg/100
ml. mungkin yang menjadi penyebab adalah jaringan perifer yang tidak peka terhadap
insulin. Sebaliknya pada penderita diabetes bergantung insulin yang menderita uremia,
metabolisme karbohidrat membaik dan kebutuhan insulin menjadi rendah. Kenyataan ini
tampak bertentangan dengan intoleransi glukosa pada orang yang tidak menderita
diabetes. Hal ini dapat dijelaskan dengan peningkatan kadar insulin serum karena
perpanjangan waktu paruh insulin (ginjal biasanya akan menonaktifkan sekitar 20% dari
25
insulin) pada uremia. Metabolisme karbohidrat biasanya menjadi normal dengan
hemodialisis teratur.
Metabolisme lemak abnormal ditandai dengan kadar trigliserida serum yang tinggi pada
penderita uremia, bahkan pada pasien-pasien yang telah menjalani dialisis teratur. Faktor-
fator lain yang dapat berperan pada peningkatan kadar trigliserida antara lain peningkatan
kadar glukosa dan insulin sera penggunaan asetat pada dialisat. Kelainan metabolisme
karbohidrat dan lemak jelas ikut berperan dalam proses peningkatan arterosklerosis pada
pasien-pasien yang menjalani dialisis kronik.3
Kelainan Neuromuskular
Terlibatnya sistem neuromuscular merupakan komplikasi uremia yang universal. Baik sistem
saraf pusat maupun perifer, ikut terserang dengan akibat yang luas. Otot-otot dapat pula ikut
terserang, sebagian akibat dari neuropati perifer dan sebagai akibat pengicilan otot-otot.
- Sistem saraf perifer
Derajat gangguan serebral secara kasar pararel dengan derajat azetomia yang dialami.
Gejala-gejala dini antara lain adalah penurunan ketajaman serta kemampuan mental
untuk berpikir, apatis, dan kelelahan. Pasien mengeluh merasa letih, lesu dan tak dapat
menyelasaikan kerja normal sehari-hari tanpa harus beristirahat berulang kali. Kelelahan
mungkin diselingi periode-periode kegelisahan dan insomnia. Pasien yang tidak diobati
pada akhirnya akan menjadi gelisa dan koma. Jika timbul kejang, naka biasanya
menyertai ensefalopati hipertensif. Iritabilitas neuromuscular dinyatakan dengan sentakan
atau kedutan involunter pada otot-otot. Kadang-kadang timbul asteriksis (flapping
treamor pada tangan) yang merupakan manifestasi dari keracunan serebral. Tanda fisik
diinduksi dengan memerintahkan paseien untuk mengangkat kedua lengan dengan lengan
bawa difiksasi dan jari-jari diekstensikan. Hal ini akan menyebabkan perubahan fleksi
dan ekstensi pada pergelangan tangan (flapping treamor)
- Sindrom disekuilibrium dialisis merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala-
gejala neurologic yang tidak terlokalisasi, seperti nyeri kepala, mual dan muntah,
26
kedutan, hipertensi, dan penglihatan kabur. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi konfusi
atau kejang. Disekuilibrium dialisis paling sering terjadi selama atau dalam waktu 12 jam
pertama setelah pengobatan dialisis awal, yang diyakini disebabkan oleh edema serebral.
Patogenesis ditandai dengan perubahan pH dan osmolalitas yang diinduksi dialisis cepat
antara cairan ekstraseluler dan intraseluler. Dementia dialisis merupakan gangguan
neurologic yang berkembang progresif dan seringkali fatal pada pasien-pasien yang
menjalani dialisis bertahun-tahun. Gejala awal adalah gangguan bicara, kejang dan
kadang-kadang demensia dan kematian. Walaupun patogenesisnya tidak tentu, faktor
utama yang diyakini adalah toksisitas aluminium pada otak, yang disebabkan oleh ingesti
antasida yang mengandung aluminium atau kadar aluminium yang tinggi dalam cairan
dialisis. 2,3
- Neuropati perifer
Gangguan sistem saraf perifer mengikuti pola perjalanan penyakit yang khas. Tanda-
tanda paling dini dari penyakit ini adalah perlambatan konduksi saraf. Tes ini biasanya
dilakukan pada saraf peroneus pada tungkai bawah. Penurunan kecepatan konduksi daraf
dapat timbul sebelum awitan gejala-gejala klinis. Restless leg sindrom kadang-kadang
merupakan gejala awal. Pasien menjalaskan gejala tersebut sebagai suatu perasaan yang
aneh yang dapat diredakan dengan berjalan-jalan atau mengerakan kaki. Stadium kedua
dari perkembangan neuropati perifer adalah timbulnya perubahan-perubahan sensorik
pada ekstermitas. Pasien mengalami nyeri seperti terbakar, perasaan baal atau prestesia
pada jari-jari kaki dan kaki yang kemudian menjalar ke tungkai seperti kaos kaki panjang.
Pada stadium selanjutnya gejala prestisia terjadi pada jari-jari tangan dan tangan.
Akhirnya saraf motorik terangsang. Gangguan motorik biasanya dimulai dengan foot
drop dan berkembang menjadi paraplegia. Gambaran patologi berupa kehilangan myelin
dan saraf-saraf perifer yang mungkin disebabkan oleh keracunan uremik dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Hemodialisis dapat menghentikan perkembangan neuropati perifer, tetapi bila perubahan-
perubahan itu sudah terjadi maka sulit pulih kembali (sensorik) atau ireversibel (motorik).
Oleh karena itu, hemodialisis harus dilakukan sebelum timbul gejala atau tanda klinis.
27
Gangguan kalsium dan rangka
Bila penderita gagal ginjal kronik dapat bertahan cukup lama, maka ketidakseimbangan
kalsium dan fosfat yang disertai gangguan rangka tidak mungkin terelakan. Gangguan rangka
disebut osteodistrofi ginjal yang terdiri dari 3 lesi.
- Osteomalasia
Merupakan gangguan tulang yang sering ditemukan dan terlihat pada sekitar 60% dari
semua penderita gagal ginjal kronik. Kasus ini berhubungan dengan gangguan
mineralisasi tulang. Osteomalasia terdiri atas gangguan mineralisasi tulang dan
disebabkan oleh defisiensi 1,25-dihidroksikole-kalsiferol atau kalsitriol, bentuk paling
aktif vitamin D yang dimetabolisme oleh ginjal. Defisiensi bentuk paling aktif vitamin D
menyebabkan sangat terganggunya absorbsi kalsium diusus. Dalam tulang osteoblas terus
membentuk jaringan osteosid (rangka tempat garam kalsium diletakan untuk membentuk
tulang), tetapi kadar serum rendah dan kerja vitamin D yang tidak aktif pada tulang tidak
memungkinkan terjadinya mineralisasi. Jaringan osteosid akhirnya mengantikan tulang
normal, sehingga terjadi osteomalasia pada orang dewasa dan rakitis pada anak-anak.
Osteoid secara structural lemah dan dapat mengalami fraktur atau perubahan bentuk bila
mendapatkan tekanan.
- Osteitis fibrosa
Ditemukan pada lebih dari 30% pasien, dan ditandai dengan resorbsi osteoklastik tulang
serta penggantian oleh jaringan fibrosa. Demineralisasi tulang mungkin bersifat local dan
tampak seperti lesi kistik (osteitis fibrosa sistika), atau sebagai penurunan umum densitas
tulang pada radiogram. Osteitis fibrosa disebabkan oleh peningkatan kadar hormone
paratiroid (PTH) pada gagal ginjal kronik.
- Osteosklerosis
Merupakan jenis gangguan tulang ketiga yang lebih jarang ditemukan sering
bermanifestasi pada vertebra yang tampak berpita atau bergaris (rugger-jersey spine)
28
pada radiogram. Osteosklerosis disebabkan oleh selang seling antara pengurangan dan
peningkatan densitas tulang.
Setiap lesi tersebut diatas dapat timbul sendiri tetapi lebih sering timbul bersama.
Hemodialisis tidak dapat mencegah osteodistrofi ginjal. Faktor-faktor utama adalah penurunan
fungsi ginjal, hiperparatidisme sekunder, dan defisiensi atau resestensi vitamin D. Selain ketiga
jenis lesi klasik diatas, terdapat 3 jenis lain dari penyakit tulang dan rangka yang terlihat pada
pasien ESRD yang terdeteksi dengan biopsy tulang. Osteomalasia yang diinduksi aluminum
yang resisten vitamin D tersusun dari penimbunan metabolit aluminum di dalam tulang sehingga
menjadi faktor predisposisi fraktur patologis (terutama fraktur pangkal paha). Sumber
penyebabnya adalah obat-obat antasid aluminium hidroksida yang lasim digunakan sebagai obat
pengikat fosfat dalam diet. Penyakit tulang adinamik atau aplastik merupakan keadaan yang
akhir-akhir ini ditandai dengan penurunan mineralisasi tulang tetapi dengan osteoid dengan
jumlah normal. Sering terjadi pada orang dewasa , pasien diabetes dan pada orang-orang yang
diobati dengan dialisis peritoneal. Faktor-faktor penyebab toksisitas aluminum pada beberapa
kasus dan sangat tertekannya kadar PTH yang normalnya meningkat pada ESRD. 2,3
Amiloidosis terkait dialisis terkait akibat penimbunan fibril-fibril yang berasal dari
mikoroglobulin β2 pada tulang dan sendi karena pembatasan protein ini melaui dialisis dalam
ESRD. Manifestasi klinis yang paling sering terjadi adalah kista tulang, artropati, dan sindrom
terowongan karpal. Nyeri tulang dan fraktur patologi lazim terjadi pada ketiga keadaan ini.
Patogenesis osteodistrofi ginjal
Urutan peristiwa yang menyebabkan hiperparatiroidme sekunder dan osteodistrofi ginjal
paling mudah dipahami dengan mengikuti gambar ini
29
Dalam keadaan normal kalsium dan fosfat serum beada dalam keseimbangan dengan kalsium
fosfat fase padat dalam tulang. PTH dan kalsitrol merupakan pengatur utama proses absorbsi dari
usus, eksresi oleh ginjal serta pengendapan dan resorpsi mineral-mineral ini dari tulang. lebih
jauh kadar kalsium dan fosfat serum mempunyai hubungan yang terbalik yaitu kadar kalsium
naik maka kadar fosfat serum akan menurun. Hubungan yang saling mempengaruhi ini
berperanan dalam mempertahankan produksi campuran kalsium-fosfat dalam jumlah yang
konstan sehingga tidak terjadi pengendapan kalsium fosfat dalam sistem vaskuler. 2,3
Dengan semakin lanjutnya penyakit gagal ginjal maka hubungan antara kalsium dan fosfat
maka akan terganggu. Jika GFR turun sampai 25% dari normal maka fosfat akan ditahanoleh
ginjal. Retensi fosfat akanmenyebabkan penurunan kadar kasium serum. Keadaan azetomia juga
akan menganggu pengaktivan vitamin D3 oleh ginjal, yang diperlukan untuk absorbsi kalsium
dari usus. Kedua faktor tersebut menyebabkan keadaan hipokalsemia. Hipokalsemia akan
merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan lebih banyak PTH yang menyebabkan
resorbsi kalsium dan fosfat tulang, meningkatkan eksresi fosfat dan mengaktifkan vitamin D
oleh ginjal. Tetapi dengan menurunnya kadar GFR, kalsium serum yang rendah dan fosfat yang
tinggi terus merangsang aktivitas paratiroid. Kelenjar paratiroid dapat menuhjukan adanya
hiperplasi sel-sel sekretorik yang jelas lepas dari pengendalian fisiologis. Akibatnya terjadi
demineralisasi tulang rangka. Berlangsungnya proses tersebut terbukti dari peningkatan kadar
30
fosfatase basa serum. Produksi komplek kalsium fosfat menjadi tinggi sekali sehingga terbentuk
endapan garam kalsium fosfat di jaringan tubuh. 2,3
E. Epidemiologi
Di Amerika serikat data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit gagal ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun dan angka ini meningkat 8% pertahunnya. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan 1800 kasus baru gagal ginjal kronik pertahunnya.
Di Negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk pertahun. 2
F. Penatalaksanaan
Banyak faktor yang perlu dikendalikan untuk mencegah / memperlambat progresifitas
penurunan faal ginjal (LFG). diantara penyakit dasar ginjal glomerulopati tergantung dari
kelainan histopatologi ginjal, protein hewani, hiperkolesterolemia, hipertensi sistemik, gangguan
elektrolit (hipokalsemia dan hipokalemia) merupakan faktor-faktor yang memperburuk faal
ginjal. 2
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun samapai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition )
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbanagn
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
31
Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, fosfst, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebur uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremic. Masalah penting lain adalah, asupan protein
berlebih (protein overloaded) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intaglomerulus hyperfiltration), yang
akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. 2
Pembatasan asupan protein & fosfat pada PGK:
LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hari Fosfat
g/kg/hr
> 60 Tidak dianjurkan Tdk dibatasi
25 – 60 0,6-0,8 kg/hr termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr nilai
biologi tinggi
≤ 10 g
5 – 25 0,6-0,8 kg/hr termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr nilai
biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keto
≤ 10 g
32
< 60
(sindrom
nefrotik)
0,8/kg/hr (+1 gr protein / g proteinuria atau 0,3
g/kg tambahan asam amino esensial atau asam
keto
≤ 9 g
Penatalaksaan farmakologi pada kasus 6 meliputi penatalaksaan pada penyakit hipertensi,
diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik itu sendiri. 2
- Hipertensi
Menggunakan ACE inhibitor misalnya kaptopril dapat bermanfaat untuk pasien
hipertensi dan diabetes esensial atau diabetes mellitus. Selain itu ACE inhibitor juga
dapat menurunkan proteinuria.
Bila pasien sedang mengalami hemodialisis maka pemberian antihipertensi harus
dihentikan. Selain itu ACE inhibitor terdapat penyekat kanal kalsium atau minodiksil
yang dapat digunakan untuk mengkontrol tekanan darah.
Dosis : 12,5 mg
- Diabetes melitus
Pengobatan diabetes mellitus dengan mengendalikan kadar gula darah. Pengobatannya
dengan menggunakan ACE inhibitor tetapi obat ini harus digunakan pada awal
pengobatan hipertensi karena mempunyai efek antiproteinurik.
- Gagal ginjal kronik
Derajat GFR (ml/menit/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 ≥ 90
Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid,evaluasi perburukan
fungdi ginjal, memperbaiki
resiko kardiovaskular
33
2 60-89Menghambat pemburukan
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29Persiapan untu terapi
penggantian ginjal
5 <15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal
Terapi Penggantian Ginjal
Masa kini hanya ada 2 pilihan untuk Gagal Ginjal Terminal
Dialisis :
o Hemodialisis (HD)
o Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
Tranplantasi.
Hemodialisi
Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis :
a) Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
nutrisi.tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG).
b) Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG
antara 5 dan 8 ml/menit/1,73 m2.
Pemeriksaan LFG (radionuklida) paling tepat untuk mencerminkan faal ginjal yang
sebenarnya, sesuai dengan klirens inulin. Pemeriksaan ini terbatas di RS rujukan. Untuk
kepentingan klinis, estimasi klirens kreatinin dapat digunakan formula Cockcroft dan Gault.
G. Komplikasi
DerajatGFR
(ml/menit/1,73m2)Penjelasan Komplikasi
1 ≥ 90Kerusakan ginjal dengan
GFR normal
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan Tekanan darah mulai
34
penurunan GFR ringan meningkat.
3 30-59
Penurunan GFR sedang Hiperfosfatnemia
Hipokalemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
4 15-29
Penurunan GFR berat Malnutrisi
Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 <15 atau dialisisGagal ginjal Gagal jantung
Sindrom uremik
PENUTUPAN
Gagal ginjal merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh penyakit lain. Pada kasus ini
penyakit ginjalnya merupakan manifestasi dari hipertensi dan diabetes mellitus. Untuk itu
penyakit ini harus harus segeradi obati karena manifestasi klinis yang di timbulkan ialah sindrom
uremik.
Penatalaksanaan penyakit ginjal itu sendiri bergantung dari stadium yang di derita pasien
berdasarkan derajat GFR (Glomerulus Filtration Rate) yang dapat dihitung menggunakan
persamaan dari Kockrcroft-Gault.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurahman N, Daldiyono H, Markum, dkk. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Balai penerbit FKUI 2003
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit
dalam edisi 5 jilid II. Jakarta : Interna Publishing 2009. 979-1089
3. Sylvia A. price, Lorraine M W. Patofisologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6
jilid II; EGC: 2006 912-990
4. Sudiono H, iskandar I, halim SL, santoso R dkk. Hematologi. Jakarta. 2009. 38-42
5. Sudiono H, iskandar I, halim SL, santoso R dkk. Urinalisis. Jakarta Edisi 2.2008. 13-79
6. Mansjoer A, kuspuji T, rakhmi S, wahyu I, dkk. Kapita selekta kedokteran. Jakarta 2008.
518-513
7. Baron DN. Patologi klinik. Jakarta. EGC. 1995. 232-255
36