gabung 16 november 2011

23
2.1 Pengertian spasial Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, spasial lebih berhubungan dengan spasi yang bermakna jarak, selingan bidang atau daerah di antara benda-benda. Adapun secara erminologis, Mulyati (1995) memberikan penjelasan bahwa “spasial” adalah ruang fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Vincent (dalam Mulyati,1995:46), menjelaskan bahwa permukiman adalah sekelompok rumah yang terorganisasi dalam sebuah sistem sosial budaya dan religius, yang tercermin pada fisik lingkungannya. Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Pola Pemekaran Kota atau Desa Dinamika penduduk adalah perubahan jumlah penduduk disuatu daerah dari waktu ke waktu. perubahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk ( imigrasi dan emigrasi). Dinamika penduduk pada umumnya menunjukan peningkatan jumlah penduduk disebut pertumbuhan penduduk. kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah yang ditempati. Kepadatan penduduk tiap daerah berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh kondisi spasial yang ada, seperti kondisi geografis dan tingkat pelayanan infrastruktur yang di sediakan daerah tersebut bagi masyarakat sekitarnya

Upload: uberalez

Post on 22-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

2.1 Pengertian spasial

Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, spasial lebih berhubungan

dengan spasi yang bermakna jarak, selingan bidang atau daerah di antara benda-benda.

Adapun secara erminologis, Mulyati (1995) memberikan penjelasan bahwa “spasial” adalah

ruang fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk

bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Vincent

(dalam Mulyati,1995:46), menjelaskan bahwa permukiman adalah sekelompok rumah yang

terorganisasi dalam sebuah sistem sosial budaya dan religius, yang tercermin pada fisik

lingkungannya.

Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Pola Pemekaran Kota atau Desa

Dinamika penduduk adalah perubahan jumlah penduduk  disuatu daerah dari waktu ke

waktu. perubahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian dan perpindahan

penduduk ( imigrasi dan emigrasi). Dinamika penduduk pada umumnya menunjukan

peningkatan jumlah penduduk disebut pertumbuhan penduduk.

kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah

yang ditempati. Kepadatan penduduk tiap daerah berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh

kondisi spasial yang ada, seperti kondisi geografis dan tingkat pelayanan infrastruktur yang

di sediakan daerah tersebut bagi masyarakat sekitarnya

Kondisi geografis yanag dimaksud adalah topografgi wilayah, kondisi rawan bencana,

potensi tingkat kesuburan tanah dan sumber daya alma lainnya.

Selain faktor geografis hal lain yang mempengaruhi kepadatan penduduk pada suatu

wilayah adalah dekat ayau tidaknya jarak menuju wilayah nodal atau yang sering disebut

dengan perkotaan , hal ini disebabkan karena wilayah nodal memiliki peranan sebagai

pemberi layanan infrastruktur yang lengkap bagi daerah-daerah disekitarnya. Sehingga besar

kecilnya wilayah nodal akan mempengaruhi orientasi permukiman penduduk yang lambat

laun berdampak terhadap pemekaran suatu kota.

Awal terjadinya suatu pemekaran kota dan desa, disebabkan karena terbentuknya suatu

wilayah nodal akibat sebuah tuntutan bagaimana membentuk tata ruang yang efesien.

Menurut Sri, (2006) nodal yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih

cepat dipengaruhi oleh peluang yang diberikan pemerintah pada wilayah tersebut untuk

berkembang dalam mendukung pertumbuhan wilayah. Dalam penelitian Sri juga

disampaikan jika terdapat dua pusat pelayanan atau nodal yang sama-sama berkembang

maka akan mempengaruhi aktivitas pembangunan yang akan tumbuh disekitar jalur

penghubung pada dua wilayah tersebut, namun jika salah satu dari pusat pelayanan atau

nodal yang berkembang maka orientasi pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan

segala aliran aktivititas masyarakat lebih tertarik pada pusat pelayanan atau nodal yang

berkembang tersebut, dan hal ini akan memberikan dampak terhadap perbedaan produktivitas

lahan. Semakin tinggi perananan nodal dalam meberikan pelayanan terhadap wilayah

sekitarnya akan diikuti oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi.

Kosentrasi aktivitas penduduk yang tertarik hanya pada satu nodal yang berkembang

menyebabkan terjadinya disparitas spasial, konsentrasi dari aktivitas ini salah satunya dapat

dilihat dari proses pemekaran kota akibat laju pertumbuhan penduduk pada nodal tersebut

semakin bertambah tinggi.

Jangkauan pelayanan nodal ini sangat tergantung dari besar atau kecilnya nodal tersebut.

Semakin besar suatu nodal atau pusat kota maka semakin luas pula wilayah pelayanannya.

Berikut gambar mengenai nodal dan jangkauan pelayanannya yang dikemukakan oleh

Hartshom (1980) dalam http://geografi.ums.ac.id/ebook/perenc_kota/Kota.pdf, diakses tgl 26

Oktober 2011

Gambar 2.1. Hubungan antara range of a good dan batas area perdagangan dalam http://geografi.ums.ac.id/ebook/perenc_kota/Kota.pdf, diakses tgl 26 Oktober 2011

Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good, makna dari gambar

tersebut diatas, yang mana inner rage adalah bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area

perdagangan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas pembelian. Jangkauan pelayanan

bagian luar dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal perluasan paling

luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat

dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan

adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi

kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada

barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri. Bila ideal outer range of the good kemudian,

karena perkembangan teknologi, dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real

outer range of the good. Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the

good) adalah perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak

hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani

ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut mendapatkan ideal outer rangenya

sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of the good. Namun bila terdapat pesaing,

maka ideal outer rangenya dilayani secara bersama sehingga real outer rangenya mengecil.

Bagian luar ini dilayani secara bersama dan merupakan area perpotongan lebih dari satu pusat

pelayanan.

Nampaknya dari gambar tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, yang mana bagian real

outer range of the good adalah lokasi yang strategis, pada lokasi ini permukiman yang tumbuh

dapat dilayani oleh beberapa pusat pelayanan yang tergantung dari seberapa kuatnya interaksi

yang membentuk “simbiosis-mutualisme” pada dua pusat nodal tersebut. Semakin kuat

interaksinya maka semakin besar aktivitas masyarakat yang tumbuh pada jalur ini, namun ketika

tidak terbentuk suatu interaksi antara satu nodal dan nodal yang lainnya maka real outer range of

the good akan semakin kecil dan akan terbentuk wujud spasial radial terputus atau linier terputus

Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini

menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya mengenai

aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun penggunaan lahan

pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya yg disebut pendekatan

morfologi kota atau “Urban Morphological Approach” (Yunus, 2000:107).

Menurut Herbert (Herbert dalam Yunus, 2000:197) Matra morfologi pemukiman

menyoroti eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati dar kenampakan kota secara

fiskal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik dari

daerah hunian ataupun bukan (perdagangan dan industri) dan juga banguna individual.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan atau perdesaan maupun kegiatan

penduduk perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Oleh

karena ketersediaan ruang di dalam kota atau perdesaan tetap dan terbatas, maka meningkatnya

kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil

ruang di daerah pinggiran kota. Proses perembetan  kenampakan fisik kekotaan ke arah luar

disebut”urban sprawl”.Adapun macam “urban sprawl” sebagai berikut: (Yunus, 2000:124)

Tipe 1: Perembetan konsentris (Concentric Development/ Low Density continous development)

 

  Gambar 2.2 Perembetan konsentris, Sumber: (Yunus, 2000:126)

Dikemukakan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) menyebut tipe ini sebagai

“lowdensity, continous development” dan Wallace (1980) menyebut “concentric dvelopment”.

Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar

kenampakkan fisik kota yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi

kota yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetannya tidak begitu besar.

Tipe 2: Perembetan memanjang (ribbon development/lineair development/axial development)

Gambar 2.3 Perembetan linear, (Yunus, 2000:128)

Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi

luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi

yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah disepanjang rute

transportasi merupakan tekanan paling berat dari perkembangan (Yunus, 2000:127). Tipe ini

perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi-luar dari pada daerah kota utama.

Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang jalur transportasi.

Tipe 3: Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkkerboard development)

Gambar 2.4 Perembetan Meloncat, (Yunus, 2000:129)

Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar

lingkungan, tidak efisien dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaanya terjadi berpencaran

secara sparadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan

dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan

produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi.

Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Struktur Spasial Kota dan Desa

Dinamika masyarakat dalam hal jumlah penduduk mempengaruhi perkembangan pasar,

semakin bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula barang dan jasa yang

dibutuhkan. Komposisi penduduk menurut usia yang berubah, misalnya karena tahapan hidup

meningkat, membuat ragam produk pun mengikuti, baik dalam jumlah maupun jenis.

Bidang sosial budaya masyarakat turut menjadi faktor yang mempengaruhi struktur

sapasial kota. Masyarakat yang semakin aktif dalam kehidupan sosial akan meningkatkan

aktivitas pengadaan barang dan jasa guna memfasilitasi kegiatan mereka.

Globalisasi juga merupakan faktor utama terciptanya permintaan atau meningkatnya

permintaan barang dan jasa. Bidang terakhir adalah bidang hukum dan peraturan yang

mempengaruhi pertumbuhan pasar ritel, baik dalam arti mendorong maupun dalam arti

menghambat. Dalam arti mendorong, misalnya peraturan tentang pembuatan atau pembangunan

usaha baru yang semakin mudah. Dalam arti menghambat, misalnya peraturan besarnya pajak

yang semakin meningkat.

Yang dimaksud dengan struktur spasial Menurut Burgess struktur kota sebagai suatu

rangakian “concentric zone” dan berkembangnya struktur tersebut terjadi dengan cara ekspansi

kawasan-kawasannya ataupun invasi kawasan lainnya. Adapun struktur kota jenisnya bermacam-

macam ada yang berbentuk mono centered, multi center, ataupun dengan pola segmentasi.

pola multi center terbentuk ketika dalam sebuah pusat (center) memiliki beberapa sub

center yang berada disekitarnya dan mampu melayani kebutuhan perdagangan berupa eceran

bagi penduduk sekitar yang bertempat tinggal pada wilayah tersebut, sedangkan yang

dimaksudkan dengan pola mono center ialah ketika pada wilayah tersebut aktivitas perdagangan

hanya terdapat pada wilayah center saja. Adisasmita (2010)

Pola multi center pola konsentris

Menurut Sukirno (2010), keberadaan pasar tidak lepas dari pengaruh kesejahteraan

masyarakat. Dikatakan masyarakat yang kurang sejahtera tidak berdaya perihal permintaan

barang dan jasa, mereka cenderung memanfaatkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan

mereka sendiri dan sebagian untuk dijual.

Dari pernyataan beberapa para ahi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

keberadaan pusat pelayanan pada pusat atau center atau yang bersifat multi center memiliki

keterkaitan terhadap permintaan akan barang dan jasa dari masyarakat sekitar itu sendiri.

Samakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya maka semakin besar permintaan akan

barang dan jasa maka semakin meningkat pula jumlah pelayanan akan barang dan jasa tersebut.

Pengaruh Dinamika Masyarakat Terhadap Ketimpangan Spasial

Akibat orientasi permukiman penduduk yang lebih cenderung menuju wilayah

perkotaan seperti yang sudah dijelaskan, menyebabkan terbentuknya suatu

ketimpangan spasial, yang dimaksud dengan ketimpangan spasial adalah adalah

ketidakseimbangan pembangunan akibat pemusatan aktivitas terkait letaknya sesuai dengan

tata ruang geografis yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat, hal ini dapat

dilihat melalui perbedaan produktivitas lahan pada lokasi/ wilayah tersebut.

Beragam aktivitas dan orientasi permukiman menuju wilayah nodal atau perkotaan, semakin dekat dengat pusat kota maka kenampakan fiscal yang terjadi lebih modern dibandikan daerah yang jauh dari pusat kota

Semakin jauh dari pusat nodal maka wujud visual yang terbentuk adalah di bidang agraris, dengan pola permukiman yang terpencar sehingga sulit tersentuh kebijakan pemerintah

Dampak dari ketimpangan spasial akibat dinamika masyarakat ini, menyebabkan keterhambatan pembangan, tumbuhnya bibit-bibit kecemburuan social di masyarakat, dan wilayah yah jauh dari pusat nodal mulai ditinggalkan para pekerja usia produktif, akibat wilayahj tersebut tidak tersentuh oleh kebijakan pembangunan dari pemerintah

O a b c d

2.2 Spasial terhadap pembentukan gated community

John Heinrich von Thunen menguraikan sewa lahan diferensial yang inti

pembahasannya adalah mengenai lokasi dan spesialisi lahan pertanian. Kegiatan yang

mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar ditempatkan pada kawasan konsentris

yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan

untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya adalah kurang

intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya. Dari

uraian dapat dikatakan bahwa semakin dekat letaknya dengan pasar penjualan atau pusat

kota, berarti semakin tinggi sewa lahannya dan semakin berkurang pula biaya

transportasinya.

Gambar 1. Cincin-cincin pola penggunaan lahan

(Sumber : Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang : Rahardjo Adisasmita,2010)

Berdasarkan teori penggunaan lahan didapat semakin dekat dengan pusat kota atau

pasar penjualan maka semakin besar nilai lahan. Perbedaan nilai lahan ini mengakibatkan

masyarakat yang mampu menempati lahan tersebut juga berbanding berdasarkan

kemampuan ekonominya. Untuk lahan yang dekat pusat kota dan dengan nilai lahan yang

tinggi hanya mampu ditempati oleh masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi.

Lahan berikutnya yang memiliki jarak yang lebih jauh dari pusat kota akan memiliki nilai

lahan lebih rendah dan hanya mampu ditempati oleh masyarakat yang tingkat ekonominya

lebih rendah. Perbedaan ruang-ruang lahan ini mengakibatkan adanya pengaruh terhadap

kelompok – kelompok masyarakat dimana terbentuk etnis masyarakat kelompok ekonomi

tinggi, kelompok ekonomi menengah dan kelompok ekonomi rendah.

Pusat kota

O a b c d

Pembagian secara spasial berdasarkan ekonomi kemudian membentuk gated

community di perkotaan, masyarakat yang berperekonomian menengah keatas umumnya

memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap privasi, keamanan dan kenyamanan.

Cenderungnya mereka lebih nyaman untuk hidup berkelompok yang memiliki tingkat strata

ekonomi yang sama. Seperti yang terjadi di Hayam Wuruk Residence, Teras Ayung, Pecatu

graha.

3 Perkembangan Jumlah Penduduk Mempengaruhi Ruang Terbuka Hijau dan

Mempengaruhi Kebijakan dari Pemerintah.

Dinamika masyarakat yang terjadi salah satunya adalah peningkatan populasi

manusia atau meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tingkat kepadatan semakin

tinggi. Pada sisi lain ,luas tanah atau lahan tidak bertambah. Kepadatan penduduk dapat

mengakibatkan tanah pertanian semakin berkurang karena digunakan untuk pemukiman

penduduk.1

Peningkatan populasi masyarakat menurut Malthus, pertumbuhan jumlah penduduk,

bila tidak dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8,dst). Produksi pangan

meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4,dst). Di Indonesia dengan ledakan penduduk

saat ini, mengakibatkan dampak sosial yaitu mengalami krisis pangan. Bahkan di dunia pun

terjadi krisis pangan global.2

1 http://dipit89.wordpress.com/category/akibat-kepadatan-penduduk/ diakses 14 Nopember 2011

2 http://izzahluvgreen.wordpress.com/2009/04/04/dampak-permasalahan-penduduk-di-indonesia-terhadap-lingkungan-hidup/ diakses 14

Nopember 2011

Ekonomi menengah keatas

menengah

Ekonomi rendah

Dinamika masyarakat tentang jumlah penduduk ini membuat perubahan pada ruang

–ruang di kota.Perkembangan penduduk yang tinggi yang semakin meningkatnya jumlah

pemukiman mengakibatkan jumlah lahan untuk pertanian yang merupakan ruang terbuka

hijau semakin berkurang. Ruang terbuka hijau ini beralih fungsi sebagian besar menjadi

pemukiman karena tuntutan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal.

Ciri morfologi kota-kota Indonesia juga memperlihatkan adanya penurunan yang

signifikan dalam luasan ruang terbuka hijau (RTH). Kota-kota besar seperti Jakarta,

Surabaya dan Bandung telah kehilangan banyak RTH, hingga luasannya kini hanya berkisar

10% dari luas wilayah administratifnya. Sementara itu, beberapa kota masih mampu

menjaga luasan hutan kotanya diatas 30%, seperti Balikpapan dan Ternate, walaupun

dewasa ini juga tengah menghadapi tekanan urbanisasi yang serius akibat kelangkaan lahan

perkotaan. Di Ternate, misalnya, tekanan tersebut mengakibatkan pemanfaatan hutan kota

yang cukup jauh dari garis pantai, berada di perbukitan Gunung Gamalama yang masih

aktif. Perkembangan fisik ini sangat berbahaya dari kacamata mitigasi bencana, karena

meningkatkan risiko bencana yang bersumber dari kegiatan vulkanik Gunung Gamalama.

Dinamika masyarakat yang mempengaruhi ruang terbuka hijau di kota

mengakibatkan dibuatnya suatu kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang ruang terbuka

hijau. Kebijakan ini dibuat untuk melindungi ruang –ruang di Kota agar tidak berkurang

lebih besar. Salah satu kebijakan yang dibuat untuk mengatur tata ruang terbuka hijau

sebagai akibat permasalahan ruang terbuka hijau adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman penyediaan dan pemanfaatan Ruang terbuka

hijau di kawasan perkotaan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman

penyediaan dan pemanfaatan Ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan mengatur tentang

ruang terbuka hijau mulai dari pengertian, penyediaan RTH di kawasan perkotaan,

pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan sampai prosedur perencanaan dan peran

masyarakat.

2.4 Pengaruh Pola Spasial Permukiman Terhadap Perkembangan Ras/Etnik

Pola spasial permukiman di desa menurut Wiriaatmadja (1981) adalah: (1) Pola

permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain; (2) Pola permukiman dengan

cara berkumpul dalam sebuah kampung, memanjang ‘mengikuti jalan lalu lintas’; (3) Pola

permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa; (4) Berkumpul dan

tersusun melingkar mengikuti jalan. Tipe-tipe Pola Permukiman di Desa Permukiman di

daerah pinggiran kota Pola spasial permukiman di daerah pinggiran kota pada awalnya

terbentuk dari aktivitas penduduk tani di desa, dengan ciri-ciri sebagian besar daerahnya

adalah berupa lahan-lahan pertanian yang mengarah pada pola spasial kota. Subroto

(1997:46-48) penjelaskan perubahan spasial pinggiran kota sebagai berikut:

a. Pola perubahan konsentris spasial (a pattern of spatial concentric), terbentuk oleh adanya

jalan kelas 1 yang menghubungkan/memotong komunitas pinggiran kota.

b. Pola perubahan dispersi (pembubaran) spasial, terbentuk oleh adanya pembagian spasial

secara merata dari suatu kelompok komunitas urban fringe, akibat dibangunnya jalan-

jalan penghubung. Pola ini dapat disebut model katak lompat (leap frog model).

Gambar 2. Cincin-cincin pola penggunaan lahan

Lahan Pertanian kepemilikan oleh kelompok petaniPertokoan kepemilikan oleh kelompok pedagang

Jalan malboro

(Sumber : Wiriaatmaja: 1981)

Perkembangan pola spasial di kota yang mulanya jalan pertanian kemudian terjadi

pembangunan jalan kelas 1 yang memecah lahan pertanian. Perkembangan selanjutnya

menjadikan perubahan lahan pertanian menjadi lahan permukiman yang mengikuti jalan

yang baru. Perkembangan permukiman yang baru membentuk ras.

Pembentukan ras akibat perkembangan permukiman terdiri dari kelompok pedagang

kelompok petani. Kelompok pedagang yang umumnya dari ras cina dan arab terbentuk

akibat disepanjang jalan dibentuknya ruko-ruko dan pertokoan. Dan kelompok petani yang

merupakan penduduk pribumi yang masih menetap disekitar perkembangan permukiman

tersebut.

Sebagai contoh pada jalan malboro di Denpasar Barat awalnya daerah tersebut

adalah daerah hijau sebagai lahan pertanian tetapi perkembangan selanjutnya dengan adanya

perkembangan dimana adanya jalan malboro yang membelah lahan hijau didaerah tersebut,

timbullah pernukiaman, rumah toko dan pertokoan yang perkembangannya mengikuti

disepanjang jalaur jalan. Di lokasi tersebut masih ada juga jalur hijau berupa lahan-lahan

pertanian tetapi sudah tidak produktif.

Gambar 3. Perkembangan Pola Ruang Terhadap Kelompok Masyarakat di Jalan Malboro,

Denpasar

(Sumber : Dokumentasi Kelompok, 2011)

Permukiman mempunyai kecenderungan yang bercorak heterogen dengan

penggolongan pada struktur sosial ekonomi masyarakat. (Suparlan, P., 1996: 3-31)

Golongan elit atau atas, tinggal di rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan-jalan raya atau

jalan kelas satu yang mengelilingi sebuah blok permukiman. Di tengah-tengah perumahan

tempat tinggal golongan elit tersebut terdapat jalan-jalan kelas dua yang di tepi jalannya

terdapat rumah-rumah tempat tinggal golongan menengah, dan di tengah-tengah

permukiman golongan menengah tersebut terdapat perkampungan bagi mereka yang

tergolong berpenghasilan rendah.Corak permukiman ini mempengaruhi perkembangan dari

etnis-etnis kelompok sosial masyarakat yang terbagi atas kelompok kelas elit, kelas

menengah dan kelas rendah.

2.5 Perkembangan Permukiman Elit yang Dipengaruhi oleh Kebijakan Pemerintah dan

Mempengaruhi Dinamika Masyarakat Etnis Setempat

Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992 mengamanatkan

pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di sekor permukiman, pertambangan dan

energi, transportasi dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan di sektor

permukiman diartikan sebagai pembangunan permukiman secara berkelanjutan sebagai

upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas

lingkungan sebagai tempat hidup dan bekerja semua orang. Intinya pembangunan

permukiman yang berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

masyarakat secara berkelanjutan.

Untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat diperlukan adanya kegiatan

pengaturan terhadap pengembangan permukiman, dimana sarana untuk melakukan

pengaturan tersebut merupakan institusi yang menjadi kunci pengembangan dan

pembangunan permukiman yang baik dan berkelanjutan. Kepranataan tersebut mencakup

kebijakan dan instrumen implementasinya terdiri dari struktur organisasi atau kelembagaan

dan sarana hukum serta mekanisme penyelenggaraannya.

Namun permasalahan yang terlihat di lapangan adalah kebijakan-kebijakan tersebut

cenderung memihak kepada kepentingan suatu kelompok atau etnis tertentu dalam

pembangunan perumahan dan permukiman, serta belum sepenuhnya keberpihakan untuk

kepentingan masyarakat atau kaum etnik setempat. Dimana tanah-tanah yang dahulunya

milik warga setempat, mereka terpaksa membayar pajak setiap tahun tanpa bisa

mengembangkan tanahnya dengan baik akibat dari tingkat ekonomi masyarakat yang

rendah. Namun dengan kedatangan investor yang tentunya memiliki kekuatan uang yang

tinggi sehingga dengan mudahnya lahan-lahan tersebut dibeli dan dibangun perumahan elit.

Terkadang proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau membeli

tanah dengan harga yang sangat murah kepada pemilik tanah. Pemerintah sebagai pengatur

dan pemberi kebijakan juga dinilai kurang memberikan kebijakan yang berpihak pada rakyat

kecil; utamanya. Sehingga masyarakat lokal yang tanahnya diambil oleh investor

pengembang perumahan baik dengan harga yang pantas,maupun dengan harga yang sangat

murah, juga semakin sulit mengembangkan kehidupan ekonominya yang menimbulkan

suatu dinamika sosial masyarakat dimana terdapat golongan masyarakat ekonomi rendah

yang berada pada daerah perumahan elit masyarakat dengan ekonomi menegah ke atas.

Kebijakan yang memihak kepada kepentingan suatu kelompok masih sering terjadi dalam

pembangunan perumahan dan permuk iman, serta belum sepenuhnya keberpihakan untuk

kepentingan masyarakat setempat.

Contoh :

Proyek mega besar yaitu Pecatu Indah Resort yang lebih dikenal dengan nama

“Dreamland” berlokasi di ujung kawasan Desa Pecatu, Kabupaten Badung, Bali. Kawasan yang

dimiliki oleh PT. Pecatu Indah Resort ini memiliki luas kira-kira 900 hektar.

Gambar : Pecatu Indah Resort “Dreamland”

(Sumber : http://www.suarmas.com/dream_land.html, 20011)

Kawasan kondominium besar ini dimiliki oleh Tommy Soeharto. Terlihat pada proses

pembebasan lahannya, pihak investor termasuk Tommy cenderung melakukan cara kekerasan

dan membayar harga tanah masyarakat setempat dengan harga yang sangat murah. Masyarakat

asli desa setempat pun tidak dapat berbuat banyak dikarenakan Negara Indonesia saat itu

dipimpin oleh Presiden Soeharto dimana anaknya yang bernama Tommy inilah yang melakukan

pembebasan lahan. Pecatu Indah Resort pun berkembang menjadi kawasan kondomonium elit

dengan pantai sebagai orientasi view utamanya. Tentunya hanya kaum dari rasa tau etnis yang

kemampuan ekonominya tinggilah yang mampu membeli serta menempati kondominum elit ini.

Masyarakat etnis setempat hanya hidup di daerah pinggiran kawasan Pecatu Indah Resort ini.

Tentunya hal ini menimbulkan dinamika sosial masyarakat setempat akibat pembangunan ini

serta tidak adanya ketegasan dari pemerintah sebagai penentu kebijakan yang kurang

memperhatikan rakyat setempat membuat proyek ini tetap berjalan dan terus dilakukan

pengembangan hingga sekarang.