fraktur servikal julia
TRANSCRIPT
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologik. Menurut Hanson dkk, kemungkinan besar terjadi fraktur
servikal jika ditemui:
- Parameter mekanisme cedera: KLL dengan kecepatan yang tinggi
Tabrakan pejalan kaki dengan kendaraan
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 feet
- Parameter penilaian pasien: Fraktur tengkorak
Perdarahan intracranial
Tanda neurologis yang mengarah ke spinal
Penurunan kesadaran pada saat pemeriksaan
Pemeriksaan X foto cervical merupakan pemeriksaan rutin di IGD yang
dilakukan pada pasien dengan riwayat nyeri atau trauma di
leher. Pemeriksaan radiologi pada cedera leher meliputi:
X foto servikal 3 posisi : AP, lat dan odontoid (open mouth view)
CT Scan dari basis cranii sampai torakal atas (T1-2), potongan axial 1 mm
MRI untuk mengevaluasi medulla spinalis.
Pemeriksaan CT scan dapat mendeteksi fraktur servikal pada pasien yang
beresiko tinggi sekitar 10 %. Dengan pemeriksaan fisik dapat dideteksi adanya
fraktur servikal sebanyak 0,2% pada pasien yang beresiko rendah. Sepuluh persen
pasien dengan fraktur di basis cranii, wajah atau torakal bagian atas mengalami
fraktur servikal.
Pada masa akut dapat terjadi spinal shock. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya
somatic motor, sensorik dan fungsi simpatetik otonom karena cedera medulla
spinalis. Makin berat cedera medulla spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi
spinal shock makin lama dan makin besar pula. Spinal shock ini timbul beberapa jam
sampai beberapa bulan setelah cedera medulla spinalis. Untuk mencegah keraguan
apakah gejala yang ditemukan akibat spinal shock atau bukan,
direkomendasikan guideline :
1. Berasumsi bahwa somatik motor dan defisit sensorik yang berhubungan
dengan spinal shock hanya terjadi kurang dari 1 jam setelah cedera.
2. Berasumsi bahwa refleks dan komponen otonom dari spinal shock dapat
terjadi beberapa hari sampai beberapa bulan, tergantung beratnya cedera
medulla spinalis
3. Menyimpulkan bahwa defisit motorik dan sensorik yang menetap lebih dari
1 jam setelah cedera disebabkan oleh perubahan patologis jarang karena efek
fisiologis dari spinal shock.
Penatalaksanaan
Didalam penatalaksanaan trauma spinal, ada dua hal yang sangat penting, yaitu:
instabilitas dari columna vertebralis (Spinal Instability) dan kerusakan jaringan saraf
baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and potential neurologic
injury).
Instabilitas kolumna vertebralis
Yang dimaksud dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah
hilangnya hubungan normal antara strukturstruktur anatomi dari kolumna
vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis
tidak lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari kolumna
vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman
untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic
injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan
atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari
komponen-komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas.
Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan.
White dan Panjabi membuat check list instabilitas pada Lower cervical spine,
dikatakan tidak stabil bila (+) 5 point:
• Terdapat anterior collum destruksi
• Angulasi sagital >110
• Pada sagital plane translasi > 3,5 mm
• Positif stretch test atau gangguan spinal cord timbul (disc 1,7 mm, angulasi
7,50) > unstable
• Terdapat gangguan radix atau penyempitan discus
Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah
agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi
terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa
dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic
stretcher’.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/tetraplegia.
Periksa vital signs
Pasang ’nasogastric tube’
Pasang kateter urin
Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock.
Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun
waktu 6 jam
setelah kecelakaan dapat memperbaiki kontusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan denganbeban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi
dengan ’approach’ anterior atau posterior.
Untuk fraktur atlas dan proccesus odontoid tindakan bedah ditujukan untuk
stabilisasi dan imobilisasi dengan menggunakan modifikasi halo treatment.
Indikasi operasi pada cedera medulla spinalis adalah :
- Perburukan progresif karena retropulsi tulang diskus atau hematoma
epidural
- Untuk restorasi dan realignment kolumna vertebralis
- Dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan
- Vertebra yang tidak stabil.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi
roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. Rehabilitasi untuk fraktur servikal
memerlukan waktu yang lama, beberapa bulan sampai tahunan, tergantung
beratnya cedera. Terapi fisik dapat dilakukan latihan untuk menguatkan
kembali daerah leher dan memberikan tindakan pencegahan untuk melindungi
cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk mengubah gaya hidup yang dapat
menyebabkan fraktur servikal. Mandi air hangat dan kompres hangat dapat
digunakan untuk mengurangi rasa tidak enak di leher. Kadang digunakan
kantong es atau ice massage. Setelah penggunaan neck splint, surgical
collaratau spinal brace selama beberapa bulan, fisio terapist membantu
menggerakkan leher kembali , dengan menggunakan gerakan terbatas dan
pijatan yang lembut, ketika dianggap aman untuk itu. Dianjurkan juga untuk
menggunakan bantal yang dapat memberikan sokongan yang khusus untuk
leher.
Komplikasi
Komplikasi sekunder dari fraktur dan dislokasi servikal bagian bawah dibagi menjadi
2 kategori besar: (1) fraktur/dislokasi dengan penyulit dan (2) trauma medula spinalis
atau dengan penyulit termasuk masalah paru-paru (seperti, pneumonia,
atelektasis, emboli pulmoner), masalah gastrointestinal (seperti, stress ulcers),
masalah urologi, masalah kulit (dekubitus), DVT (deep vein trombosis), dan masalah
psikologis.
Prognosis
Fraktur atlas dapat sembuh dan memberikan prognosis yang baik jika tidak disertai
cedera medulla spinalis. Prognosis untuk fraktur odontoid tidak sebaik fraktur atlas,
karena segmen fraktur dapat menyebaban pergeseran, yang menyebabkan cedera
medulla spinalis lebih dari 10%.
Kurang dari 5 % pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat
sembuh. Jika paralysis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan
pulih adalah 0 %. Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak
komplit. Jika masih terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan
kembali adalah lebih dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis
dapat kembali kerumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
sampai 6 bulan paska cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6
bulan
Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.
Fraktur atlas juga memberikan prognosis yang baik. Tapi adanya dislokasi fraktur
ke posterior yang sudah menyebabkan foramen magnum menyempit memberikan
prognosis yang buruk. Hal ini disebabkan karena di dekat foramen magnum
Area trauma berpengaruh terhadap keadaan pasien selanjutnya.
Trauma pada area C3-4: harus kontrol pergerakan pada mulut dan dagu/kepala
untuk mobilisasi di kursi roda.
Trauma pada area C5: mempengaruhi 3/5 kekuatan dari area otot-otot tertentu,
sehingga pasien masih dapat mengerjakan beberapa pekerjaan yang memelukan
pergerakan ekstremitas bagian atas.
Trauma pada area C6: kebanyakan mengalami kesulitan untuk berpindah tempat
saat ke toilet.
Trauma pada area C7-8 pada level ini, pasien hampir dapat mengerjakan seluruh
aktivitasnya sendiri dan hamya membutuhkan sangat sedikit bantuan.