forensik_paper.docx

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Belakangan ini, banyak terjadi kasus bencana alam maupun non-alam, pembunuhan, pemekorsaan, dan lain-lain. Seringkali jenazah yang ditemukan sudah tidak berbentuk sehingga sangat sulit untuk mengenalinya. Sementara itu, jenazah perlu dikembalikan kepada keluarga dari korban. Maka dari itu, diperlukan identifikasi terhadap jenazah tersebut. Identifikasi diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Sementara identifikasi secara forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan. Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya

Upload: yvonne-doyle

Post on 09-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FORENSIK_paper.docx

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Belakangan ini, banyak terjadi kasus bencana alam maupun non-alam,

pembunuhan, pemekorsaan, dan lain-lain. Seringkali jenazah yang ditemukan sudah

tidak berbentuk sehingga sangat sulit untuk mengenalinya. Sementara itu, jenazah

perlu dikembalikan kepada keluarga dari korban. Maka dari itu, diperlukan

identifikasi terhadap jenazah tersebut. Identifikasi diartikan sebagai suatu usaha untuk

mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak

dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama

dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri

itu. Sementara identifikasi secara forensik merupakan usaha untuk mengetahui

identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan

proses peradilan.

Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification)

menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan

identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.

Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat,

mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban

jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus

musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.

Ada beberapa cara untuk identifikasi dengan non-dental, dan salah satunya

adalah dengan DNA. DNA dapat menjadi sebuah alat untuk identifikasi karena pada

intinya setiap makhluk hidup memiliki kandungan DNA. Metode DNA adalah salah

satu teknik paling tepercaya untuk mengidentifikasi. Identifikasi melalui DNA sangat

membantu karena sifatnya pasti/ definitif dan tidak berubah, mungkin terjadi

kelainan-kelainan tertentu tetapi pola dari apa yang kita periksa tidak berubah, cuma

Page 2: FORENSIK_paper.docx

2

ada keburukannya tergantung dari tempat dimana sumber-sumber tersebut ditemukan,

misalkan lembab, banyak jamur, itu akan merusak DNA, tetap bisa dilakukan

pemeriksaan tapi akan membutuhkan waktu lebih lama.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

a. Untuk lebih mengerti arti identifikasi secara umum.

b. Untuk mengerti peran forensik dalam proses pengidentifikasian jenazah.

c. Untuk mengerti salah satu jenis identifikasi forensik non-dental, yaitu melalui

analisis DNA

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah agar:

a. Masyarakat akan lebih mengerti perihal identifikasi korban secara forensik.

b. Pengidentifikasian forensik secara analisis DNA dapat dikembangkan lagi.

Page 3: FORENSIK_paper.docx

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi secara umum

2.1.1 Pengertian identifikasi

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup

maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi

juga diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui

sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat

ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan

sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi forensik merupakan usaha

untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik,

yaitu kepentingan proses peradilan (Dr. Amri, 2000).

2.1.2 Macam cara identifikasi

Objek identifikasi dapat berupa orang yang masih hidup atau yang sudah

meninggal dunia. Identifikasi terhadap orang tak dikenal yang masih hidup meliputi:

Penampilan umum (general appearance), yaitu tinggi badan, berat badan,

jenis kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata. Melalui metode ini diperoleh

data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan, kelainan pada tulang

dan sebagainya.

1. Perbedaan Umur Jenis Kelamin Pria Dan Wanita

2. Pakaian

3. Sidik jari

4. Jaringan parut

Page 4: FORENSIK_paper.docx

4

5. Tato

6. Kondisi mental

7. Antropometri

Tugas melakukan identifikasi pada orang hidup tersebut menjadi tugas pihak

kepolisian. Dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan bantuan dokter, misalnya pada

kasus pemalsuan identitas di bidang keimigrasian atau kasus penyamaran oleh pelaku

kejahatan (Dr. Amri, 2000).

Sedangkan identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat

dilakukan terhadap:

1. Jenazah yang masih baru dan utuh

2. Jenazah yang sudah membusuk dan utuh

3. Bagian-bagian dari tubuh jenazah

2.1.3 Teknik identifikasi forensik

Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification)

menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan

identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.

Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat,

mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban

jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus

musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Proses identifikasi ini

sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi

memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas

korban. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang diberikan

sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal

secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku

Interpol (1). Proses DVI meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan

Page 5: FORENSIK_paper.docx

5

antara satu dengan yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode

dan teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari

fingerprint (FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang

terdiri dari medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip

identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary

identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary

identifiers. Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik

akibat Natural Disaster ataupun Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu

yang berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan

tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa

sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut

akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak,

membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar,

terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam keadaan (Prawestiningtyas et al,

2009).

Masalah akan timbul dengan berbagai variasi tingkat kesulitan dimana

tindakan identifikasi termudah dan sederhana yaitu secara visual tidak lagi dapat

digunakan. Demikian juga pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut,

pemeriksaan identifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan, maka

dapat digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat lebih tahan lama

terhadap proses pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut juga dipengaruhi faktor

lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta pengalaman di lapangan menunjukkan

bahwa identifikasi korban meninggal massal melalui gigi geligi mempunyai

kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I,

korban yang teridentifikasi berdasarkan gigi geligi mencapai 56%, pada kecelakaan

lalu lintas bis terbakar di Situbondo mencapai 60%. Laporan kasus ini menyajikan

proses identifikasi korban bencana pada kejadian kapal tenggelam dan pesawat udara

yang terbakar di darat. Jenazah korban tenggelamnya KM Senopati Nusantara,

jenazah mengalami pembusukan lanjut yang berarti disertai dengan tidak utuhnya

Page 6: FORENSIK_paper.docx

6

jaringan tubuh. Sebaliknya pada jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda GA 200

PK-GZC Boeing 737-400 jurusan Jakarta-Yogyakarta, jenazah ditemukan

terpanggang menjadi separuh arang. Mempelajari dua kasus yang berbeda tersebut

dapat dijadikan dasar dalam menentukan prioritas identifikasi primer akibat

perbedaan keutuhan jaringan tubuh sesuai dengan modus kejadian kecelakaan.

Perbedaan ini akan sangat mempengaruhi pelaksanaan fase rekonsiliasi dalam upaya

pelepasan dan penyerahterimaan jenazah kepada keluarga yang bersangkutan. Dari

tempat dan cara kejadian yang berbeda juga ternyata memberikan keberhasilan

identifikasi yang berbeda. Hal ini selain dipengaruhi oleh media, juga dipengaruhi

oleh kondisi kekuatan jaringan ikat yang masih intak terhadap proses pembusukan,

serta lamanya jenazah terpapar dengan media pembusukan Meskipun terdapat skala

prioritas pemeriksaan namun prosedur dan tahap pemeriksaan harus dikerjakan

seluruhnya baik pemeriksaan primer dan pemeriksaan sekunder (Prawestiningtyas et

al, 2009).

Kesulitan pemeriksaan identifikasi juga dipengaruhi kejadian bencana yang

bersifat open disaster. Bencana tersebut merupakan kejadian bencana dengan jumlah

korban meninggal tidak dapat diketahui secara pasti dan jelas sehingga tidak dapat

ditentukan apakah memiliki kesamaan jumlah dengan nama pada daftar manifest

penumpang yang dinyatakan dalam keadaan meninggal. Tidak semua korban dapat

dievakuasi dan tidak semua proses identifikasi dapat dilakukan sesuai dengan

harapan. Contohnya dari tragedi tenggelamnya kapal penumpang KM Senopati

Nusantara di perairan Rembang, Jawa Tengah pada akhir tahun 2006 yang

menewaskan ratusan korban jiwa, korban-korban tersebut tidak bisa dievakuasi

secara keseluruhan dan mayoritas telah mengalami pembusukan lanjut pada saat

ditemukan di tengah laut sehingga hanya 36 jenazah yang dapat dievakuasi. Dari ke

36 jenazah tersebut hanya 13 jenazah (36%) saja yang dapat teridentifikasi dan

diserahkan kepada keluarga yang berhak. Jenazah tersebut merupakan jenazah

tenggelam di air laut dengan rentang waktu bervariasi mulai dari hanya 2 hari

ditemukan setelah kejadian hingga 3 minggu setelah kejadian. Hal tersebut sangat

Page 7: FORENSIK_paper.docx

7

mempengaruhi keutuhan dan dapat menghilangkan tanda khas seorang individu

sebagai bahan pemeriksaan identifikasi forensik. Dari 36 jenazah yang dapat

dievakuasi 13 dari 36 jenazah tersebut dapat dilakukan identifikasi dan sesuai

berdasarkan kombinasi pemeriksaan primer (primary identifiers) dan sekunder

(secondary identifiers). Satu dari 13 jenazah (7.7%) yang teridentifikasi memiliki

kondisi fisik membusuk awal sehingga dapat dilakukan pula teknik identifikasi

sederhana secara visual (photography) yang dikonfirmasi dengan data pemeriksaan

primer gigi dan sekunder medis dan properti. Mayoritas, terdapat 10 dari 13 jenazah

(77%) teridentifikasi melalui kombinasi data-data pemeriksaan sekunder (secondary

identifiers) melalui pemeriksaan data medis (medical) dan properti (property).

Terdapat 3 dari 13 jenazah (23%) yang berhasil diidentifikasi melalui data kombinasi

pemeriksaan primer dan sekunder, yaitu: 1 jenazah diidentifikasi dengan kombinasi

data pemeriksaan primer gigi dan data sekunder medis dan fotografi, 1 jenazah

melalui kombinasi data pemeriksaan primer gigi beserta gigi tiruan lepasan yang

ditemukan didalamnya (dental records) dan data sekunder medis dan properti dan 1

jenazah diidentifikasi melalui kombinasi data pemeriksaan primer DNA serta data

pemeriksaan sekunder medis dan properti. Tidak ada identifikasi dari 13 jenazah

tersebut yang dapat dilakukan dari pemeriksaan postmortem murni berdasarkan

pemeriksaan primer saja (Prawestiningtyas et al, 2009)

2.1.4 Hukum terkait identifikasi korban meninggal

Dasar hukum dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur

identifikasi jenazah adalah antara lain: Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam

membantu peradilan diatur dalam KUHAP pasal 133:

1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli

kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya.

Page 8: FORENSIK_paper.docx

8

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegasuntuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah

sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat

tersebut dan diberi label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap

jabatan yang diilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (Budiyanto

et al, 1997).

2.2 Bencana

2.2.1 Pengertian Bencana

Menurut UU RI No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana

merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-

alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy for

Disaster Reduction), bencana didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap suatu

sistem, komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material,

ekonomi atau lingkungan yang meluas melampaui kemampuan mereka (komunitas

atau masyarakat yang terkena dampak) untuk mengatasinya dengan sumber daya

mereka sendiri“.

2.2.2 Hukum Terkait Bencana

Secara garis besar, Undang-Undang No. 24/2007 membahas mengenai

penyelenggaraan penanggulangan bencana dari landasan nilai, kelembagaan,

distribusi kewenangan dan aturan hukum. Berdasarkan fokus bahasan dari tiap pasal,

Page 9: FORENSIK_paper.docx

9

maka Undang-Undang No. 24/2007 dapat dibagi menjadi beberapa segmen sebagai

berikut:

1. Pasal 1-4    Definisi dan nilai dasar

Pasal 1 berisi pengertian dari istilah-istilah yang menjadi acuan dalam

undang-undang ini. Pasal-pasal selanjutnya berisi nilai dasar, prinsip-prinsip dan

tujuan dari penanggulangan bencana.

2. Pasal 5-9    Distribusi kewenangan

Segmen ini membahas mengenai pembagian kewenangan pemerintah pusat

dan daerah, serta tanggung jawab yang meliputi kewenangan tersebut.

3. Pasal 10-25    Lembaga Pemerintah dalam penanggulangan bencana

Segmen ini membahas mengenai institusi pemerintah yang secara khusus

ditunjuk untuk menangani penanggulangan bencana, baik ditingkat pusat maupun

daerah beserta struktur, tugas dan fungsinya. Institusi tersebut adalah BNPB di pusat

dan BPBD di daerah.

4. Pasal 26-30    Peran masyarakat dan entitas non pemerintah

Segmen ini menjelaskan mengenai hak dan distribusi peran dari pihak diluar

pemerintah, yaitu masyarakat, lembaga usaha (perusahaan) serta lembaga

internasional.

5. Pasal 31-59    Penyelenggaraan penanggulangan bencana

Segmen ini membahas mengenai prinsip dasar penyelenggaraan

penanggulangan bencana dan tahapan-tahapan beserta alur penyelenggaraan dari tiap

tahap.

Page 10: FORENSIK_paper.docx

10

6. Pasal 60-70    Aturan pendanaan  

7. Pasal 71-73    Pengawasan  

8. Pasal 74-85    Hukum dan aturan pelengkap

2.3 DNA

2.3.1 Pengertian DNA

DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan

semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna

kulit, dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue

print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga

dalam tubuh seorang anak, komposisi DNA-nya sama dengan tipe DNA yang

diturunkan dari orang tuanya (Muhtarom, 2009).

Secara bahasa, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) tersusun dari kata-kata

“deocyribosa” yang berarti gula pentosa, “nucleic” yang lebih dikenal dengan

nukleat berasal dari kata “nucleus” yang berarti inti serta “acid” yang berarti zat

asam ( Suryo, 2001).

Secara terminologi DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling

penting, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk

dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. DNA adalah bahan

kimia utama yang berfungsi sebagai penyusun gen yang menjadi unit penurunan sifat

(hereditas) dari induk kepada keturunannya (Suryo, 2001). Dengan demikian maka

dapat diambil pengertian bahwa DNA adalah susunan kimia makro molecular yang

terdiri dari tiga macam molekul, yaitu : gula pentose, asam fosfat, dan basa nitrogen,

yang sebagian besar terdapat dalam nukleas hidup yang akan mengatur program

keturunan selanjutnya (Muhtarom, 2009).

Keberadaan DNA sangatlah erat hubungannya dengan ilmu di bidang biologi

yang sampai sekarang pengembangannya tetap dilakukan oleh para ahli. Seiring

perkembangannya, saat ini tidak lagi terbatas untuk keperluan di bidang biologi

Page 11: FORENSIK_paper.docx

11

semata, akan tetapi telah dimanfaatkan oleh keilmuan lain seperti perindustrian,

pertanian, farmasi, ilmu forensik, dan bidang keilmuan lainnya (Muhtarom, 2009).

Suatu kemajuan ilmiah yang sangat penting terjadi pada tahun 1869, ketika

Friederich Miescher, seorang ahli kimia berkebangsaan Swiss dapat mengisolir

molekul DNA dari sel spermatozoa dan dari nukleus sel-sel darah merah burung. Ia

mengemukakan bahwa nukleus sel tidak terdiri dari karbohidrat, protein ataupun

lemak, melainkan juga terdiri dari zat yang mempunyai kandungan fosfor yang sangat

tinggi. Oleh karena zat itu terdapat dalam nukleus sel, maka zat itu disebut nuklein

dan nama ini kemudian lebih dikenal dengan asam nukleat dikarenakan asam juga

ikut menyusunnya. Asam nukleat ini terdiri dari dua tipe, yaitu asam

deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA) dan asam ribonukleat

(ribonucleic acid atau disingkat RNA) (Muhtarom, 2009).

Penelitian mengenai DNA ternyata terus berlanjut, pengembangan selanjutnya

oleh Robert Feulgen pada tahun 1914 yang mengemukakan tes warna yang

dilakukannya terhadap DNA yang kemudian penelitiannya ini dikenal di kalangan

biologi dengan istilah reaksi Feulgen. Pada tahun 1944, Avery, MacLeod, dan Mc

Carthy mengemukakan bahwa DNA mempunyai hubungan langsung dengan

keturunan. MEskipun pada rentang waktu yang jauh sebelumnya, Mendel (1860) juga

telah mengemukakan bahwa hereditas itu dipindahkan melalui sel telur dan sperma,

meskipun belum mengemukakan secara langsung bahwa DNA juga ikut dipindahkan

melalui dua bibit penting itu. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Edwin Chargaff

pada tahun 1947 yang mengemukakan bahwa DNA terdiri dari bagian yang sama dari

basa purin dan piramidin serta adenine dan timin terdapat dalam proporsi yang sama

dan begitu juga halnya dengan sitosin dan guanin (Muhtarom, 2009).

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maurice Wilkins yang menggunakan

difraksi sinar X dalam mempelajari struktur protein dengan metode kritalografi.

Dalam penemuannya mengemukakan bahwa basa-basa purin dan pirimidin dalam

molekul DNA terletak dalam jarak 3,4 Å ( 1 angstrӧm = 0,001 mikron = 0,000001

Page 12: FORENSIK_paper.docx

12

mm) mereka juga mengemukakan bahwa molekul DNA itu tidak berbentuk sebagai

sebuah garis lurus, akan tetapi berpilin sebagai spiral dan setiap 34 Å merupakan satu

spiral penuh. Berangkat dari penelitian ini, penemuan yang cukup besar dilanjutkan

oleh James Watson yang berkebangsaan Amerika dan Francis Crick yang

berkebangsaan Inggris menemukan struktur double helix dari susunan DNA.

Keduanya mengemukakan hal ini berdasarkan hasil foto dengan metode kritalografi

sinar X yang mereka ambil dari laboratorium Maurice Wilkins yang dibantu oleh

Rosalind Franklin. Kebenaran teori double helix yang dikemukakan oleh Watson dan

Crick ini diperkuat oleh Kornberg yang membuat molekul DNA dalam sistem sel

bebas. Sebagai bahan genetik yang lengkap, DNA dipergunakan dalam ilmu

kedokteran kehakiman pada tahun 1960-an sekitar tujuh tahun setelah penemuan

Watson dan Crick yang pertama kali diterapkan di Inggris (Muhtarom, 2009).

Seiring dengan bergulirnya waktu, perkembangan DNA sebagai suatu

penemuan besar tidak lagi berbatas hanya sekedar sebagai sebuah pita informasi,

akan tetapi pada saat ini telah jauh berkembang dengan sangat pesat. Penemuan-

penemuan dari generasi ke generasi semakin melengkapi dan memberikan manfaat

baru. Beberapa hal baru yang menggunakan tehnik DNA antara lain menyelidiki

seorang pelaku tindak kriminal berdasarkan kecocokkan sampel DNA yang

ditemukan di tempat terjadinya suatu tindak kejahatan. Teknik ini terutama sangat

membantu dalam masalah pembuktian tindak pidana yang berupa kekerasan seperti

pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, dan tindak pidana lainnya (Muhtarom, 2009).

Pada intinya setiap makhluk hidup memiliki kandungan DNA. DNA sendiri

terdapat di dalam sel, di mana bagian terbesar dari DNA terdapat di dalam nukleus,

terutama dalam kromosom. Sebagaimana hasil penelitian yang telah dikemukakan

sebelumnya oleh Meischer bahwa banyak zat yang ditemukan dalam nukleus sel yang

kemudian dinamai dengan nuklein yang kemudian nama ini diubah menjadi asam

nukleat. Asam nukleat terdapat pada hampir semua sel makhluk hidup yang berfungsi

untuk menyimpan dan mentransfer informasi genetik, kemudian memberikan

informasi secara tepat untuk mensintesis protein yang khas bagi masing-masing sel.

Page 13: FORENSIK_paper.docx

13

Di dalam kromosom inti sel terdapat DNA yang berbentuk untaian rangkap atau

double helix. Apabila terjadi pembelahan inti sel, maka kromosom juga membelah

dan demikian juga dengan molekul DNA. DNA tidak hanya terdapat dalam

kromosom akan tetapi juga dapat ditemui pada sitoplasma dan mitokondria, akan

tetapi dengan kadar yang lebih sedikit dibanding dengan yang terdapat dalam

kromosom (Muhtarom, 2009).

2.3.2 Strukur DNA

James Watson and Francis Crick tahun 2003 telah membuka wawasan baru

tentang penemuan model struktur DNA. Publikasi dari model double heliks DNA ini

disusun berdasarkan penemuan:

1. Penemuan struktur asam nukleat dari (Pauling & Corey, 2003)

2. Pola difraksi DNA (Single-crystal X-ray analysis) (Wilkins & Franklin, 2003)

3. Pola perbandingan jumlah A-T, G-C (1:1) dari Chargaff atau dikenal sebagai

Hukum Ekivalen Chargaff yaitu sebagai berikut :

a. Jumlah purin sama dengan pirimidin

b. Banyaknya adenin sama dengan timin, juga jumlah glisin sama dengan sitosin.

DNA terbentuk dari empat tipe nukleotida, yang berikatan secara kovalen

membentuk rantai polinukleotida (rantai DNA atau benang DNA) dengan tulang

punggung gula-fosfat tempat melekatnya basa-basa. Dua rantai polinukleotida saling

berikatan melalui ikatan hidrogen antara basa-basa nitrogen dari rantai yang berbeda.

Semua basa berada di dalam double helix dan tulang punggung gula-fosfat berada di

bagian luar. Purin selalu berpasangan dengan pirimidin (A-T, G-C). Perpasangan

secara komplemen tersebut memungkinkan pasangan basa dikemas dengan susunan

yang paling sesuai. Hal ini bisa terjadi bila kedua rantai polinukleotida tersusun

secara antiparallel (Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas, 2006).

Page 14: FORENSIK_paper.docx

14

Gambar 1. Struktur basa pirimidine (Cytosine, Thimine, Urasil), purine (Adenine,

Guanine), Gula pentosa, ribonucleic acid, dan deoxyribonucleic acid.

.

Page 15: FORENSIK_paper.docx

15

Gambar 2. Pembentukan secara skematik struktur dsDNA dari gula

fosfat dan basa nukleotida (A). Dua ikatan hidrogen dari AT dan 3 ikatan hidrogen

untuk GC (B).

DNA merupakan senyawa organic yang memiliki berat molekul paling besar

dari semua senyawa yang ditemukan dalam kromatin inti sel (>99) dan dua organel

sitoplasma (<1) mitokondria dan plasmid (kloroplas) (Harun Yahya, 2003). Dalam

keadaan natural DNA terletak berpasangan yang man kedua utas yang berpasangan

itu memiliki ikatan hydrogen lewat basanya dan berpasangan kedua utas tersebut

bersifat tetap, dimana A (adenine) T ( timin ) sedangkan G (guanine) berpasangan

dengan C (citosin) ( Neil A, 2002).

Asam nukleat tersusun atas nukleotida, yang bila terurai terdiri dari gula, fosfat,

dan basa yang mengandung nitrogen. Karena banyaknya nukleotida yang menyusun

molekul DNA, maka molekul DNA merupakan polinukleotida. Molekul yang

menyusun DNA terdiri dari (Harun Yahya, 2003):

a. Gula pentose. Molekul gula yang menyusun DNA sebuah pentose yaitu

deoksiribosa.

b. Asam fosfat.

Page 16: FORENSIK_paper.docx

16

c. Basa nitrogen.

Basa nitrogen yang menyusun molekul DNA terdiri atas 2 tipe yang dibedakan

menjadi :

1. Pirimidin, basa ini dibedakan lagi menjadi 2 yaitu sitosin (S) dan timin (T).

2. Purin, basa ini juga dibedakan menjadi 2 yaitu yang terdiri dari adenine (A)

dan guanine (G).

Gambar 3. Susunan Basa DNA

Page 17: FORENSIK_paper.docx

17

Gambar 4. Bentuk skematik double-helix DNA

2.3.3 Polimorfisme penggunaan DNA dalam forensik genetik

Pengenalan teknik biologi molekuler, terutama analisis DNA, untuk

identifikasi manusia adalah kemajuan terbaru dalam kedokteran hukum. Upaya

substansial telah terus-menerus telah dibuat dalam upaya untuk mengidentifikasi

mayat dan sisa-sisa manusia setelah perang, masalah sosial-politik dan bencana

massal. Selain itu, karena dinamika sosial kota-kota besar, selalu ada kasus orang

hilang, serta mayat tak dikenal dan sisa-sisa manusia yang ditemukan. Dalam

beberapa tahun terakhir, ada juga peningkatan permintaan untuk penggalian sisa-sisa

manusia untuk menentukan hubungan genetik dalam gugatan perdata dan tindakan

pengadilan.

Deteksi asam deoksiribonukleat (DNA) polimorfisme telah menjadi alat yang

ampuh dalam identifikasi, sejak penggunaan pertama dalam kerja kasus penyelidikan

forensik, oleh Jeffreys et.al (1985). Perkembangan teknologi untuk mendapatkan

Page 18: FORENSIK_paper.docx

18

polimorfisme DNA dan studi validasi mereka telah sangat cepat. Pada mayat, DNA

degradasi sangat cepat, bahkan dalam periode post-mortem awal. Degradasi jaringan

lunak sangat jelas setelah interval waktu yang singkat, konsekuensinya peningkatan

bakteri cepat yang wajar dalam mayat membusuk, terutama pada mereka yang

terkena suhu panas di negara tropis seperti Brasil.

Ada beberapa teknologi DNA yang digunakan dalam penyelidikan forensik

antara lain:

1. Polimorfisme Panjang Fragmen restriksi (RFLP)

RFLP adalah teknik untuk menganalisis variabel panjang fragmen DNA yang

dihasilkan dari mencerna sampel DNA dengan jenis khusus dari enzim. Enzim ini,

sebuah endonuklease pembatasan, memotong DNA pada pola urutan tertentu tahu

sebagai situs endonuklease pembatasan pengakuan. Ada atau tidak adanya pengakuan

situs tertentu dalam sampel DNA menghasilkan variabel panjang fragmen DNA, yang

dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Mereka kemudian hibridisasi dengan

probe DNA yang mengikat urutan DNA komplementer dalam sampel. RFLP adalah

salah satu aplikasi pertama analisis DNA untuk penyidikan forensik. Dengan

perkembangan baru, teknik DNA-analisis yang lebih efisien, RFLP tidak digunakan

sebanyak dulu karena membutuhkan jumlah yang relatif besar DNA.Selain itu,

sampel rusak oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau cetakan, tidak bekerja baik

dengan RFLP.

2. Analisis PCR

Reaksi berantai polimerase (PCR) digunakan untuk membuat jutaan salinan

tepat DNA dari sampel biologis. amplifikasi DNA dengan PCR memungkinkan

analisis DNA pada sampel biologi sekecil beberapa sel-sel kulit. Dengan RFLP,

sampel DNA harus tentang ukuran seperempat. Kemampuan PCR untuk memperkuat

jumlah kecil seperti DNA memungkinkan bahkan sampel yang sudah terdegradasi

untuk dianalisis. Great perawatan, bagaimanapun, harus diambil untuk mencegah

Page 19: FORENSIK_paper.docx

19

kontaminasi dengan bahan biologis lain selama mengidentifikasi, mengumpulkan,

dan memelihara sampel.

3. STR Analisis

Short tandem repeat (STR) teknologi yang digunakan untuk mengevaluasi

daerah-daerah tertentu (lokus) dalam DNA nuklir. Variabilitas di daerah STR dapat

digunakan untuk membedakan satu profil DNA dari yang lain. Federal Bureau of

Investigation (FBI) menggunakan satu set standar dari 13 daerah STR khusus untuk

CODIS. CODIS adalah sebuah program perangkat lunak yang beroperasi lokal,

negara, dan database nasional profil DNA dari pelaku dihukum, bukti TKP belum

terpecahkan, dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu akan memiliki

profil DNA yang sama 13-lokus adalah sekitar satu dalam satu milyar.

4. Analisis DNA mitokondria

Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menguji DNA

dari sampel yang tidak dapat dianalisis dengan RFLP atau STR. DNA nuklir harus

diekstrak dari sampel untuk digunakan dalam RFLP, PCR, dan STR, namun, analisis

mtDNA menggunakan DNA yang diekstraksi dari organel seluler lain yang disebut

mitokondria yang. Sedangkan sampel biologis yang lebih tua yang kekurangan bahan

bernukleus seluler, seperti rambut, tulang, dan gigi, tidak dapat dianalisis dengan STR

dan RFLP, mereka dapat dianalisis dengan mtDNA. Dalam penyelidikan kasus yang

sudah terpecahkan selama bertahun-tahun, mtDNA sangat berharga.

5. Y-Kromosom Analisis

Kromosom Y trurn langsung dari ayah ke anak, sehingga analisis penanda

genetik pada kromosom Y ini sangat berguna untuk menelusuri hubungan antara laki-

laki atau untuk menganalisis bukti biologis melibatkan kontributor beberapa laki-laki.

Metode identifikasi yang sangat kuat ini bermanfaat dalam pemeriksaan

paternitas, dalam memecahkan maslah-masalah imigrasi, dalam penyelidikan

Page 20: FORENSIK_paper.docx

20

kriminal, dan dalam memantau transplantasi sumsum tulang. Penggunaan PCR untuk

analisis sangat bermanfaat dalam analisa forensik, karena identifikasi dapat dilakukan

hanya dari sedikit sampel, darah, akar rambut, kulit, atau jaringan lain.

2.4 Metode analisis DNA untuk identifikasi korban meninggal

Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang

memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari,

profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan

mana pelaku dan mana korban. Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA.

Singkatan dari deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang

diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu. Persoalan

kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan

serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai

orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh

dibanding serpihan korban.

Teori yang dikembangkan tim bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan

(Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat

terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan

profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang dari dua minggu, tim gabungan

Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator

Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang

biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal. Penelitian mengenai

genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan

penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah,

suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan

terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA

bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya

(Rizal, 2005).

Page 21: FORENSIK_paper.docx

21

2.4.1 Keunggulan metode analisis DNA

Asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan molekul berisi informasi pada

semua sel hidup dalam tubuh manusia untuk menjalankan fungsinya. Asam nukleat

merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang

genetika (Evan P., Sinly. 2007). DNA juga mengontrol pewarisan karakteristik dari

orang tua kepada keturunannya. Dengan pengecualian kembar identik , DNA setiap

orang adalah unik, yang membuat pengambilan sampel DNA yang berguna untuk

memecahkan kejahatan, mengidentifikasi korban bencana, dan menemukan orang

hilang.

Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) memberikan hasil DNA

fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu.

Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus

forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di pengadilan

(Evan P., Sinly. 2007).

Profiling DNA dapat memainkan peran penting dalam memecahkan

kejahatan, karena memiliki potensi untuk menghubungkan serangkaian kejahatan dan

atau untuk menempatkan tersangka di TKP. DNA dapat membantu untuk

membuktikan tersangka bersalah

(http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DNA).

Langkah pertama dalam mendapatkan profil DNA untuk perbandingan adalah

pengumpulan sampel dari TKP dan sampel referensi dari tersangka . Sampel biasanya

diperoleh dari darah , rambut atau cairan tubuh . Kemajuan teknologi memungkinkan

DNA sampel yang akan diperoleh dari jejak DNA yang lebih kecil yang ditemukan di

TKP. Menggunakan metode ilmu forensik, sampel dianalisis, menghasilkan profil

DNA yang dapat dibandingkan dengan profil DNA lain dalam database. Hal ini

menciptakan kesempatan bagi ' hits' - orang-ke - scene , adegan -to - adegan atau

hubungan orang - ke-orang - di mana koneksi sebelumnya tidak diketahui.

Page 22: FORENSIK_paper.docx

22

Ilmuwan forensik menggunakan DNA yang terletak dalam darah, sperma,

kulit, liur atau rambut yang tersisa di tempat kejadian untuk mengidentifikasi

kemungkinan tersangka, sebuah proses yang disebut fingerprinting genetika atau

pemrofilan DNA (DNA profiling). Dalam pemrofilan, short tandem repeats dan

minisatelit, dibandingkan. Bagian ini adalah bagian panjang relatif dari bagian DNA

yang berulang. Pemrofilan DNA dikembangkan pada 1984 oleh genetikawan Inggris

Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, dan pertama kali digunakan untuk

mendakwa Colin Pitchfork pada 1988 dalam kasus pembunuhan Enderby di

Leicestershire, Inggris (http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_deoksiribonukleat).

Banyak yurisdiksi membutuhkan terdakwa dari kejahatan tertentu untuk

menyediakan sebuah contoh DNA untuk dimasukkan ke dalam database komputer.

Hal ini telah membantu investigator menyelesaikan kasus lama di mana pelanggar

tidak diketahui dan hanya contoh DNA yang diperoleh dari tempat kejadian (terutama

dalam kasus perkosaan antar orang tak dikenal). Metode DNA adalah salah satu

teknik paling tepercaya untuk mengidentifikasi seorang pelaku kejahatan, tetapi tidak

selalu sempurna, misalnya bila tidak ada DNA yang dapat diperoleh, atau bila tempat

kejadian terkontaminasi oleh DNA dari banyak orang. Identifikasi melalui DNA

sangat membantu karena sifatnya pasti/ definitif dan tidak berubah, mungkin terjadi

kelainan-kelainan tertentu tetapi pola dari apa yang kita periksa tidak berubah, cuma

ada keburukannya tergantung dari tempat dimana sumber-sumber tersebut ditemukan,

misalkan lembab, banyak jamur, itu akan merusak DNA, tetap bisa dilakukan

pemeriksaan tapi akan membutuhkan waktu lebih lama

(http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9161).

Yang digunakan untuk pemeriksaan DNA adalah bagian dari tubuh orang

yang ingin dites dan juga pembandingnya. Umumnya bagian tubuh yang lebih mudah

dilakukan pemeriksaan adalah darah atau melakukan swap mukosa pipi. Sedangkan,

jika menggunakan rambut, akan diperlukan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Page 23: FORENSIK_paper.docx

23

Jika menggunakan sampel darah, maka yang diambil adalah sel darah putih

dan bukan sel darah merahnya. Hal ini dikarenakan sel darah merah tidak memiliki

inti sel yang merupakan pengujian paling akurat (inti sel tidak bisa berubah).

Page 24: FORENSIK_paper.docx

24

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Pada tanggal 16 Febuari 1998, pesawat Airbus 300-600 R dengan 182

penumpang dan 14 awak kabin terbang dari Bali, Indonesia, dan mengalami

kecelakaan di jalan Tol Provinsi nomor 15 dan apartemen pada bagian utara dari

bandara udara Chiang Kai-Shek di Taoyuan, Taiwan. 196 orang yang berada di dalam

pesawat, ditambah 4 orang yang sedang berada di jalan tol dan 2 orang di apartemen

terbunuh dalam peristiwa ini. Jasad dari ke-202 orang ini dibawa ke daerah seluas 2

km 2. Ribuan serpihan tersisa, yang diidentifikasikan sebagai jaringan tubuh manusia,

yang didapatkan dari lokasi kejadian. Dari ke-202 korban, rekam medik, kenampakan

patologis, dan personal affects hanya berhasil mengidentifikasi 19 korban. Dari 685

sampel jaringan dar lokasi kejadian, dibawa ke Criminal Investigation Bureau dan

Central Police University untuk diidentifikasi secara analisis DNA.

Bencana massal, seperti kecelakaan pesawat, membutuhkan identifikasi yang

positif dari korban. Metode tradisional dari Disaster Victim Identification (DVI)

mengandalkan data antemortem (AM) seperti rekam medik, pola dermal ridge, dan

personal affects. DNA typing telah menjadi alat yang dipakai pada DVI saat data AM

tidak dapat diketahui.

Ada beberapa cara yang digunakan pada identifikasi DNA, yang meliputi:

- Ekstraksi DNA

DNA dari jaringan otot dan sampel darah diekstraksi dari QI-Aamp Tissue Kit

(QIAGEN, USA) dan dikuantifikasi dengan metode Quantiblot.

- Analisis DNA

Genotip ABO diuji menggunakan metode PCR-RFLP. Loci Short Tandem

Repeat (STR) diamplifikasi dengan penggunaan Perkin-Elmer Profiler Kit

yang mengamplifikasi 9 loci mitrosatelit, dan tes seks amelogenin. Antara 1

sampai dengan 25 ng dari DNA ditambahkan ke PCR dan amplifikasi

Page 25: FORENSIK_paper.docx

25

dilakukan berdasarkan instruksi pembuat menggunakan PE Applied

Biosystems 9600 atau 2400 thermacycler. Data diambil dan dianalisis oleh

sistem komputer GeneScan

- Tes Statistik

Dari 9 loci STR, didapatkan dari hasil pengujian bahwa ada kecocokan acak

sebesar 1,2 x 10-12 dan power of exclusion sebesar 0,9998 untuk trio dan

0,9936 untuk duo pada tes keturunan pada populasi Cina di Taiwan.

Perbandingan statistik dilakukan oleh peraturan pembagian alel tunggal untuk

perbandingan orangtua/anak dan determinasi kesaudaraan dari dua orang.

Karena banyak jumlah anggota keluarga yang merupakan korban dari

bencana, perhitungan Paternity Index (PI) merupakan cara yang paling baik

untuk membandingkan genotip.

Dari hasil tes DNA, ditemukan bahwa ada 37 kelompok keluarga dengan 74

individu yang tidak terelasi dengan korban yang lain dan 13 anggota keluarga yang

sama secara tragis terbunuh pada insiden ini. 201 sampel darah yang diberikan oleh

pihak keluarga dari korban yang tidak di kenali untuk mencari relasi persaudaraan

dan orang tua-anak. Diantara keluarga itu termasuk 32 orang tua dengan anak yang

hilang, 45 orang tua tunggal dengan anak yang hilang, dan 51 anak dengan orang tua

yang hilang. Sebagai tambahan ada 20 orang tua tunggal yang menjadi korban dan

meninggalkan anak dan orang tua satunya sebagai perbandingan. Selain itu juga ada

seorang anak kembar yang kehilangan saudara kembarnya.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa identifikasi DNA sangat penting untuk

pengidentifikasian korban, khususnya karena DNA bersifat sangat spesifik dan

berbeda. Kekurangan penggunaan metode ini terletak pada mahalnya tes DNA, tetapi

dengan peralatan yang canggih dan profesional, identifikasi menggunakan DNA

harusnya bukan merupakan masalah yang besar.

Page 26: FORENSIK_paper.docx

26

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat adalah bahwa DNA merupakan metode

pengidentifikasian forensik non-dental yang sangat penting dan dapat

mengidentifikasi banyak sekali korban bencana saat tidak ada data Antemortem (AM)

yang tersedia. Selain itu, DNA juga bersifat spesifik pada setiap individu sehingga

proses pengidentifikasian dapat dilakukan dengan lebih baik dan akurat.

4.2 Saran

Saran yang dapat diberikan adalah untuk meningkatkan pengidentifikasian

melalui DNA dengan menyediakan dana dan prasarana, mengingat betapa tingginya

keberhasilan identifikasi dengan menggunakan metode ini.

Page 27: FORENSIK_paper.docx

27

DAFTAR PUSTAKA

Amri A. 2007, “Ilmu Kedokteran Forensik” hal. 178-203, Percetakan Ramadan,

Medan.

Asep M, 2007, “Himpunan Peraturan Perundang Undangan Penanggulangan

Bencana”, Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-6 .

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S.1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

DNA Forensik Sebagai National Security.

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9161. Accessed on

November 2nd, 2013.

Dr. Amri Amir, DSF. Kapita Selekta Kedokteran Forensik. 1st ed. Medan: USU

Press, 2000.

Eddy S, 2006, “DVI in Indonesia an Overview” DVI Workshop, Bandung.

Evan P., Sinly. 2007. DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik.

http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/berita/dna_fingerprint_metode_analisis

_kejahatan_pada_forensik/. Accessed on December 1st, 2013.

Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas. Kromosom, Gen,DNA, Synthesis Protein dan

Regulasi. Universitas Brawijaya. Malang. 2006.

Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi Ketiga. Diterjemahkan

oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta

Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, Volume 3. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Henky, Safitry Oktavinda, 2012, “Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI

Antara Teori dan Kenyataan”¸ Indonesian Journal of Legal and Forensic

Sciences. 2(1): 5-7.

Page 28: FORENSIK_paper.docx

28

http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DNA. Accessed on

November 26th, 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_deoksiribonukleat. Accessed on September 23rd,

2013.

International Criminal Police Organization, 1998, Disaster Victim Identification

Guide, GB Version.

Irawan, Bambang. 2003. DNA fingerprinting pada Forensik, Biologi sebagai Bukti

Kejahatan. Majalah Natural Ed. 7/Thn. V/April 2003. Bandar Lampung

Muhtarom, Ali. 2009. Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti

Hubungan Nasab dalam Perspektif Hukum Islam pp. 53-60. Yogyakarta :

Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Neil A. Campbell dkk. Biologi, alih bahasa Rahayu Lestari et.all. Jakarta. 2002

Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New

York.

Prawestiningtyas, Eriko, Agus Mochammad Algozi.2009. Identifikasi Forensik

Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas

Korban pada Dua Kasus Bencana Massal. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol.

XXV No. 2, Agustus 2009 pp.87-89

Ridley, M. 1991. Masalah-masalah Evolusi. Diterjemahkan A. F. SAIFUDDIN.

Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Rizal, M. Wahyu. 2005. Tes DNA : Mengendus Jejak Kejahatan. Majalah Natural Ed.

11/Thn. VII/Agustus 2005. Bandar Lampung

Page 29: FORENSIK_paper.docx

29

S Haymer David. 1993, Resolution of Population of theMediterananean Fruit Fly at

the DNA Level Using Random Primers for Polymerase Chain Reaction. Journal

Genom 37 (1) : 994

Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M, 2004, “Pedoman Penatalaksanaan

Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal” hal.23, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Suryo. 2001. Genetika Srata I cetakan ke-9 pp. 59. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press.

Yahya, H. Rahasia DNA Kebenaran yang diungkapkan oleh Proyek Genom Manusia,

alih bahasa Halfino Berry. Bandung. 2003.

.