fibrosis_kistik-refrat dr erika

32
Fibrosis Kistik 1. Definisi Fibrosis kistik merupakan kelainan monogenik pada transpor epitel yang mempengaruhisekresi cairanepitel pada berbagai sistemtubuh:pernafasan, pencernaan, reproduksi. 1,2,3 Manifestasi klinis biasanya dapat terlihat sejak usia din sedikit yang terdiagnosis pada usia dewasa. Dengan kemajuan penatalaksanaan, penderita dapat mencapai usia 18 tahun dan 13% berhasil melalui usia 30 dengan rata- rata usia ketahanan hidup >41 tahun. Fibrosis kistik seringkali ditandai deng bakteri kronik pada saluran nafas, insufisiensi kelenjar eksokrin pan usus, disfungsi kelenjar keringat, dan disfungsi urogenital. 1,3 Penyebab utama kematian penderita fibrosis kistik adalah penyakit paru-paru tahap akhir. 3 2. Epidemiologi Fibrosis kistik merupakan penyakit genetik letal tersering yang mengenai populasi Kaukasian dan ditemukan setiap 1 dari 3000 kelahiran hidup populasi Kaukasian di Amerika Utara dan Eropa, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada Afro dari90.000kelahiran hidup populasi Asia di Hawaii. 1,3 Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria penderita fibrosis 3 Sekitar 70% mutasi yang terjadi adalah delesi 3-bp (mutasi kelas menyebabkan hilangnya fenilalanin pada posisi asam amino 508 ( F 508 ) dari produk protein gen fibrosis kistik yang dikenal sebagai CFTR. 1,2 25%-30% sisanya memiliki sebuah alel dengan mutasi F 508 ditambah mutasi lainnya. 3 3. Etiologi Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen terletak pada kromosom 7. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya fenilalanin pa rantai asam amino 508 yang dikenal sebagai regulator transmembran fibrosis ki (CFTR). Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran clorida diatur oleh AMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan membrane plasma epitel normal. Mutasi DF508 menyebabkan proses yang tidak ben

Upload: budi26690

Post on 21-Jul-2015

364 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Fibrosis Kistik1. Definisi Fibrosis kistik merupakan kelainan monogenik pada transpor epitel yang mempengaruhi sekresi cairan epitel pada berbagai sistem tubuh: pernafasan, pencernaan, reproduksi.1,2,3 Manifestasi klinis biasanya dapat terlihat sejak usia dini dan sedikit yang terdiagnosis pada usia dewasa. Dengan kemajuan penatalaksanaan, >41% penderita dapat mencapai usia 18 tahun dan 13% berhasil melalui usia 30 dengan ratarata usia ketahanan hidup >41 tahun. Fibrosis kistik seringkali ditandai dengan infeksi bakteri kronik pada saluran nafas, insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas, disfungsi usus, disfungsi kelenjar keringat, dan disfungsi urogenital.1,3 Penyebab utama kematian penderita fibrosis kistik adalah penyakit paru-paru tahap akhir.3 2. Epidemiologi Fibrosis kistik merupakan penyakit genetik letal tersering yang mengenai populasi Kaukasian dan ditemukan setiap 1 dari 3000 kelahiran hidup populasi Kaukasian di Amerika Utara dan Eropa, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada Afro dan 1 dari 90.000 kelahiran hidup populasi Asia di Hawaii.1,3 Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria penderita fibrosis kistik.3 Sekitar 70% mutasi yang terjadi adalah delesi 3-bp (mutasi kelas III) yang menyebabkan hilangnya fenilalanin pada posisi asam amino 508 ( F508) dari produk protein gen fibrosis kistik yang dikenal sebagai CFTR.1,2 25%-30% sisanya memiliki sebuah alel dengan mutasi 3. Etiologi Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya fenilalanin pada rantai asam amino 508 yang dikenal sebagai regulator transmembran fibrosis kistik (CFTR). Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran clorida diatur oleh AMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan pada membrane plasma epitel normal. Mutasi DF508 menyebabkan proses yang tidak benar F508 ditambah mutasi lainnya.3

dan pemecahan protein CFTR intraseluler sehingga tidak ditemukannya protein CFTR pada lokasi selluler. Disfungsi epitel. Epitel yang dirusak oleh fibrosis kistik memperlihatkan fungsi yang berbeda, misalnya bersifat volume sekretorik atau pancreas dan bersifat garam absorbsi tetapi tidak volume absorbsi atau saluran keringat dimana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan Cl- yang disekresikan tinggi. Pada paru-paru, secret yang menebal dan lengket menyumbat saluran nafas distal dan kelenjar submukosa sehingga menutupi permukaan saluran nafas dan secret yang tebal dan kental ini adalah media yang baik untuk tumbuhnya kuman pathogen yang tidak mudah untuk dieradikasi seperti pseudomonas aureginosa, staphylococcus aureus dan lain-lain sehingga terjadi infiltrasi neutrofil. 4. Manifestasi klinis Karena sifat penurunannya yang autosomal resesif, penderita dengan dua alel resesif akan memberikan manifestasi klinis, sementara carrier akan tetap asimptomatik.2,3 Kombinasi mutasi kedua alel akan mempengaruhi fenotipe keseluruhan dan manifestasi spesifik pada organ. Dua mutasi berat (kelas I, II, dan III) dengan tidak adanya CFTR membran dikaitkan dengan fenotipe klasik (insufisiensi pankreas, infeksi sinopulmonal, dan gangguan saluran pencernaan). Mutasi ringan (kelas IV atau V) pada salah satu atau kedua alel akan memberikan fenotipe yang lebih ringan pula. Prinsip ini berlaku untuk gangguan pankreas, namun kurang tepat diterapkan pada gangguan pernafasan pada penderita fibrosis kistik. Pada penderita fibrosis kistik nonklasik atau atipikal akan didapati fenotipe yang tampaknya tidak berkaitan dengan mutasi CFTR, seperti pankreatitis idiopatik kronis, late-onset chronic pulmonary disease, bronkiektasis idiopatik, dan azoospermia obstruktif disebabkan tidak adanya kedua vas deferens. Besarnya variasi mutasi dan fenotip menyebabkan sulitnya aplikasi teknologi diagnostik DNA untuk mendeteksi carrier pada populasi besar.1,2

-

Gejala Gastrointestinal Pada 85-90% penderita kistik fibrosis akan mengalami kemunduran fungsi

pankreas yang akan ditandai dengan feses yang berminyak (steatorrhea), perut yang mengembung, fat-soluble vitamin defisiensi dan malnutrisi. Pada kistik fibrosis juga dapat timbul sirosis pada sekitar 5% pasien. Penyakit respirasi Kistik fibrotik dapat menimbulkan beberapa gejala seperti infeksi kronis saluran pernafasan yang dapat menyebabkan bronkiektasis, gas trapping, hypoxemia dan hiperkabia. Ini merupakan penanda utama dari kistik fibrosis. Kelainan pada system endokrin Pada kistik fibrosis dapat menyebabkan disfungsi pankreas yang nantinya akan menimbulkan defisiensi insulin sehingga dapat menyebabkan cystic fibrosis related diabetes mellitus (CFRD). Pada wanita dengan diabetes akan memiliki survival rate lebih rendah dibandingkan dengan pria. Selain defisiensi insulin, pada kistik fibrosis pun dapat timbul osteoporosis akibat defisiensi vitamik D.

-

Pada sistem reproduksi Pada pria dapat terjadi azoospermia dan infertilitas karena kelainan congenital

bilateral pada vas deferens, sedangkan pada wanita tidak. 5. Klasifikasi Secara garis besar, menurut jenis mutasi pada gen CFTR, fibrosis kistik dapat terbagi menjadi2,3: Kelas I: defek sintesis protein. Mutasi ini terkait dengan tidak adanya protein CFTR pada bagian apikal permukaan sel epitel. Kelas II: abnormalitas pelipatan, pemrosesan, dan pengangkutan protein. Mutasi ini menyebabkan defek pemrosesan protein dari RE ke Golgi karena protein yang tidak terlipat dan terglikosilasi sempurna dan terdegradasi sebelum mencapai permukaan sel. Kelainan tersering abnormalitas gen fibrosis kistik pada penderita adalah mutasi kelas II yang menyebabkan delesi tiga nukleotida yang menyebabkan hilangnya fenilalanin pada posisi asam amino 508 ( F508). Kelas III: defek regulasi. Mutasi kelas ini mencegah aktivasi CFTR dengan mencegah pengikatan dan hidrolisis ATP yang penting untuk transpor ion. Dengan demikian, jumlah CFTR di permukaan normal, namun tidak fungsional. Kelas IV: penurunan konduksi. Mutasi ini biasanya muncul pada domain transmembran CFTR yang membentuk kanal ionik untuk transport klorida. Jumlah CFTR di apikal membrane nornam, namun dengan penurunan fungsi. Kelas ini biasanya terkait fenotipe yang lebih ringan. Kelas V: penurunan jumlah. Mutasi ini mempengaruhi daerah pemotongan atau promoter CFTR sehingga menyebabkan turunnya produksi normal protein. Kelas ini biasanya terkait fenotipe yang lebih ringan. Kelas VI: kesalahan pengaturan kanal ion terpisah. Mutasi pada kelas ini menyebabkan gangguan fungsi regulasi CFTR. Contohnya, mutasi F508 merupakan mutasi pada kelas II dan kelas IV. Selain CFTR, penelitian menunjukkan adanya peran gen dan lingkungan dalam perkembangan fibrosis kistik.2,3 Sebagai contoh, cystic fibrosis modifier locus (CFM1) yang mempengaruhi insidensi dan keparahan dari meconium ileus terletak pada kromosom 19q13, walaupun gen yang terlibat belum dapat dipetakan. Kandidat

genetic lain adalah mannose-binding lectin yang merupakan bagian system imun. Polimorfisme fungsional salah satu atau kedua alelnya terkait dengan rendahnya protein yang bersirkulasi, menyebabkan peningkatan risiko penyakit paru tiga kali lipat dan penurunan ketahanan terhadap infeksi bakteri pada penderita fibrosis kistik. Pada penderita fibrosis kistik dengan mutasi homozigot F508, lektin ini mempengaruhi pula keparahan pada gangguan hati dan mempercepat timbulnya sirosis. Pengaruh lingkungan sangat terlihat pada perkembangan gangguan saluran pernafasan fibrosis kistik yang merupakan memiliki variasi fenotipe tak terduga. Contoh dari pengaruh lingkungan adalah virulensi organisme, tingkat kesuksesan terapi, dan infeksi lanjutan atau tambahan dari organisme lain, serta paparan rokok dan alergen. Keseluruhannya dapat mempengaruhi tingkat dan progesivitas penyakit paru-paru pada penderita fibrosis kistik.2 6. Patogenesis Fibrosis kistik merupakan kelainan autosomal resesif disebabkan mutasi gen pengkode protein cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) yang terletak di kromosom 7q31.2.1,2 Protein CFTR memiliki dua domain transmembran, dua nucleotide-binding domain (NBD) sitoplasma, dan domain regulatori (R domain) yang memuat daerah fosforilasi protein kinase A dan C. Dua domain transmembran membentuk kanal yang akan dilalui klorida. Aktivasi kanal CFTR channel dimediasi peningkatan terinduksi agonis pada cyclic adenosine monophosphate (cAMP), diikuti aktivasi protein kinase A yang memfosforilasi R domain. Binding dan hidrolisis adenosine triphosphate (ATP) terjadi pada nucleotide-binding domain dan penting untuk pembukaan serta penutupan kanal sebagai respons terhadap sinyal yang dimediasi cAMP.

Struktur dan aktivasi normal CFTR. Mutasi tersering pada gen CFTR menyebabkan defek pelipatan protein di Golgi/RE dan degradasi CFTR sebelum mencapai permukaan. Mutasi lain mempengaruhi sintesis CFTR, nucleotide-binding domain dan R domain, dan perluasan membran.2 Beberapa fungsi penting CFTR2: Regulasi kanal-kanal ion tambahan dan proses selular melalui aksi nucleotidebinding domain, termasuk outwardly rectified chloride channels, inwardly rectified potassium channels (Kir6.1), epithelial sodium channel (ENaC), kanal gap junction, dan proses selular yang terkait transpor ATP dan sekresi mukus. Dari kesemuanya, interaksi CFTR dengan ENaC memiliki keterkaitan yang paling bermakna dalam patofisiologi fibrosis kistik. ENaC terletak di permukaan apical sel epitel eksokrin dan bertanggungjawab atas transport

sodium intrasitoplasma dari cairan lumen dan menyebabkan hipotnisitas cairan lumen. Kerja ENaC normal diinhibisi oleh CFTR yang berfungsi, sehingga pada fibrosis kistik, kerjanya akan meningkat dan menyebabkan augmentasi bermakna sodium melalui membrane apikal. Pegecualian terjadi pada ENaC kelenjar keringat yang mengalami penurunan aktivitas akibat mutasi CFTR da menghasilkan cairan lumen hipertonik dan kaya NaCl. Fungsi CFTR bersifat spesifik sehingga pengaruh mutasinya pun spesifik jaringan. Fungsi utama CFTR pada kelenjar keringat adalah untuk mereabsorbsi ion klorida lumen dan augmentasi sodium melalui ENaC sehingga gangguan gungsi CFTR akan menyebabkan kelainan pada komposisi keringat. CFTR juga bertanggungjawab akan epitel saluran pernafasan dan pencernaan dan menyebabkan adanya sekresi klorida luminal aktif. Mutasi CFTR akan menyebabkan penurunan atau hilangnya sekresi tersebut bersamaan dengan peningkatan absorpsi sodium lumen, memicu penurunan kandungan air pada lapisan mukosa sel. Lapisan permukaan yang mengalami dehidrasi akan menyebabkan defek kerja mukosiliar dan akumulasi sekret yang kental dan hiperkonsentrasi yang menyebabkan onstruksi jalan nafas serta menjadi predisposisi infeksi paru-paru berulang. CFTR memediasi transport ion bikarbonat. Pada CFTR abnormal, menyebabkan sekresi cairan asam karena penurunan ion bikarbonat. pH lumen yang menurun menyebabkan banyak efek samping seperti peningkatan presipitasi musin dan penyumbatan duktus serta meningkatkan perlekatan bakteri pada sumbat musin. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar terjadinya insufisiensi pankreas pada mutasi CFTR. Studi biokimia mengindikasikan adanya mutasi F508 yang menyebabkan kesalahan F508 dan

proses dan degradasi intraselular protein CFTR. Dapat disimpulkan bahwa tidak adanya CFTR pada membran plasma merupakan patofisiologi molekular dari mutasi mutasi kelas III. Akan tetap mutasi kelas IIIIV memproduksi protein CFTR sempurna namun tidak fungsional. Mutasi gen CFTR sendiri terbagi menjadi 4 kelas. Kelas I-III digolongkan berat dan ditandai dengan insufisiensi pankreas dan kadar NaCl keringat yang tinggi. Kelas IV dapat digolongkan ringan, biasanya terkait dengan pankreas yang masih normal dan kadar NaCl keringat yang normal atau sedang.1

Skema yang menunjukkan mutasi yang terjadi pada produksi protein CFTR.1

7. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis 7.1 Saluran Pernafasan Penanda diagnostik biofisik epitel saluran pernafasan fibrosis kistik adalah peningkatan selisih potensial/ potential difference (PD) transepitel. PD transepitel merefleksikan laju transport aktif ion dan resistensi epitel terhadap aliran ion. Epitel saluran pernafasan fibrosis kistik memperlihatkan abnormalitas absorpsi aktif Na+ dan sekresi aktif Cl yang menandakan hilangnya cyclic AMPdependent kinase dan transpor protein kinase Cregulated Cl oleh CFTR. Namun, adanya kemiripan fungsi Ca2+-activated Cl channel (CaCC) yang diekpresikan pada membran apikal berpotensi menjadi target terapi untuk menggantikan fungsi sekresi Cl dari CFTR. Dasar kelainan pada epitel saluran pernafasan fibrosis kistik adalah regulasi abnormal absorpsi Na+ atau kegagalan fungsi sekunder CFTR sebagai inhibitor tonik epithelial Na+ channel. Mekanisme molekular yang memediasi aksi ini masih belum diketahui.

Gangguan pada saluran pernafasan penderita fibrosis kistik.2 Gangguan pernafasan merupakan manifestasi klinis penderita fibrosis kistik pada tahun-tahun awal kehidupan yang ditandai dengan batuk berat dan infiltrat rekuren pada paru-paru disertai dengan kegagalan tumbuh-kembang.1,3 Bersihan mukus merupakan mekanisme pertahanan utama saluran pernafasan melawan bakteri yang diinhalasi. Mukus tersebut diproduksi oleh permukaan saluran pernafasan dengan menjaga volume air melalui laju absorpsi aktif Na+ dan sekresi Cl. Hipotesis utama patofisiologi fibrosis kistik pada saluran pernafasan adalah kegagalan regulasi absorpsi Na+ dan ketidakmampuan sekresi Cl melalui CFTR menurunkan volume air pada permukaan saluran pernafasan. Keduanya menyebabkan penebalan mukus dan deplesi cairan perisiliar yang menyebabkan adhesi mukus pada saluran pernafasan dan kegagalan bersihan mukus dari saluran pernafasan, baik melalui kerja silia maupun melalui mekanisme batuk. Infeksi khas pada saluran pernafasan fibrosis kistik selalu melibatkan lapisan mukus dibandingkan invasi epitel atau dinding saluran. Predisposisi infeksi kronis fibrosis kistik oleh Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa sejalan dengan kegagalan bersihan mukus. Rendahnya tekanan O2 menyebabkan hipoksia dan terjadinya stasis mukus yang mempermudah pertumbuhan bakteri di koloni biofilm dalam plak mukus yang melekat pada saluran pernafasan fibrosis kistik. Infeksi saluran pernafasan atas merupakan gangguan yang paling sering menjadi manifestasi klinis pasien fibrosis kistik. Sinusitis kronis seringkali dijumpai pada masa kanak-kanak, menyebabkan obstruksi nasal dan rhinorrhea. Insidensi polip nasal mencapai 25% dan seringkali membutuhkan terapi dengan steroid topikal atau tindakan

pembedahan. Pada infeksi saluran pernafasan bawah, gejala awal adalah batuk yang semakin lama semakin persisten diikuti dengan sputum yang kental, purulen, dan seringkali berwarna kehijauan. Periode remisi bergantian dengan eksaserbasi yang ditandai dengan perburukan batuk, turunnya berat badan, demam subfebris, peningkatan volume sputum, dan penurunan fungsi paru-paru. Periode eksaserbasi akan semakin sering sehingga proses penyembuhan paru-paru tidak sempurna dan memicu terjadinya gagal nafas. Penderita fibrosis kistik memiliki karakteristik mikrobiologi sputum yang khas. Haemophilus influenzae dan S. aureus merupakan organisme yang sering ditemui pada pasien yang baru didiagnosis menderita fibrosis kistik. P. aeruginosa, seringkali mukoid dan resisten antibiotik, biasanya didapati pada kultur sekret saluran pernafasan bawah sesudahnya. Burkholderia (dahulu dikenal sebagai Pseudomonas cepacia) juga ditemukan pada sputum penderita fibrosis kistik dan patogenik. Gram negatif lainnya antara lain Alcaligenes xylosoxidans, B. gladioli, dan bentuk mukoid Proteus, Escherichia coli, dan Klebsiella. 50% penderita fibrosis kistik memiliki Aspergillus fumigatus dalam sputum, 10% penderita ini menunjukkan sindroma alergi aspergilosis bronkopulmonal.1,2 Kelainan awal yang didapati pada pasien anak-anak dengan fibrosis kistik adalah peningkatan rasio volume residual hingga kapasitas total paru-paru. Seiring dengan berjalannya penyakit, terdapat perubahan reversible dan irreversible pada perkembangan forced vital capacity (FVC) dan forced expiratory volume in 1 s (FEV1). Komponen reversible merefleksikan akumulasi sekret intraluminal dan/atau reaktivitas saluran pernafasan yang didapati pada 4060% pasien fibrosis kistik. Komponen irreversible merefleksikan destruksi dinding saluran pernafasan dan bronkiolitis. Perubahan awal pada pencitraan dada penderita fibrosis kistik adalah hiperinflasi paru-paru yang menandakan obstruksi saluran pernafasan kecil. Setelahnya akan didapati impaksi mukus luminal, konstriksi bronkus, dan akhirnya bronkiektasis. Perubahan terberat akan didapati pada lobus kanan atas untuk alasan yang belum diketahui. Gangguan paru-paru fibrosis kistik dikaitkan dengan banyaknya komplikasi intermiten, contohnya pneumothorax (>10% pasien). Adanya darah dalam jumlah kecil

di sputum seringkali didapati pada pasien fibrosis kistik dengan gangguan paru-paru lanjut. Hemoptisis masif mengancam nyawa. Dengan semakin beratnya penyakit, akan timbul gejala gagal nafas yang diikuti dengan gagal jantung.

Gambar

menunjukkan

perbandingan transport ion normal (atas) dan pada fibrosis kistik (bawah) epitel saluran pernafasan. Tanda panah menjelaskan rute dan besarnya transpor Na+ dan Cl yang diikuti secara osmotik oleh air Pola basal normal transpor ion adalah absorpsi Na+ dari lumen melalui amiloridesensitive Na+ channel. Proses ini dipercepat pada fibrosis kistik. Kapasitas untuk memulai sekresi Cl dimediasi cyclic AMP menghilang pada epitel pernafasan fibrosis kistik karena tidak ada/ disfungsi CFTR Cl channel. Percepatan absorpsi Na+ pada fibrosis kistik menggambarkan tidak adanya CFTR. 7.2 Saluran Pencernaan 7.2.1 Usus Epitel usus mengalami fibrosis karena kekurangan sekresi Cl dan air, gagal membersihkan musin yang disekresikan dn makromolekul lainnya dari kripta usus. Hilangnya sekresi cairan yang dimediasi CFTR dapat memperburuk absorpsi cairan berlebih, menggambarkan abnormalitas regulasi absorpsi Na+ oleh CFTR (keduanya dimediasi Na+ channel dan kemungkinan transporter Na+ lainnya). Kedua disfungsi menyebabkan desikasi isi lumen dan obstruksi usus kecil dan besar.

20% pasien fibrosis kistik menunjukkan tanda dan gejala obstruksi gastrointestinal pada 24 jam pertama kehidupan, hal ini dikenal sebagai meconium ileus.1,3 Hal ini terutama didapati pada penderita dengan F508 homozigot atau mereka yang memiliki F508 dengan G542X.3 Mekonium pada penderita memiliki kadar protein yang lebih tinggi dan kadar karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan populasi normal. Albumin, protein utama mekonium neonatus, memiliki 5-10 kali normal. Didapati pula peningkatan signifikan pada produksi intraluminal glutamyltranspeptidase (GGTP) dan 5'-nucleotidase oleh hati yang kemudian memasuki mekonium. Kelainan ini ditunjang pula oleh penurunan motilitas usus halus penderita menyebabkan manifestasi klinis berupa distensi abdomen, tidak bisa buang air besar, dan emesis pada neonatus.1,3 Gambaran diagnostik pencitraan abdomen akan menunjukkan air-fluid level pada usus halus, gambaran granular yang merupakan mekonium, dan usus besar yang kecil. Pada anak-anak dan dewasa muda, dikenal sindroma yang bernama meconium ileus equivalent atau distal intestinal obstruction syndrome (DIOS). Gejala sindroma ini adalah nyeri kuadran kanan bawah, hilangnya nafsu makan, kadang disertai emesis, dan seringkali disertai adanya massa yang terpalpasi. Sindroma ini seringkali menyerupai gejala appendisitis.1 Selain gangguan yang telah disebutkan, dapat pula terjadi obstruksi usus distal, prolapse rektal, ulkus peptikuk, dan GERD.3 7.2.2 Pankreas Pada kelenjar eksokrin pankreas, tidak adanya CFTR bagian apikal membran epitel duktus pankreas membatasi fungsi Cl-HCO3 exchanger untuk mensekresikan bikarbonat dan Na+ (melalui proses pasif) memasuki duktus. Kegagalan sekresi Na+ HCO3 dan air akan menyebabkan retensi enzim pankreas dan kerusakan pada seluruh jaringan pankreas. Insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas timbul pada >90% pasien fibrosis kistik. Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi akumulasi mukus di duktuli dengan dilatasi beberapa kelenjar eksokrin.1,2 Pada kasus yang lebih berat pada anakanak yang lebih tua dan orang dewasa, duktus akan tersumbat dan terjadi atrofi kelenjar eksokrin diikuti fibrosis progresif, menyisakan bagian endokrin dalam stroma lemak dan jaringan ikat. Hilangnya bagian eksokrin pankreas akan menyebabkan sekresi enzim yang tidak memadai, memicu malabsorpsi protein dan lemak sehingga memberikan gambaran khas berupa feses yang banyak dan berbau busuk. Didapati pula tanda dan gejala malabsorpsi vitamin larut lemak. Avitaminosis A dapat menyebabkan

metaplasia sel skuamosa pada epitel mukosa duktus pankreas dan memperberat kerusakan yang disebabkan sumbatan mukus.2,3 Fungsi endokrin pankreas kemudian juga akan mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia, penurunan fungsi ini disertai dengan resistensi insulin yang dipicu inflamasi akan menyebabkan hiperglikemia dan kebutuhan insulin pada >15% penderita fibrosis kistik pada umur yang lebih dewasa (>35 years).1 7.2.3 Hati dan Kandung Empedu Pada sistem hepatobiliaris, defek sekresi garam duktus (Cl) dan air menyebabkan pengentalan sekresi bilier, sirosis fokal biliaris, penyumbatan, dan proliferasi duktus biliaris diikuti inflamasi pada 2530% pasien fibrosis kistik.1,2 Ketidakmampuan epitel kandung empedu mensekresikan garam dan air dapat menyebabkan kolesistitis kronis dan kolelitiasis. Steatosis hati dan sirosis biliaris fokal terjadi pada 5% pasien.2 7.2.4 Kelenjar Air Liur Kelenjar air liur pada penderita fibrosis kistik akan mengalami perubahan histologis menyerupai perubahan histologis pankreas, seperti dilatasi progresif duktus, metaplasia sel skuamosa pada epitel duktus, dan atrofi kelenjar diikuti fibrosis.2 7.2.5 Kelenjar Keringat Penderita fibrosis kistik mensekresikan keringat dalam jumlah normal, namun dengan komposisi yang berbeda. Penderita fibrosis kistik tidak mampu NaCl dari keringat selagi keringat bergerak keluar duktus dan tidak adanya kemampuan absorbsi Cl saat melalui sel epitel duktus, menyebabkan peningkatan kadar NaCl pada keringat. Disfungsi ini biasanya diukur dengan mengumpulkan keringat setelah dilakukan iantoforesis agonis kolinergis melalui lengan depan.1

Defek kanal klorida menyebabkan peningkatan kadar NaCl kelenjar keringat 7.2.6 Saluran Reproduksi Keterlambatan pubertas seringkali didapati pada penderita fibrosis kistik, baik laki-laki maupun perempuan. Pola penundaan pendewasaan nampaknya merupakan efek sekunder penyakir paru kronis dan tidak adekuatnya nutrisi untuk menunjang fungsi endokrin reproduktif. Lebih dari 95% penderita laki-laki menderita azoospermia yang menggambarkan gangguan vas deferens karena sekresi cairan yang berkurang.1,2

Congenital bilateral absence of the vas deferens (CBAVD) merupakan gangguan yang juga sering didapati pada penderita laki-laki fibrosis kistik yang mencapai usia dewasa dan merupakan manifestasi dari minimal satu mutasi gen CFTR dengan mutasi tersering pada IVS8/5T .2,3 20% penderita fibrosis kistik wanita infertil karena pengaruh penyakit paru kronis pada siklus menstruasi, mukus serviks yang kental dan memblokade migrasi sperma, serta abnormalitas dinding tuba. Namun, sebagian besar kehamilan pada penderita fibrosis kistik memproduksi neonatus yang normal dan mampu untuk menyusui dengan normal.1 8. Diagnosis 8.1 Prenatal Analisis CFTR noninvasive dilakukan dengan mendapatkan DNA dari sel yang diperoleh melalui usapan bukal. Teknik ini dapat digunakan untuk mengetahui status carrier kedua orangtua dari fetus yang diduga menderita fibrosis kistik berdasarkan USG dan temuan meconium ileus.

Tes ini bersifat spesifik dan terus berkembang. Walaupun ada lebih dari 1600 mutasi, namun 97 mutasi yang terdeteksi dengan tes ini merepresentasikan 98% mutasi yang bertanggungjawab untuk fibrosis kistik. Hasil dari tes ini dapat diketahui dalam 5-8 hari. Screening test tidak dapat mengecek semua mutasi yang mungkin terjadi, namun hanya beberapa yang sering terjadi, sehingga perlu diketahui implikasi dari hasil tes sangat bergantung pada jenis tes yang digunakan. Amniosentesis dapat digunakan sebagai cara evaluasi fetus apabila diketahui bahwa kedua orangtua memiliki mutasi fibrosis kistik. Apabila hanya salah satu atau tidak ada dari kedua orangtua yang diidentifikasi memiliki mutasi namun memiliki anak sebelumnya dengan fibrosis kistik, status fetus dapat diperkirakan dengan analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP). Materi genetic dari kedua orangtua, saudara yang terkena, dan fetus harus disediakan sebagai bahan evaluasi. Apabila analisis DNA atau tes amniosentesis ditolak atau tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan USG follow-up yang dilakukan dalam waktu 6 bulan. 8.2 Neonatal Screening fibrosis kistik pada neonatus sudah diwajibkan untuk dilakukan di US. Tes ini didasarkan pada immunoreactive trypsinogen (IRT) sebagai tes awal screening fibrosis kistik. Tingginya kadar IRT, salah satu protein pankreas yang meningkat pada neonatus dengan fibrosis kistik, mengindikasikan harus dilakukannya tes lanjutan dengan pengulangan tes IRT, tes DNA, atau keduanya. 8.3 Postnatal Apabila didapati fetus atau neonatus dengan obstruksi usus, maka perlu segera dilakukan tes diagnostik secepatnya. 75 - 80% laki-laki dengan congenital bilateral absence of vas deferens (CBAVD) memiliki mutasi CFTR. Pada kondisi ini, caput epididymis dapat teraba, namun struktur turunan duktus Wolfii termasuk vas deferend tidak ada. Anomali ini berguna untuk mendiagnosis adanya mutasi CFTR. Demikian pula pada azoospermia obstruktif.

Diagnosis fibrosis kistik ditegakkan berdasarkan kombinasi kriteria klinis dan fungsi abnormal CFTR yang ditunjukkan oleh tes keringat, pengukuran PD nasal, dan analisis mutasi CFTR. Peningkatan nilai Cl keringat hampir merupakan tanda patognomonik fibrosis kistik.1 8.3.1 Tes Keringat Metode tes keringat yang sekarang digunakan adalah quantitative pilocarpine iontophoresis test (QPIT). Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan 50-100 mg keringat. Lokasi pengumpulan harus dari salah satu bagian tubuh dan tidak boleh didapatkan dari banyak lokasi. Tes ini dapat tidak akurat pada bayi yang masih sangat kecil dan bila volume yang diperiksa tidak memadai. Metode pengumpulan makroduktus menunjang analisis dengan pada volume keringat yang lebih kecil. Apabila dilakukan pengumpulan dengan cara ini, keringat harus distimulasi dengan elektroda menggunakan inducer selama 5 menit. Dalam 30 menit, jumlah sample minimal yang dapat diterima adalah 15 L.3 Kadar Cl (dan Na+) dalam keringat bervariasi sesuai dengan usia, namun nilainya pada penderita fibrosis kistik >60 meq/L dapat membedakannya dari penderita penyakit paru-paru lain.1,3,4 Pada bayi berusia 3 bulan atau kurang, kadar Cl 30-60 mEq/L dikatakan berada pada perbatasan dan membutuhkan tes ulang karena kadar 3060 mEq/L dapat berada dalam rentang penderita maupun carrier. Tes keringat harus dilakukan lebih dari satu kali dengan jarak antar tes selama beberapa minggu dan harus diulang pada hasil tes pertama positif atau hasil pertama negatif dengan manifestasi fibrosis kistik positif. Beberapa penderita fibrosis kistik memiliki hasil tes keringat yang negatif.3 8.3.2 Pencitraan Radiografi Pada foto dada didapati perubahan awal berupa hiperinflasi dan penebalan peribronkial. Gambaran udara yang terperangkap denan bronkiektasis dapat terlihat

pada lobus atas. Sejalan dengan perburukan paru-paru, beberapa temuan ini bias didapatkan: o Nodul paru-paru akibat abses o Infiltrat dengan atau tanpa atelektasis lobus o Hiperinflasi bermakna dengan pendataran kubah diafragma o Kifosis thorax o Pembengkokan sternum o Dilatasi arteri pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan terkait cor pulmonale dapat tertutupi oleh hiperinflasi bermakna. Pada pencitraan sinus, gambaran opaque menyeluruh pada sinus terdapat pada semua penderita fibrosis kistik dan dapat mengarah pada diagnosis pasti. Pada 71% kasus meconium ileus, terdapat pola dilatasi usus dan air-fluid level pada pencitraan abdomen. Air-fluid level dapat tidak terlihat karena karakter padat mekonium yang tertahan. Gelembung gas yang bercampur dengan meconium memberikan gambaran gelembung sabun (tanda Neuhauser) bergantung pada viskositas mekonium dan tidak selalu terlihat. Gambaran ini merupakan pengarah diagnosis spesifik meconium ileus, terutama pada penderita dengan riwayat keluarga fibrosis kistik. Gambaran meconium ileus komplikata bervariasi sesuai derajat komplikasinya. Bintik kalsifikasi mengindikasikan adanya perforasi usus intrauterin dan peritonitis mekonium. CT scan dada CT scan resolusi tinggi bukan merupakan alat diagnostic rutin, namun lebih sensitive dibandingkan spirometri dalam mendeteksi perubahan pada tingkat keparahan gangguan paru-paru. USG USG prenatal sonographic terkait dengan meconium ileus menunjukkan gambaran masa hiperekoik, dilatasi usus, dan tidak ditemukannya gambaran kandung empedu. Pada fetus normal di trimester dua dan tiga, biasanya mekonium terlihat

hipoekoik atau isoekoik dengan struktur abdomen sekitarnya. Sensitivitas USG untuk deteksi fibrosis kistik adalah 30%-70%. 8.3.3 Genotyping Dilakukan dengan teknik PCR, temuan 2 mutasi CFTR terkait manifestasi klinis dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Tes ini dapat mendeteksi >98% mutasi yang menyebabkan gangguan fibrosis kistik pada ras Kaukasian.1,3 8.3.4 Pengukuran Potential Difference Nasal Pengukuran potential difference (PD) dalam voltase diukur dari mukosa nasal dan dinilai dengan menggunakan referensi elektroda yang diselipkan dalam lengan depan terkait dengan gerakan sodium melalui membrane sel yang abnormal pada penderita dengan mutasi CFTR. Pengukuran PD nasal dapat membantu mendokumentasikan disfungsi CFTR bila kadar Cl pada tes keringat normal atau berada di perbatasan dan kedua mutasi CFTR tidak teridentifikasi. Analisis DNA juga perlu dilakukan secara rutin pada penderita fibrosis kistik untuk meneliti genotipe dan fenotipenya.1 Nilai normal standar error (SE) adalah 0.9-24.7 mV dengan nilai abnormal 1.8-53 mV.3 8.3.5 Tes Fungsi Paru-paru Spirometri standar tidak akurat digunakan pada penderita di bawah 5 tahun. Sebagai gantinya, forced oscillation technique (FOT) yang menggunakan impulse oscillometry system (IOS) dapat digunakan. Resistensi saluran pernafasan yang diukur oleh IOS sesuai dengan resistensi saluran pernafasan yang diukur dengan plethismografi tubuh, dan teknik ini telah sukses untuk mendiagnosis fungsi paru-paru pada penderita anak fibrosis kistik. Pada pemeriksaan tahap awal fibrosis kistik menggunakan spirometri forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dapat normal, forced expiratory flow (FEF) setelah 25-75% kapasitas vital terbuang (FEF 25-75) menurun, menandakan adanya keterlibatan saluran nafas kecil. Sejalan dengan perburukan, FEV1 juga semakin menurun. Dengan hiperinflasi, kapasitas total juga meningkat. Pada pasien tahap akhir, perubahan ekstensif paru-paru disertai fibrosis digambarkan dengan penurunan kapasitas total dan kapasitas vital.3

8.3.6 Lavase Bronkoalveolar dan Mikrobiologi Sputum Inflamasi saluran pernafasan merupakan ciri khas utama penderita fibrosis kistik. Studi menunjukkan inflamasi tersebut bahkan terjadi tanpa adanya infeksi. Lavase bronkoalveolar menunjukkan tingginya neutrophil. Adanya penyembuhan dari Pseudomonas aeruginosa menunjang diagnosis fibrosis kistik pada penderita atipik. 8.3.7 Immunoreactive Trypsinogen Immunoreactive trypsinogen (IRT) adalah enzim pankreas yang dapat digunakan untuk mendeteksi meconium ileus saat rasio relatifnya lebih tinggi daripada persentil 99.3 8.3.8 Enema Barium Kontras Apabila dicurigai adanya meconium ileus, tes ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Dapat pula dilakukan fluoroskopi untuk memvisualisasikan kolon yang seringkali terisi skibala. Fluoroskopi juga diindikasikan pada bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (rerata usia gestasi 27 minggu dan 788 g) untuk memastikan kontras mencapai ileum distal.3 8.4 Kriteria Diagnostik2 1. Penyakit sinopulmonal kronis yang memiliki manifestasi a. Kolonisasi/ infeksi persisten dengan pathogen tipikal fibrosis kistik, termasuk Staphylococcus aureus, Hemophilus influenza atipik, Pseudomonas aeruginosa, Burkholderia cepacia b. Batuk kronik dan produksi sputum c. Abnormalitas persisten pencitraan dada (contohnya bronkiektasis, atelektasis, infiltrat, hiperinflasi) d. Obstruksi jalan nafas yang bermanifestasi sebagai mengi dan udara yang terperangkap e. Polip nasal dan kelainan pada sinus paranasal

f. Digital clubbing 2. Abnormalitas gastrointestinal dan nutrisional, termasuk a. Usus: meconium ileus, sindroma obstruksi usus distal, prolapse rektal b. Pankreas: insufisiensi pankreas, pankreatitis rekuren c. Hati: hepatitis kronis yang bermanifestasi sebagai sirosis biliaris fokal atau sirosis multilobular d. Nutrisional: gagal tumbuh-kembang (malnutrisi protein-kalori), hipoproteinemia, edema, komplikasi terkait avitaminosis larut lemak 3. Salt-loss syndromes: deplesi garam akut, asidosis metabolic kronis 4. Abnormalitas urogenital laki-laki menyebabkan azoospermia obstruktif (CBVD)

Kriteria diagnosis Fibrosis Kistik Satu atau lebih fenotipe khas, ATAU riwayat fibrosis kistik pada saudara kandung, ATAU hasil tes screening neonatus positif DAN Peningkatan klorida tes keringat pada lebih dari satu kali pemeriksaan ATAU identifikasi dua mutasi fibrosis kistik ATAU abnormalitas transpor ion epitel nasal 9. Penatalaksanaan Penatalaksaan fibrosis kistik meliputi dua hal yaitu medikamentosa dan pembedahan. Chronic pulmonary treatment Pasien fibrosis kistik mungkin mengeluhkan gejala kronik dari obstruksi hidungnya berupa discharge purulen atau batuknya sehingga dibutuhkan terapi antibiotik efektif terhadap kuman pseudomonas dan staphylococci serta digabung

dengan irigasi rongga hidung rutin (aggresive nasal toilet) mungkin dapat meredakan gejala klinis yang ada. Irigasi rongga hidung memegang peranan penting yang sebaiknya dilakukan rutin pada pasien yang mulai timbul keluhan. Keluhan ini terjadi karena gangguan mucociliary clearance secara kronik. Irigasi menggunakan saline bertujuan menurunkan kolonisasi bakteri, mencuci keluar sekresi lendir yang menyebabkan obstruksi, dan secara berkala membantu vaskonstriksi pembuluh darah konka. Irigasi juga diperlukan terhadap semua intervensi pembedahan karena walau tujuan pembedahan membesarkan ostium sinus namun tidak ditujukan terhadap kerusakan mucociliary clearance yang ditimbulkan akibat pembedahan. Antibiotik Beberapa ahli menggunakan antibiotik antipseudomonal seperti tobramycin sebagai tambahan dalam irigasi rongga hidung dan dilaporkan berhasil menurunkan kolonisasi bakteri pseudomonas. Selain itu sering dipakai golongan makrolid seperti azythromicin yang akan menurunkan factor virulensi dari virus, menurunkan produksi biofilm dan memilikin efek bactericidal pada fase biofilm (stationary). Penggunaan dosis tinggi ibuprofen juga sering dipakai dalam pengobatan kistik fibrosis tetapi pada penelitian didapatkan hasil yang tidak signifikan terhadap FEV1. Ibuprofen dipakai ketika sebelum kistik fibrosis mengalami inflamasi berat dan belum terjadi perubahan patologis pada paru-paru.

-

Bronkodilator Steroid Mukolitik Airway clearance technique Ini dapat dilakukan dengan metode seperti perkusi, postural drainage, positive

expiratory pressure (PEP) device, high pressure PEP devices, active cycle of breathing techniques, airway-oscillating devices, high frequency chest wall oscilliation devices dan autogenic drainage (chect physiotherapy). Penyakit hati kolestasis didapati pada 8% penderita fibrosis kistik. Pengobatan dengan asam urodeoxykolat dimulai bila didapati peningkatan alkalin fosfatase dan gammaglutamyl transpeptidase (GGT) (3x normal). Penyakit hati tahap akhir didapati pada 5% penderita fibrosis kistik dan dapat ditatalaksana dengan transpalantasi.1

-

Jika telah terjadi gangguan endokrin, dapat juga diberikan terapi insulin. Hiperglikemia merupakan indikasi untuk dilakukannya terapi insulin pada orang dewasa.

-

Pengobatan sindroma obstruksi usus, megalodiatrizoate atau radiokontras hipertonik lainnya yang diberikan melalui enema dapat dilakukan. Untuk mengontrol gejala, pengaturan enzim pankreas dan penggunaan larutan garam berisi agen aktif seperti propilenglikol dapat digunakan.

-

Perbaikan Nutrisi Pada penderita kistik fibrosis harus diperhatikan nutrisinya karena nutrisi yang

baik berhubungan dengan fungsi paru-paru yang baik. Perbaikan nutrisi dapat dengan pemberian suplemen enzim pankreas pada beberapa pasien dengan insufisiensi pankreas dengan dosis 2500 unit/kg/makan, selain itu juga dapat diberikan vitamin larut lemak seperti A,D,E dan K karena pada kistik fibrosis sering terjadi defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Pada neonatus dengan kistik fibrosis, pemberian ASI dapat memberikan dampak yang baik terhadap survival ratenya. Pembedahan Terapi pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa tidak efektif, bagaimanapun juga pertimbangan untuk dilakukan pembedahan harus benar-benar matang karena kemungkinan terbentuknya mucus kental yang banyak selama operasi dengan anastesi umum yang resikonya semakin meningkat sejalan dengan lamanya intubasi. Selain itu jika seluruh pengobatan gagal, dapat dilakukan transplantasi paruparu.

Daftar Pustaka: 1. Fauci, Anthony S et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. USA: McGraw-Hill; 2008. 2. Kumar et al. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Ed ke-7. USA: Saunders; 2004. 3. Sharma, G D . Cystic Fibrosis. Pada

http://emedicine.medscape.com/article/1001602 [29 April 2012].

4. Sullivan, P.O Brian, Freedman, D Steven. Cystic Fibrosis : The Lancet 2009. 5. Ratjen, A Felix. Cystic Fibrosis : Pathogenesis and Future Treatment strategis. 6. Zielenski, Julian. Genotype and phenotype in cystic fibrosis.respiration.2000. 7. Lewiston, J Norman. Bronchiectasis. Respiratory care 2009. 8. Konstan, W Michael. Schluter, D Mark, dkk. Clinical Use of Ibuprofen Is Associated with Slower FEV1 Decline in Children with Cystic Fibrosis. American Journal of Respiratory and critical care medicine.2007.[diunduh dari]: http://ajrccm.atsjournals.org/content/176/11/1084.short. [diakses tanggal 27 April 2012] 9. Flume, A Patrick. Mogayzel, J Peter.dkk. Cystic Fibrosis Pulmonary Guidelines : Treatment of pulmonary exacerbations.AJRCCM.2009.

Michael W. Konstan1,2, 10. Mark D. Schluchter

11.

Contoh :Dodd, Jodie M, et al.2011. Limiting weight gain in overweight and obese women during pregnancy to improve health outcomes: the LIMIT randomised controlled trial. BMC Pregnancy and Childbirth 2011, 11:79. [diakses http://www.biomedcentral.com/1471-2393/11/79 tanggal 2 Maret 2012]

BRONKIEKTASIS INSIDENS

Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti. Fibrosis kistik dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis. Di negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara populasi. Insidens bronkiektasis cenderung menurun dengan adanya kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi perlu di ingat bahwa insidens ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan kongenital.5,6 Di Indonesia belum ada laporan tentang angkaangka yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak bahkan dapat berupa kelainan kongenital. 5,6,7 III. EPIDEMIOLOGI Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada negaranegara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah.1,5

Data terakhir yang

diperoleh dari RSUD Dr. Soetomo tahun 1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan kata lain didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien rawat inap. 7 IV. ETIOLOGI Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.6

Kelainan congenital Dalam hal ini,

bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakitpenyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dll.1,2,3,5,6,7 Kelainan didapat Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan proses berikut: Infeksi Campak Pertusis Infeksi adenovirus Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau Pseudomonas.

-

Influenza Tuberkulosa Infeksi mikoplasma1,2,3,4,5,6,8,9 Penyumbatan bronkus Benda asing yang terisap Pembesaran kelenjar getah bening Tumor paru Sumbatan oleh lendir1,2,3,4,5,6,8,9 Cedera penghirupan Cedera karena asap, gas atau partikel beracun Menghirup getah lambung dan partikel makanan 1,2,3,4 Kelainan imunologik Sindroma kekurangan immunoglobulin Disfungsi sel darah putih Defisiensi komplemen Infeksi HIV Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti artritis rematoid, kolitis ulcerativa1,2,3,4,5 Keadaan lain Penyalahgunaan obat (misalnya heroin) 4 Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan dimana

VI. PATOFISIOLOGI terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu prosesinfeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap antigen. 5 Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan nafas. Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan nafas. Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mucus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokan dan kemudian batukkan keluar atau tertelan.3

Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara

langsung atau tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan antara infeksi dan kerusakan jalan nafas. 3 VII. DIAGNOSIS 1. Gambaran Klinis Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan nafas dengan infeksi akut. 1 Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis episodik dengan sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering biasanya merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya ditemukan pada lobus atas. 1 Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik. Infeksi bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya oleh peningkatan produksi sputum yang berlebihan, peningkatan kekentalan sputum, dan kadang-kadang disertai dengan sputum yang berbau. 1 Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan infeksi saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis dikalsifikasikan

berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. 1,2,5,8 Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Homoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan. 1,2 Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya. 1,2 Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma. 1,2 Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut. 1,2 Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasi yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan. 1 Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.12. Gambaran Radiologis - Foto thorax Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini: Ring shadow Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm). dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk gambaran honeycomb appearance atau bounches of grapes. Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus. 11,12,13,14 Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus. 11,12,13,14 diantara bayangan jantung Tubular shadow Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8 mm. gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis. 11,13 Glove finger shadow Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan. 11,13

- Bronkografi Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis. 12,13, 15 Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita bronkiektasis yang akan di lakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan diangkat. 12 Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan oleh karena prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi pasien dengan gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media. 5 - CT-Scan thorax CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%.2,8,14 CTScan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah Patologi Anatomi Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit. 6 Perubahan morfologis bronkus yang terkena a. Dinding bronkus Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis. 6 b. Mukosa bronkus Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan. 6

c. Jaringan paru peribronkial Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik dengan kistakista berisi nanah. 6 Variasi kelainan anatomi bronkiektasis Pada tahun 1950, Reid mengkasifikasikan bronkiektasis sebagai berikut : a. Bentuk tabung (tubular, cylindrical, fusiform bronchiectasis) Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik. 1,5,6 b. Bentuk kantong (saccular bronkiektasis) Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler.b entuk ini kadang-kadang berbentuk kista. 1,5,6 Varicose bronkiektasis Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises pembuluh vena. 1,5,6 DIAGNOSIS BANDING 4,6 Fibrosis Kistik Kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien yang lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran radiografi yang memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik yang meliputi: hiperinflasi, penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial cuffing, mucoid impaction, kistik radiolusen, peningkatan tanda interstisial dan penyebaran nodul-nodul. DAFTAR PUSTAKA 1. Emmons EE. Bronchiectasis. www.emedicine.com last update Januari 2007. 2. ORegan AW, Berman JS. Baums Textbook of Pulmonary Disease 7 th Edition . Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins. Philadelphia. 2004. hal 255-274. 3. Benditt, JO. Lung and Airway Disorder: Bronchiectasis. www.merck.com last update Januari 2008. 4. Anonymous. Bronkiektasis. http://medicastore.com/med/detail_pyk.php, 2004

5. Hassan I. Bronchiectasis. www.emedicine.com. Last update December,8 2006 6. Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Editor Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. hal 861-871. 7. Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press. Surabaya. 2006. hal 256-261 8. Barker AF. The New English Journal of Medicine : Bronkiektasis. 2002; 346:1383-1393. 9. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor Hartanto Huriawati, dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740 10. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius. Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14. 11. Meschan I. Obstrictive Pulmonary Disease. Synopsis of Analysis of Roentgen Signs in General Radiology. Philadelphia. 1975. hal 55-56 12. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. hal 108-115. 13. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill livingstone. Tottenham. 2003. hal 45, 163, 164 & 168. 14. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005. hal 4041 15. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity Press. New York. 2005. hal 67-68. 16. Greif J. Medical Imaging in Patients with Cystic Fibrosis. www.eradimaging.com. Last update Februari 2008. 17. Ketai LH. Infectious Lung Disease. Fundamental of Chest Radiology, 2nd Edition, Loren H. Ketai Richard Lofgren, Andrew J. Meholic, Elseiver Inc. hal 21 18. Wicaksono H. Anatomi Dasar Sistem Pernapasan, www. ilmusehat.com