fenomenologi agama atheis

23
Fenomenologi Agama Atheisme ANGGOTA KELOMPOK Teguh Iswara Suardi 2008420129 Surya Nugraha 2009410077 Rheza Jojo Hidayat 2009120148 Michael Santoso 2011200052 Joseph Gabetua 2011410177 UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG JULI 2012

Upload: teguh-iswara

Post on 25-Jul-2015

258 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama

Atheisme

ANGGOTA KELOMPOK

Teguh Iswara Suardi 2008420129

Surya Nugraha 2009410077

Rheza Jojo Hidayat 2009120148

Michael Santoso 2011200052

Joseph Gabetua 2011410177

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG

JULI 2012

Page 2: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Daftar Isi

Bab I

2 Pendahuluan

Bab II

4 Asal Mula Munculnya Atheis

6 Tokoh-tokoh Atheisme

8 Atheisme Kuat dan lemah

8 Pertanyaan Tentang Atheisme

10 Atheisme, Agama, dan Moralitas

12 Atheisme di Indonesia

13 Tanggapan terhadap Atheisme

Bab III

15 Kesimpulan

Daftar Pustaka

1 | P a g e

Page 3: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

BAB I

Pendahuluan

Kemajemukan budaya di dunia membawa banyak sekali dampak terhadap keanekaragaman suatu religi atau agama . Dimana religi merupakan suatu tata ajaran tertentu atas kepercayaan dan praktik berhubungan dengan sesuatu yang suci. Religi tersebut membentuk suatu kelompok-kelompok tertentu, sebagai contoh yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan lain sebagainya.

Dalam praktik keagamaan tersebut, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan membuat para pengikut menjadi tidak nyaman dengan hal tersebut. Ajaran-ajaran yang diberikan agama dalam memahami suatu konsep bahwa Tuhan itu sesuatu yang ada mulai ditentang oleh orang-orang yang memiliki suatu pemikiran yang berbeda. Paham tersebut adalah Ateis.

Memang tidak banyak pengikut daripada paham ini. Seseorang yang menerima paham ini terkadang memiliki pengalaman yang pahit akan mencari keberadaan sosok Yang Maha Kuasa. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Mereka meyakini bahwa Tuhan itu memang tidak ada dan menolak terhadap teisme. Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena transendental karena kurangnya bukti empiris.

Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.

Modernisme lahir di dalam sebuah kondisi di mana dogma merajalela, dan manusia tidak mempunyai tempat. Semua segi kehidupan dilihat dari sudut pandang agama yang dogmatis. Manusia tidak memiliki tempat di dunia ini, sebuah panggung sandiwara di mana ia menjadi pemain di dalamnya. Hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Tuhan yang menilainya, yang memberinya surga bila ia memainkan perannya dengan sesuai, dan neraka untuk yang menentangnya, tanpa berpikir mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.

Modernisme, dipicu juga oleh gerakan Reformasi Protestan, yang melahirkan subjektivisme, yaitu percaya pada pemikiran sendiri, seperti tercermin dalam semboyan pencerahan “sapere aude”, aku berpikir untuk diriku sendiri. Protestanisme, walaupun pada dirinya masih dogmatis dengan hanya percaya pada kitab suci, ia telah membuka jalan ke subjektivisme dengan memberikan kebebasan dalam mengartikan kitab suci. Tafsir kitab suci yang mulanya hanya menjadi hak kaum

2 | P a g e

Page 4: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

pendeta, menjadi milik semua umat beriman karena Tuhan diyakini menyapa setiap orang secara sama melalui kitab suci.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang terpicu oleh pencerahan juga ikut menyuburkan lahan untuk tumbuhnya ateisme. Alam semesta yang mulanya dianggap dijalankan oleh Tuhan, kini tidak memerlukan Tuhan lagi sebagai pemelihara, melainkan dapat berjalan sendiri begitu hukum-hukum alam diciptakan, yang dikenal dengan faham deisme. Meskipun deisme masih mengakui bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, mereka telah menjadi pembuka jalan bagi ateisme, yang melihat bahwa Tuhan tidak perlu ada..

3 | P a g e

Page 5: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

BAB II

Isi

Asal Mula munculnya Atheis

Ateisme secara rasional dilahirkan oleh seorang filsuf Jerman abad ke-19 bernama Ludwig Feuerbach. Ia melihat, seperti halnya Xenophanes, bahwa Tuhan hanyalah angan-angan ciptaan manusia. Ia menyebutnya dengan istilah proyeksi. Tuhan hasil produk proyeksi manusia ini, mirip dengan manusia, ia adil, baik, kasih, namun juga cemburu, dan pemarah, dan ditambahkan dengan kualitas maha, maka ia mahaadil, mahabaik, mahakasih, juga mahacemburu dan mahapemarah. Celakanya manusia lupa bahwa Tuhan ini adalah ciptaannya sendiri. Ia kagum akan ciptaannya sendiri, bahkan merasa tunduk dan menyembahnya.

Manusia memang dilahirkan dengan kemampuan memproyeksikan dirinya. Dengan memproyeksikan dirinya keluar, ia lebih mampu mengenal dirinya sendiri. Dan ia bisa memproyeksikan dirinya sampai tak hingga. Jika ia baik, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahabaik. Jika ia jahat pun, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahajahat. Masalahnya, menurut Feuerbach adalah, bahwa ia lupa bahwa itu adalah proyeksi, cermin, dari dirinya sendiri. Ia malah seperti kagum, bahkan takut, pada bayangannya sendiri.

Feuerbach dengan ateismenya ini sebenarnya mengkritik praktek beragama yang kerdil. Ia melihat bahwa Tuhan yang disembah manusia, banyak di antaranya adalah bayangan yang diciptakan manusia sendiri. Ini bisa dilihat dengan jelas dari ciri-ciri Tuhan yang mirip dengan manusia: bertahta, mendengar, melihat, mendengar, mencinta, cemburu, membalas, dll. Apakah ini memang Tuhan yang sebenarnya, atau Tuhan ciptaan manusia.1

Pada mulanya bisa jadi Tuhan digambarkan secara manusiawi supaya bisa lebih dijangkau oleh awam, berbeda dengan Tuhan filosofis dan mistik yang biasa diperbincangkan para filsuf dan mistikus yang jauh dari pemahaman biasa. Di satu pihak bisa mendekatkan orang biasa kepada Tuhan, tetapi di pihak lain beresiko menggambarkan Tuhan secara kurang tepat.

Kritik model ini dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman lain yang lebih terkenal yaitu Karl Marx. Karl Marx melanjutkan logika yang dikembangkan Feuerbach dengan mengatakan bahwa bukan saja agama yang demikian membuat manusia takluk pada ciptaannya sendiri, melainkan membuat ia mandul dalam membuat perubahan sosial. Ia berserah diri pada Tuhan, memohon dan berdoa, ketimbang turun tangan sendiri membenahi ketidakadilan.

1 Encyclopedia of Science and Religion, Volume 14 | P a g e

Page 6: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Tuhan mahakuasa yang diciptakan manusia ini begitu kuatnya sehingga membuat manusia tidak berdaya di hadapannya. Manusia lupa bahwa merekalah yang menciptakan bayangan itu. Mereka bukan sekedar takut, melainkan menyerahkan seluruh hidupnya kepadanya. Mereka tidak berbuat apa-apa untuk mengubah nasibnya melainkan pasrah kepada Tuhan ciptaannya.

Marx seperti Feuerbach juga mengkritik praktek agama yang kerdil. Agama tidak menjadi penyelamat, melainkan menjadi tempat pelarian orang-orang tidak berdaya. Marx dengan filsafatnya yang materialis, yaitu filsafat berguna selama bisa dipraktekkan dalam ranah sosial, tentu saja melihat agama tidak cocok dengan filsafatnya.

Seperti yang sering dikutip dari Marx bahwa “agama adalah candu”. Agama yang menjanjikan penyelamatan di hari akhir telah memandulkan manusia untuk melakukan perubahan di bumi ini. Mereka hanya menipu diri mereka sendiri bahwa penderitaan mereka di dunia ini tidak akan sia-sia dan akan diganjar dengan surga di kehidupan mendatang.2

Kritik Marx ini mau mengatakan bahwa agama telah melupakan salah satu nilai dasarnya, yaitu sebagai pembebas revolusioner. Semua agama adalah sebuah revolusi, yang mengubah cara pandang lama. Tetapi institusi agama setelah itu biasanya kehilangan nilai revolusi tersebut, dan cenderung menjadi mapan. Agama yang seharusnya memberikan energi untuk bertindak malah menjadi candu yang melemahkan.

Pukulan berikutnya diberikan juga oleh seorang Jerman, kali ini seorang dokter jiwa bernama Sigmund Freud. Lewat teori psikoanalisis yang dikembangkan olehnya ia melihat bahwa manusia yang beragama secara kolektif adalah sekumpulan orang yang tidak dewasa, yang seperti seorang anak kecil yang terus merengek kepada orang tuanya. Sebagai seorang dewasa semestinya ia mengambil hidupnya sendiri, mengupayakan sendiri, ketimbang menggantungkan diri kepada Tuhan di atas sana.3

Freud sampai pada kesimpulan ini melalui penelitian mitologi. Dari mitologi ia menteorikan bahwa di zaman dahulu, laki-laki yang kuat berkuasa dan memiliki seluruh perempuan. Laki-laki yang lain, yaitu anaknya, semuanya tunduk kepadanya. Meskipun mereka tunduk namun sebenarnya mereka iri pada kedudukan itu dan ingin mengalahkan sang ayah. Hingga suatu saat ia berani memberontak melawan ayahnya dan membunuhnya. Kisah seperti ini bisa dilihat seperti pada mitologi Yunani Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya, atau pada pemberontakan Zeus bersaudara yang melawan Kronus ayahnya, dan membunuhnya dan menggantikan posisinya sebagai pimpinan para dewa.

Selanjutnya manusia tenggelam dalam alam bawah sadar ini, dan menjadikan Tuhan sebagai suatu super-ayah yang selalu mengawasi dan menekan, dan kita tunduk kepadanya. Tindakan

2 Abad Ideologi, Henry D. Aiken

3 Abad Ideologi, Henry D. Aiken5 | P a g e

Page 7: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

menjadi dewasa bisa dilihat sebagai semacam “membunuh ayah”, dan tidak tergantung kepadanya. Ia menjadi mandiri. Dan Freud melihat bahwa manusia beragama sama aja seperti anak kecil bila ia tidak melewati fase ini.

Dapat dilihat dari penjelasan di atas bahwa ateisme dalam versi demikian sebenarnya bukanlah ateisme yang melawan Tuhan secara langsung melainkan sebagai sebuah reaksi balik atas kebobrokan agama-agama. Adalah Tuhan ciptaan (institusi) agama yang dilawan oleh ateisme.

Institusi agamalah, bukan Tuhan (kalau Tuhan memang ada), yang membuat praktek beragama yang kerdil dan tidak membebaskan. Institusi agama telah mengembangkan Tuhan yang menggunakan teror untuk mengendalikan masyarakat. Logikanya mudah dilihat, orang yang dipenuhi teror menjadi mudah dikendalikan. Ini tentu saja berarti kelanggengan kekuasaan bagi mereka yang memegang institusi agama. Tuhan, yang tidak terjangkau keagungannya, tetap belum tersentuh oleh kritik ini.

Tokoh-tokoh Atheisme

1.Ludwig FeuerbachLudwig Feurbach ialah murid dari Hegel,pada awalnya ia ingin menjadi pendeta

protestan,namun kemudian ia merasa tidak dapat menerima pikiran-pikiran Hegel.Menurut Hegel,”Kita,Orang-orang,merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita,tetapi dibelakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya.Meskipun ditingkatannya sendiri manusia bebas dan mandiri,akan tetapi melalui kemandirian itu roh semesta menyatakan diri.”

Jadi intisari dari pemikiran Hegel ialah,seolah-olah kita(manusia) ialah wayang-wayang yang memiliki kesadaran,pengertian,dan kemauan sendiri,namun sebenarnya kesemuanya itu tetaplah berada ditangan roh semesta(Tuhan).Atau dapat dikatakan bahwa Roh semesta adalah pelaku sejarah sebenarnya,namun ia berada dibelakang layar dan manusia hanyalah pemain dari semua itu.4

Pemikiran inilah yang tidak dapat diterima oleh Feuerbach,menurutnya Hegel itu hanya memutar balikan keadaan karena pencitraan yang diberikan Hegel ialah seakan-akan Tuhan itu adalah sosok yang nyata dan manusia hanyalah wayangnya saja.Padahal menurut logika yang jelas dan nyata adalah manusia,bukannya Tuhan.Menurut Feuerbach Tuhan hanyalah ada dalam objek pikiran manusia saja,yang mana sosok sebenarnya tidak pernah ada.Atau dengan kata lain Tuhan adalah hasil pikiran manusia.Baginya dalam realitas yang benar-benar tak dapat disangkal adalah pengalaman inderawi dan bukannya pikiran spekulatif.5

Hal itu merupakan titik dasar dari pemikiran Feuerbach yang merumuskan bahwa Tuhan bukanlah yang menciptakan manusia tetapi manusia yang menciptakan Tuhan.Oleh karena itu agama hanyalah proyeksi yang sempurna dari hakekat diri manusia sendiri.Feurbach berdasarkan pada keyakinannya itu berpendapat jika manusia ingin mengetahui dirinya secara utuh maka ia haruslah mempresentasikan dirinya tersebut.Namun celakanya manusia lupa bahwa proyeksi yang sempurna tersebut adalah dirinya sendiri,dan menganggap itu semua adalah sesuatu yang nyata dan mandiri.Sehingga manusia menjadi kaget,takut dan menyembah proyeksi tersebut.

4 Abad Ideologi, Henry D. Aiken

5 Abad Ideologi, Henry D. Aiken6 | P a g e

Page 8: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Kemudian karena manusia itu takut ia menjadi lumpuh. Manusia akhirnya hanya mengasingkan dirinya dengan jalan mengharapkan berkah dari proyeksinya itu sendiri.Yang akhirnya membuat manusia tidak berusaha untuk mewujudkan dirinya sendiri seperti hasil proyeksinya tersebut.Jadi Feurbach menyatakan bahwa agama membuat manusia itu terasing dari dirinya sendiri.

2.Karl Marx Karl Marx ialah tokoh dalam ajaran sosialis yang terkenal dengan seruannya “Agama adalah candu bagi rakyat”.Dalam seruannya ini Marx seolah-olah menuduh bahwa agama ialah hal yang menyesatkan dalam kehidupan manusia.Marx mendasarkan tuduhannya ini bahwa,agama menjanjikan kebahagiaan di akhirat sesudah kehidupan nyata.Hal ini merupakan faktor penyebab melemahnya rasa perlawanan rakyat terhadap penindasan yang terjadi pada mereka hingga akhirnya mereka menerima saja nasib mereka dengan harapan kelak semua itu akan terbalaskan di kehidupan akhirat.6

Bagi ajaran Marx,kaum proletar(rakyat miskin) harus bersatu untuk menggulingkan kekuasaan kaum borjuis sebagai penindas mereka.Karenanya dibutuhkan semangat revolusi untuk itu semua,dengan salah satu jalannya yaitu menanamkan jiwa memberontak pada kaum proletar.

Jadi Marx menggambarkan bahwa sebenarnya agama adalah perwujudan protes rakyat terhadap kondisi struktur kekuasaan yang ada dimana memposisikan mereka sebagai kaum yang tertindas dan terhina.Namun agama secara licik merupakan alat untuk menenangkan emosi masyarakat akan nasibnya tersebut,sehingga jiwa memberontak tersebut pudar. Terhadap pemikiran Feuerbach akan agama yang merupakan hasil khayalan manusia dalam mencari hakekatnya tersebut,Marx menyatakan sependapat akan pemikiran Feuerbach tersebut.Namun menurut Marx,pemikiran Feuerbach berhenti ditengah jalan karena Feuerbach tidak menjelaskan mengapa manusia lebih memilih melarikan diri ke dunia khayalan daripada mewujudkan dirinya dalam dunia nyata. Jawaban yang diberikan oleh Marx akan pertanyaan itu ialah struktur kekuasaan dalam masyarakat,tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan hakekatnya.Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya.Bagi Marx,agama adalah keluhan dari mahkluk terdesak,dia adalah roh keadaan yang tanpa roh. Hal yang perlu dirubah bagi Marx bukanlah kritik terhadap agama,melainkan mengubah keadaan masyarakat yang membuat manusia lari ke dalam agama.Agama adalah ilusi manusia belaka akan kondisi yang ada.Oleh karena itu kritik hendaknya tidak berhenti pada agama melainkan harus diarahkan pada keadaan sosial politik yang mendorong manusia ke dalam agama.Selain itu Marx pernah berpendapat,“Perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang bau harumnya adalah agama”.Agama menurut Marx akan menghilang dengan sendirinya apabila manusia dapat membangun dunia yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan hakekatnya secara nyata dan positif.

3.Friedrich NietzscheNietzsche termasyur dengan ucapannya yang cukup fenomenal yaitu,”Allah telah

mati”.Dalam ke-atheis-annya,ia sendiri tidak pernah mempercayai bahwa Allah itu pernah ada,akan tetapi ia berpendapat bahwa Allah itu sendiri tidaklah pernah ada.Namun yang dimaksud oleh Nietzsche tentang Allah yang telah mati tersebut ialah Allah yang hanyalah merupakan hasil ciptaan dari manusia yang kalah.Menurutnya Allah hanyalah sebuah tokoh khayalan ciptaan manusia yang kemudian ia menguasai manusia dan membuat manusia terasing pada dirinya sendiri hingga

6 Abad Ideologi, Henry D. Aiken7 | P a g e

Page 9: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

melahirkan moralitas-moralitas manusia kerdil.Moralitas yang dimaksud disini ialah moralitas yang menjunjung tinggi kerendahan hati,sikap rela menerima,patuh,kesediaan untuk tidak membalas.7

Dimana menurut Nietzsche moralitas ini meluhurkan mereka yang lemah,bengkok,sakit dan gagal.Moralitas ini dengan nilai-nilainya secara nyata malah akan menjunjung tinggi moralitas budak.Maka bagi Nietzche agama dan moralitasnya merupakan “sosok busuk hibrid yang membenarkan semua naluri dekaden,semua pelarian dan kecapaian jiwa” ditambahkan lagi olehnya bahwa hal itu haruslah ditolak dengan jijik bagi manusia yang masih mempunyai harga diri.

Maka agama dengan semua kebohongannya itu harus dibongkar,dengan adanya pembongkaran tersebut manusia akan menjumpai logika raksasa kekagetan.Kekagetan terhadap kebenaran nyata yang selama ini dibelenggu oleh agama,maka matinya Allah yang dimaksud Nietzsche ialah terbongkarnya nilai-nilai bohong dan palsu yang selama ini membelenggu eksistensi manusia.Kematian Allah akan melahirkan sebuah kondisi nihilisme atau penghapusan nilai(dissolution of value).Tetapi kematian Allah itu sejatinya bukanlah penyebab lahirnya nihilisme,melainkan kematian Allah adalah terbukanya tabir kebohongan yang begitu lama tersembunyi.Dalam kematian Allah itu seluruh pondasi moralitas tradisional yang ada akhirnya ambruk juga dan akhirnya membawa manusia menghadapi kekosongan terhadap segala makna dengan telanjang. Setelah berada pada kondisi nihilisme tersebut ,akan muncul “manusia” yang akan “menuliskan nilai-nilai baru diatas papan-papan baru”.Yang dimaksud dengan “menulis nilai-nilai baru diatas papan-papan baru” tersebut ialah setelah habisnya kepercayaan terhadap Allah yang menguasai nasib manusia,maka ia akan menentukan sendiri tujuan-tujuan ekumenis yang mencakup seluruh dunia.Jadi pokok pikiran dari Nietzche tersebut adalah,setelah kematian Allah akan terjadi kondisi nihilisme dimana kemudian kondisi nihilisme itu sendiri diatasi oleh manusia,dengan demikian Nietzche menghendaki adanya “sang atas manusia” atau dalam buku lain sering disebut Ubermensch.8

Atheisme Kuat dan lemahPara filsuf seperti Antony Flew, Michael Martin, dan William L. Rowe membedakan antara

ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat. Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda). Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.

Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah, kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme. Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya, dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan

7 Abad Ideologi, Henry D. Aiken

8 Encyclopedia of Science and Religion, Volume 18 | P a g e

Page 10: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan. Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal." Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkinsmemilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).

Pertanyaan Tentang Atheis

Ateisme adalah satu paham yang belum diakui di Indonesia. Paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan sebagai pencipta. kita akan membahas beberapa hal yaitu :

1. Tujuan ateisme terhadap agama2. Pandangan masyarakat terhadap ateisme3. Pandangan ateisme terhadap umat beragama

Dari tiga poin kita akan membahas lebih dalam tentang apa itu ateisme

Apa tujuan ateisme terhadap agama ?

Ateisme itu sendiri adalah paham yang tidak mempercayai Tuhan dalam sebutan apapun yang menganggap semua ini terjadi karena memang sudah jalannya. Tidak ada tujuan tujuan khusus dari ateisme. Mereka hanya sekumpulan kaum intelektual yang tidak mau mempercayai apa yang tidak dapat dibuktikan dengan sains.

Pemikir – pemikir hebat seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre, dan Immanuel Kant menggunakan logika berpikir mereka untuk mengerti siapa itu Tuhan. Dengan bermacam – macam pendapat yang dikemukakan oleh tokoh besar ini, mereka menuliskan nama mereka pada daftar pemikir hebat dunia yang tidak mempercayai Tuhan.

Mereka disini tidak bertujuan untuk mengumpulkan umat sebanyak – banyaknya seperti kebanyakan agama yang melakukan penjangkauan terhadap banyak orang agar mendapat pertambahan jumlah penganut agama tersebut. sebagian agama menganggap itu sebagai upaya penyelamatan orang – orang yang belum mengenal Tuhan. Namun kenyataan yang ada adalah pembesaran masa itu untuk pembesaran kekuatan dan dominasi dari agama tersebut. Penganut ateisme lebih terlihat pasif dalam pembesaran penganutnya sehingga tidak begitu jelas terlihat tujuan dari apa yang mereka percayai.

Ateisme memang belum tentu benar seutuhnya walaupun begitu banyak pendapat yang sangat masuk akal dan hampir tidak bisa dibantah dalam paham ateisme yang dikemukakan oleh para pemikir besar. Namun jika memang begitu, mungkin ateisme bisa digunakan sebagai alat untuk membuang keburukan dari agama – agama yang ada dan hanya meninggalkan ajaran yang benar

9 | P a g e

Page 11: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

saja tanpa harus ada kerancuan yang bisa membuat agama tersebut jatuh dan mendapat pandangan buruk dari masyarakat.

Apa pandangan masyarakat terhadap ateisme?

Ateisme di dunia ini masih merupakan suatu kepercayaan yang tidak umum. Dalam hal pengajaran pun tidak ada ajaran yang serius dibuat untuk menjadi landasan kepercayaan ateisme. Semua ini karena ateisme itu adalah suatu kepercayaan yang paling netral dan masuk akal bagi pemikiran manusia. Mereka tidak menggunakan simbol – simbol atau ajaran – ajaran yang menimbulkan kerancuan pada cara berpikir manusia.

Masyarakat beragama menganggap bahwa ateisme adalah salah satu bentuk ajaran sesat yang dibuat oleh sebagian orang. Namun sebenarnya ini adalah buah dari kemaksimalan pemikiran seorang manusia. Ateisme adalah hasil pemikiran murni otak manusia tanpa dipengaruhi dunia spiritual seperti Tuhan atau Dewa. Masyarakat biasa menganggap ini sebagai suatu ajaran sesat karena mereka telah terdoktrin oleh ajaran yang telah turun – temurun mereka percayai tanpa ada keinginan untuk mencari tahu kebenaran yang sebenarnya.

Kemurnian berpikir manusia yang ditawarkan oleh kepercayaan ateisme ini menimbulkan kontroversi juga bagi pemimpin – pemimpin agama karena dianggap melecehkan Tuhan yang adalah Maha Kuasa.

Apa pandangan ateisme terhadap umat beragama?

Umat beragama adalah sekumpulan orang – orang yang tidak percaya akan ketidakadaan Tuhan. Mereka meyakini bahwa ada sosok yang Maha Kuasa yang menciptakan bumi dan segala isinya, dan juga sosok yang Maha Pemurah yang menjanjikan umat-Nya keselamatan apabila percaya kepadanya. Bagi penganut ateisme, umat beragama adalah seorang anak kecil yang terus – menerus bergantung kepada Bapa yang adalah Tuhan.

Menurut seorang filsuf Jerman abad ke-19 bernama Ludwig Feuerbach, Tuhan adalah ciptaan manusia itu sendiri. Ia hanya angan – angan yang dibuat manusia untuk merasa aman ditengah masalah yang dihadapi. Cara berpikir seperti ini bisa disamakan dengan orang gila yang mempunyai teman khayalan yang bisa ia ajak bicara dan merasa nyaman. Karl Marx melanjutkan logika yang dikembangkan Feuerbach dengan mengatakan bahwa bukan saja agama yang demikian membuat manusia takluk pada ciptaannya sendiri, melainkan membuat ia mandul dalam membuat perubahan sosial. Ia berserah diri pada Tuhan, memohon dan berdoa, ketimbang turun tangan sendiri membenahi ketidakadilan.

Atheisme, Agama, dan Moralitas

Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal. Pada akhir-

10 | P a g e

Page 12: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan Kristen ateis.

Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.

Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik. Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.

Filsuf dan menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.

Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif. Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.

Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dandogmatisme. Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang

11 | P a g e

Page 13: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.

Atheisme di Indonesia

Indonesia sendiri, memiliki sejarah yang berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengalami abad pencerahan dan modernisme. Modernisme belum pernah menyentuh Indonesia, kecuali pada beberapa tahun menjelang kemerdekaan yang menyentuh kalangan elit terpelajar Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, gerakan modernisme malah mandek berganti dengan pertikaian politik dan diikuti oleh industrialisasi. Dengan kata lain tidak ada lahan subur untuk berkembangnya ateisme.

Gerakan komunisme di Indonesia yang mewakili garis perjuangan progresif revolusioner sempat mewakili gerakan ateisme di Indonesia. Namun mereka hanyalah sekelompok orang yang juga masih elitis yang belum merasuk ke dalam rakyat yang belum tersentuh modernisme. Apalagi setelah penghancuran gerakan komunisme setelah peristiwa G-30-S. Ateisme yang diidentikkan dengan komunisme benar-benar tidak mempunyai tempat lagi di bumi Indonesia.

Di pihak lain, golongan agama di Indonesia dari dulu memegang posisi yang kuat, lebih kuat dari para intelektual sekuler di awal kemerdekaan Indonesia. Ini tercermin dari sila pertama di Pancasila yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan hasil kompromi golongan nasionalis dengan para pengusul syariat Islam. Ini membuktikan sentimen beragama yang memang kuat di Indonesia, walaupun ia tidak menjadi sebuah negara Islam. Ini berbeda sekali dengan negara-negara di Eropa yang setelah pencerahan mengalami pemisahan antara gereja dan agama yang menjadi landasan yang kukuh untuk sebuah pemerintahan oleh akal sehat, bukan atas dasar agama apa pun.

Semua hal di atas membuat Indonesia boleh dibilang mandul dalam semangat berpikir bebas. Setelah generasi pemikir pertama yang memang sempat bersentuhan dengan gerakan modernisme Eropa, hampir tidak ada lagi pemikir yang dilahirkan di Indonesia. Ateisme bisa dibilang musnah di Indonesia. Agama tumbuh subur, dengan mesjid dan gereja bertebaran di mana-mana. Di pihak lain, penghargaan atas kemanusiaan sangat rendah. Korupsi merajalela, hak-hak sipil tidak dihargai, orang bisa dibunuh dengan sentimen agama atau ras. Kita seperti hidup di abad pertengahan Eropa sebelum modernisme. Industrialisasi yang membawa kemajuan tidak berjalan seiring dengan pola pikir masyarakat yang pra-industrialisasi. Jadilah sebuah masyarakat yang timpang, dengan alat-alat modern dan cara pandang yang terbelakang.

Di sinilah peran ateisme dapat masuk. Ia memang tidak benar dengan sendirinya. Tapi ia memaksa kaum beragama untuk berpikir keras untuk mempertanyakan seperti apa Tuhan mereka sebenarnya. Siapakah sebenarnya Tuhan yang mereka sembah, Tuhan yang sebenarnya atau Tuhan

12 | P a g e

Page 14: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

yang mereka ciptakan. Ketidakhadiran ateisme di Indonesia telah menjadi salah satu penyebab kebuntuan berpikir para agamawan yang tidak memiliki lawan. Agama pun merajalela. Ateisme memang belum tentu benar, namun ia menjadi pisau bedah yang membuang sel-sel kanker yang berkembang dari agama-agama, supaya menyisakan sel-sel sehat untuk bisa berkembang menjadi agama yang baik.

Tanggapan terhadap Atheisme

Deisme adalah kepercayaan bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang bisa menentukan bahwa Tuhan adalah nyata. Beberapa deist menanggap bahwa Tuhan tidak mencampuri urusan manusia dan mengubah hukum-hukum alam semesta. Dengan demikian, deisme menolak kepercayaan terhadap mukjizat atau segala bentuk kegaiban lainnya. Pandangan tersebut merupakan pandangan khas tentang Tuhan pada masa Pencerahan, terutama di dalam filsafat Pencerahan Inggris. Penganut deisme percaya dengan keberadaan Tuhan, tanpa bantuan Agama, Otoritas Religius, atau Kitab Suci.

Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi.

Dari kedua pengertian diatas dapat diketahui bahwa asal mula munculnya atheism adalah akibat adanya paham deisme dan agnostisisme yang mulai meragukan akan keberadaan atau eksistensi serta kehendak tuhan. Seperti yang telah dibahas diatas bahwa munculnya modernism serta berkembangnya ilmu pengetahuan membuat manusia semakin meragukan keberadaan tuhan, untuk memastikan keberadaan atau ketiadaan Tuhan, para pemikir (atheis) meyakini hanya ilmu dan pengetahuan yang akan membuktikannya. Kita mengetahui bahwa sebagian besar para ilmuwan (baik saat ini maupun dalam sejarah) dan pemikir merupakan pemeluk atheisme. Segala pembelajaran dan penelitian kaum ini dijadikan dasar bagi kaum atheis untuk membuktikan ketiadaan Tuhan. Teori paling mendukung yang digunakan kaum Atheis sebagai Teori paling kuat untuk menentang para Theis adalah Teori Evolusi yang dikenalkan oleh Darwin. Dalam bukunya yang terkenal ” The Origin Of Species”, Darwin menjelaskan secara ilmiah bagaimana suatu spesies dapat ada di bumi. Hipotesis evolusi menyarankan bahwa semua yang sedang atau telah hidup berasal organisme yang lebih rendah atau kurang sempurna melalui proses turunan disertai dengan perubahan yang disebabkan oleh faktor X.Kaum Atheis dengan teori evolusi ini mengungkapkan bahwa manusia adalah hasil karya evolusi, evolusi ber-proses dari energi yang meng-convert ke materi, alam semesta hanyalah proses evolusi energi menjadi materi. Seluruh hasil penelitian yang dilakukan kaum Atheis mulai dari dunia biologi, fisika, kosmologi dan sebagainya merupakan sebuah kajian bagi mereka untuk membuktikan Ketiadaan Tuhan. Bagi mereka, Penciptaan oleh Yang Maha Kuasa tidak pernah ada dan merupakan cerita dongeng.

13 | P a g e

Page 15: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan kaum Atheis di dunia justru sangat membantu dalam

bidang Ilmu Pengetahuan terutama dalam Ilmu Pengetahuan Alam. Keingintahuan yang besar dan

penolakan terhadap eksistensi Tuhan membuat para pemikir kaum Atheis ini membuat gebrakan

besar dalam dunia Ilmu Pengetahuan yang diyakini dapat memberikan jawaban tentang terjadinya

alam semesta dan kehidupan. Banyak hasil penelitian yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan

makhluk hidup di muka bumi. Walaupun banyak dari hasil percobaan yang gagal dan berakibat fatal

bagi spesies tertentu. Dan sampai saat ini Ilmu Pengetahuan belum dapat mengungkap sepenuhnya

berbagai hal di Bumi ini hingga pada taraf yang sangat kecil.

Pandangan dari umat beragama terhadap atheisme

Namun yang perlu diperhatikan adalah perdebatan utama dari teori evolusi tentang adanya

missing link yang melibatkan proses evolusi manusia yang belum terjawab, mengapa dari semua

makhluk hidup dan primata, hanya manusia yang yang memiliki hati nurani serta kemampuan

berpikir yang terus berkembang secara dinamis. Bahkan para atheispun dengan pola pikir yang

mengandalkan logika tidak mampu menjelaskan hal ini. Kaum Theis yang beriman kepada Tuhan

sebaiknya lebih bijak dalam menyikapi peradaban dunia. Dimana dengan mempelajari dan

menggunakan Ilmu Pengetahuan bukan sebagai bentuk arogansi dan penolakan pada Sang Pencipta,

justru sebaliknya yaitu sebagai bentuk ucapan syukur sebagai makhluk yang diberikan akal budi dan

hati nurani serta sebagai sarana perpanjangan Tangan Tuhan. Ilmu Pengetahuan harus dipelajari dan

diterapkan agar berguna demi keberlangsungan makhluk hidup tanpa menyalahi kehendak Yang

Maha Kuasa. Dan tentunya, tidak menggunakan agama sebagai alat kekuasaan dan kekerasan

semata. Tuhan manapun juga tidak pernah megajarkan anda membunuh atas nama-Nya bukan?

atau Dia memang tidak pernah berbuat apa-apa.

Bagi orang-orang yang percaya akan adanya tuhan, hal paling penting yang diberikan tuhan

kepada kita adalah adanya ‘spiritualitas’, spiritualitas inilah yang membedakan kita dengan binatang

atau makhluk hidup lainnya. Menjadi orang yang sekedar memiliki agama saja tidak membuat kita

menjadi lebih baik dengan orang athies, tetapi kita juga harus memiliki sensibilitas dan sensitivitas

terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, ‘kepekaan’ itulah yang membuat kita menjadi lebih

memaknai spiritualitas dan meyakini akan adanya tuhan. Adanya atheism yang merupakan kritik

terhadap agama haruslah kita tanggapi secara bijaksana, sehingga bukannya membuat kita

‘berpaling’ terhadap tuhan tapi justru membuat kita untuk lebih mampu memaknai secara positif

setiap ajaran-Nya serta mensyukuri setiap kehendak-Nya.

14 | P a g e

Page 16: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

15 | P a g e

Page 17: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

BAB III

Kesimpulan

Ateisme merupakan suatu bentuk dari ungkapan paradoksal kehidupan atau kritik sosial terhadap kehidupan. Banyak orang yang menyangka bahwa ateis itu berbahaya dan merupakan momok yang menakutkan, mungkin juga itu hanyalah term yang dibuat oleh oang-orang yang merasa terancam atau phobia akan kenyamanannya. Ateisme merupakan suatu kritikan moral dengan bertujuan terbangunnya otentisitas manusia dalam kehidupan agar terciptanya moral baru yang lebih humanis. Orang-orang yang merasa nyaman dengan kedudukannya diatas manusia yang tidak berdaya, kemungkinan juga akan merasa geram jika teori mengenai kebebasan benar-benar membangkitkan si tertindas yang sedang tidur panjang.

Masih banyaknya orang-orang yang memandang negative terhadap ateis, akan tetapi kita haruslah terbuka menyadarinya dan mencoba untuk belajar mengenai kepedulian serta moralitas yang seharusnya agama yang menjadi garda depan akan hal itu. Orang-orang agamawan mungkin harus sudah saatnya turun dari langit, singgah seperti terlemparnya adam kealam fana untuk memperbaiki kehidupan.

Ateisme bukan merupakan suatu bentuk ideology yang tertentu, ateisme sama halnya seperti yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama yang senantiasa mengajarkan kepedulian, cinta, dan tanggung jawab terhadap semua orang akan sebuah indakan. Sudah saatnya kaum teis untukk mencoba terbuka dan belajar terhadap orang-orang yang memiliki konotasi negaif (ateis)

Cukup disayangkan jika masih banyaknya orang-orang agamawan yang merasa kerepotan untuk menjawab argumentasi mereka, bahkan bila kita tidak memahami maksud dari orang-orang yang berfaham ateis bisa-bisa keyakinan kita pun bisa terpelintir oleh pemikiran mereka. Agama seharusnya mampu melampaui apa yang dicita-citakan orang-orang ateis.

16 | P a g e

Page 18: Fenomenologi Agama Atheis

Fenomenologi Agama Atheisme

Daftar Pustaka

Vrede, J. Wentzel.2003.Encyclopedia of Science and Religion.USA: The Gale Group.Inc

Aiken, Henry D. 2002. Abad Ideologi. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Fowler, James W.1995. Teori Perkembangan Kepercayaan.Yogyakarta: Kanisius

Adler, Mortimer J. 1980. Aristotle for Everybody.USA:Bantam Books, Inc.

Rianadhivira. (2008). Ateisme sebagai kritik agama. [online]. Tersedia: http://onisur.wordpress.com/2008/03/31/ateisme-sebagai-kritik-agama/

[31 Maret 2008]

Arip Budiman. (2012). REFLEKSI atas Argumentasi Atheisme perspektif Filsafat. [online]. Tersedia: http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/17/refleksi-atas-

argumentasi-atheisme-perspektif-filsafat/ (17 Juni 2012) http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/17/refleksi-atas-argumentasi-atheisme-perspektif-

filsafat/

http://onisur.wordpress.com/2008/03/31/ateisme-sebagai-kritik-agama/

http://dwinofi.blogspot.com/2011/05/tiga-model-atheisme.html

17 | P a g e