timbulnya atheis “karena peradaban belum menemukan peta kehidupan-agama-tuhan yang baku”

33
TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku” Surya Agung ABSTRACT As one flow of thought philosophy in European, atheism continues to spread its wings to all corners of the world. Given the extent of the influence of this flow, I limit the network pattern by simply observing the local case, more specifically in Indonesia. Although to find traces of atheism in this country is not an easy matter. But if we are to review by observing the development of modern science, what is now known as modern atheism, can be found too. Key Words: naturalisme, skeptisisme, agnostik, theisme, ritual. PENGANTAR

Upload: suryaagung

Post on 27-Jun-2015

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

TIMBULNYA ATHEIS

“Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Surya Agung

ABSTRACT

As one flow of thought philosophy in European, atheism continues to spread its wings

to all corners of the world. Given the extent of the influence of this flow, I limit the network

pattern by simply observing the local case, more specifically in Indonesia. Although to find

traces of atheism in this country is not an easy matter. But if we are to review by observing

the development of modern science, what is now known as modern atheism, can be found

too.

Key Words: naturalisme, skeptisisme, agnostik, theisme, ritual.

PENGANTAR

Istilah atheisme berasal dari bahasa Yunani, a yang berarti “tanpa”, dan theos, yang

berarti “dewa”. Saat ini, term atheisme lazim dipakai untuk menamakan suatu aliran

pemikiran yang praktis menolak adanya Tuhan dan dewa-dewi. Atheisme sendiri terbagi

dalam dua kelompok. Pertama, atheisme positif-kuat, yaitu penolakan atas keberadaan Tuhan.

Kedua, atheisme negatif-lemah yang diartikan sebagai kurangnya kepercayaan kepada Tuhan.

Tipologi yang kedua ini bertalian dengan istilah agnostisisme, yaitu terbatasnya kemampuan

untuk dapat mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak.

Page 2: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Atheisme memiliki implikasi yang luas bagi keadaan manusia. Karena

ketidakpercayaan kepada Tuhan, secara etis akan berujung pada sekulerisme (non-religious),

suatu sikap mendasar yang menyatakan bahwa manusia harus mengambil tanggungjawab

penuh atas takdirnya.

PEMBAHASAN

Ruang Lingkup Atheisme

Dari zaman dahulu, orang-orang yang menjadi

atheis sebenarnya adalah korban pelabelan atas

posisi mereka yang menentang agama. Seiring

waktu, beberapa kesalahpahaman timbul dari

atheisme, secara pengaitannya dengan moral.

Persoalan moralitas tidak dapat dibenarkan tanpa kepercayaan pada Tuhan, apalagi tidak

adanya tujuan hidup tanpa kepercayaan pada Tuhan. Namun tak ada bukti bahwa mereka

yang atheis tidak lebih bermoral dibanding mereka yang beriman.

Hingga kini, istilah atheisme di Barat telah digunakan lebih sempit untuk merujuk

kepada penolakan terhadap sistem ketuhanan, bukan lagi penolakan terhadap agama atau

dewa-dewa. Atheis positif jelas menolak sistem ketuhanan serta kepercayaan yang terkait

dengan akhirat, takdir, asal mula alam semesta, dan jiwa yang kekal, yang semuanya ini

diungkap dalam Alkitab dan juga Al-Qur’an.

Sebuah ritual merupakan kebiasaan, dan kebiasaan menjadi budaya. Agama hanyalah

jalan yang distimulasi ritual untuk menuju spiritual. Di wilayah ritual ini agama banyak

'pembelokan' sehingga ketika agama substansinya adalah cinta kasih, yang ada bisa malah

pelaksanaan kebencian, perusakan, perpecahan (padahal dilakukan dengan atribut agama).

Page 3: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Lalu karena realitas yang dilihat adalah ternyata agama menjadi sumber masalahnya

(kekejaman, perusakan, kebencian dll), maka agama yang di kambing hitamkan. 

Kontroversi, kendati ada, para penganut paham atheis di Indonesia dinilai belum

berani terang-terangan untuk mengakui dirinya adalah seorang atheis kepada khalayak umum

dan menutup dalam-dalam tentang rahasia pandangannya tersebut. Perkembangan dunia

internet yang semakin pesat ternyata membuat para penganut paham atheis di Indonesia

mencoba terbuka, dan berbagi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan. Hal

ini terwujud dalam grup jejaring sosial facebook seperti: “Indonesian Atheist Society, The

Indonesian Community for Agnostic, Atheist and Sceptic, Indonesian Freethinkers dan

Komunitas Agnostik Republik Indonesia”.

Skeptisisme - Skeptisisme Modern

Ketidakpercayaan, (Yunani) skeptesthai, “memeriksa”, dalam filsafat, adalah

sebentuk doktrin yang menyangkal kemungkinan untuk mencapai pengetahuan tentang

kenyataan yang ada dalam diri sendiri. Semua keragu-raguan filosofis, adalah berdasarkan

pandangan tentang cakupan dan validitas pengetahuan manusia. Bahasa Yunani Sophis pada

Abad ke-5 SM adalah sebuah gambaran dari skeptis yang mendasar. Pusat pandangan kaum

sofis kala itu tercermin dalam maksim “Manusia adalah ukuran segala sesuatu” dan

“Ketidakadaan itu, atau jika pun sesuatu itu ada, tetap tak dapat diketahui”.

Abad modern juga ditandai dengan munculnya skeptisisme pada pencerahan yang

terpengaruh oleh skeptisisme kuno. Di dunia intelektual barat, tidak adanya keyakinan akan

keberadaan Tuhan adalah fenomena yang luas dan dengan sejarah panjang dari filsuf-filsuf

kuno, lalu singgah di abad pertengahan dan berlanjut hingga kini, dimana terdapat arus

pemikiran bahwa pertanggung jawaban terhadap theis hanya berasumsi pada kepercayaan

yang hanya mengontrol kekuatan alam dunia belaka. Filsuf Prancis, Michel de Montaigne,

Page 4: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

tokoh dan lambang skeptisisme modern abad ke-18. Juga filsuf empiris Skotlandia David

Hume dalam “Treatise of Human Nature” (Risalah Hakikat Manusia, 1739-1740) dan “An

Enquiry Concerning Human Understanding” (1748). Pertanyaan Hume kemungkinan

mendemonstrasikan kebenaran kepercayaan tentang dunia luar, hubungan sebab-akibat,

peristiwa masa depan, atau entitas metafisik seperti jiwa dan Tuhan.

Abad ke-18, filsuf Jerman Immanuel Kant, mencoba untuk mengatasi keraguan Hume

itu, dengan menolak kemungkinan mengetahui hal-hal dalam diri sendiri untuk mencapai

pengetahuan metafisik. Ekspresi dari anti keimanan juga dapat ditemukan pada abad ke-19,

yang terartikulasikan dengan baik melalui beberapa sosok atheis dan filsuf Jerman, Ludwig

Feuerbach, Karl Marx. Seperti dalam buku Franz Magnis Suseno "Karl Marx" (1999), marx

mengemukakan: agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya.

Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang sangat mendalam.

Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri.

"Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak

mempunyai realitas yang sungguh-sungguh”. Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan,

perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh, Ia adalah

candu rakyat.

Page 5: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Naturalisme

Selain pengaruh yang didapat dari skeptisisme, atheisme juga mengadopsi gagasan

yang dikembangkan oleh filsafat Naturalisme, satu gerakan pemikiran yang menegaskan

bahwa seluruh alam adalah kenyataan dan dapat dipahami hanya melalui penyelidikan ilmiah.

Naturalisme juga menolak keberadaan metafisika, atau ilmu yang memelajari hakikat dari

satu realitas. Naturalisme meyakini bahwa sebab-akibat itu berhubungan, seperti fisika dan

kimia yang cukup untuk memerhitungkan semua fenomena. Dan dampak secara etisnya

adalah, sejak naturalis menyangkal apapun yang bersifat gaib dari akhir manusia, maka itu

adalah nilai-nilai yang harus dapat ditemukan di dalam konteks sosial.

Sebenarnya naturalisme berakar pada empirisme di Inggris, dengan doktrinnya bahwa

semua pengetahuan berasal dari pengalaman, juga dari positifisme di Eropa, yang

menyangkal segala spekulasi metafisika.

Kritik Atas Theis

Kalangan atheis terus membenarkan posisi mereka dengan berbagai cara filosofis.

Seperti atheis positif yang berusaha untuk mendirikan posisi penyangkalan atas argumen

theis atas keberadaan Tuhan. Pendapat atheis positif lainnya menegaskan bahwa pernyataan

mengenai Tuhan adalah sia-sia belaka, karena atribut untuk sosok yang mengetahui segala

sesuatu tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia.

Sedang atheis negatif di sisi lain, berupaya memertahankan posisi argumentasi

mereka bahwa konsep Tuhan itu tidak konsisten. Mereka bertanya, misalnya, apakah Tuhan

yang mengetahui semua hal juga bisa mengetahui kebaikan dan bagaimana Tuhan yang tidak

berbentuk itu dapat mengetahui secara keseluruhan keberadaan segala sesuatu.

Page 6: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Atheisme dalam Islam?

Jika dalam peradaban Barat kita dapat menemui begitu banyak pemikir handal yang

kemudian menjadi atheis dan malah menganjurkannya, maka tidak demikian halnya dengan

yang terjadi dalam dunia Islam. Agama pamungkas dari langit ini memang agak sedikit

berbeda dengan Kristen yang juga menjadi napas peradaban di Barat, ataupun Yahudi yang

sedikit banyak juga memengaruhi pola pemikiran masyarakat dunia. Kita dapat menelaah

perbedaan ini pada corak struktur yang ada dalam Islam yang tidak monolitik, kecuali di

beberapa wilayah seperti Iran dan Arab Saudi.

Kenapa perkara struktur ini menjadi penting?

Karena ini menjadi faktor penentu dari pemberontakan yang dilakukan oleh para

pemikir Barat, terutama mereka yang lahir dan besar dalam tradisi Katholik.

Dalam Katholik baik itu Barat (Roma) maupun Timur (Yunani), tak dikenal kata

perbedaan, yang ada hanya jenjang hierarkis dimana Paus (Roma) bertindak sebagai penentu

segala kebijakan keagamaan. Sejatinya Islam mengenal bentuk seperti ini seperti halnya

mujtahid atau mufti yang pendapatnya mesti dirujuk oleh kalangan Muslim yang awam.

Namun produk hukum yang mereka putuskan, tak harus diamini, karena Islam menganut

prinsip egalitarian dan kebebasan berkehendak. Sehingga, setiap Muslim bebas menentukan

apakah ia akan mengikut putusan itu atau tidak. Namun uniknya, di Iran dan Saudi sekalipun

yang monolitik, tak pernah ada satu pemikir dari dua negara ini yang mengklaim dirinya

atheis.

Kenapa bisa terjadi demikian?

Karena para cendekiawan Muslim sebelumnya mewariskan sebuah perpaduan unik

antara pengetahuan dengan agama. Seperti misalnya Ibn Sina atau Ibn Rusyd yang mumpuni

sebagai saintis-filosof, selalu mencari justifikasi pada agama atas proposisi filsafat yang

mereka pelajari dari para mpu Hellenistik semisal Socrates dan para penerusnya. Satu-

Page 7: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

satunya kontroversi hanya dilakukan oleh satu orang filosof yang hidup di zaman dinasti

Abbasiyyah, Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi (Latin: Rhazes) (854?-925?/3 H),

pemikir Muslim yang lahir di Shahr-e Rey, Iran, dekat Tehrān (Teheran sekarang) ini, punya

pengaruh penting di dunia Islam, juga Eropa Barat di Abad Pertengahan.

Ia meyakini bahwa kenabian itu samasekali tidak dibutuhkan apabila manusia bisa

mengoperasikan nalarnya dengan baik. Karena, semua orang punya potensi yang sama untuk

menjadi nabi. Tapi, ar-Razi sendiri tidak menafikan bahwa sosok Muhammad Saw pernah

lahir dan hidup di Makkah. Ar-Razi tetap mengamini bahwa beliau adalah tokoh historis yang

nama dan keagungannya tak bisa tertandingi. Jika dilacak lebih teliti pada masa kini, maka

tak satu pun oknum filosof Muslim yang berdiri tegak memegang tiang pancang atheisme.

Inilah aliran baru dalam Islam. Aliran yang benar-benar aneh. Melebihi anehnya aliran

sungai.

Pengakuan ini dinyatakan oleh seorang Profesor sesat. Kebetulan saya sempat

mewawancarainya secara terbuka. Berikut petikannya.

Saya:

Salam sesat Prof! Kita langsung saja ya. Kenapa anda mengaku sebagai Islam Atheis?

Padahal anda tahu bahwa Islam jelas-jelas agama yang mengajarkan bahwa ada Tuhan yang

Satu. Monotheisme. Sedangkan Atheisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan.

Itu kenapa Prof?

Prof Sesat:

Saya tidak punya istilah lain yang lebih pas.

Saya:

Memangnya apa yang terjadi dengan keyakinan anda?

Prof Sesat:

Okey saya akan cerita. Tapi pastikan tidak ada wartawan di sini ya.

Page 8: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Secara kasar ada 2 alat kita dalam bersentuhan dengan realitas. Pertama akal dan kedua hati.

Nah, cara kerja kedua alat ini berbeda sekali. Yang satu dengan berpikir dan yang satu

dengan merasa.

Jadi sejauh yang petualangan pemikiran saya, hingga saat ini saya tidak "menemukan"

penalaran yang meyakinkan akan adanya Tuhan.

Saya:

Tapi bagaimana dengan banyak ilmuwan dan pemkikir yang dalam perjalanan pemikirannya

justru mereka malah menemukan Tuhan. Apa anda tidak terinspirasi oleh mereka?

Prof Sesat:

Saya paham maksud anda. Memang banyak ilmuwan dan pemikir yang akhirnya mengakui

adanya Tuhan. Tapi bagi saya itu bukan berarti mereka menemukan Tuhan, tapi hanya

“meyakini” Tuhan.

Saya:

Lho apa bedanya Prof?

Prof Sesat:

Menemukan, secara harfiah berarti benar-benar menemukan Tuhan secara empiris. Dan ini

belum pernah terdengar sepanjang sejarah. Kalau pun ada, patut dipertanyakan. Jangan-

jangan yang mereka temukan itu adalah tuyul.

Kemudian menemukan secara penalaran yang meyakinkan. Nah, saya belum melihat dari

disiplin ilmu apapun, ada penalaran yang meyakinkan bahwa Tuhan itu ada. Tetap ada celah

untuk membantahnya.

Saya:

Dalam ilmu agama kan ada Prof?

Prof Sesat:

Agama bukan ilmu. Agama keyakinan.

Page 9: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Tapi kok sering disebut ilmu agama Prof?

Prof:

Itu penyimpangan bahasa pada masyarakat umum. Terutama di Toko buku dan perpustkaan

biasa. Yang namanya ilmu berdasarkan metode keilmuan. Baik teroritis maupun praktis. Atau

yang disebut dengan metode ilmiah. Nah, agama bukan disusun dari hasil penelitian yang

menggunakan meotde ilmiah. Tapi "hanya diyakini" bersumber dari wahyu Tuhan.

Tapi benarkah kitab suci itu wahyu dari Tuhan? Tidak ada yang bisa membuktikannya.

Bahkan benarkah ada yang namanya Tuhan itu? Tidak ada yang bisa membuktikan. Tapi

umat beragama meyakininya.

Saya:

Bagaimana menurut anda seperti pengalaman Einstein yang meyakini ada suatu Kekuatan

Tertinggi dibalik semua yang ada ini? Padahal dia seorang fisikawan, yang jelas-jelas banyak

bergulat dengan materi dan hukum fisika. Apakah pengalaman dia itu tidak bisa anda jadikan

rujukan?

Prof Sesat:

Tidak hanya Einstein, banyak kok ilmuwan lain mengalami hal yang sama. Pascal pun sekian

abad silam juga sudah menyatakan hal yang sama. Tapi harap anda catat, mereka “mengakui”

Tuhan. Bukan “menemukan” Tuhan.

Saya:

Sepertinya saya jadi penasaran dengan pernyataan anda. Mungkin kita harus spesifik ya.

Misalnya begini. Dulu kan ada teori hukum alam versi Newton. Bahwa intinya segala sesautu

di dunia fisika ada hukum tetap yang mengaturnya. Ada pergerakan atom-atom yang teratur

dan mekanis dalam setiap materi. Konstan dan bisa diprediksi. Nah jika semua perjalanan itu

teratur, berarti dia sudah solid, sudah tertutup. Dan itu artinya tidak ada campur tangan

kekuatan misterius dalam hukum alam. Yang artinya sama dengan tidak ada teori penciptaan.

Dan lebih jauh itu artinya tidak ada Pencipta atau Tuhan.

Page 10: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Tapi kemudian lahir penemuan Teori Mekanika Kuantum. Yang intinya bahwa pergerakan

molekul dalam atom ternyata tidak beraturan. Berloncatan seenaknya tanpa bisa diprediksi.

Tidak konstan. Tiba-tiba. Nah, kenapa tiba-tiba? Itu artinya ada kekuatan lain yang

mencampurinya. Maka kekuatan lain itulah yang disebut dengan X. Atau disebut dengan

Sang Kreator. Pencipta atau Tuhan. Apa anda tidak melihat hal seperti itu?

Prof Sesat:

Saya paham maksud anda. Tapi seperti yang saya tegaskan tadi. Tetap saja itu hanya sebuah

“pengakuan”. Bukan penemuan. Pengakuan itu muncul karena rasa takjub karena ternyata

apa yang dilihat dan dialami itu diluar perkiraan. Di luar jangkauan. Tidak bisa dinalar lagi.

Lalu secara psikologis muncul rasa takjub.” Wah …. Pasti ada Tuhan nih.” Nah, itu sama

juga statusnya dengan keyakinan. Bukan penemuan ilmiah. Karena tidak ada jalur empiris

dan penalaran antara tidak dimengertinya suatu gejala alam dengan pengakuan adanya Tuhan.

Artinya itu bukan bukti. Tapi hanya stimulus. Pemicu munculnya rasa kagum dan pasrah

secara eksistensial. Suatu misteri yang meliputi segala batas kemampuan kita. Dan secara

ilmu? Itu suatu loncatan yang tidak logis. Apalagi empiris.

Saya:

Hmm …. Begitu ya. Okey saya jadi paham. Tapi itu baru dari segi ilmu pasti ya. Sekarang

bagaimana dari sisi Filsafat?

Prof Sesat:

Okey silahkan anda mulai.

Saya:

Tuhan itu kan Pencita. Dan kita ciptaanNya. Berarti tidak mungkin ada ciptaan tanpa adanya

Pencipta.

Prof Sesat:

Itu hanya permainan bahasa. Dalam filsafat bahasa hal-hal seperti itu sudah tamat. Karena

apa? Karena komposisi, argumentasi dan proposisi bahasa tidak selalu ada hubungannya

dengan kenyataan. Bahasa itu benar hanya pada dirinya sendiri. Bukan benar pada kenyataan

yang kita alami.

Page 11: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Wah … bingung Prof. Maksudnya gimana sih?

Prof Sesat:

Contoh ya. Misalnya anda jago menulis. Dari tulisan itu anda bisa menampilkan sosok

penulis yang sangat beriman. Dan setiap ada pertanyaan dan kritik bisa anda jawab dengan

cantik dan menganggumkan. Tapi benarkah itu sekaligus bisa dijadikan sebagai bukti bahwa

anda beriman?

Saya:

Hmm…..

Prof Sesat:

Tidak kan. Menulis satu hal. Logika dalam penulisan satu hal. Dan kebenaran iman anda

dalam kenyataan satu hal. Nah begitu juga dengan permaianan kata-kata tadi. Istilahnya itu

"oposisi binner". Dalam konteks ini selalu saya ada 2 kata yang dilawankan atau

berpasangan. Dan itu logis secara bahasa. Pencipta-Ciptaan, Barat-Timur. Tinggi-rendah.

Baik-buruk. Dan seterusnya.

Tapi dalam kenyataan pernyataan itu tidak ketemu. Sekarang ambil saja contoh baik dan

buruk. Bisakah anda nilai saya ini baik atau buruk?

Saya:

Kan ada alat ukurnya Prof.

Prof Sesat:

Terserah apa ukurannya. Tai yang jelas bisa tidak anda nyatakan dengan tegas apakah saya

ini tergolong orang baik atau buruk?

Saya:

Ya … susah juga Prof. Soalnya manusia kan tidak ada yang sempurna. Tetap saja ada

kelebihan dan kekurangannya.

Page 12: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Prof Sesat:

Nah, itu! Ada gradasi kan. Ada bentangan tidak terhingga dari kutub baik menuju kutub

buruk kan. Apakah baik sedikit, baik menengah dan seterusnya. Nah, itulah problem bahasa.

Logika kata-kata tidak selau merujuk pada kenyataan. Apalagi bahasa itu produk

kebudayaan. Bukan turun dari langit. Karena bahasa hasil budaya manusia, maka apa yang

dipahaminya dengan bahasa, menjadi relatif. Sementara yang ingin kita pahami dengan

bahasa itu adalah sesuatu yang Absolut. Tuhan. Apakah mungkin?

Sengaja saya jelaskan soal ini dulu karena ini kunci. Apapun jenis filsafat sekarang, secara

metodologis atau epistemologis sudah dibunuh oleh filsafat bahasa. Sehingga seorang

Wittgenstein mengatakan: “katakanlah hanya apa yang dapat dikatakan!” Dan saya ingin

menambahkan: “Diamlah jika sesuatu itu sudah percuma untuk dikatakan”

Saya:

Hmm … masih rada-rada bingung nih Prof. Tapi menarik ya. Lanjut Prof saya dengar saja

dulu.

Prof Sesat:

Okey. Nah, karena Tuhan adalah objek pembicaraan yang tidak kongret, tidak empiris, maka

dalam konsep ini, sudah percuma dibahas. Karena tidak ada yang bisa membuktikannya.

Secara saintifik tadi anda sudah paham kan. Tidak ada yang bisa menemukan Tuhan. Apalagi

secara filsafat. Berjuta buku sepanjang sejarah membahas soal Tuhan. Itu bagi saya semua

tidak lebih dari olah raga otak. Hanya spekulasi metafisik. Artinya kita hanya berandai-andai.

Hanya saja ada andai-andainya yang lugu dan ada yang cerdas. Tapi secanggih apa pun

semua itu tetap saja hanya andai-andai. Yang Tuhannya sendiri tetap tidak ditemukan. Kalau

ada yang meyakini Tuhan karena hasil penalarannya, itu bukan karena mereka menemukan

penalaran yang meyakinkan tentang Tuhan, tapi hanya karena sistem berpikirnya yang

membatasi. Nanti kalau di sorot dengan cara berpikir lain, maka konsep Ketuhannya itu bisa

gugur. Dan itu sudah terbukti sepanjang sejarah Filsafat.

Saya:

Oke kalau begitu Prof. Saya sudah paham. Lantas masih ada tidak sisi lain yang bisa

dilakukan untuk mengetahui Tuhan secara keilmuan?

Page 13: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Prof Sesat:

Setahu saya tidak ada lagi. Secara kasar hanya 2 itu puncaknya. Sains dan Filsafat.

Saya:

Psikologi Prof?

Prof Sesat:

Wah itu sama sekali tidak bisa. Itu kuncinya kan pada perasaan dan pikiran. Pikiran atas

sadar dan alam bawah sadar. Jika anda merasa sedih luar biasa, lalu anda menangis dan

berdoa. Setelah itu hati anda langsung jadi tenang. Apa itu bisa dijadikan bukti bahwa Tuhan

itu ada? Dalam konsep Ilmu dan Filsafat itu pernyataan yang paling ngaur. Karena Psikologi

bisa menjelaskannya. Bahwa anda bisa tenang setelah berdoa, itu karena ada sugesti

psikologis. Tidak bisa anda tarik seenaknya, ” wah …. Berarti ada Tuhan nih. Buktinya saya

ditolong kok menenangkan perasaan”. Justru anda terjebak dengan yang disebut

Psikologisme. Memandang segala hakikat kenyataan hanya dari sudut psikologi.

Apalagi?

Saya:

Oya ini Prof. Misalnya ada kejadian yang tidak masuk akal. Ada peristiwa kecelakaan mobil

masuk jurang. Tiba-tiba semua penumpangnya mati. Terus ada seorang bayi yang selamat

ditemukan dibawah reruntuhan mobil itu tanpa cacat sedikit pun. Gimana itu Prof?

Prof Sesat:

Tetap saja itu tidak bisa ditarik-tarik sebagai bukti adanya Tuhan. Dan secara hukum alamiah,

bisa saja tidak ada benturan yang membuatnya cedera. Kebetulan saja posisinya selalu

menguntungkan. Tapi karena peristiwa itu terasa luar biasa, maka secara psikologis perasaan

kita jadi heran penuh takjub, lalu meloncat lagi secara vertikal: “Pasti ada Tuhan nih.

Buktinya bayi ini ditolongNya”. Padahal itu hanya respon psikologis anda. Loncatan berpikir

atau imajinasi anda. Secara Sains dan Filsafat, pernyataan ini tetap dinilai ngaur.

Page 14: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Kalau ada yang bisa kebal dan santet itu gimana Prof? Yakin gak?

Prof Sesat:

Bukan hanya yakin. Memang terbukti kok ilmu kebal dan santet itu ada. Tapi itu Psikologi

bisa menjawab. Bahwa itu permainan telepati dan kebathinan. Dan secara ilmu alam itu juga

bisa dijelaskan, bahwa ada daya, aura, atau energi bathin yang di gunakannya. Dan energi itu

bertebaran di alam semesta. Hanya saja mata kita tidak bisa melihatnya, tapi gejalanya terasa.

Sama saja ketika anda sama-sama rindu dengan selingkuhan anda. Kontaknya terasa kan.

Tapi tidak bisa dilihat. Atau seperti arus listrik. Nah semua itu kan energi alam semesta. Yang

siapa saja yang mau mengolahnya akan bisa mendapatkan hasilnya. Tapi itu tidak bisa ditarik

begitu saja: “O pasti ada Tuhan nih. Buktinya dukun anu bisa anu-anu.” Lagi-lagi itu hanya

rasa takjub yang luar biasa. Bukan bukti adanya Tuhan.

Saya:

Okey, kalau mukjizat para Nabi bagaimana Prof?

Prof Sesat:

Wah …. Kalau ini bukan sains dan filsafat lagi. Ini sudah pertanyaan agama. Sudah bersifat

keyakinan.

Saya:

Maksudnya Prof?

Prof Sesat:

Tapi dari awal kan sudah kita bicarakan. Persoalan mendasar kita saja tidak terjawab. Apalagi

masalah turunan seperti mukjizat. Itu sudah turunan sekali.

Saya:

Maaf saya tidak mengerti Prof?

Page 15: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Prof Sesat:

Mukjizat itu diceritakan dalam Kitab Suci kan. Nah kitab suci itu bersumber dari wahyu yang

dibisikan oleh Tuhan melalui malaikat. Nah Tuhan nya sendiri tapi belum terjawab. Ada atau

tidak? Dari sisi ini, selagi pertanyaan dasar ini belum terjawab, maka dalam konteks ini

segala apa saja yang dibicarakan seputar agama menjadi sia-sia. Itu sebabnya tadi saya

tegaskan agama itu keyakinan. Sesuatu yang kita terima tanpa bukti.

Saya:

Tapi Nabi Muhammad itu kan benar-benar ada Prof? Dan Alquran pun juga terbukti dari

Nabi Muhammad?

Prof Sesat:

Oke saya paham. Muhammad benar ada. Dan Alquran benar juga ada dan dibawa oleh Nabi

Muhammad. Tapi bahwa dia benar-benar seorang Nabi yang merupakan utusan Tuhan, bisa

anda buktikan kebenarannya?

Saya:

Buktinya ada dalam Alquran itu sendiri? Yang isinya wahyu dari Tuhan?

Prof Sesat:

Hahaha..! Apa buktinya bahwa Alquran itu wahyu dari Tuhan?

Saya:

Karena isinya diakui kebenarannya. Dan banyak kebenaran dari ajarannya. Dan juga

diceritakan sejarah Nabi-nabi di dalamnya. Dari mana Nabi tahu kalau itu bukan dari Tuhan?

Terus juga soal hari akhir dan alam ghaib. Mana mungkin Nabi tahu kalau bukan dari Tuhan?

Prof Sesat:

Itulah yang saya sebut sebagai pengakuan tadi. Meyakini isinya tanpa minta bukti dari luar.

Page 16: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Buktinya banyak kok Prof, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Alquran itu Tuhan yang

menurunkan. Dan itu artinya Tuhan ada kan?

Prof Sesat:

Nah disinilah problem dalam diskusi agama. Alasan yang digunakan melulu keyakinan.

Bukan nalar. Bukan argumentasi. Apalagi bukti.

Sekarang coba anda jawab pertanyaan saya dengan jujur. Ada teman anda yang mengaku

bahwa mobil yang dipakainya adalah hadiah dari lomba blogger terbaik. Lalu dapat hadiah

dari Google. Nah bagaimana anda bisa membuktikan kalau pengakuannya itu benar?

Percayakah anda hanya dengan keterangan yang dia sendiri yang menceritakannya panjang

lebar walaupun sampai 2 hari dua malam?

Saya:

Ya tidaklah Prof. Saya harus tanya dulu ke Google. Kalau google katakan iya baru saya

percaya. Kalau tidak kan bisa saja teman saya itu ngarang….

Prof Sesat:

Nah… itu dia! Berarti anda perlu bukti dari luar dirinya sendiri kan?

Saya:

Lha jelas dong Prof!

Prof Sesat:

Nah, sperti itulah pertanyaan terhadap Alquran tadi. Benarkah Akquran itu wahyu dari

Tuhan? Seterusnya benarkah ada Tuhan?

Page 17: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Hmm …. Kalau begitu bisa batal dong Prof semua apa yang dijelaskan dalam Alquran?

Solanya harus dibuktikan dari luar Alquran. Dan Tuhannya sendiri juga harus dibuktikan dari

luar. Bukan dari ayat-ayat itu sendiri. Lho gimana cara membuktikannya Prof? Tuhan ini

kepada siapa mau ditanyakan… wah …! Bahaya juga nih cara berpikirnya Prof. Berarti

semua agama di dunia bisa gugur nih. Wong Tuhan saja belum terjawab. Bagaimana bisa

mengakui kebenaran wahyu dan Kenabiannya?

Oh ada Prof. Ada! Lihat hasil ciptaan Tuhan. Lihat tanda-tandaNya di alam.

Prof Sesat:

Hahaha…! Tapi tadi sudah kita bahas. Apapun yang menakjubkan kita lilhat di alam ini,

secara sains dan filsafat tidak bisa dijadikan sebagai bukti adanya Tuhan. Misalnya anda

melihat gugusan bintang di langit. Begitu indah dan mengagumkan. Lalu anda berucap.

“Pasti ada Tuhan nih”. Ucapan anda itu hanyalah ungkapan kekaguman. Lompatan imajinasi

anda. Dan lompatan itu tidak ada benang merahnya secara penalaran. Apalagi secara empiris.

Kata kuncinya adalah kata “berarti”. Apapun jenis ketakjuban yang anda alami dan saksikan

biasnya akan diawali dengan kata “berarti”. Contoh.

“Wah betapa luasnya jagat raya tidak terhingga ini. Sampai sekarang manusia baru sampai ke

planet Mars. Hmm …. Ini berarti …..”

“Sorang bayi selamat dalam kecelakan mobil masuk jurang? Wah wah…. Berarti….”

“Hanya dari pertemuan sel sperma dengan ovum akhirnya bisa menjadi manusia yang sangat

kompleks seperti manusia. Benar-benar luar biasa. Hmm … ini berarti ……”

Anda sudah tahu sambungan dari kata berarti itu kan. “berarti ada Tuhan nih”

Secara filsafat tahu anda status kata “berarti” itu? Itu bukanlah bukti. Tapi penafsiran. Dan

penafsiran itu bisa berbeda-beda tergantung orangnya. Tergantung juga latar belakang yang

sangat beragam dari masing-masing orang tersebut. Jangan-jangan , kalau anda tiba-tiba

Page 18: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

dijemput oleh selingkuhan anda karena anda sebelumnya kangen, mungkin anda akan

tafsirkan juga sebagai bukti adanya Tuhan ..

Saya:

Hahaha…! Prof ini bisa bisa saja…

Hmm .. menarik sekali Prof. Kalau begitu Tuhan tidak bisa dibuktikan sama sekali Prof. Dan

agama hanya murni keyakinan berarti ya. Waduh …saya jadi ngeri Prof. Berarti pemahaman

seperti ini Atheis dong Prof?

Prof Sesat:

Hmmm..?

Saya:

Ya iya berarti Prof. Jelas jelas Atheis namanya. Kan tidak yakin lagi adanya Tuhan. Karena

tidak menemukan buktinya sama sekali. Lha kalau tidak ada bukti kan sama juga dengan

tidak mempercayainya.

Terus boleh saya tanya ya. Prof sendiri kan beragama Islam. Menjalankan ibadah Islam.

Bagaimana tuh Prof?

Prof Sesat:

Apanya yang bagaimana?

Saya:

Kalau Islam Prof kan harus percaya bahwa Tuhan itu ada. Bahwa wahyu itu dari Tuhan dan

Nabi Muhammad itu utusan Tuhan?

Prof Sesat:

Ya itu yang saya katakan di awal tadi. Saya harus memakai hati untuk beragama dan akal

untuk sains dan filsafat. Agama saya yakini dan sains saya buktikan. Filsafat saya pikirkan.

Page 19: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Berarti ada dualisme berarti Prof. Sikap Prof tidak kaffah atau meyeluruh berarti?

Prof Sesat:

Kalau mau jujur, sebenarnya umat beragama, nyaris ada dualisme dalam dirinya. Walaupun

tanpa disadarinya. Misalnya anda kan seorang blogger. Apakah agar blog anda bisa terindeks

di google bisa anda dapatkan dengan berdoa tiga hari tiga malam?

Saya:

Ya harus diiringi dengan usaha dong Prof….

Prof Sesat:

Kalau anda usahakan saja tanpa do’a bisa tidak?

Saya:

Hmm …. Ya bisa ya. Haha..! Berarti …

Prof Sesat:

Nah, itu buktinya alam ini hanya patuh mengkuti hukum-hukumnya sendiri. Ada mekanisme

hukum alam yang tidak terbantah. Jadi jika berurusan dengan alam anda harus menjadi

seorang yang bersikap saintifik. Anda tidak akan bisa membangun rumah, pergi ke kantor,

belanja ke pasar hanya dengan iman. Anda harus mengikuti mekanismenya. Tanpa anda

bawa-bawa nama Tuhan pun hal itu akan tetap terjadi. Jadi semua tindakan anda dalam

kegiatan sehari-hari itu tidak ada hubungannya secara ontologis dengan agama.

Saya:

Lho? Jadi fungsi agama jadinya dimana Prof?

Prof Sesat:

Ya untuk menenangkan hati. Tapi sudah saya katakan tadi bahwa agama didekati dengan

hati. Maka yang diisinya juga hati. Juga jiwa atau bathin.

Page 20: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Saya:

Hmm … begitu toh. Jadi ini yang Prof sebut dengan Islam Atheis? Islam dipakai sebagai

keyakinan dan sikap Atheis dipakai untuk memahami alam dengan berbagai gejalanya?

Prof Sesat:

(tersenyum …..)

Page 21: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

Kritik Terhadap Atheis

Pada bagian ini saya, akan mencoba memaparkan beberapa kritik yang bisa

dialamatkan kepada kalangan atheis (baik yang positif maupun negatif). Sejatinya, atheisme

merupakan sebentuk kegelisahan berpikir yang sayangnya tidak dilanjutkan hingga selesai.

Dan keburu tercampur dengan begitu banyak epistemologi, khususnya filsafat Barat. Apabila

sedikt lebih jeli mengamati pola berpikir mereka yang akhirnya atheis, masih terbuka

kemungkinan bagi kita untuk melabeli mereka dengan kata skeptisisme buta. Dengan kata

lain, ketidakbertuhanan mereka lebih didasari oleh keragu-raguan yang mendalam tentang

Zat Yang Kekal Abadi. Sehingga banyak dari mereka yang terkadang tidak tahu apa dasar

terkuat bagi mereka untuk kemudian menjadi atheis.

Jika mereka memang termasuk kelompok orang yang rasionalis, kenapa mereka tidak

pernah sedikit keras berpikir untuk mengamati, contohnya seperti: jam yang dengan

kerumitan dan elegansinya, juga membutuhkan sosok pencipta, yaitu pembuat jam dan bukan

muncul begitu saja. Apalagi dengan semesta raya yang membentang luas ini. Itu belum lagi

mengikutsertakan kita (manusia) di dalamnya. Ini hanya satu contoh kecil saja, dan tidak

perlu menyertakan sekian banyak contoh yang tetap takkan mendapat jawaban yang

memuaskan dari mereka. Figur sekelas Einstein saja tetap memberi tempat yang terhormat

kepada sosok yang tak terpahami (Tuhan) dengan ujaran ilmiahnya berikut ini: meskipun

Tuhan yang dimaksudkannya adalah Super Monad-nya Spinoza; Satu-satunya hal yang tidak

dapat dipahami dari semesta raya ini adalah, kenapa ia (semesta) dapat dipahami.

Page 22: TIMBULNYA ATHEIS “Karena Peradaban Belum Menemukan Peta Kehidupan-Agama-Tuhan yang Baku”

KESIMPULAN

Perdebatan intelektual atas keberadaan Tuhan tetap aktif hingga kini, terutama di

kampus-kampus, dalam diskusi kelompok-kelompok keagamaan, dan forum elektronik

melalui internet.

Dalam hal ini seringkali manusia memahami bahwa wilayah kekuasaan Tuhan

hanyalah pada persoalan-persoalan sakral atau tempat-tempat suci. Di luar semua itu,

kekuasaan bukan lagi wilayah Tuhan, melainkan jadi wewenang manusia. Maka, manusia

sangat bebas dan independen dalam bersikap, termasuk melakukan tindakan negatif.

Saya mengutip apa yang dikatakan pemikir Islam, Komaruddin Hidayat, selama ini

kita memperoleh doktrin bahwa Tuhan itu Maha Baik, Maha Mendengar dan Maha

Menolong, namun pada kenyataannya ketika kenyataan pahit menghadang, kita tidak mudah

menemui Tuhan untuk menuntut janji-janji kebaikkannya. Hal itulah yang terkadang

membuat kita mempertanyakan kesungguhan Tuhan dan sering tergoda untuk

meninggalkannya.

Fenomena sosial terhadap pertanyaan serta keraguan mengenai ”keyakinan” untuk

kembali mempelajari masa lalu dan mengambil hikmahnya atas sejarah Tuhan ini, agar kita

mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana kita harus memandang dan

mendefinisikan Tuhan dan firmannya serta bagaimana kita mendefinisikan hubungan antar

agama.

Sang Ilahi itu mahakuasa, tetapi mainstreamnya merupakan perpaduan kebaikan dan

kejahatan. Pilihan ini berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan tidak seorang pun dapat

menyebut-Nya baik atau jahat, tetapi Dia adalah Tuhan yang jauh dan bahkan, mungkin, pada

dasarnya bukan suatu pribadi “impersonal”.