teori fenomenologi dan interaksi peran a
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
A. Pendahuluan
Profesi dilakukan sebagai pekerjaan untuk nafkah hidup dengan
menggunakan keahlian dan keterampilan dan dengan melibatkan
komitmen pribadi untuk melakukan pekerjaan tersebut (Reni, 2006).
Dalam sudut pandang masyarakat, profesi diekspektasikan dalam dua
bagian yaitu kelompok profesi seperti dokter atau pengacara dan
kelompok non profesional seperti sales dan manajer keuangan. Profesi
sering bekerja dengan suatu nilai kepercayaan yang sangat penting
bagaimana mereka berkompeten dan bertanggungjawab (Brooks &
Dunn, 2009).
Hardibroto (1982, dalam Kasidi, 2007) dalam disertasinya
menjelaskan pengertian profesi sebagai kumpulan orang-orang yang
terlibat dalam aktivitas serupa yang memenuhi syarat ; a) harus
berdsarkan suatu disiplin pengetahuan khusus; b) diperlukan suatu
proses pendidikan tertentu untuk dan atas pengetahuan tersebut; c)
mempunyai standar kualifikasi yang mengatur dan harus ada
pengakuan formal berkaitan dengan statusnya; d) harus mempunyai
norma perilaku yang mengatur hubungan antara profesi dengan
langganan, teman sejawat, dan publik, maupun penerimaan
tanggungjawab yang tercakup dalam suatu pekerjaan dalam melayani
kepentingan umum; e) harus mempunyai organisasi yang mengabdikan
diri untuk memajukan kewajiban-kewajibannya terhadap masyarakat,
disamping untuk kepentingan kelomok itu sendiri.
Profesi adalah sebuah kombinasi dari masa depan,
tanggungjawab dan hak yang dibingkai dalam suatu nilai profesional
dimana nilai tersebut menentukan bagaimana keputusan dibuat dan
tindakan diambil.
1
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Profesi dan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) pada pasal 1
angka 3 bahwa “Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan
audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain
terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah
dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik”.
Untuk mendukung seluruh proses dari peran APIP diharapkan
dapat memberikan penilaian yang obyektif dan independen atas
kelayakan struktur tatakelola dan keefektifan kinerja dari aktivitas
tertentu dari organisasi/instansi pemerintah (watchdog, consultant,
quality assurance) serta bertindak sebagai katalisator perubahan,
memberikan saran atau mendorong perbaikan-perbaikan untuk
meningkatkan struktur dan praktek tatakelola (catalysts for change).
B. Teori Fenomenologis
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa
Yunani “phainomenon” dan “logos”. Phainomenon berarti tampak dan
phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan,
rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum
dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang
nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap
fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang
gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Istilah “fenomenologi” sering digunakan sebagai anggapan umum
untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe
subjek yang ditemui (Lexy J Moleong, 2007). Fenomenologi diartikan
2
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenological; 2)
suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang
(Husserl dalam Moleong, 2007). Menurut Moleong, peneliti dalam
pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-
situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti
mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh
mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan
tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti.
Jadi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah pemahaman
terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitan-kaitannya
yang melingkupi subyek. Contoh: penelitian mengenai fenomena
komunikasi yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan penerima
pesan terhadap pesan yang disampaikan. Peneliti berusaha memahami
bagaimana penerima pesan merespon setiap pesan yang disampaikan.
Dari hasil pengamatan, peneliti menemukan fakta bahwa penerima
pesan memiliki pengalaman negatif (buruk) terhadap pesan-pesan yang
(ternyata) tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga hal tersebut
mempengaruhi pula pandangan mereka terhadap kredibilitas pemberi
pesan (komunikator). Terhadap pemberi pesan yang memiliki
kredibilitas rendah tersebut, setiap pesan yang disampaikan selalu
direspon secara negatif (tak dipercaya). Sebaliknya, pesan-pesan yang
menyertakan pembuktian langsung dan nyata, membuat penerima
pesan segera merasakan kebenaran pesan tersebut sehingga
kepercayaan pun dapat muncul seketika. Dari fenomena tersebut,
peneliti memunculkan teori atau model Komunikasi Berasa, yakni
model komunikasi dengan pembuktian langsung dan nyata sehingga
setiap pesan yang disampaikan langsung dirasakan kebenarannya oleh
penerima pesan.
Contoh lain penelitian fenomenologi adalah penelitian biografis
tentang grup musik Slank, untuk memahami pengalaman kreatif
3
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
kesenimanan mereka dan bagaimana mereka memandang peristiwa-
peristiwa negatif (terlibat narkoba, seks bebas, dan lain-lain) yang
menimpa mereka maupun seniman-seniman lain, serta bagaimana
mereka mengatasinya.
Fenomenologi memandang realitas yang tampak sebagai refleksi
dari realitas-realitas lain yang tidak berdiri sendiri. Husserl damal
Campbell (1994) mengatakan, realitas yang ditampakkan individu
adalah refleksi dari pengalaman sosialnya, kesadaran akan dirinya
sendiri dan kesadaran akibat berinteraksi dengan individu lain. Jadi,
untuk memperoleh makna realitas yang ditampakkan oleh individu,
fenomenologi melakukannya dengan cara memahami pengalaman
sosial, interaksi, dan kesadaran dari individu tersebut.
Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi
merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan
ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna
subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Kesadaran adalah bagian dari jiwa manusia yang diinsyafi olehnya
(dalam Ensiklopedia Umum 1977). Kesadaran individu adalah proses
bagaimana individu menyadari (memahami atau mengisyafi) dengan
jiwanya (pikiran dan hatinya) terhadap suatu obyek. Kesadaran individu
akan suatu obyek, sebagian merupakan konstruksi dari individu itu
sendiri yang mengarahkan perhatiannya kepada obyek, dan sebagian
lain merupakan hasil konstitusi dunia (Husserl dalam Campbell 1994).
Sebaliknya, kesadaran juga mengkonstitusi dunia. Artinya, kesadaran
individu dapat memproduksi masyarakat, situasi sosial, dan aksi atau
tindakan sosial. Tindakan individu tidak hanya berasal dari pengaruh
dalam dirinya sendiri, tetapi juga merupakan produk dari kesadarannya
terhadap orang lain (Weber dalam Berger 1994). Berger melihat
tindakan manusia sebagai produk proses internalisasi dan
eksternalisasi serta cendrung konstruksionistik. Artinya, masyarakat
4
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
adalah produk dari individu (eksternalisasi) dan sebaliknya, masyarakat
mempengaruhi kembali individu tersebut (internalisasi).
Fenomenologi juga berusaha memahami budaya lewat
pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham
fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun,
melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma
dasar fenomenologi adalah; (a) kenyataan ada dalam diri manusia baik
sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau
ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa
diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara
peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit
dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk
menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan
akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat
nilai, bukan values free.
Teori fenomenologis berusaha memahami makna peristiwa serta
interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu, fenomenologi
berusaha masuk kedalam dunia konseptual subyek agar dapat
memahami bagaimana dan apa makna yang disusun oleh subyek
tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Singkatnya, teori
fenomenologi berusaha memahami subyek dari sudut pandang subyek
itu sendiri. Penekanan pada pemikiran subjektif karena pandangan
dunia dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang
bersifat simbolik dari konkrit. Apabila masalah ini dijadikan obyek
penelitian maka teori fenomenologis dapat dikaitkan dengan desain
penelitian kualitatif yang bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh
data bukan “sebagaimana mestinya”, bukan berdasarkan apa yang
dipikirkan oleh peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang
terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh
partisipan atau sember data (Sugiyono, 2009).
5
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenome-
nologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori.
Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya
yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang
menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih
penting dan dominan dibanding teori-teori yang ada.
Para Tokoh Penganut Fenomenologi
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai
oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar
yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri
sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis
pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam
kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).
Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-
ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya,
hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia
kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah).
Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu
empiris. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang
mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi
menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
6
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu
sendiri.
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya
Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk
menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas,
dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni
fenomena indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan
merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni
suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju
kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan
proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan
mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau
gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan
penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-
fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari
perkembangan pikiran manusia.
C. Fenomonelogi dan Interaksi Simbolik
Para fenomenolog berusaha memahami fenomena-fenomena
yang melingkupi subyek yang diamatinya. Sehingga yang ditekankan
adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Para fenomenolog
berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang
ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan
bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di
sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Jadi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah pemahaman
terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitan-kaitannya
yang melingkupi subyek. Contoh: penelitian mengenai fenomena
komunikasi yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan penerima
7
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
pesan terhadap pesan yang disampaikan. Peneliti berusaha memahami
bagaimana penerima pesan merespon setiap pesan yang disampaikan.
Dari hasil pengamatan, peneliti menemukan fakta bahwa penerima
pesan memiliki pengalaman negatif (buruk) terhadap pesan-pesan yang
(ternyata) tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga hal tersebut
mempengaruhi pula pandangan mereka terhadap kredibilitas pemberi
pesan (komunikator). Terhadap pemberi pesan yang memiliki
kredibilitas rendah tersebut, setiap pesan yang disampaikan selalu
direspon secara negatif (tak dipercaya). Sebaliknya, pesan-pesan yang
menyertakan pembuktian langsung dan nyata, membuat penerima
pesan segera merasakan kebenaran pesan tersebut sehingga
kepercayaan pun dapat muncul seketika. Dari fenomena tersebut,
peneliti memunculkan teori atau model Komunikasi Berasa, yakni
model komunikasi dengan pembuktian langsung dan nyata sehingga
setiap pesan yang disampaikan langsung dirasakan kebenarannya oleh
penerima pesan.
Contoh lain penelitian fenomenologi adalah penelitian biografis
tentang grup musik Slank, untuk memahami pengalaman kreatif
kesenimanan mereka dan bagaimana mereka memandang peristiwa-
peristiwa negatif (terlibat narkoba, seks bebas, dan lain-lain) yang
menimpa mereka maupun seniman-seniman lain, serta bagaimana
mereka mengatasinya.
Jika fenomenologi fokus pada pemahaman terhadap pengalaman
subyektif atas suatu peristiwa, maka interaksi simbolik fokus pada
penafsiran terhadap pemaknaan subyektif yang muncul dari hasil
interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna
khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal
dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan
bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama,
bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya
8
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan
dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua
dikaji oleh para interaksionis simbolik. Jadi peneliti berusaha
’memasuki’ proses pemaknaan dan pendefinisian subyek melalui
metode observasi partisipan.
Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah
pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan
mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan
orang lain.
Contoh: dalam penelitian mengenai Iklan dan Prostitusi. Subyek
menggunakan ’iklan panti pijat’ sebagai media (simbol) penawaran jasa
prostitutifnya. Subyek yang lain memanfaatkan ’tampil di cover majalah
pria’ sebagai media lain penawaran atau komunikasi pemasaran jasa
prostitutifnya. Subyek yang lain lagi ’menjual diri’ dengan tampil di situs
jejaring sosial Friendster dengan foto-foto yang ’mengundang’ sebagai
media komunikasi pemasaran atau iklan jasa prostitutifnya. Bagaimana
subyek membentuk simbol-simbol pengiklanan diri tersebut, bagaimana
pelanggan dapat menangkap makna simbol-simbol tersebut sehingga
terjadi interaksi dan transaksi ’gelap’ dengan menggunakan simbol-
simbol eksklusif lain, bagaimana subyek memandang dan
mendefinisikan diri mereka berdasarkan pandangan orang lain, apakah
mereka lebih senang disebut pelacur, pelacur kelas atas, escort,
pemijat plus, model plus, atau sekadar ’teman jalan’? Adakah istilah-
istilah dan bahasa-bahasa isyarat tertentu yang mereka gunakan?
Bagaimana dengan keluarga dan teman-teman mereka di luar
lingkungan prostitutif mereka? Apakah mereka menyembunyikan
profesi mereka atau terbuka? Berapa banyak pelanggan dan
penghasilan mereka dari hasil beriklan? Adakah pengaruh iklan
terhadap kenaikan penghasilan mereka? Digunakan untuk apa saja
penghasilan mereka? Lebih banyak untuk membantu perekonomian diri
dan keluarga, atau lebih banyak untuk bersenang-senang?
9
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Jadi, perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi
simbolik muncul dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi.
Fenomenologi bertumpu pada pemahaman terhadap pengalaman
subyektif atas gejala alamiah (fenomena) atau peristiwa dan kaitan-
kaitannya, sedangkan interaksi simbolik bertumpu pada penafsiran atas
pemaknaan subyektif (simbolik) yang muncul dari hasil interaksi. Pada
fenomenologi, ibarat fotografer, peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman,
pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba memahami
atau menyelaminya, sedangkan pada interaksi simbolik, peneliti
menafsirkan makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi
subyek dengan lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan
menelusuri proses pemaknaan tersebut.
D. Pendekatan Kajian Fenomenologis atas Interaksi Peran APIP
Fenomena sosial melibatkan manusia sebagai pelaku aktivitas
sosial yang selalu sarat dengan dunia makna yang melekat pada
subyek (manusia) pelakunya. Tindakan manusia selalu melibatkan niat,
kesadaran, dan alasan-alasan tertentu. Tindakan manusia juga
melibatkan makna-makna subyektif dan interpretasi yang tersimpan
dalam dirinya. Tindakan manusia tidaklah mekanistik sebagaimana
obyek-obyek yang dikaji oleh ilmu-ilmu alam. Karenanya, adalah salah
memandang manusia hanya sebagai “hamba” dari tuntutan struktur
sosial atau dari desakan redisposisi tertentu. Ringkasnya, adalah suatu
kekeliruan jika suatu fenomena sosial dikaji dengan metode yang
positivistik. Dalam pandangan aliran interpretivisme, untuk memahami
suatu fenomena atau realitas sosial haruslah dari hasil “membaca”
bagaimana si pelaku itu sendiri memahami dunianya (understanding of
understanding). Karena itu, aliran ini dianggap lebih dapat mengungkap
realitas tindakan manusia (Faisal, 2003).
Realitas yang ditampakkan oleh seseorang dalam bentuk
tindakan, angka-angka, persamaan, atau lainnya adalah bukan realitas
10
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
yang sebenarnya, melainkan simbol (refleksi) dari realitas yang
sebenarnya (Merriam 1998 dalam Alwasilah 2003). Realitas yang dikaji
oleh pada peneliti di bidang ilmu sosial sesungguhnya realitas yang
laten (latere, tersembunyi), dan bukan manifes (manifestus, dapat
ditangkap tangan). Realitas yang tersembunyi di alam kesadaran
manusia. Sehingga, sekuantitatif apa pun suatu metode, tidak akan
menangkapnya. Metode yang paling efektif untuk mengkaji realitas
seperti ini adalah menghayati atau memahami (Bakri, 2002).
Uraian di atas memberikan landasan untuk menggunakan
perspektif fenomenologis sebagai pendekatan pada kajian ini.
Fenomenologi pada dasarnya berpandangan bahwa apa yang tam pak
dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari hanyalah
suatu gejala atau ekspresi dari apa yang tersembunyi di “kepala” si
pelaku. Perilaku apapun yang tampak di tingkat permukaan baru bisa
dipahami atau dijelaskan manakala bisa mengungkap apa yang
tersembunyi dalam dunia kesadaran atau dunia pengetahuan manusia
pelakunya. Sebab, realitas itu sesungguhnya bersifat subyektif dan
maknawi. Ia bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan
anggapan-anggaoan pelaku. Semua itu terbenam dalam suatu
kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Disinilah letak
kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di
tingkat perilaku (Faisal, 2003).
Dilema etis dalam peran APIP
Pada proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
kegiatan pengawasan lainnya, APIP tidak dapat melepaskan diri dari
interaksi sosialnya baik kepada pihak auditee, pimpinan, masyarakat,
ataupun stakeholders sebagai sumber data dan informasi bagi
pelaksanaan tugas seorang APIP. Tuntutan tugas dan tanggungjawab
adalah keharusan yang menjadikan seorang APIP menjaga citra
organisasi dan dirinya, bersikap dan mengambil keputusan yang
11
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
obyektif serta membentengi diri dengan integritas dan profesionalisme
kerja sehingga tujuan yang diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Tidak jarang juga seorang APIP dalam melaksanakan tugas
profesionalismenya harus berhadapan dengan situasi atau kondisi yang
menggiring pribadi-pribadi pada wilayah pragmatisme sehingga
subyektifitas yang lebih mendominasi, hal tersebut tentu akan
menciptakan pergeseran (involusi) paradigma peran APIP yang telah
dibingkai dengan kode etik, aturan disiplin, serta pembinaan lainnya.
Ketika seorang APIP berinterkasi dengan lingkungannya, tekanan-
tekanan yang bersifat psikologis dan emosionalis menjadi bagian yang
mendapat perharian khusus karena sudah menjadi risiko melekat
(inhern risk), bahkan ketika peran itu dibelit dengan berbagai intrik
kepentingan, politis, dan ekonomi maka sering kita menyaksikan
realitas yang berhadapan dengan hukum peradilan.
Yang menjadi dilema etis yang terstruktural adalah posisi APIP
yang berada di daerah kabupaten/kota, ia berada pada posisi antara
yang berkepentingan (pejabat/pelaksana) dengan penerima manfaat
(masyarakat, stakeholders). Yang berkepentingan menginginkan
pekerjaan atau pertanggungjawabannya berjalan baik dan mulus tanpa
harus melalui proses interaksi yang menurutnya berbeli-belit, menyita
waktu, bahkan harus mengeluarkan sebahagian fee untuk
mempermudah segala urusannya dan hal ini telah menjadi budaya dan
kebiasaan yang sulit dihilangkan karena dianggap sudah menjadi
pelengkap pada setiap urusan yang sifatnya birokratis. Sedangkan
disisi lain bagi yang menerima manfaat (masyarakat dan stakeholder)
menuntut segala sesuatu menjadi ril, tidak ada yang ditutupi, tidak ada
manipulasi, tidak ada penyalahgunaan kepentingan, sumber daya, dan
keuangan. Artinya, para pejabat/pelaksana yang bertanggungjawab
atas kinerjanya dituntut mengembalikan semua hak-hak yang memang
diperuntukkan bagi masyarakat. Sehingga antara pejabat/pelaksana/
penanggungjawab dapat bekerja sama dengan masyarakat serta
12
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
lingkungannya, penuh keselarasan, kesadaran yang tinggi dan
membangun serta peduli bersama.
Interaksi APIP dengan lingkungannya
Dalam menjalankan perannya, APIP berinteraksi dengan berbagai
pihak, secara internal dimulai dari pimpinan atau otoritas organisasinya
dan anggota tim yang akan bekerja selaras dengan peran, output serta
tanggungjawabnya. Sedangkan secara eksternal, APIP berinteraksi
dengan pengguna barang/jasa dan anggaran beserta jajarannya
kebawah, ditambah interaksi terhadap lingkungan masyarakat.
Sebelum APIP terjun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan (salah
satu tugas APIP), maka disusun secara sistematis agenda dan item
pemeriksaan secara komprehensif. Berawal dengan melakukan survey
pendahuluan, meliputi pemahaman awal terhadap tujuan pemeriksaan,
mempelajari sumber data, mengidentifikasi, kemudian penyusunan
program dan kegiatan, pembagian tugas, dan metode pengumpulan
data. Pada tahapan ini setiap anggota APIP ditegaskan untuk
mengedepankan integritas dan profesionalismenya. Selanjutnya APIP
mengagendakan pertemuan dengan pihak auditee/obyek pemeriksaan
(pengguna anggaran/barang dan jas/pejabat/penanggung jawab
kegiatan) dalam rangka memberikan penjelasan tentang tujuan, waktu
dan lingkup pemeriksaan yang akan dilakukan, hal ini diharapkan agar
auditee/obyek pemeriksaan dapat mempersiapkan data dan informasi
yang dibutuhkan agar terjalin kerjasama serta komunikasi yang efektif.
Singkatnya, data dan informasi awal yang diolah dalam proses
survey pendahuluan kemudian dianalisa, ketika terdapat dokumen yang
menyajikan data dan informasi yang tidak lengkap/akuntabel maka
dilakukan penelusuran dan pendekatan intensif. Tahapan ini disebut
sebagai evaluasi sitem pengendalian intern/manajemen, dapat
dilakukan dengan menguji sistem pengendaliannya secara langsung
menggunakan teknik wawancara, mengajukan pertanyaan/kuisioner.
13
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Ketika diketahui bahwa sistem pengendaliannya lemah maka
dilanjutkan dengan pengujian bukti-bukti empiris, permintaan
keterangan, dan pemeriksaan fisik secara langsung. Sampai pada
tahap ini, tidaklah dapat dikatakan bahwa pelaksanaan atau proses
berjalan dengan lancar. Kendala-kendala yang sering ditemukan adalah
pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan yang
diperiksa biasanya menunjukkan sikap yang kurang responsif, hal ini
tentu menandakan dan membangun kecurigaan adanya perilaku yang
menyimpang, penyalahgunaan, ketidakterbukaan, atau bahkan
mengarah pada praktek-praktek nepotisme dan koruptif.
Kondisi tersebut di atas membuka ruang baik oleh auditee/obyek
pemeriksaan atau APIP untuk melakukan transaksi “dibawah tangan”
dalam menyelesaikan masalah ketimbang harus bergelut dengan
prosedur yang dianggap rumit, bertele-tele, mekanistik dan ujungnya
menggiring pada polemik yang sistemik, yang kemudian
penyelesaiannya juga cendrung tidak memberi pengaruh yang
signifikan terhadap perubahan perilaku dan manajemen organisasi
(pemerintahan). Realitas yang nampak ini, dalam kajian fenomenologis
adalah merupakan simbol-simbol yang lahir dari interpretasi individu.
Tindakan individu tidak hanya berasal dari pengaruh dalam dirinya
sendiri, tetapi juga merupakan produk dari kesadarannya terhadap
orang lain (Weber dalam Berger 1994). Berger melihat tindakan
manusia sebagai produk proses internalisasi dan eksternalisasi serta
cendrung konstruksionistik.
Ketika masalah ini sampai menyentuh para pelaku atau pengambil
kebijakan, kecendrungannya juga melahirkan kesadaran individu yang
memilih untuk menyelesaikan persoalan dengan langkah-langkah
persuasif, subyektif, dan pragmatis dengan argumentasi untuk menjaga
hubungan yang harmonis, menjaga kondisifitas organisasi
(pemerintahan), terlebih lagi untuk menyelamatkan kepentingan
tertentu. Secara etis, sangat bertentangan dengan peran APIP, namun
14
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
karena posisi APIP di daerah yang lebih besar dibawah tekanan
ketimbang harus bersikap independen dan obyektif, dan
ketergantungannya terhadap otoritas yang lebih tinggi (walikota/bupati),
maka menimbulkan gejolak subyektif dalam diri seorang APIP, apakah
harus bertahan pada nilai-nilai integritas dan profesionalisme ataukah
mengikuti arus untuk menunjukkan sikap manis dan bersahabat
sebagai aparatur pemerintah yang loyal terhadap pimpinannya.
Kalau seorang APIP kemudian memilih menyelesaikan masalah
dengan menggeser paradigma awal yang menuntut integritas dan
profesionalisme untuk mengadaptasikan perannya sebagai APIP
dengan kepentingan lainnya, maka menghasikan laporan atas
pemeriksaan (seperti kasus di atas) yang akan menyatakan bahwa
segala pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan unsur-unsur
akuntabilitas dan transparansi, maka laporan yang menghasilkan
keyakinan seperti ini tentu menjadi baik bagi kinerja organisasi
(pemerintah) karena akan membawa dampak positif dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat dan stakeholder bagi organisasi.
Realitas yang telah ditampakkan dalam masalah ini, berupa
pengambilan keputusan, tindakan melaporkan hasil yang baik,
meningkatnya kepercayaan publik, dan lainnya adalah bukan realitas
yang sebenarnya, melainkan simbol (refleksi) dari realitas yang
sebenarnya. Realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang laten
atau realitas yang tersembunyi, tidak nampak.
Referensi :Adian, Donny Gahral, (2001) Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas
Bambu.
Dwiyoso Hartono dan Susanto, M. Harry. (2008) Analisis Fenomenologi Bank Mendirikan Koperasi Kredit. Journal of Indonesian Applied Economics. Vol 2 No. 1 Mei 2008, 1-21.
15
Teori Fenomenologi dan Interaksi Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Endraswara, Suwardi. Fenomenologi, Metodologi Riset Budaya-UGM Press.
Sutopo, H.B., (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
16