farmakologi eksperimental : analisis obat dalam cairan hayati

41
LAPORAN RESMI PERCOBAAN FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL PERCOBAAN II ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI Disusun oleh: Kelas : C Golongan : IV Kelompok : 3 Febri Wulandari FA/09284 ……………….. Anggita Tyaswuri FA/09305 ………………..  Naisbitt Iman Hanif FA/09308 ……………….. Candra Kirana M. FA/09311 ……………….. Lusy Andriani FA/09314 ……………….. Asisten Jaga : Yolanda dan Christine Asisten Koreksi : Yolanda LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

Upload: naisbitt-iman-hanif

Post on 30-Oct-2015

3.209 views

Category:

Documents


280 download

DESCRIPTION

Laporan Praktikum Farmakologi Eksperimental : Analisa Obat dalam Cairan Hayati menggunakan metode Bratton-Marshall pada mencit Mus musculus.

TRANSCRIPT

Page 1: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 1/41

LAPORAN RESMI

PERCOBAAN FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL

PERCOBAAN II

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Disusun oleh:

Kelas : C Golongan : IV Kelompok : 3

Febri Wulandari FA/09284 ………………..

Anggita Tyaswuri FA/09305 ………………..

 Naisbitt Iman Hanif FA/09308 ………………..

Candra Kirana M. FA/09311 ………………..

Lusy Andriani FA/09314 ………………..

Asisten Jaga : Yolanda dan Christine

Asisten Koreksi : Yolanda

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

Page 2: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 2/41

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK 

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

PERCOBAAN II

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUAN

Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat di dalam cairan hayati.

II.DASAR TEORI

Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi dengan

reseptor atau tempat aksi atau sel target dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum mencapai

reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui proses farmakokinetik. Fasa farmakokinetik 

meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul obat yang

menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan darah yang akan

didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses

distribusi, metabolisme dan ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada

kompartemen tempat reseptor berada.

Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik antara lain:

1. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti cairan intrasel, ekstrasel (plasmadarah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal ) dan berbagai fasa lipofil dalam

tubuh.

2. Protein plasma, protein jaringan, dan berbagai senyawa biologis yang mungkin

dapat mengikat obat.

3. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan

waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat menentukan

kinetika obat.

Page 3: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 3/41

4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorpsi,

 bioaktivasi, biodegradasi, dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuh

(Siswandono, 1998).

Konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan farmakokinetika suatu

individu maupun populasi. Konsentrasi obat diukur dalam sampel biologis seperti air susu,

saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi, dan presisi dari metode analisis harus ada untuk 

 pengukuran secara langsung obat dalam matriks biologis. Untuk itu, metode penetapan kadar 

secara umum perlu divalidasi sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring

farmakokinetik dan klinik.

Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan secara

langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah mengandung

elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein seperti

albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat.

Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari supernatan setelah

disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan

ditambahkan antikoagulan seperti heparin. Oleh karena itu, serum dan plasma tidak sama.

Plasma mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan

 berasumsi bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan,

 perubahan konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi

obat di jaringan (Shargel, 1988).

Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan

dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum penentuan

kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan

diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen

dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu

dalam hal analisa menggunakan metode seperti HPLC, adanya zat-zat tersebut dapat merusak 

kolom HPLC sehingga usia kolom menjadi lebih singkat.

Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai perlakuan

awal sampel biologis yang diperoleh dari suatu penelitian farmakokinetik, meliputi

 penggunaan senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating 

agent) seperti asam tungstat, amonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro acetic acid , TCA)

asam perklorat, methanol dan asetonitril. Pengendapan protein dilakukan dengan denaturasi

Page 4: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 4/41

 protein. Denaturasi dapat dilakukan akibat adanya perubahan pH, temperatur, dan

 penambahan senyawa kimia. Cara denaturasi protein yang umum digunakan adalah dengan

 penambahan  precipitating agent. Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat

diantaranya bersifat sebagai amfoter, yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1

molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat potein memiliki

muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang

 pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu, protein akan mencapai titik 

isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif 

sebanding dengan muatan negatif). Hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik 

isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap (Poedjiadi,

1994).

Penetapan kadar obat dalam badan dapat dianalisi dari cairan hayati lain seperti urin,

saliva, atau lainnya. Urin merupakan cairan hayati yang biasanya dipergunakan dalam

farmakokinetik untuk mempelajari disposisi obat dan menentukann kadar obat untuk obat-

obatan yang disekresikan urin. Minimal 10%-nya terdapat dalam urin dalam bentuk utuh

yang belum dimetabolisme.

Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter farmakokinetika.

Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematis

dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam cairan hayati. Parameter 

farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan

metabolitnya.

Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik, yaitu:

1. Parameter pokok 

• Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)

Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi

sistemik dari tempat absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan

otot pada pemberian intramuskular).

• Cl (Klirens)

Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa

mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau

organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas

(volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 1988). Klirens

Page 5: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 5/41

merupakan fartor yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan

konsentrasi obat.

• Volume distribusi (Vd)

Volume distribusi adalah volume yang didapatkan pada saat obatdidistribusikan. Menghubungkan jumah obat dalam tubuh dengan konsentrasi

obat (C) dalam darah atau plasma.

2. Parameter Sekunder 

• Waktu paruh eliminasi (t1/2)

Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam

tubuh menjadi setengah atau separuh selama eliminasi (atau selama infus yang

konstan) (Katzung, 1997).

• Tetapan kecepatan eliminasi ( K el )

Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan

tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi

menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai

keseimbangan (Neal, 2006).

3. Parameter Turunan

• Waktu mencapai kadar puncak (tmaks)

Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu

yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah emberian

obat. Pada fase ini, absorpsi ibat adalah terbesar dan laju absorpsi obat sama

dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah fase ini tercapai,

tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti

sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak)

 bila laju absorbs obat menjadi lebih cepat.

• Kadar puncak (Cpmaks)

Parameter ini menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah

 pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara

Page 6: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 6/41

efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel,

1998).

• Luas daerah di bawah kurva (AUC)

AUC adalah permukaan di bawah kurva yang menggambarkan naik turunnya

kadar plasma sebagai fungsi dari waku. AUC dapat dihitung secara matematis

dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapat digunakan

untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan

kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu, antara kadar 

 plasma puncak dan bioavaibilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).

Cuplikan darah sangat relevan, karena semua proses obat dalam tubuh melibatkan

darah sebagai media, suatu alat ukur dari organ satu ke organ lain seperti absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi. Oleh karena itu, agar nilai-nilai parameter obat dapat dipercaya,

metode penetapan kadar harus memenuhi kriteria, yaitu:

:

1. Selektif atau spesifik 

Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatuobat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati.

Selektifitas metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan

ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam bentuk tak berubah atau

metabolitnya. Pemilihan metode yang memiliki selektifitas tinggi perlu

mendapatkan perhatian khusus karena hal ini berkaitan erat dengan rumus

matematik yang diterapkan dalam menghitung parameter farmakokinetik. Rumus

matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah

dalam cuplikan hayati tertentu, berbeda dengan yang diturunkan dari data kadar 

metabolitnya (Smith, 1981).

2. Sensitif atau peka

Sensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang

dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian

farmakokinetika, pemilihan metode analisis juga tergantung pada tingkat

sensitivitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat

dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan

Page 7: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 7/41

data kadar obat dari waktu ke waktu, atau data dari kadar tertinggi sampai kadar 

terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan. Misalnya kita akan menghitung

harga AUC, maka kita memerlukan data kadar obat dari waktu nol sampai tak 

terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat

tertinggi sampai terendah yang ada di dalam badan.

3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan ( precision)

Ketelitian (accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk 

memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai

sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan antara harga

 penetapan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang

diketahui. Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar 

tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran

tersebut.

Metode yang baik memberikan hasil recovery (perolehan kembali) yang tinggiyaitu 75-90% atau lebih dan kesalahan sistematik kurang dari 10%. Perolehan

kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis, sedangakan kesalahan sistematik 

merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa

kesalahan konstan atau proporsional. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu

hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun

 penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang

kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan

menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil

(reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-

hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui

 pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui

 pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada

hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata

kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan

Page 8: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 8/41

harga sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan

 penyebaran data, seperti standar deviasi atau koefisien variasi.

Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat

 positif atau negatif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan

dicerminkan oleh tetapan variasi. Metode yang baik memiliki nilai kesalahan acak 

kurang dari 10%.

4. Cepat

Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis

dalam suatu macam penelitian farmakokinetika

5. Efisien

Metode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu

kesalahan sistematik (Sudjadi, 2008).

Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang digunakan harus

tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang cukup tinggi agar diperoleh

hasil yang akurat, sehingga nantinya dapat menghindari kesalahan yang fatal. Dalam analisis

ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula alat apa yang digunakan

dalam analisis) (Ritschel, 1976).

Cepat, simpel, dan sensitif telah membuat spektrofotometer UV-VIS menjadi suatu

metode analisis farmasetika yang sangat popular untuk pengukuran secara kuantitatif obat

dan metabolit dalam sampel biologi. Salah satu alasan penting atas kepopulerannya karena

sensitivitas dari metode ini, yaitu 1-10 µg/ml. Identifikasi kualitatif dari obat atau metabolit

menggunakan spektrofotometri UV-VIS berdasarkan pada panjang gelombang maksimum

yang diabsorpsi. Pada absorpsi yang maksimum, sensitivitas optimum akan didapat. Karena

 perubahan absorbansi minimal untuk sedikit perubahan panjang gelombang, error 

diminimalkan. Hasilnya, akurasi dan presisi yang baik didapatkan (Smith,1981).

Salah satu metode pengukuran kadar obat dalam analisis cairan hayati adalah metode

Bratton-Marshall. Metode ini didasarkan pada prinsip kolorimetri, yaitu terbentuknya

senyawa-senyawa berwarna yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri

visibel dengan 3 tahap, yaitu pembentukan senyawa diazo, penghilangan sisa asam nitrit

dengan penambahan asam sulfamat, dan pengkoplingan garam diazonium-NED.

Page 9: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 9/41

III. ALAT DAN BAHAN

a) Alat :

1. Labu takar 10 ml

2. Pipet volume 0,1; 0,2; 1,0; 2,0 ml

3. Tabung reaksi/flakon

4. Pipet ukur 5 ml

5. Spektrofotometer dan kuvet

6. Skalpel/silet

7. Sentrifuge

8. Stopwatch

9. Ependorf 

10. Alat vortex

11. Propipet

12. Mikropipet dan tip

 b) Bahan :

1. Asam trikloroasetat (TCA)

2. Natrium nitrit 0,1 %

3. Amonium Sulfamat 0,5%

4. N(1-naftil) etilendiamin 0,1%

5. Antikoagulan (heparin)

6. Sulfametoksazol

7. Darah tikus

Page 10: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 10/41

IV. CARA KERJA

a) Pembuatan kurva baku:

Diencerkan stok sulfametoksazol (1 mg/ml) dengan aquades sehingga diperoleh

kadar sulfametoksazol: 25, 50, 100, 200, 400 µg/ml.

Ditambahkan 250 µl darah yang mengandung antikoagulan ditambah 250 µl aquadest,

campur homogen, dan tambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.

Untuk pembuatan blanko kurva baku, 250 µl darah yang mengandung antikoagulan

ditambahkan 250 µl aquades (tidak ditambah sulfametoksazol), campur homogen dan

tambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.

Blanko kurva baku dan sampel yang telah divortex disentrifugasi (5 menit; 2500 rpm).

Diambil 1,0 ml beningan (supernatan) dan diencerkan dengan aquades 2,0 ml.

Ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 3

menit.

Ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%), diamkan selama 2 menit.

Ditambahkan larutan N(1-naftil)etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), campur baik-baik,

diamkan 5 menit di tempat gelap.

Page 11: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 11/41

Larutan dipindahkan ke dalam kuvet, dibaca intensitas warna pada spektrofotometer 

(545 nm) terhadap blanko darah yang telah diproses dengan cara yang sama dan

dibuat persamaan garis menggunakan persamaan y = ax + b.

 b) Penetapan Kadar 

Tikus diberi sulfametoksazol secara peroral dan ditunggu hingga 1 jam.

Diambil darah melalui vena lateralis pada ekor tikus sebanyak 1,5 ml, ditaruh

 pada ependorf yang sebelumnya telah diberi heparin.

Diambil 250 µl darah yang mengandung antikoagulan ke dalam tabung reaksi dan

ditambah 250 µl aquadest, dicampur homogen.

Ditambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing .

Disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

Diambil beningan (1,50 ml) dan diencerkan dengan aquadest 2,0 ml.

Ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) diamkan selama 3

menit.

Ditambahkan larutan ammonia sulfamat (0,2 ml; 0,5%) diamkan selama 2 menit.

Ditambahkan larutan N(1-naftil) etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), dicampur baik-baik,

diamkan 5 menit di tempat gelap.

Page 12: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 12/41

Dipindahkan ke dalam kuvet, dibaca intesitas warna pada spektrofotometer (545 nm)

terhadap blanko darah (sebagai control) yang telah diproses dengan cara yang sama.

c) Validasi

Dimasukkan larutan stok 50,300 µg/ml masing-masing ke dalam tabung reaksi

 berbeda.

Ditambahkan darah/urin 250 µL.

Ditambahkan TCA 10% sebanyak 2 ml pada tiap-tiap tabung reaksi.

Dicampur homogen dengan vortex selama 15 detik.

Disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.

Beningan diambil 1,5 mL dan Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih.

Ditambahkan NaNO2 0,1 ml dan didiamkan 3 menit.

Ditambahkan ammonium sulfamat 1,5% sebanyak 0,2 ml dan didiamkan 2 menit.

Ditambahkan NED 0,2 ml lalu dibaca serapannya pada menggunakan

spektrofotometer.

Dilakukan replikasi sebanyak 2 kali untuk masing-masing kadar.

Dihitung nilai recovery, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak.

V. DATA DAN PERHITUNGAN

Data Percobaan

Page 13: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 13/41

Pembuatan Kurva Baku Darah Tikus

Kadar sulfadiazin dalam

darah (µg/ml)

Absorbansi

25 0,006

50 0,000100 0,036

200 0,104

400 0,211

Validasi Darah Tikus

Kadar sulfadiazin dalam darah

(µg/ml)

Absorbansi I Absorbansi II Absorbansi III

50 0,104 0,104 0,100

300 0,182 0,200 0,198

Penetapan kadar

• Kelompok A

Replikasi Absorbansi

1 0,218

2 0,199

3 0,231

4 0,188

• Kelompok B

Replikasi Absorbansi

1 0,136

2 0,134

3 0,147

4 0,144

5 0,130

• Kelompok C

Replikasi Absorbansi

Page 14: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 14/41

1 0,183

2 0,217

3 0,226

• Kelompok D

Replikasi Absorbansi

1 0,118

2 0,102

3 0,107

4 0,122

5 0,132

Perhitungan

1. Perhitungan Pengenceran

Keterangan:

V1 = Volume sulfadiazin yang diambil (ml)

V2 = Volume labu takar (ml)

M1 = Konsentrasi sulfadiazin stok (µg/ml)

M2 = Konsentrasi sulfadiazin yang diinginkan (µg/ml)

Dengan menggunakan V1 M1 = V2 M2, dapat ditentukan volume larutan stok yang diambil.

a. Larutan stok untuk penetapan kurva baku

Diketahui :

M1 = 1mg/ml = 1000 µg/ml

V2 = 5 ml

Jadi, volume sulfadiazin yang diambil adalah sebagai berikut.

1) Jika kadar yang diinginkan 25 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

Page 15: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 15/41

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 10 ml. 25 µg/ml

V1 = 0,25 ml

2) Jika kadar yang diinginkan 50 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 10 ml. 50 µg/ml

V1 = 0,5 ml

3) Jika kadar yang diinginkan 100 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 10 ml. 100 µg/ml

V1 = 1 ml

4) Jika kadar yang diinginkan 200 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 10 ml. 200 µg/ml

V1 = 2 ml

5) Jika kadar yang diinginkan 400 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 10 ml. 400 µg/ml

V1 = 4 ml

 b.  Larutan stok untuk recovery

Diketahui :

M1 = 1mg/ml = 1000 µg/ml

V2 = 5 ml

Jadi, volume sulfadiazin yang diambil adalah sebagai berikut.

Page 16: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 16/41

1) Jika kadar yang diinginkan 50 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 5 ml. 50 µg/ml

V1 = 0,25 ml

2) Jika kadar yang diinginkan 300 µg/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 µg/ml = 0,5 ml. 300 µg/ml

V1 = 1,5 ml

2. Perhitungan Penentuan Volume Pemberian Sulfadiazin

BB tikus = 98,85 gram

Stok yang digunakan = 10 mg/ml

Volume pemberian =

=

= 0,4943 ml

3. Pembuatan Kurva Baku Darah Tikus

Kadar sulfadiazin dalam

darah (µg/ml)

Absorbansi

25 0,006

50 0,000*

100 0,036

200 0,104

400 0,211

* ditolak 

Dengan regresi linear didapat:

a = -0,0120

 b =

r = 0,9980

Page 17: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 17/41

Sehingga kurva baku yang diperoleh adalah

Keterangan :

Y = absorbansi X = kadar 

4. Validasi Kadar Sulfadiazin dalam Darah Tikus

Kadar sulfadiazin dalam

darah (µg/ml)

Absorbansi I Absorbansi II Absorbansi III

50 0,104 0,104 0,100300 0,182 0,200 0,198

 y = 5,5850 . 10-4  x – 0,012

a. Untuk kadar 50 µg/ml

1) Perhitungan Kadar Terukur 

Replikasi 1 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,104 = 5,5850.10-4x – 0,012

0,116 = 5,5850.10-4x

x = 207,6992 µg/ml

Replikasi 2 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,104 = 5,5850.10-4x – 0,012

0,116 = 5,5850.10-4

x

Page 18: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 18/41

x = 207,6992 µg/ml

Replikasi 3 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,100 = 5,5850.10-4x – 0,012

0,112 = 5,5850.10-4x

x = 200,5372 µg/ml

= 205,3119 µg/ml

Page 19: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 19/41

2) Perhitungan Kesalahan Acak 

x (µg/ml) x (   ̄ µg/ml) d = |x - x|   ̄

205,3119

2,3873 5,6992

207,6992 2,3873 5,6992

200,5372 4,7747 22,7978

=

= 4,1350

=

= 2,0140 %

3)  Perhitungan Recovery

 Recovery =

 Recovery 1 =

= 415,3384 %

 Recovery 2 =

Page 20: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 20/41

= 415,3384 %

 Recovery 3 =

= 401,0744 %

Rata-Rata Recovery =

= 410,5837%

4) Perhitungan Kesalahan Sistematik 

Kesalahan Sistemik = 100% - Recovery

Kesalahan sistematik 1 = 100% - 415,3384%

= -315,3384%

Kesalahan sistematik 2 = 100% - 415,3384%

= -315,3384%

Kesalahan sistematik 3 = 100% - 410,0744%

= -310,0744%

Rata-Rata Kesalahan sistematik =

= -313,5837%

b. Untuk kadar 300 µg/ml

1) Perhitungan Kadar Terukur 

Replikasi 1 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,182 = 5,5850.10-4x – 0,012

0,194 = 5,5850.10-4x

x = 347,3590 µg/ml

Replikasi 2 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,200 = 5,5850.10-4x – 0,012

Page 21: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 21/41

0,212 = 5,5850.10-4x

x = 379,5882 µg/ml

Replikasi 3 y = 5,5850.10-4x – 0,012

0,198 = 5,5850.10-4x – 0,012

0,210 = 5,5850.10-4x

x = 376,0072 µg/ml

= 367,6515 µg/ml

2) Perhitungan Kesalahan Acak 

x (µg/ml) x (   ̄ µg/ml) d = |x - x|   ̄

367,6515

20,2925 411,7856

11,9367 142,4848

8,3557 69,8177

=

= 17,9177

Page 22: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 22/41

=

= 4,8736 %

3)  Perhitungan Recovery

 Recovery =

 Recovery 1 =

= 115,7863 %

 Recovery 2 =

= 126,5294 %

 Recovery 3 =

= 125,3357 %

Rata-Rata Recovery =

= 122,5505%

4) Perhitungan Kesalahan Sistematik 

Kesalahan Sistemik = 100% - Recovery

Kesalahan sistematik 1 = 100% - 115,7863%

= -15,7863%

Kesalahan sistematik 2 = 100% - 126,5294%

= -26,5294%

Kesalahan sistematik 3 = 100% - 125,3357%

Page 23: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 23/41

= -25,3357%

Rata-Rata Kesalahan sistematik =

= -22,5505%

5. Penetapan Kadar

 

• Kelompok A

Replikasi Absorbansi (y) Kadar (X)

1 0,218 411,8174

2 0,199 377,7977

3 0,231 435,0940

4 0,188 358,1021

• Kelompok B

Replikasi Absorbansi (y) Kadar (X)

1 0,136 264,9955

2 0,134 261,4145

3 0,147 284,6911

4 0,144 279,3196

5 0,130 254,2525

• Kelompok C

Replikasi Absorbansi (y) Kadar (X)

1 0,183 349,1495

2 0,217 410,0269

3 0,226 426,1415

Page 24: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 24/41

• Kelompok D

Replikasi Absorbansi (y) Kadar (X)

1 0,118 232,7663

2 0,102 204,1182

3 0,107 213,0707

4 0,122 239,9284

5 0,132 257,8335

6. Recovery Data Kelompok B

Kadar Absorbansi = 265 µg/ml

Kadar Obat total = 4,9245 mg

Volume darah = 7, 5 % x 98,85 g

= 7, 41375 gram

= 7, 060714 ml (p=1,05)

Kadar Sebenarnya = Kadar Obat Total/ ml darah

= 4,9245 mg / 7,060714 ml

= 0,697450 mg/ml darah = 697,450 µg/ml

• %

Page 25: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 25/41

Rata-rata recovery : = 38,5597 %

Kesalahan sistematik : 100% - 38,5597 % = 61,4403 %

x (µg/ml) x (   ̄ µg/ml) d = |x - x|   ̄

264,9955

268,9346

3,9391 15,5165

261,4145 7,5201 56,5519

284,6911 15,7565 248,2673

279,3196 10,3850 107,6462

254,2525 14,6821 215,5641

=

= 12,6841

=

= 4,7164

VI. PEMBAHASAN

Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa memahami penetapan kadar analisis obat di

dalam cairan hayati melalui metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-Marshall  bekerja

melalui prinsip reaksi diazotasi, yaitu reaksi pembentukan warna pada senyawa yang

memiliki gugus aktif amina aromatis primer. Pembacaan reaksi ini dilakukan menggunakan

metode Spektrofotometri UV-vis. 

Page 26: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 26/41

NaNO2

Metode Bratton-Marshall berjalan melalui 3 tahap yaitu :

1. Pembentukan Senyawa Diazo

Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina

aromatik primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik primer,

sehingga reaksi diazotasi dapat berlangsung dengan reaksi sebagai berikut:

 

+ H2O

(garam diazonum dari sulfametoksazol)

2. Penghilangan Sisa Asam Nitrit dengan Penambahan Asam Sulfamat

Pada proses terbentuknya garam diazonium, yang dihasilkan dari reaksi antara

amina aromatik primer dengan asam nitrit (HNO2) dari natrium nitrit, terjadi kelebihan

asam nitrit yang harus dihilangkan dengan penambahan asam sulfamat. Apabila tidak 

dihilangkan, senyawa yang sudah  berwarna akan dirusak (dioksidasi) oleh asam nitrit

sehingga kembali lagi menjadi tidak berwarna. Reaksi penghilangan sisa asam nitrit

adalah sebagai berikut:

HNO2 + HSO3 NH2 N2 + H2SO4 + H2O

3. Pengkoplingan Garam Diazonium-NED

Pada proses ini, garam diazonium yang sudah terbentuk segera direaksikan dengan

reagen kopling dan membentuk senyawa kopling yang memiliki gugus kromofor yang

lebih panjang sehingga dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis. Reagen kopling

yang khas dalam metode Bratton-Marshall adalah N-(1-Naftil) etilen diamin (NED).

Dengan demikian, pergeseran bathokromik terjadi sehingga λ lebih panjang dan intensitas

warnanya lebih tajam. Hasilnya, senyawa menjadi lebih mudah dideteksi oleh

spektrofotometri UV-Vis.

Untuk menguji ketepatan dan ketelitian metode yang digunakan, ditetapkan beberapa

analisis dari parameter farmakokinetika yang berhubungan dengan metode penetapan kadar 

suatu obat dalam cairan hayati, seperti recovery (P%) dan kesalahan sistematik (100%-P%)

+

 TCA

N

Page 27: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 27/41

sebagai parameter ketelitian, serta perhitungan SD dan kesalahan acak (CV) sebagai

 parameter ketepatan. Metode yang baik ialah metode yang dapat memberikan nilai recovery

yang tinggi >75% serta memiliki kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%.

Parameter farmakokinetik merupakan tolak ukur yang digunakan untuk mengevaluasi

 pola absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi suatu obat. Parameter farmakokinetik 

merupakan besaran yang diturunkan secara sistematis dari hasil pengukuran kadar obat atau

metabolitnya dalam darah atau urin. Analisis ini dilakukan dengan membuat seri kadar obat

tertentu dalam darah dan urin yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga dpaat dibaca

absorbansi dan dibuat kurva bakunya.

Cairan hayati yang dapat digunakan sebagai media tolak ukur kualitatif maupun

kuantitatif suatu obat ialah darah. Hal ini disebabkan karena darah merupakan media utama

transportasi zat-zat di dalam tubuh, sehingga merupakan tempat dominan yang dilalui oleh

obat, bahkan faktanya, penghitungan kadar obat di dalam tubuh mengacu pada Volume

Distribusi (Vd) yang didasarkan oleh persebaran obat oleh darah.

Pada percobaan ini, obat yang di analisis adalah sulfametoksazol. Analisis dilakukan

dengan memberikan sulfametoksazol Per Oral (PO) dengan dosis 10 mg/200g BB dimana

larutan stok yang digunakan adalah 10mg/ml.

Berikut bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain:

1. Sulfametoksazol

Rumus molekul : C10H11 N3O3S

Berat molekul : 253,28

Pemerian : Serbuk hablur, putih

sampai hampir putih, praktis tidak berbau

Sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0%

C10H11 N3O3S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform, mudah

larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer, agak 

sukar larut dalam etanol.

Waktu paruh : 11 jam

Page 28: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 28/41

Sulfametoksazol diabsorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 %

terikat oleh protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi.

Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan

waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dosis perawatan sampai

infeksi berakhir.

Sulfametoksazol merupakan golongan sulfonamid yang termasuk dari derivat

sulfanilamid dan mempunyai peranan sebagai agen bakteriostatik. Sulfametoksazol

merupakan sulfonamid yang mempunyai kecepatan absorpsi dan ekskresi cepat.

Pasangan elektron bebas yang dimiliki Sulfametoksazol terdapat pada atom-atom N-

 primer, N-sekunder, N-tersier, O pada SO₂ dan rantai siklik serta S pada SO₂, sehingga

dimungkinkan untuk dapat mengikat tembaga(II) pada protein azurin yang dibutuhkan

oleh bakteri untuk proses fotosintesis (Anonim, 2012).

2. Heparin

Pemerian: Serbuk, putih atau putih daging agak 

higroskopis Kelarutan: Larut dalam 2,5 bagian air.

Heparin merupakan suatu mukopolisakarida dengan berat molekul 6000-20.000

kilo dalton. Karena sifat keasamannya, heparin juga disebut asam heparinat. Secara

kimia, senyawa ini mirip asam hialuronat, kondroitin, dan kondroitin sulfat A dan B.

Heparin berfungsi mencegah darah menggumpal. Sifat anti koagulan ini terjadi akibat

 penghambatan pengubahan protombin menjadi trombin dalam proses penggumpalan

darah.

Heparin merupakan anti-koagulansia langsung, yang mengandung gugus

karboksil dan sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam

tubuh. Heparin bekerja dengan menghambat pembekuan darah yang kerjanya

 bergantung adanya Anti-trombin III (suatu α2-globulin dan kofaktor dari heparin dan

memperkuat kerja heparin) sehingga membentuk kompleks heparin-antitrombin yang

ammpu mengaktifkan faktor-faktor IXa, Xa, XIa, XIIa sehingga menghambat

 pembentukan trombin. Pada konsentrasi tinggi, heparin menghambat juga agregasi

trombosit.

Page 29: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 29/41

Heparin juga mempunyai kerja menjernihkan plasma yang berlipid

(membebaskan lipoproteinlipase dari endotelium pembuluh yang mampu melarutkan

khilomikron). Heparin mempercepat penguraian histamin dengan membebaskan

diaminoksidase yang mengoksidasi histamin dan mereduksi pembentukan aldosteron.

Mekanisme anti koagulasi :

Heparin + Anti trombin III + Faktor penggumpalan ↔ Kompleks terner 

 

Protrombin X Trombin

Ca2+

Heparin beraksi dengan mengikat anti trombin III membentuk kompleks yang

 berafinitas lebih besar daripada anti trombin III itu sendiri terhadap beberapa faktor 

 pembekuan darah aktif (trombin dan faktor Xa/faktor stuart power). Heparin juga

menginaktivasi faktor VIIIa/AHG dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil. Oleh

karena itu, heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah (Anonim, 2012).

3. TCA (Trichloro Acetic Acid / Asam Trikloro Asetat)

Rumus Molekul : C2HCl3O2

Berat Molekul : 163,39

Pemerian : Massa hablur, sangat rapuh,

tidak berwarna, rasa lemah dan khas.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,

dalam etanol, dan dalam eter P.

Asam trikloroasetat (nama sistematis: asam trikloroetanoat) adalah analog dari

asam asetat, dengan ketiga atom hidrogen dari gugus metil digantikan oleh atom-atom

klorin. Senyawa ini merupakan asam yang cukup kuat (pKa = 0.77, lebih kuat dari

disosiasi kedua  asam sulfat). Senyawa ini dibuat melalui reaksi klorin dengan asam

asetat bersama katalis yang cocok (Anonim, 1979).

4. Natrium Nitrit

Pemerian : Putih atau sedikit kuning, granul higrokopis, batang

atau serbuk 

Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air dingin, 0,6 bagian air mendidih.

(Windholtz, 1976)

Page 30: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 30/41

5. Ammonium Sulfamat

Pemerian : Kristal higroskopis.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam etanol,

cukup larut dalam gliserol, glikol, formaldehida.

(Windholtz, 1976)

Metode Analisis

Langkah pertama pada percobaan ini adalah memberikan larutan sulfametoksazol

secara per oral kepada hewan uji. Pada percobaan ini, hewan uji yang digunakan ialah tikus

 putih  Rattus novergicus dengan dosis 10 mg/200 mgBB dengan jarum berujung tumpul.

Karena stok sulfametoksazol adalah 10 mg/ml dan bobot tikus yang digunakan adalah 98,85

gram, maka dosis yang diberikan ialah 4,9425 gram dengan volume larutan sebesar 0,49 ml.

Kemudian, pemberian diberikan secara per oral sehingga dibutuhkan waktu tunggu sampai

 proses absorbsi terjadi. Pada percobaan ini, praktikan menunggu selama satu jam setelah

 pemberian dilakukan.

Setelah satu jam, tikus diletakkan di dalam holder dimana seluruh bagian badan tikus

kecuali ekor terperangkap di dalam holder . Penggunan holder  bertujuan untuk membatasi

 pergerakan tikus sehingga mempermudah proses pengambilan darah. Pada proses

 pengambilan darah, volume darah tikus yang diambil sebanyak 1,5 ml per tikus pada dua

tikus, darah pada tikus pertama digunakan untuk pembuatan kurva baku internal, sedangkan

darah pada tikus kedua digunakan untuk pemrosesan sampel darah in vivo. Darah yang

diambil diletakkan di dalam tabung eppendorf berukuran 2 ml yang telah diberikan heparin

sebanyak 10 tetes untuk mencegah koagulasi darah. Pengambilan darah sebesar 1,5 ml ini

sebenarnya kurang tepat karena melebihi nilai batas atas volume darah yang dapat diambil

 pada hewan uji dan tetap mempertahankan hidup hewan uji, yaitu 1% dari total bobot hewan

uji. Pada tikus yang digunakan kali ini, volume darah maksimal yang seharusnya dapat

diambil ialah 1% bobot tikus atau dengan kata lain 0,9885 gram atau 0,9414 ml (  p=1.05).

 Namun, dikarenakan keterbatasan waktu percobaan dan volume minimal untuk replikasi

 percobaan cukup tinggi, maka batas atas maksimal sekali pengambilan darah terpaksa

dilewati.

  Metode pengambilan darah dilakukan dengan menyayat bagian ekor dengan

menggunakan skalpel. Sebelum bagian ekor disayat, dilakukan pembersihan dari bulu-bulu

halus tikus dengan tujuan agar darah tikus tidak tersangkut pada bulu ketika disayat,

melainkan langsung dapat ditampung di dalam eppendorf . Penyayatan ekor dilakukan dengan

melintang mengikuti ruas yang terdapat pada bagian ekor tikus dan tidak secara tegak lurus

Page 31: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 31/41

untuk mencegah ekor tikus putus serta menyebakan darah menjadi tersendat keluar.

Penyayatan dilakukan sedalam setengah hingga dua per tiga tebal ekor dan darah yang keluar 

segera ditampung dengan eppendorf . Apabila darah sulit keluar, dilakukan pemijatan

 perlahan dari pangkal ekor untuk mempercepat pengeluaran darah. Bagian yang disayat ialah

vena lateralis yang keberadaanya dapat diketahui dengan memijat ekor tikus hingga terlihat

 pembuluh darah yang berwarna ungu. Alasan digunakannya vena lateralis adalah pada

 bagian itu merupakan tempat yang paling dekat dengan kulit sehingga pengambilannya dapat

mencegah kematian. Apabila darah sudah membeku dan tidak keluar lagi, maka dapat

dilakukan penyayatan pada bagian yang lebih atas dari ekor tikus tadi atau dapat pula luka

goresan tadi digores kembali agar luka dapat terbuka kembali dan darah dapat mengalir 

keluar.

Penampungan darah tikus pada eppendorf harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak 

ada darah yang terbuang. Setiap melakukan penampungan beberapa tetes, sebaiknya

eppendorf  ditutup dan dilakukan penggojogan ringan. Hal ini bertujuan untuk meratakan

heparin pada seluruh bagian darah, sehingga tidak ada darah yang terkoagulasi. Jika darah

mengalami koagulasi, maka pada proses sentrifugasi akan diperoleh supernatan berupa serum

sedangkan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan adalah plasma darah sebagai cairan hayati.

Plasma darah dibutuhkan karena nantinya sulfametoksazol akan berikatan dengan

 protein plasma dan membentuk kompleks obat makromolekul yang disebut kompleks

 protein-obat. Kompleks protein-obat bersifat tidak aktif sehingga tidak lagi dapat dibaca

melalui absorbansi. Protein yang berperan dalam pengikatan obat di plasma darah antara lain

ialah albumin dan globulin. Albumin bertangggung jawab terhadap ikatan obat, sedangkan

globulin merupakan bagian terkecil dari keseluruhan protein plasma. Obat akan berikatan

dengan protein plasma jika plasma darah memebentuk suatu agregat besar. Oleh karena itu,

digunakan plasma darah yang tidak terkoagulasi.

Kelompok praktikan melakukan penyayatan sebanyak dua kali dikarenakan pada

lokasi pertama telah terjadi penjedalan yang tebal serta berkurangnya volume darah yang

dapat diambil secara drastis, sehingga tidak memungkinkan lagi pengambilan darah kecuali

dengan pergantian lokasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman dari

 praktikan dalam menyayat hewan uji.

Setelah itu, dibuat larutan baku dengan tujuan agar persamaan regresi linier hubungan

kadar sulfametoksazol dengan absorbansi dapat dihitung sehingga praktikan dapat

menentukan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus. Untuk kurva baku, dibuat masing-

masing seri kadar larutan baku dengan cara mengencerkan larutan sulfametoksazol dengan

kadar 1 mg/ml menggunakan aquadest dengan cara mengambil larutan stok menggunakan

Page 32: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 32/41

mikropipet ataupun pipet volume dengan nilai volume tertentu. Kemudian, larutan stok 

tersebut dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan aquadest hingga didapatkan

konsentrasi yang sesuai, yaitu 25, 50, 100, 200, 400 µg/ml. Untuk blangko digunakan

aquadest dengan tujuan untuk mengkoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk.

Pembuatan larutan stok dilakukan dengan rumus pengenceran yaitu: 

V1.M1=V2.M2

Dimana V1 menunjukan volume sulfametoksazol yang diambil dalam satuan mililiter, serta

nilai V2 menunjukan nilai volume dari labu takar. Lalu, nilai M1 menunjukan nilai kadar 

sulfametoksazol yang tersedia dengan M2 menunjukan konsentrasi yang kita inginkan.

Dengan kadar sulfametoksazol sebesar 25 μg/ml didapatkan volume sulfametoksazol yang

harus diambil sebesar 250 μl. Dengan kadar sebesar 50 μg/ml, didapatkan kadar 

sulfametoksazol yang harus diambil sebesar 500 μl. Berikutnya dengan kadar 100 μg/ml,

didapatkan kadar yang harus diambil sebesar 1000 μl. Lalu dengan kadar sebesar 200 μg/ml,

didapatkan jumlah volume sebesar 2000 μl. Serta yang terakhir dengan kadar sebesar 

400mg/mL, didapatkan volume 4000 μl yang harus diambil.

Lalu, dilakukan pembuatan kurva baku internal menggunakan darah pada sampel bukan

aquadest. Caranya adalah menggunakan blanko (250 µl) yang mengandung koagulan dan

ditambahkan 250 µl larutan stok sulfametoksazol sehingga kadarnya 0, 25, 50, 200, dan 400

µg/ml darah, setelah itu dicampur homogen dengan metode vortexing . Vortexing  sendiri,

adalah sebuah metode pencampuran dengan prinsip pemutaran aliran fluida secara turbulen

sehingga seluruh bagian dapat tercampur homogen. Vortexing  dilakukan menggunakan

vortex mixer atau seringkali juga dapat disebut vortexer . Prinsip kerja vortexer  ialah ketika

tabung reaksi diletakkan pada bagian karet yang berosilasi dengan cepat , perputaran dari

 bagian karet tersebut akan berpindah ke dalam cairan di dalam tabung sehingga pada cairan

terbentuk vortex.

Berikutnya adalah pemrosesan sampel darah in vivo dengan cara memasukan 250 µl

darah yang mengandung anti koagulan berupa heparin. Maksud penambahan heparin ini

adalah agar darah tidak membeku. Campuran tersebut ditambahkan dengan 250 µl aquadest

dan dihomogenkan. Setelah homogen, ditambahkan dengan 2,0 ml TCA 5% dengan

vortexing . TCA ialah senyawa yang mampu memprespitasi makromolekul seperti protein,

RNA, dan DNA. Pada percobaan kali ini, maksud dari penambahan TCA adalah agar protein

terdenaturasi. Keberadaan protein pada supernatan akan mengganggu proses absorbansi

sehingga perlu didenaturasi. Mekanisme denaturasi protein dilakukan melalui deprotonasi,

yaitu TCA mendenaturasi struktur sekunder dan tersier protein melalui ikatan disulfida yang

merupakan pembentuk kedua struktur tersebut sehingga bagian nonpolar dari protein akan

Page 33: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 33/41

keluar serta protein mengendap. TCA juga berfungsi sebagai donor proton pada reaksi

 berikutnya.

Selain itu, TCA juga berfungi sebagai pemberi suasana asam sehingga dapat berperan

dalam menghentikan kerja enzim pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi

 protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya.

Pada reaksi diazotasi yang biasa, digunakan HCl (asam klorida) sebagai pemberi

suasana asam. Tetapi pada percobaan ini tidak digunakan HCl karena HCl berefek memecah

 protein menjadi asam aminonya sehingga pada saat sentrifugasi asam amino tersebut tidak 

akan memisah dari plasmanya karena terlalu kecil untuk bisa diendapkan. Asam amino

tertentu memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang akan memberikan serapan pada UV-Vis

sehingga akan mengganggu pembacaan absorbansi. Sedangkan bila digunakan TCA, TCA

akan mengikat protein sehingga protein dapat terdenaturasi dalam suasana asam tanpa

terpecah menjadi fragmen-fragmennya.

Berikut ini adalah proses denaturasi protein oleh TCA:

Page 34: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 34/41

Kemudian, larutan kurva baku internal yang telah dibuat digabung dengan sampel

darah in vivo yang telah di-vortexing, dicampur, dan di- sentrifuge selama 5 menit dengan

kecepatan 2500 rpm. Prinsip sentrifugasi ialah pemisahan suatu campuran dengan basis

 perbedaan bobot jenis. Pada percobaan ini, sentrifugasi dimaksudkan agar terjadi pemisahan

antara padatan dengan cairan, dimana padatan akan terprespitasi di bawah tabung sementara

cairan akan membentuk supernatan. Sentrifugasi juga menyempurnakan dan mempercepat

 pemisahan endapan protein dari supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol

yang tidak ikut mengendap bersama protein. Sulfametoksazol yang berada pada supernatan

merupakan obat bebas yang tidak terikat protein, sedangkan obat yang terikat dengan protein

tidak aktif scara farmakologis dan tidak memberikan efek terapeutik.

Setelah dipusingkan maka diambil beningan sebanyak 1,50 ml dengan menggunakan

mikropipet secara hati-hati agar endapan protein tidak terambil, sehingga didapatkan obat

 bentuk bebas pada sampel. Selanjutnya, beningan tersebut dituang ke dalam tabung reaksi

dan diencerkan dengan aquadest sebanyak 2,0 ml. Lalu, dalam setiap tabung reaksi

ditambahkan larutan NaNO2 0,1% sebanyak sebanyak 0,1 mL dan diamkan selama 3 menit

agar terjadi reaksi secara sempurna. Maksud dari penambahan natrium nitrit adalah agar 

terjadi reaksi diazotasi reaksi diazotasi merupakan reaksi antara amina aromatik primer 

dengan natrium nitrit akan menghasilkan garam diazonium. Kondisi yang paling baik untuk 

reaksi diazotasi pada pH sekitar 0-3. Suhu dalam reaksi diazotasi harus rendah, yaitu <15 0 C

karena garam diazonium mudah terurai menjadi fenol dan nitrogen apabila suhu reaksi terlalu

tinggi. Digunakan natrium nitrit sebab natrium nitrit lebih stabil dibandingkan asam nitrit

yang mudah rusak.

Setelah itu, ditambahkan larutan ammonium sulfamat 0,5% sebanyak 0,2 ml lalu

didiamkan selama 2 menit agar proses reaksi berlangsung dengan sempurna. Maksud dari

 penambahan dari ammonium sulfamat agar sisa nitrit dari reaksi diazotasi dapat ditangkap

oleh ammonium sulfamat. Asam nitrit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi

senyawa hasil reaksi kopling diazo sehingga dapat lepas menjadi gas nitrogen dan fenol. Oleh

karena itu, kelebihan asam nitrit harus dihilangkan. Pada saat penambahan ammonium

sulfamat harus dilakukan secara hati-hati karena akan timbul gelembung gas nitrogen seperti

reaksi berikut:

Page 35: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 35/41

Selanjutnya, ditambahkan N(1-naftil)etilendiamin 0,1% sebanyak 0,2 mL campur baik 

 baik lalu diamkan selama 5 menit ditempat gelap. Dengan waktu 5 menit, diperkirakan

merupakan operating time untuk campuran tersebut dan kemungkinan reaksi kopling sudah

 berjalan dengan sempurna. Operating time merupakan waktu yang menunjukkan nilai

absorbansi yang konstan terhadap larutan yang dianalisis. Hal ini perlu dilakukan karena pada

 percobaan ini terjadi suatu reaksi kopling dengan penambahan NED pada suatu senyawa

 berupa garam diazonium hasil reaksi diazotasi. Reaksi tersebut memerlukan waktu hingga

terbentuk senyawa kopling yang stabil yang ditunjukkan dengan diperolehnya nilai atau

angka yang konstan pada beberapa kali pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer. N(1-

naftil)etilendiamin sebagai pengkopling lebih disukai untuk analisis kuantitatif karena produk 

 biasnya berupa larutan dalm air dan punya absorbansi yang tinggi. N(1-naftil)etilendiamin

 bekerja dalam suasana asam.

Setelah itu, larutan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 545 nm

menggunakan spektrofotometer  visible terhadap blanko pereaksi yang telah dibuat.

Digunakan panjang gelombang 545 nm karena merupakan panjang gelombang maksimum

untuk senyawa yang terbentuk. Pada panjang gelombang maksimum absorbansi yang

dihasilkan maksimal dan kesalahan pembacaan paling kecil. Hal ini disebabkan karena pada

 panjang gelombang maksimal terdapat keseimbangan antara energi yang dibutuhkan untuk 

eksitasi dengan energi yang diberikan untuk eksitasi. Absortivitas molar akan berkurang bila

dalam larutan terdapat garam dengan konsentrasi tinggi dan hukum  Lamber-Beer  tidak 

terpenuhi bila larutan terlalu pekat. Sehingga sebelum dilakukan pengkuran absorbansi, harus

terlebih dahulu dipersiapkan kurva baku sampel sebagai kalibrasi. Manfaatnya, praktikan

dapat mengetahui kisaran absorbansi untuk sampel agar masuk dalam kisaran kurva baku.

Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung kadar terukur 

obat dalam sampel, lalu dihitung beberapa paranmeter fisika:

1. Efisiensi

 Recovery merupakan tolak ukur efisiensi analisis. Analisis memenuhi syarat jika

recovery  berkisar antara 75-90%. Jika diluar rentang kadar tersebut maka

 percobaan dianggap kurang efisien.

2. Akurasi

Akurasi dianggap baik jika kesalahan sistematik tidak lebih dari 10%. Harga

kesalahan sistematik menunjukan kemampuan metode ini memberikan hasil

 pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya.

3. Presisi

Page 36: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 36/41

Presisi dianggap baik jika kesalahan acak tidak lebih dari 10%. Ketepatan

menunjukan hasil pengukuran yang berulang pada sediaan hayati yang sama.

Setelah dilakukan pembacaan, didapatkan data berupa nilai absorbansi. Pada percobaan

ini, didapat nilai absorbansi untuk kadar 20, 50, 100, 200, dan 400 μg/ml  berturut-turut

sebesar 0,006; 0,000; 0,036; 0,104; dan 0,211. Namun, nilai absorbansi untuk kadar 50 μg/ml

terpaksa ditolak dari perhitungan sebab berupa pencilan dan tidak memenuhi teori yang

 berlaku. Hal ini mungkin disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam pembuatan larutan stok 

50 μg/ml. Data yang diperoleh kemudian dilakukan regresi linier, dimana kadar 

sulfametoksazol sebagai nilai X dan absorbansi yang diperoleh sebagai nilai Y, sehingga

didapatkan persamaan kurva baku, yaitu y = 5,5850 . 10-4 x – 0.0120.

Lalu, dari data validasi percobaan didapatkan nilai absorbansi untuk kadar 50 μg/ml

dengan 2 kali replikasi sebesar 0,104; 0,104; dan 0,100. Kemudian, nilai absorbansi tersebut

dimasukan ke dalam persamaan kurva baku sehingga didapat nilai 207,6992 μg/ml untuk 

nilai absorban pertama sebesar 0,104. Nilai kadar kedua memiliki nilai absorbansi yang sama,

sehingga nilai kadarnya pun sama. Kemudian, pada nilai absorbansi ketiga (0,100)

didapatkan kadar sebesar 200,5372 μg/ml. Sehingga didapat nilai kadar rata rata sebesar 

205,3119 µg/ml dan nilai SD (standar deviasi) didapatkan 4,1350.

Setelah itu dicari nilai CV dengan memasukkan rumus :

Sehingga didapat angka 2,0140 %. Kesalahan acak yang ditunjukkan dengan besarnya nilai

koefisien variansi (CV) merupakan suatu parameter presisi atau ketepatan pengukuran yang

menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran secara berulang pada cuplikan hayati yang

sama.

Kemudian dilakukan perhitungan recovery (perolehan kembali) dengan rumus :

 Recovery =

Dimana nilai kadar diketahui sebesar 50 μg/ml dan nilai kadar terukur merupakan besar dari

kadar yang kita dapat berdasarkan data validasi dalam percobaan yaitu besar nilai X.

Page 37: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 37/41

 Recovery (perolehan kembali) merupakan parameter efisiensi dari suatu metode analisis.

 Nilai recovery yang dipersyaratkan adalah 75–90%. Dengan kadar terukur 

didapat nilai recovery sebesar 415,3384 %. Lalu dengan nilai kadar terukur sebesar 

didapat nilai recovery sebesar 401,0744 %. Sehingga rata rata dari nilai

recovery sebesar 410,5837%. Berikutnya dilakukan perhitungan kesalahan sistematik dengan

rumus :

 Kesalahan Sistematik = 100% - Recovery

Kesalahan sistematik merupakan parameter akurasi dari suatu penetapan kadar. Harga

ini menunjukkan kemampuan metode analisis untuk memberikan hasil pengukuran yang

sesuai dengan nilai aslinya. Nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari

10%. Pada nilai recovery 415,3384% didapatkan nilai kesalahan sistematik -315,3384%.

Pada nilai recovery 410,0744% didapatkan nilai kesalahan sistematik sebesar -310,0744%

sehingga didapatkan nilai rata rata kesalahan sistematik sebesar -313,5837%.

Dengan cara yang sama juga dilakukan pada kadar sebesar 300 µg/ml yang

mendapatkan angka absorbansi sebesar 0,182 ; 0,200 ; dan 0,198. Pada nilai absorbansi

sebesar 0,182 didapatkan nilai x sebesar 347,3590 µg/ml. Lalu pada absorbansi 0,200

didapatkan nilai x sebesar 379,5882 µg/ml, serta yang terakhir pada nilai absorbansi 0,198

µg/ml didapatkan nilai x sebesar 376,0072 µg/ml. Setelah itu dirata-rata dan didapatkan nilai

rata rata sebesar 367,6515 µg/ml dengan nilai SD sebesar 17,9177. Kemudian, dicari

 besarnya nilai CV sehingga didapat 4,8736% dan dicari nilai recovery sehingga didapat nilai

 berturut turut 115,7863 % ; 126,5294 % ; dan 125,3357 % dengan rata rata recovery

122,5505 %. Setelah mendapat nilai recovery, maka dihitung besarnya kesalahan sistematik 

sehingga didapat nilai kesalahan sistematik secara berturut-turut -15,7863% ; -26,5294 % ;

dan -25,3357%. Dengan rata rata kesalahan sistematik sebesar -22,5505%.

 Nilai X yang didapatkan begitu besar sehingga berimbas kepada nilai recovery serta

nilai kesalahan sistematik. Nilai recovery didapat jauh diatas nilai recovery yang ideal yaitu

sebesar 75-90%. Sedangkan pada kesalahan sistematik memang nilainya di bawah 10%namun besarnya nilai pun kurang rasional yaitu mencapai minus ratusan. Sehingga dapat

Page 38: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 38/41

disimpulkan bahwa metode percobaan yang digunakan memiliki tingkat ketepatan yang

tinggi tetapi juga dianggap kurang efisian dan kurang akurat.

Selanjutnya dilakukan analisis data pada hasil percobaan dari sampel in vivo.

Kelompok praktikan, kelompok B, melakukan percobaan dengan replikasi sebanyak empat

kali sehingga didapatkan nilai seperti berikut:

Replikasi Absorbansi (y) Kadar (X)

1 0,118 232,7663

2 0,102 204,1182

3 0,107 213,0707

4 0,122 239,9284

5 0,132 257,8335

Berdasarkan nilai percobaan, didapatkan nilai recovery berturut-turut sebesar 

dengan purata sebesar 

38,5597 % sehingga didapat kesalahan sistematik sebesar 61,4403 %. Hal ini menunjukan

tingkat akurasi sampel yang rendah karena memiliki nilai kesalahan sistematik jauh di atas

ideal. Sementara itu, didapat nilai kesalahan acak sebesar 4,7164 % dan nilai ini cukup baik 

karena menunjukan tingkat presisi yang tinggi.

Tidak tepatnya hasil dalam percobaan ini kemungkinan disebabkan oleh

kekurangtelitian praktikan dalam pembuatan larutan stok maupun larutan baku, kesalahan

 pembacaan absorbansi akibat ketidaktepatan penjelasan asisten praktikum kepada praktikan,

kurangnya pengalaman praktikan, dan alat yang digunakan (spektrofotometer) yang kurang

akurat serta perlu perbaikan sehingga nilai yang diperoleh kurang tepat.

VI. KESIMPULAN

1. Analisis obat dalam cairan hayati dapat diukur dengan parameter farmakokinetika.

2. Metode yang digunakan pada analisis obat dalam cairan hayati adalah metode

Bratton-Marshall.

3. Obat yang dianalisis pada percobaan ini adalah sulfadiazin dan cairan hayati yang

digunakan adalah darah tikus.

Page 39: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 39/41

4. Parameter yang digunakan dalam percobaan ini adalah recovery, kesalahan sistemik,

dan kesalahan acak.

5. Pada percobaan ini didapat nilai recovery sebesar 

dengan purata

sebesar 38,5597 %, sehingga didapat kesalahan sistematik sebesar 61,4403 % serta

nilai kesalahan acak sebesar 4,7164 %.

6. Dengan memperhatikan harga parameter yang didapat, hasil analisis dan metode

kurang baik karena sensitivitas dan akurasi yang rendah.

7. Hasil yang kurang memuaskan bisa disebabkan oleh kurangnya pengalaman dari

 praktikan dan alat yang kurang tepat.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Anonim, 2012,  Heparin, http://en.wikipedia.org/wiki/Heparin, diakses pada Senin, 6 Mei

2013 pukul 19.40 WIB.

Anonim, 2012, Sulfamethoxazole, http://en.wikipedia.org/wiki/Sulfamethoxazole, diakses

 pada Senin, 6 Mei 2013 pukul 19.59 WIB.

Katzung, Betram. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: ECG.

 Neal, M.J. 2006. At a Glance Medical Pharmacology Edisi V. Jakarta: Erlangga.

Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ritschel, W. A. 1976.  Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st Edition. USA: Drug

Inteligence Publication Inc.

Shargel, Leon. 1988.  Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga

University Press.

Siswandono. 2000. Kimia Medisinal . Surabaya: Airlangga University Press.

Smith, R & Steavary. 1981. Text Book of Biopharmaceutics Analysis A Description of 

 Methods for The Determination of Drug in Biological Fluid . Philadelphia: Les &

Febiger.

Page 40: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 40/41

Sudjadi. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waldon, D.J. 2008.  Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge: Amgen, Inc.,

One Kendall Square.

Windholtz, Marta. 1976. The Merck Index An Encyclopedia of Chemicals and Drugs.

USA: Merck & Co, Inc.

Yogyakarta, 6 Mei 2013

Mengetahui, Praktikan,

Page 41: Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

7/16/2019 Farmakologi Eksperimental : Analisis Obat dalam Cairan Hayati

http://slidepdf.com/reader/full/farmakologi-eksperimental-analisis-obat-dalam-cairan-hayati 41/41

Asisten Koreksi Febri Wulandari FA/09284 ……..

Anggita Tyaswuri FA/09305 ……..

 Naisbitt Iman Hanif FA/09308 ……..

Candra Kirana M. FA/09311 ……..

Lusy Andriani FA/09314 ……..