fakultas syari’ah dan hukum -...
TRANSCRIPT
WEWENANG BAITUL MAL WA TAMWIL DALAM MENGELOLA ZAKAT
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMER 23 TAHUN 2011 TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
HUMAEDULLAH IRFAN
NIM : 109046100158
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ABSTRAK
Masalah pokok penelitian ini adalah analisis terhadap kewenangan Baitul Mal Wa
Tamwil dalam melakukan pengelolaan zakat berdasarkan perubahan UU Pengelolaan Zakat
kedalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal Wa Tamwil dan
kewenangan secara kelembagaannya sudah sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis data dalam penelitian ini terdiri
atas 2 (dua) sumber, yakni data primer yang terdiri atas regulasi pemerintah Republik
Indonesia yang terkait dengan Pengelolaan Zakat serta wawancara yang dilakukan terhadap
Baitul Mal Wa Tamwil, dan data sekunder diperoleh melalui, artikel, jurnal ilmiah, laporan
penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan. Metode analisis data
dilakukan dengan metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa menurut UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat, Baitul Mal Wa Tamwil tidak memiliki kewenangan dalam melakukan
pengelolaan zakat yang diakibatkan bentuk badan hukum Baitul Mal wa Tamwil dan kegiatan
usaha yang dilakukan oleh Baitul Mal Wa Tamwil yang cenderung profit oriented.
Kata Kunci : Baitul Mal Wa Tamwil, Pengelolaan Zakat, Undang-Undang
Pembimbing : Muh. Fudhail Rahman, Lc, MA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Wewenang Baitul Mal Wa
Tamwil dalam Mengelola Zakat Berdasarkan Undang-undang Nomer 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat”.
Shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membawa umat dari zaman jahiliyah sampai ke zaman yang terang benderang dan penuh
khazanah keilmuan saat sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bisa terselesaikan berkat do’a, dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar M.A.
2. Ketua Program Studi Mu’amalat, Bapak A.M Hasan Ali, MA., yang telah
memberikan ilmunya.
3. Sekretaris Jurusan Perbankan Syari’ah, Bapak Abdurrauf, M.A., yang telah
memberikan ilmu, informasi dan membimbing penulis selama kuliah.
4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Muh. Fudhail Rahman, Lc, MA yang telah
memberikan ilmu, motivasi, saran dan dengan sabar membimbing penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
5. Manajer Mal BMT Al Fath Ikmi, Bapak H. Turmudzi dan Bapak H. Ika Furqon Hadi
Manajer BMT Usaha Mulya Pondok Indah yang telah bersedia untuk diwawancara
dan berbagi ilmunya. Sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.
6. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syari’ah dan Hulum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya selama
ini.
7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum yang
telah menyediakan buku-buku yang diperlukan penulis hingga terselesaikannya
skripsi ini.
8. Ayahanda Tasma Sutisna dan Ibunda Siti Marfuah yang senantiasa mencurahkan
kasih sayang, do’a, dukungan, bimbingan dan kesabaran bagi anak-anaknya, Siti
Juleha dan Ismawati serta jajaran keluarga besar yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu dimana selalu memberikan semangat moral dan material kepada penulis.
9. Sahabat Seperjuangan di HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, Bang Asep
Sholahuddin, Ismail Fadillah, Abiyudin, Irpan Pasaribu, Abdurrahman BL, Abdul
Halim Mardhia, Fariz Abdul Rohman, Mat Rois, Zaki Al Pajri, Husnul Qori, Sopian
Hadi Piterpan, Ahmad Fatoni Murdonda, Ade Septiawan Cipuy, Alfrad Rusyd dan
yang lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu), dan kawan-kawan alumni
Ponpes Daar El Qolam Ahmad Cikal Renjana, Noval Al Fares, Ihda Siti Nuraida
yang sudah memberikan sejarah terindah dalam kehidupan sampai saat ini.
10. Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, HMI Cabang Ciputat periode 2013-2014,
LKBHMI teman-teman PS E 2009 dan seluruh teman-teman di UIN Syarif
Hidayatullah yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas
dukungan dan bantuan kalian.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas semua pihak yang turut
berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua
kalangan masyarakat dan para akademisi.Tak lupa penulis mengucapkan mohon maaf, penulis
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena berbagai keterbatasan
dan kemampuan penulis, baik kemampuan akademik maupun kemampuan teknik penulisan.
Ciputat. 17 Juni 2016
Humaedullah Irfan
IX
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING II
LEMBAR PENGESAHAN III
LEMBAR PERNYATAAN IV
ABSTRAK V
KATA PENGANTAR VI
DAFTAR ISI IX
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR XI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………… 1
B. Pokok Permasalahan………………………………………... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………… 6
D. Metode Penelitian…………………………………………... 7
E. Kajian Pustaka Terdahulu…………………………………...
F. Kerangka Teori dan Pemikiran……………………………...
G. Sistematika Penulisan……………………………………….
8
10
13
BAB II LANDASAN TEORI PENGELOLAAN ZAKAT DAN BAITUL
MAL WA TAMWIL
A. Pengelolaan Zakat…………………………………………... 14
B. Pengaturan Pengelolaan Zakat Dalam Sistem Hukum di
Indonesia ……………………………………………………
26
C. Teori Tentang Baitul Mal Wa Tamwil……………………… 30
X
BAB III PROFIL DAN PRODUK BMT AL-FATH DAN BMT USAHA
MULYA
A. Profil dan Produk BMT Al-Fath Ciputat…………………… 40
B. Profil dan Produk BMT Usaha Mulya………………………
44
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN TERKAIT KEWENANGAN
BAITUL MAL WA TAMWIL DALAM MELAKUKAN
PENGELOLAAN ZAKAT
A. Gambaran Umum Aplikasi Zakat Pada Baitul Mal Wa
Tamwil………………………………………………………
50
B. Analisa Hasil Temuan……………………………………….
55
BAB V Penutup
A. Kesimpulan………………………………………………. 71
B. Saran-Saran ………………………………………………. 72
Daftar Pustaka……………………………………………… 73
Lampiran……………………………………………………
XI
Daftar Tabel
2.1 Perhitungan Zakat Pada Hasil Peternakan Kambing/Biri-biri………………….. 23
2.2 Perhitungan Zakat Pada Hasil Peternakan Sapi/Kerbau………………………… 23
4.1. Profil dan Pengelolaan Zakat oleh BMT Al Fath dan BMT Usaha Mulya……... 55
Daftar Gambar
1.1. Kerangka Pemikiran…………………………………………………………… 12
2.1. Srruktur Organisasi BMT……………………………………………………… 36
3.1. Struktur Organisasi BMT Usaha Mulya Pondok Indah……………………….. 46
4.1. Penjelasan Rumusan Pasal 1 Butir 1 Undang-undang Pengelolaan Zakat…….. 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ajaran yang membawa pengaruh di seluruh belahan dunia adalah
konsep zakat yang merupakan bagian rukun Islam yang merupakan kewajiban umat
muslim. Konsep zakat dalam Islam sendiri pertama kali hadir pada Bulan Syawal Tahun
2 Hijriah (tahun 663 Masehi).1 Hal tersebut jauh lebih dahulu ketimbang konsep zakat
modern yang lahir di Inggris pada Abad ke-11 Masehi.
Zakat merupakan ibadah yang mengandung 2 (dua) dimensi, yakni dimensi
vertical atau hablum minallah dan dimensi horizontal atau hablum minannas.2 Selain
bernilai ibadah dan memenuhi perintah Allah SWT, zakat juga memiliki manfaat dan
nilai ekonomis bagi masyarakat, dimana zakat berfungsi sebagai salah satu instrumen
pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang
terjadi antara kelompok kaya dan miskin.
Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (Negara)
dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Dengan adanya berbagai implikasi sosial
dan ekonomi diatas, zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kukuh serta
memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat diperlukan
bagi kelangsungan hidup suatu Negara.3
Secara sosiologis, terdapat 3 (tiga) jenis lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat, yakni Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga amil Zakat (LAZ) dan Baitul Mal wa
Tamwil (BMT). BAZ sendiri adalah lembaga yang secara structural berada dibawah
pemerintah dalam melakukan pengelolaan zakat. LAZ adalah organisasi nirlaba
(yayasan) yang melakukan pengelolaan zakat. Sedangkan BMT adalah lembaga
pengelola zakat yang berbentuk koperasi dan menjalanan dua jenis usaha sebagai baitul
mal dan baitul tamwil.4
1 Nurul Hudan dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2013), h. 294 2 ACH. Syaful Hidayat, Analisis Tatakelola dan Distribusi Zakat Lembaga Zakat, Infaq dan Sodaqoh
(LAZIS) Di Malang, Universitas Muhammadiah Malang, diakses melalui www. Keos.umm.ac.id, pada 9 Mei
2016 3 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Kencana, 2010) h. 293. 4 Rifki Muhammad, Akuntabilitas Keuangan Pada Organisasi Pengelola Zakat di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jurnal Akutansi dan Investasi, Volume. 7, No. 1 (Januari 2006), hal. 43
2
Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai
lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil yang berlandaskan Islam.
Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak
terjangkau oleh pelayanan Bank Islam.5
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Terpadu, merupakan lembaga
keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-
tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan sistem ekonomi yang salaam:
Keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.6
Dengan usaha yang berbasis dan sangat terkait dengan usaha kecil dan menengah,
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) memegang peranan yang amat vital dalam rangka
pemerataan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipelopori usaha mikro. Tercatat
mayoritas pelaku usaha di Indonesia (98,85%) adalah pelaku usaha mikro yang termasuk
didalamnya dari kalangan miskin. Keterbatasan laba dan akses untuk meningkatkan
modal usaha menjadi salah satu masalah dalam pengembangan usaha mikro.7
Dapat dibayangkan manakala potensi zakat di Indonesia dioptimalkan dalam
upaya mewujudkan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui Baitul Mal wa Tamwil
(BMT) maka Indonesia dapat diprediksi akan menjadi Negara yang berdaya secara
ekonomi dengan tetap mendapat keberkahan berdasarkan sistem ekonomi yang salaam.
Sekedar gambaran bahwa potensi zakat di Indonesia berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis (FEB) IPB tahun 2011 menunjukkan potensi zakat nasional mencapai angka 3,4
persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan presentase ini, maka potensi zakat di Indonesia setiap tahunnya tidak
kurang dari Rp 217 triliun. Hal tersebut tentunya akan menjadi masukan besar dalam
upaya pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Sehingga profesionalisme pengelolaan
zakat menjadi suatu hal yang mutlak tidak hanya sebagai bentuk pemenuhan kewajiban
kepada Allah SWT tetapi juga untuk kemandirian bangsa.
5 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis.h,263.
6 M. Nur Rianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Jakarta: Pustaka
Setia, 2012), hal. 317 7 Pristiyanto. Et all, Strategi Pengembangan Koperasi Jasa Pembiayaan Syariah Dalam Pembiayaan Usaha
Mikro di Kecamatan Tanjung Sari Sumedang, Jurnal Manajemen IKM, Volume 8, No. 1 (Februari 2013), hal.
28
3
Konsep Baitul Mal wa Tamwil sendiri menyerupai konsep koperasi yang
sebelumnya ada di Indonesia yang pada tujuan utamanya tidak berorientasikan kepada
profit melainkan kesejahteraan anggotanya. Cikal bakal berdirinya BMT diprakarsai oleh
aktivis Masjid Salman ITB Bandung yang pada tahun 1980 mendirikan koperasi jasa
keahlian dan kemudian berkembang menjadi Baitul Mal wa Tamwil pada Tahun 1984.8
Kemudian pada perkembangannya pada tahun 1992 dibentuk pula BMT Bina Insan
Kamil di Jakarta yang turut mendorong pendirian lembaga serupa di seluruh Indonesia.
Menurut Bapak Marwan (pegawai BMT Al-Fath, Ciputat), pertumbuhan Baitul
Mal wa Tamwil di Indonesia dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang. Yang pertama
merupakan bentuk kepedulian masyarakat akan pentingnya menjalankan ekonomi yang
sesuai dengan perintah Al-Qur‟an dan Sunnah. Yang kedua adalah sebagai upaya
memaksimalkan daya guna zakat sehingga dapat memberdayakan golongan mustahik
(penerima zakat).
Upaya tersebut dimaksudkan agar mustahik yang menerima zakat tidak
mengalami ketergantungan terhadap dana zakat serta diharapkan dapat menjadi muzakki
(pemberi zakat) dimasa yang akan datang. Bila diibaratkan upaya ini mirip seperti
dengan pepatah “lebih baik memberi kail ketimbang memberi ikan”.
Dalam menjalankan usahanya, BMT tunduk pada 2 (dua) regulasi yang berlaku di
Indonesia, yakni regulasi terkait koperasi dalam kaitannya dengan Baitul Tamwil dan
regulasi yang terkait dengan pengelolaan zakat dalam hal Baitul Mal. Akibatnya dalam
hal pengawasan dan pembinaan, BMT diawasi dan mendapatkan pembinaan dari banyak
lembaga Negara, baik oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(pemerintah daerah) dan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal kelembagaan dan usaha
koperasi serta Kementerian Agama (BAZNAS) dalam hal pengelolaan zakat.
Hal ini disebabkan oleh dibentuknya beberapa regulasi terkait, yakni Peraturan
Menteri KUKM Nomor. 16/Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi, UU Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro dan UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Peraturan mengenai pengelolaan zakat telah diatur sejak 1968 melalui Peraturan
Menteri Agama Nomor 4 Tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, dan Nomor 5/1968
tentang Pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) ditingkat pusat, propinsi dan
Kabupaten/Kotamadya.
8 https://id.wikipedia.org/wiki/Baitul_Maal_wa_Tamwil diakses pada tanggal 4 April 2016
4
Memasuki era reformasi telah memberikan peluang baru kepada Umat Islam,
yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana RUU Pengelolaan Zakat
yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Hingga pada tahun 1999 Undang-undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diubah dengan UU
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengolahan Zakat. Dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengolahan Zakat disebutkan bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia
dapat berupa Badan Amil Zakat yang dikelola oleh Pemerintah serta dapat berupa
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh Swasta.9
Pengaturan ini justru membawa kontroversi dan digugat melalui mekanisme
Judicial Review10
di Mahkamah Konstitusi terkait 3 (tiga) permasalahan. pertama, terkait
masalah sentralisasi dalam pengelolaan zakat dimana pasal 6 dan pasal 17 UU zakat
yang menyatakan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan pengelola zakat
yang ditunjuk oleh undang-undang, sementara posisi Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk
membantu Baznaz.
Kedua, terkait pembatasan pembentukan LAZ dimana pasal 18 ayat 2 UU zakat
menyatakan LAZ hanya bisa berdiri diatas badan hukum organisasi kemasyarakatan
(Ormas). Sementara banyak LAZ yang telah lama berdiri melalui badan hukum diluar
ormas.
Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola) zakat dimana pasal 38 UU
zakat menyatakan hanya pihak yang mendapat izin dari pejabat berwenang yang dapat
mengelola zakat. Padahal kenyataannya banyak pengelola zakat didalam institusi
keIslaman seperti musholla dan masjid.
Hal tersebut kemudian dicurigai sebagai bentuk upaya monopoli pemerintah
dalam pengelolaan zakat yang kemudian rentan akan penyimpangan karena
mengkerdilkan peran serta masyarakat. Karena meskipun pemerintah merupakan pihak
yang berwenang dalam pengelolaan zakat, tetapi peran serta masyarakat juga sangat
dibutuhkan utamanya dalam hal memaksimalkan pengelolaan zakat yang lebih efektif
dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat bawah.
Yang kemudian memunculkan permasalahan adalah legitimasi dan kewenangan
Baitul Mal wa Tamwil dalam melakukan pengelolaan zakat, baik secara nasional ataupun
lokal, karena UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat hanya mengenal
9 M. Nurianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), h.317. 10
Judicial Review adalah pengujian terhadap suatu norma hukum (Undang-undang) yang terdiri dari
pengujian baik dalam hal materi muatannya (materiil) ataupun pembentukannya (formil)
5
Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan UPZ (Unit
Pengumpul Zakat) yang diberikan kewenangan dalam mengelola dan mengumpulkan
zakat.11
Atas permasalahan tersebut, penulis merasa perlu untuk mencoba memberikan
pemaparan lebih lanjut guna memperjelas posisi Baitul Mal wa Tamwil dalam
pengelolaan zakat. Untuk itu, penulis mencoba menuangkannya dalam skripsi yang
berjudul: “WEWENANG BAITUL MAL WA TAMWIL DALAM PENGELOLAAN
ZAKAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT”
B. Pokok Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana kedudukan dan peran BMT terhadap undang-undang nomor 23 tahun
2011 tentang pengelolaan zakat.
b. Tinjauan undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan
lembaga yang berhak mengatur pengelolaan dan pendistribusiannya.
c. Macam-macam organisasi pengelolaan zakat.
d. Manajemen pengelolaan dan pelaporan zakat
e. Persyaratan pendirian lembaga amil zakat yang sah ditinjau dari undang-undang
nomor 23 tahun 2011
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan kemampuan penulis dalam
mengidentifikasi masalah, maka dalam penelitian ini akan dilakukan pembatasan
masalah sebagai berikut:
a. Difokuskan untuk mengetahui kewenangan pengelolaan zakat oleh Baitul Mal wa
Tamwil
b. Baitul Mal wa Tamwil yang akan dianalisa merupakan Baitul Mal wa Tamwil
yang berkedudukan di wilayah Hukum di Indonesia dan tunduk kepada UU No.
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
c. Praktek pengelolaan dana zakat oleh Baitul Mal Wa Tamwil yang berlangsung
setelah tahun 2011 atau pasca berlakunya UU No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
11
Undang-undang Nomer 23 Tahun 2011.
6
3. Perumusan masalah
a. Bagaimana praktik pengelolaan zakat pada Baitul Mal wa Tamwil di BMT Al-
Fath dan BMT Usaha Mulya?
b. Apakah kewenangan pengelolaan zakat di Baitul Mal wa Tamwil sudah sesuai
dengan Undang-undang Nomer 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah:
a. Memetakan lembaga-lembaga yang sah dan berwenang dalam mengelola zakat.
b. Apakah Baitul Mal wa Tamwil yang sudah mengelola zakat secara professional
dapat menyesuaikan diri dengan undang-undang pengelolaan zakat yang telah
diberlakukan.
c. Untuk mengetahui bagaimana mendaftarkan lembaga pengelola zakat yang baik
dan benar ditinjau dari Undang-undang Nomer 23 Tahun 2011.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagi penulis
Sebagai syarat dari tugas akhir menyelesaikan jenjang S1 serta menambah
wawasan dan pengetahuan dari apa yang telah didapat dibangku kuliah.
b. Bagi Baitul Mal wa Tamwil
Diharapkan dapat menyempurnakan administrasi pengelolaan dan pelaporan
dana zakat di Indonesia, sehingga mampu menjadi garda terdepan lembaga
pengelola zakat. Serta mampu mewujudkan penyaluran dana zakat kearah
produktif dalam rangka mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
c. Bagi pembaca dan dunia pustaka
Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya, sehingga dapat memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang
Baitul Mal wa Tamwil serta Pengelolaan Zakat pasca diberlakukannya Undang-
undang pengelolaan Zakat. Dan dapat digunakan sebagai sumbangan yang
berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karya-karya penelitian
lapangan.
7
D. Metode penelitian
1. Jenis penelitian
Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.12
Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Kualitatif,
yang bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran secara sistematis, factual,
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta yang berkenaan dengan hubungan antar
fenomena yang diteliti. Maka penulis akan mencari gambaran tentang undang-
undang pengelolaan zakat dengan melakukan penelitian terhadap kepustakaan yang
berkaitan dengan operasional Baitul Mal wa Tamwil secara lembaga. Literature
tentang zakat dan landasan hukum yang mengatur pengelolaan serta distribusinya.
2. Jenis data
Pengumpulan data dilakukan melalui 2 (dua) cara yakni penelitian lapangan
dan studi dokumentasi. Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan
wawancara kepada pengelola BMT Al Fath yang berlokasi di Ciputat dan BMT
Usaha Mulya yang berlokasi di Pondok Indah.
Sedangkan studi dokumentasi dengan penelitian kepustakaan, yakni
penelitian terhadap dokumen-dokumen atau referensi dari berbagai literature yang
dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau
saksi utama dari kejadian yang lalu, dalam hal ini adalah Undang-undang Nomer 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang Nomer 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat. Data sekunder adalah data primer yang diperoleh dari
pihak lain atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh
pengumpul data primer atau pihak lain.13
Data Sekunder diambil dari buku-buku,
jurnal, internet, data penelitian terdahulu dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas oleh penulis.
12
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.13. 13
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002), h. 54.
8
3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganalisis
data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, serta
analisis hukum yang bersifat yuridis normatif, yaitu analisis hukum yang merujuk
pada undang-undang pengelolaan zakat.
E. Kajian Pustaka Terdahulu
NO NAMA PENULIS/JUDUL
SKRIPSI/TAHUN
ISI PEMBEDA
1 Maulana Ibrahim/distribusi
Zakat dalam Perspektif UU
No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat/2009
Membahas tentang
distribusi zakat di
Lembaga Amil Zakat
(LAZ) Masjid At-Tin
Jakarta Timur.
Meneliti apakah LAZ
tersebut telah
mendistribusikan dana
zakat yang diperoleh
untuk usaha produktif
sesuai dengan UU
No.38 tahun 1999
Pasal 16 Ayat 2.
Dalam Skripsi ini
peneliti akan
membahas tentang
wewenang lembaga
Baitul Mal wa
Tamwil dalam
mengelola dana
zakat menurut
undang-undang
zakat terbaru.
2 Putri Syahidah/Aspek Regulasi
Baitul Mal wa Tamwil (Studi
Kasus pada BMT Al-Fath
IKMI, LKMS Al-amin, BMT
Al-Kariim)/2010
Dalam skripsi ini
dibahas bahwa UU
yang dijadikan acuan
bagi BMT yaitu UU
No. 2 Tahun 1992
tentang perkoperasian
dan Keputusan
Menteri Negara
Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah
No.
Membahas poisisi
kelembagaan BMT
sebagai pengelola
dana zakat dan
legitimasi
kewenangannya
dalam mengelola
dana zakat
9
91/Kep/M.KUKM/IX/
2004 tentang petunjuk
pelaksanaan kegiatan
usaha koperasi jasa
keuangan syariah
dinilai masih memiliki
banyak kekurangan
dalam mengatur
keberadaan BMT
yang berkembang di
masyarakat.
Dijelaskan bahwa
undang-undang yang
ada saat ini tidak
sepenuhnya dijalankan
oleh BMT, salah
satunya adalah
pendaftaran lembaga
pengelola zakat ke
BAZNAS.
3 M. sularno/Pengelolaan Zakat
oleh Badan Amil Zakat Daerah
Kabupaten/Kota Sedaerah
Istimewa Yogyakarta(Studi
Terhadap Implementasi
Undang-undang No. 38 Tahun
1999 Tentang Pengelolaan
Zakat)/2010
99% Responden
Menjawab bahwa
Undang-undang No.
38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat dan
Keputusan Menteri
Agama RI tentang
Petunjuk Pelaksanaan
atas UU adalah dasar
hukum mereka dalam
pembentukan Bazda.
Artinya sosialisasi UU
zakat dan petunjuk
Sejauh mana
undang-undang no.
23 tahun 2011 dapat
dipahami dan
disebarluaskan
kepada masyarakat
dan lembaga
keuangan syariah.
Dalam hal ini
adalah BMT
mengenai
wewenangnya
dalam mengelola
10
pelaksanaannya
kepada pemerintah
dan pengurus Bazda
cukup berhasil.
zakat setelah
dikeluarkannya UU
No. 23 tahun 2011.
F. Kerangka Teori dan Pemikiran
1. Kerangka Teori
عه أب عبذ الرحمه عبذ اهلل به عمر به الخطاب رض اهلل عنهما قال : سمعت النب صلى اهلل علو وسلم
الإسلام على خمس : شهادة أن لا إلو إ تاء الزكاة ، قىل : بن لا اهلل و أن محمذا رسىل اهلل ، و إقام الصلاة ، و إ
ت ، و صىم رمضان .رواه البخاري و مسلم و حج الب
Artinya: Dari Abu „Abdirrahman „Abdullah bin „Umar bin Al-Khaththab –
radhiyallahu ‘anhuma-, katanya, “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,”Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa
Ramadhan.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)14
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT
sebagai rukun Islam ketiga setelah membaca dua kalimat syahadat dan menunaikan
Shalat. Zakat berasal dari kata Zaka yang berarti “tumbuh dengan subur”. Makna
lain dari kata tersebut sebagaimana yang digambarkan didalam Al-Qur‟an adalah
suci dari dosa, sedangkan didalam kitab-kitab fiqh, perkataan zakat diartikan sebagai
suci, tumbuh dan berkembang serta berkah.15
Bila dirumuskan berdasarkan konsep harta, maka zakat adalah bagian dari
harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-
orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula.16
Secara etimologi, pengertian
zakat adalah sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang
diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya.17
14
Syeikh An Nabhany. 1995, Mukhtashar Riyadhus Shalihin. Edisi Pertama. Diterjemahkan Oleh: M Adib Bisri, (Jakarta: Darul Hikmah), hal 1
15 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1988), hal. 38 16
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1988), hal. 39 17
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2013), hal. 293
11
Para pemikir ekonomi Islam (muamalat) mendefinisikan zakat sebagai harta
yang telah ditetapkan oleh pemerintah (ulil amri) atau pejabat berwenang kepada
masyarakat umum atau individual yang bersifat, final, mengikat, tanpa mendapat
imbalan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik
harta.18
Atas pengertian yang telah dijabarkan di atas, maka diketahui bahwa unsur-
unsur yang melekat pada zakat antara lain:19
a. Zakat adalah kewajiban yang bersifat material, maksud material disini ialah
kewajiban zakat dilakukan secara tunai baik berupa uang ataupun barang.
Maksud dari uang atau barang di atas ialah dikembalikan kepada perintah yang
disampaikan dalam nas-nas Al-Qur‟an dan hadits sebagai sumber hukum
tertinggi dalam Islam.
b. Zakat adalah kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat
merupakan sesuatu yang mutlak dan diwajibkan bagi seorang mukallaf. Sifat
wajibnya didasarkan kepada keberadaannya sebagai kewajiban terhadap harta
ilahiyah dan ibadah yang berkaitan dengan harta itu diwajibkan. Hal ini
sebagaimana dengan yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar yang memerangi
orang-orang yang menolak dan membangkang dalam membayar zakat.
c. Zakat adalah kewajiban pemerintah, maksud dari pemerintah disini ialah
pemimpin, pejabat pemerintah Islam, pejabat terkait, para hakim ataupun para
imam yang mewajibkan zakat berdasarkan kewajiban dalam menjalankan
kewajiban ilahiyah.
d. Zakat adalah kewajiban final, artinya disini ialah seluruh umat muslim tidak
dapat menolak meskipun dalam hal ini pengelola zakat merupakan orang yang
dzhalim, kecuali terhadap umat muslim yang beban zakatnya gugur berdasarkan
hukum Islam.
e. Zakat adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, maksud dari hal ini
adalah tidak ada suatu syarat yang dapat digunakan bagi umat muslim,
khususnya yang membayar zakat, untuk mendapatkan kemanfaatan ataupun
fasilitas lebih. Hal ini dikarenakan didalam Islam tidak membedakan antara
muslim yang kaya ataupun yang miskin.
18
Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003),
hal. 3 19
Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003),
hal. 3-6
12
f. Zakat adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan Islam, maksud
dari penjelasan diatas adalah pengalokasian zakat yang dikhususkan kepada 8
(delapan) golongan penerima zakat dan peruntukannya tidak dibatasi pada satu
hal komoditas saja. Ekonomi Islam mencoba untuk mewujudkan tujuan
ekonomi, sosial dan politik.
Penunjukan pemerintah (pemimpin) dan pejabat dalam menetapkan dan
menyelenggarakan pemungutan zakat pada umat muslim harus disertai dengan
pengelolaan yang baik sebagai bentuk pertanggungjawaban dan mengoptimalkan
tujuan ekonomi, sosial dan politik dalam zakat. Prinsip pengelolaan zakat yang
setidaknya harus diikuti dan ditaati oleh pengelola zakat antara lain:20
a. Prinsip keterbukaan
b. Prinsip sukarela
c. Prinsip keterpaduan
d. Prinsip profesionalisme, dan
e. Prinsip kemandirian
2. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.1.
Kerangka Pemikiran
20
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), hal. 61
Pengelolaan Zakat
Baitul Mal Wa Tamwil
Masyarakat
UU No. 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan
Zakat
13
Kerangka pemikiran yang diangkat penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah sistem pengelolaan zakat di Indonesia yang diatur dalam UU No. 23 Tahun
2011. Akan tetapi, fakta sosial yang ada menunjukkan ada pengelolaan zakat yang
dilakukan diluar dari ketentuan UU No. 23 Tahun 2011 yang pada hakikatnya
memiliki tujuan pengelolaan zakat yang sama yakni kemashlahatan ummat.
Maka dari itu penulis mencoba menganalisa pola hubungan dan kewenangan
pengelolaan zakat oleh BMT yang notabene berada diluar UU No. 23 Tahun 2011
terhadap ketentuan yang diatur dalam UU tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapat gambaran secara sederhana agar memudahkan penulisan skripsi,
maka akan disusun sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab dengan rincian
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini penulis menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang
permsalahan yang mendasari dalam pengambilan topic ini, perumusan
dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, review studi terdahulu,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan yang digunakan dalam
menyusun proposal ini.
BAB II PENGELOLAAN ZAKAT DAN BAITUL MAL WA TAMWIL
Bab ini memuat penjelasan perihal dasar-dasar teori yang digunakan
dalam skripsi ini. Bab ini setidaknya dibagi kedalam 3 (tiga) bagian
yang terdiri atas, pengelolaan zakat, pengaturan pengelolaan zakat di
Indonesia dan teori tentang baitul mal wa tamwil
BAB III PROFIL DAN PRODUK BMT AL FATH dan
Bab ini memuat perihal informasi atas sampel penelitian yang
digunakan dalam hal ini, yakni BMT yang melakukan pengelolaan
zakat. Informasi yang dijelaskan dalam bab ini berisi profil dan
produk-produk BMT yang dijadikan sampel
14
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN TERKAIT KEWENANGAN
BAITUL MAL WA TAMWIL DALAM MELAKUKAN
PENGELOLAAN ZAKAT
Bab empat berisi hasil penelitian tentang kewenangan pengelolaan
zakat pada Baitul Mal wa Tamwil dalam mengelola Zakat ditinjau dari
Undang-undang nomor 23 tahun 2011. Bagaimana fakta yang terjadi di
lapangan tentang keberadaan undang-undang tersebut yang membatasi
ruang gerak lembaga pengelola zakat tradisional, dalam penelitian ini
dikhusukan pada BMT. Apakah BMT sudah mengikuti regulasi yang
ada dalam pengambilan wewenang pengelolaan, sehingga legitimasi
dari Negara dapat dibuktikan. Atau masih menjalankan kegiatan
pengelolaan zakat seperti biasa tanpa menindaklanjuti undang-undang
yang berlaku.
BAB V PENUTUP
Bab lima berisi tentang kesimpulan dan saran dari penulis yang
diambil dari penelitian yang dilakukan, yaitu Aplikasi Penghimpunan
Dana Zakat di Baitul Mal wa Tamwil ditinjau dari undang-undang
nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
14
BAB II
LANDASAN TEORI PENGELOLAAN ZAKAT DAN BAITUL MAL WA
TAMWIL
A. Pengelolaan Zakat
1. Manajemen pengelolaan Zakat
Apapun bentuknya, Lembaga Pengelola Zakat memiliki 2 (dua)
fungsi secara umum, yakni perantara keuangan dan pemberdayaan.
Sebagai perantara keuangan, amil berperan untuk menghubungkan antara
pihak mustahik dan muzakki dengan menerapkan asas kepercayaan
(trust). Sedangkan fungsi pemberdayaan merupakan upaya dalam
mewujudkan misi pembentukan amil (lembaga pengelola zakat), yakni
bagaimana muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan mustahik tidak
bergantung terhadap pemberian dan menjadi berdaya sehingga dapat
menjadi muzakki nantinya.1
Untuk dapat menjalankan 2 (dua) fungsi tersebut, maka lembaga
pengelolaan zakat wajib melakukan pengelolaan secara profesional
berdasarkan prinsip manajemen dan akuntabilitas yang baik. Pengelolaan
secara profesional tidak hanya akan meningkatkan efektifitas penyaluran
dan pendayagunaan zakat kepada masyarakat, tetapi juga mendorong
tingkat kepatuhan dan kepercayaan masyarakat (muzakki) untuk
menunaikan zakat.
Secara umum, manajemen adalah sebuah proses yang dilakukan
dalam menjalankan suatu roda organisasi/lembaga/perusahaan dalam
menjalankan usahanya guna mencapai tujuan yang diharapkan secara
efektif dan efisien. Disamping pengertian tersebut, Manajemen adalah
pekerjaan intelektual yang dilakukan seseorang dalam hubungannya
dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan lainnya.2
1 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil (BMT), cet. 2, (Yogyakarta:UII Press,
2005), hal. 24 2 Ismail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010), Hal. 46
15
Pelaksanaan manajemen dalam suatu lembaga biasanya meliputi
tahapan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pelaksanaan (actuating), dan evaluasi/control (controlling). Secara
fungsional, manajemen pengelolaan zakat meliputi:3
a. Perencanaan Zakat (Planning)
Dalam menjalankan zakat, proses awal yang perlu dilakukan adalah
perencanaan. Dalam tahap perencanaan zakat, biasanya memuat
proses sebagai berikut:4
1. Menetapkan sasaran dan tujuan dari pelaksanaan zakat
2. Menetapkan bentuk lembaga dan organisasi pengelolaan zakat
3. Menetapkan cara penggalian sumber dan distribusi zakat,
termasuk identifikasi terhadap muzakki dan mustahik
4. Menetapkan waktu penggalian sumber zakat dan waktu
pendistribusian zakat berdasarkan skala prioritas
5. Menetapkan amil dan pengelola zakat yang berkomitmen dan
berkompetensi dalam mengelola zakat
6. Menetapkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan zakat
Perencanaan, pada dasarnya dapat dibagi kedalam dua bentuk, yakni
perencanaan yang berdasar waktu dan strategis. Berdasarkan waktu,
perencanaan dapat dibagi kedalam perencanaan jangka pendek
(dibawah 1 tahun), perencanaan jangka menengah (1-3 tahun), dan
perencanaan jangka panjang (3-5 tahun). Dalam model ini yang
terpenting adalah adanya kegiatan operasional yang
berkesinambungan.
Berbdeda dengan perencanaan strategis yang digunakan untuk
menjaga fleksibilitas rencana jangka panjang akibat perubahan yang
terjadi dimasa mendatang. Rencana strategis diperlukan guna
menjaga eksistensi suatu organisasi akibat perubahan situasi.
3 Ismail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010), Hal. 48 4 Ismail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010), Hal. 48-49
16
b. Pelaksanaan Zakat (Organizing-Actuating)
Dalam pelaksanaan zakat, penting bagi seorang amil untuk dapat
mengelola zakat secara profesional dan kompeten guna
memaksimalkan potensi penerimaan dan pendistribusian zakat dalam
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Efektifitas pelaksanaan zakat tidak terlepas dari koordinasi yang baik
dalam melakukan kegiatan operasional. Setidaknya ada beberapa
faktor yang dikaitkan dengan koordinasi suatu lembaga, yakni:5
1. Pimpinan
2. Kualitas Anggota
3. Sistem
Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan pelaksanaan zakat meliputi
penggalian sumber zakat. Dalam menggali potensi zakat terdapat
beberapa strategi, diantaranya:6
1. Penggunaan media informasi yang efektif
Penggunaan media informasi diperlukan dalam
menginformasikan kepada masyarakat perihal kewajiban
berzakat dan pelaksanaan zakat yang dilakukan, sehingga
sumber zakat dapat diperoleh secara maksimal. Pemilihan media
informasi juga menjadi salah satu hal yang penting, karena harus
ditentukan dengan aspek pertimbangan efektifitas informasi
yang diperoleh masyarakat dan feedback terhadap pelaksanaan
zakat.
2. Pembentukan unit pengumpulan zakat
Hal ini dilakukan oleh amil untuk menjangkau dan memudahkan
muzakki dalam menyalurkan zakatnya, sehingga tidak ada lagi
kendala dan kasus yang membuat seorang muzakki tidak dapat
membayar zakat akibat tidak terjangkaunya amil.
5 Eri Sudewo, Manajemen Zakat, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004)
6 Ismail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010), Hal. 54-55
17
3. Pembukaan counter penerimaan zakat
Selain dengan cara pembentukan unit pengumoulan, amil juga
dapat membuka counter atau loket penerimaan zakat yang dekat
dan terjangkau akses masyarakat.
4. Pembukaan rekening zakat
Pembukaan rekening menjadi suatu hal yang penting pada saat
ini dalam hal penerimaan zakat. Hal tersebut terjadi lantaran
berbagai keterbatasan yang terjadi di masyarakat sehingga
menghambat masyarakat dalam menunaikan kewajiban zakat.
Selain itu, pembentukan rekening juga ditujukan sebagai bentuk
transparansi dan profesionalisme amil. Hal tersebut dikarenakan
dalam setiap dana zakat yang masuk kedalam rekening akan
tercatat dalam pembukuan bank, sehingga semakin sulit terjadi
penyimpangan yang dilakukan petugas dalam mengelola dana
zakat.
c. Pengawasan Zakat (Controlling)
Secara umum, pengawasan dan evaluasi dalam pelaksanaan zakat
dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan dan kelalaian
yang dilakukan petugas sehingga dapat mengurangi kemanfaatan
dana zakat. Atas hasil pengawasan dan evaluasi tersebut, akan
dijadikan bahan perencanaan dalam pelaksanaan zakat kedepannya.
Pola pengawasan yang dilakukan dalam pelaksanaan zakat, berupa:
1. menetapkan sistem dan standar operasional dalam melakukan
pengawasan sesuai dengan tujuan dan sasaran pengelolaan zakat
2. mengukur kinerja yang dilakukan oleh petugas yang bertugas
mengelola zakat dengan pengukuran dan kinerja secara standar
3. memperbaiki penyimpangan
Setidaknya terdapat 2 (dua) substansi pengawasan dalam
pengelolaan zakat, yakni:
18
1. Fungsional
Secara fungsional, pengawasan dalam pengelolaan zakat
terdapat didalam organ lembaga pengelola (amil). Pengawasan
intern menjadikan amil lebih focus akan tugasnya dan tidak
merasa terbebani
2. Formal
Secara formal, pengawasan terhadap pengelolaan zakat
dilakukan oleh Dewan Syariah yang secara structural berada
dibawah pimpinan lembaga pengelola zakat. Dewan syariah
berisikan para pakar yang bertugas mengesahkan program dan
melakukan control atau bahkan menghentikan program
pengelolaan zakat yang ditemukan penyimpangan dan
pelanggaran
2. Syarat dan Rukun Zakat
Menurut mahzab Hanafi, penyebab zakat adalah adanya harta milik
yang telah mencapai nisab dan produktif (berdayaguna) kendati
kemampuan produktivitas tersebut masih dalam perkiraan.7 Harta milik
yang dimaksud disini ialah harta yang telah sempurna kepemilikannya
sehingga harta yang belum jelas kepemilikannya dan diperoleh atas hasil
berhutang tidak wajib dikenakan zakat meskipun telah mencapai nisab.
Selain itu harta yang merupakan kebutuhan pokok dan bertujuan untuk
penggunaan pribadi serta tidak diperuntukan untuk berdagang juga tidak
wajib dikenakan zakat karena tidak produktif.8
Menurut Al-Zarqani dalam sarah al-Muwatha‟ menerangkan bahwa
zakat memiliki rukun dan syarat, dimana rukunnya adalah ikhlas dan
syaratnya adalah sebab cukup setahun dimiliki. Zakat diterapkan
terhadap orang-orang tertentu dan mengandung sanksi hukum, teelepas
dari kewajiban dunia dan mendapatkan pahala di akhirat serta
menyucikan dari kotoran dosa.9
7 Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal. 95
8 Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal. 96
9 Muhammad Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: NV. Bulan Bintang, 1953), hal. 26
19
Sedangkan rukun zakat, secara garis besar dapat dibagi kedalam 3
(tiga) bagian, yakni:10
a. Melepaskan sebagian hartanya
b. Menjadikannya sebagai milik orang fakir atau golongan penerima
zakat
c. Diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas
mengelola zakat.
Bila ditinjau dari harta yang dikenakan zakat, Menurut Yusuf
Qardhawi ada beberapa persyaratan agar zakat dapat dikenakan kepada
harta kekayaan yang dimiliki oleh seorang muslim, yakni:11
a. Kepemilikan bersifat penuh
b. Harta yang dizakatkan bersifat produktif dan berkembang
c. Harta harus mencapai nisab
d. Harta zakat harus lebih dari kebutuhan pokok
e. Harta zakat harus bebas dari sisa hutang
f. Harta aset zakat harus berada dalam kepemilikan penuh selama satu
haul
Sedangkan bila dilihat dari pelaksanaan zakat, ada 2 (dua) syarat sah
pelaksanaan zakat, yakni:12
a. Niat
Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat dalam pelaksanaan
zakat. pendapat ini berdasarkan pada hadits yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad SAW,
اهلل عنو قال : سمعد حفص عمز تن انخطاب رض ن أت ز انمؤمن ل اهلل عن أم رس
. فمن كاند إنما نكم امزئ ما ن ل : إنما األعمال تانناخ صه اهلل عهو سهم ق
من كاند ىجزذو نذنا صثي نو، رس نو فيجزذو إن اهلل رس امزأج ىجزذو إن اهلل ا أ
و . نكحيا فيجزذو إن ما ىاجز إن
10
Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal. 97 11
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 296-297 12
Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal.
114-117
20
]راه إماما انمحذثن أت عثذ اهلل محمذ تن إسماعم تن إتزاىم تن انمغزج تن تزدستح
انثخار ات انحسن مسهم تن انحجاج تن مسهم انقشز اننساتر ف صححيما
انهذن ىما أصح انكرة انمصنفح[.
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al
Khathab Radhiallahu Ta‟ala „Anhu, dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya
amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan
apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah
dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia
yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.” (Diriwayatkan
oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul
Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi,
dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling
shahih)
Menurut mahzab Hanafi, zakat tidak dapat dikeluarkan kecuali
disertai dengan niat yang dilakukan bersamaan dengan
pemberiannya kepada orang fakir. Sedangkan mahzab maliki
berpendapat bahwa niat disyaratkan dalam zakat sewaktu harta
diserahkan. Berbeda dengan mahzab Syafi’i dan Hambali yang
berkeyakinan bahwa niat zakat wajib dilakukan dalam hati dan tidak
disyaratkan dilakukan secara lisan.13
b. Tamlik (Memindahkan kepemilikan Harta kepada penerimanya)
Atas Syarat sah pelaksanaan zakat, Imam Maliki menambahkan 3
(tiga) syarat lain disamping 2 (dua) syarat yang telah disebutkan di atas,
yakni:14
13
Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal. 117 14
Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005), hal. 118
21
1. Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl
2. Menyerahkan harta yang dizakati kepada mustahik, bukan kepada
yang lainnya
3. Harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang wajib dizakati
3. Jenis-Jenis Zakat
Secara umum zakat dapat dibagi kedalam 2 (dua) jenis, yakni zakat
harta (zakat mal) dan zakat fitrah. Sebagaimana yang telah banyak
dijelaskan diatas, zakat harta (mal) adalah zakat yang diwajibkan kepada
seorang muslim yang memiliki kelebihan harta dan telah mencapai nisab
serta telah melewati jangka waktu tertentu (hawl).
Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan seorang
muslim yang mempunya kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar dan
dilakukan setelah melakukan kewajiban puasa ramadhan.15
Untuk zakat harta, setidaknya terdapat 5 (lima) jenis harta yang
wajib dikenakan zakat, yakni:16
a. Emas, perak dan uang
Dasar hukum atas pengenaan kewajiban zakat bagi emas, perang dan
uang dijelaskan dalam (Q.S. At-Taubah 6: 35).
Artinya: “Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu." (Q.S. At-Taubah 6: 35)
15
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1988), hal. 49 16
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1988), hal. 44-47
22
Adapun nisab dalam zakat terhadap emas adalah 20 dinar atau sama
dengan 96 gram emas murni yang telah dimiliki 1 (satu) tahun wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.
Sedangkan untuk perak nisabnya mencapai 200 dirham atau
mencapai 672 gram perak juga wajib dikenakan zakat sebesar 2,5%.
Sedangkan untuk uang berdasarkan perkembangan zaman, para
ulama sepakat untuk dikenakan zakat bila sudah mencapai nilai yang
setara dengan 96 gram emas.
b. Barang yang diperdagangkan
Untuk kewajiban zakat kepada barang dagangan dihitung
berdasarkan hasil perdagangan yang telah mencapai 1 (satu) tahun
dan nisabnya sama dengan nilai/harga emas 96 gram. Kewajiban
pengenaan zakat terhadap barang yang diperdagangkan dijelaskan
dalam (Q.S. Al-Baqarah 2: 267)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 267)
c. Hasil peternakan
Pengenaan zakat terhadap hewan hasil ternak, meliputi kambing/biri-
biri, sapi dan kerbau dan untuk jangka waktu selama setahun. Untuk
nisab pada kambing/biri-biri adalah 40 (empat puluh) ekor.
23
Tabel 2.1.
Perhitungan zakat pada hasil peternakan kambing/biri-biri
Jumlah
Kambing/Biri-biri
Zakat yang dikenakan
40-120 ekor 1 ekor
120-200 ekor 2 ekor
200-300 ekor 3 ekor
Diatas 300 ekor Bertambah 1 ekor tiap kelipatan 100 ekor
Berbeda dengan sapi dan kerbau, dimana nisab dalam hasil
peternakan sapi dan kerbau berjumlah 30 (tiga puluh) ekor yang
berusia diatas setahun.
Tabel 2.2.
Perhitungan zakat pada hasil peternakan sapi/kerbau
Jumlah Sapi Zakat yang dikenakan
30-39 ekor 1 ekor sapi berumur 1 tahun lebih
40-49 ekor 1 ekor sapi berumur 2 tahun lebih
50-69 ekor 2 ekor sapi berumur 1 tahun lebih
70-79 ekor 1 ekor sapi berumur 1 tahun lebih dan 1
ekor sapi berumur 2 tahun lebih
Diatas 80 ekor Ditambahkan 1 ekor sapi berumur 1 tahun
lebih setiap kelipatan 30 ekor
d. Hasil bumi
Dasar bagi pengenaan kewajiban zakat kepada hasil bumi adalah
(QS: 6 ayat 141). Hasil bumi yang dimaksud disini adalah hasil dari
bercocok tanam yang dilakukan oleh manusia. Waktu haul yang
dikenakan pada zakat hasil bercocok tanam tidak harus 1 (satu)
tahun, melainkan disesuaikan dengan waktu panen.
24
Menurut Imam Syafi’i, hasil bercocok tanam yang wajib dikenakan
adalah hasil bercocok tanam yang meliputi makanan pokok saja,
seperti padi, gandum, kurma dan anggur. Untuk hasil bumi yang
diperoleh dari usaha sendiri meliputi pengairannya maka dikenakan
zakat 5 (lima) persen. Sedangkan untuk hasil bumi yang didapatkan
tanpa adanya upaya pengairan yang dilakukan secara sendiri
dikenakan zakat sebesar 10 (sepuluh) persen. Menurut kesepakatan
ulama, di Indonesia selain hasil bumi yang dikenakan zakat, hasil
laut yang diperoleh dengan cara ditangkap atau budidaya juga
dikenakan zakat.
e. Hasil tambang dan barang temuan
Terhadap barang tambang dan barang temuan, menurut kitab-kitab
hukum (fiqih), yang dikenakan zakat adalah barang tambang dan
barang temuan yang berupa emas dan/atau perak. Nisabnya
disamakan dengan zakat terhadap emas/perak yakni 96 gram emas
atau 672 gram perak dengan pengenaan zakat sebesar 2,5%
4. Tujuan dan Manfaat Zakat
Secara umum, tujuan zakat tidak hanya sekedar menyantuni orang
miskin secara konsumtif, melainkan untuk mengentaskan kemiskinan dan
mengangkat derajat faqir-miskin untuk keluar dari kesulitan hidup.17
Sedangkan tujuan zakat secara praktis menurut Daud Ali, antara lain:18
1. Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan hidup serta penderitaan
2. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh gharimin,
ibnu sabil dan mustahiq lainnya
17
Sintha Dwi Wulansari dan Achma Hendra Setiawan, Analisis Peranan Dana Zakat Produktif
Terhadap Perkembangan Usaha Mikro Mustahik (Studi Kasus Rumah Zakat Kota Semarang),
Diponegoro Journal of Echonomics, Volume. 3, Nomor. 1 (Tahun 2014), Hal. 3 diakses melalui
http: //ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme pada tanggal 9 Mei 2016 18
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1988), hal. 40
25
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat
muslim dan manusia secara umumnya
4. Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
5. Menghilangkan sifat dengki dan iri dari orang-orang miskin
6. Menjembatani jurang pemisah antara si-miskin dan si-kaya
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada seseorang
8. Mendidik manusia untuk disiplin dalam menunaikan kewajiban dan
menyerahkan hak orang lain yang ada padanya
Sedangkan menurut Pemerintah, melalui Kementerian Agama,
tujuan zakat antara lain:19
1. Mengangkat derajat faqir-miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan hidup serta penderitaan.
2. Membantu permasalahan yang dialami gharim, ibnu sabil dan
mustahiq lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali silaturahmi sesame ummat islam
dan manusia pada umumnya.
4. Minghalangkan sifat kikir pemilik harta
5. Membersihkan sifat iri dan dengki dari hati orang miskin
6. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama pada mereka yang memiliki harta
7. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan
menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
8. Sarana pemerataan rezeki untuk mencapai keadilan sosial.
Dari berbagai hikmah (manfaat) zakat yang ada, beberapa hikmah
zakat dapat dikemukakan sebagai berikut:20
a. Menghindari kesenjangan sosial antara aghniya dan dhuafa
b. Pilar amal jama’i antara aghniya dengan mujahid dan da’i yang
berjuang dan berdakwah dijalan Allah SWT
c. Membersihkan dan mengikis akhlak buruk
19
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Pedoman Zakat (4), (Jakarta: Departemen Agama,
1982), hal. 27-28 20
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi, ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 259-260
26
d. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat
e. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
f. Untuk pengembangan potensi umat
g. Dukungan moral kepada orang yang masuk islam
h. Menambah pendapatan negara untuk proyek yang berguna bagi
umat
i. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa
j. Memberantas penyakit iri hati, benci, dan dengki dari orang-orang
miskin
k. Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan distribusi
harta dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam
masyarakat
l. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang
berdiri atas prinsip ummatan wahidan, ukhuwah islamiyah, dan
takaful ijtima
m. Dapat mensucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa dan
mengikis sifat bakhil serta serakah
n. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi sosial
ekonomi atas pemerataan karunia allah dan juga merupakan
perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan
o. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera
B. Pengaturan Pengelolaan Zakat Dalam Sistem Hukum Indonesia
1. Sejarah Pengaturan Pengelolaan Zakat Di Indonesia
Secara empiris, pelaksanaan zakat di Indonesia telah berlangsung
sejak islam masuk ke nusantara, dimana pada masa tersebut penyaluran
zakat dikumpulkan melalui ulama-ulama dan pemerintahan setempat.
Akan tetapi pengaturan mengenai pengelolaan zakat di Indonesia baru
dilegitimasi pada tahun 1999 dengan dibentuknya UU No. 38 Tahun
1999 Tentang Ketentuan Pengelolaan Zakat.21
21
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1988), hal. 32
27
UU Pengelolaan zakat tahun 1999 mengatur peran substantif
pemerintah dalam pengelolaan zakat pada pasal 3 dan pasal 6. Dimana
dalam pasal 3 dijelaskan bahwa “pemerintah berkewajiban memberikan
perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan
amil zakat”. Dan pasal 6 dijelaskan bahwa “pengelolaan zakat dilakukan
oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah”.22
Lebih lanjut disebutkan bahwa badan dan lembaga amil zakat yang
dibentuk oleh pemerintah bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai
dengan tingkatannya.23
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa peran
pemerintah sangat dominan dalam pengelolaan zakat, dimana selain
membentuk lembaga pengelolaan zakat yang sah pemerintah juga
mengawasi secara langsung atas kegiatan lembaga amil zakat tersebut.
Tujuan pengaturan ini sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 5
UU No. 28 Tahun 1999, antara lain:
a. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat
sesuai dengan ketentuan agama
b. Meningkatkan fungsi dan peranan paranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial
c. Meningkatkan hasil guna dan daya guna masyarakat
Dalam regulasi rezim 1999, pengelolaan zakat dapat dibagi kedalam
dua lembaga, yakni badan amil zakat dan lembaga amil zakat. Perbedaan
antara keduanya adalah badan amil zakat berada dibawah pengelolaan
negara sedangkan lembaga amil zakat dikelola oleh pihak
swasta/masyarakat.24
Kemudian dalam Keputusan Menteri Agama No. 381 Tahun 1999
menjelaskan bahwa lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis:
a. Berbadan hukum
22
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 261 23
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 262 24
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 306
28
b. Memiliki dana muzakki dan mustahik
c. Memiliki program kerja yang jelas
d. Memiliki pembukuan yang baik
e. Melampirkan surat pernyataan untuk bersedia diaudit
Sedangkan persyaratan lembaga dapat mengelola zakat, antara lain:
a. Beragama islam
b. Mukallaf
c. Memiliki sifat amanah dan jujur
d. Mengerti dan memahami hukum zakat
e. Memiliki kemampuan melaksanakan tugas dengan baik
f. Pekerja keras
Selain itu lembaga amil zakat yang dikelola oleh swasta/masyarakat
haruslah bersifat:25
a. Independen
b. Netral
c. Tidak berpolitik (praktis)
d. Tidak bersifat diskriminatif
Pengaturan UU No. 38 Tahun 1999 membawa implikasi antara lain:
a. Implikasi yuridis, dimana berdasarkan UU tersebut membawa
dampak secara hukum bagi pengelolaan zakat, mulai dari ketentuan
sanksi hingga kepada tata cara pendaftaran dan pengawasan lembaga
pengelolaan zakat
b. Implikasi finansial, dengan adanya pengaturan ini masyarakat akan
terbangun kepercayaan sosialnya (public trust) dalam menyalurkan
zakat karena menganggap zakat telah menjadi sesuatu yang legal
c. Implikasi moral, potensi dana zakat yang besar tentunya akan
membawa dampak yang baik bagi pembangunan kejahteraan sosial
25
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 306
29
2. Pokok Pengaturan Dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat
Perubahan regulasi terkait pengelolaan zakat dilakukan oleh
pemerintah setelah 12 (dua belas) tahun berlakunya UU No. 38 Tahun
1999. Perubahan ini dilakukan karena dianggap UU sebelumnya sudah
tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat perihal
pengelolaan zakat, mulai dari kegiatan perencanaan, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan.26
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dibuat dalam 47
Pasal dan XI Bab. Bab tersebut terbagi atas ketentuan umum; Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS); Pengumpulan, Pendistribusian,
Pendayagunaan dan Pelaporan; Pembiayaan; Pembinaan dan
Pengawasan; Peran Serta Masyarakat; Sanksi Administratif; Larangan;
Ketentuan Pidana; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, UU ini memiliki beberapa
kontroversi dan kelemahan yang meliputi perizinan Lembaga Amil
Zakat, kriminalisasi masyarakat, dan kewenangan baznas yang dianggap
terlalu kuat (superbody) dan pengawasan yang selama ini diserahkan
kepada MUI menjadi kepada Kementerian Agama.27
Perizinan Lembaga Amil Zakat menurut forum masyarakat zakat
dianggap dapat mematikan upaya penggalangan zakat yang selama ini
dilakukan masyarakat melalui mesjid dan pesantren, karena harus
terdaftar di Kementerian Agama.
Kriminalisasi masyarakat dikhawatirkan terjadi karena upaya
pengumpulan dana zakat oleh masyarakat yang dianggap tidak berizin
oleh Kementerian Agama dapat dikenakan sanksi pidana sehingga akan
menimbulkan ketidak pastian hukum.
Kewenangan BAZNAS yang dianggap terlalu kuat (superbody)
diakibatkan karena BAZNAS selain sebagai lembaga pengelola zakat
resmi pemerintah juga bertugas sebagai regulator dan pengawas dalam
26
Lihat penjelasan umum UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat 27
http://www.beritasatu.com/hukum/126727-uu-zakat-timbulkan-ketidakpastian-hukum-
pengelolaan-zakat-di-indonesia.html diakses pada tanggal 29 Maret 2016
30
praktek pengumpulan dan pengelolaan zakat di Indonesia, sehingga
dikhawatirkan tidak akan mampu bertindak independen dalam
mengawasi dan merumuskan regulasi seputar pengelolaan zakat.
Maka dari itu atas dasar tersebut dilakukan uji materiil kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait poin-poin tersebut. Atas uji materiil
tersebut, MK mengabulkan sebagian gugatan yang dilakukan oleh
perwakilan dari lembaga zakat swasta yang dikelola masyarakat.
Poin-poin yang dikabulkan tersebut antara lain mengenai persyaratan
perizinan yang tidak bersifat komulatif; ketentuan perihal kriminalisasi
pengelola zakat yang tidak berizin; serta amil zakat perseorangan yang
tidak memiliki izin. Sedangkan gugatan terhadap kewenangan BAZNAS
tidak dikabulkan oleh MK.
C. Teori Tentang Baitul Mal Wa Tamwil
1. Pengertian Dan Perkembangan Baitul Mal Wa Tamwil
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) merupakan lembaga ekonomi atau
keuangan syariah non-bank yang sifatnya informal karena lembaga ini
dibentuk dan didirikan oleh masyarakat secara swadaya yang sifatnya
informal. Bila diperhatikan, Baitul Mal wa Tamwil memiliki 2 (dua)
istilah yakni baitul mal dan baitul tamwil. Baitul mal lebih mengarah
kepada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang sifatnya
non-profit seperti zakat infdaq dan sodaqoh. Sedangkal Baitul Tamwil
cenderung kepada usaha pengumpulan dan penyaluran dana secara
komersial yang sifatnya profit oriented.28
Secara umum, kegiatan BMT dapat dikelompokkan menjadi beberaa
sektor, yaitu:29
a. Jasa Keuangan
Jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa kegiatan
intermediasi yang dilakukan baik kepada anggota ataupun non-
28
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 103 29
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional
Baitul Mal Wa Tamil (BMT), (Bandung: Mizan, 2000), hal. 82-84
31
anggota dalam bentuk penghimpunan dana yang diperoleh dari
nasabah dalam bentuk tabungan wadi‟ah, simpanan mudharabah
jangka pendek dan jangka panjang dan kemudian disalurkan dalam
bentuk pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan jual-beli yang
ditangguhkan pembayarannya.
b. Sektor Riil
Sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana BMT namun
sifatnya berbeda dengan jasa pembiayaan yang sifatnya untuk jangka
waktu tertentu. Penyaluran dana pada sektor riil berisifat permanen
atau jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal atau investasi.
c. Sosial
Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infaq dan
sodaqoh baik yang diperoleh sendiri oleh BMT ataupun dari lembaga
pengelolaan ZIS. Sektor ini menjadi salah satu kekuatan utama BMT
karena selain dapat menjadi bentuk pembinaan agama terhadap
nasabah juga menjadi wujud pemberdayaan BMT terhadap
masyarakat yang tidak hanya pada aspek ekonomi tetapi juga aspek
agama.
BMT yang dibentuk dengan tujuan mulia memiliki asas dan sifat
yang harus dijaga dan ditaati. Asas yang wajib dimiliki dalam BMT
adalah didirikan pada masyarakat yang salaam, yakni penuh keselamatan,
kedamaian dan kesejahteraan.30
Selain asas tersebut, BMT juga wajib
bersifat terbuka, independen dan tidak partisan, berorientasi pada
pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis
ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan masyarakat
sekitar.31
30
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 365 31
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), hal.
22
32
Adapun prinsip dasar yang harus dimiliki BMT antara lain:32
a. Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), Thayyiban (terindah), Ahsanu
„amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai
salaam
b. Barokah, artinya berdaya guna
c. Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah)
d. Demokratis, partisipatif dan inklusif
e. Keadilan sosial dan kesetaraan gender, non-diskriminatif
f. Ramah lingkungan
g. Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal serta
keanekaragaman budaya
h. Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan
kemampuan diri dan masyarakat lokal
Selain prinsip dasar yang telah dijelaskan, ada pula prinsip utama
yang harus dimiliki oleh BMT, yakni:33
a. Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dengan menerapkan
prinsip-prinsip syariah dan muamalah kedalam kehidupan nyata
b. Keterpaduan, yang berarti adanya nilai-nilai spiritual yang
mengarahkan dan menggerakkan etika moral yang dinamis, proaktif,
agresif, adil dan berakhlak
c. Kekeluargaan
d. Kebersamaan
e. Kemandirian
f. Profesional
g. Istiqomah (konsisten)
Berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990-an
merupakan pintu masuk awal bagi pengembangan sistem keuangan
32
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 365-366 33
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), hal.
22
33
syariah. Akan tetapi pertumbuhan bank-bank syariah secara keseluruhan
belum mampu menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah
(UKM) secara keseluruhan.
Hal tersebut mendorong pemikiran umat muslim untuk mencari dan
mendirikan lembaga keuangan berbasis syariah yang lain guna
mendukung pengembangan sektor UKM tersebut. BPR Syariah dan BMT
kemudian hadir sebagai salah satu alternatif yang berguna untuk
mendukung pengembangan sektor UKM yang belum tersentuh oleh
bank-bank syariah.
Akibat kebutuhan yang sangat besar, pertumbuhan BMT
berlangsung sangat pesat diseluruh Indonesia. Tercatat hingga tahun
2001, sedikitnya terdapat 2938 BMT yang terdaftar dan 1828 BMT yang
melaporkan kegiatannya di seluruh Indonesia.34
Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah
pendirian BMT terbesar di indonesia. Hingga tahun 2001, Jawa Barat
telah memiliki 637 BMT yang terdaftar dan 433 BMT yang melaporkan
usahanya. Sedangkan Jawa Timur memiliki 600 BMT yang terdaftar dan
519 BMT yang melaporkan usahanya.35
2. Fungsi dan Peran Baitul Mal Wa Tamwil
Sebagaimana yang diterangkan diatas, bahwa BMT memiliki 2
(dua) kecenderungan utama dalam usahanya yakni bersifat sosial melalui
baitul mal dan bersifat profit melalui baitul tamwil. Atas dua fokus
usahanya tersebut, maka BMT memiliki beberapa fungsi, yakni:36
a. Penghimpun dan penyalur dana, dalam hal ini BMT dapat menerima
simpanan dari anggotanya dan menyalurkannya melalui berbagai
mekanisme pembiayaan sektor produktif untuk sektor kecil
34
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 105 35
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 106 36
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 363-364
34
b. Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan suatu alat
pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan untuk
memenuhi kewajiban suatu lembaga/perorangan
c. Sumber pendapatan, BMT dapat memberikan lapangan kerja dan
pendapatan bagi masyarakat
d. Pemberi informasi, memberikan informasi kepada masyarakat
perihal produk-produk yang dikeluarkan disertai dengan resiko dan
manfaatnya
e. Memberi pembiayaan bagi UKM tanpa jaminan dan tidak
memberatkan bagi UMKM
Selain itu, BMT juga memiliki peranan, antara lain:37
a. Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi yang bersifat haram
dan non-islam melalui berbagai macam cara, mulai dari sosialisasi
dan pelatihan terkait ekonomi islam
b. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil, BMT harus aktif
dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga keuangan mikro
melalui berbagai macam cara, baik pembiayaan yang tidak
memberatkan, pendampingan dan pembiayaan
c. Melepaskan ketergantungan masyarakat kepada rentenir yang
bertentangan dengan hukum islam dan menyulitkan masyarakat
d. Menjaga keadilan ekonomi dengan distribusi yang merata kepada
seluruh lapisan masyarakat kecil
Selain peran yang telah dijelaskan diatas, BMT juga memiliki peran
ditengah masyarakat, yaitu:38
a. Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak
b. Ujung tombak dalam menjalankan sistem ekonomi islam
c. Penghubung antara golongan kaya dengan golongan miskin
37
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 364-365 38
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 365
35
d. Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang
barokah, ahsanu „amala, dan salaam melalui prinsip spiritual
communication dan dzikir qalbiyah ilahiyah
Pernanan BMT yang telah dijelaskan diatas juga tidak terlepas dari
visi dan misi BMT yang harus mengarahkan pada perwujudan BMT
sebagai lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota
sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT.39
3. Ruang Lingkup Usaha Yang Dikelola Baitul Mal Wa Tamwil
Bila diamati dari struktur organisasinya, BMT memiliki organ yang
mirip dengan struktur organisasi yang dimiliki Koperasi. Dimana BMT
memiliki struktur organ meliputi musyawarah anggota pemegang
simpanan pokok, dewan syariah, pembina manajemen, manajer, dan staff
dibawahnya yang meliputi berbagai bidang, mulai dari pembukuan, kasir,
dan tenaga pemasaran.40
Adapun tugas dari masing-masing organ adalah sebagai berikut:41
a. Musyawarah anggota pemegang simpanan pokok memegang
kekuasaan tertinggi di dalam memutuskan kebijakan BMT yang
bersifat makro
b. Dewan syariah bertugas untuk mengawasi dan menilai kegiatan
operasional BMT
c. Pembina manajemen bertugas untuk membina jalannya BMT
dalam menjalankan programnya
d. Manajer bertugas menjalankan amanah musyawarah anggota BMT
dan memimpin BMT dalam merealisasikan programnya
e. Bagian pemasarn bertugas untuk melakukan sosialisasi dan
mengelola produk BMT
39
Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), hal.
24 40
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 106 41
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 106-107
36
f. Kasir bertugas untuk melayani nasabah BMT
g. Pembukuan bertugas untuk melakukan pembukuan atas aset dan
keuangan BMT
Gambar. 2.1.
Struktur Organisasi BMT
Struktur organisasi BMT diatas merupakan struktur organisasi
BMT yang standar menurut PINBUK, akan tetapi pada kenyataannya
tidak semua BMT memiliki struktur organisasi demikian, hal ini
disebabkan berbagai macam faktor antara lain:42
a. Ruang lingkup atau wilayah operasi BMT
b. Efektivitas dalam pengelolaan BMT
c. Orientasi program kerja yang akan direalisasikan dalam jangka
pendek dan jangka panjang
d. Jumlah SDM yang diperlukan dalam kegiatan operasional BMT
42
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 108
Pembina
Manajemen
Musyawarah Anggota
Pemegang Simpanan Pokok
Pembukuan Kasir
Manajer
Dewan Syariah
Pemasaran
Maal Tamwil
Anggota dan Nasabah
37
BMT sama halnya dengan bank syariah, dalam menjalankan
usahanya, menerapkan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut:43
a. Prinsip bagi hasil
b. Sistem jual-beli
c. Sistem non-profit
Dalam menjalankan mekanisme operasionalnya, BMT memiliki
ciri-ciri utama yakni, berorientasi bisnis, mencari laba secara bersama,
dan meningkatkan pemanfaatan ekonomi untuk anggotanya dan
masyarakat; bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk
mengefektifkan penggunaan zakat, infaq dan shadaqoh bagi masyarakat
luas; ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat;
milik bersama masyarakat kecil.44
Kegiatan usaha BMT dapat dibagi kedalam 3 (tiga jenis), yakni
penghimpunan dana, pengelolaan dana, serta pelayanan zakat dan
shadaqoh. Untuk pelayanan penghimpunan dana dilakukan oleh BMT
melalui beberapa produk, antara lain:45
a. Giro Wadiah
Giro wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja,
dimana dana simpanan nasabah dititipkan di BMT dan boleh
dikelola. Nasabah kemudian berhak mengambilnya serta
mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro yang
dilakukan oleh BMT dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan
BMT. (Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000)
b. Tabungan Mudarabah
Dalam tabungan mudarabah, dana yang disimpan nasabah akan
dikelola oleh BMT untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan
kemudian akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan
nasabah. Nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan BMT akan
43
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 108 44
Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), hal. 26 45
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 366-367
38
bertindak sebagai Mudharib (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-
MUI/IV/2000)
c. Deposito Mudarabah
Dalam deposito Mudarabah, BMT bebas melakukan berbagai usaha
menggunakan dana simpanan selama tidak bertentangan dengan
hukum syara. Akan tetapi nasabah juga berhak memberikan
batasan penggunaan dana untuk jenis dan tempat tertentu kepada
BMT dalam mengelola dana simpanan. Jenis ini disebut
mudarabah muqayyadah.
Sedangkan untuk pengelolaan dana yang didapatkan dari hasil
penghimpunan dapat dilakukan melalui pembiayaan usaha, kas tangan
dan ditabungkan kepada BPR Syariah dan Bank Syariah. Dalam hal
BMT melakukan pengelolaan dengan jalan menyalurkan pembiayaan
usaha syarat yang harus dipenuhi adalah usaha yang dibiayai adalah
usaha mikro, kecil dan menengah.
Klasifikasi usaha yang dapat dibiayai oleh BMT dibatasi kepada
usaha perdagangan, industri rumah tangga, pertanian /peternakan/
perikanan, konveksi, konstruksi, percetakan dan jasa lainnya selama
tidak bertentangan dengan hukum syara.46
Untuk usaha terakhir yang meliputi pelayanan zakat dan shadaqoh,
BMT dapat melakukan penggalangan dan penyaluran dana ZIS.
Penggalangan yang dapat dilakukan oleh BMT dapat menerima
langsung dari masyarakat ataupun bekerja sama dengan Badan Amil
Zakat, Infaq dan Shadaqoh.
Dan penyaluran dana ZIS oleh BMT digunakan untuk keperluan
pembiayaan kepada masyarakat yang sifatnya membantu, pemberian
bea siswa bagi pelajar yang berprestasi dan tidak mampu, penutupan
terhadap pembiayaan yang macet karena faktor ketidaksanggupan
46
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 110
39
nasabah dalam melakukan pelunasan, serta membantu masyarakat
dibidang kesehatan.47
47
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008), hal. 111
40
BAB III
PROFIL DAN PRODUK BMT AL-FATH DAN BMT USAHA MULYA
A. Profil dan Produk BMT Al-Fath
1. Profil BMT Al-Fath Ciputat
Embrio BMT Al-Fath, mulai dirintis pada tanggal 13 Oktober 1996
oleh 25 (dua puluh lima) pendiri dengan modal awal dari masing-masing
pendiri sebesar Rp. 400.000,- yang sekarang jumlah pendirinya
bertambah menjadi 31 (tiga puluh satu) orang.1
Berdasarkan aspek legalitasnya, BMT Al-Fath mendapatkan izin dari
Departemen Koperasi (sekarang Kementerian Koperasi dan UMKM)
pada tahun 1998 dengan SK No: 650/BH/kwk.10/VI/1998 dengan nama
Koperasi Simpan Pinjam Pamulang.
Baru pada tahun 2005, berdasarkan hasil Rapat Anggota Tahunan
(RAT) Koperasi tahun 2004, diajukan perubahan akta pendirian dengan
nomor 518/BH/PAD/Koperasi 2005 terkait nama Koperasi yang diubah
menjadi BMT Al-Fath IKMI. Nama Al-Fath sendiri terinspirasi dari nama
sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di wilayah kedaung,
Tangerang Selatan.
Sejak awal pendiriannya, BMT Al-Fath telah mencapai banyak
perkembangan positif hingga akhirnya pada saat ini telah memiliki
kantor cabang untuk mendukung kegiatan operasionalnya. Kantor Pusat
BMT Al-Fath terletak di Jl. Aria Putra No. 7, Kedaung, Pamulang,
sedangkan kantor cabangnya terletak di Jl. Aria Putra No. 1, Kedaung,
Pamulang dan Ruko Bintaro Asri No. R4 Jl. Jombang Raya, Ciputat.2
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, BMT Al-Fath
memiliki Visi dan Misi, antara lain:3
a. Visi
1 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=profil pada tanggal 22 Mei 2016
2 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=kontak pada tanggal 22 Mei 2016
3 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=profil pada tanggal 22 Mei 2016
41
“Meningkatkan kualitas keimanan anggota dan mitra binaan
sehingga mampu berperan aktif sebagai khalifah Allah SWT”
b. Misi
i. Menerapkan prinsip-prinsip syariat dalam kegiatan
ekonomi
ii. Memberdayakan pengusaha kecil dan menengah
iii. Membina kepedulian aghiya (orang mampu) kepada
dhuafa (kurang mampu) secara terpola dan
berkesinambungan
Selain visi-misi, BMT Al-Fath juga merumuskan Fungsi dan Tujuan
didirikannya BMT Al-Fath, yakni: 4
a. Fungsi
“Menjalin Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan islam) melalui
pemungutan dan penyaluran zakat, infaq dan sodaqoh serta
memasyarakatkannya, dan menjunjung pemberdayaan ummat
melalui program pemberian modal bagi pedagang ekonomi
lemah, pemberian bea siswa dan santunan bagi kaum dhuafa”
b. Tujuan
“Meningkatkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta
mempunyai posisi tawar (daya saing) anggota dan mitra binaan
juga masyarakat pada umumnya melalui kegiatan pendukung
lainnya”
Adapun Struktur Organisasi BMT Al-Fath periode 2013-2015,
adalah:5
Dewan Pengawas
Ketua : Drs. Mustakim Kurdi, M.A
Anggota : H. Faried Hidayat
4 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=profil pada tanggal 22 Mei 2016
5 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=profil pada tanggal 22 Mei 2016
42
H. Kapsulani, S.E, M.M
Dewan Pengurus
Ketua : Drs. Budiyono, M.Pd
Wakil Ketua :
Bidang Pendanaan Umum : H. Z. Arifin Listianto
Bidang Pembiayaan dan :H. Abdul Rahim
Pembinaan Mitra
Sekretaris : Drs. Prasthowo Sidhi, S.H, M.H
Bendahara : H. Djaelani, S.E
Pengelola Kantor Pusat
Manajer Tamwil : Saimin, S.E
Manajer Maal : H. Imam Turmudzi, Ms.
Kabag Operasional : Suryadi, S.T
Kabag Marketing : Opan Sopyan Sauri, S.Ag
2. Produk BMT Al-Fath Ciputat
Sebagai Lembaga Keuangan Mikro syariah (LKMS), BMT Al-Fath
memiliki 3 (tiga) focus usaha, yakni kegiatan penghimpunan dana
(funding), penyaluran dana (lending) dan pengelolaan zakat. Masing-
masing focus usaha memiliki beberapa produk yang berbeda
karakteristiknya satu-sama lain.
Produk-produk yang masuk dalam usaha penghimpunan dana, antara
lain:6
a. TAWAKAL, adalah jenis tabungan yang dikeluarkan oleh BMT Al-
Fath dengan menggunakan prinsip titipan (wadiah).
b. TABAH (Tabungan Berjangka Al-Fath), adalah tabungan/investasi
dengan menggunakan prinsip mudharabah mutlaqah yang
penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan jangka waktu yang
dikehendaki berdasarkan prinsip bagi hasil.
6 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=produk pada tanggal 22 Mei 2016
43
c. SIDIK (Simpanan Pendidikan), adalah simpanan yang alokasi
dananya diperuntukkan bagi kebutuhan pendidikan putra-putri mitra
dan dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil.
d. Simpanan Idul Fitri, adalah adalah simpanan yang diperuntukkan
bagi kebutuhan hari raya idul fitri.
e. Simpanan Qurban, adalah simpanan yang diperuntukkan untuk
keperluan pembelian hewan qurban saat hari raya idul adha.
f. Simpanan Nikah, simpanan yang diperuntukkan untuk keperluan
pernikahan dan tabungan dapat ditarik 1 (satu) bulan menjelang
pernikahan.
g. Simpanan Haji, simpanan yang ditujukan untuk membiayai
keperluan ibadah haji, dan penarikannya hanya dapat dilakukan 1
(satu) kali.
Sedangkan dalam kegiatan penyaluran dana (lending), produk BMT
Al-Fath, adalah:7
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip Mudharabah
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip Musyarakah
c. Piutang berdasarkan prinsip Mudharabah
Dalam hal pengelolaan zakat, infaq dan Sodaqoh (ZIS), BMT AL-
Fath menyediakan sarana kepada ummat untuk menunaikan
kewajibannya dalam hal pembayaran zakat melalui BMT Al-Fath, baik
zakat fitrah maupun zakat maal.
Dalam upayanya meningkatkan pelayanan bagi Muzakki, BMT Al-
Fath turut mengembangkan sistem informasi dan teknologi melalui
website resmi BMT guna membantu muzakki dalam menghitung besaran
zakat yang wajib dibayarkan oleh muzakki.
7 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=produk pada tanggal 22 Mei 2016
44
Untuk Pembayaran Zakat, Infaq dan Sodaqoh (ZIS), BMT Al-Fath
menerima pembayaran baik secara tunai ataupun transfer perbankan
melalui rekening BMT di:8
a. Bank Muamalat Cabang Bumi Serpong Damai (BSD) dengan no.
rek: 303.02.980.22 atas nama saimin qq BMT Al-Fath.
b. Bank Syariah Mandiri Cabang Pondok Indah dengan no. rek:
0040052911 atas nama KBMT Al-Fath.
B. Profil dan Produk BMT Usaha Mulya
1. Profil BMT Usaha Mulya
BMT Usaha Mulya merupakan salah satu Lembaga Keuangan Mikro
yang berbasis syariah yang ada di Jakarta. Berlokasi di Jakarta Selatan,
BMT Usaha Mulya merupakan salah satu usaha yang dibentuk oleh
DKM Masjid Raya Pondok Indah sebagai wujud bakti dan dakwah
dengan meningkatkan perekonomian, produktivitas dan kesejahteraan
masyarakat.
BMT Usaha Mulya dibentuk dan didirikan pada hari kamis, tanggal
1 Agustus 2002 dan memperoleh penetapan badan hukum pada tahun
2006 melalui SK Badan Hukum No. 467/BH/MENEG.1/2006 yang
berkedudukan di Jl. Sultan Iskandar Muda No. 1, Pondok Indah, Jakarta
selatan.
Selain SK tersebut, BMT Usaha mulya juga memiliki dokumen
hukum lain sebagai dasar kegiatan operasional yang meliputi SIUP
(Surat Izin Usaha Perdagangan) dengan No. 0685/1.824.271 dan Tanda
Daftar Perusahaan (TDP) dengan No. 09.03.2.51.01043 yang masing-
masing diperoleh dari Dinas Perdagangan/Kementerian Perdagangan.
Sebagai wajib pajak badan, BMT Usaha Mulya juga terdaftar
sebagai wajib pajak di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
dengan Nomor Pokok: 02.503.943.9-013.000.
8 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=zakat pada tanggal 22 Mei 2016
45
Sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatan operasionalnya,
BMT Usaha Mulya memiliki visi-misi sebagai berikut:
a. Visi
“Menjadi Lembaga Keuangan Berbasis Syariah Terdepan Serta
Terpercaya Dalam Mensosialisasikan Dan Mengembangkan Sistem
Keuangan Sebagai Solusi Efektif Untuk Meningkatkan
Perekonomian, Produktifitas, Dan Kesejahteraan Masyarakat
Bawah dan Menengah”
b. Misi
i. Mengaplikasikan Mekanisme Bermuamalah Menurut Tuntunan
Syariah Islam
ii. Memudahkan Akses Permodalan Dan Pengelolaan Kegiatan
Usaha Bagi Masyarakat Bawah Menengah Secara Finansial
Maupun Non-finansial
iii. Mengembangkan Potensi Ummat Untuk Dapat Berkiprah
Membangun Perekonomian Dan Mengentaskan Kemiskinan
iv. Membangun Budaya Usaha Yang Amanah, Bermartabat dan
Adil
Layaknya BMT pada umumnya, BMT Usaha Mulya memiliki
komitmen dan focus pada pemberdayaan serta pengembangan kegiatan
usaha produktif atau investasi dikalangan masyarakat bawah menengah
dalam bentuk permodalan atau pengelolaan usaha baik secara financial
ataupun non-finansial dengan memadukan fungsi Baitul Maal
(penghimpunan dana) dan Baitul Tamwil (pengembangan usaha).
Dalam mendukung kegiatan operasionalnya, BMT Usaha Mulya
didukung oleh beberapa aspek, baik aspek teknologi ataupun manajerial.
Aspek teknologi yang dimaksud meliputi sistem standardisasi lembaga
keuangan melalui pemanfaatan perangkat teknologi dan informasi.
Sedangkan aspek manajerial meliputi pengelolaan yang dibangun
berdasarkan prinsip efisiensi dan profesional.
46
Selain itu, BMT Usaha Mulya juga menjalin kerja sama dengan
sejumlah lembaga untuk mendukung kegiatan dibidang pelayanan
keuangan, antara lain:
a. PT. Asuransi Takaful
b. Bank Permata Syariah
c. Bank Muamalat Indonesia
d. Asosiasi BMT Korwil DKI Jakarta
Struktur organisasi BMT Usaha Mulya yang menunjang efektifitas
dan efisiensi dalam kegiatan operasional BMT meliputi pengawas
syariah, pengawas manajemen dan pengurus yang meliputi ketua,
sekertaris dan bendahara.
Tabel. 3.1.
2. Produk BMT Usaha Mulya
Sebagaimana telah disinggung diatas, produk BMT Usaha Mulya
secara garis besar dapat dibagi kedalam usaha penghimpunan dana
(funding) dan pembiayaan (landing). Penghimpunan dana yang dikelola
Sekertaris:
Warja, S.E
Bendahara:
Nur Baiti, A.Md
Pengawas Syariah:
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja,
S.H, M.A
Ketua:
H. Ika Ahmad Furqon, L.C
Pengawas Manajemen:
1. M. Ridwan
2. M. Yusuf Sudono, S.H
47
BMT Usaha Mulya diperoleh dari 3 (tiga) usaha, yakni penyertaan modal
dari Yayasan Pondok Mulya, Penghimpunan dana yang bersumber dari
Zakat, Infaq dan Sodaqoh produktif yang bekerja sama dengan Badan
Pengelola (Amil) ZIS Masjid Raya Pondok Indah, dan Himpunan dana
yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito.
Sedangkan pembiayaan yang dilakukan oleh BMT Usaha Mulya
meliputi pembiayaan yang diperuntukkan bagi usaha dan perniagaan
seperti usaha perdagangan, industry kerajinan/home industry, dan
berbagai jenis jasa; dan pembiayaan konsumtif dengan skema
Musyarakah atau Mudharabah.
Adapun produk simpanan yang disediakan oleh BMT Usaha Mulya,
antara lain:9
a. Simpanan Mudharabah, yakni simpanan masyarakat yang dilakukan
dengan prinsip mudharabah guna dikelola oleh BMT.
b. Simpanan Pendidikan, yakni simpanan yang diperuntukkan bagi
pembiayaan kebutuhan sekolah, yang penarikannya dapat dilakukan
pada momen-momen tertentu (sebelum tahun ajaran baru, semester
dan akhir semester).
c. Simpanan Idul Fitri, merupakan simpanan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan menjelang hari raya idul fitri dan penarikannya
hanya dapat dilakukan pada saat menjelang hari raya idul fitri.
d. Simpanan Idul Qurban, merupakan simpanan yang diperuntukkan
bagi pembelian hewan qurban menjelang hari raya idul adha serta
membantu penyalurannya kepada para mustahik.
e. Simpanan Walimah, adalah simpanan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pernikahan dan resepsi. Penarikannya dapat
dilakukan menjelang dilangsungkannya pernikahan.
9 Intan Nur’aini Daeng Mata, Manajemen Dana Bergulir Ghuafa BMT Usaha Mulya Jakarta
Selatan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Hal. 45-47
48
f. Simpanan Haji, merupakan simpanan yang diperuntukkan bagi
kebutuhan ibadah haji nasabah, dan penarikannya dapat dilakukan
menjelang keberangkatan ibadah haji.
g. Simpanan Berjangka, adalah investasi syariah yang penarikannya
dilakukan berdasarkan jangka waktu tertentu yang telah disepakati
dengan BMT termasuk Nisbah bagi hasil yang akan diberikan.
Sedangkan produk pembiayaan yang disediakan oleh BMT Usaha
Mulya, antara lain:10
a. Pembiayaan Murabahah, adalah pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip murabahah dan pengembaliannya disesuaikan
dengan kesepakatan dengan nasabah, apakah dilakukan secara
angsuran atau berdasarkan jatuh tempo.
b. Pembiayaan Ijarah, merupakan pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip Ijarah, dimana dalam pembiayaan Ijarah yang
dilakukan oleh BMT Usaha Mulya memiliki 2 (dua) bentuk, yakni
Ijarah Multi Jasa, untuk pemindahan hak guna jasa dan Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik, untuk pemindahan hak guna barang.
c. Pembiayaan Musyarakah, merupakan pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal terhadap usaha nasabah yang pembagian bagi
hasilnya disesuaikan dengan kesepakatan para pihak.
d. Pembiayaan Mudharabah, merupakan pembiayaan yang
diperuntukkan untuk modal kerja nasabah yang mencapai 100% dan
diberikan kepada nasabah yang memiliki kemampuan dan kapasitas
dalam menjalankan usaha, serta bertanggung jawab dalam
pengelolaan usaha tersebut.
e. Pembiayaan dana bergulir dhuafa, merupakan pembiayaan yang
bersumber dari dana sosial dan ZIS dan diperuntukkan untuk
keperluan usaha kaum dhuafa
10
Intan Nur’aini Daeng Mata, Manajemen Dana Bergulir Ghuafa BMT Usaha Mulya Jakarta
Selatan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Hal. 47-49
49
f. Jasa Pembayaran, merupakan produk tambahan BMT Usaha Mulya
dalam hal membantu nasabah dalam melakukan pembayaran, baik
rekening PLN, Telepon, PDAM, dan isi ulang pulsa.
50
BAB IV
ANALISA HASIL PENELITIAN TERKAIT KEWENANGAN BAITUL
MAL WA TAMWIL DALAM MELAKUKAN PENGELOLAAN ZAKAT
A. Gambaran Umum Aplikasi Zakat Pada Baitul Mal Wa Tamwil
Di Indonesia, pengelolaan zakat meliputi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Butir 1 UU No.
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Baitul Mal wa Tamwil adalah lembaga yang tidak hanya berfungsi
sebagai baitul tamwil (jasa keuangan), tetapi juga sebagai baitul mal
(pengelolaan zakat). Secara s77ederhana, Baitul Mal wa Tamwil dalam
kedudukannya sebagai amil setidaknya harus tunduk pada batasan-batasan
pengelolaan zakat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Butir 1 UU
Pengelolaan Zakat, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengoordinasian dalam mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan dana zakat untuk kepentingan mustahik dan muzakki.
Berdasarkan pasal tersebut, diketahui bahwa ruang lingkup pengelolaan
zakat meliputi, kegiatan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
zakat yang padanya melekat tahapan perencanaan, pelaksanaan dan
pengoordinasian.
Grafik. 4.1.
Penjelasan Rumusan Pasal 1 Butir 1 UU Pengelolaan Zakat
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
PENGOORDINASIA
N
PENGUMPULAN
PENDISTRIBUSIAN
PENDAYAGUNAAN
51
1. Perencanaan Dalam Pengumpulan, Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Oleh Baitul Mal Wa Tamwil
Dalam tahapan perencanaan dalam kegiatan pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh Baitul Mal wa Tamwil, penulis mengambil titik tolak
pada sistem pengambilan kebijakandan perencanaan strategis dan teknis
di masing-masing Baitul Mal wa Tamwil yang dipilih sebagai objek
penelitian.
BMT Al-Fath
BMT Al-Fath memiliki struktur organ yang meliputi Rapat Anggota,
Pengurus dan Pengawas. Dalam pengambilan kebijakan dan
perencanaan yang sifatnya strategis dan jangka panjang (minimal 1
tahun), diputuskan melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai
forum tertinggi lembaga, sedangkan pengambilan kebijakan dan
perencanaan secara teknis diserahkan kepada Manajer Maal, yang
secara structural berada dibawah pengurus, dengan koordinasi yang
dilakukan kepada pengurus harian dan pengawas dalam pengambilan
kebijakan.1
BMT Usaha Mulya
BMT Usaha Mulya memiliki struktur organ meliputi Yayasan
Masjid Raya Pondok Indah sebagai pemegang hak Rapat Anggota
Tahunan, pengawas manajemen, pengawas syariah, dan pengurus.
Mekanisme penetapan kebijakan dan perencanaan strategis yang
dilakukan BMT Usaha Mulya sama dengan yang dilakukan di BMT
Al-Fath, dimana kebijakan strategis diputuskan oleh Yayasan Masjid
Pondok Indah melalui mekanisme RAT. Sedangkan pengambilan
kebijakan dan perancanaan yang sifatnya teknis ditentukan oleh
manajer operasional dengan koordinasi kepada pengurus harian,
pengawas manajemen dan pengawas syariah.2
1 Hasil Wawancara dengan Manajer Maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016
2 Hasil Wawancara dengan Manajer Operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
52
Menariknya, BMT Usaha Mulya hingga saat ini belum ada
pemisahan antara manajer yang bertanggung jawab untuk mengelola
kegiatan simpan-pinjam (manajer tamwil) dan manajer yang
bertanggung jawab mengelola dana zakat (manajer mal) yang
diakibatkan oleh keterbatasan SDM yang ada di BMT Usaha Mulya.
Menurut Ika Ahmad Furqon, idealnya sebuah BMT memiliki
personil sebanyak 30 orang.3
Perbedaan mencolok diantara kedua BMT ini adalah keterlibatan
pengawas syariah dan personil yang menjalankan usaha baitul mal.
Pertama, Dalam keterlibatan pengawas syariah, pengambilan kebijakan/
perencanaan strategis yang diputuskan di BMT Usaha Mulya harus
berdasarkan persetujuan Pengawas Syariahuntuk memberikan kepastian
atas kebijakan BMT yang sesuai dengan nilai-nilai syari’. Sedangkan hal
yang sama tidak dilakukan di BMT Al-Fath akibat ketiadaan pengawas
syariah.
Kedua, terkait dengan personil/pelaksana, BMT Usaha Mulya
sampai sejauh ini masih dilakukan penggabungan pengelolaan antara
pelaksana Baitul Mal maupun Baitul Tamwil, sedangkan BMT Al-Fath
sudah dilakukan pemisahan tersendiri antara manajer yang bertanggung
jawab untuk urusan Tamwil dan Mal
2. Pelaksanaan Dalam Pengumpulan, Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Oleh Baitul Mal Wa Tamwil
Sebagaimana dijelaskan diatas, pelaksanaan kegiatan BMT secara
structural dilakukan oleh pengurus atas amanah yang diberikan oleh
Rapat Anggota. Pengurus kemudian akan mendistribusikan kewenangan
dalam menjalankan kegiatan operasional pengelolaan zakat kepada
manajer Mal.
BMT Usaha Mulya
3 Hasil wawancara dengan Manajer Operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
53
BMT Usaha Mulya dalam mengelola dana zakat tidak melakukan
pengumpulan secara langsung karena sebelumnya telah berdiri
Badan Pengelola ZIS yang sama-sama berada dibawah yayasan
Masjid Pondok Indah.4
BMT Usaha Mulya hanya mengelola sebagian penyaluran zakat mal
yang telah dihimpun oleh Badan Pengelola ZIS Masjid Pondok
Indah untuk disalurkan kepada masyarakat melalui pembiayaan
produktif yang ditujukan kepada mustahik dan tidak ada proporsi
jelas untuk pembagian tiap-tiap golongan mustahik.5
BMT Al-Fath
Berbeda dengan yang dilakukan oleh BMT Usaha Mulya, BMT AL-
Fath justru melakukan pengumpulan dana ZIS secara langsung dari
masyarakat. Penerimaan tersebut dilakukan melalui loket yang
tersedia di kantor pusat BMT dan kantor cabang/kas BMT serta
melalui transfer perbankan pada rekening yang telah disediakan oleh
BMT.6
Untuk penerimaan zakat melalui fasilitas transfer perbankan, BMT
memberikan fasilitas dan layanan kepada donator untuk menghitung
jumlah zakat yang wajib ditunaikan melalui aplikasi kalkulator zakat
yang tersedia di website resmi BMT. Tujuannya, agar
mempermudah mustahik dalam menunaikan kewajibannya.7
Dalam pendistribusiannya, BMT Al-Fath memisahkan penerimaan
zakat dan infaq, dimana dana yang bersumber zakat dipergunakan
untuk kegiatan sosial, seperti pengobatan gratis dan bea siswa bagi
mustahik. Sedangkan dana infaq dipergunakan untuk qordul hasan
guna memberdayakan masyarakat fakir miskin.8
4 Hasil wawancara dengan Manajer Operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
5 Hasil wawancara dengan Manajer Operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
6 Hasil wawancara dengan Manajer Maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016
7 Diakses melalui http://www.bmtalfath.com/index.php?peji=zakat pada tanggal 22 Mei 2016
8 Hasil wawancara dengan Manajer Maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016
54
3. Pengoordinasian Dalam Pengumpulan, Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat Oleh Baitul Mal Wa Tamwil
Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal wa Tamwil
merupakan sesuatu yang menarik, mengingat dalam pengelolaan dana
zakat yang dilakukan sangat terkait dengan banyak lembaga dan institusi
lain sehingga menarik untuk diketahui bentuk koordinasi dengan
lembaga tersebut.
Dalam penelitian ini, setidaknya ada 2 (dua) bentuk koordinasi yang
ditemukan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal wa
Tamwil, yakni koordinasi dengan Lembaga Amil Zakat, dan koordinasi
dengan instansi pemerintahan yang terkait.
BMT dalam mengelola dana zakat senantiasa berkoordinasi dengan
LAZ (lembaga amil zakat) yang terdaftar untuk keperluan pelaporan
hasil pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT. Pelaporan ini
dilakukan untuk memenuhi 2 (dua) hal yakni untuk kepentingan laporan
kepada Negara dan bentuk akuntabilitas dan transparansi yang dilakukan
oleh BMT.9
Sedangkan koordinasi yang dilakukan dengan instansi pemerintahan
yang terkait, BMT senantiasa berkoordinasi dengan Walikota/Gubernur
dan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(Kemenkop dan UMKM) sebagai bentuk pengawasan dan pembinaan
terhadap koperasi.10
Terkait dengan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BMT, hingga
sejauh ini belum ada koordinasi secara langsung, baik dengan BAZNAS
ataupun Kementerian Agama, sebagai institusi pemerintahan yang
terkait. Hal ini dikarenakan BMT belum terdaftar sebagai Lembaga Amil
9 Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 dan manajer
operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016 10
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 dan manajer
operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
55
Zakat, sehingga dalam pengelolaannya perlu bermitra dengan Lembaga
Amil Zakat yang lain.11
B. Analisa Hasil Temuan
1. Perbandingan Pengelolaan Zakat Oleh BMT Al-Fath dan BMT
Usaha Mulya
Tabel. 4.1.
Profil dan Pengelolaan Zakat Oleh BMT al-Fath dan BMT Usaha Mulya
No Indikator BMT Al-Fath BMT Usaha Mulya
1 Struktur manajer tamwil dan manajer mal
berada dibawah kedudukan BPH
BMT
pengelolaan maal dan
tamwil masih berada
dibawah manajer
operasional akibat
keterbatasan SDM
2 pengambilan
kebijakan
untuk kebijakan yang sifatnya
strategis diputuskan oleh RAT
sedangkan teknis diserahkan
kepada manajer
untuk kebijakan strategis
perlu koordinasi dengan
pengawas dan pengurus
untuk teknis diserahkan
kepada manajer operasional
4 pengelolaan
zakat untuk dana zakat diperuntukkan
untuk anak asuh dan kegiatan
sosial, untuk dana infaq untuk
qardul hasan
hanya mengelola zakat mal
yang disalurkan dalam
bentuk pembiayaan
produktif, sedangkan
penghimpunannya
diserahkan kepada BP ZIS,
BMT hanya menerima
sebagian dana zakat dan
melakukan pengelolaan
5 kerjasama
dengan LAZ
dengan dompet dhuafa sebagai
mitra dalam hal pelaporan dan
legalitas Tidak
6
proporsi dan
penyaluran
zakat mayoritas ditujukan kepada fakir
miskin dan fisabilillah (guru)
kondisional selama yang
membutuhkan adalah
mustahik dan disalurkan
dalam bentuk pembiayaan
produktif
7 pengawasan
internal Hanya pengawas manajemen
Ada pengawas manajemen
dan syariah
8 Regulator dan
pengawas kementerian koperasi kementerian koperasi
11
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 dan manajer
operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
56
9 pengawasan
instansi lain tidak ada karena BMT bukan
lembaga keuangan mikro syariah,
pelaporan dilakukan kepada
dompet dhuafa 3 (tiga) bulan sekali
tidak ada karena BMT
bukan lembaga keuangan
mikro syariah dan akan
menyulitkan untuk
pengembangan BMT, tidak
ada pengawasan yang
dilakukan oleh Baznas
Berdasarkan data diatas, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara
pengelolaan yang dilakukan oleh BMT Al-Fath dan BMT Usaha Mulya.
Antara lain:
a. Persamaan
Pengambilan Kebijakan
Dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh BMT Al-Fath
dan BMT Usaha Mulya, khususnya yang terkait dengan pengelolaan
zakat, sama-sama diputuskan melalui mekanisme rapat anggota tahunan
dan dilaksanakan oleh pengurus BMT.
Regulator dan Pengawas
Regulator dalam kegiatan operasional BMT Al-Fath dan BMT
Usaha Mulya, baik dalam kegiatannya sebagai baitul tamwil ataupun
sebagai baitul mal, dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah. Sedangkan OJK dan Baznas sejauh ini tidak melakukan
pengawasan atas kegiatan operasional yang dilakukan oleh BMT.12
b. Perbedaan
Struktur Organisasi
Terkait struktur organisasi, khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan zakat, kedua BMT memiliki perbedaan. Dimana, BMT Al-
Fath dalam melakukan operasional pengelolaan zakat dilakukan oleh
12
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 dan manajer
operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
57
manajer maal.13
Sedangkan BMT Usaha Mulya dilakukan manajer
operasional yang mencakup operasional baitul mal dan baitul tamwil.14
Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh kedua BMT pada pokoknya
memiliki perbedaan secara mencolok. Dimana, BMT Al-Fath melakukan
pengumpulan zakat secara langsung dari masyarakat untuk dilakukan
pengelolaan dan penyaluran.15
Sedangkan pengelolaan zakat oleh BMT
Usaha Mulya tidak dilakukan secara langsung, melainkan dilakukan oleh
badan amil khusus yang dibentuk oleh yayasan dan sebagian dananya
dikelola oleh BMT Usaha Mulya.16
Kerjasama dengan LAZ
Hanya BMT Al-Fath yang melakukan kerja sama dengan LAZ lain
dalam pengelolaan zakat. Kerja sama dilakukan antara BMT Al-Fath
dengan Dompet Dhuafa, khususnya dalam hal pelaporan penerimaan dan
penyaluran dana zakat yang dilakukan.17
Sebaliknya, BMT Usaha Mulya tidak melakukan kerja sama dengan LAZ
lain. Hal tersebut dikarenakan yayasan masjid pondok indah sebagai
anggota BMT Usaha Mulya telah membentuk lembaga amil yang
bertugas mengumpulkan zakat. Sehingga BMT Usaha Mulya tidak perlu
untuk mengadakan kerja sama dengan LAZ lain.18
Kerja sama yang
dilakukan oleh BMT Usaha Mulya selama ini dilakukan kepada lembaga
keuangan syariah guna menopang usaha pembiayaan mikro yang
dilakukan.
13
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 14
Hasil wawancara dengan manajer operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016 15
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 16
Hasil wawancara dengan manajer operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016 17
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 18
Hasil wawancara dengan manajer operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016
58
Mekanisme Penyaluran Zakat
Terkait distribusi zakat yang dilakukan oleh BMT Al-Fath dan BMT
Usaha Mulya pada pokoknya memiliki karakteristik tersendiri. Dimana,
BMT Al-Fath hanya menyalurkan dana yang bersumber dari zakat untuk
keperluan-keperluan sosial yang ditujukan mayoritas kepada mustahik
yang ada di sekitar wilayah BMT, yakni fakir miskin dan fisabilillah
(guru).19
Sedangkan BMT Usaha Mulya memanfaatkan dana yang
bersumber dana zakat sebagai pinjaman produktif (qordul hasan) yang
disalurkan kepada penerima zakat (mustahik) yang orientasinya kearah
pemberdayaan ekonomi.20
Pengawasan Internal
Dalam hal pengawasan internal, BMT Usaha Mulya selangkah lebih
maju dibandingkan BMT Al-Fath, dimana dalam pengawasan kegiatan
operasional yang dilakukan tidak hanya dilakukan pengawasan
manajemen melainkan juga dilakukan pengawasan syariah oleh Dewan
Pengawas Syariah.21
Sedangkan BMT Al-Fath sampai sejauh ini hanya
melakukan pengawasan manajemen dan belum memiliki Dewan
Pengawas Syariah.22
2. Pengelolaan Zakat Menurut UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat
Secara kelembagaan, pengelolaan zakat diatur dalam UU
Pengelolaan Zakat meliputi Badan Amil Zakat (BAZNAS), Unit
Pengelola Zakat (UPZ)/Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ), dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ).23
19
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 20
Hasil wawancara dengan manajer operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016 21
Hasil wawancara dengan manajer operasional BMT Usaha Mulya pada tanggal 25 Mei 2016 22
Hasil wawancara dengan manajer maal BMT Al-Fath pada tanggal 27 Mei 2016 23
Lihat pasal 1 Butir 7, 8 dan 9 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
59
Menurut Nurul Huda dan Muhammad Heykal, ada 4 (empat) alasan
mengapa pengelolaan zakat wajib dilakukan oleh lembaga amil zakat,
yakni dalam rangka menjamin ketaatan pembayaran, menghilangkan rasa
kikuk dan canggung muzakki dan mustahiq dalam penyaluran zakat,
efisiensi dan efektifitas alokasi dana zakat, dan paham caesoropapisme
atau kewenangan negara dalam urusan agama.24
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan lembaga yang
dibentuk oleh UU untuk mengelola zakat secara nasional. Sedangkan
UPZ/OPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk
membantu pengumpulan zakat.
Baznas sendiri menurut UU No. 23 Tahun 2011 memiliki fungsi
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian laporan dan
pertanggungjawaban pengelolaan zakat secara nasional.25
Sedangkan LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Dalam menjalankan fungsinya, Baznas wajib
menyampaikan laporan dan pertanggungjawabannya kepada presiden
melalui menteri agama paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
Untuk membantu pengelolaan zakat di daerah, Baznas kemudian
dapat membentuk Baznas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dibentuk
oleh menteri atas usul kepala daerah terkait dengan memperhatikan
pertimbangan Baznas.26
Kemudian Baznas dalam tingkatan nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota diperkenankan membentuk Unit
Pengelolaan Zakat (UPZ) pada instansi pemerintah, BUMN/BUMD,
perusahaan swasta, perwakilan republic Indonesia diluar negeri dan
ditingkatan kecamatan atau kelurahan.
Selain dikelola secara terpusat, UU No. 23 Tahun 2011 juga
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan
24
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2010), hal. 305-306 25
Lihat Pasal 7 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat 26
Lihat Pasal 15 Ayat 1 dan 2 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
60
pengelolaan zakat dalam bentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). UU
Pengelolaan Zakat secara lebih lanjut mengatur ciri-ciri LAZ sebagai
berikut:27
a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah dan sosial
b. Berbentuk lembaga badan hukum
c. Mendapatkan rekomendasi BAZNAS
d. Memiliki pengawas syariat
e. Memiliki kemampuan teknis, administrative dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya
f. Bersifat nirlaba
g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat
h. Bersedia diaudit secara syariat dan keuangan secara berkala
Apabila telah memenuhi persyaratan diatas, maka LAZ wajib
memperoleh izin dari menteri atau pejabat terkait untuk kemudian
melakukan pelaporan kepada Baznas terkait pengelolaan zakat yang
dilakukan, meliputi perencanaan, pengelolaan, pendistribusian dan
pendayagunaan.
Meskipun berhak dikelola oleh Negara dan swasta (masyarakat),
lembaga amil zakit harus memenuhi sifat independen, netral, tidak
berpolitik (praktis), dan tidak diskriminatif dalam melakukan
pengelolaan zakat.28
Selain melakukan pengelolaan zakat, LAZ juga diperbolehkan
melakukan pengelolaan dana infaq dan sodaqoh. Atas pengelolaan
tersebut pembukuan yang dilakukan oleh LAZ wajib dilakukan secara
terpisah baik yang diperoleh dari dana zakat ataupun yang diperoleh dari
infaq dan sodaqoh. Dalam membiayai kegiatan operasionalnya, LAZ
27
Lihat Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat 28
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2010), hal. 306
61
dierkenankan untuk mengambil bagian zakat atas hak amil sebesar
12,5%. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha pemenuhan ketentuan yang
disayariatkan, dimana hak amil sebesar 1 bagian dari 8 golongan
penerima zakat (mustahik).
Terkait pengawasan dan pembinaan, terhadap Baznas dilakukan
dilakukan oleh menteri agama.29
Selain dilakukan oleh menteri,
pengawasan juga dapat dilakukan oleh kepala daerah terhadap Baznas
provinsi dan kabupaten/kota masing-masing. Bentuk pembinaan tersebut
antara lain berupa fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi terhadap Baznas.30
Sedangkan terhadap LAZ, pengawasan dilakukan dalam bentuk
pemberian laporan yang disampaikan kepada Baznas dan pemerintah
daersah terkait pengelolaan zakat yang dilakukan dalam kurun waktu
tertentu.Selain dilaporkan kepada Baznas, masyarakat juga diberikan
kesempatan dalam pembinaan dan melakukan pengawasan terhadap
LAZ.
Pembinaan yang dimaksud dalam hal ini meliputi edukasi terkait
peningkatan kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban zakat
melalui LAZ dan Baznas, serta memberikan saran atas peningkatan
kualitas pengelolaan zakat oleh LAZ dan Baznas.
Sedangkan pengawasan oleh masyarakat meliputi, akses terhadap
informasi seputar pengelolaan zakat serta penyampaian informasi/laporan
apabila terjadi penyimpangan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh
LAZ atau Baznas.
3. Keseuaian Praktek Pengelolaan Zakat Oleh BMT Terhadap UU No.
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Diatas telah dijelaskan bahwa UU Pengelolaan Zakat telah
membatasi kewenangan pengelolaan zakat secara kelembagaan hanya
diberikan kepada Baznas sebagai wakil dari pemerintah, dan LAZ
29
Lihat pasal 34 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat 30
Lihat Pasal 34 ayat 3 UU No. 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
62
sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam melakukan pengelolaan
zakat di Indonesia. Pasal 18 UU Pengelolaan Zakat secara lebih lanjut
mengatur ciri-ciri LAZ sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah dan sosial
b. Berbentuk lembaga badan hukum
c. Mendapatkan rekomendasi BAZNAS
d. Memiliki pengawas syariat
e. Memiliki kemampuan teknis, administrative dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya
f. Bersifat nirlaba
g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat
h. Bersedia diaudit secara syariat dan keuangan secara berkala
Berdasarkan rumusan pasal diatas, maka perlu ada penyesuaian bagi
lembaga swasta yang melakukan pengelolaan zakat di Indonesia,
termasuk salah satunya adalah BMT. Konsep Baitul Mal wa Tamwil
dalam sejarahnya di Indonesia telah mengambil bentuk badan hukum
koperasi. Hal ini tentunya akan membawa dampak secara yuridis
terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh BMT dalam melakukan
pengelolaan zakat.
Dampak tersebut antara lain ketidaksesuaian bentuk badan BMT
yang berupa koperasi dengan LAZ dalam bentuk yayasan/ormas yang
diperbolehkan untuk mengelola zakat di Indonesia. Akan tetapi apabila
BMT merubah bentuk badan hukumnya menjadi Yayasan/ormas maka
akan kembali terjadi permasalahan dalam kaitannya dengan usaha tamwil
(pembiayaan) yang dilakukan oleh BMT.
Untuk mengatasi hal tersebut menurut pertimbangan penulis, ada 2
(dua) solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut, pertama adalah
perubahan regulasi terkait pengelolaan zakat yang mana memberikan
63
kewenangan kepada BMT (koperasi) untuk ikut melakukan pengelolaan
zakat dengan beberapa cacatan pemisahan pengelolaan dan pembukuan
dana zakat dan dana tamwil yang dilakukan oleh BMT.
Kedua, (anggota) BMT dapat secara bersama-sama membentuk
yayasan baru untuk membantu usaha perizinan dalam pengelolaan zakat
yang dilakukan. Hal ini ditujukan untuk membantu BMT dalam
melakukan pengelolaan zakat dan tidak melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan yang diatur dalam UU Pengelolaan Zakat.
Usaha Baitul Mal wa Tamwil diatur dalam Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menteri KUKM) No.
16/Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam
dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Pasal 2 Ayat 4 Peraturan menteri di atas menjelaskan bahwa “Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Koperasi wajib memiliki visi,
misi dan tujuan yang diarahkan untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan
ekonomi anggota sehingga tumbuh menjadi kuat, mandiri dan tangguh”.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) tidak murni
berorientasi keuntungan (profit oriented) melainkan bertujuan untuk
pemberdayaan ekonomi anggota pada khususnya dan nasabah pada
umumnya.
Akan tetapi, menurut Makhalul Ilmi, upaya penghimpunan ZIS oleh
BMT memiliki permasalahan meliputi, anggapan masyarakat yang tidak
memahami BMT, pengelola belum memahami filosofi pengelolaan
zakat, indikasi pergeseran focus BMT menjadi lebih profit oriented, tidak
memiliki ghirah dalam menerapkan prinsip syariat dalam BMT, dan
belum adanya sosialisasi terkait regulasi pengelolaan zakat.31
Dari struktur organisasi BMT, menurut Permen Koperasi dan UKM
No. memiliki 4 (empat) organ wajib yang diatur dalam Permen Koperasi
31
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Keuangan Mikro Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
UII Press, 2002), hal. 71
64
dan UKM Nomor. 16 Tahun 2015 antara lain, Rapat Anggota, Pengawas
Manajemen, Pengawas Syariat, dan Pengurus yang membawahi manajer-
manajer dibawahnya.
Praktek yang terjadi di BMT Al-Fath dan BMT Usaha Mulya
menunjukkan kondisi yang belum ideal dalam hal kegiatan operasional
BMT, khususnya dalam hal penerapan struktur organisasi yang
dipersyaratkan oleh Undang-Undang.
BMT Al-fath mengalami kekurangan personil pengawas syariat,
sedangkan BMT Usaha Mulya mengalami keterbatasan dalam hal
manajer yang khusus bertanggung jawab atas pengelolaan dana tamwil
dan dana maal.
Kedua BMT tersebut sepakat bahwa, permasalahan struktur
organisasi dan kepengurusan BMT disebabkan oleh keterbatasan Sumber
Daya Manusia (SDM) baik dari sisi kuantitas (jumlah) ataupun kualitas
(kapasitas) personil BMT.
Guna mengatasi hal tersebut setidaknya didapatkan beberapa
masukan yang bersumber dari internal BMT, yakni:
Peningkatan kualitas SDM yang ada dengan pembekalan berupa
training, workshop, dan pendidikan personil BMT sehingga
memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan tamwil dan
maal secara efektif dan efisien dan sesuai dengan prinsip syariah
Penanaman pemahaman kepada masyarakat perihal profesi amil dan
pengelolaan BMT dengan membuka kesempatan kepada Perguruan
Tinggi untuk memperluas akses pembelajaran kepada masyarakat
dibidang muamalah (ekonomi islam).
Terkait pengelolaan zakat, Pasal 27 ayat 1 Peraturan Menteri
Koperasi dan UKM Nomor 16 Tahun 2015 menjelaskan bahwa KSPPS
berhak menjalankan kegiatan maal dalam rangka pemberdayaan anggota
dan masyarakat dibidang sosial dan ekonomi. Pada ayat 2 dijelaskan
65
bahwa kegiatan maal tersebut dilakukan melalui penghimpunan dan
pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf dan dana sosial lain.
Khusus untuk masalah pengelolaan maal dibidang zakat, Hal ini
menjadi perdebatan mengingat pengelolaan zakat menurut UU No. 23
Tahun 2011 mengacu pada sistem sentralistik, dimana pengelolaan zakat
dilakukan secara terpusat oleh BAZNAS sebagai badan amil resmi
bentukan pemerintah.
Peran serta masyarakat dalam hal pengelolaan zakat hanya terbatas
dalam bentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Secara kelembagaan, BMT
dalam beberapa hal memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Amil Zakat
(LAZ). Tercatat hanya bentuk badan hukum yang menyulitkan BMT
mendapatkan izin pengelolaan zakat dari Kementerian Agama.
Akan tetapi untuk menilai kewenangan BMT dalam mengelola zakat
secara menyeluruh, penulis juga melakukan analisa terhadap pengelolaan
zakat yang selama ini telah dilakukan oleh BMT. Ada 2 (dua) bentuk
pengelolaan zakat oleh BMT yang ditemui terkait pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BMT.
Pertama adalah pembentukkan LAZ yang pembentukannya
dilakukan oleh anggota koperasi guna mendapatkan izin dalam
melakukan pengelolaan zakat. Dari hasil penerimaan zakat LAZ tersebut,
sebagian hasilnya dikelola dan disalurkan oleh BMT kepada masyarakat.
Fakta yang pertama menunjukkan bahwa BMT tidak melakukan
pengelolaan zakat secara penuh sebagaimana yang dijelaskan dalam
pasal 1 butir 1 UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, karena
hanya terbatas pada pendistribusian dan pendayagunaan.
Kedua, melalui kemitraan antara BMT dengan LAZ yang telah
memiliki izin pengelolaan zakat. Dalam fakta yang kedua ini, BMT
melakukan kerja sama dengan LAZ tertentu sehingga pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BMT akan dilaporkan kepada LAZ untuk
selanjutnya dilaporkan kepada BAZNAS. Fakta tersebut menunjukkan
ada upaya mencari celah atas regulasi yang ada, dimana pengelolaan
66
dana zakat yang dilakukan oleh BMT dilaporkan kepada Negara atas
nama LAZ lain.
Bila dianalisa, dalam hal pengumpulan zakat, pasal 21 UU
Pengelolaan Zakat menegaskan bahwa dalam hal pengumpulan zakat
muzakki wajib menghitung sendiri kewajiban zakat yang harus
dibayarkan, dan apabila tidak mampu dapat meminta bantuan kepada
BAZNAS/LAZ. Pasal 23 ayat 1 menambahkan bahwa BAZNAS/LAZ
wajib memberikan bukti setor zakat kepada muzakki atas zakat yang
telah dibayarkan.
Untuk pengelolaan zakat oleh BMT dalam model pertama, BMT
tidak melakukan pengumpulan zakat sehingga tidak berwenang
mengeluarkan bukti penerimaan zakat kepada muzakki. Bukti
penerimaan dana zakat hanya diberikan kepada BP ZIS Masjid Pondok
Indah disertai dengan laporan distribusinya.
Sedangkan dalam model kedua, BMT Al-Fath, dalam hal
pembayaran zakat secara tunai melalui loket/kantor yang disediakan
makan akan dibantu perhitungannya dan diberikan kuitansi pembayaran
zakat. Apabila zakat dilakukan secara tunai maka muzakki wajib
menginformasikan kepada BMT disertai bukti transfer untuk ditukarjkan
dengan bukti pembayaran zakat yang dikeluarkan oleh BMT.
Terkait hal tersebut, maka untuk model pengumpulan dana zakat
oleh BMT yang pertama tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan zakat di
Indonesia menurut UU Pengelola Zakat. Akan tetapi hal tersebut dapat
dimaklumi dikarenakan BMT menghindari resiko pelanggaran atas
ketentuan UU Pengelolaan Zakat sebagai LAZ yang tidak berizin.
Praktek demikian, secara syariat memang diperbolehkan, mengingat para
ulama fuqaha telah sepakat bahwa pembayaran zakat yang dilakukan
oleh muzakki dapat diwakilkan kepada orang lain.
Dalam hal distribusi hasil zakat diatur dalam pasal 25 – 26 UU
Pengelolaan Zakat, dimana amil wajib menyalurkan zakat sesuai dengan
ketentuan syariat islam dan penyalurannya dilakukan berdasarkan skala
67
prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan
kewilayahan.
Syariat islam yang dimaksud disini ialah berarti dilakukan
berdasarkan prinsip syariat, khususnya terkait mustahik yang menerima
zakat dan akad yang menyertainya. Hal tersebut sejalan dengan perintah
Allah SWT. Melalui Q.S At-Taubah:60.
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. At-Taubah: 60)
Kemudian dijelaskan bahwa penyaluran kepada masing-masing
mustahik tidak wajib dilakukan secara merata, melainkan harus
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dari golongan mustahik yang
mana yang paling membutuhkan bantuan zakat. Distribusi zakat
diperbolehkan tidak secara merata jumlahnya kepada setiap golongan
manakala dalam wilayah tersebut ada salah satu golongan yang
keberadaannya tidak ditemukan, semisal musafir, dll.
Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan zakat menurut Kementerian
Agama, yakni sebagai sarana pemerataan rezeki dan menghindari
kesenjangan sosial di masyarakat. Yang menarik adalah frasa
“memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan kewilayahan”,
dimana berdasarkan analisa penulis beranggapan bahwa zakat yang
disalurkan tidak boleh ada muatan diskriminasi dan harus adil terhadap
mustahik. Hal tersebut sebagaimana kewajiban bagi seorang muslim
dalam berlaku adil yang dijabarkan dalam Q.S An-Nahl:90
68
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Istilah “kewilayahan” dapat diartikan sebagai zakat yang diharuskan
tidak boleh terfokus dalam satu wilayah, melainkan juga harus secara
merata ditiap wilayah. Hal inilah tentunya yang menjadi peran sentral
BMT dalam melakukan pengelolaan, dimana BMT merupakan salah satu
lembaga bentukan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan
problematika yang dihadapi masyarakat tidak mampu (mustahik).
Akan tetapi istilah “kewilayahan” dilain pihak juga menuntut
koordinasi antar LAZ yang fungsinya dilakukan oleh BAZNAS guna
mencegah terjadinya penumpukan distribusi zakat dalam wilayah
tertentu. Karena apabila terjadi penumpukan distribusi zakat akan
berdampak ketidakadilan dan kecemburuan sosial bagi mustahik di
daerah lain.
Yang sangat disayangkan, hingga sejauh ini tidak ada penerapan
prinsip pemerataan kewilayaahan yang dilakukan oleh BMT yang
disebabkan belum adanya koordinasi antara BMT dengan BAZNAS
dalam hal pengaturan. Ketiadaan koordinasi ini merupakan domino effect
atas tidak diakomodirnya BMT dalam pengelolaan zakat sebagai LAZ.
Terkait pendayagunaan zakat, UU Pengelolaan Zakat membuka
ruang bagi Amil (BAZNAS/LAZ) untuk mendayagunakan zakat guna
usaha produktif bagi mustahik. Hal tersebut dimungkinkan manakala
kebutuhan pokok mustahik telah terpenuhi.
69
Tujuan pengaturan tersebut sebagai wujud pemerintah dalam
memberdayakan mustahik disisi ekonomi, sehingga diharapkan dimasa
mendatang mustahik yang diberdayakan tidak lagi bergantung dengan
bantuan yang berasal dari zakat dalam memenuhi kebutuhan atas diri dan
keluarganya.
Dalam pendayagunaan zakat, sejauh ini BMT telah menjadi pelopor
dalam membantu mustahik menjadi lebih berdaya dengan pemberian
fasilitas pembiayaan bersumber zakat yang tanpa dikenakan biaya/bagi
hasil (qordul hasan).
Dengan mengalihkan dana zakat ke sektor produktif, input produksi
akan meningkat, ditandai dengan meningkatnya permintaan atas faktor
produksi, khususnya tenaga kerja. Hal tersebut akan memberikan
multiplier effect terhadap pendapatan masyarakat dan tingkat konsumsi
masyarakat secara berkelanjutan.32
Hal tersebut dinyatakan lebih lanjut
dalam QS. Al-Baqarah: 261:
261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha mengetahui.
Bahkan menurut K.H Didin Hafidhuddin, M.Sc, BAZ atau LAZ
dalam menyalurkan zakat produktif wajib melakukan pembinaan dan
pendampingan kepada mustahik agar kegiatan usaha yang
permodalannya bersumber dari dana zakat dapat berjalan dengan baik.
32
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta:Ekonosia, 2008), hal 269-270
70
Prakteknya, inisiatif tersebut telah dilakukan oleh BMT yang dalam
memberikan pembiayaan permodalan kepada anggotanya yang berasal
dari golongan kurang mampu senantiasa dilakukan pendampingan dan
pembinaan manajemen usaha.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat yang
dilakukan BMT sebenarnya progresif dan berdampak sangat baik bagi
masyarakat. Hanya perlu maksimalisasi pendayagunaannya, dalam hal
nominal dan frekuensinya, yang sampai saat ini perlu ditingkatkan dan
menjadi tugas semua pihak/stakeholder pengelolaan zakat nasional.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan, sebagai berikut:
1. Usaha Baitul Mal wa Tamwil yang dilakukan tidak semata-mata untuk mencari
keuntungan (profit oriented), melainkan dilakukan atas dasar kekeluargaan
sebagaimana koperasi pada umumnya. Secara umum usaha BMT dapat dibagi
kedalam usaha Baitul Tamwil, yang focus dalam usaha simpan pinjam atau
pembiayaan produktif kepada anggotanya berdasarkan prinsip syariah dengan akad
wadi’ah dan mudharabah serta usaha Baitul Maal, yang berfungsi melakukan
pengelolaan zakat dan mendistribusikan kepada mustahik dalam bentuk zakat
produktif.
2. Menurut Pasal 1 Butir 1 UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. kegiatan
pengumpulan zakat meliputi usaha menghimpun dana zakat yang bersumber dari
muzakki. Kegiatan pendistribusian zakat meliputi kegiatan penyaluran dana zakat
kepada golongan mustahik yang berhak menerima zakat. Sedangkan pendayagunaan
zakat berarti upaya meningkatkan nilai manfaat dana zakat melalui penyaluran zakat
yang sifatnya produktif, seperti bantuan modal usaha kepada fakir miskin untuk
lepas dari kesulitan hidup.
3. Selama ini pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal wa Tamwil memiliki
2 (dua) bentuk, Pertama, pengelolaan zakat tidak dilakukan secara penuh
sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Pengelolaan Zakat, karena Baitul Mal wa
Tamwil hanya melakukan distribusi dan pendayagunaan zakat. Sedangkan
pengumpulannya dilakukan oleh LAZ yang memiliki keterkaitan dan bermitra
dengan Baitul Mal wa Tamwil. Kedua, Pengelolaan zakat dilakukan secara penuh,
meliputi pengumpulan, distribusi dan pendayagunaan zakat dengan dukungan dari
LAZ. Dukungan yang diberikan oleh LAZ dalam bentuk penerimaan pelaporan
72
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal wa Tamwil untuk dilaporkan
kepada Negara melalui LAZ tersebut.
4. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Baitul
Mal Wa Tamwil tidak memiliki kewenangan dalam melakukan kewenangan zakat.
Hal ini dikarenakan UU Pengelolaan Zakat hanya memberikan kesempatan
masyarakat melakukan pengelolaan zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Meskipun didalam struktur organisasinya memiliki manajer maal dan pengelolaan
zakat yang yang terpisah, Baitul Mal wa Tamwil tidak dimungkinkan untuk
mendapatkan perizinan dalam melakukan pengelolaan zakat sebagai LAZ. Hal ini
dikarenakan LAZ hanya diperbolehkan bagi organisasi kemasyarakatan islam, dan
dalam hal ini organisasi kemasyarakatan di Indonesia hanya dapat berbentuk
yayasan yang mendapat izin Kementerian Sosial/Agama atau ormas yang
mendapatkan izin dari Kementerian Dalam Negeri.
B. SARAN
Berdasarkan data yang diperoleh dan analisa yang telah dilakukan, maka ada
beberapa saran dan masukan yang berguna kepada seluruh stakeholder dalam
pengelolaan zakat dan dunia keuangan mikro syariah, yakni;
1. Bagi Pemerintah
Memperbaiki seluruh regulasi yang ada, khususnya kedudukan hukum Baitul Mal
wa Tamwil dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Ketidakpastian kedudukan
BMT akan membuat pengelolaan zakat di Indonesia tidak efektif dan tepat
sasaran mengingat BMT merupakan lembaga yang paling tahu kebutuhan dan
permasalahan masyarakat fakir miskin.
Menerapkan sistem pengawasan terhadap praktek dan upaya pemanfaatan celah
hukum dalam pengelolaan zakat di masyarakat. Karena melihat realitas yang ada
dimasyarakat, terjadi pemanfaatan celah hukum dalam pengelolaan zakat. tercatat
sejauh ini BMT yang belum memiliki izin pengelolaan justru faktanya ikut
terlibat dalam pengelolaan zakat.
Meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat atas pentingnya kewajiban
menunaikan zakat, termasuk pelatihan dan peningkatan kualitas SDM BMT
dalam melakukan pengelolaan zakat. Karena sejauh ini berdasarkan informasi
73
yang diperoleh, jumlah dan kualitas SDM yang dimiliki BMT, khususnya dalam
melakukan pengelolaan zakat masih amat minim.
2. Bagi Pengelola Baitul Mal wa Tamwil
Pengelola BMT sebaiknya sementara ini menghentikan melakukan pengelolaan
dana zakat, khususnya penghimpunan atas dana zakat langsung dari masyarakat
mengingat belum memiliki kewenangan secara hukum dalam melakukan
pengelolaan zakat.
Apabila hendak melakukan pengelolaan zakat, ada baiknya BMT membentuk
yayasan khusus dan mengajukan perizinan pengelolaan zakat kepada Menteri
Agama guna melakukan pengelolaan dana zakat yang dihimpun dari masyarakat.
Perlunya upaya pengelola/pengurus untuk meningkatkan kualitas SDM pelaksana
dalam menjalankan kegiatan operasional BMT, khususnya dalam hal pengelolaan
zakat sehingga pengelolaan zakat oleh BMT akan efisien dan efektif
Meningkatkan edukasi dan penyampaian informasi kepada masyarakat perihal
pentingnya kedudukan BMT di masyarakat dalam melakukan usaha tamwil
ataupun maal, sehingga kesadaran dan keinginan masyarakat untuk aktif dan
menjadi anggota BMT semakin besar
73
DAFTAR PUSTAKA
ACH. Syaful Hidayat, Analisis Tatakelola dan Distribusi Zakat Lembaga Zakat, Infaq dan
Sodaqoh (LAZIS) Di Malang, Universitas Muhammadiah Malang, diakses melalui www.
Keos.umm.ac.id, pada 9 Mei 2016
Eri Sudewo, Manajemen Zakat, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004)
Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003)
Hertanto Widodo, dkk., PAS (Pedoman Akuntansi Syariah): Panduan Praktis Operasional
Baitul Mal Wa Tamil (BMT), (Bandung: Mizan, 2000)
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi, ed.3,
(Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2008)
Ismail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010)
Intan Nur’aini Daeng Mata, Manajemen Dana Bergulir Ghuafa BMT Usaha Mulya Jakarta
Selatan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011)
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1988)
M. Nur Rianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Jakarta:
Pustaka Setia, 2012)
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil (BMT), cet. 2, (Yogyakarta:UII Press,
2005)
M.Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, (Jakarta: Pustaka Pelajar
Yogyakarta,1999)
Muhammad Hasbi al-Siddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: NV. Bulan Bintang, 1953)
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Keuangan Mikro Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
UII Press, 2002)
74
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013)
Nurul Hudan dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Kencana, 2013)
Pristiyanto. Et all, Strategi Pengembangan Koperasi Jasa Pembiayaan Syariah Dalam
Pembiayaan Usaha Mikro di Kecamatan Tanjung Sari Sumedang, Jurnal Manajemen
IKM, Volume 8, No. 1 (Februari 2013)
Rifki Muhammad, Akuntabilitas Keuangan Pada Organisasi Pengelola Zakat di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akutansi dan Investasi, Volume. 7, No. 1 (Januari 2006)
Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: rajawali Press, 2011)
Syeikh An Nabhany. 1995, Mukhtashar Riyadhus Shalihin. Edisi Pertama. Diterjemahkan Oleh:
M Adib Bisri, (Jakarta: Darul Hikmah)
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002)
Sintha Dwi Wulansari dan Achma Hendra Setiawan, Analisis Peranan Dana Zakat Produktif
Terhadap Perkembangan Usaha Mikro Mustahik (Studi Kasus Rumah Zakat Kota
Semarang), Diponegoro Journal of Echonomics, Volume. 3, Nomor. 1 (Tahun 2014)
Wahbah Al Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab cet.6, (Bandung: Rosda, 2005)
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
https://id.wikipedia.org/wiki/’
http://www.beritasatu.com/
75
http://www.bmtalfath.
Al Quran Terbitan Kementerian Agama Tahun 2014
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK WAWANCARA
1. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Baitul Mal wa Tamwil ini? (kapan dibentuk,
siapa tokoh pendiri, dan bentuk badan hukum)
2. Bagaimanakah struktur organisasi BMT dan apa kewenangan masing-masing organ?
3. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan dalam operasional BMT secara
makro?
4. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan dalam operasional BMT secara
mikro?
5. Apa saja produk-produk yang ada di BMT ini? Berikan penjelasan
6. Apakah BMT ini juga melakukan pengelolaan zakat? Jika ya bagaimana sistem
pengelolaan zakat dan zakat apa saja yang dikelola oleh BMT?
7. Apakah dalam melakukan pengelolaan zakat BMT bekerja sama dengan Lembaga
Amil Zakat (LAZ)?
8. Bagaimana BMT menentukan proporsi pembagian zakat kepada mustahiq? Dan apa
bentuk penyaluran zakat yang dilakukan oleh BMT?
9. Apakah dalam melakukan kegiatan operasionalnya BMT diawasi oleh dewan
pengawas syariah? Apakah BMT diawasi oleh Negara dan memberikan laporan
kepada Negara atas pengelolaan pajak yang dilakukan?
10. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya (Baitul Mal dan Baitul Tamwil), BMT
tunduk pada kementerian apa?
11. Apakah terdapat keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan
pembinaan ataupun pengawasan terhadap kegiatan operasional BMT?
12. Bagaimanakah bentuk pengawasan yang dilakukan oleh BAZNAS/Kemenag terhadap
kegiatan penerimaan zakat, infaq dan sodaqoh yang dilakukan oleh BMT?
Imam
BMT Al Fath IKMI Ciputat
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Baitul Mal wa Tamwil ini?
IKMI itu sendiri singkatannya Ikatan Masjid Indonesia, karena beberapa pendiri dari BMT ini adalahdari pengurus Masjid. Bukan pengurus secara structural, tetapi secara pribadi para perintis BMT AlFath adalah para aktifis masjid, yang mengabdikan diri di masjid-masjid. Pada tahun 1996, ada 25orang termasuk salah satunya saya. Dulu kami mengadakan taklim setelah solat subuh yangtempatnya berganti-ganti dari masjid ke masjid. Pada waktu itu pasar ciputat kebakaran, yang hariini jadi plaza ciputat. Dulu disitu ada pasar, terminal dan mushola. Wallahu a’lam itu disengaja atautidak kebakaran. Kemudian kami berpikir, bagaimana nasib para pedagang yang jadi korbankebakaran, dan ada inisiatif untuk meminjamkan modal kepada mereka. Maka waktu itu, dari 25orang yang kemudian menjadi para pencetus BMT ini petungan 400 ribu. Diatas kertas kan jadinya10 juta. Pak H. Ohim, salah satu pedagang yang menjadi anggota IKMI menerima iuran yangkemudian menjadi Kas BMT, dan pengelolaannya pun masih sukarela karena sambil dagang. Kantorpertama kita ngontrak dirumahnya pak H. Saimin di Gang Swadaya, CIputat. Seiring denganberkembangnya BMT dan karena hal lain seperti banjir, pada Tahun 2008 pindah ke depan. Barukemudian pada tahun 2011 kita punya kantor dengan bangunan sendiri yang sampai hari ini masihada di Kedaung.
2. Bagaimana struktur organisasi BMT dan apa kewenangan masing organ?
Ada ketua pengurus yang membawahi manajer-manajer, kemduian ada pengurus pembiayaan,bendahara dan sekretaris. Baru kemudian ada pengawas. Dibawah itu kemudian ada manajer BaitulMal, Manajer Baitu Tamwil dst.
3. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan dalam operasional BMT secara mikro danmakro?Kalo yang tertinggi kan anggota yah, seperti pemabahasan anggaran dana, rencana belanja danprogram kerja itu dibahas di Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan kemudian disusun olehbendahara. Kalau hal yang berkaitan dengan mekanisme teknis atau operasional diserahkankepada masing-masing manajer yang berkaitan.
4. Apa saja produk –produk yang ada pada BMT ini?
Kalo produk kita (Baitul Mal) berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Seperti santunan kepadayatim, pinjaman tanpa margin atau qardul hasan, khitanan missal untuk dhuafa, pengobatan missalutnuk dhuafa khusus untuk penyakit diabet dan darah tinggi, senam untuk kebugaran dan kegiatanlainnya selama objek kita adalah mustahik zakat. Disini kita tidak mengutamakan yatim, karenasecara teori yang harus diutamakan adalah fakir miskin. Kecuali misalkan dia yatim kemudian dilatorbelakangi dengan fakir miskin.
5. Apakah BMT ini melakukan pengelolaan zakat? Jika iya bagaimana system pengelolaan zakatdan apa saja yang dikelola oleh BMT?Iya, disini ada pengelolaan zakat.Yang pertama ada zakat mal. Terkait dengan zakat mal, karena tidak ada aturan khusus daripemerintah menyebabkan kesadaran masyarakat untuk membayar zakat mal kurang.Seingetnya aja. Kemudian ada zakat profesi, ini pun masih terdapat perbedaan (Khilafiyah). Adayang bilang pada zaman nabi tidak ada zakat profesi, kemudian ada qiyas dengan landasan jikapetani dipungut zakat sampai 10%, kenapa tidak dengan profesi yang lain. Dan sampai hari iniBMT menerima zakat profesi bersumber dari kerabat yang saya hubungi agar bisa membayarzakat profesi ke BMT ini. Kerabat bekas kantor, komunitas pengajian sampai kerabat saya dikomunitas alumni SMA.Kemudian ada infaq. Dari pembayaran listrik ketika ada kembalian, beberapa menyisihkan untukinfaq. Atau beberapa nasabah yang berhasil berdagang, saya titipi kotak untuk diisi yang kitaambil secara rutin untuk kemudian menjadi pendapatan Baitul Mal. Dan secara pembukuandibedakan, mana rekening zakat dan mana rekening infaq. Penggunaannya, kalau dana yangbersumber dari infaq kita alokasikan untuk qardul hasan. Kalau yang bersumber dari zakat untukanak asuh dan kegiatan sosial lainnya.Kita punya 50 anak asuh, perbulan kita habiskan 6 juta hanya untuk bimbingan anak asuh kami.
6. Apakah dalam melakukan pengelolaan zakat BMT bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat(LAZ)?Nggak ada. Kita hanya berkordinasi dengan dompet dhuafa, itu juga buat legalitas Baitul Maldalam mengelola zakat aja. Karena Dompet dhuafa lembaga zakat yang diakui oleh pemerintah,jadinya kita sah untuk mengelola zakat.
7. Bagaimana BMT menetukan proporsi pembagian zakat kepada mustahik? Dan apa bentukpenyaluran zakat oleh BMT?Proporsinya, karena muallaf jarang paling banyak ya fakir miskin, fi sabilillah (guru TPA yangnggak dapat honor, sama muridnya kita kasih santunan). Ibnu sabil juga jarang. Paling banyak yafakir miskin dan fi sabilillah.
8. Apakah dalam melakukan kegiatan opersionalnya BMT diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah?Apakah BMT diawasi oleh Negara atas pengelolaan zakat yang dilakukan?Belum. Ini masih dalam tahap proses ngurusin Dewan Pengawas Syariah.Kita belum ada, masih sebatas internal audit, public akuntan kita belum.
9. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya (Baitul Mal wa Tamwil), BMT tunduk padakementerian apa?Koperasi.
10. Apakah terdapat keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan pembinaanataupun pengawasan terhadap kegiatan operasional BMT?Nggak ada. Ini kan sebenernya BMT lagi pada di obok-obok untuk berdiri dibawah OJK secaralegalitas, tapi organisasi induk kita (PBMT Indonesia) sepakat untuk tetap dibawah kementerianKoperasi.
11. Bagaimanakah bentuk pengawasan yang dilakukan oleh BAZNAS/Kemenag terhadappenerimaan zakat, infaq dan sodaqoh yang dilakukan oleh BMT?Nggak ada pengawasan langsung dari Baznas, kita Cuma berkoordinasi dengan Dompet duafasebagai mitra penghimpun zakat. Dan secara pelaporan kita hanya ke Dompet duafa per tigabulan sekali.
Ika Ahmad Furqon
BMT Usaha Mulya Pondok Indah
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Baitul Mal wa Tamwil ini?BMT Usaha Mulya terbentuk sejak Agustus 2002, Ika Ahmad Furqon termasuk sebagai salah satudari tiga pendiri BMT tersebut. Berbadan Hukum Koperasi.
2. Bagaimana struktur organisasi BMT dan apa kewenangan masing organ?Secara structural masih belum ideal antara baitul mal dan baitu at tamwil masih dibawah organyang sama. Artinya saya sebagai manajer masih membawahi operasional mal dan tamwil,kemudian ada manajer marketing yang khusus menangani pemasaran, dan satu lagi manajercollect yang focus dibidang penerimaan. Permasalahan terbatasnya SDM dan cost yangdiperlukan untuk berjalannya organisasi dengan komposisi structural yang ideal. Untukmenjalankan BMT yang ideal dibutuhkan sedikitnya 30 SDM yang akan terbagi ke dalam divisi-divisi khusus di bagan structural BMT yang ideal.
3. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan dalam operasional BMT secara mikro danmakro?Saya sendiri sebagai pelaksana, diatas kita ada yang namanya pengawas (pengurus) setiapapapun yang akan kita putuskan untuk hariannya diberikan kepada manajer BMT dan pengurusdalam menjalankan roda keberlangsungan BMT, sesuai dengan yang diamanatkan oleh RapatAnggota Tahunan (RAT). Sebagai manajer BMT ketika saya diahadapkan dengan kebijakanstrategis akan berkordinasi dengan pengawas dan pengurus. Hasil koordinasi tersebut yangkemudian menjadi kesepakatan semua pihak, sesuai yang diamanatkan oleh RAT.
4. Apa saja produk –produk yang ada pada BMT ini?BMT secara teknis bentuk mikro dari perbankan syariah, hanya saja aspek legal yang berbeda.Kalo BMT ini secara legal dibawah kementrian koperasi. Koperasi sendiri pun ada yangberbentuk konvensional, sedangkan kita berbasis syariah (KJKS). Bahkan ada permen baru no. 16tahun 2015 kita akan di konversi menjadi KSPPS (koperasi simpan pinjam dan pembiayaansyariah), yang akan diputuskan pada September tahun 2016 ini untuk mengurus aktaperubahan. Karena jika bentuk badan hokum kita KSPPS akan tetap dibawah kementeriankoperasi, kalau LKMS dibawah pengawasan OJK.
5. Apakah BMT ini melakukan pengelolaan zakat? Jika iya bagaimana system pengelolaan zakatdan apa saja yang dikelola oleh BMT?Kita sebetulnya sinergi dengan masjid raya Pondok Indah. Artinya begini, tujuan utama kitaadalah memberdayakan ekonomi anggota (grass root). Karena dari beberapa anggota kita yangsecara klasifikasi termasuk dalam mustahik zakat. Jadi kita bersinergi dengan Masjid RayaPondok Indah yang menerima zakat untuk mengelola sebagian zakat yang masuk untuk dikelolaoleh BMT kemudian disalurkan kepada anggota kita yang termasuk kedalam klasifikasi mustahik
zakat dalam bentuk pembiayaan produktif. Perlu ditegaskan bahwa zakat yang kita terimaadalah zakat mal, bukan zakat fitrah. Karena zakat fitrah harus dibagi habis menjelang idul fitri.Jadi sifatnya hanya titipan, ZIS Pondok Indah yang menerima zakat mal kemudian disalurkanmelalui BMT Usaha Mulya untuk menyalurkan berbentuk pembiayaan produktif dan kitalaporkan kembali untuk pembukuan di ZIS Masjid Raya Pondok Indah. Disitulah focus kita untukmemberdayakan anggota kita yang termasuk kedalam klasifikasi mustahik zakat. Hanya saja kitatidak memberitahukan kepada mereka (anggota yang termasuk kedalam klasifikasi mustahikzakat dan menerima pembiayaan produktif) bahwa sumber dana yang mereka terima diambildari dana zakat. Adalah sebagai bentuk strategi agar mereka tidak menyepelekan bantuanpembiayaan produktif dari BMT. Kalaupun misalnya ada margin yang kita terima daripembiayaan tersebut, akan kembali kepada mereka. Misalnya, ekuivalen rate 1 bulan adalah 1persen, itu menjadi kekayaan ZIS. Margin yang kita terima ini akan kita kembalikan kepadamereka. Dalam bentuk apa? Misalnya dalam bentuk bantuan sarana usaha, berbentuk gerobakatau sepeda untuk mereka keliling dan sebagainya. Dan juga ada bantuan yang berbentukbeasiswa yang kita ambil dari kekayaan ZIS yang bersumber dari margin pembiayaan produktif.Adapun sumber qordul hasan adalah dari dana-dana yang sifatnya denda. Misalnya adabeberapa nasabah atau anggota yang secara financial mempunyai kemampuan untukmembayar, tetapi karena kecenderungan sifatnya kemudian mereka tidak mau membayar.Secara syariat kita berhak untuk meminta denda. Denda-denda tersebut yang kemudian kitakumpulkan untuk kemudian kita alokasikan untuk dana qard.
6. Apakah dalam melakukan pengelolaan zakat BMT bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat(LAZ)?Tidak. Selama ini kita melakukan pengelolaan zakat sendiri.
7. Bagaimana BMT menetukan proporsi pembagian zakat kepada mustahik? Dan apa bentukpenyaluran zakat oleh BMT?Secara proporsi pembagian zakat untuk mustahik kita kondisional. Artinya ketika yang datangadalah memerlukan bantuan usaha produktif, kita berikan bantuan usaha produktif tersebut.Ada sekolah yang memerlukan dana untuk penambahan local, untuk yatim. Yaitu kepadaanggota atau nasabah kami yang termasuk dalam klasifikasi mustahik zakat. Ada juga beasiswayang kita berikan untuk anggota kita yang tidak memiliki kemampuan secara financial untukmelanjutkan studi pendidikan.
8. Apakah dalam melakukan kegiatan opersionalnya BMT diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah?Apakah BMT diawasi oleh Negara atas pengelolaan zakat yang dilakukan?Ada, Prof. Ahmad Sukarja. Secara operasional pengelolaan zakat, BMT usaha mulya melaporkansegala jenis kegiatan pengelolaan zakat kepada BP ZIS Pondok Indah. Karena sumber dana zakatyang kami kelola bersumber dari BP ZIS Pondok Indah. Adapun hal-hal lain dari kegiatan BMTUsaha Mulya kami laporkan kepada Kementerian Koperasi sebagai paying hokum BMT secaralembaga.
9. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya (Baitul Mal wa Tamwil), BMT tunduk padakementerian apa?Secara operasional BMT Usaha Mulya tunduk kepada Kementerian Koperasi.
10. Apakah terdapat keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan pembinaanataupun pengawasan terhadap kegiatan operasional BMT?Dalam hal ini, karena BMT secara badan hokum masih berbentuk koperasi syariah. Tidaktermasuk kedalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, yang mengawasi lembaga keuangan.
11. Bagaimanakah bentuk pengawasan yang dilakukan oleh BAZNAS/Kemenag terhadappenerimaan zakat, infaq dan sodaqoh yang dilakukan oleh BMT?Nah, kalau Baznas koordinasinya langsung dengan BP ZIS Masjid Pondok Indah. Saya dengar jugasebelumnya ada rumor bahwa semua BP ZIS akan di control langsung oleh Baznas yangkemudian menjadi kontroversi. Karena akan sulit ketika eksekusi secara teknis. Tidak sedikitorang yang butuh bantuan yang bersifat urgent datang ke BMT, ketika peraturan inidiberlakukan akan menyulitkan mustahik untuk mendapat bantuan. Karena akan ada prosespanjang yang harus dilewati.Dulu waktu zaman krisis moneter, BMT termasuk yang tidak terhantam gerusan zaman tersebutkarena langsung bersentuhan dengan akar rumput. Bahkann sebelumnya pernah disebutkanbahwa akan ditarik dibawah pengawasan OJK dengan syarat badan hukumnya berbentukLembaga Keuangan Mikro Syariah, hanya saja kelemahan menjadi Lembaga Keuangan MikroSyariah tidak dapat melebarkan sayap. Dalam artian, ketika kita berdomisili dai jakafrta selatan,tidak bisa membuat cabang. Akhirnya stake holder yang ada di organisasi induk BMT sepertiperkumpulan BMT Se-Indonesia memutuskan untuk tetap dibawah Kemenkop sebagai payinghokum BMT.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memelukagamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dankepercayaannya itu;
b. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampusesuai dengan syariat Islam;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkankeadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelolasecara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudahtidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehinggaperlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang PengelolaanZakat;
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasiandalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usahauntuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakatuntuk kemaslahatan umum.
4. Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badanusaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5. Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikanzakat.
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yangmelakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentukmasyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, danpendayagunaan zakat.
9. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi yangdibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11. Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biayaoperasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidangagama.
Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
a. syariat Islam;
b. amanah;
c. kemanfaatan;
d. keadilan;
e. kepastian hukum;
f. terintegrasi; dan
g. akuntabilitas.
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat danpenanggulangan kemiskinan.
Pasal 4
(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan
f. pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan
i. rikaz.
(3) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki olehmuzaki perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan sesuaidengan syariat Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal danzakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintahnonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melaluiMenteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secaranasional.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNASmenyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama denganpihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presidenmelalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia palingsedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan)orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur ulama,tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk darikementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan.
Pasal 10
(1) Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(2) Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menterisetelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalamPasal 10 paling sedikit harus:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Allah SWT;
d. berakhlak mulia;
e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak menjadi anggota partai politik;
h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan
i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancamdengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. habis masa jabatan;
c. mengundurkan diri;
d. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus; atau
e. tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNASsebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNASsebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi
dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dankabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapatpertimbangan BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atasusul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukanBAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk
dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapatpertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsiBAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNASkabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha miliknegara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan RepublikIndonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan,kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi danBAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, danpendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehMenteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhipersyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidangpendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakankegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakatyang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukanperwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal 21
(1) Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri ataskewajiban zakatnya.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapatmeminta bantuan BAZNAS.
Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilankena pajak.
Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagaipengurang penghasilan kena pajak.
Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNASkabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skalaprioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
(1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakirmiskin dan peningkatan kualitas umat.
(2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktifsebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah,
dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya
Pasal 28
(1) Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dandana sosial keagamaan lainnya.
(2) Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaanlainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islamdan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3) Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatatdalam pembukuan tersendiri.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 29
(1) BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaanzakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi danpemerintah daerah secara berkala.
(2) BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat,infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintahdaerah secara berkala.
(3) LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah,dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secaraberkala.
(4) BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak,sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.
(5) Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau mediaelektronik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNASprovinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara dan Hak Amil.
Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kotasebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah dan Hak Amil.
(2) Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BAZNAS provinsi danBAZNAS kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara.
Pasal 32
LAZ dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan operasional.
Pasal 33
(1) Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalamPasal 30, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam PeraturanPemerintah.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaansebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1) Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNASprovinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.
(2) Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasanterhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengankewenangannya.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi,sosialisasi, dan edukasi.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 35
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadapBAZNAS dan LAZ.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melaluiBAZNAS dan LAZ; dan
b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan olehBAZNAS dan LAZ; dan
b. penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaanzakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai sanksiadministratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual,dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yangada dalam pengelolaannya.
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan,pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakatsesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahundan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ataupidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahundan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakankejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlakutetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang inisampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kotayang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas danfungsi sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sampai terbentuknyakepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlakudinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4) LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5(lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentangPengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentangPengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjangtidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentangPengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahunterhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 115
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
I. UMUM
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masingdan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakankewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranatakeagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, danpenanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembagasesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi,dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalampengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentangPengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukumdalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, danpendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNASkabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiridan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yangberwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, danpendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). PembentukanLAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib
melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan. Zakat wajib didistribusikankepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skalaprioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapatdidayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatankualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi. Selain menerima zakat,BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnyadilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkanoleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Untukmelaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negaradan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai denganAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai denganAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “amanah” adalah pengelola zakat harus dapat dipercaya.
Huruf c Yang dimaksud dengan asas “kemanfaatan” adalah pengelolaan zakat dilakukan untukmemberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mustahik. Huruf d Yang dimaksud denganasas “keadilan” adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil.Huruf e Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah dalam pengelolaan zakatterdapat jaminan kepastian hukum bagi mustahik dan muzaki. Huruf f Yang dimaksud denganasas “terintegrasi” adalah pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upayameningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Huruf g Yangdimaksud dengan asas “akuntabilitas” adalah pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkandan diakses oleh masyarakat. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf aCukup jelas. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yangdimaksud dengan “rikaz” adalah harta temuan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “badan usaha”adalah badan usaha yang dimiliki umat Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadanhukum seperti firma dan yang berbadan hukum seperti perseroan terbatas. Ayat (4) Cukupjelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas.Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian, Badan Usaha MilikNegara (BUMN), atau lembaga luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Di Provinsi Aceh,penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah baitulmal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud “tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis taklim. Ayat(2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukupjelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “usaha produktif” adalah usaha yang mampumeningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Yang dimaksud dengan“peningkatan kualitas umat” adalah peningkatan sumber daya manusia. Ayat (2) Kebutuhandasar mustahik meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukupjelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARANNEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5255