fakultas syari’ah dan hukum

87
TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN (STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DENGAN PANDANGAN MEDIS) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh: UDI WAHYUDI NIM: 108044100045 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A KARTA 1436 H/2015 M

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN (STUDI

KOMPARASI HUKUM ISLAM DENGAN PANDANGAN MEDIS)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk MemenuhiSalahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

UDI WAHYUDI

NIM: 108044100045

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H/2015 M

Page 2: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

ii

Page 3: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

iii

Page 4: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

iv

Page 5: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

memberikan nikmat sehat wal’afiyat sehangga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Salawat serta salam jaga tercurah kepada jungjungan Nabi besar kita Nabi

Muhammad SAW, beserta keluarga, parasa habat, pengikut beliau seluruh umat

manusia yang setia kepadanya hingga akhir zaman.

Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam

menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak

sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan

baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya

sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan.

Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

3. Dr. JM. Muslimin, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

4. Kamarudiyana, Ma selaku Kepala Jurusan Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

5. Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

Page 6: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

vi

6. Azizah, MA selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah berkenan

meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya. Terima kasih atas

kebaikan, perhatian masukan, dan pengarahan kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mufri Husni dan

Ibunda Hj. Tilawati yang telah memberikan banyak hal yang berarti dalam

kehidupan penulis. Cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril

maupun materil yang semua itu tak akan bisa tergantikan dengan apapun.

8. Kepada saudara-saudariku yaitu Mamang H. Nahdatul Muamar S.Thi, Teh Hj

Dwi Retno Sulanjani, Kang Yuli, Kang Sumar, Teh Ida, Teh Iis dan kedua

Adikku, Ali Rohman dan Ika Sohifatul Janah, semuanya telah memberikan

kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil yang berlimpah. Sehingga

penulis senantiasa termotivasi dan tidak kenal menyerah dalam mencapai cita-

cita.

9. Terkhusus untuk Kakek yaitu Alm. H Syahruddin dan Neneku tercinta Hj.

Sunenah, yang selalu turut memotivasi dan memperhatikan perkembangan

penulis sejak memasuki pondok pesantren hingga perguruan tinggi.

10. Teman-teman seperjuangan Kelas Peradilan Agama B Tahun 2008 UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman satu kostan, yang telah memberikan

dukungan dan semangat. Dan seluruh pihak yang telah membantu dan tidak

dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak kepada teman-temanku

IBM Andika Supriatman S.Sy, Aceng Daerobi S.Sy,Mukhammad ali seto

Page 7: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

vii

S.Sy, M.Akbar S.Sy, Facrurozi S.Sy, Ade taufik S.Sy, M.Rusdiana S.Sy, Atho

Hilah S.Sy, Usman S.Sy, dan teman-ateman seperjuangan khususnya kelas b

peradilan agama angkatan 2008.

11. Tri Utami yang selalu memotivasi penulis.

Akhir kata, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya

kepada bantuan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu-

persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

umumnya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

13 Rabiul Awal 1436 HCiputat,13 Februari, 2015

Udi Wahyudi

Page 8: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

viii

ABSTRAKSI

Nama : Udi WahyudiNIM : 108044100045Judul : Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan RelevansinyaDengana Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam DenganPandangan Medis)

.Perkawinan pada usia muda atau remaja adalah masalah sosial budaya yang

mengandung aspek medis, bagi seorang muda yang telah kawin secara sah maka diabisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang belum nikah.Namun tidak berarti ia bebas dari masalah. Secara medis dan mental ia belummatang benar, itulah sebabnya perkawinan usia muda dikatakan memiliki dampakmedis. Isu-isu yang sering kali muncul dipermukaan dan sering kali berlindung padakonsep agama adalah tentang perempuan, khususnya mengenai kesehatan reproduksiitu sendiri.

Tingkat kedewasaan dalam perkawian antara laki-laki dan perempuan menjadiproblem tersendiri dalam agama Islam, karena para fuqaha tidak banyak membahasbatas usia minimal perkawinan, bisa jadi karena Nabi pun melakukan praktik nikahdini dengan Siti Aisyah. Maka dari sinilah penulis ingin meneliti tingkat kedewasaanperkawinan dilihat dari aspek fikih dan medis.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian(hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahanpustaka atau data sekunder. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatanperundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatankomparatif (comparative approach).

Kata kunci: Perkawinan Usia Muda, hukum Islam, medis

Pembimbing: Dr. Azizah, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 9: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

ix

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSYAH.................................. iii

HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................... iv

ABSTRAKSI......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian .................................................................... 12

F. Review Terdahulu .......................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 17

BAB II USIA PERKAWINAN DI INDONESIA .......................................... 19

A. Pengertian Usia Perkawinan........................................................... 19

B. Batas Usia perkawinan di Indonesia............................................... 20

C. Usia Perkawinan di Dunia .............................................................. 22

Page 10: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

x

D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia ..................................... 27

BAB III TINGKAT KEDEWASAAN MENURUT PARADIGMA MEDIS 29

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis................................................ 29

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa................................................. 31

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan ..................... 36

BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN

PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA

PERKAWINAN ................................................................................... 40

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan

Laki-laki dan Perempuan................................................................ 40

B. Pandangan Medis Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki

dan Perempuan ............................................................................... 51

C. Analisis Penulis .............................................................................. 59

BAB V PENUTUP............................................................................................. 68

A. Kesimpulan..................................................................................... 68

B. Saran ............................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72

Page 11: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam peroses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya

membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan

apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu

keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Hal ini dimaksud, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung

seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang

bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan

sebuah perkawinan seorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

sosial, biologis, maupun secara psikilogis. Seseorang dengan melangsungkan

sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa

terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan

hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah

lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

Menurut Islam, perkawinan merupakan suatu perjanjian suci yang kuat

dan kokoh untuk hidup bersama yang bahagia ,aman, tenteram dan saling

mengasihi. Perkawinan merupakan fitrah manusia yang harus terjadi pada

1 Penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Page 12: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

2

kehidupan sebagai sarana untuk melimpahkan rasa cinta dan kasih yang telah

dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.

Disyari’atkannya perkawinan dalam Islam itu dapat ditinjau dari tiga

sudut.2 Pertama, ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan suatu

perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara

sah dalam waktu yang tidak tertentu. Kedua ditinjau dari sudut agama,

perkawinan itu dianggap sebagai lembaga suci dimana suami-istri dapat hidup

tenteram, saling mencintai dan mengasihi serta bertujuan untuk mengembangkan

keturunan. Ketiga, ditinjau dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang yang telah

kawin (berkeluarga) telah memenuhi syarat dari kehendak masyarakat serta

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari pada mereka

yang belum menikah.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak

memandang pada profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa

atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan

baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukan lah bersifat

sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayang tidak semua orang memahami

hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan

kebahagian yang sejati dalam berumah-tangga.

2 Sulaiman Rasyid, Fikih Islam, (Jakarta: Attahiriyyah, 1955), hal. 362

Page 13: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

3

Untuk menemukan kebahagian di atas pula, penting melihat batas umur

perkawinan, hal ini menjadi syarat tersendiri. Batas usia perkawinan dikatakan

sangat penting karena seringkali keberhasilan sebuah perkawinan ditentukan oleh

kematangan dalam menyelesaikan sebuah masalah, hal tersebut bisa dilihat dari

segi usia calon pengantin, baik usia peria maupun wanita.

Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat

biologis, melainkan juga kematangan pisikologis dan sosial. batas minimal usia

nikah bagi laiki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus

SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai resiko,

baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda,

dan resiko pisikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi

reproduksi dengan baik.3 Oleh sebab itu kehidupan keluarga menuntut adanya

peran dan tanggung jawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.4

Dalam menilai hal tersebut di atas, terdapat pula komentar para ulama

klasik mengenai prasyarat yang dapat menikah atau yang biasa disebut dengan

kualifikasi dewasa (baligh/ahliyah). Kualifikasi ini masuk dalam kriteria syarat

serta rukun nikah, dimana dari syarat dan rukun nikah harus terpenuhi agar tidak

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut as-Syafi’i bahwa salah satu dari

syarat syahnya nikah adalah adanya wali, tanpa kehadiran wali pernikahan

3 Prof. dr Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan danKeluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996), hal. 26

4 Sulostiawati S, Perempuan dan Hukum, (Menuju Hukum yang BerperspektifKesetaraan dan Keadilan), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 134

Page 14: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

4

tersebut adalah batal, sedangkan Abu Hanifah, wanita yang sudah dewasa dan

berakal sehat berhak mengurus sendiri akad perkawinannya, baik gadis atau

janda.5

Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perkawinan gadis di bawah

umur, As-Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan yang belum dewasa tidak

boleh menikah hingga ia cukup dewasa dengan seizin walinya, agar anak

perempuan nanti tidak terjatuh pada hal-hal yang kurang baik seperti kurang

tanggung jawabnya suami kepada istri. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa

hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi anak perempuan tersebut setelah baligh

diberi hak khiar.6

Dalam syariat Islam sendiri, batas umur untuk melakukan perkawinan

tidak ditetapkan secara jelas dan tegas, tidak memberi batasan secara definitif

(pasti) mengenai usia perkawinan seseorang, Al-Qur’an dan Hadis hanya

menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda saja. Umat Islam diberi kebebasan

untuk menetapkan batas-batas umur, sehingga batasan perkawinan dikembalikan

pada individu tanpa melanggar syarat yang telah ditentukan, serta disesuaikan

pula dengan kondisi sosial dimana hukum itu akan diundangkan.7 Dalam hal usia,

5 Sayyidd Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 241

6 Sayyidd Sabiq, Fikih al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 2247 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),

hal. 40-41

Page 15: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

5

seperti dikutip Rahmad Rosyadi,8 bahwa Allah SWT tidak menentukan kapan

usia yang baik atau usia yang ideal bagi seorang wanita untuk langsungkan

perkawinan, karena yang demikian bukanlah menjadi urusan Allah, akan tetapi

sebagai urusan manusia dalam menyelesaikan problematika hidupnya.

Oleh sebab itu mengenai urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada

manusia karena dianggap bahwa manusia lebih tahu dan lebih mengetahui dalam

ranah ijtihadi. Sejalan dengan hal tersebut, tidak menjadikan salah atau berdosa

apabila manusia memberikan batasan suatu usia tertentu atau usia yang tepat

untuk melakukan perkawinan, karena menurut penulis merupakan ranah ijtihadi

seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi.

Perbedaan pendapat tentang batas usia pernikahan seseorang dapat

memberikan kejelasan pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional

yang umumnya terjadi pada masyarakat agraris, sebagaimana terbatasnya jenis

pendidikan formal yang hanya berkisar antara sekolah dasar sampai sekolah

lanjutan tingkat pertama, kemudian dialihkan menjadi tenaga kerja untuk

membantu kehidupan keluarganya, sehingga dengan berakhirnya masa belajar dan

kemudian terjun kelapangan pekerjaan, maka orang tersebut telah dianggap

dewasa untuk melakukan pernikahan dalam usia muda.

Fenomena ini menarik untuk dikaji, dengan adanya dua konsep yang

berbeda mengenai batas minimal usia perkawinan yang memunculkan pemikiran

8 A. Rahmad Rosyadi Soeroso, Dasar Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam,cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1406 H/ 1986), hal. 92

Page 16: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

6

untuk meneliti serta membahasnya dalam sebuah karya ilmiah, mengingat bahwa

dalam realita pendapat dari para Ahli Fiqih dan UU No.1 Tahun 1974 atau KHI

sama-sama kuat dan mendasar.

Secara jelas KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga

dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun

1974 yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam

pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.9

Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa baik Al-Qur’an dan as-

Sunnah secara eksplisit tidak mengatur mengenai batas usia minimal dalam

perkawinan. Umat islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan

adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah. 10 Dilihat dari segi

literatur, akil baligh juga dikenal sebagai batas kematangan seksual, namun antara

perempuan dan laki-laki terdapat ciri-ciri yang berbeda. 11 Namun juga

kematangan usia perempuan dan laki-laki berpengaruh pada tingkat kesehatan

seksualitas.

9 Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

10 Sayyidd Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 6

11 Nadine Suryoprajogo, Kupas Tuntas Kesehatan Remaja, (Yogyakarta: DiglossiaPrintika, 2009), hal. 2

Page 17: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

7

Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW sendiri baru menikah usia 25 tahun,

dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani rasul. Penetapan

batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada substansinya

mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Baik

pandangan normatif fiqih serta peraturan hukum positif Indonesia terdapat

perbedaan pula, hal ini mengindikasikan bahwa baik fiqih serta peraturan

perundang-undangan di Indonesia seharusnya tidak mencendrai landasan

sosiologis, karena ia tidak sejalan dengan semangat zaman.bahkan hal ini akan

berdampak pada ketidak adilan setra pendiskriminasian. Sejalan dengan apa yang

diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 bahwa secara eksplisit mengatakan

“Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengandung tiga

landasan yaitu, landasan normatif, landasan filosofis, serta landasan sosiologis.12

Artinya bahwa undang-undang telah memberikan legitimasi sosiologis atau bisa

dikatakan dalam hukum Islam “Hukum harus melihat zaman serta kondisi

setempat (taghayyur al-ahkm bi taghayyur al-azminah wal amkinh wal ahwl).

Oleh sebab itu, batas minimal umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun sangat rentan terjadi pada kesehatan reproduksi bagi perempuan, hal itu

12 Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Perundang-undangan.Dikatakan bahwa yang dikatakan asas dapat dilksanakan adalah bahwa setiap pembentukanperaturan peraturan perundang-undangan harus diperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat baik secara filosofis ,sosiologis maupun yuridis. hal.56,

Page 18: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

8

senada dengan pendapat ahli medis yang mengatakan bahwa kurun waktu

reproduksi sehat yaitu mencapai umur 20-30 tahun. Di bawah umur itu sangat

potensi mengalami kesehatan reproduksi, seperti resiko keguguran, persalinan

prematur, kelainan bayi (berat bayi tidak normal/bayi cacat), anemia kehamilan

serta kematian seorang ibu (perempuan) akibat keguguran.13

Dengan batasan minimal usia perkawinan pada pria berumur 19 tahun dan

perempuan 16 tahun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlihat

tidak relevan lagi dari segi medis. Untuk itu, perlu kiranya penelaahan yang

mendalam permasalahan ini melalui penelitian penulis dalam bentuk skripsi yang

berjudul “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-laki Dan Perempuan

Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum

Islam Dengan Pandangan Medis”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah pandangan fikih dalam menilai batas

usia perkawinan serta pandangan hukum positif Indonesia mengenai peraturan

batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Instruksi Persiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Dalam pasal 7 UU No. 1 1974 yakni calon suami sekurang-

13 Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan KeluargaBerencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 27-28

Page 19: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

9

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun. (2). Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

UU No. 1 Tahun 1974, begitu pula pasal 15 dalam KHI.

Perbedaan ini jelas terlihat antara calon suami (laki-laki) yang secara

umur lebih tua tiga tahun dari pada perempuan yang lebih muda. Namun jika

dilihat dari segi medis, usia perempuan ketika menikah di bawah umur 20 tahun

sangat lah berpotensi negatif pada kesehatan reproduksi perempuan seperti yang

dijelaskan di atas.

2. Perumusan Masalah

Dari beberapa persoalan yang ada, menurut penulis perlunya penelusuran

lanjutan, karena persoalan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan

terlihat berbeda antara pandangan hukum Islam dengan pandangan medis dalam

hal ini mengenai batas usia perkawinan antara kedua belah pihak. Dari pokok

persoalan yang ada, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia

perkawinan laki-laki dan perempuan?

2. Bagaimanakah pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan

laki-laki dan perempuan?

3. Bagaimanakah komparasi pandangan hukum Islam dan medis menilai

batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan?

Page 20: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

10

C. Tujuan Penelitian

Secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Mengetahui pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia

perkawinan laki-laki dan perempuan

2. Mengetahui pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan

laki-laki dan perempuan

3. Memahami perbandingan hukum Islam dan medis menilai batas usia

perkawinan antara laki-laki dan perempuan

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum Islam terlebih

mengetahui pandangan psikologis dalam menilai batas usia perkawinan, agar

terciptanya singkronisasi landasan normatif, filosofis serta berdimensi sosiologis.

Disamping itu meningkatkan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka

mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya hukum Islam dan

diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk

mendalami criteria dewasa dalam perkawinan.

2. Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi ulama, akademisi, legal drafter, hakim,

mahasiswa, santri dan khususnya para penggiat kajian keilmuan hukum Islam,

sebagai acuan dalam mengemban memahami istimbat hukum dan sebai

Page 21: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

11

sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang

berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat

(relevan).

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pertama, penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 14 Penelitian

Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah

yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.15 Jenis

penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini

adalah menganalisis batas usia perkawinan dalam pasal 7 UU N0. 1 Tahun 1974

yahkni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan KHI pasal 15.

Kemudian kedua, menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa,

mengkaji, serta merumuskan formulasi buku-buku serta literature yang berkaitan

14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu TinjawanSingkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 85

15 Abdulkodir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Ctra AdityaBakti, 2004), hal. 301

Page 22: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

12

dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pandangan keilmuan medis

menetapkan kedewasaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian

hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif

(comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan ini menurut penulis dengan mendekati

substansi pasal (statute approach) dalam UU No. 1/1974 pasal 7 dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 15 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan.

Fokus ini juga sekaligus menjadi tema sentral suatu penelitian16 penulis, dalam

hal ini batas usia perkawinan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan medis yang

mempunyai fokus terhadap pendekatan tingkat kedewasaan seseorang secara fisik

dan lain-lain.

Dan terakhir adalah pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu

untuk mengetahui perbandingan makna yang dikandung dalam hukum Islam baik

fikih ataupun hukum positif di Indonesia dalam hal ini UUNo.1/1974, Inpres

No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pandangan medis.

16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke.IV(Malang: Bayumedia, 2008), hal. 302

Page 23: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

13

3. Sumber bahan hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 17yaitu

pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI) pasal

15.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum perimer18seperti fiqih , jurnal hukum islam, hasil-

hasil penelitian, buku-buku hukum islam mengenai skripsi ini, tesis dan

disertasi, serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pembahasan ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus hukum islam, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Baik bahan hukum perimer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan

berdasarkan topik pembahasan yang telah dirumuskan berdasarkan menurut

sumber, asas-asas hukum islam, metodologi atau formulasi mendapatkan hukum

yang dikaji secara komprehensif, dengan menyesuaikan pada masalah yang

dibahas.

17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Pesada,2008), hal. 31; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum NormatifSuatu Tinjawan Singkat, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 13

18 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke Iv,(Malang: Bayumedia, 2008), hal. 305

Page 24: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

14

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan

agar dapat menjawab serta disajikan sesuai penulisan yang lebih sistematis guna

menjawab pembahasan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan

hukum yang dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari

suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang

dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui batas

usia perkawinan yang didekati dalam paradigma medis.

6. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, merujuk pada buku panduan

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Jakarta tahun 2013.

F. Review Terdahulu

Ada beberapa pembahasan yang hampir mirip dengan judul skripsi

penulis yaitu terkait masalah batas usia perkawinan atau mengenai tingkat

kedewasaan seseorang. Beberapa skripsi yang membahas mengenai hal ini, yaitu:

Yang pertama, Hidayatunisa, Penetapan Batas Minimal Usia Nikah Serta

Relevansinya Dengan Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus Warga

kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan, (Jurusan Peradilan Agama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: 2010). Pembahasan dalam skripsi ini yaitu terkait mengenai

Page 25: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

15

keluarga sakinah tidak serta merta didapat begitu saja, namun diperlukan

persiapan,pengorbanan dan perjuangan. Salah satu untuk mencapai keluarga

sakinah adalah kematangan lahir dan kesiapan batin, kematangan lahir dapat

dilihat dari kematangan fisik yang berupa kematangan biologis serta kesiapan

batin. Artinya adalah bahwa untuk mencapai sebuah rumah tangga yng skinah

diperlukan dua kematangan fisik dan batin. Adapun objek dalam skripsi ini adalah

warga cipete selatan yang menikah dalam usia 21 tahun kebawah selama tahun

2009, dimana warga cipete selatan banyak yang menikah di bawa rata-rata umur

21 tahun yang berimplikasi pada tingkat percerain atau ketidah harmonisan dalam

rumah tangga.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

deskripsi research yang bermaksud untuk mengeksplorasi sebuah fenomena

dalam ruang lingkup masyarakat cipete selatan. Sedangkan pendekatan adalah

menggunakan kuisoner, interview (wawancara), observasi dan dokumentasi.

Yang kedua, Muhamad Syarif Hidayatullah, Batas Usia Dewasa Untuk

Menikah menurut UU no. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Hukum Islam, (Jurusan

Perbandingan Mazhab dan fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009).

Pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai UU No. 1 tahun 1974 merupakan

pedoman umat islam di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintahan Indonesia.

Ada yang khas dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu terkain mengenai batas usia

perkawinan, yang mana dalam pasal 7 ayat (1) dal UU No. 1 tahun 1974 bahwa

perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun

Page 26: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

16

dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, jika ditelusuri lebih lanjut

mengenai batas usia perkawinan, para ulama klasik tidak menentukan batas usia

perkawianan antara laki-laki maupun perempuan. Dari situ terdapat perbedaan

tajam antara hukum positif Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dengan fiqih klasik yang tidak menentukan hal itu, yang terpenting

dalam fiqih adalah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun jenis penelitian yang

diguakan dalam skripsi ini yaitu penelitian kualitatif, sedangkan teknik

pengumpulan datanya adalah mempergunakan library research.

Yang ketiga, Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan

Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab . (Jurusan peradialan agama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi

ini yaitu tentang batas usia perkawinan tidak ditetapkan oleh islam itu sendiri,

oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat

untuk menyelesaikan masalah tersebut, tergantung setuasi,kondisi, kepentingan

peribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan

jaelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama

dalam agama. Permasalahannya adalah ulama berbeda pandangan mengenai batas

kadar dewasa dalam menentukan bahwa dia bisa melakukan perkawinan. Oleh

sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mazhab.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode induktif

(menganalisis data-data kemudian menyimpulkannaya) dan metode komparatif

Page 27: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

17

yaitu dengan menggunakan antara hukum islam dan hukum positifsebagai bahan

acuan penelusuran skripsi ini.

Adapun perbedaan dari ketiga skripsi di atas yaitu membahasan mengenai

batas usia perkawinan baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam.

Sedangkan perbedaannya adalah pandangan medis melihat batas usia perkawinan

antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan metodelogi yang

digunakanan penulis berbeda dengan ketiga skripsi di atas, yang mana penulis

menggunakan metodelogi penelitian library research (kepustakaan) dan

normative research (riset aturan hukum).

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang

lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak

masing-masing bab serta pokok pembahasannaya adalah sebagai berikut.

Bab pertama seperti biasanya diawali dengan pembahasan latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,

review terdahulu dan terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang usia perkawinan dalam Islam. Pada bab

ini penulis hadirkan empat pembahasan yaitu Pengertian Usia Perkawinan, Batas

Page 28: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

18

usia perkawinan di Indonesia, usia perkawinan di dunia dan data usia perkawinan

muda di Indonesia.

Bab ketiga menjelaskan tentang tingkat kedewasaan tentang paradigma

medis. Pada bab ini penulis tuangkan tiga pembahasan yaitu pengertian dewasa

menurut medis, fase perkembangan masa dewasa, dan terakhir perbedaan

perkembangan laki-laki dan perempuan.

Bab keempat pembahasan mengenai analisis tingkat kedewasaan antara

laki-laki dan perempuan relevansinya dengan batas usia perkawinan. Pada bab ini

penulis hadirkan tiga pembahsan yaitu pertama Pandangan Hukum Islam

Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, Pandangan Medis

Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, dan terakhir analisis

penulis terkait perbandingan hukum Islam dan pandangan medis menilai batas

usia perkawinan pada Laki-laki Dan Perempuan.

Bab kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan

dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari penulis ketika

melihat substansi skripsi penulis.

Page 29: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

19

BAB II

USIA PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Usia Perkawinan

Sebelum menjelaskan definisi usia perkawinan, penting kiranya dibedah

satu persatu. Seperti yang kita ketahui istilah usia perkawinan ditemukan

pembahasannya dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Namun bukan dengan kata usia, tetapi memakai kata umur.1 Untuk memperjelas

hal itu, istilah usia perkawinan merupakan gabungan dua suku kata, dari kata

“usia” dan “perkawinan’. Di mana pengertian usia sendiri dimaknai dengan umur

atau satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu makhluk atau benda, baik

yang hidup maupun yang mati, dengan perhitungan tahun tarik masehi maupun

lainnya. Misalnya, usia manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak

dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.2

Adapun pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 undang-undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir-bathin antara seorang

peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk

1 Lihat pembahasan usia atau umur perkawinan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undangTahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (2) Instruksi Presiden Tahun 1991 TentangKompilasi Hukum Islam

2 Usia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015Pukul 15:00

Page 30: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

20

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.3

Setelah menjelaskan dua kata dari usia dan perkawinan maka dapat

dsimpulkan bahwa pengertian usia perkawinan sendiri yaitu sebuah masa

kesiapan kedua calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam

melangsungkan sebuah perkawinan dengan batasan sebuah umur.

B. Batas Minimal Usia Perkawinan di Indonesia

Ketentuan peraturan dalam pembatasan usia perkawinan sebagaimana di

atur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak–sebagai

instrumen HAM — walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia

minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia

di bawah 18 tahun5 dan pasal 26 (1) huruf (c) UU Perlindungan Anak 2002

menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

(c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak6, Pasal 7 Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun.

Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah 19

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang disebutkan

3 Pasal 1 Undang-udang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 31: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

21

dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya dapat

diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Disamping itu, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat izin dari kedua orang tua atau pengadailan, sebagai mana yang

diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan (5) UU No.1 tahun 1974. Adapu isi ayat (2):

“Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedang isi ayat (5) adalah:

Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),

(3), dan (4) (orang tua dan wali, pernikahan.), atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagadilan dalam deerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawianan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

Dengan demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orang tua,

pengadialn dapat memberikan izin.4 Isi pasal 7 ayat (1), tentang umur minimal

boleh kawin, diulang pada pasal 15 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam, yang

bunyinya:

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam

4 Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Balai Aksara, 1987), hal. 26

Page 32: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

22

pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun.

Demikian isi pasal 6 ayat (2) UU No.1Tahun 1974 diulang pada pasal 15

ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6

ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan

kemungkinan melangsungkan perkawianan dengan syarat dispensasi dari

pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1

Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangna ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak peria maupun pihak wanita”.

C. Usia Perkawinan di Dunia

Jika dilihat dari beberapa batasan usia perkawinan di dunia, di bawah ini

Negara-negara yang menerapkan batasan usia perkawinan. Menurut catatan Joned,

seperti contohnya di Malaysia, sebelum munculnya undang-undang baru di bidang

perkawinan Malaysia, di beberapa daerah Malaysia hanya Johor yang membuat

ketentuan tentang umur minimum boleh kawin.5 Sebaliknya, setelah adanya

5 Menurut Undang-Undang Perkawinan Johor, Umur Minimum Bagi Wanita 16 tahundan 18 untuk Pria. Lihat Ahilemah Joned, Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: IndahKhabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undangmenghormati Ahamad Ibrahim, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka KementrianPendidikan Malaysia, 1988), hal. 8

Page 33: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

23

pembaharuan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya barang kali karena

dianggap bertentangan dengan syari’ah. Sedang bagi wilayah persekutuan,

Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor dan Pulau Pinang, mengatur

minimum 18 untuk pria dan 16 untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan

kanak-kanak cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan bukan

karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan dan peluang

kerja.6

Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tetang ketentuan umur minimal boleh

kawin, misalnya dalam undang-undang keluarga islam negeri pulau pinang 1985,

pasal 8 disebutkan:

Tiada sesuatu perkawinan boleh diakad nikahkan atau didaftarkan di bawah

enakmen ini jika lelaki itu berumur kurang dari pada lapan belas tahun dan

perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakim

syari’ah telah memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.

Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU persekutuan disebut

“Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri Sembilan, UU

Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan. Demikian juga UU Serawak

6 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 375

Page 34: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

24

menggunakan istilah “ Ordinan”. Maka bunyinya menjadi “ di bawah akta ini” dan

“di bawah Ordinan ini” sebagai ganti “ dibawah Enakmen ini”.7

Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang ditentukan

boleh kawin dengan catatan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Seperti

disebutkan pada pasal 8 ayat (1) UU Negeri Sembilan:

Dalam mana-mana kes berikut, yaitu (a) jika salah satu pihak kepada

perkawinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang di nyatakan dalam

seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang janda yang tersabit oleh

seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan tidak mempunyai wali dari pada

nasab mengikut Hukum Syara’, maka pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak

dibawah seksyen 17, merujuk permohonan itu kepada hakim Syari’ah yang

mempunyai bidang kuasa di tempat perempuan itu bermustautin.Pada ayat (2)

disebutkan:

Hakim Syari’ah, apabila berpuasa hati tentang kebenaran perkara-perkara

yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkawinan yang

dicadangkan itu dan bahwa kes itu adalah kes yang mewajarkan pemberian

kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8 atau kebenaran bagi maksud-maksud

seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap perkhawinan itu diakadnikahkan oleh

wali Raja bagi maksud-maksud seksyen (13) (b), mengikut mana yang berkenaan,

hendaklah pada bila-bila masa selepas permohonan itu dirujukan kepadanya dan

7Lihat pasal 8 UU Negeri Sembilan 1983, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UUPersekutuan;pasal 7 UU Serawak, dan pasal 14 UU Kelantan.

Page 35: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

25

setelah dibayar fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya

untuk perkawinan dalam boring yang ditetapkan.8

Berdasarkan ayat 1 point b, dapat disimpulkan ada kemungkinan mendapat

izin untuk kawin bagi mereka yang belum mencapai umur minimal boleh kawin,

dengan catatan pengadilan mempertimbangkan cukup alasan untuk memberikan

alasan untuk memberikan izin, seperti tersebut pada ayat 2. Undang-undang Brunei

Darussalam tidak mengatur tentang umur minimal boleh kawin.9

Tidak berbeda jauh dengan pembahasan di atas, perundang-undangan

keluarga muslim di luar Asia tenggara kaitannya dengan umur perkawinan ada

beberapa catatan penting. Pertama, ada aturan umur minimal boleh melakukan

perkawinan. Artinya kalau umur minimal belum tercapai, secara prinsip calon tidak

boleh melakukan perkawinan. Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara

mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun aturan Negara-negara muslim yang

kaitan dengan umur minimal boleh melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan

dapat dilihat sebagai berikut:10

Negara Laki-laki WanitaAlgeriaBangladeshMesirIrak

21211818

18181618

8 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

9 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

10 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 378

Page 36: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

26

YordaniaLibanonLibiaMalaysiaMarokoYaman UtaraPakistanSomaliaYaman SelatanSyiriaTunisiaTurki

161818181815181818181917

151716161515161816171715

Dari table di atas dapat ditulis minimal dua catatan. Pertama, ada

beberapa Negara yang menetapkan umur sama bagi laki-laki (suami) dan

perempuan (calon istri), yakni irak, Somalia (18 tahun) dan Yaman Utara (15

tahun). Kedua, dua Negara yang menetapkan umur 21 tahun ini baru berlaku bagi

laki-laki, sementara menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker

mulut Rahim adalah usia di atas 20 tahun.

Adapun sikap Negara-negara muslim bagi pelaku perkawinan sebelum

mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini) adalah

bervariasi, yang dapat digambarkan berikut:11

1. India dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar.

2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan

tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak

dicatatkan, misalnya status hukuman yang dilahirkan.

11 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 378-379

Page 37: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

27

3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan

izin pengadilan (hanya dengan izin pengadilan).

Kaitannya dengan Negara yang mengatur jarak umur minimal antara

calon, bahwa ada minimal dua Negara yang mencantumkan, yakni Syria dan

Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan

antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan

melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan ijin pengadilan tanpa

paksaan dan/atau tekanan.

D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia

Data Susenas Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada beberapa

provinsi yang usia kawin pertamanya dibawah 20 tahun, yaitu Propinsi Jambi

19.26 tahun, Lampung 19.38 tahun, Banten 19.40 tahun, Jawa Tengah 19.43

tahun, Kalimantan Tengah 19.43 tahun, Bengkulu 19.48 tahun, Nusa Tenggara

Barat 19.69 tahun, Sulawesi Utara 19.71 tahun, Sumatra Selatan 19.80 tahun,

Sulawesi Barat 19.84 tahun, Sulawesi Tengah 19.96 tahun. Untuk daerah

perdesaan ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya relative masih

sangat rendah yaitu Propinsi Banten 17.53 tahun, Jawa Barat 17.54 tahun, jawa

Timur 18.01 tahun, Kalimantan Selatan 18.37 tahun, Jambi 18.62 tahun, Jawa

Page 38: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

28

Tengah 18.76. Berdasarkan Riskerdas 2010, menunjukan bahwa prevalensi umur

perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebesar 41,9 persen.12

Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki

resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang

perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun

anak. Hal ini terjadi karena belum matangnya rahim seorang perempuan usia

muda untuk memproduksi anak dan belum siapnya mental dalam berumah

tangga. Untuk itu pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya

untuk memperkecil risiko yang terjadi terkait dengan kesehatan ibu maupun

anaknya.

12 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan MudaDikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011,hal. 2

Page 39: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

29

BAB III

KONSEP DEWASA DALAM MEDIS

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis

Kata dewasa berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi

yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik, Dalam kata lain

dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi

dewasa dengan rentan usia antara 12-22 tahun, di mana pada masa tersebut

terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik maupun pisikologis.1

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi

lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah

menjadi pria atau wanita dewasa. Pengertian dewasa sendiri sering diidentikan

pada sebuah tahapan. Seperti masa dewasan merupakan salah satu tahapan

perkembangan manusia. Pada masa dewasa ini individu dianggap telah siap

menghadapi suatu perkawinan, namun perkawinan bukanlah suatu hal yang

mudah karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk

tahapan kehidupan baru sebagai manusia dewasa.2

1 Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan, (ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 45

2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan MudaDikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011, hal. 2

Page 40: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

30

Makna dewasa sendiri bisa didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah

akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas atau sudah menikah, menurut

Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu bahwa usia

19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu

kematangan dan tanggung jawab.3

Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif.

Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki

karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika

berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara

legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab

yang mencerminkan karakter dewasa.

Kata "dewasa" kadang juga berarti "tidak dianggap cocok untuk anak-

anak", terutama sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku seksual,

seperti hiburan dewasa,video dewasa, majalah dewasa, serta toko buku dewasa.

Tetapi, pendidikan orang dewasa hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa,

dan bukan spesifik pendidikan seks.

Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula

pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir

pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi

dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa

3 Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 41: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

31

pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai

keluarga, dan mengasuh anak anak.4

Adapun pengertian dewasa di sini yang dimaksud penulis adalah sebuah

masa dewasa awal di mulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun,

saat perbubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai tingkat

kemampuan reproduksinya ketika melangsungkan sebuah perkawinan.5Adapun

istilah medis sendiri diartikan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dalam

tataran keilmuan ilmiah medis. Jadi dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam

pengertian medis sendiri di sini yaitu sebuah masa dewasanya laki-laki maupun

perempuan untuk melangsungkan sebuah perkawinan dengan kesiapan organ-

organ kedewasaan secara biologis maupun medis.

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa

Setiap tahap perkembangan memiliki karaktersitik tersendri. Seperti

halnya tahap perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan berbagai macam

dan ciri khas tersendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut Dariyo,

bahwa secara fisik, seorang dewasa awal/muda menampilkan profil yang

sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek fisiologis

telah mencapai puncaknya. Mereka memiliki daya taha dan taraf kesehatan yang

4 Dewasa, diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB , lebihlengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa

5 Kesimpulan ini diambil dari Skripsi Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada WanitaDewasa Awal yang Bekerja, (Medan: USU Repository, 2006), hal. 11

Page 42: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

32

prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatf, kreatif,

energik, cepat dan proaktif. Sementara bagi Havihurts menjelaskan beberapa

perkembangan pada dewasan awal diantaranya mulai berkerja, memilih

pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan memulai membina keluarga.6

Sebelum melangkah lebih jauh dari karakteristik tingkat dewasa itu

sendiri, masa dewasa sendiri memiliki tahapan yang khas dari segi fisiologis dan

medisnya. Seperti biasanya, masa dewasa awal atau yang biasa disebut dengan

masa pubertas, pasti akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan yang

utama (primer) terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut memungkinkan

seorang laki-laki dan perempuan pada masa puber dapat menghasilkan bayi.

Perubahan utama diiringi perubahan sekunder atau perubahan fisik yang ciri-

cirinya tampak pada manusia.

1. Perkembangan Fisik Laki-Laki pada Masa Pubertas.

Seorang laki-laki telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya

terjadi perubahan, antara lain sebagai berikut:

a) Jakun mulai tumbuh

b) Dada tampak lebih berbidang

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan

d) Suara menjadi lebih berat dan besar

e) Mulai mengalami mimpi basah

6 Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, (Medan:USU Repository, 2006), hal. 13

Page 43: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

33

f) Pembuangan minyak lambat, mulai tumbuh jerawat

g) Hormon seks makin matang menghasilkan organ seks laki-laki

h) Bahunya melebar dan otot-otot berisi

2. Perkembangan Fisik Perempuan pada Masa Pubertas

Seorang perempuan telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya

telah ada perubahan sebagai berikut:

a) Payudara mulai tumbuh besar

b) Pinggul mulai melebar

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan

d) Datangnya haid atau menstruasi setiap bulan

e) Bentuk tubuh membulat

f) Pertumbuhan tinggi badan berhenti

g) Usia 13 tahun rata-rata gadis mengalami haid pertama7

Selain ciri khas di atas, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi

dewasa mengalami tahap pubertas. Pada masa ini, baik laki-laki maupun

perempuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Badan akan bertambah

tinggi, bertambah gemuk, dan organ kelaminnya sudah mampu menghasilkan sel

kelamin yang matang.

7 Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis,27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita

Page 44: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

34

Pada laki-laki ditandai dengan kemampuan testis (buah zakar) untuk

menghasilkan sperma. Pada perempuan ditandai dengan kemampuan ovarium

(indung telur) menghasilkan sel telur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah

mampu bereproduksi. Pada masa dewasa, badan seseorang tidak mengalami

pertumbuhan tinggi lagi, tetapi hanya bertambah berat. Masa dewasa ini akan

berakhir pada berkurangmya kemampuan fisiknya, seperti rambut terlihat

memutih. Gigi mulai tanggal dan tidak tumbuh kembali. Kulit mulai keriput.

Penglihatan mulai kabur karena daya akomodasi lensa mata berkurang dan

pendengaran pun juga berkurang. Pada perempuan, ovarium sudah tidak dapat

menghasilkan sel telur lagi sehingga tidak terjadi menstruasi lagi. Masa ini

disebut menopause. Tetapi, pada laki-laki proses pembentukan sperma masih

terjadi, meskipun telah menurun.8

Jika melihat Periode Perkembangan Masa Dewasa itu sendiri, menurut E.

Hurlock terbagi dalam 3 periode masa dewasa, yaitu:

1) Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun – 40 tahun).

Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia

tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in

population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).

Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan

akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum

8 Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis,27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.

Page 45: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

35

maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap

menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll. Tugas-tugas perkembangan

(development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki

dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup

berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga,

memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok

sosial yang menyenangkan.

2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40 – 60 tahun).

Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan

mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik,

asam urat, dll). Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan

ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu

anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan

pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan

peran-perannya sebagai orang dewasa.

3) Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60 – Mati).

Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran,

penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial). Tugas-tugas

perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan ajaran-

ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik

dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian pasangan

Page 46: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

36

hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan

dengan anggota keluarga.9

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan

Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara

pria dan wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis,

dan pola-pola pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan

wanita memiliki perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang memengaruhi

variasi ciri-ciri biologis, seperti kesuburan.10

Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibanding wanita, tapi

wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan

pria, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak

laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dibandingkan wanita.

Selain itu, secara neurologis, anak perempuan lebih matang dibandingkan anak

laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih

cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria.

Menurut Sigmund Freud, “Anatomi adalah takdir”. Apakah perbedaan

fisik pria dan wanita merupakan bukti bahwa perbedaan gender disertai juga

perbedaan psikologis? Pria dan wanita memang terlihat berbeda dan memiliki

9 Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang RentangKehidupan, (ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 65

10 Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran JakartaKamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita

Page 47: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

37

organ serta hormon seks yang berbeda. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pria

dan wanita juga berbeda dalam cara masing-masing berpikir, bertindak, dan

merasakan sesuatu. Semua itu karena alasan biologis.

Ada beberapa area di mana kita dapat menemukan perbedaan gender yang

reliabel berkaitan dengan kemampuan psikologis, khususnya dalam area yang

menyangkut kemampuan berpikir, persepsi, dan memori. Pada umumnya, pria

(sejak kecil hingga dewasa) memperlihatkan kemampuan spasial yang lebih baik,

sedangkan wanita (sejak kecil hingga dewasa) menunjukkan kemampuan verbal

yang lebih maju. Pria cenderung lebih berani mengambil tanggung jawab dalam

kelompok, sedangkan wanita lebih menaruh perhatian dan terlibat dalam

pengasuhan anak.

Masa pertumbuhan manusia ada batasnya. Secara normal, pada laki-laki

pertumbuhan terhenti pada usia sekitar 22 tahun, sedangkan pada perempuan di

usia sekitar 18 tahun. Pada kebanyakan remaja, perkembangan tubuh lebih cepat

dialami pada waktu mereka berusia 12 tahun–18 tahun. Untuk remaja

perempuan, pertumbuhan cepat itu biasanya terjadi pada usia 12 tahun,

sedangkan untuk remaja lakilaki pada usia 14 tahun. Setelah usia 14 tahun,

remaja laki-laki biasanya mengejar ketinggalan tinggi dan beratnya itu dan

melampaui tinggi serta berat remaja perempuan.11

11 Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran JakartaKamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita

Page 48: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

38

Adapun perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki,

seperti dalam pertumbuhan bayi dan remaja, anak-anak tumbuh dengan tinggi

dan berat badan di tingkat yang sama-sama lambat tapi stabil. Tidak ada

perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin hingga akhir sekolah dasar.

Memang kebanyakan anak perempuan tumbuh tinggi lebih cepat, tapi biasanya

anak laki-laki dapat mengejar dan melebihi dalam beberapa tahun. Perempuan

biasanya tumbuh tinggi 3 inci per tahun atau sedikit lebih. Sedangkan anak laki-

laki tumbuh 3-4 inci per tahun.

Perbedaan pada masa pubertas atau memasuki dewasa awal, beberapa

gadis mulai menunjukkan perubahan pertama pubertas dengan adanya tunas

payudara dan (kemudian) rambut kemaluan di usia 8 tahun.

Perubahan ini biasanya berlangsung di usia 8 dan 12 tahun. Perubahan ini

biasanya diikuti oleh menstruasi. Kebanyakan gadis mendapatkan periode haid

pertama mereka dalam lima tahun perkembangan payudara atau sebelum berusia

16 tahun.12

Namun ada juga beberapa anak perempuan yang “matang” di usia yang

sangat dini, 7 tahun. Situasi ini dikenal sebagai pubertas prekoks. Tidak jelas apa

yang menyebabkan pematangan awal ini. Diperkirakan berasal dari paparan

lingkungan genetika. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini biasa terjadi pada

anak perempuan Afrika-Amerika.

12 Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa,11 Februari 2014, lihat : http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/Perbedaan-Perkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/

Page 49: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

39

Sedangkan pada anak laki-laki sangat jarang ditemukan perubahan yang

dikarenakan pubertas. Biasanya pubertas ditandai dengan pembesaran testis dan

pertumbuhan penis serta rambut kemaluan. Ini terjadi sebelum usia 9 tahun.

Untuk keterampilan motorik, Pada anak laki-laki, keterampilan motorik

kasar (berjalan, melompat, keseimbangan) cenderung berkembang sedikit lebih

cepat. Sedangkan pada anak perempuan, keterampilan motorik halusnya

(memegang pensil, menulis) yang meningkatkan pertama kali. Hal ini bisa

menguntungkan posisi anak perempuan di sekolah dasar.13

Anak laki-laki juga lebih agresif dan impulsif secara fisik, seperti

diungkapkan oleh studi yang menganalis otak anak. Pusat kesenangan otak

benar-benar lebih “menyala” pada anak laki-laki ketika mereka dihadapkan pada

tantangan. Itu bukan berarti anak perempuan tidak aktif dan berani mengambil

risiko, hanya saja dalam hal ini anak laki-laki lebih memainkan perannya.

13 Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran JakartaKamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.

Page 50: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

40

BAB IV

ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN

ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan

Perempuan

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai

adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak

menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.

Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw.

menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah

yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai

bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan

Islam.

Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf al-

Ûlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang

ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah

boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah

bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan

hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal ini pun dibolehkan oleh para sahabat,

Page 51: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

41

seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah,

Ibn Maz’un, dan Ammarah.1

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali

untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam

beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau

mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan

menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2

Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah

yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan anak-

anak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam

Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan

pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta

izin darinya adalah lebih baik.3

Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk

menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak

menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain

ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada

orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi

1 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut;Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara HukumIslam dan Perundang-undangan, hal. 80.

2 Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal.81.

3 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut;Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

Page 52: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

42

anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak

boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm

menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki

maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih

(khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y,

Ahmad dan Ishaq.4

Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia

(mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum.

Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk

menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk

menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk

berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.

Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika

ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah

digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh ‘Aisyah Ummm al-Muminîn dalam hadits:

أنرضي الله عنھاعائشةعنأبیھعنھشامعنسفیانحدثنامحمد بن یوسفحدثنا

تسعبنتوھيعلیھوأدخلتسنینستبنتوھيتزوجھاوسلمعلیھاللهصلىالنبي

٥)متفق علیھ(تسعاعندهومكثت

4 HR: Bukhari dan Muslim, lihat Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

5 Hadits No. 4840, Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani, Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri:Syarh Shâhih al-Bukhâri, Juz. I, (Tt: Dâr ar-Riyân li al-Turâts, 1407 H/1986 M), hal. 30

Page 53: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

43

Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dariHisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinyaketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika diaberusia sembilan tahun.

Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan

Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb al-

talâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena

itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan

sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan

bagi kaum wanita.

Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya.

Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan

supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang

diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:

یا معشر الشباب ، :قال لنا رسول الله صلى الله علیھ وسلم: ال قعبد الله بن مسعودعن

من استطاع منكم الباءة فلیتزوج فإنھ أغض للبصر ، وأحصن للفرج ، ومن لم یستطع

٦)متفق علیھ(فعلیھ بالصوم فإنھ لھ وجاء

6 HR. Bukhari dan Muslim, lihat Abu Abdurrahman bin Syu’aib al-Nasâi, Sunan al-Nasâ’i, Juz VI, (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby waAuladih, tt), hal. 47. Lihat juga ‘Ibn Daqîq al-‘Abd, Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-IhkâmSyarh‘Umdah al-Ahkâm, Juz. II (T.t: Sunah al-Nasyr, 1995 M/1416 H), hal. 552

Page 54: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

44

Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda!Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, makahendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjagakehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa,karena puasa itu menjadi perisai baginya.

Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia

sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan

sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat

dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta

tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang

yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa

Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”.8 Para ulama

mendefinisikan kemampuan itu sendiri dengan shalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq

al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak

dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9

Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb (kemampuan untuk

mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut

kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih

disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya

dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar

7 Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,1315 H), hal. 930

8 Al-Rahawi, syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,1315 H), hal. 930

9 Jurnal Sun Choirol Ummah, Kedewasaan untuk Menikah, (Yogyakarta: UNY, t.th,)hal. 45

Page 55: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

45

kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia

belum dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib

menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka

kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyyah al-ada’ al-nuqshân) da

nada pula yang bersifat sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kâmilah). Kalau

keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan perkawinan, maka timbul

pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk membangun

rumah tangga?

Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan

firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6:

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup umur untukkawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandaimemelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim

tentang keagamaannya.usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat

dipercaya. Orang yang dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat

diberi pertanggungjawaban secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah

dewasa. Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan

bahwa bulûgh al-nikâh berarti sampainya seseorang kepada umur untuk

Page 56: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

46

menikah, yakni sampai bermimpi, pada umur itu, katanya, seseorang telah bisa

melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk

menikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama,

seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu maka rusyd

adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendapatkan kebaikan.

Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya.10 Menurut ulama Syafi’iyah,

rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak kebaikan tindakannya dalam

soal beragama dan harta benda.11

Bedasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan “mimpi”

dan “rusyd” . akan tetapi umur mimpi dan rusyd kadang-kadang tidak sama dan

sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belum rusyd dalam

tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam tindakan sehari-hari. Karena itu,

kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan

tanda-tanda.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat

para ahli, sebagai berikut:

10 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz IV, (Mesir: Al-Manar, 1325 H), hal.387.

11 Abdul Rahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1985), hal. 353

Page 57: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

47

1. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan

datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau

tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.12

2. Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat,antara

lain:

a) Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu

mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan

tanda-tanda, seperti diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak

sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur.

Disamakannya masakedewasaannya untuk peria dan wanita adalah karena

kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif,

dan karena akal pulalah adanya hukum.13

b) Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19

tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik

menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan

dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi” , karenanya

mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi

datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih

12 Abdul Rahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1985), hal. 350.

13 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dar al-urubah,1964), hal. 603.

Page 58: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

48

diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu

pada usia 18 tahun.

c) Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur

21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan

persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan

masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat

diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.14

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fikih konvensional ini, dapat

dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa

batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-

laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini

maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum

mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Menurut

Muhammad Atho Mudzhar,15 meskipun ketentuan ini tidak ada dalam kitab-kitab

fikih pembatasan perkawinan ini sudah tidak lagi menimbulkan resistensi dari

berbagai kelompok Islam, bahkan telah dianggap lumrah dan biasa.

Indonesia termasuk Negara yang cukup menoleransi perkawinan muda.

Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia

nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan

14 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah,1964), hal. 602

15 Muhammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam MunawwirSjadzali, hal. 218.

Page 59: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

49

Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan

Indonesia 19 tahun bagi laki-laki,hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk

perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir,

Irak, Leanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Syuriah.

Sisanya adalah dibawa 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun

untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendaah adalah Yaman Utara

15 tahun bagi perempuan. Sementara untuk usia perempuan yang tertinggi

adalah 18 tahun, yang diterapkan di Aljazair, Bangladesh, dan Somalia.16 Usia

17 tahun diterapkan di Tunisia, Suriah, dan Libanon, sedang yang sama dengan

Indonesia 16 tahun untuk perempuan adalah Yaman Selatan, Pakistan, Malaysia,

Libya, dan Mesir.17

Dari sekian banyak Negara, hanya Yordania yang menerapkan batasan

perbedaan umur antara calon pasangan yang hendak kawin. Di Negara ini diatur

bahwa jika jarak usia laki-laki dan perempuan itu lebih dari 20 tahun, sedangkan

perempuan kurang dari 18 tahun maka pernikahan tersebut dilarang.18 Islam

sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak.

16 Somalia mematok usia yang sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun.

17 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhy: Academy of lawand Religion,1987), hal. 270; Dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak disebut bahwa seseorangdikatagorikan sebagai anak-anak ketika berusia di bawah 18 tahun. Lihat pasal 1 Konvenan.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional, ( Jakarta:Komnas HAH, 2008), hal. 133.

18 Mohammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam MunawwirSjadzali, hal. 218.

Page 60: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

50

Hanya saja perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta

ketenangan dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua

mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang

tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak. Namun demikian,

menurut al-Siba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua

menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya

haram.19

Bila dilihat lebih teliti pernyataan al-Siba’i yang mengutip al-Qulyubi

dapat diartikan bahwa Islam tidak pernah menetapkan adanya batasan minimal

usia bagi perempuan atau laki-laki untuk menikah, namun pelaksanaan

pernikahan tersebut sangat terkait dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan itu

sendiri. Hal ini pula kiranya yang termaktub dalam penjelasan Undang-Undang

perkawinan ketika menguraikan maksud dari pasal 7, bahwa untuk menjaga

kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk

perkawinan.20 Dalam konteks ini, pengertian perkawinan telah melampaui

interpretasi kitab-kitab kelasik yang hanya menekankan bolehnya hubungan

badan atara laki-laki dan perempuan (al-wath).21 Sementara dalam Undang-

undang perkawinan dinyatakan bahwa, perkawinan sebagai ikatan lahir batin

19 Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal, 89.

20 Penjelasan UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1).21 Lihat Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, hal. 115.

Page 61: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

51

antara suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal,22

Kedewasaan yang matang diharapkan dapat menerima dan menyelesaikan

problematika rumah tangga dengan nalar yang matang dan berpikir dewasa.

Dalam arti Undang-undang perkawinan menganut perinsip bahwa calon suami-

istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan

perkawianan, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat.

B. Pandangan Medis Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan

Perempuan

Pernikahan merupakan gerbang terbentuknya suatu keluarga yang

menjadi unit terkecil dari masyarakat dan Negara. Jika unit-unit keluarga tersebut

dapat berkembang dengan baik, maka masyarakat dan Negara dapat pula

berjalan dengan baik. Keluarga mempunyai peran penting dalam mewujudkan

tatanan masyarakat dan bangsa yang berkualitas, oleh karena anak-anak sebagai

generasi penerus tumbuh dan berkembang bermula dari keluarga. Mengingat

besarnya pengaruh kondisi yang berkembang dalam sebuah keluarga, maka

sudah semestinya calon pengantin yang akan membangun keluarga mendapatkan

bekal yang memadai. Salah satu diantaranya adalah dengan memberikan

informasi tentang kesehatan reproduksi.

22 Pasal 2 ayat (1).Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 62: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

52

Pada umumnya calon pengantin memasuki gerbang pernikahan dengan

persiapan ala kadarnya. Masyarakat sudah terlanjur menganggap tabu untuk

membicarakan soal kesehatan reproduksi secara benar dan sehat. Karenanya tak

mengherankan jika pengetahuan masyarakat tentang reproduksi sering kali

bercampur baur antara mitos dan realitas. Oleh karena itu bila hal itu diterapkan

maka tanggung jawab manusia dapat dikontrol. Sebab itulah perkawinan sangat

penting untuk pengembangan umat manusia secara bertanggung jawab.

Tanggung jawab yang dipikul kepada suami dan isteri mencakup semua

akibat dari pernikahan. Kalau tidak ada aturan agama dan medis yang harus

dipatuhi oleh suami isteri, tentu masyarakat akan menjadi kacau. Tanpa

menafikan hikmah perkawinan bagi kaum pria, Zakiah Daradjat mengemukakan

bahwa adanya lembaga pernikahan sangat membantu dan melidungi kaum

wanita. Seandainya hubungan antara pria dan wanita bebas, maka wanita akan

selalu menjadi korban. Selagi ia muda, segar dan sehat, banyak laki-laki yang

tertarik dan senang kepadanya. Ketika ia tua, layu, sakit, dan lemah, tidak ada

lak-laki yang mau kepadanya. Apabila pandangan biologis semata-mata ini

dilanjutkan bisa diramalkan lebih jauh apa yang akan terjadi sekiranya wanita itu

hamil dan melahirkan. Siapa yang bertanggung jawab terhadap diri dan anak-

anaknya.23

23 Zakiah Daradjat, Perkawinan yang Bertanggung Jawab, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), hal. 10

Page 63: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

53

Perkawinan yang bertanggung jawab akan dapat memupuk dan

mengembangkan sifat keibuan dan kepabapakan secara subur. Isteri sebagai ibu

akan dapat menyadari fungsi dan peranan dalam rumah tangga, begitu pun suami

sebagai ayah. Mereka dapat melakukan kerjasama dengan penuh kesabaran yang

akan menimbulkan kedamaian dan mengatasi segala persoalan keluarga. Hal ini

akan membangkitkan semangat kerja yang sekaligus tentu bisa

mengaktualisasikan kemampuan pribadi dan bakat-bakat yang ada tetkala adanya

gangguan dan goncangan terhadap rumah tangga.24

Dengan demikian dikatakan bahwa masalah perkawinan bukanlah

persoalan yang enteng dan tidak semua orang dapat mengarunginya dengan

sukses. Orang yang sudah dewasa fisik dan mental, belum tentu bisa membina

dan mendirikan rumah tangga secara sempurna, apa lagi orang muda yang belum

dewasa. Secara rasional kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kedewasaan

merupakan persoalan penting yang mempunyai pengaruh tidak kecil terhadap

keberhasilan rumah tangga.

Apabila persoalan ini didasarkan kepada Ilmu Jiwa, maka tampak sekali

tidak sempurnanya suatu tanggung jawab untuk membina rumah tangga bila

hanya mengandalkan rasa cinta semata-mata. Cinta memang merupakan modal

untuk membina rumah tangga, namun cinta yang baik bukan hanya sekedar cinta

emosi, tetapi cinta yang diikuti oleh rasa tanggung jawab untuk mengembangkan

diri (extension of the self), yaitu diri pribadi diperkembang luaskan kepada diri

24 Mahmud Syaltut, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarîah, (Cairo: Dâr al-Qolâm, 1986), hal.147.

Page 64: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

54

yang lain sehingga pasangan hidupnya dipandang sebagai bagian dari dirinya

sendiri. Hal itu hanya bisa terwujud dalam diri orang yang memiliki tingkat

kedewasaan.25

Berbeda dengan perkawinan muda, di mana perkawinan muda atau dini

merupakan salah satu penyebab angka perceraian tertinggi. Dari sini dapat dilihat

bahwa tingkat kedewasaan menjadi syarat mutlak agar keharmonisan dalam

rumah tangga bisa tercapai. Selain itu tidak adanya tanggung jawab masing-

masing pihak dikarenakan terlalu mudanya tingkat pengalaman sosial maupun

psikologisnya menjadi problem tersendiri dalam berumah tangga.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), sekitar 16

juta perempuan berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya, sekitar 11% dari

semua kelahiran di seluruh dunia. Sembilan puluh lima persen (95%) dari

kelahiran remaja terjadi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi. Pemerintah

Kementerian Kesehatan (Kemkes) melakukan berbagai upaya untuk

menurunkannya dan mencapai target pembangungan milenium (Milienium

Development Goals/MDGS) yang ditargetkan pada 2015. 26

25 Lihat Sarlito Wirawan Sarwono, Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinandalam Bina Keluarga No 99, ( Jakarta: BKKBN, 1981), hal 13

26 Retno Dwi Puspitasari, Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang DampakPernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan GunemKabupaten Rembang, (Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan, Sekolah Tinggi IlmuKesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014), hal. 2

Page 65: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

55

Banyak faktor yang menyebabkan angka kematian ibu tinggi, yaitu dari

medis dan di luar medis. Pada faktor yang ada di luar medis, ada keterkaitan

antara tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan ibu yang menikah pada usia

muda. Orang hamil perlu investasi yang tidak hanya dari gizi saja, melainkan

dukungan dan persiapan suami maupun lainnya, yang menjadi masalah ini jika

menikah di usia terlalu muda yaitu 15-19 tahun. Usia tersebut sangat rawan.

Pernikahan usia muda cukup tinggi yaitu sebanyak 48 persen. Selain masalah

kesehatan saat persalinan, salah satu faktor tingginya angka kematian ibu adalah

banyak perkawinan pada usia muda ini. Berdasarkan data hasil Survei Demografi

Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia mencapai 359 per

100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 32 per

1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk tahun 2013, berdasarkan laporan daerah

yang diterima Kemenkes menunjukan bahwa jumlah ibu yang meninggal karena

kehamilan dan persalinan adalah sebanyak 5019 orang. Sedangkan, jumlah bayi

yang meninggal di Indonesia berdasarkan estimasi SDKI 2012 mencapai 160.681

anak. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno Dwi

Puspitasari di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, di

mana dampak dari pernikahan usia muda di Desa Tegaldowo terdapat kejadian

anemia pada ibu hamil sebanyak 80%, prematuritas 10%, dan BBLR 20% pada

tahun 2013.27

27 Retno Dwi Puspitasari, Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang DampakPernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem

Page 66: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

56

Belun lagi ditinjau dari segi psikologis, pada usia perkawinan di bawah

20 tahun kondisi emosi dan mental remaja belum stabil. Kestabilan emosi

umumnya terjadi usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki

usia dewasa. Masa remaja boleh dibilang berlangsung sampai usia 19 tahun.

Maka, jika pernikahan dilakukan dibawah usia 20 tahun secara emosi remaja

masih ingin berpetualang untuk menemukan jati dirinya.28

Pernikahan usia dini (melakukan hubungan seksual usia dini), juga

menjadi faktor risiko terjadinya kanker leher rahim. Pada usia remaja sel-sel

leher rahim perempuan belum matang. Jika terdapat Human Papilloma Virus

(HPV) pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Berdasarkan data

Departemen Kesehatan RI, di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker leher

rahim per 100.000 penduduk. Setiap tahun terjadi 200.000 kasus kanker leher

rahim.29

Dari tinjauan kesehatan, bahwa penyakit kanker serviks (kanker leher

rahim), merupakan kanker berbahaya kedua bagi perempuan setelah kanker

payudara. Kanker ini menyerang bagian terendah dari Rahim yang menonjol

Kabupaten Rembang, (Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan, Sekolah Tinggi IlmuKesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014), hal. 4

28 Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3,Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksi-mencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45

29 Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3,Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksi-mencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45

Page 67: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

57

kepuncak liang senggama. Salah satu faktor penyebab kanker serviks adalah

aktivitas seksual dini,30 sebab perempuan muda mempunyai kondisi leher Rahim

belum matang. Kematangan disini bukan dihitung dari datangnya menstruasi,

tetapi kematangan sel-sel mukosa yang terdapat dalam selaput kulit. Umumnya

sel mukosa ini baru mengalami kematangan pada saat perempuan berusia diatas

20 tahun. Ketika perempuan berusia di bawah 18 tahun, kondisi sel mukosa yang

terdapat dalam serviks belum begitu sempurna menerima rangsangan dari luar,

termasuk dari sperma. Akibatnya, setiap sel mukosa bisa berubah menjadi

kanker. Perubahan sifat sel akibat rangsangan bisa meningkatkan pertumbuhan

sel mati yang berpotensi menyebabkan kanker.31

Sarwito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa usia seseorang siap

memasuki kehidupan rumah tangga adalah 20 tahun untuk perempuan dan 25

tahun untuk laki-laki. Usia ini didasarkan pada tinjauan kesehatan dan sosial

kemasyarakatan.32Dadang Hawari menulis, usia untuk berumah tangga dan KB

menurut kesehatan adalah 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 bagi laki-laki

dengan tiga alasan. Pertama, bahwa memang benar anak aqil balig dengan

ejakulasi (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama)

30 Muhammad Rasjidi, Manual Prakanker Serviks: Kanker Serviks. Edisi 1, (Jakarta: CVSagung Seto, 2008), hal. 7

31Adapun faktor penyebab lain adalah adapun faktor resiko kanker Serviks ada empat,yakni: (1) paritas, yaitu perempuan yang hamil 7 kali atau lebih (2) merokok, dan (3) riwayatkeluarga. Koran Jakarta “Kesehataan”. Minggu 12 April 2009, hal. 12.

32 Helmi Karim, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T. Yanggo danHafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer, (Jakarta: Pustaka al-Firdaus, 1994),hal. 70.

Page 68: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

58

bagi perempuan, tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut

baru merupakan pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi,

namun belum siap untuk reproduksi (Hamil dan melahirkan). Kedua, dari

tinjauan psikologis, anak remaja masih jauh kedawasaan (mature, matang dan

mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar

menjadi isteri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia remaja

sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum

mementingkan aspek afeksi (kasih sayang).33

Dalam buku kedokteran dikatakan bahwa di Indonesia khususnya di

lingkungan Asean, merupakan Negara dengan angka kematian ibu tertinggi, yang

berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih memerlukan

perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.34 Dengan perkiraan

persalinan di Indonesia setiap tahunnya sekitar 5.000.000 jiwa dapat dijabarkan

bahwa angka kematian ibu sebesar 19.500-20.000 setiap tahunnya atau terjadi

setiap 26-27 menit. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan 30,5%, infeksi

22,5%, gestoris 17,5%, dan anesthesia 2,0%. Kematian bayi sebesar 56/10.000

menjadi sekitar 280.000 atau terjadi setiap 18-20 menit sekali. Penyebab

33 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan, (Jakarta: DanaBhakti Prima Yasa, 1996), hal. 251-252.

34 Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KeluargaBerencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 5

Page 69: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

59

kematian bayi adalah asfiksia neonatorum 49-60%, infeksi 24-34%,

prematuritas/BBLR 15-20%, trauma persalinan 2-7%, dan cacat bawaan 1-3%.35

Adapun alasan kehamilan risiko tinggi dalam kaitan ini adalah keadaaan

keadaan yang dapat mempengaruhi optimalisasi ibu maupun janin pada

kehamilan yang dihadapi. Berdasarkan definisi tersebut beberapa peneliti

menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi ketika menjelang kehamilan muda

atau saat hamil pertengahan muda.36

Kesimpulan di atas adalah akibat perkawinan usia muda kurang 20 tahun

masih tinggi, jarak waktu hamil dan bersalin masih pendek, serta jumlah anak

banyak (grandemultipara) yang masih tinggi. Memliki resiko kesehatan yang

amat berbahaya bagi perempuan dan anak. Untuk itu berdasarkan pandangan

medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi perempuan dan laki-

laki 25 tahun.

C. Analisis Penulis

Mengacu pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon

suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya

16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada

pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum

35 Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KeluargaBerencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 14

36 Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KeluargaBerencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 32

Page 70: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

60

mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur

dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan

kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari

pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1

Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan

dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum

dan medis.

Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan

batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam

menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan

jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an

dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah

lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan

perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tanda-

tanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda haid,

kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar

kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan

batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah

menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat

Page 71: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

61

menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-

tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan

dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah

karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif,

dan karena akal pulalah adanya hukum.37

Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19

tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik

menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan

dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan

hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia

telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya.

Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.

Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang

berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan

persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan

masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat

diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.38

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat

dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa

37 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah,1964), hal. 603.

38 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah,1964), hal. 603

Page 72: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

62

batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-

laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini

maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum

mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.

Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh

para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu,

terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah

ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun.39 Namun para

ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat

kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan

dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan.

Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, Abu Hanifah usia 19

tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun

baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa

usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun.

Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi

tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman

dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang

mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1)

untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

39 Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum IslamKontemporer, (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 81

Page 73: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

63

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan

dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon

suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya

berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan

(5) UU No. 1 Tahun 1974.40

Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan

merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan

(diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada

tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama

sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan

perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang

mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan

faktor lainnya.

Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh

para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak

jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan

pandangan ahli.

Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk

siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi

40 Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 74: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

64

20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman

modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan,

baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.41

Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya

dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30

tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan.

Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada

seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun.

Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa

beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia

kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia

sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-

kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa

demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik

mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna

akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia

itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self)

kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan

mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang

ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku

41 Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum IslamKontemporer, (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 84

Page 75: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

65

secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang

dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama.

Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak

faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena

usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari

perempuan mapun dari laki-laki.

Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics,

menurut The National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di

usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir

dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih

matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di

bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah

dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20.

Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34)

ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk

melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari

data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita

rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah

Page 76: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

66

menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari

orang tua.42

Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun

di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah.

Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang.

Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini

masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan

dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang

perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih

panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa

reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar

sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain

itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu

melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat

hamil.43

Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia

kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah

42 Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihathttp://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

43 Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca:http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

Page 77: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

67

yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan,

wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi,

emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia

21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada

kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal

untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan

baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia

24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami

penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.44

Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait

batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan

lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan

lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip

al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan

ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya

diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.

44 Usia Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan- lebih lengkaphttp://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-dan-melahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses padatanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

Page 78: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada tiga poin

penting yang didapat. Sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:

1. Dalam hukum Islam tidak diatur dengan jelas dan tegas berapa usia minimal

perkawinan dilangsungkan. Namun secara implisit syariat Islam hanya

memberi ketentuan itu apabila seseorang telah mencapai usia menikah, yang

dimaksud dengan telah mencapai usia menikah adalah jika seorang anak telah

mencapai batas usia kesiapan dalam akil balignya. Dalam kitab-kitab fikih

klasik pun tidak memberikan batasa umur secara pasti dan konkrit yang

dinyatakan dengan bilangan angka. Namun pernyataan balig sebagai indikator

untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini didasarkan pada kata al-

syabab yaitu pemuda yang sudah balig dan al-ba’ah yaitu kemampuan dalam

berjima dan memiliki biaya perkawinan walaupun sedikit. Sementara usia

baligh sendiri para ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama Syafi’iyyah dan

Hanabillah, apabila seseorang telah berusia 15 tahun maka ia telah dikatakan

balig atau telah keluar mani pada waktu kapan saja. Sedangkan menurut Abu

Hanifah, usia kedewasaan bagi laki-laki yaitu 18 tahun dan perempuan 17

tahun. Adapun Imam malik bahwa kedewasaan pria dan perempuan sama

Page 79: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

69

pada usia 18 tahun. Sementara dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974

tentang perkawinan, menetapkan batas minimal usia perkawinan berusia 19

tahun untuk calon laki-laki dan perempuan 16 tahun.

2. Paradigma medis menilai tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan untuk

melangsungkan perkawinan menunjukkan pada usia kisaran di atas 20 tahun

ke atas bagi perempuan dan laki-laki 25 tahun, karena bagi medis sendiri,

tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi biologis organ

reproduksi dan fisiologinya. Karena umur dibawah itu rentan sekali terjadi

berbagai macam penyakit organ reproduksi dan penyakit mental lainnya. Di

samping itu perkawinan di usia dini di bawah umur memunculkan problema

lainnya.

3. Setelah membandingkan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan

relevansinya terhadap batas usia perkawinan. Maka undang-undang

perkawinan terkait pembatasan usia perkawinan dalam pasal 7 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dianggap sudah tidak relevan

lagi digunakan saat ini. karena berdasarkan riset ilmiah medis membuktikan

bahwa tingkat kerentanan penyakit reproduksi terhadap perempuan dan

mental laki-laki di bawah usia 20-an. Alasan lain yang perlu diperhatikan

yaitu: Pertama, memang benar anak aqil balig dengan ejakulasi (mimpi basah)

bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama) bagi perempuan,

tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut baru merupakan

pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum

Page 80: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

70

siap untuk reproduksi (hamil dan melahirkan). Kedua, dari tinjauan

psikologis, anak remaja masih jauh kedewasaan (mature, matang dan

mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap

benar menjadi isteri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia

remaja sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua

dan belum mementingkan aspek afeksi (kasih sayang). Berdasarkan catatan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di Tanah Air untuk dapat

menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata

lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Sudah

selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah

tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan

argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu

bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi

yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri.

Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk

batas usia perkawinan.

B. Saran

Setelah membedah banyak implikasi terhadap perkawinan usia muda

pada kesehatan perempuan dan laki-laki. Penulis merasa perlu memberikan

beberapa saran penting di bawah ini:

Page 81: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

71

1. Sudah selayaknya saat ini pemerintah memperhatikan kondisi perkawinan

muda, di mana akibat perkawinan muda tersebut, mendapat ancaman serta

kerentanan terhadap jenis penyakit reproduksi bagi kalangan di bawah umur

20 tahun. Untuk itu pemerintah seharusnya merevisi dan meninjau ulang pasal

7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres

No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI terkait batas usia perkawinan.

2. DPR seharusnya memperhatikan dengan seksama atas perkembangan tingkat

kedewasaan terhadap laki-laki dan perempuan di Indonesia saat ini dalam

melangsungkan perkawinan ideal. DPR sebagai aspirasi rakyat seharusnya

mengkaji dan melakukan revisi terhadap batas minimal usia perkawinan di

Indonesia yang saat ini di atur pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI.

3. Bagi masyarakat, sudah selayaknya memperhatikan dan tidak melangsungkan

atau mengizinkan perkawinan anaknya/saudaranya di bawah usia dini (di

bawah umur 20 tahun) karena hal itu juga memicu pertumbuhan tingkat

perkembangan kawin muda, karena tidak didorong oleh masyarakat itu

sendiri. Seharusnya masyarakat memperhatikan perkawinan dilihat dari

kedewasaan secara pskis, sosial, fisiologis, medis dan hukum Islam.

Page 82: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

72

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Al-‘Abd, Ibn Daqîq. Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm.Juz. II. T.t: Sunah al-Nasyr. 1995 M/1416 H

Al-Bukhârî, Shahih. Kitâb al-Nikâh, Bâb Inkâ Al-Rajul Waladahu As-Shighâr. No.4840 , CD. Maktabah Syamilah

Al-Amien, Romzi, Fikih Perempuan. Yagyakarta: Pustaka Ilmu. 2011

Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada. 2008.

Al-Jaziri. Abdul Rahman. Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II. Beirut:Dâr al-Fikr. 1985

Al-Marwazi, Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr. Ikhtilâf al-Ûlama’.Beirut; Alim al-Kutub. 1985.

Al-Nasai, Abu Abdurrahman bin Syu’aib. Sunan al-Nasâ’i. Juz VI . Mesir: SyarikahMaktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladi. T.th

Al-Rahawi. Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul. Mesir: Dar al-Sa’adah.1315 H

Al-Siba’i, Musthafa. Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,_________. T.th

Anshari, A. Hafiz dan Yanggo Chuzaimah T. Problematika Hukum IslamKontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 2009.

As-Syafi’i. Al-‘Ulamâ, Bâb al-Nikâh, fi Inkâh al-Shighâr wa al-Maznun._______T.th

Audah, Abdul Qadir. al-Tasyrif al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I. Cairo: Dâr al-‘Urubah.1964

Daradjat, Zakiyah. Perkawinan yang Bertanggung Jawab. Jakarta: Bulan Bintang.1980

Page 83: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

73

Dewi, Ika Sari, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja,(Medan: USU Repository. 2006

Elizabeth B, Hurlock. Development Psychology A Life-Span Approach. New York:McGraw-Hill. 1980

Hawari, Dadang. al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan. Jakarta: DanaBhakti Prima Yasa. 1996

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:Bayumedia. 2008.

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Johariyah dan Ema Wahyu Ningrum. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Barulahir. Jakarta: Trans Info Media. 2012.

Joned, Ahilemah. Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar daripada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang menghormati Ahamad Ibrahim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1988

Karim, Helmi, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T.YanggodanHafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer.Jakarta: Pustaka al- Firdaus. 1994

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional.Jakarta: Komnas HAM. 2008

Koran Jakarta “Kesehataan”.Minggu 12 April 2009, hlm. 12.

Mahmood Tahir. Personal law in Islamic Countries. New Delhy: Academy of lawand Religion. 1987.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KeluargaBerencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran.1996.

Page 84: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

74

Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional.Jakarta: Gaung Persada (GP) Komplek Kejaksaan Agung RI Blok EI/3Cipayung-Ciputat. 2010.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra AdityaBakti. 2004.

Mukhtar, kamal. Azas-azas Hukum Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara. Leiden- Jakarta:INIS. 2002 Notoatmodjo, soekidjo. Metodologi Penelitian kesehatan.Jakarta: Reneka Cipta. 2005.

Nasition, Khoiruddin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa.2009

Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka SarwonoPrawiroharjo. 2010.

Purwati, Erni. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas. Jakarta: Cakrawala Ilmu. 2012.Rahardjo, Satjipto, hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: GentaPublishing. 2009.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan MudaDikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011

Puspitasari, Retno Dwi. Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang DampakPernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa TegaldowoKecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Ungaran: Program Studi DiplomaIII Kebidanan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran.2014

Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyyah. 1955.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. Juz IV. Mesir: Al-Manar. 1325 H

Rosyadi, A. Rahmat Soeroso Dasar. Keluarga Berencana Ditintau Dari HukumIslam. Bandung: Pustaka. 1406 H/1986.

S, Sulistiawati. Perempuan dan Hukum; menuju hukum yang berperspktif Kesetaraandan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.

Page 85: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

75

Sabiq, As-sayyidd, Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar al-fath. 1990.

Sarwono. Sarlito Wirawan. Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan”Dalam Bina Keluarga No 99. Jakarta: BKKBN. 1981

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatau TinjaunSingkat. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007.

Suryoprajogo Nadine. Kupas Tuntas Kesehatan Remaja. Yogyakarta: DiglossiaPrintika. 2009.

Syahlan. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan.1996.

Syaifuddin. Anotomi Fisiologi. Jakarta: EGC.2006.

Syaltut, Mahmud. al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarîah. Cairo: Dâr al-Qolâm. 1986

Ummah, Sun Choirol. Kedewasaan untuk Menikah. Yogyakarta: UNY. T.th

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Watjik, Saleh. HukumPerkawinan Indonesia. Jakarta: BalaiAksara. 1987

Internet dan Media:

Dewasa, lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa. Diakses dari wikepediapada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB

Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihathttp://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul22:00

Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca:http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015,pukul 22:00

Page 86: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

76

Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa,11 Februari 2014, lihat:http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/Perbedaan-Perkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita. Lebih lengkap:http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita. Diakses padaKoran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00

Usia Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan, - lebih lengkaphttp://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-dan-melahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul22:00

Usia, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul15:00

Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3,Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksi-mencegah-pernikahan-dini/. Diakses padatanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45

Page 87: FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM