fakultas psikologi universitas kristen satya wacana ... · perkembangan anak. sebagai contoh, dalam...

35
STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA OLEH MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA 802010098 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

    YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK

    MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA

    OLEH

    MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA

    802010098

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

    Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

    YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TDAK

    MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA

    Myrna Arinda Josephine Sinaga

    Berta E.A. Prasetya

    Heru Astikasari S.Murti

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres akademik antara anak taman

    kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

    Penelitian ini dilakukan pada 60 anak yang berusia 5-6 tahun melalui teknik purposive

    sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The Academic Stress Scale

    (ASS), dikembangkan oleh Hesketh dkk (2010) dan Principal Component Analysis (PCA)

    dari Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti.

    Stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan

    tidak mendapat pengajaran membaca diuji menggunakan Independent Sample Test dan

    diperoleh bahwa nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p

  • Abstract

    This study aimed to examine the differences in academic stress among kindergarten children

    who get reading lesson and not. This study was conducted towards 60 children aged 5-6

    years old through purposive sampling technique. Data collected by using The Academic

    Stress Scale (ASS), developed by Hesketh et. al (2010) and Principal Component Analysis

    (PCA) from Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), modified by researcher. The

    differences between academic stress tested with independent sample test. The result reveal

    that the t-test value is 3,745, with a significance of 0,001 (p

  • 1

    PENDAHULUAN

    Papalia (1995), seorang ahli perkembangan menyatakan bahwa anak

    berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan

    bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya,

    mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali

    dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Berdasarkan pandangan secara umum,

    dunia anak adalah dunia impian yang hanya dipenuhi oleh berbagai kesenangan dan

    ketenangan.

    Namun fakta membuktikan bahwa selain hal-hal yang menyenangkan,

    kehidupan anak-anak sekarang ini juga telah dipenuhi oleh berbagai persoalan dan

    tekanan, sama seperti yang dialami oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini sejalan

    dengan pendapat Pratanti (2008) bahwa stres tidak hanya terjadi pada orang dewasa,

    tetapi juga pada anak-anak.

    Menurut Irzal (2010), seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan

    memperhatikan tingkah lakunya. Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem

    pencernaan, sakit kepala, kelelahan, gangguan tidur, dan mengompol mungkin

    merupakan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Respons anak-anak

    terhadap situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan

    bagi anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain.

    Stres pada anak biasanya disebabkan oleh situasi baru yang terasa asing atau

    tidak terduga, harapan-harapan yang tidak pasti terpenuhinya, antisipasi terhadap

    sesuatu yang tidak menyenangkan (sakit dan sebagainya), ketakutan akan gagal

    (prestasi belajar ataupun dalam pergaulan), memasuki tahap penting dalam kehidupan

    (meninggalkan TK masuk SD, dan sebagainya) (Widyarini, 2010). Selain itu, anak-anak

  • 2

    juga bisa mengalami stres karena kegiatan sehari-harinya, salah satunya adalah dari

    sekolah, seperti beratnya beban yang diberikan pihak sekolah dalam meningkatkan

    prestasi belajar anak. Rasa tertekan jelas menimbulkan dampak negatif pada anak, baik

    secara fisik maupun psikis (Wibisono, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat dari

    Santrock (2002) yang menyatakan bahwa banyak peristiwa yang dapat membuat anak-

    anak mengalami stres, beberapa di antaranya adalah faktor-faktor kognitif, peristiwa-

    peristiwa kehidupan, percekcokan sehari-hari, faktor sosial budaya, dan status sosial

    ekonomi.

    Stres telah menjadi topik penting dalam lingkup akademik. Banyak peneliti di

    bidang ilmu perilaku telah melakukan penelitian yang luas pada stres dan hasilnya

    menyimpulkan bahwa topik ini membutuhkan lebih banyak lagi perhatian (Agolla

    dalam Purna, 2009). Stres dalam institusi akademik dapat memiliki efek positif jika bisa

    dikelola dengan baik, dan memiliki efek negatif jika tidak dikelola dengan baik

    (Stevenson & Harper, 2006). Institusi akademik memiliki pengaturan kerja yang

    berbeda jika dibandingkan dengan yang bukan akademik, berbeda baik dari segi gejala,

    penyebab, dan efek stres (Chang & Lu, 2007).

    Para peneliti telah mengidentifikasi stressor dari stres akademik, yaitu terlalu

    banyak tugas sekolah, persaingan dengan teman, kegagalan dan hubungan yang buruk

    dengan teman dan guru (Fairbrother & Warn, 2003). Pelajar melaporkan sumber

    pengalaman stres akademik terbesar yang mereka alami setiap semester adalah dari

    belajar untuk ujian, persaingan nilai, dan harus menguasai pelajaran yang banyak dalam

    waktu yang singkat (Abouserie, 1994). Ketika stres dianggap negatif atau menjadi

    berlebihan, siswa akan mengalami gangguan secara fisik maupun psikologis.

  • 3

    Dalam budaya Confucian Heritage Culture (CHC) seperti di negara Cina,

    Macau, Korea, Jepang, dll, para orang tua biasanya sangat menanamkan pentingnya

    pendidikan anak-anak mereka, dan memberikan tuntutan yang signifikan agar anak

    mereka memiliki aspirasi yang tinggi untuk hasil akademik (Tan & Yates, 2007).

    Berdasarkan alasan ini, peneliti menemukan bahwa anak-anak bisa memiliki

    pengalaman stres akademik yang tinggi, terkait stres yang memiliki efek negatif bagi

    perkembangan anak. Sebagai contoh, dalam studi investigasi dampak dari stres

    akademik di China, Hesketh dkk (2010) menemukan bahwa stres akademik dengan

    level yang tinggi dialami juga oleh anak Sekolah Dasar, baik dalam rumah dan

    lingkungan sekolah, sehingga anak ditempatkan dalam tekanan yang mengganggu

    kesehatan dan kesejahteraan mereka.

    Maksood (dalam Setiawati, 2010) menyatakan bahwa reaksi stres atau

    kekecewaan pada diri anak dan remaja sering menyebabkan timbulnya kasus bunuh diri.

    Didukung oleh Seto (dalam Sindo, 2010) yang menyatakan bahwa stres yang

    berlebihan, bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya, karena guru

    mungkin membebani pekerjaan rumah yang berlebihan atau tuntutan prestasi yang

    terlalu tinggi juga dapat menjadi penyebab seorang pelajar nekat bunuh diri. Hakikatnya

    bunuh diri yang dilakukan anak adalah akumulasi dari berbagai stres yang dialaminya.

    Stres ini menimbulkan rasa frustrasi, lalu timbul depresi sampai pada tahap anak

    memutuskan untuk bunuh diri (Sumarsih, 2008). Berdasarkan efek negatif pada

    perkembangan anak tersebut, maka penelitian bagi stres akademik anak sangat

    didukung (Yorke, 2013).

    Salah satu contoh fenomena yang terjadi saat ini adalah perbedaan kurikulum

    antar beberapa Taman Kanak-Kanak yang ada di Indonesia dalam hal pemberian

  • 4

    pengajaran membaca kepada para siswanya. Beberapa TK sudah memberikan

    pengajaran membaca, sedangkan TK yang lain tidak. Perbedaan tersebut

    dilatarbelakangi alasan dan prinsipnya masing-masing.

    Saat ini masih banyak perdebatan yang kontroversial antara kelompok yang pro

    dan kontra mengenai pemberian pengajaran membaca tersebut di usia pra sekolah.

    Apalagi saat ini beberapa sekolah sudah ada yang mengharuskan anak sudah bisa

    membaca dan berhitung saat masuk SD menyebabkan beban akademik yang kini

    ditanggung anak jauh lebih berat.

    Hal ini bertentangan dengan dasar dari Peraturan pemerintah No. 17 tahun 2010

    pasal 69 dan pasal 70. Dalam PP tersebut diatur untuk masuk sekolah dasar (SD) atau

    sederajat tidak didasarkan pada tes baca, tulis, hitung atau tes lainnya. Tidak ada alasan

    bagi penyelenggara pendidikan tingkat SD atau sederajat untuk menggelar tes masuk

    bagi calon peserta didiknya. Berikut isi PP No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat 5, yaitu

    Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak

    didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes

    lain.

    Pada dasarnya membaca merupakan kemampuan menghubungkan antara bahasa

    lisan dengan tulisan, dalam kaitannya dengan kemampuan membaca permulaan,

    keterampilan penguasaan kosa kata sangatlah penting bagi anak. Menurut Bowman

    dan Bowman (1991), membaca merupakan sarana yang tepat untuk

    mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Dengan

    mengajarkan kepada anak cara membaca berarti memberi anak tersebut sebuah masa

    depan yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun

    yang dipilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidup.

  • 5

    Aulina (2010) memaparkan bahwa membaca pada usia anak sebelum SD berarti

    memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD.

    Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di

    usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan

    menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal di kemudian

    hari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hainstock (2002), yang menyatakan bahwa

    anak secara mental belum siap membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan

    orangtua diingatkan bahwa dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak

    membaca sebelum usia tersebut.

    Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak

    Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung

    (calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan

    kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.

    Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya

    belum saatnya.

    Aulina (dalam Arist 2012) Komnas Pelindungan Anak mencatat terjadi 2.386

    kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik

    98% dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan

    masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan banyak aktifitas seperti les,

    sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita. Menurut Arist, negara telah gagal memberi

    jaminan perlindungan kepada anak-anak jika ditinjau dari sistem kurikulum di PAUD,

    anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung agar bisa masuk SD. Padahal

    seharusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan

    saja seperti bersosialisasi dan bergaul.

  • 6

    Hal ini didukung oleh Piaget (dalam Santrock, 2008), bahwa pelajaran membaca

    secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia tujuh

    tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah tujuh tahun anak belum mencapai

    fase operasional konkret, fase ketika anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur.

    Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang

    memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak

    TK yang masih berusia balita. Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika

    pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun.

    Pendapat-pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh para ahli di

    Amerika dan Inggris yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang

    otaknya belum siap. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang

    bermanfaat, tetapi bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson,

    seorang Dokter ahli spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17

    tahun telah meneliti anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU

    pemerintah yang menetapkan standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan

    berhenti mencoba mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda,

    beliau yakin bahwa pada usia 8-9 tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam,

    menulis, membaca, memperhatikan, dan belajar dengan mudah (“Indonesia Educate”,

    2013).

    Namun pada kenyataannya beberapa tahun belakangan ini, banyak SD,

    khususnya sekolah dasar favorit memberikan beberapa persyaratan masuk misalnya,

    dengan tes psikologi dan terutama adalah anak harus bisa membaca. Dampaknya,

    persyaratan yang diberikan membuat guru TK sibuk mencari cara untuk

    mengajarkan muridnya belajar membaca. Padahal, di TK tidak ada kewajiban anak

  • 7

    belajar membaca, kecuali hanya ajang sosialisasi prasekolah. Demikian pula dengan

    orangtua yang kebingungan dan menuntut di TK anak harus diajarkan untuk

    membaca dan berhitung, seringkali orangtua dengan sengaja memberikan les privat agar

    anak bisa membaca (“Media Indonesia”).

    Persyaratan anak harus bisa membaca tersebut diberikan terutama dengan

    adanya penelitian terhadap kemampuan membaca anak SD-MI kelas satu yang

    menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah masuk Taman Kanak-kanak

    kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak dari Taman

    Kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena kesiapan belajar membaca, pengenalan huruf

    dan sosialisasi antar anak lebih baik dari siswa yang tidak dari Taman Kanak-

    kanak (“Managing Basic Education”, 2004). Supriadi (dalam Ranis, 2013) dengan

    tegas mendukung hal ini, bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan

    berhitung. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan

    lain-lainnya.

    Hal ini jugalah yang mendorong lembaga pendidikan penyelenggara PAUD

    maupun orangtua secara aktif untuk mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan

    berhitung dengan cara-cara pembelajaran di SD yang tidak sesuai dengan tingkat

    perkembangan anak. Oleh karena itu, PAUD yang seharusnya menjadi taman yang

    indah, tempat anak-anak bermain dan berteman, mulai beralih menjadi sekolah kanak-

    kanak yang hanya memenuhi target kemampuan calistung, kegiatan ini berakibat

    adanya penugasan-penugasan yang harus diselesaikan di rumah biasa disebut Pekerjaan

    Rumah (PR), seperti layaknya proses pembelajaran di SD.

    Doman (1991) berpendapat bahwa waktu terbaik untuk belajar membaca

    kira-kira bersamaan waktunya dengan anak belajar bicara, di mana masa pekanya

  • 8

    terjadi pada rentang umur tiga tahun sampai lima tahun, yaitu ketika kemampuan anak

    untuk belajar membaca sedang di puncak. West dan Egley (dalam Seefeldt dkk, 2008)

    menyatakan bahwa meskipun pelajaran membaca formal biasanya dimulai di kelas satu,

    TK banyak mengembangkan banyak keterampilan yang mempersiapkan mereka untuk

    belajar membaca. Anak-anak yang rutinitas dan kegiatan sehari-harinya memberi

    kesempatan membaca akan mulai mengidentifikasi tulisan-tulisan lingkungan.

    Lingkungan yang kaya dengan buku dan tulisan membantu anak untuk mulai

    membedakan makna tulisan itu.

    Durkin telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-

    anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca

    dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih

    maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Selain

    itu, Steinberg telah berhasil dalam eksperimennya yang mengajar membaca dini untuk

    anak-anak berusia antara 1-4 tahun. Dia juga menemukan bahwa anak-anak yang telah

    mendapatkan pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah (dalam

    Nurbiana dkk, 2009).

    Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa

    pemberian materi pengajaran membaca awal pada usia TK tidak selalu membuat anak

    mengalami stres akademik. Hal ini mengartikan bahwa ada beberapa pendapat

    menyatakan bahwa tidak masalah mengajarkan anak membaca pada usia pra sekolah

    asal diberikan metode yang tepat dan menyenangkan bagi anak (Hidayati, 2010).

    Namun pendapat lain menyatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak di

    usia pra sekolah berarti mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah

    aktivitas yang dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan (Aulina,

  • 9

    2010). Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan stres

    akademik pada anak TK yang mendapat dan tidak mendapat pendidikan membaca

    permulaan?

    TINJAUAN PUSTAKA

    Definisi Stres Akademik

    Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut

    dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) menggambarkan stres akademik

    ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus

    dikerjakan. Stres akademik mengacu pada perasaan yang dialami siswa ketika tuntutan

    pendidikan dan sistem sekolah melebihi kemampuan mereka untuk mengatasinya

    (Kapri dkk, 2013). Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-

    tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan

    akademik yang semakin meningkat, sehingga pada siswa semakin terbebani oleh

    berbagai tuntutan (Alvin, 2007). Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami

    siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara

    tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.

    Melalui hasil pengujian Hesketh dkk (2010) di Vietnam dan China, stres

    akademik memiliki tujuh indikator, yaitu enjoyment of school, worry about exams,

    pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of punishment of teachers, and

    being physically bullied or corporally punished at home. Skor stres akademis dibagi

    menjadi selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Selain itu, menurut Principal

    Component Analysis (PCA) dari Scale For Assesing Academic Stress (SAAS), stres

    akademik memiliki lima aspek, yaitu cognitive, affective, physical, social/interpersonal,

    motivational.

  • 10

    Kurikulum Taman Kanak-Kanak

    Kurikulum TK yang Mendapat Pengajaran Membaca

    Beberapa Taman Kanak-Kanak menggunakan kurikulum nasional dan

    kurikulum yang dibuat sendiri oleh pendidik, disetujui oleh kepala sekolah, dan

    diketahui oleh yayasan. Proses belajar mengajar didasarkan pada critical thingking dan

    multiple intelligences, untuk mengembangkan kecerdasan anak. Multiple intelligences

    tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu bahasa, agama, intra, inter, musik, visual-

    spasial, sains, logical math, dan multimedia (Gardner, 1983). Berdasarkan instruksi

    membaca, TK ini menggunakan bottom-up process anak-anak mempelajari komponen-

    komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf),

    dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh suatu makna.

    Pengajaran membaca pada TK ini terbagi ke dalam tiga metode, yaitu:

    1. Phonics Method, metode ini mengandalkan pada pembelajaran alphabet yang

    diberikan kepada anak dengan mempelajari nama-nama huruf dan bunyinya.

    Setelah mempelajari bunyi huruf mereka mulai merangkum beberapa huruf

    tertentu untuk membentuk kata-kata (contoh: b-a-kr-a- k p-a kt-a- k).

    2. Flashcard, metode ini menggunakan kartu-kartu yang berisi gambar yang

    merangsang siswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu.

    3. Journal, yaitu bercerita menggunakan bahasa inggris dalam 4 kata. Anak akan

    menulis dan membacakan ceritanya berdasarkan gambar yang disediakan.

    Masing-masing metode ini diberikan kepada siswa selama satu kali dalam seminggu

    dan semuanya menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, mata pelajaran Bahasa

    Indonesia akan diberikan dua kali dalam seminggu, pada mata pelajaran ini anak

  • 11

    diberikan stimulus dari gambar yang ada, untuk menulis dan membaca apa yang

    dilihatnya.

    Kurikulum TK yang Tidak Mendapat Pengajaran Membaca

    Berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh Permendiknas No.58 Tahun 2009

    tentang standar PAUD, setiap anak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri

    sesuai potensi masing-masing. Pendidik bertugas membantu, jika anak membutuhkan.

    kurikulum TK berisi pengembangan nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif,

    bahasa, sosial-emosional, dan seni.

    Berdasarkan kurikulum yang digunakan di TK, pembelajaran membaca belum

    diajarkan di TK, melainkan pembelajaran pramembaca, yaitu siswa diharapkan mampu

    mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, dan

    mengenal simbol-simbol yang melambangkannya, seperti dapat menceritakan gambar

    (pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,

    mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar), dan

    menghubungkan gambar/ benda dengan kata. Selain itu, dapat menceritakan gambar

    (pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,

    mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar),

    menghubungkan gambar/ benda dengan kata (Permendiknas, 2013).

    Perbedaan Stres Akademik Antara Anak Taman Kanak-Kanak Yang Mendapat

    Pengajaran Membaca dan Tidak Mendapat Pengajaran Membaca

    Menurut Purbo (2010) mengharuskan semua anak TK untuk bisa membaca

    tampaknya menjadi hal yang kurang bijaksana mengingat setiap anak memiliki

    kemampuan dan kesiapan belajar membaca yang berbeda satu sama lainnya.

  • 12

    Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang penting untuk dapat diajarkan pada anak TK

    daripada hanya terfokus pada kemampuan membaca, misalnya penanaman disiplin,

    kemandirian, tanggung jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap

    kecerdasan intelektual anak seperti pada kegiatan membaca memang penting. Namun,

    perlu diupayakan jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu

    berlebihan sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek

    kecerdasan lain yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial dan

    emosional yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam

    menghadapi masa depannyan kelak.

    Membaca pada usia anak sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki

    kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Sehingga waktu bermain, yang

    seharusnya adalah aktifitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bisa saja

    menjadi terabaikan. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan

    kemampuan anak secara optimal dikemudian hari (Aulina, 2010).

    Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak

    Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung

    (calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan

    kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.

    Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya

    belum saatnya

    Selain itu, Pawitasari (2012) menyebutkan bahwa usia yang paling tepat bagi

    anak untuk mulai belajar membaca dan menulis adalah tujuh tahun. Diterangkan lebih

    lanjut bahwa mengajar anak membaca dan menulis sebelum anak siap bisa merusak

  • 13

    otak anak. Selain itu, memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif akan

    membuat mereka stres karena anak-anak usia dini seharusnya lebih banyak bermain dan

    bereksplorasi. Mengingat TK bukan sekolah seperti layaknya SD, SMP, dan SMA atau

    lembaga-lembaga pendidikan lainnya, maka baik isi program kegiatan belajar (topik)

    maupun bentuk penyelenggaraan kegiatan belajarnya harus diciptakan dalam suasana

    bermain sambil belajar. Oleh karena itu, di TK tidak diajarkan menulis, membaca, dan

    berhitung (matematika). Berdarakan hal tersebut, TK melaksanakan berbagai kegiatan

    pengembangan sebagai upaya meletakkan kemampuan dasar yang dapat memfasilitasi

    anak untuk memiliki kesiapan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan demikian,

    program pendidikan TK tidak menjadi prasyarat untuk memasuki SD (Nugraha,dkk.,

    2007).

    Namun kenyataannya saat ini sudah banyak TK yang memberikan pengajaran

    membaca kepada siswanya. Hal ini didasarkan pada penelitian tentang pengaruh

    membaca dini pada anak-anak. Durkin (dalam Nurbiana dkk, 2009) menyimpulkan

    bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah

    diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-

    anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Ketika anak diberikan pengajaran

    membaca, ketika para orang tua menuntut anak mereka agar bisa membaca, anak akan

    merasa tertekan dan memicu stres akademik. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti

    apakah ada perbedaan tingkat stres akademik pada siswa taman kanak-kanak yang

    mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

  • 14

    Hipotesis

    Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang

    signifikan stres akademik antara anak TK yang mendapat dan tidak mendapat

    pengajaran membaca.

    METODE PENELITIAN

    Populasi dalam penelitian ini adalah anak TK yang berusia 5-6 tahun.

    Selanjutnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 anak.

    Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan

    sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam

    penelitian ini, karakteristik subjeknya adalah anak-anak yang berada di kelas TK B,

    lokasi penelitian di beberapa TK yang ada di Salatiga, berusia 5-6 tahun yang berjenis

    kelamin berbeda. Anak ada yang berada di TK yang memberikan pengajaran membaca

    dan ada yang berada di TK yang tidak memberikan pengajaran membaca.

    Pengambilan data menggunakan try out atau uji coba terpakai yang berarti data

    dari subjek yang digunakan untuk try out juga digunakan untuk penelitian. Untuk

    memperoleh data dari penelitian ini, peneliti melakukan wawancara langsung kepada

    masing-masing anak berdarkan skala academic stress yang ada. Skala academic stress

    dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan indikator academic stress

    menurut Hesketh dkk (2010) dan juga berdasarkan aspek academic stress menurut

    Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assessing Academic Stress

    (SAAS).

    Skala academic stress terdiri dari 43 item pertanyaan yang tersusun dari 6

    indikator dari academic stress itu sendiri, yaitu academic stress yaitu enjoyment of

  • 15

    school, worry about exams, pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of

    punishment of teachers, and being physically bullied or corporally punished at home.

    Selain itu peneliti juga menggunakan 5 aspek dari academic stress, yaitu cognitive,

    affective, physical, social/ interpersonal, motivational. Skala ini memiliki dua pilihan

    jawaban yaitu Y (Ya) dan T (Tidak). Hal ini untuk mengantisipasi anak usia 5-6 tahun

    diperkirakan belum mampu memahami makna pilihan jawaban lainnya. Untuk item

    favorable diberi nilai sebagai berikut : Y diberi nilai 1 dan T diberi nilai 0. Untuk item

    unfavorable adalah kebalikannya, yaitu Y diberi nilai 0 dan T diberi nilai 1.

    Tabel 1

    Item Valid dan Gugur pada Skala Stres Akademik

    Setelah dilakukan uji diskriminasi item pada Academic Stress Scale, dari 43 item

    yang diujikan terdapat 26 item yang dapat digunakan, karena memiliki koefisien item

    total korelasi ≥ 0,25. Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran,

    didapatkan hasil akhir koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,252 sampai dengan

    0,446 dan memiliki realibilitas Alpha’s Cronbach sebesar α = 0,901.

    No Indikator Enjoyment of school

    Worrying

    about exam,

    difficulty

    completing

    homework

    Feelings of

    pressure to

    do well

    Fear of

    punishment

    of teacher

    Corporal

    punishment

    at home

    1. Cognitive 1,3 10 17*,18* 26,27 34*

    2. Affective 2*,42,43 11*,12 19*,20* 28*,29,30* 35,36,37*

    3. Physical 4,5,6 13 21*,22 31 38

    4. Social/ Interpersonal 7* 14 23,24* 32 39,40*

    5. Motivational 8,9* 15,16* 25 33 41

    TOTAL ITEM VALID 26 ITEM

    Ket: Item dengan tanda (*) adalah item yang gugur setelah dilakukan uji coba atau memiliki koefisien

    korelasi yang kurang dari 0,25 (Azwar, 2012)

    Aspek

  • 16

    HASIL PENELITIAN

    Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan beberapa bentuk uji data

    yang akan dijelaskan sebagai berikut.

    1. Hasil Deskriptif

    Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan,

    didapatkan hasil analisis deskriptif academic stress dengan nilai minimum 0 dan

    nilai maksimum 26. Mean yang diperoleh adalah sebesar 3,37 dan standard deviasi

    sebesar 4,647, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.

    Tabel 2

    Kategori Skor Academic Stress

    No. Interval Kategori Frekuensi Persentase Mean Standar

    deviasi

    1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 3,3%

    3,37 4,647 2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 6,7%

    3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 54 90%

    Perbedaan kategori skor academic stress antara anak taman kanak-kanak

    yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca

    ditunjukkan pada Tabel 3. Skor stres akademik pada anak yang mendapat

    pengajaran membaca terbagi menjadi tiga kategori, anak yang memiliki kategori

    tinggi berjumlah 2 orang (6,67%), kategori sedang berjumlah 4 orang (13,3%) ,

    dan kategori rendah berjumlah 24 orang (80%) . Sedangkan skor stres akademik

    pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca seluruhnya termasuk

    dalam kategori rendah.

  • 17

    Tabel 3

    Kategori Skor Stres Akademik antara anak taman kanak-kanak yang

    mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca

    No.

    Interval

    Kategori

    Baca

    %

    Tidak Baca

    %

    1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 6,67% 0 0

    2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 13,3% 0 0

    3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 24 80% 30 100%

    Mean 5,40 1,33

    Standar deviasi 5,709 1,668

    2. Hasil Uji Analisa

    a. Uji Asumsi

    Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas

    yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data

    penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel uji penelitian

    diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmograv-Smirnov Test. Data

    dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.

    Table 4

    Hasil Uji Normalitas

    One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

    Baca Tidak Baca

    N 30 30

    Normal Parametersa Mean 5.40 1.33

    Std. Deviation 5.709 1.668

    Most Extreme

    Differences

    Absolute .191 .221

    Positive .191 .221

    Negative -.172 -.212

    Kolmogorov-Smirnov Z 1.047 1.212

    Asymp. Sig. (2-tailed) .223 .106

    a. Test distribution is Normal.

  • 18

    Hasil uji normalitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel stres

    akademik pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien

    Kolmogrov-Smirnov Test sebesar 1, 047 dan 1,212 dengan probabilitas (p)

    atau signifikansi sebesar 0,223 dan 0,106 pada masing-masing kelompok

    sampel. Dengan demikian, variabel stres akademik memiliki distribusi data

    yang normal karena p > 0,05 pada kedua kelompok yang diteliti.

    Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel dalam

    penelitian berasal dari populasi yang sama atau tidak. Data dapat dikatakan

    homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05.

    Tabel 5

    Hasil Uji Homogenitas

    Test of Homogeneity of Variances

    Stres Akademik

    Levene Statistic df1 df2 Sig.

    10.088 1 58 .002

    Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai

    koefisien Levene Test sebesar 10,088 dengan signifikansi sebesar 0,002 (p <

    0,05). Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka dapat

    disimpulkan bahwa data tersebut tidak homogen.

    b. Uji Komparasi

    Setelah kedua tahap ini dilakukan, selanjutnya adalah mengetahui

    perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat

    pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, dengan

  • 19

    menggunakan perhitungan Independent Sample t-test. Setelah analisis data

    dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

    Tabel 6

    Hasil Uji-t

    Group Statistics

    B_TB N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

    SA 1 30 5.40 5.709 1.042

    2 30 1.33 1.668 .305

    Tabel 6.1

    Independent Samples Test

    Levene's Test

    for Equality

    of Variances t-test for Equality of Means

    F Sig. t df

    Sig. (2-

    tailed)

    Mean

    Difference

    Std. Error

    Difference

    95% Confidence

    Interval of the

    Difference

    Lower Upper

    SA Equal

    variances

    assumed

    12.479 .001 3.745 58 .000 4.067 1.086 1.893 6.240

    Equal

    variances

    not

    assumed

    3.745 33.914 .001 4.067 1.086 1.860 6.274

    Hasil perhitungan Independent Sample t-test pada tabel 6.1

    menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan antara anak taman

    kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran membaca

    memiliki nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,05) yang

    berarti terdapat perbedaan yang signifikan pada academic stress antara anak

  • 20

    taman kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran

    membaca. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean academic

    stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean

    academic stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca

    sebesar 1,33. Maka, anak yang mendapat pengajaran membaca, memiliki

    tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat

    pengajaran membaca.

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-test,

    diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,001 (p < 0,05), artinya H0 ditolak dan H1

    diterima. Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean academic

    stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean academic

    stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca sebesar 1,33, artinya anak

    yang mendapat pengajaran membaca memiliki tingkat stres akademik yang lebih tinggi

    dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca. Hal ini juga menunjukkan bahwa

    beberapa anak yang mendapat pengajaran membaca termasuk dalam kategori stres

    akademik yang tinggi dan sedang, sedangkan anak yang tidak mendapat pengajaran

    membaca memiliki skor stress akademik yang rendah.

    Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat para ahli di Amerika dan Inggris

    yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang otaknya belum siap.

    Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang bermanfaat, tetapi

    bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson, seorang Dokter ahli

    spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17 tahun telah meneliti

  • 21

    anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU pemerintah yang menetapkan

    standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan berhenti mencoba mengajarkan

    baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda, beliau yakin bahwa pada usia 8-9

    tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam, menulis, membaca,

    memperhatikan, dan bisa belajar dengan mudah (Indonesia Educate, 2013).

    Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pelajaran

    membaca secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah

    usia tujuh tahun. Piaget (dalam Santrock, 2008) beranggapan bahwa pada usia di bawah

    tujuh tahun anak belum mencapai fase operasional konkret, fase ketika anak-anak

    dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Hal ini dikhawatirkan otak anak-anak akan

    terbebani jika pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun. Maka

    dapat diartikan bahwa ketika anak diajarkan membaca diusia pra sekolah, maka ada

    potensi anak akan mengalami stres, meskipun masih dalam kategori stres yang rendah.

    Hainstock (2002) juga menyatakan bahwa anak secara mental belum siap

    membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan orangtua diingatkan bahwa

    dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak membaca sebelum usia

    tersebut. Namun kenyataan yang ditemukan saat ini banyak para orangtua yang

    memaksakan anaknya membaca di usia pra sekolah tanpa menyadari kemampuan anak-

    anaknya. Hal ini dilatarbelakangi pendapat agar anaknya tidak mengalami kesulitan

    ketika masuk SD yang menjadikan kemampuan membaca sebagai tes pada penyaringan

    siswa baru yang masuk Sekolah Dasar. Hal ini juga seringkali menyebabkan orangtua

    dengan sengaja memberikan les privat agar anak bisa membaca (Media Indonesia,

    2012).

  • 22

    Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres pada

    anak, hal ini bukanlah menjadi suatu kesimpulan bahwa anak tidak boleh diajarkan

    membaca di usia pra sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Adelar (2000) yang

    menyatakan bahwa anak pada usia empat sampai lima tahun bisa diajarkan membaca,

    yang penting adalah orangtua harus melihat bagaimana kemampuan dan minat anak.

    Pengajar atau orangtua yang membimbing anak harus menjauhkan cara mengajar yang

    sifatnya pemaksaan, kegiatan belajar sebaiknya lebih bersifat menyenangkan. Selain itu,

    metode pengajaran juga diharapakan tidak membebani anak, yang dapat menyebabkan

    mereka kelihatan murung dan menjadi bingung. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan

    baik, maka inilah yang membuat anak berpotensi mengalami stres.

    Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan

    Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan 2014, anak usia 6 tahun diharapkan

    dapat memiliki pengetahuan tentang diri, keluarga, teman, guru, orang sekitar, makhluk

    hidup, benda, teknologi, seni dan budaya di lingkungan rumah, tempat bermain. Namun

    kenyataan yang ada saat ini, banyak sekolah yang tidak mengikuti kurikulum yang

    pemerintah sarankan. Beberapa sekolah memilih untuk membuat kurikulum sendiri,

    karena menurut pendapat mereka, kurikulum yang pemerintah buat tidak sesuai dengan

    perkembangan dunia, khususnya dunia pendidikan saat ini.

    Hasil penelitian ini menolak penelitian yang dilakukan oleh Durkin dan

    Steinberg (2009), tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan

    bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah

    diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-

    anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Steinberg menemukan bahwa

  • 23

    anak-anak yang telah mendapatkan pelajaran membaca pada usia 1-4 tahun pada

    umumnya lebih maju di sekolah (dalam Nurbiana dkk, 2009).

    Meskipun ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang

    mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, namun

    jumlah anak yang mengalami tingkat stres tinggi dan sedang berjumlah sangat sedikit

    dibanding dengan anak yang memiliki stres rendah. Hal ini mengartikan bahwa anak

    yang diajarkan mambaca pasti akan mengalami stres, tetapi berpotensi mengalami stres

    ketika hal tersebut dianggap diluar kemampuannya. Berdasarkan pengamatan peneliti,

    tingkat stres akademik anak taman kanak-kanak mayoritas tergolong rendah, khususnya

    sekolah yang mengajarkan membaca adalah karena memang metode-metode yang

    digunakan oleh para pengajar merupakan metode yang menyenangkan dan tidak

    memaksakan anak, sehingga anak tetap merasa nyaman dan bisa menerima pengajaran

    tersebut.

    Jika dilihat dari jumlah anak yang mengalami stres akademik dengan kategori

    yang tinggi namun berjumlah sangat sedikit, membuktikan bahwa tidak semua anak

    mengalami stres akademik ketika diajarkan membaca. Penelitian ini memberikan

    sumbangan yang positif dan menguatkan teori-teori kontra yang sebelumnya, bahwa

    tidak salah bagi orangtua maupun pihak sekolah memberikan pengajaran membaca

    kepada anak usia pra sekolah, selama menggunakan metode yang tepat dan tidak

    bersifat memaksa bagi anak.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat

    ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

  • 24

    1. Ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat

    pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

    2. Stres akademik anak yang mendapat mendapat pengajaran membaca lebih tinggi

    dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca.

    SARAN

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih

    banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran

    sebagai berikut :

    1. Saran bagi orangtua

    Orangtua yang memiliki anak pada usia pra sekolah sebaiknya tidak

    memaksakan anak mereka agar bisa membaca dengan tujuan supaya bisa masuk

    di SD favorit. Selain itu, orangtua juga harus mengawasi dan memperhatikan

    perkembangan kemampuan anaknya di sekolah, sehingga dapat memberikan

    pengajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan anak. Orangtua juga

    diharapkan tidak membebani anak dengan berbagai macam les privat membaca

    tanpa mengetahui bagaimana keadaan anak sebenarnya.

    2. Saran bagi guru

    Sebagai guru sebaiknya mengetahui kemampuan masing-masing para siswanya,

    sehingga dapat memberikan cara pengajaran membaca yang tepat pada para

    siswa. Selain itu juga memberikan pengajaran membaca permulaan, seperti

    pengenalan huruf dengan metode belajar sambil bermain, mengingat adanya

    kemungkinan penyebab stres.

  • 25

    3. Saran bagi peneliti selanjutnya

    Penelitian ini masih terbatas, karena tidak meneliti subjek yang benar-benar

    homogen. Selanjutnya agar meneliti jenis sekolah yang memiliki ciri yang sesuai

    dengan kriteria dari variabel yang ada. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti

    efek stres dari pengajaran membaca pada anak usia pra sekolah, meneliti subjek

    anak SD yang berada di sekolah yang mewajibkan membaca dan tidak

    mewajibkan membaca.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Agolla, J.E. (2009). Occupational stress among police officers. The case of Botswana

    police service. Journal of Bus Manage. 2 (1), 25-35.

    Alvin, N.O. (2007). Handing study stress: Panduan agar anda bisa belajar bersama

    anak-anak anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.

    Andriani, S. (2006). Perbedaan efektivitas metode lembaga kata serta metode struktural

    analisis dan sintesis (sas) dalam meningkatkan kemampuan membaca

    permulaan. Tesis pada FP Universitas Diponegoro Semarang: tidak diterbitkan.

    Apriani., Cicilia., Kasiyati., & Tarmansyah. (2013). Efektifitas metode kupas rangkai

    suku kata dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak

    kesulitan membaca. Pendidikan Khusus, 2,(3), 735-844.

    Aulina, C.N. (2012). Pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap

    kemampuan membaca permulaan anak usia 5-6 tahun. Pedagogia, 1, (2), 131-

    143.

    Berry, L.M. (2008). Psychology at Work: New York: Mc-GrawHill.

    Bimba-aiueo. (2013). Bolehkah Belajar Membaca dan Menulis Bagi Anak Usia Dini.

    Jakarta.

    Burts, D.C., Andrea Y.R., & Sarah, H.P. (1999). Observed stress behavior of children

    participacing in more and less developmentally appropriate activities. Available

    (Online).

    Catootjie, W. (2007). Stres pada anak gejala, penyebab, dampak, dan

    penanggulangannya. Available (Online): (11 Juli 2008).

    Chang K., & Lu, L. (2007). Characteristics of organisational culture, stressors and

    wellbeing: The case of Taiwanese organizations. Journal of Manage Psychol.

    22 (6), 549-568.

    Fairbrother, K., & Warn, J. (2003). Workplace dimensions, stress and job satisfaction.

    Journal of Managerial Psychology 18(1), 8-21.

    Feldman, R.S. (1989). Adjustment: Applying psychology in complex world. New York:

    Mc Graw-Hill.

    Gardner, H. (2003). Multiple intelligence: Kecerdasan majemuk, teori dan praktek.

    Batam: Interaksara.

    Hardjana, A.M. (1994). Stres tanpa distres (seni mengolah stress). Jakarta: Kanisius.

    http://www.bimba-aiueo.com/author/admbimba/

  • 27

    Hainstock, E.G. (2002). Montessori untuk anak prasekolah. Jakarta: Pustaka Delaprasta.

    Harnowo, P.A. (2012, 21 Maret). Pelajaran calistung sejak paud bikin anak jadi stress.

    Detik Health, h. 5.

    Hesketh, T., Zhen, Y., Lu, L., Dong, Z., Jun, Y., Xing, Z. (2010). Stress and

    psychosomatic symptoms in Chinese school children: cross sectional survey.

    Journal of Arch Dis Child, 95, 136-140. Retrieved October 13, 2014, from

    http://group.bmj.com

    Ibung, D. (2008). Stres pada anak (usia 6-12 tahun). Jakarta: PT. Elex Media

    Komputindo.

    Kapri, C.U., Ahmad, J., & Rani, N. (2013). A study of creative stimulation school

    environment and academic stress with respect to underachievers in science at

    secondary school level. Journal of Teacher Education, 1(1), 1-7.

    Looker, T.O. (2005). Managing Stress. Yogyakarta: BACA.

    Mahsun. (2004). Bersahabat dengan stres. Yogyakarta: Prisma Media.

    Nabillah, R. (2013). Status sosial ekonomi keluarga peserta didik. Skripsi pada FP

    Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.

    National Association of School Psychologists. (2012). Stress in children and

    adolescents: Tips for parents. West Highway: Bethesda.

    Nandamuri, P.P., & Ch, G. (2011). Sources of academic stress- a study on management

    students. Journal of ITM Business School, India.

    Nugraha, A., & Ganjar, U. (2007). Kurikulum dan Bahan Belajar di TK. Jakarta:

    Universitas Terbuka.

    Nurbiana, D. (2009). Metode pengembangan bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

    Olejnik, S.N., & Holschuh, J.P. (2007). College rules! 2nd

    Edition How to study, survive,

    and succeed. New tork. Ten Speed Press. [Online].

    Pawitasari, E. (2012, 20 Januari). Masuk SD usia 5 tahun. Suara Islam Edisi 127, h.19.

    Pranadji, D.K., & Nurlaela. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada

    anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk”. Jurnal Ilmu Keluarga dan

    Konsumen, 2, (1), 57-63.

    Purbo, A. (2010. Haruskah anak TK bisa membaca dan menulis. Diunduh pada 17

    Desember 2010 dari http://www.parentsguide.co.id/smf/index.

    Santoso, S. (2008). Panduan lengkap menguasai spss 16. Jakarta: PT. Elex Media

    Komputindo.

    http://www/

  • 28

    Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak jilid 2 edisi 11. Jakarta: Erlangga.

    Solihat, R.U. (2009). stres dan coping stres pada guru bantu. Skripsi pada FP

    Universitas Gunadarma: tidak diterbitkan.

    Stainback, W. 1999. Anak anda berhasil di sekolah. Yogyakarta: Kanisius.

    Stevenson, A., & Harper, S. (2006). Workplace stress and the student learning

    experience. Journal of Qual. Assur. Education, 14(2), 167-178.

    Trisumarsih. (2008). Bunuh Diri dan Percobaan Diri Pada Anak.

    Yorke, L. (2013). validation of the academic stress scale in the Vietnam school survey

    round 1. Journal of Young Lives. 1, 2-10.

    Yuliyono. (2012). Dipaksa calistung saat paud, anak bisa jadi tak suka baca saat besar.

    GoodreadsIndonesiadiscussion. [Online]. Tersedia

    http://www.media-indonesia.com/media/spacer.gif

    http://kidshealth.org/parent/emotions/feelings/stress.html#

    http://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-

    tes.html#ixzz2szqd2jD6

    http://www.goodreads.com/group/show/345-goodreads-indonesiahttp://kidshealth.org/parent/emotions/feelings/stress.htmlhttp://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-tes.html#ixzz2szqd2jD6http://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-tes.html#ixzz2szqd2jD6