fakultas psikologi universitas kristen satya...

27
HUBUNGAN ANTARA PEER PRESSURE DENGAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP NEGERI 2 TUNTANG OLEH LARAS KUSUMANING PAWESTRI 802012006 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: trinhdien

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN ANTARA PEER PRESSURE DENGAN SCHOOL WELL-BEING

PADA SISWA SMP NEGERI 2 TUNTANG

OLEH

LARAS KUSUMANING PAWESTRI

802012006

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

HUBUNGAN ANTARA PEER PRESSURE DENGAN SCHOOL WELL-BEING

PADA SISWA SMP NEGERI 2 TUNTANG

Laras Kusumaning Pawestri

Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

i

Abstrak

Penelitian ini ingin melihat hubungan antara peer pressure dengan school well-

being terhadap siswa SMP Negeri 2 Tuntang. Penelitian dilakukan terhadap 92 siswa kelas

7. Pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan dua instrumen.

School well-being diukur dengan skala school well-being sementara peer pressure diukur

dengan Peer Pressure Inventory (PPI). Wawancara dengan guru dan siswa juga dilakukan

untuk menambah gambaran seputar sekolah serta karakteristik siswa dan hubungan antar

siswa. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan yang negatif antara peer

pressure dengan school well-being (r = 0,201 dengan sig. = 0,027 (p > 0.05).

Kata kunci : peer pressure, school well-being, siswa SMP

ii

Abstract

This research aims to find the correlation between peer pressure and school well-

being towards student in middle schools located in Tuntang. The participants are 92

students in 7th

grade. Quantitative data collection was conducted using two instruments.

School well-being was measured using school well-being scale, while peer pressure was

measured using Peer Pressure Inventory (PPI). Interviews with teachers and students were

also done in order to obtain more informations about the school, characteristics of student,

and their relationship with other students. The main results of this research show that peer

pressure is negatively correlated with school well-being (r = 0,201 dengan sig. = 0,027 (p

> 0.05).

Keyword : peer pressure, school well-being, middle school student

1

PENDAHULUAN

Masaremaja merupakan masa yang penuhgejolak.Menurut WHO, masa remaja

merupakan masa pertumbuhan yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum masa

dewasa, dari usia 10 sampai 19 tahun. Pada masa perkembangan ini umumnya masa

remaja disebut masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Selain itu,

masa remaja disebut juga sebagai masa “psychological learning” dan “social learning”,

hal ini berarti masa remaja sedang mengalami suatu pematangan fisik dan pematangan

sosial (dalam Rifai, 1984). Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa

status individu pada masa itu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan perannya. Menurut

G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa remaja berada pada pandangan

“storm-and-stress” yang berarti masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak,

diwarnai oleh konflik maupun perubahan suasana hati. Seperti yang terjadi beberapa waktu

lalu di Kota Pelajar, Yogyakarta. Seorang siswa yang sedang berpapasan saat pulang

sekolah melakukan tindakan kekerasan dengan membacok siswa lain karena saling pelotot

dan dilempari batu (Prabowo, 2015). Selain itu, laporan dari Multi-Country Study on

Women’s Health and Domestic Violence menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan

intimidasi juga umum terjadi di kalangan remaja. Terdapat 40 negara berkembang

menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% remaja laki-laki dan 35,8% gadis atau

remaja perempuan (Indrarto, 2014).

Tingginya masalah tindak kekerasan ini merupakan bentuk dari tingkah laku sosial

yang umumnya terjadi di kalangan remaja, salah satunya di Indonesia.Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan

terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak

sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak

2

459 kasus (Setyawan, 2014). Sedangkan di Provinsi Lampung, angka tindakan kekerasan

yang terjadi selama dua tahun terakhir terbagi menjadi kekerasan fisik 26.774 kasus,

penelantaran 11.886 kasus, kekerasan seksual 4.217 kasus, hingga kekerasan mental

42.877 kasus. Akibatnya posisi persentase kekerasan anak di Lampung masih dalam taraf

tinggi sedang (Premeswara, 2015). Beberapa pengaduan yang diterima oleh Komisi

Perlindungan Anak (2006) menyatakan bahwa faktor terjadinya kekerasan berasal dari

keluarga, lingkungan dan tekanan ekonomi. Selain itu, yang membentuk perilaku anak

cenderung mengekspresikan kekerasan adalah fungsi kontrol keluarga yang lemah, sikap

masyarakat yang kurang peduli dan lemahnya fungsi kontrol di sekolah (Tjahjono, 2012).

Sulliva, Cleary & Sullivan (2004) mengatakan bahwa perilaku bullying yang

biasanya terjadi di sekolah mulai meningkat pada awal secondary school atau setingkat

dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Selain itu, menurut Fahrudin (2007)juga

menambahkan bahwa murid-murid sekolah bukan saja berani melanggar peraturan sekolah

yang berkaitan dengan disiplin seperti; merokok, minum alkohol, merusak fasilitas

sekolah, mencuri, berkelahi, bolos sekolah, menganggu pelajaran di kelas, tidak mematuhi

arahan guru bahkan mem-bullykawan sekelas atau adik kelas. Kebanyakan anak-anak

secara langsung atau pun secara tidak langsung terlibat dalam bullying yang muncul di

sekolah mereka (Hawkins, Pepler & Craig, 2001).Berdasarkan total kasus kekerasan di

sekolah yang dihimpun, ada 79 kasus anak sebagai pelaku bullying dan 103 kasus dengan

anak sebagai pelaku tawuran. Jumlah ini bertambah jika dibandingkan tahun 2014, terdapat

67 kasus bullyingdan tawuran ada 46 kasus (dalam Aziza, 2015).

Fenomena bullying ibarat fenomena gunung es yang nampak “kecil” di permukaan,

namun menyimpan berjuta permasalahan yang kasat mata oleh orang tua bahkan

meremehkan fenomena bullying sehingga mengesampingkan dampak buruk yang bisa

3

terjadi (Hidayati, 2012). Menurut Olweus (2003), bullying adalah salah satu definisi umum

yang dipergunakan, yaitu tindakan negatif yang dilakukan seseorang atau lebih terhadap

orang lain secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Selain itu, Olweus (1993) juga

menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying mengakibatkan seseorang dalam

keadaan tidak nyaman atau terluka. Berdasarkan studi kerjasama yang dilakukan Olweus

dan Rolland (1970 dalam Rigby, 2002), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria

operasional agar dapat disebut sebagai bullying, maka agresi atau bentuk kekerasan lainnya

harus terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu atau lebih selama periode waktu satu

bulan.Ada tiga aspek bullying yang dibagi oleh Olweus dalam Olweus Bully/Victim

Questionnaire (Solberg & Olweus, 2003), yaitu physical bullying,indirect bullying dan

verbal bullying.

Dari ketiga aspek bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu aspek

yang paling mudah dilakukan, kerap menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta

dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih jauh.Sejak tahun 1996,

sudah ada eksplorasibullying secara tidak langsungdalam bentuk verbal,

sepertibergosip,menyebarkanrumor dan mengasingkan orang lain (Archer danCoyne,

2005).Verbal bullyingadalahjenis bullying yang paling umum dilakukan bagi pria dan

wanita(Colorosa, 2003). Selain itu, verbal bullying juga merupakan jenisbullying

yangrelatifmudah dilakukan, tetapisangat berbahaya bagikorban(Colorosa, 2003). Fried

dan Fried (2003)menegaskanbahwa setiappenggunaan bahasaatau kata-kata yang

digunakan untuk menyakitiseseorangdapat dianggap sebagaiverbal bullying,yang

merupakankategorilainnyadari bullying secara langsung. Menurut Baron (2001) terdapat

sekitar 75% kasus yang dilaporkanbahwa verbal bullyingmasuk ke dalam kategori yang

dikombinasikan sebagai cara untuk mengintimidasipsikologis orang lain. Selain itu, Saxon

4

(2004) mengatakan bahwa verbal bullyingbukan sekedar"permainan anak-anak". Alasan

anak-anak cenderung menggodasatu sama lain adalah untuk mendapatkanperhatian, untuk

meniru orang lain, merasasuperiorataukuat, bisa diterima oleh teman sebaya, ataukarena

perbedaanpendapatantara rekan-rekanatau karenapengaruhmedia(Freedman,

2000).Menggodaorang lainmungkin menyenangkantetapi menjadi tidak menyenangkan

jika melukai perasaanorang lain(Freedman, 2000).Tujuan utamadariverbal bullyingadalah

untuk menyakitiharga diriorang laindan biasanya dilakukandidepan penonton atau di depan

orang lain (American Medical Association, 2005).

Saxon (2004) mendefinisikan verbal bullyingsebagai sebuah pemberian julukan

(nama sindiran), mengejek, meremehkan, kritikkejam, pencemaran nama baikpribadi,

penghinaan rasial, pelecehanseksual, pemerasan, panggilan teror melalui telepon ataupun

e-mail, tuduhan palsu, rumor, dan gosip. Insidenpemberian julukan (nama sindiran)

berdasarkan jenis kelamin, ras, etnis, agama, penampilan, kelas sosial, kecacatan, atau

perbedaanseksualdapat diklasifikasikan sebagaidiskriminasi dan pelecehan. Sedangkan,

Rigby(2008) mengkategorikanverbal bullying menjadi langsung dan tidak langsung.

Contoh dari verbal bullying secara langsung seperti menggunakan bahasa yang menghina,

membuat nama-panggilan, mengejek dan menggoda secara kejam; sedangkan verbal

bullying secara tidak langsung seperti membujuk orang lainuntuk

menghinaataupenyalahgunaanseseorang, menyebarkanrumor jahat, panggilan telepon

secara anonim, dan menggunakan pesan teks secara ofensifdan juga melalui email.

Bullying verbal menurut Solberg & Olweus (2003) adalah sebuah perilaku yang dilakukan

dengan mengatakan sesuatu untuk menyakiti atau menertawakan seseorang (menjadikan

bahan lelucon) dan menyebutkan atau menyapa dengan nama yang menyakiti hati

seseorang, menceritakan kebohongan atau menyebarkan rumor yang keliru tentang

5

seseorang.Sebuah penelitian melaporkan terdapat 19,4% anak melakukan physical

bullying dan 25,8% anak melakukan verbal bullying (dalam Minnesota Departmen of

Education, 2010). Selain itu, terdapat presentase mengenai penyebaran rumor dan

kebohongan mengenai orang lain sebanyak 38%, mengucilkan secara sosial 31% dan

bullying secara fisik sebanyak 21% (Aboud & Joong, 2007).

Fenomena bullying di SMP Immanuel Bandar Lampung merupakan sebuah

perilaku yang masih sering terjadi dikalangan para siswa, khususnya verbal bullying yang

cenderung lebih banyak dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti

dengan Kepala Sekolah (Wawancara pribadi, Juli 2015), beliau mengatakan bahwa banyak

siswa yang selalu menggunakan kata-kata kasar saat berbicara dengan teman-temannya

bahkan memanggil nama temannya dengan sebutan lain bukan memanggil dengan nama

sebenarnya dan perilaku itu dilakukan dengan tidak memandang laki-laki atau perempuan

dan ada beberapa siswa yang merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut dikarenakan

menyinggung perasaannya. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMP Immanuel

(Desember 2015) juga menyatakan adanya perilaku verbal bullying yang dilakukan antara

satu siswa terhadap siswa lainnya, seperti mengejek dan menyindir.

Hungu (2007) mengatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Menurut Thorne (1993)

dan Eder (1995) yang melakukan studi etnografi dari anak-anak dan remaja, menunjukkan

bahwa anak laki-laki lebih besar mengekspresikan kemarahan dibandingkan anak

perempuan pada saat berada di taman bermain dan di sekolah sehingga pada ada umumnya

anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak

menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan

bullying verbal. Perbedaan ini terjadi karena berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi

6

antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006).Selain itu, Less (1986 & 1993)

mempelajari bagaimana stereotip yang diberikan tentang maskulinitas dan feminitas

menjadi dasar bagi remaja laki-laki dan perempuan di sekolah dalam melakukan verbal

bullying.

Ada juga penelitian yang menemukan bahwa laki-laki lebih sering menggunakan

seksual verbal abuse, mengganggu atau melakukan agresi verbal pada perempuan dan laki-

laki, dibandingkan dengan perempuan (Roberto et al., 2003; Less, 1993; Motter &

Thweatt, 1997; Salmivalli et al., 2000; Mahony, 1989; Toldos, 2005; Peets & Kikas, 2006).

Sedangkan,ada beberapa penelitian yang tidak menemukan perbedaan gender dalam hal ini

(Björkqvist et al. 1992, Tapper & Boulton 2004, Xie et al. 2002). Berbeda dari penelitian

di atas, Parke dan Slaby (1983) berpendapat bahwa anak laki-laki lebih agresif

dibandingkan anak perempuan dan agresi fisik ditandai dengan anak laki-laki memukul

dan mendorong lawan mereka, sedangkan anak perempuan lebih cenderung melakukan

verbal agresif, dengan terlibat dalam nama-panggilan dan menceritakan kisah-

kisah.Coloroso(2003) menemukan bahwapria dan wanitasama-sama menggunakanverbal

bullying, tetapi laki-lakicenderungmenggunakanphysical bullyingdan wanita cenderung

menggunakanrelational bullying. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian lainnya

yang mengatakan bahwa anak laki-lakimenggunakanperilakuphysical bullying dan verbal

bullying,sedangkananak perempuan cenderungmenggertak secaratidak langsunguntuk

tujuanmerusak hubungan relasinya (relational bullying)(Beaune, 2009;Fekkesetal, 2005;

Rownhill, 2007;Hinduja&Patchin, 2009;Henkin, 2005;Shore, 2006).

Berdasarkan fenomena yang terjadi di SMP Immanuel Bandar Lampung dan pro

kontra yang terjadi pada penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengetahui

“Apakah ada perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki

7

dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki

dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung.Hipotesis dari penelitian ini adalah ada

perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan

SMP Immanuel Bandar Lampung.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan

tipe penelitian komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat

membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan

perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan

kerangka pemikiran tertentu (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini akan dibandingkan

kecenderungan melakukan verbal bullying antara laki-laki dan perempuan.

Variabel Penelitian

Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabelbebas (X) : jeniskelamin (laki-lakidanperempuan)

2. Variabelterikat (Y) : verbal bullying

Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini yang direncanakan semula adalah seluruh siswa SMP

Immanuel Bandar Lampung, namun dari pihak sekolah hanya memperkenankan empat

8

kelas yang ditetapkan yaitu kelas VIII. Subjek penelitian ini berjumlah 90 siswa yang

terbagi menjadi 45 siswa laki-laki dan 45 siswa perempuan dari empat kelas di kelas VIII.

Alat ukur dan prosedur pengambilan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

skala, yaitu cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan atau

pernyataan yang diberikan kepada subjek yang berisi item-item (Azwar, 2002). Skala yang

digunakan adalah sub-skala dari kecenderungan perilaku bullying mengenai

kecenderungan bullying secara verbal yang telah dimodifikasi oleh penulis berdasarkan

pada aspek menurut Olweus dalam Olweus Bully/Victim Questionnaire (Solberg &

Olweus, 2003). Pernyataan sub-skala kecenderungan bullying secara verbal disusun dalam

bentuk favourable lima penilaian (skala likert) yaitu nilai 1 sampai 5. Respon subjek untuk

pernyataan favourable diberikan bobot masing-masing nilai 5 untuk jawaban selalu, nilai 4

untuk jawaban sering, nilai 3 untuk jawaban terkadang, nilai 2 untuk jawaban jarang dan

nilai 1 untuk jawaban pernah.

Teknik analisis data

Data yang diperoleh diuji asumsi dengan menggunakan uji normalitas dan uji

homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau

tidak dengan melihat hasil One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test menggunakan SPSS

16.0, sedangkan uji homogenitas untuk mengetahui bahwa data memiliki varian yang

homogen bila nilainya > 0,05. Selanjutnya dilakukan uji-t untuk melihat perbandingannya

dengan menggunakan program SPSS 16.0Independent Sample T Test.

9

Uji Reliabilitas

Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan hasil yang

memuaskan dengan hasil perhitungan reliabilitas sebesar 0,871. Berdasarkan hasil uji yang

diperoleh maka alat ukur dapat dikatakan sebagai alat ukur yang reliabel.

Tabel 1. Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items

.871 .871 17

Analisis Item

Hasil yang diperoleh dari dua kali pengujian menggunakan program komputer SPSS

16.0menunjukkan bahwa ada 1 aitem yang gugur karena mempunyai nilai corrected item

total < 0,3 (Azwar, 2010). Pengujian tersebut mendapatkan hasil bahwa item yang tersisa

adalah 17 aitem yang dianggap memiliki daya diskriminasi baik dengan koefisien korelasi

item total adalah sebesar 0,3 (Azwar, 2010).

HASIL PENELITIAN

Uji Asumsi

Pada hal ini selanjutnya dengan melakukan tahap uji asumsi, yaitu uji normalitas

yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada

masing-masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan

metode One-Sample Kolmogorov-Smirnov TestmenggunakanSPSS 16.0. Data dapat

dikatakan berdistribusi normal apabila p > 0,05. Pada sampel laki-laki, signifikansi yang

diperoleh adalah sebesar 0,329 sehingga dari data tersebut sampel laki-laki berdistribusi

10

normal. Sedangkan, sampel perempuan signifikansi yang didapat adalah sebesar 0,367

sehingga dari data tersebut sampel perempuan berdistribusi normal. Maka kedua hasil

sampel ini dapat disimpulkan data tersebut berdistibusi normal. Hasil uji normalitas dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Perempuan Laki_laki

N 45 45

Normal Parametersa Mean 36.2222 35.5333

Std. Deviation 10.80591

1.06186E

1

Most Extreme

Differences

Absolute .137 .141

Positive .137 .141

Negative -.067 -.094

Kolmogorov-Smirnov Z .919 .949

Asymp. Sig. (2-tailed) .367 .329

a. Test distribution is Normal.

Selanjutnya adalah uji homogenitas yang bertujuan untuk melihat apakah sampel-

sampel dalam penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen

apabila nilai p > 0,05. Hasil uji homogenitas dengan metode Levene’s Test. Nilai Levene

ditunjukkan pada baris nilai based on mean, yaitu p value (sig) sebesar 0,911 dimana >

0,05 yang berarti terdapat kesamaan varians antar kelompok atau yang berarti homogen.

Hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:

11

Tabel 3. Test of Homogeneity of Variances

JK

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.012 1 88 .911

Analisis Deskriptif

Berdasarkan hasil perhitungan variabel, berikut adalah kategorisasi deskriptifnya.

Kategori ini berdasarkan data itemyang memiliki daya diskriminasi baik, sebagai berikut:

Tabel 4. Kategori Skor Kecenderungan Melakukan Verbal Bullying pada Perempuan

No. Interval Kategorisasi Mean F %

1. 71,4 ≤ x ≤ 85 Sangat Tinggi 1 2,2%

2. 57,8 ≤ x < 71,4 Tinggi 0 0%

3. 44,2 ≤ x < 57,8 Sedang 9 20%

4. 30,6≤ x < 44,2 Rendah 36,22 22 48,9%

5. 17≤ x < 30,6 Sangat Rendah 13 28,9%

Jumlah 45 100%

12

Tabel 5. Kategori Skor Kecenderungan Melakukan Verbal Bullying pada Laki-laki

No. Interval Kategorisasi Mean f %

1. 71,4 ≤ x ≤ 85 Sangat Tinggi 0 0%

2. 57,8 ≤ x < 71,4 Tinggi 4 8,9%

3. 44,2 ≤ x < 57,8 Sedang 4 8,9%

4. 30,6≤ x < 44,2 Rendah 35,53 20 44,4%

5. 17≤ x < 30,6 Sangat Rendah 17 37,8%

Jumlah 45 100%

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa skor kecenderungan melakukan verbal

bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung masuk ke

dalam kategori rendah.

Uji Perbedaan

Pada pendekatan Independent Sample t-test yang digunakan untuk mengetahui ada

atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang tidak berhubungan,

hasil perhitungan Uji-t dapat diketahui nilai signifikansinya adalah sebesar 0,761 (p >

0,05). Maka dari hasil tersebut dapat diartikan tidak ada perbedaan kecenderungan

melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar

Lampung.

13

Tabel 6. Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

JK Equal

variances

assumed

.012 .911 .305 88 .761 .68889 2.25843 -

3.79926 5.17704

Equal

variances

not

assumed

.305 87.973 .761 .68889 2.25843 -

3.79928 5.17706

PEMBAHASAN

Dari hasil yang telah ada di atas menunjukkan skor t =0,305 dengan signifikansi

yang diperoleh sebesar 0,761 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan kecenderungan

melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar

Lampung. Kecenderungan melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan perempuan

SMP Immanuel Bandar Lampung berada dalam kategori rendah. Dengan kata lain, siswa

laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung memiliki kecenderungan yang

sama untuk melakukan verbal bullying. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Karaman- Kepenekçi dan Çınkır (2004) mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang

ditemukan dalam melakukan verbal bullying pada laki-laki dan perempuan.Selain itu,

Coloroso(2003) jugamenemukan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama

menggunakanverbal bullying, tetapi laki-lakicenderungmenggunakanphysical bullyingdan

perempuan cenderung menggunakanrelational bullying.Hal tersebut dapat terjadi karena

14

laki-lakimemiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan kemarahan mereka

dengan cara melakukan physical bullying dan menggunakan verbal bullying. Sedangkan

perempuan mengekspresikan kemarahannya secara tidak langsung, sehingga lebih

cenderung melakukan relational bullying dan verbal bullying (Turkel, 2007). Selain itu,

Shakeshaft (1995) menambahkan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung melakukan

verbal bullying¸ tetapi perempuan melakukan verbal bullying karena mereka mengatakan

sesuai dengan apa yang mereka lihat (kurang menarik) dan laki-laki melakukan verbal

bullying karena menargetkan dirinya berperan sebagaimana peran laki-laki. Perilaku

tersebut dapat terjadi karena adarasa keinginan untuk mendapatkanperhatian, untuk meniru

orang lain, merasasuperiorataukuat, bisa diterima olehteman sebaya, ataukarena

perbedaanpendapatantara rekan-rekanatau karenapengaruhmedia(Freedman, 2000).

Widayanti (2009) menambahkan ada beberapa faktor lain yang menjadikan anak-anak

dapat melakukan verbal bullying, yaitu; perasaan berhak (berkaitan dengan pengendalian

kekuasaan terhadap orang lain), fanatisme terhadap perbedaan (perbedaan fisik, agama

maupun status sosial dijadikan sebagai kelemahan yang tidak dihargai) dan memerdekakan

diri sendiri (anak bebas mengelompokan atau memisah-misahkan orang lain).

Dari hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kecenderungan melakukan

verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung

masuk ke dalam kategori rendah. Selain itu, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

observasi awal peneliti yang memperlihatkan adanya kecenderungan melakukan verbal

bullying. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh lingkungan sekolah yang disiplin karena

guru menghimbau siswa untuk santun dalam berperilaku sesuai dengan motto sekolah dan

kemungkinan observasi yang dilakukan tidak cermat sehingga menyebabkan perbedaan

hasil penelitian dengan hipotesis penelitian.Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, yaitu

15

fenemona yang terjadi di sekolah dan hasil penelitian yang berbeda terjadi karena

informasi tentang identitas subjek yang diobservasi dan dibagikan oleh Kepala Sekolah

kurang jelas.Selain itu, pilihan jawaban pada skala kecenderungan melakukan verbal

bullying yang memuat jawaban tengah (kadang-kadang) membuat subjek memilih jawaban

yang relatif aman untuk dirinya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kecenderungan melakukan verbal

bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung.

2. Tingkat kecenderungan melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan

perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung termasuk dalam kategori rendah.

Saran

1. Bagi subjek

Subjek diharapkan tetap mempertahankan perilaku yang baik dan dapat lebih

meminimalisir lagi perilaku verbal bullying dengan tidak mengatakan hal-hal yang

mengganggu orang lain.

2. Bagi guru dan sekolah

Guru dan sekolah diharapkan mendukung perilaku siswa yang tidak mengganggu

orang lain, tetap mengawasi perilaku siswaserta tetap menerapkan bimbingan yang

optimal pada siswa laki-laki dan perempuan.

16

3. Bagi peneliti selanjutnya

a) Penelitiselanjutnyadiharapkandapatmengkajiulangpenelitianlebihmendalamden

ganmencarifaktor-faktor lain kecenderunganmelakukanverbal

bullyingsepertiusia, sosialiasiataupunemosi.

b) Penelitiselanjutnyabisamengobservasilingkungandenganlebihcermat, khususnya

pada subjek penelitian yang ingin diteliti.

c) Pilihan jawaban tengah (netral/kadang-kadang) dalam skala

kecenderunganmelakukanverbal bullyingdapatdihilangkan agar

subjektidakmenjawabsecarafaking good.

17

DAFTAR PUSTAKA

Artaria, M. D. (2010). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan: Penelitian antropometris

pada anak-anak umur 6-19 tahun. Jurnal Masyarakat Kebudayaan Dan Politik

Volume 22, Nomor 4: 343-349.

Aboud, F. E., & Joong, A. (2007). Intergroup name-calling and conditions for creating

assertive bystanders. In S. Levy & M. Killen (Eds.), Intergroup attitudes and

relations in childhood through adulthood (pp. 249–260). Oxford: Oxford

University Press.

Aziza, K. S.(2015, 19 September). Kasus kekerasan di sekolah, KPAI sebut guru kerap

abaikan ejekan antarsiswa.Kompas. Diunduh dari:

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/19/11324731/Kasus.Kekerasan.di.Se

kolah.KPAI.Sebut.Guru.Kerap.Abaikan.Ejekan.Antarsiswa.

Colorosa, B. (2007). Stop Bullying (memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah

hingga SMU). Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Eliasson, M. A. (2007). Verbal abuse in school: Constructing gender and age in social

interaction. Doctoral Dissertasion. Retrieved from:

https://openarchive.ki.se/xmlui/handle/10616/37776

Fahrudin, A. (2007b). Permasalahan sosial di sekolah: Suatu tinjauan dari perspektif

pekerjaan sosial sekolah. Makalah disajikan dalam semiloka pekerjaan sosial

sekolah anjuran Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

(BBPPKS) Bandung.

Feldman, M. A. (2008). High school outcomes of middle school bullying and

victimization(Doctoral Dissertasion). Retrieved from http:

scholarcommons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1234&context

Hawkins, D. L, Pepler D. J& Craig, M.(2001). Naturalistic observation of peer intervention

in bullying. Blackwell Publisher, 10, 512-526.

Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak: Analisis dan alternatif solusi. Jurnal 14(01), 43-

45.

Hungu. (2007). Demografi kesehatan Indonesia. Jakarta : Penerbit Grasindo.

Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan anak: Suatu pendekatan sepanjang rentang

kehidupan. Jakarta: Erlangga

Indarto, W. (2014, 16 Desember). Kekerasan remaja. Sindonews. Diunduh dari:

http://nasional.sindonews.com/read/937804/18/kekerasan-remaja-1418695836

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

18

Lagerspetz et al.(1982): Group aggression among school children in three schools.

Scandinavian Joumal of Psychology 23:45-52.

Litz, E. W. (2005). An analysis of bullying behaviors at E.B. Stanley Middle School in

Abingdon, Virginia.Doctoral Dissertasion. Retrieved from:

dc.etsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2259&context=etd

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do.

Cambridge.UK: Blackwell Publishing

Olweus, D. (2003). Bullying at school. UK: Blackwell Publishing.

Parke et al.(1983). The development of aggression. Handbook of child psychology, 4th ed,

vol. IV.

Prabowo, D. (2015, 21 September).Berawal dari saling pelotot, pelajar SMA di Yogya

kenabacok.Sindonews. Diunduh

dari:http://daerah.sindonews.com/read/1046792/189/berawal-dari-saling-pelotot-

pelajar-sma-di-yogya-kena-bacok-1442819397

Prameswara, R.(2015, 25 Juni).Kasus kekerasan anak di Lampung masih cukup tinggi.

Lampung Post. Diunduh dari: http://lampost.co/berita/kasus-kekerasan-anak-di-

lampung-masih-cukup-tinggi

Republika (2014).Aduan bullying tertinggi. (online). Diunduh dari:

http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/10/15/ndh4sp-aduan-

bullying-tertinggi

Rifai &Sulastri, M. S.(1984).Psikologi perkembangan remaja: Dari segi kehidupan

sosial.Jakarta: Bina Aksara.

Rigby, K.(2002).New perspectives on bullying.London: Jessica Kingsley Publishers.

Setyawan, D. (2014). KPAI : 2014, ada 622 kasus kekerasan anak. Diunduh dari:

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak/

Solberg, M.E. & Olweus, D. (2003).Aggressive Behaviour.Prevalence Estimation of

School Bullying With the Olweus Bully/Victim Questionnare, X, 29, 239-268.