fakultas perikanan dan ilmu kelautan universitas …repository.ub.ac.id/7182/1/iga puspa...

76
PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus) SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Oleh : IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 03-Nov-2020

15 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

i

PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Oleh :

IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

Page 2: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

ii

PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Oleh :

IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

Page 3: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

iii

Page 4: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

iv

JUDUL : PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP

PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus

nemurus)

NAMA MAHASISWA : IGA PUSPA WARDANI

NIM : 135080501111070

PROGRAM STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN

PENGUJI PEMBIMBING

PEMBIMBING 1 : Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS

PEMBIMBING 2 : Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS

PENGUJI BUKAN PEMBIMBING

PENGUJI 1 : Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D

PENGUJI 2 : Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si

TANGGAL UJIAN : 13 NOVEMBER 2017

Page 5: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

v

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan

saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar

pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil

penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, November 2017

Mahasiswa,

IGA PUSPA WARDANI

Page 6: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan

moril dan materil dari semua pihak. Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan

hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

Tuhan Yang Maha Esa karena kasih karunia-Nya, sehingga terlaksana

penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Bapak Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS selaku

dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak memberikan masukan,

bimbingan, serta saran yang membangun kepada penulis.

Bapak Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D dan Bapak Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si. selaku

dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji, memberi

saran dan masukan kepada penulis.

Bapak Fidil Rakhmat dan Tim di Balai BBI Sawangan, serta Arman dan Samsir

yang telah sabar memberikan arahan dan ilmu selama melakukan penelitian.

Bapak Didik Puji W. dan Ibu Marhaeni, serta kakak Fonda Daniswara, S.Pi dan

Rizki Rachmaddianto, S.AP serta seluruh keluarga yang telah mendukung,

mendo’akan dan mendampingi penulis sampai sekarang.

Teman seperjuangan “Tim Bafin” Yeni Angela Silalahi, Debora P. Sinaga, Ilen

Inalya, Jhon Purba, Andi Kacaribu, A.Alya Yusriyyah, Annisa Nurvitasari dan

Vida Kurnia yang telah menjadi partner terbaik, memberikan motivasi, berbagi

ilmu serta mendampingi penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Teman – teman AQUA-GT 2013 Universitas Brawijaya dan seluruh pihak yang

turut membantu penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Malang, November 2017

Iga Puspa Wardani

Page 7: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

vii

RINGKASAN

IGA PUSPA WARDANI. Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan

Embrio dan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus) di bawah bimbingan Dr. Ir.

Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS

Produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang ada di alam. Semakin intensifnya penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan hasil perikanan tangkap sehingga dapat mengganggu keadaan persediaan dan populasi ikan. Usaha budidaya merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi ikan baung. Keberhasilan budidaya ditentukan oleh tersedianya benih, baik dalam jumlah maupun mutu. Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses penetasan telur dimana mulai dari telur hingga menetas. Dalam pembenihan perlu diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk perkembangan embrio ikan baung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap embriologi dan larva ikan baung. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio dan larva ikan baung. Selain itu untuk mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva ikan baung. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017. Metode penelitian yang digunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan pH (6,7,8,9) dan 3 kali ulangan. Data hasil penelitian dilakukan uji normalitas data, kemudian dihitung analisa disik ragam, dilanjutkan uji BNT dan terakhir uji polynomial orthogonal. Parameter utama penelitian ini adalah perkembangan embrio, kecepatan menetas, daya tetas telur, abnormalitas serta kelangsungan hidup larva ikan baung. Parameter penunjang yaitu pengamatan kualitas air yaitu suhu dan oksigen terlarut.

Pengamatan embriogenesis ikan baung dilakukan selama ±24 jam atau 1 hari setelah pembuahan sampai telur menetas. Pada hasil kecepatan menetas dengan nilai rata rata waktu tercepat pada perlakuan C (pH 8) dengan durasi 29 jam 47 menit, selanjutnya pada perlakuan D (pH 9) dengan durasi 30 jam 38 menit, perlakuan B (pH 7) dengan durasi 30 jam 44 menit, selanjutnya pada perlakuan A (pH 6) dengan durasi 31 jam 22 menit. Sehingga didapatkan perlakuan terbaik yaitu pada perlakuan C (pH 8) dengan persamaan y = 56,268 – 6,698x + 0,4233x2

dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8515 dan x maksimum 7,9 serta y maksimum sebesar 29,77 yaitu 29 jam 47 menit Hasil rerata nilai daya tetas telur ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 62,96%, perlakuan B sebesar 75,55%, perlakuan C sebesar 81,48% dan perlakuan D sebesar 82,22%. Perlakuan D menghasilkan nilai daya tetas telur ikan baung tertinggi. Dengan persamaan y = 27,782 + 6,3697x dan koefisien determinasi sebesar R2 = 0,8004 Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,8004 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh

Page 8: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

viii

terhadap persentase daya tetas telur sebesar 80,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun hasil rerata abnormalitas larva ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 9,37%, perlakuan B sebesar 6,84%, perlakuan C sebesar 6,35% dan perlakuan D nilai abnormalitas terendah sebesar 4,48%. Hasil rerata nilai kelangsungan hidup larva ikan baung tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu sebesar 79,36%, sedngkan pada perlakuan A sebesar 58,54%, pada perlakuan B sebesar 69,64%, dan pada perlakuan C sebesar 78,12%. Dengan persamaan sebesar nilai y = 18,202 + 7,0953x dan nilai koefisiensi determinasi (R2) sebesar 0,7604. Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,7604 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh terhadap persentase kelangsungan hidup larva sebesar 76,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian yaitu suhu berkisar antara 24oC – 25,5oC dan oksigen terlarut berkisar antara 6,3 – 7,0 ppm.

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu bahwa pH yang berbeda memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kecepatan menetas telur, daya tetas telur serta kelangsungan hidup larva. Serta berpengaruh berbeda nyata terhadap abnormalitas. Waktu penetasan telur tercepat diperoleh pada pH 8 dengan waktu penetasan 29 jam 47 menit. Persentase daya tetas tertinggi diperoleh pada pH 9 sebesar 82,22% dan nilai abnormalitas larva terendah diperoleh pada pH 9 sebesar 4,48%, sedangkan persentase kelangsungan hidup tertinggi pada pH 9 sebesar 79,36%.

Page 9: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas

kasih karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan Embrio dan Larva Ikan

Baung (Mystus nemurus)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Brawijaya Malang.

Penulis menyadari pada penulisan skripsi masih banyak kekurangan dan

keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu kritik dan saran

yang membangun sangat dibutuhkan agar tulisan ini bisa lebih bermanfaat bagi

yang membutuhkan.

Malang, November 2017

Penulis

Page 10: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

x

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i

IDENTITAS TIM PENGUJI ......................................................................... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... iii

UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................... iv

RINGKASAN .............................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................ vii

DAFTAR ISI ............................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii

1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 3

1.4 Kegunaan ....................................................................................... 3

1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus) ............................................. 4

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ............................................................... 4 2.1.2 Habitat ............................................................................................. 5 2.1.3 Kebiasaan Makan .......................................................................... 6 2.1.4 Reproduksi ...................................................................................... 7 2.1.5 Pemijhan Buatan ................................................................... 8

2.2 Fertilisasi ......................................................................................... 9

2.3 Perkembangan Telur Ikan ............................................................. 10

2.4 Embriogenesis .............................................................................. 11

2.4.1 Cleavage .............................................................................. 12

2.4.2 Stadia Morula ....................................................................... 13

2.4.3 Stadia Blastula ..................................................................... 14

2.4.4 Stadia Gastrula..................................................................... 15

2.4.5 Organogenesis ..................................................................... 16

2.5 Penetasan Telur ............................................................................ 17

2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan ......................................... 18

2.7 Kualitas Air .................................................................................... 20

Page 11: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

xi

3. MATERI DAN METODE ..................................................................... 21

3.1 Materi Penelitian ........................................................................... 21

3.1.1 Ikan Uji ................................................................................. 21

3.1.2 Alat – Alat Penelitian ............................................................ 21

3.1.3 Bahan – Bahan Penelitian .................................................... 22

3.2 Rancangan Penelitian ................................................................... 22

3.3 Metode Kerja ................................................................................. 24

3.3.1 Alur Penilitian ....................................................................... 24

3.3.2 Kegunaan ............................................................................. 24

3.3.3 Seleksi Induk ........................................................................ 26

3.3.4 Pemijahan ............................................................................ 27

3.3.4 Penetasan Telur dan Perlakuan ........................................... 28

3.4 Parameter Uji ................................................................................ 28

3.4.1 Parameter Utama ................................................................. 28

3.4.2 Parameter Penunjang........................................................... 30

3.5 Analisa Data.................................................................................. 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 32

4.1 Perkembangan Embrio ................................................................. 32

4.1.1 Telur Fertil ............................................................................ 33

4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel) ............................................... 33

4.1.3 Pembelahan Kedua (4 Sel) .................................................. 34

4.1.4 Pembelahan Ketiga (8 Sel) ................................................... 35

4.1.5 Pembelahan Keempat (16 Sel) ............................................. 36

4.1.6 Pembelahan Kelima (32 Sel) ................................................ 35

4.1.7 Morula .................................................................................. 37

4.1.8 Blastula ................................................................................ 38

4.1.9 Gastrula ............................................................................... 38

4.1.10 Organogenesis ................................................................... 39

4.1.11 Menetas ............................................................................. 40

4.2 Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio .............................. 41

4.3 Hubungan pH dengan Kecepatan Menetas ................................... 44

4.4 Hubungan pH dengan Daya Tetas Telur ....................................... 47

4.5 Hubungan pH dengan Abnormalitas Larva .................................... 50

4.6 Hubungan pH dengan Kelangsungan Hidup Larva........................ 53

4.7 Kualitas Air .................................................................................... 56

5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 58

5.1 Kesimpulan ................................................................................... 58

5.2 Saran ............................................................................................ 58

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 59

LAMPIRAN ............................................................................................... 62

Page 12: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ikan Baung (Mystus nemurus) ........................................................................ 4

2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV. ........................................................................................... 13

3. Fase morula .................................................................................................. 14

4. Fase blastula ................................................................................................ 15

5. Fase gastrula ................................................................................................ 16

6. Fase Organogenesis ..................................................................................... 17

7. Denah Percobaan ......................................................................................... 23

8. Alur Penelitian............................................................................................... 24

9. Telur Fertil .................................................................................................... 33

10. Pembelahan 2 sel ........................................................................................ 34

11. Pembelahan 4 Sel ....................................................................................... 35

12. Pembelahan 4 Sel ....................................................................................... 35

13. Pembelahan 16 Sel...................................................................................... 36

14. Pembelahan 32 sel ...................................................................................... 37

15. Stadia Morula............................................................................................... 37

16. Stadia Blastula ............................................................................................. 38

17. Stadia Gastrula ............................................................................................ 39

18. Stadia Organogenesis ................................................................................. 40

19. Larva Ikan Baung. ........................................................................................ 41

20. Hubungan Antara pH Media Penetasan dengan Perkembangan Embrio Telur Ikan Baung ........................................................................................ 42

21. Rata-Rata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ........................................ 44

22. Grafik Regresi Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung .................................. 46

23. Rata-Rata Daya Tetas Telur Ikan Baung ..................................................... 48

Page 13: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

xiii

24. Grafik Regresi Nilai Daya Tetas Telur (HR) Ikan Baung ............................... 50

25. Rata-Rata Abnormalitas Telur Ikan Baung ................................................... 51

26. Grafik Regresi Abnormalitas Ikan Baung ..................................................... 53

27. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ..................................... 54

28. Grafik Regresi Nilai Kelangsungan Hidup Larva .......................................... 56

xi

Page 14: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7, pH 8 dan pH 9. ....................................................................................... 32

2. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio .......... 42

3. Rerata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ........................................ 44

4. Sidik Ragam Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung. .............................. 45

5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung .... 45

6. Rerata Nilai Perhitungan Daya Tetas Telur Ikan Baung. ......................... 47

7. Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Baung ............................................ 49

8. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Baung ................. 49

10. Sidik Ragam Abnormalitas Larva Ikan Baung ......................................... 52

11. Uji Beda Nyata Terkecil Abnormalitas Ikan Baung. ................................. 52

12. Rerata Nilai Perhitungan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung .......... 54

13. Sidik Ragam Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ............................ 55

14. Uji Beda Nyata Terkecil Kelangsungan Hidup Ikan Baung. .................... 55

15. Parameter Kualitas Air ............................................................................ 57

Page 15: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Glosarium .................................................................................................. 62

2. Penyuntikan Ikan Baung ............................................................................ 65

3. Pengamatan Embriogenesis Telur Ikan Baung .......................................... 66

4. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio ............. 67

5. Dosis Pemberian Hormon (Ovaprim) Perhitungan Fekunditas, Fertilization Rate (FR) dan Hatching Rate (HR) ............................................................ 68

6. Proses Perkembangan Embriogenesis Telur Ikan Baung. Error! Bookmark

not defined.69

7. Perhitungan Kecepatan Menetas ............................................................... 72

8. Perhitungan Uji BNT Hatching Rate ........................................................... 79

9. Perhitungan Uji BNT Survival Rate ............................................................ 84

10. Perhitungan Uji BNT Abnormalitas ..............Error! Bookmark not defined.

11. Alat dan Bahan Penelitian………………………………………………….….

89

94

Page 16: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang mempunyai pontensi perikanan yang

cukup luas baik laut maupun tawar. Pengelolaan sumberdaya kelautan dan

perikanan harus mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan guna

meningkatkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya secara

seimbang. Salah satu komoditas andalan lokal yang menjadi target peningkatan

produksi adalah ikan baung (Huwoyon et al., 2011).

Masyarakat Indonesia cukup gemar mengkonsumsi ikan baik dari hasil

tangkap maupun hasil budidaya. Namun jika para masyarakat hanya

mengandalkan ikan hasil tangkapan dari ikan muara atau sungai, tidak dapat

dipastikan untuk penghasilan yang tetap. Hal ini sesuai oleh Muflikah et al.(2006),

bahwa produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar

dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik

untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat

tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang

ada di alam. Selain itu, adanya kemungkinan perubahan lingkungan perairan

sebagai akibat aktivitas manusia di sepanjang daerah aliran sungai seperti

pemukiman, pertanian, transportasi, perindustrian, pembangkit tenaga listrik, dan

rekreasi akan dapat mempengaruhi keberadaan, pola tingkah laku dan struktur

populasi ikan. Oleh sebab itu diperlukan budidaya untuk memperoleh hasil yang

lebih baik.

Penyebaran ikan baung di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa dan

Kalimantan. Ikan baung merupakan ikan yang dikenal masyarakat karena memiliki

daging yang putih, tebal tanpa duri halus di dalam dagingnya. Semakin intensifnya

penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan

Page 17: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

2

persediaan dan populasi ikan baung. Ikan baung cukup memiliki prospek untuk

kedepannya (Hadid et al., 2014).

Ikan baung merupakan salah satu komoditas perairan umum yang

mempunyai prospek untuk dibudidayakan baik di kolam maupun keramba jaring

apung dan jenis ikan ini dapat cepat menyesuaikan diri terhadap pakan buatan. Di

Jawa Barat, ikan baung digemari masyarakat dan harganya tinggi dibandingkan

dengan harga ikan mas. Untuk memperoleh ikan baung sendiri masih

mengandalkan sumberdaya dari alam (Huwoyon et al., 2011).

Dalam pembenihan kualitas air yang dapat mempengaruhi penetasan telur

antara lain faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah hormon dan volume

kuning telur. Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa dan tyroid berperan dalam

proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan dengan

perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan

adalah suhu, pH, salinitas. Jika faktor luar kurang mendukung atau kualitas air

dalam kondisi ekstrem maka dapat menghambat penetasan telur bahkan dapat

terjadi kematian pada larva ikan (Hadid et al., 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam budidaya ikan baung saat ini ialah dalam

pembenihan. Mengingat dalam penetasan ikan baung memiliki nilai SR yang

rendah. Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses

penetasan telur dimana mulai dari telur sampai dengan penetasan. Dalam

pembenihan tentunya diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan

telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk

perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH

tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk

perkembangan embrio ikan baung. Menurut Susanto (2015), menyatakan bahwa

Page 18: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

3

dalam pembenihan ikan harus memperhatikan beberapa metode maupun faktor -

faktor yang dapat mempengaruhi penetasan salah satunya ialah kualitas air.

Kualitas air untuk kegiatan pembenihan ikan baung berperan penting agar

perkembangan telur tidak terganggu, kualitas air yang baik dengan suhu berkisar

24 - 29 oC , dengan pH berkisar 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm.

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio

pada ikan baung?

2. Bagaimana larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup pada

larva ikan baung dengan media pH yang berbeda?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perkembangan embrio pada ikan baung pada pengaruh pH

yang berbeda.

2. Mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva

ikan baung pada pH yang berbeda.

1.4 Kegunaan

Dari penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pada pH perairan yang

optimal untuk perkembangan embrio dan penetasan telur pada ikan baung

sehingga dapat diterapkan kepada masyarakat yang membudidayakan ikan

baung.

1.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017, di

Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.

Page 19: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus)

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Muflikhah et al. (2006), klasifikasi ikan baung adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Ordo : Siluriformes

Famili : Bagridae

Genus : Mystus

Species : Mystus nemurus

Nama lokal : Ikan Baung

Nama umum : Baung Putih, Baung Sungai, Baung Tikus, Baung Murai

Gambar 1. Ikan Baung (Mystus nemurus)

Ikan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut, bentuk badan panjang dan tidak

bersisik, pada sirip dada terdapat tulang yang tajam dan bersengat, memiliki sirip

lemak yang panjangnya kira-kira sama dengan panjang sirip dubur. Panjang total

5 x tinggi atau 3 sampai dengan 3,5 kali panjang kepala. Selain sirip dada, sirip

Page 20: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

5

punggung berjari-jari keras dan berbisa, tulang rahang atas bergigi, warna bagian

punggung agak kehitaman dan bagian dada putih. Ciri khas pada spesies ini

adalah panjang dasar sirip lemak sama dengan panjang dasar sirip dubur, sungut

hidung mencapai mata dan sungut rahang atas yang panjangnya mencapai sirip

dubur (Muflikah et al., 2006).

Mystus nemurus memiliki nama lokal ikan Baung dan bentuk tubuhnya

kombinasi dengan letak mulut subterminal. Ikan ini memiliki empat pasang sungut,

panjang sungut rahang atas mencapai belakang sirip perut, sedangkan panjang

sungut hidung mencapai mata, garis rusuk lurus, sirip lemak berukuran sama

panjang dengan sirip dubur dan ujung sirip lemak berwarna hitam, jari - jari terakhir

pada sirip punggung dan sirip dada bergerigi dan pada bagian atas kepala kasar,

bentuk sirip ekor bercagak (Bhagawati et al., 2013).

2.1.2 Habitat

Ikan baung hidup di perairan yang memiliki tekstur pasir. Hubungan

parameter fisika kimia berupa jenis terkstur substrat dasar pada setiap stasiun

penelitian dapat dikaitkan dengan ikan dan makrozobenthos yang didapat sebagai

pakan alami untuk ikan baung. Ikan baung yang hidup didasar perairan menyukai

tekstur substrat yang berpasir, ini diduga mempermudah ikan baung untuk

membuat liang untuk bersembunyi dalam menangkap mangsanya. Terkstur pada

setiap stasiun cocok untuk spesies tersebut karena spesies tersebut memiliki

cangkang yang tebal akan tahan pada presentase pasir yang cukup tinggi. Hal ini

sesuai dengan kelimpahan benthos yang cukup tinggi karena sesuai dengan

tekstur yang berpasir sebagai substrat dasar hidup molluska (Windy et al.,2014).

Ikan baung banyak ditemukan pada perairan sungai atau danau namun

habitat untuk ikan baung dapat dikatakan luas yang meliputi sungai-sungai besar,

anak sungai, lubuk-lubuk sungai sampai dengan ke danau, terutama danau yang

berada di dataran rendah, danau oxbow seperti danau teluk di Jambi, danau-

Page 21: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

6

danau rawa, rawa lebak (flood plain), hutan rawa, dan lain-lain. Pada musim hujan

penyebaran ikan sampai dengan ke rawa lebak yang berhubungan langsung

dengan sungai, sehingga kualitas air di lebak atau rawa kurang lebih sama dengan

kualitas air sungai. pH air lebak atau rawa berkisar 5 sampai dengan 5,5,

sedangkan pH air sungai berkisar 5,5 sampai dengan 6,5. Di musim hujan hutan

rawa banyak ditemukan mulai dari tingkat benih sampai dengan baung dewasa

yang sudah matang gonad, karena di tempat ini banyak didapat mikroorganisme

dan makroorganisme lain yang menjadi pakan alami bagi ikan baung. Pakan alami

tersebut dapat membantu kematangan gonad dengan cepat (Muflikah et al., 2006).

Menurut Kordi (2009), menyebutkan bahwa habitat ikan baung diantaranya

ialah sungai, muara, danau, serta terdapat di perairan payau muara sungai dan

biasanya dapat ditemukan di daerah yang terkena banjir. Di Jawa Barat ikan baung

dapat ditemukan di sungai Cidurian dan Jasinga Bogor yang airnya cukup dangkal

dengan kedalaman kurang lebih 45 cm dengan kecerahan 100%. Baung suka

bergerombol dan hidup di perairan tenang. Merupakan hewan nokturnal, menyukai

lokasi lokasi yang tersembunyi, setelah gelap ikan baung akan cepat keluar untuk

mencari mangsa setelah itu cepat kembali ke sarangnya.

2.1.3 Kebiasaan Makan

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ikan baung tergolong karnivor

dengan susunan makanan terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematode,

detritus, sisa tumbuhan atau organik lainya. Perbedaan informasi yang didapat

disebabkan oleh lingkungan yang berbeda, namun dari informasi yang didapat

dapat diketahui ikan baung tergolong ikan omnivora dengan kencederungan

sebagai karnivora. Ikan baung mencari mangsa pada malam hari atau disebut

nokturnal. Untuk mangsa ikan baung kebanyakan memiliki kecenderungan yang

dapat diketahui dengan kandungan makanan yang mempunyai kadar protein

cukup tinggi (Kordi, 2009).

Page 22: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

7

Hasil penelitian di India makanan marga Mystus pada umumnya terdiri atas

ikan krustacea, insekta, sisa-sisa tumbuhan, dan detritus. Terdapat susunan

makanan anak ikan baung berbeda dengan ikan baung dewasa. Kelompok insekta

merupakan bagian utama bagi anak ikan. Tetapi di bulan Januari ikan betina dan

jantan dewasa mengalami perubahan susunan makanan yaitu ikan betina dewasa

bagian terbesar pakan utama adalah ikan, sedangkan ikan jantan dewasa pakan

utamanya kelompok insekta. Ketika udang banyak ditemukan yaitu pada bulan

Oktober udang merupakan pakan utama, tetapi di bulan berikutnya sejalan dengan

menurunnya populasi udang, maka ikan baung kembali ke pakan utamanya yaitu

ikan atau insekta (Muflikah et al., 2006).

2.1.4 Reproduksi

Ikan baung mulai mengalami perkembangan gonad ketika sudah

berukuran 200 mm dengan berat 90 g sehingga pada 100 g ikan baung tersebut

sudah matang gonad. Di danau Sipin dan Kenali, baung betina dengan tingkat

kematangan gonad IV (matang) didapat bulan pada Oktober – Maret sedangkan

untuk ikan baung jantan dengan tingkat kematangan gonad IV hanya didapat pada

bulan Oktober – Desember. Ikan baung yang ditemukan di Waduk Juanda

diketahui dengan tingkat kematangan gonad IV yang ditemukan pada bulan

Oktober – Maret (Kordi, 2009).

Di alam ikan baung memijah pada awal musim penghujan. Ukuran ikan

baung jantan yang mulai matang kelamin adalah berkisar dari panjang 25 sampai

dengan 30 cm dengan bobot antara 200 sampai dengan 250 g. Sperma ikan baung

berbentuk rumbai - rumbai. Menurut pengalaman dan pengamatan, sperma ikan

baung yang matang kelamin (dengan melihat papillanya yang merah) yang berasal

dari daerah aliran Sungai Musi ketika dibedah hanya 1/3 sampai dengan 1/2

bagian yang matang, ini nampak jelas dari warnanya yang berbeda yaitu, bagian

yang mengarah ke saluran sperma berwarna putih susu, sedangkan bagian yang

Page 23: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

8

lain berwarna bening dan jernih. Berbeda dengan ikan baung yang diperoleh dari

daerah aliran Sungai Batanghari, Jambi yaitu di Muara Bungo. Induk jantan

dengan penampakan yang sama papillanya setelah dibedah nampak sperma ikan

baung secara keseluruhan semua berwarna putih susu tidak ada yang berwarna

bening atau jernih. Pemijahan di alam terjadi pada saat air meluap, ikan bermigrasi

dari sungai ke genangan-genangan baru, di mana di lahan tersebut banyak

persediaan pakan alami baik untuk larva, benih sampai dengan ke induk, terutama

di hutan rawa, banyak ditemukan larva benih bahkan ikan remaja dan induk ikan

baung dengan segala ukuran (Muflikah et al., 2006).

2.1.5 Pemijahan Buatan

Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik

pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Dapat juga dengan menggunakan

ovaprim dosis 0,5 cc per kg induk. Pembuahan dilakukan dalam baskom dengan

menampung telur hasil stripping induk betina dan mencampur dengan sperma dari

induk jantan, kemudian telur yang telah dibuahi di inkubasi dalam hapa yang

diletakkan dalam bak fiber atau bak kayu yang dilapisi plastik, air yang digunakan

adalah air perusahaan air minum yang telah diinapkan dan diaerasi. Penetasan

telur terjadi 32 sampai dengan 36 jam kemudian, dan telur yang menetas

mencapai 90% (Muflikhah et al., 2006).

Induk ikan yang disuntik dengan ovaprim dapat menyebabkan peningkatan

konsentrasi hormon gonadotropin didalam darah sehingga dapat merangsang

perkembangan telur dan mempercepat proses pemijahan. Sedangkan induk ikan

yang tidak diberikan dosis ovaprim akan terjadi kelambatan dalam proses

pemijahan, hal ini dikarenakan kandungan gonadotropin dalam tubuh belum cukup

untuk terjadinya ovulasi, dan tidak adanya rangsangan hormonal dari luar yang

dapat meningkatkan kandungan gonadotropin dalam tubuh ikan yang dapat

mengakibatkan ikan sulit untuk memijah secara alami (Manatung et al., 2013).

Page 24: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

9

Adapun tahap dalam proses pemijahan mulai dari pemeliharaan induk,

setelah induk dalam pemeliharaan, dilakukan penimbangan induk untuk

menentukan dosis ovaprim. Penyuntikkan dilakukan secara intramuscular

sebanyak satu kali dengan dosis 0,5 ml/kg bobot tubuh induk betina. Pembuahan

dilakukan dengan cara mencampurkan telur dengan sperma yang telah

diencerkan pada masing-masing wadah pengencer sperma, kemudian diaduk

menggunakan bulu ayam selama 2 menit sampai tercampur merata. Selanjutnya,

larutan pengenceran sperma dibuang sampai tersisa telur saja, lalu telur-telur

dibilas dengan air bersih. Selanjutnya telur-telur tersebut dituangkan kedalam

ayakan yang terendam air di dalam loyang yang telah diberi aerasi untuk dilakukan

pengamatan selanjutnya. Selanjutnya larva yang menetas dipelihara dalam loyang

yang sudah dibersikan (Mambrasar et al., 2015).

2.2 Fertilisasi

Telur-telur hasil pemijahan yang dibuahi selanjutnya berkembang menjadi

embrio dan akhirnya menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi

akan mati dan membusuk. Lama waktu perkembangan hingga telur menetas

menjadi larva tergantung pada spesies ikan dan kualitas air. Untuk keperluan

perkembangan digunakan energi yang berasal dari kuning telur dan butiran

minyak. Oleh karena itu, kuning telur terus menyusut sejalan dengan

perkembangan embrio, energi yang terdapat dalam kuning telur berpindah ke

organ tubuh embrio. Embrio terus berkembang dan membesar sehingga rongga

telur menjadi penuh dan tidak sanggup untuk mewadahinya, maka dengan

kekuatan pukulan dari dalam oleh sirip pangkal ekor, cangkang telur pecah dan

embrio lepas dari kungkungan menjadi larva, pada saat itulah telur menetas

menjadi larva. Telur membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.

Oksigen masuk kedalam telur secara difusi melalui lapisan permukaan cangkang

Page 25: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

10

telur, oleh karena itu media penetasan telur harus memiliki kandungan oksigen

yang melimpah yaitu > 5 mg/ liter (Manatung et al., 2013).

Pembuahan atau disebut juga dengan fertilisasi adalah proses

bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga

membentuk zigot. Pada dasarnya fertilisasi adalah penyatuan atau fusi sel gamet

jantan dan sel gamet betina untuk membentuk satu sel (zigot). Dalam proses

pembuahan, spermatozoa masuk ke dalam telur melalui lubang micropyle yang

terdapat pada chorion. Tiap spermatozoa mempunyai kesempatan yang sama

untuk membuahi satu telur. Akan tetapi karena ruang tempat terjadinya

pembuahan yaitu pertemuan telur dengan spermatozoa pada ikan ovipar sangat

besar, maka kesempatan spermatozoa itu untuk bertemu dengan telur sebenarnya

sangat kecil (Setyono, 2009).

2.3 Perkembangan Telur Ikan

Secara umum pada perkembangan telur ikan di dalam ovarium meliputi

empat tahap diantaranya ialah awal pertumbuhan, tahap pembentukan kantung

kuning telur, tahap vitelogenesis dan tahap pematangan. Setelah itu telur terjadi

ovulasi dan dipijahkan. Kuning telur yang dibentuk didalam sel telur bertujuan

sebagai makanan – makanan bagi embrio ikan, kemudian saat kuning telur pada

larva tersebut sudah habis maka perlu ditambahkan makanan tambahan dari luar.

Makanan tambahan dari luar tersebut dapat berupa makanan alami yang memiliki

kandungan gizi yang tercukupi. Makanan alami dapat digantikan dengan plankton

atau cacing sutera (Fujaya, 2008).

Dalam tahap awal dari daur hidup ikan terutama dalam stadia larva

terdapat masa kritis yang terletak pada saat sebelum dan sesudah penghisapan

kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar. Sehubungan

dengan hal ini, pergerakan larva atau tingkah laku larva untuk mendapatkan

Page 26: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

11

makanan, juga kepadatan persediaan makanan yang baik merupakan faktor yang

mempengaruhi keberhasilan hidup. Pada saat kuning telur belum habis dihisap

larva melakukan pergerakan yang memerlukan energi (Setyono, 2009).

Selama pemeliharaan larva tidak diberi pakan karena kuning telur masih

ada. Telur yang tidak menetas dibuang dengan menggunakan pipet tetes agar

kualitas air tetap baik. Perkembangan telur yang tidak sempurna dapat

menghasilkan larva yang abnormal dengan ciri-ciri terjadi pembengkokan pada

tulang ekor, tubuhnya kerdil, ukuran kuning telur terlalu besar dibandingkan larva

lain, dan gerakannya selalu berputar. Larva ikan baung yang baru menetas tampak

transparan, sirip dada dan sirip ekor sudah ada tetapi hanya berbentuk tonjolan

dan belum memiliki jari-jari, mata sudah berpigmen, sungut mulai terbentuk

meskipun belum jelas betul bentuknya dan panjang larva yang baru menetas

berkisar antara 5,79-6,20 mm (Hadid et al., 2014).

2.4 Embriogenesis

Pembuahan merupakan bersatunya oosit (telur) dengan sperma yang

membentuk zigot. Menurut Yulianti et al.(2012), menyatakan bahwa telur

umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan telur

hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai

dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan

dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas. Telur mengalami

balstulasi dimana proses perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan

blastula. Setelah itu fase gastrula dimana terjadi perkembangan sel bakal organ

yang telah terbentuk pada fase blastula. Kemudian sel telur akan mengalami

perkembangan fase organogenesis, dimana proses pembentukan organ tubuh,

pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan

makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin.

Page 27: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

12

2.4.1 Cleavage

Pada pembelahan pertama merupakan tahap perkembangan 2 sel, yang

ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel tunggal menghasilkan dua

buah sel yang berukuran lebih kecil dan sama. Pembelahan selanjutnya adalah

tahap perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis dari

kedua sel menghasilkan empat buah sel. Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya

pembelahan keempat sel menghasilkan delapan buah sel. Tahap-tahap

perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan sel secara mitosis

menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi),

sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan

yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian

kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Pada saat pembelahan I terjadi, lapisan korion mengeras yang berfungsi

untuk melindungi proses pembelahan sel selanjutnya agar tidak rusak.

Pembelahan II diawali dengan dua buah blastomer yang membelah tegak lurus

dan menghasilkan terbentuknya empat sel atau blastomer turunan kedua dengan

bentuk dan ukuran yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari blastomer

turunan pertama. Pembelahan III menghasilkan delapan blastomer turunan ketiga

yang berukuran sama besar, namun ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan

kedua. Pembelahan menjadi delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel

atau blastomer menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang

sejajar, dimana setiap baris terdiri dari empat blstomer yang berukuran sama

besar. Pembelahan ke IV menghasilkan 16 blastomer. Pada pembelahan V,

blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya lebih kecil dari pembelahan

IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya sudah tidak beraturan lagi

dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, pada ruang perivetilin sudah tidak

terlihat lagi (Pattipeilohy, 2013).

Page 28: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

13

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV (Kimmel et al., 1995).

2.4.2 Stadia Morula

Perkembangan selanjutnya adalah tahap-tahap pembelahan sel

(morulasi). Tahap-tahap perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan-

pembelahan sel secara mitosis menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah

dua kali lipat (duplikasi), sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan

dalam bentuk susunan yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat

dibandingkan pada bagian kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Menurut Renita et al.(2016), menyatakan bahwa fase morula dimulai

ketika telah mencapai 32 sel. Sel membelah secara melintang dan mulai terbentuk

formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula berakhir

apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama tetapi

lebih kecil. Kemudian sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil

membentuk dua lapis sel.

Page 29: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

14

Gambar 3. Fase Morula (Kimmel et al., 1995) 2.4.3 Stadia Blastula

Stadia blastula terbentuk setelah stadia morula berakhir, dimana pada

stadia blastula, blastomer membelah beberapa kali membentuk blastomer-

blastomer dengan ukuran yang makin kecil, sehingga tempat pada stadia morula

blastomer semula padat akan terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul

yang ditutupi oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul

dan blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer (Pattipeilohy, 2013).

Fase blastula awal merupakan stadia blastula dimana sel-selnya terus

mengadakan pembelahan dengan aktif sehingga ukuran sel selnya semakin kecil.

Pada stadia blastula terdapat dua macam sel yakni sel formatif dan non formatif.

Sel formatif termasuk ke dalam komposisi tubuh embrionik sedangkan sel

nonformatif sebagai tropoblast yang ada hubungannya dengan nutrisi embrio.

Pada stadia blastula ini terdapat daerah sel yang dapat diperkirakan menjadi 3

lapisan yakni ektoderm, entoderm dan mesoderm (Effendie, 2002).

Telur selanjutnya akan mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses

perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula. Setelah itu sel

mengalami proses gastrula. Saat telur berada pada fase gastrula, terjadi

perkembangan sel bakal organ yang telah terbentuk pada fase blastula. Setelah

fase blastula kemudian sel telur akan mengalami perkembangan fase

organogenesis, organogenesis merupakan proses pembentukan organ tubuh,

Blastomer

Kuning Telur

Page 30: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

15

pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan

makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin (Yulianti et al., 2012).

Gambar 4. Fase Blastula (Kimmel et al., 1995)

2.4.4 Stadia Gastrula

Pada stadia gastrula ialah proses kelanjutan dari staium blastula yang

lapisannya berkembang dari satu menjadi dua lapis sel. Awal dari gastrula ini

terjadi begitu proses pada stadia blastula selesai. Proses pembelahan sel dengan

pergerakkannya berjalan lebih cepat dari pada dalam stadia blastula. Proses

pergerakkan sel dalam stadia grastula pada telur ada dua yakni epiboly dan

emboly (Effendie, 2002).

Pada stadia gastrula, perkembangan telur ikan ditandai dengan terjadinya

proses perluasan dan penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora

(blastopore closure, epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh

blastoderm yang pada telur ikan biasanya terjadi dalam periode 210 - 420 menit

setelah proses fertilisasi (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana

blastomer menunjukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang

dinamakan gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang

menunjukkan berlangsungnya perisai embrio. Gastrula akhir nampak apabila

epiboly telah menutupi 80–90% dari kuning telur (Cindelaras et al., 2015).

Blastoderm

Kuning Telur

Periblast

Page 31: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

16

Berdasarkan pengamatan secara deskriptif, perkembangan embrio ikan

baung sampai menetas memerlukan waktu antara 25-26 jam. Morula merupakan

perkembangan embrio yang dimulai sejak pembelahan mencapai 32 sel, dan pada

stadia ini ukuran sel mulai beragam. Stadia blastula dicirikan dengan terbentuknya

blastocoel dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian

besar kuning telur. Dalam proses embriogenesis perkembangan embrio

merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus sehingga

embrio selalu mengalami perubahan dari menit ke menit atau dari jam ke jam di

mana perkembangan antara satu fase dengan fase lainnya hampir tidak jelas

(Suhenda et al., 2009).

Gambar 5. Fase Gastrula (Kimmel et al., 1995).

2.4.5 Organogenesis

Pada fase organogenesis mengalami proses pembentukan organ tubuh

hampir sempurna ketika telur akan menetas. Dalam stadia organogenesis larva

sudah mulai aktif bergerak. Pergerakan embrio ini diakibatkan oleh bertambah

panjangnya bagian ekor embrio dan mulai terlepas dari kuning telurnya serta

terdeteksi jantung sudah mulai aktif. Notokorda dan somit makin jelas serta

lekukan pada kepala sudah mulai nampak. Selama pembentukan organ yaitu

semenjak telur terbuahi chorion (cangkang telur) mengalami pengerasan. Hal ini

bertujuan agar terjaga dari gangguan luar selama proses pembentukan organ-

organ sedang berjalan (Effendie, 2002).

Epiboly

Kuning Telur

Blastoderm

Page 32: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

17

Pada tahap akhir, kantung kuning telur, mulut dan usus dibentuk. Mata

menjadi berpigmen dan organ utama penting untuk menangkap mangsa, menjadi

fungsional. Pada telur ikan baung ukuran diameter telur yang lebih besar dan

tersimpannya nutrisi pada kuning telur dalam jumlah yeng lebih banyak maka akan

tersedia energi yang lebih tinggi untuk awal kehidupan embrio, sehingga akan

menghasilkan derajat penetasan dan sintasan larva yang lebih tinggi. Pada saat

larva masih belum mendapatkan pakan dari luar, larva masih mengandalkan

kandungan kuning telur (terutama lemak) sebagai sumber energinya, sehingga

keberadaan lemak di dalam telur penting untuk perkembangan selanjutnya.

Penyebab kematian larva yang tinggi pada awal pemeliharaan adalah masa kritis

yang terjadi pada saat kuning telur habis dan larva harus mengambil makanan dari

luar (Suhenda et al., 2009).

Gambar 6. Fase Organogenesis (Kimmel et al., 1995).

2.5 Penetasan Telur

Penetasan merupakann tahap terakhir pada masa pengeraman sebagai

hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan

terjadi karena kerja mekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik, diakibatkan

karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam

cangkangnya, atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam

cangkangnya. Dengan pergerakan - pergerakan tersebut bagian telur lembek dan

tipis akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Sedangkan kerja

Kuning Telur

Notokorda

Somit

Perpanjangan

Kuning Telur

Kepala

Mata

Ekor

Page 33: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

18

enzimatik, yaitu enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar

endodermal di daerah pharink embrio. Enzim ini disebut chorionase yang kerjanya

bersifat mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek.

Sehingga pada bagian cangkang yang tipis dan terkena chorionase akan retak dan

pecah dan ekor embrio dapat keluar dari cangkang kemudian diikuti tubuh dan

kepalanya (Gusrina, 2008).

Menurut Diana et al.(2010), menyatakan bahwa daya tetas telur selain

dipengaruhi oleh faktor dalam antara lain hormon dan volume kuning telur juga

dapat dipengaruhi oleh faktor luar yaitu kualitas air. Kualitas air yang dapat

mempengaruhi antara lain salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan intensitas

cahaya. Kualitas air dalam media penetasan. Kualitas air yang terukur untuk

penetasan telur yaitu suhu air yang berkisar antara 27- 31ºC, oksigen terlarut

optimal minimal 3 mg/l dan pH optimal berkisar antara 6-9.

2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan Embrio

Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu

parameter kimia yang sangat penting dalam memantau kestabilan suatu perairan.

Perubahan pH dapat mempengaruhi struktur insang serta aktifitas enzim pada

organ insang sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen.

Perubahan struktur insang ikan membuat sistem osmoregulasi dan ekskresi pada

tubuh akan terganggu yang dapat membuat tekanan osmotik cairan tubuh tidak

ideal dan akan menyebabkan laju biosintesis akan terhambat dan akhirnya akan

mengganggu tingkatsintasan dan pertumbuhan ikan. Sintasan adalah persentasi

ikan yang hidup diakhir pemeliharaan (Suhenda et al., 2009).

Perlakuan tingkat derajat pH yang berbeda pada media dapat memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap panjang, sintasan serta peyerapan kuning

telur dan perkembangan mulut ikan. pH dalam perairan untuk penetasan telur

Page 34: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

19

jangan sampai terlalu asam atau terlalu basa. Pada saat perairan memiliki pH yang

tidak cocok untuk perkembangan telur dan penetasan telur, hal ini dapat

menghambat penetasan sehingga mengakibatkan larva tidak dapat beradaptasi

dengan baik dengan lingkungan perairan itu sendiri dan dapat mempengaruhi laju

pertumbuhannya. Kandungan pH yang kurang dari batas optimum akan

menyebabkan ikan stress dan mengalami gangguan fisiologis bahkan dapat

menyebabkan kematian (Surbakti, 2015).

Kualitas air pada penetasan telur dapat mempengaruhi keadaan larva

nantinya. Dalam pemeliharaan larva ikan baung tentunya diperhatikan kualitas air

terutama pH, untuk larva ikan baung pH air 7 - 8,5. Untuk mencegah terjadinya

penurunan kualitas air maka memasuki hari ke 7 selama proses penetasan perlu

dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 20 %, dan ditingkatkan pada minggu ke

tiga sebanyak 20 – 30 %. Dikarenakan jika pada pH yang tidak sesuai, telur tidak

akan menetas dengan sempurna (Kordi, 2008).

Berdasarkan nilai pH perairan yang didapat selama penelitian pada

perairan sungai Bingai, Sumatera Utara masih dinyatakan mendukung untuk

kehidupan ikan baung dengan nilai pH perairan sungai berkisar antara 6,5 sampai

7,4. Adanya penurunan populasi ikan baung di perairan daerah sungai tersebut

dapat dipengaruhi dengan perubahan kualitas air di kawasan aliran Sungai Bingai

yang dapat diakibatkan oleh adanya limbah yang memenuhi badan sungai

sehingga habitat ikan dapat terganggu. Dari kondisi perairan Sungai Bingai sendiri,

dapat diketahui bahwa perairan tersebut sesuai dengan habitat ikan baung yang

hidup diperairan berarus lambat dengan kisaran kualitas air yang masih dapat

ditolerir oleh ikan baung (Manurung et al.,2013).

2.7 Kualitas Air

Kualitas air yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), pH dan amoniak.

Pengukuran pH, oksigen terlarut dan amonia dilakukan setiap hari. Secara umum

Page 35: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

20

kisaran kualitas air masih dalam kisaran toleransi untuk penetasan telur dan

pemeliharaan larva ikan baung. Nilai suhu berkisar antara 27,5 oC - 28 oC, dimana

kisaran ini merupakan kisaran optimal untuk penetasan telur, perawatan larva dan

pertumbuhan ikan baung. Nilai pH berkisar antara 7,00 - 7,12, dimana kisaran ini

masih dalam batas toleransi untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan baung.

Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 6,0 - 6,5 mg/l, dalam hal ini kadar

osigen kisaran 6,0 - 6,5 mg/l mendukung perkembangan embrio dan pemeliharaan

larva (Hadid et al., 2008).

Ikan baung merupakan ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan

baung biasanya hidup di perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan

didaerah air tenang diantaranya sungai dengan arus yang tenang, danau atau

waduk. Ikan baung memerlukan oksigen terlarut untuk kehidupannya. Ikan baung

dapat hidup pada ketinggian air sampai 1.000m dpl. Dengan suhu 24 - 29 oC ,

dengan pH 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm (Susanto, 2015).

Page 36: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

21

3. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Penelitian

3.1.1 Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah induk ikan baung (Mystus nemurus) jantan

dan betina yang telah matang gonad untuk mendapatkan telur.

3.1.2 Alat-Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a) Akuarium sebagai wadah penetasan telur dan larva ikan baung berukuran

60 cm x 60 cm x 40 cm

b) Perlengkapan aerasi (aerator, selang aerasi dan batu aerasi) untuk

penyediaan aerasi selama perlakuan.

c) Seser untuk memindahkan ikan

d) Pipet untuk mengambil telur pada saat pemanenan telur.

e) Baskom untuk wadah telur yang telah distriping

f) Mikroskop untuk mengamati perkembangan embrio ikan baung selama

perlakuan.

g) Kateter sebagai alat untuk melihat tingkat kematangan gonad induk betina

h) Bulu ayam sebagai alat untuk mengaduk telur dan sperma pada saat

fertilisasi.

i) Objek glass sebagai alas telur saat mengamati telur di bawah mikroskop.

j) Termometer untuk mengukur suhu air.

k) pH pen untuk mengukur pH air.

l) DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dalam air.

m) Kamera Digital untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian.

n) Timbangan analitik untuk menimbang berat induk ikan.

Page 37: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

22

o) Lap basah untuk mengkondisikan ikan agar tidak stress saat penyuntikan

p) Waring sebagai substrat untuk menempelnya telur ikan baung

3.1.3 Bahan-Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a) Telur ikan baung sebagai objek yang diamati embrionya.

b) Ovaprim sebagai ovaprim untuk mempercepat ovulasi.

c) Spuit sebagai alat bantu menyuntikkan ovaprim ke induk ikan baung.

d) Na-Fis sebagai bahan pengencer saat penyuntikan.

e) Air sebagai media penetasan telur ikan baung.

f) Kertas label untuk memberi tanda pada akuarium.

g) Tisu untuk membersihkan alat-alat.

h) Kuning telur sebagai pakan larva ikan baung.

i) Cacing sutra (Tubifex sp.) sebagai pakan larva ikan baung.

j) Larutan KOH untuk menaikkan pH air.

k) Larutan Asam Sitrat untuk menurunkan pH air.

l) Aquades sebagai pelarut

m) Sabun untuk membersihkan akuarium

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan masing-masing 3 ulangan. Menurut Renita et al. (2016), model

rancangan acak lengkap (RAL) yang dipergunakan yaitu dengan rumus:

Keterangan: Yij : nilai pengamatan dari perlakuanke-i dan ulangan ke-j Μ : nilai rata-rata harapan Τi : pengaruh perlakuanke-i Εij : pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Yij = μ + τi + εij

Page 38: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

23

Ikan baung dapat ditemukan diperairan yang tenang dengan kadar kualitas

air yang baik. Ikan baung juga memerlukan kadar oksigen yang tinggi diperairan.

Hal ini sesuai dengan Susanto (2015), meyatakan bahwa ikan baung merupakan

ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan baung biasanya dapat hidup di

perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan didaerah air tenang

dengan nilai pH berkisar 6,5 – 8. Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa dalam

penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung kualitas air terutama pada pH

diketahui 7 – 8,5. Sehingga pada penelitian ini dilakukan dengan perlakuan pH

pada masing-masing akuarium adalah :

A = Penetasan telur pada pH 6

B = Penetasan telur pada pH 7

C = Penetasan telur pada pH 8

D = Penetasan telur pada pH 9

Dalam penelitian ini masing-masing perlakuan diberi ulangan sebanyak 3

kali yang ditempatkan secara acak. Dengan membutuhkan akuarium sebanyak 12

akuarium dengan peralatan yang dipasang lengkap meliputi selang aerasi, aerator,

blower dan batu aerasi dengan akuarium yang dipasang rapi menggunakan rak

dengan sebaris rak diisi dengan akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm.

Denah percobaan dapat dilihat pada Gambar 7:

Gambar 1. Denah Percobaan

Keterangan: A, B, C, D : Perlakuan 1,2,3 : Ulangan

B1 D1 A2 C2

C3 A1 B2 D3

D2 B3 C1 A3

Page 39: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

24

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Alur Penelitian

Alur yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 2. Alur Penelitian

3.3.2 Persiapan Alat dan Media Penetasan

Sebelum penelitian disiapkan terlebih dahulu akuarium, heater,

termometer dan peralatan aerasi. Akuarium dibersihkan dan dibilas sampai bersih

dan diisi air. Air yang digunakan untuk penetasan telur adalah air tawar dari air

sumber Sawangan. Dua belas buah akuarium untuk perlakuan pH dan diletakkan

di dalam ruangan. pH diperoleh dengan cara mencampurkan asam sitrat untuk

Persiapan Alat dan Bahan

Persiapan induk dan adaptasi Akuarium

Seleksi Induk

Pemberian perlakuan (asam

sitrat dan KOH) pada masing

masing akuarium

Pemijahan Buatan

Penebaran Telur

Perhitungan Hatching Rate

Pengamatan Embriogenesis pada mikroskop

Perhitungan Survival Rate

Pengamatan Kualitas air

Page 40: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

25

menurunkan pH dan KOH untuk menaikkan pH ke dalam akuarium hingga didapat

pH yang diinginkan, kemudian dipasang heater, termometer dan aerasi.

Penyesuaian perlakuan pH pada media dengan dilakukan melarutkan 2 gram

asam sitrat dengan 100 ml aquades kemudian di tambahkan pada media sampai

penyesuaian pH yang diingikan tercapai. Untuk menaikkan pH sesuai yang

diinginkan menambahkan larutan KOH dengan cara mencampurkan 2 gram KOH

dengan 100 ml aquades kemudian ditambahkan pada akuarium sedikit demi

sedikit, hal ini dilakukan sampai pH yang diinginkan tercapai.

Menurut Purba (2006), menyatakan bahwa asam merupakan zat yang

dalam air melepaskan ion H+. Dengan kata lain, pembawa sifat asam adalah ion

H+. Asam Arrhenius dapat dirumuskan sebagai HxZ dan dalam air mengalami

ionisasi sebagai berikut:

HxZ(aq) → x H+(aq) + Zx-

(aq)

Basa merupakan senyawa dalam air dapat menghasilkan ion hidroksida

(OH-). Basa Arrhenius merupakan hidroksida logam, dapat dirumuskan sebagai

M(OH)x, dan dalam air mengion sebgai berikut:

M(OH)x(aq) → Mx+ (aq) + xOH-

(aq)

Konsep pH untuk menyatakan konsentrasi ion H+, yaitu sama dengan

negative logaritma konsentrasi ion H+. secara metematika diungkapkan dengan

persamaan sebagai berikut:

Jika [H+] = 1 x 10-n, maka pH = n

Jika [H+] = a x 10-n, maka pH = a – log a

Sebaliknya jika pH = n, maka [H+] = 10-n

pH = - log [H+]

pOH = - log [OH-]

pH = pKw – pOH

pH = 14 - pOH

Page 41: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

26

Sehingga dapat diasumsikan bahwa suatu larutan KOH pada 100 ml

aquades dengan 0,01M diperoleh pH:

[OH-] = 0,01

= 10-2 M

pOH = 2

pH = 14 - pOH

= 14 – 2 = 12

Jadi, dapat diketahui pH larutan KOH memiliki pH 12, kemudian larutan

tersebut di teteskan pada masing masing perlakuan sampai pH yang diinginkan

tercapai.

3.3.3 Seleksi Induk

Seleksi induk dilakukan pada sore hari dilakukan penjaringan di kolam

induk kemudian setelah diseleksi ditampung terlebih dahuli di kolam

penampungan induk. Induk betina ditandai dengan perutnya yang buncit dan

lembut, bila diurut telur ynag keluar bentuknya bulat utuh berwarna kecoklatan,

tubuhnya agak kusam gerakan lambat. Induk jantan ditandai dengan warna tubuh

dan alat kelaminnya agak kemerahan, gerakan licah. Setelah induk diseleksi

diletakkan di bak penampungan kemudian dipuasakan selama 24 jam. Bobot induk

ikan baung yang sudah dapat dipijahkan berkisar 0,8 kg sampai 1 kg.

Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa calon induk ikan baung pada

induk betina dan janta memiliki berat minimial 300 gram, umur induk minimal 1

tahun, kondisi sehat dan tidak cacat. Induk betina saat matang telur perut bagian

belakang mengembung dan permukaan kulit sangat lembut, jika perut dipijat

mengeluarkan telur berwarna kecoklatan, gerakan lambat, alat genital bulat dan

kemerahan. Sedangkan pada induk jantan lubang genital memanjang dan

Page 42: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

27

meruncing kearah caudal dan bagian ujungnya berwarna merah, bentuk badan

agak langsing, induk menjadi galak dan lincah.

3.3.4 Pemijahan

Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik

pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Induk betina disuntik dengan

ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg dan jantan dengan ovaprim 0,5 ml/kg. Penyuntikan

pada ikan betina dilakukan dua kali dengan selang waktu 6 jam dengan

perbandingan 60% dan 40%. Penyuntikan dilakukan pada bagian punggung dan

induk ditutup lap basah.

Setelah penyuntikan dilakukan, untuk pengurutan akan dilakukan 6 s/d 8

jam setelah penyuntikan kedua. Langkah pertama adalah menyiapkan sperma :

ambil kantong sperma dari induk jantan dengan membedah bagian perutnya,

gunting kantong sperma dan keluarkan. Cairan sperma ditampung dalam

mangkok dicampur Nafis secukupnya. Aduk hingga rata. Bila terlalu pekat,

tambahkan larutan pengencer sampai larutan berwarna putih susu agak encer.

Selanjutnya, induk betina yang dikeluarkan telurnya. Pijit bagian perut kearah

lubang kelamin sampai telurnya keluar. Telur ditampung dalam mangkok plastik

yang bersih dan kering. Masukkan larutan sperma sedikit demi sedikit dan aduk

sampai merata. Agar terjadi pembuahan, tambahkan air bersih dan aduklah

sampai merata sehingga pembuahan dapat berlangsung dengan baik, untuk

mencuci telur dari darah dan kotoran lainnya, tambahkan lagi air bersih kemudian

dibuang. Lakukan pembilasan 2 s/d 3 kali agar bersih. Ditebar kedalam hapa yang

sudah disediakan waring untuk perlakuan hingga permukaan sampai merata dan

digunting sesuai ukuran dan segera dipindahkan ke akuarium perlakuan.

Selanjutnya melakukan pengamatan dibawah mikroskop perbesaran 400x

pengamatan dilakukan dengan waktu yang telah ditentukan mengacu pada

literatur hingga telur menetas dan menjadi larva. Setelah berumur dua hari, larva

Page 43: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

28

diberi makan kuning telur dan sehari kemudian diberi cacing sutra (Tubifex) yang

telah dicincang sampai larva berukuran 2 minggu.

3.3.5 Penetasan Telur dan Perlakuan

Telur ditebar ke dalam akuarium yang telah disiapkan, pada sebelumnya

telur yang sudah distripping dan sperma yang sudah disiapkan diaduk dengan bulu

ayam. Selama proses penetasan, telur ditebar di dalam akuarium berukuran 40

cm x 60 cm x 40 cm dan dilengkapi dengan sistem aerasi. Telur dimasukkan ke

dalam akuarium pada masing – masing perlakuan sebanyak 45 butir. Telur yang

telah mati dibuang dengan cara diambil menggunakan pipet tetes.

Menurut Hadit et al.(2014), menyatakan bahwa penetasan ikan baung

berkisar 29 jam sampai 32 jam. Pada perkembangan telur diamati dengan

menggunakan mikroskop mikroskop mulai dari perkembangan embrio telur ikan

hingga menetas. Frekuensi pengamatan yang pertama dilakukan yaitu 15 menit

sekali, kemudian 30 menit selama 3 jam setelah selesai pengamatan telur segera

dimasukkan ke dalam akuarium. Setelah itu, pengamatan dilakukan 60 menit

sekali. Pengamatan semua perlakuan dilakukan secara bersamaan pada waktu

yang sudah ditentukan. Waktu perubahan tiap fase perkembangan embrio dicatat

dan didokumentasikan. Pengamatan embrio pada telur mengacu pada literatur

yang sudah ada sebelumnya. Setiap 30 menit juga dilakukan pengecekan telur

dan mengambil telur yang mati pada akuarium agar tidak merusak telur lain yang

masih hidup.

3.4 Parameter Uji

3.4.1 Parameter Utama

Parameter utama dalam penelitian ini adalah perkembangan embrio pada

ikan baung, Hatching rate daya tetas, abnormalitas dan kelangsungan hidup larva.

Selama perkembangan embrio, dilakukan pengamatan pada perlakuan yang

Page 44: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

29

sudah ditentukan secara bersama dan didokumentasikan. Dilakukan pencatatan

waktu pada setiap perkembangan berlangsung.

a) Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio pada ikan baung dimulai setelah telur dibuahi oleh

inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi inti zigot yang diploid. Zigot inilah

yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelahan segmentasi melalui

proses mitosis yang cepat. Zigot yang tersegmen - segmen menjadi bagian yang

kecil (cleavage), bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8

sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut fase morula. Kemudian berkembang

menjadi blastula dan seterusnya sampai menetas. Perkembangan embrio pada

awal diamati dengan mikroskop dimulai dari telur terbuahi sampai menetas.

b) Hatching Rate

Menurut Marbun et al.(2013), menyatakan bahwa hatching rate (daya

tetas) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas menjadi larva dari

telur yang telah dibuahi. Pada pH yang berbeda, daya tetas telur dapat dilakukan

perhitungan seluruh telur yang menetas setelah dibuahi dalam bentuk persentase.

HR dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Menurut Wahyuningtias (2016), menyatakan bahwa pengamatan

abnormalitas pada penelitian meliputi bentuk tubuh dan bentuk ekor dan pada

perhitungan dalam penelitian untuk mengetahui besar nilai abnormalitas seperti

berikut:

𝑎𝑏𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = Jumlah larva abnormal

Jumlahlarva normal X 100%

Page 45: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

30

Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa waktu penetasan telur diketahui

dengan cara mencatat waktu telur menetas menjadi larva paling awal hingga telur

menetas seluruhnya. Telur ikan baung akan menetas selama selama 30 – 36 jam

setelah ovulasi. Setelah menetas, kuning telur ikan baung akan habis setelah 2 –

3 hari. Larva dipelihara 4 – 7 hari dalam akuarium.

c) Survival Rate (SR)

Survival rate merupakan indeks tingkat kelangsungan hidup suatu jenis

ikan dalam suatu proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan di

panen. Menurut Rudiyanti dan Ekasari (2009), bahwa nilai SR dapat dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan: SR = Kelangsungan hidup hewan Uji (%). Nt = Jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor). No = Jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor).

Telur yang menetas menjadi larva selanjutnya dipelihara selama 10 hari.

Selama pemeliharaan, kualitas air dan pakan harus diperhatikan untuk menjaga

kehidupan larva. Setelah memasuki masa pemeliharaan 10 hari, dilakukan

perhitungan jumlah larva yang masih hidup.

3.4.2 Parameter Penunjang

Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah kualitas air pada

akuarium yang berisi telur. Pengukuran kualitas air yang dilakukan ialah suhu dan

DO (Dissolved Oksygen )

a) Suhu

Pengontrolan Suhu air tetap dilakukan selama penetasan telur sampai

menjadi larva. Suhu pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB,

12.00 WIB dan 16.00 WIB, 19.00 WIB.

Page 46: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

31

b) Dissolved Oksygen (DO)

Pengontrolan DO dilakukan selama penetasan telur sampai menjadi larva.

DO pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00

WIB dan 19.00 WIB.

3.5 Analisa Data

Data hasil penelitian yang diperoleh untuk daya tetas telur dianalisis secara

manual dengan menggunakan analisis keragaman sesuai dengan rancangan

yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3

kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui pengaruh

perlakuan digunakan analisis keragaman atau uji F, apabila nilai F terjadi berbeda

nyata atau berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil

(BNT) untuk menentukan perlakuan yang memberi respon terbaik. Dari uji ini

dilanjutkan dengan analisis regresi.

Page 47: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Embrio

Telur umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses

perkembangan telur hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada

saat inkubasi dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi,

blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya

menetas Pengamatan perkembangan telur dilakukan dengan menggunakan

mikroskop dengan mengamati setiap fase perkembangan embrio mulai dari

fertilisasi hingga menetas (Yuliyanti, 2016). Lama waktu yang dibutuhkan untuk

setiap tahap perkembangan pada ikan baung yang dipelihara dalam media pH

yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7, pH 8 dan pH 9.

Embriogenesis

pH 6,0 pH 7,0 pH 8,0 pH 9,0

Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit

Telur Fertil 0 0 0 0 0 0 0 0

Cleavage 3 32 3 29 3 29 3 30

Morula 3 34 3 32 3 31 3 32

Blastula 5 59 5 55 5 43 5 48

Gastrula 9 03 8 59 8 52 9 00

Organogenesis 19 20 19 15 19 0 19 07

Menetas 31 22 30 44 29 47 30 38

Perkembangan embrio ikan baung ini diawali dengan telur fertil dimana

telah terjadi pembuahan setelah proses stripping atau pemijahan buatan terjadi.

Pembuahan telur ini terjadi saat sel telur dibuahi sel sperma yang membentuk

zigot. Telur ikan baung memilika sifat adhesive dan transparan yang biasanya

melekat pada subtrat.

Page 48: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

33

4.1.1 Telur Fertil

Hasil pengamatan menunjukan proses awal perkembangan embrio ikan

baung yang dimulai saat terjadinya pembuahan (fertilisasi) pada saat sel telur dan

sel sperma yang membentuk zigot. Proses pemijahan ini dilakukan saat pagi hari

dan dilanjutkan perkembangan embrio ikan baung terjadi pada pagi hari. Menurut

Putri et al.(2013), menyatakan bahwa ikan memijah setelah penyuntikan kedua.

Telur yang terbuahi akan berwarna transparan, jika berwarna putih susu berarti

telur tidak dibuahi dan harus segera dipisahkan agar air tidak keruh atau berbau.

(a) (b)

Gambar 9. Telur Fertil (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel)

Fase pembelahan dimulai pada saat blastodisk telah terbentuk dan

membelah menjadi dua sampai sekitar 32–64 sel. Pada fase pembelahan,

blastodisk membelah sesuai bidang pembelahan dan membelah menjadi dua

dengan bentuk yang sama, proses tersebut berlanjut seterusnya sampai dengan

fase morula (Cindelaras et al., 2015).

Pada proses tahapan pembelahan pertama atau dapat dikenal dengan

tahap perkembangan 2 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel

tunggal yang menghasilkan dua buah sel yang berukuran lebih kecil dan

bentuknya yang sama. Proses pembelahan pertama terjadi setelah telur

Korion

Page 49: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

34

mengalami fertilisasi kemudian terjadi perkembangan embrio dengan munculnya

sel yang kemudian membelah secara mengganda sampai membentuk 32 sel dan

kemudian akan dilanjutkan pada fase morula (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Pada pengamatan embrio ikan baung pembelahan pertama atau

pembentukan 2 sel pada pH 6 selama 1 jam 20 menit, pada pH 7 selama 1 jam 17

menit, pH 8 selama 1 jam 14 menit dan pH 9 selama 1 jam 16 menit. Pembelahan

2 sel dapat dilihat pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10. Pembelahan 2 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.3 Pembelahan Kedua (4 Sel)

Pada saat pembelahan pertama terjadi, lapisan korion mengeras sehingga

berfungsi untuk melindungi untuk proses pembelahan sel selanjutnya agar proses

selanjutnya tidak terhambat atau mengalami kerusakan (Pattipeilohy, 2013). Pada

perkembangan embrio tahap perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya

pembelahan mitosis dari kedua sel yang menghasilkan empat buah sel (Iswanto

dan Tahapari, 2011). Pada pengamatan embrio ikan baung pembelahan kedua

atau pembentukan 2 sel pada pH 6 selama 1 jam 37 menit, pada pH 7 selama 1

jam 34 menit, pH 8 selama 1 jam 31 menit dan pH 9 selama 1 jam 33 menit.

Pembelahan 4 sel dapat dilihat pada Gambar 11.

2 blastomer

Ruang

Perivitelin

Kuning Telur

Korion

Page 50: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

35

(a) (b)

Gambar 11. Pembelahan 4 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.4 Pembelahan Ketiga (8 Sel)

Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya pembelahan keempat sel

menghasilkan delapan buah sel (Iswanto dan Tahapari, 2011). Pada pengamatan

embrio ikan baung pembelahan ketiga atau pembentukan 8 sel pada pH 6 selama

1 jam 58 menit, pada pH 7 selama 1 jam 54 menit, pH 8 selama 1 jam 51 menit

dan pH 9 selama 1 jam 53 menit. Pembelahan 8 sel dapat dilihat pada gambar 12.

(a) (b)

Gambar 12. Pembelahan 4 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

Ruang

Perivitelin

4 Blastomer

Kuning Telur

Korion

Ruang

Perivitelin

8 Blastomer

Kuning Telur

Korion

Page 51: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

36

4.1.5 Pembelahan Keempat (16 Sel)

Pembelahan ke empat pada pengamatan perkembangan embrio

menghasilkan 16 blastomer. Pembelahan ini dihasilkan karena adanya

pembelahan secara duplikat pada sel yang sebelumnya (Pattipeilohy, 2013). Pada

pengamatan embrio ikan baung pembelahan keempat atau pembentukan 16 sel

pada pH 6 selama 2 jam 12 menit, pada pH 7 selama 2 jam 08 menit, pH 8 selama

2 jam 05 menit dan pH 9 selama 2 jam 07 menit. Pembelahan 16 sel dapat dilihat

pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 13. Pembelahan 16 sel (a) Gambar Literatur ( Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.6 Pembelahan Kelima ( 32 Sel)

Pada pembelahan V, blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya

lebih kecil dari pembelahan IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya

tidak beraturan lagi dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, ruang perivetilin

sudah tidak terlihat lagi (Pattipeilohy, 2013). Pada pengamatan embrio ikan baung

pembelahan kelima atau pembentukan 32 sel pada pH 6 selama 2 jam 30 menit,

pada pH 7 selama 2 jam 26 menit, pH 8 selama 2 jam 20 menit dan pH 9 selama

2 jam 24 menit. Pembelahan 32 sel dapat dilihat pada Gambar 14.

Ruang

Perivitelin

16 Blastomer

Kuning Telur

Korion

Page 52: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

37

(a) (b)

Gambar 14. Pembelahan Kelima (32 sel) (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.7 Morula

Morula merupakan pembelahan sel yang terjadi setelah sel berjumlah 32

sel dan berakhir bila sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer yang berukuran

sama akan tetapi ukurannya lebih kecil. Hasil pengamatan menunjukan stadia

morula pada telur ikan baung pada pH 6 pembelahan terjadi pada durasi waktu 3

jam 34 menit dan pada pH 7 terjadi pada durasi waktu 3 jam 32 menit, pH 8 pada

durasi waktu 3 jam 31 menit, pH 9 3 jam 32 menit. Menurut (Pattipeilohy et al.

(2013), menyatakan bahwa awal terbentuknya stadia morula adalah terbentuknya

32 sel yang merupakan turunan blastomer ke lima. Stadia morula adalah stadia

dimana blastomer-blastomer yang terbentuk akan memadat sehingga menjadi

blastodisk pada kutub anima yang membentuk dua lapisan sel.

(a) (b)

Gambar 15. Stadia Morula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

Blastomer

Korion

Ruang

Perivitelin

Ruang

Perivitelin

32 Blastomer

Kuning Telur

Korion

Kuning

Telur

Page 53: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

38

4.1.8 Blastula

Proses pembentukan blastula disebut blastulasi dimana kelompok sel-sel

anak hasil pembelahan berbentuk benda yang relatif bulat ditengahnya terdapat

rongga yang kosong disebut suloblastula (coeloblastula) sedangkan yang

berongga massif disebut steroblastula. Hasil pengamatan menunjukan stadia

Blastula pada telur ikan baung pada pH 6 pembelahan terjadi pada durasi waktu 5

jam 59 menit dan pada pH 7 terjadi pada durasi waktu 5 jam 55 menit, pH 8 pada

durasi waktu 5 jam 43 menit, pH 9 selama 5 jam 48 menit. Telur selanjutnya akan

mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses perkembangan embrio yang

menghasilkan pembentukan blastula (Yulianti et al, 2013).

(a) (b)

Gambar 16. Stadia Blastula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al.,1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.9 Gastrula

Proses awal terbentuk stadia gastrula dimana kutub anima terbentuknya

blastodisk akan berusaha membungkus kutub vegetatif dengan bergerak dan

melakukan invaginasi, sebagai proses gastrulasi. Pada fase ini terjadi penebalan

pada satu sisi pada bidang lateral ekuator kuning telur yang membentuk germ ring

(cincin germinal). Pada penelitian ini fase perisai embrio setelah pembuahan pada

pH 6 berlangsung pada 9 jam 3 menit, pada pH 7 selama 8 jam 59 menit, pada pH

8 selama 8 jam 52 menit, pada pH 9 selama 9 jam 00 menit.

Korion

Perivitelin

Kuning telur

Blastomer

Periblast

Page 54: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

39

Menurut Cindelaras et al. (2015), menyatakan bahwa setelah fase blastula

berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana blastomer menunjukan gerakan

invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan gastrocoel. Blastomer

kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang menunjukkan berlangsungnya

perisai embrio (embryo shield). Setelah fase ini berakhir kemudian dilanjutkan

dengan fase pembentukan organ.

(a) (b)

Gambar 17. Stadia Gastrula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al .,1995) dan Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.10 Organogenesis

Setelah pembentukan perisai, maka pada saat delapan jam empat puluh

sembilan menit setelah pembuahan, terjadi organogenesis. Organogenesis

dengan terbentuknya bagian-bagian seperti notokorda dari embrio yang

memanjang disisi kuning telur, bagian kepala terletak di kutub anima, bagian ekor

di bagian kutub vegetatif dan somit yang belum jelas, sehingga bentuk tubuh

embrio melengkung hampir di seluruh kuning telur dan semua ini masih

transparan. Pada pnelitian ini diketahui bahwa ikan baung mulai terbentuk organ

dimulai pada pH 6 selama 19 jam 20 menit, pada pH 7 selama 19 jam 15 menit,

pada pH 8 selama 19 jam 0 menit, pada pH 9 selama 19 jam 7 menit .

Menurut Iswanto dan Tahapari (2011), menyatakan bahwa sebelumnya

pada tahap gastrulasi, ditandai dengan terjadinya proses perluasan dan

penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora (blastopore closure,

Bakal kepala

Gastrosol

Korion

Kuning Telur

Bakal ekor

Page 55: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

40

epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh blastoderm.

Kemudia dilanjutkan pada tahap organogenesis. Dimana pada tahap

organogenesis diawali dengan terbentuknya bakal kepala dan ekor pembentukan

kepala, ekor, ruas - ruas tulang belakang, bakal mata, otolith, jantung, dan organ-

organ lainnya sudah mulai terlihat serta pigmentasi kantung kuning telur dan

penetasan larva.

(a) (b)

Gambar 18. Stadia Organogenesis (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.11 Menetas

Pada penelitian ini diketahui hasil waktu penetasan pada masing masing

perlakuan pH, penetasan ikan baung pada pH 6 mulai menetas selama 31 jam 22

menit, pada pH 7 selama 30 jam 44 menit, pada pH 8 selama 29 jam 47 menit,

pada pH 9 selama 30 jam 38 menit. Masing – masing larva tetap dipelihara dalam

akuarium, stelah kuning telur larva habis larva ikan baung diberikan makanan

tambahan berupa kuning telur dan selanjutnya diberikan cacing sutera yang telah

dicacah terlebih dahulu. Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa penetasan ikan

baung yang dilakukan di corong penetasan yang telah mengalami perkembangan

hingga menetas menjadi larva membutuhkan waktu antara 30 – 36 jam setelah

ovulasi. Setelah menetas, larva tersebut tetap dipelihara di dalam corong

penetasan selama 2 – 3 hari sampai kuning telurnya habis.

Kepala

Notokorda

Ruang

perivitelin

Korion

Ekor

Page 56: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

41

Untuk memenuhi kebutuhan energinya pasca-penetasan, larva ikan

menggunakan kuning telur (yolk egg) atau bisa disebut masa endogenous feeding.

Masa ini berakhir saat kuning telur habis dan digantikan dengan exogenous

feeding dimana larva harus bisa menerima pakan dari luar untuk bertahan hidup.

Masa peralihan dari endogenous menjadi endogenous merupakan fase yang

sangat kritis bagi larva. Oleh karena itu informasi mengenai waktu terserapnya

kuning telur sangat diperlukan agar larva tidak mengalami kematian akibat

terlambat dalam pemberian pakan (Cindelaras et al., 2015). Pada larva ikan baung

yang telah menetas dapat dilihat pada gambar 19.

(a) (b)

Gambar 19. Larva Ikan Baung (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan Larva Ikan Baung (Perbesaran 400x).

4.2 Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio

Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu

parameter kimia yang dapat mempengaruhi penetasan dan larva ikan baung.

Perubahan pH dapat mempengaruhi struktur insang serta aktifitas enzim pada

organ insang sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen. pH yang

terlalu asam atau terlalu basa akan mengganggu saat penetasan telur ikan baung.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapkale et al.(2011), menyatakan bahwa

Penetasan ikan dapat dipengaruhi oleh pH air. Dampak dari pH berkaitan dengan

Mulut

Mata

Kuning

Telur

Ekor

Page 57: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

42

umur dan tahap perkembangan dan tahap larva yang diamati dan larva sangat

sensitif terhadap perubahan pH. Rendahnya kelangsungan hidup dan

pertumbuhan yang buruk pada pH yang asam antara pH 5,5 mungkin disebabkan

oleh stres asam karena larva yang baru menetas pada umumnya lebih sensitif

terhadap pH asam daripada spesies ikan lainnya.

Data Pengamatan hubungan pH dengan perkembangan embrio dapa

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio

No Perkembangan Perlakuan

A (menit)

B (menit)

C (menit)

D (menit)

1 Stadia 1 (Cleavage) 212 209 209 210

2 Stadia 2 (Morula) 214 212 211 212

3 Stadia 3 (Blastula) 359 355 343 348

4 Stadia 4 (Gastrula) 543 539 532 540

5 Stadia 5 (Orgaogenesis) 1160 1155 1140 1147

6 Stadia 6 (menetas) 1882 1844 1787 1838

Pda hasil penelitian, grafik hubungan pH dengan perkembangan embrio

ikan baung dapat dilihat pada Gambar 20.

.

Gambar 20. Hubungan Antara pH Media Menetasan dengan Perkembangan Embrio Telur Ikan Baung, dengan Stadia 1: Zigot-Pembelahan 32 Sel (Cleavage); Stadia 2: Morula; Stadia 3: Blastula; Stadia 4: Gastrula; Stadia 5: Organogenesis; Stadia 6: Menetas.

0200400600800

100012001400160018002000

Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 Stadia 4 Stadia 5 Stadia 6

Wak

tu P

erke

mb

anga

n E

mb

rio

(M

enit

)

Perlakuan pH

6 7 8 9

Page 58: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

43

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa perkembangan embrio

pada stadia 1 (cleavage) hingga stadia 3 (blastula) masih dalam waktu

perkembangan yang hampir sama dan pada stadia 4 (gastrula) sampai 6

(menetas), waktu perkembangan embrio sudah mulai berbeda. Proses

embriogenesis dimulai dari stadia pembelahan sel telur, morula, blastula, gastrula,

dan organogenesis yang selanjutnya menetas. Waktu yang diperlukan untuk

pembelahan zigot lebih cepat dibanding pada stadia morula hingga organogenesis

dan kemudian menetas. Pada perkembangan embrio dengan selisih waktu cukup

lama dari stadia gastrula ke organogenesis. pH yang berbeda pada media

memberikan pengaruh terhadap kecepatan perkembangan embrio, yaitu semakin

tinggi pH, maka perkembangan embrio juga semakin cepat. Namun pada pH yang

cenderung asam dapat menghambatnya proses perkembangan hingga menetas.

Menurut Suhenda et al.(2009), menyatakan bahwa pada stadia morula

merupakan perkembangan embrio yang dimulai sejak pembelahan mencapai 32

sel, dan pada stadia ini ukuran sel mulai beragam. Stadia blastula dicirikan dengan

terbentuknya blastocoel dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah

menutupi sebagian besar kuning telur. Dalam proses embriogenesis

perkembangan embrio merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus -

menerus sehingga embrio selalu mengalami perubahan dari menit ke menit atau

dari jam ke jam di mana perkembangan antara satu fase dengan fase lainnya

hampir tidak jelas. Menurut Westernhagen (1988), menyatakan bahwa pada

kondisi perairan untuk penetasan telur ikan memiliki kandungan asam, akan

cenderung merugikan pada saat perkembamgan embrio dimana terjadi aktivitas

osmotik yang dapat mengakibatkan berkurangnya penyerapan air pada ruang

perivitelline sehingga dapat mengakibatkan kadar air menurun dan dapat

menurunkan resisten terhadap deformasi.

Page 59: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

44

4.3 Hubungan pH dengan Kecepatan Menetas

Penetasan terjadi dengan cara penghancuran khorion oleh enzim yang

dilakukan oleh kelenjar ektoderm dan oleh gerakan-gerakan embrio akibat dari

factor luar maupun dalam. Dari hasil pengamatan telah diperoleh bahwa

kecepatan menetas terbaik pada pH 8 kemudian berurutan pH 9 , pH 7 kemudian

pH 6. Menurut Effendie (2002), menyatakan bahwa penetasan terjadi dimana saat

terakhir pada masa pengeraman sebagai hasil dari proses sehingga embryo keluar

dan cangkangnya. Pada saat akan terjadi penetasan kekerasan korion akan

menurun. Hal ini bisa disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya

yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharynx. Dalam proses ini

pH berperan dengang kadar yang optimum yakni 7,9 – 9,6.

Tabel 3. Rerata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung

Perlakuan Ulangan

Total Rerata (jam) 1 2 3

A (pH 6) 31,32 31,15 31,18 93,65 31,22

B (pH 7) 30,45 30,42 30,44 91,31 30,44

C (pH 8) 29,35 29,50 29,55 88,40 29,47

D (pH 9) 30,37 30,32 30,45 91,14 30,38

Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan kecepatan menetas pada

masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Rata-Rata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung

27.5028.0028.5029.0029.5030.0030.5031.0031.5032.00

6 7 8 9

waktu

Kecepata

n M

eneta

s

(jam

)

Perlakuan pH

Page 60: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

45

Berdasarkan gambar diketahui bahwa waktu rata-rata telur ikan baung

menetas pada perlakuan A selama 31 jam 22 menit, perlakuan B selama 30 jam

44 menit, perlakuan C selama 29 jam 47 menit perlakuan D selama 30 jam 38

menit. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap waktu

penetasan telur ikan baung dilakukan uji sidik ragam pada Tabel 4.

Tabel 4. Sidik Ragam Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung.

SK Db JK KT FH F5% F1%

Perlakuan 3,00 4,61 1,54 260,56** 4,07 7,59

Acak 8,00 0,047 0,006

Total 11,00 4,66

Keterangan: ** berbeda sangat nyata

Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F Hitung > F5% dan

F1% yang berarti bahwa pH media yang berbeda memberikan pengaruh nyata

terhadap kecepatan menetas ikan baung. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh

terkecil dari setiap perlakuan, maka dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)

yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung

Notasi C D B A

Notasi

29,47 30,38 30,44 31,22

C 29,47 0 a

D 30,38 0,91** 0 b

B 30,44 0,97** 0,06ns 0 b

A 31,22 1,75** 0,84** 0,78** 0 c

Keterangan: ns : tidak berbeda nyata ** : berbeda nyata

* : berbeda sangat nyata Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan antara perlakuan pH yang

berbeda terhadap kecepatan waktu menetas ikan baung dilakukan perhitungan

polynomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 22.

Page 61: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

46

Gambar 22. Grafik Regresi Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung

Berdasarkan grafik diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan

tersebut didapatkan hasil kecepatan menetas dengan persamaan y = 56,268 –

6,698x + 0,4233x2 dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8515 dan x

maksimum 7,9 serta y maksimum sebesar 29,77 yaitu 29 jam 47 menit. Menurut

Tataje et al.(2015), menyatakan bahwa salah satu faktor penting yang membatasi

pemeliharaan organisme air adalah pH. Oleh karena itu, nilai pH air memiliki peran

penting dalam komposisi komunitas biotik. Beberapa penelitian telah

mengidentifikasi bahwa inkubasi yang dilakukan di perairan asam, dengan pH di

bawah 5,5, dapat menyebabkan kematian tinggi selama proses penetasan. Efek

berbahaya dari pH asam dapat dengan mudah diamati pada membran telur yang

ditandai munculnya gelembung yang menempel pada larva. Hal ini membuat telur

mengambang di permukaan incubator. Dapat terjadi kerusakan aktivitas osmotik

koloid perivitelline sehingga dapat mengurangi penyerapan kuning telur pada

media air yang dibudidayakan dengan nilai pH rendah. Bersama dengan serapan

air yang lebih rendah, kemampuan untuk melawan deformasi oleh tindakan

mekanis menurun. Empat jam setelah pembuahan, sebagian besar telur diinkubasi

pada pH rendah mengalami mati dan terjadi pembusukan. Dalam penelitian yang

y = 56,268 - 6,698x + 0,4233x2

R² = 0,8515

28

29

30

31

32

5 6 7 8 9 1 0

Kecepata

n M

eneta

s (

%)

Perlakuan pH

Page 62: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

47

diamati, diameter telur yang lebih kecil diinkubasi pada pH 6.0 dan diamati hidrasi

yang lebih rendah dari ruang perivitelline dibandingkan dengan telur yang

diinkubasi di perairan dengan nilai pH netral.

4.4 Hubungan pH dengan Daya Tetas Telur

Pada hasil pengamatan daya tetas telur ikan baung dengan perlakuan pH

yang berbeda telah diperoleh hasil bahwa berbanding lurus dengan peningkatan

daya tetas telur hingga mencapai pH optimal. Untuk daya tetas ikan baung media

air harus dalam kisaran pH yang baik agar tidak menghambat perkembangan telur

atau menghambat proses penyerapan kuning telur. Menurut Suhenda et al.(2009),

menyatakan bahwa penetasan dapat terjadi karena kerja mekanik dan kerja

enzimatik. Kerja mekanik disebabkan pada saat embrio sering mengubah

posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya atau karena embrio lebih

panjang dari lingkungannya dalam cangkang. Penetasan terjadi akibat dari

pergerakan embrio di dalam telur, aktivitas enzim, dan unsur kimia lain yang

dikeluarkan kelenjar endodermal di daerah pharynx embrio. Proses ini dapat

dipengaruhi oleh faktor internal antara lain kerja hormon dan volume kuning telur

sedangkan faktor eksternal salah satunya ialah pH air. Data rerata nilai

perhitungan daya tetas telur ikan baung pada masing-masing perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata Persentase Nilai Perhitungan Daya Tetas Telur Ikan Baung.

Perlakuan Ulangan

Total Rerata (%) 1 2 3

pH 6 60,00 66,67 62,22 188,89 62,96

pH 7 75,55 77,78 73,33 226,66 75,55

pH 8 82,22 80,00 82,22 244,44 81,48

pH 9 84,44 82,22 80,00 246,66 82,22

Page 63: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

48

Dari tabel terlihat bahwa setiap perlakuan menunjukkan daya tetas telur

yang berbeda. Pada saat akan terjadi penetasan, kekerasan chorion semakin

menurun. Hal ini disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya yang

dikeluarkan oleh kelenjar endodermal (Effendie, 2002). Hasil penelitian mengenai

hubungan pH dengan daya tetas telur ikan baung pada masing-masing perlakuan

dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Rata-Rata Daya Tetas Telur Ikan Baung

Berdasarkan grafik diketahui bahwa persentase rata-rata jumlah telur

menetas yang didapatkan dari masing-masing perlakuan yakni perlakuan A (pH 6)

daya tetas sebesar 62,96%, perlakuan B (pH 7) sebesar 75,55% dan perlakuan C

(pH 8) sebesar 81,48%, perlakuan D (pH 9) sebesar 82,22%. pH memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap penetasan telur ikan baung. Menurut

Sapkale et al (2011), menyatakan bahwa ditemukan persentase penetasan telur

94% hingga 99% pada pH 7,5. Tingkat daya tetas ini dapat dipengaruhi oleh

kualitas pH perairan. Tingkat daya tetas pada perairan yang terlalu asam maupun

basa akan cenderung menurun. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH yang

berbeda terhadap daya tetas telur ikan baung dilakukan uji sidik ragam seperti

terlihat pada Tabel 7.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

A (6) B (7) C (8) D (9)

Day

a Te

tas

Telu

r (%

)

Perlakuan pH

Page 64: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

49

Tabel 7. Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Baung

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

JK KT F

hitung

F 5%

F 1%

Perlakuan 3 714,23 238,08 41,30** 4,07 7,59

Acak 8 46,12 5,76

Total 11 760,35

Keterangan: ** berbeda sangat nyata

Data di atas menunjukkan hasil F hitung > F 5% dan F 1%, sehingga dapat

dikatakan bahwa perlakuan pH yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap

daya tetas telur ikan baung. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh terkecil dari

setiap perlakuan, dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) yang disajikan

pada Tabel 8.

Tabel 8. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Baung

Perlakuan

A B C D Notasi

62,96 75,55 81,48 82,22

A 62,96 0,0 a

B 75,55 12,59 ** 0,0 b

C 81,48 18,52 ** 5,93 * 0,0 c

D 82,22 19,26 ** 6,67 ** 0.74ns 0,0 c

Keterangan: ns : tidak berbeda nyata * : Berbeda nyata

** : berbeda sangat nyata Dari hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan pH yang

berbeda, berpengaruh sangat nyata terhadap daya tetas telur ikan baung. Untuk

mengetahui lebih lanjut hubungan antara perlakuan pH yang berbeda terhadap

daya tetas ikan baung, dilakukan perhitungan polynomial orthogonal yang

disajikan pada Gambar 24.

Page 65: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

50

Gambar 24. Grafik Regresi Nilai Daya Tetas Telur (HR) Ikan Baung

Berdasarkan grafik diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan

tersebut didapatkan hasil kecepatan menetas dengan persamaan y = 27,782 +

6,3697x dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8004. Menurut Oyen et al.

(1991), menyatakan bahwa nilai pH 7,9 – 8,6 merupakan kondisi yang optimum

bagi penetasan telur ikan, terjadi terhambatnya penetasan telur sangat

dipengaruhi oleh berkurangnya sekresi enzim chorionase yang disebabkan oleh

rendahnya pH. Padahal enzim chorionase ini bekerja secara optimum pada

perairan pH 8,5. Maka dari itu perlu dihindari nilai pH dibawah netral atau asam

agar tidak mengganggu perkembangan embrio hingga menetasnya telur ikan.

4.5 Hubungan pH dengan Abnormalitas Larva

Abnormalitas larva adalah keadaan larva yang tidak normal. Abnormalitas

larva dapat diketahui dengan melihat secara langsung yang biasanya dicirikan

dengam badan dan ekor yang bengkok dan tidak tumbuh dengan normal serta

terdapat telur yang menetas dengan kantung telur saling menempel. Menurut

Arsianingtyas (2009), menyatakan bahwa pada saat proses penetasan

berlangsung terjadinya abnormalitas yang terjadi akibat terganggunya aktivitas

enzim penetasan pada telur sehingga mengakibatkan pengerasan pada chorion,

sehingga menghambat proses penetasan telur dan dapat mengakibatkan

y = 27,782 + 6,3697xR² = 0,8004

0102030405060708090

100

5 6 7 8 9 1 0

Hatc

hin

g R

ate

(%

)

Perlakuan pH

Page 66: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

51

terjadinya keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan. Selain itu,

larva ikan yang cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion)

yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah

chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan keluar dalam keadaan tubuh cacat.

Abnormalitas pada larva yang dihasilkan dapat dilihat pada pada Tabel 9.

Tabel 9. Rerata Nilai Perhitungan Abnormalitas Larva Ikan Baung

Perlakuan Ulangan

Total Rerata (%) 1 2 3

pH 6 7,40 10,00 10,71 28,11 9,37

pH 7 5,88 8,57 6,06 20,51 6,84

pH 8 8,10 5,55 5,40 19,05 6,35

pH 9 5,26 5,40 2,78 13,44 4,48

Total 81,11

Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan abnormalitas larva pada

masing-masing perlakuan dapat dilihat Gambar 25.

Gambar 25. Rata-Rata Abnormalitas Telur Ikan Baung Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa rata-rata abnormalitas

larva ikan baung pada perlakuan A (pH 6) sebesar 9,37%; perlakuan B (pH 7)

sebesar 6,84% dan perlakuan C (pH 8) sebesar 6,35%, perlakuan D (pH 9)

sebesar 4,48%. Nilai tersebut tergolong rendah karena jumlah larva abnormal

hanya berkisar antara satu sampai tiga larva yang abnormal pada setiap akuarium.

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

A (pH 6) B (pH 7) C (pH 8) D (Ph 9)

Ab

no

rma

lita

s (

%)

Perlakuan pH

Page 67: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

52

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap abnormalitas

larva ikan baung dilakukan uji sidik ragam yang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Sidik Ragam Abnormalitas Larva Ikan Baung

Sumber Keragaman

db JK KT FH F5% F1%

Perlakuan 3,00 36,55 12,18 4,99* 4,07 7,59

Acak 8,00 19,55 2,44

Total 11,00 56,10

Keterangan : * berbeda nyata

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa hasil F hitung > F 5% dan < F 1%

yang menunjukkan bahwa pH media inkubasi yang berbeda memberikan

pengaruh terhadap nilai abnormalitas ikan baung. Selanjutnya dilakukan uji BNT

yang disajikan pada Tabel 11 .

Tabel 11. Uji Beda Nyata Terkecil Abnormalitas Ikan Baung.

Perlakuan A B C D Notasi

9,37 6,84 6,35 4,48

A 9,37

0 a

B 6,84 2,53ns 0

a

C 6,35 3,02* 0,49 ns 0

b

D 4,48 4,89** 2,36 ns 1,87 ns

0 b

Keterangan ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata

** = sangat berbeda nyata

Pada abnormalitas perlakuan pada pH 9 diperoleh tingkat abnormalitas

rendah. Dari hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan pH yang

berbeda, berpengaruh terhadap nilai abnormal. Untuk mengetahui hubungan

antara perlakuan pH yang berbeda terhadap abnormalitas ikan baung, dilakukan

perhitungan polynomial orthogonal pada Gambar 26.

Page 68: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

53

Gambar 26. Grafik Regresi Abnormalitas Ikan Baung

Dari grafik regresi diatas dapat diperoleh persamaan y= 18,127 – 1,5157x

dengan nilai R2 = 0,6142. Menurut Wahyuningtias (2016), menyatakan bahwa

pengamatan abnormalitas pada penelitian meliputi bentuk tubuh dan bentuk ekor.

Abnormalitas disebabkan karena faktor eksternal yaitu karena kualitas air yang

tidak sesuai dan faktor internal yaitu kualitas telur telur yang buruk antara lain

sangat ditentukan oleh kandungan nutrisi dalam pakan yang diberikan pada induk

sehingga ikan mengalami ketidak normalan dan pertumbuhannya tidak

berkembang dengan baik.

4.6 Hubungan pH dengan Kelangsungan Hidup Larva (Survival Rate)

Kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh

ikan yang dipelihara setelah melewati masa pemeliharaan. pH air yang berbeda

pada media pemeliharaan larva ikan baung dapat menyebabkan tingkat

kelangsungan hidup yang berbeda. Menurut Nisa et al. (2013), menyatakan bahwa

perubahan pH pada media larva ikan berpengaruh sangat nyata terhadap

kelangsungan hidup ikan itu sendiri. Pada pH yang cenderung asam dapat

merendahkan nilai kelangsungan hidup larva ikan. Rerata nilai perhitungan

kelangsungan hidup larva ikan baung dapat dilihat pada Tabel 12.

y = 18,127 - 1,5157xR² = 0,6142

0

2

4

6

8

10

12

5 6 7 8 9 10

AB

NO

RM

ALI

TAS

(%)

PERLAKUAN PH

Page 69: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

54

Tabel 12. Rerata Persentase Nilai Perhitungan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung

Perlakuan Ulangan

Total Rerata (%) 1 2 3

pH 6 55,55 60,0 60,07 175,62 58,54

pH 7 73,52 65,71 69,69 208,92 69,64

pH 8 83,78 72,22 78,37 234,37 78,12

pH 9 73,68 81,08 83,33 238,09 79,36

Total 857,00

Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan kelangsungan hidup larva

pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung.

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan rata-rata jumlah kelangsungan

hidup larva pada perlakuan A (pH 6) sebesar 58,54%; perlakuan B (pH 7) sebesar

69,64% dan perlakuan C (pH 8) sebesar 78,12%, perlakuan D (pH 9) sebesar

79,36%. Kelangsungan hidup larva ikan baung berbeda pada setiap perlakuan

media penetasan yang berbeda. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH

yang berbeda terhadap kelangsungan hidup larva ikan baung dilakukan uji sidik

ragam yang disajikan pada Tabel 13.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

6 7 8 9

Ke

lang

su

ng

an H

idup

La

rva

(%

)

Perlakuan pH

Page 70: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

55

Tabel 13. Sidik Ragam Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung.

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

JK KT F hitung F 5% F 1%

Perlakuan 3 831,28 277,09 13,70 3,84 7,59

Acak 8 161,80 20,23 **

Total 11 993,09

Keterangan: ** = berbeda sangat nyata

Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa F hitung > F 5% dan F

1%, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan pH pada media penetasan yang

berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap

kelangsungan hidup ikan baung. Untuk mengetahui pengaruh terkecil dari

perlakuan, dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Uji Beda Nyata Terkecil Kelangsungan Hidup Ikan Baung.

Perlakuan A B C D Notasi

58,54 69,58 78,53 79,98

A 58,54

0 a

B 69,58 11,10*

0 b

C 78,53 19,58** 8,48** 0

c

D 79,98 20,82** 9,72** 1,24ns

0 c

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Dari uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan pH media penetasan yang

berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap

kelangsungan hidup larva ikan baung. Pada pH 8 dan 9 memperoleh hasil tidak

terlalu berbeda. Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan antara perlakuan pH

media penetasan yang berbeda terhadap kelangsungan hidup larva ikan baung

dilakukan perhitungan polynomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 28.

Page 71: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

56

Gambar 18. Grafik Regresi Nilai Kelangsungan Hidup Larva Berdasarkan grafik di atas menunjukkan hasil bahwa nilai rerata

persentase kelangsungan hidup larva didapatkan persamaan y = 18,202 +

7,0953x dengan R² = 0,7604. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,76 yang berarti

bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh terhadap

persentase daya tetas telur sebesar 76 % dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

Menurut Sapkale et al. (2011), menyatakan bahwa dalam tingkat kelulusan hidup

larva ikan dapat dipengaruhi oleh pH dalam perairan. Pengaruh pH sangat

berhubungan dengan umur dan tahap perkembangan larva. Rendahnya

kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang buruk pada pH 5,5 dapat disebabkan

oleh stres yang diakibatkan oleh kondisi asam sehingga dapat menyebabkan

kematian.

4.7 Kualitas Air

Faktor kualitas air sangat menentukan terhadap baik atau tidaknya dalam

penetasan telur dan kelangsungan hidup larva ikan. Kualitas air yang terkontrol

dengan baik akan membantu dalam penetasan telur dan kelangsungan hidup larva

ikan baung. Pengukuran kualitas air dilakukan selama penelitian. Kualitas air yang

y = 18,202 + 7,0953xR² = 0,7604

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

5 6 7 8 9 1 0

Su

rviv

al R

ate

(%

)

Perlakuan pH

Page 72: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

57

diamati yaitu oksigen terlarut dan derajat keasaman. Kisaran nilai pengamatan

kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Parameter Kualitas Air

Parameter Hasil pengamatan Literatur

Suhu 24 – 25,5 oC 20 – 30 C (Setiawan, 2013)

DO 6,3 – 7,0 >4 ppm (Kordi, 2008)

Hasil diatas menunjukkan bahwa suhu dalam pengamatan diperoleh

berkisar 24 -25,5 oC. Hal ini sesua dengan pernyataan Kordi (2009), bahwa kisaran

suhu perairan tropis berkisar 28 -32 oC, sedangkan pada suhu 18 – 25 oC ikan

masih bertahan hidup, namun nafsu makan berkurang. suhu 12 – 18 oC mulai

berbahaya bagi ikan.

Kandungan oksigen terlarut di dalam media pemeliharaan menunjukkan

bahwa nilai DO yang diperoleh berkisar antara 6,3 – 7,0. Dari hasil pengamatan

tersebut kandungan DO dikatakan baik untuk kegiatan biota air. Menurut Tang

(2002), menyatakan bahwa sifat fisika kimia air mempengaruhi kehidupan ikan

baung, seperti suhu air sebaiknya berkisar antara 26 - 30°C, pH berkisar antara 4

- 9, kandungan oksigen terlarut minimal 1 mg/liter dan optimal adalah 5-6 ppm.

Page 73: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pH yang berbeda terhadap

penetasan telur dan larva ikan baung, dapat disimpulkan bahwa:

pH berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan baung, kecepatan

waktu menetas, daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva. Namun,

perbedaan pH tidak berpengaruh terhadap abnormalitas larva ikan baung.

Waktu penetasan telur tercepat diperoleh pada pH 8 dengan waktu

penetasan 29 jam 47 menit. Persentase daya tetas tertinggi diperoleh pada

pH 9 sebesar 82,22% dan nilai abnormalitas larva tertinggi diperoleh pada

pH 6 sebesar 9,37%, sedangkan persentase kelangsungan hidup tertinggi

pada pH 9 sebesar 79,36%.

5.2 Saran

Sebaiknya para pembudidaya ikan baung dapat memanfaatkan pH untuk

penetasan dan kelangsungan hidup larva ikan baung menghindari pH dibawah

nilai 7.

Page 74: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

59

DAFTAR PUSTAKA

Arsiningtyas, H. 2009. Pengaruh Kejutan Suhu Panas Dan Lama Waktu Setelah Pembuahan Terhadap Daya Tetas Dan Abnormalitas Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Artikel Ilmiah Skripsi. UNAIR.

Bhagawati, D., M.N Abulias, dan A. Amurwanto . 2013. Fauna Ikan Siluriformes

dari Sungai Serayu, Banjaran, dan Tajum di Kabupaten Banyumas. Jurnal MIPA. 36 (2): 112 – 122.

Cindelaras, S., Anjang Bangun Prasetio, dan Eni Kusrini. 2015. Embryonic and

Early Larvae Development of Wildbetta (Betta imbellis LADIGES 1975). Widyariset. 1 (1) : 1–10.

Diana, A. N., E. D. Masithah., A. T. Mukti dan J. Triastuti. 2010. Embriogenesis

dan Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Salinitas Berbeda. FPIK UNAIR.

Effendie, M. Ichsan. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka

Nusantara:Yogyakarta. 163 Hlm. Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. 179 Hlm. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan: Buku SMK Jilid 1. Departemen Pedndidikan

Nasional: Jakarta. 212 Hlm. Hadid, Y., M. Syaifudin dan Mohamad Amin. 2014. Pengaruh Salinitas Terhadap

Daya Tetas Telur Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2 (1) :78-92.

Huwoyon, G. H., N. Suhenda dan A. Nugraha. 2011. Pembesaran Ikan Baung

(Hemibragus nemurus) yang Diberi Pakan Berbeda Dikolam Tanah. Berita Biologi. 10 (4).

Iswanto, B. dan E. Tahapari. 2011. Embriogenesis dan Perkembangan Larva Patin

Hasil Hibridisasi Antara Betina Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus sauvage, 1878) dengan Jantan Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal bleeker, 1846) dan Jantan Patin nasutus (Pangasius nasutus Bleeker, 1863). Jurnal Riset Akuakultur. 6 (2): 169 – 186.

Kimmel, C. B., W. W. Ballard, S. T. Kimmel, B. Ullman dan T. F. Schilling. 1995.

Stages of Embryonic Development of Zebrafish. Developmental Dynamics. 203: 253-310.

Kordi K., M. Ghufran H. 2008. Budi Daya Perairan Buku Pertama. PT. Citra Adiya

Bakti: Bandung. 444 Hlm. Kordi K., M. Ghufran H. 2009. Budi Daya Perairan Buku Kedua. PT. Citra Adiya

Bakti: Bandung. 520 Hlm.

Page 75: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

60

Marbun. T. P., D. Bakti dan Nurmatias. 2013. Pembenihan Ikan Maskoki (Carrasius auratus) Dengan Menggunakan Berbagai Substrat. Universitas Sumatera Utara.

Mambrasar, P., R. Monijung., O. Kalesaran, J. Ch. Watung. 2015. Sintasan dan

Pertumbuhan Larva Ikan Ikan Lele (Clarias sp) Hasil Penetasan Telur Melalui Penambahan Madu dalam Pengenceran Sperma. (Survival and Growth of Catfish Larvae Clarias sp Hatched from Eggs Using honey in Sperm Dilution). Jurnal Budidaya Perairan. 3 (1): 101-107.

Manantung, V. O., Hengky J. Sinjal, Revol Monijung. 2013. Evaluasi Kualitas,

Kuantitas Telur Dan Larva Ikan Patin Siam (Pangasianodon hiphopthalmus) dengan Penambahan Ovaprim Dosis Berbeda. Budidaya Perairan. 1 (3): 14 - 23

Manurung, V. R., Yunasfi., dan Desrita. 2013. Studi Aspek Reproduksi Ikan Baung

(Mystus nemurus Cuvier Valenciennes) Di Sungai Bingai Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Muflikhah, N., S. Nurdawati, dan S. Nurul Aida. 2006. Prospek Pengembangan

Plasma Nutfah Ikan Baung (Mystus nemurus C.V.). BAWAL 1 (1). Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Nisa, K., Marsi dan M. Fitrani. 2013. Pengaruh pH pada Media Rawa Terhadap

Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Chana satriata). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1): 57-65.

Oyen,F.G.F., L.E.C.M.M. Camps and S.E. Wendelaar Bonga. 1991. Effect of acid

stress on the embryonic development of the common carp (Cyprinus carpio). Elsevier. Aquatic Toxicology. 19 : 1-12.

Pattipeilohy I. G., A. Gani, H. Tahang. 2013. Perkembangan Embriogenesis Ikan

Mandarin (Synchiropus splendidus). Purba. M. 2006. Kimia untuk SMA Kelas XI. Erlangga: Jakarta. 325 hlmn. Putri, D. A., Muslim dan M. Fitrani. 2013. The Hatching Of Climbing Perch Eggs

(Anabas testudineus) With Different Incubation. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1 (2): 2303-2960.

Renita, R., E. I. Raharjo. 2016. Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Penetasan, Daya

Tetas Telur dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta Splendens). Artikel. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muhammadiyah Pontianak.

Rudiyanti. S. dan A. D. Ekasari. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas

(Cyprinus carpio Linn) Sapkale ,P.H., R.K. Singh dan A.S. Desai. 2011. Optimal water temperature and

pH for development of eggs and growth of spawn of common carp (Cyprinus carpio). Journal of Applied Animal Research. 39 (4) : 339 – 345.

Page 76: FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS …repository.ub.ac.id/7182/1/IGA PUSPA WARDANI.pdf · JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih

61

Setiawan, F. 2013. Budidaya Ikan Koan di Kolam Karamba. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan. Surabaya. Setyono, B. 2009. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bahan Pada Pengencer

Sperma Ikan “ Skim Kuning Telur “ Terhadap Laju Fertilisasi, Laju Penetasan Dan Sintasan Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.). Gamma. 5 (1) : 01 – 12.

Suhenda, N., R. Samsudin, dan A. H. Kristanto. 2009. Peranan Lemak Pakan

dalam Mendukung Perkembangan Embrio, Derajat Penetasan Telur, dan Sintasan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus). Akuakultur. 4 (2) : 201-211.

Surbakti, T. 2015. Performa Sintasan Dan Pertumbuhan Larva Ikan Gabus

Channa Striata Pada Perlakuan pH Yang Berbeda. Skripsi. IPB.: Bogor. Susanto, H. 2015. Budi Daya 25 Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya : Jakarta

Timur. 226 Hlm. Tang, U. M. 2002. Teknik Budidaya Ikan Baung. Kanisius. 64 Hlm. Tataje, D. A. R., B. Baldisserotto dan E. Z. Filho. 2015. The effect of water pH on

the incubation and larviculture of curimbatá Prochilodus lineatus(Valenciennes, 1837) (Characiformes: Prochilodontidae). Neotrop. ichthyol. 13 (1) : 1679-6225.

Wahyuningtias, I. 2016. Pengaruh suhu terhadap larva ikan tambakan ( Helostoma

temminchii). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Westernhagen, H. V. 1988. Effects of pollutants on fish eggs and larvae. Fish

Physiology. Boston, Academic Press.

Windy., H. W., dan Ani Suryanti. 2014. Kebiasaan Makanan Ikan Baung (Mystus nemurus C.V) di Sungai Bingai Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Barat. Medan.

Yulianti, S., P. Hari C.S. Dan T.Winanto 2012. Proses Embriogenesis dan

Perkembagan Stadia Awal Larva Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) Pada Suhu dan Salinitas Berbeda. Jurnal Hasil Riset e-jurnal. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik. Universitas Jenderal Soedirman.

Yuliyanti, B. E. 2016. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Telur Dan Larva

Ikan Tor (Tor Tambroides). Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung: Bandar Lampung.