faktor klaim argentina terhadap kedaulatan...
TRANSCRIPT
FAKTOR KLAIM ARGENTINA TERHADAP
KEDAULATAN KEPULAUAN MALVINAS SETELAH
REFERENDUM 2013
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
Hazmi Rahman Adiwibowo
111111 30000 22
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
FAKTOR KLAIM ARGENTINA TERHADAP KEDAULATAN KEPULAUAN
MALVINAS SETELAH REFERENDUM 2013
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2018
Hazmi Rahman Adiwibowo
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Hazmi Rahman Adiwibowo
NIM : 111111 30000 22
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
FAKTOR KLAIM ARGENTINA TERHADAP KEDAULATAN KEPULAUAN
MALVINAS SETELAH REFERENDUM 2013
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, Juli 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
Ahmad Al Fajri, M.A. Teguh Santosa, M.A.
NIP. NIP.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
FAKTOR KLAIM ARGENTINA TERHADAP KEDAULATAN
KEPULAUAN MALVINAS SETELAH REFERENDUM 2013
oleh
Hazmi Rahman Adiwibowo
1111113000022
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9
Juli 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Al Fajri, M.A. Eva Mushoffa, M.A.
NIP. NIP.
Penguji I, Penguji II,
Ahmad Al Fajri, M.A. Inggrid Galuh Mustikawati, MHSPS.
NIP. NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 9 Juli 2018
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta
Ahmad Al Fajri, M.A
NIP.
v
ABSTRAK
Kepulauan Malvinas merupakan wilayah yang terletak di sebelah Timur
bagian Selatan Argentina. Kepulauan yang beribukotakan di Port Stanley ini
memiliki sejarah panjang terkait sengketa kepemilikannya. Berawal dari
pendudukan negara-negara kolonial seperti Inggris, Perancis dan Spanyol di
kawasan Amerika Selatan yang sedang memperluas wilayah jajahannya. Dengan
berakhirnya kekuasaan Spanyol di wilayah Atlantik Selatan, dan merdekanya
daerah-daerah bekas jajahannya, maka Argentina pada tahun 1811 yang telah
lepas dari pengaruh Spanyol mulai melakukan klaim terhadap wilayah bekas
jajahan Spanyol, salah satunya adalah Kepulauan Malvinas. Inggris yang juga
pernah melakukan penjelajahan dan juga pendudukan ke wilayah Atlantik Selatan
juga merasa memiliki Kepulauan Malvinas tersebut. Semenjak saat itulah konflik
mengenai sengketa kepemilikian Kepulauan Malvinas antara Argentina dan
Inggris terjadi dan memuncak pada tahun 1982 ketika terjadinya perang
Falkland/Malvinas yang berakhir dengan kekalahan Argentina. Setelah
berakhirnya perang 1982, Argentina terus berupaya untuk melakukan klaim
terhadap kepemilikan kepulauan tersebut. Upaya yang dilakukan oleh Argentina
dalam mengklaim Kepulauan Malvinas dengan mengangkat isu mengenai aktifitas
militer yang dilakukan oleh Inggris di Kepulauan Malvinas sehingga
menyebabkan terancamnya keamanan nasional Argentina dan beberapa negara
Amerika Selatan lainnya, aktifitas pengelolaan hidrokarbon ilegal yang dilakukan
di utara lepas pantai Kepulauan Malvinas, dan menolak referendum yang terjadi
pada tahun 2013.
Skripsi ini mencoba memaparkan faktor apa saja yang melatarbelakangi
Argentina dalam melakukan klaim terhadap Kepulauan Malvinas setelah
referendum 2013. Konsep yang digunakan adalah faktor internal – eksternal dari
kebijakan luar negeri Alex Mintz dan Karl DeRouen, keamanan nasional dari
Stolberg dan Geopolitik menurut Griffiths. Tipe penelitian bersifat kualitatif dan
menggunakan data sekunder dari berbagai sumber.
Kata Kunci : Kepulauan Malvinas, Sengketa Malvinas, Aktifitas Militer,
Pengelolaan Hidrokarbon, Referendum, Kebijakan Luar Negeri, Economic
Interest, Detterence, Keamanan Nasional, Geopolitik.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Faktor Klaim Argentina Terhadap Kedaulatan Kepulauan
Malvinas Setelah Referendum 2013” Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik
tenaga, ide-ide, dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ahmad Al Fajri, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen penguji skripsi I
yang telah amat sangat membantu terselesaikannya skripsi ini.
2. Ibu Eva Mustoffa, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Program Studi
Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga telah
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dan lulus dari UIN Jakarta.
3. Bapak Teguh Santosa, sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah
memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Ibu Inggrid Galuh Mustikawati, MHSPS selaku dosen penguji II skripsi
penulis, yang telah memberikan arahan dan saran-saran kepada penulis
supaya skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Terutama untuk Orang tua, Bapak Suhaemi dan Ibu Rita Hidayati selaku
orang tua penulis yang telah memberikan dorongan semangat, berdoa
vii
untuk kebaikan dan kesuksesan anak-anaknya, dukungan baik moral
maupun material selama penulis menuntut ilmu. Terimakasih.
6. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam
meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwa.
7. Terima kasih untuk staff Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, dan
Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidyatullah.
8. Teman-teman jurusan Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif
Hidayatullah angkatan 2011 dan yang lainnya, yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, yang suka berdiskusi bersama dalam membantu proses
penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman Karang Taruna RW 016 Bhinneka Karya Bhakti, Bukit
Nusa Indah yang selalu membantu proses pengerjaan skripsi ini dan selalu
memberikan semangat agar skripsi ini dapat segera terselesaikan.
Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat
imbalan dari Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan ke depan.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .......................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ....................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xii
BAB IPENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah.......................................................................... 1
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
C. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 8
D. Kerangka Teori ............................................................................... 10
E. Metode Penelitian ........................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 17
BAB IIGAMBARAN UMUM KEPULAUAN MALVINAS
A. Asal Mula Nama Kepulauan Malvinas .......................................... 21
B. Sejarah Kepulauan Malvinas .......................................................... 23
BAB III Aktifitas Inggris di Kepulauan Malvinas
A. Aktifitas Pengelolaan Hidrokarbon ................................................ 32
B. Aktifitas Militer Inggris di Kepulauan Malvinas ........................... 35
C. Referendum 2013 ........................................................................... 41
BAB IVANALISA FAKTORPENYEBAB KLAIM KEDAULATAN
KEPULAUAN MALVINAS OLEH ARGENTINA SETELAH
REFERENDUM 2013
A. Terancamnya Kemanan Nasional Argentina Akibat Aktifitas Militer
Inggris di Kepulauan Malvinas ..................................................... 46
B. Nilai Geopoloitik Malvinas Terhadap Kepentingan Ekonomi
Argentina ....................................................................................... 51
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 56
ix
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 62
x
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar I.1 Peta Wilayah Kepulauan Falkland (Malvinas) ............................ 1
Gambar III.1 Salah Satu Kompleks Pengeboran Minyak Bumi di Lepas Pantai
Kepulauan Malvinas................................................................... 33
Gambar III.2 RAF Mount Pleasant, Pangkalan Udara Inggris di Kepulauan
Malvinas ..................................................................................... 37
Gambar III.3 Typhoon Jet, Pesawat Tempur Inggris yang beroperasi di wilayah
udara Kepulauan Malvinas ......................................................... 38
Gambar III.4 HMS Dragon, Kapal Perang Perusak milik Kepulauan Malvinas 39
Tabel III.1 Hasil Voting Referendum Kepulauan Malvinas 2013 ................. 41
xii
DAFTAR SINGKATAN
OAS Organisasi Amerika Selatan
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
UK United Kingdom
CFK Cristina Ferandez Kirchner
OPEC Organisation of the Petroleum Exporting Countries
BFSAI British Forces South Atlantic Islands
RAF Royal Air Forces
HMS Her Majesty Ship
1
BAB I
Pendahuluan
A. Pernyataan Masalah
Permasalahan antara Argentina dan Inggris mengenai persengketaan
kedaulatan Kepulauan Malvinas (versi Argentina)/Falkland (versi Inggris); untuk
selanjutnya dalam skripsi ini disebut Malvinas, hingga tahun 2013 ketika belum
terjadinya referendum, masih belum mencapai hasil akhir dalam penyelesaiannya.
Pasalnya, dari kedua belah pihak yaitu Argentina dan Inggris masih saling
mempertahankan posisinya dalam mengklaim kedaulatan dari Kepulauan
Malvinastersebut merupakan bagian dari wilayah kedaulatan mereka. Jika dilihat
di peta, jarak antara Argentina dan Kepulauan Malvinas dengan jarak antara
Inggris dan Kepulauan Malvinas, Kepulauan Malvinas dapat dianggap merupakan
bagian dari wilayah kedaulatan Argentina.
Sumber:(www.defence.pk 2012)
Perebutan status kedaulatan kepulauan ini berawal sejak sebelum Perang
Malvinas (Falkland) pada tahun 1982, tepatnya ketika masa Imperialisme 1764
Gambar I.1 Peta Wilayah Kepulauan Falkland (Malvinas)
2
(Chenette 1987, 5). Argentina kembali gencar melakukan klaim terhadap status
kedaulatan Kepulauan Malvinas tahun 1982 ketika Argentina mengalami
kekalahan dalam Perang Malvinas. Semenjak kekalahan Argentina dalam perang
Malvinas, hubungan diplomatik bilateral Argentina dan Inggris dalam sengketa
Kepulauan Malvinas memasuki beberapa periode kondisi baik-buruk (Permata A
2013) hingga sebelum terjadinya referendum 2013.Periode pertama pada tahun
1982-1989, periode kedua pada tahun 1989-2003, periode ketiga pada tahun 2003-
2007 dan periode terakhir pada tahun 2007-2013 sebelum terjadinya referendum.
Pada periode pertama, hubungan diplomatik Argentina dan Inggris sedang
berada pada level yang paling buruk dalam hubungan diplomatik bilateral suatu
negara, kedua negara melakukan pemutusan hubungan diplomatik atau
pembekuan hubungan diplomatik (Permata A 2013). Pada periode kedua, yaitu
antara tahun 1989-2003, Argentina dan Inggris mengalami masa perbaikan
hubungan diplomatik pada masa pemerintahan Carlos Menem. Argentina dan
Inggris mengadakan pertemuan pada 19 Oktober 1989, di mana perwakilan kedua
Negara tersebut bertemu di Madrid, Spanyol untuk melakukan perundingan dan
membahas kembali pemulihan hubungan diplomatik kedua negara yang sempat
terputus (Permata A 2013). Pada masa ini, Argentina dan Inggris sepakat untuk
mengesampingkan permasalahan sengketa mengenai Kepulauan Malvinas ini
dengan membuat kerangka kedaulatan terhadap sengketa Kepulauan Malvinas
yang dikenal dengan istilah Sovereignty Umbrella (Dodds 2012, 699).
Selain terbentuknya Sovereignty Umbrella, Inggris sepakat untuk menjalin
kembali hubungan diplomatik antara Argentina dengan Inggris. Hal baik ini
3
terlihat ketika kedua duta besar dari masing-masing negara ditunjuk kembali
untuk melaksanakan tugasnya dengan dibukanya kembali kantor kedutaan di
kedua negara pada 26 Februari 1990, dimana Inggris menunjuk Sir Humprey
Maud sebagai duta besar di Argentina dan Argentina menunjuk Mario Campora
untuk menjadi duta besar di Inggris (Dodds 2012, 699) dan dengan dilanjutkannya
kembali komunikasi udara dan maritim antara Argentina dengan Inggris,
terjalinnya kembali hubungan kemitraan dalam sektor ekonomi dan perdagangan
tanpa mengungkit permasalahan Kepulauan Malvinas(Dodds 2012, 699)
Pada periode ketiga, hubungan diplomatik Argentina dan Inggris mulai
menunjukkan tren yang kembali negatif. Argentina yang pada saat itu (2003)
dipimpin oleh Nestor Kirchner, menolak keberadaan kerangka kedaulatan yang
dibuat oleh Argentina dan Inggris yaitu Sovereignty Umbrella, dan menjadikan
klaim terhadap kedaulatan Kepulauan Malvinas sebagai fokus yang harus
dikedepankan, sehingga hal ini yang menyebabkan konflik antara Argentina dan
Inggris mengenai kasus sengketa Kepulauan Malvinas ini tetap berlanjut. Pada
tahun 2003, Nestor Kirchner menghentikan ijin penerbangan menuju Kepulauan
Malvinas. Hal tersebut dilakukan untuk kembali memunculkan isu kedaulatan
Kepulauan Malvinas (Dodds 2012, 685).
Kebijakan politik luar negeri yang dijalankan oleh Nestor Kirchner berbeda
dari pemimpin Argentina sebelumnya. Perbedaan kebijakan politik luar negeri
yang terjadi pada masa Nestor Kirchner ini disebabkan karena pada tahun 2002,
sebelum terpilihnya Nestor Kirchner, Argentina mengalami kemerosotan ekonomi
sehingga terpilihlah Nestor Kirchner sebagai presiden pada tahun 2003 yang
4
memiliki fokus tujuan dalam program kebangkitan nasional dan ekonomi (McCan
2012). Nestor Kirchner juga terus mengangkat kembali isu kedaulatan Kepulauan
Malvinas ke dalam forum-forum internasional seperti Organization of American
States(OAS) hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Dodds 2012, 685).
Salah satu program kebangkitan nasional yang dicanangkan oleh Kirchner
adalah memperkuat klaim Argentina terhadap Kepulauan Malvinas dengan
memberlakukan pelarangan terhadap perusahaan-perusahaan tambang asing untuk
beroperasi disekitaran perairan Kepulauan Malvinas (McCan 2012). Masih pada
masa pemerintahannya, pada tahun 2007 Kirchner membatalkan secara sepihak
perjanjian dengan Inggris mengenai bagi hasil dari minyak bumi yang ditemukan
di perairan sekitar Kepulauan Malvinas.
Semenjak pembatalan perjanjian mengenai bagi hasil pada tahun 2007 oleh
Kirchner (Ayunigtyas 2013, 4) dari pertambangan minyak bumi di kawasan ini,
Argentina sangat sensitif terhadap segala kegiatan Inggris di kepulauan tersebut.
Seperti ketika pada tahun 2010, ketika pada masa kepemimpinan Cristina
Fernandez Kirchner, Argentina mendapati perangkat pengeboran minyak milik
Inggris, seperti Rockhopper Exploration yang bekerja sama dengan Premier Oil,
melakukan eksplorasi atau peninjauan minyak bumi di lepas pantai Kepulauan
Malvinas tersebut (Maslin 2015). Argentina berpendapat bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh Inggris di kepulauan ini bersifat ilegal karena wilayah ini masih
menjadi wilayah sengketa (BBC 2012). Dengan adanya kegiatan pengelolaan
hidrokarbon yang berada di sekitar Kepulauan Malvinas, Argentina melakukan
5
blokade terhadap semua kapal yang berbendera Malvinas untuk berlabuh di
dermaga-dermaga Argentina (BBC 2010).
Selain eksplorasi minyak bumi ilegal, Argentina juga mendapati adanya
kegiatan militer yang dilakukan Inggris di Kepulauan Malvinas ini. Inggris
dianggap berupaya mengukuhkan klaimnya terhadap Kepulauan Malvinas
tersebut dengan mengirimkan pasukan militer mereka untuk melakukan latihan
gabungan dengan pihak pasukan sukarela dari masyarakat Kepulauan Malvinas
yang dipimpin oleh Pangeran William selaku pemimpin pasukan Inggris yang
dikirimkan ke Kepulauan Malvinas, serta mengirimkan kapal perang canggih
milik mereka ke kawasan Kepulauan Malvinas ini yang bernama HMS Dauntless
(Dodds 2012, 686).
Tidak hanya aktifitas militer dan ekplorasi hidrokarbon saja yang membuat
semakin panasnya hubungan bilateral Argentina dan Inggris, pada tahun 2013,
tepatnya tanggal 10-11 Maret, masyarakat malvinas melaksanakan referendum
untuk menentukan nasib mereka. Isi dari referendum yang dilaksanakan oleh
masyarakat malvinas adalah pertanyaan mengenai apakah mereka tetap
menginginkan status kedaulatan mereka tetap sebagai bagian dari wilayah
pemerintahan kerajaan Inggris (BBC 2013). Referendum yang dilaksanakan pada
tanggal 10-11 Maret 2013 itu diikuti oleh 1.518 pemilih sah, namun hanya 1.517
surat suara yang dinyatakan sah/valid sedangkan 1 surat suara dinyatakan tidak
sah. Dari total suara sebanyak 1.517 suara, 3 di antaranya menolak untuk tetap
menjadi bagian dari wilayah pemerintahan kerajaan Inggris, sedangkan 1.513
6
suara menyatakan untuk tetap berada di bawah pemerintahan kerajaan Inggris
(Falkland Islands Government 2013)
Hingga tahun 2013 sebelum diadakannya Referendum dan setelah
dilaksanakannya referendum, Argentina terus mengupayakan agar status
kedaulatan Malvinas menjadi bagian dari Argentina. Ketika hasil referendum
menyatakan bahwa warga Kepulauan Malvinas tersebut memilih untuk tetap
berada di bawah pemerintahan kerajaan Inggris (BBC 2013), Argentina semakin
gencar melakukan upaya dengan merespon berbagai aktifitas yang dilakukan
Inggris di wilayah Kepulauan Malvinas. Hal ini dilakukan agar negosiasi antara
Argentina dan Inggris terkait permasalahan kedaulatan Kepulauan Malvinas untuk
segera dilaksanakan kembali (BBC 2012).
Respon yang dilakukan Argentina terkait peristiwa-peristiwa yang terjadi di
kawasanKepulauan Malvinas (aktifitas militer Inggris; eksplorasi hidrokarbon/gas
bumi oleh perusahaan minyak Inggris dan referendum masyarakat
malvinas/falkland atas dukungan Inggris) adalah dengan melakukan blokade
(BBC 2010), maupun pengawasan terhadap kapal-kapal yang akan menuju
Kepulauan Malvinas dengan tujuan membantu eksplorasi hidrokarbon yang
dilakukan oleh Inggris (Kompas 2010). Tidak hanya melakukan blokade saja,
Argentina juga memasukan 4 perusahaan minyak milik Inggris ke dalam daftar
hitam untuk beroperasi di wilayah Amerika Selatan, 4 perusahaan minyak itu
adalah Borders and Southern Petroleum, Desire Petroleum, Argos Resources dan
Falkland Oil and Gas (Republika Online 2013). Selain itu pihak Argentina juga
telah mengirimkan nota protes kepada sekjen PBB, Ban Ki-Moon, yang ditujukan
7
untuk Inggris agar dapat membuka kembali negosiasi terkait dengan
permasalahan kedaulatan Kepulauan Malvinas/Falkland (BBC 2012).
Setelah Referendum yang dilaksanakan di Kepulauan Malvinas, yang
menyatakan bahwa penduduk Malvinas tetap menjadi bagian dari pemerintahan
kerajaan Inggris (Junianto 2013), Argentinajustru semakin mengedepankan fokus
kebijakannya dalam melakukan klaim terhadap status kedaulatan kepulauan
tersebut. Oleh karena itu, persengketaan yang terjadi di Kepulauan Malvinas yang
diperebutkan oleh Argentina dan Inggris menarik untuk dikaji lebih dalam lagi,
karena Argentina saat ini masih belum bisa melepaskan status kedaulatan
Kepulauan Malvinasmenjadi bagian dari wilayah Kerajaan Inggris.
Meski telah dilaksanakannya referendum di Kepulauan Malvinas yang
menyatakan bahwa penduduk kepulauan tersebut tetap merupakan bagian dari
pemerintahan kerajaan Inggris, Argentina menolak hasil Referendum tersebut
dengan anggapan bahwa referendum yang dilakukan tidaklah legal karena
mayoritas penduduk Malvinas adalah warga negara Inggris yang melakukan
migrasi dan menetap di Kepulauan Malvinas semenjak setelah Inggris
memenangkan perang Malvinas (Falkland) dan menguasai pulau itu pada masa
kolonialisme dahulu sehingga hasil referendum dianggap ilegal (Press TV
2013).Sampai saat ini Argentina masih terus berupaya melakukan klaim terhadap
status kedaulatan Kepulauan Malvinasmerupakan bagian dari wilayah Argentina.
A. Pertanyaan Penelitian
Apa faktor yang menyebabkan Argentina masih melakukan klaim terhadap
kedaulatan Kepulauan MalvinasSetelah diadakannya Referendum Tahun 2013?
8
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor
yang menyebabkan Argentina masih tetap melakukan klaim terhadap kedaulatan
Kepulauan Malvinassetelah dilaksanakannya Referendum pada 10-11 Maret 2013
yang menyatakan bahwa penduduk Kepulauan Malvinas merupakan bagian dari
pemerintahan Kerajaan Inggris. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui pengaplikasian konsep-konsep dalam hubungan internasional terkait
dengan masalah sengketa Kepulauan Malvinas seperti Sovereignty atau
kedaulatan serta kebijakan luar negeri suatu negara terkait dengan kepentingan
nasionalnya, dalam kasus ini adalah Argentina dan Inggris.
2. Manfaat
Setelah tujuan dari penelitian ini tercapai, diharapkan bahwa penelitian ini
dapat memberikan pengetahuan mengenai masalah klaim dan status kedulatan
Kepulauan Malvinas yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang
cukup penting bagi kedua negara meskipun telah dilakukan referendum pada 10-
11 Maret 2013. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi
para peneliti lainnya di masa yang akan datang atau civitas academica lainnya
sebagai referensi untuk melakukan penelitian terhadap hubungan Argentina-
Inggris terkait sengketa Kepulauan Malvinas.
C. Tinjauan Pustaka
- Dalam artikel jurnal yang berjudul Stormy Waters: Britain, the Falkland
Islands and UK–Argentine relations yang ditulis oleh Klaus Dodds pada
9
tahun 2012, membahas hubungan bilateral Argentina dengan Inggris yang
dilihat dari kebijakan Kirchner (Cristina, Presiden Argentina), di mana isi
artikel tersebut lebih mengarah kepada penjelasan mengenai prioritas
kebijakan pertahanan Inggris dalam melindungi kepulauan Falkland
tersebut dan perkembangan yang terjadi di Kepulauan Falkland / Malvinas
yang mempengaruhi hubungan bilateral antara Argentina dengan Inggris.
- Dalam skripsi yang ditulis oleh Efrianto Trisno Panggalo mahasiswa
Universitas Hasannudin jurusan HI pada tahun 2014 yang berjudul
Referendum Inggris di Kepulaun Falkland / Malvinas dan Dampaknya
Terhadap Argentina, membahas tentang kepentingan Inggris dalam
referendum di kepulauan Falkland/Malvinas, dan dampak referendum
Inggris di kepulauan Falkland/Malvinas terhadap Argentina.
Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan pengembangan dari
penelitian sebelumnya, sehingga terdapat perbedaan dari penelitian seperti yang
telah dipaparkan di atas sebelumnya dengan penelitian yang akan diteliti. Jika
dalam Literatur pertama yang berjudul Stormy Waters: Britain, the Falkland
Islands and UK–Argentine relationsyang ditulis oleh Klaus Dodds berfokus
kepada kebijakan Cristina Fernandez Kirchner (CFK) dalam melakukan klaim
terhadap kedaulatan Kepulauan Malvinas pada masa sebelum dilaksanakannya
Referendum di Kepulauan Malvinas sedangkan penelitian yang akan diteliti akan
meneliti faktor yang menyebabkan CFK masih mempertahankan prioritas
kebijakan luar negerinya dalam mempertahankan klaim terhadap kedaulatan
Kepulauan Malvinassetelah diadakannya Referendum yang hasilnya menyatakan
10
bahwa penduduk Kepulauan Malvinas merupakan bagian dari pemerintahan
kerajaan Inggris. Penelitian ini juga melihat kebijakan Presiden Argentina setelah
masa kepemimpinan Cristina Fernandez Kirchner hingga saat ini.
Lalu dalam tinjauan pustaka dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Efrianto Trisno Panggalo mahasiswa Universitas Hasannudin jurusan HI pada
tahun 2014 yang berjudul Referendum Inggris di Kepulaun Falkland / Malvinas
dan Dampaknya Terhadap Argentina menggunakan konsep Kedaulatan Negara,
Kepentingan Nasional dan Referendum, sedangkan dalam penelitian yang akan
diteliti ini mengembangkan konsep Kepentingan Luar Negeri dari penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya lalu menggunakan konsep Kebijakan Luar Negeri,
Keamanan Nasional dan Geopolitik sebagai konsep yang akan digunakan dalam
penelitian yang akan dilakukan. Dalam konsep kebijakan Kebijakan Luar Negeri
akan digunakan konsep pengambilan keputusan berdasarkan faktor internal dan
faktor eksternal dari suatu kebijakan.
D. Kerangka Teori
Dalam penelitian skripsi ini menggunakan konsep kebijakan luar negeri
yangfokus kepadafaktor-faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Lalu selain itu penelitian ini juga menggunakan konsep
keamanan nasional dan geopolitik.
1. Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri suatu negara tidak terlepas dari kepentingan
nasionalnya, begitu juga dengan Argentina dan Inggris. Masing-masing pihak
dalam kasus sengketa kedaulatan Kepulauan Malvinas ini mengeluarkan
11
kebijakan luar negeri yang berdasar kepada kepentingan nasionalnya. Menurut
James N Rosenau, kebijakan luar negeri dibuat berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi berjalannya kebijakan suatu negara terhadap negara lain, baik dari
faktor internal maupun faktor eksternal untuk mendapatkan keuntungan dari
lingkungan internasionalnya (Rosenau 1976, 16-17).
Alex Mintz menjelaskan bahwa suatu kebijakan yang dibuat oleh negara
berasal dari faktor-faktor internal dan eksternal(Mintz dan DeRouen 2010, 121).
1.a. Faktor Internal
Menurut Alex Mintz dan Karl DeRouen, faktor internal atau domestik yang
cukup berpengaruh bagi suatu negara dalam merumuskan suatu kebijakannya
terbagi menjadi(Mintz and DeRouen 2010, 121-133):
i. Taktik pengalihan isu, adalah sebuah konsep yang menjelaskan bahwa
seorang pemimpin negara menggunakan kekuatannya atau
kekuasaannya pada waktu yang tepat terhadap suatu isu untuk
menghindar dari satu isu lainnya yang sedang berkembang di
negaranya.
ii. Kepentingan ekonomi sering mempengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara. Dari seluruh pengaruh kepentingan ekonomi yang
dimiliki oleh negara disalurkan untuk memperkuat sektor industri
militer..
iii. Opini Publik, menurut Mintz dan Rouen opini publik terhadap suatu
isu yang sedang berkembang di dalam sebuah negara dapat
mempengaruhi keputusan seorang pemimpin negara dalam
12
penggunaan kekuatan, peningkatan serta penghapusan suatu kebijakan
luar negeri suatu negara.
iv. Siklus Pemilihan Umum, menurut Mintz dan Rouen seorang pemimpin
yang kekuatan politiknya bergantung kepada para pemilihnya
cenderung membuat kebijakan luar negeri yang dapat membuat senang
pendukungnya daripada membuat kebijakan luar negeri yang membuat
pendukungnya kehilangan kepercayaan terhadap dirinya.
1.b. Eksternal / International Factor
i. DeterrenceKonsep Deterrence atau pencegahan menurut Alex Mintz dan
Karl DeRouen juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara dari faktor eksternal. Secara umum konsep Deterrence
merupakan suatu sikap waspada dari negara terhadap negara lainnya
dengan cara meningkatkan kekuatan pertahanannya agar tidak ada
negara yang secara rasional dapat menginvasi mereka
ii. Strategic Surprise, menurut Gaddis dalam buku Alex Mintz dan Karl
DeRouen yang berjudul Understanding Foreign Policy Decision
Making, menyebutkan bahwa “force is used in an unexpected way at an
unexpected time against an unexpected target, with a view to trying to
achieve what more conventional methods of warfare cannot”(Mintz and
DeRouen 2010, 125) dari kutipan di atas dijelaskan bahwa kebijakan
luar negeri yang dibuat pada waktu yang tidak terduga terhadap suatu
isu yang muncul secara tiba-tiba dapat mempengaruhi hasil dari
pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.
13
iii. Alliances, merupakan salah satu faktor eksternal yang cukup penting
dalam perumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Di antaranya
adalah aliansi militer antar negara. Negara melakukan aliansi dengan
negara lain untuk mengatisipasi ancaman yang datang dari negara lain.
iv. Regime Type of the Adversary, adalah faktor eksternal suatu negara
dalam pembuatan kebijakan luar negeri yang mengacu kepada tipe rezim
yang sedang berkuasa di negara lain.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep Economic Interest dari
faktor internal atau domestik dan Deterrence dari faktor eksternal Alex Mintz dan
Karl DeRouen untuk menjelaskan pembuatan kebijakan luar negeri Argentina dan
Inggris. Mengacu kepada konsep di atas, kebijakan luar negeri suatu negara tidak
terlepas dari kepentingan ekonomi.Kepulauan Malvinasyang diperkirakan
memiliki cadangan minyak sekitar 60 miliar barel (BBC 2010) bisa menjadi
sumber daya ekonomi bagi Argentina dan Inggris.Oleh karena itu Argentina dan
Inggris saling memperebutkan status kedaulatan kepulauan tersebut.
Berdasarkan konsep Detterence di atas, Inggris mengirimkan pasukan
militernya ke kepulauan Mavinas tidak hanya untuk melakukan latihan gabungan,
tetapi juga sebagai salah satu isyarat dalam mengukuhkan klaimnya terhadap
status kedaulatan Kepulauan Malvinas tersebut dari ancaman militer negara-
negara di wilayah sekitar Kepulauan Malvinas.
14
2. Keamanan Nasional
Menurut Arnold Wolfers, pandangan mengenai konsep keamanan nasional
tidaklah sama bagi setiap orang. Ukuran tingkat keamanan nasional suatu negara
tidaklah sama dengan negara lain, begitu juga dengan subjek internasional
lainnya. Perbedaan tingkat keamanan nasional tiap negara berbeda dikarenakan
berbeda pula tingkat kepentingan nasionalnya (Stolberg 2012, 8).
Konsep keamanan nasional atau National Security pada masa ini tidak
hanya mengenai keamanan dalam bidang militer dan pertahanan, tetapi sudah
meluas ke berbagai bidang seperti food security, energy security, health security,
enviromental security, economic security dan sebagainya.Sengketa Kepulauan
Malvinas yang terus terjadi dapat mengancam stabilitas national security dari
berbagai macam pihak baik Kepulauan Malvinas itu sendiri, Argentina dan
Inggris. Terutama Argentina yang merasa terancam stabilitas national security
negaranya semenjak Inggris menduduki kepulauan itu sejak 1982 ketika
memenangi peperangan dengan Argentina. Inggris yang telah memenangkan
peperangan tersebut merasa bahwa Kepulauan Malvinasadalah milik mereka dan
menjadi wilayah di luar batas laut Inggris sehingga mereka secara rutin, setiap
satu tahun sekali, mengirimkan tentara dan beberapa kapal perang yang dimiliki
oleh armada angkatan laut Inggris untuk menjaga dan mengawasi daerah tersebut.
Kebijakan Inggris inilah yang menyebabkan sebagian negara-negara Amerika
Selatan, khususnya Argentina terancam akan stabilitas keamanan nasionalnya.
15
3. Geopolitik
Kondisi Geografis suatu wilayah memiliki peran yang cukup signifikan
dalam kaitannya dengan Hubungan Internasional. Kondisi alam ataupun geografis
yang baik dapat menunjang tingkat perekonomian suatu wilayah atau negara.
Tidak hanya tingkat perekonomian saja yang mengalami kemajuan, karena
dengan meningkatnya taraf perekonomian maka dapat diiringi pula dengan tingkat
kemajuan dari sektor lainnya seperti politik, militer bahkan sosial-budaya
(Griffiths dan O'Callaghan 2004, 120).
Geopolitik adalah studi yang mengkaji hubungan antara kondisi geografis
dari suatu wilayah atau negara dengan perilaku aktor internasional (negara
maupun non-negara), di mana kondisi geografis wilayah tersebut, baik lokasi,
iklim, sumber daya alam, populasi menentukan kebijakan luar negeri suatu aktor
(Griffiths dan O'Callaghan 2004, 120).Dalam kasus sengketa kedaulatan
Kepulauan Malvinas ini, baik Argentina maupun Inggris menganggap bahwa
Kepulauan Malvinas memiliki nilai geopolitik yang cukup signifikan bagi kedua
belah pihak.
Selain dikarenakan melimpahnya potensi sumber daya alam berupa
cadangan minyak bumi yang diperkirakan dapat mencapai 60 milliar barel (BBC
2010), posisi dan lokasi Kepulauan Malvinas merupakan posisi yang strategis
untuk membangun pos pertahanan militer. Bagi Argentina, wilayah Kepulauan
Malvinas yang berada di bagian terluar wilayah laut Argentina dapat dijadikan
sebagai pos pertahanan bagi militer Argentina saat ancaman musuh datang dari
wilayah perairan. Sedangkan bagi Inggris, Falkland merupakan wilayah luar batas
16
laut mereka yang sangat penting di wilayah Atlantik Selatan sebagai akses untuk
menuju Amerika Selatan.
E. Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah kualitatif, di
mana dalam penelitian ini akan dijelaskan bagaimana hubungan bilateral antara
Argentina-Inggris dalam beberapa periode, seperti periode Setelah perang
Malvinas hingga 2013 sebelum referendum dan setelah referendum pada2013.
Mely G. Tan, dalam kutipan buku karangan Dr. Ulber Silalahi, MA. yang berjudul
Metode Penelitian Sosial. berpendapat bahwa “Penelitian yang bersifat deskriptif
bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala,
atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu
gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain
di masyarakat.” (Silalahi 2009, 28)
Tipe penelitian ini juga dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran
mengenai fenomena sengketa kedaulatan yang sampai saat ini masih terjadi antara
Argentina-Inggris baik dilihat dari sejarah Kepulauan Malvinas, sejarah hubungan
bilateral antara Argentina dengan Inggris, kebijakan apa saja yang telah dibuat
oleh kedua negara dalam mempertahankan klaim terhadap kedaulatan Kepulauan
Malvinas.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Pustaka / Studi
Literatur dan merupakan sumber sekunder dalam teknik pengumpulan data.
Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang
berhubungan dengan permasalahan yang telah dibahas, dan kemudian
17
menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah,
surat kabar, dan situs-situs internet atau pun laporan-laporan yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan diteliti.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk memberikan pemahaman
mengenai isi dari penelitian yang telah dilakukan. Setiap bab dalam penelitian ini
terdapat sub-bab yang merupakan penjabaran serta penjelasan dari bab-bab terkait
yang terdapat dalam penelitian ini. Adapun bab-bab yang terdapat dalam
penelitian ini antara lain adalah:
Bab I Pendahuluan
Dalam bab I yang merupakan bagian pendahuluan dari skripsi ini berisikan
Pernyataan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Manfaat, Tinjauan
Pustaka, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitiandan Sistematika Penulisan.
Bab II Gambaran Umum Kepulauan Malvinas
Pada bab ini merupakan bagian awal dari isi penelitian yang berisikan
tentang bagaimana profil Kepulauan Malvinas, lalu asal mula penamaan
Kepulauan Malvinas dan sejarah Kepulauan Malvinas yang juga memaparkan
awal terjadinya sengketa mengenai kepemilikan Kepulauan Malvinas antara
Argentina dengan Inggris.
Bab III Aktifitas Inggris di Kepulauan Malvinas
Dalam bab ini akan menjelaskan beberapa aktifitas yang dilakukan oleh
Inggris diKepulauan Malvinas sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan
posisinya setelah memenangkan perang Malvinas/Falkland pada tahun 1982, yang
18
di antaranya adalah aktifitas pengelolaan hidrokarbon perusahaan minyak dan gas
inggris di Kepulauan Malvinas, kebijakan latihan militer gabungan Inggris di
Kepulauan Malvinas dan pelaksanaan referendum di Kepulauan Malvinas pada
tahun 2013.
Bab IV Analisa Faktor Penyebab Klaim Kedaulatan Kepulauan Malvinas
oleh Argentina Setelah Referendum 2013
Pada bab keempat ini akan menganalisa beberapa faktor yang menjadi
penyebab Argentina masih tetap melakukan klaim kedaulatan terhadap Kepulauan
Malvinas meski telah dilaksanakannya referendum mengenai status kedaulatan
masyarakat Kepulauan Malvinas tersebut, faktor tersebut di antaranya adalah
terancamnya keamanan nasional Argentina akibat latihan militer gabungan Inggris
yang dianggap sebagai bentuk deterrence Inggris terhadap Argentina di
Kepulauan Malvinas dan nilai geopolitikKepulauan Malvinas terhadap
kepentingan ekonomi Argentina.
Bab V Kesimpulan
Pada bab ini merupakan hasil kesimpulan dari beberapa penjabaran dan
penjelasan dari bab-bab yang sebelumnya dan juga merupakan jawaban dari
pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas.
19
BAB II
Gambaran Umum Kepulauan Malvinas
Dalam bab kedua ini akan dipaparkan mengenai gambaran umumKepulauan
Malvinas, yang mana dalam bagian ini akan menjelaskan profil Kepulauan
Malvinas yang berisikan letak geografis Kepulauan Malvinas, luas wilayah
Kepulauan Malvinas, sistem pemerintahan di Kepulauan Malvinas, sumber
perekonomian masyarakat Kepulauan Malvinas, yang mana pada awalnya sumber
perekonomian masyarakat Malvinas berasal dari bidang agrikultur dan maritim,
namun semenjak ditemukannya potensi minyak bumi di wilayah utara lepas pantai
Kepulauan Malvinas, maka sumber perekonomian Kepulauan Malvinas menjadi
bertambah.
Selain memaparkan mengenai profil Kepulauan Malvinas, di dalam bab ini
juga akan menjelaskan sejarah asal mula penamaan kepulauan tersebut.
Masyarakat Argentina menyebut nama kepulauan ini dengan Kepulauan
Malvinassedangkan masyarakat Inggris menyebutkepulauan ini dengan nama
Kepulauan Falkland.
Di dalam bab ini juga akan dipaparkan mengenai bagaimana sejarah
Kepulauan Malvinas, dimulai dari awal ditemukannya Kepulauan tersebut pada
tahun 1502. Kemudian berlanjut hingga masalah pendudukan oleh negara-negara
penjajah pada masa kolonialisme, dan terus berlanjut hingga sengketa klaim
kepimilikan Kepulauan Malvinas.
Kepulauan Malvinas (versi Spanyol) atau Falkland (versi Inggris), terletak
sekitar 500 km ke arah timur dari selatan Argentina. Kepulauan ini memiliki dua
20
pulau utama yang diberi nama Malvinas barat dan Malvinas timur dan memiliki
luas wilayah seluas 12.173 kilometer persegi, ibu kota kepulauan ini terletak di
wilayah Malvinas timur bernama Stanley yang berupa kota pelabuhan. Kepulauan
Malvinas memiliki garis pantai sepanjang 1.288 km (CIA 2017).
Penduduk kepulauan Malvinas, berdasarkan sensus pada tahun 2001,
berasal dari berbagai macam asal suku dan bangsa, sebanyak 30 persen berasal
dari Kerajaan Inggris (tidak termasuk penduduk yang memiliki hubungan dengan
militer Kerajaan Inggris yang bermukim setelah perang Malvinas), 6 persen dari
daerah Saint Helena dan Pulau Ascension (15,8 persen jika digabung dengan
penduduk yang memiliki hubungan dengan militer Kerajaan Inggris), 3 persen
penduduk berasal dari Chile, dari Australia dan New Zealand sebanyak 2,3
persen, dan 1 persen berasal dari Argentina diikuti dengan Rusia, Jerman dan
sebagian kecil dari penduduk berbagai negara dari belahan dunia (Ivanov and al
2003, 96)
Sistem pemerintahan yang diterapkan di Kepulauan Malvinas adalah
Demokrasi Parlementer. Dengan mengacu kepada sistem pemerintahan kerajaan
Inggris, kepala negara Kepulauan Malvinas adalah Ratu Elizabeth II, dengan
diwakilkan oleh Nigel Phillips dan kepala pemerintahan dipimpin oleh Barry
Rowland (CIA 2017). Badan pemerintahan Kepulauan Malvinas memiliki struktur
yang tidak jauh berbeda dengan badan pemerintahan negara lain yang menganut
sistem demokrasi parlementer, yaitu terdiri dari badan eksekutif, badan legislatif
dan badan hukum.
21
Perekonomian masyarakat Kepulauan Malvinas pada awalnya bergantung
pada bidang agrikultur, terutama dalam budidaya domba. Pada tahun 1987,
pemerintah Kepulauan Malvinas mulai memberlakukan penjualan lisensi
memancing kepada kapal-kapal asing penangkap ikan yang akan beroperasi di
dalam wilayah pemancingan eksklusif Kepulauan Malvinas(CIA 2017). Hasil
yang didapat dari penjualan lisensi memancing secara resmi tersebut menjadi
salah satu pendapatan tetap yang menunjang kesejahteraan hidup masyarakat
Kepulauan Malvinas.
Selain bergantung dalam bidang agrikultur dan maritim, perekonomian
masyarakat Kepulauan Malvinas juga mulai bergantung pada potensi minyak
bumi yang berada di sekitar wilayah Kepulauan Malvinas. Pada tahun 1993,
survey yang dilakukan oleh para ahli geologi asal Inggris mengumumkan proyek
zona eksplorasi minyak bumi seluas 200 mil di sekitar wilayah Kepulauan
Malvinas. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh para ahli geologi Inggris
tersebut, wilayah eksplorasi minyak bumi di sekitar Kepulauan Malvinas memiliki
potensi untuk menghasilkan minyak sekitar 500.000 barrel perharinya (CIA
2017). Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu dari ketegangan politik
antara Argentina dan Inggris dalam upayanya untuk mendapatkan status
kedaulatan Kepulauan Malvinas.
A. Asal Mula Nama Kepulauan Malvinas
Penggunaan nama Las Islas Malvinas oleh Argentina sekarang berasal dari
bahasa Perancis, Les Illes Malouines(Hoffman and Mingo 1984, 39), yang
dinamakan oleh Louis Antoine de Bougainville dikarenakan banyaknya
22
Malouines, sebutan untuk para warga penduduk St. Malo (sebuah wilayah yang
terletak di barat laut Perancis), yang singgah di kepulauan ini bersamaan dengan
kedatangan Louis Antoine de Bougainville yang bertujuan untuk membangun
pemukiman di kawasan Falkland Timur yang berlokasi di St. Louis (sekarang
menjadi Berkeley Sound). Namun usaha yang dilakukan oleh Bougainville
tersebut ternyata menimbulkan keresahan bagi Raja Spanyol, Charles III, yang
pada saat itu berencana untuk menjadikan Kepulauan ini sebagai kawasan
pelindung armada Spanyol yang melalui daerah Magellan dan Cape Horn.
Hingga sekitar tahun 1765 keresahan Spanyol dengan tindakan yang telah
dilakukan oleh Bougainville akhirnya dapat diselesaikan dengan cara Spanyol
membeli wilayah yang dijadikan sebagai tempat pemukiman untuk para
Malounies, wilayah St. Louis, hal ini dikarenakan Spanyol ingin tetap menjaga
hubungan dengan Perancis dan tidak ingin Inggris juga merasa berhak untuk
membangun pemukimman di wilayah Kepulauan Malvinas tersebut. Spanyol
akhirnya menunjuk Felipe Luis Puente sebagai Gubernur baru dan semenjak saat
itulah nama Les Illes Malouines berganti nama menjadi Las Islas
Malvinas(Freedman 2005, 4).
Penggunaan nama kepulauan Falkland yang dikenal hingga saat ini
diberikan oleh John Strong, seorang komandan kapal perang Inggris yang pada
saat itu ditugaskan untuk menggempur Perancis pada masa konflik yang terjadi
antara Spanyol, Inggris dan Perancis era kolonialisme, dengan mengambil nama
dari seorang komisioner angkatan laut pertama kerajaan Inggris yaitu
AnthonyCary, seorang Viscount Falkland(Hoffman and Mingo 1984, 29). Pada
23
awalnya John Strong diberikan tugas untuk melakukan penggempuran terhadap
Perancis yang saat itu sedang berperang dengan Inggris dan sekutunya, Spanyol,
namun ketika dalam perjalanannya kapal yang dikomandoi oleh John Strong
terombang-ambing di sekitaran pesisir Patagonia akibat angin yang berhembus,
sehingga ia tidak dapat mencapai kawasan Puerto Desado. Hingga pada akhirnya
sekitar tahun 1690, ia melihat kepulauan yang saat ini dikenal dengan nama
Falkland, dan memasuki selat kepulauan tersebut.
B. Sejarah Kepulauan Malvinas
Kepulauan Malvinas yang saat ini merupakan bagian dari wilayah luar batas
laut (Overseas Territory) Inggris (setelah Referendum), memiliki sejarah panjang
persengketaan mengenai status kedaulatannya, yang berawal dari masa
kolonialisme(Chenette 1987).. Masalah utama dari persengketaan terhadap
kepulauan Malvinas adalah mengenai kepemilikan dan status kedaulatan
kepulauan tersebut antara Spanyol, Inggris dan Perancis. Semenjak 1833,
Kepulauan Malvinas telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Inggris dan
menganggap bahwa klaim Inggris terhadap status kedaulatan kepulauan tersebut
adalah benar dan sah(Freedman 2005, 2), namun Mahkamah Internasional belum
membenarkan klaim Inggris dan hingga saat ini Argentina masih tidak
menyetujuinya meski telah diadakan referendum terkait status kedaulatan
kepulauan tersebut.
Banyak negara koloni, baik Inggris, Prancis, dan Spanyol, yang pernah
mendarat di kepulauan ini ketika sedang berlayar dalam memperluas wilayah
kolonialnya. Ketegangan politik yang masih terjadi di Kepulauan Malvinas hingga
24
saat ini (setelah referendum) adalah mengenai sengketa status kedaulatan
Kepulauan Malvinas antara Argentina, yang merupakan negara bekas jajahan
Spanyol, dengan Inggris yang menyatakan sebagai negara yang pertama kali
datang ke Kepulauan Malvinas tersebut(CIA 2017).
Hingga saat ini kedua belah pihak, baik Argentina dan Inggris masih saling
berpedoman terhadap sejarah kompleks Kepulauan Malvinas tersebut, baik dari
sisi kronologis penemuan Kepulauan Malvinas, sejarah kependudukan dan
beberapa perjanjian yang dibuat antara pihak Spanyol (ketika masih menjajah
Argentina dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya) dan Inggris(Freedman
2005, 3).
Konflik diawali dengan permasalahan mengenai penemuan keberadaan
Kepulauan Malvinas, dari pihak Argentina mengklaim bahwa seseorang yang
menemukan pulau ini adalah Amerigo Vespuci pada tahun 1502, Esteban Gomez
seorang pelaut dalam ekspedisi Magellan pada tahun 1520 dan ekspedisi Camargo
pada tahun 1540. Selain itu Argentina juga mengacu kepada peta pelayaran
Spanyol yang muncul sekitar awal abad keenam belas, dalam peta tersebut
disebutkan sebuah wilayah kepulauan yang lokasi dan garis lintangnya sama
dengan lokasi keberadaan Kepulauan Malvinas saat ini (Freedman 2005, 3),
sedangkan Inggris baru menemukan keberadaan pulau ini pada tahun 1592
(Freedman 2005, 3).
Pendapat Argentina terkait sejarah penemuan Kepulauan Malvinas ini
diperkuat oleh sebuah catatan yang dibuat oleh Louis Antoine de Bougainville,
25
seseorang yang berasal dari Perancis dan kemudian dikenal sebagai orang yang
pertama kali mendirikan pemukiman dan dermaga angkatan laut di wilayah Port
Louis, Malvinas Timur. Dalam catatannya tersebut Bougainville mengatakan
bahwa Amerigo Vespucci adalah orang pertama yang melihat keberadaan
Kepulauan Malvinas tersebut(Hoffman and Mingo 1984, 17).
Dari pihak Inggris mengklaim bahwa yang menemukan Kepulauan
Malvinas tersebut adalah John Davies, seorang kapten kapal Inggris yang saat itu
menahkodai kapal pelayaran Inggris yang bernama Desire pada tahun 1592, dan
dua tahun kemudian diikuti oleh Sir Richard Hawkins yang berlayar melalui
wilayah utara pesisir Kepulauan Malvinas(Freedman 2005, 3).
Argentina dan Inggris sepakat mengenai satu hal yaitu mengenai nama yang
diberikan pertama kali untuk kepulauan ini adalah Sebaldes, yang diberikan pada
tahun 1600 oleh seorang pelaut asal Belanda yaitu Sebald van de Weert yang
melakukan pelayarannya melalui selat Magellan menuju Atlantik. Hingga saat ini
bukti otentik mengenai sejarah penemuan Kepulauan Malvinas terkait sengketa
kedaulatan antara Argentina dan Inggris berdasarkan dari kedua bukti catatan
sejarah kronologis penemuan Kepulauan Malvinas.
Selain merujuk kepada sejarah penemuan Kepulauan Malvinas, klaim
terhadap kedaulatan Kepulauan Malvinas antara Argentina dan Inggris mengacu
kepada sejarah kependudukan Inggris dan Argentina (semenjak dijajah Spanyol
hingga merdeka) di Kepulauan Malvinas. Inggris mengklaim bahwa mereka
pertama kali berlabuh di Kepulauan Malvinas tersebut pada tahun 1690 dengan
26
kapal perang angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh John Strong, dan beberapa
dekade kemudian pasukan angkatan laut Inggris menganggap bahwa wilayah yang
pernah menjadi tempat persinggahan John Strong, ketika dalam misi
penggempuran Perancis, merupakan lokasi yang cukup strategis untuk mendirikan
pangkalan militer Inggris di wilayah Atlantik Selatan, sehingga akhirnya sekitar
pada tahun 1748 Inggris kembali mengirimkan angkatan lautnya untuk melakukan
ekspedisi di Kepulauan Malvinas(Freedman 2005, 3).
Spanyol, yang pada saat itu masih menjadi penguasa di beberapa wilayah di
Amerika Selatan, menolak pernyataan dan keberadaan Inggris. Pihak Spanyol
menyatakan bahwa, mengacu pada perjanjian Tordesillas 1494 antara Spanyol dan
Portugal bahwa mereka memiliki hak atas sebagian wilayah dari dunia ini.
Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa dimulai dari Cape Verde ke arah Barat
adalah milik Spanyol dan ke arah Timur adalah milik Portugal(Freedman 2005,
3).
Sekitar tahun 1774, Inggris kembali meninjau keberadaannya di Kepulauan
Malvinas. Inggris mulai menganggap bahwa upaya dalam mempertahankan
Kepulauan Malvinas merupakan strategi yang kurang menguntungkan dan terlalu
banyak mengeluarkan dana bagi pemerintahan dan militer Inggris, sehingga
Inggris memutuskan untuk meninggalkan Kepulauan Malvinas dan kepulauan
Sanders dan memfokuskan dirinya dalam okupasi terhadap wilayah Amerika
Utara (Freedman 2005, 5). Mendengar kabar bahwa Inggris meninggalkan
Kepulauan Malvinas, Spanyol memerintahkan untuk menghancurkan bekas
27
pangkalan dan pemukiman para militer Inggris, dengan tujuan agar mereka tidak
kembali lagi ke Malvinas, sehingga pada tahun 1774 sampai pada tahun 1810
Spanyol melalui utusan kepemerintahannya secara eksklusif mengatur
administrasi pemerintahan Kepulauan Malvinas.
B.1. Asal Sengketa Kepulauan Malvinas
Sengeketa mengenai kepemilikan Kepulauan Malvinas antara Argentina
dengan Inggris berawal ketika Spanyol melepaskan pengaruhnya terhadap negara-
negara di wilayah Amerika Selatan.Spanyol tidak bertahan lama dalam masa
kependudukannya dalam memerintah Kepulauan Malvinas, sekitar tahun 1806
Spanyol merasa terancam oleh Napoleon dan Inggris secara mengejutkan
mengambil alih Buenos Aires, dengan alasan merebut kembali apa yang telah
ditinggalkan oleh Inggris pada tahun 1774 ketika mereka memfokuskan
penyerangan ke wilayah Amerika Utara.
Spanyol benar-benar meninggalkan wilayah Amerika Selatan dan
Kepulauan Malvinas pada tahun 1811, sehingga pada tahun 1816 Provinsi Bersatu
Rio de la Plata mendeklarasikan kemerdekaan mereka, dan saat ini Provinsi
Bersatu Rio de la Plata menjadi Argentina, sehingga setelah perginya Spanyol dari
wilayah Amerika Selatan dan Kepulauan Malvinas, Argentina merasa bahwa
wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah jajahan Spanyol merupakan
wilayah yang diwariskan terhadap Argentina dan mereka memiliki hak penuh atas
kedaulatan wilayah tersebut(Freedman 2005, 6). Hal inilah yang menjadi dasar
dan acuan dari Argentina dalam melakukan klaim kedaulatan terhadap status
28
kedaulatan kepulauan bersamaan dengan letak geografis Kepulauan Malvinas
yang berdekatan dengan Argentina.Sedangkan klaim Inggris terhadap Kepulauan
Malvinas lebih mengacu kepada seberapa lama kependudukan antara Argentina
dan Inggris selama masa okupasi atau penjajahan(Freedman 2005, 7).
Inggris melakukan klaim dan mulai mengambil alih urusan administrasi
kepulauan ini dan menjadikannya sebagai overseas territory sejak tahun 1833
(Encyclopedia.com 2001), ketika Inggris mulai membangun garnisun angkatan
bersenjatanya di Kepulauan Malvinas(CIA 2017). Puncak dari ketegangan politik
antara Argentina dan Inggris terhadap status kedaulatan Kepulauan Malvinas
ditandai dengan terjadinya perang Malvinas/Falkland pada tahun 1982, dalam
perang ini Argentina mengalami kekalahan dan menarik mundur pasukannya pada
14 Juni 1982 (CIA 2017).
Tahun 1833 Inggris dibawah komando Kapten James Onslow merebut
Kepulauan Malvinas dari kekuasaan Argentina. Berawal pada tahun 1831, ketika
Vernet, Gubernur yang ditunjuk untuk memerintah di Malvinas, menangkap dua
kapal milik Amerika Serikat yang sedang melakukan perburuan anjing laut secara
ilegal di wilayah perairan Malvinas. Salah satu kapal yang ditangkap Vernet
dibawa ke Buenos Aires untuk diadili, namun ketika sidang pengadilan tersebut
berlangsung, kapten kapal Amerika Serikat yang ditangkap oleh Vernet
mengatakan bahwa Vernet telah melakukan tindakan yang kurang menyenangkan
dengan melakukan perampasan secara paksa barang-barang yang berada di dalam
kapal yang ditangkap oleh Vernet (Chenette 1987, 7).
29
Peristiwa ini kemudian membuat Amerika marah, dan dianggap sebagai
suatu tindak pembajakan, oleh karena itu Presiden Amerika pada saat itu, Andrew
Jackson mengirimkan kapal perang ke Kepulauan Malvinas dan menyerang Port
Louis, sehingga kota itu hancur dan kemudian Amerika mendeklarasikan bahwa
wilayah Kepulauan Malvinas bebas dari kekuasaan pemerintah negara manapun
(Sugiantoro 2007).
Sengketa perebutan status kedaulatan antara Argentina dan Inggris terus
berlangsung selama bertahun-tahun. Bahkan Argentina berhasil memasukkan
masalah klaim kepulauan itu ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 1965,
PBB mengeluarkan Resolusi 2065 yang menyebutkan perlunya penyelesaian
masalah persengketaan mengenai kepemilikan wilayah Kepulauan Malvinas,
dengan memperhatikan kepentingan penduduk yang ada di kawasan tersebut,
namun setiap kali Argentina berupaya untuk melakukan negosiasi dengan Inggris
tidak pernah berhasil.
Puncak perseteruan antara Argentina dan Inggris dalam melakukan klaim
terhadapKepulauan Malvinas terjadi pada tahun 1982 yang dinamakan perang
Malvinas/Falkland. Perang tersebut berlangsung selama 74 hari antara Inggris dan
Argentina yang memperebutkan kekuasaan atas kepemilikanKepulauan
Malvinas.Pada 19 Maret 1982, Argentina membuka konflik dengan mendaratkan
30 kapal pengangkut barang rongsokan di Pulau Georgia Selatan dan
mengibarkan bendera Argentina. Provokasi Argentina ini adalah untuk
memancing perhatian tentara Inggris yang ada di Malvinas (Boyce 2005, 29).
30
Tentara Inggris di Malvinas segera memakan umpan strategi Argentina dengan
mengirim satuan tugas ke Georgia Selatan esok harinya.
Dengan alasan meyelamatkan kapal-kapal mereka, Argentina mendaratkan
100 pasukannya ke Georgia Selatan pada 26 maret (Boyce 2005, 31). Pengalihan
serangan Argentina ke Georgia selatan menjadi alasan Argentina untuk
menyerang seluruh Malvinas. Pada 2 april 1982 pagi, sekitar 4500 pasukan
Argentina yang terdiri dari angkatan laut, darat dan udara menyerang Port
Stanley(Chenette 1987, 24).Pengalihan serangan ke Georgia Selatan oleh
Argentina merupakan serangan kejutan, dan memberikan alasan bagi invasi 2
April di Pulau Malvinas Timur dan direbutnya Stanley. Rex Hunt selaku
Gubernur Inggris yang memerintah Malvinas pada saat itu menyadari bahwa tetap
melakukan perlawanan terhadap serangan Argentina tidak akan berakibat baik
sehingga ia memutuskan untuk menyerahkan Port Stanley kepada Argentina tanpa
perlu melanjutkan perlawanan Argentina terhadap penduduk setempat (Chenette
1987, 25).
Perang diakhiri dengan menyerahnya Argentina pada 14 Juni 1982, setelah
tiga minggu operasi amfibi Inggris dan operasi darat mereka di Malvinas Timur.
Senin 14 Juni pasukan Argentina menyerah di Port Stanley. Dalam perang selama
sepuluh pekan itu, 650 orang tentara Argentina tewas, sementara Inggris
kehilangan 255 tentaranya yang tewas(Era Baru News 2010). Hingga saat ini
Argentina masih tetap beanggapan bahwa alasan mereka melakukan pendudukan
sampai dengan perlawanan terhadap Inggris hinga terjadinya perang Malvinas
31
adalah karena mereka melakukan okupasi atau pendudukan di wilayah yang sudah
ditinggalkan oleh Inggris pada tahun 1820, dibandingkan dengan alasan Inggris
yang merebut Kepulauan Malvinas ketika sedang dikuasai oleh Argentina
(Chenette 1987, 27).
32
BAB III
Aktifitas Inggris di Kepulauan Malvinas
Meskipun telah mengalami kekalahan dalam perang Malvinas pada tahun
1983, Argentina masih tetap berupaya dalam mendapatkan status kedaulatan
Kepulauan Malvinas yang secara geografis letak dan jaraknya lebih dekat
terhadap Argentina dibandingkan dengan Inggris. Oleh karena itu hingga saat ini
Argentina terus dan tidak pernah menyerah dalam usahanya mengajak Inggris
untuk berunding mengenai masalah status kedaulatan Kepulauan Malvinas.
Di era modern saat ini, terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu
Argentina dalam melakukan upaya klaimnya terhadap status Kepulauan Malvinas,
di antaranya adalah aktifitas pengelolaan hidrokarbon perusahaan minyak dan gas
Inggris di kep. Malvinas, aktifitas militer Inggris di kep. Malvinas dan
pelaksanaan referendum di kep. Malvinas pada tahun 2013.
A. Aktifitas Pengelolaan Hidrokarbon
Pada awalnya sumber daya yang berada di Kepulauan Malvinas diketahui
hanya berasal dari sektor perikanan dan peternakan domba (CIA 2017), namun
semenjak Inggris memerintah di Kepulauan Malvinas, dan memutuskan untuk
melakukan survey dan eksplorasi potensi sumber daya alam lainnya di sekitaran
Kepulauan Malvinas, maka pada tahun 1993 diketahui bahwa Kepulauan
Malvinas juga memiliki potensi minyak bumi yang diperkirakan dapat
memproduksi sekitar 500.000 barrel minyak bumi perharinya (CIA
2017).Hidrokarbon adalah salah satu sumber energi yang cukup penting dalam
33
menunjang aktifitas sehari-hari. Salah satu kegunaannya adalah sebagai bahan
bakar. Saat ini hidrokarbon banyak digunakan sebagai sumber energi listrik dan
sumber energi panas dunia karena hidrokarbon menghasilkan energi panas yang
dapat digunakan untuk aktifitas sehari-hari dari hasil pemanasannya ketika
dibakar. Dalam penggunaannya di kehidupan sehari-hari biasanya energi dari
hidrokarbon ini digunakan sebagai pemanas dalam bentuk minyak dan gas
alam(World Coal Association 2018).
Pada tahun 2010 perusahaan minyak dan gas asal Inggris, Rockhopper
Exploration bekerja sama dengan Premier Oil, kembali melakukan eksplorasi di
sekitar lepas pantai Kepulauan Malvinas(Maslin 2015). Proyek pengeboran
minyak bumi yang diberi nama Sea Liondan juga bekerja sama dengan perusahaan
minyak Desire Petroleum meyakini bahwa proyek ini dapat menghasilkan 350
juta barrel minyak bumi yang bisa diproduksi sekitar tahun 2017(Falkland Islands
Government 2017)
Gambar III.1 Salah Satu Kompleks Pengeboran Minyak Bumi di Lepas
Pantai Kepulauan Malvinas
34
Sumber: (Critchlow, New Falklands oil discovery could stir trouble with
Argentina 2015)
Hingga sampai saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan minyak bumi
yang sudah mulai beroperasi melakukan pengeboran di sekitaran lepas pantai
Kepulauan Malvinas, di antaranya adalah Rockhopper Exploration, Argos
Resources Ltd, Borders and Southern Petroleum PLC, Desire Petroleum PLC,
dan Falkland Oil and Gas Ltd(Republika Online 2013). Perusahaan-perusahaan
minyak tersebut menyatakan telah mendapatkan izin dan lisensi untuk melakukan
eksplorasi dan pengeboran minyak bumi di sekitaran lepas pantai Kepulauan
Malvinas pada tahun 2011 dari badan administrasi Kepulauan Malvinas(Waibel
2012)
Akibat dari aktifitas pengelolaan hidrokarbon yang terjadi di sekitaran lepas
pantai Kepulauan Malvinas, Argentina pada masa kepemimpinan Cristina
Fernandez Kirchner, melalui Menteri luar negerinya Timerman, memberlakukan
pelarangan kepada 5 perusahaan minyak asal Inggris tersebut pada tahun 2012
(Dodds 2012, 689) untuk melanjutkan aktifitas pengeboran minyak bumi mereka
di wilayah Kepulauan Malvinas.
Hal ini dilakukan oleh Argentina karena mereka mengganggap aktifitas
pengelolaan Hidrokarbon yang dilakukan oleh beberapa perusahaan pengeboran
minyak bumi asal Inggris tersebut merupakan perbuatan yang ilegal karena
wilayah kepulauan tersebut masih disengketakan oleh Argentina dan Inggris
sampai saat ini. Meskipun telah diberlakukannya pelarangan terhadap beberapa
perusahaan minyaknya, Inggris tetap tidak mengacuhkan larangan tersebut, karena
35
menurut Inggris mereka sebagai pemenang perang yang terjadi di Kepulauan
Malvinas pada tahun 1982 memiliki kekuasaan atas kedaulatan dan urusan
administrasi wilayah Kepulauan Malvinas.
Alasan dari beberapa perusahaan minyak bumi asal Inggris tersebut
melakukan pengeboran dan pengelolaan hidrokarbon di wilayah baru seperti di
sekitar wilayah Kepulauan Malvinas adalah sebagai bentuk antisipasi jika suatu
saat nanti situs pengeboran yang telah mereka lakukan di wilayah Timur Tengah
menipis dan habis, sementara permintaan dan penggunaan minyak bumi di masa
yang akan datang semakin terus meningkat. Hal ini mengacu kepada pernyataan
OPEC yang menyatakan bahwa kebutuhan minyak bumi akan mencapai 111 juta
barrel perharinya pada tahun 2040, meningkat dari angka 93 barrel perhari pada
saat ini (Critchlow, New Falklands oil discovery could stir trouble with Argentina
2015)
B. Aktifitas Militer Inggris di Kepulauan Malvinas
Kepulauan Malvinas yang selama ini berada di bawah pemerintahan
kerajaan Inggris masih belum mempunyai kekuatan militer reguler yang berasal
dari kepualauan Malvinas itu sendiri, sehingga masyarakat Kepulauan Malvinas
masih bergantung kepada kekuatan militer kerajaan Inggris yang selama ini,
semenjak berakhirnya perang Malvinas (Falkland) pada tahun 1982, secara rutin
mengirimkan pasukan militernya baik angkatan darat, laut dan udara untuk
melakukan latihan dan menjaga keamanan serta mempertahankan kedaulatan di
Kepulauan Malvinas. Satuan tugas dari militer Inggris yang diutus untuk
mengamankan keamanan dan kedaulatan Kepulauan Malvinas itu disebut dengan
36
British Forces South Atlantic Islands (BFSAI), yang merupakan gabungan dari
tiga kekuatan militer Inggris, British Army, Royal Air Force, dan Royal Navy serta
berisikan sekitar 1.000 lebih personil (Tooth 2017).
Semenjak berakhirnya perang Malvinas (Falkland) pada tahun 1982, Inggris
memfokuskan dan memperkuat pertahanan Kepulauan Malvinas dengan
membangun pangkalan militernya di Kepulauan Malvinas, salah satunya dengan
membangun landasan udara RAF Mount Pleasant, yang berjarak sekitar 27 mil
atau sekitar 43 km ke arah bart dari ibukota Kepulauan Malvinas, Port Stanley
(Tooth 2017). Inggris menganggap bahwa Kepulauan Malvinas merupakan lokasi
yang cukup strategis untuk mendirikan pangkalan militer, sehingga dapat
mempermudah akses mereka dalam menjaga wilayah-wilayah luar batas lautnya
yang berada di Atlantik Selatan, seperti Georgia Selatan dan kepulauan Sandwich
Selatan.
37
Gambar III.2 RAF Mount Pleasant, Pangkalan Udara Inggris di
Kepulauan Malvinas
Sumber: (Tooth 2017)
Pangkalan udara tersebut mulai aktif beroperasi pada tahun 1986, dengan
berisikan 4 buah Typhoon jet yang berfungsi untuk melakukan patroli dan sebagai
perangkat pertahanan udara yang dimiliki Kepulauan Malvinas. Selain itu terdapat
dua buah pesawat Chinook, satu buah C-130 Hercules dan satu buah pesawat
voyager yang berfungsi untuk mengangkut alat berat, transportasi dan pengisian
bahan bakar di udara (Tooth 2017).
38
Gambar III.3 Typhoon Jet, Pesawat Tempur Inggris yang beroperasi di
wilayah udara Kepulauan Malvinas
Sumber: (Farmer 2015)
Pasukan angkatan darat Inggris membangun garnisun di Mount Pleasant dan
memiliki anggota sekitar 1.200 personil, yang 11 orang di antaranya adalah ahli
penjinak bom (Tooth 2017). Kekuatan angkatan darat yang ditempatkan di
Kepulauan Malvinas diperkuat dengan senjata anti-aircraft yang bernama Rapier
air defence missile. Misil Rapier ini berfungsi untuk menahan serangan dari jet
dan helikopter tempur Argentina, bahkan misil ini juga berfungsi untuk
menghancurkan drones dan misil kapal laut yang ingin menyerang Kepulauan
Malvinas. Radar dari misil Rapier ini memiliki jangkauan jarak seluas 10 mil dan
5 mil untuk jarak jangkauan serangan dari misil Rapier ini (Farmer 2015).
Pasukan angkatan laut Inggris berkontribusi dengan menempatkan kapal
perang dan kapal patroli yang bertugas untuk menjaga keamanan wilayah perairan
di sekitaran Kepulauan Malvinas. Untuk sektor kapal perang, Royal Navy atau
pasukan angkatan laut Inggris menempatkan Type-45 destoyer HMS Dragon yang
39
dilengkapi dengan misil Sea Viper dan memiliki senjata utama yang memiliki
peluru berkaliber 4.5” (Farmer 2015). Sedangkan dari sektor patroli laut dan
wilayah perairan, Inggris menempatkan HMS Clyde yang bertugas untuk
melindungi keamanan para nelayan Kepulauan Malvinas ketika mencari ikan dan
melindungi wilayah perairan Malvinas dari nelayan-nelayan asing yang tidak
memiliki izin melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Kepulauan
Malvinas(Farmer 2015).
Gambar III.4 HMS Dragon, Kapal Perang Perusak milik Kepulauan
Malvinas
Sumber: (Farmer 2015)
Selain itu, angkatan laut Inggris juga memiliki Trafalgar dan kapal selam
Astute-Class nuclear yang dipersenjatai dengan misil Tomahawk. Kapal selam ini
memiliki jarak serangan terhadap targetnya sekitar lebih kurang 1,500 mil atau
sekitar 2,400 km. Kekuatan dari misil kapal selam ini telah teruji pada saat perang
Malvinas (Falklands), ketika HMS Conqueror menenggelamkan kapal Argentina
ARA General Belgrano (Tooth 2017).
40
Dengan didirikannya pangkalan militer Inggris di Kepulauan Malvinas
tersebut, Inggris memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas keamanan dan
kedaulatan Kepulauan Malvinas dari berbagai ancaman keamanan, baik dari
Argentina maupun negara-negara lainnya yang mendukung Argentina dalam
melakukan klaim terhadap kedaulatan Kepulauan Malvinas tersebut. Dalam
upayanya menjaga stabilitas keamanan di Kepulauan Malvinas, Inggris
menerapkan sistem pertahanan yang mengintegrasikan pasukan pertahanan
sukarela dari masyarakat Kepulauan Malvinas untuk berlatih bersama pasukan
militer Inggris.
Pasukan tersebut mendapatkan pelatihan secara rutin dan berkala dari
pasukan militer Inggris untuk mengoperasikan senjata Oerlikon 20mm dan
mengoperasikan kapal patroli untuk mengawasi wilayah perairan mereka dari
penangkapan ikan secara ilegal (Tooth 2017). Dalam rangka menjaga tradisi
latihan gabungan antara pasukan militer Inggris dengan pasukan sukarela dari
masyarakat di Kepulauan Malvinas, pihak kerajaan Inggris mengutus Pangeran
William pada tahun 2012 untuk mengunjungi Kepulauan Malvinas dalam rangka
menjalin keakraban antara masyarakat Kepulauan Malvinas dengan pihak
kerajaan Inggris, dan juga dalam rangka rutinitas latihan militer gabungan yang
sudah menjadi jadwal dan program tahunan Inggris terhadap Kepulauan
Malvinas(Dodds 2012, 686).
Dengan adanya pangkalan militer Inggris di wilayah Kepulauan Malvinas
dan dengan kedatangan Pangeran William dalam rangka rutinitas latihan
gabungan antara Inggris dengan masyarakat Kepulauan Malvinas untuk
41
memperkuat pertahanan di Kepulauan Malvinas, Argentina merasa resah dan
seringkali mengangkat isu tersebut ke Perserikatan Bangsa Bangsa dengan laporan
bahwa Inggris masih terus melakukan tindakan militerisasi di wilayah Kepulauan
Malvinas yang tidak hanya meresahkan Argentina, tetapi juga negara-negara di
wilayah Amerika Selatan yang berdekatan dengan wilayah Kepulauan Malvinas.
Oleh karena itu Argentina terus berupaya untuk melakukan negosiasi terhadap
Inggris mengenai status kedaulatan Kepulauan Malvinas.
C. Referendum 2013
Semenjak kekalahan Argentina pada perang Malvinas (Falkland) yang
terjadi pada tahun 1982, Inggris mengklaim bahwa wilayah Kepulauan Malvinas
merupakan bagian dari wilayah luar batas laut Inggris. Namun Argentina yang
memiliki dasar yang cukup kuat dalam mengklaim wilayah Kepulauan Malvinas
tidak menyetujui kepemerintahan Inggris di Kepulauan Malvinas tersebut.
Pemerintah Inggris bersama dengan masyarakat Kepulauan Malvinas pada bulan
maret 2013 telah menyelenggarakan referendum kepada penduduk Kepulauan
Malvinas yang membahas tentang apakah masyarakat penduduk Kepulauan
Malvinas masih ingin menjadi bagian dari pemerintahan Inggris.
Tabel III.1 Hasil Voting Referendum Kepulauan Malvinas 2013
Falkland/Malvinas Islands sovereignty referendum, 2013
Choice Votes Percentage
Yes 1,513 99.80%
No 3 0.20%
Valid votes 1,516 99.93%
Invalid or blank votes 1 0.07%
42
Total votes 1,517 100.00%
Voter turnout 92.00%
Electorate 1,650
Sumber: (Panggalo 2014, 68)
Referendum yang dilaksanakan pada tanggal 10-11 Maret 2013 itu diikuti
oleh total 1.517 pemilih sah, namun hanya 1.516 surat suara yang dinyatakan
sah/valid sedangkan 1 surat suara dinyatakan tidak sah. Dari total suara sebanyak
1.517 suara, 3 di antaranya menolak untuk tetap menjadi bagian dari wilayah
pemerintahan kerajaan Inggris, sedangkan 1.513 suara menyatakan untuk tetap
berada di bawah pemerintahan kerajaan Inggris (Falkland Islands Government
2013).
Masyarakat Kepulauan Malvinas sangat menantikan referendum yang
diadakan oleh pemerintah Inggris dan Kepulauan Malvinas. Hal ini dikarenakan
jika masyarakat Kepulauan Malvinas memutuskan untuk menentukan masa depan
dan pandangan politik mereka sendiri, maka diharapkan mereka bisa segera
terlepas dari permasalahan isu sengketa kedaulatan antara Argentina dan Inggris
yang tak kunjung usai.
Namun, meski telah dilaksanakannya referendum dan hasilnya
memutuskan bahwa masyarakat Kepulauan Malvinas masih tetap bagian dari
kerajaan Inggris, Argentina tidak sedikitpun mnegurangi niatnya dalam
melepaskan kedaulatan Kepulauan Malvinas kepada Inggris begitu saja.Meskipun
dengan hasil mutlak yang menunjukan bahwa masyarakat Kepulauan Malvinas
merupakan bagian dari Inggris, Argentina menganggap bahwa hasil referendum
yang dilaksanakan tidaklah legal, karena masyarakat yang melakukan pemungutan
43
suara bukan penduduk asli kepulauan Malvnas (Press TV 2013), melainkan
imigran Inggris yang dibawa setelah Inggris memenangkan perang di Kepulauan
Malvinas pada tahun 1982 (Bustamante 2013), dengan tujuan untuk membangun
pemukiman di wilayah Kepulauan Malvinas guna memperkuat posisi mereka di
kawasan Atlantik Selatan.
44
BAB IV
Analisa Faktor Penyebab Klaim Kedaulatan
Kepulauan Malvinas oleh Argentina Setelah Referendum
2013
Dalam bab ini akan dibahas mengenai mengapa Argentina masih tetap
berupaya untuk mengajukan klaim kedaulatan terhadap Kepulauan Malvinas
meski telah berlangsungnya referendum yang menyatakan bahwa masyarakat
Malvinas masih tetap ingin berada di bawah administrasi kerajaan Inggris. Apa
faktor yang menyebabkan Argentina masih terus berupaya untuk mengajak
Inggris membuka negosiasi mengenai status kedaulatan Kepulauan Malvinas?
Oleh karena muncul pertanyaan tersebut maka di dalam bab ini akan menjelaskan
dan menganalisa faktor-faktor yang dianggap berhubungan dengan alasan
Argentina dalam upayanya yang terus mencoba membuka perundingan terkait
status kedaulatan Kepulauan Malvinas. Analisa yang dilakukan akan mengacu
kepada kerangka-kerangka teori Ilmu Hubungan Internasional yang dianggap
relevan dengan kasus sengketa status kedaulatan Kepulauan Malvinas antara
Argentina dengan Inggris.
Sengketa status kedaulatan Kepulauan Malvinas antara Argentina dengan
Inggris ini merupakan salah satu kasus persengketaan yang terpanjang dalam
sejarah. Hal ini dikarenakan dari kedua negara masih tetap dan saling melakukan
klaim terhadap status Kepulauan Malvinas hingga saat ini. Jika dilihat dari sisi
Argentina, klaim mereka terhadap status kedaulatan Kepulauan Malvinas
berdasarkan dari sisi historis, geografis dan beberapa faktor lainnya, sementara
45
jika melihat dari sisi Inggris klaim mereka terhadap status kedaulatan Kepulauan
Malvinas tidak terlalu mengacu kepada sisi historis, bahkan dari letak geografis
jarak antara Inggris dan Kepulauan Malvinas sangatlah jauh, oleh karena itu klaim
Inggris atas status kedaulatan Kepulauan Malvinas berdasarkan pada hasil perang
Malvinas (Falkland) yang terjadi pada tahun 1982. Dari hasil perang tersebut,
Inggris berhasil memenangkan perang dan menjadi negara yang merasa memiliki
tanggung jawab dalam mengurus administrasi kepemerintahan di Kepulauan
Malvinas. Selain berdasarkan dari hasil perang pada tahun 1982, klaim Inggris
terhadap status kedaulatan Kepulauan Malvinas juga berdasarkan kepada
keinginan masyarakat Kepulauan Malvinas itu sendiri, Inggris menyerahkan
sepenuhnya kepada masyarakat Kepulauan Malvinas hak untuk menentukan nasib
mereka, apakah menjadi bagian dari kerajaan Inggris atau menjadi bagian dari
Argentina.
Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah alasan Argentina dalam
melakukan klaim kedaulatan terhadap status kedaulatan Kepulauan Malvinas
cukup rasional dan perlu menjadi pertimbangan bagi dunia Internasional, maka
perlu dilakukan analisa terhadap beberapa faktor yang dianggap memiliki
pengaruh cukup besar bagi Argentina dan Inggris, di antaranya adalah
terancamnya keamanan nasional Argentina akibat berbagai aktifitas dan latihan
militer inggris dengan pasukan sukarela dari masyarakat Malvinas yang dianggap
sebagai bentuk deterrence, serta nilai geopolitik Malvinas terhadap kepentingan
ekonomi Argentina. Dalam menganalisa faktor-faktor tersebutdigunakan kerangka
teori dalam Ilmu Hubungan Internasional, yang diantaranya adalah Kebijakan
46
Luar Negeri, dilihat dari faktor Internal berupa kepentingan ekonomi dan
Eksternal berupa detterence; Keamanan Nasional dan Geopolitik.
A. Terancamnya Kemanan Nasional Argentina Akibat Aktifitas
Militer Inggris di Kepulauan Malvinas
Semenjak kemenangannya dalam perang Malvinas (Falkland) pada tahun
1982, Inggris tidak begitu saja pergi meninggalkan Kepulauan Malvinas tanpa
pertahanan sama sekali. Sebagai pihak yang memenangkan perang, Inggris merasa
berhak untuk mengatur administrasi Kepulauan Malvinas, baik dari sektor
pemerintahan hingga sektor pertahanan. Inggris secara perlahan membangun
sistem pertahanan di Kepulauan Malvinas untuk memperkuat posisi mereka
sebagai negara yang bertanggung jawab atas keamanan dan kedaulatan Kepulauan
Malvinas tersebut.
Dengan didirikannya pangkalan militer Inggris di Kepulauan Malvinas,
Inggris semakin sering melakukan aktifitas militer di kepulauan tersebut. RAF
Mount Pleasant yang berjarak kurang lebih 43 km dari ibu kota Kepulauan
Malvinas, Port Stanley, merupakan salah satu pangkalan yang cukup penting
untuk Inggris dalam menjaga keamanan di sekitar wilayah Atlantik Selatan.
Keberadaan pangkalan militer Inggris di Kepulauan Malvinas membuat beberapa
negara di kawasan Amerika Selatan merasa terancam keamanan negara mereka,
khususnya Argentina yang merasa terancam dengan kehadiran militer Inggris di
sekitar wilayah Kepulauan Malvinas.
Tindakan Inggris dalam membangun pangkalan militernya setelah
memenangkan perang pada tahun 1982 di Kepulauan Malvinas adalah salah satu
47
bentuk strategi pertahanan Inggris dalam mengukuhkan posisi mereka sebagai
negara yang memiliki hak untuk memerintah di Kepulauan Malvinas. Tidak hanya
itu, Inggris juga melakukan tindakan detterence terhadap Argentina yang sampai
saat ini masih berupaya mendapatkan klaim kedaulatan atas Kepulauan Malvinas.
Menurut Alex Mintz dan Karl DeRouen, dalam bukunya yang berjudul
“Understanding Foreign Policy Decision Making”konsep Deterrence merupakan
suatu sikap waspada dari negara terhadap negara lainnya dengan cara
meningkatkan kekuatan pertahanannya agar tidak ada negara, yang secara
rasional, dapat menginvasi mereka ketika pertahanan dari suatu negara meningkat
(Mintz and DeRouen 2010, 122). Dalam hal ini Inggris jelas tidak mau kehilangan
posisinya sebagai negara yang memiliki pengaruh di wilayah Atlantik Selatan,
khususnya terhadap Kepulauan Malvinas, Georgia Selatan, dan Sandwich Selatan.
Lebih lanjut menurut Mintz dan Rouen, tindakan detterence yang dilakukan
oleh Inggris di wilayah Atlantik Selatan khususnya di Kepulauan Malvinas
tergolong kepada detterence tipe extended immediate(Mintz and DeRouen 2010,
122). Hal ini disebabkan karena Inggris memperluas (extend) wilayah
pertahanannya hingga ke wilayah Atlantik Selatan yang keberadaannya jauh dari
wilayah regional Inggris. Lalu bersifat sesegera atau secepatnya (immediate)
karena Inggris khawatir Argentina masih memiliki kekuatan militer untuk
melakukan serangan kejutan, seperti yang terjadi pada saat Argentina
melancarkan serangan kejutan saat menyerang Malvinas, setelah sebelumnya
Argentina menyerang Georgia Selatan sebagai tindakan pengalihan.
48
Detterence yang dilakukan oleh Inggris juga merupakan salah satu upaya
untuk menjaga keamanan nasional Inggris di wilayah luar batas laut mereka,
seperti di Kepulauan Malvinas, Georgia Selatan dan Sandwich Selatan. Mengacu
kepada strategi keamanan nasional Inggris yaitu mengutamakan keamanan dan
pertahanan Inggris, yang memiliki tujuan untuk melindungi rakyat Inggris,
ekonomi, infrastruktur, wilayah dan pilihan hidup rakyat Inggris dari segala
macam ancaman dan resiko yang dapat mempengaruhi keamanan mereka secara
langsung. Lalu strategi selanjutnya adalah membentuk dunia yang stabil. Strategi
ini dilakukan di luar batas wilayah Inggris, dengan maksud mengurangi potensi
ancaman terhadap Inggris dan wilayah di luar regional dan batas laut Inggris (HM
Government 2010, 10-11).
Konsep keamanan nasional tidak terlepas dari kepentingan nasional suatu
negara. Terganggu atau tidaknya keamanan nasional suatu negara juga
berhubungan dengan kepentingan nasionalnya (Stolberg 2012, 11). Dalam kasus
Argentina dengan Inggris, Argentina merasa cukup terganggu dengan kehadiran
militer Inggris di Kepulauan Malvinas. Hal ini dikarenakan Argentina merasa
memiliki kepentingan terhadap Kepulauan Malvinas. Argentina merasa bahwa
dengan didirikannya pangkalan militer Inggris RAF di Mount Pleasant dan
dengan segala macam bentuk aktifitas militer Inggris di Kepulauan Malvinas
merupakan tindakan kolonialisme di era modern, sebab Inggris dianggap oleh
Argentina telah melakukan aktifitas militer di wilayah yang masih disengketakan
(BBC 2012).
49
Inggris membantah anggapan Argentina bahwa kebijakan militernya
tersebut merupakan bagian dari aksi kolonialisme di era modern, hal ini karena
Inggris melakukan latihan militer gabungan dengan masyarakat Kepulauan
Malvinas sebagai bentuk tanggung jawab Inggris selaku negara yang berperan
dalam mengatur administrasi kepemerintahan di Kepulauan Malvinas tersebut.
Inggris juga mengacu kepada hasil referendum mengenai status kependudukan
masyarakat Kepulauan Malvinas yang masih menginginkan untuk tetap berada di
bawah naungan pemerintah kerajaan Inggris (Junianto 2013), sehingga Inggris
merasa bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Inggris terkait aktifitas militernya
di Kepulauan Malvinas tersebut tanpa ada unsur pemaksaan sama sekali dan
berdasarkan kebutuhan masyarakat Malvinas akan pentingnya meningkatkan
kekuatan pertahana di Kepulauan Malvinas tersebut.
Keresahan Argentina terhadap keberadaan pangkalan dan berbagai aktifitas
militer yang terjadi di sekitar Kepulauan Malvinas kembali meningkat ketika pada
tahun 2016 dan 2015, total 16 penerbangan yang dilakukan oleh pesawat Typhoon
jet milik Kepulauan Malvinas terlihat melintas antara Kepulauan Malvinas
menuju Brazil (Rogers and Ortega 2017). Hal ini menyebabkan semakin
waspadanya Argentina mengenai status keamanan nasional mereka, dikarenakan
negara-negara di Amerika Selatan mulai membuka jalur diplomasi dengan
Kepulauan Malvinas, setelah sebelumnya Argentina memberlakukan pelarangan
terhadap beberapa aktifitas kapal nelayan berbendera Malvinas untuk beroperasi
di sekitar wilayah perairan Argentina dan Amerika Selatan lainnya dan berlabuh
di dermaga-dermaga di Argentina (BBC 2010).
50
Alasan lainnya yang menyebabkan Argentina masih terus berupaya untuk
membuka pembicaraan dengan Inggris terkait aktifitas militernya yang dianggap
mengganggu keresahan negara-negara Amerika Selatan khususnya Argentina
adalah jika Inggris setuju untuk membuka perundingan dengan Argentina dan
sepakat untuk memberikan sebagian wilayah kedaulatan Kepulauan Malvinas
kepada Argentina, maka Argentina bisa menempatkan garnisun pasukan
militernya di Kepulauan Malvinas yang merupakan wilayah terluar perairan
Argentina dan lebih mudah untuk Argentina dalam mengantisipasi jika terjadinya
serangan, dan bukannya tidak mungkin jika kekuatan militer Argentina sudah
bangkit dan cukup kuat, Argentina dapat mengusir pasukan militer Inggris dari
Kepulauan Malvinas suatu saat nanti.
Oleh karena itu hingga saat ini, Inggris tidak pernah menanggapi segala
macam bentuk protes dan permintaan Argentina untuk membuka perundingan
mengenai kasus sengketa kedaulatan Kepulauan Malvinas tersebut. Karena
Inggris menyadari bahwa jika suatu saat jika Argentina mengalami kebangkitan
militer ketika Inggris memyetujui untuk berbagi wilayah Kepulauan Malvinas
tersebut, maka akan sulit bagi Inggris untuk kembali merebut Kepulauan
Malvinas. Oleh karena itu Inggris tetap melakukan kegiatan militer rutinnya di
Kepulauan Malvinas sebagai bentuk upaya untuk menjaga posisi Inggris di
kepulauan tersebut dan mencegah Argentina untuk melakukan upaya mendadak
untuk merebut kedaulatan Kepulauan Malvinas.
51
B. Nilai Geopoloitik Malvinas Terhadap Kepentingan Ekonomi
Argentina
Setelah dilaksanakannya referendum di Kepulauan Malvinas pada tahun
2013, yang menghasilkan keputusan bahwa masyarakat Malvinas masih ingin
tetap menjadi bagian dari wilayah pemerintahan kerajaan Inggris (BBC 2013),
Argentina menolak keras bahwa referendum yang dilakukan oleh masyarakat
Kepulauan Malvinas dengan dibantu oleh pemerintahan Inggris merupakan hasil
keputusan yang legal. Argentina beranggapan bahwa referendum yang dilakukan
oleh masyarakat Kepulauan Malvinas bersifat ilegal, dan Argentina juga
menyatakan bahwa asas dari self-determination atau menentukan nasib sendiri
yang diusung oleh Inggris tidaklah masuk akal. Hal ini dikarenakan pada asalnya
Kepulauan Malvinas tidak memiliki suku atau penduduk asli yang menetap di
kepulauan tersebut (Press TV 2013). Populasi manusia baru ada di kepulauan
tersebut semenjak era kolonialisasi pada masa Spanyol, Perancis dan Inggris
ketika menemukan kepulauan tersebut dan mendirikan pemukiman di sekitar
wilayah Kepulauan Malvinas.
Argentina terus berupaya untuk mrmbuka negosiasi dengan Inggris terhadap
status kedaulatan Kepulauan Malvinas tersebut karena Argentina tidak ingin
mengalami kerugian jika mereka melepaskan status kedaulatan Kepulauan
Malvinas itu begitu saja. Semenjak telah diketahui bahwa Kepulauan Malvinas
memiliki potensi minyak bumi yang dapat memproduksi sekitar 1 milyar
barrel(Ambrose 2016), maka Argentina semakin tidak ingin melepaskan status
kedaulatan Kepulauan Malvinas tersebut dan terus berupaya untuk membujuk
Inggris agar membuka negosiasi terkait sengketa status kedaulatan Kepulauan
52
Malvinas. Perusahaan minyak dan gas asal Inggris, Premier Oil, mengatakan
bahwa situs pengeboran di wilayah lepas pantai Malvinas dapat menghasilkan
sekitar 60 ribu barrel perharinya (Critchlow, Race is on to tap 1bn barrels of oil in
the Falkland Islands 2015).
Akibat ditemukannya potensi sumber daya alam yang melimpah di sekitar
Kepulauan Malvinas berupa minyak bumi, yang merupakan komoditas cukup
penting dalam menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat global, maka
beberapa perusahaan pengeboran mionyak bumi asal Inggris lainnya, seperti
Rockhopper Exploration, Argos Resources Ltd, Borders and Southern Petroleum
PLC, Desire Petroleum PLC, dan Falkland Oil and Gas Ltd(Republika Online
2013) ikut serta dalam proyek pengeboran lepas pantai di wilayah Kepulauan
Malvinas.
Argentina yang tidak ingin semakin merasakan kerugian besar ketika
melihat perusahaan-perusahaan pengeboran minyak bumi melakukan pengelolaan
di daerah yang sudah jelas berada di depan mata Argentina melayangkan gugatan
kepada Inggris untuk menghentikan segala macam bentuk kegiatan aktifitas
pengelolaan hidrokarbon atau sumber daya alam di wilayah Kepulauan Malvinas
karena wilayah tersebut masih merupakan wilayah yang disengketakan.
Hal tersebut dilakukan Argentina karena mereka menganggap bahwa
Kepulauan Malvinas memiliki nilai politik dan ekonomi yang cukup berpengaruh
bagi masyarakat Argentina jika wilayah dan status Kepulauan Malvinas tersebut
berada dalam kekuasaan Argentina. Berdasarkan kepada konsep geopolitik yang
dipaparkan oleh Griffiths dan O’Callaghan dalam bukunya yaitu, international
53
relations-key concepts, meyebutkan bahwa Kondisi Geografis suatu wilayah
memiliki peran yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan Hubungan
Internasional. Kondisi alam ataupun geografis yang baik dapat menunjang tingkat
perekonomian suatu wilayah atau negara. Tidak hanya tingkat perekonomian saja
yang mengalami kemajuan, karena dengan meningkatnya taraf perekonomian
maka dapat diiringi pula dengan tingkat kemajuan dari sektor lainnya seperti
politik, militer bahkan sosial-budaya (Griffiths and O'Callaghan 2004, 120).
Nilai geopolitik Kepulauan Malvinas sangat berpengaruh besar bagi
kepentingan ekonomi masyarakat Argentina jika mereka berhasil mendapatkan
kedaulatan penuh atas Kepulauan Malvinas. Berdasarkan konsep kepentingan
ekonomi Mintz dan Rouen, Jika Argentina berupaya untuk meningkatkan
kekuatan militernya, maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan
mengambil alih kepemilikan Kepulauan Malvinas dari pengaruh Kerajaan Inggris
dan mulai mengelola potensi sumber daya alam yang berada di wilayah
Kepulauan Malvinas, khususnya minyak bumi yang baru saja ditemukan di sekitar
wilayah utara lepas pantai Kepulauan Malvinas, dan menjadikannya sebagai salah
satu sumber pendapatan ekonomi Argentina untuk mendukung perkembangan
kekuatan militer Argentina..
Kepulauan Malvinas diperkirakan memiliki cadangan minyak hingga
mencapai miliaranbarrel(BBC 2010), oleh karena itu Argentina terus
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan Inggris dan masyarakat
Kepulauan Malvinas, seperti melakukan blokade terhadap kapal-kapal dagang
yang berbendera Malvinas untuk melintasi wilayah perairan Argentina, mencabut
54
lisensi penangkapan ikan dari kapal-kapal penangkap ikan yang sedang beroperasi
di wilayah Kepulauan Malvinas dan Argentina.
Meskipun Argentina telah berulang kali melakukan bebagai macam upaya
yang merugikan posisi keberadaan Inggris di Kepulauan Malvinas tersebut untuk
menarik perhatian Inggris, namun segala macam bentuk upaya yang telah
dilakukannya tidak pernah mendapatkan perhatian dari Inggris untuk menerima
permintaan Argentina dalam melakukan negosiasi mengenai status kedaulatan
Kepulauan Malvinas.
Akibat dari diadakannya referendum yang dilakukan di Kepulauan Malvinas
pada bulan Maret 2013 dan menghasilkan keputusan bahwa masyarakat
Kepulauan Malvinas masih merupakan bagian dari Inggris, Argentina merasa
bahwa kesempatannya untuk mendapatkan status kepemilikan Kepulauan
Malvinas semakin berkurang, sehingga meskipun telah bergantinya Presiden
Argentina dari Cristina Fernandez Kirchner menjadi Mauricio Macri, klaim
Argentina tidak berhenti, tetapi lebih menggunakan metode atau cara yang lebih
diplomatis dibandingkan pada masa pemerintahan Presiden Argentina
Sebelumnya.
Kebijakan Argentina pada masa kepemimpinan Macri tidak menghilangkan
upayanya untuk mendapatkan status kepemilikan Kepulauan Malvinas dari
kerajaan Inggris. Macri berupaya untuk kembali menjaga hubungan baik
Argentina dengan Inggris sama seperti ketika masa pemerintahan Carlos Menem
ketika menjadi Presiden Argentina sebelum masa Nestor Kirchner. Jika pada masa
Carlos Menem, Argentina dengan Inggris menjalain hubungan bilateralnya
55
dengan membuat kerangka kebijakan berupa Sovereignty Umbrella, yang pada
saat itu menjadi penunjang hubungan baik antara Argentina dengan Inggris terkait
sengketa Kepulauan Malvinas.
56
BAB V
Kesimpulan
Sejarah persengketaan mengenai status kedaulatan Kepulauan Malvinas
antara Argentina dan Inggris merupakan salah satu permasalahan sengketa yang
sangat panjang. Dimulai dari era kolonialisme pada abad ke-16 hingga sampai
puncaknya pada tahun 1982 ketika terjadinya perang yang cukup banyak
menewaskan pasukan dari kedua belah pihak negara baik Argentina maupun
Inggris. Perang yang dikenal dengan perang Falkland (Malvinas) tersebut
dimenangkan oleh Inggris dan semenjak saat itu Inggris mengklaim bahwa
mereka merupakan penguasa atau negara yang memiliki hak penuh untuk
mengatur dan mengurus administrasi, baik dari segi pemerintahan maupun segi
pertahanan di Kepulauan Malvinas tersebut.
Semenjak setelah berakhirnya perang Falkland 1982, hubungan diplomatik
antara Argentina dan Inggris tidak pernah stabil. Hubungan bilateral antara
Argentina dan Inggris mengalami pasang surut akibat dari permasalahan sengketa
kedaulatan Kepulauan Malvinas yang terjadi hingga saat ini. Pada awal masa
periode setelah perang, kedua negara memutuskan hubungan diplomatiknya
dengan memanggil kembali utusan diplomatiknya di kedutaan besar masing-
masing negara. Namun pada masa pemerintahan Carlos Menem pada tahun 1990,
kedua negara kembali membuka hubungan diplomatiknya dengan menempatkan
utusan duta besar mereka untuk kembali menjalankan tugasnya, di mana
Argentina menunjuk Mario Campora untuk menjadi duta besar di Inggris,
57
sedangkan Inggris menunjuk Sir Humprey Maud untuk menjadi duta besar Inggris
untuk Argentina.
Namun hubungan baik yang tejalin antara Argentina dan Inggris tidak
berlangsung lama. Sejak terpilihnya Nestor Kirchner pada tahun 2003
menggantikan Carlos Menem, hubungan diplomatik Argentina dengan Inggris
kembali mengalami peningkatan tensi. Hal ini disebabkan karena Nestor Kirchner
kembali mengangkat isu permasalahan mengenai sengketa kedaulatan Kepulauan
Malvinas, dan menjadikannya sebagai program kebangkitan nasional bagi
Argentina. Nestor Kirchner mengeluarkan kebijakan ini karena sebelum
terpilihnya ia menjadi Presiden Argentina pada tahun 2003, Argentina mengalami
kemerosotan ekonomi pada tahun 2002.
Oleh karena itu dalam kebijakannya mengenai kebangkitan nasional dan
ekonomi yang ia canangkan untuk Argentina, Nestor Kirchner memberlakukan
pelarangan terhadap perusahaan-perusahaan tambang asing untuk beroperasi
disekitaran perairan Kepulauan Malvinas. Selain itu Nestor Kirchner juga
memutuskan sepihak perjanjian bagi hasil dengan Inggris dari sumber daya alam
dan minyak bumi yang ditemukan di sekitaran wilayah Kepulauan Malvinas.
Dimulai dari saat inilah hubungan antara Argentina dengan Inggris terus
mengalami tren yang negatif. Sepeninggalan Nestor Kirchner sebagai Presiden
Argentina, terpilihlah Cristina Fernandez Kirchner yang merupakan istri dari
Presiden sebelumnya, Nestor Kirchner.
Pada masa pemerintahan Cristina Fernandez Kirchner, Argentina sangat
sensitif terhadap segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Inggris di wilayah
58
Kepulauan Malvinas, baik dari aktifitas pengelolaan hidrokarbon di kawasan lepas
pantai Kepulauan Malvinas yang dilakukan oleh beberpa perusahaan pengeboran
minyak bumi asal Inggris, aktifitas militer yang dilakukan oleh Inggris dengan
alasan sebagai latihan gabungan antara pasukan Inggris dengan masyarakat
Kepulauan Malvinas, serta campur tangannya Inggris dalam proses pelaksanaan
referendum di Kepulauan Malvinas.
Dari ketiga faktor di atas, Argentina semakin gencar untuk melakukan klaim
kedaulatan mereka terhadap status kedaulatan Kepulauan Malvinas. Argentina
pada masa kepemimpinan Cristina Fernandez Kirchner telah berupaya untuk
untuk mengajak Inggris melakukan perundingan dengan Argentina mengenai
status kedaulatan Kepulauan Malvinas saat ini, karena dari ketiga kegiatan di atas,
Argentina menganggap bahwa Inggris dengan sengaja melakukan hal tersebut
untuk mengukuhkan posisi mereka di wilayah Atlantik Selatan.
Dimulai dari didirikannya pangkalan militer Inggris di kawasan Mount
Pleasant yang berjarak 43 km ke arah barat dari lokasi ibukota Kepulauan
Malvinas. Meskipun Inggris menyatakan bahwa tindakannya tersebut merupakan
upaya untuk melindungi masyarakat Kepulauan Malvinas, dan bagian dari sistem
pertahanan yang diterapkan oleh menteri pertahanan Inggris, namun Argentina
justru menganggap bahwa kegiatan Inggris tersebut merupakan bagian dari
kolonialisasi era modern dengan melakukan militerisasi di wilayah Kepulauan
Malvinas, yang dianggap Argentina masih merupakan wilayah yang
disengketakan.
59
Selain itu, faktor yang membuat Argentina semakin gencar dalam
melakukan pengajuan klaim kedaulatan dan sangat bersikeras agar Inggris mau
membuka pintu perundingan terkait status kedaulatan Kepulauan Malvinas
dikarenakan semakin banyaknya perusahaan pertambangan dan pengeboran
minyak bumi yang melakukan pengeboran di wilayah lepas pantai Kepulauan
Malvinas. Oleh karena itu, karena keresahan yang dialami oleh Cristina Fernandez
Kirchner, maka Argentina memberlakukan pelarangan kepada beberapa
perusahaan pengeboran minyak bumi asal Inggris, perusahaan tersebut di
antaranya adalah Rockhopper Exploration, Argos Resources Ltd, Borders and
Southern Petroleum PLC, Desire Petroleum PLC, dan Falkland Oil and Gas Ltd.
Faktor yang menyebabkan Inggris terus berupaya melakukan klaim
kedaulatan terhadap Kepulauan Malvinas adalah referendum yang dilakukan oleh
masyarakat Kepulauan Malvinas yang didukung oleh pemerintahan Inggris.
Inggris menyatakan bahwa mereka mendukung asas Self-Determination yang
diinginkan oleh masyarakat Kepulauan Malvinas dalam menentukan nasib mereka
ke depannya, namun hal itu dianggap ilegal oleh Argentina karena referendum
yang terjadi di Kepulauan Malvinas tersebut bukan berasal dari penduduk asli
Kepulauan Malvinas itu sendiri, melainkan imigran Inggris yang menetap di
kepulauan tersebut dan menjadi penduduk di Kepulauan Malvinas tersebut setelah
Inggris memenangi perang Falkland tahun 1982.
Dilihat dari ketiga faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan Argentina
tetap melakukan klaim kedaulatan terhadap status Kepulauan Malvinas didasari
oleh beberapa hal, yaitu terancamnya keamanan nasional Argentina akibat dari
60
aktifitas militer yang dilkakukan Inggris sebagai bentuk detterncedi kepulauan
tersebut dan nilai geopolitik Kepulauan Malvinas terhadap perekonomian
Argentina.
Argentina yang merasa terancam keamanan nasionalnya akibat berbagai
bentuk aktifitas militer Inggris yang merupakan bagian dari strategi pertahanan
Inggris berupa detterence , terus berupaya mengajak Inggris untuk melakukan
perundingan diplomatik, namun Inggris menganggap hal itu tidak perlu dilakukan
karena sudah jelas bahwa masyarakat Kepulauan Malvinas memutuskan untuk
tetap berada di bawah kekuasaan kerajaan Inggris.
Detterence yang dilakukan Inggris merupakansalah satu bentuk upaya untuk
mencegah ancaman dari negara-negara di kawasan Amerika Selatan, khususnya
Argentina, untuk tidak melakukan tindakan mengejutkan untuk mengambil alih
kembali Kepulauan Malvinas. Hal ini karena Inggris menganggap posisi
Kepulauan Malvinas merupakan lokasi yang stratregis untuk menjangkau wilayah
Atlantik Selatan, yang mana beberapa kepulauan seperti Georgia Selatan dan juga
Sandwich Selatan merupakan bagian dari wilayah luar batas laut Inggris.
Lalu alasan yang selanjutnya adalah karena Argentina merasa bahwa lokasi
Kepulauan Malvinas yang cukup strategis bagi Argentina, cocok untuk dijadikan
markas pertahanan wilayah terluar Argentina. Selain lokasi geografisnya yang
cukup strategis sebagai wilayah pertahanan terluar, Kepulauan Malvinas juga
memiliki potensi minyak bumi yang diperkirakan dpat menjadi ladang cadangan
minyak bumi dunia jika suatu saat nanti persediaan minyak bumi di situs
pengeboran Timur Tengah menipis dan habis, maka wilayah Atlantik Selatan
61
sekitar wilayah lepas pantai Kepulauan Malvinas bisa menjadi alternatif baru bagi
cadangan minyak bumi dunia. Oleh karena itu, Argentina merasa juga memiliki
kepentingan ekonomi yang cukup besar di wilayah Kepulauan Malvinas dan ingin
mendapatkan status kepemilikan dari Kepulauan Malvinas.
62
Daftar Pustaka
Buku
Boyce, D George. 2005. The Falklands War (Twentieth Century Wars). London:
Palgrave Macmillan.
Freedman, Sir Lawrence. 2005. The Official History of the Falklands Campaign,
Vol. I_The Origins of the Falklands War. London and New York:
Routledge.
Griffiths, Martin, and Terry O'Callaghan. 2004. International Relations: The Key
Concepts. London and New York: Routledge.
HM Government. 2010. A Strong Britain in an Age of Uncertainty:. London: Her
Majesty's Stationery Office.
Hoffman, Fritz L, and Olga Mingo. 1984. Sovereignity in Dispute: The
Falklands/Malvinas 1493-1982. United States of America: Westview
Press.
Ivanov, Lyubomir, and et al. The Future of the Falkland Islands and Its People.
Sofia: Double T Publishers, 2003.
Mintz, Alex, and Karl DeRouen. 2010. Understanding Foreign Policy Decision
Making. New York: Cambridge University Press.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Stolberg, Alan G. 2012. How Nation-State Craft National Security Documents.
Carlisle: Strategic Studies Institutes.
Sugiantoro, R B. 2007. "Guerra De Las Malvinas." In Majalah Angkasa Edisi
Koleksi No. XXXIX, 39. Jakarta: PT. Gramedia
Rosenau, James N. 1976. World Politics: An Introduction. London: Collier Mc
Millan.
Artikel Dalam Jurnal
Dodds, Klaus. 2012. "Stormy waters: Britain, the Falkland Island and UK-
Argentine relations." International Affairs 88: 4 683-700.
Skripsi
63
Panggalo, Efrianto Trisno. 2014. Referendum Inggris di Kepulauan Falkland /
Malvinas dan Dampaknya Terhadap Argentina. Makassar: Hubungan
Internasional Universitas Hasannudin.
Laporan
Chenette, Richard D., Lieutenant Commander, USN. 1987. "The Argentine
Seizure of the Malvinas (Falkland) Islands: History and Diplomacy." War
in the Modern Era Seminar. Quantico, Virginia, May 4.
Paper
Ayunigtyas, Adinda P. 2013. "Politik Luar Negeri Argentina di bawah
Pemerintahan Nestor Kirchner dalam sengketa Falkland." Surabaya.
Website
Ambrose, Jillian. 2016. Rockhopper’s Falklands oil reserves double in ‘billion
barrel basin’. May 17.
https://www.telegraph.co.uk/business/2016/05/17/rockhoppers-falklands-
oil-reserves-double-in-billion-barrel-basi/.
BBC. 2010. BBC - Drilling for oil begins off the Falklands Iskands. February 22.
Accessed December 18, 2014. news.bbc.co.uk/2/hi/americas/8527307.stm.
—. 2012. BBC Indonesia - Argentina tuduh Inggris kirim kapal selam nuklir ke
perairan Falkland. February 11. Accessed March 24, 2014.
www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/02/120211_argentinafalkland.shtml.
—. 2010. BBC Indonesia - Pengeboran di Falkland segera dimulai. February 22.
Accessed December 26, 2014.
www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/02/100222_falklanddrilling.shtml.
—. 2013. Falklands referendum: Voters choose to remain UK territory. March
12. Accessed June 20, 2015. www.bbc.com/news/uk-21750909.
Bustamante, Juan. 2013. Falklands votes in sovereignty referendum rejected by
Argentina. March 11. https://www.reuters.com/article/us-falklands-
referendum-idUSBRE9290CK20130311.
CIA. 2017. Central Intelligence Agency Library: The World Factbook. Accessed
October 17, 2017. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/fk.html.
Critchlow, Andrew. 2015. New Falklands oil discovery could stir trouble with
Argentina. May 28.
https://www.telegraph.co.uk/finance/newsbysector/energy/oilandgas/1163
64
5627/New-Falklands-oil-discovery-could-stir-trouble-with-
Argentina.html.
—. 2015. Race is on to tap 1bn barrels of oil in the Falkland Islands. April 18.
https://www.telegraph.co.uk/finance/newsbysector/energy/oilandgas/1154
5640/Race-is-on-to-tap-1bn-barrels-of-oil-in-the-Falkland-Islands.html.
Encyclopedia.com. 2001. World Education Encyclopedia: Falkland Islands.
Accessed September 21, 2017. http://www.encyclopedia.com/places/latin-
america-and-caribbean/south-american-political-geography/falkland-
islands.
Era Baru News. 2010. Argentina Minta Perundingan "Malvinas" Kembali
Dibuka. 5 19. http://erabaru.net/internasional/35-internasional/13763-
argentina-minta-perundingan-qmalvinasq-kembali-dibuka.
Falkland Islands Government. 2017. Hydrocabons-Oil and Gas.
https://www.falklands.gov.fk/self-sufficiency/commercial-sectors/oil/.
—. 2013. Results of the referendum on the Political Status of the Falkland Islands
| Falkland Islands Government. March 12. Accessed June 20, 2015.
www.falklands.gov.fk/results-of-the-referendum-on-the-political-status-of-
the-falkland-islands/.
Farmer, Ben. 2015. "Britain's Military Defences in the Falklands Islands."
www.telegraph.co.uk. March 24.
https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/southamerica/falklandisland
s/11491580/Britains-military-defences-in-the-Falkland-Islands.html.
Junianto, Beno. 2013. Viva News - 30 tahun di tengah konflik-warga Falkland
pilih Inggris. March 13. Accessed May 21, 2013.
us.m.news.viva.co.id/news/read/397002-30-tahun-di-tengah-konflik--
warga-falkland-pilih-inggris.
Kompas. 2010. Pertikaian Argentina-Inggris Meningkat, Terkait Malvinas.
February 17. Accessed December 16, 2013.
international.kompas.com/read/2010/02/17/16023773/Pertikaian.Argentin
a-Inggris.Meningkat..Terkait.Malvinas.
Maslin, Elaine. 2015. Falklands Succes for Premier Oil. Offshore Engineer. April
2. Accessed June 8, 2015. www.oedigital.com/component/k2/item/8635-
falkland-success-for-premier-oil.
McCan, D. 2012. "TheJournal.ie - The British Government is facing separation
anxiety." www.journal.ie. July 8. Accessed November 11, 2014.
65
http://www.thejournal.ie/readme/column-the-british-government-is-facing-
separation-anxiety-511315-Jul2012.
Press TV. 2013. Malvinas Referendum not at all legally binding: Chris Bambery.
March 12. Accessed December 26, 2014.
http://www.presstv.ir/detail/2013/03/12/293620/polls-cant-declare-
malvinas-british/.
Republika Online. 2013. Empat Perusahaan Minyak Inggris Masuk Daftar Hitam
Argentina. Edited by Taufik Rachman. August 24. Accessed March 10,
2014. republika.co.id/berita/internasional/global/13/08/24/ms0xam-empat-
perusahaan-minyak-inggris-masuk-daftar-hitam-argentina.
Rogers, Jon, and Maria Ortega. 2017. FRESH FALKLANDS ROW: Argentina told
to be 'very worried' about 'massive' UK military base. March 3.
https://www.express.co.uk/news/world/774723/Falklands-Argentina-UK-
Malvinas-massive-military-base-Alicia-Castro.
.
Tooth, John-Paul. 2017. "Everthing You Need To Know About British Forces In
The Falklands." www.forces.net. December 18.
https://www.forces.net/news/everything-you-need-know-about-british-
forces-falklands.
Waibel, Michael. 2012. Oil Exploration Around theFalklands (Malvinas). August
13. https://www.ejitalk.org/oil-exploration-around-the-falklands-
malvinas/.
www.defence.pk. n.d. Hugo Chavez Says Venezuelan Troops would Fight with
Argentina over Falkland. Accessed December 16, 2014.
http://www.defence.pk/forums/world-affairs/157751-hugo-chavez-says-
venezuelan-troops-would-fight-argentina-over-falkland-3.html.
World Coal Association. 2018. World Coal, Coal and Electricity. July 10.
Accessed July 15, 2018. http://www.worldcoal.org/coal/uses-of-coal/coal-
electricity/.