evaluation on quality

17
Evaluasi kualitas hidup pada pasien penderita polyposis nasal yang ditangani dengan terapi medis optimal ABSTRAK Polyposis nasal (NP) berdampak besar pada kualitas hidup (QOL) dan penatalaksanaannya melibatkan kombinasi dari terapi medis dan bedah. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada publikasi yang mengkaji NP secara luas setelah pengobatan medis optimal yang didasarkan pada evaluasi subjektif. Tujuan dari studi prospektif ini dirancang untuk mengevaluasi QOL pada pasien NP setelah (1) masa pemberian singkat steroid oral, (2) masa pemberian awal 3-bulan macrolide, dan (3) pengobatan jangka panjang dengan steroid intranasal. Sebanyak 55 pasien dengan NP grade I dan II diobati secara berturut-turut dengan prednisolone oral dengan dosis tunggal 25 mg selama 2 minggu, macrolide dengan dosis 250 mg per hari selama 3 bulan pertama, dan steroid intranasal jangka panjang. Pasien ditindak-lanjuti dan dievaluasi di awal studi dan pada 3, 6 dan 12 bulan untuk ukuran QOL. Di awal studi, pasien dengan NP grade I dan II menunjukkan skor QOL yang lebih buruk secara signifikan atas semua domain Indeks Disabilitas Rhinosinusitis, terutama untuk fungsi fisik (4,59 1,41) dan lebih tinggi secara signifikan dalam fungsi sosial (3,16 1,17). Pada 3, 6 dan 12 bulan pengobatan, pasien menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam semua gangguan domain QOL dibandingkan 1

Upload: ertywitalayaltoruan

Post on 08-Jul-2016

213 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Evaluation on Quality

TRANSCRIPT

Evaluasi kualitas hidup pada pasien penderita polyposis nasal yang ditangani dengan

terapi medis optimal

ABSTRAK

Polyposis nasal (NP) berdampak besar pada kualitas hidup (QOL) dan

penatalaksanaannya melibatkan kombinasi dari terapi medis dan bedah. Sepanjang

pengetahuan penulis, tidak ada publikasi yang mengkaji NP secara luas setelah

pengobatan medis optimal yang didasarkan pada evaluasi subjektif. Tujuan dari studi

prospektif ini dirancang untuk mengevaluasi QOL pada pasien NP setelah (1) masa

pemberian singkat steroid oral, (2) masa pemberian awal 3-bulan macrolide, dan (3)

pengobatan jangka panjang dengan steroid intranasal. Sebanyak 55 pasien dengan NP

grade I dan II diobati secara berturut-turut dengan prednisolone oral dengan dosis tunggal

25 mg selama 2 minggu, macrolide dengan dosis 250 mg per hari selama 3 bulan pertama,

dan steroid intranasal jangka panjang. Pasien ditindak-lanjuti dan dievaluasi di awal studi

dan pada 3, 6 dan 12 bulan untuk ukuran QOL. Di awal studi, pasien dengan NP grade I

dan II menunjukkan skor QOL yang lebih buruk secara signifikan atas semua domain

Indeks Disabilitas Rhinosinusitis, terutama untuk fungsi fisik (4,59 1,41) dan lebih

tinggi secara signifikan dalam fungsi sosial (3,16 1,17). Pada 3, 6 dan 12 bulan

pengobatan, pasien menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam semua gangguan

domain QOL dibandingkan dengan awal-studi setelah terapi medis optimal (p < 0,05).

Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan medis optimal untuk meningkatkan QOL

memadukan polypectomy medis dengan masa pemberian singkat steroid oral selain

macrolide dan ini bisa dipertahankan dengan terapi steroid intranasal jangka panjang.

Polyposis nasal (NP) dicirikan oleh proses inflamasi mukosa sinonasal kambuhan dengan

keberadaan dua atau lebih gejala yang meliputi obstruksi, mampet atau meler, nyeri atau

takanan wajah dan penurunan indera penciuman selama 12 minggu. Etiologi NP tidak

diketahui tetapi dideteksi dan dimonitor dengan temuan-temuan endoskopik patologik

dan/atau perubahan scan computed tomography dalam kompleks osteomeatal dan/atau

sinus. Prevalensi NP pada populasi umum dianggap 4% dan bisa terkait dengan penyakit

sistemik dan penyakit pernapasan yang berbeda-beda seperti fibrosis kistik, rhinitis dan

1

asma dengan atau tanpa sensitivitas aspirin. Kira-kira 4,6% pasien dengan NP mengalami

tiga-serangkai acetylsalicylat: asma bronchial, rhinosinusitis kronis dan insensitivitas

aspirin. Pasien dengan NP ternyata mengalami beban penyakit yang lebih berat daripada

tanpa polyps. Relatip tidak ada dokumentasi dalam percobaan prospektif acak berkontrol

tentang peningkatan kualitas hidup (QOL) setelah pengobatan medis NP, yang bisa

menunjukkan bahwa pengobatan bedah NP mempunyai efek yang lebih baik pada QOL

daripada pengobatan medis. Peningkatan QOL setelah pengobatan NP berkorelasi dengan

perbaikan gejala nasal. Salah satu kuesioner yang sah yang paling sering digunakan untuk

menilai QOL adalah Indeks Disabilitas Rhinosinusitis (RSDI). RSDI menggunakan tiga

subskala (emosional, fisik dan fungsional) untuk mengkombinasikan pengukuran status

kesehatan umum dan QOL spesifik-penyakit. Endoskopi nasal memegang peranan yang

pasti dalam mendeteksi polyps nasal. NP pada pokoknya adalah penyakit yang akan

ditangani secara medis dan terapi medis optimal dibutuhkan sebelum dan stelah bedah.

Masa pemberian singkat prednisolone steroid sistemik dengan dosis 25 mg per hari selama

14 hari, yang berfungsi sebagai “polypectomy medis”, sama efektifnya dengan

polypectomy sederhana dengan jerat. Corticosteroid intranasal sebagai terapi jangka

panjang dasar jelas mengurangi ukuran polyps nasal dengan efek yang signifikan pada

skor gejala blokade dan ukuran objektif dari kemantapan nasal tetapi dengan penurunan

efek pada kehilangan indera penciuman. Antibiotik macrolide mempunyuai aktivitas anti-

inflamasi yang tinggi dan penurunan dalam virulensi bakteri pengkolonisasi, yang

menyebabkan penyusutan polyps nasal dengan mensupresi produksi cytokin dari sel-sel

inflamasi pada epitelium sinus paranasal. Tujuan utama dari studi ini adalah (1) untuk

mengevaluasi hasil QOL pada pasien dengan NP grade I dan grade II setelah terapi medis

optimal, (2) untuk mengevaluasi frekuensi berbagai penyakit pada pasien NP, dan (3)

untuk mengkorelasikan antara skor gejala-gejala nasal dan QOL setelah terapi medis.

BAHAN DAN METODE

Populasi Studi

Sebanyak 55 pasien dengan NP grade I dan II (klasifikasi Lildholdt) diikutsertakan

dalam studi prospektif ini dari bulan April 2011 hingga Februari 2013 dengan usia 18-65

tahun dengan rerata usia 51,47 tahun (SD, 14,35). Pasien perempuan lebih banyak

2

daripada pasien laki-laki (masing-masing 54,5 dan 45,5%). Semua pasien diperiksa dan

diobati selama durasi studi di Klinik Otorhinolaryngology Rawat Jalan. Persetujuan untuk

studi ini diperoleh dari Komisi Etik dan izin berpengetahuan luas yang ditandatangani

diperoleh dari semua pasien.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi meliputi usia pasien 18-65 tahun, gejala-gejala nasal selama 12

minggu, dan NP grade I dan II, dan kriteria eksklusi adalah NP grade III (indikasi tinggi

untuk pengobatan bedah), pasien penderita NP yang diobati secara bedah, alergi terhadap

antibiotik macrolide, pasein dengan kontraindikasi absolut untuk steroid sistemik, dan

pasien dengan kelainan struktural berat yang disebabkan penyimpangan septum nasal.

Rancangan Studi

Setelah masa pencucian 4 minggu atas steroid oral dan intranasal (minggu 0), 55

pasien menerima steroid sistemik (prednisone oral) dengan dosis tunggal 25 mg per hari

selama 2 minggu, yang diikuti dengan pemeliharaan dengan menggunakan steroid

intranasal jangka panjang (misalnya, spray nasal mometasone furoate cair pada 200

mg/hari). Antibiotik macrolide dengan dosis 260 mg per hari diberikan sebagai dosis

tunggal selama 3 bulan pertama. Evaluasi manfaat awal sebelum pengobatan dilaksanakan

yang diikuti dengan tiga evaluasi tindak lanjut pada 3, 6 dan 12 bulan pengobatan

(Gambar 1). Gejala-gejala nasal dan QOL dinilai dengan kuesioner RSDI dan semua

pasien yang direkrut menjalani test tindik-kulit.

Penilaian QOl dan RSDI

Semua pasien dengan NP grade I dan II yang memenuhi kriteria inklusi dinilai

secara subjektif dan setelah pengobatan medis dengan pengisian kuesioner RSDI yang

terdiri dari 28 pertanyaan yang dibagi dalam tiga domain (fisik, mental dan sosial). Skala

skor dari 0 hingga 100% dan skor yang lebih rendah mengindikasikan QOL yang lebih

baik. Masing-masing domain mempunyai 10 tingkatan jawaban yang didasarkan pada

tabel yang hanya memungkinkan satu jawaban. Skor ini diambil dan dibandingkan pada

interval studi tindak lanjut yang berbeda-beda (yaitu, awal studi dan 3, 6 dan 12 bulan).

3

Skor Gejala-gejala Nasal

Obstruksi nasal, kehilangan penciuman, rhinorrhea dan bersin-bersin dicatat dan

keparahan gejala-gejala ini dinilai dan ditentukan skornya pada tindak lanjut berikutnya

sebagai 0, sempurna; 1 dan 2, sangat bagus; 3 dan 4, bagus; 5 dan 6 cukup bagus; 7 dan 8,

buruk; dan 9 dan 10, sangat buruk.

Analisa Statistik

Analisa data dilaksanakan dengan paket statistik SPSS IBM Versi 19.0 (IBM

Company, United Kingdom) dengan menggunakan mean SD. Nilai p < 0,05 dianggap

signifikan secara statistik. Semua data dinilai untuk distribusi normal. Uji-t berpasangan

digunakan untuk membandingkan skor mean seiring berjalannya waktu. QOL (fisik,

mental dan sosial) dan pengobatan dibandingkan pada skor awal-studi dengan ujit-t

Student berpasangan berekor-dua dan perbedaan antar-kelompok dinilai dengan

menggunakan uji-t. Uji chi-kuadrat digunakan untuk menentukan hubungan (jumlah dan

persentase) antar-kelompok. ANOVA digunakan untuk membandingkan persentase QOL

dan skor gejala-gejala nasal 55 pasien untuk kunjungan di waktu yang berbeda-beda.

HASIL-HASIL

Sebanyak 55 pasien NP direkrut dan dimasukkan secara prospektif ke dalam studi

dengan perbandingan awal-studi atas skor keparahan-penyakit (yaitu, skor QOL) dan

tindak lanjut 1 tahun. Semua pasien menerima intervensi-bersamaan medis yang meliputi

prednisolone oral, clarithromycin dan pemberian steroid intranasal kontinu serta terapi

alergi. Data tindak lanjut tersedia untuk 55 (91%) dari 60 pasien di akhir studi ini.

Frekuensi Berbagai Penyakit pada Polyps Nasal

Sebelum pengobatan, 20 pasien dengan NP didiagnosa sebagai menderita hipertensi

(36,4%). Pasien penderita rhinitis alergik dan asma ditemukan masing-masing pada 17

(30,9%) dan 19 (34,5%) pasien NP. Penyakit eczema dilaporkan pada 5 (9,1%) pasien dan

intoleransi aspirin hanya dilaporkan pada 3 (5,5%) pasien. Test tindik-kulit positip

ditemukan pada 17 (30,9%) pasien dan 38 (69,1%) pasien menunjukkan test tindik-kulit

4

negatip. Dari antara 55 pasien yang hanya menderita NP, 39 (70,9%) menerima obat

(Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah dan persentase kondisi penyakit menurut waktu kunjungan (n = 55)

Penyakit Awal studi 3 bulan 6 bulan 1 tahun

n % N % n % n %

DM

Asma

Osteoporosis

Intoleransi aspirin

Eczema

Hypothyroidismus

12

20

19

17

1

3

5

2

21,8

36,4

34,5

30,9

1,8

5,5

9,1

3,6

9

18

16

16

1

3

5

2

16,4

32,7

29,1

29,1

1,8

5,5

9,1

3,6

7

17

15

14

1

3

5

2

12,7

30,9

27,3

25,5

1,8

5,5

9,1

3,6

8

17

16

15

1

3

5

2

14,5

30,9

29,1

27,3

1,8

5,5

9,1

3,6

DM = diabetes mellitus; HT = hipertensi; AR = rhinitis alergik

Penilaian QOL (RSDI)

ANOVA digunakan untuk membandingkan persentase QOL 55 pasien untuk waktu

kunjungan yang berbeda-beda. Perbandingan berpasangan menunjukkan QOL awal-studi

(40,52 12,07) signifikan pada tindak lanjut 3 bulan (23,66 9,85), 6 bulan (18,32

8,42) dan 1 tahun (17,28 8,79) (Tabel 2). Dalam perbandingan persentase QOL menurut

waktu kunjungan, pasien dengan NP mendapat skor QOL yang lebih buruk secara

signifikan sebelum pengobatan. Pada 3, 6 dan 12 bulan, pasien dengan NP menunjukkan

peningkatan signifikan serupa dalam QOL. Tidak ada diamati perbedaan yang signifikan

atas QOL antara 6 dan 12 bulan (Gambar 2). Pada semua domain RSDI, pasien dengan NP

menunjukkan QOL fungsi fisik yang lebih buruk secara signifikan (4,59 1,41) daripada

fungsi sosial (3,16 1,17). Semua domain RSDI berkorelasi secara statistik dengan

pasien NP penderita asma (Tabel 3). Di awal studi, pasien NP penderita asma mendapat

skor QOL yang lebih buruk (p < 0,05) daripada pasien NP tanpa asma dalam

keberfungsian fisik, mental dan sosial. Sebelum pengobatan pasien penderita asma

5

menunjukkan keberfungsian fisik, mental dan sosial yang lebih rendah daripada pasien

yang tidak menderita asma. Pada 6 dan 12 bulan, peningkatan QOL serupa diamati untuk

fungsi fisik dan mental pada pasien penderita asma dan nonpenderita asma kecuali untuk

fungsi sosial, di mana yang disebut pertama mendapat skor QOL yang lebih buruk

daripada yang disebut terakhir (Gambar 3).

Tabel 2 Perbandingan mean persentase QOL menurut waktu kunjungan

Mean SD Uji-t Berpasangan Nilai p

Pasangan 1QOL awal-studi

QOL 3 bulan

QOL 6 bulan

QOL 12 bulan

40,52

23,66

18,32

17,28

12,07

9,85

8,42

8,79

18,22

18,66

19,30

0,001*

0,001*

0,001*

*Nilai yang signifikan dari p < 0,05

QOL = kualitas hidup.

Skor Gejala-gejala Nasal

6

Pasien menilai kehilangan penciuman dan obstruksi nasal sebagai keluhan utama,

sementara gejala-gejala nasal lainnya jauh lebih jarang dan tidak begitu

Tabel 3 Rangkuman perbandingan mean komponen fisik, mental dan sosial pada pasien NP penderita asma dan

nonpenderita asma

Semua (n = 55) Tanpa Asma

(n = 33)

Asma

(n = 19)

Fisik

T0

T3

T6

T12

4,59 1,41

2,80 1,27*

2,21 0,99*

2,03 1,05*

4,48 1,43

2,65 1,23*

2,18 1,08*

2,04 1,17*

4,79 1,37

3,09 1,32*

2,27 0,82*

2,02 0,81*

Mental

T0

T3

T6

T12

3,70 1,19

2,07 0,83*

1,59 0,81*

1,49 0,95*

3,58 1,10

2,00 0,89*

1,56 0,86*

1,50 1,01*

3,92 1,34

2,20 0,69*

1,65 0,73*

1,48 0,86*

Sosial

T0

T3

T6

T12

3,16 1,17

1,65 0,81*

1,53 1,42*

1,24 0,77*

3,05 1,15

1,60 0,85*

1,33 0,73*

1,21 0,69*

3,36 1,22

1,77 0,75*

1,91 2,19*

1,30 0,91*

*Uji-t berpasangan dengan awal-studi, p < 0,001.

T0, awal-studi; T1, 3 bulan; T2, 6 bulan; T3, 1 tahun

NP = polyposis nasal.

mengganggu kenyamanan. Pada 3, 6 dan 12 bulan semua gejala nasal membaik secara

signifikan dibandingkan dengan awal-studi. Akan tetapi, kehilangan indera penciuman

memburuk pada 12 bulan dibandingkan dengan 6 bulan. Di awal-studi, pasien penderita

asma dengan polyps nasal mendapat skor obstruksi nasal dan kehilangan indera

penciuman yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak menderita asma. Pada 3 dan 6

7

bulan, pasien penderita asma dan nonpenderita asma mendapat skor perbaikan serupa

dalam obstruksi nasal dan kehilangan indera penciuman kecuali pada 12 bulan, di mana

kehilangan indera penciuman memburuk pada pasien nonpenderita asma dibandingkan

dengan pasien penderita asma (Gambar 4).

DISKUSI

Evaluasi NP sekarang ini terkendala oleh tidak adanya instrumen spesifik yang sah

untuk mengukur QOL dan tidak cukup data yang ada untuk menilai efek gender, durasi

terapi atau comorbiditas dengan asma atau sensitivitas aspirin pada QOL. Studi ini

dikembangkan untuk menyoroti efek pengobatan NP pada QOL. Semua pasien dengan

skor polyposis 1 atau 2 atas klasifikasi Lildholdt diobati dengan aturan pengobatan yang

sama. Studi kami mengikutsertakan 55 subjek dari awal-studi hingga 1 tahun dan

semuanya diperiksa dan ditindak-lanjuti oleh ahli otolaryngology yang sama. Ciri-ciri

populasi serupa dengan yang ada dalam literatur dalam hal usia (mean, 51 tahun), ratio

jenis kelamin (1,19), prevalensi asma terkait (34,5%) dan sensitivitas terhadap aspirin

(5,5%). Sebagian besar literatur yang ditinjau mengkaji steroid tunggal, yang digunakan

secara oral atau sebagai spray topical. Studi kami menegaskan bahwa (i) pasien dengan

NP mengalami QOL yang lebih buruk secara signifikan dalam semua domain RSDI

(keberfungsian fisik lebih rendah daripada keberfungsian mental), (ii) pengobatan steroid

menghasilkan peningkatan serupa dalam seluruh domain QOL pada NP dengan atau tanpa

asma (kecuali untuk keberfungsian sosial di mana pasien penderita asma mendapat skor

QOL yang lebih buruk daripada pasien nonpenderita asma), dan (iii) pengobatan steroid

dan clarithromycin mempertahankan perbaikan dalam gejala-gejala nasal. Di awal-studi,

pasien atopik dengan NP mendapat skor QOL yang lebih buruk (p < 0,05) daripada pasien

nonpenderita asma dengan NP dalam keberfungsian fisik, mental dan sosial. Pada 6 dan 12

bulan terapi medis, peningkatan QOL serupa ditemukan untuk keberfungsian fisik dan

mental pada pasien atopic dan nonatopic kecuali untuk keberfungsian sosial di mana yang

disebut pertama mendapat skor QOL yang lebih buruk daripada yang disebut terakhir.

Studi juga meneliti dampak NP yang mengindikasikan bahwa polyps nasal mengganggu

QOL pada ke 36 domain Bentuk Singkat, yaitu bahwa steroid intranasal memperbaiki

gejala-gejala dan QOL pada pasien dengan NP (yaitu, domain kesehatan umum, vitalitas,

8

keberfungsian sosial dan kesehatan mental). Steroid intranasal lebih efektif daripada

placebo dalam penurunan ukuran polyp. Studi kami menunjukkan bahwa QOL pada

pasien dengan NP terganggu di mana kesehatan fisik lebih terganggu daripada kesehatan

mental dan masa pemberian singkat steroid oral menyebabkan perbaikan yang signifikan

dalam semua domain RSDI dan pengobatan jangka panjang dengan clarithromycin dan

steroid intranasal mempertahankan perbaikan ini. Dua gejala paling melemahkan pada

pasien polyp nasal awal-studi adalah kehilangan indera penciuman dan obstruksi nasal.

Gejala-gejala nasal dengan jelas membaik setelah pengobatan steroid oral dan steroid

intranasal mempertahankan efek ini kecuali indera penciuman, yang merupakan

kekurangan pada 12 bulan pada terlebih pasien nonpenderita asma dibandingkan dengan

pasien penderita asma. Ditunjukkan bahwa terjadi perbaikan yang jelas dalam gejala-

gejala nasal setelah 2 minggu memulai steroid oral, terutama untuk obstruksi nasal dan

penurunan indera penciuman. Steroid intranasal (fluticasone atau beclomethasone)

mendapat penerimaan sebagai pengobatan alternatip untuk bedah pada NP dan efektif

dalam mengurangi gejala-gejala nasal bila dibandingkan dengan placebo. Kombinasi

steroid oral dan intranasal ternyata efektif untuk mengobati NP dengan memperbaiki

indera penciuman, obstruksi nasal dan gejala-gejala nasal lainnya. Obstruksi nasal

merupakan keluhan utama pada pasien NP dan koreksi permanen atas disfungsi

penciuman bisa dicapai melalui kombinasi nasalisasi dan steroid nasal dosis rendah. Tiga

studi besar dikhususkan untuk efikasi steroid sistemik, yang menunjukkan perbaikan sejati

dalam semua gejala, terutama atas anosmia, yang berkorelasi kuat dengan penurunan

volume polyp. Dengan demikian pemberian steroid sistemik jangka pendek ternyata

mempunyai efikasi yang sama dengan polypectomy, tetapi perbaikan terbukti berdurasi

singkat. Lebih dari selusin studi berkontrol-placebo dipublikasikan tetapi efek terapeutik

sebagian besar dikaji selama periode yang terbatas hanya sampai beberapa minggu. Terapi

topical mempunyai efek bermanfaat yang pasti pada penyakit klinik dan pada ukuran

polyp tetapi menunjukkan sedikit aktivitas pada disfungsi indera penciuman.

Sebuah studi terhadap 20 pasien dengan CRS dan polyp nasal yang diobati

minimum selama 3 bulan dengan clarithromycin dengan dosis 400 mg/hari menunjukkan

bahwa pada kelompok yang mengalami penurunan ukuran polyp, konsentrasi IL-8

berkurang lima kali lipat. Konsentrasi IL-8 juga leih tinggi secara signifikan sebelum

9

pengobatan macrolide daripada dalam kelompok yang tidak menunjukkan perubahan

ukuran polyp. Dalam percobaan tak berkontrol lainnya, 40 pasien diobati dengan

roxithromycin dengan dosis 150 mg sekurang-kurangnya selama 8 minggu, di mana polyp

grade-lebih-rendah menyusut pada sekitar setengah pasien. Peneliti tidak menemukan

korelasi antara efek pengobatan dan tingkat keparahan eosinophilia dalam jaringan.

Sebuah laporan studi menunjukkan peningkatan QOL yang lebih besar bila NP

terkait dengan asma dan keberfungsian fisik dan mental lebih rendah secara signifikan

pada pasien penderita asma daripada pasien nonpenderita asma. Asma berdampak

merugikan pada vitalitas dan kesehatan umum dibandingkan dengan hanya rhinosinusitis.

Studi ini menunjukkan bahwa pasien penderita asma mendapat skor gejala nasal yang

lebih tinggi dan QOL yang lebih buruk untuk keberfungsian fisik, mental dan sosial

daripada pasien nonpenderita asma. Akan tetapi, pasien penderita asma dan nonpenderita

asma mengalami gejala-gejala nasal dan ukuran polyp serupa dan mendapat skor domain

QOL serupa setelah steroid oral, dan efek ini dipertahankan dengan terapi steroid

intranasal jangka panjang. Indera penciuman lebih memburuk pada 12 bulan pada pasien

nonpenderita asma daripada pasien penderita asma dengan NP. Dalam studi ini, masa

pemberian singkat steroid oral menghasilkan penurunan ukuran polyp yang signifikan

pada pasien penderita asma, yang tetap bertahan atas steroid intranasal jangka panjang.

Sedikit dilakukan studi untuk menilai dampak sensitivitas aspirin pada QOL pada pasien

dengan polyp nasal. Diindikasikan bahwa sensitivitas aspirin tidak mempunyai dampak

negatip lebih lanjut pada QOL dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam gejala-

gejala nasal, ukuran polyp dan QOL antara pasien penderita asma toleran-aspirin dan

sensitif-aspirin sebelum dan setelah masa pemberian singkat steroid oral atau pengobatan

steroid intranasal jangka panjang. Dalam studi kami, tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam skor ukuran polyp antara rongga hidung kanan dan kiri pada pasien yang toleran-

aspirin sebelum dan setelah masa pemberian singkat prednisolone oral dan steroid

intranasal jangka panjang. Sebaliknya, ada dicatat perbedaan yang signifikan dalam

ukuran polyp antara rongga hidung kanan dan kiri pada pasien yang intolerani-aspirin.

Sebagai kesimpulan, kekuatan studi ini meliputi ukuran sampel, lama tindak lanjut, sifat

prospektif dari pengumpulan data, dan metodologi yang kuat yang digunakan untuk

menentukan kualifikasi QOL. Limitasi utama adalah bahwa studi ini merupakan evaluasi

10

subjektif atas QOL dengan kuesioner RSDI yang menghasilkan bias. Sangat kecilnya

sampel pasien dengan intoleransi aspirin menghasilkan bias bila dibandingkan dengan 52

pasien dengan toleransi aspirin.

11