evaluation on quality
DESCRIPTION
Evaluation on QualityTRANSCRIPT
Evaluasi kualitas hidup pada pasien penderita polyposis nasal yang ditangani dengan
terapi medis optimal
ABSTRAK
Polyposis nasal (NP) berdampak besar pada kualitas hidup (QOL) dan
penatalaksanaannya melibatkan kombinasi dari terapi medis dan bedah. Sepanjang
pengetahuan penulis, tidak ada publikasi yang mengkaji NP secara luas setelah
pengobatan medis optimal yang didasarkan pada evaluasi subjektif. Tujuan dari studi
prospektif ini dirancang untuk mengevaluasi QOL pada pasien NP setelah (1) masa
pemberian singkat steroid oral, (2) masa pemberian awal 3-bulan macrolide, dan (3)
pengobatan jangka panjang dengan steroid intranasal. Sebanyak 55 pasien dengan NP
grade I dan II diobati secara berturut-turut dengan prednisolone oral dengan dosis tunggal
25 mg selama 2 minggu, macrolide dengan dosis 250 mg per hari selama 3 bulan pertama,
dan steroid intranasal jangka panjang. Pasien ditindak-lanjuti dan dievaluasi di awal studi
dan pada 3, 6 dan 12 bulan untuk ukuran QOL. Di awal studi, pasien dengan NP grade I
dan II menunjukkan skor QOL yang lebih buruk secara signifikan atas semua domain
Indeks Disabilitas Rhinosinusitis, terutama untuk fungsi fisik (4,59 1,41) dan lebih
tinggi secara signifikan dalam fungsi sosial (3,16 1,17). Pada 3, 6 dan 12 bulan
pengobatan, pasien menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam semua gangguan
domain QOL dibandingkan dengan awal-studi setelah terapi medis optimal (p < 0,05).
Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan medis optimal untuk meningkatkan QOL
memadukan polypectomy medis dengan masa pemberian singkat steroid oral selain
macrolide dan ini bisa dipertahankan dengan terapi steroid intranasal jangka panjang.
Polyposis nasal (NP) dicirikan oleh proses inflamasi mukosa sinonasal kambuhan dengan
keberadaan dua atau lebih gejala yang meliputi obstruksi, mampet atau meler, nyeri atau
takanan wajah dan penurunan indera penciuman selama 12 minggu. Etiologi NP tidak
diketahui tetapi dideteksi dan dimonitor dengan temuan-temuan endoskopik patologik
dan/atau perubahan scan computed tomography dalam kompleks osteomeatal dan/atau
sinus. Prevalensi NP pada populasi umum dianggap 4% dan bisa terkait dengan penyakit
sistemik dan penyakit pernapasan yang berbeda-beda seperti fibrosis kistik, rhinitis dan
1
asma dengan atau tanpa sensitivitas aspirin. Kira-kira 4,6% pasien dengan NP mengalami
tiga-serangkai acetylsalicylat: asma bronchial, rhinosinusitis kronis dan insensitivitas
aspirin. Pasien dengan NP ternyata mengalami beban penyakit yang lebih berat daripada
tanpa polyps. Relatip tidak ada dokumentasi dalam percobaan prospektif acak berkontrol
tentang peningkatan kualitas hidup (QOL) setelah pengobatan medis NP, yang bisa
menunjukkan bahwa pengobatan bedah NP mempunyai efek yang lebih baik pada QOL
daripada pengobatan medis. Peningkatan QOL setelah pengobatan NP berkorelasi dengan
perbaikan gejala nasal. Salah satu kuesioner yang sah yang paling sering digunakan untuk
menilai QOL adalah Indeks Disabilitas Rhinosinusitis (RSDI). RSDI menggunakan tiga
subskala (emosional, fisik dan fungsional) untuk mengkombinasikan pengukuran status
kesehatan umum dan QOL spesifik-penyakit. Endoskopi nasal memegang peranan yang
pasti dalam mendeteksi polyps nasal. NP pada pokoknya adalah penyakit yang akan
ditangani secara medis dan terapi medis optimal dibutuhkan sebelum dan stelah bedah.
Masa pemberian singkat prednisolone steroid sistemik dengan dosis 25 mg per hari selama
14 hari, yang berfungsi sebagai “polypectomy medis”, sama efektifnya dengan
polypectomy sederhana dengan jerat. Corticosteroid intranasal sebagai terapi jangka
panjang dasar jelas mengurangi ukuran polyps nasal dengan efek yang signifikan pada
skor gejala blokade dan ukuran objektif dari kemantapan nasal tetapi dengan penurunan
efek pada kehilangan indera penciuman. Antibiotik macrolide mempunyuai aktivitas anti-
inflamasi yang tinggi dan penurunan dalam virulensi bakteri pengkolonisasi, yang
menyebabkan penyusutan polyps nasal dengan mensupresi produksi cytokin dari sel-sel
inflamasi pada epitelium sinus paranasal. Tujuan utama dari studi ini adalah (1) untuk
mengevaluasi hasil QOL pada pasien dengan NP grade I dan grade II setelah terapi medis
optimal, (2) untuk mengevaluasi frekuensi berbagai penyakit pada pasien NP, dan (3)
untuk mengkorelasikan antara skor gejala-gejala nasal dan QOL setelah terapi medis.
BAHAN DAN METODE
Populasi Studi
Sebanyak 55 pasien dengan NP grade I dan II (klasifikasi Lildholdt) diikutsertakan
dalam studi prospektif ini dari bulan April 2011 hingga Februari 2013 dengan usia 18-65
tahun dengan rerata usia 51,47 tahun (SD, 14,35). Pasien perempuan lebih banyak
2
daripada pasien laki-laki (masing-masing 54,5 dan 45,5%). Semua pasien diperiksa dan
diobati selama durasi studi di Klinik Otorhinolaryngology Rawat Jalan. Persetujuan untuk
studi ini diperoleh dari Komisi Etik dan izin berpengetahuan luas yang ditandatangani
diperoleh dari semua pasien.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi meliputi usia pasien 18-65 tahun, gejala-gejala nasal selama 12
minggu, dan NP grade I dan II, dan kriteria eksklusi adalah NP grade III (indikasi tinggi
untuk pengobatan bedah), pasien penderita NP yang diobati secara bedah, alergi terhadap
antibiotik macrolide, pasein dengan kontraindikasi absolut untuk steroid sistemik, dan
pasien dengan kelainan struktural berat yang disebabkan penyimpangan septum nasal.
Rancangan Studi
Setelah masa pencucian 4 minggu atas steroid oral dan intranasal (minggu 0), 55
pasien menerima steroid sistemik (prednisone oral) dengan dosis tunggal 25 mg per hari
selama 2 minggu, yang diikuti dengan pemeliharaan dengan menggunakan steroid
intranasal jangka panjang (misalnya, spray nasal mometasone furoate cair pada 200
mg/hari). Antibiotik macrolide dengan dosis 260 mg per hari diberikan sebagai dosis
tunggal selama 3 bulan pertama. Evaluasi manfaat awal sebelum pengobatan dilaksanakan
yang diikuti dengan tiga evaluasi tindak lanjut pada 3, 6 dan 12 bulan pengobatan
(Gambar 1). Gejala-gejala nasal dan QOL dinilai dengan kuesioner RSDI dan semua
pasien yang direkrut menjalani test tindik-kulit.
Penilaian QOl dan RSDI
Semua pasien dengan NP grade I dan II yang memenuhi kriteria inklusi dinilai
secara subjektif dan setelah pengobatan medis dengan pengisian kuesioner RSDI yang
terdiri dari 28 pertanyaan yang dibagi dalam tiga domain (fisik, mental dan sosial). Skala
skor dari 0 hingga 100% dan skor yang lebih rendah mengindikasikan QOL yang lebih
baik. Masing-masing domain mempunyai 10 tingkatan jawaban yang didasarkan pada
tabel yang hanya memungkinkan satu jawaban. Skor ini diambil dan dibandingkan pada
interval studi tindak lanjut yang berbeda-beda (yaitu, awal studi dan 3, 6 dan 12 bulan).
3
Skor Gejala-gejala Nasal
Obstruksi nasal, kehilangan penciuman, rhinorrhea dan bersin-bersin dicatat dan
keparahan gejala-gejala ini dinilai dan ditentukan skornya pada tindak lanjut berikutnya
sebagai 0, sempurna; 1 dan 2, sangat bagus; 3 dan 4, bagus; 5 dan 6 cukup bagus; 7 dan 8,
buruk; dan 9 dan 10, sangat buruk.
Analisa Statistik
Analisa data dilaksanakan dengan paket statistik SPSS IBM Versi 19.0 (IBM
Company, United Kingdom) dengan menggunakan mean SD. Nilai p < 0,05 dianggap
signifikan secara statistik. Semua data dinilai untuk distribusi normal. Uji-t berpasangan
digunakan untuk membandingkan skor mean seiring berjalannya waktu. QOL (fisik,
mental dan sosial) dan pengobatan dibandingkan pada skor awal-studi dengan ujit-t
Student berpasangan berekor-dua dan perbedaan antar-kelompok dinilai dengan
menggunakan uji-t. Uji chi-kuadrat digunakan untuk menentukan hubungan (jumlah dan
persentase) antar-kelompok. ANOVA digunakan untuk membandingkan persentase QOL
dan skor gejala-gejala nasal 55 pasien untuk kunjungan di waktu yang berbeda-beda.
HASIL-HASIL
Sebanyak 55 pasien NP direkrut dan dimasukkan secara prospektif ke dalam studi
dengan perbandingan awal-studi atas skor keparahan-penyakit (yaitu, skor QOL) dan
tindak lanjut 1 tahun. Semua pasien menerima intervensi-bersamaan medis yang meliputi
prednisolone oral, clarithromycin dan pemberian steroid intranasal kontinu serta terapi
alergi. Data tindak lanjut tersedia untuk 55 (91%) dari 60 pasien di akhir studi ini.
Frekuensi Berbagai Penyakit pada Polyps Nasal
Sebelum pengobatan, 20 pasien dengan NP didiagnosa sebagai menderita hipertensi
(36,4%). Pasien penderita rhinitis alergik dan asma ditemukan masing-masing pada 17
(30,9%) dan 19 (34,5%) pasien NP. Penyakit eczema dilaporkan pada 5 (9,1%) pasien dan
intoleransi aspirin hanya dilaporkan pada 3 (5,5%) pasien. Test tindik-kulit positip
ditemukan pada 17 (30,9%) pasien dan 38 (69,1%) pasien menunjukkan test tindik-kulit
4
negatip. Dari antara 55 pasien yang hanya menderita NP, 39 (70,9%) menerima obat
(Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah dan persentase kondisi penyakit menurut waktu kunjungan (n = 55)
Penyakit Awal studi 3 bulan 6 bulan 1 tahun
n % N % n % n %
DM
Asma
Osteoporosis
Intoleransi aspirin
Eczema
Hypothyroidismus
12
20
19
17
1
3
5
2
21,8
36,4
34,5
30,9
1,8
5,5
9,1
3,6
9
18
16
16
1
3
5
2
16,4
32,7
29,1
29,1
1,8
5,5
9,1
3,6
7
17
15
14
1
3
5
2
12,7
30,9
27,3
25,5
1,8
5,5
9,1
3,6
8
17
16
15
1
3
5
2
14,5
30,9
29,1
27,3
1,8
5,5
9,1
3,6
DM = diabetes mellitus; HT = hipertensi; AR = rhinitis alergik
Penilaian QOL (RSDI)
ANOVA digunakan untuk membandingkan persentase QOL 55 pasien untuk waktu
kunjungan yang berbeda-beda. Perbandingan berpasangan menunjukkan QOL awal-studi
(40,52 12,07) signifikan pada tindak lanjut 3 bulan (23,66 9,85), 6 bulan (18,32
8,42) dan 1 tahun (17,28 8,79) (Tabel 2). Dalam perbandingan persentase QOL menurut
waktu kunjungan, pasien dengan NP mendapat skor QOL yang lebih buruk secara
signifikan sebelum pengobatan. Pada 3, 6 dan 12 bulan, pasien dengan NP menunjukkan
peningkatan signifikan serupa dalam QOL. Tidak ada diamati perbedaan yang signifikan
atas QOL antara 6 dan 12 bulan (Gambar 2). Pada semua domain RSDI, pasien dengan NP
menunjukkan QOL fungsi fisik yang lebih buruk secara signifikan (4,59 1,41) daripada
fungsi sosial (3,16 1,17). Semua domain RSDI berkorelasi secara statistik dengan
pasien NP penderita asma (Tabel 3). Di awal studi, pasien NP penderita asma mendapat
skor QOL yang lebih buruk (p < 0,05) daripada pasien NP tanpa asma dalam
keberfungsian fisik, mental dan sosial. Sebelum pengobatan pasien penderita asma
5
menunjukkan keberfungsian fisik, mental dan sosial yang lebih rendah daripada pasien
yang tidak menderita asma. Pada 6 dan 12 bulan, peningkatan QOL serupa diamati untuk
fungsi fisik dan mental pada pasien penderita asma dan nonpenderita asma kecuali untuk
fungsi sosial, di mana yang disebut pertama mendapat skor QOL yang lebih buruk
daripada yang disebut terakhir (Gambar 3).
Tabel 2 Perbandingan mean persentase QOL menurut waktu kunjungan
Mean SD Uji-t Berpasangan Nilai p
Pasangan 1QOL awal-studi
QOL 3 bulan
QOL 6 bulan
QOL 12 bulan
40,52
23,66
18,32
17,28
12,07
9,85
8,42
8,79
18,22
18,66
19,30
0,001*
0,001*
0,001*
*Nilai yang signifikan dari p < 0,05
QOL = kualitas hidup.
Skor Gejala-gejala Nasal
6
Pasien menilai kehilangan penciuman dan obstruksi nasal sebagai keluhan utama,
sementara gejala-gejala nasal lainnya jauh lebih jarang dan tidak begitu
Tabel 3 Rangkuman perbandingan mean komponen fisik, mental dan sosial pada pasien NP penderita asma dan
nonpenderita asma
Semua (n = 55) Tanpa Asma
(n = 33)
Asma
(n = 19)
Fisik
T0
T3
T6
T12
4,59 1,41
2,80 1,27*
2,21 0,99*
2,03 1,05*
4,48 1,43
2,65 1,23*
2,18 1,08*
2,04 1,17*
4,79 1,37
3,09 1,32*
2,27 0,82*
2,02 0,81*
Mental
T0
T3
T6
T12
3,70 1,19
2,07 0,83*
1,59 0,81*
1,49 0,95*
3,58 1,10
2,00 0,89*
1,56 0,86*
1,50 1,01*
3,92 1,34
2,20 0,69*
1,65 0,73*
1,48 0,86*
Sosial
T0
T3
T6
T12
3,16 1,17
1,65 0,81*
1,53 1,42*
1,24 0,77*
3,05 1,15
1,60 0,85*
1,33 0,73*
1,21 0,69*
3,36 1,22
1,77 0,75*
1,91 2,19*
1,30 0,91*
*Uji-t berpasangan dengan awal-studi, p < 0,001.
T0, awal-studi; T1, 3 bulan; T2, 6 bulan; T3, 1 tahun
NP = polyposis nasal.
mengganggu kenyamanan. Pada 3, 6 dan 12 bulan semua gejala nasal membaik secara
signifikan dibandingkan dengan awal-studi. Akan tetapi, kehilangan indera penciuman
memburuk pada 12 bulan dibandingkan dengan 6 bulan. Di awal-studi, pasien penderita
asma dengan polyps nasal mendapat skor obstruksi nasal dan kehilangan indera
penciuman yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak menderita asma. Pada 3 dan 6
7
bulan, pasien penderita asma dan nonpenderita asma mendapat skor perbaikan serupa
dalam obstruksi nasal dan kehilangan indera penciuman kecuali pada 12 bulan, di mana
kehilangan indera penciuman memburuk pada pasien nonpenderita asma dibandingkan
dengan pasien penderita asma (Gambar 4).
DISKUSI
Evaluasi NP sekarang ini terkendala oleh tidak adanya instrumen spesifik yang sah
untuk mengukur QOL dan tidak cukup data yang ada untuk menilai efek gender, durasi
terapi atau comorbiditas dengan asma atau sensitivitas aspirin pada QOL. Studi ini
dikembangkan untuk menyoroti efek pengobatan NP pada QOL. Semua pasien dengan
skor polyposis 1 atau 2 atas klasifikasi Lildholdt diobati dengan aturan pengobatan yang
sama. Studi kami mengikutsertakan 55 subjek dari awal-studi hingga 1 tahun dan
semuanya diperiksa dan ditindak-lanjuti oleh ahli otolaryngology yang sama. Ciri-ciri
populasi serupa dengan yang ada dalam literatur dalam hal usia (mean, 51 tahun), ratio
jenis kelamin (1,19), prevalensi asma terkait (34,5%) dan sensitivitas terhadap aspirin
(5,5%). Sebagian besar literatur yang ditinjau mengkaji steroid tunggal, yang digunakan
secara oral atau sebagai spray topical. Studi kami menegaskan bahwa (i) pasien dengan
NP mengalami QOL yang lebih buruk secara signifikan dalam semua domain RSDI
(keberfungsian fisik lebih rendah daripada keberfungsian mental), (ii) pengobatan steroid
menghasilkan peningkatan serupa dalam seluruh domain QOL pada NP dengan atau tanpa
asma (kecuali untuk keberfungsian sosial di mana pasien penderita asma mendapat skor
QOL yang lebih buruk daripada pasien nonpenderita asma), dan (iii) pengobatan steroid
dan clarithromycin mempertahankan perbaikan dalam gejala-gejala nasal. Di awal-studi,
pasien atopik dengan NP mendapat skor QOL yang lebih buruk (p < 0,05) daripada pasien
nonpenderita asma dengan NP dalam keberfungsian fisik, mental dan sosial. Pada 6 dan 12
bulan terapi medis, peningkatan QOL serupa ditemukan untuk keberfungsian fisik dan
mental pada pasien atopic dan nonatopic kecuali untuk keberfungsian sosial di mana yang
disebut pertama mendapat skor QOL yang lebih buruk daripada yang disebut terakhir.
Studi juga meneliti dampak NP yang mengindikasikan bahwa polyps nasal mengganggu
QOL pada ke 36 domain Bentuk Singkat, yaitu bahwa steroid intranasal memperbaiki
gejala-gejala dan QOL pada pasien dengan NP (yaitu, domain kesehatan umum, vitalitas,
8
keberfungsian sosial dan kesehatan mental). Steroid intranasal lebih efektif daripada
placebo dalam penurunan ukuran polyp. Studi kami menunjukkan bahwa QOL pada
pasien dengan NP terganggu di mana kesehatan fisik lebih terganggu daripada kesehatan
mental dan masa pemberian singkat steroid oral menyebabkan perbaikan yang signifikan
dalam semua domain RSDI dan pengobatan jangka panjang dengan clarithromycin dan
steroid intranasal mempertahankan perbaikan ini. Dua gejala paling melemahkan pada
pasien polyp nasal awal-studi adalah kehilangan indera penciuman dan obstruksi nasal.
Gejala-gejala nasal dengan jelas membaik setelah pengobatan steroid oral dan steroid
intranasal mempertahankan efek ini kecuali indera penciuman, yang merupakan
kekurangan pada 12 bulan pada terlebih pasien nonpenderita asma dibandingkan dengan
pasien penderita asma. Ditunjukkan bahwa terjadi perbaikan yang jelas dalam gejala-
gejala nasal setelah 2 minggu memulai steroid oral, terutama untuk obstruksi nasal dan
penurunan indera penciuman. Steroid intranasal (fluticasone atau beclomethasone)
mendapat penerimaan sebagai pengobatan alternatip untuk bedah pada NP dan efektif
dalam mengurangi gejala-gejala nasal bila dibandingkan dengan placebo. Kombinasi
steroid oral dan intranasal ternyata efektif untuk mengobati NP dengan memperbaiki
indera penciuman, obstruksi nasal dan gejala-gejala nasal lainnya. Obstruksi nasal
merupakan keluhan utama pada pasien NP dan koreksi permanen atas disfungsi
penciuman bisa dicapai melalui kombinasi nasalisasi dan steroid nasal dosis rendah. Tiga
studi besar dikhususkan untuk efikasi steroid sistemik, yang menunjukkan perbaikan sejati
dalam semua gejala, terutama atas anosmia, yang berkorelasi kuat dengan penurunan
volume polyp. Dengan demikian pemberian steroid sistemik jangka pendek ternyata
mempunyai efikasi yang sama dengan polypectomy, tetapi perbaikan terbukti berdurasi
singkat. Lebih dari selusin studi berkontrol-placebo dipublikasikan tetapi efek terapeutik
sebagian besar dikaji selama periode yang terbatas hanya sampai beberapa minggu. Terapi
topical mempunyai efek bermanfaat yang pasti pada penyakit klinik dan pada ukuran
polyp tetapi menunjukkan sedikit aktivitas pada disfungsi indera penciuman.
Sebuah studi terhadap 20 pasien dengan CRS dan polyp nasal yang diobati
minimum selama 3 bulan dengan clarithromycin dengan dosis 400 mg/hari menunjukkan
bahwa pada kelompok yang mengalami penurunan ukuran polyp, konsentrasi IL-8
berkurang lima kali lipat. Konsentrasi IL-8 juga leih tinggi secara signifikan sebelum
9
pengobatan macrolide daripada dalam kelompok yang tidak menunjukkan perubahan
ukuran polyp. Dalam percobaan tak berkontrol lainnya, 40 pasien diobati dengan
roxithromycin dengan dosis 150 mg sekurang-kurangnya selama 8 minggu, di mana polyp
grade-lebih-rendah menyusut pada sekitar setengah pasien. Peneliti tidak menemukan
korelasi antara efek pengobatan dan tingkat keparahan eosinophilia dalam jaringan.
Sebuah laporan studi menunjukkan peningkatan QOL yang lebih besar bila NP
terkait dengan asma dan keberfungsian fisik dan mental lebih rendah secara signifikan
pada pasien penderita asma daripada pasien nonpenderita asma. Asma berdampak
merugikan pada vitalitas dan kesehatan umum dibandingkan dengan hanya rhinosinusitis.
Studi ini menunjukkan bahwa pasien penderita asma mendapat skor gejala nasal yang
lebih tinggi dan QOL yang lebih buruk untuk keberfungsian fisik, mental dan sosial
daripada pasien nonpenderita asma. Akan tetapi, pasien penderita asma dan nonpenderita
asma mengalami gejala-gejala nasal dan ukuran polyp serupa dan mendapat skor domain
QOL serupa setelah steroid oral, dan efek ini dipertahankan dengan terapi steroid
intranasal jangka panjang. Indera penciuman lebih memburuk pada 12 bulan pada pasien
nonpenderita asma daripada pasien penderita asma dengan NP. Dalam studi ini, masa
pemberian singkat steroid oral menghasilkan penurunan ukuran polyp yang signifikan
pada pasien penderita asma, yang tetap bertahan atas steroid intranasal jangka panjang.
Sedikit dilakukan studi untuk menilai dampak sensitivitas aspirin pada QOL pada pasien
dengan polyp nasal. Diindikasikan bahwa sensitivitas aspirin tidak mempunyai dampak
negatip lebih lanjut pada QOL dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam gejala-
gejala nasal, ukuran polyp dan QOL antara pasien penderita asma toleran-aspirin dan
sensitif-aspirin sebelum dan setelah masa pemberian singkat steroid oral atau pengobatan
steroid intranasal jangka panjang. Dalam studi kami, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam skor ukuran polyp antara rongga hidung kanan dan kiri pada pasien yang toleran-
aspirin sebelum dan setelah masa pemberian singkat prednisolone oral dan steroid
intranasal jangka panjang. Sebaliknya, ada dicatat perbedaan yang signifikan dalam
ukuran polyp antara rongga hidung kanan dan kiri pada pasien yang intolerani-aspirin.
Sebagai kesimpulan, kekuatan studi ini meliputi ukuran sampel, lama tindak lanjut, sifat
prospektif dari pengumpulan data, dan metodologi yang kuat yang digunakan untuk
menentukan kualifikasi QOL. Limitasi utama adalah bahwa studi ini merupakan evaluasi
10