essay elfina itb
DESCRIPTION
essay nuklirTRANSCRIPT
Urgensi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sebagai Solusi Pemenuhan Kebutuhan Listrik Nasional
Upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia baik dalam skala
mikro maupun makro tentu perlu untuk didukung dengan infrastruktur yang
memadai. Perkembangan industri yang kini dipusatkan kepada sektor kreatif dan
manufaktur tentu menjadikan listrik sebagai suatu kebutuhan mutlak. Dalam
roadmap Kebijakan Energi Nasional, diharapkan pembangunan infrastruktur
kelistrikan memenuhi proyeksi kebutuhan listrik sejumlah 115 GW pada 2025
dan 430 GW pada 2050 dari jumlah saat ini yang hanya senilai 34,5 GW.
Perhitungan kebutuhan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
perkembangan teknologi, bertambahnya jumlah penduduk, serta pertumbuhan
ekonomi nasional. Di sisi lain isu pemanasan global dan jumlah cadangan energi
fosil yang menipis menjadikan investasi energi listrik dari sumber alternarif
semakin mendesak untuk dilakukan.
Di antara berbagai jenis sumber daya baru terbarukan, energi nuklir
merupakan salah satu alternatif yang menjanjikan. Pemilihan nuklir dalam
pengembangan infrastruktur listrik perlu untuk segera dilakukan mengingat biaya
yang murah serta dampak emisi lingkungan yang rendah dibanding sumber energi
lain. Berdasarkan data dari World Nuclear Association, 30 negara saat ini telah
menggunakan nuklir sebagai bahan bakar energi listrik. Bahkan untuk Prancis,
Belgia, Ukraina, Slovakia serta Swedia, PLTN telah menjadi sumber energi
utama yang memasok lebih dari 40% kebutuhan listrik negara tersebut.
Dari segi ekonomi sendiri, nilai investasi yang relatif besar di muka untuk
pembangunan PLTN ternyata tetap menghasilkan harga listrik per kWh yang lebih
murah untuk jangka panjang proses produksi. Berdasarkan data dari BATAN,
biaya pembangunan PLTN yang mencapai Rp. 150 triliun untuk kapasitas
pembangkit sebesar 500 MW terbukti akan menghasilkan biaya listrik yang lebih
rendah mengingat masa penggunaan yang minimal selama 60 tahun dibanding
dengan jenis pembangkit listrik berbahan bakar lainnya yang hanya memiliki usia
pakai separuhnya. Selain itu biaya produksi per kWh nuklir adalah senilai sekitar
3 sen rupiah per kWh yang jauh lebih murah dibanding rata-rata harga listrik
produksi PLN saat ini yang mencapai 8-10 sen rupiah per kWh. Data-data tersebut
telah menunjukkan bagaimana nuklir merupakan sebuah solusi ekonomis untuk
menghasilkan kebutuhan listrik berjumlah besar dalam jangka panjang.
Sedangkan apabila ditinjau dari sisi lingkungan jangka panjang, energi
nuklir merupakan energi yang paling ramah lingkungan, bahkan bila
dibandingkan dengan berbagai alternatif energi terbarukan lainnya. Dikutip dari
Inderscience's International Journal of Nuclear Governance, Economy and
Ecology, Jesse H. Ausuble, seorang ilmuwan lingkungan di Rockefeller
University New York, mengungkapkan bahwa energi terbarukan selain nuklir
pada umumnya tetap memiliki efek buruk terhadap lingkungan terutama
mengingat luas lahan yang dibutuhkan. Padahal dunia sendiri saat ini telah
mengalami kekurangan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan tempat
tinggal.
Untuk menghasilkan listrik setara dengan produksi sebuah PLTN 1.000
Megawatt electric (MWe), energi alternatif biomassa akan membutuhkan lahan
seluas 2.500 km persegi. Sedangkan untuk energi angin, dibutuhkan kurang lebih
770 km persegi lahan untuk menghasilkan energi yang setara, dengan catatan
kecepatan angin dan arah angin tetap mengingat 100 meter persegi daerah yang
berangin hanya cukup untuk melistriki satu atau dua lampu. Sedangkan PLTS
akan membutuhkan lahan seluas lebih dari 150 km persegi untuk menyimpan dan
menghasilkan listrik. Bahkan rata-rata setiap bentuk energi terbarukan
membutuhkan infrastruktur dan material seperti beton, baja, dan jalan akses
minimal 10 kali lebih banyak per kilowatt listrik dihasilkan dibandingkan dengan
penggunaan nuklir.
Sedangkan apabila dilihat dari sisi lingkungan, PLTN mempunyai
keunggulan emisi karbon yang lebih rendah dibanding energi alternatif lainnya.
Menurut data dari Lembaga Penelitian Indonesia bidang energi, pembangkit
nuklir telah membantu pengurangan emisi sebanyak 75 juta ton SO2 dan 32 juta
ton NOx secara komulatif antara tahun 1973 sampai dengan tahun 1995 di seluruh
dunia. Menilik data untuk tahun 1995 saja, pembangkit nuklir telah mengurangi
5.1 juta ton SO2 yang berjumlah hampir setengah dari target yang disepakati
dalam program "Clean Air Act Amendments of 1990". Energi nuklir juga
mencegah pelepasan 2.5 juta ton NOx, dimana nilai ini melebihi dari target yang
ditentukan sebesar 2 juta ton NOx oleh Clean Air Act Amendments of 1990.
Penolakan terhadap program PLTN pada umumnya terjadi akibat
ketakutan masyarakat atas efek lingkungan yang dihasilkan dari radioaktif nuklir.
Padahal dalam pengoperasian PLTN, limbah radioaktif yang dihasilkan terjamin
aman dan tidak akan membahayakan lingkungan maupun manusia. Sistem
pengolahan limbah telah dilakukan secara integratif salah satunya dengan
menerapkan penyimpanan secara ketat di tempat yang terpencil. Bahkan dengan
PLTN generasi terbaru, limbah radioaktif ini bisa dijadikan sebagai bahan bakar
lagi melalui proses reprocessing dan recycling.
Segi keamanan dari pembangunan PLTN sendiri tidak perlu dikhawatirkan
mengingat saat kerjasama pembangunan reaktor nuklir dilakukan dengan negara
yang telah menerapkan teknologi nuklir sebagai provider, pengawasan dan
transfer teknologi akan dilakukan secara menyeluruh. Dari segi sumber daya
manusia, BATAN sendiri saat ini telah memiliki ahli-ahli nuklir yang menyatakan
kesanggupannya untuk mengelola reaktor nuklir dan berjumlah melebihi
kebutuhan tenaga ahli.
Saat ini, ada 3 lokasi potensial di Indonesia sebagai tempat untuk dibangun
PLTN, yaitu Muria di Jawa Tengah, Pulau Bangka dan Kalimantan Timur.
Hingga saat ini pembangunan PLTN terhambat baik oleh penentangan dari
masyarakat sendiri salah satunya dengan argumen bahwa Indonesia terletak di
ring of fire dan juga kurangnya political will dari pemerintah. Padahal pemilihan
lokasi pembangunan reaktor nuklir sendiri telah dipertimbangkan secara hati-hati
dari pihak BATAN dengan mempertimbangkan parameter-parameter tertentu
bahkan dengan kajian yang memakan waktu hingga bertahun-tahun. Selain itu
Indonesia sangat membutuhkan solusi untuk mengentaskan energy poverty
mengingat 38 juta penduduk Indonesia sama sekali belum mendapatkan suplai
listrik. Jumlah tersebut belum termasuk dengan penduduk yang memperoleh
listrik namun tidak secara stabil dan kontinu.
Perkembangan ekonomi, kemajuan industri, peningkatan produktivitas
masyarakat, dukungan terhadap perkembangan teknologi, dan bahkan kebanggaan
atas negara, semua itu dapat diwujudkan dengan dibangunnya PLTN. Akhir kata,
urgensi pembangunan PLTN di Indonesia tidak hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan listrik, melainkan juga sebagai sarana pembangunan bangsa.