epidemiologi

32
A. Epidemiologi Pada tahun 1988, WHO untuk pertama kali memublikasikan masalah sindroma metabolik (metabolic syndrome) sebagai sekumpulan faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan atau mudah menderita serangan jantung atau penyakit kardiovaskuler (cardiovascular disease). Sindroma metabolik pada para obesitas, sekarang diketahui dapat berkembang menjadi berbagai penyakit serius berbahaya selain penyakit jantung, ternyata juga penyebab dari diabetes tipe 2 (Soegondo, 2007). Dari penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1988-1994, sindroma metabolik, penyakit yang sekarang umum dijumpai di negara-negara maju, mewakili sekitar 24 persen populasi dewasa (dari 47 juta orang), dimana 50 persen di antaranya adalah usia lanjut. Sindroma ini tampak meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Pada populasi dengan kisaran usia 20-29 tahun ditemukan 6,7 persen, usia 30-39 meningkat menjadi 20 persen dan meningkat lagi menjadi 43 persen pada sampel dengan usia 60-69 tahun. Di atas usia 70 tahun persentasinya tetap di atas 40 persen. Tidak ditemukan perbedaan bermakna untuk wanita (23,4%) dengan pria (24,0%) (Soegondo, 2007).

Upload: wulan-azmi

Post on 04-Sep-2015

6 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

epidemiologi dm

TRANSCRIPT

A. EpidemiologiPada tahun 1988, WHO untuk pertama kali memublikasikan masalah sindroma metabolik (metabolic syndrome) sebagai sekumpulan faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan atau mudah menderita serangan jantung atau penyakit kardiovaskuler (cardiovascular disease). Sindroma metabolik pada para obesitas, sekarang diketahui dapat berkembang menjadi berbagai penyakit serius berbahaya selain penyakit jantung, ternyata juga penyebab dari diabetes tipe 2 (Soegondo, 2007).Dari penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1988-1994, sindroma metabolik, penyakit yang sekarang umum dijumpai di negara-negara maju, mewakili sekitar 24 persen populasi dewasa (dari 47 juta orang), dimana 50 persen di antaranya adalah usia lanjut. Sindroma ini tampak meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Pada populasi dengan kisaran usia 20-29 tahun ditemukan 6,7 persen, usia 30-39 meningkat menjadi 20 persen dan meningkat lagi menjadi 43 persen pada sampel dengan usia 60-69 tahun. Di atas usia 70 tahun persentasinya tetap di atas 40 persen. Tidak ditemukan perbedaan bermakna untuk wanita (23,4%) dengan pria (24,0%) (Soegondo, 2007).Penyebabnya di duga adalah pola hidup yang berubah, menjadi gaya hidup hadoris yang lebih banyak duduk-duduk (sedentary lifestyle), pola makan buruk dengan konsumsi junk food yang tinggi kalori (lemak dan karbohidrat), dan kurang gerak (physical inactivity). Masalah lain disebutkan pula adalah menjadi tua (aging), gangguan hormonal (hormonal imbalance), menurunnya produksi hormone pertumbuhan (human growth hormone) dan diabetes turunan (insulin resistance) yang merupakan faktor genetik. Mulai terjadi pada saat usia dewasa pertengahan (sekitar 35-40 tahun) pada tiga dari lima orang yang tergolong kegemukan dengan perut buncit (abdominal obesity). Resiko meningkat seiring dengan konsumsi makanan pola Barat (junk food, soft drink, fried chicken, hamburger), makanan yang berpengawet, makanan bertepung dan digoreng dengan minyak banyak (Soegondo, 2007).

Tabel 1 : Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik (Soegondo, 2007)

Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi, didapatkan angka prevalensi Sindrom Metabolik pada populasi urban laki-laki yaitu dari 8% (India) sampai24% (Amerika Serikat), sedang untuk wanita dari 7% (Perancis) sampai 46% (India) sedangkan di Indonesia prevalensi sindroma metabolik sekita 13,13% (Soegondo, 2007).

B. Faktor Resiko Sindrom MetabolikFaktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor risiko sindrom metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok dan aktivitas fisik), social ekonomi, genetik serta stress.1) Gaya hidupa. Pola makan Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama sindrom metabolik tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti sedentary lifestyle, pola konsumsi yang tidak seimbang. Studi dilakukan oleh Research Triangle Institute Internasional di Amerika ternyata menunjukkan hubungan prevalensi obesitas/ berat badan lebih dari jumlah yang dipakai anak-anak untuk nonton TV (Arief, 2008). Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol. Konsumsi lemak Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun 1990)(Badan pusat statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Lebih banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak beraktivitas (9,1%) (Arief, 2008).Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti hipertensi, diabetes, obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon (Pitsavos, 2006). Konsumsi gula dengan pemanis yang rendah energi atau karbohidrat kompleks direkomendasikan dalam mengurangi intake energi dan menurunkan berat badan (Arief, 2008).Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium, magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah dihubungkan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi CRP yang merupakan marker inflamasi. Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa konsumsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian sindrom metabolik. Esposito et al menunjukkan bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan marker inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5 porsi sayur dan buah sehari direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kronis (Arief, 2008). b. Aktivitas fisik Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan kadar HDL kolesterol (Pitsavos,2006).c. Merokok Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya penyakit kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok (Soeharto, 2004).Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap, bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto, 2004). Orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama risiko (hipertensi dan hiperkolesterol) (Anwar, 2004).Senyawa nikotin menyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg nikotin menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada perokok kronis. Merokok sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner epicardial dan peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner meskipun kebutuhan oksigen miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi endotel terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari rokok yang mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide anion dan hidroksil yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang dilepaskan dari endotelium. Nikotin menyebabkan disfungsi endotel dengan peningkatan oksidatif stress. Merokok dapat merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat maupun pada pasien Non-insulin Dependent Diabetes (Soeharto, 2004). 2) UsiaPada sebuah studi di Amerika Serikat terjadi peningkatan jumlah orang dengan sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia. Ditemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 6,7% pada usia 20-29 tahun dan 43,5% pada usia 60-69 tahun (Soegondo, 2007).3) GenetikBeberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas menunjukkan bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen the beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga telah diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen LDLR, TNFRSFI B, POMC, APOB,APOD dsb (Soeharto, 2004).Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada beberapa orang faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas tidak timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi berbagai gen obesitas (Garrow, 1988). Hasil penelitian Mayers menunjukkan bahwa kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas (Soeharto, 2004). 4) Sosial ekonomiDi negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi. Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan obesitas. Penelitian efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air daripada di Senegal dengan GDP perkapita di Afrika Utara lebih besar 6,6 kali dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal 22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal hanya 6,5% (Almatsier, 2004).Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Almatsier, 2004).Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES rendah adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang kaki lima dengn aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas hypothalamus pituitary adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh, serta faktor genetik (Almatsier, 2004).C. Tanda dan gejala Sindrom MetabolikManifestasi klinis dari sindrom metabolik meliputi (Wang, 2013) :1) HipertensiHipertensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang system saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, memengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah (Dyah dan Soegondo, 2009).2) Hiperglikemia (>100 mg/dL) (Haris, 2009).3) Hipertrigliseridemia (>120mg/dL) (Haris, 2009).4) Kadar kolesterol HDL yang rendah (65,1 cm Usia 6-8 tahun anak perempuan : >58,5 cm Usia 9-11 tahun : >70,2 cm Pada obesitas, terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorbsi natrium di ginjal dan menyebabkan hipertensi.6) Nyeri dada atau sesak nafas : munculnya kardiovaskular dan komplikasi lain7) Acanthosis nigricans, hirsutisme, neuropati perifer, dan retinopati : Pada pasien dengan resistensi insulin dan hiperglikemia atau diabetes mellitus Acanthosis nigrican adalah akantosis difus mirip beludru dengan pigmentasi gelap, terutama di aksila, terdapat dalam bentuk dewasa, sering disertai karsinoma internal (disebut maligna acanthosis nigricans), dan bentuk nevoid, jinak, tersebar hamper merata. Bentuk juvenilis jinak yang disertai obesitas, dan kadang-kadang disebabkan oleh gangguan endokrin (Dorland, 2005). Hirsutisme : berambut abnormal, khususnya pada wanita yang memeliki pola penyebaran rambut seperti pria dewasa (Dorland, 2005). Neuropati perifer : gangguan fungsional atau perubahan patologis pada sistem saraf tepi, kadang terbatas hanya pada lesi non-inflamatorik (Dorland, 2005). Retinopati : gangguan penglihatan, kelaianan penglihatan, edema dan eksudasi ke dalam retina, serta kadang-kadang perdarahan pada retina (Dorland, 2005).8) Xanthomas dan xanthelasmas : pada pasien dengan dislipidemia parah Xanthomas : tumor yang mengandung sel-sel berbusa yang berisi leka, merupakan histiosit yang mengandung material lipid sitoplasma (Dorland, 2005). Xanthelasmas : xanthoma planar yang mengenai kelopak mata (Dorland, 2005).

D. Gambaran histopatologis1) HipertensiHIpertensi tidak saja mempercepat aterogenesis, tetapi juga menyebabkan perubahan degeneratif di dinding arteri besar dan sedang, yang memudahkan terjadinya diseksi aorta dan perdarahan serebrovaskular. Hipertensi juga berkaitan dengan dua bentuk penyakit pembuluh darah kecil : arteriosklesrosis hialin dan arteriosklerosis hiperplastik (Kumar et al, 2007).

Gambar AGambar B

Gambar A dan B : Pembuluh darah pada hipertensi (Kumar et al, 2007)

Keterangan : Gambar A : Arteriosklerosis hialin. Dinding arteriol mengalami hialinisasi dan lumen sangat menyempit. Gambar B : Arteriosklerosis hiperplastik (kulit bawang) menyebabkan obliterasi lumen (tanda panah), disertai perubahan iskemik sekunder, yang bermanifestasi sebagai mengeriputnya pembuluh kapiler glomerulus di kiri atas (Kumar et al, 2007).

E. Penatalaksanaan Sindrom MetabolikTabel 2 Penatalaksanaan Sindrom Metabolik

Target dan tujuan terapiRekomendasi terapi

Faktor risiko gaya hidupPencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes mellitus tipe 2

Obesitas abdomenMengurangi berat badan sebanyak 7% hinggan 10% selama 1 tahun pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan (IMT