ennysoeprapto · tidak diedit 21 mei 2003 file21 mei 2003 tidak diedit uedited iondisi bangsa...

5
' I ' 1 ] ny· 21 Mei 23 Tidak die dit Uedited IONDISI BANGSA INDONESIA ETNIK TIONGHOA LIMA TAHUN SETELAH TRAGEDI NASIONAL MEI 1998 DILIHAT DARI PERPEKTIF HOKUM DAN HAM I. PENDAHULUAN - SEBUAH CATATAN KECIL - * --- I 1. Terlepas dari pertanyaan tentang siapa yang dapat diduga sebagai auctor intellectualis-nya serta motif yang mendorong dan tujuan yang ingin dicapai oleh auctor intellectualis itu, adalah kenyataan bahwa Tragedi Na sional. Mei.1998, di mana ·terdapat indikasi tentang telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, berwarna rasial, di mana bangsa Indonesia etnik Tionghoa menjadi sa saran dan korban utamanya. 2 . Sejak Tragedi Nasional Mei 1998, yang disusul dengan rutuhnya rezim "Orde Baru" yang otoriter se r ta yanR meneraokan .kebiir. atau ,yang membiarkan berlangsungn y a praktik diskrimina . si deng an bangca Indone3iG etnik Tionghoa sebaga� sasaran dan korban utame, pemilihan umum unt uk menggantikan badan penentu arah kebijakan negara dan badan legislatif ciptaan "Orde Baru" telah berlang- suns, tiga presiden yang tidak sama orangnya telah memimpin negaTa ini, UUD 1945 tel�h empat kali diamendemen, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain telah dibuat, yang semuanya diharapkan atau dimaksudkan untuk dapat membawa bang�a dan· negara ke ke hidupan yang demokratis yang berciri utama dijunjungnya supremasi hukum dan dihormatinya hak asasi manusia ( HAM). Apakah dampak berbagai perkebangan·tersebut setelah lima tahun berlalu- nya Trngedi Mei 1998 p ada kondisi bangsa Indonesia etnik Tionghoa �ilihat dari perpekstif hukum dan HAM? Stock-taking tni, lima tahun pasca-Tragedi Na sional Mei 1998, memang perlu dan tepat waktu. II. PEI.ANGGARAN HAK ASAS - 1 DAN KEBEBASAN FUNDAMENTAL BANGSA INDONESIA ETNIK TIONGHOA 3. Di masa "Orde Baru" bangsa Indone sia etnik Tionghoa menga- lami pelanggaran hak a sasi dan kebebasan fundamental mereka, baik d i bidang sipil dan politik maupur di bidang ekonomi, sosial, dan budaya , baik de jure maupun de facto, dan bn ik verli- kal maupun horisontal. Pelanggaran tersebut bertolak dari cara pandang di skriminatif terhadap bargsa Indonesia etnik Tior.ghoa, terutama karena ra snya. * tatan untuk Dis ku si Publik "Antara Mitos dan Sta tus Quo: Eksi stensi dan Identitas Etnis Tionghoa d i Indonesia Setelah 5 Tahun Peristiwa Mei 1998", Jakarta American Club, Wisma BNI, J akarta, 22 Mei 2003.

Upload: votu

Post on 18-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

'

I

'

1 ]

Enny·SOEPRAPTO 21 Mei 2003

Tidak diedit Uedited

IONDISI BANGSA INDONESIA ETNIK TIONGHOA LIMA TAHUN SETELAH TRAGEDI NASIONAL MEI 19 9 8

DILIHAT DARI PERPEKTIF HOKUM DAN HAM

I. PENDAHULUAN

- SEBUAH CATATAN KECIL - *

---

I

1. Terlepas dari pertanyaan tentang siapa yang dapat diduga sebagai auctor intellectualis-nya serta motif yang mendorong dan tujuan yang ingin dicapai oleh auctor intellectualis itu, adalah kenyataan bahwa Tragedi Na sional. Mei.1998, di mana ·terdapat indikasi tentang telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, berwarna rasia l, di mana bangsa Indonesia etnik Tionghoa menjadi sasaran dan korban utamanya.

2. Sejak Tragedi Nasional Mei 1998, yang disusul dengan rurrtuhnya rezim "Orde Baru" yang otoriter serta yanR meneraokan .kebiirikr1r. atau ,yang membiarkan berlangsungnya praktik diskrimina.si dengan

bangca Indone3iG etnik Tionghoa sebaga� sasaran dan korban utame, pemilihan umum untuk menggantikan badan penentu arah kebijakan negara dan badan legislatif ciptaan "Orde Baru" telah berlang­suns, tiga presiden yang tidak sama orangnya telah memimpin negaTa ini, UUD 1945 tel�h empat kali diamendemen, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain telah dibuat, yang semuanya diharapkan atau dimaksudkan untuk dapat membawa bang�a dan· negara ke ke hi.dupan yang demokratis yang berciri utama dijunjungnya supremasi hukum dan dihormatinya hak asasi manusia ( HAM). Apakah dampak berbagai perkernbangan·tersebut setelah lima tahun berlalu­nya Trngedi Mei 1998 p ada kondisi bangsa Indonesia etnik Tionghoa �ilihat dari perpekstif hukum dan HAM? Stock-taking tni, lima tahun pasca-Tragedi Nasional Mei 1998, memang perlu dan tepat waktu.

II. PEI.ANGGARAN HAK ASAS-1 DAN KEBEBASAN FUNDAMENTAL BANGSA

INDONESIA ETNIK TIONGHOA

3. Di masa "Orde Baru" bangsa Indone sia etnik Tionghoa menga-lami pelanggaran hak a sasi dan kebebasan fundamental mereka, baik di bidang sipil dan politik maupur. di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, baik de jure maupun de facto, dan bn ik verli­kal maupun horisontal. Pelanggaran tersebut bertolak dari cara pandang di skriminatif terhadap bar.gsa Indonesia etnik Tior.ghoa, terutama karena rasnya.

* Catatan untuk Disku si Publik "Antara Mitos dan Status Quo: Eksistensi dan Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia Setelah 5 Tahun Peristiwa Mei 1998", Jakarta American Club, Wisma BNI, Jakarta, 22 Mei 2003.

u

jj } ! l I 11

, . .i ,., I ·• I 11

] l JI �j'.l I '' •. ' .. '.: ··.�· .. :­·.·�;t £_ ��' '-. .. ,"·:· .. · .. '

'

��:-

- L. -

4. Memang benar bahwa, di masa "Orde Baru", ketentuan pera-turan perundang-undangan nasional yanR mengakui dan menjamin penghormatan hak asasi dan kebebasan warga negara dan penduduk sangat terbatas jumlahnya. UUD 1945, misalnya, hanya mempunyai ���at pasal yang memuat ketentuan tentang HAM , yakni Pasal 27 ayat (1) dan ayat ( 2) (persamaan kedudukan dalam hukum dan peme­rintahan serta hak atas pekerjaan dan etas penghidupan yang l�yak bagi kemanusiaan), Pasal 28 (kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pikiran), Pasal 29 ayat (2) (kemerde­kaan memeluk ahgama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan­nya) � dan Pasal 31 ayat (1) (hak atas pengajaran). Di samping itu, sangat ter bata s pula jumlah instrumen internasional mengena i HAM yang tel�� d isa hkan olch Indonesia, hanya dua sclamn 32 tahun kala hidup "Orde Baru", yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Oiskriminasi terhadap Perempu an, 1979 (disahkan pada 1984) dan Kon v ensi tcntang flak Anak, 1989 (disahkan pada 1990) . Dengan demikian, sarnpai berakhirnya rezirn "Orc;l.e Bar u ", Indone sia hanya menjadi pih ak pada tiga . intsrum en PBB mengena i !!AM, yakni Konv ensi tentang Hak Politik Ferempuan, 1952 (yang disahkan pada 1958, jadi sebelum lahi rny a "Orde Baru") dan kedua konvensi tersebut di de p an . Patut juga dicatat bahwa Pemerintah Indonesia merasa tidak terikat secara hu kum oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), 1948 karena instrumen ini bukan instrum e n hukum dan karenanya hanya dinilai

sebagai rekomendasi belaka. Hal yang . diabaikan adal8h kenyataan b ahw,a DUllAM 1048, meskipun hen<'tr bukan instrum e n internasional s i. r .i c L o s P n s u ,· · t e i a h d i a k u i d a n d i t c r i rn a s e c a r a u m u m o 1 e l, · k o !!I u " i -

tas bangsa-bangsu se bagai huku rn ke hi a s aan intern asiona l .

5. -Rngaimnna perkembar.gan pcmajuan hak as<::si d<.:r: kebehasan fundamen-tal sel ama lim;1 tahun terakh ir ini sej ak runtuhnya rezim "Orde Baru", k hususn ya secnra l egal - f o rma l dan, lcbih khususnya , yang ber-dampak positif

pada kon�isi bangsa Indonesia etnik Tiong h oa ? M cskipun tidak secepat yang seharusnya dapat dilak u k an semasa pe r iode tr ans is i ciari rezim otoriter ke sistcm keh id u p a n berbangsa dan hernegara yang demokrntis agar t ida k kchilangan momentum, harusi<th diakui, setidak-tidaknya di bidan g legal-formal, cukup signifikannya upaya nasional untuk memajukar. hak asnsi dar. kebebasar. fundamen-tal di Indonesia. Peristiwa pa l i n g signifikan dan yang merupaknn � m_e__� t u s p em a j u a n h a k a s a s i d a n k e b e b a s a n f u n d a me n t a l d i I n d o n e s i a adalah dikeluarkannya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 p ada 13 Novem-uer i998 tcntnng Hak /\sas1 �1anusia yan g mencamtumkan, rLiJam L.:rn1pi�3n II, f'iugam llak Asosi Mariusia, yang Lerdiri ua1i tuiuii alinea kons i de r ans dan 44 pasal substantif. Dokumen politis yang sangat pe ntin� ini, yang barangkali da p at disebut sebagai Indonesi­an ·Declaration of Human Rights, k emudian di terj emahkan kc dnlam instr um en y u rid i::; , yak n i U U No . 3 9 I 1 9 9 9 t er. tan g fl Al'i ( d i 11 r: d ang k: 1 r.

pada 23 S ep t em b e r 1999) ynng sclanjutny.::i di Jrngknpi rlr,1:·'.�11� 1111 No. 26/2000 t entang Pengadilan HAM (diundangknn pad;1 2'. t\ovemh"1· 2000) yang mengatur secara khusus penangannr: pelar.ggarnr: HAM yang berat. Sementara itu, antara 1999 dan 2002, MPR mclakukan empat kali amendemen ( yang melipuLi pe ru b a h an, penambaiinn, atau penghapusan) sejumlah pasal UUD 1945 (masing -masing pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 November 2001, dai: 1(1 Agust u s 2002), yang memuat pengaturan mengenai · dan/atau yang berdam­pak ·pada perlindungan, pemajuan, penega k an, dan pemenuhan hak asasi -Oan kebebasan fundamental, sebagai perubahan dan/atau pelengkap ketentuan yang sudah ada dalam naskah UUD 1945 dalam

-3-

bentuk aslinya.

6. (a) Perubahan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yang semula berbunyi "Presiden ialah orang Indonesia asli" mer.jadi "Calon Presiden dan calon W akil Presiden harus seorang warga negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima k ewargar.egaraan lain karena kehendaknya sendiri, • . • " (Perubahan Keti ga 10 Novem­ber 2001) memank ·menghilhngk an sifat diskriminatif-ra�ijl dengan aihapuskanny.a. kata "asli" dalam naskah y"lng diubah. Namun, sifat diskriminatif yang baru mewarnai Pasal 6 ayat (1) yang sudah diubah ini dengan adanya frasa "harus seorang warga negara sejak kelahirannya", yang berak ibat tertutupnya kemungkinan bagi seseo-rang yang menjadi warga ne2ara Indonesia melalui pewarganegaraan untuk men­j ?di calon Presiden/Wakil Presiden, meskipun ·ya_ng. 0 bersangkutan telah men)adi warga negara Indonesia selama puluhan tahun dar. telah men&�bdi bangsa dan negara ini selama puluhan tahun pula. Keten-tuan demikian bertentangan dengan hak asasi yang menjam in hak yang sama bagi seti ap warga negara untuk memperoleh kesempatar. yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan, jadi berten-tangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Ke dua 18 Agustus 2000);

(b) Mesk ipun _ istilah "asli " tidak lagi terda pat dal am Pasal 6 ayat (1) , ide (notion) "asli" (dan i mplisit "t idcik asli") tetap dipertahankan dalam Pasal 26 ayat (1) (Pasa.l 26 ayat (1) UUD 1945 ini Uerbunyi "Yang me�jadi warg2 r:ege.r2 ialah Qrang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahk an dengar. undang-undang sebagai warga r.egara");

(c) Kemajuan signifik an dalam pemajuan HAM adalah penerje­mahan ketentuan-k etentuan yang tercantum dalam Piagam HAM (Lam­piran II Tap MPR No. XVII/MPR/1998) menjadi ketentuan-ketentuan konstisional dengen mengir.korporasikannya ke dalam UUD 1945 (Pasal 28A-Pasal 28J di bawah Bab XA yang berjudul "Hak Asasi Manusia��). Dengan demikian, hak asasi dan kebebasan fundamental setiap orang atau setiap warga negara tidak hanya diakui dan dijamin perli ndungan, pemajuan, penegak an, dar. pemenuhannya menurut undang-undang (UU 39/i999 tentang HAM) melainkan, lebih kuat dari itu, oleh undang-undang dasar. Kewajiban Negara , teru­tama Pemerintah, untuk melindungi , memajuk an, menegakkan , dan memenuhi HAM .iuga tidak hanva meruoak an kewaiiban undan2-undan2 (Pasal 71 clan Pasal 72 UU 3 � /1999)

-melaink an� l ebih ber; t dari­

itu, merupak an k ewajiban konstitusional (lihat Pasal 28 ayat (4) yang berbunyi "Perli r.dungan, pemajuan, penegak an, dan peme­nuhan hak asasi manusi a adalah t anggung jawah negara, t erutama p�merintah") .

7 • Di ti ng k a t u n dang -u n d fl r: g , pc n g a k u an d a r. j a 111 i. n <i r: pc r l i n d u r� :·c -an, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM d i mantapkan oleh UU 39/1999 tentang HAM, yang justru dibuat lebih <lulu dilri Pasa l 28A-Pasal 28J UUD 1945, Perubahan Kedua (UU 39/1999 diundangka� pada 23 November 1999 sedangk an Pasal 28A-Pasal 28J disahk an Pada 18 Agustus 2000) . UU 39/1999 juga, sekaligus, mene t �pk an mekanisme pemantauan pelaksanaannya dengan adanya Komnas IIAM sebagai lembaga mandiri (yang k edudukannya setingkat der.gan lembaga negara lainnya) , lengk ap dengan rincian tujuan, fungsi , tugas, dan wewcnangnya. !JU 3 9/ 199 9 tersebut k emudi an dilengk api

dengan UU 2 6/2000 tentang Pengadilan HAM yang diundangkan pada 23 November 2000, yang mengatur penanganan "pelanggaran HAM yapg berat", baik yang terjadi sejak diundangkannya UU terse but maupun sebelumnya. Kemungkinan penerapan retroaktif UU 2 6/2000 ini sesuai dengan hukum kebiasaan internasional yang berlaku bagi kejahatan sejenis (lihat Pengadilan Militer Internasional Nue­renber 1945, Pengadilan Militer Internasional Tokyo 1948, Pasal 15 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, 19 6 6 , ICTY 1991, dan ICTR 1994). Hal yang juga khas yang diatur oleh UU 2 6/2000 adalah ditetapkannya Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik, guna memastikan objektivitas hasil penyelidikan karena Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen (lihat Pasal 18 beserta penjelasannya). Dengan demikian, sepanjang yang rnenyangkut "pelanggaran HAM yang be­rat'4 , yang menurut UU 2 6/2000 mencakup kejahatan genosida dan ke�ahatan terhadap kemanusiaan, penyelidikan, penyidikan, penun­tutan, dan pemeriksaannya di pengadilan tetap dapat dilakukan, me�kipun pelanggaran HAM yang berat tersebut terjadi sebelum diundangkannya UU 2 6/2000 tersebut. Atas dasar inilah Komnas HAM sejak Maret 2003 melakukan penyeli�ikan Ttagedi Nasional Mei_l998 yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan1 di mana bangsa Indonesia etnik Tionghoa banyak menjadi korban.

8. bi tir.gk3t yar.g lcb i h rendah dari undang-undang, sangat banyak peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif.

yang rnerugiKan, terutama, bangsa Indonesia etnik Tionghoa , ya ng dikeluarkan oleh rez i m "Orde Baru" di bidang kewarganegaraan, catatan sipil, media massa, kebudayaan dan adat ist 1 ada t , agama, dan pendidikan. yan g baru sebag a i tidak diberlakukan lagi.

9. Di t a t a r an internasional, releven dengan perlindungan dan

tindak signifikan dan pnling pcmenuhan hak asa si dan kebebasan

fundamental ban�sa Indonesia etnik Tionghoa yang diambil Pemerin­tah selama lima t a h un t crakhir ini adalah pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Aentuk Diskriminasi Rasioal, JQGS (UU 29/1999, d i u nd a ng k an pada 25 Mei 1999). sudah tentu tanpa mcnRurangi arti penting pcngesahan Konvcnsi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau P c ng h ukuman Lain yang Kejarn, Tidak

Manusiawi, atau Merendahkan Martabat K c manusiaan, 1984 (UU 5/1998 A ; 11 n rt -::. r- ,... i., n "" ,, ,, rt ..... � Q c .......... +- "' """ h ...... ..... i o n o '\ - ............. .......... •• o ... � • • t" � ..... l...i ..... ...... '-" .._ P L. !,...:. ,,, t.1 <- , ..a.. ../ ;_I v I •

III. PENUTUP

l 0. Di 1 i hat d a r i per s p e kt if 1 e g a - form a 1 , mes k j pun m '1 :-; i h !i ;1 r: v � k yang harus dilakukan, dapa t l ah di k nta k an bahwa scln111il l im;i tal1t11: terakhir ini tindak yang di a mbi l oleh Negarn/l'emcr Lntnl1 drilam u p a y a in c 1 i n ct u n g i , rn e m a j u k a n , m e n e g a k k a n , d a r. m e m [� r. �! h i h '! k a s c s i dan kebebasan fundamental bangsa Indonesia um u mnya dan bangsa Indonesia et n i k Tio n g ho a k h usu s r: ya , b a i k di tat n r a r; r: c1 �� i or: a 1 maupun internasional, cuk up berart'i dan patu·t di.dor<)r�g terus.

11. Hal yang mungkin lebih penting dari adanya peratu r a n perundang­Undangan nasional yang bertujuan melindungi, rnemaj ukan, dan

.> .�· , -5-

memenuhi hak asasi dan kebebasan fundamental bangsa Indonesia tanpa kecuali serta telah disahkannya instrumen-instrumen inter­n a-s i o n a 1 me n g e n a i H A M a d a 1 a h p e 1 a k s a n a a n n y a d a n t e r w u j u ci n y a perlindungan, pcmajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi serta kebebasan fundamental itu dalam kehidupan nyata. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan dua hal, yakni, pertama, secepatnya dibuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan peraturan perundang­undangan yang bersifat pokok sampai tingkat yang serinci dan seteknis mungkin dan, kedua, pembudayaan persepsi - bahwa bangsa I n_d on es i a ad a 1 a h ban gs a ya n g mu 1 t i e t n i s d a n mu 1 t i k u 1 t u r a 1 d a n bahwa, berhubung dengan itu, penghormatan timbal-balik atas he� azcsi dan kebebasan fundamental setiap or a ng merupakan conditio sine qua non bagi kelangsungan hidup bangsa ini.

12. Akhirnya, bangsa Indonesia etnik Tionghoa, sebagai bagian bangsa besar Indonesia ini, sudah tentu diharapkan berpartisipasi te�us-menerus dalam perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi dan kebebasan fundamental , karena partisipasi demikian merupakan hak yang diakui_ oleh undang-undang (lihat Pasal 100-Pasal 103 UU 39/1999 tentang HAM).

0519-jc-e-u