embriologi usus belakang

49
1 EMBRIOLOGI USUS BELAKANG (HINDGUT) Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan Hindgut. Foregut (usus depan) membentuk esophagus, trakea dan tunas paru, lambung dan duodenum di sebelah proksimal muara saluran empedu. Midgut (usus tengah) membentuk gelung usus primer, membentuk duodenum di sebelah distal muara saluran empedu, dan berlanjut sampai ke persambungan dua pertiga bagian proksimal kolon transversum dan sepertiga bagian distalnya. Hindgut (usus belakang) membentuk sepertiga distal kolon transversum,kolon desendens, sigmoid, rectum, bagian atas kanalis ani. Endoderm usus belakang juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka. Pada perkembangan selanjutnya, timbulnya timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah kaudal, karena itu embagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis

Upload: raja-asean-sumbayak

Post on 16-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Gangguan dalam bernapas adalah masalah terbanyak pada anak dan bayi. Kebanyakan merupakan infeksi yang bersifat “self-limited”, tetapi sebagian kecil merupakan penyakit yang juga dapat mengancam nyawa. Untuk itu diperlukan diagnosis yang akurat dan penaalaksanaan awal yang tepat untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang tidak seharusnya terjadi dengan penanganan yang sesuai.

TRANSCRIPT

Page 1: Embriologi Usus Belakang

1

EMBRIOLOGI USUS BELAKANG (HINDGUT)

Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan

Hindgut. Foregut (usus depan) membentuk esophagus, trakea dan tunas paru,

lambung dan duodenum di sebelah proksimal muara saluran empedu. Midgut (usus

tengah) membentuk gelung usus primer, membentuk duodenum di sebelah distal

muara saluran empedu, dan berlanjut sampai ke persambungan dua pertiga bagian

proksimal kolon transversum dan sepertiga bagian distalnya. Hindgut (usus belakang)

membentuk sepertiga distal kolon transversum,kolon desendens, sigmoid, rectum,

bagian atas kanalis ani. Endoderm usus belakang juga membentuk lapisan dalam

kandung kemih dan uretra.

Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang

dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah

pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka. Pada

perkembangan selanjutnya, timbulnya timbul suatu rigi melintang, yaitu septum

urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah

kaudal, karena itu embagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis

primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis

Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran

kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus perinealis. Membrana kloakalis

Page 2: Embriologi Usus Belakang

2

kemudian terbagi menjadi membrana analis dibelakang, dan membrana urogenitalis

di depan.

Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, dan

pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm, yang dikenal

sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membrana analis koyak, dan

terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari

endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi usus belakang, yaitu arteri mesnterika

inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal ari ektoderm dan

diperdrahi oleh aa.rektales, yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna.

Tempat persambungan antara bagian endoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea

pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah

dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.

Page 3: Embriologi Usus Belakang

3

ATRESIA ANI

A. Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “a“ yang artinya tidak

ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,

atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang

normal.

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus

imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya. Atresia ani

merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus.

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus

atau tertutupnya anus secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforata adalah

tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm

mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak

rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak

berhubungan langsung dengan rektum. Atresia ani adalah suatu kelainan

kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis

ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat

muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal,

Renal, Limb).

Page 4: Embriologi Usus Belakang

4

B. Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1

dalam 5000 kelahiran. Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada

laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang

paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.

Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui

adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.

C. Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada

sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh:

1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena

gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa

lubang anus.

3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada

kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3

bulan.

4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot

dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal

mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang

terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang

tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang

diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan

mempunyai peluang sekitar 25 %─30 % dari bayi yang mempunyai sindrom

genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko

untuk menderita atresia ani.

Page 5: Embriologi Usus Belakang

5

D. Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada

kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan

adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan,

muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju

rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia,

sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi

berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan

organ sekitarnya.

Pada perempuan, 90% dengan fistula ke perineum (rektovestibuler). Pada

laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika)

bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra

(rektouretralis).

E. Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi 2

golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin yaitu:

1) Pada laki–laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel

urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada

invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Pada golongan ini dilakukan

tindakan kolostomi neonatus, selanjutnya disusul dengan tindakan operasi

definitive (anoplasty) pada usia 4─6 bulan. Golongan II pada laki–laki

dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal,

stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara <1 cm dari

kulit. Pada golongan ini dilakukan tindakan operasi anoplasty langsung.

2) Pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan

kloaka, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada

invertogram: udara >1 cm dari kulit. Pada golongan ini dilakukan

tindakan kolostomi neonates. Golongan II pada perempuan dibagi

Page 6: Embriologi Usus Belakang

6

menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel

tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Pada golongan

ini dilakukan tindakan operasi anoplasty langsung.

Klasifikasi atresia ani menurut Ladd dan Gross (1966) sebagai berikut.2

1) High lesions meliputi: anorectal agenesis, cloaca, complex anomaly with

anorectal agenesis.

2) Low lesions meliputi: covered anus, ectopic anus, stenosed anus, anal

membrane.

Kelainan kloaka Fistula perineum

Page 7: Embriologi Usus Belakang

7

Klasifikasi atresia ani berdasarkan letak atresia ani tersebut yaitu:

1) Tinggi (supralevator): rektum berakhir di atas m.levator

ani/m.puborektalis dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit

perineum lebih dari 1 cm. Letak supralevator biasanya disertai dengan

fistel ke saluran kencing atau saluran genital.

2) Intermediate: rektum terletak pada m.levator ani tetapi tidak

menembusnya.

3) Rendah: rektum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara

kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

F. Manifestasi klinis

Bayi muntah-muntah pada 24─48 jam setelah lahir dan tidak terdapat

defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

Pada golongan letak rendah hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita

sering ditemukan fistula rektovestibular dan jarang rektoperineal, tidak pernah

rektourinarius. Sedangkan pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius

dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang

akan timbul adalah:

1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.

2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

4.) Perut kembung.

5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana

rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi

tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari

rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama

sekali tidak ada.

Page 8: Embriologi Usus Belakang

8

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada

kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan

adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan adanya distensi abdomen,

sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir

melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis

hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan

infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum

dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke perineum

(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau

ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah

fistula menuju ke uretra (rektouretralis).

G. Faktor predisposisi

Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih

abnormalitas yang mengenai system lain. Insidennya berkisar antara 50─60%.

Makin tinggi letak suatu abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang

lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan

tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan

kardiovaskuler.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan

malformasi anorektal adalah:

1. Kelainan kardiovaskuler.

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang

paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus

arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal sebanyak 10%,

obstruksi duodenum sebanyak 1─2%.

Page 9: Embriologi Usus Belakang

9

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan

lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan

hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah

myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada

atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogenital

dengan atresia ani letak tinggi antara 50─60%, dengan atresia ani letak

rendah 15─20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri atau muncul

bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and

Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular,

Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).

H. DiagnosaDiagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Pada anamnesis dapat ditemukan bayi cepat kembung antara 4─8 jam setelah

lahir; tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula; bila

ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan

adalah letak rendah.

Menurut Pena (1982), untuk mendiagnosa atresia ani menggunakan cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran

berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital

Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi

Page 10: Embriologi Usus Belakang

10

b. Bila mekoneum (+), maka atresia letak tinggi dan dilakukan

kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan

tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan

invertrogram. Bila akhiran rektum <1cm dari kulit maka disebut letak

rendah. Sedangkan akhiran rektum >1cm disebut atresia ani letak

tinggi. Pada laki─laki fistel dapat berupa rektovesikalis,

rektouretralis dan rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90% atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP

tanpa kolostomi. Bila fistel rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih

dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran

<1cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran

>1cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.

Leape (1987) menyatakan bila mekonium didapatkan pada perineum,

vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada

pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.

Pemeriksaan foto abdomen setelah 18─24 jam setelah lahir agar usus terisi udara

dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal

dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan tujuan agar

udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.

Gambaran malformasi bucket-handle (tanda pada bayi baru lahir dengan

imperforasi anus dan fistula perineal)

Page 11: Embriologi Usus Belakang

11

Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan adanya

gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada

pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan melakukan inspeksi daerah

perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus.

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula

rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama

beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui

fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal

rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga

rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi

untuk melawan tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus

ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi

sekaligus untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai

dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien

memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan

atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak

rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag

yang terdapat pada anal dimple) dan adanya membran pada anus (tempat

keluarnya mekonium).

I. Komplikasi

1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.

2. Obstruksi intestinal

3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

4. Komplikasi jangka panjang:

a. Eversi mukosa anal.

Page 12: Embriologi Usus Belakang

12

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak

tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu

penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,

tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinensia feses dan prolaps mukosa

usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan

metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti yaitu dengan

cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk

memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara

jangka panjang meliputi anatomis, fungsi fisiologis, bentuk kosmetik serta

antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan

ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara

lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi

pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak

kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan dalam

pengetahuan anatomi, serta keterampilan operator yang kurang serta perawatan

post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi, penatalaksanaannya berbeda

tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.

Menurut Leape (1987) menganjurkan pada:

a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau

TCD dahulu, setelah 6–12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif

(PSARP).

Page 13: Embriologi Usus Belakang

13

b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya

dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot

sfingter ani ekternus.

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin.

Pena (1982) secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi

dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan

diversi dan operasi definitif setelah 4–8 minggu. Saat ini teknik yang paling

banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited, full

postero sagital anorektoplasti.

Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus karena seringnya

ditemukan fistel ke vestibulum (80─90%).

1) Golongan I Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva, umumnya

evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu, evakuasi mulai

terhambat saat penderita mulai makan makanan padat, kolostomi dapat

direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka

maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalis dan

jalan cerna, evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu segera

dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal, akan tetapi

pada pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1─2 cm,

tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1cm dari kulit perlu

segera dilakukan kolostomi.

2) Golongan II pada lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva

dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di

posteriornya, kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis

anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit,

evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi

definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1cm dari kulit,

Page 14: Embriologi Usus Belakang

14

dapat segera dilakukan pembedahan definitive, dalam hal ini evakuasi tidak

ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

Yang harus diperhatikan ialah adanya fistel atau kenormalan bentuk

perineum dan tidak adanya butir mekonium di urin. Dari kedua hal tadi pada

anak laki-laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel

perineum.

1) Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium

eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika

urinaria, cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang

kateter urin, bila kateter terpasang dan urin jernih berarti fistel terletak

uretra karena fistel tertutup kateter, bila dengan kateter urin mengandung

mekonium maka fistel ke vesikaurinaria, penderita memerlukan kolostomi

segera bila evakuasi feses tidak lancar. Pada atresia rektum tindakannya

sama pada perempuan yaitu harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada

dan udara >1cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan

kolostomi.

2) Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita yaitu lubangnya

terdapat anterior dari letak anus normal, pada membran anal biasanya

tampak bayangan mekonium di bawah selaput, bila evakuasi feses tidak

ada sebaiknya dilakukan terapi definitif secepat mungkin. Pada stenosis

anus, tindakan definitif harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <

1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan

bedah.

K. Pemeriksaan penunjang

Untuk menentukan golongan malformasi digunakan invertogram yang

dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh bayi telah mencapai rectum.

Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak punctum distal

rectum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kulit

Page 15: Embriologi Usus Belakang

15

perineum. Sewaktu foto diambil bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah) atau

tidur telungkup dengan sinar horizontal di arahkan ke trokanter mayor.

Selanjutnya diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rectum ke

tanda logam yang ada di perineum. Biasanya digunakan klasifikasi Wingspread

sebagai penggolongan anatomi.

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang

sebagai berikut :

1. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk

mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3. Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem

pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh

karena massa tumor.

4. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6. Pemeriksaan fisik rektum

Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang

atau jari.

7. Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang

berhubungan dengan traktus urinarius.

Page 16: Embriologi Usus Belakang

16

L. Prognosis

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai

pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan

kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur.

Fungsi kontinensia tidak hanya bergantung kepada kekuatan sfingter atau

sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan

mental penderita.

Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya

metode PSARP (posterio sagital anorectal plasty).

Page 17: Embriologi Usus Belakang

17

HIRSCHSPRUNG

A. Definisi

Penyakit hirschsprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di

pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).

B. Insidensi

Penyakit hirschsprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi

terjadinya Penyakit hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat

keluarga Penyakit hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome.

Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon

transversum pada 17% kasus.

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya

penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai

17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak

perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu

aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien

mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu

laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang

kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.

C. Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf

parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak

ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.

D. Patogenesis

Page 18: Embriologi Usus Belakang

18

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan

sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang

abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang

normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu

terdapt dibagian distal rectum.

Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan

abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan

aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.

Gambaran segmen aganglion pada

Morbus Hirschprung

Hipoganglionosis

Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.

Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan

dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan

sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus

myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai

sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.

Imaturitas dari sel ganglion

Page 19: Embriologi Usus Belakang

19

Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan

pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki

sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi

diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel

ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas

enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion

ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2

sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan

hipoganglionosis.

Kerusakan sel ganglion

Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari

vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi

Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti

Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang

inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara

Swenson, Duhamel, atau Soave.

E. Tipe Hirschsprung’s Disease:

Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.

Tipe Hirschsprung disease meliputi:

Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari

rectum.

Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari

colon.

Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.

Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan

kadang sebagian usus kecil.

F. Diagnosis

Page 20: Embriologi Usus Belakang

20

Anamnesis

Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada

neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium

untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya

ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah:

distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila

penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan

kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan

periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus

mencurigai adanya enterokolitis.

Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan

kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus

diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema

dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit

ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic

pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.

G. Gejala klinik

Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama

kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.

Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda

yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir

dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis.

Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan

makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit

hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi,

distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.

Page 21: Embriologi Usus Belakang

21

Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi

intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu

gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen dan

muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan

sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi

intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau

bulan pertama kehidupan.

Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola

makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.

Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat

konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering

dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang

namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan

colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.

Page 22: Embriologi Usus Belakang

22

Gambaran klinis pasien dengan Morbus Hirschsprung

Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang

berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana

merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara

penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana beberapa

ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan.

Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit hirschsprung.

Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga

translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan pertahanan mukosa,

perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi

oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan

beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan colostomy.

Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa.

Yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,

distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada

mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus

Page 23: Embriologi Usus Belakang

23

dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi

spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung. Ada hubungan erat

antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi.

K. Pemeriksaan penunjang

Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:

1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschsprung spasme pada distal rectum

memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon

sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis

penyakit hirschprung.

Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus

yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran

radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan

waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir.

Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus

kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat

ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah zona

transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat dilatasi

dari rektum secara lebih optimal.

Page 24: Embriologi Usus Belakang

24

Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda

yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat

didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur

irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme,

ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan

barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit

Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu

dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal.

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,

sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan

kolon mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon.

Yang paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus

dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal

Page 25: Embriologi Usus Belakang

25

sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua

neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil atau

semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun.

2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit

hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani

interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah

dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak

dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang

lebih besar dibandingkan pada neonatus.

3. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit

hirschsprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan

morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy

rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate

dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion

hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi

umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.

Page 26: Embriologi Usus Belakang

26

Lokasi pengambilan sampel biopsi pada Morbus Hirschsprung

L. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan

obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:

Obstruksi mekanik

Meconium ileus

o Simple

o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon syndrome

Malrotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusception

NEC

Obstruksi fungsional

Sepsis

Intracranial hemorrhage

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or addiction

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia

Page 27: Embriologi Usus Belakang

27

M.Tatalaksana

Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari

diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan

Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon

dari terapi awal. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout

serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik

spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.

Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy.

Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan

pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini

termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif

setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan,

untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi

dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi

bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah

ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum.

Page 28: Embriologi Usus Belakang

28

Teknik pembedahan pada Morbus Hirschprung

Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan

secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip

terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur

pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal

menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang

dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi

usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi

menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada

anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi

dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan

Page 29: Embriologi Usus Belakang

29

prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada

prosedur pull-through.

Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung

yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik

diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis

ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar

rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis

secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan

dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler.

Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah

adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum.

Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari

rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang

ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat

dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk

menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah

mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel

ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang

berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya

pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-

through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi.

Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,

konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum

berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga

dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai

segmen yang di pull-through.

Page 30: Embriologi Usus Belakang

30

Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit

hirschsprung:

Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen

kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy

seromuskuler.

Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:

1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani

interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum

2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang

ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler

GIA kemudian dimasukkan melalui anus.

3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal

aganglioner.

Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschsprung biasanya berhasil

baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi

adalah gejala tersering pada pascaoperasi.

Page 31: Embriologi Usus Belakang

31

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Atresia Ani. Tersedia pada http://www.uii.co.id/library/atresia

diunduh pada tanggal 11 September 2012.

Faradilla N, Damanik R, Mardhiya W.R. 2009. Anestesi pada Tindakan

Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau.

Tersedia pada http://www.Files-of-DrsMed.tk diunduh pada tanggal 11 September

2012.

Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:

Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page

1496-1498

Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s Atlas of

Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640

Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar

ilmu bedah. editor, Peter J,. Ed.2. Jakarta: EGC.

Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft

Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468

Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The

Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.

Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153

Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2007.

2:33. Tersedia pada http://www.ojrd.com/content/2/1/33 diunduh pada tanggal 11

September 2012.

Page 32: Embriologi Usus Belakang

32

Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. Principles and Practice of Pediatric

Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434.

Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Alih Bahasa Joko Suyono, Editor Devi

H Ronardy. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 1997.

Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON

TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page

2113-2114

Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease

In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640

http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/ dikunjungi pada

tanggal 11 September 2012

http://www.geisinger.kramesonline.com/3,S,88669 dikunjungi pada tanggal 11

September 2012

www.ptolemy.ca/members/archives/2005/Neonatal/60.pdf dikunjungi pada tanggal

11 September 2012

http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/pedsdigest/images/ei0064.gif

dikunjungi pada tanggal 11 September 2012