Download - Embriologi Usus Belakang
1
EMBRIOLOGI USUS BELAKANG (HINDGUT)
Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan
Hindgut. Foregut (usus depan) membentuk esophagus, trakea dan tunas paru,
lambung dan duodenum di sebelah proksimal muara saluran empedu. Midgut (usus
tengah) membentuk gelung usus primer, membentuk duodenum di sebelah distal
muara saluran empedu, dan berlanjut sampai ke persambungan dua pertiga bagian
proksimal kolon transversum dan sepertiga bagian distalnya. Hindgut (usus belakang)
membentuk sepertiga distal kolon transversum,kolon desendens, sigmoid, rectum,
bagian atas kanalis ani. Endoderm usus belakang juga membentuk lapisan dalam
kandung kemih dan uretra.
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang
dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah
pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka. Pada
perkembangan selanjutnya, timbulnya timbul suatu rigi melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah
kaudal, karena itu embagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis
Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran
kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus perinealis. Membrana kloakalis
2
kemudian terbagi menjadi membrana analis dibelakang, dan membrana urogenitalis
di depan.
Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, dan
pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm, yang dikenal
sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membrana analis koyak, dan
terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi usus belakang, yaitu arteri mesnterika
inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal ari ektoderm dan
diperdrahi oleh aa.rektales, yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna.
Tempat persambungan antara bagian endoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea
pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah
dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.
3
ATRESIA ANI
A. Definisi
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “a“ yang artinya tidak
ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,
atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang
normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya. Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus.
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus
atau tertutupnya anus secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak
rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum. Atresia ani adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis
ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal,
Renal, Limb).
4
B. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran. Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang
paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui
adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
C. Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh:
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang
tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang
diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 %─30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani.
5
D. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan,
muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju
rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia,
sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi
berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan
organ sekitarnya.
Pada perempuan, 90% dengan fistula ke perineum (rektovestibuler). Pada
laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika)
bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektouretralis).
E. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin yaitu:
1) Pada laki–laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Pada golongan ini dilakukan
tindakan kolostomi neonatus, selanjutnya disusul dengan tindakan operasi
definitive (anoplasty) pada usia 4─6 bulan. Golongan II pada laki–laki
dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal,
stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara <1 cm dari
kulit. Pada golongan ini dilakukan tindakan operasi anoplasty langsung.
2) Pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan
kloaka, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara >1 cm dari kulit. Pada golongan ini dilakukan
tindakan kolostomi neonates. Golongan II pada perempuan dibagi
6
menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Pada golongan
ini dilakukan tindakan operasi anoplasty langsung.
Klasifikasi atresia ani menurut Ladd dan Gross (1966) sebagai berikut.2
1) High lesions meliputi: anorectal agenesis, cloaca, complex anomaly with
anorectal agenesis.
2) Low lesions meliputi: covered anus, ectopic anus, stenosed anus, anal
membrane.
Kelainan kloaka Fistula perineum
7
Klasifikasi atresia ani berdasarkan letak atresia ani tersebut yaitu:
1) Tinggi (supralevator): rektum berakhir di atas m.levator
ani/m.puborektalis dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak supralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2) Intermediate: rektum terletak pada m.levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3) Rendah: rektum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara
kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
F. Manifestasi klinis
Bayi muntah-muntah pada 24─48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan letak rendah hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovestibular dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedangkan pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius
dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang
akan timbul adalah:
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada.
8
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan adanya distensi abdomen,
sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir
melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan
infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum
dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau
ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis).
G. Faktor predisposisi
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai system lain. Insidennya berkisar antara 50─60%.
Makin tinggi letak suatu abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang
lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan
tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler.
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah:
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal sebanyak 10%,
obstruksi duodenum sebanyak 1─2%.
9
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada
atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogenital
dengan atresia ani letak tinggi antara 50─60%, dengan atresia ani letak
rendah 15─20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri atau muncul
bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and
Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular,
Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).
H. DiagnosaDiagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan bayi cepat kembung antara 4─8 jam setelah
lahir; tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula; bila
ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan
adalah letak rendah.
Menurut Pena (1982), untuk mendiagnosa atresia ani menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran
berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
10
b. Bila mekoneum (+), maka atresia letak tinggi dan dilakukan
kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan
tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum <1cm dari kulit maka disebut letak
rendah. Sedangkan akhiran rektum >1cm disebut atresia ani letak
tinggi. Pada laki─laki fistel dapat berupa rektovesikalis,
rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90% atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP
tanpa kolostomi. Bila fistel rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih
dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran
<1cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran
>1cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didapatkan pada perineum,
vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada
pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18─24 jam setelah lahir agar usus terisi udara
dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal
dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan tujuan agar
udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
Gambaran malformasi bucket-handle (tanda pada bayi baru lahir dengan
imperforasi anus dan fistula perineal)
11
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan adanya
gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada
pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan melakukan inspeksi daerah
perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus.
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui
fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal
rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi
untuk melawan tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus
ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi
sekaligus untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai
dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien
memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan
atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag
yang terdapat pada anal dimple) dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium).
I. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang:
a. Eversi mukosa anal.
12
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinensia feses dan prolaps mukosa
usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan
metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang meliputi anatomis, fungsi fisiologis, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara
lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi
pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan dalam
pengetahuan anatomi, serta keterampilan operator yang kurang serta perawatan
post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi, penatalaksanaannya berbeda
tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.
Menurut Leape (1987) menganjurkan pada:
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6–12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP).
13
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin.
Pena (1982) secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi
dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi dan operasi definitif setelah 4–8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited, full
postero sagital anorektoplasti.
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus karena seringnya
ditemukan fistel ke vestibulum (80─90%).
1) Golongan I Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva, umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu, evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat, kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka
maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalis dan
jalan cerna, evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal, akan tetapi
pada pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1─2 cm,
tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1cm dari kulit perlu
segera dilakukan kolostomi.
2) Golongan II pada lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva
dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya, kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit,
evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi
definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1cm dari kulit,
14
dapat segera dilakukan pembedahan definitive, dalam hal ini evakuasi tidak
ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Yang harus diperhatikan ialah adanya fistel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urin. Dari kedua hal tadi pada
anak laki-laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum.
1) Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria, cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang
kateter urin, bila kateter terpasang dan urin jernih berarti fistel terletak
uretra karena fistel tertutup kateter, bila dengan kateter urin mengandung
mekonium maka fistel ke vesikaurinaria, penderita memerlukan kolostomi
segera bila evakuasi feses tidak lancar. Pada atresia rektum tindakannya
sama pada perempuan yaitu harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada
dan udara >1cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi.
2) Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita yaitu lubangnya
terdapat anterior dari letak anus normal, pada membran anal biasanya
tampak bayangan mekonium di bawah selaput, bila evakuasi feses tidak
ada sebaiknya dilakukan terapi definitif secepat mungkin. Pada stenosis
anus, tindakan definitif harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <
1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan
bedah.
K. Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan golongan malformasi digunakan invertogram yang
dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh bayi telah mencapai rectum.
Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak punctum distal
rectum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kulit
15
perineum. Sewaktu foto diambil bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah) atau
tidur telungkup dengan sinar horizontal di arahkan ke trokanter mayor.
Selanjutnya diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rectum ke
tanda logam yang ada di perineum. Biasanya digunakan klasifikasi Wingspread
sebagai penggolongan anatomi.
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.
16
L. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai
pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur.
Fungsi kontinensia tidak hanya bergantung kepada kekuatan sfingter atau
sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita.
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya
metode PSARP (posterio sagital anorectal plasty).
17
HIRSCHSPRUNG
A. Definisi
Penyakit hirschsprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).
B. Insidensi
Penyakit hirschsprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya Penyakit hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga Penyakit hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome.
Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon
transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai
17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak
perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu
aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien
mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu
laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang
kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.
C. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
D. Patogenesis
18
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu
terdapt dibagian distal rectum.
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan
aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.
Gambaran segmen aganglion pada
Morbus Hirschprung
Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan
sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus
myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.
Imaturitas dari sel ganglion
19
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas
enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion
ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2
sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti
Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang
inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.
E. Tipe Hirschsprung’s Disease:
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.
Tipe Hirschsprung disease meliputi:
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari
rectum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan
kadang sebagian usus kecil.
F. Diagnosis
20
Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium
untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya
ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah:
distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila
penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan
kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan
periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus
mencurigai adanya enterokolitis.
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan
kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema
dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit
ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic
pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.
G. Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir
dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis.
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit
hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi,
distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.
21
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen dan
muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan
sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi
intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau
bulan pertama kehidupan.
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering
dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang
namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan
colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.
22
Gambaran klinis pasien dengan Morbus Hirschsprung
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara
penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana beberapa
ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan.
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit hirschsprung.
Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga
translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan pertahanan mukosa,
perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi
oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan
beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan colostomy.
Enterocolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa.
Yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,
distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada
mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus
23
dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi
spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung. Ada hubungan erat
antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi.
K. Pemeriksaan penunjang
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschsprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon
sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis
penyakit hirschprung.
Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus
yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran
radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan
waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir.
Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus
kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah zona
transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat dilatasi
dari rektum secara lebih optimal.
24
Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda
yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme,
ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan
barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit
Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu
dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal.
Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,
sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan
kolon mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon.
Yang paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal
25
sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua
neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil atau
semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun.
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani
interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah
dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak
dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang
lebih besar dibandingkan pada neonatus.
3. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate
dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion
hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi
umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.
26
Lokasi pengambilan sampel biopsi pada Morbus Hirschsprung
L. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan
obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
o Simple
o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
27
M.Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan
Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon
dari terapi awal. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout
serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik
spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.
Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy.
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif
setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan,
untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi
bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah
ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum.
28
Teknik pembedahan pada Morbus Hirschprung
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan
secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip
terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur
pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang
dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi
usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada
anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi
dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan
29
prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada
prosedur pull-through.
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung
yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik
diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis
ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar
rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis
secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan
dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler.
Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah
adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum.
Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari
rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang
ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat
dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk
menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah
mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel
ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya
pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-
through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi.
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum
berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga
dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai
segmen yang di pull-through.
30
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani
interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang
ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler
GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschsprung biasanya berhasil
baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi
adalah gejala tersering pada pascaoperasi.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Atresia Ani. Tersedia pada http://www.uii.co.id/library/atresia
diunduh pada tanggal 11 September 2012.
Faradilla N, Damanik R, Mardhiya W.R. 2009. Anestesi pada Tindakan
Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau.
Tersedia pada http://www.Files-of-DrsMed.tk diunduh pada tanggal 11 September
2012.
Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page
1496-1498
Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s Atlas of
Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar
ilmu bedah. editor, Peter J,. Ed.2. Jakarta: EGC.
Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468
Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The
Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2007.
2:33. Tersedia pada http://www.ojrd.com/content/2/1/33 diunduh pada tanggal 11
September 2012.
32
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. Principles and Practice of Pediatric
Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434.
Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Alih Bahasa Joko Suyono, Editor Devi
H Ronardy. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page
2113-2114
Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease
In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/ dikunjungi pada
tanggal 11 September 2012
http://www.geisinger.kramesonline.com/3,S,88669 dikunjungi pada tanggal 11
September 2012
www.ptolemy.ca/members/archives/2005/Neonatal/60.pdf dikunjungi pada tanggal
11 September 2012
http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/pedsdigest/images/ei0064.gif
dikunjungi pada tanggal 11 September 2012