ekonomia - lembahdempo.ac.id filepengaruh belanja pemerintah, dana perimbangan dan ... mencakup 15...

16
i

Upload: duongliem

Post on 07-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

i

“EKONOMIA” JURNAL EKONOMIA

ISSN : 1858 – 2451

VOL. 8 No. 1 Februari 2018

PEMIMPIN UMUM

Elvera, S.E., M.Sc

PEMIMPIN REDAKSI

Laili Dimyati, S.E. M.Si

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Mastriati Hini Hermala Dewi, S.H., S.E., M.H

KONSULTAN AHLI

Dr. Zakaria Wahab, M.B.A

Drs. M. Kosasih Zen, M.Si

DEWAN REDAKSI

Junaidi, S.I.P., M.Si

Sastra Mico, S.E., M.Si

Ruaman Yudianto, S.E., M.M

Yadi Maryadi, S.E., M.Si

PENYUNTING AHLI

Yesita Astarina, S.E., M.Si

Yusi Nurmala Sari, S.Kom., M.T.I

SEKRETARIS REDAKSI

Zulaiha, S.E, M.A

DISTRIBUTOR

Fadhilah Fitriyanti, S.Si

Martareza, S.E

DITERBITKAN OLEH :

LEMBAGA PENELITIAN & PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)

LEMBAH DEMPO PAGARALAM

Jl. H. Sidik Adim No. 98 Airlaga Pagar Alam Utara

Telp. (0730) 624445 Fax (0730) 623259

65

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, DANA PERIMBANGAN DAN

INVESTASI SWASTA TERHADAP DISPARITAS REGIONAL

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Deki Fujiansyah, S.Pd., M.Si

Dosen STIE Lembah Dempo

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh belanja pemerintah,

dana perimbangan dan investasi swasta terhadap disparitas regional Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010-2014. Ruang lingkup penelitian ini

mencakup 15 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis data yang

digunakan yaitu data sekunder. Penelitian ini menggunakan teknik analisis Indeks

Williamson dan Analisis regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan disparitas

regional terbesar terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin dan disparitas regional

terendah terjadi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas. Dari hasil regresi, secara

simultan, belanja pemerintah, dana perimbangan dan investasi swasta mampu

mempengaruhi disparitas regional Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera selatan.

Secara parsial, belanja pemerintah berpengaruh negatif tidak signifikan, dana

perimbangan berpengaruh positif signifikan sedangkan investasi swasta berpengaruh

positif tidak signifikan terhadap disparitas regional Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan tahun 2010-2014.

Kata kunci : Belanja Pemerintah, dana perimbangan, investasi swasta, disparitas

regional, indeks Williamson dan analisis regresi data panel.

1. PENDAHULUAN

Pembangunan pada dasarnya

merupakan proses multidimensial

yang meliputi perubahan dalam

struktur sosial, perubahan dalam sikap

hidup masyarakat dan perubahan

dalam institusi nasional. Pembangunan

juga meliputi perubahan dalam tingkat

pertumbuhan ekonomi, pengurangan

ketimpangan pendapatan, dan

pemberantasan kemiskinan (Todaro

dan Smith, 2006: 29).

Dalam proses pembangunan

akan selalu diiringi dengan

konsekuensi yang akan muncul,

Seperti halnya masalah ketimpangan.

Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi

antardaerah yang berlebihan akan

menyebabkan pengaruh yang

merugikan (backwash effects)

mendominasi pengaruh yang

menguntungkan (spread effects)

terhadap pertumbuhan daerah, dalam

hal ini mengakibatkan proses

ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku

yang mempunyai kekuatan di pasar

secara normal akan cenderung

meningkat bukannya menurun,

sehingga akan mengakibatkan

peningkatan ketimpangan antardaerah.

Penanggulangan ketimpangan

di Indonesia telah diwujudkan dalam

undang-undang otonomi daerah tahun

2001. Dimana otonomi daerah

membuat proses pembangunan

menjadi desentralisasi, dengan kata

66

lain pemerintah daerah

bertanggungjawab dalam mengelola

pembangunan di daerahnya.

Pemerintah daerah diharapkan mampu

melakukan perencanaan, pelaksanaan

dan pengendalian pembangunan

secara mandiri. Dalam proses

pembangunan tersebut, pemerintah

dituntut untuk mendorong kegiatan

perekonomian di daerah secara

kondusif yang diyakini sebagai salah

satu faktor kunci keberhasilan

pembangunan.

Otonomi Daerah ditandai

dengan dikeluarkannya UU. No.

22/1999 tentang Pemerintah Daerah

dan UU No. 25/1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.

Pelaksanaan kedua Undang-undang

tersebut secara resmi dimulai pada

tanggal 1 Januari 2001. Kedua

undang-undang ini kemudian

diamandemen menjadi UU No. 9

tahun 2015 dan No. 33 tahun 2004.

UU Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah

menyebutkan bahwa sumber

penerimaan daerah adalah Pendapatan

Asli Daerah, Dana Perimbangan dan

lain-lain pendapatan. Implikasi

langsung atas implementasi otonomi

daerah adalah kebutuhan dana yang

cukup besar. Menurut Kuncoro (2007)

bahwa PAD (Pendapatan Asli Daerah)

hanya mampu membiayai belanja

pemerintah daerah paling tinggi

sebesar 20% dan peningkatan alokasi

transfer diikuti dengan pertumbuhan

belanja yang lebih tinggi. Pada saat

transfer dana dari pemerintah pusat

menurun diikuti juga oleh penurunan

belanja daerah yang melebihi

penurunan PAD.

Pengeluaran pemerintah atau

total belanja yang telah dilakukan oleh

Provinsi Sumatera Selatan hendaknya

dapat menurunkan tingkat

ketimpangan yang terjadi, seperti

penelitian Harun dan Maski (2013),

yang berkesimpulan bahwa

pengeluaran pemerintah daerah

Kabupaten dan Kota di Jawa Timur

berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap ketimpangan pembangunan

di wilayah tersebut.

Total belanja yang besar tidak

akan terpenuhi jika hanya terpaku oleh

pendapatan asli daerah. Oleh karena

itu, guna untuk pemenuhan kebutuhan

daerah, pemerintah pusat telah

melakukan transfer dana yang disebut

dana perimbangan. Dana perimbangan

yang didapat oleh Provinsi Sumatera

Selatan masih lebih besar

dibandingkan dengan pendapatan asli

daerah itu sendiri. Dana perimbangan

yang ditransfer oleh pemerintah pusat

juga tidak terlepas dari tujuan

pengurangan tingkat ketimpangan, dan

diharapkan dengan dana perimbangan

yang besar Pemerintah Provinsi

Sumatera Selatan mampu mengurangi

tingkat ketimpangan. Seperti

penelitian yang dilakukan oleh Zasriati

(2012) yang berkesimpulan bahwa

dana perimbangan berpengaruh

negatif terhadap ketimpangan

pembangunan di Provinsi Jambi.

Investasi sangat diperlukan

guna meningkatkan hasil yang akan

didapatkan oleh suatu daerah. Menurut

Wahyuni, dkk (2014), Investasi dapat

menjadi titik tolak bagi keberhasilan

dan keberlanjutan pembangunan di

masa depan karena dapat menyerap

tenaga kerja, sehingga dapat membuka

kesempatan kerja baru bagi

masyarakat yang pada gilirannya akan

berdampak terhadap peningkatan

pendapatan masyarakat. Peningkatan

pendapatan masyarakat yang

dihasilkan melalui investasi juga

diharapkan mampu menurunkan

tingkat ketimpangan di suatu daerah.

Menurut Barika (2012), investasi

67

swasta kabupaten/kota di Provinsi

Bengkulu berpengaruh terhadap

tingkat ketimpangan wilayah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas,

maka peneliti ingin melihat seberapa

besar ketimpangan pembangunan atau

disparitas regional yang terjadi di

kabupaten/kota Provinsi Sumatera

Selatan, serta ingin melihat pengaruh

belanja pemerintah, dana perimbangan

dan investasi swasta terhadap

disparitas regional kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan.

2. STUDI KEPUSTAKAAN

2.1. Disparitas Regional

Tambunan (2001: 278-286)

mengemukakan beberapa faktor

penyebab ketimpangan, antara lain:

1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi

Wilayah; konsentrasi wilayah

ekonomi yang tinggi di daerah

tertentu merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan

terjadinya ketimpangan

pembangunan antar daerah.

Ekonomi dari daerah dengan

konsentrasi ekonomi rendah akan

cenderung mempunyai tingkat

pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi yang rendah;

2) Alokasi Investasi; berdasarkan

teori Harrod-Domar yang

menerangkan adanya korelasi

positif antara tingkat investasi dan

laju pertumbuhan ekonomi, dapat

dikatakan bahwa kurangnya

investasi di suatu wilayah

membuat pertumbuhan ekonomi

dan tingkat pendapatan

masyarakat per kapita di wilayah

tersebut rendah karena tidak ada

kegiatan – kegiatan ekonomi yang

produktif. Dengan terpusatnya

investasi di suatu wilayah, maka

terjadi ketimpangan distribusi

investasi dianggap sebagai salah

satu faktor utama yang

mengakibatkan terjadinya

ketimpangan pembangunan

ekonomi;

3) Tingkat Mobilitas dan Faktor

Produksi yang Rendah

Antardaerah; kurang lancarnya

mobilitas faktor produksi, seperti

tenaga kerja dan kapital

merupakan penyebab terjadinya

ketimpangan regional regional;

4) Perbedaan Sumber Daya Alam

Antardaerah, dasar pemikiran

klasik mengatakan bahwa

pembangunan ekonomi di daerah

yang kaya sumber daya alam akan

lebih maju dan masyarakatnya

lebih makmur dibandingkan

daerah yang miskin sumber daya

alam;

5) Perbedaan Kondisi Demografis

Antar Wilayah, ketimpangan

regional juga disebabkan oleh

perbedaan kondisi demografis,

terutama dalam hal jumlah dan

pertumbuhan penduduk, tingkat

kepadatan penduduk, pendidikan,

kesehatan, disiplin masyarakat

dan etos kerja. Faktor–faktor ini

mempengaruhi tingkat

pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi lewat permintaan dan

penawaran; dan

6) Kurang Lancarnya Perdagangan;

hal ini juga merupakan unsur

yang turut menciptakan

ketimpangan regional.

Ketidaklancaran tersebut

disebabkan terutama oleh

keterbatasan transportasi dan

komunikasi.

2.2. Desentralisasi Fiskal

Definisi desentralisasi menurut

UU No.32 tahun 2004 :

“Desentralisasi adalah penyerahan

wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus urusan

68

pemerintahan dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini

sejalan dengan pengertian

desentralisasi fiskal menrutu Sasana

(2009: 52) yang mengatakan bahwa

desentralisasi fiskal adalah suatu

proses distribusi anggaran dari tingkat

pemerintah yang lebih tinggi kepada

pemerintahan yang lebih rendah untuk

mendukung fungsi atau tugas

pemerintahan dan pelayanan publik

sesuai dengan banyaknya kewenangan

bidang pemerintahan yang

dilimpahkan

Beberapa alasan untuk

mempunyai sistem pemerintahan yang

terdesentralisai menurut Simanjuntak

(2001) dalam Pujiati (2008) yaitu :

1. Representasi demokrasi, untuk

memastikan hak seluruh warga

negara untuk berpartisipasi secara

langsung pada keputusan yang

akan mempengaruhi daerah.

2. Tidak dapat dipraktekkannya

pembuatan keputusan yang

tersentralisasi, adalah tidak

realistis pada pemerintahan yang

sentralistis untuk membuat

keputusan mengenai semua

pelayanan rakyat seluruh negara,

terutama pada negara yang

berpenduduk besar seperti

Indonesia.

3. Pengetahuan lokal (local

knowledge), mereka yang berada

pada daerah lokal mempunyai

pengetahuan yang lebih banyak

mengenai kebutuhan lokal,

prioritas, kondisi, dll.

4. Mobilitas sumber daya, mobilitas

pada bantuan dan sumber daya

dapat di fasilitasi dengan

hubungan yang lebih erat di antara

populasi dan pembuat kebijakan

pada tingkat lokal.

2.3. Belanja Pemerintah

Dengan dilaksanakannya

desentralisasi maka pemerintah daerah

mempunyai kebebasan dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya

sesuai dengan rencana-rencana

pembangunan yang telah disetujui

dalam APBD. Namun demikian setiap

pemerintah daerah harus mampu

mengkoordinasikan pembangunan-

pembangunan yang dilaksanakan agar

dapat mengurangi masalah

ketimpangan pembangunan wilayah.

2.4. Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah

dana yang bersumber dari APBN yang

dialokasikan kepada daerah untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana perimbangan bertujuan

mengurangi kesenjangan fiskal antara

pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, dan antar pemerintah daerah.

pengembangan ekonomi lokal.

Menurut Elmi (2002), secara umum

tujuan pemerintah pusat melakukan

transfer dana kepada pemerintah

daerah adalah:

1. Sebagai tindakan nyata untuk

mengurangi ketimpangan

pembagian "kue nasional", baik

vertikal maupun horisontal.

2. Suatu upaya untuk meningkatkan

efisiensi pengeluaran pemerintah

dengan menyerahkan sebagian

kewenangan dibidang pengelolaan

keuangan negara dan agar manfaat

yang dihasilkan dapat dinikmati

oleh rakyat di daerah yang

bersangkutan.

2.5. Investasi

Investasi adalah setiap wahana

dimana dana ditempatkan dengan

harapan untuk dapat memelihara atau

menaikkan nilai atau memberikan

hasil yang positif (Elyani, 2010).

69

Adhisasmita (2005), mengemukakan

bahwa investasi atau perpindahan

modal (swasta maupun pemerintah)

merupakan sarana bagi proses

kumulatif, mengarah ke atas di daerah

yang bernasib baik dan mengarah ke

bawah di daerah yang bernasib tidak

baik. Di daerah perkotaan yang sedang

mengalami perkembangan, kenaikan

permintaan akan mendorong

pendapatan dan permintaan, yang

selanjutnya menaikkan investasi, dan

demikian seterusnya. Di daerah-daerah

lainnya dimana perkembangan sangat

lamban maka permintaan terhadap

modal untuk investasi adalah rendah

sebagai akibat dari rendahnya

penawaran modal dan pendapatan

yang cenderung makin rendah..

perbedaan perkembangan tersebut dan

terkonsentrasinya investasi di daerah-

daerah yang mapan mengakibatkan

terjadinya ketimpangan atau

bertambahnya ketidakmerataan.

2.6. Hipotesis

Hipotesis yang disusun dalam

penelitian ini yaitu:

Belanja pemerintah, dana

perimbangan dan investasi swasta

berpengaruh negatif terhadap

disparitas regional kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010-

2014.

3. METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Objek pada penelitian ini yaitu

disparitas regional, belanja

pemerintah, dana perimbangan dan

investasi swasta Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian

ini mencakup 15 kabupaten/kota yang

ada di Provinsi Sumatera Selatan yang

diambil secara Perpousive sampling,

terdapat 2 kabupaten yang tidak

dimasukkan kedalam peneltian dengan

alasan keterbatasan data. 15

kabupaten/kota yang termasuk dalam

penelitian ini yaitu Kabupaten Lahat,

Kabupaten Musi Banyuasin,

Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten

Muara Enim, Kabupaten Ogan

Komering Ilir, Kabupaten Ogan

Komering Ulu, Kota Palembang, Kota

Prabumulih, Kota Pagar Alam, Kota

Lubuk Linggau, Kabupaten

Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir,

Kabupaten Ogan Komering Ulu

Timur, Kabupaten Ogan Komering

Ulu Selatan, serta Kabupaten Empat

Lawang.

Penelitian ini difokuskan pada

analisis pengaruh belanja pemerintah,

dana perimbangan dan investasi

swasta terhadap disparitas regional

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan selama periode 2010-2014.

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kuantitatif atau Quantitatif

Research yakni suatu penelitian yang

bersifat induktif, objektif dan ilmiah

dimana data yang diperoleh berupa

angka-angka (score, nilai) atau

pernyataan-pernyataan yang dinilai

dan dianalisis dengan analisis statistik.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu data

sekunder yang dipublikasikan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS),

Direktorat Jenderal Perimbangan

Keuangan (DJPK) dan publikasi Bank

Indonesia (BI).

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam

penelitian ini menggunakan teknik

dokumentasi. Teknik dokumentasi

digunakan untuk mendapatkan data

PDRB Provinsi Sumatera Selatan,

PDRB kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan, Jumlah penduduk

Provinsi Sumatera Selatan, Jumlah

penduduk kabupaten/kota di Provinsi

70

Sumatera Selatan, realisasi belanja

Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan, dana perimbangan

yang didapat kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan serta

jumlah investasi swasta yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan.

3.4. Teknik Analisis

1. Indek Williamson

Untuk mengetahui disparitas

regional dalam penelitian ini akan di

gunakan Indeks Williamson. Adapun

rumus Indeks Williamson adalah

sebagai berikut:

Y

nfYYIW

ii

/2

Dimana:

IW= Nilai Indeks Williamson

Yi = PDRB perkapita kabupaten/kota i

Y = PDRB perkapita rata-rata Provinsi

fi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i

n = Jumlah penduduk Provinsi.

2. Analisis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel

pada penelitian membentuk persamaan

sebagai berikut:

Yit = α - β1X1it - β 2X2it - β 2X3it +

εit

dimana:

Y = Disparitas Regional

α = Konstanta β1, β2 = Parameter yang diestimasi

X1 = Belanja Pemerintah

X2 = Dana Perimbangan

X3 = Investasi Swasta

i = Kabupaten/kota

t = tahun

ε = error term.

3.5. Definisi Operasional Variabel

1. Belanja Pemerintah merupakan

realisasi belanja daerah dalam

APBD Kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan yang dinyatakan

dalam satuan ribu rupiah.

2. Dana Perimbangan merupakan

realisasi dana perimbangan dalam

APBD yang diterima

kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan yang dinyatakan

dalam satuan ribu rupiah.

3. Investasi Swasta merupakan

perkembangan dana Investasi yang

disalurkan oleh dunia perbankan.

Investasi swasta dinyatakan dalam

satuan ribu rupiah.

4. Disparitas Regional merupakan

ketimpangan pembangunan

ekonomi yang diukur dengan

Indeks Williamson. Dasar

perhitungannya adalah dengan

menggunakan PDRB perkapita

dalam kaitannya dengan jumlah

penduduk kabupaten/kota di

Provinsi Sumatera Selatan dengan

skala pengukuran rasio.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Disparitas Regional

Secara umum, disparitas

regional Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan tergolong kedalam

tingkat ketimpangan yang ringan.

Yaitu berada di bawah indeks 0,35.

Disparitas regional terbesar terjadi di

Kabupaten Musi Banyuasin dengan

rata-rata disparitas dari tahun 2010 ke

tahun 2014 sebesar 0,34 dengan

disparitas terbesar terjadi pada tahun

2012 yaitu sebesar 0,37. Sedangkan

Kabupaten Lahat dan Musi Rawas

menjadi kabupaten dengan tingkat

disparitas regional terendah di

Provinsi Sumatera Selatan yaitu

dengan rata-rata sebesar 0,02,

disparitas yang terjadi di Kabupaten

Ogan Komering Ulu Timur juga

menunjukkan tren yang relatif stabil

dari tahun ke tahun.

71

4.1.2. Belanja Pemerintah

Realisasi belanja daerah atau

belanja pemerintah daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan menunjukkan tren yang

meningkat dari tahun ke tahun, hanya

saja terdapat beberapa daerah yang

mengalami penurunan jumlah belanja

di tahun 2014. Daerah yang

mengalami penurunan tersebut antara

lain Kabupaten Muara Enim, Lahat,

Musi Rawas, Ogan Komering Ulu

Timur dan Ogan Ilir. Khusus untuk

Kabupaten Muara Enim dan Musi

Rawas, pengurangan belanja tersebut

lebih disebabkan oleh pemekaran

daerah, sehingga realisasi belanja

kedua daerah tersebut mengalami

penurunan, sedangkan untuk daerah

lain, penurunan belanja lebih

disebabkan oleh efisiensi anggaran.

Kabupaten Musi Banyuasin

merupakan kabupaten dengan rata-rata

belanja terbesar selama tahun 2010-

2014 yaitu mencapai Rp. 2.491.159,6

juta, diikuti oleh Kota Palembang

dengan rata-rata sebesar Rp.

2.148.761,4 juta, Kabupaten Muara

Enim sebesar Rp. 1.497.879 juta,

Kabupaten Banyuasin sebesar Rp.

1.322.607,2 juta, Kabupaten Ogan

Komering Ilir sebesar Rp. 1.241.997,6

juta, Kabupaten Musi Rawas sebesar

Rp. 1.203.455,8 juta, Kabupaten Lahat

sebesar Rp. 1.132.642,4 juta,

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur

sebesar Rp. 948.874 juta, Kabupaten

Ogan Komering Ulu sebesar Rp.

847.230,4 juta, Kabupaten Ogan Ilir

sebesar Rp. 777.070,2 juta, Kabupaten

Ogan Komering Ulu Selatan sebesar

Rp. 698.449,2 juta, Kota Lubuk

Linggau sebesar Rp. 683.531,2 juta,

Kota Prabumulih sebesar 663.393,4

juta, Kabupaten Empat Lawang

sebesar Rp. 566.955,2 juta dan Kota

Pagar Alam sebesar Rp. 564.151,6

juta.

4.1.3. Dana Perimbangan

Kabupaten Musi Banyuasin

mendapat rata-rata dana perimbangan

terbesar dari tahun 2010 sampai

dengan 2014, diikuti oleh Kota

Palembang, Kabupaten Muara Enim,

Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten

Banyuasin, Kabupaten Ogan

Komering Ilir, Kabupaten Lahat,

Kabupaten Ogan Komering Ulu

Timur, Kabupaten Ogan Ilir,

Kabupaten Ogan Komering Ulu,

Kabupaten Ogan Komering Ulu

Selatan, Kota Prabumulih, Kota Lubuk

Linggau, Kabupaten Empat Lawang

dan Kota Pagar Alam.

4.1.4. Investasi Swasta

Investasi swasta yang

disalurkan oleh perbankan juga

didapati di Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan. Investasi

swasta yang disalurkan oleh

perbankan merupakan data investasi

swasta yang didapat Kabupaten/Kota

di Provinsi Sumatera Selatan dalam

bentuk jumlah rupiah dan valuta asing.

Provinsi Sumatera Selatan

merupakan Provinsi dengan

sumberdaya yang melimpah. Oleh

karena itu, Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan menjadi

daerah tujuan investasi, hal tersebut

dapat dilihat dari tren investasi yang

selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Rata-rata investasi swasta yang

didapat Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan dari tahun 2010

sampai dengan 2014 yaitu, tahun 2010

sebesar Rp. 398.379,93 juta, tahun

2011 sebesar Rp. 786.030,20 juta,

tahun 2012 sebesar Rp. 1.019.919,47

juta, tahun 2013 sebesar Rp.

1.602.788,20 juta dan tahun 2014

sebesar Rp. 1.948.341,93 juta.

72

4.1.5. Koefisien Determinasi (R2)

Nilai koefisien deterninasi (R2)

menggambarkan kemampuan model

regresi untuk menjelaskan variabel

dependennya (disparitas regional),

sedangkan nilai diluar koefisien

deterninasi (1-R2) dijelaskan oleh

faktor-faktor diluar model. Dari hasil

estimasi, besarnya R2 yang diperoleh

adalah 0,996087. Artinya variabel Y

(disparitas regional) dalam model

sebesar 99,61% dipengaruhi oleh

variabel-variabel bebas yang ada di

dalam model yaitu X1 (belanja

pemerintah), X2 (dana perimbangan)

dan X3 (investasi swasta), sementara

sisanya sebesar 0,39% dijelaskan oleh

variable atau faktor lain yang tidak

terdapat dalam model.

4.1.6. Uji Signifikansi Simultan

(Uji F)

Nilai F hitung sebesar

853,6263sedangkan nilai F Tabel yang

dilihat dari Tabel F α 5% untuk n = 75

dan k = 3 (df pembilang = k-1, df

penyebut = n-k) adalah sebesar 3,15.

Oleh karena F hitung lebih besar dari

F Tabel, maka H0 ditolak sehingga

secara bersama-sama semua variabel

bebas pada penelitian ini secara

serentak berpengaruh terhadap

variabel disparitas regional.

4.1.7. Uji Signifikansi Parsial (Uji

t)

Uji signifikansi parsial

bertujuan untuk melihat signifikansi

pengaruh variabel independen secara

parsial terhadap variabel dependen.

Parameter yang digunakan adalah

suatu variabel independen dikatakan

secara signifikan berpengaruh

terhadap variabel dependen bila nilai t

hitung lebih besar dari nilai t Tabel

atau juga dapat diketahui dari nilai

probabilitas t statistik yang lebih kecil

dari nila α = 5%. Nilai t Tabel dilihat

dari n = 75 dan k = 3 yakni sebesar:

Tabel 1. Uji Signifikansi Parsial Variabel t-statistik t-Tabel keterangan

X1 -

1,412256

1,671 Tidak

Signifikan

X2 3,432208 1,671 Signifikan

X3 0.316756 1,671 Tidak

Signifikan

4.1.8. Interpretasi Hasil Analisis

Efek individual masing-masing

kabupaten/kota tercermin dari nilai

intersep akhir (C+Ci) masing-masing

kabupaten/kota. Besarnya nilai

koefisien fixed effect tidak sama

diantara kabupaten/kota yang ada,

keadaan tersebut menjelaskan bahwa

variabel belanja pemerintah, dana

perimbangan dan investasi swasta

memiliki tingkat pengaruh yang

berbeda terhadap disparitas regional di

tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan. berikut nilai

koefisien fixed effect yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan:

Tabel 2. Intersep Akhir (C+Ci)

Kabupaten/kota

Fixed Effects

(Cross)

Efek

Individual

Intersep

Akhir

Musi

Banyuasin 0,200533 0,306739

OKU -0,067603 0,038603

Muara Enim 0,031589 0,137795

Lahat -0,094824 0,011382

Musi Rawas -0,097914 0,008292

OKI -0,013720 0,092486

Banyuasin 0,000135 0,106071

OKU Selatan 0,001065 0,107271

OKU Timur 0,058681 0,164887

Ogan Ilir 0,007032 0,113238

Empat Lawang -0,008040 0,098166

Palembang 0,122359 0,228565

Lubuk Linggau -0,029183 0,077023

Prabumulih -0,071430 0,034776

Pagaralam -0,038412 0,067794

73

Berdasarkan hasil estimasi

terlihat bahwa nilai intersep akhir

disparitas regional dari setiap daerah

yang ada di Provinsi Sumatera Selatan

memiliki nilai berbeda. Adanya

perbedaan nilai intersep akhir tersebut

dimungkinkan karena tingkat efek

individual yang berbeda pula.

Semakin besar nilai individual effect

maka semakin besar pula nilai intersep

akhir yang akan diperoleh.

15 Kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan memiliki nilai

intersep akhir yang positif, itu berarti

daerah-daerah tersebut memiliki

perubahan disparitas regional yang

relatif tinggi. Daerah yang memiliki

nilai efek individual positif dan

intersep akhir yang tinggi dari 15

Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan yaitu Kabupaten Musi

Banyuasin, Palembang, OKU Timur,

Muara Enim, Ogan Ilir, OKU Selatan,

dan Banyuasin.

Nilai individual effect

Kabupaten Musi Banyuasin

merupakan yang tertinggi di Provinsi

Sumatera Selatan, yaitu sebesar

0,200533 dan nilai intersep akhir

sebesar 0,306739. Artinya, jika

diasumsikan seluruh variabel bebas

pada penelitian ini tidak berpengaruh,

maka Kabupaten Musi Banyuasin

termasuk daerah yang memiliki

disparitas regional tertinggi di Provinsi

Sumatera Selatan.

Tingginya nilai intersep akhir

di beberapa Kabupaten/Kota

mencerminkan adanya kandungan

sumber daya alam yang melimpah dan

dikelola dengan baik oleh swasta

maupun pemerintah daerah.

Pengelolaan sumber daya alam

tersebut pada akhirnya dapat

meningkatkan produk domestik

regional bruto dan lebih tinggi dari

pada daerah dengan nilai efek

individual negatif dan intersep rendah,

sedangkan pertumbuhan penduduk

relatif stabil dan tidak jauh berbeda

dari daerah dengan nilai efek

individual negatif dan intersep rendah.

Semakin kecil nilai individual

effect, semakin kecil pula nilai

intersep akhir yang diperoleh. Artinya

jika diasumsikan seluruh variabel

bebas pada penelitian ini tidak

berpengaruh maka Kabupaten/Kota

seperti Musi Rawas, Lahat,

Prabumulih, OKU, Pagar Alam,

Lubuk Linggau, OKI dan Empat

Lawang termasuk daerah yang

memiliki tingkat disparitas yang

rendah. Tingkat ketimpangan tersebut

dapat disebabkan oleh pertumbuhan

ekonomi Kabupaten/ Kota yang

sebanding dengan pertumbuhan

ekonomi Provinsi Sumatera Selatan,

atau dengan kata lain PDRB per kapita

Kabupaten/Kota tersebut sebanding

dengan PDRB per kapita Provinsi

Sumatera Selatan. Hal itulah yang

membuat pembangunan ekonomi

Kabupaten/Kota dengan nilai efek

individual negatif dan intersep rendah

tidak menimbulkan disparitas yang

besar terhadap daerah lainnya.

4.2. PEMBAHASAN

4.2.1. Pengaruh Belanja

Pemerintah terhadap

Disparitas Regional

Hasil pengujian pengaruh

belanja pemerintah (X1) terhadap

disparitas regional (Y) diperoleh nilai

koefisien regresi sebesar -

0,00000000558 dengan nilai

signifikansi 0.1633 dimana nilai ini

tidak signifikan pada tingkat

signifikansi 0,05. Itu artinya, kenaikan

sebesar 1 milyar rupiah pada

pengeluaran pemerintah akan

mengakibatkan penurunan disparitas

regional sebesar 5,58 satu satuan

indeks. Berdasarkan hipotesis yang

telah ditetapkan dapat ditarik

74

kesimpulan bahwa belanja pemerintah

berpengaruh negatif tidak signifikan

terhadap disparitas regional.

Nilai koefisien pada

pengeluaran pemerintah yaitu -

0,00000000558, hal ini menunjukkan

adanya hubungan negatif antara

variabel belanja pemerintah dan

disparitas regional. Artinya, semakin

tinggi pengeluaran pemerintah maka

disparitas regional akan semakin

rendah. Namun belanja pemerintah

yang meningkat tidak berpengaruh

signifikan terhadap disparitas regional,

hal ini mengindikasikan belanja

pemerintah yang diprogramkan untuk

mengatasi masalah disparitas regional

belum optimal.

Belum optimalnya belanja

pemerintah terhadap disparitas

dikarenakan belanja tersebut belum

secara efektif dikeluarkan untuk

mengatasi masalah disparitas, seperti

belanja pegawai. Hendaknya

pemerintah lebih mengefisienkan

belanja pegawai dan mengalihkan

belanja ke sektor-sektor yang dapat

membantu mengurangi tingkat

disparitas, seperti belanja bantuan

sosial dan belanja modal. Dimana

belanja bantuan sosial dan belanja

modal diharapkan mampu mendorong

kemampuan masyarakat untuk lebih

produktif dalam menghasilkan barang

dan jasa sehingga pendapatan

masyarakat meningkat yang pada

akhirnya terciptalah iklim ekonomi

yang baik dan dapat mengurangi

tingkat disparitas yang ada.

Hasil di atas sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

Dyatmika dan Atmanti (2013) dengan

hasil penelitan pengeluaran

pemerintah untuk pembangunan

berpengaruh negatif terhadap

ketimpangan pembangunan di

Provinsi Banten. Selain itu juga

sejalan dengan penelitian Harun dan

Maski (2013) yang membuktikan

bahwa pengeluaran pemerintah

berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap ketimpangan pembangunan

wilayah.

Hasil penelitian ini bertolak

belakang dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Barika (2012) dengan

kesimpulan pengeluaran pemerintah

berpengaruh positif dan tidak

signifikan terhadap ketimpangan

pembangunan dan Wahyuni, dkk

(2014) dengan kesimpulan

pengeluaran pemerintah berpengaruh

positif dan signifikan terhadap

kesenjangan pendapatan

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

4.2.2. Pengaruh Dana

Perimbangan terhadap

Disparitas Regional

Hasil pengujian pengaruh dana

perimbangan (X2) terhadap disparitas

regional (Y) diperoleh nilai koefisien

regresi sebesar 0,0000000202 dengan

nilai signifikansi 0,0011 dimana nilai

ini signifikan pada tingkat signifikansi

0,05. Itu artinya, kenaikan sebesar 1

milyar rupiah pada dana perimbangan

akan mengakibatkan kenaikan

disparitas regional sebesar 20,2 satu

satuan indeks. Berdasarkan pada

hipotesis yang telah ditetapkan dapat

ditarik kesimpulan bahwa dana

perimbangan berpengaruh positif

signifikan terhadap disparitas regional.

Nilai koefisien pada dana

perimbangan yaitu 0,0000000202, hal

ini menunjukkan adanya hubungan

positif antara variabel dana

perimbangan dan disparitas regional.

Artinya, semakin tinggi dana

perimbangan yang didapat maka

disparitas regional akan semakin

tinggi pula.

Distribusi dana perimbangan

yang dilakukan pemerintah pusat yang

ditujukan untuk proses pembangunan

75

daerah ternyata tidak hanya membawa

dampak positif untuk pembangunan

daerah, tetapi juga menyebabkan

disparitas yang semakin besar di

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera

Selatan. Semakin besarnya disparitas

tersebut dikarenakan pendistribusian

dana yang tidak sesuai dengan

kebutuhan pembangunan dan

pengurangan tingkat disparitas daerah.

Akhirnya, daerah yang mendapat dana

perimbangan yang besar dapat

membangun daerah dengan mudah

dan menyebabkan disparitas semakin

melebar.

Hasil di atas sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

Hartono (2008) dengan kesimpulan

alokasi dana pembangunan perkapita

menunjukkan pengaruh yang positif

dan signifikan terhadap ketimpangan

pembangunan di Provinsi Jawa

Tengah dan Zasriati (2012) yang

membuktikan bahwa dana bagi hasil

berpengaruh positif atau mendorong

secara signifikan terhadap

ketimpangan pembangunan ekonomi

antar Kabupaten/Kota di Provinsi

Jambi. Meskipun demikian, dana

alokasi umum dan dana alokasi khusus

berpengaruh negatif atau menurunkan

secara signifikan terhadap

ketimpangan pembangunan.

4.2.3. Pengaruh Investasi Swasta

terhadap Disparitas Regional

Hasil pengujian pengaruh

investasi swasta (X3) terhadap

disparitas regional (Y) diperoleh nilai

koefisien regresi sebesar

0,000000000274 dengan nilai

signifikansi 0,7526 dimana nilai ini

signifikan pada tingkat signifikansi

0,05. Itu artinya, kenaikan sebesar 1

milyar rupiah pada investasi swasta

akan mengakibatkan kenaikan

disparitas regional sebesar 0,274 satu

satuan indeks. Berdasarkan pada

hipotesis yang telah ditetapkan dapat

ditarik kesimpulan bahwa Investasi

Swasta berpengaruh positif tidak

signifikan terhadap disparitas regional.

Nilai koefisien pada investasi

swasta yaitu 0,000000000274, hal ini

menunjukkan adanya hubungan positif

antara variabel investasi swasta dan

disparitas regional. Artinya, semakin

tinggi investasi swasta maka disparitas

regional akan semakin tinggi pula,

meskipun investasi swasta yang

meningkat tidak berpengaruh

signifikan terhadap peningkatan

disparitas regional.

Hubungan positif antara

variabel investasi swasta dengan

disparitas regional menunjukkan

investasi swasta yang ada di

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan tidak terdistribusi secara

merata ataupun tidak didistribusikan di

daerah yang tergolong daerah

tertinggal. Jika distribusi investasi

dilakukan secara merata atau lebih

didistribusikan di daerah tertinggal,

maka pendapatan perkapita daerah

yang tersalur investasi tersebut akan

meningkat, dan pada akhirnya akan

menurunkan tingkat disparitas

regional.

Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Chen dan

Groenewold (2010), Peng, dkk

(2010), Barika (2012) , Ali, Dkk

(2013) dan Dyatmika dan Atmanti

(2013) yang membuktikan bahwa

investasi swasta berpengaruh positif

signifikan terhadap ketimpangan

pembangunan. Selain itu, Wahyuni,

dkk (2014) juga membuktikan bahwa

investasi swasta berpengaruh positif

signifikan terhadap kesenjangan

pendapatan.

Hasil penelitian ini ternyata

tidak sepenuhnya didukung oleh

penelitian sebelumnya atau bertolak

belakang dengan penelitian yang

76

dilakukan Hartono (2008) dengan

hasil penelitian yang menunjukkan

investasi swasta berpengaruh negatif

terhadap ketimpangan pembangunan.

Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah

serta penelitian Zhang dan Fan (2000)

yang menyatakan investasi swasta

berpengaruh negative terhadap tingkat

ketimpangan atau disparitas regional.

5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian ini

membuktikan bahwa secara

keseluruhan disparitas regional

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan tergolong rendah, hal ini

dikarenakan nilai Indeks Williamson

yang kurang dari 0,3 mengindikasikan

bahwa tingkat ketimpangan tergolong

rendah. Perbedaan Disparitas regional

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan tahun 2010-2014 yaitu

Kabupaten Musi Banyuasin sebesar

0,34, Kabupaten Ogan Komering Ulu

sebesar 0,05, Kabupaten Muara Enim

sebesar 0,16, Kabupaten Lahat sebesar

0,02, Kabupaten Musi Rawas sebesar

0,02, Kabupaten Ogan Komering Ilir

sebesar 0,11, Kabupaten Banyuasin

sebesar 0,12, Kabupaten Ogan

Komering Ulu Selatan sebesar 0,12,

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur

sebesar 0,18, Kabupaten Ogan Ilir

sebesar 0,12, Kabupaten Empat

Lawang sebesar 0,11, Kota Palembang

sebesar 0,08, Kota Lubuk Linggau

sebesar 0,04, Kota Prabumulih sebesar

1,08 dan Kota Pagar Alam sebesar

0,07.

Variabel independen yakni

belanja pemerintah, dana perimbangan

dan investasi swasta secara simultan

berpengaruh terhadap variable

dependen yakni disparitas regional.

Akan tetapi, secara parsial Variabel

belanja pemerintah (X1) berpengaruh

negatif tidak signifikan, dana

perimbangan (X2) berpengaruh positif

signifikan dan investasi swasta (X3)

berpengaruh positif tidak signifikan

terhadap disparitas regional.

5.2. Saran

1. Penelitian ini menunjukkan

bahwa belanja pemerintah

berpengaruh negatif terhadap

disparitas regional

Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Selatan, sehingga untuk

daerah yang memiliki tingkat

ketimpangan yang tinggi

disarankan untuk lebih

meningkatkan belanja pemerintah

yang efektif baik belanja langsung

maupun belanja tidak langsung

untuk mengurangi tingkat

ketimpangan.

2. Pendistribusian dana perimbangan

hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan pembangunan daerah

yang sifat mengurangi tingkat

disparitas.

3. Investasi swasta hendaknya

dilakukan secara merata, dan

lebih difokuskan pada daerah

tertinggal sehingga mampu

mengejar ketertinggalan dari

daerah lain. Selain itu kemudahan

berinvestasi juga dibutuhkan

untuk menyerap investor yang

lebih banyak.

4. Penelitian berikutnya disarankan

untuk menambahkan jumlah

sampel penelitian agar data yang

diolah lebih valid dan lebih

akurat.

77

DAFTAR PUSTAKA

Adhisasmita. 2005. Analisis

Kesenjangan Pembangunan

Regional : Indonesia 1992-2004.

Jurnal Ekonomi Pembangunan

Kajian Ekonomi Negara

Berkembang, Vol. 9, No. 2, Hal:

129-142.

Barika. 2012. Analisis Ketimpangan

Pembangunan Wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi

Bengkulu tahun 2005-2009.

Jurnal Ekonomi dan

Perencanaan Pembangunan

(JEPP). Volume 04, No 03. Hal.

1-11. Januari-Juni 2012.

Chen and Groenewold. 2010.

Reducing Regional Disparities

in China: Is Investment

Allocation Policy Effective?.

Discussion Paper 11.08. The

University of Western Australia.

Dhyatmika, Atmanti. 2013. Analisis

Ketimpangan Pembangunan

Provinsi Banten Pasca

Pemekaran. Diponegoro Journal

of Economics. Volume 2, Nomor

2, Tahun 2013. Halaman 1-8.

Elyani. 2010. Faktor Yang

Mempengaruhi Penanaman

Modal Asing Berinvestasi di

Indonesia. Jurnal Ilmiah Abdi

Ilmu. Vol 3 (1), 42-50.

Hartono, Budiantoro. 2008. Analisis

Ketimpangan Pembangunan

Ekonomi di Provinsi Jawa

Tengah. Tesis, Program Studi

Magister Ilmu Ekonomi dan

Studi Pembangunan Program

Pascasarjana Universitas

Diponegoro, Semarang.

Harun dan Maski. 2013. Analisis

Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah Daerah dan

Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Ketimpangan Pembangunan

Wilayah (Studi pada Kabupaten

dan Kota di Jawa Timur). Jurnal

Ilmiah Mahasiswa FEB Vol 1.

No. 2. Universitas Brawijaya.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Otonomi

dan Pembangunan Daerah,

Reformasi, Perencanaan,

Strategi dan Peluang. Jakarta:

Airlangga.

Peng, dkk. 2010. Regional Finance

and Regional Disparities in

China. Discussion Paper 08.02.

The University of Western

Australia.

Pujiati, Amin. 2008. Analisis

Pertumbuhan Ekonomi di

Karesidenan Semarang di Era

Desentralisasi Fiskal. Jurnal

Ekonomi Pembangunan. Kajian

Ekonomi Negara Berkembang.

Hal: 61-70.

Sasana, Hadi. 2011. Analisis

Determinan Belanja Daerah di

Kabupaten/Kota Prov. Jawa

Barat dalam Era Otonomi dan

Desentralisasi Fiskal. Jurnal

Bisnis dan Ekonomi (JBE),

Maret (2011). Hal 46-58

Tambunan, Tulus T.H. 2001.

Transformasi Ekonomi di

Indonesia, Teori dan Penemuan

Empiris. Jakarta : Salemba

Empat.

Todaro, Michael P & Smith. 2006.

Pembangunan Ekonomi di

Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

78

Wahyuni, dkk. 2014. Pengaruh

Pengeluaran Pemerintah dan

Investasi terhadap Pertumbuhan

Ekonomi dan Kesenjangan

Pendapatan Kabupaten/Kota di

Provinsi Bali. E-Jurnal Ekonomi

dan Bisnis Universitas Udayana.

Bali.

Zhang dan Fan. 2000. Public

Investment and Regional

Inequality in Rural China.

EPTD Discussion Paper No.71.

Washington, D.C. USA.

Zasriati, Masrida. 2012. Pengaruh

Alokasi Dana Perimbangan

terhadap Ketimpangan Ekonomi

Regional di Provinsi Jambi.

Jurnal ekonomi. Jambi.