newsletter · egera setelah gempa bumi dan tsunami 26 desember 2004, ... dilakukan oleh bappenas...

12
EDISI IV OKTOBER 2005 S egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, muncullah dua pendekatan usaha pemulihan yaitu: Kontrol dan perintah “top-down”, dan apa yang saya sebut pendekatan konsultasi dan koordinasi. “open sourceContoh-contoh efektif pendekatan “top-down” oleh pemerintah Indonesia dapat terlihat dari rancangan militeristik mereka, konstruksi dan penempatan barak-barak. Dalam 50 hari TNI bekerjasama dengan Departement Pekerjaan Umum (PU) dan Sektor Swasta yang menyediakan tempat, merancang bangunan, menyediakan infrastruktur dan memindahkan penduduk yang selamat ke tempat yang lebih baik. Ini adalah tindakan yang luar biasa cerminan dari pendekatan perintah dan kontrolnya. Seperti terlihat dalam penyediaan makanan pokok, air dan perawatan medis darurat membuktikan bahwa pendekatan ini merupakan cara yang paling efektif. Meskipun demikian ada biaya ”top-down” yang harus dibayar, seperti terlihat pada kesulitan yang dipikul oleh masyarakat yang dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan desa oleh NGO, dan aliansi masyarakat ini patut dipertanyakan. Ketidakefesienan ini adalah hilangnya catatan tanah yang di pegang pemerintah, oleh karenanya diperkirakan oleh BPN masa rekonsruksi akan mencapai ai 10 s.d 20 tahun, kenyataan pada umumnya adalah lambannya birokrasi dan “biaya transaksi” pendekatan perintah “top-down’. Pendekatan yang kedua adalah apa yang saya sebut pendekatan konsultasi dan koordinasi “open source”. The United Nations Humanitarian Information Centre (UNHIC) membuat situs secara objektif dan mudah yaitu www.humanitarianinfo.org/sumatra. Organisasi atau individu yang memiliki informasi penting dianjurkan untuk memasukkan data-data ke pusat informasi HIC, dan Village Planning and The ‘Open Source’ path to Reconstruction by. Prof. Robert Cowherd. In the immediate aftermath of the 26 th December 2004 Earthquake and Tsunami, two distinct relief effort approaches emerged: Top –down command and control and what I call the “open source” consultation and coordination approach. Effective examples of the Indonesian government’s ‘top-down’ approach were seen in their militaristic design, construction and occupation of barracks. Within 50 days the Indonesian military in conjunction with the Public Works dept. and private contractors acquired sites, designed buildings, provided infrastructure and moved surviving populations to completed settlements. This, a remarkable demonstration of command and control approach, as seen in provisions of essential food, water and medical emergency treatment proved it can be a most effective option. Costs of top-down however, can outweigh benefits, as seen in the hardships imposed on local communities by the National Planning Agency (BAPPENAS) and National Land Agency’s (BNP) three month interim period. Their reluctance/refusal to grant certification to the Village Mapping efforts of NGO- Survivor Community alliances is inexplicable. Compounding these inefficiencies are the loss of government land records, the BNP’s 10 to 20 years guesstimate for reconstruction, more generally the bureaucratic delays and “transaction costs” of the top-down command and control approach. The second approach: is what I call the “open-source” consultation and coordination approach. The United Nations Humanitarian information Centre (UNHIC) established sites, physical and virtual www.humanitarianinfo. org/sumatra. Organizations or individuals with any useful information were invited to upload files onto the centre mainframe and all information gathered was made universally available. The UNHIC also sponsors a full schedule of weekly meetings for each sector of relief with the goal of coordinating not controlling efforts, opportunities for cooperation are identified by participants. The kindred spirits of the centre emerges from the acute awareness of the vastness of remaining work to be done in Aceh, that demands for relief and reconstruction are far too dispersed and complex for effective execution by command and control efforts alone. A minimal of bureaucratic friction must also be encouraged to avert retardation of action. The term ‘open source’ captures the sense of freedom of information, ideas and efforts. People (mostly men) have lost entire families, homes and livelihoods but have regained their spirits, strengthened by faith and supported by remaining community ties, heroically struggle to rebuild a life so violently swept away from them, however they are generally left disappointed and frustrated by stalled newsletter Founder and Chair Person: Azwar Hasan; Jakarta Representative: Frangky Rairatu; Staff: Afwan Abdullah, Asnawi Nurdin, Asri Ali, Bustami, Fakhrurozi, M. Iqbal, Musafir, M. Rafiq, Syafruddin, Yusri Abdul Fatah, Very Budiansyah, Zakiah Volunteers: Wan Putra, Moh. Iqbal Rahman, Taslim Jailani, Mirza Mubaraq, Robert Cowherd, Jake Matther, Amanda Ether, Jessica, Heather, Cassy Fry, Asha, Threse Condit, Stephen Lee, Sharon Huges, Jarlath Molloy, Dann Crilly, Ross Humphriys, Thamalia, Potro Soeprapto Banda Aceh: Jl. Soekarno Hatta No.41, Geuceue Meunara, Banda Aceh, Telp/Fax. 0651-45204 Jakarta: Jl. Mampang Prapatan 11 No.6A Jakarta Selatan, Telp. 021-7943703, 70083240, Fax. 021-7943703 Bank Account: Bank Mandiri, Name: Forum Bangun Aceh, No: 105-0004687988 (Rupiah), 105-0004717215 (US Dolar) SWIFT Code: BEIIIDJA Aceh Registered NGO (Akte Notaris No. 45/March/2005); URL: http://www.fba.or.id; Email: [email protected]

Upload: others

Post on 07-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

No. IV, OKTOBER 2005

�EDISI IV OKTOBER 2005

Segera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, muncullah dua pendekatan usaha pemulihan yaitu: Kontrol dan perintah “top-down”, dan apa yang saya sebut pendekatan

konsultasi dan koordinasi. “open source” Contoh-contoh efektif pendekatan “top-down” oleh

pemerintah Indonesia dapat terlihat dari rancangan militeristik mereka, konstruksi dan penempatan barak-barak. Dalam 50 hari TNI bekerjasama dengan Departement Pekerjaan Umum (PU) dan Sektor Swasta yang menyediakan tempat, merancang bangunan, menyediakan infrastruktur dan memindahkan penduduk yang selamat ke tempat yang lebih baik. Ini adalah tindakan yang luar biasa cerminan dari pendekatan perintah dan kontrolnya. Seperti terlihat dalam penyediaan makanan pokok, air dan perawatan medis darurat membuktikan bahwa pendekatan ini merupakan cara yang paling efektif.

Meskipun demikian ada biaya ”top-down” yang harus dibayar, seperti terlihat pada kesulitan yang dipikul oleh masyarakat yang dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan desa oleh NGO, dan aliansi masyarakat ini patut dipertanyakan. Ketidakefesienan ini adalah hilangnya catatan tanah yang di pegang pemerintah, oleh karenanya diperkirakan oleh BPN masa rekonsruksi akan mencapai ai 10 s.d 20 tahun, kenyataan pada umumnya adalah lambannya birokrasi dan “biaya transaksi” pendekatan perintah “top-down’.

Pendekatan yang kedua adalah apa yang saya sebut pendekatan konsultasi dan koordinasi “open source”. The United Nations Humanitarian Information Centre (UNHIC) membuat situs secara objektif dan mudah yaitu www.humanitarianinfo.org/sumatra. Organisasi atau individu yang memiliki informasi penting dianjurkan untuk memasukkan data-data ke pusat informasi HIC, dan

Village Planning and The ‘Open Source’ path to Reconstructionby. Prof. Robert Cowherd.

In the immediate aftermath of the 26th December 2004 Earthquake and Tsunami, two distinct relief effort approaches emerged: Top –down command and control and what I call the “open source” consultation and coordination approach.

Effective examples of the Indonesian government’s ‘top-down’ approach were seen in their militaristic design, construction and occupation of barracks. Within 50 days the Indonesian military in conjunction with the Public Works dept. and private contractors acquired sites, designed buildings, provided infrastructure and moved surviving populations to completed settlements. This, a remarkable demonstration of command and control approach, as seen in provisions of essential food, water and medical emergency treatment proved it can be a most effective option.

Costs of top-down however, can outweigh benefits, as seen in the hardships imposed on local communities by the National Planning Agency (BAPPENAS) and National Land Agency’s (BNP) three month interim period. Their reluctance/refusal to grant certification to the Village Mapping efforts of NGO- Survivor Community alliances is inexplicable. Compounding these inefficiencies are the loss of government land records, the BNP’s 10 to 20 years guesstimate for reconstruction, more generally the bureaucratic delays and “transaction costs” of the top-down command and control approach.

The second approach: is what I call the “open-source” consultation and coordination approach. The United Nations Humanitarian information Centre (UNHIC) established sites, physical and virtual www.humanitarianinfo.org/sumatra. Organizations or individuals with any useful information were invited to upload files onto the centre mainframe and all information gathered was made universally available. The UNHIC also sponsors a full schedule of weekly meetings for each sector of relief with the goal of coordinating not controlling efforts, opportunities for cooperation are identified by participants. The kindred spirits of the centre emerges from the acute awareness of the vastness of remaining work to be done in Aceh, that demands for relief and reconstruction are far too dispersed and complex for effective execution by command and control efforts alone. A minimal of bureaucratic friction must also be encouraged to avert retardation of action. The term ‘open source’ captures the sense of freedom of information, ideas and efforts.

People (mostly men) have lost entire families, homes and livelihoods but have regained their spirits, strengthened by faith and supported by remaining community ties, heroically struggle to rebuild a life so violently swept away from them, however they are generally left disappointed and frustrated by stalled

newsletter

Founder and Chair Person: Azwar Hasan; Jakarta Representative: Frangky Rairatu; Staff: Afwan Abdullah, Asnawi Nurdin, Asri Ali, Bustami, Fakhrurozi, M. Iqbal, Musafir, M. Rafiq, Syafruddin, Yusri Abdul Fatah, Very Budiansyah, Zakiah

Volunteers: Wan Putra, Moh. Iqbal Rahman, Taslim Jailani, Mirza Mubaraq, Robert Cowherd, Jake Matther, Amanda Ether, Jessica, Heather, Cassy Fry, Asha, Threse Condit, Stephen Lee, Sharon Huges, Jarlath Molloy, Dann Crilly, Ross Humphriys, Thamalia, Potro Soeprapto

Banda Aceh: Jl. Soekarno Hatta No.41, Geuceue Meunara, Banda Aceh, Telp/Fax. 0651-45204Jakarta: Jl. Mampang Prapatan 11 No.6A Jakarta Selatan, Telp. 021-7943703, 70083240, Fax. 021-7943703

Bank Account: Bank Mandiri, Name: Forum Bangun Aceh, No: 105-0004687988 (Rupiah), 105-0004717215 (US Dolar)SWIFT Code: BEIIIDJA

Aceh Registered NGO (Akte Notaris No. 45/March/2005); URL: http://www.fba.or.id; Email: [email protected]

Page 2: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

�informasi yang terkumpul akan tersedia secara universal. UNHIC juga memfasilitasi rapat mingguan dengan materi yang lengkap untuk setiap jenis bantuan (program) dengan tujuan koordinasi bukan mengontrol tiap kegiatan, kemudian kesempatan untuk berkoordinasi dapat diperoleh oleh tiap peserta rapat yang hadir. Semangat masyarakat pada dasarnya muncul dari kesadaran penuh akan besarnya pekerjaan tersisa dan harus diselesaikan segera di Aceh, yang membutuhkan pemulihan dan rekonstruksi lebih serius dan hal ini sulit bagi penyelesaian yang efektif dengan perintah dan kontrol itu sendiri. Suatu birokrasi yang tidak berbelit-belit juga harus diciptakan untuk mencegah menyimpangan bantuan. Istilah “open saurce” ini bermakna rasa kemerdekaan informasi, ide, dan usaha.

Masyarakat (kebanyakan laki-laki) telah kehilangan seluruh keluarga mereka, rumah dan mata pencahariannya. Tetapi mereka telah mendapatkan kembali semangatnya, diperkuat oleh keyakinan dan didukung oleh kesatuan dalam masyarakat, yang dengan penuh kepahlawanan berjuang untuk membangun kehidupan yang telah terhempas dari mereka. Meskipun demikian mereka pada umumnya kecewa dan frustasi oleh lambatnya upaya rekonstruksi. Tiap masyarakat telah menghabiskan banyak waktu untuk mencari-cari lembaga bantuan untuk desa mereka namun yang ada hanyalah kegiatan penilaian (assessment mission). Jelas sekali tujuan lembaga bantuan international ini adalah untuk mendukung program pendekatan dan kontrol, yaitu mencegah kesemrawutan rekonstruksi yang menghasilkan ”kekumuhan”. Ada yang patut dipertanyakan dari spektrum ini; tidak adakah cara untuk melaksanakan pembangunan pranata sosial dan infrastruktur tanpa menelan biaya transaksi dari pendekatan perintah “top-down” ini?

Perencanaan desa: ”Biarkan masyarakat yang memutuskan”. Kepala-kepala desa sampai sekarang biasanya ditawarkan jawaban” terima atau tidak” yang ditandai oleh pendekatan perintah dan kontrol, juga apa yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah rencana desa yang berhubungan dengan perencanaan rumah juga sering diikuti oleh pilihan “terima” atau “tolak”. Dengan kegiatan ini, enam mantan mahasiswa saya datang dan langsung bekerja di mana saya telah menjalin hubungan, dan masyarakatnya menjawab “TIDAK” ketika kami menanyakan pertanyaan “Apakah ada yang bisa kami bantu?

Tibang, desa ke dua yang kami dekati, telah menggunakan teknik pemetaan desa begitu cepat setelah tsunami dibawah kepala desa Abdul Rafur. ”Konsolidasi Tanah” juga dilakukan oleh Rafur yang menggunakan media lokal untuk memberitakan kesiapan tersebut untuk rekonstruksi karena dinyatakan oleh NGO bahwa bantuan finansial siap untuk dikucurkan oleh organisasi bantuan internasional jika perencanaan desa dinyatakan selesai. Ini adalah pertanyaan yang benar pada “pemetaan desa” bagi sisa desa yang terkena dampak tsunami.

Untungnya, desa ke tiga yang kami dekati benar-besar membutuhkan kami, mereka membutuhkan perencanaan desa untuk konsolidasi tanah dan infrastruktur. Meskipun terlihat pada mulanya mereka penuh curiga kerena ketiadaan biaya dan alat yang akan dipakai, kami harus dapat meyakinkan mereka. Pada mulanya kami melakukan sebagian besar pekerjaan kami ditempat sementara yang dibangun di tengah-tengah Ds. Deah Gulumpang.

Yang kedua, semua gambar kami buat dengan tangan. Dan ke tiga, kami menciptakan ”multiple option drawing” setiap versi dari desa yang dibangun, dan pilihan yang pembangunan rumah standard sampai konsolidasi tanah. Sifat latihan tanpa batas terbukti menjadi rumusan yang baik bagi masyarakat sampai pada proses perencanaan desa. Hanya menggunakan kamera digital, komputer dan printer warna, kami mencetak bagian-bagian tanah multiwarna yang berkenaan dengan versi “village base map” yang menunjukkan kemungkinan infrastruktur, tiap pergeseran keseimbangan antara mempertahankan dan memperbaiki penggunaan tanah. Kelebihan gambar dengan tangan terletak pada kemudahan dan keramahan para pengguna, kemungkinan tiap potogan yang sedang difoto

dapat disimpan sebagai sebuah alternatif nantinya. Sepanjang pekerjaan, kami telah mencoba untuk menghidupkan kembali standar tinggi yang di atur kerja Forum Bangun Aceh (FBA) yang memberikan prioritas tinggi untuk membantu para korban berdasarkan prinsip “dari, oleh dan untuk survivors”. Kami sangat antusias dalam pekerjaan dan tumbuh berkembang bersama NGO dan masyarakat. Hal ini menarik perhatian dan harapan dari banyak orang ternasuk dukungan dari walikota

Banda Aceh dan beliau menekankan merulang-kali masalah perencanaan desa di semua desa yang terkena dampak tsunami di Banda Aceh.

Seperti yang telah disebutkan, perbandingan antara perintah ‘top-down” dan model kontrol dengan model ”open source” adalah bukan salah satu dari ”top-down” Vs ”open source”, lebih dari pada salah satunya ”open source” dan yang lainnya “bottom-up”. Yang paling penting adalah bagaimana pelaksanaannya. Perencanaan desa di satu desa tidak dapat dilaksanakan apabila terpisah dengan desa tetangganya. Pembangunan jalan baru, drainase untuk air pasang dikontrol dengan pintu air dan pembangunan seawall tergantung pada pembicaraan paling kurang dua desa yang bertetangga. Didorong oleh pembangunan besar-besaran di tibang, dan antusiasme yang tercipta oleh presentasi kami di Desa Deah Gulumpang, pencapaian proses pemetaan desa akan digunakan dalam perencanaan desa dibanyak desa di daerah yang terkena tsunami lainnya. Perencanaan desa yang disetujui oleh masyarakat akan terbukti menjadi kunci yang membuka celah-celah yang dibutuhkan oleh usaha-usaha pembangunan yang ada sekarang.

Sementara itu pendekatan “Catalogue of Choices” untuk mencocokkan penyediaan bantuan dengan masyarakat penerima mungkin muncul poin referensi yang sederhana yang mengurangi biaya transaksi yang biasanya sering menghalangi usaha bantuan. Dalam perjuangan selama ini untuk mempengaruhi tanda yang dapat dilihat mosi ke depan, cukuplah untuk mempengaruhi pencapaian proses rancangan petunjuk dan koordinasi dengan cara yang memaksimalkan keuntungan usaha yang terkoordinasi ketika mengurangi kerugian-kerugian pergeseran. Tanpa menolak pendekatan ”top-down” yang meninggalkan respon cocok dan tidak dapat diganti terhadap kasus yang sangat penting, pengalaman dalam usaha rekonstruksi di Aceh mendemonstrasikan bahwa semakin kompleks situasi semakin menguntungkan pendekatan “open source” untuk diterapkan.

Istilah “open source” bermakna

rasa kemerdekaan informasi,

ide, dan usaha

ARTIKEL

Page 3: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

No. IV, OKTOBER 2005

�efforts to rebuild. Each village has invested vast quantities of time and energy to escort around the devastated remnants of their villages Aid agencies on yet another “assessment mission”. The rationale for these international Aid Organizations to support the command and control approach is clear; to prevent chaotic reconstruction patterns resulting in ‘slums’. There is a burning question that emerges from this spectrum; Isn’t there a way to ensure rational development constituting infrastructural and social requirements without the transaction costs of the top-down command and control approach?

Village Planning: “Let the Community Decide”. Village heads are by now used to the ‘take it or leave” offers characterized by the command and control approach, also what is needed in this department is village plans as opposed to house plans which appear again on a take it or leave it basis. By the time six of my former students arrived in Banda Aceh to the village where I had nurtured a relationship, the answer “NO” resonated to the open ended question: “Is there anything we can do to help?”

Tibang, the second village we approached had employed village mapping techniques in the immediate aftermath of the tsunami under its new head Mr. Abdul Rafur. “Land Consolidation” was also put in place by Mr. Rafur using local media to advertise the readiness of Tibang for reconstruction and demonstrated that financial aid is ready to be released by international Aid Organizations if a clearly articulated village plan exists. This a true testament to Village Mapping for the rest of Aceh’s tsunami impacted villages.

Fortunately the third village we approached did require our services, they needed a plan for infrastructure and land consolidation. Despite being viewed initially with suspicion with no money and no materials to offer, we managed to win over hearts and minds. Firstly we conducted the majority of our work at the temporary pavilion erected in the centre of Deah Glumpang. Secondly, all our drawings were by hand and thirdly we created multiple options drawing every version of the reconstructed village, from the “default” option of rebuilding original houses to land consolidation. The open ended nature of the exercise proved to be the formula to for winning over the community to the process of Village Planning. Using only a digital camera, computer and colour printer we made multiple colour copies of land parcels attached to versions of village base maps displaying possibilities for infrastructure, each one striking

a balance between preserving and improving land use. The advantages of the hand drawings lay in the accessibility and user friendliness, the possibility of each collage being photographed and preserved as an alternative. Throughout our work we have attempted to live up to the high standards set by the work of Forum Bangun Aceh giving highest priority to aid “from, by and for survivors”. As enthusiasm for our work grew among NGO’s and communities, it caught the attention and imagination of many including support from the Mayor of Banda Aceh. And spoke strongly of repeating the Village planning process in all of Banda Aceh’s other tsunami-impacted villages.

As emphasized earlier the comparison between the top-down command and control model with the “open source” model is not one of top-down versus open-source, rather one of top-down and bottom-up. The best ideas are identified and implemented regardless of their origin. Village planning in one village cannot operate in isolation from it’s neighbours. Development of new roads, drainage of storm-water controlled by floodgates and the reconstruction of a the Seawall are all contingent upon negotiations with at least two neighbouring villages. Inspired by the relatively advanced reconstruction of Tibang, and the enthusiasm generated by our presentation at Deah Glumpang Village, we are hopeful that the achievements of the Village mapping process will be executed a followed with equal vigour in Village planning in over one hundred other tsunami affected Villages. Village plans approved by communities will prove to be the key that opens the doors to much needed outpouring of actual reconstruction efforts.

In the meantime the “catalogue of choices” approach to matching aid providers with recipient communities may exist a simply a point of reference reducing further the friction of transaction costs that obstruct aid efforts all too often. In the present struggle to provoke noticeable signs of forward motion, it is sufficient to pursue modest goals of designing the processes of guidance and coordination in ways that maximize advantages of coordinated efforts while minimizing the “friction losses”. Without rejecting the top-down approach which remains irreplaceable and appropriate response to cases of extreme necessity, experience in the reconstruction efforts in Aceh demonstrate that the more complex the situation the more the advantages of open source approaches should be favoured.

Page 4: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

Close to One YearWhat Have We Done?

It is not easy to rebuild Aceh since the devastation is so wide to all aspects of life after tsunami. However, on the other sides, the disaster has lured greater sympathy for from all around the world. Various huge aids have been poured to Aceh. The question is that “what have we achieved to help ourselves and other people to survive, to re-establish Aceh that has been destroyed?” It is about one year already.

Morally, it is our responsibility as an organization having duty to provide assistance to the people to report in general of what activity conducted by FBA along with the people in these 10 months after Tsunami destroyed Nanggroe Aceh Darussalam on 26 December 2005

In general, FBA keep supporting the people in two main ways—economic recovery through small medium enterprises program and education program. FBA believes that livelihood and education are two main components that should be initially supported. These two matters are inter related to each other, livelihood without support of education will never sustain, on the other hand, education is merely dream to survive without livelihood support.

In economic recovery aid to reestablish the survivors, up to October 2005, we have assisted aproximately 150 small medium bussinesses with direct benificiery up to 850 people. From the number, 30% of the assisted bussinesses are women who are the economic resource of family. Based on type of activity the SME groups can be categorized as: pedlar, fish retailer, coastal fishpond, salt farmer, flat tyre service, becak, fishing weight, traditional cake, foodstall, spicy drink, chilly farmer, cattle, chicken farm, car washed and traditional coffee shop.

There is highest satisfaction in running all these program, mainly when we see the survivors, our neighbour and relatives, can survive again and happy to cotinue their lives. Some revolving fund has be returned to FBA, then the

Hampir Setahun SudahApa yang telah Kita Perbuat?

Adalah tidak mudah untuk membangun kembali aceh mengingat begitu dahyatnya kerusakan berbagai sendi kehidupan di Aceh pasca tsunami. Namun disisi lain, musibah itu juga

telah mendatangkan simpati dari berbagai kalangan dari berbagai pelosok dunia. Karenanya berbagai bantuan kemanusiaan pun mengalir deras untuk membangun kembali Aceh. Pertanyaannya adalah Sudah hampir setahun tsunami mengantam aceh, apa yang telah kita perbuat untuk menolong diri sendiri dan orang lain untuk bangkit kembali membangun Aceh yang sudah porak poranda?

Kiranya sudah menjadi tanggung jawab moral sebuah organisasi yang memang amanah dalam penyaluran bantuan kepada masyarakat untuk melaporkan secara umum laporan perkembangan berbagai kegiatan FBA yang telah dilakukan bersama-sama masyarakat selama 10 bulan terakhir sejak tsunami menghantam Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 26 desember 2005 yang lalu.

Secara Umum FBA, memfokuskan dukungan dalam dua bidang utama yaitu bantuan usaha kecil dalam bentuk dana bergulir dan bidang pendidikan. FBA percaya bahwa perut dan otak adalah dua komponen dasar manusia yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Sangat berkaitan. Perut kenyang tanpa diimbangi otak yang bijak tidak akan berlangsung lama dan bahkan pada gilirannya akan binasa. Sementara otak tidaklah mungkin berpikir baik jika perut keroncong terus menerus. Keduanya harus saling menunjang.

Dalam bantuan pemulihan ekonomi masyarakat Aceh kembali, hingga bulan Oktober 2005 telah membantu sebanyak 150 usaha kecil dengan total penerima manfaat langsung sebesar 850 orang. Dari jumlah tersebut 30% penerima bantuan ini adalah kaum wanita yang menjadi tulang punggung keluarga. Usaha tersebut terpilah dalam berbagai kelompok usaha yang meliputi a) usaha kelontong b) pedagang ikan c) tambak d) petani garam e) tambal ban f) becak g) pengrajin timah h) kue tradisional i) penjual nasing j) air bandrek k) petani cabe l) peternak lembu m) ternak ayam n) doorsmeer dan o) warung kopi.

Tidak ada kepuasan tertinggi bagi kami dalam menjalankan ini semua, terutama ketika melihat saudara kami bisa kembali bangkit hidup dan bersemangat melanjutkan hidupnya. Sebagian dana tersebut sudah ada yang dikembalikan ke FBA untuk kemudian diteruskan sebagai modal awal bagi keluarga atau kelompok lain. Bayangkan ketika ’Bang Yani’, di kawasan Ulhe Lhue, Banda Aceh, seorang pengasin ikan di kawasan ule lhue, dengan semangat memperlihat ikan-ikan asin yang sudah bisa dibuatnya kembali. Melihat matanya bersinar dan harapan besar dan yakin usahanya akan bangkit kembali seperti sebelum tsunami. Seorang Penjual Air Bandrek, Abang Yusuf, dapat kembali mejalankan usahanya dan bahkan dapat membantu tiga keluarga lainnya di depan mesjid Baiturahim, Banda Aceh. Sungguh semangat ini merupakan

Page 5: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

No. IV, OKTOBER 2005

�kebahagian terdalam yang seakan menutupi kelelahan kami dan membuat kami di FBA untuk tetap berbuat dan tidak mau menyerah pada keadaan yang sulit ini.

Sementara di bidang pendidikan, FBA telah membangun kembali SD 101 di Kec. Jaya Baru, Banda Aceh, penyaluran buku-buku wajib SD. FBA telah mengirimkan lima siswa ke melbourne, Australia untuk belajar sebagai bagian dari exchange program yang didukung oleh IBO ini. Tiga dari mereka kini telah kembali ke aceh dan dua diantaranya terus melanjutkan hingga selesai.

FBA barangkali tidak akan mampu bergerak se dinamis sekarang ini tanpa adanya dukungan penuh dan kepercayaan dari orang atau lembaga yang sangat berkomitmen membantu FBA dalam menjalankan ini semua. Dublin Port Company melalui kepercayaan Pak Kevin yang luar biasa sejak awal membawa FBA bisa bergerak cepat untuk berbuat sesuatu. Tidak mungkin SD 101 ini terbangun secepat ini, kurang dari enam bulan pembangunanya, sudah siap digunkan. Pada saat semua orang mempertanyakan kredibilitas dan akuntabilitas organisasi baru seperti kami, Kevin melalui Dublin Port Company secara penuh mempercayai dan mendukung kami untuk terus maju pantang mundur untuk membuktikan bahwa kami mampu. Kami sangatlah terharu dan berterima kasih. Sumbangan sekitar 10 juta di awal tsunami yang diberikan decara spontan oleh pak Joe Woods dkk dan kemudian segera disalurkan kepada Bang syarwan tukang becak sehingga keluarga abang ini bisa kembali mendapatkan pendapatan. Lebih mengharukan lagi, sumbangan ini kini telah dikembalikan ke FBA untuk diteruskan kepada yang lain yang membutuhkan. Sungguh kami belajar dari ketulusan dan keihklasan orang-orang kecil ini.

Demikian juga dengan DIAKONIE dan GGF, dengan mengeyampingkan berbagai birokrasi klasik dalam dunia ’development aid’, membuat segalanya mungkin bagi FBA. Membuat kami percaya diri dan terus berbuat dalam kekurangan memenuhi permintaan-permintaan standar-standar dan perencanaan rumit yang umumnya diminta organisasi besar yang sibuk dengan kegiatan need assessment, perencaaan sistematis dan strategis mereka.

Terima kasih terdalam buat kawan-kawan sukarelawan yang datang dengan dana dan tenaga mereka sendiri ke FBA dari berbagai belahan dunia dengan berbagai latar belakang pengetahuan. Dengan ketulusan dan keihklasan kalian berbuat tanpa pamrih membantu kami di Aceh, terima kasih kawan-kawan pak Robert dkk dari USA, terima kasih kawan-kawan sukarelewan dari Jakarta, Irlandia dan Australia. Akhirnya terima kasih kepada penyumbang setia kami, sumbangan perorangan, sumbangan dari orang ke orang (people to people donation), dari masyarakat ke masyarakat dan dari sekolah ke sekolah. Bentuk bantuan ini sangat cepat dan efektif membantu kami dilapangan untuk membantu mereka yang membutuhkannya. Terima kasih kepada pak Mawardi, walikota Banda Aceh yang sangat membantu dalam pelaksanaan program-program kami di sekitar kota banda aceh.

Tentu sebagai sebuah organisasi yang baru lahir, banyak kelemahan yang harus diperbaiki baik secara internal maupun dalam kami bekerjasama dengan para pendukung dan masyarakat. Kesempurnaan itu sendiri tercipta dari kemauan dan kemampuan kita untuk memperbaiki diri dari kekurangan yang ada dan FBA sangat terbuka untuk semua itu.

Akhirnya, terima kasih tertuahkan penuh pada ketulusan dan keikhlasan diri kita masing-masing dalam menjalankan semua niat baik ini, terima kasih pada kerja keras dan semangat kawan-kawan di FBA yang tidak mudah patah semangat untuk bergerak maju.

EDITORIALmoney is directly given to their other bussinesses. Imagine when Mr. Yani, a salt fish farmer, in Ulee Lhue, Banda Aceh, with full of joy he showed his salt fish product. Looking at his eyes, full of dream and expectation and full of confince that his business will revitalised as it used be. A spicy drink man, Mr. Yusuf is able to restart his business and event he is able to other three families living in front of Mosque Baiturahim, Ulee Lheue, Banda Aceh. The people spirit is really a deep hapiness for us, FBA to sustain for the people. FBA will continuesly strive for the people instead of difficulities.

In education program, FBA has build SD 101 Lampoh Daya, Jaya Baru Sub district, City of Banda Aceh, and delivering text books for elementary school. FBA has sent five Acehnese students to Melbourne, Australia to study for a certain lenght of time. This exchange student program is supported by IBO. Three of them now have returned to Aceh and the other two will continue until finish their secondary school in Melbourne.

FBA of course will never able to move dynamically to support the survivors without full support and trust of the people and institution committed to help FBA in running the program. Dublin Port Company through Mr Kevin’s remarkable trust since at the very begining to support FBA. It is empossible that the school will be ready this fast, less than six months and ready to use. When all people keep quastioning the credibility of new born FBA, Kevin through Dublin Port Company give full support to us to be sastainable in assisting the survivors and to proof that we are credible. We sincerely thank to them all. Only ten millions from private donor Joe Woods and friends given directly to Mr Syarwan, a becak driver. Now Syarwan is survivied with becak for a living. We bacame so tauched that one month later, he came back to FBA to return Rp. 500,000 to go to other survivor. FBA learn from pureness of this common people sincereness.

Diakonie did the same thing as well as GGF, without long complecated classical beureuecracy iin development aid athmosphere, make everything is possible for FBA. These inspired us to be more convincing to do something, while we are still found weaknesses, in particularly to fulfill standard requirement and complicated planning generally required by big organizations.

We thanks indeed to volunteers visiting, helping FBA with their own finansial support. They are from varous hemispheres comingf with different knowledge background. With sincere and spirit all of you to help people in Aceh, thank to Mr. Robert and friends from USA, volunteer from Jakarta, Ireland and Australia. Finally thank to our donor, individual donor, people to people donation, community to community, and school to school program. These kinds of program is very quick and very effective to help teh survivors to help whoever need it. Special thanks to Mr. Mawardi, Banda Aceh City Mayor, who is very helpful in attaining all our program particularly in the City of Banda Aceh.

As a new born organization, we relized that there are a lot of weaknesses needed to evaluate both through internal and external review in our works, our reationship, and partneship with all stakeholder. The perfectness comes from the pure willingness to correct ouselves from the shortages, and FBA is wide opened for this inprovement.

Finally, we sincerely thank to the sincere and pureness of our heart in running all of this activities, thank to hard effort and spirit of my colleagues of FBA—never give up to help the survivors and keep up good works.

Azwar HasanFounder and Chair Person

Page 6: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

Bayangkan daerah yang tertutup untuk dunia luar selama 30 tahun, karena perang yang terus bergejolak antara pemerintah dan gerakan separatis.

Tiba-tiba, terjadilah gempa besar yang diikuti oleh gelombang raksasa yang tak dapat terkirakan… seperti dalam sebuah film teror, menghancurkan wilayah, menyebabkan 115,623 orang meninggal dan 127,774 hilang dan kira-kira 500,000 orang kehilangan tempat tinggal.

Orang yang murah hati dan pemerintah dari penjuru dunia berkomitmen membantu sebesar US $ 7 miliar dolar. Dari jumlah tersebut diatas dapat diasumsikan setiap korban akan mendapatkan $ 9,416 untuk membangun kehidupan mereka.

Tempat yang nyata…pasti anda ingat Banda Aceh, Indonesia, sebuah kota yang hanya sebagian orang diketahui tersisa karena yang lainnya disapu tsunami yang merubah sejarah beberapa negara Asia pada 26 Desember 2005, yang menghancurkan kehidupan, sanak saudara, dan seluruh desa.

Dengan begitu banyak uang yang datang ke Banda Aceh dan masyarakat sekitar, banyak yang bertanya kenapa orang-orang masih tinggal di tenda-tenda, memasak diluar, dengan anak-anak mereka yang pulang ke rumah melintasi dusun yang masih sangat miskin. Kenapa anak yatim masih diasuh oleh keluarga lain sehingga menyatakan dirinya memililiki anak yatim untuk bantuan lebih, dan mengapa tidak ada air bersih? Merupakan rahasia umum bagi masyarakat Indonesia bahwa bantuan dan pembangunan nampak lamban. Dimana uang miliaran dolar itu?

Adanya kebingungan antara birokrasi dan korupsi. Kebanyakan uang ini telah mengalir diantara mereka yang punya dan tidak menyentuh para korban. Banyak NGO dari berbagai negara telah mempunyai kantor, menyewa guest house yang mewah, dan mobil mewah untuk transportasi berbagai lapisan staff yang harus terbang khusus untuk melakukan assessment rancangan untuk masa depan. Beberapa “ahli” bahkan dibayar mencapai $1000 (Rp.10 juta) per hari. Banyak rapat, orang penting datang untuk melihat-lihat dan hanya sedikit yang berubah. Jadi sebenarnya siapa membantu siapa?

Organisasi Internasional melakukan kontrak dengan organisasi internasional lainnya dan kemudian melakukan kontrak dengan perusahaan lokal, dan mungkin sebagian uang sampai ke sasaran, jika birokrasinya tidak begitu lama, kalau tidak uanganya masuk kembali ke sistem.

Yang sangat untung adalah pemilik rumah mewah karena uang yang besar dari NGO yang berasal dari negara maju. NGO ini mungkin tidak menyadari bahwa mereka membayar harga yang sama atas rumah-rumah mereka di dunia barat. Maskapai penerbangan juga beruntung, begitu juga perusahaan rental mobil. Masyarakat Aceh ramah terhadap para pendatang baru ini, karena selama mereka tinggal di Aceh, damai akan tetap terjalin antara Pemerintah dan GAM. Kebanyakan masyarakat takut pada kedua belah pihak, dan selama ada orang yang menjadi mata-mata, pembunuhan yang tak terkontrol akan bisa terjadi kapan saja.

Anda mungkin bertanya apa yang dapat dilakukan tentang kemiskinan dan bagaimana membangun kehidupan mereka kembali.

Imagine a land that has been closed to the outside world for thirty years, due to an ongoing war between the government and separatist guerillas.

Suddenly, a huge earthquake, followed by a giant wave of unprececented proportions…Like a terror movie, engulfs the area, killing 115,623 people… 127,774 remain missing, and about 500,000 lose their homes.

Generous people and governments from around the world commit upwards of US $7 billion dollars. Such a sum would indicate that every victim should receive $9,416 to rebuild their lives.

The place is real....Surely you remember Banda Aceh, Indonesia, a city few people knew existed until much of it was flattened by the tsunami that changed history for several Asian countries on December 26, 2004, destroying lives, families, and entire villages.

With so much money pouring into Banda Aceh and surrounding communities, one wonders why people are still living in tents, lines of laundry waving above destruction and debris, cooking outdoors, with their children walking home from school through neighborhooods that are leveled to the ground. Why are orphans being rented to families so they can claim dependants and get extra food, and why is there no clean water? It is common knowledge throughout Indonesia that aid and rebuilding are slow to manifest. Where are the billions of dollars?

Between beurocracy and corruption lies the confusion. Much of this money has recirculated among the haves and bypassed the victims. NGO’s from many nations have set up offices, rented lovely villas, and brought luxury cars to transport layers of staff who have been flown in expressly for the purpose of assessing the situation and creating plans for the future. Some “experts” charge up to $1000 per day for their services. Meetings abound, important people come to have a look, but little changes. Who is helping who?

Large international organizations contract other international organizations, who contract local companies, and some money might trickle down the line, if it does not take too long and recirculate back into the system.

Owners of the villas benefit because the big budget NGO’s from wealthy countries may not realize that they are paying several times the going rate for these residences, though they may seem like a bargain compared to prices in the western world. Airlines benefit, as well as rental car companies. The people of Aceh welcome these newcomers, because as long as they stay, peace will reign between the government and the revolutionary force called GAM. Most of the population is terrified of both, and as long as someone from somewhere is there to bear witness, the rampant killing will be held at bay.

You may wonder what can be done about the poverty and how people can rebuild their lives.

Meet Azwar Hasan, origionally Acehnese, he lived in Jakarta until a day after the tsunami, when he rushed home to find his family. What he found was a blacked out city underwater. No electricity and nowhere to go. The only place with lights was the Governors office, where many journalists and people who began to pour into Banda Aceh for a multitude of reasons camped out. He could not sleep, thinking of his mother and sisters, and set out in a blind search.

From the outside, the mosque appeared full of sleeping people. Maybe some family members sought refuge there. Upon closer inspection, he found that about 80 percent of the people were dead. Others lay dying and he was helpless to do anything.

Later, he learned that his mother and sisters were fine, but his cousin’s body had been found, and he later found his uncles body. In all, twelve of his relatives had died or dissapeared.

Orang Membantu Orang, Bantuan Langsung Membuat PerbedaanPeople Help People, Direct Assistance Makes Difference

Oleh Tamalyn Dallal

ARTIKEL

Page 7: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

No. IV, OKTOBER 2005

�Azwar, orang Aceh asli, tinggal di Jakarta sampai satu hari setelah

kejadian Tsunami, ketika dia bergegas pulang mencari keluarganya. Yang dia temukan adalah kota yang digenangi lumpur hitam. Tidak ada listrik dan tidak tahu pergi kemana. Satu-satunya tempat yang ada listrik hanya pendopo gubernur, dimana berkumpulnya para wartawan dan orang-orang yang mulai berdatangan ke Banda Aceh dengan berbagai macam tujuan. Azwar tidak dapat tidur, teringat keluarganya, yang tidak tahu mau kemana.

Dari luar, Mesjid Raya kelihatan penuh dengan orang yang tidur. Mungkin orang-orang yang mencari keluarganya. Begitu melihat dari dekat, ternyata 80% dari orang itu sudah meninggal. Yang lainnya terkulai lemas tak berdaya.

Akhirnya, dia mengetahui bahwa bahwa ibu dan adik perempuannya selamat, mayat sepupunya ditemukan dan kemudian dia menemukan tubuh pamannya. Dari keseluruhan keluarganya, 12 orang meninggal atau hilang.

Bagaimana bisa dia kembali ke Jakarta dan tinggal dalam kehidupan normal. Dia ingin melakukan sesuatu. Azwar mengajak 10 orang kawannya dari Jakarta. Tiap dari mereka tinggal dengan keluarga korban tsunami, dengan hati-hati menulis kebutuhan mereka. Beberapa diantara mereka sudah mempunyai makanan tapi tidak ada tempat masak, ada juga seorang perempuan tidak memiliki pakaian dalam. Ini adalah keadaan yang sangat sederhana. 10 kawannya yang lain kemudian datang dan melakukan hal yang sama. Mereka membawa sesuatu yang dibutuhkan oleh para korban ditempat mereka tinggal.

Pak Joe Woods, dari Irlandia memberikan $1,000 dan uang ini digunakan untuk membeli becak yang diberikan kepada Pak Syarwan. Becak ini juga digunakan sebagai kendaraan pulang ke rumahnya melewati jalan berlumpur. Rumah yang dia bangun sendiri dari puing-puing. Dia memiliki 6 orang tanggungan, tapi dalam hal pendapatan dia lebih baik dari pada tetangganya. Dia kemudian mengembalikannya setengah uangnya pada Azwar, dan uang ini digunakan untuk membantu orang lain.

Dari kondisi yang demikianlah maka FBA (Forum Bangun Aceh) lahir. Sekarang, mereka telah membantu dua ratus kelompok usaha kecil dengan tanggungan langsung 800 orang dari program pinjaman usaha kecil tanpa bunga. Dengan bantuan yang hanya 1,5 juta sampai 12 juta, seseorang dapat kembali membuka usaha sebagai tukang emping melinjo, nelayan, pedagang kaki lima, pemilik kios atau mereka memiliki becak sendiri. Ketika mereka membayar pinjaman mereka, uang itu akan langsung berpidah tangan ke usaha kecil yang lain. Ada banyak usaha kecil yang belum dibantu, tidak akan pernah cukup uang untuk membantu mereka semua, tapi Forum Bangun Aceh akan terus berusaha membantu mereka satu per satu. Fokus mereka adalah “orang membantu orang” yang berarti bahwa dana bantuan diberikan langsung dari donor kepada orang yang membutuhkannya, tanpa melewati birokrasi yang melelahkan.

Dalam beberapa bulan, lembaga donor dari Jerman bernama Diakonie mengirimkan bantuan untuk FBA agar menjadi NGO yang bergerak dari bawah. FBA sekarang mempunyai kantor rumah permanen, dimana beberapa staff kerja disana (sebagian diantaranya adalah korban tsunami) dan tinggal di sana. Perusahan Irlandia, Dublin Port Co menyumbang uang untuk membangun satu sekolah di Lampoh Daya, Banda Aceh yang hancur total dan akan dibuka pada tanggal 14 November 2005, dan acaranya akan meliputi pameran kecil dimana usaha kecil yang telah dibantu akan menunjukan apa yang telah mereka peroleh selama ini.

How could he go back to Jakarta and live a normal life? Determined to do something..anything. Azwar summoned ten of his friends to come from Jakarta. Each lived with a family of tsunami survivors, carefully noting what they needed. Some had food, but no pot to cook it in. One woman had no underclothes. These were very simple situations, and easy to remedy. Ten more friends came and did the same. They simply bought what the people lacked and gave it to them.

Mr. Joo Wood, from Ireland gave $1000, and it was used to buy a motorcycle rikshaw for one man named Syarwan, who waded through the muddy water to his home every day, which he had constructed himself from debris. He had six dependants, but with a means of income, he was so much better off than his neighbors. He soon returned half the money to Azwar, requesting that he use this to help more people.

Thus, FBA (Forum Bangun Aceh) began. Now, they have helped re start over two hundred businesses and helped about 800 people via no interest micro economic loans. With a donation of $150 to $1200, a man or woman can be back in business as a chip farmer, fisherman, street vendor, owner of a kiosk, or they can have their own pedicab. When they repay their loan, the money goes straight into helping the next person. The list is long, and there is never enough money to help everyone, but Forum Bangun Aceh consistently helps one person at a time. Their focus is “People helping people”, meaning that donations go directly from the donor to a person in need, bypassing the beurocracy.

Within a few months, a German chariy named Deakonie sent funding for FBA to become a grass roots NGO. They now have their offices in a modest home, where several employees and volunteers (some of them tsunami survivors) live as well. An Irish company, Dublin Port Co. donated money for the building of a school in Lampoh Daya a village in Banda Aceh that was heavily damaged by the tsunami. It will open on November 14, 2005, and the celebration will include a fair where over 200 recipients of FBA help to re establish their livelihoods will be encouraged to sell their goods.

The FBA has become a multifaceted source of help, with a clean water project in Lampoh Daya, which was sponsored by Joo Wood, and his friends (community to community), scholarships to buy uniforms and books for orphans and poor children, and an exchange program that sends students to study in Australia, as well as volunteers going into the schools to help students learn English and give them the experience of expanding their frontiers by meeting people from other countries and practicing English with native speakers.

The FBA is successful in providing direct aid, bypassing systems of government and large organizations, being able to assure that donations however large or small will go where the giver intended, with people helping one another, and survivors helping survivors.

For information on Forum Bangun Aceh, or to make a donation, contact [email protected].

FBA berusaha membantu dengan berbagai cara, dengan program air bersih di Lampo Daya, yang dibantu oleh Joe woods, dan rekan-rekannya, beasiswa untuk membeli buku untuk anak yatim dan anak-anak miskin, dan program pertukaran pelajar yang mengirimkan 5 orang siswa Aceh ke Australia dan juga relawan datang ke Aceh membantu mengajar di sekolah-sekolah, berbagi pengalaman dengan mereka, dan belajar Bahasa Inggris dengan penutur asli.

FBA berhasil dalam menyediakan bantuan langsung yang melewati sistem pemerintahan dan organisasi besar yang rumit.Namun FBA mampu meyakinkan bahwa besar atau kecil bantuan akan sampai ke korban melalui program orang yang membantu orang lain, korban membantu korban.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Forum Bangun Aceh, atau mau membantu, anda dapat menghubungi: [email protected].

____________________________________________

Page 8: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

Saya dan teman-teman diberangkatkan pada tanggal 17 Juli. Setelah 7 jam di udara, kami akhirnya mendarat di Melbourne Airport. Mulanya, saya meremehkan suasana dingin yang

menyelimuti kota, dan setelah keluar dari bandara, barulah saya merasakan yang sebenarnya: seperti dikurung di dalam lemari es raksasa.

Tetapi, hawa dingin yang begitu menusuk tidak saya rasakan lagi setelah mendapatkan sambutan hangat yang diberikan oleh kepala sekolah dan beberapa orang guru yang menjemput kami di bandara. Saya dan teman-teman langsung menuju sekolah dan menungu jemputan keluarga homestay kami masing-masing. Saya dan teman-teman tinggal di keluarga yang berbeda sehingga pengalaman-pengalaman yang kami dapatkan juga berbeda satu sama lain.

Berawal dari rumah, saya diperlakukan sama seperti anggota keluaga lainnya. Semua anggota keluarga memiliki hak dan tugas yang sama. Tidak ada istilah bahwa suatu pekerjaan tertentu hanya diurus oleh wanita atau laki-laki saja. Dan di setiap rumah hampir tidak ditemukan yang namanya pembantu rumah tangga. Karena memang mereka lebih menghargai melakukan pekerjaan rumah oleh usaha mereka sendiri. Saya sendiri selalu membantu pekerjaan rumah sehari-hari mulai dari dalam rumah sampai luar rumah dan itu semua dilakukan dengan serba elektrik atau menggunakan mesin.

Masyarakat di sana sangat menghormati hak-hak pribadi orang lain. Jadi kita tidak perlu malu-malu untuk berekspresi seaneh apapun karena kita tidak akan diperhatikan atau dicemooh, tentu saja selama hal itu tidak mengganggu hak orang lain.

Selama di sana, hari-hari kebanyakan saya habiskan di keluarga homestay dan di sekolah. Saya tinggal di dua keluarga, masing masing selama satu bulan. Hari pertama saya tinggal di rumah, mereka memberikan jadwal shalat 5 waktu, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka juga sering mengantar saya ke mesjid yang jaraknya lumayan jauh dari rumah meskipun saya tidak pernah meminta untuk itu. Dan tentu saja mereka mengajak saya untuk berkeliling kota setiap akhir pekan. Selain itu, mereka sering mengajak saya untuk berolahraga, mulai dari lari-lari sore, hingga olahraga khas australia seperti cricket dan footy.

Apapun yang mereka tawarkan, saya tak pernah menolak. Mulai dari makanan(tentu saja yang halal), sampai ke pesta malam minggu anak-anak muda Australia. Pernah ketika sehabis makan malam bersama saya ditawari kerang mentah, awalnya saya sempat jijik, namun saya berpikir, kalau bukan sekarang kapan lagi, dan sambil

Student Exchange 2005Oleh Darul Aulia, Siswa SMU 3 Banda Aceh

“Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya untuk dapat melihat dunia luar nun jauh di sana sampai akhirnya saya terpilih menjadi satu dari 5 orang peserta student exchange program ke Melbourne, Australia yang diselenggarakan oleh FBA dan IBO pada pertengahan 2005 silam”

EDUKASImenahan nafas, saya kunyah lalu telan. Waw, lumayan enak.

Di sekolah, saya berkenalan dengan banyak guru dan teman, mulai dari siswa tahun ke 7 (kelas 1 SMP) sampai tahun ke 12 (kelas 3 SMA), ada juga beberapa siswa mancanegara seperti dari China, Korea, Thailand, Malaysia juga dari Indonesia. Mereka menyambut kami dengan sangat terbuka dan tentu saja mereka sangat antusias dalam mendengarkan pengalaman-pengalaman kami, tentang budaya Aceh, tsunami, juga sedikit banyak mengenai Islam. Sudah menjadi rahasia umum di belahan dunia manapun bahwa Islam dikait-kaitkan dengan terorisme global. Namun dengan banyak penjelasan yang kami berikan, mereka akhirnya dapat menerima dan mengerti sepenuhnya bahwa itu adalah suatu stereotip yang masih diragukan keabsahannya. Pernah suatu hari saya bertanya kepada seorang teman sekelas dengan pertanyaan “apakah kamu takut dengan orang Islam?”. Kemudian sambil tertawa kecil ia menjawab “saya pribadi lebih takut dengan kamu dibandingkan dengan orang muslim pada umumnya”.

Saya mendapatkan hal yang sangat berharga ketika saya dan siswa-siswa mancanegara menghadiri kelas English as the Second Language (ESL). Ketika itu, kami mendengarkan sebuah lagu yang diputarkan oleh guru. Lagu tersebut menceritakan tentang seorang aborigin yang berjuang hendak menuntut persamaan hak sebagaimana diberikan terhadap kaum kulit putih. Perjuangan itu sungguh sulit dan menghabiskan waktu yang sangat lama. Namun, berkat kegigihan, ketekunan dan kesabaran yang dimilikinya, si Aborigin tersebut berhasil, bahkan dia juga memperjuangkan hak orang-orang Aborigin lainnya sehingga kini bangsa Aborigin sejajar kedudukannya dengan kaum kulit putih di Australia. Melihat kembali kisah perjuangan tersebut, ada suatu pelajaran yang dapat dipetik: from little thing, big things grow. Dari suatu hal kecil, hal besar akan tumbuh. Dari satu butir biji, menghasilkan sebuah pohon yang rimbun. Dengan perumpamaan demikian, jelaslah bahwa sebesar apapun suatu keberhasilan, kesuksesan, atau kemajuan, itu semua berawal dari hal-hal kecil yang secara berkesinambungan dipupuki, disiram, dan dirawat dengan bijaksana.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada kakak-kakak FBA yang sudah banyak mendukung kami dalam tercapainya program pertukaran siswa ini. Semoga program ini memberikan sebuah potensi kepada kami dalam mengubah kami sendiri dan rakyat Aceh kelak menjadi lebih baik dari sekarang dengan mengambil hal-hal positifnya. Semoga di tahun-tahun ke depan program yang seperti ini masih tetap diadakan untuk memberi kesempatan kepada adik-adik kita untuk dapat bertukar pengalaman dengan teman-teman di seberang sana. Amin.

Mawarni dan Nuril Annisa bersama Salah Salman, Kepala Sekolah King Khalid Islamic College, di Melbourne Australia

Page 9: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

No. IV, OKTOBER 2005

I never imagine before that I can see the other world in a great distance before I was chosen as one of the 5 participants of Students Exchange Program to Melbourne, Australia supported by Forum Bangun Aceh (FBA) and IBO in middle of this 2005.

I left for Australia on July 17 along with the other friends. After a 7 hours of flight, finally we arrived at Melbourne Airport. At the beginning, I disregarded the cold temperature which seemed to be covering the whole city. But right after I stepped out of the airport, I felt the real cold that I was like in the giant refrigerator.

But, the extreme cold hitting me, did not grab me longer after I was welcomed with full of warmth by the head master of the school where I am going to study and some other teachers at the airport. My friends and I is directed to the school and wait for our host parents who would pick us and brought home. We lived with different host family so that experience obtained is different as well.

Start from home, I was loved the same as their own children. All family members have the same right and responsibility. There is no rule that a certain task must be completed by woman or man only. And every house, it hardly can be found that people employ servant. Since they more respectful that they do all tasks are done by themselves. I alone always help the chores, start from within the house and than to the outside and all activity is assisted by electronic devices.

Australian is very respectful to other people individual right. Obviously, we don’t have to be shy to act as crazy as we want. We won’t be noticed or down graded, and of course, as long as what we are doing won’t disturb others.

When I was there, I spent most of the time to home stay family and to school. I live with two different families with different time, each of them I spent one month. The fist day I live there, my family gave me 5 times payer schedules, it is beyond my mind. They also often take me to mosque, located in a distance place from home. It is their will to do this though I never ask to do that. Every weekend they brought me to go around the city. Other than that, my family often brings me for sport—jogging in the afternoon, up to Australian specials sport like Cricket and Footy.

I never refuse whatever they offer me. From expensive food (religiously permitted food), up to Australian youth night party, I was ever offered to try uncooked oysters after having dinner, initially I was so disgusted, but then I thought that If not now I have never have it, I tried by holding breath… Wow it was not too bad.

At school, I acquaintance friend with a lot of teachers and friend, start from year 7 student up to Year 12, some of them are overseas student as well, such as from China, Korea, Thailand, Malaysia and Indonesia. The students are very welcome and of course they were very enthusiastic in listening to our story—about Acehnese culture, tsunami, and a little Islam. Is a world wide secret that Islam is connected to global terrorism? However, after some explanation, they then understood that the perception is merely doubtful stereotype. One day I ever forwarded a question to my friend “Are you afraid of Moslem?” Funnily he answered” I am personally afraid you more than common Moslem”

I obtain a meaningful experience when I was an International student attending English as a second language (ESL). We were listening to a song given by teacher. The son tells about an Aborigine struggling to have the same right as to Whiteman. The effort was so complicated and difficult and took very long time. However, because the strong effort and patience for struggling of him, the Aborigine finally is successful and even not to himself to other Aborigine as well so that the Aborigine now has the same right as the Whiteman of Australia. To look at a glance to the struggle, there a useful lesson that we can take: from little thing, big things grow. From a small seed, it will grow a big shadow tree. By this mean, its clear that however big is the success, achievement, all of are from tiny thing flourished, fertilized and treated wisely with sustainability.

Last, I sincerely thank you to FBA staff that supports us in attaining all achievement of this exchange program. My expectation that, this program will create more potential effect to us in directing ourselves and the Acehnese in the future is much better that what we have now by taking the positive side. Hopefully, in the years, this program will sustain and give chance to the

Muammar, Darul dan Junaidy besama Dr. Hick di Camberwell, Melbourne

Page 10: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

�0

Bantuan mobiler untuk SD 53 Banda Aceh senilai $ 7,500. Bantuan ini merupakan bantuan lanjutan dari King Khalid Islamic College Victoria, Melbourne, Autralia.

Bantuan perlengkapan sekolah untuk SMP 4 Banda Aceh senilai Rp.14.000.000. Bantuan ini berasal dari UWCSEA, Singapura.

Bantuan perlengkapan sekolah seperti komputer, mesin ketik, mesin stensil, over head projector sekolah di wilayah Kembang Tanjong, Pidie. Bantuan ini disalurkan pada bulan Agustus 2005 yang merupakan bantuan dari Diakonie.

SMA Kembang Tanjong sebesar Rp. 145.000.000SMP Kembang Tanjong Sebesar Rp. 125.000.000MAN Kembang Tanjong Sebesar Rp. 121.655.500SMP 2 Kembang Tanjong Rp. 516.225.000SMP Terbuka Kembang Tanjong Rp. 30.030.000Bimbingan Belajar se-NAD Rp. 33.050.000

Bantuan tempat belajar bagi anak-anak di wilayah Kota Sigli, Pidie. Bantuan ini disalurkan pada bulan Agustus 2005 yang juga merupakan bantuan dari Diakonie.

TPA Nurul Iman Kota Sigli senilai Rp. 67.458.000TPA Babul Khairat Krueng Dhoe, Kota Sigli Senilai Rp. 41.860.000Balai Gantung Riwat, Kota Sigli Rp. 40.000.000,

1.

2.

3.

••••••

4.

••

Help in Education Sector

School equipment for SD 53 Luang Bata of $ 7,500. This was the second assistance from King Khalid Islamic College of Victoria, Melbourne, Australia

School equipment for SMP 4 Banda Aceh of Rp.14.000.000. This aid was donated by UWCSEA, Singapore.

School equipment e.g. computer, type writer, stensil, overhead projector in Kembang Tanjong Sub District schools donated by Diakonie, August 2005.

SMA Kembang Tanjong Rp. 145.000.000SMP Kembang Tanjong Rp. 125.000.000MAN Kembang Tanjong Rp. 121.655.500SMP 2 Kembang Tanjong Rp. 516.225.000SMP Terbuka Kembang Tanjong Rp. 30.030.000Learning Assistance NAD wide Rp. 33.050.000

School equipment for playgroup in Sigli, Donated by Diakonie, August 2005

TPA Nurul Iman Kota Sigli Rp. 67.458.000,TPA Babul Khairat Krueng Dhoe, Kota Sigli Rp.41.860.000,Balai Gantung Riwat, Kota Sigli Rp. 40.000.000,

1.

2.

3.

••••••

4.

•••

Bantuan di Bidang Pendidikan

Siswa SMA kembang Tanjong sedang membantu mengangkat barang bantuan untuk sokolahnya, Agustus 2005

Page 11: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

��

No. IV, OKTOBER 2005People to People: Another way to help

BANTUAN

Kiaar Mobil di Lamlagang

Syarifah, Usaha Timah Pancing yang Berhasil Menghidupi Keluarga dan Tetangganya

Elmeka Dengan Buah-Buahannya

Untuk melihat daftar yang lengkap anda dapat mengunjungi website kamiFor the complete list you can visit our website at http://www.fba.or.id

No. Nama Jenis Usaha Lokasi Usaha Realisasi Dana Sumber

1 Adhari TempalBan Lampaseh Rp 2.500.000 Deakonie2 M.Zaini BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie3 NasruddinAhmad BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie4 Petanigaram PetaniGaram Kaju Rp 24.000.000 Deakonie5 Aiyub BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie6 Hasbi BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie7 SyaifuddinS.pd BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie8 KiarMobil Bengkel Lamlagang Rp 90.460.000 Deakonie9 Elmeka JualBuah-buahan JlKeutapang-MataIe Rp 2.673.500 GGF10 M.JamilJuned BecakMotor AcehBesar Rp 11.500.000 Deakonie11 SyarifahMastura PerajinTimah FlamboyanIIGuegajah Rp 3.000.000 Deakonie12 RidwanSaleh BecakMotor Pidie Rp 11.500.000 Deakonie13 Marwan JualanKelontong Lampohdaya Rp 5.008.000 GGF14 Wahidin JualanKelontong Lampohdaya Rp 4.497.500 GGF15 ZainalArififin BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie16 ZainuddinSyeh BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie17 Zulkifli BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie18 SaidSulaiman TernakAyam DesaBabahJurong Rp 4.750.000 Deakonie19 AmirAb JualanPakanTernak DesaGantung Rp 1.979.000 Deakonie20 Husna PerajinEmping DesaGantung Rp 5.250.000 Deakonie21 Zainabon JualanIkan DesaIeLebeu Rp 500.000 Deakonie22 MunawarAbdsalam Petanitambak DesaSukon Rp 17.445.000 Deakonie23 AbdullahDaud Penjahit Desatanjung Rp 4.273.500 Deakonie24 ZakariaHasballah JualBuah-buahan KotaKembangtanjong Rp 2.750.000 Deakonie25 SyamsulArifin JualanNasi DesaTanjung Rp 3.300.000 Deakonie26 Halimah PerajinTepungBeras DesaTanjung Rp 5.000.000 Deakonie27 IlyasIdris JualanIkan PasaarIkanKotaSigli Rp 3.000.000 Deakonie28 Sumarni Kelontong KotaSigli Rp 3.986.000 Deakonie29 Razali Kelontong KotaSigli Rp 3.441.500 Deakonie30 Hasnah JualanNasi KotaSigli Rp 3.659.000 Deakonie31 Alamsyah BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie32 Azmi JualanGerobakDorong Peunayong Rp 2.065.500 GGF33 IrwanH BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie34 Isnin BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie35 M.Hatta BengkelTempelBan JamboTape Rp 1.034.000 Tedjo36 M.NasirAli BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie37 M.Nur BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie38 M.Yusuf BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie39 MukhtarAli BecakMotor BandaAceh Rp 11.500.000 Deakonie40 Syahwan BecakMotor BandaAceh Rp 11.000.000 JoelWoodman

Page 12: newsletter · egera setelah Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember 2004, ... dilakukan oleh BAPPENAS dan BPN dalam 3 bulan masa kerja. Penolakan mereka membiayai sertifikasi pemetaan

FORUM|BANGUN|ACEH

�� VOLUNTEER: APA KATA MEREKA TENTANG ACEHTherese ConditHarvard University, USA

Sebagian orang berpendapat bahwa pengalaman tidak akan merubah hidup anda tapi bagi saya, bekerja di Banda Aceh dengan FBA benar-benar merubah. Tidak ada cara bagi saya untuk mengetahui yang sebenarnya sebelum saya datang ke Aceh, dan menemukan diluar yang saya bayangkan.

Semua anggota FBA sangat berharga, dan melihat mereka melakukan pekerjaan di Aceh memberikan inspirasi bagi saya utuk mengambil program master di bidang international studies dan development. Tapi FBA menunjukkan ke saya bahwa anda benar-benar membuat perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Profesionalisme sangat mengesankan dan hubungan mereka dengan masyarakat sangat kuat. Terima kasih pada Azwar, FBA dan orang Aceh karena membuka cakrawala dan hati saya, dan telah meninggalkan kenangan yang sangat mendalam dalam hidup saya.

_______________________

Its cliché for people to tell you that an experience will change your life, but for me, working in Banda Aceh with FBA truly did. There was no way for me to know what to expect before actually coming here, but what I found was definitely beyond my expectations. Getting to know the beautiful people of Aceh

Through the members of FBA is a priceless blessing, and seeing the work that they do here inspired me to chose a focus in international studies and development for my masters degree. The tasks to be done in Aceh are daunting. Whole villages need to be rebuilt and revived. And being here, I am struck by the reality of how long this process will actually take. But FBA showed me that you truly can make a difference in people?s lives if you have the heart to try. Their professionalism is impressive and their connection with the community is so strong. Thanks to Azwar, the FBA and the people of Aceh for opening my mind and heart, and for leaving their indeleble memory on my life.

Jarlath MolloyDublin Institute of Technology, Irland

Saya tidak akan pernah melupakan Aceh– budayanya, cuaca dan makanannya! Kerusakan Aceh hampir tak dapat dipercaya. Anda harus mencoba untuk fokus pada usaha kecil dan hasilnya kecil, tetapi keberhasilan ini bagi masyarakat Aceh relatif besar.

Masyarakat disini tabah dan membanggakan. Mereka tidak suka meminta bantuan jika kebutuhan mereka tidak dipenuhi, mereka lebih bahagia jika mereka dapat bekerja sendiri dan berpenghasilan sendiri. Yang membuat mereka sangat frustasi adalah karena kurangnya perkembangan secara substansi, tidak dibantu oleh proses birokrasi dan juga korupsi.

Saya rasa saya telah membantu membuat sedikit perbedaan sini. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman dari provinsi ini. Tapi saya rasa saya telah memberikan sesuatu bagi masyarakat, dan saya beruntung bisa bekerja dengan mereka dengan pandangan yang berbeda. Kami sering berdiskusi disini.

_______________________

I will never forget Banda Aceh – the culture, the weather and the food! The devastation here is almost beyond belief. You have to try to focus on the small scale and achieve small, but relatively big, successes for the people here.

The people here are humble and proud. They don’t like asking for help; if the materials they needed could be provided, they would be more than happy to get on with the job themselves. There is so much frustration at the lack of substantial progress; not helped by the endemic bureaucracy and corruption.

I think I have helped to make a small difference here. I have gained so much knowledge and experiences from this province. But I think I have brought something to the people I was so luck to work with – a different perspective! We had some great talks and discussions here.

Sharon HugesDublin Institute of Technology, Irland

Pada saat saya di Aceh, merupakan pengalaman yang luar biasa. Masyarakatnya menarik. Mereka pasti sangat bangga sekali dapat dilihat dari bagaimana mereka bisa bekerja kembali dan bahagia hidup dari kesusahan itu. Mereka seperti berpacu walaupun tidak ada nasi untuk dimakan dan tidak dapat mandi.

Anak-anak sekolah sangat mengagumkan, selalu tersenyum dan tertawa sewaktu di sekolah tetap senang juga karena kelasnya menyenangkan. Mereka memanggil orang kulit putih ”bule” dan bersiap siaplah untuk sering mendengarnya, tetapi tidak akan apa-apa mereka senang melihat anda dan berbicara dengan anda.

Saya tidak akan melupakan masa-masa saya di Aceh atau masyarakat yang luar biasa yang saya jumpai di sana makanya saya berharap bisa kembali ke Aceh. Merupakan suatu kehormatan bekerja dengan FBA dalam pekerjaannya yang penuh fenomena dan saya berdoa mereka semua berhasil di masa yang akan datang. Mereka takkan terlupakan.

_______________________

My time in Aceh was an absolutely wonderful experience. The people are lovely. They should be very proud of how much they want to work and be happy in the face of such adversity. They drive like maniacs and rice is all there is to eat and there are no showers, but it’s entirely worth it.

The children in the schools are amazing, always smiling and laughing and the time in class flies by because it’s so enjoyable. They call white people ‘boules’, and be prepared to hear it a lot over here, but its by no means badness, they’re delighted to see you and speak with you.

I will never forget my time in Aceh or the wonderful people I met there, in fact I hope to go back. It was an honour to work with FBA in their phenomenally worthwhile task and I wish them all the best in the future. They will be long remembered.