e3.munindz

24
Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10 ISLAM NUSANTARA: Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa Abdul Mun’im DZ Pendahuluan Nusantara sebagai sebuah istilah dan sekaligus konsep bukanlah sesuatu yang mengada begitu saja, yang muncul dan sekali jadi, tetapi merupakan sebuah proses becoming terus berkembang dalam prosses menjadi, mulai dari peristilahan, muatan maupun dari segi watak dari kenusantaraan itu sendiri. Penamaan terhadap wilayah maritim (wilayah perairan ini) berbeda beda sepanjang sejarah. Pada awalnya kawasan ini dikenal dengan nama Desantara, kemudian disebut juga sebagai Dipantara, 1 selanjutnya dikenal dengan nama Nusantara. Semua penamaan ini menunjukkan tempat dan kebudayaan yang sama, yang merupakan asal usul dan masa lalu bangsa Indonesia bahkan bangsa Asia Tenggara pada umumnya. Selama ini konsep antara hanya dipahami secara bilateral yaitu posisi antara Benua Asia dengan Benua Australia. Padahal sesungguhnya antara di situ memiliki makna multi- lateral, makna yang lebih luas setidaknya posisi di antara empat benua bahkan lima benua. Di sebelah utara ada benua Asia, di sebelah selatan ada benua Australia di sebelah Timur ada benua Amerika dan di sebelah Barat ada Benua Afrika. Mengingat kenyataan itu Desantara, Dipantara dan Nusantara bukan kosep bicontinental, tapi benar-benar merupakan konsep intercontenental (antar benua). Pemahaman geografis ini telah mereka miliki terbukti sejak zaman Sanjaya Mataram Kuno armadaa laut negeri ini terbukti telah berdagang tidak hanya ke Cina dan India tetapi melesat hingga ke Afrika Barat. Itulah sebabnya Sarjana Belanda GJ Bleeker menyebut Nusantara ini sebagai pusat pertemuan agama-agama besar dunia, Hindu, Budha, Konfusianisme, Zoroaster, Islam, Kristen dan agama-agama serta kepercayaan kecil lainnya yang berasal dari belahan berbagai benua. 2 Bukan hanya itu secara etnis dan ras Nusantara ini sangat beragam mulai dari yang putih, kuning, sawo matang dan hitam ada semua, belum lagi dari segi bahasa wilayah ini memiliki ratusan bahasa daerah. Istilah Desantara ini lebih ditunjukkan sebagai konsep geo-kultural, yang berarti desa antar benua. Desa itu yang kemudian berkembang menjadi kota, baik dari segi nama maupun kemajuan peradabannya. Dengan demikian kepulauan ini disebut Desantara dipahami sebagai desa antar benua atau peradaban antara benua. Ini menunjukkan bahwa Jauh sebelum datangnya agama Hindu Budha peradaban di sini sudah sangat maju, salah satu sistem falsafah yang disebut Kapitayan, merupakan sistem kebudayaan yang ada sebelum agama datang dan sampai saat ini masih bisa ditemui jejaknya. 3 Memang penduduk kawasan ini telah memiliki peradaban yang maju dan dengan sendirinya memiliki hubungan antar benua dengan kerajaan di berbagai belahan dunia.

Upload: ibnufuady

Post on 28-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Makalah

TRANSCRIPT

Page 1: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10

ISLAM NUSANTARA:

Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa

Abdul Mun’im DZ

Pendahuluan

Nusantara sebagai sebuah istilah dan sekaligus konsep bukanlah sesuatu yang mengada begitu saja, yang muncul dan sekali jadi, tetapi merupakan sebuah proses becoming terus berkembang dalam prosses menjadi, mulai dari peristilahan, muatan maupun dari segi watak dari kenusantaraan itu sendiri. Penamaan terhadap wilayah maritim (wilayah perairan ini) berbeda beda sepanjang sejarah. Pada awalnya kawasan ini dikenal dengan nama Desantara, kemudian disebut juga sebagai Dipantara,1 selanjutnya dikenal dengan nama Nusantara. Semua penamaan ini menunjukkan tempat dan kebudayaan yang sama, yang merupakan asal usul dan masa lalu bangsa Indonesia bahkan bangsa Asia Tenggara pada umumnya.

Selama ini konsep antara hanya dipahami secara bilateral yaitu posisi antara Benua Asia dengan Benua Australia. Padahal sesungguhnya antara di situ memiliki makna multi-lateral, makna yang lebih luas setidaknya posisi di antara empat benua bahkan lima benua. Di sebelah utara ada benua Asia, di sebelah selatan ada benua Australia di sebelah Timur ada benua Amerika dan di sebelah Barat ada Benua Afrika. Mengingat kenyataan itu Desantara, Dipantara dan Nusantara bukan kosep bicontinental, tapi benar-benar merupakan konsep intercontenental (antar benua). Pemahaman geografis ini telah mereka miliki terbukti sejak zaman Sanjaya Mataram Kuno armadaa laut negeri ini terbukti telah berdagang tidak hanya ke Cina dan India tetapi melesat hingga ke Afrika Barat. Itulah sebabnya Sarjana Belanda GJ Bleeker menyebut Nusantara ini sebagai pusat pertemuan agama-agama besar dunia, Hindu, Budha, Konfusianisme, Zoroaster, Islam, Kristen dan agama-agama serta kepercayaan kecil lainnya yang berasal dari belahan berbagai benua.2 Bukan hanya itu secara etnis dan ras Nusantara ini sangat beragam mulai dari yang putih, kuning, sawo matang dan hitam ada semua, belum lagi dari segi bahasa wilayah ini memiliki ratusan bahasa daerah.

Istilah Desantara ini lebih ditunjukkan sebagai konsep geo-kultural, yang berarti desa antar benua. Desa itu yang kemudian berkembang menjadi kota, baik dari segi nama maupun kemajuan peradabannya. Dengan demikian kepulauan ini disebut Desantara dipahami sebagai desa antar benua atau peradaban antara benua. Ini menunjukkan bahwa Jauh sebelum datangnya agama Hindu Budha peradaban di sini sudah sangat maju, salah satu sistem falsafah yang disebut Kapitayan, merupakan sistem kebudayaan yang ada sebelum agama datang dan sampai saat ini masih bisa ditemui jejaknya.3 Memang penduduk kawasan ini telah memiliki peradaban yang maju dan dengan sendirinya memiliki hubungan antar benua dengan kerajaan di berbagai belahan dunia.

Page 2: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

870

Sementara ini konsep Dipantara digunakan terutama pada masa Kerajaan Singasari, yang lebih menempatkan wilayah Ini sebagai sebuah geo-politik yang dijadikan sebagai wilayah pertahanan antara benua. Maka tidak aneh kalau angkatan laut Kerajaan ini digelar untuk menjaga wilayah laut sejak dari Arafura, jawa hingga Selat Malaka untuk membendung hegemoni Mongolia yang saat itu menaklukkan seluruh dunia dalam kekuasaannya. Hanya negeri seberang lautan ini (Singasari) di bawah Raja Kertanegara yang mampu membendung ekspansi kaisar Kubilai Khan. Sehingga keutuhan Dipantara terjaga, sebuah wilayah bebas yang terikat dalam pakta pertahanan antar kerajaan yang ada di wilayah ini bisa dipertahankan. Ekspedisi Pamalayu, milsalnya bukan sebuah penaklukan dan pendudukan, tetapi merupakan perwujudan adanya pakta pertahanan bersama ini.

Penamaan Nusantara sendiri dikenal paling awal pada masa pemerintahan Majapahit, yang tertuang dalam beberapa pupuh dalam Kitab Negarakertagama. Istilah Nusantara yaang berarti kepulauan antar benua ini lebih merupakana konsep geo-politik dan geo-kultural sekaligus. Berbagai istilah tersebut dengan sendirinya merupakan konsep yang luas dan sekaligus besar, yang selalu menjadi cita-cita para raja Nusantara saat itu. Dalam kenyataannya konsep tersebut selalu menyertai tokoh tokoh besar seperti Raja Sanjaya, Mataram Kuno, Raja Kertanegara Singasari, dan Hayam Wuruk serta Gajah Mada di Majapahit.Termasuk Kerajaan Demak dan Sultan Agung zaman Mataram Islam.

Dalam Zaman modern konsep itu juga yang menginspirasi Gerakan Diponegoro (zaman rintisan), Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo (zaman Kebangkitan) dan Soekarno (masa perjuangan kemerdekaan). Kesadaran terhadap masa lalu itu yang menginspirasi mereka untuk membangun sebuah negara merdeka berdaulat, meski harus menerobos dinding kolonialisme yang kokoh. Bersmaaan dengan jaatuh bangunnya kekuasaan dan kebudayan di negeri ini konsep kenusantaraan tersebut juga mengalami pasang surut.

Konsep ini muncul kembali justeru ketika negeri ini dihempas oleh berbagai krisis, krisis ekonomi, krisis sosial dan kemudian memuncak pada krisis kebudayaan. Ketika liberalisme yang ditawarkan oleh globalisme tidak menunjukkan kemanfaatan orang mulai kembali menengok lagi warisan budaya Nusantara. Dengan harapan bisa mencari landasan berpikir yang berakar pada tradisi sendiri. Kesadaran ini sebenarnya telah muncul sejak zaman menjelang kemerdekaan. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara adalah merupakan produk budaya Nusantara. Tetapi selama masa orde baru penggalian khazanah kenusantaraan itu disirnakan, semuanaya diganti dengan modernisme yang dibawa oleh pembangunanisme yang mengadopsi sepenuhnya dari budaya barat. Kemajuan harus di peroleh dengan meninggalkan segala warisan tradisi. Karena ini sumber dari konservativisme lawan dari dinamisme dan progresivitas. Suasana Krisiss memungkinkan warisan Nusantara baik yang pra Islam maupun yang Islam, dipertimbangkan kembali. Terbitnya tulisan Geolog Brazil, Arysio Santos tentang teori baru mengenai Atlantis yang menjelaskan bahwa peradaban manusia pernah mencapai puncaknya di bumi Nusantara ini.4 Buku itu tidak hanya memberi informasi baru tetapi juga memberikan gairah baru untuk meneliti dan mengembangkan budaya Nusantara, sebagi budaya yang maju dan beradab. Demikian halnya di sisi lain kawasan ini juga dikenal daerah bahaya, baik secara geografis maupun politis. Secara geografis kawasan ini berada dalam the ring of fire (lingkaran api) yang berupa gunung-gunung berapai berbahaya seperti Krakatau, Semeru,

Page 3: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

871

Rinjani, Tambora, dan Jayawijaya. Pada saat yang sama kawasan ini berada pada lempeng benua, yang rawan gempa daan tsunami.

Secara politis, kawasan strategis ini akan selalu menjadi rebutan kekuasaan bagi yang ingin menguasasi dunia, karena itu seorang ahli geopolitik Austria menyebut Nusantara ini sebagai der Totenkreuz (persilangan maut), kawasan strategis ini selalu menjadi persengketaan sepanjang zaman. Di sini tidak hanya Cina, Arab India pernah bertemu, tetapi kemudian dalam penjelajahan dunia antara Spayol yang ke barat dan Portugis yang ke Timur untuk mencari jajahan, ternyata kedua ekspedisi itu juga ketemu dan berebut kekuasaan di kawasan ini. Kawasan ini pula yang menjadi perebutan Jepang dengan tentara sekutu, selama perang Dunia Kedua. Sekarang ini kawasan Nusantara menjadi tempat berbahaya karena perbatasan yang begitu longgar sehingga menjadi persinggahan kelompok radikal baik dari Mesir, dari Saudi Arabia,dari Afganisatan, Irak dan sebagainya. Pada saat yang sama kelompok liberal dan kelompok ateis, juga berkembang pesat saat ini. Kelompok radikal telah menteror kawasan ini dengan berbagai ledakan bom dan menyulut berbagai konflik di berbagai kawasan Nusantara. Munculnya kelompok puritan baru yang radikal ini tidak hanya mengancam tradisi Islam Nusantara tetapi telah menggoncangkan sendi-sendi harmoni di tengah masyarakat. Sosok Islam Nusantara

Dalam kesempatan ini kita akan membahas Islam Nusantara, bukan Islam di

Nusantara. Dengan konsep Islam Nusantara dimakasudkan sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialaog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi. Dalam perkembangan sejarah Islam munculnya Istilah Nusantara atau Islam Nusantara ini relatif baru, pada mulanya lebih dikenal dengan Islam Jawi, kemudian juga disebut Islam Melayu, baru belakangan kemudian disebut sebagai Islam Nusantara. Sebutan Jawi sendiri tidak terbatas wilayah pulau Jawa, wilayah Jawi meliputi seluruh Nusantara, Sehingga para ulama dari Ternate, dari Lombok, dari Makasar, Bugis, banjar, Palembang Aceh, Johor hingga Patani termasuk Siam, juga disebut sebagai ulama Jawi. Bentuk keagamaannya juga disebut sebagai Islam Jawi, Islam ini belakangan disebut secara lebih luas sebagai Islam Nusantara.

Mereka disebut demikian karena Islam yang merekapahami dan mereka kembangkan diintegrasikan ke dalam kebudayaan setempat (nusantara). Walaupun mereka memiliki bentuk keagamaan yang lekat dengan warna lokal, tetapi tidak sedikit mereka yang mendapatkan tempat terhormat di pusat peradaban Islam yaitu di Haramain (Mekah dan Madina), mereka menjadi syekh (guru besar) di situ dan menjadi panutan para ulama lain dan dihormati para raja, seluruh wilyah arab dan seluruh dunia. Murid mereka bertebaran hingga ke Eropa Turki hing Ke Afrika, termasuk India dan Persia. Sistem keilmuan yang dikembangkan masyarakat Jawi atau Nusantara ini memiliki kekhasan sendiri, bahkan kemudian juga menciptakan aksara sendiri yang merupakan paduan antara aksara lokal dengan abjad Arab yang disebut dengan tulisan Jawi,5 yang hingga sekarang masih dipergunakan di berbagai pesantren di seluruh Nusantara.

Islam Nusantara memang bukan Islam murni yang langsung datang dari Mekah yang hanya berbekal dan berpegang pada Al Qur‟an dan Sunnah Nabi. Islam yang datang

Page 4: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

872

ke wilayah ini adalah Islam yang telah penuh dengan pengalaman pergumulan, baik dengan budaya Arab sendiri, dengan kebudayaan tua Persia, termasuk kebudayaan Hindu India, ada pula yang memalui budaya konfusianisnme Tiongkok atau Cina.6 Dengan adanya pengalaman sosiologis dan kultural antar bangsa dan antar peradaban itulah Islam yang datang ke wilayah ini sangat mudah mengapresiasi bahkan beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara. Kedekataan ulama Nusanatara dengan kebudayaan-kebudayaan besar tersebut bisa kita saksikan sejak dulu hingga saat ini karya ulama dari berbagai negeri besar itu masih dibaca dan dirujuk oleh para santri di lingkungan pendidikan Pesantren di seluruh Nusantara.7 Hal itu kemudian yang membentuk jaringan Islam Nusantara, yang satu sama lain memiliki silsilah keilmuan yang sambung-menyambung hingga sekarang. Islam nusantara kemudian juga mengkeristal tidak hanya menjadi sistem pengetahuan tersendiri, tetapi juga membentuk sistem keyakinan tersendiri dan sistem politik kenegaraan tersendiri yang berbeda dengan sistem lainnya.

a.Sistem Pengetahuan Jauh sebelum Islam datang ke kawasan ini, lembaga pendidikan telah berkembang

tidak hanya di perkotaan tetapi sampai ke kawasan perdesaan. Pusat pendidikan itu disebut sanggar, padepokan atu pertapaan, surau dan sebagainya. Hampir semuanya berbasis agama, baik Hindu maupun Budha ataupun kepercayaan lainnya, namun demikian juga mengajarkan keilmuan di luar agama, seperti ilmu kanuragan, ilmu pertanian, perbintangan dan perlogaman. Termasuk punya fungsi penting sebagai penjagaan keamanan. Ketika Islam datang lembaga, lembaga itu digunakan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana pendidikan Islam, maka mulai muncullah di Jawa ada Langgar, di Aceh ada Meunasah di Minangkabau ada surau dan sebagainya. Setiap komunitas Islam Nusantara memiliki lembaga pendidikan klasik semacam itu.

Ada hal yang penting untuk ditelaah adalah bagaimana Islam itu di perkenalkan dan diajarkan pada masyarakat, sehingga kemudian dikenal dengan Islam Nusanatara. Kisah Abdurrauf Al Fansuri As Sinkli ini merupakan contoh khas bagaimana para wali atau ulama terdahulu mengenalkan Islam pada masyarakat Nusantara. Wali yanag menjadi Qodli Qudlot (Hakim Agung ) dalam Kesultanan Aceh Darussalam itu memiliki beberapa santri dari Minangkabau. Ketika sudah pepak keilmuannya mereka ditugaskan untuk dakwah di negeri masing-masing. Keempat santri tadi menyiarkan Islam secara tegas sesuai dengan ajaran yang diperoleh di pesantren, sesuai dengan ajaran Imam Syafii, dan tauhid Imam Al Asy‟ari. Akibatnya mereka ditolak oleh masyarakat bahkan mereka diusir, sementara satu orang santri bernama Burhanuddin ketika datang tidak langsung mengajarkan Islam, tetapi bergaul dengan masyarakat, tanpa mengusik kepercayaan mereka, akhirnya mereka diterima secara baik. Dalam memperkenalkan agama, Burhanuddin tidak langsung pada orang tua, tetapi lebih mementingkan pengajaran pada anak-anak, itupun tidak dengan ceramah dan mengaji tetapi dengan berbagai permaianan dan dongeng yang menyenangkan, sehingga setiap sore mereka datang ke padepokan atau surau Burhanuddin. Dari situ anak mulai diperkenalkan dengan tatakrama dan sopan santun pergaulan. Selain itu mereka diajarkan juga permainan, tetapi tak satupun mereka bisa menandingi gurunya. Akhirnya para murid bertanya apa rahasia kemenangannya. Lalu oleh sang Wali dikatakan bahwa rahasia kemenangannya adalah karena sebelum main

Page 5: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

873

membaca mantera yaitu bismillahirrahmanirrahim. Dari bismillah itulah mereka mulai diajarkan ketauhidan. Melihat perkembangan moral anaknya yang meningkat itu para orang tua berterima kasih kepada Syekh Burhanauddin, bahkan merekapun ikutan untuk belajar berbagai ilmu darinya. Bagi orang yang baru ikut itu tetap dibiarkan mengadakan upacara adat, memakan babi, minum tuak dan sebagainya, tetapi akan secara bertahab dihentikan.

Keadaan seperti itu menggelisahkan teman-teman seperguruannya. Di tengah keputusasaannya para santri yang lain itu mau berguru lagi ke Aceh, sambil melaporkan kelakuan Burhanuddin. Mendengar laporannya itu Syeh Abdurrauf Sinkli (Syah Kuala) akhirnya ia menjelaskan tentang kesalahan metode mereka dalam menyampaikan dakwah Islam yang dilakukan secara kaku, justeru yang benar adalah cara yang dilakukan Burhanuddin, lalu mereka disarankan untuk tidak berguru kepadanya, tetapi disuruh berguru ke Burhanuddin. Tentu saja mereka kaget, tetapi karena ini perintah guru maka dilaksanakan. Sesampai di Ulakan, Padang Pariaman, ketiganya diterima di pesantren ulakan, tidak disuruh berguru secara langsung tetapi diminta oleh Burhanuddin untuk membantu mengajar dan menyiarkan Islama dari suraunya. Burhanuddin menjelaskan bahwa yang pertama-tama perlu disampaikan bukanlah Islam dalam bentuk doktrin dan hukum, kalau itu yang disamapaikan mereka akan menolak, karena mereka merasa tidak berkepentingan, tetapi yang perlu disampaikan adalah rasa Islam, ini yang mereka perlukan, yaitu rasa ingin pendapatkan ketenteraman, kedamaian dan keadilan yang hakiki.8 Syariat hanya merupakan sarana untuk itu. Pengenalan rasa Islam didahulukan syariat diajarkan belakangan.

Pada umumnya qodli (hakim Agung ) kerajaan di Aceh dan di Kesultanan manapun di Nusantara adalah meraka yang menguasasi fikih Madzhab Syafii, tetpi ada satu syarat lagi yang tidak kalah pentingnya adalah mereka harus menguasasi hukum adat atau budaya setempat. Penguasaan itu yang dimiliki oleh Abdurrauf Sinkli dan muridanya Syekh Burhanuddin. Persyaratan itu umum berlaku d seluruh kerajaan Nusantara. Imam Masjid Agung juga dipersyaratkan memiliki penguasaan yang sama, sehingga mereka menjadi pembimbing umat yang mumpuni. Mampu menyelesaikan maslah agama dan persoalan adat yang dihadapi masyarakat.

Penyiaran Islam dengan mengapresiasi kebudayaan setempat, bahkan yang bertentangan sekalipun, yang kemudian dihilangkan secara bertahap itu merupakan gejala umum di Nusantara termasuk yang dilakukan oleh para Wali dan Ulama di Jawa di Kalimatan, Sulawesi, Nusatenggara hingga Maluku. Anak-anak sebagai sasaran dakwah merupakan strategi dakwah jangka panjang, dengan demikian memerlukan lembaga pendidikan. Karena lembaga pendidikan ini tidak terputus dengan masa lalunya yang pra Islam, maka beberapa tradisi dan pelajaran dalam sanggar dan padepokan di masa lalu dianggap penting, maka tetap diajarkan seperti silat, pembacaan serat, penghormatan pada leluhur, ilmu kanuragan dan pertanian.

Penggunaan metode pengajaran lokal dan penggunaan sarana lokal lainnya itu membuat Islam dengan mudah diterima, karena mereka melihat kehadiran Islam bukan sebagai ancaman, baik bagi kepercayaan lama mereka atau terhadap status sosial ekonomi mereka. Sebaliknya Islam diangap sebagai penerus dan penegas dari tradisinya. Dari sistem ini lahir berbagai serat, kakawin, baik yang bersifat sufistik yang disediakan untuk

Page 6: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

874

kalangan terpelajar, hingga yang berbentuk tembang dolanan (permainan), sebagai upaya menyentuh kalangan anak-anak dan remaja.

Kuatnya pelajaran sastra dalam tradisi Hindu-Budha, hal itu juga sangat menolong mudahnya masuk ajaran Islam ke pesantren. Apalagi hampir semua pelajaran agama sesulit apapun telah digubah dalam bentuk nadzam, sementara di lingkungan sanggar dan padepokan pelajaran kekawian baik dalam bentuk prosa dan puisi berlangsung serius, sehingga sastra Arab atau bahasa Arab mudah diterima dan dikuasai oleh mereka, hal itu bisa dilihat selain menulis dalam bahasa-bahasa Nusantara para ulama juga menulis dalam bahasa Arab. Lihat misalanya karya Syeh Nuruddin Ar Raniri dalam bahsa Arab dan Melayu, karya Syeh Arsyad Al Banjari dalam bahasa Arab dan Melayu. Begitu juga karya Para wali dan ulam Jawa abad ke-16 hingga abad ke-19 juga menggunakan dua bahasa, Arab dan Jawa.

Upaya mengakarkan Islam dalam budaya lokal ini dilakukan agar tidak terjadi diskontinuitas, masyarakat dengan masa lalunya. Setiap perkembangan apapun harus berangkat dari tradisi yang ada agar awet dan lestari dantidak artifisial yang hanya cangkokan, tidak mengakar dan tidak mendarahmendaging. Di lingkungan masyarakat Bugis para ulama lebih berani lagi dalam membuat langkah pribumisasi Islam ini, beberapa naskah seperti Hikayat Israk Mur’roj demikian juga Hikayat Rabiatul Adawiyah, yang ditulis oleh para ulama di situ dikatakan bahwa Nabi Muhammad itu bukan orang asing melainkan tetangga mereka sendiri yang lahir di tanah Bugis. Ini bukan dimakasudkana sebagai pemalsuan, tetapi upaya pendekatan agar Islam tidak dianggap sebagai sesuatu yang asing, tetapi sesuatu yang pribumi, sehingga layak diikuti.Tradisi seperti ini juga tercermin dalam Babat Tanah Jawi, juga dalam Sejarah Melayu, anakronisme banyak terjadi, karena yang dipentingkan di sini ajaran moral bukan kronik sejarah.

Sistem pendidikan Islam ini tidak hanya melahirkan ulama ulama yang mumpuni, tetapi juga melahirkan ribuan naskah tentang sastra dan agama. Tetapi yang penting lagi mampu mendidik ribuan santri atau murid secara mandiri. Sistem pendidikan juga dikelola secara mandiri disangga bersama-sama oleh kiai, santri dan masyarakat sekitar. Sebelum munculnya sekolah setelah politik balas budi yang dilakukan Belanda dengan mendirikan sekolah untuk para calon pegawai pribumi, seluruh sistem pendidikan masyarakat Nusantara baik untuk kalangan bangsawan dan kalangan masyarakat biasa adalah di pesanten. Pesantren tidak mengenal diskriminasi, seperti pendidikan kolonial, yang hanya menerima anak para priyayi terutama yang berkedudukan tinggi. Selama ini pesantren telah mendidik semuanya. Karena itu keilmuan di kalangan masyarakat berkembang walaupun belum ada sekolah. Semua pejabat, raja dan pujangga dididik dalam lingkungan pendidikan tradisional Nusantara ini.

Sumber paling lengkap yang mengungkap tradisi keilmuan pesantren ini adalah Kitab Centini yang ditulis pada zaman kerajaan Surakarta tahun 1814 M. Kitab yang ditulis bersamaan para ulama dan pujangga keraton ini menjelaskan jenis keilmuan yang diajarkan di pesantren seluruh Jawa (Nusantara). Tetu saja pertama-tama adalah ilmu tauhid terutama Sifat 20, ini menunjukkan bahwa madzhab teologi yang diikuti mereka adalah Asy‟ariyah. Sementara itu di bidang fikih disebutkan bahwa masyarakat dan ulama mengikuti salah satu dari empat Mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, tetapi ditegaskan bahwa di tanah Jawa umumnya mengikuti mazhab Syafi‟i, karena itulah kitab

Page 7: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

875

Syafi‟iyah yang diajarkan di pesantren.9 Sementara itu tasawuf menjadi puncak dari ajaran ini.

Selain masalah ketauhidan dan ubudiyah, juga diajarkan ilmu sastera, penggunaan bahasa kawi, pembuatan kakawin, dari situ lahir berbagai serat dan kakawin, sebagai karya sastra yang unggul. Demikian juga diajarkan pula ilmu-ilmu diniawi, seperti ilmu falak khususnya untuk mengetahui pranata mangsa, juga diajarkan farmasi bagaimana meramu obat-obatan dan juga ilmu metalurgi bagaimana mengolah logam untuk menjadi sebuah keris atau perangkat gamelan. Dalam konteks ini sebenarnya tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan duniawi, seorang ulama atau wali menguasasi keduanya. Hanya saja kemudian ada yang menguasai lebih baik dari yang lain, karena itu di pesantren muncul spesialisasi. Ada ulama yang hebat dalam fikih, ada yang bidang sastra, ada yang mahir di bidang falak dan kanuragan. Bahkan ada yang ahli khusus di bidang siyasah (politik) karena para raja dan pamong praja juga belajar ilmu pemerintahan di pesantren.

Kitab-kitab yang mengajarkan sistem politik dan ketatanegaraan Islam seperti Ahkamussultoniyah, bughyatul murtarsyidin, Nashihatul Muluk dan Tajussalatin dan seterusnya itu sangat populer di kalangan pesantren. Dengan adanya spesialisasi antar kiai pesantren itu maka kalau memperdalam ilmunya para santri perlu pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Dari situlah kemudian muncul apa yang disebut dengan santri kelana, berkelana melakukan rihlah ilmiah (pengembaraaan keilmuan) untuk mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Selain berbagai ilmu yang diajarkan metode pencarian ilmu ini juga merupakan watak sistem pengetahuan dalam Islam Nusantara. Kitab yang dijadikan rujukan serta metode yang digunakan di seluruh pesantren Nusantara hampir seragam. Kiai, Taun Guru, Gurutta, Ajengan sebagai figur sentralnya.

b. Adat dan Sistem Kepercayaan Walaupun dikatakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara ini berupa Islam

sufistik, tetapi bukanlah sufi ghullah (ekstrem) seperti aliran wihdatul wujud (pantheis). Aliran ini pernah dikembangkan oleh syekh Hamzah Fansuri, tetapi kemudian dikritik oleh Syekh Nuruddin Ar Raniri, karena itu kemudian dievisi oleh salah seorang murid Fansuri yaitu Syekh Syamsuddin As Sumatrani dan juga Abdurrauf Sinkli (Syah Kuala), sehingga tasawuf terus menerus diselaraskan dengan pandangan sufi sunnah, yang menyeimbangkan antara ajaran tasawuf dengan syariah. Pegangan pada mazhab fikih yang empat merupakan bukti kuatnya Islam Nusantara terhadap ikatan fikih, karena itu tasawuf yang dikembangkan adalah tasawufnya Imam Ghazali yang berhasil memadukan antara tasawuf dan syariah secara seimbang. Maka tarekat yang berkembang adalah tarekat yang sejalan dengan pandangan sufi itu, seperti tarekat Qadiriyah, Naqshabandiyah, Syattariyah dan sebagainya yang dikategorikan sebagai tarekat Muktabarah yaitu tarekat yang memiliki silsilah ajarannya sinambung hingga pada Nabi Muhammad SAW dan secara isi tidak bertentangan dengan syariat. Tarekat ini yang diberi legitimasi teologis untuk bergerak, diajarkan dan diamalkan di tengah masyarakat.

Sebagi Islam sufistik maka mereka sangat menghormati guru, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, karena itu tradisi silaturrahmi dan tradisi ziarah kubur para ulama dan wali berkembang subur di kalangan Umat Islam. Dalam ziarah itu ada dua hal yang dilakukan pertama adalah pembacaan tahlil mendoakan pada arwah

Page 8: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

876

mereka, selanjutnya juga dilakukan tawasul kepada para ulama atau wali, sebagai orang yang dekat dan dikasihi Allah, agar mereka dimohonkan doa kepada Allah. Selain adanya kepercayaan terhadap tawasul, dalam ziarah mereka juga melakukan i’tibar (mengambil pelajaran) atas kesungguhan dalam perjuangan mereka. Bagi para pejuang yang ingin mendapatkan keberhasilan tidakl sedikit yang mencari pelajaran dan keteguhan hati melalui proses ziarah. Dan ini berlaku hingga saat ini, sehingga makam ulama dan wali selalu ramai diziarahi dengan motif-motif seperti itu.

Pembacaan shalawat kepada nabi adalah bentuk tawasul yang paling murni dari kalangan Islam Nusanatara, pembacaan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lahir berbagai macam sholawat, seperti pembacaan maulid Nabi, Barzanji, solawat munjiyat, bahkan untuk menghadapi masyarakatnya Syeh Burhanddin Ulakan di Minagkabau menciptakan Sholawat Dulang. Demikian juga Kiai Manshur Shiddiq di Jawa Timur untuk menghadapi kelompok ateis maka menciptakan Shalawat Badar. Pembacaan selawat ini dilakukan di surau atau langgar setiap malam jum‟at atau dalam perayaan kelahiran seseorang, terutama dalam perayaan lahirnya Nabi Muhamamad. Bentuk pembacaan ini adakalanya hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga ada yang diiringi dengan beraneka ragam alat musik.

Selain perayaan hari lahir nabi, yang diisi dengan pembacaan Dziba, Barzanji yang berisi riwayat hidup nabi Juga diadakan pembacaan manakib (riwayat hidup) para ulama, seperti Syek Abdul Qadir Jailani dan para tokoh tarekat, bahkan dibacakan juga manakib para wali dan ulama sekitar. Pembacaan itu bukan sekadar pembacaan sejarah atau dongeng tapi sekaligus bentuk penghormatan dan sekaligus suatu bentuk tawasul, agar didoakan kepada Allah atas hajat yang dimiliki. Karena itu pembacaan manakib ini bukan merupakan bentuk pengajian, tetapi lebih merupakan sebuah prosesi ritual. Sebagaimana lazimnya dalam tradisi sufi maka perayaan nishfu Sya’ban juga sangat umum dilakukan, yang dianggap sebagai malam keramat, sehingga Tuhan akan mengampuni segala dosa mereka, karena itu perayaan hari itu yang dipenuhi dengan berbagai amal ibadah dilaksanakan setiap pertengahan bulan Sya‟ban. Perayaan ini tidak bedanya perayaan Muaharrom yang disertai dengan pelaksanaan puasa sebagai sarana penyucian.

Tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan Al-Qur‟an saat ada yang meninggal dunia juga merupakan tradisi yang melekat pada masyarakat Islam Nusantara. Selain dijadikan sarana untuk mendoakan pada orang Muslim yang meninggal, juga dijadikan sarana pelipur lara bagi keluarga yang ditinggalkan, selain itu juga untuk mengganti kebiasaan di zaman pra Islam sering kali dalam acara kematian justeru disertai dengan judi dan pesta minuman keras. Maka oleh para wali tradisi meratap diganti dengan talkin sementara kebiasaan judi diganti dengan pembacaan zikir, dan tahlil. Karena itu tradisi ini sangat kuat mengakar di masyarakat, karena dikembangkan berdasarkan tradisi mereka, tetapi dengan menggeser tujuannya, kalau dulu diartikan sebagai pemujaan arwah kemudian digunakan untuk mendoakan arwah para guru dan leluhur.

Penggunaan sarana tradisi untuk mendukung pelaksanaan peribadatan memang sangat umum. Mislanya selain memanfaatkan sanggar pemujaan untuk menjadi langgar atau surau menjadi tempat ibadah umat Islam, juga mamanfaatkan sarana yang lain seperti beduk dan kentongan.10 Kedua sarana yang selama ini digunakan sebagai pemberitahuan dan tanda akan diselenggarakan pertemuan, dan juga tanda bahaya tergantung iramanya.

Page 9: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

877

Kedua alat tadi kemudian digunakan untuk memberi tahu tentang tanda dimulainya waktu sembahyang, karena adzan saja yang diteriakkan melalui menara belum cukup komunikatif, mengingat jarak antara masjid, langgar atau surau dengan rumah penduduk jauh sangat berpencaran, maka dibutuhkan sarana bantu berupa bedug dan kentongan yang suaranya bahkan bisa didengar di kampung lain.11 Bahkan ukuran beduk dan panjang kentongan diselarskan dengan kedudukan masjid atau surau dan langgar yang bersangkutan. Beduk mesjid agung dengan sendirinya berbeda besarnya dengan mesjid biasa. Sarana yanag dulunya sekadar sebagai sarana bantu, kemudian berkembang sebagai penentu status dari masjid yang bersangkutan,dan selanjutnya ini menjadi perwujudan dari islam di kawasan Nusantara, sehingga tidak sempurna sebuah masjid yang tidak memiliki beduk yang representatif.

Perayaan Maulid, pembacaan shalawat, pembacaan tahlil, manakib termasuk perakyaan nishfu Sya‟ban dilaksanakan dengan menggunakan sarana adat dan tradisi, sehingga antara ajaran agama dengan tradisi tidak lagi bisa dipisahkan. Para ulama mengesahkan hal itu karena berangkat dari prinsip al ‘adah muhakkamah (adat merupakan sumber hukum) , sehingga pelaksanannya tidak hanya menjadi sarana peribadatan, tetapi telah menjadi sarana pengembangan tradisi. Pertautan Islam dengan tradisi itulah yang membuat Islam diterima secara uas oleh masyarakat, karena apa yang sebelumnya dianggap asing, kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang pribumi.Ini merupakan strategi para wali yang kemudian membentuk sebagai sistem keyakinan yang berkembang di kalangan masyarakat Nusantara.

Betapapun besarnya penghargaan terhadap kebudayaan lokal yang diberikan pada para ulama Nusantara, namun tetap berusaha menjaga sesuai dengan batas-batas keimanan Islam. Syekh Arsyad Al Banjari dalam Kitabnya Tuhafatur Raghibin, yang mengajarkan tauhid itu, setelah mengukuhkan paham ahlussunnah wal jamaah berdasarkan madzhab Asy‟ariyah dan Maturidiyah juga memberikan batasan tegas antara Sunnah dan bid‟ah. Kemudian merinci berbagai bid‟ah, mulai dari bid‟ah yang wajib seperti menafsirkan Al Qur‟an, mensyarahi Hadits dan sebagainya, Bid‟ah yang sunnah, seperti menguraikan masalah tasawuf dan seni dan bid‟ah yang haram yaitu mengikuti paham jabariyah, qodariah, wujudiyah dan sebagainya.12 Karena itu ulama ini walaupun membiarkan tradisi Banjar yang lain tetapi melarang paraktik adat yang dianggap melanggar ajaran seperti tradisi pesilih (buang pakaian) dan menyanggar (membuat sesajen untuk leluhur). Sebenarnya batasan dan penjagaan terhadap keutuhan tauhid terus dijalankan tetapi tidak dengan cara membongkar seluruh tradisi, melainkan dengan cara merevisi.

c. Sistem Politik Ketatanegaraan. Kebudayaan akan selalu mencukupi kebutuhan komunitas pendukungnya

sendiri,dan suatu kebudayaan besar akan memiliki kapasitas besar untuk mencukupi aspirasi warga budaya itu sendiri, salah satu produk kebudayaan tertinggi adalah kemampuan menciptakan sistem pemerintahan.dengan adanya pemerintahan itulah kemudian terbentuk negara. Kebudayaan kecil hanya akan melahirkan pemerimtahan setingkat suku atau kepala adat, kebudayaan besar akana melahirkan negara bahkan imperium. Dalam Konteks ini Nusanatara sebagai konsep kebudayaan telah melahirkan

Page 10: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

878

sistem pemerintahan bahkan ketatanegaraan yang besar, tidak hanya dalam konsep tetapi juga dalam praktek. Di Nusantara dikenal beberapa kerajaan Besar mulai dengan Kutai, Sriwijaya, Singasari,Majapahit, Demak, Mataram dan seterusnya. Tantpa ada hukum ketatageraaan tidak mungkin mereka bisa mempertahankan negara hingga ratusan tahun. Sistem ketatanegaraan mereka itu yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga mereka menjadi negara yang tertib dan stabil walaupun mengendalkan wilayah yang luas dan terpencar seperti Nusantara ini.

Majapahit mislanya memiliki sistem ketatanegaraan yang disebut dengan Kutara Manawa yang berisi perundang-undangan dan Kitab Negarakertagama yang juga berisi masalah ketatanegaraan Majapahit dan Singasari. Itu semua yang erasal dai warisan Hindu Budha. Pada Zaman Kerajaan Demak sebagai penerus majapahit, juga telah menciptakan sistem hukum dan ketatanegaraan sendiri baik bersumber pada tradisi politik sebelumnya maupun berasal dari tradisi Islam sebagaimana diajarkan oleh para Wali, undang-undang ini tertuang dalam kitab Salokantara. Sementara itu kerajaan Islam yang bertebaran di Sumatera juga telah memiliki sistem ketatanegaran berdasarkan ajaran slam, Kitab kitab Nashihatul Muluk karya Imam Ghozali sangat berpengaruh di sini sehingga mengilhami lahirnya kitab kitab seperti Bustanus salatin karya Syekh Nuruddin Arraniri, dan di Jawa juga terdapat kitab yang sama yaitu serat Tajus Salatin, ditambah lagi dengan kitab-kitab Adabus Salatin, Ikhbarul Muluk dan sebagainya. Semuanya itu menjadi rujukan para raja dalam menyusun undang-undang dan melaksanakan kebijakan pemerintahan. Kitab-kitab tersebut juga diajarkan di pesantren pada para santri senior, khususnya bagai para calon pemimpin.

Pada umumnya kitab tersebut menceritakan tentang keharusan para raja dan menteri menjalankan pemeritahan dengan adil dan mempedulikan nasib rakyat, karena itu cerita tentang keadilan sahabat Umar bin Khattab menjadi contoh utama dalam kitab itu, tidak ketinggalan ketinggian budi Khalifah Umaiyah yaitu Umar Ibn Abdul Aziz merupakan contoh yang ditampilkan, sedangkan contoh sebelum Islam diperkenalkan Annussyirwan Al Adil, raja bijaksana dari Persia, yang banyak dicontohkan imam Ghazali dalam kitabnya.

Selain masalah keadilan Kitab-kitab ketatanegaraan tersebut juga mengajarkan tentang maslah teknis pemerintahan, mulai cara memilih seorang menteri, kewajiban seorang menteri, kewajibana seorang prajurit, tanggung jawab pemegang baitul mal dan sebagainya. Di dalam kerajaan islam di jawa sendiri, selain telah umum dikuasasi Kitab Tajus Salatin yang bertuliskan aksara Jawa itu, pada abad ke 19 Raja Surakarta Mangkunegara IV yang seangkatan dengan Ronggowarasito mengarang Kitab Wedhatama (ajaran luhur) yang dijadikan pelajaran bagi para pangeran calon raja. Selain itu juga ditulis pula kitab yang sama yaitu Wulangreh.

Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara berdiri kuat sejak dari zaman Samudera Pasai, Aceh Darusalama, Demak, Mataram, Ternate, Bone dan sebagainya berdiri kokoh karena memiliki sistem ketatanegaraan yang pasti yang bersumber dari agama dan tradisi setempat. Beberapa kitab tadi yang kemudian diterjemahkan secara teknis menjadi berbagai hukum dan peraturan kerajaan, maka di sana selalu ada Qodli Qudlot (hakim Agung) serta patra penghulu yang menangani pelaksanaan hukum dan peradilan bila terjadi masalah di antara mereka. Dalam pada akhir abad ke-19 Kesultanan Sambas, Kalimantan

Page 11: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

879

Barat misalnya sistem hukum dan ketatanegaraannya telah dijalankan secara seksama yang terdiri dari sistem peradilan mulai dari paling rendah Balai Bidai, kemudian Balai Raja, dan yang tertinggi Balai Kanun.13 Semua balai atau kitab-kitab itu merupakan perpaduan antara syariat Islam dengan hukum adat. Terutama Balai Kanun yang posisi konstitusinya lebih tinggi dan lebih luas telah mengatur tata pemerintahan, tertib kehidupan sosial, termasuk di dalamnya membahas masalah pidana dan perdata.

Semua kesultanan dengan bantuan parta qadli yang merupakan ulama-ulama terkemuka di setiap kesultanan selalu membantu dalam merumuskan hukum ketatanegaraan, sebab selain menguasai hukum Islam, para ulama itu juga memahami adat setempat. Dari situ lahir berbagai hukum dan ketatanegaraan untuk diterapkan di masing-masing kesultanan. Tetapi semuanya ini kemudian pudar ketika kerajaa-kerajaan Islam Nusantara itu satu persatu dikuasai Belanda, maka hukum Islam yang tertuang dalam sistem ketatanegaraan itu berangsur hilang diganti dengan hukum dan ketatanegaraan Belanda. Setelah merdeka diganti dengan ketatanegaraan Nasional.

Prasangka Terhadap Islam Nusantara

Keutuhan kebudayaan Islam Nusantara yang tumbuh dan berkembang dan bertahan selama berabad-abad sehingga merupakan budaya dan identitas tersendiri itu kemudian mendapatkan tantanagan keras, bukan dari luar, tetapi datang dari kalangan Islam sendiri, setalah itu berangsur-angsur pula serangan datang baik dari kalangan agama maupun dari kalangan akademisi dan dari kalangan penguasa politik. Mereka ada yang sekadar melakukan kritik, ada yang berusaha menyingkirkan dari kehidupan masyarakat, baik karena dianggap berlawanan dengan ajaran agama yang mereka pahami, maupun karena dianggap tidak sejalan dengan nalar modernitas yang sedang berkembang. Kritik itu dilaksanakan sepanjang abad sejak Belanda itu sendiri masuk, lalu mencapai puncaknya pada masa gerakan paderi di Sumatera Barat, kemudian dilanjutkan oleh gerakan-gerakan Islam puritan yang datang belakangan. Bahkan kemudian beberapa kritik itu diterapkan menjadi kebijakan politik pemerintah, sehingga berakibat makin terpinggirnya peran Islam Nusantara. Apalagi setelah dinyatakan sebagai sumber konservativisme, yang tidak sesuai dengan nalar modernitas.

a.Prasangka Agama. Keberanian para ulama untuk mengapresiasi kebudayaan yang berkembang

dikawasan Nusantara itu bahkan tidak sedikit yang didukuhkan sebagai bagian dari tardisi Islam, hal itu dianggap merusak kemurnian ajaran Islam, apalagi kalau ajaran tersebut jelas-jelas berasal dari tradisi Hindu atau Budha. Apa yang oleh para Raja, para pujangga dan para ulama Nusantara selama dianggap sebagai sebuah kemajuan itu, kemudian oleh para penganut Islam puritan dianggap sebagai kemunduran dan penodaan terhadap kesucian Islam. Tidak sesuai dengan standar ajaran Islam Al Qur‟an dan Hadits.

Walaupun sbelumnya adakelompok yang berusahamenganjurkan Islam muni, tetapi bersifat individual dan sektorla. Tetapi kemudian muncul kelompok puritan yang lebih terorganisir ketika tiga orang santri berasal dari Minangkabau yang belajar di Mekah dan mereka terpengaruh oleh ajaran wahabi yang puritan dan menerapkan di tanah airnya.

Page 12: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

880

Mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif, yang pulang ke kampung halamannya pada tahun 1802 untuk meluruskan ajaran Islam dari segala macam did‟ah dan khurafat, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhamamad Ibnu Abdul Wahab di Tanah Arab. Sesampai di kampung halaman mereka menghimpun kaum muda berjumlah depalan orang diketuai Nan Renceh. Mereka juga berusaha mengajak para ulama sesepuh di daerahnya, seperti Tuanku Nan Tuo, tetapi ulama besar itu menolak penegakan ajaran Islam dengan paksa menggunakan pedang. Sebab menurut Tuanku Nan Tuo, apabila suatu nagari telah besar pengaruh Islam tidak boleh diserang. Tugas para ulama untuk mendidik mereka selanjutnya agar lebih sesuai dengan Islam. Dengan demikian tidak akan ada pertentangan antara agama dengan adat. Karena menolak ajakan kaum muda itu maka Tuanku Nan tua dituduh sebagai Rahib tua, yang dalam sejarah kemudian dikenal sebagai Kaum Tua. Sejak saat itu dikhotomi kelompok tua dan muda tercipta dan menyebar ke seluruh Nusantara. Kelompok yang mempertahankan tradisi Islam Nusantara disebut sebagai kaum Tua sementara kelompok Islam puritan yang berusaha mengikis Islam dari pengaruh tradisi Nusantara disebut kaum muda atau kaum Paderi.

Kelompok Paderi berusaha mengekpresikan Islam secara murni sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits an sesuai dengan budaya Arab, berjubah putih, memakai cadar, memelihara cambang. Dengan pasukannya yang militan Paderi mampu menaklukkan beberapa daerah dengan penuh teror. Peristiwa paling tragis adalah ketika mengadakan perundingan dengan para pangeran Kerajaan Pagaruyung yang bermazhab Syafi‟i. Ketika mereka tidak mau terang-terangan mendukung gerakan puritanisasi Paderi, maka seluruh anggota kerajaan dibantai ditempat permusyawaratan, hanya beberapa bangsawan yang bisa meloloskan diri, kemudiankerajaan juga dibakar.14 Setelah itu kelompok ini juga meluaskan serangannya ke daerah sekitar Minangkabau, seperti ke Mandailing, Bengkulu dan sebagainya. Karena itu menurut Ketua Kerapatan Adat Minangkabau Bagindo Muhammad Letter, sebenarnya perang Paderi bukan perang antara agama melawan adat, tetapi perang antara kelompok bermadzhab dengan kelompok bebasa madzhab.

Pokok Soal yang ditentang oleh kelompok muda yang mendapat spirit dari ajaran Muhammad Bin Abdul Wahab itu adalah beberapa tradisi keislaman yang berlaku di kawasan Minangkabau yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran dan aliran mereka antara lain seperti;

1. Mengucapkan niat dalam sembahyang (ushalli) merupakan bid‟ah sebab Nabi Muhammad tidak berbuat seperti itu, itu hanya perbuatan para ulama.

2. Solat taroweh 23 rakaat 3. Berdiri ketika membaca barzanji ketika sampai marhaban, yang dibayangkan nabi

datang pada saat itu. Ini hanya rekayasa para ulama yang tidak ada dasar agamanya.

4. Membaca talqin, tahlil dan ziarah kubur,semuanya tidak ada sumbernya dari Al Quran dan Shunnah malah mengarah pada kemusyrikan.

5. Merayakan Nisfu Sya‟ban memrupakan tindakan bid‟ah karena bersandar pada hadis-hadis palsu.

Selain itu banyak larangan lain seperti memakan sirih, merokok, dan juga anjuran agar menutup rambut bagi wanita, dan memakai jubah putih bagi kaum pria, menyediakan

Page 13: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

881

tempat wudlu di setiap halaman rumah. Gerakan yang semula hanya di Minangkabau itu kemudian meluas ke daerah-daerah yang lain. Gerakan itu tidak hanya berbentuk gerakan pendidikan dan dakwah, tetapi membentuk gerakan militer sehingga menyerang siapa saja yang diangggap tidak sejalan dengan aliran mereka. Banyak ulama yang menjadi korban kekejaman kelompok muda itu, korban paling tragis adalah keluarga Kerajaan Pagaruyung.

Sementara itu di Jawa kemudian juga muncul gerakan pemurnian Islam yang dipimpin oleh H Ahmad Dahlan, dengana organisasinya Muhammadiyah (1912) yang tidak hanya terpengaruh oleh ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab dari Najed tetapi juga sebagai pengikut gerakan modern Islam dari Muhammad Abduh dari Mesir. Sekitar tahun 1925 gerakan yang ada di Minangkabau di bawah Pimpinan KH Abdul Karim Amrullah itu menyatu dengan gerakan Islam puritan yang ada di Yogyakarta. Sehingga menjadi kekuatan yang signifikan dalam upaya memurnikan Islam di Nusantara. Akibatnya dari periode ke periode ketegangan antara kelompok Islam modernis dengan kelompok bermadzhab terus meningkat. Hampir di seluruh kawasan Nusantara gerakan modernis ini melakkan gerakan pemurnian terhadap Islam Nusantara yang dianggap sinkretis, penuh bid‟ah dan khurafat.

Masyarakat Islam Palembang di Sumatera Selatan juga dilanda gelombang puritasisasi itu , munculnya kelompok modernis pada tahun 1930-an dibawa oleh H Ridwan dari Kota Gede Yogyakarta merupakan picu utamanya. Mereka segera menuduh bida‟ah segala perilaku para ulama dan masyarakat Palembang yang masih menjalankan tahlil, zikir maulud dan mengamalkan tarekat.15 Akhirnya terjadi ketegangan dan keretakan dalam masyarakat, antara yang anti tradisi dengan kelompok yang mempertahankan tradisi. Padahal suluruh perangkat kesultanan maupun tempat ibadah yang ada seperti masjid dan surau serta pesantren mengamalkan hal-hal tersebut. Serangan terhadap ajaran agama itu dengan sendirinya juga membuat goncangan sosial. Demikian juga di Sasak Lombok gerakan pemurnian berjalan berupaya mengikis pengaruh ajaran Hindu yang masih menyertai berbagai ritual Islam di Pulao Lombok itu. Gerakan modern Islam yang merupakan gerakan internasional yang berhembus dari Mesir dan Arab Saudi itu merupakan badai besar yang menghempas tradisi Islam Nusantara dari berbagai penjuru.

Gempuran terhadap tradisi Islam Nusantara juga terjadi di Sulawesi Selatan salah satunya adalah gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Kahar Muzakkar selain dengan cita-cita negara Islam itu dia berusaha memurnikan ajaran Islam dari Pengaruh tradisi Bugis yang dianggap penuh bid‟ah bahkan kemusyrikan, sehingga melemahkan spirit perjuangan Islam. Lantas dia merampas, naskah-naskah penting karya para ulama setempat lalau membakarnya, juga melakukan tindakan kekerasan pada pengikut ulama pesantren, karena memang Islam di masyarakat Bugis tidak diimplementasikan dalam bentuk penegakan institusi syariah tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam pangandereng (adat). Justeru dengan tindakannya itu ia menjadi terisolir, karena para ulama penguasa pesantren menarik dukungannya terhadap DI dan balik melawan karena dianggap menentang ajaran para ulama setempat.16

Sejak dasawarsa 1970-an yakni masa pemerintahan orde baru, di mana pembangunan dijalankan dengan paradigma modernisasi, dengan sendirinya pengaruh kelompok modernis itu semakin kuat ditandai dengan dominannya mereka di pusat kekuasaan. Hal itu juga berpengaruh dalam kebijakan keagamaan, lebih diarahkan pada

Page 14: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

882

saerana pendidikan modern yang tidak lagi berpusat di surau dan pesantren, tetapi lebih ditekankan pada sekolah, akhirnya pesantrenpun mulau membuka sekolah umum. Secara budaya muncul fenomena mencolok seperti penurunan beduk dan kentongan dari serambi masjid-masjid penting, langgar dan menggantinya dengan pengeras suara. Peniadaan dzibak dan barzanji serta tahlilan di masjid masjid, peniadaan pengajian kitab kuning, mengurangi solat taroweh dari 20 rakaat menjadi delapan rakaat dan sebagainya juga merupakan lain fenomena tergesernya tradisi Islam Nusantara dari kehidupan masyarakat.

Namun demikian ajaran Islam Nusantara yang telah mengakar dalam masyarakat dan terpateri dalam lembaga pendidikan dan tempat-tempat ibadah yang ada. Betapapun gencarnya serangan itu tapi tidak semuanya bisa ditembus. Apalagi kekuatan jaringan ulama Nusantara itu telah demikian luas, tidak hanya jaringan keilmuan, tetapi juga jaringan politik serta jaringan kekeluargaan telah terbentuk sedemikian kuat, sehingga sekuat apapun gerakan puritaan tidak mampu menggoyahkan seluruh sendi-sendi Islam Nusantara. Gerakan itu tetap menjadi gerakan kelompok terpelajar di perkotaan, semantara kalangan desa tetap pada keyakinannya. Tidak hanya karena cocok dengan tradisi mereka, tetapi mereka juga merasa kepercayaan yang dipeluk benar dan memiliki dasar syariah yang kuat.

Dalam mengembangkan strategi kebudayaan Islam, para ulama mengakui adanya nilai-nilai positif yang sudah tumbuh dan sudah ada pada manusia atau kelompok sebelum menerima ajaran Islam. Terhadap nilai-nilai tradisi lama tersebut Islam tidak bersikap apriori menolak, menentang atau menghapusnya sama sekali. Islam bersikap akomodatif, selekttif dan proporsional, karena itu tradisi dilihat dalam beberapa kategori : ada yang harus dikoreksi total; ada yang harus dikoreksi sebagian; ada yang harus diisi dan diperkaya; ada yang perlu dikokohkan dan disempurnakan lebih lanjut.17 Hal itu tidak dilakukan sembarangan, tetapi ditetapkan berdasarkan metode berpikir ilmu fikih antara lain dengan menggunakan metode qiyas, ishtislah ataupun istihsan sebagaimana ditetapkan dalam qawaidul fiqhiyah dan qawaidul ushuliyah. Dengan demikian bagi mereka itu apresiasi terhadap kebudayaan lokal itu tidak bisa dianggap bid‟ah, kalau bid‟ahpun tergolong bid’ah hasanah, dilaksanakan demi kemaslahatan Islam dan umat Islam. Karena itua jaran ini bertahan dari serangan kaum puritan, bahkan terus berkembang di tengah gelombang modernisasi.

b. Prasangka Akademis. Tidak hanya kalangan pengikut Islam modernis yang menolak tradisi Islam

Nusantara yang diangap penuh bid‟ah, khurafat dan kemusyrikan, tetapi kalangan akademisi baik dari karangan orientalis maupun para intelektual pribumi juga menyoroti tajam soal karakteristik tradisi Islam Nusantara ini. Tentu saja Dr Snouck Hurgronje adalah indolog paling menonjol dalam masalah ini, ketika pada akhir abad ke-19 mendapatkan tugas penelitian ke Aceh kemudian menerbitkan hasilnya dalam sebuah buku terkenal De Atjehers (terbit 1893), dengan mengkritik penulis sebelumnya yaitu Mr der Kinderen dan Mr. LWC Van den Berg, yang dianggap tidak mampu melihat adanya pertentangan adat dengan Islam. Menurut Hurgronje, banyak sekali pertentangan adat dengan Islam, sebab pada umumnya para sultan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sama sekali tidak menguasasi hukum Islam, sehingga banyak tindakannya dan tradisi yang

Page 15: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

883

dikembangkan menyimpoang bahkan bertentangan dengan syariat Islam.18 Sebagai perintis dari Indologi, pikiran Snouck Hurgronjr ini sangat berpengaruh pada penulis-penulis berikutnya.

Ilmuwan yang juga sangat menonjol dalam menyroti hubungan islam Nusantara ini adalah BJO Scherike, karena intelektual ini mendpat tugas untyuk melakukan studi lapangan persis saat perang paderi Selesai. Demikian juga Van der Kroef, dalam melihat Islam misalnya ia menilai bahwa waalaupun secara umum dikatakan masyarakat menganut agama Islam, tetapi dalam kenyataannya mereka sangat jauh berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad, karena Islamisasi di Indonesia berjalan setengah hati, akibatnya mayoritas pemeluk Islam Indonesia mencampur agamanaya dengan kepercayaan lokal yaitu ajaran manunggaling kawulo gusti. (panteisme).19 Pandangan serupa juga disampaikan oleh Prof Harry J Benda, bahwa Islam ketika masuk keindonesia (Nusantara) dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tradisi yang sudah berabad-abad umurnya, baik tradisi penduduk asli mapun tradisi Hindu-Budha, sehingga Islam kehilangan kemurnian doktrinnya. Tradisi mistik Jawa tersebar luas hingga ke sumatera dan kepulauan lainnya. Dengan berdirinya kerajaan Mataram di pedalaman, Islam Nusantara semakin dipaksa masuk ke dalam dirinya sendiri dan berkutat pada kepercayaan tradisional, karena itu keislaman mereka jauh dari ortodoksi, sehingga yang muncul bukan agama Islam melainkan agama Jawa, maka yang dianut bukan Al Qur‟an melainkan adat-istiadat Jawa, mengikuti feodalisme Jawa bukan egalitarianisme Islam. Namun demikian professor dari Universitas Cornell itu mengakui, walaupun Islam Nusantara sudah tidak lagi murni dengan adanya pencampuradukan dengan budaya pra Islam, tetapi bagi bangsa Indonesia agama Islam tetap bisa menjadi titik pusat identitas, sebagai pembeda dengan identitas Belanda yang Asing.20 Dalam Bukunya Nusantara Bernard HM Vlekke, mempunyai pandangan tersendiri terhadap Islam Nusantara ini, dikatakan bahwa, walaupun beberapa daerah telah dikuasasi raja raja Muslim dan berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Cirebon, Mataram, Jepara, Gresik dan Surabaya dikuasi oleh raja-raja muslim, tetapi para raja dan rakyatnya masih mempertahankana cara hidup hindu Budha. Salah satu bukti adanya Sinkretisme Islam Buhda itu kata Vlekke, bisa ditemukan dalam makam-makam raja dan ulama jawa yang bersimbul Siwa dan kaligrafi Arab. Bahkan hingga saat ini menurut pandangan Vlekke masyarakat masih tetap kukuh dengan kepercayaan Hindu Budha,21 terutama yang ada di lingkungan keraton.

Clifford Geertz tentu saja tokoh yang tidak bisa kita lupakan dalam hal ini,dalam Buku munumentalnya The Religion of Java, dan juga buku studi perbandingan Budayanya yaitu Islam Observed, memberikan gambataan yang begitu stereotip terhadap Islam Nusantara. Dikatakan, karena Islam yang datang ke Nusanatara itu melewati jalur India, maka progersivitasnya ditumpulkan dan dibelokkan menjadi mistik yang merupakan percampuran Hindu, Budha dan animisme. Dengan demikian Islam telah terputus dengan pusat kemurnian di Mekah maupun Kairo. Lebih jauh Geertz menuduh bahwa untuk menutupi sinkretisme tersebut Para ulama menyiasasti dengan berbagai cara yaitu seperti pengubahan nama berbagai praktik Budis diberi nama Arab (pemujaan roh leluhur disebut tahlil), demikian raja Hindu diberi gelar Sultan, roh hutan disebut dengan jin, sementara tidak ada perubahan isinya. Masyarakat tenggelam dalam kebodohan dan takhayul , ajaran suci telah diselubungi dengan kebiadaban syirik yang berasal dari adat

Page 16: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

884

kebiasaan.22 Proses Islamisasi ini dianggap sebagi proses manipulasi, akaiabatnya dalam mendeskripsikan Islam Nusantara juga menjadi sangat melenceng; dikatakan bahwa Islam Asia Tenggara (Islam Nusantara) lebih merupakan Islamnya kaum tani yang menyerap konsep-konsep Islam kemudiam diramu dengan praktek-praktek agama lama yaitu Hindu, dari stu kemudian dipersatukan dewa, hantu, jin dan nabi-nabi dalam suatu animisme yang filosofis. Hasilnya dalah sebuah sinkretisme agama yang canggih.23 Walaupun sudah banyak kritik terhadap pandangan para orientalis atau Indonesianis tentang berbagai pandangannya yang bias, tetapi tradisi akademik itu terus berkembang bahkan hingga belakangan ini seperti yang dilakukan oleh John Ryan Bartholomew, ketika melakukan studi Islam Sasak. Dia telah berusaha sangat hati-hati dalam melakukan kategorisasi, tetapi tetap saja terjerumus dalam kesimpulan bahwa orang Sasak hampir semuanya Muslim papan nama,24 karena mereka mengamalkan agama melalui perangkat tradisi. Pendeknya pandangan yang ditanamkan penulis sebelumnya terutama Snouck Horgronje, begitu kuat berpengaruh dan begitu setia diikuti oleh sarjana sesudahnya.

Tidak berbeda dengan para guru besranya dari universitas-universitas di Barat, kalangan sarjana lokal seperti Deliar Noer, alumni Universitas Cornell ini juga menyoroti soal Islam Nausantara dengan cara yang kurang lebih sama. Dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia ia menegaskan bahwa Islam Indonesia berwatak Sufistik yang kuat mempertalikan hubungan Tuhan dengan para guru, dengan paham sufi panteis (wihdatul wujud), sementara panteisme adalah sebuah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Namun ajaran itu mendapatkan lahan yang subur di tengah Islam Nusantara sejak Islam datang ke sini, disebabkan oleh tabiat alam pemikiran masyarakat Nusantara yang telah terpengaruh Hindu-Budha selama berabad-abad. Kedudukan Kiai atau guru yang terhormat itu menurut Deliar Noer berasaal dari dari warisan agama Hindu-Budha bahkan kelanjutan dari zaman animisme yaitu berkaitan posisi seorang dukun, sementara selalu saja kiai adalah seorang dukun. Percampuran antara peribadatan Islam dengan adat dan tardisi itu mewarnai Islam Indonesia selama ini. Terhadap orang-orang yang berziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan Minangkabau, Deliar Noer menilai, bahwa, pembacaan shalawat, pujian, tahlil dan dalail itu merupakan kelanjutan tradisi para dukun yang tersebar di Sumatera zaman sebelum Islam yang melakukan pujaan terhadap dewa-dewa agama Hindu.25 Ketidakmurnian Islam Masyarakat Nusantara ini menjadi sorotan studi mereka, akibatnya mereka perlu diislamkan secara benar.

Mengingat buku-buku yang disebutkan tadi menjadi buku rujukan baik dalam studi Sejarah, politik dan kebudayaaan termasuk studi islam, maka pandangan stereo type yang penuh bias semacam itu terus berkembang menjadi sebuah konsep akademik bahkan kemudian menjadi teori akademis yang. Dalam kenyataanya, prasangka para akademisi itu kemudian berkembang menjadi stereo type ilmiah seperti sitilah tradisional dan modern, sementara tradisionalisme adalah sumber konservativisme, karena itu Islam Nusantara yang kuat mengapresioasi tradisi dinilai tidak sesuai dengan kemodernan, sehingga harus diubah dan ditinggalkan. Tesis atau pemikiran dan konsep-konsep akademis itu selanjutnya terlaksana menjadi kebijakan politik. Hal itu secara eksplisit dikatakan oleh Harry J Benda bahwa Prestasi paling besar dari Snouck Horgroye dalam melakukan studi Islam sepanjang hidupnya adalah kemampuannya meyakinkan temuanya untuk mendesakkan dilakukan reorientasi politik serta perubahan-perubahan dalam menjalankan stretgi militer dalam

Page 17: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

885

pemerintah Belanda.26 Hubungan teori akademik yang sedemikian dekat itu sering diabaikan oleh para akademisi sendiri, sehingga mereka merasa bahwa apa yang dianggap obyektif itu tidak memiliki interest politik tersendiri.

c. Dari Prasangka Sampai ke Kebijakan Politik. Selama ini sering diasumsikan bahwa antara dunia akademik dan dunia politik itu

berjarak sedemikian jauh, sehingga hampir tak bisa dipertemukan, yang satu merupakan wilayah kebenaran maha tinggi bernilai universal, yang dibungkus dengan objektivitas sangat murni. Sementara dunia politik merupakan serangkaian taktik meperoleh kepentingan jangka pendek yang penuh trik dan rekayasa. Tetapi dalam kenyataannya sering kali dua dunia itu teramat dekat dan saling berkelindan seiring sejalan dan setujuan. Dalam banyak pengalaman menunjukan bahwa seringkali temuan akademik kemudian menjadi kebijakan politik dan seringkali pula berbagai teori akademik sebenarnya merupakan kelanjutan ari kebijakan politik. Secara gamblang sebenarnya lahirnya orientaslime dan khusunya lahirnya indologi adalah yang merupakan bagian penting dari akademi-akademi di Belanda adalah merupakan sarana penunjang kolonialisme yang aktif, sebagaimana dijelaskan oleh benda mengenai peran Snouck Horgroye di mana temuan ilmiahnya sering dijadikan landasan dalam penentuan policy politik dan penetapan strategi militer.

Proses debunking (penelanjangan) yang dilakukan oleh para ilmuwan kritis terhadap teori modernisai yang dikembangkan dunia Barat sehingga menjadi paradigma tunggal sebenarnya tidak lebih merupakan sebuah agenda modernisasi untuk mendukung dominasi kapitalisme. Teori yang dikembangkan pasca perang dunia kedua ini berkait erat kaitannya dengan perang dingin. Dunia Barat dengan teri modernisasi berusaha menerapkan agenda politiknya, yang dibangun dengan mempengaruhi pola pikir kaum terpelajarnya.

Dalam kebijakan politik orde baru sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang lebih menghargai tradisi. Sebaliknya Orde baru dengan program pembangunanisme menerapkan sepenuhnya teori modernisasi, sementara teori modernisasi dengan idea of progress (filsafat kemajuan) sebagai sarana penunjang idea of growth (filsafat pertumbuhan) ekonomi, maka berusaha keras menyingkirkan bidang-bidang yang tidak sejalan dengan idea of progress yang paling utama dilawan adalah tradisi yang dianggap sebagai sumber keterbelakangan, penyebab kekolotan dan kemunduran, karena itu Islam Nusantara dengan segala perangkatnya yang selama ini secara akademik telah di-stereo type-kan sebagai Islam tradisional, Islam konservatis mulai dipinggirkan, karena tidak sejalan dengan agenda modernisasi dan pembangunan yang mengutamakan progres. Orde baru membutuhkan manusia baru yang progresif (bersemangat maju) untuk menjadi progresif tidak boleh terikat dengan segala bentuk tradisi, maka pemghilangan tradisi terus terjadi dalam upaya mencapai ekselerasi modernisasi (percepatan kemodernan). Modernisasi berorientasi pada zaman baru dan masa depan dengan meninggalkan idealisasi zaman lama. Perubahan tatanilai dan penggantian norma-norma yang menghambat perkembangan menjadi agenda utama pembangunan Orde baru.27 Secara pelahan tradisi dikesampingkan modernitas dikedepankan, akibatnya pembangunan Nasional tidak berpijak pada tradisi sendiri. Bahkan secara tegas berbagai tradisi asing yang dicanggkokkan.

Page 18: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

886

Dalam pelaksanaan politik kebudayaan orde baru ini dengan sendirinya merupakan masa suram bagi ekspresi Islam Nusantara yang dikategorikan sebagai Islam tradisional. Setiap kemodernan merupakan bentuk individualisasi, maka denagn adanya semangat kemajuan yang ditanamkan, bentuk-bentuk lama seperti sikap komunalisme mulai meluntur, sarana-sarana kultural seperti yasinan, macopatan, tahlilan, dzibaan, mulai tergerus, padahal forum itu selama ini sebagai wahana untuk memperkuat tali komunalisme, karena semuanya dibentuk dalam semangat paguyuban,kemudian diubah dan direorganisasi secara modern menjadi berbagai lembaga atau organisasi resmi seperti karang taruna, kelompencapir, dan sebagainya yang tujuannya semata duniawi dan ekonomis. Segala sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomis dianggap tidak sesai dengan zaman pembangunan. Berbagai perayaan adat dinggap tidak produktif secara ekonomi akhirnya satu persatu ditingalkan. Ini merupakan masa-masa paling suram dalam sejarah tradisi Nusantara.

Mempertimbangkan Kembali Islam Nusantara

Dengan semangat Islam yang tinggi sekelompok masyarakat Islam kota yang modern pad permulaan dasawarsa 1990-an menyelenggarakan vestival kebudayaan Islam yang diberi nama Festival Istiqlal. Dalam vestival ini tidak hanya mengundang para cendekiawan dan budyawan Muslim dari seluruh Nusantara bahkan dari seluruh dunia. Selain itu juga diselenggarakan pameran seni budaya Islam. Berbagai benda seni dan produk kebudayaan dari seluruh penjuru tanah air dipamerkan. Semuanya terkejut dan bangga melihat keanekaragama khazanah budaya Islam dengan mutu kebudayaan yang sangat tinggi. Mereka baru sadar bahwa apa yang dipamerkan dan dibanggakan itu adalah warisan budaya Islam Nusantara, sebagai sisa-sisa yang berhasil dipertahankan oleh para pemangkunya yang setelah sekian dasawarsa bahkan sekian abad mengalami peminggiran dan cemoohan, baik secara teologis, akademis maupun politis. Tanpa advokasi apapun, hanya berkat keteguhan saja sekarang barang pusaka dan sumber tata nilai itu bisa dihadirkan tidak hanya mewakili budaya lama Nusantara tetapi dianggap mewakili Islam modern dan menjadi identitas Islam modern di masa depan.

Beduk mislanya yang selama ini telah lama diturunkan secara paksa dari berbagai mesjid, dalam vestival itu beduk paling tua dan paling besar dari Temanggung diarak dari kota pedalaman itu hingga ke Jakarta, yang di setiap tempat disaksikan penduduk sepanjang jalan. Berbagai naskah klasik terutama manuskrip yang berisi perbendaharaan pengetahuan Islam baik sufisme, faikih, astronomi, astrologi hingga ketabiban, yang selama ini dianggap sebagai sumber kemunduran dan biang konservativisme dihadirkan kembali sebagai kebanggaan dan dijadikan inspirasi membangun pearadaban Islam. Demikian pula berbagai seni agama murali dari barzanji, dziba, tari saman tari seudati ditampilkan kembali dan direspon dengan penuh apresiasi.

Sebenarnya upaya untuk mempertimbangkan kembali tradisi Nusantara atau tradisi Timur dalam kehidupan sosial politik dan kebudayaan ini telah mulai diperbincangkan jauah sebelum kemerdekaan yakni tahun 1935-an. Ada pihak yang menginginkan untuk meninggalkan warisan Nusantara ini, karena tidak sesuai lagi dengan dinamika zaman untuk itu perlu mengambil dari Barat. Hal itu disampaikan oleh pemikir westernis seperti

Page 19: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

887

Sutan Takdir Ali Syahbana. Sebaliknya kalangan cedekiawan yang lain seperti Ki Hajar Dewantara dan Dr Soetomo menghendaki kebudayaan Timur terutama sistem nilai dan pendidikan pesantren sebagai basis pendidikan Indonesia merdeka.28 Kedua ekstrem itu yang mewarnai gerak kebudayaan Indonesia hingga saat ini.

a.Ekslusivisme Menghadang Islam Multikultural . Islam garis keras yang selama orde baru ditekan tidak dapat mengekspresikan

kehadirannya di tengah masyarakat, tetapi menjelang akhir orde baru tumbang, ketika cengkeraman rezim militer itu mulai longgar, gerakan itu mulai bermunculan ke permukaan. Aspirasi negara Islam mulai muncul kembali, keengganan pada Pancasila yang berlandaaskan pada Bhinnek tunggal Ika juga muncul secara terbuka. Berbagai ketegangan bahkan konflik antar aliran, antar etnis bahkan antara agama terjadi. Ekstremisme Kelompok puritan neo konservatif atau juga disebut dengan neo Wahabi itu sering disebut sebagai pemicu utamanya, setidaknya selalu berada di depan dalam menghadapi setiap konflik, terutama anatar agama. Mereka menolak Pancasila sebagai ideologi negara, dengan memaksakan untuk mendirikan negara Islam, bahkan mereka menolak negara bangsa, berusaha menggantinya dengan sistem khilifah (kekhalifahan) yang bersifat trans-nasional.

Mereka itu menolak keragaman budaya Islam, mereka menginginkan adanya warna tunggal Islam secara internasional yang bercorak kearaban, karena jarinmgan gerakan mereka nbersifat inter nasional, maka mereka disebut Islam trans-nasional, yang sama sekali menolak bentuk dan corak sistem politik dan budaya nasional. Tidak seperti sebelumnya nama mereka menjadi begitu tercemar ketika berbagai konflik sosial dan bakan teror dilakukan mereka. Mereka dinilai tidak toleran dengan mazhab atau golongan Islam yang lain, lebih tidak bertoleransi pada agama yang lain. Mereka disudutkan sebagai sumber konflik dan ketegangan, agitasi dan serangan terhadap gereja atau rumah ibadah lainnya kerap dilakukan. Di pihak lain berbagai upaya juga dilakukan untuk meredam gerakan Islam radikal.

Tradisi Islam Nusantara yang toleran terhadap tradisi dan kepercayaan lokal serta agama-agam lain dilirik kembali, karena dalam situasi tegang maka kelompok ini yang sering menjadi penyeimbang atau mediator dalam menyelesaikan ketegangan sosial. Begitu juga dalam situasi konflik kelompok ini mempunya kemampuan meredam yang cukup efektif. Sikap toleran si yang didasari oleh pandangan hidup kebhinnekatunggalikaan itu terbukti mampu menjaga kesembangan dalam masyarakat yang kompleks. Dalam kenyataannya kalangan Islam Nusantara ini relatif tidak terlibat dalam konflik etnis atau agama, apalagi terlibat dalam terorisme yang sedang marak. Maka model pemahaman Islam Nusantara yang moderat dan toleran itu mulai ditengok lagi. Tetapi terkadang tradisi itu sudah terlampau kecil dan terlampau lemah untuk membendung sebuah konflik besar, itulah sebabnya berbagai konflik terjadi berkepanjangan, padahal sebelumnya mereka saling membahu dalam melakukan aktivitas sosial dan keagamaan.

Ketika rezim orde baru tengah mengalami krisis dan pembangunanisme juga menemui jalan buntu, ternyata kelompok yang dituduh tradisional itu justeru lebih mampu memberikan berbagai pemikiran dan soslusi yang kreatif, maka sikap under estimate (peremehan) terhadap Islam Nusantara mulai berbaik menjadi lebih positif. Hal itu tidak hanya merombak dikhotomi akademik yang lama seperti Islam tradisional dan Islam

Page 20: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

888

modern dan Islam progresif melawan Islam konservatif. Pandangan dunia yang linier mendapatkan kritik radikal dan ditinjua ulang secara mendasar, hanya saja dunia akademik tidak melanjutkan upaya ini, karena mereka mulai sibuk dengan kegiatan birokratik dan kemudian politik, persoalan gap paradigma ini akhirnya tidak terarasi secara tuntas.

Jalan buntu demokrasi liberal, ditambah dengan sikap ambivaalensi negara-negara penganjur demokrasi serta pejuang haka asasi manusia, membuat masyarakat mulai mencari bentuk pemerintahan yang lebih pas dan sesuaia dengan Pancasila sebagai dasar negara. Selama ini pancasila hany diakui sebagai dasar negara tetapi tidak perah dijadikan rujukan dalam menyusun Undang-undang termasuk Undang-undang dasar apalagi undang-undang yang lebih bawah. Ini juga dinilai sebagai penyebab terjadinya instabilitas dalam politik nasional. Karena itu upaya penggalian terhadap sistem politik dan kenegaraan Nusantara juga dimulai lagi. Tidak hanya mengkaji pemikiran Ki Hajar Dewantara, Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Soekarno, Muhammad Yamin termasuk Supomo. Khazanah Nusantara klasik baik sejarah maupun babad serat dan sebagainya mulai dikaji kembali.

Berbagai gerakan untuk membangkitkan peran Islam Nusantara seperti gerakan merdesa, (kembali Kekampung) kembali kenagari, kembali ke surau di Minangkabau atau gerakan kembali Ke Pesantren di Jawa, baru langkah permulaan, masih membutuhkan waktu panjang, selain menghidupkan infrastrukturnya yang sudah usang dan suprastruktur yang sudah terlupakan. Belum lagi situsi eksternal yang sama sekali berlawanan, menjadikan gerakan itu tersendat apalagi belum ada konsep yang benar-benar matang, lagi pula tidak memiliki ketokohan yang kuat yang dijadikan panutan. Kondisi pendanaan yang semakin seret karen sumber ekonomi perdesaan sudah mulai menyempit, sementara ekonomi makro tidak berorientasi kedesa, ke sektor rill saja tidak, sehingga ketersediaan dana sebagai basis material pendukung gerakan itu juga masih lemah. Tidak sepadan dengan gerakan Islam transnasional yang memiliki dana cukup dan organisasi yang relatif solid dan tertib.

b. Toleransi Berbasis Tradisi. Berbagai tradisi yang tellah dijalankan sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara baik

yang Hindu, Budha hingga Islam sebenarnya telah mewariskan berbagai tatanan bahkan mekanisme untuk mengatur pola hubungan-hubungan sosial yang tertib dan harmoni. Menciptakan harmoni di tengah pluralitas atau kemajemukan memang membutuhkan kiat politik tersendiri. Tanpa adanya strategi kebudayaan yang relevan bagi kerajaan yang ada dari kesultanan atau dari para ulama pemimpin surau, maka langkah mereka untuk membangun masyarakat akan mengalami hambatan.

Tatanan sosial yang diwariskan sejak zaman kesultanan dan dari berbagai pesantren itu sebenarnya masih hidup di tengah masyarakat, terutama di kalangana pemangku adat Nusantara, karena iru tertib sosial terus ada. Hanya saja tidak selalu dirumuskan dalam kitab hukum atau aturan formal, tetapi telah menjadi norma-norma sosial yang mengikat mereka. Dengan kelenturan cara beragama masyarakat Nusantara ini sebenarnya mereka lebih cepat mengadaptasi tantangan modernitas. Ketika heterogenitas penduduk Nusantara ini semakin meningkat, maka untuk menghindari ketegangan diciptakan berbagai undang-

Page 21: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

889

undang yang mengatur. Di masa lalu kerajaan Majapahit telah ada hukum yang mengatur hubungan Hindu, Budha dan Islam, sehingga semuanya hidup harmonis.

Demikian juga dalam Kesultanan Samabas Kalimantan Barat misalanya, ketika kelompok Eropa mulai masuk ke wilayah itu, maka Balai Kanun yang ada juga disempurnakan sehingga dimungkinkan untuk menjamin kehidupan mereka secara layak dan menempatkan di tengah masyarakat secara proporsional. Terhadap pendatang dari Sumater disediakan tempat yang diberi nama Kampung Tanjung Rengas, kepada kelompok India dibuatkan tempat yang disebut dengan Kampung Nagur, untuk orang Bugis disediakan Kampung Bugus dan kemudian ketika Belanda datang ditempatkan secara tersendiri dalam Tanjung Belanda.29 Pandangan multi kulturalisme ini berkembang hingga sekarang, sebaga sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat. Hanya saja tidak tercermin sepenuhnya dalam sistem pemerintahan, karena itu walaupun ada tetapi rapuh, sehingga tidak mampu menghadapi gelombang ekstremisme baik yang disebabkan pemahaman keagamaan maupun kepentingan ekonomi.

Nasib serupa juga dialami oleh tradisi atau mekanisme hubungan masyarakat multiu kultural yang telah dikembangkan sejak zaman kesultanan Lombok. Daerah yang multi etnis itu yaitu sasak, Jawa, bali, Bugis, Banjar Sumbawa dan sebagainya itu selalu dilanda konflik. Dikisahkan dalam Babad Lombok, ketika raja Lombok Prabu Ranggasari dilantik ia mengundang musuhnya untuk melanjutkan perang, tetapi tidak dengan senjata karena perang itu telah memakan korban, tetapi perang dengan bersenjatakan makanan. Disepakati pasukan Lompok bersenjatakan binatang laut, ikan, cumi-cumi dan sebagainya, sementara lawannya Demang bantun bersenjatakan hasil bumi, berbagai macam buah-buahan dan masakan seperti ketupat, wajik dan sebagainya.30 Tradisi ini kemudian secara populerdikenal dengan perang ketupan. Perang yang sebelumnya dilandasi oleh semangat permusuhan, kemudian dikonversi menjadi perang persahabatan.

Ini sebuah mekanisme resolusi konflik tradisional yang penuh dengan kearifan, di satu sisi menyalaurkan hasyrat perang tetapi diarahkan kepada bentuk persahabatan, sehingga kehidupan sosial dan politik kawasan multi etnis dan multi agama itu tetap harmoni. Tetapi sekali lagi tradisi itu hanaya berkembang menjadi norma sosial, tetapi sama sekali tidak diadaptasi ke dalam hukum formal maka tidk memiliki kekuatan politik untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Akibatnya Pulau Lombok yang selama ini dikenal dengan keramahan dan kerukunanya, kemudian berubah asecara mencolok menjadi daerah konflik. Banayk kalangan Islam radikal muncul di situ sehingga akerukunan terganggu. Tidak aneh kalau kemudian sejarawan Ruth Mc Vay menyebut Lombok sebagai atau orang Sasak sebagai pengikut Islam garis keras. Nilai tradisional ditantang dan dikalahkan sehingga masyarakat yang berpaham pluralis toleran bisa terkonversi menjadi eklusif dan intoleran. Gelombang ekstremismu itu juga menggerogoti sarana kultural penyangga harmoni sosial, sehingga tradisi baku-bae di Ambon Maluku pun hampir sirna, sehingga perlu direvitalisasi kembali agar menjadi norma masyarakat.

Kenyataan lapangan seperti itu telah mendorong kalangan pemuka agama, kalangan pemerintah dan akademisi untuk mencoba membangun kembali tardisi lama yang telah mengajarkan tertib sosial yang mampu menjaga keamanan warga. Tradisi lama seperti perang ketupat dan lainnya memang masih ada dan selalu menjadi pengisi acara-acara kultural bahkan semi ritual, hanya sayang kemudian kegiatan itu lebih diarahkan pada

Page 22: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

890

pamrih tourisme, sehingga misi utamanya untuk membangun kembali mekanisme hubungan masyarakat yang harmoni praktis terhalang. Padahal untuk menggerakkan mekanisme hubungan sosial dan manajemen konflik tersebut selaian perlu dituangkan dalam rumusan konsep tual yang matang, juga perlu dituanggakan pada pasal-pasal dalam hukum yang berlaku dan yang lebih penting lagi secara konsisten dan sungguh sungguh mewarnai kebjakan sosial yang dilakukan pemerintah dan masyarakat secara suka rela mau memegangi norma sosial yang telah disepakati tersebut.

Penutup

Islam Nusantara terbentuk melalui proses sejarah yang panjang, juga mengalami pasang surut sejarah. Ia terbentuk melalui proses dialog, melalui proses seleksi dan internalisasi serta koreksi yang cukup, sehingga memperoleh sosoknya yang kuat. Sejarah dan warisan budaya masa lalau walaupun tidak bisa dihadirkan ataupun direkonstruksi sepenuhnya di masa kini, tetapi tata nilai yang masih berkembang di masyarakat bisa digerakkan kembali. Apalagi kalau warisan tersebut sebenarnya masih hidup utuh tetapi dalam komunitas terbatas, maka untuk merekonstruksi jauh lebih dimungkinkan. Hanya saja perlu terus-menerus dilakukan reformulasi. Langkah itu perlu didahului dengan penggalian sumber sejarah, peninggalan kebudayaan, untuk menggerakakan tata nialai yang telah kehilangan vitalitas karena diabaikan.

Islam Nusantara walupun selama ini posisinya lemah baik ketika menghadapi modernisme awal apalagi setelah menghadapi globalisme kebudayaan yang menyapu ke seluruh sektor kehidupan itu, tantangan unuk membangun ataua merevitalisasi budaya Islam Nusantara membutuhkan stamina dan kesungguhan yang lebih besar. Karena kebudayaan sendiri bersifat dinamis bahkan progresif, pembangunan warisan masa lalu perlu diletakkan dalam dinamika kebudayaan itu, sehingga kehadiran kebudayaan ini tidak hanya relevan tetapi sekaligus membawa manfaat. Islam nusantara itu mesti telah ada dalam kenyataan, tetapi perlu terus dibentuk dan dirumuskan kembali. Endnotes :

Penulis sekarang menjabar sebagai Wakil Sekretaris PB NU

1Marwati D Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, h. 12, tetapi buku ini tidak memberikan keterangan yang memadai tentang konsep Dipantara. Demikian Juga Athony Reid (ed) dalam bukunya Percentionsof the Past In Southeast Asia, sama sekalu tidak menjelaskan kedua istilah Desantara maupun dipantara tersebut. Diskusi berkala saya selama bebapa tahun dengan novelis Pramoedya Ananta Toer membantu saya dalam mehami berbagai kosep tersebut secara lebih mendalam, tetapi sebagai konsep penulis mencoba merumuskan sendir berdasarkan tealah atas sumber-sumber yang ada, sehingga tanggungjawab tetap pada penulis sendiri.

Page 23: e3.MuninDz

ABDUL MUN‟IM DZ Islam Nusantara

891

2Lihat GJ. Bleeker, Pertemuan Agama-Agam Dunia, Penerbit Sumur, Bandung 1963, h. 101.

3Agus Sunyoto, “Falsafah Kapitayan Sebagai dasar Budaya Nusanatara” makalah dalam diskusi di NU Online, Jakarta 2005. Kemajuan falsafah ini mampu menahan segala pengaruh budaya maupun agama besar. Pandangan itu dengan sendirinya jugamnyangkal pandangan para sarjana pada umumnya, seperti pandangan Tregonning yang menyatakan bahwa pada masa pra sejarah, yakni sebelum datangnya Hindu-Budah bangsa Nusantara merupakan banagsa primitif yang tidak beradab. Padahal kebudayaaan di sini sangat tinggi sehingga agama dan budaya apapun yang datang pasti tunduk dan menyesuaikan diri dengan falsafah pribumi ini.

4Arysio Santos, Atlantis, The Lost Continent Finally Found, Penerjemah Hikmah Ubaidillah, Penerbit Ufuk, Jakarta , 2010. h. 72 dan 81.

5Kajian lanjut tetang hal ini bisa ditelaah dalam karya Mahayuddin Hj. Yahya, Naskah Jawi, Sejarah dan Teks, Penerbit Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1994.

6Lihat buku, Proceeding Seminar ; Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, Medan, 1963, h., 111-112.

7Tema ini telah diulas oleh penulis dalam tulisan “Mengukuhkan Jangkar Islam Nusantara” jurnal Tashwirul Afkar No 26, 2008. Sebelumnya tema serupa juga diulas dalam buku Budaya Damai dalam Komunitas Pesantren, dengan judul,”Pergumulan Pesantren dengan Masalah Kebudayaan” , LP3ES, Jakarta 2007.

8Imam Maulana Abdul Manan, Sejarah Ringkas Syekh Bburhanuddin Ulakan, Penerbit, Puitika, Padang, 2001, h., 29-30.

9RN. Ranggasutrasna (dkk), Centini Tembangraras-Amongraga, jilid I-II, Penerbit balai Pustaka, Jakarta, 1992.

10Dalam Babad Demak misalnya dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga telah mengunakan alat ini setiap membangun masjid atau langgar. Lihat KRT. Suryadi, Babad Demak, alih bahasa Suwaji, Penerbit PPBSID, Jakarta, 1981, h., 66.

11Naskah-naskah klasik Nusantara, mencatat semua tradisi yang telah berkembang asejak masuknya Islam ke kawasan ini, lihat misalnya Kitab Centhini, Babad Demak, Serat Cabolek, menunjukkan bahwa tradisi itu telah berkembang sejak zaman Islam permulaan.

12Lihat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Tuhfatur Raghibin, Penerbit Yapida Martapura, 2000, h., 86-86.

13Baca, Erwin Mahrus Dkk, Shaykh Ahmad Khatib Sambas, Penerbit Untan Press, Pontianak, 2003, h., 4.

14Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Penerbit Sinar harapan jakarta, 1981, h., 391-392. Hamka dalam bukunya „Ayahku (1958) juga menukis tentang peristiwa ini. Penggambaran lebih dramatis ditulis oleh MO Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao (1960) walaupun banyak yang dilebih-lebihkan tetapi menunjukkan bahwa teror pembantaian terhadap kelompok Islam Syafii (adat) itu juga dilakukan terhadap masyarakat Batak.

15Lihat uraian Jeroen Petters, Kaum Tuo-kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, Penerbit INIS, Jakarta 1997, h., 167 dan seterusnya.

16Lihat Muhlis Paeni, Hikayat Bugis sebagai Sumber Sejarah, Makalah Seminar tradisi Lisan, Jakarta 2004.

Page 24: e3.MuninDz

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

892

17Lihat,KH Ahmad Siddiq, Hubungan Agama dan Pancasila, Penerbit Yayasan Majalah Aula, Surabaya, 1992, h., 100.

18Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, alih bahasa Ng Singarimbun dkk, Penerbit Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, h. 15.

19Baca Van der Kroef, Indonesiain modern world, penerbi Van Hove, h., 211. 20Lihat, Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Penerbit Pustaka Jaya,

Jakarta 1980., h. 31-32, buku ini merupakan rujukan penting bagi para sarjana Indonesia dalam melakukan studi Islam.

21Bernard HM Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, W van Hoove Ltd, Den Haag, 1965, h., 84-85.

22Clifford Geertz, Abanga,n Santri ,Priyayi, Pustaka Jaya, jakarta 1981, h., 171-172. 23C Clifford Geertz, Islam Yang Saya amati, Perkembanagn di Maroko dan Indonesia,

YIIS, Jakarta 1982, h. 19. 24Lihat John Ryan Bartholomew, Kearifan Masyarakat Sasak, Penerbit Tiara Wacana,

Yogyakarta, 2001, h., 4. 25Deliar Noer , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1924, LP3ES, jakarta, 1980,

h., 19. 26Benda, op.cit. h. 40. 27Simak kembali pemikiran orde baru mengenai pembangunan antara lain dalam

Ali Murtopo, Strategi Pembanunan Nasional, CSIS, Jakarta 1981. h., 59-60 28Polemik antar para cendekiawan yang terjadi hampir dua tahun itu tertuang

dalam buku Achdiat K Mihardja, Polemik Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1950. 29Erwin Mahrus dkk, op., cit., h. 3. 30Lihat Sri Mintosih dkk, Pengkajian Nilai Budaya Naskah Babad Lombok , Jakarta

1999, h., 136-137.