e09mra.pdf

68
LAJU EROSI PADA AREAL BEKAS PEMANENAN HUTAN (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) MOHAMMAD RAMADHON DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Upload: faisal-ahmad

Post on 25-Sep-2015

20 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • LAJU EROSI PADA AREAL BEKAS PEMANENAN HUTAN(Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

    MOHAMMAD RAMADHON

    DEPARTEMEN HASIL HUTAN

    FAKULTAS KEHUTANAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2009

  • RINGKASAN

    Mohammad Ramadhon. Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan(Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah).Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.Di bawah bimbingan Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc dan Dr. Ir. Harnios Arief,M.Sc.

    Banyaknya banjir dan tanah longsor akhir-akhir ini di berbagai daerahtidak luput dari salah satu akibat erosi. Tidak hanya itu, erosi juga dapatmenyebabkan penurunan kualitas sungai seperti kekeruhan, pendangkalan padatubuh sungai, pembuatan delta pada muara sungai, dan yang paling berbahayaadalah hilangnya unsur hara yang sangat subur pada permukaan tanah yangberakibat sulitnya hutan untuk proses suksesi.

    Untuk itu kajian dibidang erosi sangat dibutuhkan untuk dapat mengetahuiapakah erosi yang terjadi sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan ataubelum sehingga dapat melakukan suatu tindakan-tindakan yang perlu dilakukan.

    Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk:1. Mengetahui laju erosi pada areal bekas kegiatan pemanenan hutan.2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi pada areal bekas

    kegiatan pemanenan hutan.3. Merancang suatu strategi pengendalian erosi berdasarkan data laju erosi.

    Hasil penelitian ini diharapkan agar pengelola perusahaan dapatmengendalikan dampak lingkungan akibat pemanenan hutan agar erosi yangterjadi dapat dikurangi.

    Penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga September 2008 danbertempat di PT. Austral Byna, Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Penelitian inidilakukan dengan menggunakan dua metode pengukuran erosi, yaitu metodepengukuran bak erosi dan metode tongkat. Langkah selanjutnya adalah mengukursedimen sungai, curah hujan, dan keterbukaan tegakan untuk mendukung dataerosi.

    Berdasarkan data yang telah diolah, diketahui bahwa jenis tanah padalokasi pengukuran erosi adalah jenis tanah podsolik merah kuning, sehingga nilaiT (Tolarable soil erosion) dapat diketahui sebesar 97,006 ton/ha/tahun. Jika suatulokasi pengukuran erosi memiliki laju erosi yang bernilai kurang dari nilai T,maka lokasi pengukuran erosi tersebut tidak diperlukan suatu upaya tindakankonservasi tanah. Akan tetapi, jika besar erosi yang terjadi pada plot pengamatantersebut lebih besar dari nilai T, maka diperlukan suatu tindakan konservasi tanah.Berdasarkan pengamatan dilapangan, diketahui bahwa indeks bahaya erosi (IBE)pada setiap lokasi pengukuran laju erosi masuk kedalam kategori rendah,sedangkan pada kelas bahaya erosi (KBE) masuk kedalam kategori sangat ringansampai ringan.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi pada PT. Austral Byna adalahbelum adanya perencanaan yang matang. Faktor lainnya adalah tidak ada kehati-hatian pada saat proses penyaradan. Selain kedua faktor tersebut, tidak adanyaproses monitoring setelah kegiatan pemanenan selesai juga memiliki andil yangcukup besar dalam proses terjadinya laju erosi. Usulan strategi yang mungkin

  • dapat dilakukan untuk mengurangi laju erosi pada PT. Austral Byna antara lain,membuat peta pohon, perencanaan pembuatan jalan sarad, kemudian setelahkegiatan penyaradan selesai secepat mungkin melakukan proses perawatan hutanberupa crossdarain dan covercrop. Selain itu, operator traktor sebaiknya lebihberhati-hati dan menghindari areal yang curam saat melakukan kegiatanpenyaradan.

    Kata kunci : laju erosi, pemanenan kayu, Tolarable soil erosion.

  • PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

    SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Laju Erosi Pada Areal

    Bekas Pemanenan Hutan (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna,

    Kalimantan Tengah) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing

    dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

    Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

    tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

    dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Juni 2009

    Mohammad Ramadhon

    NIM E24104093

  • LAJU EROSI PADA AREAL BEKAS PEMANENAN HUTAN

    (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

    MOHAMMAD RAMADHON

    SKRIPSI

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

    Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN HASIL HUTAN

    FAKULTAS KEHUTANAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2009

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Judul Skripsi :

    Nama Mahasiswa : Mohammad Ramadhon

    NRP : E24104093

    Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

    Sub Program Studi : Pemanenan Hasil Hutan

    Menyetujui,

    Komisi Pembimbing

    Tanggal Lulus :

    Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan

    (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna,

    Kalimantan Tengah)

    Ketua,

    Ujang Suwarna, S.Hut, M.ScNIP. 132 158 765

    Mengetahui :

    Dekan Fakultas Kehutanan IPB

    Dr. Ir. Hendrayanto, M.AgrNIP. 131 578 788

    Anggota,

    Dr. Ir. Harnios Arief, M.ScNIP. 131 878 494

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 30 Mei 1986 sebagai anak

    ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Alm. Nazaruddin dan Ibu

    Maryana. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN 29 Jakarta, sekolah lanjutan

    tingkat pertama di SLTP Negeri 216 Jakarta dan sekolah lanjutan tingkat atas di

    SMU Negeri 27 Jakarta. Pada tahun 2004, penulis masuk Institut Pertanian Bogor

    melalui jalur SPMB dan memilih Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

    Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi

    kemahasiswaan, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB

    Periode 2005-2006, 2006-2007, dan 2007-2008, Himpunan Profesi Mahasiswa

    Hasil Hutan (Himasiltan) IPB Periode 2005-2006 dan 2006-2007, serta berbagai

    kepanitiaan kegiatan. Penulis mengikuti kegiatan praktek umum kehutanan (PUK)

    di Baturaden-Cilacap, Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan

    Tanaman Lestari (PUPHTL) di Getas Ngawi, Jawa Timur. Penulis juga telah

    melaksanakan praktek kerja lapang (PKL) pada PT. Sarmiento Parakantja Timber,

    Kalimantan Tengah.

    Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

    Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan kegiatan

    praktek khusus (skripsi) dalam bidang pemanenan kayu dengan judul Laju Erosi

    Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT.

    Austral Byna, Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan Ujang Suwarna, S.

    Hut, M.Sc. dan Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.

  • KATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

    melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

    penelitian serta menyusun karya ilmiah yang berjudul Laju Erosi Pada Areal

    Bekas Pemanenan Hutan (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Austral Byna,

    Kalimantan Tengah). Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

    Bogor.

    Dalam penulisan ini membahas tentang laju erosi pada areal bekas

    pemanenan. Kajian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pemahaman dampak

    pemanenan hasil hutan berupa kayu. Hal ini dapat mendorong upaya-upaya

    pemanenan hutan yang berazaskan kelestarian.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

    membantu penyelesaian karya tulis ini. Penulis juga menyadari karya ini masih

    jauh dari sempurna. Segala kritikan dan saran penulis terima dengan senang hati.

    Semoga karya ini dapat berguna bagi kita semua. Amien.

    Bogor, Juni 2009

    Mohammad Ramadhon

    NIM E24104093

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

    penghargaan yang tulus kepada :

    1. Ir. Ujang Suwarna, M.Sc dan Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc yang dengan

    penuh kesabaran telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi

    tinggi kepada penulis.

    2. Bapak Ir. Edje Djamhuri dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc

    selaku penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan nasehatnya

    kepada penulis.

    3. Alm. Bapak, mama, kak Fitri, kak Dina, bang Iim, ifa, keluarga tante Rahmi

    di Cibinong, keluarga bang Iwan di Ciputat, dan seluruh keluarga besar

    yang telah memberikan kasih sayang, dorongan, semangat, dan

    pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

    4. Seluruh dosen dan staf pegawai Fakultas Kehutanan terutama bagian

    Pemanenan Hasil Hutan Rekayasa dan Desain Bangunan (Keteknikan

    Kayu), Kimia Hasil Hutan, Peningkatan Mutu (Kayu Solid), dan

    Biokomposit yang telah memberikan motivasi dan ilmu yang tidak terkira

    kepada penulis.

    5. Seluruh manajemen PT. Austral Byna baik di Jakarta maupun di Muara

    Teweh.

    6. Seluruh staf pegawai KPAP Departemen Hasil Hutan yang telah

    memberikan bantuan dalam masalah administrasi dan motivasi kepada

    penulis.

    7. Mila Rahmania, teman-teman Lab. Pemanenan hutan 38,39,40, dan 41,

    teman-teman THH 39, THH 40, THH 41, THH 42 serta teman-teman

    Fahutan IPB. Semoga kita selalu KOMPAK dan ASIK serta teman-teman

    IPB angkatan 41 semoga lebih baik.

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI .....................................................................................................i

    DAFTAR TABEL .............................................................................................iv

    DAFTAR GAMBAR .........................................................................................v

    DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................vi

    BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................1

    1.1. Latar Belakang ...................................................................................1

    1.2. Tujuan................................................................................................2

    1.3. Manfaat ..............................................................................................2

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................3

    2.1. Erosi Tanah .......................................................................................3

    2.1.1. Pengertian Erosi ..........................................................................3

    2.1.2. Proses Terjadinya Erosi ...............................................................4

    2.1.3. Penyebab Erosi ............................................................................5

    2.1.4. Kerusakan yang Ditimbulkan Oleh Erosi .....................................10

    2.2. Nilai T, Indeks Bahaya Erosi, dan Kelas Bahaya Erosi .......................11

    2.3. Sedimentasi ........................................................................................12

    2.3.1. Pengertian ...................................................................................12

    2.3.2. Proses Terjadinya Sedimentasi ....................................................12

    BAB III. BAHAN DAN METODE ....................................................................14

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................14

    3.2. Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................14

    3.3. Batasan Penelitian ..............................................................................14

    3.4. Kerangka Pemikiran ...........................................................................14

    3.5. Pengumpulan Data .............................................................................15

    3.5.1. Pengukuran Erosi........................................................................16

    3.5.2. Pengukuran Debit dan Sedimen Sungai.......................................18

    3.5.3. Pengukuran Keterbukaan ............................................................19

    3.5.4. Pengukuran Curah Hujan ............................................................20

    3.6. Pengolahan Data ................................................................................20

    3.6.1. Penghitungan erosi .....................................................................20

    3.6.2. Penghitungan Debit dan Sedimen Sungai ....................................22

  • 3.6.3. Pengolahan Data Analisis Keterbukaan .......................................22

    3.6.4. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi .........................23

    3.6.5. Penetapan Strategi Penanggulangan Laju Erosi ...........................23

    BAB IV. KONDISI UMUM PENELITIAN .......................................................24

    4.1. Letak, Luas, dan Keadaan Wilayah ....................................................24

    4.2. Topografi ...........................................................................................24

    4.3. Curah Hujan dan Hari Hujan ..............................................................25

    4.4. Keadaan Hutan ...................................................................................26

    BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................28

    5.1. Nilai T (Tolarable Soil Erosion) .........................................................28

    5.2. Laju Erosi ..........................................................................................28

    5.2.1. Laju Erosi di RKT 2008 TPTI.....................................................29

    5.2.2. Laju Erosi di RKT 2007 TPTI.....................................................30

    5.2.3. Laju Erosi di RKT 2007 TPTII ...................................................31

    5.2.4. Laju Erosi di Kawasan Lindung ..................................................32

    5.2.5. Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan .........................32

    5.3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi ..............................................36

    5.3.1. Curah Hujan ...............................................................................36

    5.3.2. Vegetasi......................................................................................37

    5.3.3. Topografi ....................................................................................39

    5.3.4. Tanah .........................................................................................40

    5.3.5. Manusia ......................................................................................41

    5.4. Strategi Penanggulangan Laju Erosi ...................................................41

    BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................43

    6.1. Kesimpulan ........................................................................................43

    6.2. Saran ..................................................................................................43

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................44

    LAMPIRAN ......................................................................................................46

  • DAFTAR TABEL

    No. Halaman

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    Indeks Bahaya Erosi ............................................................................

    Kelas Bahaya Erosi ...............................................................................

    Distribusi Kelas Lereng di Areal Kerja PT. Austral Byna ...

    Karakteristik Iklim di Areal PT. Austral Byna .

    Luasan Setiap Bentuk Vegetasi di Areal PT. Austral Byna .

    Nilai T ...

    Curah Hujan Rata-Rata..

    11

    11

    25

    26

    26

    28

    36

  • DAFTAR GAMBAR

    No. Halaman

    1. Kerangka Pemikiran ..................................................................................15

    2. Contoh Plot Pengamatan Metode Tongkat .................................................17

    3. Contoh Plot Pengamatan Metode Bak Erosi ..............................................17

    4. Contoh Pengukuran Luas Penampang Sungai ............................................18

    5. Contoh Plot Pengukuran Keterbukaan .......................................................20

    6. Laju Erosi Pada Metode Pengukuran Bak Erosi .........................................32

    7. Laju Erosi Pada Metode Tongkat di Jalan Sarad dan Jalur Tanam .............33

    8. Laju Erosi Pada Metode Tongkat di Bawah Tegakan dan Jalur Antara ......34

    9. Laju Erosi Pada Metode Pengukuran Tongkat ...........................................35

    10. Curah Hujan Rata-Rata .............................................................................37

    11. Keterbukaan Areal ....................................................................................38

    12. Rata-Rata Laju Erosi Dilihat Dari Segi Kelas Lereng ................................40

  • DAFTAR LAMPIRAN

    No. Halaman

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    Data Curah Hujan ..................................................................................

    Metode Tongkat ....................................................................................

    Metode Bak Erosi ......

    Debit dan Sedimen Sungai ....

    Peta Tanah dan Peta Citra PT. Austral Byna

    47

    48

    50

    52

    53

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Indonesia memiliki sekitar 101,73 juta hektar hutan tropis dan menempati

    urutan terbesar ke dua di dunia meliputi sekitar sepuluh persen dari hutan tropis

    dunia (Badan Planologi Dephut, 2003). Iklim di Indonesia merupakan iklim tropis

    dengan curah hujan yang tinggi, sehingga mengkibatkan Indonesia rentang

    terhadap erosi. Angka curah hujan di Indonesia relatif tinggi bila dibandingkan

    dengan daerah-daerah tropis lainnya. Tidak hanya curah hujan yang tinggi,

    vegetasi, kelerengan, jenis tanah, dan iklim secara keseluruhan juga

    mempengaruhi erosi. Penutupan vegetasi menjadi faktor utama dalam

    mempengaruhi rata-rata aliran permukaan dan pengangkutan tanah. Kemiringan

    lahan dan panjang lereng serta pengolahan tanah yang kurang tepat juga dapat

    meningkatkan erosi pada tanah.

    Banyaknya banjir dan tanah longsor di berbagai daerah tidak luput dari

    akibat erosi. Tidak hanya itu, erosi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas

    sungai seperti kekeruhan, pendangkalan pada tubuh sungai, pembuatan delta pada

    muara sungai, dan yang paling berbahaya adalah hilangnya unsur hara yang

    berakibat sulitnya hutan untuk proses suksesi.

    PT. Austral Byna adalah salah satu pemegang izin usaha yang telah cukup

    lama berdiri di Indonesia. Saat ini PT. Austral Byna sedang melakukan upaya-

    upaya perbaikan kinerja untuk mendapatkan sertifikat PHPL. Adapun salah satu

    poin penting untuk mendapatkan sertifikat PHPL dibidang lingkungan adalah

    kajian mengenai erosi. Kajian dibidang ini dibutuhkan untuk mengetahui apakah

    erosi yang terjadi sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan atau belum

    sehingga pihak manajemen dapat melakukan tindakan penanggulangan dan

    pencegahan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian, salah satunya adalah penelitian

    laju erosi pada areal bekas pemanenan.

  • 1.2. Tujuan

    Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

    4. Mengetahui laju erosi pada areal bekas kegiatan pemanenan hutan.

    5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi pada areal bekas

    kegiatan pemanenan hutan.

    6. Memberikan suatu usulan strategi pengendalian erosi berdasarkan data lajuerosi.

    1.3. Manfaat

    Hasil penelitian ini diharap dapat memberikan masukan kepada pengelola

    perusahaan dalam mengurangi laju erosi pada areal bekas kegiatan pemanenan

    hutan agar terwujud pengelolaan hutan yang lestari.

    .

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Erosi Tanah

    2.1.1. Pengertian erosi

    Ellison (1947) dalam Purwowidodo (1992) mengemukakan bahwa erosi

    tanah adalah kejadian pengikisan lapisan tanah (umumnya yang terletak di

    permukaan lahan) oleh penyebab erosi (air hujan), melibatkan dua proses

    berurutan yang terpisah, yaitu: pemecahan tanah, diikuti oleh pengangkutan

    bahan-bahan tanah terpecah dan pengendapannya.

    Erosi tanah dibagi menjadi dua kelas berdasarkan macam penyebabnya,

    yaitu:

    1. Erosi geologis atau alami adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan

    tanah yang selalu akan terjadi, sinambung dan berlangsung secara alami akibat

    bekerjanya sejumlah penyebab alami erosi, yaitu curah hujan, limpasan dan

    lelehan es. Laju tanah tererosi secara geologis hanya dikendalikan oleh faktor-

    faktor iklim, topografi, tumbuhan, dan tanah. Dampak buruk erosi geologis ini

    dapat diabaikan karena masih berada dalam batas-batas keseimbangan alami,

    yaitu laju kehilangan massa tanah kurang atau sama dengan laju

    pembentukannya.

    2. Erosi dipercepat adalah suatu kejadian pengikisan lapisan permukaan tanah

    yang lajunya lebih besar laju erosi geologis akibat adanya kegiatan manusia

    yang merusak kemantapan peranan faktor topografi, tanah, dan tumbuhan. Laju

    erosi tanah dipercepat ini dikendalikan oleh faktor-faktor iklim, topografi,

    tumbuhan, tanah, dan manusia dan karena lajunya melebihi laju

    pembentukannya maka dapat berdampak buruk pada kelestarian potensi

    sumberdaya tanahnya.

    Menurut Rahim (2003), erosi yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan

    produk akhir yang dihasilkan dan kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Atas

    dasar itu erosi dibedakan atas erosi percikan, erosi lembar, erosi alur, erosi

    selokan, erosi tanah longsor, dan erosi pinggir sungai.

    Erosi percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan juga

    meningkat dengan adanya air genangan tetapi setelah terjadi genangan dengan

  • kedalaman tiga kali ukuran butir hujan erosi percikan minimum. Pada saat inilah

    proses erosi lembar dimulai. Erosi lembar akan kita temukan secara jelas di daerah

    yang permukaannya relatif seragam.

    Erosi alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan.

    Konsentrasi yang besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur

    sudah sangat besar, maka erosi yang terjadi telah memenuhi kategori erosi

    selokan. Pada proses erosi tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah

    masa tanah secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena kekuatan geser tanah

    sudah tidak mampu untuk menahan beban massa tanah jenuh air diatasnya.

    Adapun erosi pinggir sungai yang mirip erosi tanah longsor mengikis pinggir

    sungai-sungai yang karena suatu hal mengalami longsor terutama bila pinggir

    sungai ini vegetasi alaminya ditebang dan diganti dengan tanaman baru.

    2.1.2. Proses Terjadinya Erosi

    Menurut Rahim (2003), tahapan erosi meliputi benturan butir-butir hujan

    dengan tanah, percikan tanah oleh butiran hujan ke segala arah, penghancuran

    bongkahan tanah oleh butiran hujan, pemadatan tanah, penggenangan air di

    permukaan, pelimpasan air karena adanya penggenangan dan kemiringan lahan,

    dan pengangkutan partikel terpercik dan/atau masa tanah yang terdispersi oleh air

    limpasan. Hujan akan menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan

    jatuhnya dalam waktu yang cukup lama. Ukuran-ukuran butir hujan juga sangat

    berperan dalam menentukan erosi. Hal tersebut dikarenakan energi kinetik

    merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat-agregat tanah.

    Erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding

    kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara rinci

    bisa dijelaskan melalui tiga tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah dan

    pelepasan partikel. Kedua, pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga,

    pengendapan tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah.

    Mekanisme percikan dilahan datar dan tidak ada angin, tidak

    menyebabkan kehilangan tanah yang serius, tetapi jika ada angin kuat yang

    menyebabkan percikannya mengikuti arah angin, kemiringan lahan juga

    mengarahkan percikan tanah dan menyebabkannya terkumpul kearah kaki bukit.

    Laju erosi karena pengaruh angin dan kemiringan lahan tergantung kepada

    ketinggian dan jarak tempuh mendatar percikannya. Jika kapasitas angkut

  • percikan dan kemudahan diangkut masa tanah itu tinggi, maka faktor angin dan

    lereng akan mengintensifkan laju erosi (Purwowidodo,1992).

    2.1.3. Penyebab Erosi

    Menurut Rahim (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah

    meliputi hujan, angin, limpasan permukaan, jenis tanah, kemiringan lereng,

    penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya, dan ada atau tidaknya tindakan

    konservasi.

    Menurut Arsyad (2000), pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa erosi

    adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, vegetasi, topografi, tanah

    dan manusia, yang dapat dinyatakan dalam persamaan deskriptif dibawah ini.

    E = ?(iklim, topografi, vegetasi, tanah, manusia)

    Persamaan tersebut diatas mengandung dua jenis peubah, yaitu:

    1. Faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia, seperti: vegetasi yang tumbuh

    di atas tanah, sebagian sifat-sifat tanah yaitu kesuburan tanah, ketahanan

    agregat, dan kapasitas infiltrasi dan unsur topografi yaitu lereng.

    2. Faktor-faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia, seperti: iklim, tipe tanah

    dan kecuraman lereng.

    Atas pertimbangan tersebut diatas, maka besarnya erosi dapat diperkecil

    dengan cara mengatur faktor-faktor yang dapat diubah. Adapun uraian faktor-

    faktor yang dapat menyebabkan erosi dan limpasan permukaan (iklim, topografi,

    vegetasi, tanah dan manusia), adalah sebagai berikut:

    1. Iklim

    Menurut Mohr dan Van Baren (1954) dalam Santosa (1985), angka hujan

    di Indonesia relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah tropis lainnya.

    Menurut Rahim (2003), makin tinggi curah hujan semakin tinggi juga penutupan

    tanah oleh vegetasi, mengakibatkan semakin membaiknya proteksi terhadap

    tanah. Demikian pula halnya dengan keadaan tanah. Dalam Purwowidodo (1992),

    faktor-faktor iklim yang berperan penting dalam merangsang erosi tanah adalah

    temperatur, angin, dan curah hujan.

    Tempertur berpengaruh pada laju pengeringan tanah dan penguraian

    bahan-bahan tanah. Pengeringan tanah akan meningkatkan kapasitasnya menyerap

    air hujan, mengurangi volume air limpasan dan erosi. Temperatur yang tinggi

    efektif merombak bahan organik tanah. Perombakan bahan organik yang

  • berlebihan akan menurunkan kemantapan agregat tanah, sehingga lebih mudah

    dipecah dan diangkut oleh tumbukan langsung butir-butir air hujan dan limpasan.

    Hujan mempengaruhi segala proses erosi mulai dari pemecahan agregat

    tanah menjadi butir-butir primer sampai dengan pengangkutannya. Hujan tropis

    adalah lebih erosif dari pada hujan didaerah beriklim sedang. Hal ini disebabkan

    oleh tingginya intensitas hujan. Menurut Arsyad (2000), ada tiga komponen

    karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan

    distribusi hujan.

    Jumlah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu wilayah tertentu

    dinyatakan dalam milimeter atau centimeter. Intensitas hujan menyatakan

    besarnya atau jumlah hujan yang jatuh dalam waktu yang singkat, dinyatakan

    dalam millimeter atau centimeter/jam. Jumlah rata-rata curah hujan yang tinggi

    mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah. Demikian

    juga suatu hujan yang intensitasnya besar yang terjadi dalam waktu yang singkat

    mungkin tidak akan menimbulkan erosi karena tidak cukup air untuk mengangkut

    tanah.

    Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang jatuh di suatu tempat dalam satu

    satuan tertentu (mm/jam atau cm/jam). Intensitas hujan banyak digunakan untuk

    menjelaskan fenomena laju erosi yang terjadi.

    Laju erosi dikawasan bercurah hujan < 250 mm/tahun adalah sangat kecil

    atau dapat diabaikan. Laju erosi tanah oleh air akan cenderung meningkat sesuai

    peningkatan curah hujannya sampai 750 mm/tahun tetapi pada peningkatan

    selanjutnya tidak diikuti oleh peningkatan laju erosi tanahnya.

    Daerah bercurah hujan < 750 mm/tahun umumnya merupakan daerah

    tropis kering sampai padang pasir. Air hujan yang jatuh di kawasan ini hanya

    cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuhannya. Kawasan ini cenderung menjadi

    sasaran erosi angin. Daerah dengan curah hujan sedang, menghadapi ancaman

    erosi berat selama musim hujan, jauh melebihi laju erosi di daerah tropis basah.

    Hal ini disebabkan antara lain:

    1. Daerah tropis agak kering masih kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan

    tumbuhan sehingga kurang mampu memberikan penutupan tetap pada

    permukaan tanah, yang akan memberikan perlindungan terhadap ancaman

    erosi. Pada akhir musim kemarau seringkali hanya tersisa sedikit tumbuhan

  • yang menutupi tanah, sehingga pada musim hujan tiba tidak cukup penutupan

    tanah untuk mengendalikan erosi.

    2. Daerah tropis agak kering didukung oleh golongan tanah yang lebih peka dari

    pada tanah di daerah tropis basah.

    3. Erosivitas hujan kawasan ini dapat melebihi daerah tropika basah, terutama

    jika musim hujannya cukup panjang.

    Daerah bercurah hujan > 750 mm/tahun banyak mempunyai tumbuhan

    berupa hutan. Adanya hutan alami yang tumbuh baik akan melindungi tanah dari

    erosivitas hujan hujan yang tinggi. Jika tumbuh-tumbuhan di kawasan hutan itu

    ditebang, permukaan tanahnya terbuka maka laju erosi tanah pada iklim tropika

    basah akan melebihi iklim lainnya.

    2. Topografi

    Pada umumnya suatu areal hutan memiliki topografi yang berbeda, mulai

    dari datar, landai sampai dengan curam. Oleh karena itu dalam bidang kehutanan

    dikenal dengan satu sistem klasifikasi kelerengan lapangan yang berlaku umum

    dan tidak tergantung dari metode/alat yang digunakan dalam pemanenan kayu.

    Kelerengan lapangan tersebut dapat diketahui berdasarkan melihat peta

    topografi dari areal yang ingin diamati atau bisa juga dengan melakukan

    pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan alat bantu untuk

    mengukur kelerengan seperti clinometer. Besarnya kelerengan ditentukan oleh

    jarak horizontal dan vertikal dari dua titik yang akan dicari kelerengannya. Untuk

    kelerengan bernilai 100% adalah kelerengan yang mempunyai sudut 45o.

    Faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar kecilnya erosi dan

    limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan panjang lereng,

    dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada tanah

    dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Erosi tidak menjadi masalah

    pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah

    pencegahan erosi menjadi serius.

    Faktor topografi lainnya yang mempengaruhi proses erosi adalah

    konfigurasi lereng dan keseragaman lereng. Dengan kata lain lereng permukaan

    tanah dapat berbentuk cembung (konvek) atau cekung (konkav). Pengamatan

    secara umum menunjukkan bahwa erosi lembar lebih hebat pada permukaan

    cembung daripada permukaan cekung. Sedangkan pada permukaan cekung

  • cenderung berbentuk erosi alur atau parit. Demikian pula aliran permukaan dan

    erosi yang terjadi pada lereng yang tidak seragam nampaknya lebih kecil daripada

    lereng yang seragam.

    3. Vegetasi

    Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap erosi

    dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:

    a) Intersepsi hujan oleh mahkota tanaman

    b) Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air

    c) Pengaruh akar terhadap erositas dan kestabilan agreat tanah

    d) Pengaruh kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan

    vegetasi dan pengaruhnya terhadap porositas tanah

    e) Transpirasi yang mengakibatkan keringnya tanah

    Dalam Sjafii (1984), batang, akar dan tumbuhan bawah mengurangi

    kecepatan aliran permukaan yang mengakibatkan pengurangan daya erosi dari

    aliran tersebut dan juga akar serta serasah menahan sebagian besar sedimen yang

    melewatinya. Akar tanaman dan humus membuat tanah menjadi sarang sehingga

    meningkatkan kemampuannya meresapkan air, sehingga secara langsung

    mengurangi aliran permukaan.

    Menurut Holy (1980) dalam Santosa (1985), hutan dengan tajuk lebat,

    tumbuhan bawah yang baik, dan serasah yang tidak terganggu sangat

    mempengaruhi terjadinya aliran permukaan dan erosi. Pada keadaan hutan seperti

    itu aliran permukaan tidak lebih dari 10% dari total hujan dan tidak terjadi erosi.

    Apabila hutan diganti dengan rumput secara jalur maka aliran permukaan akan

    meningkat dari 0,33 menjadi 20 m/km dan erosi meningkat menjadi 24 kali.

    Sedangkan pada waktu hujan intensif erosi meningkat menjadi 500 kali.

    Ambar dan Karyono (1980) dalam Santosa (1985) melaporkan bahwa

    vegetasi hanya akan efektif melindungi tanah terhadap erosi apabila tersusun oleh

    pohon-pohon yang membentuk strata tajuk, adanya tumbuhan bawah dan lapisan

    serasah. Tanaman perkebunan yang terdiri dari tanaman keras biasanya hanya

    membentuk satu stratum tajuk. Dengan demikian peranannya terhadap

    pencegahan erosi sangat ditentukan oleh adanya tumbuhan bawah

    Menurut Douglas (1968) dalam Santosa (1985), tanaman karet sebenarnya

    dapat memberikan kondisi yang hampir sama dengan vegetasi hutan. Tetapi

  • karena tajuknya uniform dan terdiri dari satu lapisan, tanaman karet ini kurang

    protektif dibandingkan dengan vegetasi hutan alam.

    4. Tanah

    Tanah adalah suatu produk alami yang heterogen dan dinamis, maka sifat

    dan perilaku tanah akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lain dan berubah dari

    waktu ke waktu. Setiap perbedaan sifat tanah akan menyebabkan perbedaan sifat

    tanah akan menyebabkan perbedaan nilai kepekaan erosi. Berbagai tipe tanah

    mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap erosi. Kepekaan tanah yaitu

    mudah atau tidaknya tanah tererosi merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-

    sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Sjafii (1984), sifat tanah yang penting

    pengaruhnya terhadap permukaan erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan

    permukaan adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kesarangan,

    kapasitas lapang, tebal dan sifat horizon serta kadar air tanah.

    Tanah-tanah yang mendukung ekosistem hutan umumnya bersolum tipis,

    watak lapisan bawah tidak menguntungkan pertumbuhan tanaman dan bahan

    induk yang tidak/kurang merangsang pembentukan solum baru, sehingga laju

    erosi yang tidak terkendali akan menghancurkan potensi sumberdaya tanahnya.

    Watak-watak tanah yang tidak menguntungkan untuk suatu usaha pengelolaan

    hutan itu selayaknya dijadikan acuan untuk lebih mengutamakan tindakan

    pengendalian laju erosi dari pada perbaikan.

    5. Manusia

    Manusia dapat mengubah tanah menjadi lebih baik atau lebih buruk,

    tergantung dari cara penggunaan dan pengolahannya. Pola tataguna lahan

    merupakan pencerminan kegiatan manusia diatasnya. Pengusahaan lahan

    tergantung pada tingkat penggunaan teknologi, tingkat pendapatan, hubungan

    antara masukan dan keluaran pertanian, pendidikan, penyuluhan, pemilikan lahan,

    dan penguasaan lahan. Oleh karena itu penggunaan lahan dapat bersifat

    membangun dapat juga bersifat merusak (Anonymous, 1983).

    Untuk tanah hutan, tingkat kerusakan tanah ditentukan antara lain oleh:

    1. Cara dan alat eksploitasi yang digunakan

    2. Sistem penanaman

  • 3. Perusakan oleh penggembalaan, pencarian kayu bakar, kebakaran, dan lain

    lain

    2.1.4. Kerusakan Yang Ditimbulkan Oleh Erosi

    Menurut Ruslan (1979) dalam Gintings (1981) pengaruh jalan sarad

    terhadap erosi dan aliran permukaan di kesatuan usaha PT. Inhutani II Stagen,

    Pulau Laut Kalimantan Selatan memperlihatkan:

    1. Jalan sarad yang baru dan telah dilakukan penyaradan akan mendatangkan

    erosi dan aliran permukaan paling besar dibandingkan dengan jalan sarad

    jalan sarad yang baru dan belum digunakan ataupun jalan sarad yang telah

    ditinggalkan 2 dan 3 tahun.

    2. Pada hutan alam yang belum ada jalan saradnya, tidak memperlihatkan

    adanya erosi sedang aliran permukaannya hanya berkisar 0,01 0,05% dari

    jumlah curah hujan.

    3. Jumlah erosi dan aliran permukaan pada jalan sarad yang sudah ditinggalkan

    3 tahun, berkurang sekitar 50% dari jalan sarad yang sudah ditinggalkan 2

    tahun.

    Menurut Wudianto (2000), secara garis besar kerusakan yang timbul

    akibat adanya erosi dapat dijelaskan sebagai berikut ini:

    a. Menurut kesuburan tanah

    Tanah yang subur umumnya terdapat pada lapisan tanah atas karena pada

    lapisan ini banyak tertimbun bahan-bahan organik dari sisa-sisa tanaman yang

    bisa menyuburkan tanah. Apabila terjadi hujan dan bisa menimbulkan erosi,

    maka lapisan tanah atas yang akan terkikis kemudian terbawa oleh aliran air.

    Dengan terangkutnya lapisan tanah atas, maka tertinggal lapisan tanah bawah.

    Dimana kita tahu lapisan tanah ini kurang subur.

    b. Menimbulkan pendangkalan

    Seperti yang telah disinggung di atas, akhir dari terjadinya erosi adalah proses

    pengendapan. Endapan yang terjadi di dalam sungai akan mengakibatkan

    pendangkalan, akibatnya pendangkalan bisa mengurangi kemampuan sungai

    untuk menampung air. Jika sungai sudah tidak mampu lagi menampung air

    maka timbul luapan air yang kita kenal dengan istilah banjir. Disamping

    menimbulkan banjir, pendangkalan sungai bisa mengganggu alur pelayaran

    kapal di sungai-sungai. Karena sungai bermuara di laut, maka sekarang banyak

  • pelabuhan yang mengalami pendangkalan dan ini jelas menimbulkan kerugian-

    kerugian. Pendangkalan di waduk juga sulit untuk dihindarkan. Dengan makin

    dangkalnya waduk maka dapat mengurangi waktu pakai waduk tersebut.

    2.2. Nilai T, Indeks Bahaya Erosi, dan Tingkat Bahaya Erosi

    Nilai T (Tolarable soil erosion) adalah suatu nilai untuk menunjukan laju

    erosi tanah yang boleh terjadi pada sebidang lahan. Nilai T ini dapat digunakan

    sebagai landasan untuk menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan konservasi

    tanah disuatu lahan yang bermasalah. Nilai T yang lebih kecil daripada laju

    pembentukan tanahnya tidak mengharuskan dilakukan tindakan konservasi dan

    kalau dilakukan tindakan konservasi tanah diarahkan menggunakan teknik-teknik

    sederhana dan berintensitas rendah. Sedangkan nilai T yang lebih besar dari pada

    laju pembentukan tanahnya mengharuskan dilakukannya tindakan konservasi

    tanah.

    Nilai IBE (Indeks Bahaya Erosi) berguna untuk mengetahui seberapa besar

    laju erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian keproduktifan tanah yang

    bersangkutan.

    Tabel 1. Indeks Bahaya Erosi

    Indeks Bahaya Erosi Kelas< 1,00

    1,01 4,004,01 10,00

    >10,00

    RendahSedangTinggi

    Sangat Tinggi

    Sedangkan TBE (Tingkat Bahaya Erosi) ditetapkan berdasarkan telaah

    terhadap gatra laju erosi tanah dan ketebalan solum tanah yang bersangkutan.

    Tabel 2. Kelas bahaya Erosi

    Tebal Solum (cm) Kelas Bahaya ErosiI II III IV V

    Laju erosi tanah (ton/ha/th) 480Tebal (>90) SR R S B SBSedang (60-90) R SB B SB SBTipis (30-60) SR B SB SB SBSangat tipis (

  • 2. 3. Sedimentasi

    2. 3. 1. Pengertian

    Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang

    tererosi secara umum disebut sedimen. Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi

    dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan

    airnya melambat atau terhenti dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan

    (Arsyad, 2000)

    Menurut Manan (1976), sedimentasi adalah proses pengendapan bahan

    organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air.

    Sedangkan menurut Asdak (1995), sedimen merupakan hasil proses erosi, baik

    berupa erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi lainnya. Sedimen umumnya

    mengendap dibagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air,

    sungai muara sungai, dan waduk. Sedangkan hasil sedimen (sediment yield)

    adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan

    air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu.

    Jumlah dan mutu aliran sungai yang optimal dicerminkan dengan nilai

    fluktuasi debit aliran sungai yang rendah dan tingkat muatan sedimen yang

    rendah. Debit aliran sungai dan muatan sedimen aliran dipengaruhi oleh tingkat

    limpasan permukaan dan erosi yang terjadi pada daerah aliran sungai tersebut.

    Tingkat limpasan dan erosi yang terjadi dipengaruhi oleh keadaan iklim,

    topografi, tanah, dan vegetasi penutup lahan.

    2. 3. 2. Proses Terjadinya Sedimentasi

    Sedimentasi terjadi melalui beberapa proses yaitu melalui proses erosi,

    transportasi, pengendapan, dan pemadatan (compaction). Besarnya volume

    angkutan sedimen terutama tergantung kepada perubahan kecepatan aliran,

    perubahan musim kemarau dan penghujan, serta perubahan kecepatan yang

    dipengaruhi oleh aktivitas manusia.

    Karakteristik sedimen terdiri atas beberapa macam, menurut Purwanto

    (2001), sedimen yang tercampur aliran permukaan dapat dibedakan menjadi tiga

    jenis, yaitu:

    1. Washload, yang terdiri atas partikel berukuran debu dengan ukuran antara

    0,02 mm sampai 0,05 mm yang secara permanen dalam kondisi tersuspensi

    dengan aliran,

  • 2. Bedload, yang terdiri atas partikel kasar dengan ukuran antara 0,5 mm sampai

    2 mm yang menggelinding pelan bersama aliran tanpa pernah tersuspensi

    dengan aliran.

    3. Suspended bedload, yang terdiri atas partikel pasir halus berukuran 0,05 mm

    sampai 0,5 mm yang kadang-kadang tersuspensi pada saat aliran permukaan

    bergerak cepat dan terkadang terendapkan pada saat aliran lambat.

    Muatan sedimen melayang (suspended sediment) merupakan material

    dasar sungai (bad material) yang melayang di dalam aliran sungai dan terdiri dari

    butiran-butiran pasir halus yang senantiasa didukung oleh air dan hanya sedikit

    sekali interaksinya dengan dasar sungai, karena selalu didorong ke atas oleh

    turbulensi aliran. Bahan tersupensi akan hanyut dengan kecepatan yang sama

    dengan kecepatan aliran dan kuantitasnya jarang melebihi kemampuan angkut

    aliran itu.

    Pengukuran sedimen melayang dimaksudkan untuk menentukan

    konsentrasi sedimen, ukuran butir sedimen dan produksi sedimen melayang.

    Konsentrasi sedimen merupakan perbandingan berat sedimen kering yang

    terkandung pada satu unit volume sedimen bersama-sama airnya dari suatu

    sampel. Satuan konsentrasi sedimen dinyatakan dalam mg/l, g/cm, kg/m, atau

    ton/m. pengukuran angkutan sedimen harus mempertimbangkan kemudahan

    akses untuk mencapai lokasi pengukuran, keselamatan pengukur, dan sarana

    pembantu untuk melaksanakan pengukuran.

    Pemilihan lokasi pengukuran angkutan sedimen tergantung pada data yang

    dibutuhkan, keadaan alami aliran, dan kondisi lokasi tempat pengukuran sedimen.

    Lokasi tersebut hendaknya dekat dengan pos duga air, bebas dengan pengaruh

    arus balik, menghindari hilir pertemuan sungai, dan pada sungai yang dalam dan

    lebar pengambilannya dilakukan dari jembatan atau dengan kabel melintang

    dimana pengukurannya dilakukan dari jembatan di sebelah hulu.

  • III. METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat

    Penelitian Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan dilakukan pada bulan

    Juli hingga September 2008 dan bertempat di PT. Austral Byna, Kalimantan

    Tengah.

    3.2. Alat dan Bahan

    Alat dan bahan yang digunakan adalah:

    1. Papan, pasak kayu, plastik, meteran dan pipa paralon untuk membuat bak

    erosi.

    2. Drum air sebagai tempat penampungan air pada metode bak erosi.

    3. Botol ukuran 600 ml untuk menyimpan sampel air.

    4. Oven, kertas saring, timbangan digital.

    5. Clinometer, tongkat kayu ukuran 2 cm x 2 cm x 60 cm untuk tongkat

    erosi.

    6. Penggaris, alat tulis, kalkulator.

    7. Bola pimpong untuk mengukur kecepatan sungai.

    8. Kompas dan tali tambang sebagai batas pada kegiatan analisis vegetasi.

    9. Alat ukur curah hujan (ombrometer).

    3.3. Batasan Penelitian

    Batasan penelitian ini antara lain:

    1. Pengukuran laju erosi dilakukan di RKT 2008 TPTI, RKT 2007 TPTI,

    RKT 2007 TPII, dan kawasan lindung.

    2. Pada pengukuran dengan metode bak erosi, data yang diambil hanya

    berasal dari bak penampung. Sedangkan pada pengukuran dengan metode

    tongkat, data yang diambil hanya tanah yang tererosi.

    3.4. Kerangka Pemikiran

    Kerangka pemikiran yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada

    Gambar 1.

  • Gambar 1 Kerangka pemikiran.

    Kegiatan pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder.

    Data primer yaitu pengukuran langsung yang dilakukan di lapangan antara lain

    data erosi, sedimentasi, curah hujan, dan pengukuran penutupan tegakan.

    Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari perusahaan atau penelitian

    sebelumnya.

    3.5. Pengumpulan Data

    Pada penelitian ini dilakukan dua metode pengukuran erosi, yaitu metode

    pengukuran bak erosi dan metode tongkat. Proses pengumpulan data dengan

    metode pengukuran bak erosi pertama-tama dilakukan dengan cara:

    1. Mengaduk air yang tererosi didalam bak penampung jika terdapat air. Hal ini

    dilakukan dengan tujuan agar air yang masuk ke dalam bak penampung

    menjadi homogen dan memiliki konsentrasi yang sama.

    2. Air yang telah diaduk dimasukkan ke dalam botol berjumlah 600 ml untuk

    diketahui konsentrasinya.

  • 3. Untuk mengetahui konsentrasi air tersebut dapat dilakukan proses

    pengovenan, yaitu dengan cara menimbang berat basah dan mengovennya

    dan ditimbang lagi berat keringnya.

    4. Proses pengumpulan data ini dilakukan setiap minggunya.

    Pada pengumpulan data dengan menggunakan metode pengukuran

    tongkat, kegiatan yang dilakukan adalah:

    1. Mencatat kegiatan penimbunan ataupun kegiatan pergerusan tanah yang

    diakibatkan oleh hujan dan dapat dilihat pada permukaan tongkat.

    2. Kegiatan pencatatan ini dilakukan hingga tongkat ke-12 pada setiap plot

    pengamatan.

    3. Proses pengumpulan data ini dilakukan setiap minggunya.

    Untuk pengumpulan data debit dan sedimen sungai, kegiatan yang

    dilakukan antara lain:

    a. Pengukuran penampang sungai.

    b. Pengukuran kecepatan aliran sungai.

    c. Pengukuran jumlah sedimen sungai.

    Kegiatan pengukuran penampang sungai adalah kegiatan mengukur lebar

    dari sungai yang diamati dan mengukur kedalaman sungai tersebut. Untuk

    pengukuran kecepatan aliran sungai dilakukan dengan metode bola pelampung,

    sedangkan pengukuran jumlah sedimen adalah mengambil sampel air sungai

    kedalam botol ukuran 600 ml kemudian diukur konsentrasi sedimen.

    Kegiatan terakhir adalah menganalisis keterbukaan tegakan dengan

    metode analisis vegetasi. Setelah analisis vegetasi selesai maka dibuat profil

    tegakan yang telah diukur.

    3.5.1. Pengukuran Erosi

    Pada penelitian ini, dilakukan dua pengukuran erosi dilapangan, yaitu

    dengan menggunakan metode tongkat dan metode bak erosi. Adapun cara

    pengukurannya sebagai berikut:

    a. Metode Tongkat

    1. Buat plot erosi berukuran 9 m x 3 m pada lokasi yang dipilih.

    2. Setiap 1.5m x 3m tongkat dibenamkan hingga kedalaman tongkat menyentuh

    titik nol, sehingga dalam setaip plot erosi ada tongkat erosi berjumlah 12

    buah.

  • 3. Ukur besarnya perubahan permukaan tanah yang hilang (cm) setiap satu

    minggu sekali dan lakukan sebanyak 3 kali ulangan.

    Gambar 2 Contoh plot pengamatan metode tongkat.

    b. Metode Bak Erosi

    1. Bak erosi terdiri dari dua bagian, bagian pertama papan kayu dengan panjang

    22 m x 2 m, tinggi 25 cm, dan lebar 2 meter. Kemudian bak bagian ke dua

    berukuran panjang 40 cm, tinggi 25 cm, dan lebar 2 m.

    2. Pada bagian bawah bak ke dua dilubangi dengan 5 buah lubang sejajar. Pada

    lubang ke-3 atau lubang tengah disalurkan dengan pipa paralon sepanjang 50

    cm dan berujung di bak penampung.

    Gambar 3 Contoh plot pengamatan metode bak erosi.

    3. Pengukuran erosi di lapangan dapat dilakukan seminggu sekali, atau setelah

    hujan.

    4. Apabila ada air di dalam bak penampung, maka aduk air dan tanah yang ada

    pada bak penampung secara merata, ukur volume air yang terdapat pada bak

    penampung.

    5. Ambil contoh larutan sebanyak 600 ml dan bawa ke laboratorium.

  • 6. Endapkan larutan selama 24 jam. Setelah itu, saring contoh air tersebut

    dengan menggunakan kertas saring yang sebelumnya telah dioven selama 2

    jam dalam suhu 60C dan diketahui beratnya (berat awal).

    7. Oven contoh tanah yang disaring tersebut selama 2 jam dalam suhu 100C.

    Setelah dioven, diamkan sesaat, lalu ditimbang dan dicatat beratnya (berat

    akhir).

    8. Pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi dilakukan sebanyak 3

    kali ulangan.

    3.5.2. Pengukuran Debit dan Sedimen Sungai

    Penentuan debit sungai yang dihitung adalah sungai yang dapat dianggap

    mewakili daerah-daerah yang masuk kegiatan operasional pemanenan kayu,

    antara lain sungai Mahang, sungai Membung, sungai Pari, sungai Lampanan,

    sungai Jupoi, dan sungai Sikui. Untuk mengetahui debit sungai, diperlukan dua

    data terlebih dahulu, yaitu luas penampang sungai dan kecepatan arus sungai.

    a. Pengukuran Luas Penampang

    1. Ukur lebar sungai dari pinggir sungai ke pinggir sungai seberang.

    2. Ukur dan catat kedalaman sungai per segmen dengan menggunakan tongkat

    ukur/galah (h=meter), untuk sungai dengan lebar relatif kecil dibagi 3 segmen

    dan untuk sungai dengan lebar relatif besar dibagi 5 segmen.

    Gambar 4 Contoh pengukuran luas penampang sungai.

    b. Pengukuran Kecepatan Arus Sungai

    1. Masih di sungai yang sama, tentukan sebuah titik, lalu titik tersebut ditarik

    tegak lurus aliran.

    2. Kemudian tetapkan jarak dan tentukan titik kedua.

    3. Lemparkan pelampung di bagian hulu titik ke-1, set waktu pada 0 detik dan

    catat lama waktu pelampung ketika sampai titik ke-2.

  • 4. Pengukuran ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

    c. Pengukuran sedimen sungai

    Sedimen adalah bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi.

    Sedimen sungai adalah bagian tanah yang tererosi yang masuk ke dalam

    aliran sungai. Pengukuran Sedimen di lapangan dapat dilakukan dengan cara:

    1. Mengambil contoh air sebanyak 600 ml.

    2. Kemudian bawa contoh air tersebut ke laboratorium, endapkan selama

    24 jam.

    3. Setelah 24 jam, saring contoh air tersebut dengan menggunakan kertas

    saring yang sebelumnya telah dioven selama 2 jam dalam suhu 60C dan

    diketahui beratnya (berat awal).

    4. Oven contoh tanah yang disaring tersebut selama 2 jam dalam suhu

    100C.

    5. Setelah dioven, kertas didiamkan sesaat, lalu ditimbang dan dicatat

    beratnya (berat akhir).

    6. Pengukuran sedimen sungai dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

    3.5.3. Pengukuran Keterbukaan

    Cara yang digunakan untuk menganalisis keterbukaan adalah dengan

    menggunakan metode analisis vegetasi, akan tetapi data yang diambil hanya

    mengidentifikasi tingkat pancang, tiang dan pohon saja.

    Adapun data yang diperlukan antara lain:

    a. Tinggi bebas cabang dan tinggi total.

    b. Posisi tajuk berdasarkan arah utara, timur, selatan, dan barat.

    c. Posisi pancang, tiang dan pohon.

    Kegiatan pengukuran keterbukaan antara lain:

    a. Menentukan lokasi yang akan dianalisis.

    b. Membuat petak pengukuran dengan lebar 20 m x 100 m. Kemudian lebarnya

    dibagi menjadi dua dan panjangnya dibagi lima.

    c. Buat petak kecil ukuran 5 m x 5 m untuk pancang, 10 m x 10 m untuk tiang,

    dan 20 m x 20 m untuk pohon.

    d. Menghitung seluruh pancang yang ada pada petak 5 m x 5 m, kemudian

    tentukan jenis, tinggi, dan posisi pancang tersebut.

  • e. Menghitung seluruh tiang yang ada pada petak 10 m x 10 m, kemudian

    tentukan jenis, tinggi bebas cabang, tinggi total, dan posisi tiang tersebut.

    f. Menghitung seluruh pohon yang ada pada petak 20 m x 20 m, kemudian

    tentukan jenis, tinggi bebas cabang, tinggi total, dan posisi pohon tersebut.

    Gambar 5 Contoh plot pengukuran keterbukaan.

    Setelah data yang diperlukan telah ada, maka hasilnya dapat di gambarkan

    pada milimater blok dan kertas kalkir.

    Pengukuran keterbukaan juga dapat didukung oleh peta citra landsat tahun

    2008. Peta citra landsat dapat mewakili daerah-daerah hutan yang tidak terjangkau

    untuk dianalisa seperti daerah pedalaman hutan. Pengukuran keterbukaan dapat

    dilakukan dengan cara analisis deskriptif peta citra landsat tahun 2008.

    3.5.4. Pengukuran Curah Hujan

    Pengukuran curah hujan dilakukan pada tiga stasiun pengamatan curah

    hujan, antara lain stasiun pengamatan curah hujan Sikui, Jupoi, dan Mahang.

    Masing-masing stasiun pengamatan mewakili daerah-daerah kegiatan. Stasiun

    pengamatan curah hujan Sikui mewakili basecamp, stasiun pengamatan curah

    hujan Jupoi mewakili TPTII dan kawasan lindung, dan stasiun pengamatan curah

    hujan Mahang mewakili RKT 2007 dan 2008 TPTI.

    Pengukuran curah hujan dimaksudkan untuk mengetahui curah hujan yang

    ada di berbagai lokasi pengamatan sehingga hujan dapat dijadikan salah satu

    parameter laju erosi. Pengukuran curah hujan dilakukan setiap jam 7 pagi pada

    hari berikutnya setelah hujan.

    3.6. Pengolahan Data

    3.6.1. Penghitungan Erosi

    a. Penghitungan Nilai T Dan IBE

    Menurut Wood dan Dent (1983), dalam menetapkan besaran T dapat

    dilakukan dengan persamaan:

  • Untuk Ds > Dm, nilai T = ( Ds Dm ) + LPT

    UPT

    Untuk Ds < Dm, nilai T ? LPT

    T = Laju erosi tanah yang boleh terbiarkan terjadi.

    Ds = Ketebalan tanah setara yang merupakan hasil perkalian De dengan faktor

    ketebalan tanah (c).

    De = Ketebalan tanah efektif, yaitu ketebalan tanah dari permukaan tanah

    sampai loka sembarang pada penampang tanah yang tidak dapat

    diterobos oleh akar tanaman.

    Dm = Ketebalan tanah minimum, yaitu ketebalan tanah minimum yang

    diperlukan tanaman untuk tetap dapat tumbuh optimum.

    UPT = Umur pakai tanah, yaitu waktu dapat pakai sumberdaya tanah yang dapat

    diprakirakan dari laju pembentukannya.

    LPT = Laju pembentukan tanah

    Kemudian untuk menentukan nilai indeks bahaya erosi (IBE) dapat

    dilakukan dengan persamaan :

    IBE = ( / / ) ( / / )

    b. Metode Tongkat

    Untuk mengetahui laju erosi yang terjadi dengan menggunakan metode

    tongkat, data yang telah didapatkan dirata-ratakan per minggu dan per lokasi.

    Setelah itu laju erosi dapat diketahui dengan cara:

    E(Ton/ha) = Rata-rata tebal tanah yang hilang (cm) x Bobot isi tanah (g/cm3)

    c. Metode Bak Erosi

    Untuk mengetahui besar erosi yang terjadi pada metode bak erosi, terlebih

    dahulu dibutuhkan data konsentrasi sedimen yang berasal dari bak erosi, setelah

    konsentrasi sedimen diketahui, maka jumlah erosi pada metode bak erosi pun

    dapat diketahui dengan cara :

    E (Ton/ha) = Berat Tanah (g/L) x Vol. air dalam bak (L) x 5 x Luas Bak1.000.000

  • Satuan luas bak erosi diatas dikonversi ke dalam hektar (ha). Setelah laju

    erosi diketahui maka dikali curah hujan selama setahun sehingga didapatkan laju

    erosi dalam ton per hektar per tahun.

    3.6.2. Penghitungan Debit Dan Sedimen Sungai

    Setelah mendapatkan data pengukuran luas penampang sungai dan

    kecepatan sungai, maka debit sungai dapat diketahui. Untuk itu, terlebih dahulu

    data luas penampang sungai (m) diolah dengan menggunakan rumus seperti

    dibawah ini:

    A = [?(Hn+Hn+1)/n] x B x n

    Dengan H adalah kedalaman sungai, B adalah lebar antar seksi sungai.

    Kemudian data pengukuran kecepatan arus sungai (m/det) pun diolah. Setelah

    mengetahui hasil dari luas penampang sungai dan kecepatan arus sungai maka

    debit sungai (m/det) dapat diketahui dengan menggunakan rumus dibawah ini:

    V = Panjang titik pengamatan/waktu

    Debit atau Q (m/detik) = A (m) x V (m/det)

    Setelah mendapatkan nilai debit sungai maka langkah selanjutnya adalah

    menetapkan konsentrasi sedimen. Konsentrasi sedimen dapat diketahui dengan

    cara :

    Cs (g/l) = berat akhir (g) berat awal (g)

    volume air contoh (l)

    3.6.3. Pengolahan Data Analisis Keterbukaan

    Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, maka data tersebut diolah

    menjadi sebuah profil pohon. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan kondisi

    vegetasi yang ada pada masing-masing daerah.

    Untuk membuat sebuah profil pohon, pertama-tama profil pohon yang

    akan dibuat harus disesuaikan dengan azimuth yang digunakan saat pengukuran

    dilapangan. Setelah itu maka dibuat profil pohon dari arah horizontal maupun

    vertikal. Pada arah horizontal, data yang digunakan antara lain tinggi total, tinggi

    bebas cabang, labar tajuk, dan posisi keberadaan pohon tersebut. Sedangkan pada

    arah vertikal data yang digunakan adalah panjang tajuk, dan posisi pohon.

  • 3.6.4. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi

    Satelah hasil laju erosi diketahui, maka dilakukan analisis faktor-faktor

    yang mempengaruhi laju erosi dengan cara menganalisa situasi dan kondisi di

    lapangan berupa kondisi topografi, sistem silvikultur, perilaku pekerja, curah

    hujan. Berdasarkan hasil laju erosi yang telah didapatkan maka analisis situasi dan

    kondisi di lapangan dapat diserasikan.

    3.6.5. Penetapan Strategi Penanggulangan Laju Erosi

    Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

    laju erosi maka strategi penanggulangan laju erosi dapat dibuat. Untuk membuat

    strategi penanggulangan, terlebih dahulu membuat skala prioritas dari mulai

    faktor terbesar yang mempengaruhi proses terjadinya laju erosi hingga yang

    terkecil. Setelah skala prioritas telah dibuat maka dilakukan analisa lebih lanjut,

    yaitu mengubah faktor-faktor yang dapat diubah, seperti perilaku, sistem

    manajemen, dan perencanaan.

  • IV. KONDISI UMUM PENELITIAN

    4.1. Letak, Luas dan Keadaan Wilayah

    Areal PT. Austral Byna secara geografis berada antara posisi 030' - 168'

    LS dan 11445' - 11545' B. Secara administrasi pemerintahan termasuk keadaan

    wilayah kecamatan Lahai, Teweh Timur dan Gunung Purui, Kabupaten Barito

    Utara dengan Ibukota Muara Teweh-Provinsi Kalimantan Tengah dengan Ibukota

    Palangkaraya. Areal PT. Austral Byna termasuk kedalam kelompok hutan S.

    Teweh-S. Lahai dan S. Montallat-S. Sempirang, termasuk kedalam BKPH Muara

    Teweh, KPH Murung Utara-Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah.

    Adapun batas-batas luar areal PT. Austral Byna tersebut adalah:

    1. Sebelah Utara berbatasan dengan areal kerja IUPHHK PT. Inhutani III (Eks

    PT. Antang Kalimantan), PT. Inhutani II (Eks PT. Nara Kalimantan), PT.

    Djajanti Djaja II dan HTI PT. Rimba Berlian Hijau.

    2. Sebelah Timur berbatasan dengan IUPHHK PT. Barito Pacific Lumber dan

    PT. Timber Dana, PT. Dayak Besar Vincent dan Hutan Lindung.

    3. Sebelah Selatan berbatasan dengan IUPHHK PT. Indexim Utama, PT. Sindo

    Lumber, dan PT. Djajanti Djaja.

    4. Sebelah Barat berbatasan dengan IUPHHK PT. Antang Kalimantan, PT.

    Alam Indo Jaya, PT. Barito Pacific Lumber, HTI PT. Rimba Berlian Hijau

    dan HTI PT. Purwa Permai.

    Luas areal PT. Austral Byna adalah 294.600 ha. Areal tersebut, pada rotasi

    I (RKL VII) memiliki sisa virgin forest efektif seluas 11.700 ha, sedangkan pada

    rotasi II (RKL VIII s/d XIV) semua areal berhutan merupakan bekas tebangan

    LOA (Logged Over Area) rotasi I seluas 159.893 hektar. Luas efektif LOA setelah

    dikurangi areal PT. Austral Byna pada hutan tanaman PT. PURWA PERMAI,

    kawasan transmigrasi, pemukiman, kawasan lindung dan kawasan tidak untuk

    produksi, adalah seluas 140.220 ha.

    4.2. Topografi

    Kondisi Topografi areal PT. Austral Byna diperoleh dari peta bumi skala

    1:50.000 BAKOSURTANAL, (1985) yang kemudian dicek dengan survey

    topografi yang dilakukan dengan metoda jalur rintisan dengan interval 2 km. Dari

    kedua sumber data inilah selanjutnya dibuat Peta Kelas Lereng areal PT. Austral

  • Byna. Luasan setiap kelas lereng di areal PT. Austral Byna disajikan pada Tabel

    3.

    Tabel 3. Distribusi Kelas Lereng di Areal Kerja PT. Austral Byna

    Kode Kelas Lereng (%) Topografi Luas (ha) %A 0-8 Datar 250.034 87,01B 8-15 Landai 27.431 9,54C 15-25 Agak curam 7.052 2,45D 25-40 Curam 1.798 0,63E >40 Sangat curam 1.063 0,37

    Sumber: Peta Rupa Bumi Skala 1: 50.000 (BAKOSURTANAL1985) dan Hasil

    Survey Lapangan (1994)

    4.3. Curah Hujan dan Hari Hujan

    Berdasarkan kriteria Schmidt & Ferguson, areal PT. Austral Byna

    termasuk dalam tipe iklim nilai Q berkisar 0 13%. Berdasarkan data dari Stasiun

    Meteorologi Bandara Beringin Muara Teweh, curah hujan bulanan tertinggi dalam

    kurun waktu 19922002 sedangkan bulan dengan curah hujan tertinggi terjadi

    pada bulan Nopember 2001. Curah hujan terendah adalah 7 mm yang terjadi pada

    bulan Nopember 1992. Jumlah hari hujan tahunan rata-rata adalah 212 hari,

    pernah terjadi pada tahun 1992 dimana jumlah hari hujan hanya 120 hari yang

    terendah dalam kurun waktu 19922002 sedangkan yang tertinggi terjadi pada

    tahun 1995 dengan 247 hari hujan. Untuk lebih jelasnya karakteristik iklim di

    areal PT. Austral Byna disajikan pada Tabel 4.

    Sesuai tipe iklimnya, areal IUPHHK ini mempunyai curah hujan yang

    tinggi dengan persebaran yang hampir merata sepanjang tahun, artinya tidak

    terjadi musim kemarau atau bulan kering yang panjang. Jumlah hari hujan rata-

    rata bulanan terjadi dalam bulan Desember dan terendah pada bulan Juni.

    Mengingat seluruh areal IUPHHK ini hanya terdiri dari satu tipe iklim yaitu A,

    maka tidak dilakukan pemetaan iklim terpisah melainkan disajikan satu Peta

    Hidrologi.

  • Tabel 4. Karakteristik Iklim di Areal PT. Austral Byna

    BulanCurahHujan(mm)

    HariHujan(hari)

    Suhu(C)

    Kelembaban(%)

    KecepatanAngin(knot)

    Januari 294 19 26,1 85 0.23Pebruari 254 18 26,1 84 0,24Maret 285 19 26,1 85 0,3April 325 19 26,1 84 0.26Mei 283 19 26,8 45 0,2Juni 141 13 26,5 84 0,2Juli 170 14 26,9 85 0,2Agustus 105 11 26,2 83 0.23September 159 12 26,3 83 0,26Oktober 251 17 26,7 83 0,26Nopember 327 20 26,3 85 0,24Desember 321 22 26,3 85 0,24Jumlah 2.195 203 - - -Rata-rata 183 17 26,3 84,25 0,24

    Sumber: Stasiun Bandara Beringin, Muara Teweh (1992-2002)

    4.4. Keadaan Hutan

    Hutan areal PT. Austral Byna termasuk ke dalam hutan tropika basah

    daratan rendah. Bentuk vegetasinya merupakan areal berhutan primer, bekas

    tebangan dan non hutan dengan luasan seperti disajikan pada Tabel 5.

    Tabel 5. Luasan Setiap Bentuk Vegetasi di Areal PT. Austral Byna

    No. Bentuk Vegetasi LuasHa %1.

    2.

    3.

    Hutan Primer

    Hutan Bekas Tebangan

    Non Hutan

    -

    156.293

    132.240

    -

    53,10

    44,90Jumlah 294.600 100.00

    Keterangan: Pengukuran Planimetris Peta Penafsiran Potret Udara Tahun 1995dan Citra Landsat Tahun 2005. Hasil deliniasi citra landsat 2005(Juni & April) dikompilasi data Juli 2005 menghasilkan areal NonHutan menjadi 134.707 Ha dan eks tebangan 159.893 Ha.

  • Berdasarkan hasil inventarisasi dan penafsiran potret udara, Citra Landsat,

    hutan di areal PT. Austral Byna didominasi oleh jenis-jenis Meranti Merah

    (Shorea parvifolia Dyer), Nyatoh (Palaqium xantochyum), Bayan (Hopea

    bracteate bunck), Keladan (Dipterocarpus retusus BL), dan Kempas (Koompasia

    malaccensis maing), sedangkan pada areal bekas tebangan antara lain Keruing

    (Dipterocarpus grandiflorus blanco), Benuang (Costumile sumatrana), Meranti

    (Shorea ovalis BL), Lanan (Shorea reduso heim), Pampaning (Quencis beneti

    mig), Bangkirai (Hopea sp.).

  • V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Nilai T (Tolarable soil erosion)

    Nilai T (Tolarable Soil Erosion) adalah nilai laju erosi yang diperbolehkan

    per tahun. Nilai T (Tolarable Soil Erosion) perlu diketahui terlebih dahulu untuk

    mengetahui kelas kategori erosi pada semua lokasi pengukuran laju erosi.

    Berdasarkan penelusuran data sekunder diketahui bahwa jenis tanah yang

    dijadikan lokasi penelitian di PT. Austral Byna adalah jenis tanah podsolik merah

    kuning. Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang diukur dimulai

    dari permukaan tanah hingga akar tanaman bisa menembus tanah terdalam. Jenis

    tanah podsolik merah kuning memiliki kedalaman tanah efektif sedalam 180 cm.

    Kemudian data berikutnya yang diperlukan untuk menentukan nilai T antara lain

    kedalaman tanah minimum, umur pakai tanah, dan laju pembentukan tanah.

    Menurut Purwowidodo (1999) kedalaman tanah minimum pada jenis-jenis

    tumbuhan kehutanan adalah 7,5 cm, umur pakai tanah dan laju pembentukan pada

    jenis tanah podsolik merah kuning adalah 29.000 tahun dan 97 tahun.

    Tabel 6. Nilai T (Tolarable Soil Erosion)

    Jenis tanahKedalaman

    tanahsetara

    Kedalamantanahefektif

    UmurPakaiTanah

    LajuPembentukan

    Tanah

    Nilai T

    (Ton/Ha/Th)podsolikmerahkuning

    180 cm 7,5 cm 29.000 th 97 th 97,006

    Berdasarkan data Tabel 6, diketahui bahwa nilai T (Tolarable soil erosion)

    pada areal PT. Austral Byna adalah sebesar 97,006 ton/ha/tahun. Hal ini dapat

    dijadikan informasi jika disuatu lokasi pengukuran erosi memiliki laju erosi

    bernilai kurang dari 97,006 ton/ha/tahun maka lokasi pengukuran erosi tersebut

    tidak diperlukan suatu tindakan konservasi tanah. Laju erosi yang terjadi pada plot

    pengamatan lebih besar dari nilai T, maka diperlukan suatu tindakan konservasi

    tanah.

    5.2. Laju Erosi

    Pengukuran laju erosi pada PT. Austral Byna dilakukan dengan

    menggunakan dua cara, yaitu metode tongkat dan metode bak erosi. Metode bak

    erosi memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan

  • pengukuran metode tongkat erosi, namun untuk membuat satu bak erosi

    diperlukan investasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode tongkat.

    Untuk mencakup beberapa areal yang akan diteliti, maka pengukuran laju erosi di

    PT. Austral Byna dikombinasikan antara metode tongkat dengan metode bak

    erosi.

    Pengukuran laju erosi dengan menggunakan metode bak erosi dilakukan

    pada lima tempat, antara lain blok RKT 2008 TPTI, blok RKT 2007 TPTI di

    bawah tegakan, blok RKT 2007 TPTI bekas TPN, jalur tanam RKT 2007 TPTII,

    dan kawasan lindung.

    Pengukuran laju erosi dengan menggunakan metode tongkat dilakukan di

    jalan sarad dan dibawah tegakan pada RKT 2007 dan 2008 TPTI, kemudian pada

    jalur tanam dan jalur antara pada RKT 2007 TPTII/Silin, Kawasan lindung

    (KPPN), kawasan covercrop, dan crossdrain di RKT 2008 TPTI.

    Jalan sarad dapat mewakili kegiatan pemanenan, karena jalan sarad

    merupakan salah satu penghubung antara kegiatan penebangan dengan TPN.

    Untuk mengetahui keadaan diluar jalan sarad, maka dilakukan pengukuran di

    bawah tegakan. Pengukuran erosi dengan metode tongkat juga dilakukan pada

    jalur tanam dan jalur antara pada RKT 2007 TPTII. Hal ini dilakukan untuk dapat

    mengetahui perbedaan besar erosi yang disebabkan oleh perbedaan sistem

    silvikultur. Pengukuran erosi di kawasan lindung dilakukan sebagai kontrol dari

    tegakan-tegakan hutan lainnya yang sedang atau telah dilakukan kegiatan

    pemanenan kayu. Sedangkan pada kawasan covercrop dan crossdrain dilakukan

    untuk dijadikan referensi erosi jika kawasan ini telah tertutupi oleh tumbuhan

    bawah ataupun telah dilakukan kegiatan konservasi tanah.

    5.2.1. Laju Erosi di RKT 2008 TPTI

    Pada RKT 2008 TPTI dilakukan dengan dua metode pengukuran erosi,

    yaitu pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi dan metode tongkat.

    Pengukuran metode bak erosi dilakukan di bawah tegakan yang baru saja

    ditinggalkan kegiatan pemanenan kayu. Pengukuran metode tongkat dilakukan

    untuk mendukung data metode pengukuran bak erosi, adapun pengukuran metode

    tongkat dilakukan pada bekas jalan sarad dan di bawah tegakan.

    Hasil metode bak erosi menunjukkan bahwa laju erosi di RKT 2008 TPTI

    sebesar 27,81 ton/ha/tahun masih berada dibawah ambang batas toleransi erosi

  • yang diperbolehkan. Dalam mendukung hasil dari pengukuran metode tongkat di

    RKT 2008 TPTI maka telah diketahui bahwa laju erosi di RKT 2008 TPTI adalah

    244,87 ton/ha/tahun untuk lokasi di bawah tegakan, dan 169,32 ton/ha/tahun

    untuk lokasi di bekas jalan sarad akibatnya pengukuran metode tongkat berada

    diatas ambang toleransi erosi yang diperbolehkan.

    Dari hasil tersebut diketahui bahwa berdasarkan indeks bahaya erosi (IBE)

    RKT 2008 TPTI masuk ke dalam kategori erosi rendah. Berdasarkan kelas bahaya

    erosi (KBE) RKT 2008 TPTI masuk ke dalam kategori ringan.

    Laju erosi di RKT 2008 TPTI mengakibatkan beberapa sungai yang

    melalui lokasi ini terancam kualitas dan keberadaannya. Hal ini dapat dibuktikan

    melalui pengukuran sedimen sungai Pari dan sungai Membung yang melewati

    lokasi ini. Rata-rata konsentrasi sedimen yang ada di sungai Pari adalah 229,17

    g/liter atau 0,23 kg/liter dan di sungai Membung sebesar 145,83 g/liter atau sekitar

    0,15 kg/liter. Mengetahui besar sedimen yang ada di sungai-sungai ini, maka perlu

    dilakukan upaya penanganan laju erosi yang serius agar sungai-sungai ini terjamin

    kelestariannya.

    5.2.2. Laju Erosi di RKT 2007 TPTI

    Pada Laju erosi di RKT 2007 TPTI dilakukan dua metode pengukuran

    erosi, yaitu pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi dan metode

    tongkat. Pengukuran metode bak erosi dilakukan dibawah tegakan yang telah

    ditinggalkan kegiatan pemanenan kayu dan di bekas TPN. Pengukuran metode

    tongkat dilakukan untuk mendukung data metode pengukuran bak erosi,

    pengukuran metode tongkat dilakukan pada bekas jalan sarad dan di bawah

    tegakan.

    Hasil metode bak erosi menunjukkan bahwa laju erosi di RKT 2007 TPTI

    yang berada dibawah tegakan sebesar 1,7 ton/ha/tahun dan bak erosi yang berada

    di bekas TPN adalah 16,75 ton/ha/tahun. Laju erosi dari pengukuran metode

    tongkat di RKT 2007 TPTI adalah 293,07 ton/ha/tahun untuk lokasi di bawah

    tegakan, dan 188,55 ton/ha/tahun untuk lokasi di bekas jalan sarad.

    Dari hasil tersebut diketahui bahwa laju erosi pada RKT 2007 TPTI berada

    dibawah ambang batas toleransi erosi yang diperbolehkan, yaitu 97,006

    ton/ha/tahun. Berdasarkan indeks bahaya erosi (IBE) RKT 2007 TPTI masuk ke

  • dalam kategori rendah, sedangkan berdasarkan kelas bahaya erosi (KBE) RKT

    2007 TPTI masuk ke dalam kategori ringan.

    Akibat laju erosi di RKT 2007 TPTI, sungai Mahang yang melalui lokasi

    ini dapat terancam kualitas dan keberadaannya. Hal ini dapat dibuktikan melalui

    pengukuran sedimen pada sungai Mahang. Rata-rata konsentrasi sedimen yang

    ada di sungai Mahang 125 g/liter atau 0,125 kg/liter. Mengetahui besar sedimen

    yang ada di sungai ini, maka perlu dilakukan upaya penanganan laju erosi yang

    cukup serius agar sungai Mahang dapat dilestarikan.

    5.2.3. Laju Erosi di RKT 2007 TPTII

    Laju erosi di RKT 2007 TPTII juga dilakukan dua metode pengukuran

    erosi, yaitu pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi dan metode

    tongkat. Pengukuran metode bak erosi dilakukan di jalur tanam dan untuk

    mendukung data metode bak erosi, maka dilakukan pengukuran metode tongkat

    pada dua kategori, yaitu di jalur tanam dan jalur antara.

    Hasil pengukuran metode bak erosi menunjukkan bahwa laju erosi di RKT

    2007 TPTII sebesar 4,76 ton/ha/tahun dan laju erosi dari pengukuran metode

    tongkat di RKT 2007 TPTII adalah 457,31 ton/ha/tahun untuk lokasi di jalur

    antara dan 383,05 ton/ha/tahun di jalur tanam.

    Dari hasil tersebut diketahui bahwa laju erosi pada RKT 2007 TPTII

    berada dibawah ambang batas toleransi erosi yang diperbolehkan. Berdasarkan

    indeks bahaya erosi (IBE) RKT 2007 TPTII masuk ke dalam kategori erosi yang

    rendah. Berdasarkan kelas bahaya erosi (KBE) RKT 2007 TPTII masuk ke dalam

    kategori sangat ringan.

    Dampak dari laju erosi di RKT 2007 TPTII mengakibatkan sungai Jupoi

    yang melalui lokasi ini dapat terancam kualitas dan keberadaannya. Hal ini dapat

    dibuktikan melalui pengukuran sedimen pada sungai Jupoi. Rata-rata konsentrasi

    sedimen yang ada di sungai Jupoi adalah 104,17 g/liter atau 0,1 kg/liter.

    Mengetahui besar sedimen yang ada di sungai ini, maka perlu dilakukan upaya

    penanganan laju erosi yang serius agar sungai Jupoi terjamin kelestariannya.

    5.2.4. Laju Erosi di Kawasan Lindung

    Laju erosi di kawasan lindung juga dilakukan dua metode pengukuran

    erosi, yaitu pengukuran dengan menggunakan metode bak erosi dan metode

  • tongkat. Pengukuran metode bak erosi dan metode tongkat sama-sama dilakukan

    di bawah tegakan.

    Berdasarkan metode bak erosi, laju erosi di kawasan lindung sebesar 1,19

    ton/ha/tahun dan laju erosi dari pengukuran metode tongkat di kawasan lindung

    adalah 167,93 ton/ha/tahun.

    Dari hasil tersebut diketahui bahwa laju erosi di kawasan lindung belum

    melewati ambang batas toleransi erosi yang diizinkan. Berdasarkan indeks bahaya

    erosi (IBE) kawasan lindung masuk ke dalam kategori erosi yang rendah.

    Berdasarkan kelas bahaya erosi (KBE) kawasan lindung masuk ke dalam kategori

    sangat ringan.

    5.2.5. Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan

    Dari dua metode pengukuran laju erosi dihasilkan data seperti pada

    Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Laju erosi pada RKT 2008 TPTI menjadi

    yang terbesar pada metode pengukuran bak erosi yaitu 27,81 ton/ha/tahun,

    sedangkan RKT 2007 TPTII menjadi yang terbesar pada pengukuran metode

    tongkat sebesar 457,31 ton/ha/tahun.

    Gambar 6 Laju erosi pada metode pengukuran bak erosi.

    Gambar 6 menunjukkan laju erosi di berbagai tempat berdasarkan tahun

    kegiatan pemanenan. Pada keadaan normal semakin baru kegiatan pemanenan

    kayu maka laju erosi juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh keterbukaan

    areal hutan akibat kegiatan penebangan. Menurut Kurniawan (2009), satu batang

    pohon yang dipanen pada RKT 2008 TPTI di PT. Austral Byna dapat membuka

    areal hutan seluas 196,85 m/pohon, sehingga semakin banyak pohon yang

    1,19

    4,76

    1,70

    16,75

    27,81

    0,00

    5,00

    10,00

    15,00

    20,00

    25,00

    30,00

    KawasanLindung

    RKT 2007 TPTII RKT 2007 TPTIDi BawahTegakan

    RKT 2007 TPTIDi Bekas TPN

    RKT 2008 TPTI

    Ton/ha/tahun

  • ditebang maka semakin luas pula hutan yang terbuka. Keterbukaan areal ini

    menyebabkan tanah tidak terlindungi oleh vegetasi, akibatnya air hujan dapat

    dengan mudah jatuh ke permukaan tanah. Air hujan yang jatuh tanpa terhalang

    oleh daun dan batang pohon mempunyai energi kinetik yang besar sehingga ketika

    tanah terkena air hujan maka tanah dengan mudah terpecah dan proses terjadinya

    erosi pun dimulai.

    Ketidak normalan data terjadi pada lokasi RKT 2007 TPTII, dimana laju

    erosi pada RKT 2007 TPTII lebih besar dibandingkan RKT 2007 TPTI. Hal ini

    diakibatkan oleh perbedaan sistem silvikultur yang digunakan di lokasi ini. Sistem

    silvikultur TPTII terdiri dari dua jalur yang membentang dari utara hingga selatan,

    yaitu jalur tanam dan jalur antara. Jalur tanam merupakan suatu bentuk rekayasa

    lingkungan dimana pada jalur tersebut memiliki lebar 3 meter dan harus terkena

    cahaya matahari penuh, sehingga jalur tersebut harus bersih dari tumbuh-

    tumbuhan. Jalur antara adalah jalur yang dibiarkan tumbuh normal disamping

    jalur tanam dan memiliki lebar 17 meter.

    Bak erosi RKT 2007 TPTII berada pada jalur tanam. Jalur yang telah

    bersih dari tumbuh-tumbuhan menyebabkan tanah tidak terlindungi dari besarnya

    energi kinetik air hujan, akibatnya tanah lebih mudah terpecah dan tererosi.

    Gambar 7 Laju erosi pada metode tongkat di jalan sarad dan jalur tanam.

    Gambar 7 menunjukkan laju erosi pada pengukuran tongkat di jalan sarad

    dan jalur tanam, kemudian dibandingkan dengan laju erosi di kawasan lindung.

    Berdasarkan tata waktu kegiatan pemanenan kayu seharusnya RKT 2008 TPTI

    memiliki laju erosi yang lebih besar dibandingkan pada lokasi RKT 2007 TPTII

    167,93

    383,05

    188,55 169,32

    050

    100150200250300350400450

    Kawasan Lindung RKT 2007 TPTII JalurTanam

    RKT 2007 TPTI DiJalan Sarad

    RKT 2008 TPTI DiJalan Sarad

    Ton/ha/tahun

  • dan RKT 2007 TPTI. Pertama, hal ini dapat disebabkan pada lokasi RKT 2007

    TPTII memiiki sistem silvikultur yang berbeda dengan sisitem silvikultur TPTI.

    Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sistem silvikultur TPTII terdiri dari dua

    jalur yang membentang dari utara hingga selatan, yaitu jalur tanam dan jalur

    antara sehingga erosi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan sistem tebang

    pilih. Kedua, jalan sarad di PT. Austral Byna tidak terlalu terbuka penutupan

    tajuknya, sehingga air hujan yang jatuh tidak langsung menyentuh tanah

    melainkan menyentuh daun dan batang terlebih dahulu akibatnya kekuatan air

    dalam menumbuk tanah menjadi jauh berkurang. Ketiga, jalan sarad di PT.

    Austral Byna sudah terlalu padat, sehingga laju erosi menjadi lebih kecil namun

    aliran permukaan menjadi lebih besar dibandingkan saat jalan sarad pertama

    ditinggalkan.

    Dibandingkan dengan RKT 2008 TPTI seharusnya RKT 2007 TPTI

    memiliki laju erosi yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor

    kelerengan yang ada pada kedua lokasi pengukuran. Meskipun sama-sama berada

    di jalan sarad, namun dinilai panjang lereng di RKT 2007 TPTI lebih besar

    dibandingkan dengan lokasi pada RKT 2008 TPTI sehingga erosi yang terjadi pun

    semakin besar.

    Gambar 8 Laju erosi pada metode tongkat di bawah tegakan dan jalur antara.

    Sama seperti pada lokasi di jalur tanam dan jalan sarad, lokasi pengukuran

    di jalur antara dan di bawah tegakan juga memiliki bentuk grafik yang mirip.

    Umumnya perbedaan laju erosi di atas disebabkan oleh perbedaan sistem

    silvikultur. Sistem TPTII memiliki limit diameter yang dapat ditebang diatas 40

    167,93

    457,31

    293,07244,87

    050

    100150200250300350400450500

    Kawasan Lindung RKT 2007 TPTII JalurAntara

    RKT 2007 TPTI Dibawah Tegakan

    RKT 2008 TPTI Dibawah Tegakan

    Ton/ha/tahun

  • cm, sedangkan pada TPTI memiliki limit diameter diatas 60 cm untuk hutan

    produksi terbatas dan limit diameter diatas 50 cm untuk hutan produksi tetap

    sehingga sistem TPTII memiliki lebih banyak kesempatan untuk memanen kayu

    akibatnya keterbukaan pada sistem TPTII menjadi lebih besar. Seperti yang telah

    dijelaskan sebelumnya bahwa semakin besar hutan yang terbuka maka laju erosi

    akan semakin besar.

    Sama seperti laju erosi di jalan sarad, laju erosi pada lokasi di bawah

    tegakan juga ternyata banyak dipengaruhi oleh faktor kelerengan. Meskipun

    sama-sama berada di bawah tegakan, namun dapat dinilai bahwa RKT 2007 TPTI

    memiliki panjang lereng yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi pada RKT

    2008 TPTI sehingga erosi yang terjadi pun semakin besar.

    Gambar 9 Laju erosi pada metode pengukuran tongkat.

    Gambar 9 menunjukkan laju erosi pada pengukuran tongkat disetiap lokasi

    pengukuran metode tongkat. Ternyata laju erosi pada RKT 2007 TPTII jalur

    antara lebih besar dibandingkan dengan di jalur tanamnya. Hal ini dapat

    disebabkan oleh kepadatan pada jalur tanam dan terdapat banyak serasah pada

    jalur tanam. Kepadatan tanah pada jalur tanam diakibatkan oleh manusia saat

    melakuan kegiatan penyiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman silin.

    Serasah yang menutupi tanah dihasilkan dari pohon-pohon yang berada disekitar

    jalur tanam akibat dari kedua faktor ini adalah air hujan yang jatuh sulit untuk

    memecah agregat-agregat tanah, akibatnya proses erosi tidak banyak terjadi.

    457,31

    383,05

    293,07244,87

    188,55 169,32 167,93

    050

    100150200250300350400450500

    RKT 2007TPTII Jalur

    Antara

    RKT 2007TPTII Jalur

    Tanam

    RKT 2007TPTI Dibawah

    Tegakan

    RKT 2008TPTI Dibawah

    Tegakan

    RKT 2007TPTI Di

    Jalan Sarad

    RKT 2008TPTI Di

    Jalan Sarad

    KawasanLindung

    Ton/ha/tahun

  • 5.3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi

    5.3.1. Curah hujan

    Secara langsung, hujan dengan intensitas yang tinggi dapat berpengaruh

    sangat nyata akan terjadinya proses erosi tanah. Menurut Arsyad (2000), ada tiga

    komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah,

    intensitas dan distribusi hujan.

    Jumlah curah hujan yang ada di PT. Austral Byna antara bulan Juli sampai

    September dapat dilihat pada Tabel 7.

    Tabel 7. Curah hujan rata-rata

    Stasiun Curah hujan rata-rata (mm)Pengamatan Juli Agustus September

    Sikui 22,76 13,44 51,58Jupoi 22,83 8,67 12

    Mahang 13,4 15,36 0

    Berdasarkan pengamatan setiap hari hujan, diperoleh data rata-rata curah

    hujan dari stasiun pengamatan Sikui antara bulan Juli sampai September adalah

    22,76 mm, 13,44 mm, dan 51,58 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan dari

    stasiun pengamatan Jupoi antara bulan Juli sampai September adalah 22,83 mm,

    8,67 mm, dan 12 mm. Rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Mahang

    pada bulan September adalah nol, karena tidak ditemukan sama sekali hujan

    selama pengamatan pada bulan tersebut. Sedangkan rata-rata curah hujan dari

    stasiun pengamatan Mahang pada bulan Juli dan Agustus adalah 13,4 mm dan

    15,36 mm.

    Pengambilan data curah hujan dilakukan pada tiga stasiun pengamatan,

    antara lain stasiun pengamatan Sikui, Jupoi dan Mahang. Stasiun pengamatan

    Sikui mewakili basecamp Sikui, sedangkan stasiun pengamatan Jupoi dapat

    mewakili sungai Jupoi, RKT 2007 TPTII, dan kawasan lindung, sedangkan

    stasiun pengamatan curah hujan yang ada di Mahang dapat mewakili RKT 2007

    dan RKT 2008 TPTI. Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa distribusi

    hujan yang dominan di PT. Austral Byna adalah stasiun pengamatan Sikui dan

    diikuti oleh Jupoi dan Mahang. Distribusi hujan yang cukup besar didaerah Jupoi

    mengakibatkan laju erosi di RKT 2007 TPTII menjadi yang tertinggi menurut

    metode tongkat, yaitu 457,31 ton/ha/tahun.

  • Gambar 10 Curah hujan rata-rata.

    PT. Austral Byna mempunyai intensitas curah hujan yang tinggi dengan

    persebaran yang hampir merata sepanjang tahun, artinya tidak terjadi musim

    kemarau atau bulan kering yang panjang. Jumlah hari hujan rata-rata bulanan

    terjadi dalam bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Maka dari itu,

    pengukuran curah hujan yang dilakukan pada bulan Juli hingga September tidak

    begitu besar curah hujannya.

    5.3.2. Vegetasi

    Selain curah hujan, penutupan berupa vegetasi juga sangat berpengaruh

    terhadap laju erosi. Jenis penutupan vegetasi yang mendominasi di PT. Austral

    Byna adalah hutan alam dengan strata yang berlapis-lapis. Laju erosi yang berada

    di kawasan lindung adalah suatu contoh nyata bahwa hutan alam dapat

    meminimalisir laju erosi.

    Saat terjadi hujan, suatu lahan yang tidak dilindungi oleh vegetasi dapat

    dengan sangat mudah tererosi. Menurut Rahim (2003), erosi bisa terjadi apabila

    intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap

    air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara rinci bisa dijelaskan melalui tiga

    tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah dan pelepasan partikel. Kedua,

    pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga, pengendapan tanah akibat aliran air

    tidak mampu lagi mengangkut tanah.

    Berdasarkan hasil penelitian Holy (1980) dalam Santosa (1985)

    mengemukakan bahwa hutan dengan tajuk lebat, tumbuhan bawah yang baik, dan

    serasah yang tidak terganggu sangat mempengaruhi terjadinya aliran permukaan

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    Juli Agustus September

    mm

    Bulan

    Sikui

    Jupoi

    Mahang

  • dan erosi. Pada keadaan hutan seperti itu aliran permukaan tidak lebih dari 10%

    dari total hujan dan tidak terjadi erosi.

    Pada PT. Austral Byna, khususnya di RKT 2008 TPTI sedang dilakukan

    kegiatan pemanenan kayu. Pemanenan kayu idealnya dilakukan dengan berbagai

    perencanaan yang matang, dimulai dari peta pohon, perencanaan jalan sarad, dan

    lain-lain. Namun di PT. Austral Byna hal ini baru saja dilakukan, akibatnya lokasi

    yang telah dipanen memiliki keterbukaan sebesar 196,85 m/pohon (Kurniawan,

    2009). Kebalikan kondisi yang diharapkan dari hasil penelitian Holy (1980) dalam

    Santosa (1985) ini menyebabkan laju erosi yang sangat besar di RKT 2008 TPTI.

    RKT 2007 TPTI adalah blok yang telah ditinggalkan selama setahun sehingga

    terjadi sedikit proses suksesi dan tajuknya lebih rapat jika dibandingkan RKT

    2008 TPTI.

    Lain halnya dengan sistem silvikultur TPTI, sistem silvikultur TPTII

    memiliki 2 buah jalur yang wajib ada, yaitu jalur tanam dan jalur antara. Jalur

    tanam memiliki syarat bahwa sepanjang jalur tanam diharuskan bersih dari tajuk,

    sehingga lantai hutan dapat disinari oleh matahari penuh. Tetapi jika jalur ini

    terkena hujan, maka erosi yang terjadi pun akan menjadi besar. Berbeda dengan

    sistem silvikultur TPTI dan TPTII, kawasan lindung khususnya KPPN berfungsi

    sebagai kawasan yang sengaja ditinggalkan demi terjaganya plasma nutfah. Oleh

    karena itu kawasan lindung memiliki strata tajuk yang lengkap dibandingkan yang

    lain sehingga laju erosi di kawasan lindung menjadi yang terkecil.

    Gambar 11 Keterbukaan areal

    Gambar 11 menunjukkan keterbukaan areal hutan diberbagai lokasi. RKT

    2008 TPTI memiliki keterbukaan areal terkecil kemudian diikuti RKT 2007

    1353

    1521

    1398

    1451

    1250

    13