Download - Blok 11 UP 5
Blok 11 UP 5 *
Unit Pembelajaran 5
Learning Objectives:
Mengetahui Etiologi, Gejala Klinis, Pathogenesis, Perubahan Patologi anatomi dan Klinis,
Diagnosa Klinis, Pencegahan dan Pengobatan, serta Kerugian yang Ditimbulkan dari
Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease)
Pembahasan Learning Objectives:
I. ETHIOLOGI PENYAKIT MULUT DAN KUKU
Penyakit mulut dan kuku, atau sering disebut PMK, adalah salah satu penyakit menular
pada hewan dan sangat ditakuti oleh hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara
pengekspor ternak dan produk ternak. Indonesia pertama kali tertular PMK pada tahun 1887
di daerah Malang, Jawa Timur. Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK di Indonesia
terus dilakukan sejak tahun 1974 hingga 1986. Pada tahun 1990, penyakit tersebut benar-
benar dinyatakan hilang dan secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan
Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE). Keberhasilan
Indonesia bebas dari PMK merupakan hasil kerja keras berbagai pihak dalam
penanggulangan wabah PMK serta didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa
kepulauan sehingga memudahkan dalam melokalisasi penyakit ini (Adjid, 2004).
Pada umumnya PMK menyerang hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, babi, gajah, jerapah, dan menjangan. Penyebab PMK adalah virus family
Picornaviridae, genus apthovirus. Aphthovirus memiliki diameter 23 nm. Serotipe virus ini
ada 7 yaitu O, A, C, SAT (Southern African Territories) 1, SAT2, SAT3 dan Asia 1, (Hirsh,
1999). Virus ini berbentuk icosahedral, non-enveloped, ssRNA, kapsid terdiri dari 60 subunit
identik, setiap subunit terdiri dari 4 protein utama yaitu VP1, VP2, VP3 dan VP4. VP4
terletak di permukaan dalam dari kapsid, (Quinn, 2001).
Virus ini inaktif pada pemanasan lebih dari 50oC, sensitif terhadap asam (pH kurang
dari 6,5), sensitif terhadap alkalin (pH lebih dari 11), namun resisten terhadap ether dan
chloroform, (Hirsh, 1999). Biasanya menyerang sapi, kambing, domba, babi, kerbau yang
didomestikasi, kerbau Afrika, gajah, landak, kijang dan antelope, (Quinn, 2001).
II. GEJALA KLINIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU
A. Sapi
Setelah masa inkubasi 2-8hari, terjadi demam, hilangnya nafsu makan, depresi, dan
anjloknya produksi susu. Dalam waktu 24jam, leleran air liur mulai terjadi, dan terbentuk
vesikel pada lidah dan gusi. Hewan membuka dan menutup mulutnya disertai suara
melenguh yang khas. Vesikel juga terdapat pada kulit diantara jari dan pita koroner dari
kuku dan pada putting. Vesikel segera pecah dan menghasilkan lesi ulserative terbuka
yang besar. Lesi pada lidah seringkali sembuh dalam beberapa hari, tetapi yang pada
kaki dan rongga hidung sering terinfeksi sekunder oleh bakteri yang mengakibatkan
kelemasan yang berkepanjangan dan pengeluaran ingus yang kental (Fenner, 1995).
B. Babi
Pada babi tanda awal sering berupa kelemasan. Lesi pada kaki dapat serius dan
terasa sakit sehingga menyusahkan babi untuk berdiri. Daerah yang terkelupas diantara
kuku biasanya terinfeksi oleh bakteri. Vesikel pada mulut biasanya kurang kentara
dibandingkan dengan pada sapi walaupun vesikel yang besar, yang pecah dengan cepat,
sering timbul pada cungur (Fenner, 1995).
C. Hewan Lain
Penyakit klinis pada domba, kambing, dan ruminansia liar biasaya lebih ringan
ketimbang pada sapid an dicirikan oleh lesi pada kaki yang disertai oleh kelemasan
(Fenner, 1995).
III. PATHOGENESIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU
Walaupun infeksi biasanya melalui inhalasi, virus dapat juga masuk ke jaringan melalui
saluran pencernaan, inseminasi, inokulasi dan kulit yang abrasi. Replikasi virus pertama kali
terjadi di mukosa faring dan jaringan limfatik faring. Kemudian terjadi fase viremia dan
replikasi lebih lanjut di nodus limfatikus, glandula mammae, organ lain seperti sel epitel
mulut, moncong, puting susu, rongga interdigitalis dan coronary band. Pada area epitel
skuamus bertingkat, pembentukan vesikel adalah hasil dari pembengkakan dan pecahnya
keratinocytes pada stratum spinosum, (Quinn, 2001).
Ada 3 macam bentuk PMK : bentum dermo-stomatitis yang benigna, bentuk
intermediate toxic lebih berat, dan bentuk ganas yang menginfeksi myocardium dan otot
skelet. Pada PMK ganas, dimulai dengan gejala-gejala berat, suhu tubuh tinggi, sangat lesu,
pulsus dan respirasi cepat dan mati. Gejala ini nampak pada hari ke 6-7 di saat kesembuhan
seharusnya terjadi. Dalam keadaan ini jantung mengalami pembesaran, otot melunak, dna
bergaris-garis berwarna putih atau kuning dikenal dengan “tiger heart atau jantung macan”
(Subronto, 2003).
Lesi epitel dapat terjadi akibat pembentukan vesikel karena lisisnya sel terinfeksi yang
membengkak dengan pelepasan cairan intraseluler, edema intraseluler dan keluarnya cairan
edema tanpa pembentukan vesikel. Pada FMD malignant, virus menginfeksi otot jantung,
menyebabkan degenerasi dan nekrosis otot jantung, (Hirsh, 1999).
Lesi pada mulut menyebabkan berkurangnya konsumsi pakan, kehilangan berat badan
dan kurus, (Hirsh, 1999). Pecahnya vesikel pada rongga interdigitalis dan coronary band
menyebabkan hewan malas bergerak. Ulser dapat disembuhkan dengan cepat namun
mungkin ada infeksi bakterial sekunder yang memperpanjang proses keradangan. Hewan
dewasa jarang yang terinfeksi hingga mati, namun hewan muda mungkin mati akibat
myocarditis akut. Walaupun virus tidak melewati plasenta, abortus dapat terjadi akibat
respons pyrexial, (Quinn, 2001).
Didalam skenario dikatakan bahwa ada daging kerbau illegal yang masuk ke kampung
Pak Tono. Hal tersebut berhubungan dengan menularnya virus PMK. Karena virus ini dapat
menular lewat makanan beku yang mengandung tulang atau kelenjar limfe. Sebenarnya, virus
PMK ini dalam daging akan menjadi inaktif (mati) saat terjadi pelayuan daging. Ketika pH
daging menjadi asam, namun virus yang berada dalam sumsum tulang dan kelenjar limfe
masih tetap hidup. Oleh karena itu, beberapa negara mensyaratkan pengiriman daging dari
negara tertular PMK tidak boleh mengandung sumsum tulang dan kelenjar limfe. Namun,
mengenai dapat masuknya daging illegal ke Indonesia itu dikarenakan lemahnya system
hukum dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sendiri, (Soeharsono, 2005).
IV. PERUBAHAN PATOLOGI ANATOMI DAN KLINIS PENYAKIT MULUT DAN
KUKU
Perubahan patologi anatomi secara makroskopis ditandai dengan adanya vesikel (lepuh-
lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan limfe dan ulcer pada rongga mulut, lidah
sebelah atas, bibir sebelah dalam, gusi, langit-langit, lekukan antara tracak kaki dan di
ambing susu, (Ressang, 1984).
Perubahan patologi anatomi secara mikroskopis ditandai dengan adanya edema inter
dan intraseluller pada stratum spinosum. Namun, jika vesikulanya sudah pecah maka semua
penyakit vesikuler memiliki gambaran mikroskopi yang mirip sehingga tidak dimungkinkan
untuk mendiagnosa penyakit PMK hanya berdasar gambaran mikroskopi. Terlihat pula
adanya degenerasi lemak pada serabut-serabut di jantung. Selain itu pada serabut-serabut juga
terlihat degenerasi hialin dan vakuoler, nekrobiosa, nekrosa, dan kadang-kadang terlihat
perkapuran Degenerasi hialin sampai nekrosis pada dinding ventrikel kiri menyebabkan
perubahan warna dari suram sampai kelabu putih yang tidak merata. Jantung menjadi belang
menyerupai harimau sehingga sering disebut juga dengan tiger heart, (Ressang, 1984).
Pict.2
Perubahan patologi klinis berupa anemia normositik normokromik, dengan anisositosis,
basofilia, PCV turun, Hb turun. Pada saat demam leukopenia (terutama limfosit, jumlah
leukosit turun sampai 2000/ml), eosinofil dan tronbosit hilang dari peredaran. Uremia, TPP
turun, BUN naik.
V. DIAGNOSA KLINIS PENYAKIT MULUT DAN KUKU
Virus dari sampel klinik (cairan vesikel, dll.) dapat dipropagasi dalam kultur sel atau
hewan laboratorium kemudan dilanjutkan karakterisasi fisiokemikal dan uji serologis dengan
CF (complement fixation), viral neutralization, ELISA, Fluorescent Antibody (FA) dan Agar
Gel Immunodiffusion (AGID). Antigen viral dapat diidentifikasi langsung dari jaringan via
CF, AGID, FA dan ELISA. Mikroskop Elektron (EM) dan mikroskop immuno-EM dapat
digunakan untuk diagnosis cepat. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk
identifikasi materi genomik, (Hirsh, 1999).
VI. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT MULUT DAN KUKU
Penyakit PMK pada hewan umumnya sembuh spontan tanpa pengobatan. Di daerah
endemik, pengobatan hanya ditujukan untuk infeksi sekunder oleh bakteria. Ada beberapa
tindakan pencegahan, pengendalian, dan pengobatan terhadap wabah PMK, tergantung pada
perkiraan besarnya kerugian yang akan dialami dan kemampuan suatu negara.
Inggris melakukan tindakan stamping out, yaitu membunuh hewan tertular dan hewan
lain yang berdekatan, kemudian mengubur bangkainya di daerah peternakan tersebut.
Sementara itu, lalu lintas hewan ditutup dan kandang tempat ternak sebelumnya didesinfeksi
dengan larutan asam atau basa tertentu.
Di Indonesia, tindakan drastis seperti ini sulit dilakukan karena mendapat tentangan
dari masyarakat pemilik hewan, seperti pernah terjadi di Bali sekitar tahun 1972. Pemerintah
memilih cara vaksin massal terhadap semua hewan peka PMK selama tiga tahun berturut-
turut di pulau tertular. Vaksin yang digunakan untuk mencegah wabah PMK adalah vaksin
inaktif dari galur virus yang sesuai.
Upaya pemberantasan dan pembebasan PMK di Indonesia terus dilakukan sejak tahun
1974 hingga 1986. Pada tahun 1990, penyakit tersebut benar-benar dinyatakan hilang dan
secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia atau
Office International des Epizooties (OIE). Keberhasilan Indonesia bebas dari PMK
merupakan hasil kerja keras berbagai pihak dalam penanggulangan wabah PMK serta
didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga memudahkan
dalam melokalisasi penyakit ini (Partadiredja, 1985).
Apabila PMK masuk kembali ke Indonesia, penyakit tersebut akan menyebabkan
kerugian ekonomi yang sangat besar, bukan hanya karena mengancam kelestarian populasi
ternak di dalam negeri, tetapi juga mengakibatkan hilangnya peluang ekspor ternak dan hasil
ternak. Oleh karena itu, setelah mengetahui situasi perkembangan terjadinya wabah PMK di
dunia dan pola penularan antar negara serta mengidentifikasi hewan, produk olahan yang
dapat berperan dalam sebagai media penyebaran PMK, maka diberlakukan langkah-langkah
antisipasi pencegahan masuknya PMK. Langkah-langkah tersebut dirumuskan oleh
Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan berupa :
A. Memonitor secara terus menerus perkembangan situasi PMK didunia dengan
membentuk Pusat Pemantauan Krisis PMK. Yang bertugas menghimpun informasi dan
menganalisa resiko ancaman bagi Indonesia dan menyampaikan ke pembuat keputusan
dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan.
B. Mengadakan pengawasan pemasukan komoditi yang berasal dari luar negeri yang dapat
berperan sebagai media pembawa PMK, dengan cara penetapan pelarangan komoditi
masuk/di impor ke Indonesia dari negara yang tertular PMK.
C. Menggerakkan kesiagaan dan pengetatan pengawasan di pintu-pintu masuk (airport,
seaport dan kantor pos) oleh petugas karantina.
D. Berkoordinasi dengan instansi terkait yang terlibat dalam pengawasan komoditi
perdagangan seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pengawas
Obat dan Makanan, Bea & Cukai, dll
E. Menginformasikan setiap ada kebijakan atau keputusan pelarangan masuk komoditi
hewan, produk hewan dan benda lain dari luar negeri, ke berbagai pihak yang
berkepentingan, termasuk pelaku ekonomi agar masyarakat dapat memahami dan pada
gilirannya diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan masuknya
PMK ke wilayah RI (Partadiredja, 1985).
VII. KERUGIAN YANG DITIMBULKAN DARI PENYAKIT MULUT DAN KUKU
PMK akan mendatangkan kerugian yang cukup besar karena hal-hal berikut ini, (Adjid,
2004):
A. Penurunan produktivitas kerja ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak
penderitan PMK akan menurun.
B. Penurunan bobot hidup. Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah
dan menelan pakan, bahkan pada kasus yang sangat parah, ternak tidak dapat makan
sama sekali. Akibatnya, cadangan energi tubuh akan terpakai terus hingga akhirnya
bobot hidup menurun dan ternak menjadi
lemas.
C. Gangguan fertilitas. Ternak produktif yang terserang PMK akan kehilangan kemampuan
untuk melahirkan setahun setelah terserang penyakit tersebut. Ternak baru dapat
beranak kembali setelah dua tahun kemudian. Jika pada awalnya seekor ternak mampu
beranak lima ekor, karena penyakit ini
kemampuan melahirkan menurun menjadi tiga ekor atau kemampuan menghasilkan
anak menurun 40%.
D. Kerugian ekonomi akibat penutupan pasar hewan dan daerah tertular. Dalam keadaan
terjadi serangan PMK, seluruh kegiatan di pasar hewan dan rumah pemotongan hewan
(RPH) ditutup. Akibatnya, pekerja di pasar hewan dan RPH, pedagang ternak, serta
pengumpul rumput akan kehilangan mata pencaharian selama jangka waktu yang tidak
menentu.
E. Hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan hewan, dan pakan.
Daftar Pustaka
Adjid. 2004. Mengenal Lebih Jauh Penyakit Mulut dan Kuku
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ publikasi/wr266046.pdf diakses pada tanggal
10/05/2011
Fenner, Fransk J. 1995. Edisi Kedua Virologi Veteriner. California: Academic Press.
Hirsh, D. C., Zee, Y. C. 1999. Veterinary Microbiology. London: Blackwell Science, Inc.
Partadiredja, Danuwidjaja D. dkk. 1985. Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia Berbagai
Aspek Dan Pengendaliannya. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan.
Quinn, P.J, et all. 2001. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. London: Blackwell
Science, Inc.
Soeharsono. 2005. Zoonosis Volume 2 Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Blok 11 UP 4 *
Unit Pembelajaran 4
Learning Objective:
Mengetahui Etiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Patologi Anatomi dan Patologi Klinis,
Diagnosa, serta Pencegahan dan Pengobatan dari Penyakit Leptospirosis
Pembahasan Learning Objective:
I. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS
Leptospira merupakan anggota famili Leptospiraceae. Genus Leptospira memiliki dua
spesies: L. biflexa yang beranggotakan seluruh leptospira apatogenik, dan L.
interrogans yang mewakili spesies patogenik. Berdasarkan variasi antigen
permukaan, L. interrogans disubklasifikasi menjadi lebih dari 100 serovar dalam 19
serogrup (Kayser, 2005). Spesies leptospira (genospesies) sekarang diklasifikasikan
berdasarkan homologi DNA. L. borpetersenii, L. fainei, L. inadai, L. interrogans
sensu stricto, L. kirschneri, L. meyeri, L. noguchi, L. santarosai, L. alexanderi dan L.
weilii dikenal sebagai spesies yang patogen (Quinn, 2002).
Leptospira memiliki panjang 10-20 μm dan tebal 0,1-0,2 μm. Mereka tidak memiliki
flagella, tetapi bisa bersifat motil karena menggunakan pergerakan rotasi dari badan
selnya. Visualisasi leptospira paling baik dilakukan menggunakan teknik mikroskopis
medan gelap (dark field) atau fase kontras (phase contrast). Leptospira dapat tumbuh
pada medium kultur khusus dengan kondisi aerobik pada suhu antara 27-300C
(Kayser, 2005).
Leptospira patogen diklasifikasikan menjadi satu spesies yaitu Leptospira interrogans
yang beranggotakan 212 serovar yang dikelompokkan dalam 23 serogrup, contohnya
L. interrogans serovar pomona. Diferensiasi antar serovar (dahulu disebut serotipe)
didasarkan pada cross-agglutination test.
Serovar merupakan tipe pembagian (klasifikasi) paling kecil yang didasarkan pada uji
serologis. Penamaan serovar ditulis dengan huruf kecil semua, contohnya serovar
pomona. Nama serovar dahulu ditulis italic (miring) tetapi sekarang tidak
direkomendasikan lagi. Serovar-serovar tertentu dikelompokkan dalam grup yang
disebut serogrup, yang bukan merupakan status taksonomi, tetapi cocok digunakan
dalam diagnosis dan epidemiologi. Penamaan serogrup ditulis dengan huruf kecil
diawali dengan huruf besar, contohnya serogrup Pomona. Beberapa serovar lebih
lanjut dikelompokkan menjadi subgrup berdasarkan analisis genom. Subgrup tersebut
merupakan tipe serovar, tetapi secara serologis tidak bisa dibedakan satu dengan yang
lain (contohnya serovar hardjo, tipe hardjoprajitno dan hardjobovis). Untuk efisiensi,
penulisan serovar spesifik leptospira bisa disingkat, misalnya L. pomona untuk
Leptospira interrogans serovar pomona (Radostits, 2006).
II. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS
Leptospira memasuki tubuh melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit
yang menjadi lebih lunak karena terkena air. Selanjutnya, organisme akan terbawa ke
berbagai bagian tubuh, dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar
susu dan selaput otak. Organisme tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-
sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit leptospira dapat
ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa hari
setelah infeksi dapat dijumpai fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu
pertama. Beberapa serovar yang menghasilkan eksostoksin sedang serovar lainnya
menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada
proses infeksi yang berkepanjangan reaksi immunologik yang timbul dapat
memperjelek keadaan hingga kerusakan jaringan makin diperberat. Berbeda dengan
infeksi oleh kuman-kuman lain, pada leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh
organisma leptospira.
Leptospira hidup dengan baik di dalam tubulus kontortus ginjal. Mungkin organisme
tersebut akan dibebaskan melalui kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun
kadar antibodi hewan penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal
dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalami infeksi. Sampai sekarang tidak
ada uraian yang dapat menjelaskan hal tersebut. Organisme leptospira dapat hidup di
dalam kemih yang tidak diencerkan sampai beberapa jam pada suhu 150C, dan
beberapa hari pada suhu 40C. Apabila kemih tersebut terlarut di dalam air yang serasi,
leptospira dapat hidup lebih lama lagi.
Pada sapi bunting, janin dan pembungkus janin memiliki kerentanan yang tinggi terhadap
infeksi pada masa kebuntingan sekitar lima bulan keatas. Karena infeksi, janin akan
mati dan keluron (premature stillbirth) akan terjadi pada sekitar dua minggu sejak
terlihatnya gejala klinis. Usaha isolasi leptospira dari janin yang digugurkan biasanya
tidak membuahkan hasil.
Kematian penderita leptospirosis terjadi karena septisemia, anemia hemolitika, kerusakan
hati atau oleh terjadinya uremia. Beratnya penderitaan bervariasi tergantung pada
umur dan spesies penderita serta serovar leptospira penyebab infeksi. Dalam satu
kelompok hewan, kadang-kadang dijumpai pedet yang menderita infeksi, misalnya
oleh L. pomona, yang gejalanya sangat bervariasi, mulai dari yang sangat ringan
sampai yang bersifat fatal.
III. PATOLOGI ANATOMIS DAN PATOLOGI KLINIS
A. Patologi Anatomis
Leptospirosis bentuk akut ditandai dengan ikterus, anemia, hemoglobinuria, dan
perdarahan submukosal maupun subserosa. Pada selaput lendir abomasum mungkin
ditemukan adanya tukak-tukak (ulserasi) dan perdarahan. Bila bilirubinemia yang
terjadi cukup berat, akan dapat diikuti dengan edema maupun emfisema paru-paru.
Secara histologis lesi utama berupa sebagai radang ginjal interstitial, baik yang bersifat
fokal maupun difus. Perubahan nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler
terdapat pada histologi hati. Lesi pada hati terdapat meluas pada kasus yang bersifat
fatal. Pada otak dan selaput-selaputnya mungkin dijumpai lesi pada pembuluh darah.
Radang ginjal interstitial pada sapi yang menderita leptospirosis subakut oleh kuman
L. pomona terlihat dengan jelas sesuai dengan proses kelangsungan infeksinya.
Bercak-bercak putih, berukuran kecil tampak pada korteks ginjalnya.
Organisme leptospira mungkin dapat ditemukan dari preparat irisan hati dan ginjal,
dengan pengecatan impregnasi perak (Subronto, 2003).
B. Patologi Klinis
Pada leptospirosis terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver
terjadi disfungsi hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan,
menurunnya produksi albumin, serta menurunnya esterifikasi kholesterol, terjadi
kholestasis intrahepatik serta hiperplasi dan hiperthropi sel Kupffer, serta apoptosis
hepatosit selama berlangsungnya infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang
disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun
yang lalu (Anonim. 2011).
Kelainan pada ginjal terjadi akibat komplek imun serta efek toksik langsung dari
Leptospira yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia,
nefritis interstisial, nekrosis tubuler akut. Nefritis dan nekrosis tubuler akut, keduanya
diakibatkan akibat migrasi spirochaeta kedalam ginjal serta deposisi antigen
Leptospira pada glomerolus dan tubulus yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
dan kematian penderita (Anonim. 2011).
Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan
neutrofil di rongga alveoler, dan Leptospira juga dapat ditemukan di dalam sel-sel
endotel septa interalveoler serta kapiler. Keruasakan kapiler pulmoner mendorong
terjadinya perdarahan di paru dan gagal nafas akut sebagai penyebab kematian
penderita leptospirosis berat. Pada jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis
koroner (Anonim. 2011).
Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi. Dalam
masa tersebut Leptospira dapat ditemukan dalam cairan cerebrospinal, tetapi tidak
akan menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi
gangguan pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental
termasuk perasaan bingung, delirium, depresi mental, maupun psikosis yang dapat
berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun atau lebih (Anonim. 2011).
Pada mata, manifestasinya berupa iritis, iridoksiklitis, dan uveitis kronis. Pada otot ,
terjadi perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit
dapat terjadi hemolisis. Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 33% kasus
leptospirosis. Pada otot kerangka terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis
pada sel-sel otot yang disertai infiltrasi sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma
(Anonim. 2011).
Pada fase imun infeksi Leptospira, terkait dengan respon imun diawali sewaktu sel B atau
sel T berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel B atau sel T sebagai
benda asing. Lipoprotein pada membran luar Leptospira merupakan protein
permukaan yang akan dikenali sebagai benda asing oleh sel B atau sel T. Karena
dianggap asing maka lipoprotein tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat
imunogenik sehingga dapat menstimulasi sel T dan sel B menjadi aktif, terjadi
multiplikasi dan berdeferensiasi lebih lanjut (Anonim. 2011).
Respon sel B terhadap lepoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial
memicu keradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera
merespon terhadap lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau
imunoglobulin yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk
kompleks antigen-antibodi (Anonim. 2011).
Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk
meningkatnya aktifitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih dari 10
juta salinan antibodi dalam satu jam. Selama berlangsungnya infeksi Leptospira akan
terjadi respons imun humoral yang mempengaruhi ekspresi protein (Anonim. 2011).
Pada waktu leptospiremia sebagian besar Leptospira akan dimusnahkan oleh
imunoglobulin. Imunoglobulin akan menghancurkan Leptospira yang mereka ikat
melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung. Efek langsung terjadi sewaktu
pengikatan antigen ke bagian Fab antibodi mengakibatkan kompleks antigen-antibodi
terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama kompleks lain. Efek
tidak langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang reaksi
peradangan , termasuk mengaktifkan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag,
dan fagositosis. Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan
lain-lain menginduksi terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga
memunculkansindrom klinis (Anonim. 2011).
IV. GEJALA KLINIS LEPTOSPIROSIS
Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan sampai berat. Masa inkubasi
berkisar 1–2 minggu (2-20 hari).
Anicteric Leptospirosis, merupakan bentuk klinis yang ringan dengan gambaran seperti
influenza, demam, sakit kepala hebat, mual, muntah dan nyeri otot. Nyeri toto
terutama pada betis, punggung dan perut. Bentukan lain dapat berupa batuk dan nyeri
tenggorokan. Bentukan lain yang cukup sering adalah adanya demam disertai
kekaburan dari konjungtiva. Bentukan yang jarang seperti pembesaran kgb, ruam
pada kulit, pembesaran hati dan lien. Pada umumnya gejala akan hilang dalam 1
minggu (Subronto, 2003).
Leptospirosis Berat (Weil’s syndrome), merupakan bentuk berat dari leptospirosis dengan
karakteristik badan menjadi kuning, gangguan fungsi ginjal, perdarahan dari lubang
hidung. Mortalitas terjadi berkisar 5 – 15%. Gangguan organ terjadi setelah 4 – 9 hari
pasca infeksi. Berat ringannya kuning pada tubuh tidak sesuai dengan derajat
kerusakan pada hati. Kerusakan pada ginjal yang berat dapat mengakibatkan
penurunan dari perfusi ginjal dan menimbulkan pengeluaran air seni yang sedikit
bahkan tidak ada (Subronto, 2003).
Kerusakan pada paru-paru menyebabkan gangguan seperti batuk, sesak, nyeri dada, dan
bahkan batuk berdarah. Perdarahan sering tampak pada Weil’s syndrome seperti
perdarahan hidung, dan kulit. Pada kondisi berat dapat ditemukan kerusakan pada otot
gerak, jantung yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi jantung dan kematian
(Subronto, 2003).
Leptospirosis pada sapi dan domba:
Sapi hospes untuk L. borgpetersenii serovar hardjo dan bukti ada peningkatan, domba
juga merupakan hospes dari serovar ini. Leptospira interrogans serovar hardjo juga
berhospes pada ternak lainnya. Meskipun L. interrogans serovar Hardjo muncul
hanya menyebabkan kasus sporadis penyakit pada sapi, mungkin dia lebih ganas dari
L. borgpetersenii serovar Hardjo. Infeksi mungkin juga mengakibatkan aborsi dan
stillbirths. Jika manajemen praktek memungkinkan paparan infeksi dan selanjutnya
pengembangan kekebalan peternakan sebelum usia, masalah reproduksi mungkin
tidak berkembang. Agalactia disebabkan oleh leptospiral infeksi dapat
dikonfirmasikan dengan menunjukkan suatu peningkatan titer antibodi pada sampel
serum pasangan. Infeksi oleh serovar Hardjo pada domba, khususnya di kawanan
dataran rendah dikelola intensif, dapat menyebabkan aborsi dan agalactia.
Dihydrostreptomycin atau amoksisilin dapat digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan ekskresi urin dari organisme. Baik monovalen dan multivalent tidak
aktif vaksin yang tersedia secara komersial, mungkin tidak selalu efektif. Infeksi
serovarspomona, grippotyphosa, dan icterohaemorrhagiae dapat menyebabkan
penyakit serius, khususnya di betis dan domba. Infeksi biasanya disertai oleh pireksia,
haemoglobinuria, penyakit kuning dan anoreksia. Luas kerusakan ginjal dengan
uraemia resultan sering mendahului kematian. Vaksinasi digunakan untuk mengontrol
serovar Pomona yang merupakan penyebab aborsi sapi di beberapa negara (Quinn,
2002).
Leptospirosis pada kuda:
Meskipun bukti serologis infeksi leptospiral adalah umum pada kuda, penyakit klinis
jarang terjadi. Infeksi dengan serovar Bratislava, yang telah dikaitkan dengan aborsi
dan stillbirths pada kuda. Penyakit klinis yang paling sering mengakibatkan infeksi
insidental adalah serovar Pamona, meskipun serovar lainnya telah terlibat. Tanda-
tanda meliputi aborsi di kuda dan penyakit ginjal pada kuda muda. Sebuah immune-
mediated anterior uveitis (ophthalmia periodik, 'kebutaan bulan') mungkin merupakan
manifestasi dari leptospirosis kronis pada kuda. reaksi silag antara leptospiral antigen
dan protein dari kornea dan lensa menunjukkan bahwa mekanisme autoimun mungkin
terlibat. Vaksin Leptospiral saat ini tidak diizinkan untuk digunakan pada kuda
(Quinn, 2002).
Leptospirosis pada babi
Leptospirosis akut pada babi biasanya disebabkan oleh rodent-adapted serovar seperti
icterohaemorrhagiae dan copenhagenii. Kedua serovar ini menyebabkan masalah
serius, kadang fatal, penyakit pada babi muda dengan tanda-tanda mirip dengan
leptospirosis akut pada spesies lain. Di banyak bagian dunia, serovar pokok adalah
pomona. Babi terinfeksi subklinis pomona bisa terjangkit leptospira dari urin untuk
waktu yang lama. Infeksi dapat mengakibatkan kegagalan reproduksi termasuk aborsi
dan stillbirths. Babi juga berperan sebagai hospes dari serovar tarassovi
dan bratislava, yang juga dapat menyebabkan kegagalan reproduksi (Quinn, 2002).
Leptospirosis pada anjing dan kucing
serovar yang terkait dengan leptospirosis pada anjing adalah canicola dan
icterohaemorrhagiae. Penggunaan luas memasukkan vaksin serovar ini telah
mengakibatkan
serovars gripporyphosa dan pomona muncul sebagai patogen anjing yang penting
(Rentko et al, 1992.). Serovar canicola, yang berhospes pada anjing, menyebabkan
penyakit ginjal parah pada anjing. Pada hewan yang selamat dari fase akut, sindrom
uremik kronis selanjutnya bisa terjadi. Insidental infeksi pada anjing biasanya
disebabkan oleh icterohaemorrhagiae yang ditandai dengan perdarahan akut,
penyakit atau kegagalan hati dan ginjal subakut. Dalam infeksi insidental anjing selain
serovar icterohaemorrhagiae atau copenhagenii, tanda-tanda keterlibatan ginjal
biasanya mendominasi. Hal ini dianggap bahwa serovar bratislava, yang telah
dikaitkan dengan aborsi dan
infertilitas, menjadi disesuaikan dengan anjing yang dapat bertindak sebagai hospes.
Meskipun leptospirosis klinis jarang ditemukan pada kucing, infeksi oleh sejumah
serovars telah dilaporkan (Quinn, 2002).
IV. METODE DIAGNOSA LEPTOSPIROSIS
Deteksi dan identifikasi leptospira dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada
kultur. Darah, cairan cerebrospinal, urine, atau biopsi organ, yang tidak
terkontaminasi bakteri lain, diinkubasi pada medium khusus pada 27-300C selama tiga
sampai empat minggu. Pengecekan mikroskopik (medan gelap) dilakukan setiap
minggu untuk melihat jika ada proliferasi leptospira (Kayser, 2005).
Kultur: Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama
perjalanan penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil
setelah 2-4 minggu onset penyakit. Kadng-kadang kultur urin masih positif selama
memerapa bulan atau tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan atau
jaringan tubuh, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris; atau
medium Fletcher dan medium Korthof. Spesimen dapat dikirim ke laboratorium untuk
dikultur , karena leptospirosis dapat hidup dalam heparin, EDTA atau sitrat sampai 11
hari. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan
(Subronto, 2003).
Serologi: Uji serologi dapat dilgunakan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan
cepat, yaitu dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaktion (PCR), silver stain, atau
fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap (Subronto, 2003).
Metode yang dipilih untuk diagnosis laboratorik adalah assay antibody. Antibodi yang
diproduksi setelah minggu pertama infeksi akan terdeteksi menggunakan uji lisis-
aglutinasi kuantitatif (Kayser, 2005).
Prosedur Diagnostik
- Diagnosis leptospirosis pada hospes biasanya membutuhkan screening pada populasi
yang terkena.
- Tanda-tanda klinis dan sejarah exppsure terhadap urine terkontaminasi, mungkin
menjadi penyebab leptospirosis akut.
- Organisme mungkin bisa dideteksi pada urine segar dengan dark-field microscopy,
tetapi teknik ini relatif tidak sensitif.
- Leptospira dapat diisolasi dari darah sejak tujuh sampai sepuluh hari pertama infeksi
dan dari urine sekitar dua minggu setelah awal infeksi dengan kultur pada medium
cair atau dengan inokulasi pada hewan. Serovar yang pertumbuhannya lambat seperti
hardjo membutuhkan inkubasi selama enam bulan pada media cair pada suhu 300C.
Biasanya digunakan medium EMJH (Ellinghausen, McCullough, Johnson, and
Harris) yang berisi 1% bovine serum albumin dan Tween 80.
- Isolat diidentifikasi menggunakan profil DNA dan serologi.
- Prosedur fluorescent antibody sering digunakan untuk demonstrasi leptospira di
jaringan. Jaringan yang cocok misalnya ginjal, hati, dan paru-paru. Teknik impregnasi
perak juga dapat digunakan untuk demonstrasi leptospira.
- Hibiridisasi DNA, PCR, magnetic immunocapture PCR, dan immunomagnetic antigen
capture system juga telah dikembangkan untuk demonstrasi infeksi leptospiral di
jaringan dan urine.
V. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Pada hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan
perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan
perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin,
ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi
suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infuse (Eldredge, 2007).
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira
untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus
bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan
vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang
beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L.
ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur
12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah
vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam
bulan (Eldredge, 2007).
Pada Manusia leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati
dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin (Nurheti, 2007).
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang
memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di
mana hewan berada (Nurheti, 2007)
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.
Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.Selain itu,
para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.
Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air (Dharmojono, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. http://www.jevuska.com/topic/patofisiologi+leptospirosis.html diakses
pada tanggal 4/5/2011
Dharmojono. 2002. Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah
Akibatnya! (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Eldredge, Debra M. 2007. Dog owner’s Home Veterinary Handbook (edisi ke-4th).
Hoboken: Willey Publishing Inc.
Kayser, F., Bienz, K. A., Eckert, J., & Zinkernagel, R. (2005). Medical Microbiology.
New York: Thieme.
Nurheti. 2007. di dalam Agnes Heni Triyuliana (dalam bahasa Indonesia). Hidup Sehat
Bersama Hewan Kesayangan(edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset.
Quinn, P. M. (2002). Veterinary Microbiology and Microbial Disease. London:
Blackwell Science.
Radostits, O. G. (2006). Veterinary Medicine 10th Edition. New York: Saunders Elsevier.
Subronto. (2003). Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) 1. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Posted 18th June 2011 by Fifififififiii
Blok 11 UP 7
Unit Pembelajaran 7
Learning Objectives:
I. Mengetahui Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Diagnosa, serta
Pencegahan dan Pengobatan Rabies
II. Mengetahui Etiologi, Pathogenesis, Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Diagnosa,
serta Pencegahan dan Pengobatan Distemper
III. Mengetahui Diferensial Diagnosa dari Rabies dan Distemper
Pembahasan Learning Objectives:
I. RABIES
A. Etiologi
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Virus
rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal, beramplop, berbentuk
peluru dengan diameter 75-80 nm termasuk anggota kelompok Rhabdovirus. Amplop
glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion.
Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus
rabies, membangkitkan antibodi neutralisasi dan antibodi penghambat hemaglutinasi,
dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibodi yang
mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya
bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan pada analisisis munofluororescent
diagnostik yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies
dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenik dan
biologik. Variasi-variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi
antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan
dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang
progresif, (Elcamo, 1997).
Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm kali
panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol
yang panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal. Genom beruntai
tunggal, RNA negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak
bersegmen. Sebuah virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung
polimerase RNA. Komposisi dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein
sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%, dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus
melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion bertunas dari selaput plasma
(Elcamo, 1997).
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 560C waktu paruh kurang dari 1
menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 370C dapat bertahan beberapa jam.
Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi yodium. Virus rabies
dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies
merupakan genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat
lyssa-virus genotipe 5 dan 6 (Elcamo, 1997).
B. Patogenesis
Sebagian besar infeksi disebabkan oleh air liur yang menyerang otot ataupun membran
mukosa. Dengan mengikuti periode replikasi, kemungkinan ketika separuh dari masa
inkubasi, virus ini akan dialirkan secara sentripetal melalui nervus perifer dan syaraf
spinal menuju ke otak. Waktu interval antara inokulasi virus pada suatu tempat akan
digunakan oleh virus tersebut untuk menginfiltrasi serum hyperimmune pada tempat
tersebut. Virus ini biasanya dibawa dengan arah sentrifugal dari CNS dan mencapai
glandula salivarius melaui inervasi nervus ke daerah tersebut. Inilah yang
menyebabkan virus ini sering ditemukan pada glandula salivarius, bukannya di otak.
Distribusi lewat sirkulasi darah dapat terjadi namun jarang ditemukan. Walaupun
penyakit ini dapat berakibat fatal, namun kesembuhan tetap dapat terjadi pada
beberapa hewan dan manusia (Fenner, F.J., 1993).
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui gigitan atau kadang-kadang cakaran hewan
penderita rabies atau jika air liur yang mengandung virus dari hewan penderita rabies
mengenai luka yang terbuka. Virus dapat masuk secara langsung ke dalam ujung saraf
yang ada di tempat gigitan, atau pada otot. Setelah itu masuk ujung syaraf tepi.
Genom virus selanjutnya berpindah secara sentripetal dalam sitoplasma dari akson
sistem syaraf tepi sampai mencapai sistem syaraf pusat, biasanya di sumsum tulang
belakang. Masuknya virus ke dalam sumsum tulang belakang dan kemudian otak
(khususnya sistem pinggang) berkaitan dengan gejala klinis tidak berfungsinya syaraf
(Fenner, F.J., 1993).
Biasanya, bersamaan dengan infeksi saraf pusat yang menyebabkan keberingasan, virion
juga dilepaskan oleh bagian puncak dari sel penghasil lendir pada kelenjar ludah dan
selanjutnya berada dalam konsentrasi tinggi pada air liur. Pada beberapa kasus, virus
dikeluarkan ke dalam air liur beberapa hari (terkadang 14 hari) sebelum timbulnya
gejala klinis pada kasus yang lain, atau virus mungkin tidak pernah ada dalam air liur,
bahkan sampai akhir stadium penyakit. Selama berlangsungnya rabies, respon imun
spesifik dan keradangan inang tidak banyak dirangsang, barangkali karena infeksinya
tidak merusak sel pada otot dan sistem syaraf, dan karena infeksinya sebagian besar
terpusat pada lingkungan sistem syaraf yang terpisah secara imunologik. Setelah mati,
kecuali untuk infiltrasi sedang dari sel radang mononuklear pada sistem syaraf, hanya
akan terdapat sedikit bukti histologi adanya respon inang terhadap infeksi.
Selanjutnya pada hewan yang mengalami infeksi secara percobaan, antibodi
penetralisasinya mencapai level yang bermakna hanya menjelang kematiannya, ketika
sudah terlambat untuk menolongnya, dan dapat membantu dalam immunopatologi
dari penyakit (Fenner, F.J., 1993).
C. Gejala klinis
Hewan peka yang menunjukkan tanda spesifik dengan sedikit variasi abnormal, yaitu
diantaranya karnivora, ruminansia, kelelawar, dan manusia. Gejala klinis, terutama
pada anjing, dapat dibedakan dalam 3 fase :
1. Prodormal phase
2. Excitative phase
3. Paralytic phase
Terminologi ‘furious form’ artinya hewan yang mengalami fase eksitasi pre-dominan,
dan ‘dumb’ atau ‘paralytic rabies’ artinya anjing yang mengalami fase eksitasi pendek
ataupun tidak sama sekali sehingga penyakit ini akan melanjut secara cepat menuju
fase paralisis. Pada kebanyakan hewan, tanda pertama adalah perubahan tingkah laku,
dimana kemungkinan hewan tidak dapat membedakan makanan yang akan dimakan,
terluka, terdapat benda asing pada mulut, keracunan, ataupun infeksi penyakit awal.
Perubahan temperatur tidak signifikan dengan ketidakmampuan menahan air liur.
Hewan umumnya akan berhenti makan dan minum lalu menyendiri. Seringkali,
ditemukan iritasi ataupun stimulasi pada traktus urogenital, yang ditandai dengan
seringnya urinasi, ereksi pada hewan jantan, dan meningkatnya libido. Setelah periode
prodormal selama 1-3 hari, hewan akan menampakkan gejala paralisis dan berubah
menjadi buas. Karnivora, babi, dan kuda akan menggigit sesamanya. Sapi akan
mendorong dan menendang benda-benda di sekitarnya. Penyakit ini akan melanjut
sangat cepat setelah melewati fase paralisis.
Bentuk Paralisis : Ditandai dengan paralisis awal dari tenggorokan dan musculus
masseter, biasanya diikuti dengan hipersalivasi dan ketidakmampuan untuk berjalan
secara seimbang. Anjing pada kondisi ini akan sering meletakkan kepalanya di lantai.
Seringkali pemilik akan memeriksa mulut anjing atau sapi miliknya dengan tangan
kosong, untuk memeriksa apakah ada benda asing. Pada saat inilah hewan akan mulai
menjadi buas dan menggigit. Paralisis akan menjalar secara cepat ke seluruh tubuh,
hewan akan mengalami koma, kemudian kematian akan terjadi setelah beberapa jam
kemudian.
Bentuk Buas : Rabies bentuk ini sudah klasik ditemukan dan dikenal sebagai ‘mad-dog
syndrome’ dimana hewan menjadi irrasional, buas serta agresif. Ekspresi wajah
menjadi tajam dan gelisah, dengan dilatasi pupil, dan penciuman yang tajam. Hewan
akan kehilangan konsentrasi dan lupa pada musuh alaminya. Disini tidak ada paralisis
selama fase eksitasi. Umumnya jarang ada anjing yang mampu melewati 10 hari
setelah munculnya gejala ini. Anjing dengan penyakit rabies bentuk ini akan
melarikan diri ke jalanan, dan menggigit hewan lain, manusia, dan benda-benda
lainnya. Mereka akan sulit membedakan antara feses, buah, batang, dan bebatuan.
Anjing rabies akan mengunyah kawat dan perisai kandang untuk mengasah gigi
mereka, dan akan mengikuti gerakan tangan di depan kandang mereka mencoba untuk
menggigit. Anjing kecil biasanya akan menjauhi kerumunan orang dan bermain
sendiri, tetapi jika dibelai akan menggigit pada akhirnya, dan berubah menjadi buas
beberapa jam kemudian. Selama penyakit ini berlanjut, hewan akan mengalami
inkoordinasi otot dan konvulsi. Kematian adalah hasil terakhir dari lanjutan paralisis.
Kucing domestik dapat dengan tiba-tiba menyerang, menggigit, dan mencakar dengan
buas. Rubah juga seringkali tiba-tiba menyerbu dengan jarak beberapa yard dari
rumah, menyerang anjing dan manusia. Tingkah laku irrasional bagi rubah untuk
menyerang landak. Penemuan bulu landak pada sekitar mulut rubah, pada beberapa
kasus, dapat meneguhkan diagnosa penyakit rabies. Rubah yang terinfeksi rabies akan
tertarik pada hewan ternak yang kebetulan lepas, dan kemudian akan menyerang
mereka di luar areal peternakan.
Rabies pada sapi umumnya diikuti oleh gejala yang sama, namun bentuk kebuasannya
akan lebih berbahaya, karena disamping menyerang mereka juga akan memburu dan
mengejar manusia ataupun hewan lain yang berada di sekitarnya. Kuda akan
memperlihatkan pengaruh yang lebih ekstrim, yaitu dengan berguling-guling di tanah
seperti kasus indigesti. Seperti spesies lainnya, mereka akan menggigit dan menginjak
dengan ganas, karena ukuran tubuh dan kekuatannya, menjadi tidak terkontrol dalam
beberapa jam. Seringkali mereka juga akan melukai dirinya sendiri. Kelelawar vampir
biasanya terbatas dan hanya ditemukan di sekitar Amerika Selatan, Trinidad, Amerika
Tengah, dan Mexico. Hewan ini akan terbang dan dapat tiba-tiba menyerang hewan
lain, kecuali untuk makan. Makanan asli mereka adalah darah segar. Walaupun yang
lebih disukai adalah hewan ternak, bukan berarti mereka tidak menyerang hewan lain,
termasuk manusia, dengan menggigit dan menghisap darah dari bekas luka gigitan
tersebut. Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat
bervariasi antara individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa
inkubasinya biasanya antara 14 sampai 90 hari, tetapi dapat jauh lebih lama. Masa
inkubasi 2 tahun telah dilaporkan pada kucing, dan empat kasus pada manusia telah
diperkirakan di negara industri dengan masa inkubasi terbukti dari setidaknya 11
bulan sampai 6 tahun. Pada masing-masing kasus manusia itu, virusnya diketahui
merupakan genotip anjing dari negara berkembang (Fenner, F.J., 1993).
Virus rabies menginfeksi CNS sehingga mampu menyebabkan encephalopathy dan
kematian. Gejala klinis awalnya tidak spesifik, meliputi demam, sakit kepala, dan
tidak enak badan. Dan proses selanjutnya pasien akan mengalami insomnia,
kecemasan, kebingungan, paralisis ringan atau parsial, eksitasi, halusinasi, agitasi,
hipersalivasi, kesulitan menelan, dan hydrophobia (takut air). Kematian biasanya
terjadi beberapa hari setelah gejala klinis pertama terdeteksi. Terdapat fase prodomal
sebelum tampaknya penyakit klinis, yang seringkali tidak teramati pada hewan atau
hanya dapat disimpulkan dari adanya perubahan tingkah laku. Dikenal dua bentuk
klinis penyakit, yaitu: bentuk beringas (hewan menjadi gelisah) dan bentuk loyo atau
paralisis. Pada bentuk beringas, hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan seringkali
berbahaya karena mereka tidak lagi mempunyai rasa takut kepada manusia dan
menggigit segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Hewan ini seringkali tidak
mampu menelan air, yang menyebabkan penyakit ini disebut juga sebagai
“Hidrofobia” (takut air). Sering terjadi pengeluaran air liur secara berlebihan, respon
berlebihan terhadap sinar dan suara, dan hiperestesia. Dengan terjadinya encephalitis,
keganasan berubah menjadi kelumpuhan, dan hewan memperlihatkan gejala klinis
yang sama dengan yang dijumpai pada penyakit bentuk loyo. Pada akhirnya, sering
terjadi badan kejang-kejang, koma, dan terhentinya pernafasan, dengan kematian yang
terjadi 2–7 hari setelah dimulainya gejala klinis. Anjing, kucing dan kuda lebih
banyak menderita penyakit bentuk beringas daripada sapi atau ruminansia lainnya
maupun spesies hewan laboratorium (Fenner, F.J., 1993).
D. Perubahan Patologis, (Subronto, 2006).
1. Perubahan makroskopik , umumnya tidak ada, hanya ditemukan penyakit neurologik
dramatik
2. Perubahan histopatologi – akut sampai kronik polioencephalitis; peningkatan proses
keradangan non suppuratif pada CNS sebagai kemajuan diagnosa, banyak syaraf
dengan otak mengandung benda inklusi intrasitoplasmik klasik (Negri bodies).
E. Diagnosa
1. Fluorescent Antibody Technique, (Anonim, 2009):
Fluorescent Antibody Technique (FAT) untuk penggunaan didalam mikrobiologi telah
diperlihatkan pertama kali oleh Coons, at all pada tahun 1942. Sebelumnya telah
diperkenalkan penandaan protein antibodi dengan zat warna yang dapat
berfluoresensi. Fluoresensi merupakan pemancaran sinar oleh atom atau molekul
setelah terlebih dahulu disinari. Zat warna yang dapat befluoesensi disebut
fluorokrom. Pada dasarnya teknik fluoresen antibodi ini merupakan kombinasi cara-
cara imunologis dan pewarnaan. Adanya antigen akan diperlihatkan dengan
perantaraan antibodi yang telah disenyawakan dengan fluorkrom.
Prinsip: Antibodi yang telah ditandai dengan fluorokrom disebut “conjugate”. Conjugate
ini akan bereaksi dengan antigen spesifik dan dapat dilihat dibawah mikroskop
fluoresen. Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus rabies)
dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi dengan zat fluorescen
sehingga tampak agregat yang berpendar hijau (fluorescensi) pada sampel yang
diamati dengan menggunakan mikroskop flurorescen.
2. Pada penderita yang mati, temuan secara mikroskopik benda inklusi ‘‘Negri bodies‘‘,
bersifat diagnostic, (Subronto, 2006).
3. Pemeriksaan akurat juga dapat dilakukan dengan PCR, (Subronto, 2006).
F. Pencegahan dan Pengobatan
Pemberian gizi yang baik dan benar, control terhadap adanya parasit (ekto dan endo) dan
vaksinasi yang teratur menurut prosedur (Nelson and Couto, 2003). Vaksinasi dengan
menggunakan vaksin aktif(hidup) dapat memberikan imunitas yang cukup dan
berdurasi kurang lebih 1 tahun dan untuk anjing dengan kondisi prima dapat berdurasi
beberapa tahun (2-3 tahun) (Dharmojono, 2001).
Jadwal Vaksinasi terhadap distemper anjing adalah sebagai berikut :
§ pada umur 6-8 minggu diberikan vaksin aktif kombinasi MV-CDV( Measle virus dan
Canine Distemper Virrus) atau vaksin CDV titer tinggi.
§ 2X lagi vaksin ulangan yang diberikan setelah 3-4 minggu kemudian.
§ Vaksinasi ulangan tahunan perlu dilakukan karena terjadi penurunan titer antibody.
Pemberian imunisasi pasif akan memanjang dan memperkuat keberadaan MA (Maternal
Antobodi). Imunisasi ini dapat diberikan pada anak anjing yang tidak mendapat
kolostrum susu induk atau yang mungkin sudah terkena CDV dan belum menujukan
gejala klinis (Dharmojono, 2001).
II. DISTEMPER
A. Etiologi
Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit tersebut
disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan
mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest. Virus distemper
dapat menyerang famili Canidae, Mustelidae, dan Procyonidae. Penyakit tersebut
telah dilaporkan kejadiannya pada mamalia air seperti anjing laut dan anjing liar di
Afrika. Walau pun kucing dan babi telah dapat diinfeksi secara eksperimental, hal
tersebut dianggap tidak penting dalam penyebaran distemper anjing. Virus distemper
tidak dapat bertahan lama di luar induk semang dan peka terhadap desinfektan seperti
senyawa fenol atau ammonium kuaterner (Erawan et all, 2009).
Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya antara 150-300 um
dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical symetryl) dan terbungkus
lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu
Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran
protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di
sebelah luar. Hemaglutinasi protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada
virus morbili lainnya. Distemper pada anjing adalah merupakan ancaman serius,
mungkin merupakan ancaman utama pada anjing. Distemper adalah suatu penyakit
yang menular pada anjing, serigala, anjing hutan, rakun, cerpelai, dan sejenis musang
(Dharmojono, 2001).
Virus distemper termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus morbilivirus dan spesies
Canine Deistemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka
ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam
beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak
infektivitas virus (Fenner dkk, 1993).
Canine distemper lebih sering menyerang pada anjing muda yang berumur 3-.9 bulan. Ini
biasa terjadi pada hewan di bawah tekanan atau anjing yang terisolasi dari anjing
lainnya. Penyakit distemper kira-kira 90% pada anjing berakibat fatal jika tidak ada
perawatan pada anjing yang menderita distemper tersebut. Jika ada anjing yang bisa
bertahan, maka banyak yang akan menderita kerusakan permanent pada sistem saraf
( otak dan tulang belakang), parsial atau total kelumpuhan sering terjadi, atau otot
/anggotagerak tidak dapat dikendalikan sehingga terdapat gangguan secara berkala
(Lane & Cooper, 2003).
B. Pathogenesis
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat pernafasan.
Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah bening lokal dan
kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari
setelah infeksi virus distemper suhu badan akan meninggi dan interferon virus mulai
masuk ke dalam peredaran darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi,
anjing mulai membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon
infeksi dan jika mampu mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa
menunjukkan gejala klinik. Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka
anjing tersebut akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono,
2001).
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka akan diikuti
terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian limfosit dan
makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel dari alat
pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan syaraf pusat
(CNS) (Merck and Co, 1986).
Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas kelihatan merusak
CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang sebelumnya tidak
memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).
C. Gejala Klinis
Masa inkubasi distemper 6-8 hari dengan gejala samar-samar dan baru jelas setelah 2-3
minggu. Kemudian terjadi demam yang intermitten. Saat awal kejadian diikuti
leukopenia dan limfopenia kemudian netrofilia. Gangguan respirasi segera terjadi
dengan pengeluaran leleran hidung kental, mukopurulen dan leleran air mata yang
lama-lama juga bersifat mukopurulen. Penderita tampak lesu, depresi, batuk-batuk,
anoreksia dan meungkin juga disertai diare dengan tinja yang berbau busuk. Telapak
kaki juga menjadi keras karena kurang cairan. Gejala syaraf berupa paralisis atau
paresis yang dimulai dari tubuh bagian belakang . Jika berjalan terlihat adanya
inkoordinasi kaki-kaki dan ataksia. Gerak menguyah yang semakin lama semakin
sering dan diikuti hipersalivasi. Penderita tidak mampu mengontrol miksturisi
(Subronto, 2006).
D. Perubahan Patologis
Kelainan ocular pada canine distemper meliputi lesio retinochoroidal terutama pada
bagian peripheral dan midperipheral nontapetal fundus. Neuritis pada optik dapat
menyebabkan gangguan pengelihatan. Lesio patologi-anatomi dari canine distemper
meliputi kongesti paru-paru dan konsolidasi akibat adanya pneumonia. Badan sel
bersifat eosinofilik bentuk bulat dan ovoid ditemukan pada sel epitel dari kulit,
bronchus, usus, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, adrenal, sistem saraf
pusat, limfonodus, dan limpa. Pada saat nekropsi, biasanya ditemukan limpa yang
membengkak. Nekropsi pada hewan pernah dilakukan dan ditemukan lesio hemoragi
parah pada jejunum dan colon disertai konsolidasi paru-paru. Evaluasi secara
histopatologi ditemukan reaksi inflamasi ringan sampai kronis pada usus halus
dimana terdapat hiperplasia dari epitel bagian basal sebagai proses regenerasi awal.
Pada vesica urinaria, epitel peralihan mengalami penebalan dan terdapat badan inklusi
eosinofilik.
Secara miroskopis, canine distemper virus ditandai dengan adanya badan inklusi
intranuklear dan intrasitoplasmik yang memiliki ukuran yang bervariasi dengan
bentuk bulat sampai ovoid. Badan inklusi ini sering ditemukan pada sel epitel kulit,
bronchus, gastrointestinal, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, dan
adrenal. Hal ini juga dapat ditemukan pada sistem saraf pusat dan sel
reticuloendotelial pada limpa dan limfonodus. Pada paru-paru, virus ini menginduksi
sel raksasa multinuklear di dalam alveolus dan epitel bronchus. Bronchial pneumonia
purulent dapat terjadi oleh serangan infeksi sekunder setelah terjadi pneumonia
interstitialis. Di dalam beberapa kasus didapatkan keadaan nekrosis dan involusi dari
jaringan limfatik. Hal ini juga dapat menyebabkan deplesi dari limfosit yang sudah
matang pada germinal center dari limpa (Wicaksono, 2009).
Lesio pada otak terjadi sebagai gangguan yang terjadi pada distemper dengan gejala saraf.
Pada kasus ini terdapat encephalitis purulent diffuse dengan badan inklusi yang
ditemukan pada sel glia dan histiosit. Tedapat degenerasi neuron, demyelinasi, gliosis,
dan perivascular cuffing. Meningitis nonsupuratif juga dapat terjadi. Encephalitis
meliputi bagian grey dan white matter. Grey matter terpengaruh jika terdapat
gangguan saraf yang terjadi secara akut (Wicaksono, 2009).
Encephalitis pada bagian white matter biasanya menyebabkan demyelinasi tanpa adanya
peradangan. Lesio pada bagian white matter merupakan akibat dari infeksi distemper
kronis. Lesio berbentuk multifokus berada pada organ otak, medulla spinalis, dan
traktus optikus. Pada cairan cerebrospinalis akan tejadi peningkatan protein dan bisa
terdapat atau tidak terdapat limphocytic monocytic pleiocytosis. Pada lima puluh
persen dari hewan yang terkena distemper, terdeteksi adanya titer antibodi pada
sistem saraf pusat (Wicaksono, 2009).
Lesio okular pada canine distemper meliputi demyelinasi dan peradangan nonsupuratif
pada optic radiation dan traktus optikus. Terdapat infiltrasi sel radang pada ciliary
body, degenerasi dari ganglion retina, edema retina, dan fokus-fokus bagian retina
yang terlepas (Wicaksono, 2009).
Gejala saraf disertai demam yang diikuti oleh gangguan respirasi, oculo-nasal discharge,
diare, dan atau hiperkeratosis bantalan kaki merupakan ciri-ciri yang mengarah pada
canine distemper, walaupun tidak ada gejala patognomonis dari penyakit ini
(Wicaksono, 2009).
Hasil nekropsi dapat menunjukkan gejala-gejala yang didiagnosa sebagai distemper pada
anjing. Hal ini dapat dilihat pada lesio paru-paru yang mengalami pneumonia
interstitialis dilanjutkan dengan pneumonia alveolaris sebagai akibat dari adanya
infeksi sekunder bakteri. Enteritis kattharalis et hemoragis yang parah juga terlihat
dan dapat diakibatkan oleh paramyxovirus penyebab distemper. Dengan kondisi
demikian, perjalanan virus menginfeksi tubuh sudah berlangsung sistemik sehingga
peradangan sampai ke sistem saraf pusat dimana sudah terjadi meningoencephalitis
yang sudah parah (Wicaksono, 2009).
Dengan menurunnya sistem kekebalan, infeksi sekunder dengan mudah dapat terjadi yang
menyebabkan peradangan pada bagian luar tubuh yaitu kulit sebagai pertahanan tubuh
pertama. Diawali dengan echymosa dan dilanjutkan dengan terbentuknya pustula pada
bagian tubuh yang jarang ditumbuhi rambut, dan jika berlangsung kronis
menyebabkan hiperkeratosis pada kulit tersebut. Peneguhan diagnosa distemper ini
juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara histopatologis (Wicaksono, 2009).
E. Diagnosa
Pada pemeriksaan postmortem diantaranya : tes imunofluoresensi, histopatologi, serta
isolasi virus dan PCR. Pada tes imunofloresensi atau imunositokhemistri, antigen
terhadap distemper yang dapat didemonstrasikan dari preparat apus bisa berasal dari
limfosit, epitel lambung, paru atau kandung kemih, otak kecil, dan batang otak.
Diagnosis berdasarkan histopatologi dengan menggunakan lesi yang terdapat pada
jaringan limfe dan CNS bersama adanya badan inklusi dalam CNS, paru, lambung,
epitel kandung kemih. Isolasi virus biasanya tidak dilakukan bila digunakan untuk
diagnosa secara rutin karena memerlukan waktu yang lama dan biayanya mahal.
Isolasi virus dengan melakukan kultur langsung dari jaringan otak, paru, ginjal atau
sel kandung kemih dari anjing penderita merupakan pendekatan terbaik. Inokulasi
pada kultur makrofag atau limfosit dengan suspensi paru, otak, dan jaringan limfatik
dapat pula dicoba (Dharmojono, 2001).
F. Pencegahan dan Pengobatan (Dihan, 2011)
1. Antibiotik
Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya infeksi sekunder.
Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik dengan broad spectrum.
2. Terapi cairan dan elektrolit
Untuk mengganti cairan yang hilang dan mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.
3. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi
Sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing menunjukkan gejala sarafi.
4. Vaksinasi
Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan berdurasi lama
asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi,misalnya berapa kali harus diulang
sebelum vaksinasi booster tahunan.
5. Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang Diperlukan anjing dapat terpenuhi.
Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga dan tidak mudah terserang
penyakit.
6. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit.
7. Menjaga kebersihan lingkunagan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran
virus.
III. DIFERENSIAL DIAGNOSA RABIES DAN DISTEMPER
A. Diferensial Diagnosa Rabies
Membuat diagnosa yang dapat diandalkan berdasarkan gejala klinis sangat susah untuk
dilakukan karena hampir tidak gejala patognomonis yang menciri terhadap Rabies.
Secara klinis Rabies bisa sangat susah dibedakan dengan keadaan penyakit yang
menyebabkan enchepalitis yang disebabkan oleh infeksi virus yang lain. Pada
manusia gejala Rabies juga bisa sangat susah dibedakan dengan Guillain-Bare
syndrome, poliomyelitis, tetanus, keracunan dan obat-obatan dan penyakit virus yang
menyebabkan echepalitis yang lainnya (Trimarchi and Smith, 2002).
Pada hewan penyakit yang berhubungan dengan SSP lainnya umumnya juga
menunjukkan gejala seperti pada Rabies. Pada kondisi lain seperi infestasi parasit dan
keracunan makanan juga akan menunjukkan perubahan tingkah laku yang mana
gejalanya menyerupai Rabies.
Beberapa penyakit yang lebih spesifik yang menyerupai Rabies adalah:
1. Canine Distemper
2. Infectious Canine Hepatitis
3. Ajueskzy Disease
4. Equine Viral enchephalomylitis
5. Equine Encephalosis
6. Penyakit-penyakit Bakterial dan Mikal yang berhubungan dengan SSP termasuk
Lysteriosis dan Cryptococcosis
7. Keracunan oleh logam berat, Chlorinate Hydrocarbon atau pestisida
8. Benda asing pada Oesopharynk atau Esofagus dan Perlukaan akibat trauma
9. Phycosis akut pada anjing dan kucing
B. Diferensial Diagnosa Distemper
Diferensial diagnosa dari distemper pada anjing yaitu rabies, pneumonia. Infeksi B.
bronchiseptica, idiopatik epilepsy , hipoglikemia, trauma CNS dan gagal ginjal.
Sedangkan menurut Tilley and Smith (2000) adalah kennel cough dapat meyebabkan
penyakit respirasi, gejala enteritis merupakan differesial diagnosa dari infeksi CPV
dan corona virus, infeksi bakteri, gastroenteritis dan penyakit radang bowel.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007.
http://homepage.usask.ca/~vim458/virology/studpages2007/Caroline_Emily/about2.
html (diakses pada tanggal 24/05/2011).
Anonim. 2009. Studi literatur: Diagnosa Penyakit Rabies dengan Menggunakan
Fluorescent Antibody Technique (FAT) http://duniaveteriner.com/2009/04/studi-
literatur-diagnosa-penyakit-rabies-dengan-menggunakan-fluorescent-antibody-
technique-fat/print (diakses pada tanggal 23/05/2011).
Dharmojono, H. 2001. Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I. Jakarta: Pustaka
Popular Obor.
Dihan, 2011. Canine distemper http://www.27januari.co.cc/2011/01/canine-
distemper.html (diakses tanggal 22/05/2011)
Elcamo, E. I. 1997. Fundamentals of Microbiology. New York: The Benjamin Cummings
Publishing Company.
Fenner, F. J., Gibbs, E. P., Murphy, F. A., Rott, R., Studdert, M., & White, D. O. 1993.
Virologi Veteriner. Semarang: IKIP Semarang Press.
Lane, D., & Cooper, B. 2003. Veterinary Nursing, 3rd.ed. Burlington: Butterworth
Heineman.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Trimarchi, C.V., Smith, J.S., 2002. Diagnostic Evaluation. In: Jackson, A.C., Wunner,
W.H. (Eds.), RABIES. Elsevier Science (USA), London, UK, pp. 308-344.
Wicaksono, A. 2009. Distemper. http://www.vetsunu.blogspot.com/ (diakses pada tanggal
22/05/2011