dokumnt
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya populasi manusia di dunia secara drastis telah menjadi permasalahan
besar bagi kehidupan manusia di bumi. Jumlah penduduk bumi yang kini telah
mencapai 7 milyar jiwa menciptakan ketidakseimbangan antara kebutuhan yang
harus dipenuhi dengan sumber daya alam dan lahan yang tersedia, sehingga
melahirkan berbagai masalah.
Dewasa ini, telah terjadi penuruanan kualitas udara dan air yang tinggi khususnya di
daerah perkotaan yang merupakan pusat peradaban kehidupan manusia sekarang.
Pada awalnya, sebagian besar lahan perkotaan terdiri atas ruang terbuka hijau,
namun seiring meningkatnya kebutuhan ruang untuk menampung kebutuhan
manusia beserta aktivitasnya maka terjadilah alih guna ruang terbuka hijau secara
besar-besaran. Menghilangnya sebagian besar ruang terbuka hijau di perkotaan
mengakibatkan berbagai zat pencemar utama perkotaan yang merupakan hasil
produk pembakaran bahan bakar minyak dan fosil oleh berbagai sektor seperti
pemukiman, industri maupun transportasi. Meningkatnya kadar CO,
CO2,NO2,NO,SO2, hidrokarbon, timah hitam (Pb) dan partikulat padat tersuspensi di
atmosfer berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup di bumi. Tanpa adanya
ruang terbuka hijau yang mencukupi, maka potensi kerusakan lingkungan menjadi
semakin besar karena berkurangnya siklus pembaharuan udara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja kegiatan masyarakat diperkotaan yang memicu pada
permasalahan lingkungan serta bagaimana dampaknya?
2. Apa yang dimaksud ruang terbuka hijau dan seberapa pentingkah
perannya dalam kehidupan khususnya daerah perkotaan?
3. Bagaimana ruang terbuka hijau dapat meminimalisir efek buruk dari
gas-gas beracun penemar udara?
1.3 Tujuan Tulisan
Tujuan dari tulisan ini adalah memberitahukan bagaimana permasalahan dalam
lingkungan di daerah perkotaan dapat terjadi serta betapa pentingnya peran Ruang
Terbuka Hijau (RTH) dalam berbagai aspek bagi kelangsungan hidup masyarakat
kota.
BAB II
PENCEMARAN KOTA
Pemanasan global adalah fenomena yang menjadi isu krusial baik di tingkat
nasional maupun internasional. Hal ini dengan sangat cepat mengancam
keberlangsungan hidup manusia, sehingga harus segera ditanggapi dengan serius
bukan hanya oleh pemerintah atau aktivis-aktivis lingkungan, namun juga oleh
seluruh umat manusia. Pemanasan global adalah suatu kejadian alam, dimana suhu
atmosfer bumi mengalami peningkatan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas,
baik yang terjadi secara alami atau merupakan hasil perbuatan manusia. Akhir-akhir
ini pemanasan global telah mengakibatkan terjadinya bencana alam di berbagai
penjuru dunia. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pemanasan
global, khususnya disebabkan oleh paham antroposentrisme yang menganggap
manusia sebagai pusat dari kehidupan alam semesta, sehingga manusia berhak
mengeksploitasi SDA guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas.
Tingginya hasrat untuk memuaskan kebutuhan manusia membuat kita melupakan
dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang semakin
lama semakin meningkat.
Populasi manusia terus meningkat secara drastis. Menurut perhitungan statistik
Populasi Penduduk Dunia PBB ,tepat pada tanggal 31 Oktober 2011 lalu populasi
manusia di dunia telah mencapai tujuh milyar jiwa. Hal ini telah menjadi perhatian
khusus dalam rangka mengantisipasi semakin membeludaknya permintaan akan
pemenuhan kebutuhan hidup yang seiring dengan kemajuan teknologi dan gaya
hidup yang serba modern. Semakin banyak manusia yang lahir maka semakin
banyak pula penyediaan terhadap berbagai kebutuhan. Inilah yang memicu adanya
perilaku eksploitasi terhadap SDA secara besar-besaran.
Jumlah populasi yang terus bertambah semakin menciptakan kesesakan khususnya
daerah perkotaan, yang kini telah menjadi pusat aktivitas perekonomian masyarakat
dunia. Saat ini sekitar 52% penduduk tinggal di perkotaan dan diperkirakan
membengkak menjadi 68% pada 2025. Sebagian besar kegiatan manusia dalam
berbagai sektor berlangsung di perkotaan. Perkotaan menjadi padat dan sesak oleh
kendaraan yang berlalu-lalang dan bangunan-bangunan yang berlomba mencakar
langit, baik dari perumahan sampai dengan perusahaan dan industri. Hal ini
mengakibatkan ketidakmerataan penduduk karena perkotaan menjadi sasaran
masyarakat daerah dalam memperoleh sumber penghidupan. Dengan demikian,
bukanlah suatu hal yang aneh jika perkotaan memiliki kualitas lingkungan,
khususnya kualitas udara yang sangat rendah.
Urbanisasi yang tidak terkendali mengakibatkan tidak sedikit ruang di perkotaan,
yang seharusnya merupakan RTH yang harus dipertahankan, malah sebaliknya
menjadi kawasan perumahan elit ataupun pemukiman ilegal yang kumuh dan
berjajar disepanjang bantaran sungai dan rel kereta api. Tingginya jumlah pendatang
dari tahun ke tahun menyebabkan pembangunan menjadi terpusat hanya pada
daerah perkotaan. Seluruh mata rantai permasalahan yang berawal dari
perumbuhan populasi manusia dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan adalah
masalah utama penyebab krisis ekologi. Semakin banyak kaum urban, maka
semakin banyak bangunan yang harus dibangun, semakin banyak jumlah
kendaraan, semakin banyak jumlah sampah yang harus ditumpuk setiap hari dan
semakin banyak juga RTH yang harus dikorbankan. Selain hal itu, yang paling
penting adalah semakin banyak kecemasan dan kekhawatiran-kekhawatiran
terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar.
Menanggapi permasalah sampah, khususnya sampah organik yang dibuang oleh
setiap individu setiap hari, tentunya hal tersebut mengakibatkan jumlah sampah
organik yang tertampung di tempat pembuangan akhir (TPA) juga akan terus
bertambah. Sampah-sampah tersebut akan mengalami proses pembusukan secara
alamiah. “Proses pembusukan sampah organik tersebut akan mengeluarkan gas
methana (CH4) yang berbahaya untuk lingkungan” (Wardhana 2010). Salah satu zat
racun lainnya yang mendukung peningkatan suhu bumi kita yang merupakan hasil
pembakaran dari bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi dan gas bumi) seperti
kendaraan, kegiatan rumah tangga dan juga industri adalah CO yang apabila
terlepas ke udara dan bercampur dengan O2 yang berlimpah di udara makaakan
membentuk CO2.Methana (CH4) dan karbon dioksida (CO2)adalah dua jenis gas
rumah kaca yang paling banyak terdapat di udara daerah perkotaan. Mengenai gas
rumah kaca dijelaskan sebagai berikut:
“Gas rumah kaca atau green house gasses adalah sekelompok gas yang terdiri
atas gas-gas CO2 (karbon dioksida), CH4 (methan), NO2 (nitrogen oksida), CFC
(chloro fluoro carbon), HFC (hidro fluoro karbon), PFC (perfluoro carbon) dan
SF6 (sulfur hexa fluorida)” (Wardhana 2010).
Inilah alasan mengapa kota mengalami kerusakan lingkungan yang sangat cepat.
Terjadi peningkatan rumah-rumah baik legal maupun ilegal, gedung-gedung kaca
yang menjulang, transportasi bahkan peningkatan sampah yang berdampak pada
kesehatan lingkungan kota. Seluruh aktivitas tersebut melepaskan gas-gas beracun
ke udara yang mencemar dan merusak lingkungan bumi sehingga terjadilah
perubahan iklim yang kini tidak menentu dan sulit diprediksi. Pencemaran udara
adalah salah satu permasalahan krusial dalam isu lingkungan khususnya di
perkotaan. Mengenai berbagai zat pencemar lingkungan perkotaan dideskripsikan
sebagai berikut:
“Di lingkungan perkotaan, pencemar udara dikeluarkan terutama dari proses
kegiatan pembakaran bahan bakar minyak, baik dari sektor pemukiman, transportasi
maupun industri, serta hasil pengelolaan limbah padat perkotaan. Berbagai zat
pencemar utama perkotaan adalah hasil produk pembakaran bahan bakar minyak
dan fosil, yaitu CO, CO2, NO2,NO,SO2, hidrokarbon, timah hitam (Pb) dan partikulat
padat tersuspensi” (Soedomo 2001).
Partikel-partikel zat tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, diantaranya
adalah partikel debu yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan kronis seperti
bronchitis, emfiesma paru, asma brochnical dan bahkan kanker paru. Kadar timah
(Pb) yang tinggi di udara dapat mengganggu pembentukan sel darah. SOx, NO X, H2S
dapat merangsang saluran pernapasan yang mengakibatkan iritasi dan peradangan.
Secara umum, semua bahan pencemar gas yang terlarut dalam udara dapat
langsung masuk ke dalam tubuh sampai ke paru-paru yang pada akhirnya diserap
oleh sistem peredaran darah.
BAB III
RUANG TERBUKA HIJAU
Ketidakseimbangan antara peningkatan jumlah zat-zat pencemar dengan
berkurangnya RTH perkotaan seharusnya menjadi fokus utama dalam
pembangunan daerah perkotaan guna menciptakan kesejahteraan bagi
penduduknya. Hal tersebut menjadi penting karena semakin berkurangnya jumlah
ruang terbuka hijau memicu banyak permasalahan lain sehingga menurunkan
kenyamanan dan merusak ekologi perkotaan, seperti banjir, menurunnya
ketersediaan air tanah, meningkatnya polusi udara dan suhu kota yang berakibat
pada munculnya berbagai penyakit baru.
Dalam upaya menghadapi permasalahan ini, tindakan penanaman pohon di setiap
lahan atau ruang terbuka yang tersisa adalah kunci utama yang dapat dan dengan
mudah untuk segera dilakukan. Ruang terbuka hijau sebaiknya ditanami pepohonan
yang mampu mengurangi polusi udara secara signifikan. Dalam UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan disebutkan bahwa pengertian RTH adalah area
memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Dan dalam undang-undang ini disyaratkan luas RTH
minimal 30% dari luas wilayah (negara, provinsi, kota/kabupaten). Namun pada
kenyataannya, hanya kurang lebih 10% hingga 20% dari keseluruhan luas perkotaan
yang dapat dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. Dapat kita lihat, bahwa
daerah perkotaan telah menjadi daerah komersil yang setiap jengkalnya
dimanfaatkan untuk usaha dan pembangunan lainnya.
“Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural,
dan Ekonomi” (Kuantitas… 2001). Ketersediaan RTH berperan dalam memasok O2,
menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga), mereduksi beberapa
zat pencemar udara seperti gas rumah kaca, membantu penyerapan air hujan,
menjaga kesuburan tanah, membantu menghindari kebisingan, menciptakan
kesejukan oleh rimbunnya dedaunan serta suasana kota yang lebih indah dan
nyaman. Keberadaan pohon harus diperhatikan melalui cara penyediaan RTH
karena sebagaimana dijelaskan bahwa pohon:
“Memasok kebutuhan oksigen (O2). Melalui proses fotosintesis, tajuk pohon
mengurangi kadar CO2 (hasil aktivitas manusia, pabrik, kendaraan bermotor) di
udara dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan manusia. Menurut Mudjono
(1977), setiap 1 hektare lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton O2”
(Manfaat… 2011).
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari RTH, namun masih terlalu banyak
khalayak yang belum menyadari hal ini. Pentingnya RTH bagi kehidupan telah
dianaktirikan, padahal ini adalah faktor utama yang dapat menjamin
keberlangsungan hidup yang bersih, sehat, nyaman dan indah. Jika zaman dahulu
permukaan daratan masih berupa tanah dan bebatuan, berbeda dengan sekarang
yang sangat susah menemukan tanah kosong. Jika zaman dahulu air hujan dapat
segera terserap oleh akar-akar tumbuhan, berbeda dengan sekarang bahwa air
lebih sering menggenang karena tidak ada aliran. Secara lebih rinci mengenai fungsi
dan manfaat RTH dalam empat aspek ekologis, ekonomi, sosial dan arsitektural
dijelaskan dalam tabel yang terlampir pada halaman akhir makalah ini.
RTH daerah perkotaan sangatlah beragam. “RTH di perkotaan dapat berupa
lapangan olahraga, hutan kota, taman kota, taman lingkungan perkotaan, atau
kawasan dan jalur hijau sepanjang jalan” (Maniac 2011). Keberadaan mereka
adalah sangat penting, khususnya dalam menjaga sirkulasi udara dan keterseiaan
air tanah. Selain itu, RTH dapat menjadi pilihan lokasi kunjungan alternatif untuk
sekedar melepas kepenatan di akhir pekan sekedar jalan atau lari pagi dan duduk-
duduk besama keluarga dan teman. RTH menjadi solusi dalam merespon berbagai
tantangan perubahan iklim yang berakibat pada banyak aspek dalam
keberlangsungan hidup manusia khususnya masyarakat kota.
PENUTUP
Kesimpulan
Melihat daripada fungsi RTH, maka telah kita ketahui bahwa banyak sekali manfaat
yang dapat diperoleh dari RTH bagi kelangsungan hidup manusia khususnya di
perkotaan. Kesadaran manusia akan pentingnya peran tumbuhan pada RTH harus
terus disosialisasikan agar manusia semakin bijak dalam bertindak. Sudah
seharusnya manusia mengaitkan aspek lingkungan sebagai sebuah pertimbangan
dalam pengambilan setiap keputusan dalam hidupnya. Setiap kerusakan lingkungan
yang terjadi akan terus berkesinambungan terhadap munculnya berbagai macam
permasalahan lainnya. Bukan hanya berdampak terhadap manusia, namun juga
terhadap beraneka ragam flora dan fauna yang ditakutkan lambat laun akan
menghilang dan punah. Menciptakan RTH serta menjaga dan melindungi
kelestariannya adalah salah satu tugas mulia yang menjadi tanggung jawab setiap
manusia.
Saran
RTH telah menjadi syarat penting dalam pembangunan perkotaan demi
keberlangsungan hidup yang sehat dan nyaman. Hal itu semua tidak terlepas dari
peran serta seluruh masyarakat kota untuk terlibat dalam menjaga kelestarian
lingkungan kota, sebagaimana kita ketahui bahwa hanya sedikit sekali RTH yang
tersisa. Pemerintahpun kurang tegas dalam menyikapi pembangunan kota yang
menghiraukan masalah ini. Namun masih segelintir masyarakat kota yang paham
mengenai betapa pentingnya keberadaan penghijauan. Oleh sebab itu, penulis
memberikan saran sebagai berikut :
Perlunya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berkriteria
ramah lingkungan dengan menyediakan lahan untuk taman.
Bukan sekedar aksi-aksi lingkungan seperti penanaman kembali
pepohonan saja yang perlu ditingkatkan, tetapi seiring dengan hal
tersebut yang lebih penting adalah rasa memiliki dan menyayangi
lingkungan yang dapat dimulai dari penyadaran oleh pemerintah
melalui sosialisasi dan pemberlakuan kembali sangsi-sangsi bagi
seluruh lapisan masyarakat diberbagai lokasi.
Pemerintah harus menegakkan kembali dengan sangat tegas bagi
pelanggar UU No. 32/2009 dalam menindak lanjuti segala kegiatan
yang menimbulkan pencemaran lingkungan atau berdampak buruk
terhadap lingkungan hidup.
Pemerintah sebaiknya membebaskan sisa lahan di kota untuk
penghijaun secara maksimal.
Masyarakat perkotaan sebaiknya menyediakan sedikit lahan di
halaman rumahnya atau ruang di dalam maupun di luar rumah
yang dapat dimanfaatkan sebagai area hijau.
Memfungsikan kelompok penyelamat lingkungan serta memberi
penghargaan kepada para pahlawan lingkungan sehingga memacu
pada tiap individu untuk menciptakan lingukungan kota yang sehat
dan bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. [tidak ada
tahun]. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Bogor [ID]: Lab.
Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB.
[Internet]. [diunduh 5 November 2011]. Format: PDF. Dapat diunduh
dari:http://penataruang.nettarumakalah.bnpb.co.id
Pahrurodji P. 2009. Laut Kita Sumber Potensi Masa Depan, Bukan Tempat
Sampah. Bogor [ID]: Aung Shin Sei. 149 hal.
Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (Rth) di Permukiman Kota.
2001. [Internet]. [diunduh 5 November 2011]. Format: PDF. Dapat diunduh
dari: http:/prints.undip.ac.id/14701/Kuantitas-dan-Kualitas-Ruang-Terbuka-
Hijau
Manfaat Pohon. 2011. [Internet]. [diunduh 5 November 2011]. Dapat diunduh
dari:http://www.hutanrakyat.perumperhutani.com
Maniac Administrator. Januari 2011. Ruang Terbuka Hijau. [Internet]. [diunduh 5
November 2011]. Dapat diunduh
dari
:http://werdhapura.penataanruang.netindex.phpoption=com_jfusion&jfile
=doku.php&id=isu_stra
Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung [ID]: Penerbit ITB. Hal. 7.
Wardhana WA. 2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta [ID]: Penerbit
ANDI Yogyakarta. 188 hal.
Pengertian dan Dasar Hukum Ruang Terbuka Hijau
Juni 23, 2011 · Disimpan dalam Hukum Lingkungan, Penataan Ruang ·
TaggedRTH
Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat RTH memiliki banyak pengertian. Di dalam
pengaturannya RTH juga dapat disebut dengan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan (RTHKP), seperti
yang diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (Permendagri RTHKP). Berikut akan dipaparkan beberapa pengertian
RTH yang akan menjadi pegangan dalam penulisan skripsi ini.
Pengertian RTH menurut Purnomo Hadi (1995), adalah:
1. Suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah,
semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu);
2. “Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis
tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan
tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan
lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan
pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang
bersangkutan” .
Di dalam Pasal 1 Butir 31 UUPR, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan dalam Pasal 1 Butir 2 Permendagri RTHKP,
ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang
terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat
ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan oleh IPB, RTH Kota dapat
didefenisikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi
oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung
dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.
Sedangkan pengertian ruang terbuka menurut Pasal 1 Butir 1 Permendagri RTHKP, ruang terbuka adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam
bentuk area memanjang jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya
tanpa bangunan.
Dasar Hukum Ruang Terbuka Hijau
Di bawah ini akan dipaparkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
RTH, yaitu:
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28 H Ayat (1) tentang
hak seseorang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(UU KSDAH)
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UU BCB)
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
• Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR)
• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2005
tentang perubahan pertama dan UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
• Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UU BG)
• Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
• Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
• Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
• Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan
Lahan Perkotaan
• Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan
Ruang Daerah
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan (Permendagri RTHKP)
• Permen Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Permen PU)
RUANG TERBUKA
HIJAU
(RTH)
Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora
Adapun kawasan ruang terbuka hijau binaan dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan olahraga taman, kebun hortikultura, hutan kota, taman di lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, dan termasuk bangunan pelengkap atau kelengkapannya
Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.
Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil.
IV. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik. a. Daya Dukung Ekosistem
Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.
b. Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor
- Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas
berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.
- Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan
aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.
c. Pengamanan Lingkungan Hidrologis
- Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.
- Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air tanah, maka
secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.
d. Pengendalian Suhu Udara Perkotaan
- Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
- Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai
indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.
e. Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan
- Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.
- Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting
dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.
f. Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan
- Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.
- Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah
menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.
V. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia. a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkunganb. Penciptaan susunan ruang vistac. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan. 5.1. Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah. Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan. 5.1.2 Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan. Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu. Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia. Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia. Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove (1983). Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana
digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.
Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang.
Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.
Menurut Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
Daerah tempat pertemuan warga
Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat
Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan. Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat. Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di negara lain.
Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar
No. Kota Populasi (juta jiwa)
RTH (m2/jiwa)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
11
12
Kobe
Tokyo
1,40
11,80
8,10
2,10
Sumber : Liu Thai Ker, 1994
Dalam rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, contoh kasus pengembangan pembangunan pertamanan yang diterapkan di Roterdam (A.B Grove danR.W. Cresswell dalam City Landscape) dapat dikemukakan tabel dibawah ini:
Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam terbagi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini :
Tabel Pembagian Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam
Unit Jenis Ruang Terbuka Hijau Keterangan
1 Ruang Terbuka Hijau di Lokasi Perumahan (House Block Greenspace)
Luas = + 50 – 5000m2
Jarak Tempuh, max = 250 m
Lokasi : di dalam area perumahan
Standard : 2,8 – 3,7 m2/ penduduk
2 Ruang Terbuka Hijau di Bagian Kota (Quarter Greenspace)
Luas = + 5000m2 (4 Ha)
Jarak Tempuh, Max = 400 m
Lokasi : radius + 300 – 500 m
Standard : 3,6 – 4,5 m2/ penduduk
3 Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Kota (District Greenspace)
Luas = + min 8 Ha
Jarak tempuh, max = 800 m
Lokasi : di wilayah kota
Standar : 3,7 – 4,8 m2/ penduduk
Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka hijau bagian wilayah kota
4 Ruang Terbuka Hijau Kota (Town Greenspace)
Luas = 20 – 200 Ha
Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi
Standar : 9 – 12,8 m2/ penduduk
5.1.3. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakansub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %. Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recoveryfungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota. Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk. Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau. Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.
Sumber :
http://rustam2000.wordpress.com/ruang-terbuka-hijau/
Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup rumit
untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada
beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan
kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya
kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut
cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian
besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-
lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang
terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan
penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga
menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan
menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas
jalan tertentu.
Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini
mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata
guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor
utama dalam menata ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang
kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari
solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang
yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.
2. Rumusan MasalahBeradasarkan latar belakang di atas maka hal yang akan dibahas di sini adalah definisi
serta peran dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam perencanaan kota.
BAB IIPEMBAHASAN
1. Ruang Terbuka
Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya[2].
Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif
untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri
dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga
menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Hal ini umumnya
merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis.
Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai
bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan
pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk
mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknik
bioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.
Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai
berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem
transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan
utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari
suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan
kotanya[3].2. Ruang Terbuka Hijau
Secara historis pada awalnya istilah ruang terbuka hijau hanya terbatas untuk vegetasi berkayu (pepohonan) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan kehidupan manusia. Danoedjo (1990) dalam Anonimous (1993) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, dimana didominasi oleh tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alami. Ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan berdasarkan letak dan fungsinya sebagai berikut :
ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space); ruang terbuka di pinggir sungai (river flood plain); ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan (greenways); ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar
Udara.
Berdasarkan fungsi dan luasan, ruang terbuka hijau dibedakan atas :
Ruang terbuka makro, mencakup daerah pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota, dan pengaman di ujung landasan Bandar Udara;
Ruang terbuka medium, mencakup pertamanan kota, lapangan olah raga, Tempat Pemakaman Umum (TPU);
Ruang terbuka mikro, mencakup taman bermain (playground) dan taman lingkungan (community park).
Haryadi (1993) membagi sistem budidaya dalam ruang terbuka hijau dengan dua sistem yaitu sistem monokultur dan sistem aneka ragam hayati. Sistem monokultur hanya terdiri dari satu jenis tanaman saja, sedang sistem aneka ragam hayati merupakan sistem budidaya dengan menanam berbagai jenis tanaman (kombinasi antar jenis) dan dapat juga kombinasi antar flora dan fauna, seperti perpaduan antaran taman dengan burung-burung merpati. Banyak pendapat tentang luas ruang terbuka hijau ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota.
Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984)
menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas
kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Direktorat Jendral Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang
dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit
atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang
terbuka hijau akan dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus benar-benar
diperhitungkan secara proporsional.
RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang terkait
dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika
yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas
lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai
kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam
suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya
harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis,
kondisi dan ke-inginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota
merupakan determinan utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.
Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas
lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional
dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan.
Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi
tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya.
1. Fungsi Ruang Terbuka HijauTanaman secara fisiologis bersifat menetralisir keadaan lingkungan yang berada di
bawah daya tampung lingkungan. Kemampuan ini dapat berasal dari kerja fotosintesis yang dapat menyerap polutan udara; melalui proses evapotranspirasi dapat menyimpan air hujan sebagai imbuhan untuk air tanah; sedangkan aroma yang dikeluarkan tanaman, maupun bentuk fisik tanaman (bentuk tajuk dan pilotaxy batang yang khas) secara tidak langsung bermanfaat untuk melindungi lingkungan dari terik matahari atau mencegah erosi dan sedimentasi. Dengan kemampuan tersebut, maka tanaman dalam ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai berikut :a. Ameliorasi iklim, artinya dapat mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Ruang
terbuka hijau menghasilkan O2 dan uap air (H2O) yang menurunkan, serta menyerap CO2 yang bersifat gas rumah kaca sehingga dapat menaikkan suhu udara dan berpengaruh pada iklim mikro setempat
b. Memberikan perlindungan terhadap terpaan angin kencang dan peredam suara. Tanaman berfungsi sebagai pematah angin (windbreak) dan peredam suara (soundbreak)
c. Memberikan perlindungan terhadap terik sinar matahari. Kehadiran tanaman dalam ruang terbuka hijau akan mengintersepsi dan memantulkan radiasi matahari untuk fotosintesis dan transpirasi sehingga di bawah tajuk akan terasa lebih sejuk
d. Memberikan perlindungan terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring udara kotor dan debu
e. Mencegah erosi. Arsitektur tanaman (pilotaxi) berupa pohon akan mempengaruhi sifat aliran batang (steam flow) air hujan yang tertampung oleh tajuk, sehingga dapat mempengaruhi tata air dan erosi lahan.
f. Merupakan sarana penyumbang keindahan dan keserasian antara struktur buatan manusia secara alami;
g. Ruang terbuka hijau berfungsi secara tidak langsung untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat.
h. Membantu peresapan air hujan sehingga memperkecil erosi dan banjir serta membantu penanggulangan intrusi air laut. Tanaman dalam ruang terbuka hijau yang diperuntukkan untuk mencegah intrusi air laut adalah jenis tanaman yang berkemampuan dalam menyerap, menyimpan, dan memasok air. Sebagai sarana rekreasi dan olah raga;
i. Tempat hidup dan berlindung bagi hewan dan pakan mikroorganisme;j. Sebagai tempat konservasi satwa dan tanaman lain;k. Sarana penelitian dan pendidikan;l. Sebagai pelembut, pengikat, dan pemersatu bangunan;m. Meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila jenis tanaman
yang ditanam bernilai ekonomi;n. Sarana untuk bersosialisasi antar warga masyarakat;o. Sebagai media pengaman antar jalur jalan.
Sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan penyelenggaraan ruang terbuka hijau di kota sesuai dan tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota masing-masing;
2. Bagi daerah yang telah memiliki Ruang Terbuka Hijau, maka harus mengadakan penyesuaian dengan peraturan instruksi ini;
3. Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian fungsi serta peranan Ruang Terbuka Hijau dengan melarangnya untuk penggunaan dan peruntukan ruang yang lain;
4. Melaksanakan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk mencapai pembangunan berwawasan lingkungan.
4. Elemen Pengisi RTH
RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi
dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang
berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan
memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan
rancangan RTH yang berbeda.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta
kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan
pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis yang akan ditanam.Persyaratan umum tanaman
untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a. Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota,
b. Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c. Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme)
d. Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang
e. Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural
f. Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota
g. Bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h. Prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal
i. Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu
(ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan
tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna
mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
5. Teknis Perencanaan RTH
Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah
perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
a. Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara
komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah
2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)
3) Arah dan tujuan pembangunan kota RTH berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis
yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat.
b. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH
c. Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi) Seleksi
tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
Menurut Correa, (1988), dalam penelitian dikatakan bahwa apabila RTH diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
a. Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadib. Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetanggac. Daerah tempat pertemuan wargad. Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga
masyarakat
6. Pendekatan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya
Pendekatan ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia.
a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkunganb. Penciptaan susunan ruang vistac. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.
Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah.
Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.
a) Ruang Terbuka Hijau di Luar NegeriKesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju
telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.
Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New Yorkoleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove (1983).
Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
b) Ruang Terbuka Hijau di Dalam NegeriHampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk
rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.
Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.
Sebagai contoh Pembangunan infrastruktur di kota Makassar makin maju. Tapi ruang terbuka hijau makin minim. Begitu minimnya, ruang terbuka hijau (RTH) di makassar tak cukup sepuluh persen dibanding luas wilayah. Padahal seharusnya, minimal 30 persen. Minimnya RTH ini tentu berdampak pada kesehatan lingkungan. Sebab kota yang sehat, tentu harus memiliki paru-paru kota. Dan paru-paru kota itu adalah taman-taman kota. Hadirnya taman kota yang cukup juga sangat penting dalam mewujudkan makassar sebagai kota dunia 2025 mendatang[4].
7. Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas RTH
Ruang terbuka hijau sebaiknya ditanami pepohonan yang mampu mengurangi polusi udara secara signifikan.. Menurut penelitian di laboratorium,pohon yang baik di tanam adalah pohon felicium, mahoni, kenari, salam, perdu dan anting anting. Upaya yang penanaman bisa pula dilakukan warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan penanaman pohon atau tanaman perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk menutupi kekurangan tempat menyimpan cadangan air tanah, setiap keluarga bisa melengkapi rumahnya, yang masih memiliki sedikit halaman, dengan sumur resapan. Sumur resapan merupakan sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur, kolam dengan resapan, dan sejenisnya. Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan mengurangi debit banjir dan genangan air di musim hujan. Salah satu contoh upaya yang baik untuk mengembalikan kualitas dan kuantitias RTH yang dapat diterapkan di lingkungan permukiman adalah beberapa kebijaksanaan perencanaan oleh pemerintah
Upaya yang harus dilakukan Kota Makassar dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan sebagai berikut:
Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:o Untuk kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total kawasan.o Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau
minimum 15 % dari luas kawasan.o Untuk kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau minimum
20 % terhadap luas kawasan secara keseluruhan. Pada kawasan terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan tanahnya. Secara umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah semakin besar kapling bangunan, nilai KDB dan KLB makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran kapling, maka nilai KDB dan KLB akan semakin besar.
Untuk mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan baik yang telah ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan air. Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota, tinggi muka air tanah agar tidak makin menurun. Pada tingkat yang tinggi, kekurangan air permukaan ini akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi bangunan.
Untuk meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan resapan air yang menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap wilayah tangkapan air.
Untuk kawasan pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur angkutan umum adalah 250 meter.
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN
A. KesimpulanPermintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat
akseleratif untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Maka dari itu perlunya keberadaan RTH untuk melestarikan dan menjaga kestabilan lingkungan perkotaan.
Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang akan ditanam. RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya.
B. Saran1. Beberapa upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah:
Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;
Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green cities);
Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.
2. Upaya yang dilakukan masyarakat adalah tetap menjaga kebersihan lingkungan dan senantiasa mendukung seluruh rencana pemerintah dalam merencanakan RTH di wilayah kota.