dm vs tb

9
Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada Infeksi Tuberkulosis Dyah Retno Wulandari *, Yani Jane Sugiri ** * Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. ** Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Abstrak Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) aktif sebesar 3,11 kali. Dengan peningkatan pandemik DM yang 80% berada di daerah endemik TB, maka TB akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Meskipun laju insidens TB mengalami penurunan tapi belum mencapai angka yang diharapkan, yaitu target laju insidens sebesar 1 kasus baru per 1 juta penduduk. Diabetes merupakan penyakit dengan dampak gangguan sistem imun, terutama sistem imun selular. Sistem ini berperan utama untuk menghambat terjadinya infeksi TB. Diabetes memberikan dampak manifestasi TB yang lebih buruk daripada penderita TB tanpa DM. Diabetes dapat menjadi faktor risiko ditemukannya BTA pada sputum, dengan konversi yang lebih lama dari pada penderita TB tanpa DM, sehingga meningkatkan risiko penularan dan risiko resistensi kuman. Diabetes juga mempengaruhi prognosis pada pengobatan TB, dalam hal ini dapat meningkatkan kematian, risiko kegagalan terapi dan relaps. Panduan untuk pengelolaan dan penatalaksanaan TB dengan DM masih belum didukung dengan penelitian yang komprehensif. World Health Organization mulai merintis pengelolaan dan penatalaksanaan sejak tahun 2009. Panduan WHO tahun 2011 masih merupakan panduan global dan acuan pengembangan penelitian lebih lanjut. (J Respir Indo. 2013; 33:126-34) Kata kunci: Tuberkulosis, diabetes melitus, disfungsi sistem imun. Diabetes Mellitus and Its Problems in Tuberculosis Infection Abstract Diabetes mellitus (DM) increases the risk of active tuberculosis (TB) infection by 3.11 times. With the increase in the pandemic, which 80% DM in TB endemic areas, the TB will be a problem in the future. Although the incidence rate of TB has decreased, but still not reached a trend that is expected to reach the target rate of incidence to 1 new case per 1 million populations. Diabetes is a disease with immune system disorders, especially the impact of cellular immune system where the system is the critically role of the restriction of TB infection. Diabetes manifestation impact of TB is worse than TB patients without DM. Diabetes can be a risk factor of bacterial load in the sputum smear, with a longer conversion then TB patients without DM, thereby increasing the risk of transmission and the risk of bacterial resistance. Diabetes also affects the prognosis in the treatment of TB. It can increase mortality, the risk of treatment failure and relapse. Guidelines for care and control of TB with DM has not been supported by comprehensive research. WHO began pioneering the guideline in care and control since 2009. WHO guidelines in 2011 remains a global guide and benchmark the development of further research. (J Respir Indo. 2013; 33:126-34) Keywords: Tuberculosis, diabetes mellitus, immune system dysfunction. PENDAHULUAN Sampai saat ini diabetes melitus (DM) telah 1 menjadi pandemi yang terus meningkat. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat dua kali lipat dari tahun 2005 ke tahun 2030 berdasarkan peningkatan harapan hidup 2 dan urbanisasi. Global survey 2008 yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa penderita DM telah mencapai 347 juta orang, 3 dengan tren yang terus meningkat. Prevalens DM di Indonesia mencapai 6,6% pada laki-laki dan 7,1% pada perempuan, dengan prevalens untuk total populasi 4 sebesar 6,9%. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun 5 yang menderita DM. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa diabetes meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan bawah dan infeksi di tempat lain. Data WHO menunjukkan bahwa DM akan meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali 3 lebih besar dari populasi normal. Sementara itu, sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan menderita infeksi laten Mycobacterium 1,6 tuberculosis, 95% tersebar di negara berkembang. Jumlah kasus TB yang terjadi di dunia setiap tahun masih terus berkembang, meskipun tingkat pening- 126 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013

Upload: dhellaa-noviana

Post on 31-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

KJKSLAJLKM

TRANSCRIPT

Page 1: dm vs tb

Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada Infeksi Tuberkulosis

Dyah Retno Wulandari *, Yani Jane Sugiri **

* Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

** Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,

Malang.

AbstrakDiabetes melitus (DM) meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) aktif sebesar 3,11 kali. Dengan peningkatan pandemik DM yang 80% berada di daerah endemik TB, maka TB akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Meskipun laju insidens TB mengalami penurunan tapi belum mencapai angka yang diharapkan, yaitu target laju insidens sebesar 1 kasus baru per 1 juta penduduk. Diabetes merupakan penyakit dengan dampak gangguan sistem imun, terutama sistem imun selular. Sistem ini berperan utama untuk menghambat terjadinya infeksi TB. Diabetes memberikan dampak manifestasi TB yang lebih buruk daripada penderita TB tanpa DM. Diabetes dapat menjadi faktor risiko ditemukannya BTA pada sputum, dengan konversi yang lebih lama dari pada penderita TB tanpa DM, sehingga meningkatkan risiko penularan dan risiko resistensi kuman. Diabetes juga mempengaruhi prognosis pada pengobatan TB, dalam hal ini dapat meningkatkan kematian, risiko kegagalan terapi dan relaps. Panduan untuk pengelolaan dan penatalaksanaan TB dengan DM masih belum didukung dengan penelitian yang komprehensif. World Health Organization mulai merintis pengelolaan dan penatalaksanaan sejak tahun 2009. Panduan WHO tahun 2011 masih merupakan panduan global dan acuan pengembangan penelitian lebih lanjut. (J Respir Indo. 2013; 33:126-34) Kata kunci: Tuberkulosis, diabetes melitus, disfungsi sistem imun.

Diabetes Mellitus and Its Problems in Tuberculosis Infection

AbstractDiabetes mellitus (DM) increases the risk of active tuberculosis (TB) infection by 3.11 times. With the increase in the pandemic, which 80% DM in TB endemic areas, the TB will be a problem in the future. Although the incidence rate of TB has decreased, but still not reached a trend that is expected to reach the target rate of incidence to 1 new case per 1 million populations. Diabetes is a disease with immune system disorders, especially the impact of cellular immune system where the system is the critically role of the restriction of TB infection. Diabetes manifestation impact of TB is worse than TB patients without DM. Diabetes can be a risk factor of bacterial load in the sputum smear, with a longer conversion then TB patients without DM, thereby increasing the risk of transmission and the risk of bacterial resistance. Diabetes also affects the prognosis in the treatment of TB. It can increase mortality, the risk of treatment failure and relapse. Guidelines for care and control of TB with DM has not been supported by comprehensive research. WHO began pioneering the guideline in care and control since 2009. WHO guidelines in 2011 remains a global guide and benchmark the development of further research. (J Respir Indo. 2013; 33:126-34)Keywords: Tuberculosis, diabetes mellitus, immune system dysfunction.

PENDAHULUAN

Sampai saat ini diabetes melitus (DM) telah 1menjadi pandemi yang terus meningkat. Diperkirakan

jumlahnya akan meningkat dua kali lipat dari tahun 2005

ke tahun 2030 berdasarkan peningkatan harapan hidup 2dan urbanisasi. Global survey 2008 yang dilakukan

oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan

bahwa penderita DM telah mencapai 347 juta orang, 3dengan tren yang terus meningkat. Prevalens DM di

Indonesia mencapai 6,6% pada laki-laki dan 7,1% pada

perempuan, dengan prevalens untuk total populasi 4sebesar 6,9%. Berdasarkan pola pertambahan

penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan

ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun 5yang menderita DM. Terdapat bukti-bukti yang

menunjukkan bahwa diabetes meningkatkan risiko

infeksi saluran pernapasan bawah dan infeksi di tempat

lain. Data WHO menunjukkan bahwa DM akan

meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali 3lebih besar dari populasi normal.

Sementara itu, sekitar sepertiga penduduk dunia

diperkirakan menderita infeksi laten Mycobacterium 1,6tuberculosis, 95% tersebar di negara berkembang.

Jumlah kasus TB yang terjadi di dunia setiap tahun

masih terus berkembang, meskipun tingkat pening-

126 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013

Page 2: dm vs tb

6katannya melambat. World Health Organization

mencatat penurunan tingkat kecepatan sekitar 35%

sejak tahun 1990, dengan 139 kasus baru setiap

100.000 penduduk. Penderita TB di Indonesia pada

tahun 2010 diperkirakan mencapai 690.000 penderita

dengan prevalence rate 289 per 100.000 penduduk.

Dan diperkirakan terdapat 450 ribu kasus baru pada

tahun 2010 dengan incident rate 189 setiap 100.000

penduduk. Indonesia menjadi negara dengan penderita

TB tertinggi ke-3 pada tahun 2007 dan menjadi yang 7kelima pada tahun 2010.

World Health Organization menetapkan target

pada tahun 2050 penurunan insidens TB sampai

dengan 1 kasus per 1 juta penduduk. Tren penurunan

kasus TB secara global belum mencapai target ini.

Untuk itu perlu dilakukan upaya tambahan untuk

meningkatkan deteksi TB dan kesuksesan terapi

melalui peninjauan pada populasi khusus dengan faktor 3risiko TB, diantaranya DM.

Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) diklasifikasikan menjadi

empat kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe

khusus yang lain, dan DM pada kehamilan. Kecurigaan

DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM

(poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) dan

keluhan lain (lemah badan, kesemutan, gatal, mata

kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki, serta pruritus 5 vulvae pada perempuan) (tabel 1).

Perubahan pertahanan paru pada DM

Paru pada penderita DM akan mengalami

perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar

dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat

sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti

yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan

neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi

sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi

penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas

difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen 8produksi karbondioksida.

Kejadian infeksi paru pada penderita DM

merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh,

dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada 9epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan

fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan

korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi

oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi

faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan 9infeksi.

Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate

immunity maupun adaptive immunity sangat berperan

da lam per tahanan tubuh terhadap kuman

Mycobacterium tuberculosis yang kemudian dapat

menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang merupakan

respons utama tubuh untuk melawan TB. Terdapat

peningkatan IFN- pada pasien DM, demikian pula TNF-

. Hal ini menunjukkan gangguan respons imun seluler.

Seperti diketahui untuk optimalisasi respons imun 10membutuhkan rangsangan kemokin yang lebih besar.

Terdapat peningkatan ambang batas untuk

sekresi TNF-K, IL-6, IL-8 pada pasien dengan diabetes

mellitus. Dalam sebuah percobaan in vitro, monosit

penderita DM diisolasi dan diberi rangsangan

lipopolisakarida (LPS) maka sekresi IL-1 dan IL-6 akan

turun dibandingkan pada monosit orang sehat. Dengan

metode yang sama dari monosit orang sehat yang

dipapar dengan kadar gula tertentu menunjukkan 11penurunan sekresi TNF- dan IL-6.

Makrofag dan monosit mengalami gangguan

kemotaksis dan fagositosis. Gangguan yang terjadi

merupakan defek intrinsik, oleh karena pada percobaan

in vitro monosit dari serum pasien tanpa DM, meskipun 11dipapar gula, tetap memiliki fungsi yang normal. Garud

12dkk. dari penelitiannya di India juga menunjukkan

penurunan indeks fagositik makrofag pada penderita

DM, dikatakan indeks ini berhubungan terbalik dengan

kadar gula dan HbA1C.

Hubungan DM dengan infeksi TB

Hubungan DM dengan TB pertama kali

dilaporkan oleh Avicenna (Ibnu Sina) pada abad XI,

yaitu TB merupakan penyebab kematian utama

penderita DM. Pada otopsi postmortem didapatkan 1,13lebih dari 50% pasien DM menderita TB. Pada awal

J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013 127

Page 3: dm vs tb

abad 20, dikatakan bahwa penyebab kematian pasien

diabetes adalah ketoasidosis diabetik dan TB. Setelah

ditemukannya insulin pada tahun 1920 dan antibiotika

untuk tuberkulosis maka terdapat penurunan angka 1kematian akibat kedua penyakit tersebut. Penelitian

oleh Root tahun 1934 pada 245 pasien DM dengan TB

menunjukkan bahwa infeksi TB pada pasien DM usia

muda 10 kali lebih besar dari pasien non-DM, infeksi TB

terjadi pada 85% pasien yang didiagnosa DM, dan

dikatakan bahwa insidens TB paru meningkat dengan 13semakin lamanya menderita DM.

Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada

penderita DM diduga akibat dari gangguan sistem imun

yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat

kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita

DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati

dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada 11pasien tersebut. Jeon dan Murray (2008) menunjukkan

adanya risiko aktivasi TB pada pasien DM, namun

belum ada penelitian yang mendukung adanya 14peningkatan infeksi primer TB pada penderita DM.

Efek DM terhadap epidemi TB

Pandemi DM semakin meningkat dengan

sepertiganya diperkirakan menderita TB laten. Delapan

dari sepuluh negara dengan insidens diabetes tertinggi 1,15juga merupakan negara dengan infeksi TB tertinggi.

World Health Organization memprediksi adanya

peningkatan jumlah penyandang DM yang cukup besar

untuk tahun-tahun mendatang. Data WHO tahun 2010

menunjukkan bahwa saat ini terdapat 350 juta orang

yang menderita DM, dan lebih dari 80% penderita

tersebut berada di negara berkembang dengan

insidens TB yang tinggi. Pada tahun 2030 diperkirakan

angka ini akan meningkat separuhnya, sehingga

penderita infeksi TB laten memiliki risiko menjadi TB 15aktif seumur hidupnya.

Pada penderita DM dengan infeksi TB laten akan

menjadi TB aktif sebesar 10%. Data WHO 2010

menunjukkan sekitar 10% pasien TB berhubungan

dengan DM, dan terdapat peningkatan risiko infeksi TB 3,15sebesar 2-3 kali pada penderita DM. Restrepo (2007)

menunjukkan data odds ratio (OR) pasien TB dengan

DM sebesar 1,3 sampai 7,8 kali, dan terlihat DM

memang meningkatkan risiko TB aktif. Jika

dibandingkan dengan penderita HIV masih lebih

rendah, HIV dapat meningkatkan risiko TB aktif sebesar 1 2113-170 kali. Faurholt-Jepsen dkk. dalam peneli-

tiannya di Tanzania menunjukkan odds ratio infeksi TB 16pada DM adalah 2,2. Alisjahbana dkk. dari Indonesia

melakukan penelitian kohort dengan data yang lengkap

menunjukkan bahwa prevalens DM pada penderita TB

adalah 14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi

normal.

Pada tahun 2008, Jeon dan Murray melakukan

studi metaanalisis dari 13 penelitian dengan hasil

bahwa penderita DM memiliki risiko 3,11 kali lebih besar

pada populasi tanpa DM. Lebih lanjut, semakin tinggi

angka kejadian TB di suatu negara maka akan semakin 14,17 tinggi pula risiko terinfeksi TB. Sementara pada

negara tersebut sebagian besar kondisi TB dan DM

tidak terdiagnosis atau terdiagnosis pada kondisi yang 15terlambat. Sehingga hal ini akan meningkatkan angka

kejadian TB di dunia. Penyakit DM sangat mungkin

meningkatkan epidemi TB secara bermakna dan 18menjadi masalah besar di masa yang akan datang.

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

Atau

Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

Atau

Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL(11,1 mmol/L)TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

>

Tabel 1. Kriteria diagnosis DM

No Kriteria

1

2

3

Dikutip dari 5

128 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013

Page 4: dm vs tb

Infeksi TB pada DM sebagai penyakit akibat

kegagalan sistem imun

Kegagalan sistem imun menjadi penyebab DM

sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Dikatakan bahwa

DM memiliki potensi untuk bermanifes dalam bentuk 1,10klinis yang lebih berat. Respons selular baik innate

maupun adaptive memiliki gangguan fungsi pada

pasien DM, padahal respons selular merupakan

respons yang paling penting untuk membatasi infeksi 10 TB. Secara umum dari penelitian yang terakhir

menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel limfosit,

makrofag, monosit, namun satu penelitian dari Aweis 19dkk. menunjukkan jumlah imfosit yang menurun pada

pasien TB dengan DM dibandingkan pasien TB tanpa 19DM.

Kadar sitokin TNF- dan IFN- meningkat pada

pasien dengan TB dan DM, kedua sitokin ini penting

untuk aktivasi makrofag dan membatasi infeksi. Hal ini

menunjukkan bahwa respons sel imun selular menurun

dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi untuk 10optimalisasi respons imun.

Manifestasi klinis infeksi TB pada DM

Infeksi tuberkulosis paru dengan diabetes dapat

memberikan gambaran infiltrat di lobus manapun

daripada pola klasik di bagian segmen apeks posterior.

Penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam

kondisi yang lebih parah dan memiliki risiko penularan 1TB yang lebih tinggi.

Kondisi neuropati, mikro dan makroangiopati

serta gangguan respons imun dapat memberikan

perbedaan gejala klinis TB pada pasien DM dengan non

DM. Gangguan motilitas silia memungkinkan turunnya

reflek batuk, namun gangguan mikro dan makro-

angiopati yang terjadi dapat menimbulkan kegagalan

migrasi sistem imun, yang dapat menyebabkan kondisi

penyakit yang lebih buruk.16Alisjahbana dkk. dalam penelitiannya di

Indonesia menunjukkan bahwa pasien TB dengan DM

sebelum mendapatkan terapi memiliki gejala yang lebih

banyak dibandingkan pasien TB tanpa DM. Meskipun

begitu tidak ada bukti terdapatnya kondisi penyakit yang

lebih parah jika dilihat dari pemeriksaan darah,

bakteriologi, maupun radiologi. Gejala yang dilihat dari

penelitian ini adalah batuk, hemoptisis, sesak napas,

demam, keringat malam, dan penurunan berat badan,

masing masing gejala diberikan poin 1 dengan total 6.

Skor gejala lebih dari 4 digolongkan dengan gejala yang

berat. Penelitian yang ada di Malaysia, Saudi Arabia,

dan Turki tidak menunjukkan perbedaan gejala pada

penderita TB dengan DM dibandingkan dengan

penderita TB tanpa DM, sedangkan penelitian di

Meksiko menunjukkan gejala demam dan hemoptisis 16yang lebih tinggi pada penderita TB dengan DM.

Jenis infeksi TB ada penderita DM

Gangguan imunitas seluler pada DM

menyebabkan gambaran infeksi tuberkulosis paru yang

atipikal. Supresi sistem imunitas meningkatkan risiko

infeksi tuberkulosis ekstra paru. Pada pasien dengan

HIV/AIDS ditemukan lebih dari 50% manifestasi ekstra

paru. Diabetes melitus dengan gangguan imunitas

seluler sangat mungkin meningkatkan risiko kejadian

ekstra paru, namun hal ini tidak didukung oleh hasil dikutip dari 20penelitian yang ada. Nissapatom dkk. dari

Malaysia menunjukkan bahwa TB ekstra paru

didapatkan 4,6% pada penderita dengan DM dan 13%

pada penderita tanpa DM. Sedangkan penelitian di

Guinea, di Meksiko, di Texas, dan di Amerika juga

menunjukkan persentase yang lebih besar pada 20penderita non DM.

Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM

Pada beberapa penelitian gambaran radiologi

penderita TB paru dengan DM telah dideskripsikan

sebagai gambaran yang atipikal, kebanyakannya

melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran

kavitas. Keterlibatan beberapa lobus paru juga 21dilaporkan lebih banyak. Patel dkk. pada penelitiannya

di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB

dengan DM yang menunjukkan gambaran TB pada

lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru.

32% menunjukkan keterlibatan kedua bagian paru, dan

68% hanya di satu sisi paru. Pada 10 dari 50 foto

dengan gambaran kavitas yang lebih dari 2 cm dan

kavitas ini paling banyak ditemukan jika terdapat

keterlibatan bagian bawah paru (80%). Lesi nodular

ditemukan sebesar 36% dan lesi eksudat ditemukan

J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013 129

Page 5: dm vs tb

pada 22% dan lesi campuran terdapat pada 22%. Dari

penelitian tersebut, dikatakan bahwa penderita

tuberkulosis dengan DM lebih menunjukkan gambaran 21 atipikal pada pemeriksaan radiologi. Perbedaan

gambaran radiologis tersebut disebabkan oleh karena

penderita DM memiliki gangguan pada imunitas selular 22dan disfungsi sel PMN.

Sputum BTA pasien TB dengan DM

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

penderita TB dengan DM memiliki persentasi BTA

sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama dan lebih

cenderung mengalami resistensi teradap OAT. Hal ini

menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM sangat

mungkin dalam kondisi yang lebih parah dan memiliki 1risiko penularan TB yang lebih tinggi. Pada penelitian

dikutip dari 16oleh Singla dkk. di Saudi Arabia menunjukkan

sputum BTA positif pada awal diagnosis penderita TB

dengan DM lebih tinggi dari penderita TB non DM. Hal

yang sama juga ditemukan oleh penelitian di Texas dan 16di Amerika dengan OR 1,8. Namun penelitian

16Alisjahbana di Indonesia menunjukkan hasil yang

berbeda, terlihat pada awal diagnosis terdapat 29,8%

pasien TB dengan DM yang pada pemeriksaan sputum

memberikan hasil BTA positif, sedangkan pada

penderita TB dengan DM terdapat 38,9%.

Salah satu kesimpulan yang penting dari 16penelitian Alisjahbana dkk. adalah bahwa setelah

terapi TB selama 6 bulan, ditemukan hasil kutur yang

masih positif 7,65 kali lebih tinggi pada pasien yang juga

menderita DM dibandingkan penderita tanpa DM.

Penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan

risiko BTA +++ dengan OR 1,71 pada penderita TB 16dengan DM.

23Metaanalisis oleh Baker dkk. menunjukkan

hasil yang berbeda-beda mengenai hasil kultur sputum

setelah terapi TB 2-3 bulan pada penderita dengan TB

dan DM. Namun demikian penelitian ini memberikan

kesimpulan peningkatan risiko waktu konversi untuk 23kultur sputum pada penderita TB dengan DM.

Risiko multidrug resistant tuberculosis pada DM

Penelitian terkini telah menunjukkan hubungan

antara DM dengan resistensi obat TB, termasuk wabah

di New York City dan juga yang dilaporkan di Texas dan 24Mexico. Evaluasi yang lain masih belum menunjukkan

hubungan ini dengan kuat. Sampai saat ini suatu

penelitian terpadu mengenai hal ini juga belum pernah 25dilaporkan. Jenis obat yang pernah dilaporkan

26mengalami resistensi adalah rifampisin dan isoniazid.

Prognosis

Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko

kematian yang lebih tinggi selama terapi juga

peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan,

juga dapat memberikan risiko penularan yang lebih 27besar.

23Baker dkk. memberikan kesimpulan bahwa

diabetes meningkatkan risiko kegagalan terapi dan

kematian sekaligus, kematian saja, dan angka

kekambuhan pada penderita TB. Hal ini menekankan

akan kebutuhan perhatian yang lebih lanjut mengenai

uji saring terhadap DM dan TB di kedua populasi,

perbaikan kadar gula darah, panduan terapi, 23peningkatan monitoring klinik dan terapi.

Konsekuensi terapi

Sampai dengan saat ini belum ada rekomendasi

kuat berdasarkan suatu evidence based mengenai

penatalaksanaan TB dengan DM. Panduan yang ada

masih pada tahap rancangan dengan rencana-rencana

penelitian besar, sehingga sampai saat ini rekomendasi

yang diberikan belum disertai kekuatan level of

evidence. World Health Organization merekomendasi-

kan terapi pada penderita TB dengan DM harus 25 ditangani secara serius. Terapi TB pada pasien

dengan DM juga tidak mudah, terdapat interaksi

farmakologis antara terapi TB dengan DM. Selain itu

terjadi peningkatan risiko hepatotoksik karena terapi 11,25 OAT pada pasien TB dengan DM. Kejadian

hepatotoksik pada penderita TB dengan DM yang 25mendapatkan OAT meningkat sampai dengan 50%.

Terapi diabetes dimulai dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4

minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai

sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada

keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara

130 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013

Page 6: dm vs tb

tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.

Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat

badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai

ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia

hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan

asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis

hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi

besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan, gangguan

fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan 4,5,28atau alergi terhadap OHO.

Terapi diabetes pada penderita TB dengan DM

Dari jenis obat anti TB dan insulin, golongan obat

su l fon i lurea dan th iazolodinediones (TZD)

dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450, dan

enzim ini diinduksi oleh rifampisin. Kadar obat

antidiabetik tersebut kadarnya akan mengalami

penurunan jika diberikan bersama rifampisin.

Sedangkan isoniazid adalah penghambat enzim P450,

sehingga dapat mengurangi efek rifampisin, namun

demikian pemberian isoniazid dan rifampisin secara

bersamaan tetap menunjukkan peningkatan enzim hati 18oleh rifampisin.

Belum diketahui efek rifampisin dan INH

terhadap metabolisme insulin, namun diduga tidak

berpengaruh oleh karena insulin di degradasi di hati

melalui hidrolisis disulfida antara rantai A dan B oleh

insulin degrading enzyme (IDE). Obat lini pertama yang

lain seperti pirazinamid dan etambutol juga tidak

mempengaruhi kadar obat antiglikemik di dalam darah.

Monitor interaksi obat antihiperglikemik dengan

rifampisin perlu diperhatikan pada satu minggu pertama 18pengobatan.

Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin,

sehingga bisa menjadi obat alternatif yang baik, selain

itu metformin juga murah dan menjadi pilihan utama

pasien dengan DM tipe 2. Namun jika dikombinasi

dengan OAT maka efek samping gastrointestinal

meningkat sampai dengan 30%, sehingga dapat

menurunkan kepatuhan penderita untuk melanjutkan 18pengobatan TB atau DM.

Belum ada rekomendasi khusus untuk

pengobatan DM pada penderita TB, apakah harus

menggunakan insulin atau cukup dengan OHO. Tujuan

pengobatan DM adalah kendali glukosa darah.

American Diabetes Association (ADA) sejak tahun 2004

menekankan pada pencapaian target kendali glukosa

darah pada level tertentu. Pada tahun 2011 ADA

memberikan rekomendasi target Hb A1C kurang dari 7

atau yang setara dengan gula darah sebesar 154 5,29mg/dl.

Terapi TB pada penderita TB dengan DM

Penderita TB dengan DM mendapatkan terapi

standar sesuai dengan pasien TB yang lain. Rifampisin

merupakan pengobatan yang utama untuk pasien TB,

dan efektivitasnya dipengarui oleh dosis yang diberikan.

Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat

badan, yang merupakan dosis terapi minimal. Dosis

yang lebih tinggi mungkin lebih efektif dan dapat

mengurangi lama pengobatan TB. Dalam praktek,

pasien TB dengan DM memiliki berat badan yang lebih

tinggi, sehingga sebenarnya perlu diperhitungkan

kembali dosis OAT selama terapi terutama pada fase

lanjut dimana kondisi pasien mulai membaik dan berat

badan mulai naik. Obat anti TB tidak dipengaruhi oleh

obat anti glikemik, sehingga tidak memerlukan dosis 18penyesuaian. World Health Organization dan The

International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease (IUATLD) memberikan rekomendasi

pemberian terapi TB pada penderita dengan DM

dengan menggunakan regimen yang sama sesuai

standar. Pada fasilitas pelayanan DM juga harus

memiliki program penanganan TB, jika tidak mampu

harus segera dirujuk ke pusat penanganan TB untuk 26pasien yang dicurigai atau menderita TB.

Panduan dari perhimpunan dokter paru

Indonesia (PDPI) menyarankan paduan OAT dan lama

pengobatan yang pada prinsipnya sama dengan TB

tanpa DM, dengan syarat gula darah terkontrol. Apabila

kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama

pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Perlu

diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan

mengurangi efektivitas obat oral antidiabetes

(sulfonilurea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.

Hati-hati dengan penggunaan etambutol pada mata,

sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi

J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013 131

Page 7: dm vs tb

kelainan pada mata. Penggunaan INH pada pasien TB

dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati 30perifer.

Deteksi dini

World Health Organization merekomendasikan

untuk deteksi dini adanya infeksi TB pada pasien DM,

demikian sebaliknya mendeteksi adanya DM pada 25,26pasien TB. World Health Organization dan The

International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease (IUATLD), di Paris (2011) belum merekomen-

dasikan pada pasien DM tanpa gejala untuk suatu uji

saring TB. Masalah ini masih direkomendasikan

sebagai suatu rancangan penelitian besar untuk data

pendukung rekomendasi berikutnya. Sedangkan

pasien dengan TB harus segera dilakukan uji saring

adanya DM pada awal diagnosis, kasus TB dengan DM 26harus dicatat tersendiri.

Sedangkan pertemuan ke-5 WHO wilayah

Pasifik menyusun rancangan panduan untuk deteksi

dini TB pada pasien DM, dengan cara tes tuberkulin dan

interferon gamma release assay (IGRA) untuk deteksi 25infeksi TB laten, dan uji ini harus diulang setiap 5 tahun.

Pencegahan aktivasi TB laten

World Health Organization masih melakukan 26 penelitian untuk pencegahan TB pada pasien DM,

namun pertemuan ke-5 WHO wilayah Pasifik mulai

menyusun rencana panduan dengan melakukan

deteksi dini berupa uji saring TB laten seperti di atas,

dan memberikan profilaksis terapi bagi yang menderita

TB laten dengan menggunakan isoniazid selama 9

bulan. Terapi ini harus disertai pemberian vitamin B6 25untuk mengurangi efek samping neuropati perifer.

Indonesia belum menerapkan INH prophylaxis

treatment (IPT) dan saat ini masih dalam tahap uji coba.

KESIMPULAN

Diabetes merupakan faktor risiko independen

aktivasi infeksi TB laten. Diabetes melitus mening-

katkan risiko infeksi TB aktif sebesar 3,11 kali. Dengan

peningkatan pandemik DM yang 80% berada di daerah

endemik TB, maka TB akan menjadi masalah besar di

masa yang akan datang.

Diabetes dapat menjadi penyebab perburukan

gejala dan meningkatkan keparahan infeksi TB.

Diabetes dapat menjadi faktor risiko ditemukannya BTA

pada sputum, dengan konversi yang lebih lama

daripada penderita TB tanpa DM, sehingga

meningkatkan risiko penularan dan risiko resistensi

kuman. Infeksi TB ekstra paru pada penderita DM masih

belum dibuktikan dengan studi yang selama ini telah

dilakukan.

Diabetes juga mempengaruhi prognosis pada

pengobatan TB yaitu DM dapat meningkatkan

kematian, risiko kegagalan terapi dan risiko relaps.

Sementara pengobatan DM dengan penggunaan

sulfonilurea dan thiazolodinedione (TZD) dapat

dipengaruhi oleh obat TB, sehingga perlu monitor kadar

gula yang lebih intensif. Penatalaksanaan TB dan DM

harus dilakukan secara serius, dikontrol secara ketat,

dan dilakukan bersama dalam program DOTS.

Panduan khusus mengenai obat anti diabetes maupun

insulin belum ada, namun tujuan terapi mencapai kadar

gula sesuai dengan target harus dapat dicapai.

Deteksi dini DM pada pasien TB harus dilakukan

pada awal diagnosis TB. Deteksi dini adanya TB pada

pasien DM yang disertai gejala harus segera dilakukan,

namun deteksi dini untuk TB pada pasien DM tanpa

gejala masih menjadi penelitian WHO. Namun

beberapa regional WHO mulai menganjurkan deteksi

TB laten pada pasien DM dengan tes tuberkuin dan

IGRA. Profilaksis pada penderita DM dengan TB laten

masih menjadi penelitian oleh WHO, namun demikian

isoniazid selama 9 bulan mungkin bisa diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Restrepo BI. Convergence of the tuberculosis and

diabetes epidemics: Renewal of old acquaintances.

Clin Infect Dis. 2007; 45:436-8.

2. Faurholt-Jepsen D, Range N, PrayGod G, Jeremiah

K, Faurholt-Jepsen M. Diabetes is a risk factor for

pulmonary tuberculosis: A case-control study from

Mwanza, Tanzania. PLoS ONE. 2011; 6(8): e24215.

3. World Health Organization. Non communicable

disease report. [Online]. 2011 [Cited 2011

132 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013

Page 8: dm vs tb

N o v e m b e r 2 8 ] . A v a i l a b l e f r o m U R L :

http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report_c

hapter1.pdf.

4. World Health Organization. World Health Statistic

2011. Geneva: WHO Press; 2011.

5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus

pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe

2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2006.

6. Tuberculosis coalition for technical assistance.

International standards for tuberculosis care

(ISTC). The hague, tuberculosis coalition for

technical assistance. 2006.

7. World Health Organization. Global tuberculosis

control: WHO report. [Online]. 2011 [Cited 2012

January 23]. Available from: http://www.who.int/

tb/publications/global_report/2011/en/index.html.

8. Prakash UBS, King TEJr. Endocrine and metabolic

disorders. In: Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky JB,

editors. Baum's textbook of pulmonary diseases.

7th eds. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilson;

2004.

9. Ljubiae S, Balachandran A, Pavliæ-Renar I, Barada

A. Pulmonary infections in diabetes mellitus.

Diabetologia Croatica. 2004;33(4):115-24.

10. Restrepo BI, Fisher-Hoch SP, Pino PA, Salinas A,

Rahbar MH, Mora F, et al. Tuberculosis in poorly

controlled type 2 diabetes: Altered cytokine

expression in peripheral white blood cells. Clin

Infect Dis. 2008; 47:634-41.

11. Geerlings SE, Hoepelman AIM. Immune

dysfunction in patients with diabetes mellitus. FEMS

Immunol Med Microbiol. 1999;26:259-65.

12. Garud A, Ganu G, Jadhav S, Aggarwal A, Talele S,

Kshirsagar J. Macrophage phagocytic index :

Approach in understanding of diabetes and related

complication. J Pharm Res. 2011; 4(8): 2849-52.

13. Ramamurti T. Pathology of mycobacterial infection

in diabetes. Int J Diab Dev Ctries. 1999; 19: 56-60.

14. Jeon CY, Murray BM. Diabetes mellitus increases

the risk of active tuberculosis: A systematic review of

13 observational studies. PLoS Med.2008;5:e152.

15. World Health Organization. Tuberculosis and

diabetes. [Online]. 2011 [Cited 2012 January 23].

Available from URL: http://www.who.int/tb/

publications/ diabetes_tb.pdf.

16. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa

AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, et al. The effect of

type 2 diabetes mellitus on the presentation and

treatment response of pulmonary tuberculosis. Clin

Infect Dis. 2007; 45:428-35.

17. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An

appraisal. Ind J Tub. 2000; 47:3-8.

18. Ruslami R, Aarnoutse RE, Alisjahbana B, van der

Ven AJAM, van Crevel. Implications of the global

increase of diabetes for tuberculosis control and

patient care. Trop Med Int Health. 2010;15(11):

1289-99.

19. Aweis D, Suleiman ZAS, Mutlif AR. To assess the

co-relation of diabetes mellitus and co-morbid

tuberculosis on the leucocyte and platelet counts.

Arch Pharma Prac. 2010;1(1):12-4.

20. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian J Med

Res. 2004;12: 213-32.

21. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological

presentation of patients of pulmonary tuberculosis

with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28(1):70.

22. Pérez-Guzmán C, Torres-Cruz C, Villarreal-

Velarde C, Salazar-Lezama MA, Vargas MH.

Atypical radiological images of pulmonary

tuberculosis in 192 diabetic patients: A comparative

study. Int J Tuberc Lung Dis. 2001;5(5):455-61.

23. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A,

Lönnroth K, et al. The impact of diabetes on

tuberculosis treatment outcomes: A systematic

review. BMC Medicine. 2011; 9:81.

24. Fisher-Hoch SP, Whitney E, McCormick JB. Type 2

diabetes and multidrug resistant tuberculosis. Scan

J Infect Dis. 2008; 40(11-12):888-93.

25. Brostrom RJ. Summary of the impact of diabetes on

tuberculosis control and submission of draft

standards for diabetes and tuberculosis in the US-

affiliated Pacific Islands. Fifth Pacific Stop TB

Meeting 4-7 May 2010, Nadi, Fiji Islands. [Online].

2010. [cited 2011 March 18] Available from URL:

http://www.spc.int/tb/en/publication/cat_view/69-

meetings/74-fifth-pacific-stop-tb-meeting-2010

26. World Health Organization and The International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease.

J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013 133

Page 9: dm vs tb

collaborative framework for care and control of

tuberculosis and diabetes. Geneva: WHO Press;

2011.

27. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin

W. Impact of diabetes mellitus on treatment

outcomes of patients with active tuberculosis. Am J

Trop Med Hyg. 2009;80: 634-9.

28. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk

praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus.

Jakarta; 2009.

29. American Diabetes Association. Standards of

medical care in diabetes. Diabetes Care.

2011;34:511-61.

30. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penata-

laksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra

Grafika; 2011.p.39-40.

134 J Respir Indo Vol. 33, No. 2, April 2013